
کمالوندی
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 34
Ayat ke 34
Artinya:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (4: 34)
Kaum lelaki merupakan pemimpin kaum perempuan. Allah melebihkan posisi kaum lelaki dengan alasan mereka menafkahi perempuan dengan hartanya sendiri. Dengan demikian, wajar bila perempuan menaati suaminya. Selain itu, bila suaminya telah meninggal, hendaknya ia menjaga rahasia suaminya. Karena Allah Swt adalah pemelihara rahasia.
Setelah menjelaskan posisi suami dan isteri dalam rumah tangga, Allah kemudian menjelaskan cara seorang suami dalam menghadapi isterinya yang dikhawatirkan melanggar atau tidak taat. Langkah pertama yang harus dilakukan seorang suami adalah menasihati isterinya. Bila cara ini tidak mempan, seorang suami dapat menerapkan langkah kedua dengan pisah ranjang dengan isteri. Bila masih tetap melakukan pelanggaran, maka suami dapat menjatuhkan hukuman kepada isterinya. Tapi ketika terjadi perubahan dalam sikapnya dan mereka sudah menaati suaminya, maka suami tidak boleh menyakitinya. Karena sesungguhnya Allah Maha Besar dan Tinggi.
Ayat ini boleh disebut sebagai kunci al-Quran dalam memberikan solusi bila muncul masalah dalam sebuah keluarga. Tapi sayangnya ayat ini pula yang sering disalahtafsirkan oleh sekelompok orang baik yang beragama atau punya kepentingan tertentu. Dengan bersandar pada ayat ini mereka menganggap dirinya tuan dan isteri sebagai budak. Sebagaimana seorang budak harus menaati tuannya, maka isterinya harus menaati mutlak perintahnya. Padahal ayat ingin memberikan penjelasan lain terkait masalah lain.
Seorang suami yang ingin berlaku semena-mena menjadikan ayat ini sebagai justifikasi atas segala perbuatannya terhadap isterinya. Ia menganggap perintahnya sama seperti perintah Allah. Bila isterinya menentang, maka ia berhak memberikan hukuman yang paling berat. Pandangan yang salah terhadap ayat ini membuat sebagian orang jahil lalu mengolok-olok Islam dan menyebut Islam menentang hak-hak perempuan. Padahal, yang mereka saksikan adalah penerapan yang buruk yang bersumber dari ketidakmengertian mereka akan tafsir ayat tersebut. Penjelasan masalah ini akan dibagi menjadi dua agar dapat dipahami dengan lebih baik.
Pertama, ayat ini memperkenalkan bahwa suami menjadi pelaksana urusan isteri. Ketika melihat keluarga sebagai institusi paling mendasar bagi pembentukan masyarakat, maka sudah barang tentu keluarga punya peran yang sangat penting. Sebuah keluarga dibentuk lewat sebuah perjanjian suci antara seorang laki-laki dan perempuan yang berujung pada lahirnya anak-anak mereka. Tentu saja sebuah keluarga memerlukan seorang penanggung jawab untuk mengurusi urusan mereka. Bila tidak ada seorang pengelola yang bertanggung jawab, maka institusi keluarga akan kacau balau.
Oleh karenanya, penentuan seorang sebagai pemimpin keluarga merupakan kewajiban yang tidak dapat dihindari. Wajar bila anak kecil bukan pemimpin keluarga, adalah perkara yang lazim dan tidak dapat dihindari. Wajar bila pemimpin keluarga adalah suami. Al-Quran memperkenalkan suami sebagai pemimpin rumah tangga dengan dua alasan. Pertama, lelaki dari segi fisik lebih kuat dari perempuan. Dengan karakter semacam ini, seorang suami yang berkewajiban mencari penghasilan untuk menghidupi keluarganya. Sebaliknya, perempuan menurut Islam tidak bertanggung jawab untuk mencari nafkah, bahkan bila ia memiliki mata pencaharian sendiri. Isteri tidak wajib untuk mengeluarkan hartanya untuk membelanjai keluarganya.
Artinya, tanggung jawab berat memenuhi kebutuhan keluarga berada di pundak suami. Ketika ia bertanggung jawab, maka wewenang seorang suami dalam keluarga juga besar, sesuai dengan tanggung jawabnya. Tapi itu tidak berarti seorang suami dapat berbuat sewenang-wenang terhadap isterinya dan memperlakukannya seperti seorang budak yang harus melakukan segala perintahnya. Oleh karenanya, bila seorang suami berbuat salah dan tidak memberi nafkah, misalnya, maka isteri dapat meminta kepada hakim syariat untuk mencampuri urusan rumah tangga mereka dan bila perlu suami harus berjanji di hadapan hakim untuk menjadi suami yang bertanggung jawab.
Satu hal lagi yang patut diperhatikan bahwa kepemimpinan suami di tengah keluarga bukan berarti laki-laki lebih mulia dari perempuan. Karena tolok ukur keutamaan seseorang terletak pada takwa dan iman.
Kedua, ayat menjelaskan tentang dua model perempuan. Ada perempuan yang salehah, taat dan memegang teguh pada sistem keluarga. Ia tidak hanya taat kepada suami ketika ada, tapi juga saat suaminya tidak ada di rumah. Bahkan lebih dari itu, ketika suaminya meninggalpun ia tetap memelihara kepribadian, rahasia dan hak suaminya. Model isteri yang semacam ini mendapat pujian dari Allah Swt. Sementara model yang kedua, seorang isteri yang tidak taat kepada suaminya dalam urusan rumah tangga. Sekaitan dengan isteri yang seperti ini, al-Quran mengingatkan mereka sebaga isteri yang dikhawatirkan menyeleweng.
Bila seorang suami mulai mengkhawatirkan penyelewengan isterinya, maka metode pertama yang harus diterapkan adalah dengan menasihatinya. Bila tidak mempan, maka langkah kedua yang harus diambil adalah pisah ranjang agar isterinya mengetahui bahwa peringatan yang diberikan semakin serius. Tapi bila isteri tetap tidak patuh dengan cara ini, maka suami punya izin untuk menjatuhkan hukuman kepadanya, tapi diberi catatan bahwa hukuman tidak boleh terlampau berat agar isterinya menyadari akan kesalahannya.
Pelanggaran atau penyelewengan isteri dalam al-Quran disebut dengan istilah Nusyuz. Al-Quran memberikan solusi sesuai tingkat penyelewengan yang dilakukan oleh isteri. Artinya, bila penyelewengan atau ketidakpatuhan isteri terhadap suami hanya pada tingkat lisan saja, maka cukup dinasehati dengan lisan. Tapi tidak jarang penentangan isteri sudah sampai pada tingkat perbuatan, maka suami harus meningkatkan cara nasihatnya dengan pisah ranjang. Tapi ketika penentangan isteri sudah mencapai tingkat yang berat, maka di sini ia harus diberi hukum badan.
Ketika seorang suami melakukan pelanggaran, maka yang akan mengadili kesalahannya adalah hakim syariat. Bila pelanggaran seorang suami sudah berat, maka hakim harus menjatuhkan hukuman terhadapnya. Sebagai contoh, ketika suami tidak memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya, maka isterinya dapat mengadukan perbuatan suaminya ke pengadilan. Namun mengingat masalah keluarga itu sifatnya sangat privasi, maka al-Quran menghimbau pasangan suami-isteri hendaknya dapat menyelesaikan masalahnya lewat cara kekeluargaan, sehingga tidak diketahui orang luar.
Dari ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik:
1. Dalam sebuah komunitas yang terdiri dari dua orang, maka salah satunya harus dipilih sebagai ketua yang bertanggung jawab pada komunitasnya.
