
کمالوندی
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 167-171
Ayat ke167
Artinya:
Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: "seandainya kami dapat kembali ke dunia, pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka, dan sekali-kali mereka tidak akan ke luar dari api nereka.
Dalam sejumlah ayat sebelum ini, telah dijelaskan bahwa manakala orang-orang yang berbuat jahat menyaksikan siksa Allah, maka para pemimpin mereka berlepas diri dari para pengikutnya. Karena cinta kasih yang berlandaskan kepada hawa nafsu dan harapan, pada hari kiamat nanti akan berubah menjadi permusuhan dan kedengkian.
Ayat di atas menjelaskan bahwa para ahli neraka meminta kepada Allah supaya dapat kembali ke dunia dan menunjukkan kebencian dan kemuakannya terhadap para pemimpin mereka sewaktu di dunia. Karena mereka tidak memperoleh apapun dari perbuatan-perbuatan mereka kecuali penyesalan. Namun apa gunanya penyesalan, karena jalan untuk kembali sudah tertutup rapat.
Di hadapan para penganut akidah Jabariyah (Determinisme) ayat ini memberikan penjelasan tentang kebebasan manusia untuk memilih di dunia. Karena penyesalan mengindikasikan bahwa kita dapat melakukan selain yang telah berlaku. Namun kita telah memilih jalan yang salah menurut pilihan kita sendiri.
Ayat ke168
Artinya:
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Makan dan minum merupakan tuntutan fitrah dan naluri, bahkan keperluan kepada makanan adalah salah satu dari keperluan asasi semua manusia. Namun sebagaimana pada kebanyakan perkara lainnya, dalam pemenuhan keperluan makan ini adakalanya terjadinya ifrath dan tafrith atau ekstrim berlebihan dan berkekurangan.
Adasebagian orang yang hendak menuruti segala yang diinginkan hawa nafsu dalam makan dan minum tanpa menerima sebarang peraturan dan standar dan mereka mengabaikan sisi akal dan syariat. Adakah perbuatan itu boleh atau diharamkan. Begitu pula adakah makanan itu diperoleh dari cara yang halal atau haram? yang mereka tuju semata-mata untuk mengenyangkan perut dan memenuhi hawa nafsu.
Di pihak lain, beberapa orang lainnya tanpa argumentasi dan alasan yang memuaskan, tidak mau makan apa yang telah diperbolehkan oleh akal dan syaariat. Mereka berpikir bahwa cara ini identik dengan perjuangan melawan hawa nafsu. Islam adalah agama yang sempurna. Islam memiliki peraturan dalam soal makanan dan minuman. Islam menghalalkan apa yang diperlukan oleh badan manusia. Adapun yang merugikan dan membahayakan jasmani dan ruh manusia diharamkan.
Ayat tadi menjelaskan bahwa apa yang ada di bumi adalah diciptakan untuk manusia. Oleh karena itu, makanlah apa yang sesuai dan halal bagi anda dan janganlah anda sekali-kali menghalalkan atau mengharamkan sesuatu tanpa dalil wahyu atau hadis. Karena perbuatan itu adalah program setan untuk menyesatkan kalian. Sama seperti yang telah dilakukan setan terhadap Nabi Adam dan Sayidah Hawa, sehingga mereka bersedia memakan buah khuldi yang terlarang. Minum minuman keras adalah perbuatan setan dan menjauhi benda-benda halal biasanya mengacu kepada ideologi batil dan khurafat juga bisikan setan.
Ayat ke 169
Artinya:
Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.
Ayat sebelumnya mengatakan, "setan adalah musuh kalian", sementara ayat ini menyebutkan, "tanda permusuhan setan terhadap kalian adalah senantiasa menyeru kalian kepada keburukan yang hasil kesemuanya adalah kesengsaraan dan kegelapan hati." Hal itu dilakukan setan meskipun ia tidak memiliki kekuasaan terhadap kita, sehingga dapat mencabut kebebasn kita untuk memilih. Melainkan maksud dari perintahnya kepada perbuatan dosa, adalah bisikan-bisikannya yang setiap kali dilakukan mampu melemahkan iman manusia. Bila iman manusia melemah, gangguannya akan semakin mengena. Setan juga menyeru manusia untuk berbuat dosa dan juga menunjukkan justifikasinya.
Berdusta atas nama Allah merupakan salah satu dari pembenaran perbuatan dosa yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan menyeleweng berdasarkan kebodohan dan khurafat dan selanjutnya untuk menjustifikasi perbuatannya tadi dan menisbatkannya kepada Allah.
Ayat ke170
Artinya:
Dan apabila dikatakan kepada mereka, ikutilahh apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: "Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami, apakah mereka akan mengikuti juga, walupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?
Memelihara budaya dan tradisi nenek moyang merupakan suatu perkara yang bernilai, namun di tempat dimana tradisi itu berpijak kepada akal, pemikiran atau wahyu ilahi, bukannya kita mengikuti tradisi khurafat orang-orang terdahulu lantaran fanatisme.
Salah satu dari jalan setan untuk menyusup dalam diri manusia, adalah taklid buta terhadap nenek moyang, dimana manusia sebagai ganti mentaati perintah-perintah ilahi, mereka melakukan tradisi-tradisi salah orang-orang terdahulu tanpa banyak pikir. Padahal mereka menyadari bahwa perbuatan tadi salah dan agama pun melarang mereka melakukan perbuatan tersebut.
Ayat ke171
Artinya:
Dan perumpamaan orang yang menyeru orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka oleh sebab itu mereka tidak mengerti.
Ayat sebelumnya mengatakan, orang-orang kafir mengikuti secara buta akidah-akidah khurafat nenek moyang mereka, padahal orang-orang terdahulu memperoleh akidah-akidah tadi tidak berdasarkan wahyu dan pikiran. Ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang kafir, tidak berpikir dan berusaha untuk menemukan kebenaran. Mereka justru menutup mata dihadapan kebenaran, supaya tidak melihat dan mendengar. Persis seperti kambing-kambing, yang semakin penggembalanya menakut-nakuti kambing-kambing tersebut dengan satu bahaya, kambing-kambing tadi tidak memahami teriakan penggembal tadi kecuali teriakan dan suara keras.
Mereka itu bagaikan hewan yang memiliki mata, telinga dan lidah, namun mereka tidak berpikir, dari itulahh, mereka tidak dapat mengerti kebenaran, dan cenderung kepada tradisi-tradisi salah nenek moyang mereka dan menerima serta melaksanakan apa yang dikatakan oleh nenek moyang mereka tanpa menambahi dan menguranginya.
Dari lima ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Manusia bukanlah binatang yang menjadi budak perut, melainkan harus memenuhi keperluan makannya dalam kerangka hukum-hukum ilahi dari apa yang halal dan baik (tayyibah).
2. Siapa saja yang mengajak manusia kepada dosa dan perbuatan keji, ia adalah setan meskipun lahiriahnya berwajah manusia.
3. Mengikuti tradisi dan adat istiadat nenek moyang akan bernilai positif, bilamana berlandaskan kepada akal dan ilmu pengetahuan, jika tidak, pemindahan khurafat dari generasi ke generasi lain, tidak akan membuahkan sesuatu kecuali keterbelakangan dan kemunduran.
4. Nilai manusia terletak dalam akal dan pikirannya, karena kalau tidak, binatang juga memiliki mata dan telinga serta lisan.
Membedah Makna Syafaat dalam Pandangan Mazhab Syiah dan Ahli Sunnah
Memberikan syafaat di sisi Allah pada hari kiamat bukanlah kedudukan yang dapat dicapai oleh semua orang. Tetapi merupakan kedudukan orang-orang yang dimuliakan dan diistimewakan oleh Allah. Syafaat disalah pahami dan terkadang dijadikan sebagai pelarian dari pelaksanaan kewajiban.
Padahal syafaat adalah hasil amal perbuatan. Bahwa jika seorang hamba beramal saleh maka layak baginya mendapatkan syafaat. Misalnya, tidak lalai dari Allah dan tidak menjadikan syafaat Nabi dan Para kekasih Allah sebagai alasan boleh berbuat dosa.
a)Hadis-hadis tentang prinsip "syafaat":
Dalam kitab Raudhatu al-Waizhin, al-Qathan meriwayatkan dari as-Sukri dari al-Jauhari dari Muhammad bin Imarah dari ayahnya; Imam Shadiq as berkata: "Bukanlah dari golongan kami siapa yang mengingkari tiga perkara ini: mi'raj Nabi, pertanyaan dalam kubur dan syafaat." (Naisaburi, juz 2, hal 501; Shaduq, 1370, hal 294; al-Majlisi, 1403, juz 8, hal 37)
Riwayat dari Zaid bin Arqam dan sepuluh sahabat; Rasulullah saw bersabda: "Syafaatku pada hari kiamat adalah kebenaran, maka siapa yang tidak mengimaninya tidak tergolong orang-orang yang disyafaati." (Hindi, 1985 M, juz 14, hal 399)
b) Hadis-hadis tentang Siapa yang Memberi Syafaat:
Sebuah riwayat dalam kitab Sunan Turmudzi; Rasulullah saw bersabda: "Di dalam al-Qur`an sebuah surat yang memuat tiga puluh ayat memberi syafaat bagi seorang hamba (yang membacanya), sehingga ia diampuni Allah, yaitu surat al-Mulk." (Turmudzi, 1403 h, juz 4, hal 238)
Imam Ali as berkata: "Ketahuilah bahwa al-Qur`an diterima syafaatnya dan dibenarkan perkataannya. Siapa yang disyafaati al-Qur`an pada hari kiamat, maka berkat al-Qur`an lah ia mendapatkan syafaat." (Nahjul Balaghah, khutbah 176)
1)Nabi Muhammad Saw:
Dalam kitab al-Mahasin karya al-Barqi; Ayahku meriwayatkan dari Qasim bin Muhammad Hakam bin Nafi' dari Ali bin Abu Hamzah, Imam Shadiq as berkata: "Semua manusia dari masa awal sampai masa akhir pada hari kiamat memerlukan syafaat Muhammad." (al-Barqi, 1371 h, juz 1, hal 184; al-Majlisi, juz 8, hal 42)
Dalam Sunan ad-Darimi riwayat yang disampaikan oleh Hakam bin Nafi' dari Syuaib dari az-Zuhri dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah; Nabi saw bersabda: "Setiap nabi menyerukan doa, dan jika Allah menghendaki aku ingin menahan doaku untuk supaya dapat mensyafaati umatku pada hari kiamat." (ad-Darimi, 1349 H, juz 2, hal 328)
2)Al-Qur`an:
Dalam kitab Sunan Turmudzi; Rasulullah saw bersabda: "Di dalam al-Qur`an sebuah surat yang memuat tiga puluh ayat memberi syafaat bagi seorang hamba (yang membacanya), sehingga ia diampuni Allah, yaitu surat al-Mulk." (Turmudzi, 1403 h, juz 4, hal 238)
Imam Ali as berkata: "Ketahuilah bahwa al-Qur`an diterima syafaatnya dan dibenarkan perkataannya. Siapa yang disyafaati al-Qur`an pada hari kiamat, maka berkat al-Qur`an lah ia mendapatkan syafaat." (Nahjul Balaghah, khutbah 176)
3)Malaikat:
Rasulullah saw bersabda: "Para nabi, washi, orang mukmin dan malaikat adalah yang memberi syafaat. Di antara kaum mukmin adalah orang-orang yang mensyafaati seperti kabilah Rabiah dan Mudhar. Sedikitnya orang mukmin yang mensyafaati tiga puluh orang. Syafaat tidak akan dimiliki kaum musyrik, orang-orang yang syak (tidak beriman), yang kafir dan pembangkang. Tetapi dimiliki orang-orang beriman yang bertauhid." (al-Majlisi, juz 8, hal 58)
Dalam Sunan an-Nasa`i; Rasulullah saw bersabda: "Setelah Allah mengadili hamba-hamba-Nya dan hendak mengangkat mereka dari api, Dia memerintahkan para nabi dan malaikat supaya mensyafaati. Dan orang-orang yang disyafaati mempunyai tanda yang dapat dikenali, yaitu jika mereka adalah ahli sujud salat, maka api neraka tidak dapat membakar dahi mereka." (Nasa`I, 1348, juz 2, hal 181)
4) Para nabi:
Dalam Musnad Ahmad bin Hanbal; Rasulullah saw bersabda: "Jika telah dipilah antara para ahli surga dan para ahli neraka, lalu yang ahli surga memasuki surga dan yang ahli neraka memasuki neraka. Maka para rasul bangkit untuk memberi syafaat." (Ibnu Hanbal, juz 3, hal 325)
Syekh Shaduq as meriwayatkan; Dari Ali as: Rasulullah saw bersabda: "Tiga kelompok yang member syafaat di sisi Allah dan syafaat mereka diterima, yaitu para nabi, ulama dan syuhada di jalan Allah." (Shaduq, 1403 H, 156)
4)Kaum mukmin:
Dalam kitab Ta`wil al-Ayat azh-Zhahirah sebuah riwayat dari Aban bin Taghlab; "Aku mendengar Abu Abdillah berkata, "Sesungguhnya orang mukmin pada hari kiamat akan memberi syafaat bagi keluarganya, sampai ketika tinggal pembantunya seorang, dia mengangkat kedua tangannya seraya berucap: "Tuhanku, syafaatilah pembantuku yang (selama hidupku di dunia) telah menjaga aku dalam kepanasan maupun kedinginan." Lalu Allah menerima syafaatnya untuk pembantunya itu." (Ta`wil al-Ayat azh-Zhahirah, juz 1, hal 387; al-Bihar, juz 8, hal 61)
Rasulullah saw bersabda: "Para nabi dan malaikat serta kaum mukmin akan memberi syafaat. Maka Allah berkata, "Tinggallah[1] syafaat-Ku!". (al-Bukhari, juz 9, hal 160)
6-Syuhada (Orang-orang yang mati syahid di jalan Allah):
Ahmad bin Hanbal dalam musnadnya meriwayatkan; Rasulullah saw bersabda: "Diperkenankan bagi para malaikat, para nabi dan syuhada untuk memberi syafaat. Maka mereka mensyafaati, dan mereka mengeluarkan siapa yang ada setitik iman di hatinya, dari api neraka." (Musnad Ibn Hanbal, juz 5, hal 43)
Syekh Shaduq as meriwayatkan hadis dari Imam Ali as; Rasulullah saw bersabda: "Tiga kelompok yang memberi syafaat di sisi Allah Azza wa Jall; pertama para nabi, kemudian ulama lalu syuhada." (Shaduq, hal 156)
7-Ulama:
Ahmad bin Muhammad meriwayatkan dari ayahnya dari Abu Abdillah as; "Apabila telah datang hari kiamat, Allah membangkitkan orang alim dan orang ‘âbid. Ketika mereka berdiri di di hadapan Allah dikatakan kepada si abid, "Pergilah ke surga!" Dan dikatakan kepada si alim, "Tetaplah di tempat dan syafaatilah orang-orang yang telah kamu ajari ilmu." (Shaduq, juz 2, hal 394, al-Bihar, hal 56)
Rasulullah saw bersabda: "Pada hari kiamat, para nabi akan memberi syafaat, kemudian ulama kemudian syuhada." (Sunan Ibnu Majah, hal 737)
8-Puasa:
Riwayat dengan isnad dari Ali bin Hasan bin Fadhal, dari Abu Abdillah: "Dalam hadis yang panjang Rasulullah Saw bersabda: "Puasa adalah perisai (pelindung) dari api neraka." (Tafshil Wasail asy-Syiah ila Tahshil Masail asy-Syariah, juz 10, hal 395)
Dalam Musnad Ahmad bin Hanbal diriwayatkan; Rasulullah saw bersabda: "Puasa dan al-Quran akan memberikan syafaat bagi seorang hamba pada hari kiamat. Amal puasanya berkata: "Tuhan, aku telah menahan dia dari makanan dan syahwat di waktu siang hari. Maka jadikanlah aku pensyafaat baginya." Dan al-Quran berkata: "Aku telah menahan dia dari tidur di waktu malam, maka jadikanlah aku pensyafaat baginya." Maka keduanya mensyafaati." (hal 174)
9-Para penghafal al-Quran:
Rasulullah Saw bersabda: "Siapa yang membaca al-Quran sampai ia menghapalkan dan menghapalnya, maka Allah memasukkan dia ke dalam surga dan menjadikan dia pemberi syafaat bagi sepuluh orang dari keluarganya yang telah ditetapkan masuk api neraka." (Tafsil Wasail asy-Syiah ila Tahshil Masail asy-Syiah, juz 9, hal 169)
Sebuah hadis dalam Sunan Turmudzi riwayat dari Ali dari Rasulullah saw: "Siapa yang belajar al-Quran lalu menghapalkannya, kemudian ia menghalalkan apa yang dihalalkannya dan mengharamkan apa yang diharamkannya. Maka Allah memasukkan dia ke dalam surga dan menjadikan dia mensyafaati sepuluh orang dari keluarganya yang telah ditetapkan masuk api neraka." (Turmudzi, hal 245)
c) Riwayat-riwayat Syiah dan Sunni tentang Orang-orang yang Disyafaati:
Dalam sumber-sumber Islam disebutkan dengan jelas siapa saja yang memperoleh syafaat:
«یعْلَمُمَا بَینَ أَیدِیهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا یشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى وَهُم مِّنْ خَشْیتِهِ مُشْفِقُونَ»(انبیاء/28).
"Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di hadapan dan di belakang mereka (malaikat), dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya." (QS: al-Anbiya 28)
Oleh karena itu, syafaat adalah khusus bagi orang-orang yang Allah ridhai karena agama mereka.
«یوْمَئِذٍ لَّا تَنفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَرَضِی لَهُ قَوْلًا» (طه/109)
"Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pengasih telah memberi izin kepadanya dan meridai perkataannya." (QS: Thaha 109)
Ayat ini menjelaskan bahwa keridhaan Allah itu mutlak tanpa dengan syarat amal tertentu, bahwa keridhaan Allah adalah karena agama mereka. Sebagaimana pula dalam firman Allah:
«یوْمَنَحْشُرُ الْمُتَّقِینَ إِلَى الرَّحْمَنِ وَفْدًا * وَنَسُوقُ الْمُجْرِمِینَ إِلَى جَهَنَّمَ وِرْدًا * لَا یمْلِكُونَ الشَّفَاعَةَ إِلَّا مَنِ اتَّخَذَ عِندَ الرَّحْمَنِ عَهْدًا؛
"Pada hari Kami mengumpulkan orang-orang yang takwa kepada Tuhan Yang Maha Pengasih secara berkelompok-kelompok, dan Kami menghalau orang-orang yang durhaka ke neraka Jahanam dalam keadaan dahaga, mereka tidak berhak mendapat syafaat kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pengasih." (QS: Maryam 85-87)
Jelaslah bahwa seorang pendosa yang telah mempunyai perjanjian di sisi Allah akan mendapati syafaat, dan perjanjian itu adalah agama mereka.
Dari atas disimpulkan bahwa siapakah yang akan mendapatkan syafaat, maka dapat dikatakan adalah orang-orang beriman yang telah memilih agama yang haq dan menjaga pertaliannya dengan Allah. Adapun terkait dengan dosa-dosa besar yang telah mereka lakukan, pada hari kiamat mereka menghadapi masalah yang berat. Tetapi mereka memperoleh syafaat dan mencapai keselamatan. Tentang demikian terdapat riwayat dari Syiah dan Sunni, yang menerangkan kriteria-kriteria orang-orang yang mendapatkan syafaat. Antara lain:
1)Para pelaku dosa besar:
Riwayat dalam kitab Kanzul Ummal dari Ibnu Umar dari Ka'ab bin ‘Ajarah; Rasulullah Saw bersabda: "Syafaatku adalah untuk para pelaku dosa besar dari umatku." (juz 14, hal 398)
Dalam kitab al-Amali karya Syekh Shaduq, diriwayatkan dari Ibnu Babuwaih al-Qummi dari Muhammad bin Ali Majiluwaih dari pamannya, Muhammad bin Abul qasim dari Ahmad bin Abu Abdillah Albu`qi dari Ali bn Husain al-Barqi dari Abdullah bin Jabalah dari Muawiyah bin Ammar dari Hasan bin Abdullah dari ayahnya dari kakeknya, Hasan bin Ali; Rasulullah Saw bersabda: "Syafaat adalah untuk para pelaku dosa besar dari umatku." (hal 194)
2) Orang-orang yang mengucapkan kalimat "lâ ilâha illallâh":
Dalam kitab al-Amali karya Syekh Thusi, diriwayatkan dari Abu Umar dari Ahmad dari Ahmad bin Yahya dari Abdurrahman dari Abu Ishaq dari Abbas bin Ma'bad bin Abbas dari keluarganya dari Abbas bin Abdul Muthalib bahwa dia berkata: "Ketika Abu Thalib mendekati wafatnya, Nabi berkata kepadanya, "Duhai paman, ucapkanlah satu kalimat niscaya Anda akan mendapatkan syafaat dengannya pada hari kiamat: "lâ ilâha illallâh"." (hal 265)
Dalam Musnad Ahmad diriwayatkan; Rasulullah Saw bersabda: "Para nabi akan memberi syafaat bagi siapa saja yang telah bersaksi dengan tulus bahwa tiada tuhan selain Allah. Mereka akan mengeluarkan orang-orang ini dari api neraka." (juz 3, hal 12)
e) Riwayat-riwayat Syiah dan Sunni tentang Siapa yang tidak Memperoleh Syafaat:
1-Musyrik (yang menyekutukan Allah):
Riwayat dalam Sunan Ibnu Majah; Rasulullah Saw bersabda: "Setiap nabi memiliki doa yang dikabulkan, maka setiap nabi menggunakan doanya. Sedangkan aku menyimpan doaku sebagai syafaat bagi umatku, dan syafaatku akan diterima oleh siapa saja yang telah mati dari mereka yang tidak menyekutukan Allah dengan apapun." (hal 735)
Disebutkan dalam kitab al-Khishal karya Syekh Shaduq bahwa Imam Hasan al-Mujtaba berkata: "Sesungguhnya Nabi telah bersabda dalam menjawab seorang Yahudi yang telah bertanya tentang suatu masalah kepadanya, "Syafaatku adalah bagi para pelaku dosa-dosa besar kecuali kaum yang menyekutukan Allah dan yang lalim." (hal 355)
2-Penipu:
Sebuah riwayat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal; Rasulullah Saw bersabda: "Siapa yang menipu bangsa Arab tidak akan mendapatkan syafaatku." (juz 1, hal 72)
Dalam kitab Wasail asy-Syiah, Imam Shadiq as berkata: "Siapa yang menipu seorang muslim dalam jual-beli bukanlah dari golongan kami, dan pada hari kiamat dia akan dikumpulkan bersama kaum Yahudi karena mereka adalah orang-orang yang paling penipu terhadap kaum muslimin." (juz 12, hal 210)
3-Kaum pengingkar syafaat:
Imam Ali bin Musa ar-Ridha meriwayatkan dari Amirul mu`minin as: "Siapa yang telah mendustakan syafaat Rasulullah, maka syafaat beliau tidak akan menghampirinya. (juz 2, hal 117; Bihar al-Anwar juz 8, hal 41)
Dalam kitab Kanzul Ummal disebutkan riwayat dari Zaid bin Arqam dan sepuluh sahabat Nabi bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Syafaatku pada hari kiamat adalah kebenaran, maka siapa yang tidak mempercayainya bukan dari golongan orang-orang yang mendapatkan syafaat." (hal 399)
f) Riwayat-riwayat Syiah tentang para pensyafaat:
1-Amirul mu`minin Ali as:
Dalam kitab Manaqib Ali Abi Thalib disebutkan riwayat Imam Baqir as tentang firman Allah "تری كل امهٍ جاثیه" Ialah Nabi saw dan Ali yang menempati kedudukan yang tinggi di atas seluruh makhluk. Kemudian Nabi mensyafaati, kemudian beliau berkata: "Hai Ali, syafaatilah (mereka)!." (juz 2, hal 165; Bihar al-Anwar juz 8, hal 43)
2-Sayidah Fatimah az-Zahra as:
Dalam kitab Bisyarah al-Musthafa sebuah riwayat dari Ahmad bin Ziyad bin Ja'far al-Hamadani; dari Said bin Mushayab dari Ibnu Abbas; Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang melaksanakan salat lima waktu, berpuasa bulan Ramadan, pergi haji ke Baitullah dikala mampu, membayar zakat, taat kepada suaminya dan menerima Ali sebagai imam sesudahku, niscaya akan masuk surga berkat syafaat putriku Fatimah." (Bihar al-Anwar juz 8, hal 58)
3-Ahlulbait Nabi as:
Diriwayatkan dari Ibnu Mahbub dari Abu Usamah dari Abu Abdillah dan Abu Ja'far (as): "Demi Allah, sungguh kami akan mensyafaati para pendosa dari syiah kami, sampai musuh-musuh kami ketika melihat demikian mereka mengatakan:
«فَمَا لَنَا مِنْ شَافِعِینَ, وَلَا صَدِیقٍ حَمِیمٍ, فلو أنَّ لنا كره فنكون منه المؤمنین
"Maka kami tidak mempunyai seorang pun pemberi syafaat, dan tidak pula mempunyai teman yang akrab. Maka sekiranya kita dapat kembali sekali lagi (ke dunia), niscaya kami menjadi orang-orang yang beriman." (QS: asy-Syu'ara 100-101) (Tafsir al-Qummi, juz 2, hal 123; Bihar al-Anwar, juz 7, hal 37)
4-Syiah Ali:
Ahmad bin Abdun berkata: "Ali bin Ahmad Zubair telah menyampaikan kepada kami dari Ali bin Hasan bin Fadhal dari Abbas bin Amir dari Ahmad bin Rizq dari Muhammad bin Abdurrahman dari Abu Abdillah; Rasulullah saw bersabda: "Janganlah kalian meremehkan syiah Ali, karena sesungguhnya seorang dari mereka seperti kabilah Rabi'ah dan Mudhar akan member syafaat." (Shaduq, hal 307)
5-Tetangga dan Kerabat:
Muhammad bin Khalid al-Barqi meriwayatkan dari Hamzah bin Abdullah dari Ishaq bin Ammar dari Ali al-Khadmi; Imam Shadiq as berkata: "Sesungguhnya tetangga itu mensyafaati tetangganya dan kerabat mensyafaati kerabatnya. Tetapi sekiranya para malaikat muqarrabin dan para rasul memberi syafaat bagi seorang nashibi yakni orang yang membenci Ahlulbait Nabi yang suci, syafaat mereka tidak akan diterima." (al-Bihar juz 8, hal 42)
6-Silaturahim dan Amanat:
Ad-Dailami meriwayatkan dari Abu Hurairah: "Rasulullah saw bersabda, "Para pensyafaat ada lima: al-Quran, kerabat, amanat, Rasulullah dan Ahlulbait Nabi." (Manaqib ali Abi Thalib juz 2, hal 164; Bihar al-Anwar juz 8, hal 43)
7-Salawat kepada Muhammad dan keluarganya:
Dalam ash-Shahifah as-Sajjadiyah disebutkan:
«و صل علی محمد و آله صلاه تشفع لنا یوم القیامه و یوم الفاقه إلیك؛
"Sampaikanlah salawat (ya Allah) kepada Muhammad dan keluarganya, salawat yang memberi syafaat kepada kami pada hari kiamat dan pada hari ketika menghadap-Mu." (doa 31)
g) Riwayat-riwayat Syiah tentang orang-orang yang disyafaati:
1-Siapa yang berwilayah kepada Amirul mu`minin dan para imam (Ahlulbait):
Tentang tafsir ayat,
«لَا یمْلِكُونَ الشَّفَاعَهَ إِلَّا مَنِ اتَّخَذَ عِنْدَ الرَّحْمَنِ عَهْدًا»
Imam Shadiq as berkata: "Tidak akan mensyafaati dan tidak akan disyafaati serta tidak akan diterima syafaat kecuali orang yang mengakui kepemimpinan Amirul Mu`minin dan para imam suci dan itulah perjanjian di sisi Allah."
