
کمالوندی
30 Ribu Orang Bergabung dengan Hashd Al Shaabi, Irak
Ketua Organisasi Hashd Al Shaabi, Irak mengabarkan bergabungnya 30.000 anggota baru ke dalam organisasi ini, dan sudah mendapat persetujuan dari pemerintah Baghdad.
Falah Al Fayadh, Senin (13/9/2021) seperti dikutip situs Al Araby Al Jadeed mengatakan, pejabat pemerintah Irak menyetujui bergabungnya 30.000 anggota baru Hashd Al Shaabi.
Ia menambahkan, dengan bergabungnya 30.000 anggota baru, pasukan Hashd Al Shaabi akan berjumlah lebih dari 167.000 orang, dan 30.000 anggota baru ini adalah orang-orang yang sebelumnya bekerja kontrak untuk Hashd Al Shaabi, dan setelah habis kontrak mereka meninggalkan Hashd Al Shaabi, namun dengan persetujuan pemerintah Baghdad, mereka akan menjadi personel resmi.
Ketua Hashd Al Shaabi meminta maaf karena terjadi keterlembatan dalam proses ini. Menurutnya, selama beberapa bulan terakhir Hashd Al Shabi telah mengerahkan seluruh upaya untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Ketua Asaib Ahl Al Haq Irak, Qais Al Khazali menyambut persetujuan pemerintah atas bergabungnya 30.000 anggota baru Hashd Al Shaabi dan mengatakan sekarang Hashd Al Shaabi sudah sejajar dengan Kementerian Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri, dan Badan Kontraterorisme.
Faktor Krisis di Afghanistan Menurut Menlu Iran
Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran, Hossein Amir Abdollahian saat pidatonya di sidang virtual “Kondisi HAM di Afghanistan” yang dipimpin Sekjen PBB, Antonio Guterres Senin (13/9/2021) sore, menjelaskan pandangan Iran terkait kondisi Afghanistan saat ini.
Pidato menlu Iran di sidang ini mengisyaratkan dua bidang kemanusiaan dan politik.
Di bidang kemanusiaan, kondisi Afghanistan sepenuhnya jelas dan sangat mengkhawatirkan. Melihat kondisi lapangan warga dan berbagai laporan serta gambar yang dirilis dari berbagai wilayah Afghanistan menunjukkan adanya tragedi kemanusiaan. Tentu saja kondisi ini tidak terbatas pada peristiwa setelah jatuhnya Kabul dan berkuasanya Taliban di negara ini.
Universitas Brown, sebagai salah satu universitas populer di Amerika beberapa waktu lalu seraya merilis laporan dari korban manusia di perang 20 tahun Amerika di Afghanistan menulis, sebanyak 241 ribu warga Afghanistan tewas di perang ini, di antaranya 71.344 adalah warga sipil. Mayoritas korban tewas dalam serangan drone Amerika Serikat.
Laporan ini menyebut Afghanistan sebagai negara paling berbahaya bagi anak-anak dan menjelaskan, selama satu dekade lalu hampir delapan ribu anak di Afghanistan terbunuh dan ribuan anak-anak terluka atau mengalami cacat.
Menlu Iran saat menjelaskan pandangan Republik Islam terkait isu kemanusiaan akibat krisis Afghanistan mengatakan, Iran tetap membuka perbatasannya untuk membantu mencegah arus baru pengungsi dan pencari suaka Afghanistan, dan selain mengirim bantuan kemanusiaan ke wilayah Afghanistan, juga mampu mempertahankan perdagangan lokal, pasar bersama dan jalur penyeberangan perdagangan di perbatasan tetap aktif. Sementara sikap pasif komunitas global dalam menjalankan komitmennya terkait pengungsi Afghanistan menuai banyak kritik.
Namun poin penting lain dari pidato menlu Iran di sidang istimewa PBB terkait kondisi Afghanistan adalah penjelasannya mengenai faktor dan unsur-unsur politik yang membuat Afghanistan mengalami kondisi seperti saat ini.
Menlu Iran seraya menekankan poin bahwa bagian terpenting dari kondisi rusuh saat ini kembali pada kebijakan yang disertai dengan uji coba dan kesalahan Amerika Serikat di Afghanistan. Ia menyebut Washington sebagai faktor penting dari kondisi rusuh dan instabilitas di Kabul.