2. Amal saleh tidak terbatas pada shalat dan puasa, tapi juga melaksanakan tanggung jawaab keluarga.
3. Kepatuhan isteri terhadap suaminya bukan kelemahan, tapi penghormatan kepada institusi keluarga.
4. Suami senantiasa memiliki niat baik dalam usahanya memperbaiki isterinya, bukan niat balas dendam atau lainnya.
5. Suami harus tahu bahwa Allah mengawasi mereka sebagai kepala rumah tangga dan meminta pertanggungjawabannya di Hari Kiamat.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 32-33
Ayat ke 32
Artinya:
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (4: 32)
Allah Swt menciptakan makhluk berdasarkan perbedaan dan bukan pembedaan demi mengatur alam dengan sempurna. Sebagian diciptakan dalam bentuk benda mati, sebagian berupa tumbuhan dan yang lainnya diciptakan dalam bentuk hewan dan manusia. Dari jenis manusia juga diciptakan sebagian laki-laki dan sebagiannya perempuan. Yang lebih unik lagi, tidak ada dua manusia yang benar-benar sama dari segala sisi. Setiap manusia tidak hanya berbeda pada jasad, tapi juga ruh mereka.
Perbedaan antara manusia berdasarkan hikmah dengan tujuan memenuhi pelbagai kebutuhan manusia. Bila kita menyaksikan sebuah kendaraan, untuk membuatnya diperlukan ban yang lentur serta baja yang kokoh untuk motornya, begitu juga kaca yang jernih untuk penglihatan pengemudi. Sebuah mobil juga memerlukan lampu sebagai penerang di malam hari. Artinya, dalam membuat sebuah kendaraan dibutuhkan ribuan suku cadang yang masing-masing berbeda dari segi bentuk, jenis dan kinerjanya, tapi semua bersinergi secara harmonis membentuk sebuah mobil. Alam juga demikian.
Alam dengan segala keagungannya terdiri dari miliaran makhluk hidup dan juga benda mati yang berbeda-beda. Setiap ciptaan Allah ini mengemban tugas dan peran yang berbeda, tapi diperlukan demi keberlangsungan alam ini. Dalam sistem sosial, manusia punya beragam bakat dan potensi yang bila disinergikan dapat menjadi kekuatan yang luar biasa. Potensi dan bakat ini bila diaktualkan dapat menciptakan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
Patut dicamkan bahwa perbedaan bukan pembedaan atau diskriminasi. Karena pertama, Allah tidak pernah berutang kepada makhluk yang akan diciptakan-Nya, sehingga dapat menuntut model penciptaannya sesuai dengan keinginannya. Kedua, perbedaan yang ada itu berdasarkan hikmah dan bukan atas dasar kezaliman, kedengkian dan kikir.
Begitu juga, sekiranya Allah menuntut kewajiban yang sama dari semua manusia, maka perbuatan seperti ini tidak adil dan puncak dari kezaliman, sekalipun Allah memberikan fasilitas yang sama kepada mereka. Karena menurut ayat dan riwayat, Allah menghendaki tugas atau tanggung jawab dari manusia sesuai dengan kemampuan mereka. Allah dalam surat at-Thalaq ayat ke-7 menyatakan, "La Yukallifullahu nafsan illa ma ataha, Allah tidak memaksa siapapun, kecuali sesuai dengan apa yang telah diberikan kepadanya."
Tapi ada poin lain bahwa antara manusia dan makhluk yang lain terdapat perbedaan yang inti. Manusia diberi akal dan kemampuan berpikir sehingga mampu memilih sesuai dengan kehendaknya. Kelebihan ini menjadi landasan bagi manusia untuk menciptakan kemajuan, atau sebaliknya kehancuran. Dengan kata lain, Allah memberikan kemampuan lain bagi manusia yang dapat diraihnya dengan usaha seperti ilmu, kekuasaan dan kekayaan.
Manusia harus bekerja keras untuk meraih keberhasilan. Karena segala kemalasan itu sumbernya manusia sendiri, bukan Allah. Dengan demikian, ketika ayat ini menyinggung masalah nikmat Allah, maka yang pertama itu terkait dengan nikmat yang dianegerahkan oleh Allah dan tidak perlu dicari. Jadi kita tidak boleh dengki akan apa yang diberikan oleh Allah kepada sebagian yang lain dan jangan pula berharap sesuatu yang tidak pantas. Sebagaimana dalam nikmat yang harus dicari dengan susah payah, setiap pria dan perempuan akan memperoleh bagiannya sesuai dengan usaha yang dilakukannya.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Mari melihat potensi yang kita miliki dan memanfaatkannya, ketimbang melihat milik orang lain.
2. sekalipun kita berusaha keras, tapi jangan menghapus peran Allah dalam menyampaikan rezeki. Bekerjalah sambil berdoa.
3. Harapan harus diletakkan pada tempatnya. Karena harapan yang berlebihan penyebab kehinaan.
4. Perempuan berhak atas hartanya yang didapat dari warisan, mahar atau gaji.
Ayat ke 33
Artinya:
Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. (4: 33)
Sebagai kelanjutan dari ayat sebelumnya yang menyebut setiap perempuan dan pria pemilik harta yang diusahakannya, ayat ini menetapkan pria dan wanita berhak mewarisi harta ayah, ibu atau kerabat mereka. Ayat ini melanjutkan bahwa selain warisan dan hasil dari kerja yang diperoleh, segala bentuk perjanjian yang sah yang dilakukan dengan orang lain juga sah dan terhitung menjadi miliknya. Dalam sejarah disebutkan, sebelum Islam terdapat sejenis perjanjian di kalangan Arab dimana dua orang berjanji saling membantu. Bila satu dari mereka mengalami kerugian, maka yang lain wajib menggantikannya, bahkan setelah meninggalpun mereka saling mewarisi harta temannya. Agama Islam menerima perjanjian yang serupa dengan asuransi ini, tapi menolak masalah hak waris di antara keduanya.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Warisan dalam Islam merupakan aturan ilahi dan tidak seorangpun boleh mengubahnya.
2. Wajib menepati janji, khususnya perjanjian yang memiliki nilai uang yang menyebabkan kerugian pihak lain. Janji itu harus dihormati, sekalipun pihak lain telah meninggal.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 26- 31
Ayat ke 26-28
Artinya:
Allah hendak menerangkan (hukum syari'at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima taubatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (4: 26)
Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). (4: 27)
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (4: 28)
Bila ayat-ayat sebelumnya mendorong manusia untuk menikah dan menjelaskan hukum dan syarat-syaratnya, maka tiga ayat ini mengingatkan manusia bahwa apa yang diperintahkan Allah itu demi keuntungan manusia sendiri. Perintah Allah itu ingin mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dan menjauhkannya dari perbuatan nista. Karena kebijakan dan kasih sayang-Nya, Allah senantiasa memberi petunjuk dan mengarahkan manusia. Oleh karenanya, Allah Swt menurunkan nabi dan kitab. Sayangnya sebagian manusia lebih memilih kesesatan dan berupaya menyesatkan orang lain.
Sebagian dari manusia berusaha memuaskan hawa nafsunya dan mengajak orang lain mengikuti tuntutan syahwatnya. Ayat ini menyatakan bahwa hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada manusia tidak sulit. Perintah yang diturunkan Allah bersumber dari ilmu dan kebijakan-Nya. Allah telah mempertimbangkan kebutuhan manusia dan masyarakat, lalu memudahkan keinginan manusia dengan menghalalkan dua bentuk pernikahan guna mengendalikan hawa nafsunya. Hal itu dilakukan agar manusia tidak tercemari oleh perbuatan dosa dan masyarakat terpelihara dari kebejatan sosial.
