
کمالوندی
Kembali Kepada Al Quran Dan Ahlul Bait
Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah ke- Islaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan umat manusia.
Sepanjang sejarah perjalanan umat manusia, polemik dan perbedaan pendapat telah menjadi keniscayaan tersendiri yang tak terelakkan. Adanya paradigma (cara pandang) yang berbeda pada umat manusia adalah konklusi dari dua jalan (kebajikan dan kejahatan) yang telah diilhamkan Allah SWT dalam diri setiap manusia (baca Qs. 90:10).
Oleh karenanya, keberadaan tolok ukur kebenaran yang menjadi rujukan semua pihak adalah suatu keniscayaan pula, yang eksistensinya bagian dari hikmah Ilahi. Allah SWT telah menurunkan kitab pedoman yang merupakan tolok ukur kebenaran dan menjadi penengah untuk menyelesaikan berbagai hal yang diperselisihkan umat manusia.
Allah SWT berfirman: “Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para Nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (Qs. Al-Baqarah : 213).
Ayat ini menjelaskan bahwa manusia tanpa bimbingan dan petunjuk Ilahi akan berpecah belah dan bergolong-golongan. Penggalan selanjutnya pada ayat yang sama menjelaskan pula, bahwa kedengkian dan memperturutkan hawa nafsulah yang menyebabkan manusia terlibat dalam perselisihan dan perpecahan.
Kebijaksanaan Ilahilah yang kemudian menurunkan sang Penengah (para nabi as) yang membawa kitab-kitab yang menerangi. Kitab-kitab Ilahiah terutama Al Quran memberikan petunjuk dan arahan yang jelas tentang kebenaran yang seharusnya ditempuh umat manusia.
Namun hawa nafsu, kedengkian, kedurhakaan dan juga kebodohan telah menjerumuskan manusia jauh berpaling dari mata air jernih kebenaran.
Puluhan ribu nabi telah diutus sepanjang sejarah hidup manusia di segala penjuru dunia. Umat Islam meyakini mata rantai kenabian bermula dari Nabi Adam as dan berakhir di tangan Muhammad SAW dan tidak ada lagi nabi sesudahnya.
Ditutupnya kenabian hanya bisa sesuai dengan hikmah dan falsafah diutusnya para nabi bila syariat samawi yang terakhir tersebut memenuhi seluruh kebutuhan umat manusia, di setiap masa dan di setiap tempat. Al Quran sebagai kitab samawi terakhir telah dijamin oleh Allah SWT keabadian dan keutuhannya dari berbagai penyimpangan hingga akhir masa.
Akan tetapi secara zahir Al Quran tidak menjelaskan hukum-hukum dan ajaran Islam secara mendetail. Oleh karenanya penjelasan perincian hukum menjadi tanggung jawab nabi untuk menerangkannya kepada seluruh umatnya.
Sewaktu Nabi Muhammad SAW masih hidup tanggung jawab itu berada dipundaknya. Karena itu hadits-hadits Nabi Muhammad SAW menjadi hujah dan sumber autentik ajaran Islam. Namun apakah semasa hidupnya, Rasulullah SAW telah menjelaskan seluruh hukum dan syariat Islam kepada seluruh umat?
Kalau tidak semua, siapa yang bertanggung jawab untuk menjelaskannya? Siapa pula yang bertanggung jawab menengahi silang sengketa sekiranya terjadi penafsiran yang berbeda tentang ayat-ayat Al Quran dalam tubuh umat Islam?
Saya sulit menerima jika dikatakan tanggung jawab penjelasan syariat Islam pasca Rasul jatuh ke tangan para sahabat. Sementara untuk contoh sederhana sahabat sendiri berbeda pendapat bagaimana cara Rasululullah melakukan wudhu dan salat yang benar, padahal Rasul mempraktikkan wudhu dan salat bertahun-tahun di hadapan mereka.
Untuk persoalan wudhu saja mereka menukilkan pendapat yang berbeda-beda, karenanya pada masalah yang lebih rumit sangat mungkin terjadi penukilan yang keliru. Ataupun tanggung jawab penafsiran Al Quran jatuh kepada keempat imam mazhab yang untuk sekadar menafsirkan apa yang dimaksud debu pada surah Al-Maidah ayat 6 saja sulit menemukan kesepakatan.
Kata mazhab Syafi’i debu meliputi pasir dan tanah, tanah saja kata Hanbali; tanah, pasir, batuan, salju dan logam kata Maliki; tanah, pasir dan batuan kata Hanafi (al-Mughniyah, 1960; Al-Jaziri, 1986).
Petunjuk Umat
Islam hanya dapat ditawarkan sebagai agama yang sempurna, yang dapat memenuhi segala kebutuhan manusia jika di dalam agama itu sendiri tidak terdapat perselisihan dan perpecahan. Karenanya, hikmah Ilahi meniscayakan adanya orang-orang yang memiliki kriteria seperti yang dimiliki Nabi Muhammad SAW untuk memberikan bimbingan kepada umat manusia di setiap masa tentunya selain syariat.
Ilmu yang mereka miliki tidak terbatas dengan apa yang pernah disampaikan Nabi Muhammad SAW (sebagaimana maklum Nabi tidak sempat menjelaskan semua tentang syariat Islam) namun juga memiliki potensi mendapatkan ilmu langsung dari Allah SWT ataupun melalui perantara sebagaimana ilham yang diterima Siti Maryam dan ibu nabi Musa as (Lihat Qs. Ali-Imran : 42, Thaha:38).
Mereka menguasai ilmu Al Quran sebagaimana penguasaan nabi Muhammad SAW sehingga ucapan-ucapan merekapun merupakan hujjah dan sumber autentik ajaran Islam. Masalah ini berkaitan dengan Al Quran sebagai mukjizat, berkaitan dengan kedalaman dan ketinggian Al Quran, sehingga hukumnya membutuhkan penafsir dan pengulas.
Al Quran adalah petunjuk untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman karenanya akan selalu berlaku dan akan selalu ada yang akan menjelaskannya sesuai dengan pengetahuan Ilahi. “Sungguh, Kami telah mendatangkan kitab (Al Quran) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-A’raf :52).
Pada ayat lain, Allah SWT berfirman, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ” (Qs. An-Nahl : 64).
Dengan pemahaman seperti ini maka jelaslah maksud dari penggalan hadits Rasulullah, Kutinggalkan bagi kalian dua hal yang berharga, Al Quran dan Ahlul Baitku. (HR Muslim). Bahwa keduanya Al Quran dan Ahlul Bait adalah dua hal yang tak terpisahkan hingga hari kiamat, memisahkan satu sama lain akibatnya adalah kesesatan dan di luar dari koridor ajaran Islam itu sendiri.
