کمالوندی

کمالوندی

Sabtu, 12 Desember 2015 22:03

Keagungan Hari Arafah

Allah Swt menyeru umat manusia untuk berdoa dan menjanjikan ijabah atas doa-doa mereka."Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan kuperkenankan bagimu.” Ibadah dan doa merupakan media penghubung antara manusia dengan Sang Pencipta yang maha kuasa. Untuk itu, ibadah dan doa tidak hanya dikhususkan pada waktu tertentu saja, tapi kita juga memiliki momen-momen istimewa dan kesempatan emas untuk menjalin hubungan dan berkomunikasi dengan Allah Swt lewat bahasa doa. Pada momen istimewa itu, rahmat khusus Allah Swt tercurahkan kepada para hamba dan mereka perlu berusaha untuk menempatkan dirinya di bawah pancaran nikmat-Nya. Rasul Saw bersabda, “Sesungguhnya bagi Tuhan kalian ada anugerah untuk hari-hari kalian, maka tempatkanlah diri kalian di dalamnya.”

Salah satu momen istimewa ini adalah hari kesembilan di bulan Dzulhijjah atau hari Arafah. Arafah termasuk salah satu dari hari raya meski tidak disematkan kata eid di depannya. Pada hari itu, Allah Swt menyeru hambanya untuk bermunajat dan membuka lebar pintu rahmatnya kepada mereka, sementara syaitan dihinakan dan diusir. Para jamaah haji setelah shalat subuh di Mina, bertolak menuju Padang Arafah sambil bertalbiyah dan bertakbir.Arafah adalah sebuah daerah di Makkah al-Mukarramah yang menjadi tempat berkumpulnya para jamaah haji dari seluruh dunia.Mereka melakukan wukuf di Arafah mulai azan dzuhur pada hari kesembilan Dzulhijjah sampai waktu shalat magrib. Mereka semua larut dalam doa, munajat, dan tafakkur.

Imam Ali as berkata, “Kalian tahu ketika jamaah haji sudah berihram, mengapa mereka pergi ke Arafah dan kemudian kembali lagi ke Ka’bah untuk tawaf? Ini dilakukan karena Arafah telah keluar dari batas haram, dan jika seseorang ingin menjadi tamu Allah, ia pertama kali harus keluar dari gerbang batas dan bermunajat sedemikian rupa sehingga ia layak untuk memasuki wilayah haram.”

Pada saat memperkenalkan Arafah, Imam Ali Zainal Abidin as dalam Sahifah Sajjadiyah berkata, “Ya Tuhanku! Ini adalah hari Arafah, sebuah hari di mana Engkau memberikan kemuliaan dan keagungan kepada mereka. Pada hari ini, Engkau membuka lebar-lebar pintu rahmat dan pengampunan untuk hamba-Mu dan Engkau mencurahkan pemberian sebesar-besarnya dan Engkau mengutamakan mereka karena hari ini.”

Hari Arafah sungguh sangat agung dan ia hampir menyamai malam Lailatul Qadar. Imam Jakfar Shadiq as berkata, “Jika seorang pendosa belum memperoleh rahmat dan pengampunan Allah pada malam-malam yang penuh berkah di bulan Ramadhan, dan khususnya di malam-malam Qadar, maka ia tidak akan terampuni sampai tahun depan kecuali ia memahami Arafah dan memanfaatkan keutamaan-keutamaannya.”

Pada hari Arafah, Allah Swt membebaskan banyak manusia dari api neraka dan memberi pengampunan kepada mereka. Dia melipatgandakanamal kebajikan yang dilakukan oleh para jamaah haji di Makkah dan melimpahkan rahmat sebesar-besarnya kepada manusia sehingga setan berkecil hati pada hari tersebut.

