
کمالوندی
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 74-76
Ayat ke 74
Artinya:
Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar. (4:74)
Telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu ciri orang munafik ialah umumnya mereka mengelak berjihad di jalan Allah, bahkan mencegah orang lain ikut serta berjihad.
Ayat ini menegaskan bahwa orang yang lari dari perang, tandanya ia tidak beriman kepada Allah dan Hari Kiamat. Jika seseorang meyakini adanya pahala akhirat, niscaya kehidupan dunia dipandangnya sebagai ladang untuk kehidupan abadi dan tentu orang semacam ini akan ringan berjuang di jalan Allah. Karena, manusia mukmin mengetahui tugasnya yaitu membela kehormatan agama di depan musuh dan berupaya menunaikan tugasnya semaksimal mungkin. Sementara mereka tidak pernah berpikir tentang hasilnya, karena semuanya di tangan Tuhan. Kesudahan perang apapun yang terjadi; menang atau kalah, tidak ada beda di sisi Allah. Targetnya adalah menunaikan kewajiban dan bekerja untuk keridhaan Allah, bukan semata-mata mengalahkan musuh.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Tujuan jihad dalam Islam adalah menjaga kemuliaan agama, bukannya untuk ekspansi, balas dendam atau kolonialisasi.
2. Salah satu medan menguji keimanan adalah saat berada di medan tempur. Di situlah seorang mukmin sejati dipisahkan dari yang munafik.
3. Dalam front kebenaran tidak ada istilah lari dan kalah, melainkan syahid atau menang.
Ayat ke 75
Artinya:
Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!". (4: 75)
Ayat-ayat al-Quran seringkali menganjurkan orang-orang mukmin agar menjadikan iman kepada Hari Kiamat sebagai pegangan dan ayat-ayat al-Quran juga acapkali membuat perbandingan antara kehidupan dunia dan akhirat. Di samping itu, al-Quran juga mengajak mukminin agar berjihad di jalan Allah. Ayat ini menggugah emosi manusia dan menghendaki dari mereka agar bangkit berjuang dan berupaya menyelamatkan mereka yang dianiaya orang-orang zalim.
Ayat ini dengan jelas menegaskan bahwa menyelamatkan dan membebaskan orang-orang yang teraniaya dari dominasi orang-orang keji, merupakan tujuan jihad dan itulah yang dikatakan jihad fisabilillah. Seorang mukmin sejati memiliki tanggung jawab di depan agama dan manusia setanah air dan tidaklah sepantasnya mereka mengabaikan kesulitan orang lain dan hanya memikirkan kesejahteraan dan keluarganya sendiri.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Jihad dalam Islam di samping bersifat ilahi, juga manusiawi. Perjuangan untuk pembebasan manusia, adalah perjuangan ilahi.
2. Ketidakacuhan di depan penderitaan dan permintaan bantuan orang-orang teraniaya adalah dosa. Haruslah bangkit dengan seluruh kekuatan untuk membela mereka.
3. Untuk menyelamatkan diri dari cengkeraman orang-orang zalim, haruslah meminta pertolongan dari Tuhan dan para aulia-Nya, bukannya dari setiap orang dan dengan segala bentuk.
Ayat ke 76
Artinya:
Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah. (4: 76)
Untuk memperjelas tujuan jihad, ayat ini menjelaskan tujuan kaum Mukminin dan kaum Kafir dalam melakukan perang. Disebutkan, ahli iman berperang bukan hanya untuk memelihara dan memperkokoh agama Tuhan, dan untuk sampai kepada kekuatan dan kedudukan untuk dirinya, melainkan tujuan mereka adalah keridhaan Tuhan. Sementara orang-orang kafir berperang guna memperkokoh pemerintahan orang-orang zalim dan tiran. Tujuan mereka adalah untuk menguasai orang lain dan menjajah mereka.
Selanjutnya ayat ini bahwa orang-orang mukminin distimulasi untuk berperang melawan kelompok dominan ini. Jangan kalian pikir mereka itu kuat, sementara kalian lemah. Tapi sebaliknya, dengan memiliki iman pada Tuhan, kalian memiliki kekuatan yang paling tinggi dan lantaran mereka mengikuti syaitan mereka itu sangat lemah. Janganlah kalian takut menentang pasukan kafir dan tiran serta perangilah mereka dengan semua kekuatan dan ketahuilah kalian lebih mulia. Sebab mereka pengikut setan, sementara setan adalah lemah di hadapan kehendak Tuhan.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Fi sabilillah artinya keridhaan Allah dijadikan sebagai simbol dan tujuan semua urusan dalam masyarakat Islam.
2. Ketidakpedulian pada urusan sosial dan menghindari jihad tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang mukmin. Di antara tanda iman adalah melawan hawa nafsu.
3. Kufur, thagut dan setan merupakan tiga serangkai yang saling bergantung untuk melanjutkan kehidupan. Dari itulah, masing-masing berusaha untuk menguatkan yang lain.
4.Kesudahan atau akibat mengikuti setan adalah kegagalan. Karena pembelaan setan untuk para pengikutnya adalah sangat lemah.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 69-73
Ayat ke 69-70
Artinya:
Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (4: 69)
Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui. (4: 70)
Menurut ayat-ayat sebelumnya, mereka yang menjalankan perintah ilahi di dunia ini, akan memperoleh berkah dalam kehidupan dunia, serta senantiasa mendapat hidayah khusus ilahi. Sementara ayat ini menyatakan, orang-orang seperti inilah yang nantinya duduk di samping Rasul serta orang-orang saleh serta memperoleh manfaat dari keberadaan mereka di sana.
Dalam surah al-Fatihah yang sering diulangi pada setiap shalat, kita memohon dari Allah agar memelihara kita tetap di jalan yang benar. Jalan orang yang telah diberikan kepada mereka nikmat khusus. Dalam ayat ini, kita diberitahu bahwa orang-orang yang terbaik adalah para nabi, syuhada dan orang-orang suci. Oleh karenanya, dalam setiap shalat, kita mohon dari Tuhan supaya kita dikumpulkan dengan orang-orang terbaik ini.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Cara mendapatkan sahabat yang baik di dunia dan akhirat adalah dengan menaati perintah Tuhan dan Nabi.
2. Dalam memilih teman, iman dan kesucian adalah syarat yang paling mendasar.
3. Iman bahwa Tuhan mengetahui perbuatan-perbuatan kita merupakan dorongan terbaik untuk melaksanakan perbuatan baik.
Ayat ke 71
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama! (4: 71)
Islam sebagai agama kehidupan membuatnya memiliki dimensi individu dan sosial. Oleh karenanya, perintah-perintah al-Quran selain pelaksanaan ibadah dan tugas personal, juga mencakup juga berbagai urusan sosial. Di antaranya persoalan-pesoalan penting sosial adalah cara menghadapi musuh dari dalam dan luar. Al-Quran di dalam banyak ayatnya mengajak orang-orang mukmin agar bersiap siaga untuk membela teritorial Islam dan ajaran Islam. Al-Quran juga menyebutkan bahwa segala bentuk kerugian dan musibah yang dialami manusia di jalan ini memiliki nilai dan kesakralan yang tinggi.
Sebagaimana dalam ayat sebelumnya, kedudukan para syuhada disejajarkan dengan para nabi dan orang-orang saleh, di sini orang-orang mukmin diminta agar meningkatkan kemampuan militernya, sehingga dapat menghalau segala bentuk ekspansi musuh.