Penyimpangan
Rasul menyebut keduanya (Al Quran dan Ahlul Baitnya) sebagai Tsaqalain yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Penerus nabi adalah orang-orang yang tahu interpretasi ayat-ayat Al Quran sesuai dengan makna sejatinya, sesuai dengan karakter esensial Islam, sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT.
Rasulullah menjamin bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang pada kedua tsaqal ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan. Kemunduran dan penyimpangan kaum Muslimin terjadi ketika mencoba memisahkan kedua tsaqal ini.
Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah ke- Islaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan umat manusia.
Imam Ja’far Shadiq (fiqh), Jalaluddin Rumi (tasawuf), Ibnu Sina (kedokteran), Mullah Sadra (Filsafat), Allamah Taba’tabai (tafsir) dan Imam Khomeini (politik), sebagian kecil orang-orang besar yang terlahir dari madrasah ini.
Ismail Amin
Mahasiswa Mostafa International University
Islamic Republic of Iran
Sekjen Ahlulbait Indonesia: Money Politics Haram Hukumnya!
Beberapa bulan menjelang April 2014, warna-warni atribut dan bendera parpol mulai terpasang di sepanjang jalanan kota dan desa di seantero negeri. Pemilu, pesta demokrasi, pesta besar rakyat, tak lama lagi bakal dihelat. Seperti lima tahun yang lalu, para capres dan calon wakil rakyat pun mulai beraksi ‘turun gunung.’ Mereka rela berbasah-basah lumpur sawah kunjungi petani, ikut berakrab bau amis ikan di antara nelayan, beramah-tamah sapa tukang becak, sopir angkot, tukang ojek, dan pedagang pasar. Tak lupa juga galang acara silaturahmi dengan para bapak di majelis-majelis taklim, ibu-ibu pengajian, para remaja karang taruna di arena-arena olahraga sambil bawa sumbangan berupa uang maupun barang. Tujuannya satu, meraup simpati dan dukungan sebanyak-banyaknya.
Bagaimana halnya dengan muslim Syiah Indonesia? Sekjen DPP Ahlulbait Indonesia menyatakan bahwa sebagai warga negara Indonesia sudah tentu mereka semua akan berpartisipasi aktif dalam pesta rakyat ini. Untuk itu dia mengingatkan muslim Syiah yang ada di Indonesia untuk menggunakan hak pilih mereka dengan baik dan benar.
“Memilih adalah keniscayaan dalam hidup manusia, maka tidak pernah lepas dari pertanggung jawaban. Bukan karena duit, bukan karena golongan namun atas dasar rasional bahwa mereka yang akan dipilih mempunyai kompetensi menjadi pemimpin,” tegasnya kepada ABI Press di ruang kerjanya, kantor DPP Ahlulbait Indonesia, Jakarta Selatan. “Karena itu, haram hukumnya menerima uang dari caleg maupun capres,” lanjutnya.
Menurut Ahmad Hidayat, kalau sudah jelas ada calon tertentu menawarkan uang agar dirinya terpilih, maka jangan dipilih. Sebab itu adalah sebuah kejahatan. Muslimin Syiah wajib memiliki pandangan yang benar tentang bagaimana memilih calon pemimpin yang terbaik. Karena semua ini adalah demi kepentingan bangsa dan negara yang kita cintai.
Dia menjelaskan salah satu sebab diharamkannya money politics dalam agama adalah karena dari sana benih-benih kejahatan selanjutnya biasanya akan muncul dan saling terhubung satu sama lain hingga menjadi rantai kejahatan. Tentang sejumlah orang yang biasa mengatakan, “terima saja duitnya tapi jangan pilih orangnya,” hal itupun sangat keliru menurut Ahmad Hidayat, sebab dengan makin banyaknya orang yang suka terima uang dengan cara itu, cepat atau lambat akan membentuk karakter rakyat yang materialistik dan hanya memikirkan kepentingan sesaat saja.
“Money politics juga dapat merusak tatanan kehidupan politik bangsa kita. Karena bila kebiasaan buruk itu ditoleransi bahkan dipelihara dan dilestarikan, maka bangsa kita tidak akan pernah dewasa. Dengan money politics, siapa yang punya uang, maka dialah yang akan berkuasa. Betapa bahayanya kehidupan sebuah bangsa bila yang menjadi pemimpin ternyata orang-orang yang sesungguhnya tak punya kapasitas,” katanya.
Ahmad Hidayat di akhir wawancara menyatakan, apabila money politics terus terjadi di tiap pemilu, maka sampai kapanpun Indonesia tidak akan dapat menemukan pemimpin terbaik, padahal hajatan pemilu itu adalah untuk mencari pemimpin terbaik di negeri ini. “Itulah yang saya maksudkan tadi. Hal itulah yang juga menyebabkan haramnya praktek politik uang. Haram bagi yang memberi, haram juga bagi yang menerima.”
Perda Syariat Dan Proyek Islamisasi Di Indonesia
"Maaf tidak melayani tamu wanita yang tidak berjilbab.” Dimanakah peraturan semacam itu layak diterapkan? Di rumah sakit kah? Kantor polisi kah? Atau di pusat perbelanjaan? Yang ada, jika itu diterapkan di negeri ini, tentu perempuan yang sakit tanpa memakai jilbab tidak akan bisa dilayani, perempuan tanpa jilbab tidak bisa mengadu ke polisi jika mengalami masalah, atau toko-toko akan sepi pembeli.
Faktanya, Indonesia adalah negara yang memiliki banyak budaya, agama, dan keyakinan yang berbeda-beda. Meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, tapi indonesia bukan negara Islam, dan umat Islam di indonesia kenyataanya tidak semua memakai jilbab.
Tapi sayangnya, peraturan di atas sempat diberlakukan di sebuah lembaga pemerintahan. Hal itu disampaikan oleh Ahmad Rumadi, Koordinator Program The Wahid Institute dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh Nurcholish Madjid Society yang bertajuk “Perda Syariat dan Proyek Islamisasi di Indonesia.” Sambil memperlihatkan foto sebagai bukti, Rumadi menjelaskan, foto itu diambil oleh relawan Wahid Institute di sebuah kantor Kelurahan di Bulukumba. “Ini saya anggap Perda diskriminatif,” kata Rumadi dengan nada kecewa. Ia menambahkan, kantor kelurahan sebagai lembaga negara seharusnya dapat melayani semua warga tanpa membedakan golongan, apalagi sekadar baju yang dipakainya. Tapi sayangnya diskriminasi itu masih saja terjadi.