2-Orang-orang yang diridhai Allah:
«یعْلَمُ مَا بَینَ أَیدِیهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا یشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى وَهُم مِّنْ خَشْیتِهِ مُشْفِقُونَ»
"Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di hadapan dan di belakang mereka (malaikat), dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya." (QS: al-Anbiya 28)
Mengenai tafsir ayat ini sebuah riwayat; hasan bin Khalid berkata kepada Imam Ridha as; "Wahai putra Rasulullah, apakah makna firman Allah "dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah"?
Beliau menjawab, "Ialah bahwa mereka tidak akan memberi syafaat kecuali bagi siapa yang agamanya diridhai dan diterima oleh Allah." (Shaduq hal 7; Bihar al-Anwar juz 8, hal 51)
3-Siapa yang menghormati dzurriyah Nabi dan membantu urusan mereka:
Amirul mu`minin as berkata: "Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya aku pada hari kiamat akan memberi syafaat bagi empat kelompok manusia walaupun mereka mempunyai dosa-dosa yang banyak sekali: 1) seorang yang menolong anak keturunanku, 2) seorang yang memberikan hartanya kepada anak keturunanku yang dalam kesulitan, 3) seorang yang mencintai anak keturunanku dengan lisan dan hatinya, dan 4) seorang yang berusaha dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak keturunanku ketika mereka terusir dan terasingkan." (at-Tibyan fi Tafsir al-Qur`an juz 4; Shaduq juz 2, hal 48)
4-Ayah dan Ibu serta paman dan saudara Nabi di masa Jahiliyah:
Ali bin Ibrahim meriwayatkan dari Muhammad bin Abu Umair dari Muawiyah dan Hisyam dari Abu Abdillah; Rasulullah saw bersabda: "Sekiranya aku berdiri di maqam al-Mahmud aku bersumpah kepada Allah bahwa aku akan memberi syafaat bagi ayah dan ibuku serta paman dan suadaraku di masa jahiliyah." (shaduq juz 4, hal 322)
h) Riwayat-riwayat Syiah tentang siapa yang tidak mendapatkan syafaat:
1-Kaum nashibi:
Ialah kelompok yang membenci dan memusuhi Ali bin Abi Thalib. (Lughat Nameh Dehkhuda, juz 14, hal 22160)
Muhammad bin Ali bin Babuwaih dari Sa'ad dari Ali ash-Sha`igh dari Imam Shadiq as; "Sesungguhnya seorang mukmin akan mensyafaati sahabatnya kecuali sahabatnya itu seorang nashibi. Sekiranya seluruh nabi yang diutus dan malaikat yang dekat di sisi Allah memberi syafaat kepadanya, syafaat mereka untuknya tidak akan diterima." (al-Mahasin juz 1, hal 186; al-Bihar juz 8, hal 41)
2-Orang kafir:
Rasulullah saw bersabda: "Syafaat tidak berlaku bagi kaum yang dalam keraguan, kaum syirik, kaum kafir dan pembangkang. Tetapi syafaatku adalah untuk kaum beriman yang bertauhid." (Bihar al-Anwar juz 8, hal 58)
3-Orang lalim:
Rasulullah saw bersabda: "Syafaatku adalah bagi para pelaku dosa-dosa besar kecuali kaum yang syirik dan yang lalim." (Mizan al-Hikmah juz 5, hal 355)
4-Orang yang menyakiti dzurriyah Nabi saw:
Rasulullah saw bersabda: "Jika aku menempati maqam al-Mahmud, maka aku akan memberi syafaat bagi orang-orang yang berdosa dari umatku, dan Allah mengabulkan syafaatku. Sumpah demi Allah, aku tidak akan mensyafaati orang-orang yang telah menyakiti dzurriyah (anak keturunan)ku." (Shaduq, hal 177)
5-Orang yang meremehkan salat:
Riwayat dari Abu Bashir dari Abul Hasan (Imam Musa al-Kazhim) as; "Ayahku di saat menjelang ajal berkata kepadaku: "Duhai anakku! Tidak akan mendapati syafaat kami orang yang meremehkan salat." (Mizan al-Hikmah ibid; al-Kafi juz 6, hal 400)
6-Orang yang melampaui batas dalam agama:
Harun meriwayatkan dari Abu Shadaqah dari Imam Ja'far dari ayahnya; Rasulullah saw bersabda: "Dua kelompok manusia yang tidak mendapati syafaatku: pertama, adalah raja (penguasa) yang lalim dan kedua, adalah orang yang melampaui batas dalam agama dan keluar dari agama tanpa bertaubat." (al-Bihar, juz 72, hal 336)
Masalah Kedua
Soal prinsip syafaat tidak ada satupun dari aliran-aliran Islam yang meragukannya. Syafaat disepakati dan diterima oleh semua golongan Islam. Hal yang diperselisihkan hanyalah perkara-perkara partikular seperti siapa yang memperoleh syafaat. Di bawah ini kami bawakan beberapa pandangan mengenainya:
a)Ahli Sunnah:
An-Nawawi pensyarah Sahih Muslim mengatakan: "Dalam akidah mazhab Ahlussunnah wal Jamaah, syafaat menurut akal tidaklah mustahil dan tidak ada masalah. Menurut al-Quran dan ucapan ulama juga merupakan perkara yang jelas, sebab: pertama, al-Qur`an tidak menolak hakikat ini. Kedua, hadis-hadis mengenainya banyak sekali hingga mencapai mutawatir dan meyakinkan. Di sisi lain, ulama dahulu dan sekarang sepakat bahwa pada hari kiamat syafaat adalah bagi orang-orang beriman yang berdosa." (Haqaiq Tahrif Syiddate Islam wa Mas`alah-e Syafaat, hal 135; Durus fi asy-Syafaah wa al-Istisyfa', hal 45)
Qadhi Abdul Jabbar (tokoh Mu'tazilah) mengatakan: "Tidak diperselisihkan bahwa syafaat Nabi adalah ketetapan bagi umat, melainkan soal bahwa bagi siapakah syafaat itu?". (Syarh al-Ushul al-Khamsah, hal 688)."
Menjawab soal tersebut, ia mengatakan: "Bagi kami bahwa syafaat itu bagi orang-orang beriman yang bertaubat, dan menurut kelompok Murjiah bahwa syafaat itu bagi para pelaku salat namun mereka orang-orang fasik (yang berdosa dan mati tanpa bertaubat)."
Di kesempatan lain ia berkata: "Menurut kami, syafaat sudah popular dan klaim kami bahwa siapa yang mengingkarinya maka ia telah melakukan kesalahan yang besar. Kami katakan bahwa syafaat adalah untuk orang-orang yang kaya pahala dan para wali Allah, tidak untuk orang-orang yang akan disiksa dan para musuh-musuh Allah. Syafaat juga bagi orang-orang yang kaya pahala dan para wali Allah, merupakan tambahan kemuliaan dan derajat mereka." (Syarh al-Ushul al-Khamsah, hal 207)
Fakhrur Razi (tokoh besar Asy'ari) mengatakan: "Umat Islam sepakat bahwa Nabi saw akan memberi syafaat pada hari kiamat. Kaum Mu'tazilah mempunyai penafsiran lain soal syafaat dan mereka mengatakan: "Yang dimaksud syafaat Nabi ialah bahwa pada hari itu, syafaat beliau meninggikan pahala orang-orang saleh, dan bukan berarti membebaskan para pendosa dari azab." Tetapi yang benar adalah bahwa seluruh kelompok Islam selain kelompok itu, mengatakan: makna syafaat ialah membebaskan para pendosa dari siksaan api neraka hingga mereka tidak masuk neraka. Mereka yang disiksa dalam api neraka, berkat syafaat Nabi mereka keluar dari api neraka dan masuk surga." (Tafsir al-Kabir, juz 3, hal 51)
Abu Hafsh an-Nasafi (wafat 573) mengatakan: "Syafaat bagi para nabi dan kaum saleh pada hari kiamat adalah suatu kepastian. Dalam agama Islam masalah ini kokoh secara populer." (Farhange Aqaed wa Mazahebe Islam, hal 488)
Ibnu Taimiyah al-Harani ad-Dimasyqi (wafat 727 Q) tokoh utama akar mazhab Wahabi, mengatakan: "Nabi akan memberi syafaat bagi orang-orang yang menerima siksaan api neraka. Tak cuma Nabi bahkan seluruh nabi, orang-orang benar dan lainnya pun akan memberi syafaat kepada para pendosa agar mereka tidak disiksa. Sekiranya mereka telah masuk neraka, mereka akan keluar darinya." (Mansyure Jawid, juz 8, hal 193)
Nizhamuddin al-Qusyji (wafat 879) mengatakan: "Kaum muslimin meyakini syafaat sebagai dasar yang pasti tanpa mereka perselisihkan. Para mufassir mengatakan, yang dimaksud ayat:
«... عَسَى أَن یبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا»
"Dan pada sebagian malam hari, bacalah Al-Qur'an (dan kerjakanlah salat) sebagai suatu tugas tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji."
Adalah syafaat Nabi (saw)." (Mawarede Syirk Nazde Wahabiyan, hal 33)
Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri kelompok Wahabi -wafat 1206) mengatakan: "Bagi kami, syafaat merupakan perkara yang tetap. Dalam doa kami: Ya Allah, jadikanlah nabi kami Muhammad pemberi syafaat pada hari kiamat." Atau: ya Allah, jadikanlah kaum yang saleh dan para malaikat-Mu para pensyafaat kami." Maka hendaklah tidak mengucapkan: "Wahai Rasul atau wali Allah, aku memohon syafaat kepadamu!" Jika Anda memohon hajat seperti ini kepada seorang yang berada di alam barzakh, adalah termasuk syirik." (Syafaat, hal 13)
Ia juga mengatakan: "Di antara perkara-perkara yang pasti di akhirat adalah syafaat. Setiap muslim wajib mengimani syafaat Nabi dan lainnya. Tetapi tugas kita adalah kita berharap kepada Allah dan memohon kepada-Nya agar Dia mengabulkan syafaat Nabi untuk kita." (Kasyful Irtiyab fi Ittiba' Muhammad bin Wahhab, hal 240)
Para pendukung Abdul Wahab mengetahui atau tidak, telah menyimpulkan masalah-masalah keislaman dalam melawan beberapa masalah seperti halnya tema syafaat. Pada prakteknya mereka menjauhkan orang-orang dari kajian-kajian sosial Islam. Terkait masalah syafaat, demikian mereka mengatakan: "Tak seorangpun dibolehkan memohon syafaat kepada Nabi, misalnya: "Wahai Muhammad, syafaatilah aku di sisi Allah!." (Tarikhceh-e Naqdo Barresi Wahabiha, hal 255) Karena Allah berfirman:
«وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا؛
"Dan bahwasanya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah." (QS: Jin 18)
Ridha Rasyid seorang mufassir Ahlussunnah, mengatakan:
"Sirah para pendahulu ialah bahwa syafaat adalah sebuah doa yang Allah kabulkan. Hal ini juga diterangkan dalam hadis-hadis tentang syafaat, sebagaimana dalam riwayat Sahihain dan kitab-kitab hadis lainnya bahwa Nabi pada hari kiamat dengan terilhami beliau memuji Allah, kemudian dikatakan kepadanya, "Angkatlah kepalamu dan memohonlah niscaya dikabulkan! Lalu berikanlah syafaat bahwa syafaatmu dikabulkan!" Demikian tidaklah berarti bahwa Allah berpaling dari kehendak-Nya bagi sang pensyafaat. Tetapi itu adalah penampakan karomah bagi sang pensyafaat dalam mewujudkan kehendak azali-Nya setelah ia memohon doa. Juga tidak mendukung kecerobohan orang-orang yang angkuh, mereka mengabaikan perintah dan larangan agama lantaran bersandar pada syafaat para pensyafaat. Tetapi syafaat, seluruhnya adalah kepunyaan Allah." (Tafsir al-Manar, hal 308)
Sayid Sabiq guru besar Universitas al-Azhar mengatakan: "Yang dimaksud syafaat ialah bahwa kita memohon kebaikan kepada Allah untuk umat. Pada hakikatnya, syafaat adalah antara lain dari doa-doa yang dikabulkan. Syafaat, bagian besarnya adalah berkaitan dengan Rasulullah. Beliau memohon kepada Allah agar dia yang mengadili umat manusia guna mengurangi rasa takut yang mencekam di alam mahsyar. Ketika itu Allah mengabulkan doanya. Seluruh manusia mengakui kedudukan dan keutamaan beliau yang tinggi di atas mereka semua. Itulah maqam yang tinggi dan terpuji sebagaimana yang telah Allah janjikan kepadanya. Allah berfirman:
«.... عَسَى أَن یبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا»
"Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji." (QS: al-Isra 79)
Ia (Sayid Sabiq) setelah membawakan sejumlah riwayat syafaat, lalu menyebutkan syarat-syarat diterimanya syafaat. (al-Aqaid al-Islamiyah, hal 73)
b)Syiah:
Syekh Mufid seorang ulama besar Syiah, mengatakan: "Imamiyah sepakat bahwa Nabi saw pada hari kiamat akan memberi syafaat bagi para pelaku dosa-dosa besar. Selain beliau, Amirul mu`minin dan para imam (Ahlulbait) akan memberi syafaat sesudah Nabi bagi kaum syiah yang berdosa. Banyak dari mereka yang berdosa selamat berkat syafaat para imam. Tetapi kelompok tertentu dari Ahlussunnah seperti Mu'tazilah bertentangan dengan kami Imamiyah, bahwa syafaat Nabi berkaitan dengan orang-orang yang taat dan bukan dengan kaum pendosa. Nabi tidak akan memberi syafaat bagi orang-orang yang ditetapkan dalam siksaan. Dalam keyakinan mereka, syafaat itu menambah pahala, bukan mengampuni dosa." (Awail al-Maqalat, hal 29)
Abu Ali Muhammad bin Ahmad Fatal an-Naisyaburi dalam kitabnya Raudhatu al-Wa'izhin setelah menukil sejumlah ayat dan riwayat tentang syafaat, mengatakan: "Tiada perselisihan di antara muslimin bahwa syafaat adalah termasuk prinsip Islam yang tak terbantahkan. Melainkan para pengikut aliran Wa'idiyah mengatakan: "Hasil syafaat adalah penambahan pahala dan pengangkatan derajat." Tetapi yang lainnya menafsirkan bahwa syafaat ialah keselamatan hamba-hamba yang berdosa." Kemudian ia (Abu Ali) merampungkan kajiannya dengan menolak pandangan yang pertama. (hal 405)
Khajeh Nashiruddin ath-Thusi mengatakan: "Keyakinan pada syafaat merupakan ijma' dan adalah termasuk akidah yang benar dalam Islam, baik merupakan penambahan pahala maupun pembatalan hukuman." (Kasyfu al-Murad fi Tajrid al-I'tiqad, hal 443)
Allamah Hilli juga mengatakan: "Ulama sepakat bahwa Nabi pada hari kiamat akan memberi syafaat. Bukti atas syafaat beliau adalah ayat:
«... عَسَى أَن یبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا؛
"Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji." (QS: al-Isra 79)
Ayat ini ditafsirkan dengan syafaat. Perbedaan pandangan mengenainya bahwa satu kelompok mengatakan: tujuan syafaat ialah penambahan pahala bagi orang-orang beriman. Tetapi kelompok lain mengatakan: tujuannya adalah penyelamatan para pendosa dari azab, dan inilah yang benar." (ibid hal 444)
Almarhum Thabrasi mufassir besar Syiah mengatakan: "Kaum muslimin tidak mempersoalkan adanya syafaat Nabi pada hari kiamat. Kendati soal bagaimana syafaat terjadi perbedaan pandangan di antara kelompok Mu'tazilah dan lainnya. Kami kaum Syiah mengatakan bahwa tujuan syafaat Nabi adalah keselamatan para pendosa dari azab dan balasan dosa. Sedangkan Mu'tazilah mengatakan: syafaat Nabi berlaku bagi orang-orang yang taat atau para pendosa yang telah bertaubat." (Tafsir Majma' al-Bayan, juz 3, hal 83)
Oleh karena itu, akidah Syiah terkait syafaat adalah sebagaimana akidah ulama besar Syiah. Sebab mereka dalam menyimpulkan ilmu-ilmunya merujuk pada empat pilar: al-Qur`an, sunnah, ijma' dan akal. Kesimpulan bagi keyakinan ini adalah sebagai berikut:
1-Syafaat adalah atas izin Allah.
