
کمالوندی
Dua Jurnalis Tertembak Tentara Israel dalam Demo Gaza
Dua orang jurnalis Palestina, Ahmed Shawer dan Abdul Rahman al-Kahlout menderita luka-luka akibat terkena tembakan tentara Israel dalam aksi March or Returns ke-75 di Nablus dan perbatasan Jalur Gaza. Masing-masing dari jurnalis tersebut merupakan koresponden dan juru kamera Palestine TV.
Shawer dilaporkan terkena tembakan tersebut saat sedang menjalankan tugasnya di distrik Kafr Qaddoum, Nablus, Tepi Barat. Saat ini Shawer sedang mendapat perawatan medis dari tim Palang Merah Palestina yang berjaga di lokasi kejadian. Tim medis menyatakan bahwa keadaanya stabil.
Sementara itu, Al-Kahlout terkena tembakan di kaki kanan saat sedang bertugas meliput demo March of Returns di garis batas Jalur Gaza.
Dampak Keputusan Saqifah bagi Umat Islam
Langkah-langkah yang diambil oleh sekelompok sahabat di kota Madinah dan Saqifah Bani Sa'idah, telah melenceng dari ketetapan yang sudah diumumkan oleh Rasulullah Saw di Ghadir Khum.
Isu krusial yang disampaikan Rasulullah dalam khutbahnya di Ghadir Khum adalah masalah kepemimpinan (imamah) Sayidina Ali as. Menurut kitab al-Ghadir, khutbah Rasulullah di Ghadir Khum dinukil oleh lebih dari 110 sahabat, 84 tabi'in, serta 360 ulama dan perawi dari Syiah dan Sunni.
Di salah satu bagian khutbahnya, Rasulullah berkata, "Sesungguhnya Malaikat Jibril as sudah tiga kali turun kepadaku dan menyampaikan salam Tuhanku serta memerintahkan agar berdiri di tempat perkumpulan ini untuk menyampaikan pada kalian baik yang berkulit putih maupun berkulit hitam, bahwa sesungguhnya Ali bin Abi Thalib adalah saudaraku, washiku, khalifahku bagi umatku, dan imam setelahku.
Kedudukan dia di sisiku sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku. Dia sebagai pemimpin kalian setelah Allah dan Rasul-Nya…
Ketahuilah wahai manusia! Sesungguhnya Allah telah menetapkan Ali sebagai wali dan imam kalian, dan telah mewajibkan kepada setiap orang dari kalian untuk mentaatinya. Sah keputusan hukum yang diambilnya, dan berlaku kata-katanya. Terlaknat orang yang menentangnya, dan memperoleh rahmat orang yang mempercayainya.
Namun apa yang terjadi di Saqifah bertentangan dengan perintah Allah. Di saat Imam Ali as dan beberapa sahabat sedang mempersiapkan pemakaman Nabi Saw, sebagian pemuka Anshar yang dipimpin Sa'd bin 'Ubadah berkumpul di Saqifah untuk memilih pemimpin setelah Nabi.
Saqifah adalah sebutan untuk bangunan yang memiliki teras dan wadah berkumpul bagi sebuah kabilah. Hampir semua kabilah di Arab memiliki tempat seperti ini untuk dipakai sebagai balai musyawarah untuk memutuskan berbagai kepentingan umum.
Tempat yang dipakai oleh tokoh Muhajirin dan Anshar untuk memilih khalifah waktu itu adalah milik Bani Sa'idah dari Khazraj, sehingga ia dikenal sebagai Saqifah Bani Sa'idah.
Sebelum Islam datang, Bani Sa'idah secara rutin menggelar pertemuan di tempat itu dan setelah Nabi Saw hijrah ke Madinah, Saqifah mereka kehilangan fungsinya. Saqifah ini baru dihidupkan kembali ketika para tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di sana untuk menentukan khalifah pengganti Nabi Saw.
Sebagian sejarawan meyakini bahwa musyawarah kaum Anshar di Saqifah – setelah wafatnya Nabi Saw – hanya untuk memilih pemimpin untuk kota Madinah. Namun, kedatangan orang-orang Muhajirin telah menggeser egenda musyawarah ke arah pemilihan khalifah untuk umat Islam.
Para tokoh Saqifah bergerak menyimpang dari jalur yang ditetapkan oleh Nabi Saw mengenai sosok pemimpin umat setelah wafatnya. Mereka telah menambah daftar panjang pembangkangannya terhadap perintah Rasul. Keputusan mereka telah menjauhkan Imam Ali as dari haknya sebagai pemimpin umat selama 25 tahun.
Semua aktor yang membentuk gerakan agama-politik – sejak awal periode kenabian Muhammad Saw di Mekkah sampai berakhirnya masa kekhalifahan Usman bin Affan – selalu hadir dalam berbagai peristiwa dan memainkan peran dalam urusan pemerintahan dan kekhalifahan.
Lebih tragis lagi bahwa beberapa alumni Saqifah Bani Sa'idah membunuh karakter Imam Ali as dan membangun opini di masyarakat bahwa Ali mengincar kekuasaan, tetapi kalah dari rivalnya dan tidak punya pilihan lain kecuali menjauh dari poros kekuasaan. Padahal, Imam Ali as telah memilih bersabar dan menutup mata dari hak sahnya demi menjaga keutuhan kaum Muslim dan wilayah teritorial Islam.
Seseorang yang sinis datang menemui Imam Ali as dan berkata, "Wahai putra Abu Thalib, engkau sangat menginginkan posisi khalifah dan lebih rakus dari orang lain."
Imam Ali membantah fitnah dan tuduhan miring itu dan berkata, "Demi Allah, engkau malah lebih serakah, walaupun lebih jauh, sementara aku lebih layak dan lebih dekat (dengan Rasulullah Saw). Aku menuntutnya sebagai hakku, sedang engkau menghalangi antara aku dan hak itu, dan sekarang engkau hendak memalingkan wajahku darinya. Apakah orang yang menginginkan haknya dianggap lebih rakus atau mereka yang mengincar hak orang lain?" (Kitab Nahjul Balaghah, khutbah 171).
Mungkin sebagian bertanya, jika Ali as menganggap posisi imamah sebagai haknya, mengapa ia memilih diam dalam menghadapi situasi saat itu? Mengapa ia tidak bangkit untuk membela hak yang diberikan Tuhan kepadanya?
Beginilah jawaban Imam Ali as atas pertanyaan penting itu, "Aku melihat kesabaran lebih baik daripada memecah barisan kaum Muslim dan pertumpahan darah mereka, sebab masyarakat baru memeluk Islam…(Nahjul Balaghah, khutbah 119)
Makam Imam Ali as di kota Najaf, Irak.
Imam Ali as memilih bersabar dan memprioritaskan maslahat Islam dan kaum Muslim, meski ia mengetahui bahwa dirinya – atas perintah Allah Swt – telah diangkat sebagai khalifah pada hari Ghadir Khum, dan dirinya lebih layak untuk memimpin umat daripada orang lain.
Ketika periode kekuasaan khalifah kedua berakhir, Imam Ali as diundang untuk menghadiri musyawarah sebuah dewan yang beranggotakan enam orang dan Usman bin Affan terpilih sebagai khalifah berkat suara Abdurrahman bin Auf. Ketika itu Imam Ali as berkata, "Kalian tahu bahwa aku lebih layak dari semua untuk posisi khalifah. Demi Allah, selama urusan kaum Muslim berjalan dan hanya aku yang tersakiti, maka aku tidak akan menentang kalian." (Nahjul Balaghah, khutbah 72)
Setelah wafatnya Nabi Saw, seluruh perhatian Imam Ali as tercurahkan pada dua isu utama yaitu: pertama menjaga agama Islam sebagai hasil kerja keras dan perjuangan Rasulullah Saw selama 23 tahun, dan kedua mempertahankan persatuan dan kesolidan kaum Muslim.
Imam Ali as mengetahui dengan baik bahwa musuh dari dalam dan luar, sedang berusaha untuk merusak persatuan dan kekuatan masyarakat Muslim sehingga bisa mencapai tujuan mereka yaitu, menghancurkan Islam dan kaum Muslim.
Menurut satu riwayat, Sayidah Fatimah Az-Zahra as suatu hari berkata kepada suaminya Imam Ali, "Mengapa engkau tidak membela hakmu?" Mendengar itu, Imam Ali langsung memakai baju perang untuk melawan orang-orang yang merampas haknya. Suara adzan terdengar dari masjid dan pekikan kalimat La Ilaha illallah Muhammadur Rasulullah membahana. Ali menolehkan wajahnya ke Fatimah sambil berkata, "Apakah engkau ingin seruan tauhid dan kenabian ini tetap terdengar? Jika engkau sependapat denganku, maka kita harus bersabar, jika tidak aku akan keluar dan menumpas semua penentangku."
Sayidah Fatimah memilih diam sebagai tanda setuju dengan keputusan suaminya itu. Sebab bagi mereka, menjaga agama Islam lebih penting dari apapun dan mereka terlibat aktif di berbagai kesempatan untuk menjaga semua pencapaian yang diraih kaum Muslim.
Penyimpangan Saqifah dan Tragedi Karbala
Salah satu dampak dari keputusan syura Saqifah adalah melencengnya jalur gerakan umat Islam dari ketetapan Nabi Muhammad Saw di Ghadir Khum yaitu pengangkatan Imam Ali as sebagai khalifah dan pemimpin kaum Muslim.
Selama 25 tahun, Imam Ali memilih bersabar demi menjaga Islam dan persatuan masyarakat Muslim yang baru dibangun oleh Rasulullah, dan tidak mengambil tindakan apapun dalam menghadapi konspirasi yang dilakukan oleh orang-orang yang haus kekuasaan.