Rumadi yang juga menjadi nara sumber pada hari itu sedikit menyinggung masalah perkembangan Islam di indonesia. Menurutnya, banyak sekali kelompok-kelompok atau orang-orang yang ingin mengislamisasi hukum. Bagaimana hukum Islam supaya bisa menjadi bagian dari hukum negara. Itu tentu karena ada dasar keyakinan. Itu bermula dari anggapan bahwa Islam tidak bisa tegak tanpa kekuasaan, atau setidaknya hukum-hukum yang ada di negara itu harus diwarnai hukum Islam. Salah satu usahanya menurut Rumadi adalah menguasai panggung politik.
Ideologi Islam menjadi pondasi bagi kelompok yang ingin mendirikan negara Islam, khilafah dan sebagainya itu. Meskipun pada masa-masa awal kemerdekaan, kelompok-kelompok yang mengusung ideologi Islam kalah, namun Islam politik hingga saat ini tidak pernah mati. Kadang bergerak di bawah tanah, kadang muncul ke permukaan, tergantung situasi politiknya.
Mereka juga mengklaim Khilafah sebagai solusi seluruh permasalahan. “Foto ini waktu demo kenaikan harga BBM. Mereka yakin jika Khilafah ditegakkan maka harga BBM bisa turun,” ujar Rumadi sambil memperlihatkan foto. Dia menyontohkan sebuah aksi yang dilakukan oleh salah satu kelompok pengusung ideologi Islam itu.
Mereka juga sering mengampanyekan tentang wajib tegaknya syariat dan hukum Islam, yang justru tidak mencerminkan nilai keislaman itu. Terbukti, misalnya di Aceh yang menerapkan hukum Islam, tapi pada kenyataannya, tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam tetap menjamur di sana.
Kemudian ada juga regulasi yang mengatur tentang keterampilan beragama, kemampuan baca tulis Al-Quran. Jadi hal ini benar-benar dipaksa dan dikait-kaitkan dengan banyak hal. Akibatnya, kalau di Aceh menyangkut calon Bupati atau Walikota, maka yang tidak bisa baca Al-Quran sudah pasti tidak akan bisa mencalonkan diri.
Satu Islam Rahmatan Lil Alamin
Saling mengkafirkan antar umat islam bukanlah urusan kecil dan sederhana, melainkan persoalan yang besar dan sangat berbahaya. Demikian ungkap Habib Rizieq Shihab dalam Tabligh Akbar di Masjid Raya Bintaro Jaya, Sektor 9 Jakarta Selatan, Senin (31/3).
Selain bahwa saling mengkafirkan merupakan bibit permusuhan dan bibit perpecahan. “Hal tersebut juga memicu pertumpahan darah terhadap kelompok yang dianggap kafir,” ungkapnya.
Dalam acara bertema “Islam Yang Satu Menuju Rahmatan Lilalamin” itu Habib Rizieq juga menghimbau ribuan jamaah yang memadati pelataran masjid agar mengedepankan dialog antar umat Islam, antar mazhab dan antar golongan. Namun bukan sekadar dialog yang perlu ditekankan, melainkan dialog yang ilmiah berdasarkan keilmuan, dan berdasarkan dalil yang bisa dipertanggungjawabkan. “Malah bukan hanya ilmiah saja, namun juga harus berakhlakul karimah,” tegasnya.
Selain Habib Rizieq, hadir juga Ustad Husein Alatas. Sependapat dengan Habib Rizieq, Ustad Husein juga menekankan pentingnya persatuan antar umat islam dari berbagai kalangan. Menurutnya, pensesatan dan pengkafiran hanyalah agenda musuh yang digunakan untuk memecah-belah umat Islam.
Acara yang berlangsung sejak pukul 09:00 hingga 12:00 WIB itu disiarkan langsung oleh Radio Silaturrahmi (Rasil) AM-720 Jakarta. Meski sebelumnya beredar isu teror via SMS tentang penolakan bahkan seruan pembubaran acara tersebut, namun hingga acara selesai, isu itu hanya isapan jempol belaka.
Tampaknya kaum Muslimin sudah semakin sadar tentang lebih perlunya menjaga ukhuwah dibandingkan harus terus-menerus terjebak dalam upaya pihak-pihak wahabi takfiri yang hanya ingin melestarikan upaya pecah-belah di antara sesama umat Islam saja. (
Fatimah Az-Zahra: Teladan Utama Manusia Dan Kemanusiaan
Kebutuhan terhadap sosok atau figur untuk diteladani adalah naluri alamiah yang ada dalam diri tiap manusia. Hal itu merupakan jalan manusia menuju kesempurnaan dan kebahagiaan.
Demikian disampaikan Ustad Ahmad Hidayat dalam peringatan Haul Sayyidah Fatimah Az-Zahra as pada hari Jumat (4/2) lalu bertempat di kantor Dana Mustadhafin, Duren Tiga Jakarta Selatan.
Ustad Ahmad menilai, seringkali orang keliru dalam memilih figur yang dimaksudkan. Ada satu hal yang sering dilupakan bahwa ketika seseorang mencari figur idola sebenarnya ia ingin merefleksikan dirinya seperti orang yang hendak dijadikannya teladan terbaik dalam hidupnya. Namun demikian, banyak orang memaknainya sebatas material saja. Padahal bukan itu yang dibutuhkan naluri.
Banyak orang misalnya menjadikan artis sebagai figur idola karena kecantikannya, kepandaian berakting, dan sebagainya. Bahkan ada yang sampai histeris seperti merasakan puncak kebahagiaan ketika bertemu dengan artis yang diidolakannya itu. Inilah yang disebut sebagai menilai figur secara materialnya saja.
Adapun sosok Fatimah Az-Zahra as adalah tipe manusia yang tidak saja menjadi simbol bagi kaum perempuan. Namun simbol bagi manusia dan kemanusiaan. Karena itulah di dalam tradisi umat Islam secara umum ada peringatan Maulid Nabi dan seterusnya. Termasuk juga peringatan syahadah Sayyidah Fatimah di dalamnya, dengan tujuan kembali menggali sosok Fatimah Az-Zahra as untuk menjawab kebutuhan tadi. Karena naluri membutuhkan figur bukan sekadar aspek fisik tapi juga spiritualnya.
Maka ketika kita menjadikan Fatimah az Zahra sebagai figur teladan setelah mengenali sifat-sifatnya, lalu kita berusaha menjadi seperti beliau, maka kita akan merasakan sebuah peristiwa spiritual yang memuaskan jiwa. “Itulah kelebihan menjadikan sosok tertentu sebagai figur teladan yang tidak sebatas pada aspek materialnya saja,” tutur Ustad Ahmad.