2-Para pensyafaat adalah para nabi terutama Rasulullah saw dan para imam suci dari Ahlulbaitnya, orang-orang mukmin pilihan dan kaum yang saleh serta para malaikat Allah.
3-Kaum yang disyafaati adalah orang-orang mukmin yang telah berbuat dosa-dosa besar, tetapi agama mereka diridhai Allah.
4-Guna syafaat adalah apabila seorang hamba tidak berdosa atau berdosa lalu bertaubat, maka menjadi pengangkatan derajat. Sedangkan bagi orang-orang yang ditetapkan dalam siksaan, menjadi terampuni dan orang-orang yang dalam siksaan akan keluar dari azab. Bagi mereka yang banyak dosanya, siksaan mereka diringankan.
Pandangan ulama besar Syiah tentang keyakinan ini, sebagaimana dalam kitab "I'tiqadat" adalah demikian diterangkan: "Keyakinan kami akan syafaat adalah bagi siapa yang Allah ridhai agamanya dari hamba-hamba yang berbuat dosa-dosa besar maupun kecil. Syafaat tidak berlaku bagi kaum yang dalam keraguan dan kaum syirik, juga tidak bagi kaum kafir dan pembangkang. Tetapi berlaku bagi para pendosa yang bertauhid." (Shaduq hal 66)
Dari penelitian berbagai pandangan kelompok-kelompok Islam, sampailah pada kesimpulan bahwa tiada satupun yang mengingkari syafaat. Perbedaannya terkait soal siapa yang disyafaati.
Kelompok-kelompok tersebut terbagi pada dua golongan:
Mu'tazilah dan yang sependapat dengannya mengatakan bahwa yang disyafaati adalah para kekasih Allah, dan syafaat berlaku untuk pengangkatan derajat mereka. Sebagaimana yang dikatakan Syekh Abu Imran dalam kitabnya: "Para pendosa tidak akan memperoleh syafaat. Dan pandangan Murjiah yang didasari bahwa syafaat adalah perkara yang mungkin, yang dapat mencegah para pendosa dari masuk neraka, tidaklah benar." (Mas`aleh-e Ikhtiyar dar Tafakkure Islami wa Pasukhe Mu'tazileh be on,-terjemahan Ismail S'adat, hal 354)
Syiah dan Asya'irah mengatakan bahwa yang disyafaati adalah orang yang berdosa, dan syafaat berlaku bahwa dosanya diampuni dan ia selamat dari siksaan.
Sayid Murtadha mengatakan: "Seluruh muslimin mempercayai syafaat Nabi. Tetapi soal siapa yang akan disyafaati, terdapat dua kelompok mengenainya:
1-Mu'tazilah, kaum Khawarij dan Zaidiyah, bahwa: syafaat berlaku hanya bagi orang-orang yang bertaubat sebelum mati dan tidak berbuat dosa.
2- Murjiah, Syiah dan Asya'irah, bahwa: syafaat berlaku bagi orang-orang yang ditetapkan dalam siksaan. Dengan syafaat mereka terlepas dari siksaan." (Syarh Jumal al-‘Ilm wa al-‘Amal, hal 156)
Ayatullah Subhani juga mengatakan: "Imamiyah dan Asya'irah meyakini bahwa kekal dalam neraka adalah bagi kaum kafir. Sedangkan orang-orang Islam yang berdosa, setelah sekian masa keluar dari neraka menuju surga. Sementara pandangan Mu'tazilah bahwa kekal dalam neraka diperuntukkan kaum kafir dan orang-orang Islam pelaku dosa-dosa besar yang tidak bertaubat. Dalam hal ini mereka bersandar pada sejumlah ayat yang jika diperhatikan apa yang terkandung di dalamnya, argumentasi mereka jelas sekali lemah." (Farhange Aqaed wa Mazaheb Islam, hal 175) (IRIB Indonesia/Taqrib/SL)
Pustaka:
1-al-Qur`an (terjemahan –Persia- oleh Muhammad Mahdi Fuladund.
2-Nahjul Balaghah (terjemahan Muhammad Dasyti, cet tahun 1379 Syamsiyah).
3-Sahifah Sajjadiyah.
4-Musnad Ahmad bin Hanbal.
5-Kasyful Irtiyab fi Ittiba' Muhammad bin Abdul Wahab.
6-Sahih Bukhari (cet Beirut tahun 1407 Q)
7-al-Mahasin.
8-Sunan Turmudzi (cet Darul Fikr, Beirut, tahun 1403).
9-Tafshil Wasail asy-Syiah ila Tahsil Masail asy-Syariah (cet II tahun 1414 Q)
10-Ta`wil al-Ayat azh-Zhahirah.
11-Durus fi asy-Syafaah wa al-Istisyfa'.
12-Kasyful Murad fi Syarh tajrid al-I'tiqad.
13-Sunan ad-Darimi (cet I tahun 1349)
14-Lughat Nameh Dehkhuda (cet II tahun 1377 Syamsiyah)
15-Tafsir al-Kabir (cet I tahun 1411 Q)
16-Tafsir al-Manar (cet II)
17-Mawarede Syrik nazde Wahabiyan.
18-Farhange Aqaed wa Mazaheb Islami (cet II tahun 1383 Syamsiyah)
19-Mansyure Jawid.
20-Fi Zhilal at-Tauhid.
21-Manaqeb Ali Abi Thalib.
22-Mutasyabeh al-Qur`an.
23-Syarh Jumal al-‘Ilm wa al-‘Amal.
24-al-Aqaid al-Islamiyah (Sayid Sabiq)
25-Tarikhceh Naqdo Barresi Wahabiha (cet II tahun 1367 Syamsiyah).
26-Mas`aleh-e Ikhtiyar dar Tafakkure Islami wa Pasukhe Mu'tazileh be on (terjemahan Ismail Sa'adat).
27-‘Ilal asy-Syaraye'.
28-al-Amali (syekh Shaduq)
29-al-Khishal
30-‘Uyun Akhbar ar-Ridha (terjemahan Ali Akbar Ghifari).
31-Man la Yahdhuruhu al-Faqih.
32-Syafaat (Sayid Hasan Tahiri Khurram-abadi).
33-Tafsir Majma' al-Bayan.
34-al-Amali (syekh Thusi).
35-Tahdzib al-Ahkam fi Syarh al-Muqniah.
36-at-Tibyan fi Tafsir al-Qur`an.
37-Awail al-Maqalat.
38-Raudhatu al-Wa'zhin.
39-at-Tawassul wa az-Ziyarah fi asy-Syariah al-Islamiyah (cet Mesir tahun 1388 Q).
40-Syarh al-ushul al-Khamsah (cet Mesir tahun 1384 Q).
41-Thabaqat al-Mu'tazilah (cet I tahun 1393, Tunis).
42-Sunan Ibnu Majah (cet I tahun 1421 Q, Beirut).
43-Tafsir al-Qummi.
44-Ushul al-Kafi (terjemahan Muhammad Baqir Kamrei).
45-Bihar al-Anwar.
46-Mizan al-Hikmah.
47-Sunan an-Nasai (cet I, tahun 1348, Beirut).
48-Haqaeq Tahrif Syiddate Islam wa Mas`aleh-e Syafaat.
49-Kanzul ‘Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af'al (cet V, tahun 1985 M).
[1]Mungkin yg dimaksud bahwa syafaat mereka bergantung pada syafaat Allah.-penerj
Kedudukan dan Derajat Rasul Saw Dalam al-Quran
Manusia tidak mungkin dapat mengenal dan mensifati Nabi Muhammad Saw secara sempurna, sebab manusia agung ini adalah manifestasi kesempurnaan dan keagungan Sang Pencipta. Namun bukan berarti Rasul Saw jauh dari jangkauan, karena ia adalah teladan dan contoh bagi umat manusia. Hanya saja manusia agung ini tidak dapat disamakan atau disejajarkan dengan manusia-manusia lain.
Nabi Muhammad Saw selain memiliki kedudukan spiritual yang tinggi, juga menjalani kehidupan layaknya manusia biasa seperti memiliki pendamping hidup dan terlibat dalam kegiatan ekonomi. Dunia materi punya tuntutan-tuntutan spesifik yang tidak boleh diabaikan apalagi beliau diutus sebagai seorang teladan.
Tulisan ini mencoba mengkaji secara ringkas kedudukan dan derajat Nabi Muhammad Saw berdasarkan ayat-ayat al-Quran. Sebagai kekasih Allah Swt, beliau memiliki kedudukan dan posisi istimewa di sisi-Nya.
Tanpa ragu bahwa pengenalan dan makrifat kepada Allah Swt diperoleh melalui Rasul Saw. Semua Nabi as berada di bawah Rasul Saw dan ajaran mereka juga mengikuti risalah Muhammad Saw meski mereka datang lebih dulu. Mereka diutus untuk mempersiapkan kedatangan manusia agung ini. Dengan kata lain, semua Nabi as berada di bawah perintah Rasul Saw untuk menyampaikan risalah dan misi Nabi Muhammad Saw.
Ketika menjelaskan tentang kedudukan dan derajat keberadaannya yang mendahului Nabi-nabi as lain, Rasul Saw bersabda: "Hal yang pertama kali diciptakan Allah Swt adalah cahayaku." Sementara terkait derajat kenabian yang mendahului Nabi-nabi as lain termasuk Nabi Adam as, Rasul Saw bersabda: "Aku sudah menjadi Nabi saat Adam berada di antara air dan tanah liat." Hadis ini juga dapat dipahami bahwa pengangkatan Rasul Saw telah menjadi agenda Tuhan sebelum penciptaan Nabi Adam as dan Nabi-nabi as lain. Hanya saja waktu dan kondisi untuk mengutusnya ke tengah umat manusia belum tercipta kala itu.
Rasul Saw secara jelas telah berbicara tentang kedudukan dan derajatnya dalam berbagai bentuk dan pada kesempatan yang berbeda. Beliau Saw menyatakan cahayanya sebagai makhluk pertama yang diciptakan Allah Swt. Dalam hadis lain, Rasul Saw bersabda: "Hal yang pertama kali diciptakan Allah Swt adalah akal." Artinya, akal dan cahaya Muhammad Saw bukan dua hal yang berbeda, tapi akal dan cahaya adalah satu dan makhluk yang pertama kali ada adalah hakikat cahaya dan akal manusia agung ini. Masalah ini sudah dibuktikan dalam filsafat dan irfan teoritis; Nabi Muhammad Saw merupakan manifestasi pertama ciptaan Tuhan dan ia adalah makhluk yang paling mulia dan sempurna di antara ciptaan-Nya.