Tentu saja, Imam Ali pada berbagai kesempatan menyampaikan khutbah untuk menunjukkan bagaimana perintah Allah Swt dilanggar oleh sekelompok sahabat sehingga gerakan umat Islam melenceng dari jalurnya.
Bid’ah dan penyimpangan yang diwariskan oleh syura Saqifah mengantarkan keluarga Bani Umayyah ke tampuk kekuasaan dan posisi khalifah jatuh ke tangan orang-orang seperti, Mu’awiyah dan Yazid.
Peristiwa Saqifah sebenarnya sudah pernah diprediksi oleh Rasulullah Saw. Beberapa hari sebelum wafat, Nabi menyebut peristiwa itu sebagai “fitnah” dan memberikan solusi agar tidak terperosok ke jurangnya. Beliau berkata, “Fitnah akan dikobarkan tak lama setelah kepergianku. Dalam situasi seperti itu, bergabunglah dan melangkahlah bersama Ali bin Abi Thalib, karena ia orang pertama yang beriman kepadaku dan orang pertama yang mendatangiku pada hari kiamat. Ali adalah siddiq al-akbar dan al-faruq umat ini yaitu pemisah antara kebenaran dan kebatilan, ia adalah pemimpin agama yang sesungguhnya.” (Kitab Asad al-Ghabah, jilid 5, hal 287)
Salah satu pertanyaan penting yang muncul mengenai kedudukan Ahlul Bait khususnya Imam Ali as adalah keutamaan apa yang disandang oleh mereka sehingga dianggap layak menjadi pemimpin umat sepeninggal Rasulullah?
Jawaban terbaik atas pertanyaan ini bisa ditemukan dari penjelasan Rasul Saw sendiri. Suatu hari ketika sekelompok sahabat termasuk Abu Bakar berkumpul bersama Nabi, beliau menghadap ke arah mereka dan berkata, “Siapa di antara kalian seperti Nabi Adam dari segi intelektualitas, seperti Nuh dari segi pemahaman, dan semisal Ibrahim dari segi hikmah dan ilmu? Pada saat itu Imam Ali as datang dan Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, siapa yang engkau maksud?” Rasul bersabda, “Apakah engkau tidak mengenalinya?” Abu Bakar berkata, “Allah dan Rasulnya lebih tahu.” Rasul bersabda, “Maksudku adalah Abu al-Hasan Ali bin Abi Thalib dimana semua sifat itu berkumpul bersamanya.” Abu Bakar kemudian berkata, “Sungguh hebat dan selamat atasmu wahai Abu al-Hasan dan tidak ada yang seperti dan sebanding denganmu.” (Al-Manaqib, bab 7, hal 44-45)
Rasulullah Saw bersabda, "Hasan dan Husein adalah imam, baik dalam keadaan bangkit atupun berdamai."
Ucapan khalifah kedua dalam memuji Imam Ali juga layak untuk disimak. Saat menjelang ajal, Umar bin Khattab berkata kepada Ibnu Abbas, “Tidak ada keraguan bahwa orang yang paling layak untuk menyeru masyarakat mengamalkan al-Quran dan sunnah Rasulullah adalah temanmu Ali. Demi Allah, jika kepemimpinan ada di tangannya, ia akan membimbing umat ke jalan yang terang dan jalan lurus hidayah.” (Syarah Nahjul al-Balaghah Ibn Abi al- Hadid, jilid 6, hal 7-326)
Selain Abu Bakar dan Umar bin Khattab, khalifah ketika (Usman bin Affan) juga berkata, “Suatu hari aku sedang memandang wajah Ali. Kemudian ia bertanya kepadaku, mengapa engkau memandangku seperti itu? Aku berkata kepadanya bahwa aku mendengar Rasulullah bersabda, “Memandang wajah Ali adalah ibadah.” (Tarikh Dimasyq, jilid 2, hal 392)
Di berbagai kitab induk Ahlu Sunnah, ditemukan banyak ucapan dari ketiga khalifah tersebut yang mengakui keutamaan Ali bin Abi Thalib. Disebutkan bahwa mereka secara rutin meminta pandangan Ali as dalam mengeluarkan sebuah hukum fikih dan peradilan atau dalam situasi-situasi genting sehingga tidak terjadi kesalahan. Sebuah riwayat masyhur menyebutkan Umar sebanyak 70 kali berkata, “Sekiranya tidak ada Ali, Umar akan binasa.”
Bahkan dari Mu’awiyah – orang yang paling memusuhi Ali as – juga diriwayatkan bahwa seseorang datang menemui Mu’awiyah dan bertanya sesuatu kepadanya. Mu’awiyah tidak tahu jawabannya dan berkata, “Bertanyalah kepada Ali karena ia lebih pintar dariku.”
Orang tersebut berujar, “Jawaban darimu akan membuatku lebih senang.” Mu’awiyah menjawab, “Apa yang engkau ucapkan! Engkau membenci seseorang dimana Rasulullah – seperti burung memberi makan untuk anaknya – telah mengenyangkan dia dengan banyak ilmu dan pengetahuan. Rasulullah juga berkata kepadanya, “Engkau adalah dariku dan kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, namun tidak ada nabi setelahku.” (Fadhail al-Shahabah, jilid 2, hal 675)
Dengan adanya semua bukti tentang keutamaan Imam Ali as, lalu mengapa para tokoh Saqifah tetap menutup matanya atas semua hakikat ini? Padahal, mereka sendiri mengakui kelayakan dan kepatutan Imam Ali untuk memimpin umat Islam. Mengapa mereka menyusun skenario licik untuk menyingkirkan Imam Ali dari haknya ini?
Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat ditemukan pada ayat 14 surat An-Naml. “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.”
Saqifah adalah puncak penyimpangan dimana kurang dari setengah abad setelahnya, dampak-dampak dari keserakahan ini menyebabkan cucu Rasulullah Saw dan para sahabatnya gugur syahid di Karbala.
Meski dampak dari penyimpangan ini awalnya berjalan lamban, namun setelah kekhalifahan berubah menjadi kerajaan di era Mu’awiyah, dampak penyimpangan ini semakin terlihat dan terasa di tengah umat.
Penyimpangan yang terjadi di Saqifah menjadi sempurna setelah berubahnya kekhalifahan menjadi kerajaan. Kebijakan para penguasa terutama Mu’awiyah, telah menjauhkan masyarakat dari agama dan menenggelamkan mereka dalam urusan duniawi. Imam Ali dan Imam Hasan secara perlahan kehilangan basis massa. Mu’awiyah memaksakan berbagai perang dan melanggar kesepakatan damai, dan pada akhirnya kedua figur mulia itu meneguk cawan syahadah.
Perlu dicatat bahwa pada periode kekuasaan Mu’awiyah, ia belum berani terang-terangan berbicara tentang penghancuran Islam dan masih menampakkan dirinya sebagai sosok pembela agama. Namun kondisi ini berubah total setelah Yazid naik takhta menggantikan ayahnya, Mu’awiyah. Ia adalah pria pemabuk dan terang-terangan berbuat maksiat, ia secara terbuka berbicara tentang agenda penghapusan Islam dan pentingnya menghidupkan era Jahiliyah.
Penyimpangan besar ini memaksa Imam Husein as untuk bangkit melakukan perbaikan dan menegakkan amar makruf dan nahi munkar. Ia mempersembahkan nyawanya demi menghidupkan ajaran agama dan sunnah Rasulullah Saw. Darah dan pengorbanannya telah menghidupkan kembali Islam yang lurus di tengah umat.
Kedudukan Ahlul Bait dan Perampasan Hak Ali as
Tragedi Asyura tidak dilakukan oleh musuh-musuh al-Quran dan Ahlul Bait, tetapi para pelakunya adalah orang-orang Muslim yang haus kekuasaan. Oleh sebab itu, penting untuk diketahui kapan peristiwa itu dimulai dan siapa saja pelakunya.
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa para tokoh Saqifah melakukan gerakan-gerakan terencana untuk merebut kekuasaan dari Ahlul Bait pasca wafatnya Rasulullah Saw. Kita juga sudah mengetahui berbagai hadis dan kesaksian para khalifah tentang kedudukan tinggi Ahlul Bait Nabi, terutama Imam Ali as.
Lalu, mengapa para tokoh Saqifah tetap mengabaikan semua realitas meskipun ada banyak riwayat yang berbicara tentang keutamaan Ahlul Bait. Mereka sendiri juga mengakui kelayakan, kepatutan, dan keunggulan Imam Ali as untuk posisi imamah dan pemimpin umat Islam. Para tokoh Saqifah dengan sebuah skenario licik menyingkirkan Imam Ali as dari hak sahnya selama 25 tahun.
Sekarang kita akan menukil ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang kedudukan Ahlul Bait sehingga menjadi jelas bahwa para pembangkang tidak hanya melawan perintah Nabi Saw, tetapi juga menolak tunduk pada perintah Allah. Mereka memilih sebuah jalan yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya.
Salah satu ayat al-Quran yang berbicara tentang kedudukan tinggi Ahlul Bait dan menekankan kesucian mereka dari segala dosa adalah ayat 33 surat al-Ahzab atau yang dikenal dengan Ayat Tathir. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."
Ayat ini berbicara mengenai kehendak/iradah Allah untuk mensucikan Ahlul Bait dari dosa dan segala jenis kotoran dan noda, baik itu dalam bentuk pikiran maupun perbuatan seperti syirik, kufr, nifaq, kebodohan, dan segala bentuk dosa.
Mayoritas ulama tafsir Syiah dan Sunni sepakat bahwa maksud dari Ahlul Bait Nabi adalah Ali bin Abi Thalib, Sayidah Fatimah az-Zahra, Imam Hasan, dan Imam Husein as.