Dari tiga ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Hukum dan perintah-perintah agama merupakan rahmat dan anugerah Tuhan kepada manusia. Karena Dia memberi petunjuk manusia agar memilih jalan yang benar.
2. Hasrat seksual tidak berbeda dengan naluri lainnya merupakan perkara yang alami dan fitrawi. Namun kebebasan seksual menjalin hubungan di luar ikatan syariat menyebabkan hancurnya sendi keluarga dan masyarakat.
3. Islam adalah agama yang mudah. Prinsip agama memberikan perintah atau tanggung jawab sebatas kemampuan.
Ayat ke 29-30
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (4: 29)
Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (4: 30)
Bila ayat sebelumnya melarang bentuk pemerkosaan dan pelecehan seksual, sekaligus perintah memelihara kesucian keluarga dan masyarakat, ayat ini melarang umat Islam bersikap arogan, mengambil harta atau membunuh orang lain. Dua ayat ini menegaskan agar umat Islam menghargai harta dan jiwa orang lain, sama seperti mereka menghormati jiwa dan hartanya sendiri dan janganlah mereka berlaku keji dan zalim.
Segala bentuk pemerkosaan terhadap harta orang lain adalah perbuatan tercela, kecuali berazaskan transaksi yang sah serta pemiliknya melakukan transaksi ini dengan kerelaan yang penuh. Melanggar harta orang lain adalah sinyalemen kezaliman jiwa pelakunya, dari itulah, perbuatan itu nanti mendatangkan hukuman dan siksaan yang berat, siksaan yang pada hari kiamat nanti berbentuk api yang panas dan membakar yang menelan si zalim.
Dari dua ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Islam menghormati kepemilikan pribadi dan kerelaan pemilik merupakan syarat bertransaksi.
2. Sistem ekonomi yang tidak benar hanya akan melahirkan kesenjangan sosial yang akan melahirkan pelbagai masalah sosial.
3. Islam menilai jiwa manusia sebagai mulia. Oleh karenanya bunuh diri atau membunuh orang lain haram hukumnya.
4. Allah Swt mengasihi manusia, tapi bersikap tegas terhadap para pelaku kezaliman. Karena hak masyarakat sangat penting di sisi Allah.
Ayat ke 31
Artinya:
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). (4: 31)
Ayat ini menjelaskan bahwa dosa itu ada yang kecil dan besar. Tapi harus dicamkan bahwa dosa itu baik kecil atau besar tetap saja tercela di sisi Allah Swt. Pembagian dosa menjadi kecil dan besar kembali pada dampak dosa tersebut. Dalam riwayat telah disebutkan secara terperinci mana jenis dosa yang disebut kecil dan mana yang besar. Semakin luas lingkaran dosa itu, berarti akan semakin besar pula dampak merugikannya bagi orang yang melakukan juga keluarga dan masyarakat. Dalam kondisi yang demikian, dosa yang dilakukan juga semakin tercela di sisi Allah.
Dari sisi lain, sebuah perbuatan dosa kecil yang dilakukan oleh orang biasa tidak akan terhitung kecil bila dilakukan oleh seorang yang tidak biasa, seperti pejabat, ulama dan lain-lain. Karena seorang pemuka masyarakat misalnya, hubungannya tidak terbatas dengan diri dan keluarganya saja, tapi lebih luas dengan masyarakat sekitarnya. Bahkan sebagian orang memiliki hubungan dengan jutaan orang lain. Orang seperti ini, bila melakukan dosa yang terhitung kecil bagi orang biasa akan digolongkan dosa besar. Tapi Allah yang Maha Pengasih masih tetap menunjukkan kasih sayangnya dengan mengatakan, "Bila kalian menjauhi dosa besar, maka Aku akan memaafkan kalian dan memasukkan kalian ke surga."
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Allah Swt mengampuni kesalahan kecil kita. Oleh karenanya, alangkah baik bila kita juga memaafkan kesalahan remeh orang lain dan tidak membesar-besarkannya.
2. Bila dasar pemikiran dan perbuatan seseorang itu bena, Allah pasti akan memaafkan dosa-dosa kecilnya, bahkan tanpa taubat sekalipun.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 24-25
Ayat ke 24
Artinya:
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (4: 24)
Sebagai lanjutan ayat-ayat sebelumnya, ayat ini menyebut jenis perkawinan yang dihalalkan oleh syariat dan mewajibkan orang-orang Mukmin memelihara batasan-batasan ilahi.
Satu dari realitas pahit masyarakat manusia, dari dahulu hingga sekarang adalah munculnya perang dan konflik etnis dan agama yang mengakibatkan banyak korban terbunuh dan mengungsi dari kedua belah pihak yang berseteru. Dampak dari perang ini juga memunculkan banyak keluarga yang kehilangan orang tuanya. Sementara menurut perang di masa silam, tidak disediakan tempat khusus menampung para tawanan, sehingga tawanan pria dijadikan pekerja dan perempuan dijadikan budak. Ketika Islam datang, agama mulia ini menghapus tradisi ini secara prinsipal dengan mengusahakan secara gradual pembebasan budak.
Islam bahkan membolehkan untuk mengawini para tawanan perempuan, bahkan perilaku ini terpuji dalam rangka mengangkat derajat perempuan dari tawanan menjadi isteri dan ibu. Masalah yang muncul bila tawanan perempuan itu dahulunya memiliki suami. Tapi Islam memberikan jalan keluar bahwa setiap perempuan yang ditawan dan menjadi budak itu secara otomatis telah diceraikan dari suaminya. Tapi, untuk kawin lagi, harus diberikan tenggat waktu untuk menjelaskan apakah ia sedang hamil atau tidak. Tentu saja program yang ditawarkan Islam ini lebih baik dan logis, ketimbang mengabaikan tuntutan-tuntutan biologis mereka.
Dalam kasus perang saudara, tidak sedikit kaum pria yang menjadi korban dan akhirnya banyak keluarga yang kehilangan pengayomnya. Islam mengusulkan dua jalan sebagai solusi masalah ini. Pertama dengan poligami, dimana seorang pria dapat beristeri lebih dari satu. Artinya, seorang seorang pria yang memiliki satu isteri dapat mengawini perempuan lain lagi hingga empat dengan syarat semua diperlakukan sama dengan isteri pertama. Poligami telah dijelaskan dalam ayat sebelumnya. Sementara dalam ayat ini ada solusi lain yang disebut nikah Mut'ah atau kawin sementara. Pernikahan model ini tidak berbeda dengan nikah permanen, kedua-duanya dihalalkan oleh Allah Swt dengan perbedaan waktunya terbatas, tapi dapat diperpanjang.
Sejumlah cendikiawan muslim pro-Barat menuding nikah Mut'ah sebagai bentuk penghinaan terhadap martabat perempuan. Padahal di negara-negara Barat justru tidak ada batasan dalam hubungan antara pria dan wanita. Di Barat, melakukan hubungan secara rahasia atau terang-terangan antara seorang wanita dengan beberapa lelaki tanpa aturan dan murni hawa nafsu malah dipandang tidak menyalahi peraturan. Ironisnya apabila hubungan ini diatur dalam kerangka yang jelas dan begitu transparan seperti perkawinan sementara malah dipandang menghina wanita.