Islam juga tidak lain kecuali kebenaran yang dibawakan oleh Rasul Saw demi kebahagiaan umat manusia. Semua Nabi as adalah duta Nabi Muhammad Saw dalam menyampaikan agama yang lurus dan menyeru manusia kepada Allah Swt. Oleh karena itu, Allah Swt dengan tegas menyatakan akan menolak setiap ajaran selain Islam. "Barang siapa yang menginginkan selain Islam sebagai agamanya, maka tidak akan pernah diterima dan ia akan menjadi orang-orang yang merugi di akhirat kelak." (QS: Ali Imran:58). Semua Nabi as juga diperintahkan untuk menyampaikan agama yang lurus ini.
Meski secara lahiriyah Nabi Muhammad Saw berada di urutan terakhir, namun pada dasarnya Rasul Saw merupakan manifestasi pertama ciptaan Tuhan dan juga termasuk utusan yang pertama, sementara para Nabi as lain adalah penyambung lisan Nabi Muhammad Saw. Semua menyeru kepada Islam dan membenarkan risalah Rasul Saw serta memberi kabar gembira tentang kedatangan penghulu para Nabi Saw. Berikut ini kami sebutkan beberapa kedudukan dan derajat Rasul Saw sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran.
1. Tunduk dan Pasrah Di Hadapan Allah Swt
Allah Swt dalam banyak ayat menjelaskan kedudukan dan derajat Nabi Muhammad Saw di dunia dan akhirat. Di antara posisi istimewa itu adalah sikap tunduk dan pasrah di hadapan Tuhan. Rasul Saw memiliki kepasrahan yang begitu murni sampai-sampai Allah Swt memuji kedudukan ini. (QS: Ali Imran:2, Al An'am:41, 17 dan 361).
2. Risalah Kenabian
Risalah kenabian termasuk posisi istimewa lain yang diberikan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. Risalah kenabian beliau Saw memiliki keistimewaan yang khas dibanding risalah para Nabi as sebelumnya. Karakteristik risalah Rasul Saw adalah sebagai penutup, penghapus risalah sebelumnya, penyempurna risalah para Nabi as terdahulu, ditujukan untuk seluruh umat manusia, dan sebagai rahmat bagi semesta alam. Ciri-ciri ini dimiliki oleh Nabi Muhammad dan tidak dimiliki oleh para Nabi as sebelumnya.
Risalah Nabi-nabi as terdahulu hanya untuk kaum tertentu saja dan sesuai dengan kondisi pada masa itu. Sementara risalah Nabi Muhammad Saw diperuntukkan bagi seluruh umat manusia dan berlaku hingga akhir zaman. Allah Swt juga telah menjelaskan bahwa Rasul Saw adalah penutup para Nabi sehingga tidak ada Nabi lain setelahnya.
3. Pemberi Syafaat
Pemberi syafaat termasuk gelar lain yang disandang oleh Rasul Saw. Kedudukan ini juga dapat diperoleh oleh manusia biasa melalui shalat tajahud dan sunnah di pertengahan malam. Hanya saja syafaat yang dimiliki Rasul Saw adalah syafaat yang bersifat mutlak. Allah Swt memberi wewenang kepada Rasul Saw untuk memberi syafaat kepada umatnya kelak. Meski Allah Swt dalam kitab sucinya tidak pernah menyebutkan nama seorang pun yang kelak di hari kiamat akan memberikan syafaat, namun al-Quran menyebutkan beberapa kriteria pemberi syafaat dan siapa saja yang memiliki sifat-sifat tersebut, berarti ia adalah pemberi syafaat di hari kiamat.
Ada beberapa golongan yang disebut oleh al-Quran sebagai pemberi syafaat. Di antaranya adalah para Nabi as, malaikat, dan kaum mukmin yang saleh. Selain itu, amal perbuatan yang baik juga dapat memberikan syafaat kepada pelakunya.
4. Kemaksuman Mutlak
Kemaksuman mutlak (kesucian mutlak) juga termasuk kedudukan lain yang dimiliki Rasul Saw. Mazhab Syiah meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw dan Nabi-nabi as lain terjaga dari dosa dan maksiat, baik dosa kecil atau besar, yang disengaja atau tidak. Tujuan utama diutusnya Nabi Saw adalah untuk memberikan petunjuk kepada seluruh umat manusia dan membimbing mereka kepada hakikat kebenaran. Pada dasarnya, Nabi Saw adalah duta Tuhan untuk seluruh umat manusia. Beliau ditugaskan untuk memberi hidayah kepada jalan yang lurus. Apabila beliau sendiri tidak konsisten dengan ajaran Ilahi, atau bahkan mengamalkan yang sebaliknya, maka umat manusia akan tersesat dan ini bertentangan dengan tujuan pengutusan Nabi.
Allah Swt dalam ayat 23 dan 231 surat Ali Imran menegaskan kewajiban mentaati Rasul Saw secara mutlak dan menganggap ketaatan kepada manusia suci ini sebagai ketaatan kepada-Nya. Perintah ini mengindikasikan kemaksuman mutlak dan sempurna yang dimiliki Rasul Saw, sebab jika tidak demikian, tentu saja Allah Swt akan memerintahkan manusia untuk mematuhinya dalam kasus tertentu saja. Sementara Allah Swt menilai ketaatan kepada Rasul Saw sama dengan ketaatan kepada-Nya dan tanpa pengecualian sama sekali. Dalam surat An-Nisa' ayat 64, Allah Swt berfirman: "Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun melainkan untuk ditaati dengan izin Allah." Ketaatan mutlak kepada Nabi Saw hanya terjadi jika beliau berada di bawah ketaatan kepada Allah Swt dan sebagai perpanjangan dari-Nya.
Metode penjelasan seperti itu dengan sendirinya membuktikan kemaksuman mutlak Rasul Saw. Beliau terjaga dari segala bentuk kesalahan, kekeliruan, kelupaan dan sejenisnya. Jika tidak, mustahil Allah Swt memerintahkan manusia untuk mematuhinya secara mutlak.
5. Hakim dan Pemberi Putusan
Di antara kedudukan dunia dan akhirat Nabi Muhammad Saw adalah bertindak sebagai hakim dan pemberi putusan atas sebuah perkara dan sengketa yang terjadi di tengah umatnya. Selama di dunia, Nabi Saw juga bertugas memutuskan perkara dan sengketa di tengah umat manusia berdasarkan hukum Allah Swt. Beliau bertindak sebagai hakim dan memberi putusan yang adil terhadap setiap kasus. Sementara di akhirat, Nabi Saw menjadi pembagi antara penghuni surga dan neraka.
6. Wilayah dan Kepemimpinan
Rasul Saw mengemban tugas untuk memberi penjelasan berbagai urusan dunia dan akhirat umat manusia. Beliau menjelaskan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan wahyu. Beliau juga menjalankan roda pemerintahan yang kelak menjadi sumber manifestasi rahmat Tuhan, keadilan Islam dan simbol memerangi kezaliman.
7. Penghambaan
Lembaran kehidupan Rasul Saw adalah kumpulan makrifat, keilmuan dan amal saleh yang mendidik umat manusia. Manusia agung ini telah melakukan puncak penghambaan kepada Allah Swt dan melepaskan diri dari segala bentuk ikatan selain-Nya. Di hadapan keagungan Allah Swt, beliau menjadi hamba yang pasrah secara mutlak sehingga menggapai kekuatan spiritual yang agung. Karena itu, Rasul Saw tak pernah gentar menghadapi kekuatan syirik, kufur, gemerlap materi atau penguasa yang berhias diri dengan harta dan bala tentara.
Ibadah adalah tangga yang mengantarkan manusia ke puncak kesempurnaan ruh dan spiritual. Setiap amal kebaikan yang dilakukan dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Swt, tergolong ibadah dan penghambaan.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 163-166
Ayat ke 163-164
Artinya:
Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak asda Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Sesungguhnya dalam pencitptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (keringnya) dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan.
Bukti terbaik akan keesaan Allah Swt, adalah homogenitas antara unsur-unsur alam dari angin, hujan dan tanah yang menyediakan lahan bagi terwujudnya kehidupan dan tumbuhnya berbagai eksistensi.
Tatanan yang selaras ini dari satu sisi menunjukkan keesaan Allah Swt, dan dari sisi lain menunjukkan ilmu dan kekuasaan mutlak-Nya, dan dapat dikatakan, dunia bagaikan syair panjang indah yang memiliki bait yang banyak. Namun memiliki satu wazan dan kafiyah dan pada keseluruhannya menunjukkan bahwa seorang penyair tangguh yang menciptakannya.
Ayat ini dengan menekankan keesaan Allah, menyentuh enam keagungan Allah dalam penciptaan, yang akan kami jelaskan secara ringkas.
Pertama, inti penciptaan langit dan bumi. Bumi yang mana kita hidup di permukaannya dengan segenap kebesarannya merupakan salah sebuah planet dari tata surya, dimana tata surya salah satu dari ribuan galaksi.
Kedua, perputaran bumi mengelilingi matahari yang menyebabkan adanya malam dan siang dan empat musim dalam setahun.
Ketiga, kapal-kapal yang melayani manusia dengna membawa barang-barang dan penumpang dan meskipun sangat besar dan berat, tetapi tidak tengelam dalam air bahkan dengan tiupan angin, menempuh perjalanan panjang.
Keempat, hujan yang Allah turunkan dari langit dan menyebabkan kehidupan kembali bumi dan diternukannya berbagai jenis fauna dan flora. Air bersih yang telah disterilisasi menyebabkan kesegaran udara dan lingkungan.
Kelima, tiupan angin yang tidak menyebabkan bergeraknya kapal, melainkan menyebabkan serbuk sari yang matang berpindah ke bunga yang lain, bergeraknya awan, perpindahan udara panas dan dingan dan bergantinya udara yang terpolusi kota dengan udara yang sehat.
Keenam, awan mendung yang menanggung beban berat air, namun bertentangan dengan daya tarik bumi, bergelantung di antara bumi dan langit dan memindahkan air dari satu tempat ke tempat yang lain.
Jelas sekali, orang-orang yang sampai pada kesadaran akan keagungan dan keesaan Allah Swt, adalah orang-orang yang mau berpikir dan merenungkan tanda-tanda tadi, dan melewati tanda-tanda dengan kepedulian.
Ayat ke 165
Artinya:
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah, dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa pada hari kiamat, bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah, amat berat siksaannya niscaya mereka menyesal.
Meskipun semua pertanda wujud, di langit, bumi dan laut dari binatang dan tumbuh-tumbuhan memberikan kesaksian kepada keesaan Allah, namun bagi orang-orang yang tidak berpikir dalam tanda-tanda tadi, mereka hanya akan melihat sebab-sebab lahiriah, dan menyembah selain Allah.
Adakalanya mereka menyembah berhala atau batu ciptaan tangannya sendiri dan tunduk di hadapannya dan mempersembahkan cinta kepadanya. Adakalanya beberapa manusia, meyakini peran seperti Allah dalam penciptaan dan perputaran alam yang mana siap berkorban untuknya.
Semua kecintaan tadi sebagai ganti dari kecintaan kepada Allah, menempati jiwa dan akan menyebabkan ketundukan di hadapan sesembahan palsu tadi. Padahal, kelaziman iman kepada Allah adalah semua kecintaan manusia adalah untuk Allah dan di jalan Allah, dimana kecintaan ini akan dihasilkan berlandaskan makrifah dan pengetahuan, bukannya seperti kecintaan musyrikin terhadap sesembahan yang berdasarkan kepada kebodohan, khurafat, dan taqlid. Kendati, mereka yang pergi kepada selain Allah, jika mereka menyaksikan Kiamat, mereka akan memahami bahwa semua kekuatan adalah di tangan Allah dan mereka telah salah jalan berlindung kepada selain Allah untuk memperoleh kemuliaan dan kekuatan.
Ayat ke 166
Artinya:
Yaitu orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari tangan orang-orang yang mengikutinya dan mereka melihat siksa, dan ketika segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.
Ayat ini merupakan peringatan, supaya manusia berwaspada dan lihatlah siapakah pemimpinmu? Siapakah yang engkau ikuti dan kepada siapakan engkau mempersembahkan cinta? Kita harus teliti dalam memilih pemimpin, karena masa depan kita hingga hari kiamat adalah bersangkutan dengannya dan pada hari itu, setiap orang akan dibangkitkan dengan sesiapa yang dicintainya.
Dari empat ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Mengenali alam, merupakan salah satu jalan pengenalan Allah Swt, karena alam merupakan tempat tajalli (penjelmaan) ilmu, kekuatan, dan kebijaksanaan Allah Swt.
2. Barang siapa dan apa saja yang menggantikan tempat kecintaan Allah merupakan petanda syirik dan jauh dari Allah.
3. Pada hari Kiamat, kecintaan-kecintaan palsu yang dibangun berdasarkan fantasi, akan berubah menjadi kebencian dan dengki.
4. Petanda iman dan kecintaan mendalam kepada Allah akan tampak dengan mengamalkan perintah-perintah-Nya.
Para pemimpin tiran pada hari Kiamat bukan saja tidak memiliki kekuatan, bahkan begitu tidak setia, sehingga mereka berlepas tangan dari para pengikutnya.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 158-162
Ayat ke 158
Artinya:
Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.
Ibadah haji yang bermula sejak zaman Nabi Ibrahim as dalam masa yang cukup panjang dicampuri dengan berbagai khurafat oleh manusia-manusia jahil dan penyembah berhala. Islam memperbaiki dan memurnikannya kembali dengan memelihara prinsip ibadah agung ini.