Lalu, siapakah Fatimah Az-Zahra, yang namanya sedemikian agung hingga patut untuk dijadikan figur teladan? Dalam hal ini, Ustad Ahmad menyampaikan bahwa Fatimah Az-Zahra as adalah wanita paling agung sepanjang masa. “Tidak ada satu pun pengkaji tentang manusia mulia di dunia ini yang tidak menyimpulkan bahwa Fatimah Az-Zahra as melampaui seluruh manusia kecuali Rasulullah SAW,” tambahnya.
Sejak ibundanya, Khadijah meninggal dunia, Fatimah masih berusia lima tahun. Beliau menggantikan ibundanya mendampingi dan merawat Rasulullah dalam segala rintangan dan cobaan. Hingga akhirnya Rasulullah memberinya gelar Ummu Abiha yang berarti, ibu dari ayahnya. Bisa dibayangkan, peran apa yang Fatimah lakukan dalam usia belianya? Itulah salah satu keutamaan beliau yang tidak dimiliki manusia selainnya.
Fatimah merupakan hamba Allah yang juga terikat dengan hukum-hukum syariat sebagaimana manusia lain, namun tingkat ketaatannya kepada Allah melebihi yang lainnya meski menurut riwayat, beliau hanya hidup di dunia selama 18 tahun. Usia yang sangat singkat namun menorehkan prestasi ketakwaan yang sangat tinggi, sehingga dengannya beliau tercatat sebagai manusia khusus di mata Allah SWT dan Rasulullah Saw.
Pernah Rasulullah bersabda, “Kalau aku rindu mencium aroma surga, aku menemui Fatimah Az-Zahra untuk merasakan bagaimana aroma surganya Allah SWT.” Dengannya, Fatimah Az-Zahra mendapat julukan al hawra’ al insiyah atau wewangian surga, aroma surgawi yang dihidupkan Allah di tengah kehidupan manusia. Atau bisa juga diartikan bidadari yang bertajalli dalam bentuk manusia.
Dan masih banyak lagi keutamaan Fatimah Az-Zahra, mulai dari ketaatan dan bakti terhadap suaminya, kesabaran mendampingi dan merawat ayahnya, serta ahli ibadah di hadapan Tuhannya. Dengan memperingati Syahadah Fatimah Az-Zahra as, Ustad Ahmad mengharapkan agar jamaah yang hadir dapat mengambil inspirasi dari figur agung puteri kesayangan Rasulullah itu. (
Pelajaran Cinta Dan Benci
Cinta dan benci merupakan dua hal yang saling berlawanan. Cinta menggambarkan penerimaan, kesepakatan, kerinduan, rasa ingin menyatu, memiliki, mengikuti dan bahkan berkorban bagi seseorang terhadap sesuatu yang dia cintai. Sedangkan benci kebalikannya, menggambarkan penolakan, ketidaksukaan yang sangat, dan rasa jijik serta ingin menjauhi terhadap sesuatu yang dia benci. Mungkinkah pada diri seseorang timbul cinta dan benci pada obyek yang sama?
Hal ini tentu tidak mungkin terjadi karena cinta berlawanan dengan benci, dan tentu hukum logika menafikan premis bergabungnya cinta dan benci dari satu subyek (individu) terhadap obyek yang sama, karena ketika seseorang cinta terhadap sesuatu mustahil dia membenci sesuatu yang dia cintai tersebut dan hukum ini juga berlaku sebaliknya. Ini sesuatu yang sangat jelas.
Dengan demikian, dalam diri seseorang tidaklah mungkin timbul cinta dan benci pada obyek yang sama. Tetapi seseorang dapat mencintai sesuatu hal dan membenci sesuatu hal lainnya. Uniknya cinta dan benci ternyata dapat timbul pada obyek yang sama manakala subyek yang mencinta dan membenci berbeda. Mengapa hal ini bisa terjadi? Di sinilah letak keunikannya, dan ketika kita dapat memahami ini akan dapat membuka cakrawala berfikir kita dan juga menimbulkan perasaan ‘cinta saja’ terhadap segala sesuatu, sekaligus menghapus rasa benci terhadap sesuatu yang lain.
Lho bagaimana mungkin manusia hanya memiliki cinta dan tidak ada rasa benci? Bukankah pada dasarnya manusia membenci hal-hal buruk seperti penindasan, kekejaman, kekasaran, sifat tamak, pelit, serta perampokan dan lain-lain hal yang dikategorikan buruk oleh kemanusian dan akal sehat serta agama? Tepat sekali! Benci dan kebencian pada hal-hal buruk yang disebutkan di atas sebenarnya bukan disebut benci tetapi cinta.
Mengapa? Karena manusia cinta pada hal-hal yang sebaliknya dari penindasan, kekejaman, kekasaran, sifat tamak, pelit, dan perampokan yaitu pemberian hak dan kebebasan, kelembutan dan kasih sayang, dermawan dan rasa ingin berbagi, serta penghormatan dan penjagaan hak-hak atau keadilan. Dengan demikian maka sebenarnya benci itu tidak benar-benar ada secara eksistensi dan obyektif. Mengapa bisa terjadi? Karena benci tidak akan pernah timbul manakala kita benar-benar mencintai yang sebaliknya dari yang kita benci tersebut sebagaimana digambarkan di atas. Kalau begitu, mengapa kita harus benci hanya pada adanya perbedaan pemahaman yang bahkan diakui bersama sesungguhnya bersumber dari sumber yang satu?
Mari kita runut bersama-sama. Kita coba kembali pada hal unik yang disebutkan di atas tentang fenomena adanya hasil yang bertolak belakang (bertentangan) bahwa antara individu yang satu dengan individu yang lain dapat menghasilkan sesuatu yang berlawanan dalam mengidentifikasi dan mengenali serta menyimpulkan suatu obyek. Subyek A mengidentifikasi, mengenali dan mengambil kesimpulan tentang obyek X menghasilkan cinta dan kecintaan, tetapi subyek B mengidentifikasi, mengenali dan menyimpulkan suatu hal yang sama yaitu obyek X tetapi menghasilkan benci dan kebencian.