Ayat lain yang menunjukkan perhatian khusus Allah kepada Ahlul Bait adalah Ayat Mubahalah. Menurut buku-buku referensi Syiah dan Sunni, Rasulullah Saw telah menjelaskan semua dalil untuk membuktikan kebatilan akidah kaum Nasrani Najran dan meminta mereka untuk meninggalkan akidah batil itu seperti keyakinan bahwa Isa al-Masih sebagai anak Tuhan. Namun, para pembesar Nasrani Najran menolak meninggalkan akidah yang berbau syirik itu dan mereka mengusulkan mubahalah yaitu berdoa kepada Tuhan dan memohon agar siapa saja yang sesat dijauhkan dari rahmat-Nya dan dibinasakan. Rasulullah pun – atas izin Allah – menerima tantangan itu.
Istilah mubahalah sendiri sudah dikenal luas oleh masyarakat Arab dan para penganut agama langit sebagai sarana untuk membuktikan kebenaran.
Di hari berikutnya, Rasul datang ke arena mubahalah dengan membawa orang-orang yang paling mulia dan paling dekat dengannya. Melihat pemandangan itu, para pembesar Nasrani Najran mulai ragu dan memutuskan untuk membatalkan mubahalah.
Al-Quran mengabadikan peristiwa ini dalam surat Ali-Imran ayat 61, "Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta."
Para ulama tafsir memiliki pandangan yang sama ketika menafsirkan ayat ini. Maksud dari kata Abnaana adalah Imam Hasan dan Imam Husein as, Nisaana yaitu Sayidah Fatimah as, dan maksud dari Anfusana adalah Imam Ali as yang setara kedudukannya dengan jiwa Rasulullah Saw.
Ayat lain yang secara langsung berbicara tentang posisi imamah Ali bin Abi Thalib as adalah ayat 55 surat al-Maidah yang populer dengan Ayat Wilayah (kepemimpinan). “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).”
Pada suatu hari seorang fakir datang ke Masjid Nabawi dan meminta bantuan, namun tidak ada seorang pun yang memberinya. Ia pun mengangkat tangannya ke langit sambil berkata, "Tuhanku, saksikanlah bahwa aku berada di Masjid Nabi-Mu dan meminta pertolongan, tapi tidak ada seorang pun yang menolongku." Pada saat itulah, Ali as yang sedang rukuk memberikan isyarat dengan jari kelingking tangan kanannya. Orang fakir itu pun mendekat ke arahnya dan mengeluarkan cincin dari jari Imam Ali as, kemudian ayat tersebut turun.
Mayoritas ulama tafsir Syiah dan Sunni sepakat bahwa satu-satunya orang yang berbuat demikian adalah Ali bin Abi Thalib as. Allah menurunkan ayat itu untuk memperkenalkan kedudukan Ali as kepada para pencari kebenaran. (Tafsir al-Kabir, hal 431 dan Ihqaq al-Haq, jilid 2, hal 399)
Seluruh nabi tidak meminta upah apapun kepada masyarakat dalam berdakwah, karena mereka menjalankan misinya secara tulus dan semata-mata untuk Allah. Rasulullah juga tidak mengharapkan apapun dari masyarakat sejak ia diutus. Namun, para sahabat datang dan menawarkan diri dengan berkata, “Jika engkau butuh materi; uang atau yang lain maka berapa pun yang engkau butuhkan akan kami berikan.” Saat itulah turun ayat 23 surat Ash-Syura yaitu “Katakanlah (Wahai Rasulullah) bahwa aku tidak meminta upah apapun dari kalian (atas risalah yang dibawa), kecuali kecintaan terhadap kerabatku.”
Ayat ini menunjukkan bahwa perintah untuk mencintai Ahlul Bait adalah bukan keinginan Rasul sendiri, tetapi kehendak dan perintah Allah. Namun, para tokoh Saqifah bukan hanya mengabaikan kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi, tetapi mereka juga telah memusuhinya.
Ayat-ayat tersebut membuktikan tentang kesucian, kedudukan tinggi, kemuliaan, dan keutamaan Ahlul Bait Nabi as. Orang-orang yang dipertaruhkan oleh Rasulullah untuk membuktikan kebenaran risalahnya di hari mubahalah hanya Ali, Sayidah Fatimah, dan kedua putra mereka. Satu-satunya keluarga yang wajib untuk dicintai atas perintah Allah Saw adalah Ahlul Bait Nabi as.
Namun, peristiwa Saqifah Bani Sa'idah dan keputusan lain yang diambil setelahnya, bertentangan dengan perintah Allah mengenai kedudukan Ahlul Bait yang sudah dijelaskan dalam al-Quran.
Pada kesempatan ini, kami akan mengutip beberapa kalimat singkat dari khutbah Sayidah Fatimah az-Zahra as yang disampaikan pada hari-hari terakhir kehidupannya, yang dikenal dengan Khutbah Fadakiyah. Khutbah ini disampaikan di Masjid Nabawi di Madinah.
Sayidah Fatimah as berkata, “… Ketika Rasulullah ada di antara kalian, beliau paling menanggung dan merasakan penderitaan dan di jalan ini, Ali adalah pribadi yang selalu menjadi teman dan penolongnya. Terkadang kalian hidup dengan tenang, Ali melemparkan dirinya ke mulut naga untuk membela agama Allah. Akhirnya, berkat perjuangan Nabi Muhammad Saw dan Ali, mereka berhasil memastikan agama Islam dan kalian sampai pada kemuliaan dan kehormatan ini.
Ketika Nabi Saw masih hidup, semua masalah ini dibanggakan dan diterima oleh semua orang. Tapi begitu beliau pergi, apa yang terjadi di antara kalian? Setelah ayahku meninggal kecenderungan kalian akan kemunafikan mulai tampak, bukannya mengingat komitmen kalian kepada Rasulullah, amanah yang diserahkan kepada kalian mulai dilupakan bukannya dijaga. Seakan-akan hanya nama dari Islam kalian yang tinggal dan kalian melupakan hakikat Islam.
Sekarang, orang-orang ini telah mengambil kendali kekuasaan di tangannya dan syaitan telah mengangkat kepalanya dari tempat penyembunyiannya, mengajak kalian pada kejahatan.
Kemudian kalian mulai merebut hak-hak orang lain dan memasuki musim semi yang bukan milik kalian dan kalian melakukan semua ini tidak lama setelah meninggalnya Nabi, sementara kesedihan kepergiannya masih sangat dalam di hati kami.”
Ahlul Bait Nabi, Wasiat Nabi yang Dilupakan
Artikel ini melanjutkan pembahasan sebelumnya mengenai peristiwa Saqifah dan dilupakannya wasiat Nabi kepada umat Islam supaya memperhatikan Ahlul Baitnya.
Ahlul Bait Rasulullah Saw memiliki kedudukan khusus dalam Islam. Kecintaan terhadap Rasulullah Saw dan Ahlul Bait merupakan perintah Allah swt, dan Nabi Muhammad Saw hanya menjalankan perintah ilahi mengenai masalah tersebut. Oleh karena itu, semua orang yang telah menunjukkan kebencian terhadap Ahlul Bait, alih-alih kasih sayang, sejak awal Islam tidak diragukan lagi menunjukkan penentangan terhadap perintah Allah swt.
Anggota Ahlul Bait Nabi Muhammad Saw yang pertama kali disebut oleh Rasulullah adalah puterinya, Siti Fatimah. Allah swt menurunkan surat Al-Kautsar kepada Nabi yang mengenai berita gembira akan kelahiran bayi puterinya. SelaIn itu, mengenai di surat al-Ahzab ayat 33, dijelaskan mengenai kedudukan ahlul bait yang disucikan oleh Allah swt.
Berdasarkan banyak hadis dari sumber-sumber muktabar baik Syiah maupun Sunni, Nabi Muhammad Saw menunjukkan kedudukan penting Fatimah, sebagaimana salah satu sabdanya, "Allah akan murka apabila Fatimah marah, dan senang ketika ia bahagia." (Musnad 353, Amali Sheikh Mufid 256). Hadis ini jelas menunjukkan ketinggian posisi Siti Fatimah Az-Zahra di hadapan Allah swt. Di bagian lain, Rasulullah Saw bersabda, "Ya Tuhanku, ini putriku dan ciptaan-Mu yang terkasih bersamaku." (Musnad, 205)
Suatu hari Nabi Muhammad Saw mengambil tangan putrinya, Siti Fatimah dan berkata, "Semua orang tahu dan orang yang belum tahu saya kenalkan ini adalah putri Muhammad. Dia bagian dariku. Hati, dan jiwanya bagian dari tubuhku. Jadi siapa pun yang menyakitinya, maka ia telah menyakitiku, dan siapa pun yang menimbulkan kemarahanku, maka telah menyebabkan kemurkaan Tuhan,". (Musnad hal.162 - Hadis 27)
Di luar dari posisi tinggi Siti Fatimah yang digambarkan dalam hadis dan ayat yang turun mengenai beliau, orang-orang yang dekat dengan Rasulullah Saw seperti istri Nabi, Siti Aisyah berkata, "Saya tidak pernah melihat orang yang lebih dekat dengan Rasulullah seperti Fatimah. Ketika ia datang, beliau berdiri sebagai bentuk penghormatan dan mendatanginya, Beliau Mencium dan menyambutnya, kemudian memegang tangannya dan menempatkan di tempat duduknya."(Kashf Al-Ghummah, vol. 2, hlm. 79.)
Sekarang setelah kita berkenalan dengan posisi putri Nabi, Siti Fatimah Zahra dan suaminya Imam Ali sampai batas tertentu, kita menelusuri sejarah untuk melihat bagaimana para penguasa memperlakukan Ahlul Bait Rasulullah ini. Apakah mereka menghormatinya, ataukah sebaliknya merusak martabat mereka demi meraih tujuannya.