Pandangan seperti ini juga berlaku di awal Islam. Perkawinan sementara dilarang sehingga tercipta sarana untuk menjalin hubungan secara rahasia dan perzinahan. Oleh karenanya dengan mencabut hukum perkawinan sementara bukan berarti kemudian kebutuhan biologis manusia berhenti, justru disalurkan melalui cara yang tidak benar.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Masalah sosial harus dilihat secara realistis, bukan mengikuti perasaan dan selera individu atau golongan. Solusi terbaik dengan menerima perintah Tuhan. Karena hanya Allah yang paling mengetahui tuntutan manusia, baik individu maupun sosial.
2. Perkawinan, baik permanen atau sementara merupakan benteng yang kokoh untuk menjaga kehormatan dan kesucian lelaki atau wanita.
3 Kerelaan kedua pihak harus ada dalam menentukan jumlah mahar, bukan hanya pria yang menentukan
Ayat ke 25
Artinya:
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (4: 25)
Pada ayat sebelumnya telah dijelaskan tentang bolehnya menikahi budak dan tawanan perang, dalam ayat ini mendorong para pria muslim yang tidan mampu mengawini perempuan bebas akibat mahalnya mahar, maka mereka dapat mengawini perempuan tawanan perang. Hal itu dilakukan agar mereka dapat menyalurkan kebutuhan seksualnya dan terjaga dari perbuatan keji. Di sisi lain, para perempuan tawanan itu juga diselamatkan dari kondisi terus menjanda. Poin penting yang patut mendapat perhatian di sini, al-Quran mensyaratkan keimanan dalam pernikahan, baik itu dilakukan dengan perempuan merdeka maupun tawanan.
Syarat yang ditetapkan al-Quran menunjukkan bahwa sekalipun sebelum menikah kedua pasangan belum saling mengenal dan bahkan derajat sosial mereka berbeda, tapi keimanan dan ketaatan kepada perintah agama dapat menjadi sarana bagi keduanya untuk hidup bahagia. Sebaliknya, apabila keduanya tidak beriman, maka kekayaan dan kecantikan tidak dapat menjamin kehidupan dan rumah tangga mereka aman dan langgeng. Karena kedua tolok ukur ini akan hilang seiring waktu.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Anda dapat bersabar kawin dengan budak, namun tidak mungkin dapat bertahan dari siksa dosa.
2. Islam memberikan solusi bagi pria yang tidak mampu menikah dengan alasan biaya yang tinggi.
3. Kemuliaan dan kesucian serta jauh dari dosa merupakan syarat utama perkawinan dan kesuksesannya.
4. Orang yang berbuat keji tidak hanya dihukum di Hari Kiamat, tapi juga di dunia. Hal itu dilakukan agar orang lain mengambil pelajaran dan pelakunya tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 19-23
Ayat ke 19
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (4: 19)
Ayat ini diturunkan dalam rangka membela hak kaum wanita dalam persoalan keluarga. Guna mewujudkan hal ini, langkah pertama yang ditempuh al-Quran adalah mengeluarkan perintah larangan kaum pria melakukan tindakan tidak terpuji terhadap perempuan. Di akhir ayat ini dijelaskan satu prinsip umum bagaimana memelihara sistem keluarga.
Menjadikan tolok ukur harta dalam memilih pasangan adalah niat yang tidak terpuji dalam upaya membangun rumah tangga. Karena pada dasarnya, pria yang ingin menikah itu tidak cinta kepada perempuan, atau bila ada itupun tidak sebesar keinginannya untuk menguasai harta perempuan itu. Ayat ini menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh pria itu merupakan kesalahan dan bagi orang yang beriman perbuatan ini tidak menunjukkan keimanan.
Kebiasaan buruk di tengah kaum Jahiliah adalah menekan isteri agar menghalalkan sebagian atau keseluruhan dari maharnya. Hal ini sering terjadi ketika mahar yang diminta oleh pihak perempuan tinggi nilainya. Al-Quran mencegah kebiasaan tidak terpuji ini dan mewajibkan suami untuk menghormati hak dan kekayaan isteri. Mempersulit isteri itu hanya boleh dilakukan bila ia melakukan perbuatan keji, agar dapat menceraikan isteri tanpa harus membayar maharnya. Hal yang demikian menjadi balasan setimpal atas perilaku buruk isterinya.
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan aturan umum agar setiap suami berperilaku baik terhadap isterinya. Bila terjadi suami sudah tidak senang lagi kepada isterinya, atau rasa cinta yang ada sudah semakin berkurang, Allah menekankan agar suami tetap tidak boleh berbuat buruk kepadanya. Karena sangat mungkin ada sejumlah persoalan yang tampaknya tidak menyenangkan suami, tapi Allah memberikan berkah dalam masalah itu.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Jangan menjadikan harta dan kekayaan sebagai tolok ukur dalam memilih isteri. Cinta adalah dasar utama dalam menikah.
2. Mahar adalah milik isteri dan suami tidak berhak memilikinya dengan cara apapun, kecuali dengan kerelaan isteri.
3. Suami bertanggung jawab memelihara institusi keluarga. Segala masalah yang muncul tidak boleh membuatnya bersikap buruk terhadap isteri yang berujung pada perceraian.
Ayat ke 20-21
Artinya:
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (4: 20)
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (4: 21)
Ada kebiasaan buruk di masa Jahiliah yang ditentang keras oleh Islam. Bila ada seorang suami ingin kawin lagi, dengan mudah ia menuduh isteri pertamanya dengan tuduhan yang bukan-bukan. Hal itu dilakukan guna menekan jiwa isterinya dan membebaskannya membayar mahar agar diceraikan oleh suaminya. Setelah menceraikan isteri pertamanya, kemudia ia menikah lagi dengan mahar isteri pertamanya.
Dua ayat ini menentang keras tradisi buruk dan tidak terpuji ini dan mengingatkan kesan pertama saat awal pernikahan. Bukankah pada waktu itu sang suami telah berjanji untuk memberikan mahar kepada isterinya. Setelah hidup bersama bertahun-tahun, bagaimana mereka dengan mudah melanggar janji yang telah diucapkan dahulu. Lebih buruk dari itu, mengapa harus melontarkan tuduhan keji kepada isterinya yang bersih dan suci?
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Islam membela hak wanita dan perkawinan kedua suami tidak boleh mengorbankan hak isteri yang pertama.
2. Mengambil kembali mahar dilarang dalam Islam, apalagi hal itu dilakukan dengan alasan yang dibuat-buat, bahkan dengan tuduhan keji.
3. Akad nikah merupakan perjanjian kokoh, dimana berkat itu Allah menghalalkan seorang pria dan perempuan hidup bersama. Di sini memelihara janji dan berusaha saling memahami merupakan keharusan.
Ayat ke 22-23
Artinya:
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (4: 22)
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (4: 23)
Dua ayat ini secara terperinci menyebutkan kelompok perempuan yang haram dinikahi. Alasan tidak boleh mengawini kelompok perempuan ini kembali pada sifatnya yang menentang fitrah manusia. Tapi secara keseluruhan, ada tiga hal penting yang menyebabkan haramnya pernikahan. Pertama, hubungan nasab atau keturunan yang menyebabkan haramnya menikahi ibu, saudara perempuan, anak perempuan, bibi dan anak perempuan dari saudara laki dan perempuan. Kedua, hubungan sababi (sebab), yang muncul karena perkawinan seorang lelaki dengan seorang perempuan. Setelah menikahi seorang perempuan maka ibu, saudara perempuan dan anak isteri diharamkan baginya. Ketiga, hubungan susuan. Apabila seorang wanita menyusui bayi dalam waktu tertentu, wanita itu dan anak-anak perempuannya yang minum susunya adalah tidak boleh dikawini.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Dilarang menikahi perempuan yang muhrim demi menjaga kehormatan keluarga.