Para pemimpin di Afghanistan menyangka dengan menjalin pakta strategis dan keamanan dengan Amerika, maka negaranya akan maju dan dukungan Washington kepada mereka bersifat permanen. Sementara AS tidak menganggap Afghanistan sebagai mitra atau sekutu strategis. Petinggi Washington baik dari kubu Republik atau Demokrat sejatinya tidak melakukan apa pun untuk keamanan Afghanistan. Lebih dari 300 ribu pasukan hanya bekerja untuk melayani kepentingan dan tujuan Amerika di Afghanistan, pasukan yang hanya dua bulan jatuh dan hancur selamanya.
Namun pertanyaannya saat ini adalah apa solusi bagi krisis Afghanistan, dan bagaimana cara membantu warga negara ini untuk melewati kondisi ini ?
Amir Abdollahian terkait hal ini seraya menekankan kontak diplomatik Iran dengan seluruh pihak di Afghanistan mengungkapkan, “Kami mengejar politik di Afghanistan yang selain menekankan pembentukan pemerintah inklusif, juga menginginkan Afghanistan yang bebas dari terorisme dan narkotika serta rakyat negara ini mampu mengambil keputusan untuk menentukan masa depan negaranya.”
Sekaitan dengan ini, baru-baru ini digelar sidang virtual tingkat menlu negara-negara tetangga Afghanistan dengan poros Iran.
Wajar Republik Islam Iran sebagai negara tetangga dan dengan alasan kemanusiaan berusaha untuk mengakhiri penderitaan rakyat Afghanistan, berharap negara ini mampu melewati kondisi sulit saat ini dan rakyat menentukan nasibnya sendiri.
Iran Anggap AS Biang Kekacauan di Afghanistan
Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian mengatakan Amerika Serikat adalah penyebab utama ketidakstabilan, ketidakamanan, dan situasi tragis saat ini di Afghanistan.
Hal itu disampaikan menlu Iran dalam pertemuan virtual untuk membahas situasi kemanusiaan di Afghanistan, yang dipimpin oleh Sekjen PBB Antonio Guterres pada Senin (13/9/2021) sore.
"Kita semua menghadapi situasi dan tantangan baru di Afghanistan. Kami percaya bahwa penyebab utama ketidakstabilan, ketidakamanan, dan situasi tragis saat ini di Afghanistan adalah karena kebijakan keliru AS," kata Amir-Abdollahian.
Menurutnya, AS telah menciptakan tragedi selama tahun-tahun menduduki Afghanistan. Cara mereka keluar dari negara itu juga telah menciptakan tragedi. Dunia menyaksikan adegan-adegan mengerikan di bandara Kabul dalam beberapa hari terakhir.
Menlu Iran menuturkan, "Di tingkat politik, kita harus mengirim satu pesan ke Kabul bahwa Afghanistan yang aman, stabil, dan maju hanya dapat dicapai melalui pembentukan pemerintahan nasional inklusif yang merangkul semua pihak."
Sekjen PBB Antonio Guterres.
Di tingkat kemanusiaan, jelasnya, laki-laki, perempuan, dan anak-anak di Afghanistan menghadapi situasi yang menyedihkan dan hari ini komunitas internasional berkewajiban dan harus mengirim bantuan kemanusiaan darurat ke negara tersebut.
"Kami siap untuk memfasilitasi pengiriman bantuan kemanusiaan ke Afghanistan dari berbagai negara," ujar Amir-Abdollahian.
"Republik Islam sendiri membuka semua perbatasannya. Selain untuk mengirim bantuan kemanusiaan ke Afghanistan, juga untuk menjaga perdagangan lokal, pasar bersama, dan perdagangan lintas batas tetap beroperasi," jelasnya.
Dia juga mengkritik komunitas internasional karena gagal memenuhi kewajibannya dalam menangani situasi pengungsi Afghanistan.
Menlu Iran menekankan perlunya pengiriman segera bantuan kemanusiaan kepada rakyat Afghanistan dan juga pembentukan pemerintahan yang inklusif.
"Kami mendorong pembentukan pemerintahan yang inklusif di Afghanistan serta terbebasnya negara itu dari terorisme dan narkotika. Rakyat Afghanistan sendiri dapat memutuskan masa depan mereka," imbuhnya.