Syekh Thusi mengutip dari Ibnu Abbas berkata, "Menjelang akhir hayatnya, Rasulullah menangis tersedu-sedu hingga janggutnya basah. Ketika itu beberapa orang bertanya kepadanya, mengapa Anda menangis begitu sedih. Rasulullah menjawab, saya mengkhawatirkan sikap umatku terhadap anak-anakku setelahku, seolah-olah aku melihat putriku Fatimah dalam keadaan tertindas setelah kepergianku, dan dia berteriak kepada ayahnya, dan tidak ada yang membantunya,".
Ketika dia mendengar cerita ini, Sayidah Zahra banyak menangis. Nabi berkata kepadanya, jangan menangis seperti itu putriku." Siti Fatimah menjawab, "Kami tidak menangisi apa yang akan mereka lakukan padaku setelah aku tertindas, tetapi karena kesedihan berpisahan denganmu. Nabi Muhammad Saw berkata, "Putriku, bersukacitalah karena kamu adalah Ahlul Bait pertama yang bergabung denganku" (Musnad hal. 100 Hadis 9)
Riwayat ini menjelaskan bagaimana Nabi Muhammad Saw telah meramalkan masa depan getir yang menimpa umat Islam, masa depan di mana kepalsuan akan menggantikan kebenaran, dan nilai-nilai agama akan jatuh menjauh dari masyarakat Islam.
Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw dilupakan oleh umatnya sendiri dengan ditinggalkannya wasiat penting beliau mengenai Ahlul Baitnya. Amat disayangkan, umat Islam yang telah bersama Nabi selama dua puluh tiga tahun, setelah kepergiannya melakukan kelaliman terhadap Ahlul Baitnya, termasuk menimpa puteri beliau.
Kondisi sosial politik umat pasca wafatnya Rasulullah Saw, dan tekanan terhadap Ahlul Bait menjadi perhatian Sayidah Fatimah Zahra. Lambat laun kesehatannya menurun dan jatuh sakit.
Siti Fatimah berada di dalam tekanan yang meningkat ketika Imam Ali dipaksa harus menerima hasil dan keputusan dewan Saqifah Bani Saidah, bahkan mereka memaksa meminta baiat hingga mendatangi rumahnya. Fatimah Zahra menutup pintu rumahnya, tapi mereka memaksa masuk tanpa izin. Ketika itu, putri Rasulullah Saw berdiri di rumahnya dan berkata, "Aku tidak melihat bangsa yang lebih buruk dari kalian, Anda meninggalkan jenazah Nabi di hadapan kami dan mengambil keputusan untuk berkuasa tanpa bermusyawarah dengan kami. Ketahuilah, apa yang Anda lakukan terhadap kami (bertentangan dengan perintah Allah swt). Anda tidak menghargai hak kami".(Amali, Sheikh Mufid).
Perampasan Fadak dan Duka Ahlul Bait
Sekelompok sahabat pendukung syura Saqifah Bani Sa'idah mendatangi rumah Sayidah Fatimah az-Zahra as untuk mengambil bai'at secara paksa dari Ali bin Abi Thalib as. Namun mereka mendapat perlawanan dari putri Rasulullah Saw itu.
Lalu, mengapa putri Rasulullah Saw melakukan perlawanan dan tidak tunduk pada tuntutan para perampas kekuasaan?
Jelas bahwa jika Fatimah dan Ali as memilih tunduk, ini bermakna mereka merestui penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang yang haus kekuasaan. Jika itu disetujui, sikap mereka juga akan sama seperti para tokoh Saqifah yang melanggar perintah Allah Swt di Ghadir Khum dan mengabaikan keputusan Rasulullah Saw dalam masalah pengangkatan khalifah setelah wafatnya.
Fatimah dan Ali as menolak terlibat dalam sebuah tragedi yang sengaja diciptakan di tengah umat dan tidak bekerjasama dengan para perampas posisi khalifah dan imamah.
Imam Ali as tidak mengambil tindakan apapun demi menjaga Islam yang mendapat rongrongan dari dalam dan luar, serta demi menjaga persatuan dan kekuatan kaum Muslim.
Para tokoh Saqifah sayangnya mengambil tindakan baru tanpa memperhatikan keprihatinan Ali dan Fatimah tentang masa depan Islam dan umat. Penguasa merebut Tanah Fadak dari tangan Sayidah Fatimah sehingga Ahlul Bait tidak lagi memiliki pemasukan untuk membantu kaum lemah dan fakir-miskin.
Fadak adalah sebuah desa di wilayah Hijaz, Arab Saudi, dengan kebun dan pohon kurma yang luas di dekat Khaibar. Menurut literatur sejarah, setelah penaklukan benteng Khaibar oleh kaum Muslim, setengah dari kebun dan desa Fadak berdasarkan pada sebuah perjanjian damai diserahkan oleh kaum Yahudi kepada Rasulullah Saw. Karena Fadak diperoleh tanpa peperangan, maka sesuai dengan hukum al-Quran ia disebut khalishah (terkhusus untuk) Nabi. Beliau kemudian memberikan Tanah Fadak kepada putrinya, Sayidah Fatimah.
Demi memuluskan skenario perampasan Tanah Fadak, para tokoh Saqifah mengarang sebuah hadis palsu dan berkata, "Rasulullah Saw bersabda bahwa kami para nabi tidak mewariskan suatu apapun, dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah."
Tanah Fadak di dekat Madinah.
Sayidah Fatimah – sebagai pemilik sah Tanah Fadak – mendatangi penguasa untuk membela haknya. Jika ia memilih diam, maka sikap ini bertentangan dengan nash (teks dalil) al-Quran dan wasiat Nabi Saw. Al-Quran menjelaskan bahwa ghanaim (harta rampasan perang) yang sampai kepada kaum Muslim tanpa perang, maka pemiliknya adalah Nabi Saw.
"Setiap harta rampasan (fai') yang diberikan Allah kepada rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda dan (tidak pula) seekor unta pun. Tetapi Allah-lah yang memberikan kekuasaan kepada para rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Hasyr: 6)
Oleh karena itu, pembelaan Sayidah Fatimah bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi bertujuan untuk membela hukum al-Quran dan Islam yang murni. Untuk mematahkan hadis palsu itu (Kami para nabi tidak mewariskan suatu apapun, dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah), ia pergi ke masjid dan menyampaikan pidato untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat.
Dengan demikian, generasi saat ini juga menjadi tahu bahwa sebuah penyimpangan besar telah terjadi pada permulaan Islam dan rentetan peristiwa setelahnya telah membuat Ahlul Bait Nabi terzalimi, termasuk pembunuhan Imam Husein as di Karbala.
Dalam pidatonya (Khutbah Fadakiyyah), Sayidah Fatimah as berkata, "Mengapa engkau merampas Fadak yang diberikan Rasulullah kepadaku atas perintah Allah dan ingin menjauhkanku dari memperoleh hak yang sah? Bukankah Allah berfirman dalam al-Quran, "Dan Sulaiman telah mewarisi Daud." (QS. Al-Naml: 16)
Ia kemudian mengutip ayat-ayat lain dari al-Quran dan berkata, "Bukankah Zakariya telah mengangkat tangan untuk berdoa dan berseru, "…Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub." (QS. Maryam: 5-6) Sayidah Fatimah juga menukil sebuah ayat lain, "Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan." (QS. An-Nisa: 11)
"Wahai sahabat Nabi, apakah aku bukan anak dari Rasulullah?" tegas Sayidah Fatimah.
Semua hadirin terdiam dan Sayidah Fatimah mengakhiri khutbahnya dengan mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah bentuk pelanggaran sumpah, dan tindakan tercela ini akan kekal dan akhir dari tindakan tersebut adalah neraka.
Setelah peristiwa perampasan Fadak, Sayidah Fatimah benar-benar marah kepada orang-orang yang telah merampas hak kekhalifahan dan Fadak dan ia tetap marah sampai akhir hayatnya. Ia menyimpan kesedihan yang mendalam setelah wafat Nabi, peristiwa Saqifah, perampasan kekhalifahan, dan penyitaan Tanah Fadak.
Selama periode singkat kehidupannya (75 atau 95 hari) setelah wafat Nabi Saw, Sayidah Fatimah memanfaatkan masa itu untuk melakukan protes dan menyatakan sikapnya atas kondisi saat itu, yang diciptakan oleh para perampas kekuasaan. Kegiatan ini dilakukan dengan menyampaikan khutbah atau melakukan pertemuan dengan perempuan Muhajirin dan Anshar.
Sebagai bukti atas kemarahan dan kesedihannya yang mendalam, Sayidah Fatimah berwasiat kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib agar acara pemakaman dan penguburannya dilakukan pada malam hari dan merahasiakan makamnya. Hal ini dilakukan agar orang-orang yang pernah menzalimi dan membuatnya murka, tidak datang melayat.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya kutinggalkan dua pusaka bagi kalian, Kitab Allah (al-Quran) dan 'itrahku (Ahlul Bait). Keduanya tidak akan terpisah sampai hari kiamat."
Namun, para tokoh Saqifah telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan pesan Rasulullah Saw yaitu memisahkan antara al-Quran dan Ahlul Bait. Selanjutnya mereka melarang penafsiran ayat-ayat al-Quran. Kedua tindakan ini bertentangan dengan pesan Rasulullah Saw dan juga perintah Allah Swt. Mereka berkata, "Pisahkanlah al-Quran dari sesuatu yang lain dan jangan menafsirkannya dan kurangi menukil hadis dari Rasulullah." (Syarah Nahjul Balaghah Ibn Abi al-Hadid)
Para ulama meyakini bahwa salah satu tujuan sebagian tokoh Saqifah melarang penafsiran al-Quran karena pengetahuan masyarakat tidak cukup untuk memahami esensi kaum mukmin dan munafik atau hakikat para pencari kebenaran dan kaum oportunis.