Suatu obyek X yang hendak diidentifikasi, dikenali dan disimpulkan oleh subyek A maupun subyek B adalah sesuatu yang ada di luar diri subyek A maupun subyek B. Obyek X ini memiliki identitas obyektif dan tidak tergantung pada sesuatu di luarnya. Tetapi ketika subyek A dan subyek B tertuju perhatiannya pada obyek X, maka obyek X diberikan predikat-predikat berupa suatu nilai, identitas, status, dan hal lainnya untuk dapat menyebut dan mengenali serta menyimpulkan obyek X tersebut. Pandangan dan penilaian subyek baik A maupun B terhadap obyek X tentu sangat dipengaruhi oleh sesuatu yang melekat dan dimiliki subyek dan menjadi modal bagi subyek untuk mengenali dan mengidentifikasi obyek X tadi. Sesuatu yang melekat pada subyek dan sekaligus menjadi modal bagi subyek tersebut umumnya berbeda antara yang ada dan dimiliki subyek A dan subyek B. Hal inilah yang kemudian dapat dipahami ketika dalam fenomena kehidupan orang dapat berbeda pendapat satu dengan yang lainnya.
Seseorang yang sehat pemikirannya dan tidak mengidap sindrom superioritas pasti akan dengan sadar mengakui bahwa modal yang ada pada dirinya bukanlah segala-galanya dan satu-satunya yang lengkap, yang hal itu tidak dimiliki oleh selainnya. Begitu juga sangat mungkin sekali dirinya tidak atau belum memiliki atau memahami sesuatu ilmu dan pemahaman yang dimiliki oleh orang selainnya. Dengan menyadari hal ini, sangat naif bila kita mengklaim bahwa diri kita lah yang mempunyai identifikasi dan pengenalan terhadap sesuatu secara obyektif dan mutlak sembari menyatakan bahwa identifikasi dan pengenalan orang lain terhadap sesuatu itu seluruhnya salah dan tidak mengandung kebenaran sama sekali.
Apalagi bila kesimpulan yang diambil itu bukan langsung berasal dan bersumber dari dirinya tetapi dari kesimpulan orang lain lagi yang kita juga belum mengidentifikasi validitas dan kebenarannya, tetapi langsung kita telan mentah-mentah tanpa reserve, seolah-olah dia yakin Tuhan langsung berbicara kepadanya tentang hal tersebut.
Prinsip keterbukaan pemikiran dalam berfikir obyektif tanpa mengklaim kebenaran hanya ada pada pendapatnya saja ini sudah semestinya berlaku bagi seluruh manusia selain Nabi dan Rasul atau utusan-Nya. Mengapa demikian? Bukankah Nabi dan Rasul juga manusia? Benar bahwa Nabi dan Rasul juga manusia, tetapi Nabi dan Rasul adalah utusan yang dipilih oleh Pengutusnya yaitu Allah Swt, dan diberikan wahyu serta bimbingan langsung dari-Nya. Sehingga apa yang ada pada diri Nabi dan Rasul adalah bersumber pada kebenaran obyektif dan mutlak (baca: bukan spekulatif).
Hal tersebut kita yakini karena kita sebelumnya telah percaya dengan eksistensi Allah Swt dan bertauhid kepada-Nya, yang meniscayakan bahwa Nabi dan Rasul-Nya adalah representasi-Nya dan sebagai pembimbing yang mengajak seluruh manusia pada jalan keselamatan, yang terpelihara dari dosa sehingga meniscayakan ketaatan kepada mereka secara mutlak. Makanya kita saksikan, tidak pernah terjadi pertentangan apalagi permusuhan dan saling menyalahkan antara sesama Nabi dan Rasul karena sesuatu yang ada pada dirinya bersumber langsung dari bimbingan Yang Maha Mutlak. Bahkan kita sering mendegar suatu riwayat yang menyatakan bahwa jika Nabi dan Rasul dari mulai Adam As sampai Muhammad Saaw dikumpulkan niscaya tidak akan pernah didapati pertentangan pendapat di antara mereka karena segala yang ada pada mereka bersumber langsung dari Allah Swt.
Kembali pada masalah kita semua, yaitu umat manusia sebagai pengikut para Nabi dari mulai Adam As sampai Muhammad Saaw, sudah selayaknya menyadari bahwa diri kita ini bukanlah Nabi dan Rasul yang diutus oleh-Nya. Dengan demikian atas dasar apa manusia berperan seperti layaknya Nabi dan Rasul bahkan memposisikan dirinya seolah sebagai Tuhan yang memberikan vonis hukuman salah, sesat, kafir, neraka kepada selainnya dengan lantang sementara kita menyadari bahwa sesuatu dasar yang kita miliki sebagai bahan memberi vonis adalah ‘spekulatif’ dalam arti tidak mendapat dan mendengar langsung dari Nabi dan Rasul apalagi dari Allah swt, dan tidak jarang pula bersifat subyektif serta diiringi dengan hawa nafsu merasa paling utama dan benar sendiri. Bukankah Allah Swt menjelaskan kepada kita secara gamblang dalam firman-Nya (QS. Al-Hujurat: 14) “… dan janganlah kalian mengatakan kami telah beriman, tetapi katakan kami telah ber-Islam (berserah diri)” ?
Keimanan dilandasi oleh suatu proses tertentu yang pada akhirnya menghasilkan sebuah keyakinan. Sedangkan keber-Islam-an adalah pernyataan sikap ketundukan dan berserah diri pada kebenaran agama. Ayat di atas sungguh luar biasa bagi pembelajaran kita semua, sebab bagaimana mungkin proses yang kita jalani dan yang membuahkan keyakinan saja tidak boleh dijadikan dasar klaim kita dalam membenarkan diri kita sendiri dan menyalahkan/menyesatkan dan memvonis pihak lain, tetapi justru Allah Swt memerintahkan diri kita untuk berserah diri, yang artinya mengembalikan kebenaran sejati dan mutlak yang memang hanya ada pada dan milik Allah Swt saja.
Hal tersebut bukan berarti kita merelativisasi keyakinan yang kita miliki, tetapi justru membumikan keber-Islam-an yang rahmatan lil ‘alamin. Mengapa? Kembali sebagaimana yang disebutkan di atas karena kita ini bukan Nabi dan Rasul, walaupun segudang sumber dan pemikiran yang kita miliki, sekali lagi kita mesti sadar kita ini bukan Nabi dan Rasul yang berkomunikasi ‘langsung’ dengan Allah Swt. Kita tetap yakin agama ini sungguh sempurna mempunyai argumen yang sangat kokoh dari segala sisi, jadi jangan khawatir.
Nah, kembali pada pokok pembahasan cinta dan benci, sudah selayaknya kita mengambil pelajaran dari manusia-manusia suci keluarga Nabi alaihimussalam. Dikisahkan Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib cucu Nabi dicaci-maki oleh seseorang dan beliau bergeming, hanya mendengarkan serta diam seribu bahasa. Ketika itu beberapa orang yang menyaksikan sesak dadanya mendengar caci-maki tersebut yang sebenarnya tidak ada pada diri beliau. Beliau ditanya, “Wahai cucu Rasul, mengapa engkau tidak menanggapi atau membalas caciannya padahal segala caci-maki tersebut tidak ada pada dirimu?” Beliau berkata, “Aku tidak tahu bagaimana mesti membalasnya karena ayahku, ibuku, kakekku tidak pernah mengajarkan kebencian, cacian dan makian (aku tidak diajari membenci).”