Wukuf di Arafah mengandung arti bahwa manusia sudah sampai pada makrifat Ilahi dan mencapai kearifan. Mereka menyadari bahwa Allah Swt mengetahui semua kebutuhan manusia dan juga maha kuasa untuk memenuhi semua kebutuhan mereka. Pada akhirnya, mereka menyerahkan dirinya kepada Tuhan dan semata-mata taat kepada-Nya. Manusia juga perlu menyadari bahwa Allah Swt mengetahui semua isi hati mereka. Jika seseorang tahu hatinya berada dalam pengawasan Tuhan, maka ia tidak akan berbuat dosa lagi dengan lisan, tangan atau kakinya. Ia bahkan tidak lagi mengotori pikirannya dengan dosa, tidak memelihara angan-angan batil, dan juga menjaga kesucian hatinya dari noda.

Batas Arafah telah ditandai dengan rambu-rambu khusus. Imam Ali Zainal Abidin as berkata, “Ketika kalian memasuki Arafah pada hari kesembilan dan saat kalian tiba di sebuah padang yang luas, maka ketahuilah bahwa itu adalah tanah kesaksian, makrifat, dan irfan. Ia tahu siapa saja yang melangkahkan kakinya di tanah itu dan dengan motivasi apa mereka datang dan juga dengan niat apa mereka kembali. Allah menjadikan daerah itu sebagai saksi atas perbuatan kalian, di mana ia mengetahui dengan baik apa yang kalian lakukan.”

Arafah adalah hari taubat dan momentum untuk meraih pengampunan Tuhan. Imam Shadiq as berkata, “Pada hari Arafah, barang siapa yang menunaikan shalat dua rakaat di tempat terbuka sebelum mengikuti acara doa Arafah dan mengakui semua dosa-dosanya di hadapan Allah dan tulus memohon ampunannya, maka Allah akan menuliskan untuknya pahala yang diberikan kepada penduduk Arafahdan menghapus semua dosa-dosanya.” Rasulullah Saw bersabda, “Orang yang paling berdosa di Arafah adalah individu yang kembali dari sana, sementara ia merasa dirinya tidak akan pernah terampuni.”

Para pemuka agama telah mengajarkan kita tentang bahasa dan muatan doa. Mereka memohon sesuatu yang paling baik kepada Allah Swt dan juga memberi contoh tentang bagaimana kita meminta kebaikan dan kenikmatan. Pada hari Arafah, Imam Husein as melantunkan bait-bait yang indah dalam doanya dan sekarang doa fenomenal itu tidakhanya menggema di kalangan jamaah haji, tapi juga mengguncang kalbu manusia di sepanjang sejarah. Doa Imam Husein as di hari Arafah merupakan kumpulan kalimat-kalimat penuh makna tentang tauhid, makrifatullah, dan penyucian jiwa.

Mutiara doa yang memancar dari kalbu Imam Husein as memuat makrifat yang tinggi dan mendorong manusia untuk bertafakkur. Setiap bait doa itu menanamkan cahaya, kecintaan, dan tauhid dalam sanubari manusia. Imam Husein as ingin mengajarkan pengenalan kepada Tuhan dan kebutuhan manusia kepada-Nya. Munajat pribadi agung ini menjelaskan tentang hubungan paling rasional antara manusia dan Tuhannya. Beliau dengan seluruh eksistensinya, menunjukkan kehadiran Sang Pencipta dan kekuasaan-Nya atas segala sesuatu. Imam Husein as menuangkan apa yang disaksikannya dalam bahasa lisan dan bait-bait doa yang indah.

Pada sore hari Arafah, Imam Husein as keluar dari kemahnya bersama keluarga dan sekelompok sahabatnya menuju Padang Arafah. Dengan penuh kerendahan dan kekhusyukan, beliau dan rombongan menghadapkan wajah ke Jabal Rahmah. Imam Husein as kemudian menghadap Ka'bah dan mengangkat kedua tangannya untuk bermunajat kepada Allah Swt. Beliau mementaskan bentuk penghambaan terindah dan pengenalan terdalam lewat bait-bait yang indah dan penuh makna. Imam Husein as memuji Allah Swt dengan pujian yang indah dan menyebut nikmat-nikmat yang dicurahkan kepada manusia di semua jenjang perjalanan hidup mereka. Cucu Rasulullah Saw ini kemudian berbicara tentang masalah mensyukuri nikmat dan menganggap dirinya tidak mampu menunaikan rasa syukur.