Jelas bahwa penyingkapan fakta dan hakikat itu bertentangan dengan tujuan dan kepentingan para penguasa.
Konsekuensi Pelarangan Penukilan Hadis
Putri Rasulullah Saw, Sayidah Fatimah Azzahra as telah menyampaikan argumentasinya dengan ayat-ayat al-Quran untuk mempertahankan Tanah Fadak yang telah diberikan oleh Rasulullah Saw kepadanya atas perintah Allah Swt. Namun, beliau tidak mampu untuk mempertahankan tanah tersebut. Para perampas membuat hadis palsu yang dikaitkan kepada Rasulullah agar bisa menguasai Fadak.
Pembelaan Sayidah Fatimah atas Tanah Fadak bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi bertujuan untuk membela hukum al-Quran dan Islam yang murni. Untuk mematahkan hadis palsu (bahwa para nabi tidak mewariskan suatu apapun, dan apa yang ditinggalkan adalah sedekah), Sayidah Fatimah pergi ke masjid dan menyampaikan pidato pencerahan kepada masyarakat.
Pidato tersebut mengungkap sebuah penyimpangan besar yang terjadi pada permulaan Islam dan rentetan peristiwa setelahnya, di mana peristiwa itu telah membuat Ahlul Bait Nabi Saw terzalimi, termasuk pembunuhan Imam Husein as, cucu Rasulullah Saw di Karbala.
Dalam Khutbah Fadakiyyah, Sayidah Fatimah as berkata, "Mengapa engkau merampas Fadak yang diberikan Rasulullah kepadaku atas perintah Allah dan ingin menjauhkanku dari memperoleh hak yang sah? Bukankah Allah berfirman dalam al-Quran, "Dan Sulaiman telah mewarisi Daud." (QS. Al-Naml: 16)
Beliau kemudian mengutip ayat-ayat lain al-Quran dan berkata, "Bukankah Zakariya telah mengangkat tangan untuk berdoa dan berseru, "…Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub." (QS. Maryam: 5-6)
Sayidah Fatimah juga menukil sebuah ayat lain, "Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan." (QS. An-Nisa: 11)
"Wahai sahabat Nabi, apakah aku bukan anak dari Rasulullah?" tegas Sayidah Fatimah
Sayid Fatimah tidak ridha atas perbuatan sekelompok sahabat pendukung Saqifah Bani Sa'idah. Beliau juga menunjukkan protesnya dengan berwasiat kepada suaminya, Sayidina Ali bin Abi Thalib as untuk merahasiakan makam beliau. Dengan begitu, tanda protes tersebut berlanjut hingga sekarang, dan umat Islam menjadi tahu tentang apa sebenarnya yang terjadi pasca peristiwa Saqifah dan perlakuan buruk terhadap Ahlul Bait Nabi Muhammad Saw.
Para pemimpin dan pendukung Saqifah memiliki tujuan untuk mengeluarkan keluarga suci Rasulullah Saw dari semua aktivitas agama dan politik. Mereka bahkan melaksanakan perencanaan baru untuk mencegah para sahabat menukil hadis-hadis Nabi Muhammad Saw.
Untuk bisa merealisasikan rencana tersebut, pasca wafatnya Rasulullah Saw muncul kondisi di mana para sahabat berselisih ketika ada yang menukil hadis beliau. Perselisihan ini meningkat seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, mereka kemudian mencegah dan melarang penukilan hadis dari Rasulullah Saw. (Tazkiratul Huffaz, jilid 1 halaman 3).
Bagaimana mungkin mereka yang mengklaim diri sebagai pengganti dan penerus Rasulullah Saw tetapi pada saat yang sama mereka mencegah penukilan hadis-hadis beliau, padahal hadis-hadis Rasulullah Saw adalah sunnah dan penjelas bagi semua urusan individu dan sosial. Allah Swt memperkenalkan Rasulullah Saw sebagai Uswah Hasanah bagi umat.
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Surat al-Ahzab ayat 21)
Apakah mungkin bisa meneladani perilaku, ucapan dan perbuatan Rasulullah Saw tanpa mengetahui sunnah beliau yang tercatat dalam hadis-hadis yang dinukil oleh para sahabat?
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam ayat tersebut adalah bahwa "…suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat", sebab, pada hari kebangkitan nanti, semua perbuatan dan perilaku kita akan dievaluasi dengan sunnah Rasulullah Saw. Sayangnya, sebagian para pendukung Saqifah melakukan perbuatan berbahaya itu untuk menghapus hadis-hadis beliau.
Pada hari itu, Sayidah Fatimah as tentunya telah mengkhawatirkan peristiwa tersebut. Untuk itu, beliau berkonfrontasi dengan para pendukung Saqifah dengan menyampaikan argumentasi yang berdasarkan al-Quran untuk menafikan riwayat palsu yang mereka kaitkan kepada Rasulullah Saw.
Putri tercinta Rasulullah Saw itu memahami bahwa jika penyimpangan itu tidak dicegah dan dilawan, maka akhir yang pahit akan menimpa umat Islam, yaitu, akhir di mana tidak ada jejak tafsir-tafsir al-Quran berdasarkan penjelasan Rasululllah Saw dan juga tidak ada lagi tanda dari sunnah beliau yang masih ada untuk bisa diterapkan dalam kehidupan.
Tak ada keraguan bahwa langkah untuk mencegah pengumpulan hadis dan bahkan membakarnya sangat bertentangan dengan pandangan Nabi Muhammad Saw. Beliau dalam sebuah khutbah pada Haji Wada' bersabda, semoga Tuhan membahagiakan (memberkahi) orang yang mendengar perkataanku dan menjaganya serta menyampaikannya kepada mereka yang belum mendengarnya. (Sunan Ibnu Majah 1/84).
Berdasarkan riwayat lain, beliau bersabda, beritahukan kepada orang lain apa yang kalian dengar dariku, namun jangan kalian ucapkan kecuali perkataan yang benar. Barang siapa menyampaikan kebohongan atas namaku, maka neraka adalah tempat tinggalnya. (Qawaidul Hadis, halaman 50).
Perlu dicatat bahwa Nabi Muhammad Saw –agar semua umat Islam merasa bertanggung jawab untuk menyampaikan hadis-hadisnnya– beliau bersabda, ketahuilah bahwa mereka yang telah mendengar perkataanku memiliki kewajiban untuk memberitahukan dan menyampaikannya kepada mereka yang tidak hadir. (al-Kafi 1/402 dan Bihar 2/152).
Dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as –yang selalu berada di samping Nabi Muhammad Saw dalam menyebarkan Islam–, dinukil bahwa Rasulullah Saw bersabda, semoga Tuhan merahmati para penggantiku. Beliau mengucapkan hal itu hingga tiga kali yang menandakan pentingnya masalah tersebut. Lalu para sahabat bertanya, siapa para penggantimu itu Ya Rasulullah? Beliau menjawab, mereka datang setelahku dan meriwayatka hadis-hadis dan sunnahku serta mengajarkannya kepada masyarakat. (Maani al-Akhbar)
Dengan memperhatikan penjelasan yang sangat terang yang dikutip dari sumber-sumber otentik Syiah dan Sunni itu, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk membenarkan langkah-langkah penyimpangan yang dilakukan setelah peristiwa Saqifah, yaitu mencegah penukilan dan pengumpulan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw dan bahkan pembakaran untuk melenyapkannya.
Ada satu hal yang menarik dan mengejutkan dalam kasus tersebut, di mana para pendukung Saqifah menjustifikasi rencananya dengan mengklaim bahwa tujuan mereka mencegah penukilan hadis adalah untuk menjaga keaslian al-Quran. Padahal Allah Swt yang menurunkan al-Quran dan telah berjanji untuk menjaganya.
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." ( Surat al-Hijr ayat 9)
Selain itu, Rasulullah Saw telah menjelaskan al-Quran, di mana dengan menukil hadis-hadis beliau, maka kebenaran al-Quran akan terungkap dan pemahaman atas Kita Suci ini juga bisa diperoleh. Bukankah ayat-ayat al-Quran itu memiliki ayat nasikh dan mansukh, muhkamat dan mutasyabihat, dan khusus dan umum yang memerlukan penjelasan dari hadis-hadis Rasulullah Saw? Jika tafsir dan hadis dari beliau tidak digunakan, lalu bagaimana bisa menjelaskan maksud ayat-ayat itu?
Bagaimana mungkin bisa diterima bahwa para pendukung Saqifah mencegah penukilan hadis dan bahkan membakarnya dengan alasan menjaga keaslian al-Quranul Karim.
Perjuangan Imam Husein Menegakkan Kebenaran
Sejarah selalu menjadi saksi atas perang antara hak dan batil, pertempuran para nabi dan orang-orang saleh dengan para tiran, kaum jahiliyah, dan kelompok sesat. Nabi Ibrahim as bangkit melawan Namrud, Musa as melawan Fir'aun, dan Nabi Muhammad Saw berjuang menghadapi kafir Quraisy.
Perang antara hak dan batil bergema hingga Karbala ketika Imam Husein as dan para sahabatnya bangkit melawan musuh agama. Para ksatria Karbala berjuang di sebuah medan jihad yang berat dan tidak seimbang demi menegakkan kebenaran dan keadilan.
Hari Asyura dimulai dengan penuh ketegangan dan keheningan. Imam Husein as bersama 72 sahabat setianya sedang menatap pasukan Umar bin Sa'ad di sisi lain Padang Karbala. Wibawa dan kegagahan orang yang paling mirip dengan Rasulullah Saw ini membuat barisan musuh tercengang.