Negara Pertama yang akan Dikunjungi Presiden Baru Iran, Tajikistan
Minggu ini Presiden Republik Islam Iran akan melakukan kunjungan luar negeri pertamanya. Negara yang menjadi tujuan adalah Tajikistan, dan di sana ia akan menghadiri KTT Organisasi Kerja Sama Shanghai.
Presiden Iran Sayid Ebrahim Raisi, hari Kamis (16/9/2021) bertolak ke Dushanbe atas undangan resmi Presiden Tajikistan Emomali Rahmon, dan untuk menghadiri KTT Organisasi Kerja Sama Shanghai.
Dalam lawatan luar negeri pertamanya ini, Raisi sebagai Presiden Iran akan menyampaikan pidato pada KTT Organisasi Kerja Sama Shanghai.
Di Tajikistan, Presiden Iran selain menghadiri KTT Organisasi Kerja Sama Shanghai, juga akan melakukan pertemuan dengan sejumlah pemimpin delegasi yang hadir.
Dalam lawatannya ke Tajikistan, Raisi akan membawa rombongan pejabat politik dan ekonomi tingkat tinggi. Ia juga dijadwalkan melakukan pertemuan empat mata dengan Presiden Tajikistan.
Siapa yang Keruk Keuntungan dari Peristiwa 11 September ?
Pihak manakah yang diuntungkan dari peristiwa serangan teroris 11 September 2001? Salah satunya adalah industri produsen senjata global.
Riset yang dilakukan Watson Institute for International and Public Affairs di Brown University menunjukkan sebagian dari total anggaran Pentagon sebesar 14 triliun dolar antara tahun 2001 dan 2020 digelontorkan kepada korporasi produsen senjata global yang mencapai 4,4 triliun dolar.
Amerika Serikat meningkatkan pengeluaran militernya secara tajam sejak serangan teroris 11 September 2001, dengan dalih perang global melawan terorisme, serta mendanai invasi militer di Afghanistan dan Irak.
Setahun setelah peristiwa 11 September, anggaran Pentagon meningkat 10 persen. Tren ini terus berlanjut di tahun-tahun mendatang dengan peningkatan menjadi $ 738 miliar pada tahun fiskal 2021.
Dua puluh tahun setelah peristiwa 11 September, perusahaan senjata AS termasuk Lockheed Martin, Boeing, General Dynamics, Raytheon dan Northrop Grumman mengeruk pendapatan 4,4 triliun dolar melalui penandatanganan beberapa kontrak dengan Pentagon. Pada saat yang sama, kontraktor AS dan Barat yang telah berada di Afghanistan dan Irak selama 20 tahun terakhir telah menerima porsi yang signifikan dari anggaran Pentagon.
Amerika Serikat mengklaim telah menghabiskan miliaran dolar untuk membangun kembali Afghanistan selama 20 tahun terakhir. Tetapi banyak dari uang itu telah terbuang percuma. Menurut statistik terbaru, sebanyak 22.562 kontraktor hadir di Afghanistan.
Berdasarkan sebuah laporan yang dirilis oleh Inspektur Jenderal Pemerintah AS untuk Rekonstruksi Afghanistan, John F. Sopko pada Maret 2021, Amerika Serikat telah menghabiskan miliaran dolar di Afghanistan untuk bangunan dan kendaraan yang telah ditinggalkan atau dihancurkan.
Pada tahun-tahun sebelumnya, Sopko melaporkan penggelapan jutaan dolar oleh lembaga pemerintah AS seperti Pentagon, Departemen Luar Negeri, serta NATO di Afghanistan, terutama dalam proyek militer AS di negara itu oleh para kontraktornya.
Pada tahun 2011, Komisi Kontrak Perang di Irak dan Afghanistan memperkirakan bahwa pemborosan, penipuan, dan penyalahgunaan jabatan di bidang ini merugikan pemerintah AS senilai sekitar 31 miliar hingga 60 miliar dolar.
Watson Institute for Public Affairs and International Affairs juga melaporkan pada pertengahan Agustus 2021 bahwa biaya perang pimpinan AS di Afghanistan, yang dimulai pada musim gugur 2001 dan berakhir pada 31 Agustus 2021 mencapai 2,26 triliun dolar.