2. Penetapan halal dan haram, seperti masalah pernikahan hanya wewenang Allah Swt.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 15-18
Ayat ke 15
Artinya:
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. (4: 15)
Ayat-ayat pertama surat Nisaa menjelaskan persoalan keluarga. Sementara ayat ini dan selanjutnya akan membicarakan soal hukuman yang akan dijatuhkan kepada laki-laki dan perempuan yang melanggar kesucian keluarga dan telah tercemar. Ayat 15 menyinggung soal hukuman terhadap wanita yang memiliki suami, tapi menjalin hubungan di luar syariat dengan pria lain. Tapi ada poin penting dalam Islam yang tidak memperbolehkan tindakan memata-matai, sekalipun dengan alasan ingin menjaga kehormatan keluarga. Islam juga tidak mendorong manusia untuk membuktikan pelanggaran orang lain.
Bila ada tiga orang adil memberikan kesaksian bahwa seorang perempuan melakukan zina, tapi orang keempat tidak membenarkan, maka kesaksian tiga orang itu tidak diterima. Tidak hanya itu, ketiga orang tersebut akan dihukum cambuk dengan alasan telah mencemarkan nama baik perempuan yang dituduh. Selain itu, hukum zina juga tidak dapat diterapkan kepada perempuan tadi.
Hukum terhadap perempuan yang terbukti berzina di akhir ayat bagi perempuan yang berzina pada mulanya adalah ditahan ditahan di rumah suaminya. Hukum ini untuk menjaga kehormatan keluarga, sekaligus mencegah konsentrasi para penyeleweng dalam satu tempat dan penyebarannya ke orang lain atau perempuan ini justru belajar hal-hal buruk lainnya. Dewasa ini, penjara telah menjadi tempat pertukaran informasi bagi para penjahat. Hukum penjara perempuan bersuami di rumah itu berlaku sampai Allah memberlakukan hukum rajam terhadap mereka.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Memelihara kehormatan seorang mukmin, lebih penting bahkan dari darahnya. Pembunuh cukup dibuktikan dengan dua saksi, sementara zina diperlukan 4 saksi.
2. Islam memberlakukan hukuman berat demi melindungi keluarga dan masyarakat dari penyimpangan.
3. Penjara diperlukan untuk mensterilkan masyarakat. Dalam melaksanakan perintah ilahi, perasaan dan emosi harus dibelakangkan.
Ayat ke 16
Artinya:
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (4:16)
Sekalipun dalam ayat ini bersifat umum dan mencakup pria yang berbuat keji, baik dengan sejenis atau lawan jenis, tapi menurut sebagian besar ahli tafsir ayat ini khusus berbicara mengenai perempuan dan pria yang belum berumah tangga. Bila mereka berbuat zina, maka hukuman yang diterapkan ke atas mereka adalah cambuk.
Tetapi, selagi kesalahannya belum terbukti di pengadilan dan mereka yang tertuduh itu, baik pria maupun perempuan bertaubat dan berusaha memperbaiki diri, maka mereka harus diampunia. Sementara apakah mereka memang benar melakukannya atau tidak harus diserahkan kepada Allah. Karena Allah Maha Penyarang dan Pengampun akan menerima taubat mereka.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Siap saja yang bersalah dalam masyarakat Islam tidak boleh merasa aman dan harus dihukum setimpal dengan perbuatannya.
2. Jangan menutup pintu taubat dan berikan kesempatan kepada orang yang benar-benar menyesali perbuatannya untuk kembali ke pangkuan masyarakat.
Ayat ke 17-18
Artinya:
Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (4: 17)
Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang". Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih. (4: 18)
Menyusul ayat sebelumnya yang menjelaskan kemungkinan bertaubatnya orang-orang yang bersalah, ayat ini menjelaskan syarat dan waktunya bertaubat. Syarat terpenting taubat berawal dari perbuatan dosa itu berasal dari kelalaian, tidak tahu dampak buruknya dan akibat mengikuti hawa nafsu. Dengan kata lain, perbuatan dosa yang dilakukan itu bukan kebiasaan dan tidak atas niat menyepelekan dosa. Syarat kedua, taubat harus segera dilakukan setelah mengetahui buruknya dosa dan penyesalan.
Jangan menunda-nunda taubat, kemudian mengulangi dosa itu, hingga akhir ajal. Karena taubat yang dilakukan setelah mendekati ajal dengan kondisi seperti ini tidak akan diterima oleh Allah Swt. Karena syarat diterima taubat harus ada upaya memperbaiki diri, bila hal itu tidak dilakukan, maka taubat menjadi sia-sia. Menunda taubat bakal menjerumuskan manusia untuk mengulangi perbuatan dosanya, sehingga perbuatan dosa itu menyatu dan menjadi karakternya. Bila sudah demikian kondisinya, taubat yang dilakukannya hanya sekadar lisan, dan tidak benar-benar keluar dari hatinya. Jiwa manusia yang terbiasa melakukan dosa akan sangat sulit untuk kembali ke fitrahnya.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Allah Swt menerima taubat orang yang berdosa. Oleh karenanya, selagi hidupm mari kita gunakan kesempatan ini.
2. Orang yang tidak mampu melawan hawa nafsu sejatinya bodoh, sekalipun ia pandai
3. Kunci diterimanya taubat adalah segera melakukannya dan jangan menundanya
4. Taubat harus dilakukan dengan kehendak, bukan bahaya atau menjelang kematian.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 11-14
Ayat ke 11-12
Artinya:
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (4: 11)
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (4: 12)
Allah Swt dengan kebijaksanaan-Nya menurunkan aturan dan hukum agama yang sesuai dengan kebutuhan alami dan fitrah manusia. Kematian menyebabkan terputusnya semua ikatan duniawi, kepemilikan dan dominasi manusia atas materi. Kematian juga merupakan jalan penghubung manusia untuk memasuki dunia lain. Tapi ada pertanyaan penting, apa nasib semua benda yang diperolehnya semasa hidup dan jatuh ke tangan siapa nantinya?
Di sebagian masyarakat, harta orang yang meninggal dunia dibagikan kepada keluarga dan keturunannya yang laki-laki. Sementara isteri dan anak perempuan tidak mendapat bagian apapun dari harta yang ditinggalkan. Di sebagian tempat harta yang ditinggal mati oleh seseoragn menjadi milik umum, sementara keluarga dan keturunannya tidak berhak sedikitpun darinya. Ajaran Islam datang membawa perintah untuk mengatur masalah pembagian harta warisan yang dikenal dengan hukum waris. Menariknya, ternyata Islam memberikan wewenang untuk membelanjakan sepertiga dari hartanya sesuai keinginan yang meninggalkan harta warisan, sebelum meninggal dunia.
Aturan yang ada dalam Islam membuat mereka yang kaya tetap berusaha mencari rezeki, sekalipun mendekati hari-hari terakhir dari kehidupannya. Karena mereka tahu bahwa sepeninggal mereka, harta yang ditinggal akan terjatuh ke tangan keturunannya yang melanjutkan namanya. Dengan dasar itulah, Islam pada tingkat pertama membagi warisan kepada anak dan selanjutnya kepada kerabat. Dalam pembagian ini anak laki-laki mendapat dua kali lebih banyak dari anak perempuan. Alasannya, kaum lelaki menanggung biaya kehidupan keluarganya, dan mereka lebih memerlukan uang dari wanita untuk membiayai anak isterinya.