Umar bin Sa'ad mendandani pasukannya dengan garang dan meminta mereka untuk mengayunkan pedang dan tombak demi menakut-nakuti pasukan Imam Husein as. Sesaat kemudian ia mengeluarkan perintah serangan.
Imam Husein memanfaatkan saat-saat genting itu untuk menyadarkan musuh dan berteriak lantang:
"Wahai manusia! Dengarkan kata-kataku dan jangan kalian terburu-buru ingin memerangiku hingga aku bisa memberi kalian nasihat yang mana kalian berhak untuk mendengarnya. Lihatlah siapa diriku dan diri kalian. Sadarlah dan perhatikan baik-baik kedudukan aku di sisi kalian. Apakah kalian boleh membunuhku dan menginjak-injak keluargaku. Bukankah aku adalah putra dari putri Nabi kalian dan putra washinya, orang pertama yang beriman kepada Nabi-Nya? Bukankah Hamzah, penghulu para syuhada adalah pamanku? Bukankah Ja’far at-Thayyar, yang memiliki dua sayap di surga kelak adalah pamanku? Bukankah kalian pernah mendengar sabda Nabi tentangku dan saudaraku Hasan bahwa dua putra ini adalah pemuka pemuda surga?
Jika kalian ragu dalam hal itu, maka apakah kalian juga ragu bahwa aku adalah anak dari putri Nabi kalian dan tidak ada lagi di bumi ini anak dari putri Nabi kalian selain diriku. Celakalah kalian! Adakah kalian hendak menuntut darahku sedangkan aku tidak pernah membunuh siapa pun di antara kalian? Adakah kalian akan meng-qisasku sedangkan aku tidak pernah mengusik harta benda kalian atau melukai seseorang dari kalian?"
Semua orang terdiam mendengar kata-kata Imam Husein as. Saat itulah Imam melanjutkan pidatonya, "Tidak! Aku bersumpah demi Allah, aku tidak akan tunduk pada kehinaan dan tidak akan lari seperti para budak."
Putra Fatimah az-Zahra ini kemudian membacakan dua ayat suci al-Quran dengan suara lantang, "Sesungguhnya aku hanya berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kalian dari kehendak kalian untuk merajamku." (QS. Ad Dukhaan: 20)
"Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kalian dari setiap manusia takabur yang tak beriman kepada hari pembalasan." (QS. Ad Dukhaan: 27)
Dzuhur Asyura pun tiba dan tidak berapa lama lagi pasukan musuh akan menerkam tubuh Imam Husein as. Para sahabatnya terjun ke medan perang dengan gagah berani untuk membela kebenaran dan kebebasan. Mereka semua berharap dihidupkan kembali setelah syahid agar bisa mengorbankan dirinya untuk putra Rasulullah Saw.
Ketika dzuhur tiba, Imam Husein meminta sedikit waktu untuk bermunajat kepada Allah untuk terakhir kalinya. Musuh menolak permintaan itu, tetapi Imam tetap mendirikan shalat tanpa peduli dengan tekanan dan hujanan panah musuh, dua sahabatnya gugur syahid dalam peristiwa itu.
Kekhusyukan dan ketenangan Imam Husein dalam shalat membuat para sahabatnya menitikkan air mata. Fenomena ini mengingatkan mereka pada sosok ayahnya, Imam Ali as dimana ia tidak pernah melewatkan shalat dalam perang dan berkata, "Kita berperang untuk menegakkan shalat."
Seorang pemuda yang tampan dan gagah datang meminta izin untuk berjihad. Ia adalah putra sulung Imam Husein, Ali al-Akbar. Saat akan berpisah, Imam menatap Ali al-Akbar dengan penuh cinta dan berdoa, "Ya Tuhanku! Jadilah saksi bahwa cara berjalan dan berbicara, wajah, dan kepribadian orang yang maju ke medan perang saat ini menyerupai Nabi-Mu. Jika kami, Ahlul Bait, rindu untuk menatap Rasulullah Saw, kami selalu memandang Ali al-Akbar dan terobatilah kerinduan kami. Ya Tuhanku! Hilangkanlah karunia duniawi atas para tentara itu dan jadikanlah mereka ling-lung dan mendapat bencana, sehingga mereka tidak dapat menguasai kami. Mereka telah mengundang kami untuk datang kemari, namun mereka juga memusuhi kami dan siap untuk membantai dan membunuh kami.”
Ali al-Akbar kemudian menerjang barisan musuh dan memukul mereka hingga tersungkur dari punggung kudanya. Terik matahari Karbala membuatnya tak kuasa menahan dahaga. Ali al-Akbar kembali ke kemah Imam Husein dan berkata, “Ayah, dahaga mencekik leherku. Jika setetes air membasahi rongga leherku, niscaya aku akan memenangkan pertempuran ini.”
Mendengar ucapan putranya itu, mata Imam Husein sembab, karena ia pun sudah berhari-hari tak mendapatkan seteguk air di Karbala. Ali al-Akbar kembali ke medan perang dalam kehausan yang mencekik. Pasukan musuh kali ini serentak mengepungnya dan menyerangnya dari segala penjuru. Serangan bertubi-tubi menghujam dan menyambar tubuh Ali al-Akbar. Tebasan pedang musuh menorehkan luka di sekujur tubuhnya. Ketika anak panah menancap tepat di dada dan perutnya, saat itu pula Ali al-Akbar membentur bumi dan gugur syahid di Karbala.
Setelah semua sahabatnya gugur syahid, sekarang hanya Imam Husein as yang tersisa, ia terkepung barisan musuh yang congkak dan hina. Ia datang mendekati kemah Ahlul Bait dan berpesan kepada Sayidah Zainab as (putri Imam Ali dan Sayidah Fatimah as), “Bawalah putraku Ali al-Asghar kemari, aku ingin berpamitan dengannya.”
Imam Husein memeluk anaknya yang masih bayi itu. Melihat pemandangan itu, Zainab berkata, “Wahai kakakku! Bayi ini sudah lama tidak minum air. Mintalah seteguk air untuknya dari pasukan itu.”
Imam membawa putranya itu di hadapan pasukan musuh dan berkata kepada mereka, “Wahai kalian semua, jika kalian enggan berbelas kasih kepadaku, maka berbelas kasihlah kepada bayi yang menyusui ini. Apakah kalian tidak menyaksikan bagaimana ia membuka dan menutup mulutnya karena rasa haus yang mencekik?”
Namun hanya sesaat setelah Imam Husein as menyelesaikan ucapannya itu, tiba-tiba anak panah yang dilepaskan oleh salah seorang pasukan Kufah yang bernama Harmalah bin Kahil al-Asadi, tepat mengenai leher Ali al-Asghar yang seketika itu juga menemui ajalnya.
Imam Husein as sangat terpukul dengan kejadian ini, ia menangis dan berseru kepada Allah Swt, “Ya Allah, Engkaulah yang menjadi saksi dan hakim antara kami dan mereka. Mereka telah mengajak kami untuk menjadi penolongnya, namun mereka justru membantai dan membunuh kami.”
Imam Husein as kemudian memenuhi telapak tangannya dengan darah putranya itu dan memerciknya ke langit sambil berkata, “Setiap kesulitan yang aku hadapi, itu mudah bagiku untuk memikulnya, karena ini adalah kehendak Allah.” Setelah itu, Imam turun dari kudanya dan menggali sebuah liang dengan ujung pedangnya untuk menguburkan jasad Ali al-Asghar.
Matahari perlahan menyingsing di ufuk Barat, tetesan darah menutupi butiran pasir di Karbala. Suara lantunan doa Imam Husein as memecah keheningan, ia berseru kepada Allah Swt, “Aku bersabar atas qadha dan qadar-Mu wahai Tuhan yang tiada Tuhan lain selain-Mu… Wahai Tuhan yang menimbang setiap orang dengan amalannya, putuskanlah antara aku dan mereka, karena Engkau adalah sebaik-baiknya hakim.”
Sebuah tragedi besar terjadi pada sore hari Asyura. Pasukan musuh memisahkan kepala cucu Rasulullah Saw ini dari badannya dan kemudian menancapkannya di ujung tombak. Namun, darah Imam Husein dan para sahabatnya telah membangkitkan sebuah gerakan besar dalam sejarah, yang menjadi inspirasi bagi semua gerakan pembebasan.
Imam Husein as menjadi teladan abadi bagi kemanusiaan dan jalan sucinya menjadi teladan untuk semua generasi yang merindukan kebenaran.
Salam atasmu wahai Husein, wahai putra Rasulullah. Salam atasmu dan atas jiwa-jiwa yang suci yang mengorbankan jiwa mereka untukmu, engkau telah mengorbankan darahmu sehingga manusia terbebas dari kebodohan dan kesesatan. Semoga rahmat Allah selalu tercurahkan untukmu.
Imam Hadi as, Bintang Cemerlang Pemberi Hidayah
Imam Hadi as lahir ke dunia pada tanggal 15 Dzulhijjah 212 HQ di sebuah desa bernama Sharya, dekat Madinah. Keberadaannya menyinari bagian kegelapan dari kebodohan dan ketidakberimanan. Bayi yang kemudian menjadi sumber kejayaan dan kebanggaan Islam.
Kita berada di peringatan hari kelahiran seorang Ahlul Bait as. Hari kelima belas dari bulan Dzulhijjah bertepatan dengan kelahiran Imam Hadi as. Tidak diragukan lagi bahwa hari-hari kelahiran para wali Allah dipenuhi dengan berkah dan kebaikan. Di hari ini, kami memohon kebahagiaan Anda kepada Allah dan sekaligus mengucapkan selamat atas kelahiran Imam Hadi as.