Kata "Hidzr" berarti media untuk mempertahankan diri. Dengan kata lain, kalian janganlah menyerang musuh terlebih dahulu. Namun bila musuh menyerang kalian, maka kalian harus memiliki kesiapan membela diri sehingga kemuliaan dan kekuatan kalian terpelihara.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kaum Muslimin haruslah mengetahui metode dan fasilitas militer musuh agar mereka dapat menyediakan peralatan pertahanan dan siap untuk membela diri.
2. Semua masyarakat harus dibekali latihan militer untuk membela tanah air dan agamanya bila musuh menyerang.
Ayat ke 72-73
Artinya:
Dan sesungguhnya di antara kamu ada orang yang sangat berlambat-lambat (ke medan pertempuran). Maka jika kamu ditimpa musibah ia berkata: "Sesungguhnya Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut berperang bersama mereka. (4: 72)
Dan sungguh jika kamu beroleh karunia (kemenangan) dari Allah, tentulah dia mengatakan seolah-oleh belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan dia: "Wahai kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar (pula)". (4: 73)
Ayat sebelumnya menyinggung soal kesiapan Muslimin di hadapan musuh asing. Ayat ini memperingatkan soal keberadaan Munafikin dan musuh-nusuh dari dalam. Orang-orang oportunis yang mengejar kepentingan pribadi dan bukan hanya enggan mengorbankan jiwa di jalan Allah Swt, bahkan mereka menghalangi orang lain dari berjihad dengan tujuan mereka tidak dikenali dan mencolok mata. Ayat ini memperkenalkan ciri-ciri orang orang semacam ini dengan mengatakan bahwa dalam kesulitan masyarakat Islam, mereka menjauhkan diri dan bersyukur kepada Tuhan karena keluar dari bahaya dengan selamat dan ketika muslimin dalam kesenangan dan kemenangan, mereka meratap dan menyesali karena tidak memperoleh rampasan perang.
Dari dua ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik:
1. Medan perang dan jihad adalah medan ujian yang terbaik untuk mengenali Mukminin dan Munafikin.
2. Kehadirin Munafikin di medan pertempuran, melemahkan semangat para pejuang. Oleh karenanya, mereka harus dikenali dan janganlah kalian kirim mereka ke medan laga.
3. Lari dari perang dan medan kesulitan masyarakat Islam, di antara tanda kemunafikan.
4. Kesejahteraan akan bernilai apabila lapisan lain masyarakat juga sejahtera, bukannya seseorang bergelimang kesejahteraan, sementara kelompok lain terjepit kesusahan.
5. Dalam kacamata munafikin kesejahteraan dan kebahagiaan terletak pada kekayaan duniawi kita harus waspada janganlah sampai seperti mereka.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 64-68
Ayat ke64
Artinya:
Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (4: 64)
Bila ayat-ayat sebelumnya mengajak umat Islam untuk tidak meladeni orang-orang Munafik yang tidak ingin menjadikan Rasulullah Saw sebagai hakim mereka saat berselisih, maka ayat ini menjelaskan sebuah masyarakat Islam yang ideal. Di mana dalam masyarakat ideal ini, rakyatnya beriman kepada Allah Swt dan ketaatan mereka kepada pemimpinnya begitu kuat dan kokoh . Sementara mereka yang terlanjur jatuh ke jurang kesesatan dan penyimpangan menyesali perbuatannya dan memohon ampun kepada Allah Swt lewat pemimpinnya. Rasulullah Saw sebagai pemimpin menerima taubat dan istighfar mereka.
Ketika mereka memohon ampun kepada Allah Swt lewat Rasulullah Saw, maka sudah barang tentu Allah pasti mengabulkan doa Nabi-Nya. Bila Allah mengabulkan doa beliau, dengan sendirinya permohonan ampun mereka juga diterima oleh-Nya. Tidak hanya Rasulullah Saw saja yang mendoakan mereka, tapi para malaikat juga mendoakan mereka.
Dalam al-Quran ada dua tempat yang menyebutkan tentang permintaan istighfar dan mendoakan manusia. Pertama, dalam surat as-Syuura ayat 5 disebutkan tentang permintaan istighfar yang dilakukan oleh para malaikat kepada masyarakat, "... dan malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhan-nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi..." dan permintaan ampunan khusus untuk orang-orang Mukmin seperti yang disebutkan pada surat al-Mu'min ayat 7, "(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman...".
Dari ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik:
1. Tujuan dari pengutusan para nabi adalah menuntun masyarakat lewat cara menaati mereka.
2. Ketaatan hanya khusus untuk Allah, bahkan ketaatan kepada para nabi juga harus mendapat izin Allah, bila tidak ada izin, maka ketaatan itu menjadi perbuatan syirik.
3. Taubat akibat meninggalkan pemimpin adalah kembali kepadanya.
4. Meninggalkan para nabi dan menaati taghut merupakan kezaliman terhadap derajat kemanusiaan dari manusia itu sendiri.
5. Hubungan manusia dengan para nabi harus kokoh, baik itu orang mukmin atau fasik. Seorang mukmin untuk mendapatkan hidayah, sementara orang fasik untuk mendapatkan syafaat.
Ayat ke 65
Artinya:
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (4: 65)
Ayat ini diturunkan mengenai perselisihan Zubair bin Awwam dan seorang Anshar soal penyiraman pohon-pohon kurma. Nabi Muhammad Saw kemudian memutuskan karena bagian atas dari kebun kurma itu milik Zubair bin Awwam, maka yang pertama menyiram pohon-pohon kurma itu adalah dirinya. Pria Anshar itu tidak puas dengan keputusan Nabi dan mengatakan beliau membela Zubair yang masih merupakan keponakannya. Wajah Nabi berubah mendengar ucapan itu dan pada waktu itu ayat ini diturunkan yang heran melihat sikap pria Anshar itu. Karena kedua-duanya pada awalnya setuju bila Nabi yang menjadi pengadil di antara mereka, tapi ketika diputuskan, mereka menolak menerima keputusan beliau.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Tanda-tanda keimanan ada tiga; pertama, menjadi Nabi sebagai hakim, bukan taghut. Kedua, tidak boleh berburuk sangka dengan keputusan Nabi dan ketiga, harus menerima keputusan Nabi dengan lapang dada.
2. Selain pasrah lahiriah, Islam juga sangat memperhatikan kepasrahan batin.
3. Kehakiman merupakan salah satu wewenang kenabian dan kepemimpinan.
4. Pasrah di hadapan keputusan Nabi menunjukkan ishmah beliau (kemaksuman).
Ayat ke 66
Artinya:
Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka). (4: 66)
Ayat ini pada hakikatnya penyempurna kewajiban umat-umat terdahulu yang dirasakan sulit. Sebagai contoh, Bani Israil yang menyembah sapi meminta ampun atas kesalahan mereka ini dan agar dosa mereka dapat diampuni, Allah memerintahkan mereka untuk saling membunuh. Karena menyembah selain Allah terhitung dosa besar, maka untuk menghapus dosa semacam ini mereka diperintah untuk saling membunuh dan diusir dari kota.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Orang mukmin harus mengukur dirinya, bila ada perintah yang sulit dari Allah, maka apa yang harus dilakukannya?