Dalam lanjutan doanya, Imam Husein as menjerit lirih dan berkata, "Akulah wahai Tuhanku yang mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah aku. Akulah yang berbuat kejelekan, akulah yang bersalah, akulah yang menginginkan (maksiat), akulah yang bodoh, akulah yang lalai, akulah yang lupa, akulah yang bersandar (pada-Mu), akulah yang sengaja (berbuat dosa), akulah yang berjanji dan akulah yang mengingkari, akulah yang merusak, akulah yang menetapkan, akulah yang mengakui akan nikmat-Mu atasku, namun aku menghadap-Mu dengan dosa-dosaku. Maka ampunilah aku."

Hari Arafah memiliki beberapa amalan khusus yang bisa kita lakukan dan salah satunya adalah puasa. Akan tetapi, jika puasa Arafah justru membuat kita lemah dan tidak mampu melakukan amalan-amalan lain, maka lebih baik kita tidak berpuasa. Bentuk amalan lain di hari istimewa itu adalah bertaubat, bertafakkur, dan memperbanyak pujian kepada Allah Swt. Pada hari Arafah, kita juga dianjurkan untuk mandi, membaca doa ziarah Imam Husein as, menunaikan shalat dua rakaat setelah shalat Ashar, melaksanakan shalat empat rakaat, dan berdoa serta berzikir khususnya membaca doa Arafah Imam Husein as.

Doa Arafah tidak hanya sebuah lantunan dan pujian, karena intisari doa tidak hanya terbatas pada sebuah permohonan kepada Tuhan, tetapi dialog dengan Sang Khalik. Dialog ini akan membuat hati manusia damai dan tentram. Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa menjaga pendengaran dan lisannya di hari Arafah, maka Allah akan menjaganya dari Arafah ke Arafah berikutnya.”

Idul Qurban atau Idul Adha adalah hari penyerahan dan penghambaan kepada Allah Swt. Hari besar tersebut merupakan perayaan kedekatan kepada Tuhan Semesta Alam yang memiliki arti pemutusan segala bentuk keterikatan dan ketergantungan kepada dunia. Untuk itu, kami mengucapkan selamat Hari Raya Idul Adha 1436 H.

Tak diragukan lagi, terdapat banyak rahasia dan poin-poin penting dan informatif yang terkandung dalam hukum-hukum Islam. Ibadah haji juga meliputi serangkaian program, ritual dan manasik khusus, di mana setiap dari mereka memiliki rahasia dan misteri masing-masing.

Salah satu amalan haji adalah berkurban di Hari Raya Idul Adha. Terdapat banyak pandangan mengenai filsafat penyembelihan hewan kurban. Mungkin dapat dikatakan bahwa salah satu tujuan berkurban adalah sebagai cara untuk menguji manusia atas harta dan kekayaannya di jalan Tuhan. 

Dalam tradisi berkurban, manusia akan mempersembahkan sebuah hadiah berharga kepada sang kekasih dengan penuh keridhaan. Ia akan memutus leher ketamakan dalam dirinya dan mengorbankan kekayaannya untuk dikorbankan. Ketahuilah bahwa daging dan darah kurban tidak akan pernah sampai kepada Allah Swt, namun yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dan kepatuhan orang yang berkurban, dan ketakwaan tersebut yang menyebabkan ia tumbuh dan menjadi sempurna.

Dalam Surat Al-Hajj ayat 37, Allah Swt berfirman, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai keridhaan Allah, tetapi ketakwaan daripada kalianlah yang dapat mencapai keridhaan-Nya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kalian supaya kalian mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Terkait betapa bernilai dan agungnya berkurban, Imam Ali as berkata, “Jika masyarakat mengetahui apa pahala berkurban di Hari Raya (Idul Adha) maka mereka akan berhutang dan melakukan kurban, sebab dengan tetesan pertama darah kurban, pelaku kurban akan diampuni dosanya.”