Di antara ibadah haji adalah Sa'i antara Shafa dan Marwah, yaitu pulang pergi antara kedua bukit yang terletak di samping Majidil Haram. Akan tetapi, para penyembah berhala memasang berhala-berhala di atas kedua bukit ini dan bertawaf mengitari berhala-berhala tersebut tatkala melakukan Sa'i lantaran persoalan ini, dan mereka mengira tidak boleh melakukan Sa'i antara keduanya. Karena sebelumnya pernah diletakkan berhala di atas kedua bukit tersebut.
Namun Allah Swt melalui ayat yang diturunkan ini mengingatkan bahwa dua bukit ini merupakan tanda kekuasaan ilahi dan mengingatkan kepada kenangan pelopor haji, yaitu Nabi Ibrahim as. Jika manusia-manusia jahil mencampuradukkannya dengan hal-hal syirik. kalian tidak boleh melepaskannya dan mengosongi gelanggang itu, bahkan kalian harus mencegah para pengyinmpang dari sana dengan kehadiran kalian.
Tatkala Nabi Ibrahim datang ke Mekah bersama isteri dan puteranya Ismail, untuk melaksnakan tugas ilahi, ia tinggalkan mereka di dataran tandus ini dengan pasrah kepada Allah lalu pergi. Ibu Ismail berlari-lari mencari air di antara kedua bukit itu. Pada kondisi tersebut, Allah Swt memancarkan sebuah mata air dari bawah jari-jari bayi Ismail yang diberi nama "Zam-zam".
Sejak saat itu melalui perintah Allah, setiap orang yang hendak berziarah ke Baitullah harus melakukan Sa'i antara kedua bukit ini, mengenang gerak lari Hajar antara Shafa dan Marwah serta memperingati berbagai pengorbanan ibu itu. Pelaksanaan ibadah ini merupakan tanda rasa syukur Allah atas usaha yang sungguh-sungguh dimana hal tersebut mengajar kita bahwa janganlah kita memikirkan pujian dan terima kasih manusia. Sebab Allah juga mengetahui perbuatan baik kita dan mensyukurinya.
Ayat ke 159
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati.
Ayat ini berbicara tentang para ulama Yahudi dan Nasrani yang menyembunyikan tanda-tanda munculnya Nabi Muhammad Saw meski terdapat di dalam kitab-kitab mereka, dan menyingkirkan jerih payah para Nabi Allah dalam mencapai petunjuk dan kebahagiaan.
Menyembunyikan kebenaran jika dilakukan oleh orang-orang jahil, maka akan mendapatkan balasan dan hukuman yang lebih kecil. Namun pelaksanaan perbuatan semacam ini oleh para ulama sebuah umat merupakan kezaliman terbesar terhadap hak manusia, para nabi dan Allah Swt.
Oleh karena itu, mereka senantiasa mendapat laknat selamanya. Ayat ini secara jelas menyampaikan bahwa di samping menyatakan kecintaan kepada orang-orang suci, harus menyatakan pula laknat dan kebencian mereka terhadap orang-orang kotor, khususnya mereka yang menjadi penyebab kesesatan manusia. Tentunya Allah Swt pada ayat selanjutnya mengecualikan sekelompok dari mereka dan berfirman yang artinya, "Kecuali mereka yang telah bertaubat dan mengadakan perbaikan serta menerangkan kebenaran, maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang".
Dalam agama Islam tidak ada jalan buntu, bahkan Allah senantiasa membuka ruang harapan dan jalan taubat bagi manusia, sehingga pelaku dosa terbesar sekalipun tidak berputus asa dari rahmatnya. Yang pasti, jelas bahwa taubat segala dosa harus sesuai dengan dosa tersebut, sehingga sedapat mungkin bisa menutupi dampak-dampaknya. Oleh karena itu, taubat terhadap penyembunyian hakikat adalah menerangkan hakikat kepada manusia sehingga tidak tinggal dalam kesesatan dan mencapai kebenaran.
Ayat ke 160
Artinya:
Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.
Dalam agama Islam tidak ada jalan buntu, bahkan Allah senantiasa membuka ruang harapan dan jalan taubat bagi manusia, sehingga pelaku dosa terbesar sekalipun tidak berputus asa dari rahmatnya. Yang pasti, jelas bahwa taubat segala dosa harus sesuai dengan dosa tersebut, sehingga sedapat mungkin bisa menutupi dampak-dampaknya. Oleh karena itu, taubat terhadap penyembunyian hakikat adalah menerangkan hakikat kepada manusia sehingga tidak tinggal dalam kesesatan dan mencapai kebenaran.
Ayat ke 161-162
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para Malaikat dan manusia seluruhnya.
Mereka kekal di dalam laknat itu; tidak akan diringankan siksa dari mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh.
Pada ayat sebelumnya diterangkan bahwa jika orang-orang yang menyembunyikan hakikat menjelaskannya kepada manusia, maka mereka akan mendapat rahmat ilahi. Ayat ini kembali mengancam bahwa jika orang-orang kafir tidak melakukan hal tersebut, maka laknat Allah, para Malaikat dan manusia akan menimpa mereka. Sebab taubat akan berfungsi hingga sebelum kematian, dan dengan datangnya tanda-tanda kematian, taubat tidak lagi berguna. Seperti halnya Firaun bertaubat menjelang tenggelam, akan tetapi taubatnya tidak lagi berguna.
Lantaran itu, salah satu doa para nabi dan auliya Allah adalah mati dalam keadaan Muslim saat kematian. Sebab mati dalam keadaan kafir adalah suatu penyakit yang tidak ada obatnya. Jauh dari rahmat ilahi adalah suatu siksa yang menimpa para penyembunyi hakikat dan kebenaran, baik di dunia maupun di akhirat, dan seluruh naluri manusia mengungkapkan kebencian dan kemarahannya terhadap perbuatan jahat.
Oleh karena siksa-siksa ilahi berdasarkan keadilan dan hikmah, bukannya kezaliman dan balas dendam, maka tidak ada keringanan atau tangguh bagi orang yang secara sadar menutupi kebenaran. Sebab pengaruh buruk perbuatannya tidak berkurang dan tidak pula tertangguh.
Dari lima ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik:
1. Jika tempat-tempat seperti masjid dan tempat-tempat ibadah telah dicampuri hal-hal khurafat oleh orang-orang jahil, maka jangan meninggalkan tempat itu, tapi harus disucikan dari khurafat dan menghidupkan cara ibadah yang benar.
2. Tempat-tempat yang merupakan tanda munculnya rahmat, kekuatan dan mukjizat ilahi, seperti Safa dan Marwah, harus dihormati dan diperhatikan sehingga kenangan manusia-manusia suci dan jerih payah mereka senantiasa hidup dalam pikiran dan hati manusia.
3. Menyembunyikan hakikat dan kebenaran termasuk dosa-dosa yang bahkan mendapat laknat dan kecaman naluri pelakunya sendiri, sebab Allah Swt telah meletakkan jiwa penuntut kebenaran di dalam fitrah setiap manusia.
4. Dari satu sisi, Allah Swt menyediakan kemungkinan taubat bagi para pendosa, dan dari sisi lain Allah menjanjikan untuk menerima taubat dan mengenalkan Zat-Nya sebagai penerima taubat.
5. Akibat dan akhir perbuatan amatlah penting, di mana apakah manusia mati dalam keadaan kafir atau Muslim? Tentunya, akibat ini diperoleh dari amal perbuatannya sepanjang umur.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 153-157
Ayat ke 153
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
Di sepanjang hidup, manusia sering kali menghadapi berbagai kesulitan. Jika ia tidak memiliki kekuatan yang diperlukan untuk menghadapinya, maka ia akan terpaksa mengalami kekalahan. Akan tetapi, seorang manusia Mukmin, dalam menghadapi kesulitan-kesulitan ini, bersandar kepada dua hal. Yang pertama kesabaran dan istiqamah, dan yang kedua adalah shalat dan hubungan dengan Allah.
Dengan dua hal itu, seorang Mukmin bersandar kepada dirinya sendiri (kesabaran) sekaligus bertawakal kepada kekuatan ilahi yang tak terbatas (shalat). Allah sendiri menjanjikan bahwa ia akan menolong hamba-hamba-Nya yang taat melakukan shalat dan bersabar, dan akan selalu bersama mereka. Kebersamaan Allah inilah yang merupakan pendukung terbesar bagi seorang manusia dalam menghadapi segala macam kesulitan.
Ayat ke 154
Artinya:
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.
Melanjutkan ayat sebelumnya yang berbicara tentang kesabaran dan istiqamah. Aayat ini berbicara tentang jihad dan mati syahid di jalan Allah, yang disertai dengan berbagai kesulitan harta dan nyawa yang banyak, dan memerlukan keteguhyan dan pengorbanan tinggi. Sebagian orang yang tak mengerti atau yang tendensius, bukan hanya tidak hadir di medan perang dan pertahanan, bahkan mereka melakukan hal-hal yang melemahkan semangat juang rakyat dan menganggap usaha suci ini tak ada artinya.
Dengan mimik wajah sedih, mereka menyatakan penyesalan dan kasihan mereka kepada orang-orang yang gugur di atas jalan Allah seraya mengatakan, "Kasihan si fulan mati melepaskan nyawanya dengan sia-sia."
Di dalam perang Badar, dimana 14 orang dari Muslimin gugur sebagai syuhada, sebagian orang menyebut mereka sebagai orang-orang yang sudah mati. Maka ayat ini bertujuan untuk menghapus cara berpikir keliru itu. Karena sesungguhnya syuhada adalah hidup, akan tetapi dengan kehidupan tertentu yang kita tidak dapat memahaminya sekarang ini.
Ayat ke 155
Artinya:
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
Ujian adalah sunnah ilahi yang pasti, yang mencakup seluruh manusia. Akan tetapi tidak sama ujian yang diberikan kepada seluruh manusia. Karena Allah akan menguji seseorang, sesuai dengan kadar fasilitas dan potensi yang diberikan oleh Allah kepadanya. Mungkin bagi sebagian orang, krisis keuangan dan ekonomi merupakan ujian untuk diketahui apa yang akan meraka lakukan jika menghadapi kesulitan seperti itu. Sementara itu, sebagian orang lain merasa bahaya yang mengancam nyawa seperti keikutsertaan di dalam medan perang, merupakan ujian bagi mereka untuk diketahui seberapa besar mereka memiliki kesiapan.
Tentu saja ujian-ujian ilahi dilakukan bukan dengan tujuan agar Allah mengetahui diri kita. Karena Allah lebih mengetahui diri kita dari pada diri kita sendiri, tanpa ujian apa pun terhadap kita. Akan tetapi tujuannya ialah agar kita mengetahui diri kita sendiri; dan agar kita menumbuhkan potensi-potensi yang ada di dalam diri kita sendiri, serta mempersiapkan diri agar menjadi orang yang layak menerima pahala ilahi sekaligus menjauhi hukuman-Nya.
Banyak sifat-sifat baik manusia, seperti kesabaran, qana'ah (merasa cukup), takwa dan pengorbanan akan muncul dan menampakkan sinarnya ketika seseorang menghadapi kesulitan-kesulitan sehingga dengan itu manusia akan mengembangkan serta meningkatkan kekuatan jiwanya.
Ayat ke 156
Artinya:
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".
Melanjutkan ayat sebelumnya, yang menyatakan adanya kabar gembira berupa kemenangan bagi orang-orang yang sabar, ayat ini menyebutkan sebagian ciri-ciri orang yang sabar. Disebutkan bahwa orang yang benar-benar penyabar adalah orang yang dalam menerima musibah dan kesulitan, bukannya berputus asa, tetapi ia tetap berharap dan optimis terhadap rahmat Allah.
Seseorang yang menyadari bahwa ia berasal dan selalu bergantung kepada Allah, Tuhan yang ia yakini telah mengendalikan alam jagat raya ini berdasarkan rahmat dan hikmah, maka pada pandangannya, segala sesuatu itu adalah indah. Ia akan memandang kehidupan dunia ini dengan penuh optimisme dan kebahagiaan. Pada dasarnya, dunia bukanlah tempat tinggal selamanya. Bukan pula tempat untuk bersantai dan bersenang-senang. Dunia adalah medan ujian dan berbagai kesulitan yang kita hadapi di dalamnya adalah bahan-bahan ujian tersebut. Jadi, kesulitan dan musibah ini, bukannya menunjukkan kekejaman Allah terhadap hamba-hambaNya, tetapi merupakan wasilah dan perantara untuk menggerakkan dan membuat manusia terus berusaha mencapai kesempurnaannya.
Akan tetapi manusia terbagi-bagi menjadi beberapa kelompok dalam menghadapi musibah. Sekelompok manusia, merupakan orang yang memiliki sedikit kesabaran, selalu berkeluh-kesah. Kelompok lain terdiri dari orang yang penyabar, dimana sebagai ganti ucapan-ucapan kufur dan keluh-kesah terhadap Allah, mereka menyatakan berlindung kepada Allah. Sementara kelompok lain pula, mereka bahkan bersyukur menghadapi ujian-ujian berat itu. Karena mereka yakin bahsa semua itu adalah pemberi kesempatan kepada mereka untuk mencapai kedudukan yang lebih mulia di sisi Allah Swt.
Ayat ke 157
Artinya:
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ayat ini menjelaskan bentuk pahala yang diturunkan kepada orang-orang yang sabar yaitu berkah dan rahmat Allah yang merupakan sumber penjagaan dan perlindungan mereka terhadap segala bentuk penyimpangan dan kesesatan. Dan memang mereka itulah orang-orang yang benar-benar memperoleh petunjuk. Meskipun seluruh makhluk di alam ini tercakup dalam rahmat dan karunia ilahi, tetapi rahmat yang diberikan kepada orang-orang yang sabar ini adalah rahmat dan berkah khusus serta istimewa untuk orang-orang tertentu.