2. Hanya sedikit orang yang berhasil lulus dari ujian ilahi.
3. Kebaikan dan kebahagiaan manusia ada pada perbuatannya.
4. Hukum ilahi yang berupa perintah dan larangan pada dasarnya nasihat Allah.
Ayat ke 67-68
Artinya:
Dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami. (4: 67)
Dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus. (4: 68)
Dua ayat ini melanjutkan ayat sebelumnya. Bila ayat sebelumnya menjelaskan tentang kewajiban sulit yang dibebankan Allah kepada manusia, dua ayat ini memberikan kabar gembira kepada mereka yang melakukan kewajiban sulit itu. Allah menjanjikan pahala yang besar kepada siapa saja yang melakukan kewajiban yang sulit dan tidak cukup itu saja, karena Allah juga akan menunjukinya ke jalan yang lurus.
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Untuk sampai kepada kebaikan, manusia harus tegar, istiqamah sambil tetap beramal.
2. Melangkah di jalan kebaikan akan mengantarkan manusia kepada kebaikan yang lebih baik dan sempurna.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 60-63
Ayat ke 60
Artinya:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (4: 60)
Ayat 59 surat an-Nisaa yang telah dibahas sebelum ini menyebut kunci penyelesaian semua perselisihan terletak pada al-Quran dan Sunnah Rasul Saw. Ayat di atas mengkritisi orang-orang yang tidak saleh dan juga penguasa tirani yang anti kebenaran. Mereka itu disifati oleh al-Quran sebagai manusia yang sesat lagi menyesatkan. Sejarah menyebutkan bahwa suatu saat di Kota Madinah, seorang muslim terlibat konflik dengan seorang Yahudi.
Si Yahudi mengusulkan agar merujuk kepada Rasulullah Saw untuk menyelesaikan konflik itu. Rasulullah Saw dijadikan juri untuk menentukan siapa yang salah danbenar. Ironisnya, si muslim yang tidak setuju dengan gagasan itu. Mengapa demikian? Karena ia khawatir, keputusan Rasul Saw berseberangan dengan kepentingan pribadinya yang tidak benar. Ia akhirnya mengusulkan agar rahib Yahudi saja yang menjadi hakim. Seba ia yakin rahib itu dapat disogok dan pasti memenangkannya dalam kasus sengketa dengan si Yahudi. Ayat ini diturunkan untuk mencela perilaku buruk orang muslim tersebut.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Iman tanpa menjauhi kebatilan dan membenci thaghut bukanlah iman yang sejati.
2. Siapa saja yang mengaku beriman tapi dalam perbuatan selalu berpaling dari Tuhan adalah orang yang memusuhi Tuhan dan berada di barisan thaghut.
3. Menerima pemerintahan thaghut sama saja dengan menyiapkan sarana bagi kegiatan setan di tengah masyarakat.
Ayat ke 61
Artinya:
Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (4: 61)
Ayat ini menyebutkan bahwa menjadikan orang non Muslim sebagai hakim merupakan pertanda kemunafikan. Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang Munafik menjauhi al-Quran dan Sunnah Rasul Saw dan menyuarakan aspirasi orang-orang Kafir. Mereka ini bukan hanya tidak menerima hukum dan perintah ilahi, bahkan mengajak orang lain supaya bersikap seperti mereka sehingga tidak ada orang yang menentang mereka.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Tugas seorang mukmin adalah menyeru manusia untuk menyembah Tuhan. Adapun yang diajak itu menerima atau tidak, adalah di luar tanggung jawabnya.
2. Menentang kepeminpinan hak merupakan tanda kemunafikan yang paling nyata.
Ayat ke 62-63
Artinya:
Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna". (4: 62)
Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. (4: 63)
Sebagai lanjutan ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan perbuatan buruk orang-orang Munafik yang mengutamakan orang-orang non muslim ketimbang al-Quran dan Sunnah Nabi, ayat ini menghimbau kaum Muslimin sedapat mungkin agar menghindari konfrontasi fisik secara langsung dengan mereka. Cukuplah dengan dialog dan nasehat serta peringatan akan akibat perbuatan mereka kelak. Karena merupakan urusan Tuhan bagaimana nantinya menghukum mereka.
Salah satu alasan orang-orang munafik tidak suka menunjuk Rasul sebagai hakim, karena mereka yakin Rasul akan bersikap adil dalam menghakimi. Mereka beranggapan bahwa cara ini akan menyebabkan salah seorang dari yang berselisih akan dikecewakan. Oleh kerenanya, mereka tidak ingin kemuliaan dan popularitas Rasul menurun. Itulah mengapa mereka tidak membawa masalah ini kepada Rasul Saw.
Jelas sekali di sini, bahwa alasan-alasan seperti ini adalah untuk lari dari tanggung jawab. Karena bila popularitas Rasul Saw itu harus dipelihara dengan cara seperti itu, maka pasti Tuhan lebih tahu dari mereka.
Dari dua ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik:
1. Sumber penyelesaian masalah individu dan sosial kembali kepada perbuatan manusia itu sendiri. Oleh karenanya, manusia tidak boleh menyalahkan Allah, ketika ditimpa musibah.
2. Berbelit-belit adalah petanda kemunafikan. Sama seperti sikap Munafikin yang ingin melemahkan Rasulullah Saw dengan alasan ingin memuliakan beliau.
3. Orang Munafik bersumpah demi menutupi perbuatan kotor mereka.
4. Biasanya orang yang berbuat keji menutupi perbuatannya dengan menyebutnya sebagai upaya untuk memperbaiki.
5. Dalam menghadapi orang Munafik, terkadang perlu menjauhinya, tapi adakalanya menasihati atau memperingatkannya.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 58-59
Ayat ke 58
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (4: 58)
Berbeda dengan gambaran sejumlah masyarakat yang memandang agama sebagai perkara individu dan hubungan antara dirinya dan pencipta, agama samawi, khususnya Islam, ajarannya diperuntukkan bagi individu dan sosial. Islam bahkan melihat iman dan agama memiliki kelaziman untuk memelihara keadilan dan amanah dalam masyarakat
Dalam beberapa riwayat disebutkan, "Jangan kalian melihat lamanya ruku dan sujud seseorang, tetapi lihatlah kejujuran dan amanahnya. Karena khianat dalam amanah menunjukkan kemunafikan dan sifat bermuka dua. Makna amanah sangat luas mencakup amanah harta, ilmu dan keluarga. Bahkan dalam beberapa riwayat, kepemimpinan sosial dikategorikan sebagai amanah ilahi yang besar, dimana masyarakat harus berhati-hati dan menyerahkannya kepada seorang yang saleh dan layak. Bahkan kunci kebahagiaan masyarakat terletak pada kepemimpinan yang saleh dan professional. Sebaliknya, sumber dari kesulitan sosial adalah para pemimpin yang tidak saleh dan korup.
Amanah yang ada di pundak manusia ada tiga. Pertama, antara manusia dan Tuhan. Artinya, memelihara hukum dan batas-batas ilahi sendiri merupakan amanah yang ada di pundak manusia. Kedua, antara manusia dengan manusia. Seseorang yang diberikan amanah harus mengembalikannya kepada sang pemilik tanpa ditambah dan dikurangi. Ketiga, amanah yang ada pada diri manusia itu sendiri seperti usia, kekuasaan, kemampuan jasmani dan mental. Dari sisi agama, semua itu adalah amanah Tuhan yang ada di tangan kita. Bahkan kita manusia bukan pemilik diri kita sendiri melainkan hanya mengemban amanah. Anggota badan kita harus dimanfaatkan dengan baik di jalan keridhaan Tuhan.