Selama masa kepresidenan George W. Bush, Amerika Serikat menginvasi dan menduduki Afghanistan setelah peristiwa 11 September, dengan dalih perang global melawan terorisme dan penggulingan pemerintah Taliban, yang dituduh berkolaborasi dengan al-Qaeda. Pada puncak pendudukan di tahun 2011, jumlah pasukan AS dan NATO di negara itu mencapai lebih dari 140.000 orang.
Tampaknya, korporasi industri militer raksasa AS menggunakan isu perang melawan terorisme untuk mengembangkan senjata baru dan menjualnya ke Pentagon dalam operasi militer di Afghanistan dan Irak.
Sebuah contoh yang jelas dari masalah ini adalah desain, produksi dan pengoperasian ribuan kapal penyapu ranjau dan kendaraan lapis baja penyergapan yang disebut "MRAP" oleh perusahaan-perusahaan AS untuk digunakan pasukan AS di Afghanistan dan Irak.
Kini, pemerintah AS mengklaim berakhirnya perang di Afghanistan dan kesiapan untuk menarik diri dari Irak, Militerisasi lebih lanjut untuk tahun fiskal 2022 telah meningkatkan anggaran militer AS untuk kepentingan kompleks industri militer.
Ro Khanna, anggota DPR AS dari partia Demokrat mengatakan, "Kita perlu membuat perubahan mendasar dalam cara kita mengatasi masalah keamanan nasional dan berinvestasi dalam aksi perubahan iklim dan menanggapi epidemi Corona. Ini adalah masalah yang memberi orang Amerika keamanan lebih dari menghabiskan miliaran untuk senjata mematikan,".
Iron Dome Israel Siaga, Sirine Bahaya Meraung di Permukiman Zionis Dekat Gaza
Sirene peringatan bahaya meraung-raung keras di daerah Sderot dan pemukiman Zionis di sekitar Gaza tidak lama setelah sebuah roket ditembakkan dari arah Palestina.
Media Palestina Minggu (12/9/2021) malam melaporkan, sirene berbunyi setelah sebuah roket ditembakkan dari Jalur Gaza ke wilayah pendudukan, dan sistem Iron Dome juga diaktifkan.
Surat kabar Yedioth Ahronoth mengkonfirmasi serangan roket yang menyasar kota Sderot.
Televisi Israel kanal 12 juga melaporkan bahwa sistem Iron Dome berhasil menangkal roket yang ditembakkan dari Jalur Gaza.
Klaim ini tampaknya akan menjadi alasan bagi rezim Zionis untuk melancarkan kembali serangan ke Jalur Gaza.
Jet Tempur Rezim Zionis Bombardir Gaza
Jet-jet tempur rezim Zionis melancarkan serangan udara terhadap sejumlah target utara dan selatan Jalur Gaza.
Safa News hari Senin (13/9/2021) melaporkan, rezim Zionis melancarkan serangan udara terhadap sasaran di Gaza pada Senin dini hari yang diklaim sebagai tanggapan atas serangan roket oleh pasukan perlawanan terhadap kota Sderot.
Ledakan terdengar di wilayah selatan dan utara Jalur Gaza.
Bersamaan dengan itu, tembakan anti-pesawat dilancarkan kelompok perlawanan Palestina.
Menurut sumber lokal tidak resmi, serangan udara ini menargetkan sebuah tempat di Beit Lahia dengan sebuah bom, satu peternakan di Rafah dengan tiga roket, dan daerah lain di Khan Yunis dengan dua roket. Namun sejauh ini tidak ada korban lain yang dilaporkan.
Pada hari yang sama, sirene peringatan bahaya meraung-raung keras di daerah Sderot dan pemukiman Zionis di sekitar Gaza tidak lama setelah sebuah roket ditembakkan dari arah Palestina.
Surat kabar Yedioth Ahronoth mengkonfirmasi serangan roket yang menyasar kota Sderot.
Televisi Israel kanal 12 juga melaporkan bahwa sistem Iron Dome berhasil menangkal roket yang ditembakkan dari Jalur Gaza.