Dari lima ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik:
1. Shalat bukanlah beban. Shalat merupakan sarana untuk membina diri guna memperolah kesabaran dalam menghadapi musibah. Oleh sebab itu, ketika memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bersabar, Allah memerintahkan shalat yang merupakan penghubung terbaik antara manusia yang serba terbatas dengan kekuatan ilahi yang tak terbatas.
2. Meskipun seluruh manusia setelah kematian mereka memiliki kehidupan barzakh yang merupakan kehidupan ruh, akan tetapi para syuhada memiliki kehidupan khusus dan berbeda dengan kehidupan barzakh orang-orang lain.
3. Hanya orang-orang yang penyabar yang akan menang menghadapi ujian ilahi. Sementara orang lain tidak memiliki jalan untuk melarikan diri darinya karena ujian-ujian ilahi meliputi semua orang.
4. Akar kesabaran adalah iman kepada Allah dan Hari Kiamat yang membuat manusia merasa enteng menghadapi segala musibah di dunia.
5. Kesabaran dan istiqamah adalah sumber kebahagiaan manusia di dunia ini, sedangkan pahala akhiratnya jauh lebih besar lagi.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 148-152
Ayat ke 148
Artinya:
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Pada ayat sebelum ini telah disebutkah bahwa arah kiblat bukanlah perkara yang penting. Karena di sepanjang sejarah, berbagai jenis agama memiliki sejumlah kiblat yang berbeda. Yang penting di sini adalah sikap pasrah kepada perintah Allah. Tolok ukurnya di sisi Allah adalah perbuatan baik yang setiap manusia harus berlomba-lomba dalam hal ini dan melompat dari dataran dialog dan omongan ke dunia praktis.
Kompetisi atau perlombaan adalah suatu perkara yang telah dilakukan manusia sejak dahulu. Adakalanya dalam urusan olahraga, dan sering kali juga dalam urusan ilmu pengetahuan. Sementara al-Quran tanpa menentukan perkara tertentu untuk kompetisi, menganjurkan apa saja yang melahirkan kebaikan untuk individu maupun sosial, hendaknya dijadikan perlombaan dan berupayalah agar anda mendahului orang-orang lain.
Namun untuk mengarahkan kompetisi ini agar bernuansa ilahi, segala perbuatan yang anda lakukan, maka pikirkan juga tentang hari pembalasan dan kiamat. Karena balasan sejati anda akan diberikan pada hari itu.
Ayat ke 149-150
Artinya:
Dan dari mana saja kamu ke luar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
Dan dari mana saja kamu berangkat, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Ku sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.
Kedua ayat ini sekali lagi menekankan masalah menghadap ke Mekah sebagai kiblat kepada Rasul dan Muslimin. Sekaitan dengan penegasan ini ada tiga alasan di baliknya
Pertama, sejumlah besar Muslimin merasa berat sekali menerima perintah perubahan kiblat dikarenakan takut terhadap sindiran dan penghinaan. Ayat ini memerintahkan agar Muslimin tidak takut kepada orang-orang Yahudi, melainkan takutlah kepada Allah, sekiranya kalian bermalas diri dalam menunaikan perintah Allah.
Kedua, Ahlul Kitab dalam kitab-kitabnya telah membaca bahwa Rasul Saw shalat menghadap dua kiblat,. Bila janji itu tidak terealisasi, maka mereka akan memprotes dengan menyatakan bahwa Rasul tidak memiliki keistimewaan yang telah tertulis di dalam kitab-kitab samawi.
Ketiga, ayat-ayat tadi berkaitan dengan shalat dalam keadaan berada di kota, sementara ayat ini bertalian dengan shalat dalam kondisi di perjalanan yang harus dibaca dengan menghadap ke Masjidil Haram. Artinya, kebebasan umat Islam merupakan salah satu dari nikmat ilahi yang besar dan harus dipelihara dalam kondisi bagaimanapun.
Ayat ke 151
Artinya:
Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
Di dalam ayat sebelumnya Allah Swt menjelaskan salah satu alasan perubahan kiblat adalah untuk merampungkan nikmatnya ke atas Muslimin dan memberi petunjuk kepada mereka.
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Swt juga telah memberikan nikmat-nikmat besar lainnya kepada kalin yang terpenting diantaranya adalah keberadaan Rasul Saw.
Rasul selain guru umat, juga mengajarkan ayat-ayat dan hukum-hukum ilahi serta berfungsi sebagai seorang pembimbing yang prihatin dalam memikirkan perbaikan dan kecerdasan masyarakat.
Pembacaan ayat-ayat al-Quran yang menciptakan wadah bagi penyucian jiwa dan disusul oleh pengajaran hukum-hukum ilahi serta pengajaran filsafat dan pandangan yang benar. Hal ini merupakan pekerjaan para nabi yang terpenting dalam rangka membimbing manusia.
Para nabi bukan saja para pemimpin akhlak dan ideologi, tapi mereka juga memikirkan jalan untuk mencerdaskan pemikiran dan kemajuan ilmu masyarakat. Namun perlu diingat di sini bahwa ilmu yang disebarluaskan oleh mereka adalah ilmu yang didasari oleh iman dan ideologi.
Ayat ke 152
Artinya:
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
Kini setelah Allah menganugerahkan nikmat yang besar kepada kita, maka akal dan intuisi menghukumi bahwa kita harus memerhatikan pemberi nikmat. Apa yang kita miliki semuanya adalah dari Dia dan nikmat-nikmat yang diberikan harus kita manfaatkan di jalan-Nya. Jika manusia melupakan Allah Swt, berarti ia telah melupakan sumber segala kebaikan. Dalam kondisi yang demikian, Allah juga melupakannya dan membiarkannya sendirian.
Maksud dari mengingat Allah, bukanlah dengan lisan, melainkan mengingat dengan artian yang sebenarnya. Sewaktu manusia melakukan suatu dosa kemudian melepaskan diri dari dosa semata-mata karena keridhaan Allah.
Dari lima ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Daripada melontarkan pembahasan yang diperselisihkan antara agama dan berbagai ajaran yang tidak ada manfaatnya, sebaiknya kita memikirkan bagaimana caranya meluaskan perbuatan saleh dan berlomba-lomba melakukan kebaikan.
2. Muslimin harus menjauhi segala perbuatan yang memberi peluang atau alasan kepada pihak musuh dan hendaknya pihak musuh tidak dibolehkan memiliki hujjah ke atas Muslimin.
3. Penggantian kiblat juga menyebabkan persatuan interen Muslimin dan juga lambang kemerdekaan dihadapan dominasi pihak lain.
4. Para Nabi adalah guru dan pembimbing manusia. Dengan penyucian diri dan pengajaran, mereka berpikir untuk menenangkan jiwa dan mensejahterakan kehidupan material umat.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 143-147
Ayat ke 143
Artinya:
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Sebelumnya, telah dijelaskan tentang Bani Israel mencemoh penggantian kiblat Muslimin, dan dalam jawabannya, Allah berfirman, bahwa Timur dan Barat adalah milik Allah, siapa saja yang menginginkan petunjuk yang sejati, maka ia harus mengikuti jalan lurus Allah Swt. Bukannya mengira bahwa Allah Swt berada di Timur atau di Barat dan kita hanya mengarah atau menghadap ke sana.
Ayat ini memperkenalkan umat Islam sebagai umat yang terjauhkan dari segala jenis perbuatan kurang atau berlebihan. Mereka berada di jalur tengah dan senantiasa menyeimbangkan kehidupannya baik dari sisi material, akidah maupun ekonomi. Islam merupakan contoh yang ideal bagi semua manusia dan masyarakat kemanusiaan.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa bukan semua individu Muslim selamat dari sikap kurang atu berlebihan dalam berbuat. Banyak sekali dari mereka dalam pemikiran atau perbuatan terjerembab dalam lobang ekstrim baik kanan maupun kiri. Lalu apakah maksud ayat ini?
Agama Islam yang dimaksud di sini adalah agama yang komprehensif dan moderat. Hanya mereka yang mengikuti semua perintah Allah dan bukan hanya sebagian yang akan sampai pada kesempurnaan. Allah menjadikan mereka sebagai hujjah dan bukti bagi seluruh umat dan masyarakat.
Ahlul Bait yang merupakan substansi sempurna umat Islam dan manusia terdepan di dalam menaati dan mengamalkan perintah-perintah Allah berkata, "Umatan Wasatan yang dijadikan oleh Allah Swt sebagai hujjah dan model, tidak lain adalah kami."
Lanjutan ayat tersebut menyinggung poin penting ini bahwa perintah perubahan kiblat tidak berbeda dengan perintah-perintah Allah lainnya, merupakan satu ujian ilahi yang membedakan barisan orang yang berpasrah diri dengan barisan orang penyembah hawa nafsu. Karena untuk menerima perintah ini, bagi orang-orang yang tidak menerima petunjuk khas ilahi, adalah perkara yang sulit, dan mereka membuat berbagai alasan untuk tidak melakukan perintah ini.
Ayat ke 144
Artinya:
Sesungguhnya Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
Menyusul cemohan dan sindiran orang-orang Yahudi, bahwa orang-orang Muslimin tidak memiliki kiblat secara mandiri, Rasul menanti perintah perubahan kiblat, dan di pertengahan waktu shalat Zuhur, perintah ini turun ke atas Nabi dan dengan berputarnya tubuh rasul dari Baitul Maqdis ke Mekah, orang-orang Muslim yang shalat di belakang beliau memutarkan tubuh mereka ke arah Ka'bah.
Yang menarik di sini, dalam kitab-kitab samawi terdahulu, disebutkan bahwa salah satu dari tanda Rasul Islam, adalah beliau shalat menghadap dua kiblat. Oleh karena inilah, ayat ini memperingatkan ahlul kitab, bahwa kalian yang mengetahui perintah ini adalah benar, lalu kenapa kalian keberatan terhadap perintah ini?
Ayat ke 145
Artinya:
Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim.
Ayat ini membesarkan atau menghibur hati Rasul, sekiranya ahlul kitab tidak mau menerima kiblatmu, maka janganlah engkau bersedih. Karena fanatisme telah menghalangi mereka untuk menerima kebenaran. Itulah mengapa segala argementasi yang engkau bawakan tidak akan diterima oleh mereka.
Namun penolakan mereka tidak semestinya menyebabkan kamu lemah dan berputus-asa sehubungan dengan kiblat yang baru, melainkan dengan tegas kamu harus umumkan bahwa kami tidak akan menyerah diri kepada hiruk-pikuk ini, dan tidak akan ada perubahan dalam sikap kami.
Berangkat pada masalah bahwa setiap orang adalah sama di depan undang-undang dan peraturan, Allah Swt memberi peringatan kepada Rasul Saw, bahwa sekiranya untuk menarik simpati mereka lalu engkau mengikuti mereka, maka engkau telah melakukan kezaliman yang besar di dalam hak umatmu.
Ayat ke 146-147
Artinya:
Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.
Tanda-tanda dan sifat-sifat Rasul Saw telah disebutkan di dalam Taurat dan Injil. Oleh karena itu, Ahli Kitab mengenali Nabi Saw, namun fantisme dan kekerasan hati telah menyebabkan sebagian dari mereka menyembunyikan hakekat dan kebenaran ini.
Walaupun sebagian dari ahli Kitab ketika melihat sendiri sifat-sifat nabi Saw, seketika itu juga mereka beriman, karena ciri-ciri khas jasmani sebagaimana yang telah dilukiskan dalam kitab-kitab terdahulu yang dengan terminologi dan ungkapan al-Quran, mereka mengetahui Nabi sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri.
Ayat terakhir ini menekankan sebuah poin bahwa hanya yang diturunkan dari Allah-lah yang benar dan walaupun mayoritas manusia membelangkangi dan menolak perintah tersebut, tidak seharunya menyebabkan keraguan dan kegundahan dalam kebenaran wahyu ilahi.
Dari lima ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kiblat juga berarti lambang kemerdekaan dan juga petanda kepasrahan. Kemerdekaan dari setiap agama dan etnis yang hendak menguasai Muslimin dan pasrah kepada Allah dengan menjalankan segala yang diperintahkannya tanpa syarat.
2. Islam adalah agama yang komprehensif dan pertengahan. Jika Muslimin berjalan di atas jalan yang lurus, maka mereka dapat menjadi model bagi umat lainnya.
3. Fanatisme dan keras kepala membelakangi segala jenis pemikiran dan argumentasi serta perspektif yang benar. Oleh karena itulah agama memerangi aroganisme.
4. Jika tidak ada semangat mencari kebenaran, maka ilmu tidaklah cukup. Karena hawa nafsu manusia adakalanya menyembunyikan ilmu dan menyelewengkannya.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 139-142
Ayat ke 139
Artinya:
Katakanlah: "Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati.
Sangat disayangkan beberapa pengikut agama-agama yang tidak mengetahui secara sempurna pengetahuan agama mereka menvisualkan dirinya berada di dekat Allah dan memiliki kedudukan yang istimewa. Allah hanya memikirkan mereka dan hanya untuk mereka Allah mengutus para nabi-Nya. Oleh sebab itu mereka tidak mau menerima para nabi lain dan para pengikut mereka. Padahal Allah sama sekali tidak memiliki hubungan kerabat. Karena Dia adalah Zat Yang Maha Esa. Satu hal yang menyebabkan jauh atau dekatnya manusia kepada-Nya adalah perbuatan mereka. Oleh sebab itu setiap individu bertanggung jawab atas perbuatannya.