Dari ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik:
1. Setiap amanah memiliki pemiliknya yang harus diserahkan kepadanya. Penyerahan amanah sosial seperti pemerintahan dan pengadilan kepada orang orang yang bukan ahlinya adalah tidak sejalan dengan iman.
2. Amanah harus diserahkan kepada pemiliknya, baik ia itu Kafir ataupun Musyrik. Dalam menunaikan amanah kemukminan si pemilik tidaklah disyaratkan.
3. Bukan hanya hakim yang harus adil, tapi semua orang mukmin haruslah memelihara keadilan dalam segala bentuk penanganan masalah keluarga dan sosial.
4. Dalam memelihara amanah dan menjaga keadilan, haruslah kita tahu bahwa Tuhan sebagai pengawas. Karena DiaMaha Mendengar dan Melihat.
5. Manusia memerlukan nasehat dan penasehat yang terbaik adalah Tuhan yang Maha Esa.
Ayat ke 59
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (4: 59)
Dalam ayat sebelumnya telah disebutkan bahwa dianjurkan menyerahkan urusan pemerintahan dan keadilan kepada orang yang layak dan adil. Ayat ini mengatakan kepada kaum Mukmin, selain taat kepada Tuhan dan Rasulnya, maka haruslah kalian taat kepada para pemimpin yang adil. Karena ketaatan itu merupakan kelaziman iman kepada Tuhan dan Hari Kiamat.
Dalam riwayat sejarah disebutkan, bahwa Rasul Saw ketika berangkat ke perang Tabuk beliau melantik Imam Ali as sebagai penggantinya di Madinah. Beliau berkata, "Wahai Ali! Engkau di sisiku, seperti Harun untuk Musa." Selanjutnya ayat ini turun dan masyarakat diperintah untuk menaatinya.
Berangkat dari ada kemungkinan masyarakat akan berselisih menentukan Ulil Amri, kelanjutan ayat menyatakan, "Dalam keadaan seperti ini, rujuklah kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul yang merupakan sebaik-baik hakim dan sebaik-baik kesudahan bagi kalian. Namun yang jelas, ketaatan kepada Ulil Amri dan Rasul Saw adalah dalam rangka ketaatan kepada Tuhan. Perkara ini tidak bertentangan dengan tauhid. Karena kita menaati Nabi dan Ulil Amri atas perintah Tuhan juga.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Ketaatan kepada Rasul dan Ulil Amri dalam ayat ini bersifat mutlak, tanpa ada syarat yang ditaati harus tidak memiliki kekurangan.
2. Rasul memiliki dua kedudukan. Pertama, menjelaskan hukum-hukum Tuhan dan menunaikan risalahNya. Kedua, mengelola urusan masyarakat dan menjelaskan peraturan-peraturan pemerintahan berdasarkan kebutuhan.
3. Jalan yang terbaik menyelesaikan perselisihan mazhab Islam adalah merujuk kepada al-Quran dan Sunnah Rasul yang diterima oleh semua orang.
4. Masyarakat haruslah menerima pemerintahan Islam dan mendukung para pimpinan yang adil.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 53-57
Ayat ke 53-55
Artinya:
Ataukah ada bagi mereka bahagian dari kerajaan (kekuasaan)? Kendatipun ada, mereka tidak akan memberikan sedikitpun (kebajikan) kepada manusia. (4: 53)
Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar. (4: 54)
Maka di antara mereka (orang-orang yang dengki itu), ada orang-orang yang beriman kepadanya, dan di antara mereka ada orang-orang yang menghalangi (manusia) dari beriman kepadanya. Dan cukuplah (bagi mereka) Jahannam yang menyala-nyala apinya. (4: 55)
Dalam ayat sebelumnya telah disebutkan bagaimana kaum Yahudi meminta bantuan kaum Musyrikin Mekah guna mengalahkan kaum Muslimin di Madinah. Ayat ini ditujukan kepada mereka dan menanyakan apakah kalian melakukan perbuatan ini dengan harapan mendapatkan kekuasaan dan pemerintahan? Padahal kalian tidak memiliki kelayakan itu. Karena jiwa monopoli telah begitu kuat membelenggu, maka kalian tidak akan memberikan hak kepada orang lain. Kalian mengambil semua hak orang lain untuk diri sendiri.
Selain itu, mengapa kalian tidak tahan menyaksikan kaum Muslimin yang berkuasa dan menyimpan dendam terhadap mereka? Bukankah Tuhan telah menganugerahkankekuasaan kepada para nabi terdahulu dari keturunan Nabi Ibrahim as? Lalu mengapa kalian heran? Bukankah Tuhan telah memberikan kitab samawi dan kekuasaan kepada Musa as, Sulaiman, Dawud? Lalu mengapa kalian dengki terhadap Muhammad lantaran kitab dankekuasaan yang diberikan oleh Tuhan kepadanya? Bahkan tidak hanya itu, kalian memandang kaum Musyrikin lebih baik daripada Muslimin.
Ketika itu, al-Quran mengatakan kepada kaum muslimin, walaupun masyarakat di era itu sebagian ada yang beriman dan sebagian lagi menentang, tapi kalian tidak boleh berputus asa meyaksikan kaum Yahudi tidak mau beriman kepada Islam. Jangan juga berputus asa menyaksikan kedengkian mereka terhadap kalian. Karena hal ini telah terjadi sepanjang sejarah.
Dari tiga ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kenalilah musuh dan mantapkanlah keyakinan agama kalian. Karena ketahuilah bila suatu hari kaum Yahudi itu mendapatkan kekuasaan, maka mereka pasti akan mengabaikan kalian.
2. Sifat kikir, berpikiran sempit dan menilai sesuatu tidak adil merupakan tanda-tanda orang yang cinta materi dan kekuasaan.
3. Apa yang dimiliki orang lain adalah dari rahmat dan karunia Tuhan. Sementara orang yang dengki pada hakikatnya ia memprotes tindakan Tuhan. Daripada mendengki nikmat Tuhan yang diberikan kepada orang lain, sebaiknya manusia selalu optimis akan karunia dan rahmat-Nya yang tiada terbatas.
4. Mengharapkan semua manusia beriman adalah harapan yang sia-sia. Allah Swt menghendaki semua manusia bebas memilih jalan masing-masing.
Ayat ke 56
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (4: 56)
Setelah ayat-ayat sebelumnya menceritakan kedengkian dan kebencian segolongan manusia kepada para nabi dan ajarah ilahi. Sementara ayat ini memberitahukan tentang adanya siksaan pedih yang akan menimpa mereka kelak di Hari Kiamat. Siksaan tersebut setimpal dengan perbuatan mereka. Karena orang yang disepanjang usianya menentang kebenaran dan semakin lama penentangannya itu semakin besar, maka mereka pantas mendapatkan siksaan yang abadi. Jadi ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang yang menentang Islam janganlah mengira bahwa mereka akan dibakar hanya sekali pada Hari Kiamat dam todal ada siksaan berikutnya. Ketika kulit mereka sudah terbakar, Allah Swt akan membuat kulit baru buat mereka menggantikan yang lama dan begitulah seterusnya.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Berbeda dengan di dunia, siksaan akhirat tidak pernah berkurang rasa pedihnya.