Meskipun ketetapan ini secara lahiriah merugikan perempuan, namun dengan memperhatikan ketetapan Islam lainnya, menjadi jelas bahwa ketetapan ini sebenarnya mengutungkan wanita.Karena dalam sistem keluarga Islam, perempuan tidak berkewajiban mengeluarkan uang dan semua keperluan,dari makanan, pakaian dan tempat tinggal ditanggung lelaki. Dalam kondisi yang demikian, perempuan dapat menyimpan semua bagian warisannya atau di belanjakan untuk keperluan pribadinya. Sementara, lelaki minimal harus membelanjakan separuh dari warisannya untuk kehidupan keluarganya, baik nafkah maupun mahar.
Sebenarnya, perempuan menjadi pemilik bagian warisannya dan juga bergabung di dalam separuh dari warisan suaminya. Sebaliknya suami tidak berhak memperoleh bagian warisan isterinya dan ia harus membelanjakan haknya untuk isterinya. Ayat 11 dan12 surah Nisaa yang menjelaskan ketetapan pembagian warisan antara anak anak, orang tua dan isteri yang meninggal, hanya menyentuh sebagian dari hukuman warisan. Oleh karenanya, untuk detilnya harus merujuk ke riwayat yang kuat yang menjelaskan detil masalah warisan. Perlu diketahui juga bahwa pembagian warisan baru boleh dilakukan setelah membayar utang yang dimiliki orang yang meninggal dan melaksanakan wasiatnya. Karena hak orang yang memberi utang dan yang dimaksud dalam wasiat harus didahulukan ketimbang hak para pewaris
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Karena anak merupakan pelanjut ayahnya, maka sudah semestinya ia juga menjadi pewaris ayahnya dan tidak boleh ada yang mencegahnya.
2. Sekalipun bagian warisan anak perempuan setengah dari bagian anak laki-laki, perbedaan itu kembali pada perbedaan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, karena itu merupakan ketetapan Allah, maka sudah selayaknya kita pasrah di hadapannya.
3. Menunaikan hak manusia dan peduli akan hak rakyat sangat penting, sehingga Allah menekankannya sebanyak 4 kali agar para pewaris tidak melupakan hak orang lain.
Ayat ke 13-14
Artinya:
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. (4: 13)
Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (4: 14)
Setelah ayat ayat hukum warisan, ayat ini mewasiatkan orang mukmin agar taat terhadap perintah Tuhan dalam persoalan harta, khususnya warisan dan menghindari segala bentuk pelanggaran dan ketidakpatuhan. Karena, melanggar hak-hak ilahi termasuk dosa besar dan mendatangkan hukuman yang berat.
Ayat ini menjelaskan bahwa taat kepada Tuhan bukan hanya beribadah, melainkan memelihara hak masyarakat dalam persoalan sosial dan ekonomi, merupakan syarat tauhid dan agama dan seorang individu dan keluarga.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Jalan untuk sampai kepada kebahagiaan dunawi dan akhirat adalah mengikuti hukum agama, bukannya mengikuti hawa nafsu.
2. Orang yang melanggar hak orang lain bakal mendapat siksaan yang hina di akhirat, sama dengan orang kafir.
3. Sekalipun orang yang meninggal sudah tidak tahu apakah utang-utangnya telah ditunaikan oleh anak-anaknya, tapi harus diketahui Allah ada. Allah akan menyiksa berat orang yang melanggar hak orang lain.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa ayat 7-10
Ayat ke 7
Artinya:
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (4:7)
Sebelumnya, telah disebutkan ayat-ayat pertama surat Nisaa menjelaskan banyak persoalan keluarga. Salah satu problem keluarga adalah anak-anak yang tidak memiliki pengasuh dan anak yatim. Dalam sebuah riwayat telah disebutkan, salah seorang dari sahabat Rasul Saw meninggal dunia. Sahabat tadi memiliki isteri dan anak, tapi keponakan yang meninggal justru membagi-bagi harta si mayit di antara mereka sendiri dan tidak menyisakan sedikitpun untuk isteri dan anak-anaknya. Karena di masa Jahiliah, hanya lelaki yang memiliki hak waris, bukan anak-anak si mayit atau isterinya.
Ayat ke-7 surat Nisaa diturunkan untuk membela hak-hak kaum perempuan, terutama masalah warisan. Disebutkan, "Sebagaimana kaum pria memiliki hak waris, kaum perempuan juga punya hak yang sama, sekalipun berbeda dalam jumlah. Karena jatah masing-masing telah ditentukan oleh Allah."
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Islam tidak hanya memerintah shalat dan puasa, tapi memberikan perhatian ke seluruh aspek kehidupan manusia. Islam melihat upaya melindungi hak perempuan dan anak yatim sebagai kelaziman iman seseorang.
2. Pembagian warisan harus berlandaskan perintah Tuhan, bukan mengikuti tradisi sosial atau keinginan orang yang meninggal.
3. Poin penting dalam pembagian warisan bukan jumlah, tapi perlindungan hak para ahli waris. Bukan karena jumlahnya sedikit, lalu hak waris seseorang diabaikan.
Ayat ke 8
Artinya:
Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. (4:8)
Demi mengokohkan dan memelihara hubungan keluarga, diperlukan perilaku dan etika yang sesuai. Sebagai kelanjutan ayat sebelumnya, ayat ini membahas hukum warisan dan akhlak.
Disebutkan dalam ayat bila ada kerabat miskin atau anak yatim yang ikut dalam proses pembagian harta warisan, maka bila disepakati oleh ahli waris hendaknya mereka juga diberi bagian walaupun sedikit. Hal ini penting untuk mempererat jalinan keluarga dan mengokohkan hubungan yang ada, sekaligus tentu saja menghilangkan rasa dengki yang mungkin lahir dari kemiskinan mereka. Bila pihak ahli waris sepakat untuk memberikan sedikit bagian kepada kerabat miskin yang hadir, diupayakan agar tetap bersikap sopan dan santun ketika berbicara dengan mereka. Hal ini harus dilakukan agar menghapus kesan bahwa mereka tidak dipedulikan oleh kerabatnya lantaran miskin.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Hendaknya kita memperhatikan harapan orang miskin sebatas kewajaran dan membantu mereka di luar dari kewajiban yang ditetapkan agama.
2. Memberi hadiah dan perhatian dapat mengokohkan hubungan keluarga. Memberikan bantuan berupa materi dan bersikap sopan dapat mencegah munculnya dengki dan dendam di tengah keluarga.
Ayat ke 9
Artinya:
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (4: 9)
Al-Quran memberikan gambaran dalam ayat ini untuk menumbuhkan empati masyarakat akan kondisi anak-anak yatim. Al-Quran mengajak umat Islam membayangkan bagaimana bila anak mereka sendiri hidup di bawah pengawasan orang-orang yang kejam dan sewenang-wenang dalam membelanjakan harta mereka. Allah mengingatkan mereka bila mengkhawatirkan masa depan anak-anaknya sepeninggal mereka, maka hal pertama yang dilakukan adalah takut kepada Allah, tidak menzalimi, berperilaku terpuji, mengasihi dan memenuhi kebutuhan material dan spiritual mereka.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kita harus bersikap yang sama terhadap anak-anak yatim seperti yang kita lakukan terhadap anak kita.
2. Perilaku baik memiliki dampak di dunia, bukan hanya di akhirat. Perilaku baik atau buruk kita akan sampai kepada anak dan keturunan kita.
3. Kebutuhan anak yatim tidak terbatas pada hal-hal materi, tapi yang lebih penting adalah kebutuhan spiritual.
Ayat ke 10
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (4: 10)
Ayat ini menyinggung wajah batin di balik perbuatan kejam terhadap anak-anak yatim. Memakan harta anak yatim sama dengan menelan api dan hal ini akan terbukti dan menjelma pada Hari Kiamat.