Irak Bantah Jalin Hubungan dengan Rezim Zionis
Presiden Irak membantah adanya hubungan antara Baghdad dan rezim Zionis, dengan mengatakan bahwa masalah normalisasi hubungan dengan Israel tidak pernah diangkat menjadi agenda di negaranya.
Presiden Irak Barham Saleh hari Senin (13/9/2021) menekankan bahwa perdamaian di kawasan tidak mungkin tercapai tanpa mewujudkan hak bangsa Palestina.
"Irak senantiasa berkomitmen untuk membela perjuangan Palestina dan hak-hak rakyatnya," ujar Barham Salih.
Statemen ini muncul di tengah beredarnya rumor dukungan Baghdad terhadap normalisasi hubungan antara negera-negara Arab dengan rezim Zionis.
Pada Maret lalu, Juru Bicara Kantor Kepresidenan Irak menanggapi berita dari Jaringan Berita Sky Arab (milik UEA) hari Selasa (9/3/2021) dengan mengatakan, "Media dan laman daring [Sky Arab] telah menerbitkan pernyataan palsu yang dikaitkan dengan presiden [Irak] yang mengatakan bahwa Irak yang berkoordinasi dengan Palestina, siap untuk menandatangani perjanjian damai dengan Israel."
"Kami menekankan bahwa apa yang dipublikasikan di media ini sepenuhnya salah dan tuduhan ini dibuat-buat," juru bicara Presiden Irak.
Beberapa media yang berafiliasi dengan rezim Arab di kawasan dan Israel mengklaim Irak siap untuk melakukan normalisasi hubungan rezim Zionis menyusul langkah yang diambil UEA, Bahrain, Sudan dan Maroko.
Pasukan Suriah Tiba di Daraa Setelah 10 Tahun
Pasukan pemerintah Suriah memasuki distrik al-Yadudah setelah mencapai kesepakatan dengan para tetua suku yang dimediasi oleh Rusia.
Setelah 10 tahun perang, pasukan Suriah tiba di distrik al-Yadudah di Provinsi Daraa pada Senin (13/9/2021) bersama dengan polisi militer Rusia.
Menurut laporan televisi al-Mayadeen, pasukan Suriah mencapai kesepakatan damai dengan para tetua suku di wilayah itu pada hari Minggu. Pemberontak bersenjata di al-Yadudah bersedia menyerahkan senjata mereka kepada pasukan Suriah.
Wilayah tersebut selanjutnya akan dikendalikan oleh pemerintah Damaskus. Pasukan Suriah telah mengatur proses penyerahan senjata pemberontak yang diawasi oleh polisi militer Rusia dan para tetua suku. Pasukan Suriah juga akan melakukan pemeriksaan dari rumah ke rumah.
Pekan lalu, pasukan pemerintah Suriah juga secara penuh menguasai distrik Daraa al-Balad di Provinsi Daraa.
Hal ini terjadi setelah hampir 850 pemberontak bersenjata menyerahkan senjata mereka kepada pemerintah Suriah dengan imbalan menerima ampunan. Kesepakatan serupa juga akan diterapkan di distrik al-Yahudah.
Hamas: Serangan Israel ke Gaza untuk Tutupi Kekalahan
Juru bicara Gerakan Hamas mengatakan serangan rezim Zionis merupakan upaya untuk menutupi kekalahannya.
“Dengan menyerang Gaza, Israel melanjutkan upayanya untuk menutupi ketidakmampuan dan kekalahannya setelah Operasi Terowongan Pembebasan,” kata Hazem Qassem di akun Twitternya seperti dikutip IRIB, Senin (13/9/2021).
“Respon kubu perlawanan terhadap serangan serta bentrokan dengan Israel di semua daerah Tepi Barat dan Quds merupakan bukti dari berlanjutnya intifadah pembebasan untuk mendukung tahanan Palestina,” tambahnya.
Rezim Zionis pada Senin pagi menyerang Jalur Gaza dengan alasan membalas serangan roket dari wilayah tersebut. Drone Israel juga dua kali mengebom basis kelompok perlawanan di timur Rafah, Gaza.
Sumber-sumber Palestina melaporkan bahwa ledakan keras terdengar di wilayah tersebut dan Rafah sendiri mengalami pemadaman listrik selama serangan Israel.
Drone-drone Israel secara terpisah juga menyerang basis kelompok Palestina di bagian utara Gaza.