2. Siksaan di akhirat tidak terbatas pada siksaan mental saja, tapi juga badan, seperti kulit yang dibakar.
3. Siksaan ilahi adalah balasan dari perbuatan manusia. Siksaan itu bukan kezaliman Tuhan kepada hamba-Nya. Allah menghukum hamba-Nya berdasarkan hikmat dan kebijaksanaan.
Ayat ke 57
Artinya:
Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang shaleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal mereka di dalamnya; mereka di dalamnya mempunyai isteri-isteri yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman. (4: 57)
Setelah menjelaskan siksaan orang-orang Kafir pada Hari Kiamat, ayat ini menjelaskan soal pahala besar orang-orang Mukmin. Disebutkan, apabila iman dan keyakinan kepada Tuhan disertai dengan melakukan perbuatan baik, maka ia akan mendapat ganjaran yang baik pada Hari Kiamat. Allah Swt menempatkan orang-orang semacam ini di surga yang hijaudenganpepohonan yang rindang dan lebat. Mereka di Hari Kiamat tidak sendirian.Karenamerekabersama isteriya yang bersih dan suci. Berkumpul kembali dengan isterinya merupakan kenikmatan yang lengkap, setelah di dunia mereka meninggalkan kelezatan duniawi dan meninggalkan apa yang diharamkan oleh Tuhan.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Manusia dalam berbuat memiliki kebebasan untuk memilih jalan. Oleh karenanya, siapa yang memilih jalan yang sesat, maka ia pasti mendapatkan siksa. Sementara iman mendatangkan kesucian dan ketenangan.
2. Kesucian bagi wanita dan laki-laki adalah suatu nilai. Oleh karenanya, saat menyifati isteri di surga, lebih menekankan kesucian dari pada kecantikan.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 48-52
Ayat ke 48
Artinya:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (4: 48)
Melanjutkan ayat-ayat sebelumnya yang berbicara tentang Ahlul Kitab; Yahudi dan Kristen, ayat ini melarang segala bentuk akidah dan perbuatan yang berujung pada kesyirikan kepada Allah Swt. Ayat ini juga menyebut perbuatan syirik bahkan menjauhkan manusia dari tauhid dan berbuat dengan dasar ikhlas. Selain itu, meskipun Allah Maha Pengasih dan Penyayang, namun Dia tidak akan memaafkan dosa syirik. Karena syirik dengan sendirinya menghapus keimanan dalam diri manusia.
Sebagai catatan, ampunan Allah yang dimaksud dalam ayat ini adalah ampunan tanpa taubat. Artinya, Allah Swt mengampuni dosa siapa saja yang dipandangnya layak sekalipun ia tidak bertaubat. Namun untuk dosa syirik tidaklah demikian. Selagi seseorang melakukan dosa syirik tidak bertaubat, maka ia tidak akan mendapatkan ampunan Allah Swt. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ayat ini adalah ayat yang paling memberikan harapan kepada Mukminin. Karena ayat ini tidak membiarkan orang-orang yang berbuat dosa, sebesar apapun dosanya itu, merasa berputus asa dari rahmat Tuhan. Ayat ini memberikan harapan akan datangnya ampunan ilahi kepada mereka.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Syirik mencegah seseorang memperoleh rahmat ilahi. Orang musyrik membuat dirinya sendiri jauh dari rahmat ilahi.
2. Kebohongan yang paling besar adalah menisbatkan syirik kepada Tuhan.
Ayat ke 49-50
Artinya:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih?. Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak aniaya sedikitpun. (4: 49)
Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka). (4: 50)
Ayat ini melarang Ahlul Kitab dan Muslimin merasa dilebihkan dan menang sendiri. Menurut al-Quran, setiap Ahlul Kitab dan Muslimin memandang orang lain berbuat salah, dan pada saat yang sama kalian memuji diri sendiri dan merasa jauh dari kesalahan dan dosa? Padahal hanya Tuhan lah yang mengetahui isi hati kalian. Hanya Dia yang mengetahui siapa di antara kalian yang layak dipuji. Dia lah yang membersihkan mereka dari kekotoran dan kekejian sesuai dengan perbuatan manusia itu sendiri.
Dengan kata lain, keutamaan sejati adalah keutamaan yang memang dipandang mulia oleh Tuhan, bukannya apa yang dipandang oleh orang-orang sombong dan egois sebagai suatu keutamaan dan kelebihan dari orang lain, kemudian dinisbatkan kepada Tuhan. Karena hal yang demikian tidak lebih dari satu kebohongan. Bahkan rasa sombong yang lahir karena merasa paling taat beragama pada jiwa orang-orang mukmin merupakan suatu bahaya dan penyakit yang mengancam para pengikut agama. Karena ayat ini dan ayat lain al-Quran mengangkat persoalan bahaya kesombongan agamis dan memberi peringatan kepada orang-orang Mukmin.
Imam Ali as dalam khutbah Hammam menjelaskan, "Di antara petanda orang-orang bertakwa adalah setiap kali dipuji mereka takut dan khawatir. Jenis mereka ini adalah bukannya tidak suka memuji diri sendiri, tapi bila ada orang lain memuji mereka, mereka cemas jangan sampai terjerumus ke sifat sombong."
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Nilai pujian ada pada pujian Allah kepada hamba-Nya, bukan pujian manusia kepada dirinya sendiri.
2. Memuji diri sendiri bersumber pada kesombongan seseorang. Sifat ini berseberangan dengan jiwa seorang hamba Tuhan.
3. Merasa dekat dengan Tuhan, tanpa ada buktinya merupakan penipuan kepada Tuhan dan mendatangkan siksaan yang besar.
Ayat ke 51-52
Artinya:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang Kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. (4: 51)
Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Barangsiapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya. (4: 52)
Dalam riwayat yang dinukil oleh buku-buku sejarah, setelah perang Uhud ada sekelompok orang Yahudi Madinah yang mendatangi kaum Musyrikin Mekah untuk mengajak mereka bersama-sama memerangi kaum Muslimin. Guna menarik hati orang-orang Musyrikin, kaum Yahudi bersujud di depan berhala mereka dan berkata, "Menyembah berhala milik kalian lebih baik dari keimanan Muslimin." Padahal orang-orang Yahudi masih terikat janji untuk tidak melakukan makar terhadap kaum Muslimin. Apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi ini berarti telah melanggar janji mereka dan berbaiat dengan para pemuka Quraisy untuk melawan kaum Muslimin demi meraih cita-cita kejinya.
Aneh melihat sikap orang-orang Yahudi yang tergolong Ahlul Kitab ini. Untuk merealisasikan tujuan buruknya, mereka harus mengakui akidah khurafat penyembah berhala masih lebih baik dari akidah Islam. Lebih buruk lagi, mereka bahkan menyanggupi akan menyerang umat Islam bersama-sama kaum Musyrikin. Sikap dan perbuatan mereka ini merupakan dosa besar yang menyebabkan mereka dikutuk oleh Allah dan dijauhkan dari rahmat-Nya.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Tujuan yang buruk membuat orang Yahudi siap bersama para penyembah berhala untuk memerangi Islam.