Hari Raya Qurban datang setelah perolehan makrifat di Arafah, penyadaran di Masy'aril Haram serta munculnya impian dan harapan di tanah Mina. Idul Adha adalah hari pembebasan dari segala jenis keterikatan dan ketergantungan kepada dunia, dan bebas dari segala hal selain Tuhan. Pada hari ini, semua yang berhubungan dengan dunia dikorbankan supaya menjadi ringan untuk meniti jalan kedekatan kepada Allah Swt. Dengan demikian, setiap orang harus mengoreksi dirinya tentang apa yang menyebabkannya bergantung pada dunia dan menjauhkan diri dari Tuhan.

Terdapat banyak rintangan, bahaya dan ujian berat dalam menelusuri jalan penghambaan kepada Tuhan. Nabi Ibrahim as yang telah bertahun-tahun menanti kelahiran Ismail as mendapatkan ujian besar dari Allah Swt untuk mengorbankan putranya tersebut. Doa Nabi Ibrahim as untuk memiliki Ismail tertera dalam Surat As-Saffat ayat 100. Allah Swt berfirman, "Ya Rabbku! Anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. "

Setelah menunggu selama bertahun-tahun, akhirnya Allah Swt menganugerahkan kepada Ibrahim as seorang putra bernama Ismail as. Namun ketika ia telah tumbuh dewasa dan mencapai usia baligh, Allah Swt memerintahkan Ibrahim as untuk menyembelih Ismail as. Perintah tersebut diperoleh beliau dari mimpi-mimpinya yang berulang kali.

Mengingat mimpi para nabi adalah benar, maka Nabi Ibrahim as yakin harus melaksanakan perintah tersebut. Beliau mengutarakan mimpi itu kepada putranya. Ismail as yang disifati dalam al-Quran sebagai seorang penyabar, mengamini apa yang diperintahkan oleh Allah Swt kepada ayahnya, Ibrahim as.

Peristiwa tersebut dijelaskan dalam al-Quran Surat As-Saffat ayat 102. Allah Swt berfirman, "Maka tatkala anak itu sampai pada umur sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, "Hai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu!, maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab, "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."

Meski setan telah mengerahkan segenap upaya dan tipu dayanya untuk menghalangi Nabi Ibrahim as mengerjakan perintah Allah Swt itu, namun setan tetap tidak mampu mencegahnya. Nabi Ibrahim as dan Ismail as memutuskan untuk melaksanakan tugas berat tersebut dan bergegas menuju tempat penyembelihan. Nabi Ibrahim as kemudian menggesekkan pisau tajam ke leher Ismail as. Namun, setiap kali pisau itu digesekkan ke leher Ismail as, dengan izin Allah Swt pisau itu tidak mampu melukai lehernya. Nabi Ibrahim sangat terkejut dengan peristiwa itu.

Akhirnya Nabi Ibrahim as lolos atas ujian berat untuk mencapai keridhaan Allah Swt. Berkat upayanya untuk bertekad memenuhi perintah Allah Swt dan tidak menuruti bisikan-bisikan setan, beliau berhasil melalui ujian tersebut dengan sukses dan mencapai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan. Allah Swt memberikan pahala besar kepada Nabi Ibrahim as atas kesuksesan itu. Dalam Surat As-Saffat ayat 109-110, Allah Swt memuji Ibrahim as dan berfirman, "Kesejahteraan (dari Kami) dilimpahkan atas Ibrahim." Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. "

Dengan mengingat dan mengenang pengorbanan dua jawara tauhid -Nabi Ibhrahim dan Ismail as- Hari Raya Qurban menjadi simbol ketundukan kepada perintah-perintah Allah Swt yang dipertunjukkan kepada para pencari kebenaran. Hari raya tersebut mengajarkan kepada kita bahwa orang yang beriman tidak hanya cukup membenarkan Keesaan Tuhan dan risalah Nabi-Nya saja, tetapi juga sepenuhnya patuh dan tunduk kepada-Nya.