Imam Hadi as setelah ayahnya, Imam Jawad as gugur syahid, mengambil tanggung jawab memimpin umat Islam selama 33 tahun. Di masa Imam Hadi as, masyarakat Islam mengalami periode penuh pergolakan. Batas geografi dunia Islam sudah sangat luas dan banyak pemikiran dari bangsa-bangsa lain yang masuk ke dalam masyarakat Islam, sehingga terbentuk banyak aliran pemikiran. Setiap pemikian ini memiliki akidah dan kepercayaan khusus yang disebarkannya. Akhirnya, konflik dan perselisihan yang merugikan terjadi dan tidak dapat dielakkan di antara para pemikiran yang ada.
Sementara kebijakan pemikiran para penguasa Bani Abbasiah dan bagaimana mereka mengikuti dan mendukung sebagian pemikiran justru menambah perselisihan yang ada. Kedengkian, fanatik dan memanfaatkan agama serta permusuhan begitu terlihat nyata, sehingga pada puncaknya semua faktor yang ada merugikan masyarakat Islam, khususny pengikuti Syiah dan pecinta Ahlul Bait as.
Imam Hadi as mengikuti secara penuh Sunnah Rasulullah Saw dan berusaha serius untuk merealisasikan persatuan umat Islam. Persatuan umat Islam merupakan prinsip dan nilai-nilai yang mendapat penegasan Nabi Muhammad Saw dan menurut beliau, kemuliaan dan kekuatan umat Islam di semua bidang berada di bawah cahaya persatuan dan solidaritas dalam menghadapi musuh bersama.
Imam Hadi as menerapkan mekanisme dan metode yang beragam untuk mempertahankan persatuan dan menciptakan koherensi di antara umat Islam. Salah satu mekanisme paling penting yang diterapkan beliau adalah penekanan akan dua prinsip bersama. Imam Hadi as sangat memperhatikan al-Quran dan perilaku Nabi Muhammad Saw sebagai dua prinsip bersama dalam kehidupan umat Islam dan bersandar pada keduanya dalam banyak kasus.
Dalam surat kepada para pengikut Syiah yang membahas mengenai perselisihan mereka, beliau menulis, "... Sesungguhnya seluruh umat Islam sepakat bahwa al-Quran itu benar dan tidak ada keraguan di dalamnya... Karenanya, ketika al-Quran bersaksi akan kebenaran sebuah riwayat, maka umat Islam harus mengakui riwayat tersebut. Karena ketika semua sepakat akan prinsip kebenaran al-Quran, keluarnya sekelompok umat Islam dari prinsip ini sama artinya dengan keluar dari umat Islam." Dengan demikian, sesuai dengan yang disampaikan Imam Hadi as, tidak ada satupun muslim yang meragukan prinsi al-Quran. Dari sini, bila al-Quran membenarkan sebuah berita, semua umat Islam harus menerimanya.
Imam Hadi as di sebagian urusan mazhab dan khususnya orang-orang Syiah menetapkan metode dan perilaku Rasulullah Saw sebagai parameter dalam pekerjaannya. Sebagai contoh, ketika sakit, beliau meminta kepada Abu Hasyim al-Ja'fari, seorang alim dan tokoh Syiah untuk mengirim seseorang dari yang dikenal dan Syiah ke Karbala untuk berdoa demi kesembuhan dirinya. Abu Hasyim mengutus seorang bernama Ali bin Bilal yang menerima perintah tersebut. Ia berkata, Imam sejajar dengan pribadi yang berada di Hair. Yakni, Imam Hadi as sejajar dengan Imam Husein sebagai Imam dan doa beliau untuk dirinya sendiri tentu lebih unggul dariku dan lebih cepat diijabahi.
Abu Hasyim mengabarkan berita ini kepada Imam dan sebagai jawabannya beliau berkata, "Nabi Muhammad Saw lebih mulia dari Ka'bah dan Hajar al-Aswad, tapi tetap mengitari dan thawaf mengelilingi Ka;bah dan mencium Hajar al-Aswad. Allah Swt memiliki tempat di bumi yang disukai agar manusia beribadah di sana dan di tempat-tempat yang diinginkan Allah ini, bila ada yang memohong kepada-Nya, pasti Allah kabulkan. Kuburan Imam Husein as termasuk salah satu dari tempat tersebut."
Taqiyah merupakan salah satu instrumen penting di bidang budaya dan sosial yang digunakan oleh para Imam Syiah as, khususnya pasca syahadah Imam Husein as. Di masa Imam Hadi as, dikarenakan kondisi yang mencekam dan tekanan yang luar biasa khalifah kepada para pengikut Syiah dan keluarga Ahlul Bait as, perhatian terhadap taqiyah menjadi lebih besar, sehingga sebagian Syiah terpaksa harus menutupi akidahnya, bahkan ada yang terpaksa menyatakan keyakinan yang bertentangan dengan apa yang diyakininya.
Sebagaimana seorang Syiah yang berada dalam kondisi yang demikian, maka ia terpaksa menyatakan keyakinan yang berbeda dengan akidahnya. Setelah itu, ia menanyakan masalahnya kepada Imam Hadi as. Waktu itu Imam Hadi as membenarkan apa yang dilakukannya dan mengabarkannya bahwa dirinya akan bersama Imam di surga yang paling tinggi dan menyebut itu merupakan pahala Allah karena akidahnya. Dalam riwayat Imam Hadi as menilai meninggalkan taqiyah seperti orang yang meninggalkan shalat dan berkata, "انِّ تارِکَ التَّقیهِ کتارکِ الصَّلوهِ."
Doa dalam al-Quran memiliki posisi dan urgensi khusus serta dikenal sebagai senjata orang mukmin dan tiang agama. Imam Hadi as secara khusus memberikan perhatian akan doa dan memanfaatkannya untuk memindahkan pengertian dan kandungan agama. Sejatinya, beliau menjelaskan banyak masalah agama seperti nilai-nilai akhlak dan posisi Ahlul Bait as dalam bingkai doa seperti yang dilakukan sebelumnya oleh Imam Sajjad as.
Imam Hadi as dalam salah satu doanya, setelah memuji Allah, permohonan pertamanya dari Allah Swt adalah shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad Saw dan keluarga sucinya dan berkata, "Ya Allah! Kebutuhan pertaku yang aku mohon kepada-Mu adalah bertawasul dan mendekatkan diri dengan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Aku memohon kepada-Mu shalawat terbaik yang pernah Engkau perintahkan dan salam terbaik yang diinginkan dari hamba-Mu dan aku mohon agar sampaikan shalawat kepadanya dan keluarganya hingga Hari Kiamat"
Melanjutkan doanya, Imam Hadi as memohon kebutuhannya disertai dengan shalawat dan memohon agar ia tidak dipisahkan dari Ahlul Bait as dan menerima perbuatannya dengan bertawasul kepada mereka. Karenanya beliau memohon, "Ya Allah! Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad serta di dunia dan akhirat jangan pisahkan aku dengan mereka dan terima perbuatanku karena mereka."
Penyimpangan pemikiran dan keyakinan merupakan konflik penting yang sering terjadi di dunia Islam waktu itu, bahkan sampai sekarang. Di masa keimamahan Imam Hadi as, muncul banyak khurafat dan penyimpangan akidah yang akarnya bila ditelusuri sampai kepada pemerintahan Imam Ali as. Di masa itu, sebagian orang yang imannya lemah ketika melihat keramat dan keagungan Imam Ali as, mereka menisbatkan sifat-sifat ketuhanan yang hanya khusus bagi Allah dan meyakini derajat beliau bahkan di atas Imam dan Nabi Muhammad Saw.
Imam Ali as melawan mereka dan selama itu pula beliau selalu menekankan bahwa para pengikut Syiah terkait hak para Imam tidak boleh melewati batas seorang hamba. Beliau bukan saja menilai permusuhan dengan Ahlul Bait as sebagai faktor kebinasaan, tapi juga kecintaan yang ekstrem juga penyebab kehancuran mereka. Beliau berkata, "Dua kelompok yang menelusuri jalan kesalahan tentang diriku dan akan binasa; pecinta yang berlebihan dalam cintanya dan musuh yang ekstrem dalam kedengkiannya."
Namun setelah Imam Ali as, kelompok yang menentang Syiah, khususnya para khalifah Bani Umayah dan Abbasiah berusaha menciptakan perselisihan di antara para pecinta Ahlul Bait as dan juga berusaha agar semua masyarakat menjadi benci, mereka berusaha menyebarkan akidah ini. Pada periode Imam Hadi as, salah satu masalah budaya masyarakat Islam adalah sikap ekstrem ini yang mendapat dukungan serius dari para khalifah Bani Abbasiah.
Imam Hadi as sendiri memahami pentingnya menghadapi kelompok ekstrem dan sesat ini dan bangkit melawan mereka. Selain menyampaikan dirinya berlepas tangan dari mereka, beliau juga memerintahkan pengikut Syiah untuk menjauhi mereka lalu mengungkap akidah sesat mereka. Sebagaimana dalam surat yang diberikan kepada salah satu sahabatnya menyebut beliau berlepas tangan dari pribadi seperti Qahri dan Ibn Baba Qummi dan memperingatkan seluruh Syiah akan dua orang ini. Dalam suratnya itu, Imam Hadi as menjelaskan juga alasannya, "Ibn Baba beranggapan saya mengutusnya sebagai nabi dan ia adalah bab atau pimpinan saya. Allah Swt melaknatnya. Setan telah menguasai dirinya dan ia telah sesat."
Dengan mencermati situasi mencekam di pusat khilafah Islam dan larangan mereka untuk melaksanakan prinsip dan dasar Islam yang hakiki, para Imam Maksum as berusaha mendidik para tokoh hebat, sehingga dengan cara ini dapat mendidik dan mengajar masyarakat secara tidak langsung. Sesuai dengan bukti-bukti sejarah, Imam Hadi as setidaknya berhasil mendidik 185 murid di pelbagai bidang ilmu pengetahuan Islam. Di antara mereka banyak yang menjadi ulama dan ahli fiqih dan memiliki banyak karya tulis.