Sesungguhnya sebuah perbuatan itu diterima, jika dilaksanakan secara ikhlas untuk Allah. Sebuah perbuatan yang menunjukkan keimanan yang sesungguhnya dan jauh dari setiap kepercayaan syirik yang tercemar. Ayat ini menunjukkan bahwa egoisme manusia, kadang-kadang sampai pada batas dimana menggangap Allah hanya untuk dirinya dan tidak untuk orang lain. Allah digambarkan hanya memikirkan dirinya dan tidak memikirkan lainya. Padahal Allah sama sekali tidak terbatas kepada satu agamapun atau ideologi atau ras dan etnik dan Tuhan bagi umat manusia didunia.
Ayat ke 140
Artinya:
Ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani? Katakanlah:" Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya? "Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan.
Sebagian pengikut Nabi Musa dan Nabi Isa as mengaku bahwa Nabi Ibrahim as dan para nabi setelahnya juga mengikuti ideologi mereka. Hal ini dilakukan untuk membuktikan kebenaran agamanya dan menyalahkan agama yang lain. Sementara sejarah menyebut Nabi Musa dan Nabi Isa datang setelah para nabi tersebut. Oleh karenanya, pengakuan-pengakuan semacam ini tak lain muncul dari fanatisme yang tidak pada tempatnya. Mereka tidak mempunyai alasan dan argumentasi lain. Al-Quran menganggap penyimpangan atau penyembunyian kebenaran adalah kezaliman terbesar. Karena menyebabkan penyimpangan akidah dan opini generasi-generasi mendatang dan masyarakat di berbagai zaman, serta menyebabkan terhalangnya perkembangan dan kesempurnaan kebudayaan masyarakat manusia.
Ayat ke 141
Artinya:
Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa yang kamu usahakan; dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan.
Ayat ini adalah jawaban terhadap tuduhan-tuduhan kosong yang terdapat pada ayat sebelumnya. Allah dalam ayat ini menegur mereka mengapa kalian hanya berfikir sejarah masa lalu kalian sampai zaman Nabi Ibrahim as. Sebuah masyarakat yang hidup harus bersandar kepada perbuatan mereka sendiri, tidak bersandar kepada sejarah masa lalunya. Para nabi dan kaum-kaum terdahulu mereka semua telah tiada dan perbuatan mereka tergantung dengan mereka sendiri, sebagaimana kalian juga bertanggung jawab atas perbuatan kalian sendiri. Keutamaan adalah masalah perhitungan yang setiap individu dan kelompok harus mendapatkannya sendiri dan tidak masalah warisan yang dapat diwariskan kepada anak.
Ayat ke 142
Artinya:
Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata:" Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya? "Katakanlah:" Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus."
Dalam pembahasan sebelumnya telah disinggung bahwa salah satu kritikan Yahudi terhadap Muslimin, adalah fenomena perubahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Mekah. Ayat ini dan beberapa ayat lain setelah ini, memaparkan dengan jelas dan menjawab hal ini. Nabi setelah bi'tsat (pengutusan sebagai nabi) selama 13 tahun berada di Mekah, melaksanakan shalat ke arah Baitul Maqdis. Karena pertama adalah kiblat para penyembah Tuhan dan dihorrmati oleh semua agama. Kedua, musyrikin telah merubah Ka'bah menjadi rumah berhala. Jika Nabi Saw di Masjidil Haram berdiri menghadap ke Ka'bah seperti menghadap kepada para berhala.
Setelah hijrah ke Madinah, selama beberapa bulan Muslimin masih menghadap ke Baitul Maqdis, sehingga Yahudi menjadikan hal ini sebagai kritikan. Mereka berkata kalian mengikuti kami dan tidak dapat berdiri sendiri, karena kalian tidak memiliki kiblat sendiri. Celaan dan hinaan ini sulit bagi nabi dan Muslimin. Sampai perintah perubahan kiblat di keluarkan oleh Allah dan ketika Nabi Saw mengerjakan shalat Zuhur di masjid, Allah mengutus Jibril as di tengah-tengah shalat supaya mengubah Nabi kearah Ka'bah. Oleh sebab itu, masjid terkenal ini dinamakan Dzul Kiblatain, yaitu memiliki dua kiblat.
Tetapi Yahudi tetap memaparkan kritikan ini dan kepada Muslimin berkata, "Jika kiblat sebelumnya benar, apa yang menyebabkan kalian beralih dari kiblat sebelumnya dan jika kiblat ini benar, kenapa selama ini mereka mendirikan shalat ke arah Baitul Maqdis."
A-Quran dalam menjawab kritikan ini berfirman, kiblat tidak berarti bahwa Allah memiliki tempat, sehingga menyebabkan kita menghadap ke barat atau ke timur. Tetapi semua; barat dan timur dan semua arah adalah milik-Nya. Tidak ada satupun tempat yang mulia bagi-Nya, tetapi dengan perintah-Nya, kita menghormati yang penting adalah kita menerima perintah-Nya dan kita menjalankan setiap perintah-Nya, baik kearah Ka'bah ataupun Baitul Maqdis. Siapa saja yang mendapat hidayah ke jalan ilahi yang lurus, maka ia harus menerimanya. Bukannya menerima segala sesuatu yang sesuai dengan kehendak sendiri.
Dari empat ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Allah merupakan Tuhan semua manusia bahkan semua mahluk. Dia tidak terbatas dalam satu agama dan ideologi, begitu juga bukan milik seseorang atau kelompok. Hanya perbuatan manusia yang menjadi sumber kedekatan atau jauhnya mereka dari-Nya.
2. Penyimpangan kebenaran sebuah agama dan sejarah adalah kezaliman kebudayaan terhadap keturunan umat manusia. Al-Quran menyebut perbuatan ini sebagai kezaliman terbesar.
3. Seharusnya kita memikirkan perbuatan kita sendiri bukannya membanggakan sejarah nenek moyang. Karena kebaikan mereka tidak mendatangkan pahala bagi kita, dan begitu juga sebaliknya, keburukan mereka tidak menyebabkan kekafiran kita.
4. Kiblat yaitu kita menghadap ke arah yang Allah perintahkan. Bukan berarti Allah berada di arah sana. Tidak ada bedanya ketika kita menghadap ke Baitul Maqdis atau sekarang menghadapi Ka'bah. Karena keduanya adalah perintah dari Allah dan bukan kehendak kita.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 134-138
Ayat ke 134
Artinya:
Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan.
Bani Israil sangat merasa bangga dengan nenek moyangnya. Mereka menyangka, betapapun mereka itu telah tercemar, namun berkat kesempurnaan dan kebaikan nenek moyangnya, maka mereka akan dimaafkan oleh Allah Swt. Oleh karena itu, bukannya berpikir untuk memperbaiki diri, mereka bahkan hanya menyebut kebaikan kakek dan nenek mereka, seraya membangga-banggakannya.
Ayat ini memperingatkan setiap manusia, termasuk muslimin, mereka harus tahu bahwa setiap orang harus bertanggungjawab atas perbuatan sendiri. Di Hari Kiamat kelak segala macam hubungan keluarga, kekerabatan dan sebagainya, sama sekali tak berguna. Jadi tak seharusnyalah seseorang mengandalkan kebaikan-kebaikan keluarganya.
Di dalam sebuah kalimat pendek, Amirul Mukminin Ali bin Abi Talib as berkata, "Assyarafu bil himamil 'aliyah, la bil ramamil baa liyah". Artinya, "Kemuliaan itu akan dicapai melalui kerja dengan penuh semangat, bukan dengan mengandalkan tulang-tulang yang sudah lapuk." Maksudnya, bahwa setiap orang harus berusaha dengan semangat tinggi untuk mencapai kemuliaan dirinya. Bukan hanya dengan membangga-banggakan kebaikan orang-orang tua dan kakek-nenek yang sudah meninggal.
Ayat ke 135
Artinya:
Dan mereka berkata: "Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk". Katakanlah: "Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik".
Orang-orang Yahudi menganggap mereka berada dalam kebenaran dan mengatakan bahwa orang-orang Nasrani itu sesat. Sementara orang-orang Nasrani pun merasa diri mereka berada dalam kebenaran dan meyakini bahwa orang-orang Yahudi sesat. Oleh sebab itu masing-masing mengajak pengikut agama lain kepada agama sendiri seraya mengatakan, "Jika kalian ingin memperoleh petunjuk, maka ikutilah agama kami."
Dalam menjawab sikap fanatik buta ini, al-Quran menyatakan jalan petunjuk terletak di dalam kecintaan kepada kebenaran, bukan kecintaan kepada kelompok sendiri. Untuk itu pelajarilah cinta kebenaran ini dari Ibrahim as yang merupakan seorang teladan yang tak pernah terjebak ke dalam syirik dan fanatisme buta.
Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa nama dan stempel tidaklah penting, iman dan amallah yang menentukan. Yahudi dan Nasrani tidak lebih dari sekadar cap dan stempel, sedangkan yang penting ialah amal baik berdasarkan semangat tauhid dan penyembahan kepada Allah yang Maha Esa.
Ayat ke 136
Artinya:
Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".
Sebagai lanjutan dari ayat sebelumnya yang menceritakan pertengkaran antara Yahudi dan Nasrani berkenaan agama mereka masing-masing, ayat ini berbicara kepada mereka dan juga kepada pengikut agama apapun selain Islam bahwa tak ada perbedaan di antara para Nabi. Karena semua mereka datang dari Allah yang Esa. Ajaran-ajaran yang mereka bawa juga datang dari Allah yang Esa. Dengan demikian seharusnya semua penyembah Allah beriman kepada setiap Nabi utusan ilahi dan kepada apa yang telah diturunkan kepada mereka. Bukannya menerima nabi mereka sendiri saja dan menolak nabi-nabi lain serta kitab-kitab mereka.
Para Nabi ilahi sebagaimana guru sebuah sekolah yang masing-masing mengajar sekelompok orang di zaman tertentu sesuai dengan kemampuan mereka sampai ketika datang nabi terakhir yang diutus untuk umat manusia moderen, maka Allah Swt menurunkan kitab yang paling lengkap dan sempurna untuk memberi hidayah umat tersebut.
Ayat ke 137
Artinya:
Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ayat ini, berbicara kepada Muslimin, dengan mengatakan, "Jika Ahli Kitab, sebagai ganti sikap egois dan fanatisme buta, beriman kepada semua Nabi dan kitab-kitab suci mereka, sebagaimana kalian, berarti mereka telah mendapatkan hidayah. Tetapi jika mereka masih saja menganggap diri mereka sebagai tolok ukur kebenaran, dan menganggap sesat para pengikut agama lain dan nabi-nabi mereka, maka hal itu menunjukkan penolakan kebenaran dan pemisahan diri dari kelompok pencari hakikat.
Akhir ayat ini memberi semangat kepada Muslimin bahwa dalam menghadapi berbagai konspirasi musuh-musuh agama, cukuplah Allah bagi kalian. Karena Allah Maha mendengar dan Maha Mengetahui segala apa yang mereka katakan dan mereka program untuk memusuhi kalian.
Ayat ke 138
Artinya:
Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.
Allah Swt adalah yang mula-mula menciptakan dan melukis alam jagat raya ini. Di awal penciptaan, Allah Swt menciptakan ruh manusia dan mewarnainya dengan fitrah yang bersih suci. Akan tetapi manusia sendirilah kemudian yang mendatangkan warna-warna lain di atas warna ilahi itu seperti warna hawa nafsu, egoisme, fanatisme dan sebagainya sehingga warna fitrah itu pun tertutup oleh warna-warna lain itu.
Fanatisme dan egoisme adalah warna-warna yang mengakibatkan perpecahan dan permusuhan di antara sesama manusia. Padahal semua warna kesukuan dan etnis haruslah merupakan warna-warna yang terbuka sehingga warna ilahi yang ada pada diri manusia akan muncul ke permukaan. Semua warna selain warna ilahi yang kekal dan tetap akan memudar sampai hilang musnah dengan berlalunya zaman. Semua warna akan mengakibatkan perpecahan dan permusuhan kecuali warna ilahi yang merupakan sumber persatuan dan persaudaraan. Itu pun dibawah bayang-bayang penyembahan terhadap Allah Yang Maha Esa.
Pada umumnya setiap orang dapat menerima warna tertentu lalu masuk ke kelompok masyarakat manapun dan agar diterima dalam masyarakat tersebut, maka ia mesti memiliki warna yang sama dengan orang lain di dalam masyarakat itu. Padahal ajaran agama bukannya menekankan kesamaan warna tetapi ketiadaan warna, kebersihan dari segala warna yang mengakibatkan keterpisahan manusia dari manusia yang lain, baik berupa nama maupun cap dan stampel atau usia dan tingkat pengetahuan atau harta dan kedudukan di dalam ketiadaan warna itulah warna Ilahi akan muncul dengan jelas.
Dari lima ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Daripada menyandarkan diri kepada nenek moyang dan membanggakan kebaikan mereka, hendaklah kita memikirkan perbuatan kita sendiri. Karena kemuliaan dan keutamaan setiap orang bergantung pada amal perbuatannya sendiri. Jangan sampai terjadi orang lain berusaha demi kemuliaan dunia dan akhirat mereka, tetapi kita merasa puas hanya dengan menjadi keturunan mereka.
2. Hendaklah kita menjadi orang yang mencintai kebenaran, bukan mencintai kelompok sendiri. Cinta kebenaran membuka mata dan telinga seseorang untuk memahami hakikat, sedangkan cinta kelompok sendiri membutakan seseorang dari kekurangan-kekurangan diri dan kesempurnaan orang lain.
3. Di samping keimanan hati, penyerahan diri di dalam amal perbuatan juga diperlukan. Seseorang tidak dapat mengatakan keimanan tetapi bukannya berpasrah diri kepada perintah-perintah Ilahi, malah mengikuti hawa nafsu saja.
4. Warna yang paling baik ialah warna fitrah ilahi yang telah Allah berikan di dalam diri setiap manusia ciptaannya. Warna yang kuat, pembawa persatuan dan sumber kesucian serta kebersihan.