2. Sikap membangkang akan menutup mata, telinga dan lisan manusia dari kebenaran. Orang Yahudi menentang Islam, bukan karena benci Islam, tapi Islam menjadi kendala mereka meraih kepentingan duniawinya.
3. Pembela sejati manusia adalah Tuhan. Setiap orang yang menjauhkan dirinya dari rahmat Tuhan berarti telah kehilangan penolongnya.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 44-47
Ayat ke 44-45
Artinya:
Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang telah diberi bahagian dari Al Kitab (Taurat)? Mereka membeli (memilih) kesesatan (dengan petunjuk) dan mereka bermaksud supaya kamu tersesat (menyimpang) dari jalan (yang benar). (4: 44)
Dan Allah lebih mengetahui (dari pada kamu) tentang musuh-musuhmu. Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi Penolong (bagimu). (4: 45)
Ayat ini diturunkan berkaitan dengan para cendikiawan Yahudi yang tinggal di kota Madinah ketika datangnya Islam. Sepatutnya mereka itu mengimani Rasul dan al-Quran, namun ironisnya, sejak awal mereka mencoba memusuhi dan menentang Rasul, bahkan mereka bekerjasama dengan kaum Musyrik Mekah. Ayat ini mengingatkan bahwa para cendekiawan Ahlul Kitab mengetahui firman Allah, tapi tidak menjadikan Kitab sebagai jalan petunjuk kebenaran bagi diri mereka sendiri. Tidak cukup itu, mereka malah menyesatkan orang lain yang ingin beriman kepada Allah Swt. Allah menegaskan kepada umat Islam agar mereka tidak takut terhadap permusuhan kaum Musyrik. Karena kaum kafir tidak terlepas dari kekuasaan ilahi dan kalian juga pasti mendapatkan bantuan Allah.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Mengenali Kitab Allah dan hukum-hukum ilahi dengan sendirinya tidak menjadi penyebab kebahagiaan dan keselamatan.
2. Musuh utama masyarakat Islam adalah musuh agama dan ideologi, baik di dalam maupun di luar negeri.
3.Allah hanya akan melindungi orang yang berpegang teguh pada-Nya.
Ayat ke 46
Artinya:
Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: "Kami mendengar", tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka mengatakan pula): "Dengarlah" sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan): "Raa'ina", dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: "Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami", tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis. (4: 46)
Salah satu cara penentang Islam mengganggu adalah dengan menghina dan mengolok-olok. Al-Quran banyak mengutip sikap dan gangguan para penentang Islam ini. Jelas, mereka memilih cara ini karena tidak punya kemampuan melawan logika Islam. Mereka hendak mempertunjukkan kedengkian dan dendam mereka terhadap Islam. Dalam ayat ini disebutkan, beberapa orang Yahudi menyalahgunakan penggunaan kalimat serta menyindir Rasul dengan mengatakan, "Engkau yang berkata, sementara kami yang tidak mendengarkan dan kami juga berkata, engkau tidak mendengar, karena apa yang engkau katakan adalah untuk membodohi kami. Inilah yang menyebabkan kami tidak menaatimu."
Mereka bahkan menyalahgunakan kata yang mirip. Ketika Rasul Saw membacakan ayat-ayat al-Quran, kaum Muslimin berkata, "Wahai Rasul! Raa'ina!" Artinya, bertenggangrasalah kepada kami, dan berikan kepada kami kesempatan untuk dapat mendengarkan perkataanmu dengan lebih baik dan kami simpan di dalam ingatan kami. Adapun kaum Yahudi menggunakan kalimat ini di depan Rasul, dan yang dimaksudkan adalah arti lainnya yaitu membodohkan. Oleh itulah, Allah berfirman ditujukan kepada mereka dan juga kaum Muslimin agar mereka menggunakan kata "Undzurna" sebagai ganti kalimat "Raa'ina" yang memiliki arti memberikan peluang dan tidak memiliki makna buruk tadi.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kita harus bersikap obyektif, sekalipun di hadapan para musuh. Ayat ini tidak mencela semua orang Yahudi, tapi hanya kepada mereka yang benar-benar mencemooh.
2. Tidak boleh menodai kesucian agama, baik terkait pemimpin maupun hukumnya.
3. Keselamatan manusia terletak pada kepatuhannya kepada Nabi dan Allah.
Ayat ke 47
Artinya:
Hai orang-orang yang telah diberi Al Kitab, berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (Al Quran) yang membenarkan Kitab yang ada pada kamu sebelum Kami mengubah muka(mu), lalu Kami putarkan ke belakang atau Kami kutuki mereka sebagaimana Kami telah mengutuki orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. Dan ketetapan Allah pasti berlaku. (4: 47)
Sebagai kelanjutan ayat-ayat sebelumnya yang ditujukan kepada Ahlul Kitab, ayat ini mengatakan kepada mereka, "Kalian telah mengenal Kitab Allah dan semestinya kalian lebih punya kecenderungan kepada Islam. Sebenarnya kalian tidak dapat dibandingkan dengan orang-orang Musyrik yang sama sekali tidak memiliki latar belakang keimanan kepada Allah. Terlebih lagi Islam sejalan dengan Kitab kalian yang mengesakan Allah. Ayat ini kemudian menjelaskan sebuah prinsip penting bahwa bila kalian memungkiri kebenaran atas sifat kebencian dan mengolok-olokinya, sebenanya kalian telah menghapus fitrah kalian sendiri. Bila hal ini terus berlanjut, berarti kalian telah menghapus fitrah kalian dan secara perlahan-lahan sifat kemanusiaan kalian akan sirna.
Ayat ini berbicara tentang perubahan wajah manusia yang mengisyaratkan bahwa alat pemahaman manusia berada di kepalanya. Al-Quran menyebut ketidakberdayaan manusia memperoleh hakikat dan kebenaran dengan terhapusnya wajah mereka. Demikianlah adanya ketika lidah tidak mau mengkaui kebenaran, maka mata, telinga dan akal lambat laut menyeleweng dan melihat kebenaran terbalik menjadi kebatilan.
Sama halnya ketika manusia melihat alam sekitarnya dari balik kaca mata hitam. Semua yang dilihatnya di siang hari terlihat gelap seperti di malam hari. Ayat ini menyinggung peristiwa penyelewengan beberapa orang Yahudi dari hukum Tuhan, tentang libur di hari Sabtu. Dalam ayat ini Allah mewanti-wanti orang Yahudi bahwa bila sebelumnya mereka yang melanggar larangan hari Sabtu dijatuhi sanksi dengan mengubah wajah mereka seperti kera, maka kalian juga akan binas bila mempermainkan ayat-ayat al-Quran.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Saat mengajak orang lain kepada Islam, kita juga harus mengakui kebaikan orang lain.
2. Prinsip universal semua agama itu sama.
3. Islam menyeru para pemeluk Yahudi untuk meningkatkan iman dan menerima Islam.
4. Salah satu penyebab turunnya siksa dunia adalah mempermainkan kesucian agama.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 39-43
Ayat ke 39
Artinya:
Apakah kemudharatannya bagi mereka, kalau mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan menafkahkan sebahagian rezeki yang telah diberikan Allah kepada mereka? Dan adalah Allah Maha Mengetahui keadaan mereka. (4: 39)
Sebagai pelengkap ayat-ayat yang lalu, ayat ini menyatakan bahwa jiwa yang kikir menyebabkan hilangnya atau terkikisnya keimanan kepada Allah Swt dan Hari Kiamat dalam diri manusia. Karena membayar zakat dan sedekah merupakan kelaziman iman. Orang muslim yang tidak melakukan ini berarti ia lebih mengutamakan hartanya, ketimbang Allah. Orang yang lebih mementingkan harta selain Allah Swt menjadi kewajaran bila ia juga enggan mengeluarkan hartanya di jalan Allah.