Imam Hadi as
Sayid Abdul Azhim al-Hasani as yang makam sucinya di kota Rey, Tehran, termasuk murid Imam Hadi as. Fadhl ibn Syadzan juga termasuk sahabat dan murid terkenal Imam Hadi as. Ia memiliki posisi terkenal, dimana Imam Hasan Askari as berkata, "Saya merasa warga Khurasan sangat beruntung karena ada Fadhl bin Syadzan bersama mereka." Menarik bahwa setiap murid Imam Hadi as yang terkenal ada di pelbagai daerah. Sayid Abdul Azhim di kota Rey, Fadhl bin Syadzan di Khorasan, Husein bin Said al-Ahwazi di kota Ahwaz dan lain-lain.
Selain itu, para murid dan sahabat terkenal Imam Hadi as juga ternyata ada yang bekerja di istana. Ibnu Sikkit adalah seorang alim terkenal termasuk dari murid Imam Hadi as dari jenis ini. Ia adalah murid Imam tapi menyusup di istana Bani Abbasiah dan bahkan hadir dalam sesi debat yang dipersiapkan untuk Imam Hadi as.
Kehidupan Qur’ani Imam Musa al-Kazhim
Pada suatu hari, Imam Musa al-Kazhim as melintasi gang tempat kediaman Bishr bin Harits al-Hafi. Saat itu seorang pembantu wanita keluar dari rumah tersebut untuk membuang sampah dari sisa acara pesta.
Imam Kazhim kemudian bertanya kepada pembantu itu, "Apakah pemilik rumah ini orang bebas (merdeka) atau budak?" Dia menjawab, "Tentu saja dia orang bebas!" Imam lalu berkata, "Engkau benar, karena jika dia adalah seorang hamba, dia akan takut kepada Tuannya dan beramal sesuai tuntutan penghambaan."
Pembantu itu kembali ke rumah ketika Bishr sedang di meja anggur. Bishr bertanya mengapa ia tidak segera balik ke rumah setelah membuang sampah. Pembantu itu kemudian bercerita kepada Bishr tentang apa yang dikatakan Imam Kazhim as, "Bagaimana Bishr bisa menjadi hamba, sementara ia tidak patuh kepada Tuannya yaitu Allah (Maha Perkasa dan Maha Tinggi)."
Bishr terguncang dengan kata-kata itu. Dia bergegas keluar rumah untuk mengejar Imam Musa al-Kazhim sampai lupa memakai sandal. Dia berkata, "Wahai tuanku! Ulangilah padaku apa yang kau katakan kepada perempuan ini."
Imam Kazhim as kemudian mengulangi ucapannya. Seketika secercah cahaya bersinar dalam hati Bishr dan ia menyesali perilakunya. Dia mencium tangan Imam dan mengusapkan tanah pada pipinya. Diiringi isak tangis ia berkata, “Iya, aku adalah hamba... iya aku adalah hamba.”
Sejak saat itu, Bishr tidak memakai sandal lagi selama sisa hidupnya karena dia ingin mengingat keadaan yang ia alami ketika memutuskan untuk bertaubat. Dia kemudian dikenal sebagai al-Hafi yang berarti Bertelanjang Kaki.
Bishr bin Harits al-Hafi adalah salah satu contoh dari sosok yang memperoleh cahaya hidayah di tangan Imam Musa as dan mengubah jalan hidupnya ke arah yang diridhai Allah Swt.
Imam Musa al-Kazhim lahir pada bulan Dzulhijjah 127 Hijriyah di sebuah desa bernama Abwa di pinggiran kota Madinah. Ia adalah putra Imam Jakfar as-Shadiq as dan ibunya bernama Hamidah. Ketika putranya itu lahir, Imam Shadiq berkata, "Allah telah menganugerahkan kepadaku manusia terbaik."
Mengamalkan al-Quran di seluruh hidupnya merupakan salah satu dari kriteria orang-orang shaleh, terutama para imam maksum. Imam Musa bin Jakfar as juga menularkan nilai-nilai al-Quran kepada kaum Muslim dan mengajak mereka untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan. Kehadiran al-Quran harus benar-benar terasa dalam kehidupan kita, karena ia adalah kitab pedoman kehidupan manusia.
Imam Kazhim as di masa kepemimpinannya selama 35 tahun, memainkan peran besar dalam menghidupkan makrifat al-Quran. Ia menaruh perhatian besar pada wahyu Ilahi ini dan tidak hanya mengajak masyarakat untuk membaca dan mengamalkan ayat-ayatnya, tetapi ia sendiri menjadi teladan dalam mempraktekkan ajaran al-Quran.
Sheikh Mufid dalam bukunya, al-Irshad menulis, "Imam Kazhim as adalah orang yang paling mengenal al-Quran di zamannya. Ia adalah pelindungnya dan penyebar ajarannya kepada orang-orang. Ia orang yang paling mengenal al-Quran dari segi nada bacaan dan suara. Setiap kali membaca al-Quran, para pendengarnya sangat tersentuh dan menangis."
Imam Kazhim tidak hanya memperhatikan kedudukan al-Quran dan dimensi personalnya, tetapi salah satu aktivitas utamanya adalah menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Imam melalui berbagai metode berusaha menambah derajat makrifat dan pemahaman masyarakat Muslim.
Imam juga menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan kedudukan khusus Ahlul Bait Nabi as. Ia mendorong para pengikutnya dan masyarakat agar selalu berinteraksi dengan al-Quran dan meningkatkan kedekatan dengannya.
Ia menjelaskan tentang al-Quran, rahasia-rahasianya, dan makrifat yang dikandungnya. Ia juga mengutip riwayat dari para imam sebelumnya tentang keagungan al-Quran.
Hussein ibn Ahmad al-Minqari berkata, "Aku mendengar dari Imam Musa ibn Jakfar as yang berkata, 'barang siapa yang merasa cukup dengan satu ayat al-Quran dan menganggap itu cukup untuk menjaga dirinya, maka satu ayat itu sudah cukup baginya dari Timur sampai Barat dengan syarat ia beriman dan yakin kepadanya."
Imam Kazhim mengajarkan pelajaran penting tentang kandungan al-Quran kepada salah satu muridnya, Hisham ibn Hakam di mana sebagian dari pelajaran itu dimuat dalam kitab Tuhaf al-Uqul. Ia mengajarkan muridnya itu mengenai teologi dan kedudukan akal dengan menggunakan 20 ayat dari al-Quran.
Imam Kazhim berkata kepada Hisham, “Sesungguhnya Allah Swt memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang menggunakan akalnya dalam kitabnya dan berfirman, ‘… sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.’” (QS: Az-Zumar, ayat 17-18)
Jelas bahwa keteguhan dan sikap konsisten di jalan kebenaran memerlukan sebuah pijakan yang kuat. Berdasarkan ajaran al-Quran, sandaran terbaik para pencari kebenaran adalah Allah Swt. Dia meminta manusia untuk meminta pertolongan dengan sabar dan shalat.
Makam Imam Musa al-Kazhim as dan Makam Imam Muhammad al-Jawad as di kota Kazhimain, Irak.
Dengan pedoman al-Quran, Imam Kazhim as bangkit melawan pemikiran-pemikiran menyimpang dan batil di tengah masyarakat, dan ia tidak pernah merasa takut terhadap orang-orang yang zalim. Ia menghabiskan malamnya dengan bertaubat dan beristighfar serta bersimpuh untuk waktu yang lama di hadapan Tuhan.
Suatu hari Harun al-Rasyid bertanya kepada Imam Kazhim, “Wahai putra Rasulullah, kami telah menghabiskan banyak uang, mengeluarkan tenaga, dan melakukan propaganda, tetapi masyarakat tetap mencintai dirimu yang merupakan anak-cucu Rasulullah. Semakin kami meningkatkan propaganda, hasil yang kami peroleh justru sebaliknya dan masyarakat tidak menyukai kami Bani Abbas.”
Imam menjawab, “Apakah engkau tahu penyebabnya? Perbedaan engkau dan aku adalah bahwa aku memerintah atas hati masyarakat (merebut hati masyarakat), tetapi engkau dan orang-orang sepertimu merampas kekuasaan dengan zalim dan memerintah atas raga mereka, sementara kami para auliya Allah memerintah atas hati masyarakat. Allah membalikkan semua pikiran orang ke arah kami dan inilah perbedaan antara aku dan engkau.”
Imam Kazhim memiliki hubungan yang sangat erat dengan al-Quran di sepanjang hidupnya. Dia terus menyebarluaskan ajaran al-Quran seperti yang biasa dilakukan ayahnya, Imam Jakfar al-Shadiq, melalui sekolah-sekolah Islam yang dibuka di Madinah sejak masa Imam Muhammad al-Baqir as.
Imam Kazhim dikenal sebagai ‘Abdu al-Saleh’ karena kezuhudan yang besar dan ibadah yang banyak, ia disebut Kazhim karena mampu meredam amarah dan memiliki kesabaran yang luar biasa dalam menghadapi cobaan. Di malam hari, ia mendatangi gang-gang di Madinah untuk membagikan makanan kepada fakir-miskin. Di ruang shalat Imam Kazhim hanya terdapat sepotong baju dari kain yang kasar, al-Quran, dan pedang.
Karakteristik utama Imam Musa al-Kazhim as adalah menyebarkan kebenaran dan memerangi kebatilan. Menuntut kebenaran dan memerangi kezaliman telah menjadi sebuah tujuan luhur dalam kehidupan pribadi dan sosialnya. Ia membela kebenaran dan nilai-nilai kemanusiaan dengan menanggung banyak kesulitan, termasuk dipenjara dalam waktu yang lama.