Perbuatan manusia di dunia memiliki wajah lahiriah yang kita lihat sehari-hari, tapi juga memilih wajah batin yang tersembunyi. Wajah batin perbuatan manusia akan muncul di Hari Kiamat. Pada hari itu perbuatan yang kita lakukan akan menjelma wajah aslinya. Bila memakan harta anak yatim terlihat betapa pelakunya gembira di dunia, tapi bila melihat dengan mata batin, maka apa yang dimakannya itu sejatinya berupa api. Pada Hari Kiamat yang dimakan itu bukan harta, tapi api yang akan membakar wajah dan tubuhnya.
Dengan demikian, bila ayat sebelumnya menyinggung dampak lahiran dari berbuat zalim terhadap anak-anak yatim, maka dalam ayat ini dijelaskan mengenai dampak batin dari menyelewengkan harta anak yatim.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Memakan harta haram, khususnya milik anak yatim, sekalipun terlihat nikmat, tapi pada hakikatnya mengganggu jiwa manusia.
2. Api neraka sejatinya perbuatan buruk yang menjelma di Hari Kiamat. Karena Allah tidak suka menyiksa hamba-Nya, tapi kitalah yang menjebloskan diri ke api neraka.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 4-6
Ayat ke 4
Artinya:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (4:4)
Surat Nisaa menjelaskan banyak tentang hukum dan masalah keluarga. Satu persoalan yang dibahas terkait pembentukan sebuah keluarga adalah mahar. Tapi yang terjadi di kalangan bangsa Arab di masa Rasulullah Saw, pihak pria tidak bersedia membayar mahar, atau bila mereka membayarnya, mahar itu diambil kembali secara paksa.
Al-Quran dalam surat Nisaa ini berusaha membela kaum perempuan dengen memerintahkan kaum lelaki untuk membayar mahar. Pembayaran yang dilakukan harus dilakukan atas kehendak dan keinginan, bukan karena takut atau terpaksa. Selanjutnya, kaum lelaki diingatkan bahwa mereka tidak berhak mengambil seluruh atau sebagian dari mahar yang telah diberikan kepada wanita. Karena mahar itu milik isteri, bila ia menginginkan untuk mengembalikannya kepada kalian, di saat itu mahar itu menjadi halal bagi kalian.
Beralih dalam penggunaan kata "Nihlah" dalam ayat ini. Oleh pakar bahasa Arab, Raghib Isfahani menyebut kata Nihlah berasal dari Nahl yang berarti lebah madu. Lebah memberikan madu kepada manusia tanpa pernah mengharapkan apapun dari manusia. Al-Quran menyerupakan mahar seperti lebah madu, dimana ia merupakan pemberian dari suami kepada isterinya dan menjadi pemanis kehidupan rumah tangganya. Oleh karenanya, suami tidak boleh berharap mahar yang telah diberikan untuk diminta kembali, sama seperti lebah madu yang tak pernah mengharap apapun dari manusia.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Mahar bukan berarti harga wanita, melainkan hadiah lelaki dan petanda ketulusan lelaki dalam merefleksikan cintanya. Kata "Shadaq" berarti mahar yang berasal dari kata shidq yang artinya kejujuran. Berarti mahar itu sendiri simbol dari kejujuran.
2. Mahar merupakan hak perempuan dan milik isteri yang harus diberikan oleh suami dan tidak boleh diambil darinya.
3. Kerelaan secara zahir saat memberi tidaklah cukup, tapi perlu kerelaan hati juga. Bila, wanita menghalalkan maharnya atas dasar terpaksa dan keberatan, maka pengembalian itu tidak sah sekalipun ia rela secara zahir.
Ayat ke 5
Artinya:
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (4: 5)
Dari ayat-ayat sebelumnya dan selanjutnya menjelaskan bahwa maksud ayat ini memerintahkan agar kalian jangan menyerahkan harta anak-anak yatim kepada mereka selagi belum dewasa dari segi akal dan ekonomi. Selain itu, apabila anak-anak yatim itu bodoh, maka jangan sekali- kali kalian serahkan hartanya kepada mereka. Harta anak yatim harus dijaga dan boleh diniagakan, kemudian keuntungan yang diperoleh dari harta anak-anak yatim itu dibelanjakan untuk keperluan hidup mereka, seperti makanan dan pakaian.
Setelah itu Allah Swt menyinggung nilai etik yang sangat penting, "Bahkan berbicaralah dengan orang-orang yang bodoh dengan baik, bukannya perkataan buruk. Jika kalian tidak memberikan harta kalian kepada mereka, hendaknya kalian harus menghormati mereka dengan lisan dan perilaku".
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Harta dan kekayaan merupakan sarana dinamis masyarakat, dengan syarat diberikan kepada orang-orang yang bersih dan saleh.
2. Dalam masalah ekonomi, keluarga dan masyarakat hendaknya memperhatikan maslahat individu dan sosial.
3. Menurut Islam, harta dan kekayaan dunia bukan hanya tidak buruk dan tercela, melainkan penyebab kekokohan sistem ekonomi, dengan catatan tidak ada di tangan orang-orang yang bodoh.
Ayat ke 6
Artinya:
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (4: 6)
Ayat ini menerangkan secara terperinci metode pemeliharaan harta anak-anak yatim,metodeuntuk membelanjakan harta itu untuk kepentingan mereka dan membuat rancangan kerja untuk melindungi orang lemah dalam masyarakat. Syarat penyerahan harta anak yatim kepada mereka adalah kedewasaan pemikiran yang dapati dibuktikan lewat pengamatan.
Hal lain yang disebutkan dalam ayat ini, sebelum diserahkan kepada mereka, harta anak yatim harus dijaga oleh yang diberi amanat untuk itu, bukannya dibelanjakan sebelum mereka dewasa. Persoalan lainnya, orang yang mengasuh anak yatim, tidak bolehmenggunakanharta anak yatim itu, kecuali bila ia sendiri hidup dalam kemiskinan. Ia hanya diperbolehkan menggunakan uang anak yatim sekadar upah dari jerih payahnya menjaga harta anak yatim itu, tidak lebih.
Masalah penting lainnya, saat melakukan penyerahan harta anak yatim, hendaknya disertai dengan kesaksian orang yang dapat dipercayai. Hal ini sangat diperlukan untuk menghindari segala bentuk sengketa dan konflik yang bakal muncul di kemudian hari.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Untuk menggunakan hartanya, anak yatim disyaratkan sudah dewasa dalam berpikir. Itulah mengapa seorang remaja boleh menggunakan hartanya dengan syarat sudah dewasa secara ekonomi.
2. Perlu keseriusan dalam masalah keuangan dan ekonomi. Selain seseorang harus memperhatikan perintah Allah, ia harus menjaga kehormatannya di tengah masyarakat.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 1-3
Surat an-Nisaa memiliki 176 ayat dan diturunkan di Madinah. Dikarenakan sebagian besar ayat dari surat ini berkaitan dengan persoalan-persoalan keluarga, hak wanita dalam keluarga, surat ini dinamakan Surat an-Nisaa yang artinya wanita.
Ayat ke 1
Artinya:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (4:1)
Nama surat yang berkaitan dengan persoalan keluarga ini dimulai dengan anjuran takwa dan dalam ayat pertama anjuran ini, dinyatakan dua kali. Karena kelahiran dan pendidikan setiap individu terjadi di dalam keluarga. Bila pondasi urusan ini bukan perintah Tuhan, maka tidak ada jaminan untuk kesehatan ruhani dan mental individu dan sosial. Untuk menafikan segala bentuk keinginan untuk unggul sendiri, Allah Swt mengingatkan bahwa semua kalian diciptakan dari satu jenis, maka bertakwalah dan jangan berfikir bahwa keturunan, warna kulit dan bahasa dapat menjadi faktor keunggulan.