Bila orang seperti ini mengeluarkan hartanya untuk kepentingan sosial, maka sudah barang tentu niatnya bukan karena Allah, tapi demi status sosial yang bakal diraihnya dengan perbuatan itu. Tapi orang yang seperti ini bakal merugi di Hari Kiamat, ketika mendapatkan perbuatannya yang disanka bakal mendapat pahala dari Allah, ternyata sia-sia. Lebih buruk dari itu, ia diperintahkan untuk meminta balasan kepada mereka yang menjadi niatan dari perbuatannya itu. Inilah tipu daya setan yang dilakukan terhadap manusia.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Berinfak dan amal saleh lainnya harus bersih dari riya, bila ingin diterima oleh Allah.
2. Berinfak dan sedekah bukan berarti kita menjadi miskin, tapi menjadi bekal di Hari Kiamat nanti.
3. Allah mengetahui segala niat perbuatan kita.
4. Infak dapat dilakukan dengan banyak cara dan tidak terbatas pada harta.
Ayat ke 40
Artinya:
Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (4: 40)
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa orang yang kikir terhadap orang miskin telah mengkufuri nikmat ilahi. Orang seperti ini bakal mendapat siksaan yang pedih. Sementara dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa siksaan itu bukan kezaliman Tuhan terhadap manusia, tapi hasil dari perbuatan mreka sendiri. Terlebih lagi, akar dari kezaliman tidak terlepas dari dua hal; kebodohan atau kesombongan. Padahal Allah suci dari segala kekurangan. Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk menuduh Allah berbuat zalim kepada makhluk-Nya, tapi yang terjadi manusia sendirilah yang menzalimi dirinya dengan perbuatan buruk.
Selanjutnya Allah mengajak manusia agar berbuat kebajikan kepada sesama. Barang siapa yang menerima seruan ini, Allah pasti memberikan pahala beberapa kali lipat baginya di dunia dan di akhirat. Dalam ayat lain Allah menyebutkan akan memberi ganjaran orang yang berinfak dengan tulus hingga 700 kali lipat.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Bencana jangan dipandang sebagai kezaliman Tuhan, tapi hal itu berawal dari sifat kikir dan kekufuran kita.
2. Hukuman yang diterapkan Allah setara dengan perbuatan buruk yang dilakukan manusia. Allah tidak akan menambah atau mengurangi sedikitpun.
Ayat ke 41-42
Artinya:
Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (4: 41)
Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul, ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadianpun. (4: 42)
Salah satu dalil terbaik yang membuktikan bahwa Allah tidak berbuat zalim kepada seorangpun adalah pengadilan di Hari Kiamat yang mengetengahkan banyak saksi. Dalam pengadilan itu yang akan bersaksi adalah anggota tubuh manusia sendiri, kesaksian para malaikat dan yang terakhir adalah kesaksian dari setiap nabi atas kelakuan umatnya. Dengan demikian, pengadilan Hari Kiamat akan mengetengahkan paling sedikit tiga saksi atas setiap perbuatan yang dilakukan manusia.
Dihadirkannya Rasulullah Saw sebagai saksi menyebabkan orang-orang kafir dan para penentang beliau berharap tidak pernah dilahirkan di dunia. Bila telah dilahirkan mereka berharap tetap tinggal dalam tanah kuburan dan tidak dibangkitkan bersama manusia yang lain untuk diadili. Namun harapan dan penyesalan ini sudah tidak berguna lagi. Dengan adanya tiga saksi yang akan dihadirkan dalam pengadilan Hari Kiamat, maka tidak ada lagi celah untuk menyembunyikan perbuatan buruk. Lebih dari itu, tidak ada ucapan dan pikiran yang tersembunyi dari Allah Swt.
Dari dua ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Para nabi adalah bukti bagi manusia dan juga bagi diri mereka sendiri. Allah Swt pada Hari Kiamat akan menjatuhkan hukuman sesuai dengan perintah nabi mereka.
2. Sejatinya, Allah Swt tidak memerlukan saksi. Tapi saksi dipersiapkan agar manusia tahu selain Allah ada juga yang mengetahui perbuatan mereka.
3. Membangkang perintah Nabi dan Sunnahnya sama dengan kekafiran terhadap Allah.
4. Hari Kiamat adalah hari penyesalan, tapi itu sudah terlambat.
Ayat ke 43
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (4: 43)
Ayat ini menjelaskan sejumlah hukum fiqih. Pertama, menjelaskan tentang inti shalat, yaitu perhatian kepada Allah Swt. Kedua, mengenai masalah mandi dan tayammum. Pada prinsipnya, tujuan dari shalat dan ibadah lainnya agar dapat mengarahkan perhatian manusia kepada Tuhan secara terus menerus dan bertawakal kepada-Nya. Manusia yang menjadikan Allah sebagai sandarannya akan terbebaskan dari segala keterikatan duniawi. Sementara bila ibadah yang dilakukan dipenuhi dengan makrifah akan berdampak positif pada dirinya. Ia akan meninggalkan segala hal yang membuat manusia tidak khusyu.
Dalam ayat ini ini seorang yang akan melakukan shalat hendaknya meninggalkan minuman keras. Karena hal itu dapat menyebabkan dirinya mabuk dan tidak mengerti apa yang dilakukannya. Dalam ayat lain juga dilarang melakukan shalat dengan kondisi mengantuk atau malas. Di sini, manusia yang ingin melakukan shalat harus tahu sedang berhadapan dengan siapa, serta memahami apa yang diucapkannya. Selain perhatian manusia harus fokus kepada Allah, masalah jasmani manusia juga harus bersih dari segala kekotoran. Oleh karena itu, orang yang melakukan hubungan badan terhitung junub. Ia bukan saja dilarang melakukan shalat dalam kondisi demikian, tapi juga tidak boleh berada di dalam masjid.
Ketika disebutkan bahwa orang junub tidak boleh melakukan shalat, lalu apa yang harus dilakukannya? Orang tersebut harus melakukan mandi junub agar terbebas dari hadas besar ini. Bila ia tidak menemukan air, karena berada di dalam perjalanan atau penggunaan air membahayakan kesehatannya, maka Allah memperbolehkannya melakukan tayammum sebagai pengganti mandi. Dalam buku-buku fiqih dijelaskan lebih terperinci mengenai masalah junub, mandi junub dan tayammum.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Shalat bukan hanya lafad dan gerakan. Karena inti shalat adalah konsentrasi kepada Tuhan dan ini membutuhkan kesadaran penuh.
2. Masjid dan tempat peribadatan memilki kesucian dan kesakralan tersendiri. Tidak boleh memasukiny adalam kondisi junub.