Demi Allah, memang Nabi Muhammad Saw dan keluarga sucinya mengajarkan kepada kita juga umatnya apa itu cinta dan mencintai dan bukan mengajarkan benci dan membenci, meski sebenarnya yang terakhir ini tidaklah eksis melainkan hanya bayang-bayang non-eksistensi yang dibisikkan oleh nafsu syaithani.
Mengapa Islam Tumbuh Di Madinah? Sebuah Jawaban Awal
Islam adalah agama pemersatu, agama yang telah mempersatukan dan membangun tali persaudaraan di antara beragam suku Arab yang terus menerus bertikai kala itu. Hijrah Nabi Muhammad ke Kota Yatsrib yang kini disebut dengan Madinah itu secara jelas memanifestasikan hakikat Islam sebagai agama pemersatu, rekonsiliator, dan pengayom toleransi dan pluralisme. Jika di Mekah yang monokultural dan monolitik, Islam tertolak dan Baginda Nabi Muhammad terusir, maka itu menunjukkan sifat Islam yang tidak sesuai dengan lingkungan yang seragam dan tidak menerima perbedaan. Sebaliknya, di Madinah yang multikultural, Islam justru menemukan habitat yang ideal. Di Madinah, Islam tumbuh sehat, kuat dan cepat, dalam milieu yang kondusif. Kenyataan ini memperkuat keyakinan bahwa Islam adalah agama multikultural sejak dalam buaiannya, sejak dalam periode paling awalnya. Dan karena itulah Islam tidak bisa tidak mesti mencari lingkungan dan wilayah multikultural lain agar dapat terus mekar, memperlihatkan keindahannya dan semerbak wanginya.
Dalam bukunya tentang kehidupan Nabi, Muhammad Rasulullah, Syeikh Abul-Hasan Ali an-Nadwi telah mempersembahkan satu bab lengkap mengenai gambaran rinci ihwal struktur sosial Madinah ketika Nabi dan para sahabatnya menetap di sana bersama saudara mereka yang merupakan penghuni tetap kota tersebut. Dia menunjukkan Madinah adalah kota dengan beragam keyakinan, budaya, etnik, bahasa, suku dan kelompok sosial yang memberikan kota itu suatu lanskap plural yang kaya dan penuh warna. Hal ini jelas berbeda dengan situasi Mekah yang bersifat monolitik. Fakta ini menunjukkan bahwa Islam justru dapat tumbuh besar di lingkungan yang tidak monolitik, suatu lingkungan yang terbuka dan menerima perbedaan pandangan dan keyakinan.
Di dalam lanskap multikultural yang seperti inilah Islam dapat hadir dalam kekuatan penuh. Sebaliknya, di Mekah, Islam menjadi agama yang tersisihkan karena masyarakat Mekah pada umumnya tertutup dan statis. Masyarakat Mekah tidak mengenal perbedaan dan keberagaman, bahkan menolak keras segala rupa perbedaan yang coba ditawarkan. Fakta ini memperkuat keyakinan yang menyatakan bahwa Islam adalah agama terbuka, yang akan tumbuh jauh lebih pesat di milieu yang dinamis dan heterogen. Praduga bahwa Islam adalah agama monolitik yang tidak mendukung keberagaman pandangan dan penafsiran adalah miskonsepsi yang nyata. Fakta masuknya Islam ke berbagai wilayah dengan pedang lebih menunjukkan bahwa wilayah-wilayah itu bersifat monolitik dan totaliter ketimbang menunjukkan bahwa Islam adalah “agama haus darah” yang mendorong pengikutnya pada fanatisme dan kekerasan.
Mungkinkah Islam yang sejak semula memiliki memiliki karakteristik seperti itu sekarang malah menjadi sumber konflik sektarian bagi para pemeluknya? Jelas tidak mungkin! Kita perlu mencari akar-akar perpecahan dan konflik tersebut dari luar ajaran Islam itu sendiri. Berbagai pengamatan sederhana sebenarnya dapat menguraikan dilema tersebut. Salah satunya ialah dari kebodohan sebagian penganut Islam mengenai hakikat ajaran Ilahi ini. Kelompok-kelompok yang mencoba memurnikan Islam dengan cara mengkafirkan atau memusyrikan praktik-praktik masyarakat sebenarnya muncul dari kebodohan akan ajaran Islam yang hakiki. Demikian pula dengan anggapan keliru di kalangan sebagian penganut Islam yang mencoba menyamakan fanatisme dengan ketaatan dan keberagamaan yang ketat. Keberagamaan ketat yang bersifat sakral itu tidaklah mungkin berakibat pada fanatisme, melainkan justru akan membawa pada penghayatan ruhani dan tumbuhnya nilai toleransi, kasih sayang dan kemanusiaan dalam diri seorang Muslim.
Pada sisi lain, ada upaya-upaya dari dalam kalangan Islam untuk membebaskan umat dari jeratan fanatisme melalui cara-cara yang ekstrem pula. Mereka muncul dalam baju liberalisme Barat yang kosong dari nilai-nilai Islam dan spiritual untuk kemudian menawarkan sintesis antara Islam dan Barat dalam bentuk yang tidak autentik. Sintesis seperti ini tidak akan melepaskan umat dari belenggu fanatisme, melainkan justru akan membangkitkan letupan fanatisme dan gerakan puritanisme yang lebih anarkis. Oleh sebab itu, cara yang benar untuk membebaskan umat dari jeratan fanatisme ialah dengan kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang sejati, melalui metode pembelajaran dan pengajaran Islam yang rasional, ilmiah dan berpijak pada semangat toleransi dan penerimaan pada keberagaman penafsiran.
Di dalam Islam memang ada dua Mazhab besar. Dua Mazhab Islam itu ialah Ahlusunah dan Syiah. Di dalam Mazhab Syiah ada aliran Itsna ‘Asyariah, Zaidiyah dan Ismailiah. Di dalam Mazhab Ahlusunah, ada aliran Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hanbali. Namun demikian, perbedaan antara kedua mazhab besar itu pada umumnya berkisar pada masalah-masalah politik, fiqih dan historis. Titik-titik persamaan antara keduanya, misalnya, jauh lebih banyak ketimbang titik-titik persamaan antara dua sekte besar dalam Kristen, yakni Katolik dan Protestan. Bahkan, titik-titik perbedaan yang terdapat antara Mazhab Ahlusunah dan Syiah tidak ada yang bersifat mendasar.