Kalimat indah "Labbaik Allahumma Labbaik" yang dilantunkan oleh para jamaah haji, pada dasarnya adalah pernyataan ketundukan, kepasrahan, penyerahan dan penghambaan kepada Tuhan. Hal tersebut selaras dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as. Dalam Surat al-An`am ayat 162, Allah Swt berfirman, "Katakanlah, "Sesungguhnya salatku, ibadahku (amal ibadahku, yaitu ibadah haji dan lain-lainnya), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan Semesta Alam."

Berkurban memiliki hukum-hukum dan syarat-syarat tertentu. Orang yang melakukan kurban harus Muslim dan memulainya dengan nama Allah Swt. Hewan kurban harus dihadapkan ke kiblat. Semua tata cara tersebut memiliki makna dan simbol, namun hanya mempunyai satu tujuan, yaitu penghambaan kepada Tuhan.

Menghadapkan hewan kurban ke kiblat mengajarkan kepada kita bahwa sebelum bergerak di jalan kesempurnaan untuk menuju kedekatan dan keridhaan Allah Swt, kita harus menemukan kiblat terlebih dahulu, yaitu arah kita untuk menghadap-Nya. Artinya kita harus bergerak hanya menuju ke arah Tuhan dan mengabaikan arah lainnya. Kita melepaskan diri dari pusat kekuasaan, ketenaran dan hawa nafsu lainnya.

Sementara orang yang melakukan kurban harus Muslim memiliki arti bahwa Muslim adalah orang yang telah sampai pada tahap penyerahan dan ketundukan. Kita harus seperti Nabi Ibrahim as, sehingga kita mampu menyembelih Ismail as sebagai simbol harta dan kekayaan yang paling kita cintai dan paling berharga dalam hidup kita.

Jika kita belum sampai pada tahap tunduk dan patuh, kita tidak akan memperoleh manfaat dari berkurban. Sebab kurban tersebut seperti hadiah dan persembahan yang diberikan oleh Habil dan Qabil kepada Allah Swt. Persembahan Habil diterima karena ia sepenuhnya tunduk kepada perintah-Nya dan memilih barang yang paling berharga untuk dikurbankan, sementara hadiah Qabil ditolak.

Idul Qurban merupakan peringatan atas epik pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail as dan hari untuk mengenang peristiwa besar itu. Semua manusia di setiap masa harus bergabung di kelas Ibrahim dan Ismail as sebagai pembimbing besar tauhid. Mereka harus mengambil pelajaran dari pengorbanan kedua manusia agung tersebut dalam meniti jalan keridhaan Allah Swt. Sebab, melepaskan ketergantungan kepada dunia dan jihad melawan hawa nafsu lebih sulit dibandingkan dengan menghadapi musuh nyata.

Sebagian mufassir menafsirkan arti “membunuh” dalam Surat al-Baqarah Ayat 54 adalah membunuh hawa nafsu. Dengan demikian, berkurban dari pandangan irfan adalah rahasia meninggalkan hawa nafsu dan bergerak menuju keridhaan Allah Swt. 

Amalan lain di Hari Raya Idul Adha adalah memberikan makan kepada orang lain. Amalan tersebut juga dalam rangka membenahi diri. Ketika seorang peziarah Baitullah memberikan hadiah kepada sahabatnya dengan penuh ikhlas dan cinta, maka dia sama halnya dengan mengekang hawa nafsunya. Ia akan terbebas dari kecenderungan-kecenderungan hawa nafsu yang merugikan dirinya dan orang lain.(