3. Kesucian jasmani dan ruh merupakan pendahuluan shalat.
4. Dalam keadaan sakit sekalipun, shalat tetap wajib sekalipun lebih mudah kewajibannya.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 35-38
Ayat ke 35
Artinya:
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (4: 35)
Ayat ini menerangkan tentang solusi keluarga yang mengalami sengketa antara suami dan isteri. Disebutkan bahwa bila terjadi perselisihan antara suami dan isteri dan kondisinya semakin parah, maka keluarga kedua pihak diharapkan untuk ikut menyelesaikan perselisihan itu agar tidak berujung pada perceraian. Tentu saja tidak semua keluarga ikut campur, tapi dari setiap pihak mengusulkan wakilnya untuk bertemu dan mencari jalan keluar mencapai islah atau perdamaian. Kedua pihak ini yang akan menjadi hakam atau penengah untuk menengahi, bukan mengadili atau menyalahkan satu pihak.
Terobosan Islam ini memiliki beberapa kelebihan. Pertama, masalah yang menimpa ini tidak menyebar dan diketahui orang lain. Dengan kata lain, hanya pihak keluarga suami dan isteri yang mengetahui perselisihan ini. Karena pada dasarnya, hanya keluarga suami dan isteri yang paling perhatian akan keutuhan keluarga ini. Di sisi lain, dalam masalah semacam ini, sebaiknya orang lain tidak perlu tahu.
Kedua, motivasi adanya penengah dari keluarga kedua belah pihak adalah mendamaikan. Oleh karenanya, bila ada keputusan yang diambil, maka dari pihak suami dan isteri akan menerimanya dengan tulus. Hal ini akan berbeda bila keputusan diambil di pengadilan, dimana biasanya satu pihak tidak puas dan memrotes keputusan itu.
Ketiga, upaya mencari solusi ini untuk menentukan kebenaran untuk diteladani, bukan ingin memvonis suami atau isteri. Karena vonis mana yang benar dan yang salah hanya akan memperparah perselisihan. Solusi yang ditawarkan Islam untuk mencari kesepahaman dan menyingkirkan perselisihan masa lalu.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Keluarga dan masyarakat tidak boleh mengabaikan perselisihan suami dan isteri, bahkan bertanggung jawab mencari solusinya.
2. Setiap perselisihan di tengah keluarga harus diantisipasi agar tidak mengarah pada perceraian.
3. Pihak suami dan isteri masing-masing mengusulkan seorang wakil.
4. Bila ada niat baik, niscaya Allah akan menganugerahkan taufik-Nya.
Ayat ke 36
Artinya:
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (4: 36)
Setelah ayat sebelumnya menjelaskan tanggung jawab suami, ayat ini dan sejumlah ayat selanjutnya membahas tentang tanggung jawab seorang mukmin di hadapan masyarakat. Ayat-ayat ini menjelaskan yang demikian agar tidak ada anggapan bahwa seorang suami hanya bertanggung jawab pada isteri dan anak-anaknya. Karena seorang mukmin sejati, selain beriman kepada Allah Swt dan menyembahnya, ia punya tanggung jawab sosial di hadapan orang tua, keluarga, sahabat dan tetangganya. Tidak hanya itu ia harus memiliki empat terhadap anak-anak yatim dan orang miskin yang ada di sekelilingnya.
Ironis bila menyaksikan seorang pria dan perempuan yang mengikat diri dalam sebuah institusi keluarga, tapi setelah menjadi suami dan isteri mereka justru melupakan kedua orang tua dan memutuskan hubungan dengan keluarga juga sahabatnya. Namun poin penting dari ayat ini, berbuat kebaikan yang diungkapkan dengan istilah ihsan, maknanya lebih luas dari berinfak. Benar, istilah ihsan biasa dipakai untuk membantu orang miskin, tapi sejatinya kata ihsan maknanya sangat luas mencakup setiap perbuatan baik manusia untuk orang lain. Di akhir ayat ini juga dijelaskan betapa orang-orang yang tidak berbuat baik kepada orang tua, sahabat dan tetangga dikategorikan sebagai orang-orang yang sombong.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Ayat ini menyebut kewajiban manusia untuk menyembah Allah dan berbuat baik kepada sesama.
2. Shalat dan ibadah saja tidak cukup. Karena dalam urusan kehidupan manusia harus meraih kerelaan Allah.
3. Orang tua berperan besar dalam proses penciptaan kita setelah Allah. Oleh karenanya setiap anak harus menghormati dan menghargai kedua orang tuanya.
4. Sahabat, tetangga dan bahkan bawahan memiliki hak atas orang lain yang harus ditunaikan.
Ayat ke 37
Artinya:
(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan. (4: 37)
Ayat ini mengingatkan perilaku sebagian orang kaya. Mereka bukan hanya tidak menginfakkan sebagian hartanya, tapi juga tidak senang bila ada orang lain yang membantu orang miskin. Sedemikian kikirnya mereka sehingga sifat ini telah membelenggu hati dan jiwanya, sehingga mereka tidak dapat memanfaatkan fasilitas yang ada dengan baik. Mereka begitu khawatir ada orang miskin yang melihat kekayaan mereka lalu mendatanginya untuk meminta bantuan. Oleh karenanya, mereka berusaha sebisa mungkin menyembunyikan hartanya dari orang lain. Di sini, al-Quran memandang kebakhilan seperti ini bertentangan dengan iman dan menyebut orang seperti ini sebagai kafir yang layak merasakan siksaan pedih dan kehinaan.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Sebagian penyakit hati seperti kikir dapat menular, sama seperti penyakit jasmani.
2. Salah satu cara mensyukuri nikmat dengan menceritakan dan memanfaatkannya. Karena menyembunyikan nikmat merupakan sejenis kufur nikmat.
3. Segala nikmat harus dilihat sebagai anugerah Allah, bukan hasil upaya kita, sehingga dapat terjauhkan dari sifat kikir.
Ayat ke 38
Artinya:
Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu adalah teman yang seburuk-buruknya. (4: 38)
Sebagai pelengkap ayat-ayat yang lalu, ayat ini menyebut hati yang kikir dapat menyebabkan manusia melepaskan keimanannya kepada Allah dan Hari Kiamat. Karena kelaziman dari iman itu termasuk membayar zakat dan sedekah. Mereka yang tidak melaksanakan kewajiban ini, pada dasarnya ia tidak menerima hukum Allah dan lebih mementingkan hartanya ketimbang Allah. Wajar bila orang yang seperti ini lebih menjaga kehormatan diri dan status sosialnya daripada Allah. Orang yang seperti ini tidak akan mendapat pahala sedikitpun. Betapa meruginya mereka ketika telah berkorban sedemikian rupa, tapi tidak ada yang tersisa di Hari Kiamat.
Dari ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik:
1. Berinfak tapi diikuti riya sama dengan kekikiran itu sendiri. Di Hari Kiamat, orang yang riya, selain perbuatannya tidak mendapat pahala, malah mendapat dosa riya.
2. Riya berarti tidak punya iman sejati. Karena orang yang melakukannya, tidak mengharapkan pahala dari Allah, tapi dari manusia lain.
3. Tujuan infak bukan hanya mengenyangkan perut orang miskin. Perbuatan ini juga dapat dilakukan dengan riya. Tapi berinfak punya tujuan meningkatkan kualitas keimanan dan spiritual.
4. Infak tidak terbatas dengan harta dan kekayaan, tapi dapat dilakukan dengan apa saja yang dianugerahkan Allah kepada kita untuk membantu orang miskin.