Sekadar contoh, Ahlusunah dan Syiah sama-sama mengakui satu bentuk syahadat, satu al-Qur’an, satu Nabi dan satu kiblat. Ahlusunah dan Syiah sama-sama mengakui kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, dan amar makruf nahi mungkar. Shalat yang wajib juga sama: subuh, dzuhur, ashar, magrib dan isya. Rakaat pada masing-masing shalat tersebut juga sama: 2 untuk subuh, 4 untuk dzuhur dan ashar, 3 untuk magrib dan 4 untuk isya. Dengan demikian, perbedaan cabang yang ada di antara Mazhab Ahlusunah dan Syiah, apapun bentuknya, tidak bisa menggugurkan semua persamaan yang menjadikan mereka semua satu bagian dari umat Islam.
Lebih jauh, perbedaan di antara Mazhab Islam sesungguhnya lebih mencerminkan apresiasi terhadap kekayaan sumber-sumber khazanah Islam, ketimbang mencerminkan perbedaan keyakinan. Apresiasi itulah yang secara istilah disebut dengan ijtihad. Dalam sebuah Hadis, Nabi Besar Muhammad pernah bersabda: “Ikhtilafu ummati rahmah” (Perbedaan di dalam umatku adalah rahmat). Jadi, di sini Nabi menyebutkan bahwa perbedaan penafsiran dan pandangan yang ada di dalam umat adalah manifestasi dari berlimpahnya karunia Allah.
Akhir-akhir ini, terutama dengan semakin memanasnya situasi di Timur Tengah, perbedaan antara Mazhab Islam itu kembali menimbulkan gesekan yang berbahaya. Pertikaian yang sebelumnya bersifat politik pun bergulir menjadi potensi konflik sektarian di antara berbagai penganut mazhab yang berbeda dalam Islam. Oleh sebab itu, muncul tuntutan besar untuk kembali mempererat tali persaudaraan di tengah umat dan membangun persatuan Islam (wahdah Islamiyyah), tanpa melihat pada perbedaan2 pandangan yang ada.
Akan tetapi, apakah maksud persatuan Islam atau wahdah Islamiyyah itu? Apakah ia berarti harus ada satu Mazhab yang diikuti dan semua pengikut Mazhab lain bergabung dengannya? Ataukah harus ada satu Mazhab baru yang mempersatukan semua Mazhab yang ada dan meleburnya menjadi satu Mazhab Islam yang tunggal? Ataukah persatuan Islam itu sama sekali tidak berhubungan dengan penyatuan atau penggabungan pandangan dan gagasan dalam bidang fiqih, melainkan kesatuan dan persatuan pengikut semua Mazhab Islam yang semuanya sebenarnya adalah pengikut Islam yang sama dalam membangun cita-cita bersama dan melawan kekuatan musuh yang sama?
Tentu saja, tuntutan dan ajakan kepada persatuan Islam yang sekarang menggema ini tidak lain ialah kesatuan dan persatuan di antara pengikut Mazhab-mazhab Islam sebagai pengikut Islam yang sama dalam rangka membangun kekuatan bersama dan melawan musuh yang sama. Persatuan Islam bukan harus berarti munculnya satu Mazhab Islam baru yang meleburkan semua Mazhab yang ada atau mencegah terjadinya perbedaan pandangan dan memusuhi sarjana atau ulama yang memunculkan penafsiran berbeda tentang Islam. Persatuan Islam yang diserukan oleh banyak ulama Islam, baik dari kalangan Ahlusunah ataupun Syiah, jelas tidak demikian. Karena, persatuan yang demikian justru akan mematikan dan membungkam kreativitas intelektual dan dinamika ilmiah yang menjadi ciri-khas peradaban Islam sejak masa awal sejarah Islam.
Dengan demikian, maksud persatuan Islam ialah penyatuan langkah dan aksi pengikut seluruh Mazhab Islam sebagai umat Islam dalam rangka membangun kekuatan bersama dan melawan kekuatan musuh yang sama. Bila persatuan dalam pengertian ini bisa diwujudkan, maka dunia akan menyaksikan kebangkitan 1,5 milyar penduduk untuk menggulirkan visi Islam yang toleran, pluralis, rekonsiliatif dan terbuka. Mereka akan bergerak menggulirkan platform Nabi Muhammad saat membangun Madinah yang pluralis dalam skala global. Namun sebaliknya, bila 1,5 milyar umat Islam terus-menerus dirundung perpecahan apalagi yang sampai berujung pada pertumpahan darah, maka malapetaka besar akan menimpa masyarakat dunia secara umum.
Oleh sebab itu, upaya-upaya keji dan tidak manusiawi yang mencoba memainkan taktik adu domba antar-pengikut Mazhab Islam harus dicegah. Akibat perpecahan umat Islam adalah bencana kemanusiaan yang bersifat global. Bencana ini ada awalnya, tapi tidak akan ada akhirnya. Apa yang coba dihembuskan dari Irak itu bisa menjadi awal kerusakan yang tidak ada akhirnya, lantaran 1,5 milyar penduduk dunia yang beragama Islam akan masuk dalam lorong absurd yang tidak berujung ini.
Salah satu metode untuk mencegah skenario konflik yang mengerikan itu ialah dengan mengembalikan konflik politik yang terjadi di Timur Tengah pada koridor politik, dan secepat mungkin menghalau spillover-nya kepada wilayah kemazhaban Islam. Semua pihak yang berselisih harus disadarkan bahwa konflik politik tidak boleh sampai menjadi konflik sektarian, sehingga solusinya akan semakin rumit dan jelas. Umat Islam di Irak atau di manapun juga harus dihimbau kembali kepada persatuan, dan memperlebar jiwa toleransi dan rekonsiliasi.
Dalam konteks ini, Bangsa Indonesia jangan sampai terlibat dalam tarik-menarik konflik sektarian yang kini bertiup kencang di Timur Tengah. Sebaliknya, Bangsa Indonesia harus bisa menjadi teladan dalam menciptakan toleransi dan saling pengertian. Sebagai bangsa yang mayoritas memeluk agama Islam, kita bisa menjadi pionir untuk memanifestasikan keberagamaan yang toleran, moderat dan terbuka. Kaum Muslim Indonesia tdk boleh terjebak dalam ekstrem fundamentalisme atapun ekstrem liberalisme. Keduanya bukanlah pola menjalankan Islam yang autentik.