Bahkan wanita dan lelaki dengan semua perbedaan-perbedaan yang dimiliki baik dari segi jasmani dan ruhani, tetapi tidak satupun yang lebih unggul dari lainnya. Karena keduanya dari satu jenis dan akar semuanya adalah seorang ayah dan ibu. Pada ayat al-Quran yang lain, Allah Swt menempatkan berbuat kebajikan kepada orang tua dari sisi ketaatan kepada-Nya dan dengan demikian, memandang posisi mereka begitu tinggi dan mulia. Namun dalam ayat ini, bukan hanya orang tua, melainkan setelah nama-Nya Allah Swt menyebut perlu pemeliharaan hak semua keluarga (famili) dan kerabat serta memperingatkan masyarakat agar menjauhi perilaku zalim terhadap mereka.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Islam adalah agama sosial. Oleh karenanya ia menaruh perhatian tentang hubungan manusia antara satu dengan lainnya dalam keluarga dan masyarakat. Kelaziman takwa dan tauhid adalah menjaga hak orang lain.
2. Manusia harus bersatu. Karena segala bentuk diskriminasi antara mereka berdasarkan warna, etnis, bahasa dan kawasan adalah dilarang Allah Swt. Allah menciptakan semua manusia dari satu jenis.
3. Semuan anak Adam adalah satu keluarga. Karena semua dari satu ayah dan satu ibu. Untuk itu semuanya harus saling menghormati seperti keluarga sendiri.
4. Tuhan mengetahui niat kita. Kita tidak patut mempraktikkan diskriminasi terhadap sesama manusia mekipun dalam hati.
Ayat ke 2
Artinya:
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (4: 2)
Ayat ini menyinggung salah satu topik yang menimpa semua masyarakat manusia yaitu anak-anak yatim. Anak-anak yang tak punya pengasuh dan tak mampu menjaga harta warisan. Oleh karenanya mereka diasuh oleh seorang pengasuh yang berpeluang menyalahgunakan harta anak yatim itu.
Pesan penting ayat ini adalah anak-anak kecil yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya seringkali hak-hak mereka terabaikan. Harta waris yang semestinya milik mereka diambil oleh orang lain, atau diberi sesuka hati sang pengasuh, tidak seperti yang ditentukan oleh Allah dalam hukum warisan. Ayat ini melarang segala bentuk penyalahgunaan harta anak-anak yatim. Barang siapa melakukannya berarti ia telah jatuh ke dalam dosa besar. Karena tugas mengasuh anak yatim, adalah memegang amanah dan menyerahkannya kepada anak-anak itu ketika mereka sudah besar kelak, bukannya harta itu dibelanjakan untuk kepenntingan sendiri.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Harta anak-anak yatim harus diserahkan kepada mereka, meskipun mereka tidak tahu ataupun lupa.
2. Anak-anak juga pemilik harta, namun selagi mereka belum mencapai usia dewasa, mereka tidak berhak memegangnya.
3. Islam menaruh perhatian kepada orang-orang tertindas dan anak-anak yang tidak memiliki pengasuh dalam masyarakat dan membela mereka.
Ayat ke 3
Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (4: 3)
Ayat ini berkaitan dengan anak-anak gadis yatim yang selalu menjadi obyek kesewenang-wenangan. Oleh karenanya, Allah Swt berbicara mengenai mereka secara tersendiri dan terpisah serta melarang keras tindakan zalim terhadap mereka ini.
Betapa banyak orang yang meminang anak-anak yatim dengan tujuan menguasasi harta gadis-gadis yatim tersebut. Untuk tujuan ini mereka menggunakan segala cara. Namun al-Quran menyatakan, bila kalian ingin mengawini gadis-gadis yatim dan berniat menzalimi mereka, maka urungkanlan niat tersebut.
Dalam riwayat disebutkan, sebagian orang yang mengangkat anak dari gadis-gadis yatim, namun tidak berapa lama mereka mengawininya dengan niat menguasai hartanya. Bahkan yang lebih buruk lagi, mas kawinnya diberikan di bawah standar. Ayat ini dan ayat 127 turun dan melarang segala bentuk ketidakadilan terhadap mereka. Dikarenakan anak-anak gadis yatim tersebut pada umumnya dijadikan isteri kedua, ketiga atau keempat. Untuk memelihara kehormatana mereka, al-Quran menyatakan, jika kalian berniat kawin lagi, mengapa kalian memilih anak-anak gadis yatim? Carilah wanita lain atau paling tidak kalian mencukupkan diri dengan budak-budak wanita yang kalian miliki.
Meskipun ayat ini mengizinkan kepada lelaki untuk menikah dengan empat wanita, namun perlu diketahui bahwa perkara ini bukan inisiatif Islam. Tapi ini sebuah solusi dari masalah sosial yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Karena Islam selalu berusaha untuk memelihara kehormatan keluarga, menetapkan syarat yang berat baginya. Dengan kata lain, Islam tidak memerintahkan poligami, keduali setelah melihat kondisi realistis dari masyarakat. Untuk itu Islam mengontrolnya dan meletakkan undang-undang yang khas.
Pada kenyataannya, kaum lelaki tidak lebih terjamin keselamatan nyawanya ketimbang kaum wanita. Dalam peperangan, kaum lelaki yang mati, sementara isteri mereka menjadi janda. Dalam kegiatan sehari-hari, kaum lelaki senantiasa menjadi obyek ancaman dan jumlah korban jauh yang jatuh lebih besar dari wanita. Oleh karena itulah, dalam semua masyarakat, usia pertengahan di kalangan wanita lebih banyak dari kaum lelaki. Pertanyaannya, apakah para janda dan wanita itu harus tetap dalam kondisnya hingga akhir usianya?
Di sisi lain, apakah mudah memerintah para pemuda untuk mengawini para janda yang memiliki anak? Lebih buruk adalah kondisi yang berlaku di Barat, dimana tidak ada batasan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Islam tidak ingin mengingkari kebutuhan timbal balik ini. Untuk itu Islam menetapkan hukum yang khusus dan membatasi jumlah isteri. Tapi yang terpenting dalam hubungan ini adalah menjaga keadilan antara isteri.
Apakah ini bertentangan dengan hak wanita? Sementara di masyarakat yang tidak memberikan batasan bagi hubungan laki-laki dan wanita telah mengizinkan segala bentuk hubungan bahkan dengan isteri orang lain. Semua ini disosialisasikan dengan isu-isu kebebasan yang menipu. Apakah hal yang seperti ini menghormati hak perempuan? Al-Quran dalam ayat ini dengan jelas mengatakan, jika kalian tidak dapat membagi keadilan terhadap isteri, maka kalian tidak berhak berpoligami!
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Untuk memelihara kehormatan dan kemuliaan anak-anak gadis yatim dan mencegah segala bentuk penyalahgunaan harta dan kehormatan mereka, Islam menjadikan keadilan sebagai tolak ukur bagaimana bersikap dengan mereka.
2. Salah satu dari syarat memilih isteri adalah cinta. Tidak boleh seseorang dikawinkan secara paksa.
3. Bila muslimin menyalahgunakan poligami, bukan berarti poligami itu sendiri yang buruk. Sebaliknya, masyarakat yang memerlukan poligami, tapi harus diatur undang-undang yang jelas.