Deklarasi Anti Syiah Bermasalah
Lagi-lagi tentang anti Syiah. Mengafirkan dan menyesatkan Syiah seperti sudah menjadi pekerjaan dan bisnis menggiurkan. Tak heran, banyak orang yang mengaku dirinya intelektual tapi sebenarnya tak paham ilmu agama mendadak menjadi Ustad dak Kyai.
Berbagai cara dilakukan. Mulai dari mencetak buku anti Syiah, ceramah-ceramah anti Syiah dan sebagainya. Entah berapa banyak dana yang mereka terima, yang pasti mereka rela melakukan semua itu meski cara yang ditempuhnya sangat berisiko memecah-belah umat Islam.
Kabar terakhir, tersiar melalui pesan singkat dan media sosial tentang rencana menggalang gerakan menolak Syiah berupa “Deklarasi Aliansi Nasional Anti Syiah.” Acara ini dijadwalkan berlangsung di kota Bandung Jawa Barat pekan ini.
Tak tinggal diam, seorang Kyai NU, KH. Alawi Nurul Alam Al Bantani menyoal rencana tersebut. Bukan untuk menyatakan diri sebagai musuh, melainkan agar warga NU tidak terjebak dalam provokasi kelompok anti persatuan itu.
“Deklarasi nasional kok diadakan di masjid RW,” ungkapnya mengawali kritik.
Kyai Alawi yang sebelumnya meng-counter opini oknum MUI dan DDII melalui buku karanganya yang berjudul “Kyai NU Meluruskan Fatwa-Fatwa Merah MUI & DDII” ini juga menyayangkan keterlibatan tokoh-tokoh yang tercantum di undangan deklarasi anti Syiah itu.
Di sisi lain KH. Alawi juga mempertanyakan kenapa PBNU dan Muhammadiyah sebagai dua ormas Islam besar di Indonesia secara resmi tidak diundang untuk hadir?
“Kalau mau dinamakan deklarasi nasional ya harusnya semua lembaga, ormas, dan elemen masyarakat Islam turut diundang. Kenapa yang diundang Wahabi semua?” ungkap Kyai Alawi sambil menjelaskan tentang tokoh yang namanya dicatut sebagai narasumber dalam undangan deklarasi itu. Salah satunya adalah Ahmad Chalil Ridwan, ketua MUI Pusat, sebagai orang yang vokal menginginkan syariat Islam diterapkan di Indonesia. “Setelah saya cek, ternyata dia merujuk atau mengambil referensinya dari ulama-ulama Wahabi di Saudi,” ungkap Kyai Alawi.
Selain mengundang kalangan Wahabi tanpa menghadirkan ulama dari pihak NU, lebih aneh lagi, kenapa mesti mengundang narasumber dari jauh? Apa para Kyai di Bandung dianggap tak ada yang bisa menjelaskan persoalan agama?” tanya Kyai Alawi.
Bahkan, Habib Zein Al-Kaff yang namanya tertera dalam undangan deklarasi itu juga dinilainya bermasalah. “Ketika dicek ke salah satu organisasi persatuan Habib di Indonesia dan ditanya siapa Habib Zein Al-Kaff? Ternyata jawabannya ‘minus’,” jelas Kyai Alawi.
Karena itu dia menghimbau seluruh warga NU agar lebih cerdas dalam menyikapi gerakan anti Syiah dan semacamnya. Selain tak mudah terprovokasi upaya adu-domba kelompok Wahabi takfiri agar tak ikut menjadi alat pemecah-belah umat Islam. (
Warga Iran Tidak Akan Lakukan Ritual Haji Tahun Ini
#beritadunia.net/ Iran mengatakan tidak akan mengambil bagian dalam ritual tahunan haji di Mekah karena "hambatan" yang diciptakan oleh Arab Saudi.
"Melakukan ritual haji tahun ini hampir tidak mungkin," ungkap Menteri Kebudayaan Iran dan Bimbingan Islam Ali Jannati pada hari Minggu (29/5/16).
"Mengingat cara pemerintah Saudi memperlakukan delegasi Iran dan cara berbicara mereka dalam dua putaran perundingan serta dalam pandangan sabotase dan hambatan yang mereka ciptakan, sangat disayangkan jamaah haji Iran tidak bisa pergi haji tahun ini," tambahnya.
Untuk kedua kalinya, delegasi Iran melakukan perjalanan ke Arab Saudi pada hari Selasa untuk mengadakan pembicaraan terakhir mengatasi perbedaan mereka.
"Dengan semua upaya Republik Islam, Saudi mengabaikan hak mutlak Iran untuk melakukan ritual haji," kata Organisasi Haji dan Ziarah Iran dalam sebuah pernyataan.
Jannati mengatakan Iran sangat prihatin terkait keselamatan jamaah Haji setelah insiden Mina yang telah merengut nyawa lebih dari 2.400 orang, termasuk sedikitnya 460 peziarah Iran, tewas dalam desak-desakan di Arab Saudi tahun lalu.
Menteri lebih lanjut mengatakan,Tehran saat ini tidak dapat mengirim para jamaah haji dengan dukungan diplomatik di Arab Saudi.
Mensos Khofifah Indar Parawansa: "Ini Bukan Undang-Undang Khusus Tentang Kebiri"
#beritadunia.net/ Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mendukung hukuman kebiri untuk penjahat seksual, khususnya terhadap anak bawah umur, demi memberi efek jera, katanya.
"Saya tekankan bahwa ini bukan undang-undang khusus tentang kebiri, tapi revisi dari pasal 81-82 Undang-undang RI nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak," kata Khofifah di Ponorogo, Ahad, 29/05/16, menukil Antara.
Dia mengaku tidak bisa memperkirakan efektivitas hukuman kebiri jika aturan dalam sistem perundangan itu jadi diberlakukan karena yang terpenting pemberlakuan hukuman maksimal diterapkan lebih dulu demi memberi efek jera bagi pelaku kejahatan seksual anak.
"Kan belum pernah dilakukan di Indonesia. Namun di negara Inggris, Jerman dan beberapa negara lain hukuman itu sudah lama diberlakukan dan hasilnya efektif dan mampu memberi efek jera bagi pelaku," ujar Khofifah.
Selain kebiri, lanjut Khofifah, penjahat seksual anak juga akan dipasangi "chip", sejenis alarm otomatis yang akan berbunyi saat si pedofil berdekatan dengan anak bawah umur.
"Pemasangan chips dimungkinkan untuk mencegah pelaku mengulangi lagi perbuatannya," kata Khofifah.
Dia mengakui wacana hukuman kebiri masih menjadi perdebatan, namun Presiden sudah menyetujuinya sehingga mau tidak mau pasti akan diterapkan.