Kebangkitan Imam Husein as sedemikian komprehensif sehingga dapat ditafsirkan dan dianalisa dengan berbagai metode. Oleh sebab itu, sepanjang sejarah, para sejarawan, teolog, fuqaha, ilmuwan, seniman, manusia-manusia arif, penyair, politisi dan mereka yang memiliki jiwa bebas, masing-masing memiliki analisa dan pemahaman tersendiri dari kebangkitan Imam Husein as. Meski demikian laporan dan analisa historis terkadang mengalami penyimpangan atau penyembunyian fakta. Penting untuk diperhatikan bahwa analisa dari satu dimensinya seperti hanya terfokus pada dimensi logis, emosional dan afeksi, historis, sosial ataukearifan saja, tanpa mempertimbangkan sisi lain dalam kebangkitan Imam Husein as, akan mengesampingkan berbagai dimensi penting lain. Salah satu yang perlu direnungkan terkait kebangkitan Imam Husein as adalah penyejajaran dimensi  logis di samping dimensi spiritualnya.
 

 

Dalam budaya dan ajaran Islam serta dalam sirah Rasulullah Saw dan Ahlul Bait as, akal, logika, perjuangan, jihad, cinta dan spiritualitas, bukan hanya tidak saling bertentangan, melainkan sebagai pelengkap masing-masing elemen. Karena berasal dari satu sumber dan berdasarkan pada nilai-nilai dan ideologi. Oleh karena itu, dalam gerakan Imam Husein as, dimensi spiritualitas dan perjuangan tertinggi itu dibarengi dengan kesadaran, pengetahuan dan wawasan. Dalam perilaku dan ungkapan Imam Husein as serta para sahabat beliau, disaksikan manifestasi tertinggi penghambaan dan ketertundukan di hadapan Haq, serta keberanian dan perjuangan paling herois dalam memerangi kebatilan. Disaksikan pula, manifestasi cinta, semangat, penyerahan diri, dan hidayah, yang masing-masing pada tingkat yang sangat tinggi pula. 

 

Imam Husein as dengan mempertimbangkan kondisi budaya, politik dan sosial kala itu,  beliau menyadari betapa masyarakat Islam secara gradual bergerak menuju ke arah kematian agama dan nilai-nilai islami. Beliau memahami bahwa masyarakat memerlukan sebuah gerakan fundamental dan mendalam untuk menghidupkan kembali Islam dan meng-islah masyarakat Muslim. Sebuah gerakan yang berdasarkan pada logika dan rasionalitas di satu sisi, dan berasaskan pada pengorbanan di sisi lain.

 

Apa yang memulai kebangkitan ini adalah, ancaman yang dihadapi Islam dan kepentingan umat Islam. Imam Husein as, tidak menerima kekuasaan seorang yang tidak layak seperti Yazid, serta menolak berbaiat dengannya. Oleh karena itu, dengan kondisi sulit akibat paksaan dari Yazid untuk mendapat baiat dari Imam Husein as, beliau terpaksa meninggalkan Madinah. Tekad Imam Husein as sedemikian bulat sehingga ketika mendapat tawaran dari saudaranya, Muhammad bin Hanifah untuk berlindung di Yaman, beliau berkata, “Wahai saudaraku! Demi Allah! Jika aku tidak punya tempat lagi di dunia ini, tidak ada lagi tempat berlindung dan tempat yang aman di dunia ini, aku tidak akan berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah!”

 

Oleh karena itu, Imam Husein as bergerak menuju Mekkah, rumah Allah Swt yang aman dan menjelaskan kepada masyarakat tentang kondisi dan situasi masa kepada mereka. Pada hari Arafah, beliau memanjatkan doa arif dan penuh cintanya kepada Allah Swt dan kemudian bergerak menuju Kufah meninggalkan manasik hajinya yang belum tuntas. Di dekat Kufah, Hur dan pasukannya menghadang jalan Imam Husein as dan sahabat beliau. Akhirnya rombongan Imam Husein as terpaksa menempuh jalur lain melintasi padang Karbala.

 

Di bumi itulah Imam Husein as dikepung oleh musuh. Dalam kondisi sulit dan krisis, keputusan apa yang harus diambil beliau? Menyerah dan berdamai? Tidak mungkin, karena bertentangan dengan tujuan kebangkitan dan gerakan beliau. Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah perlawanan dan perjuangan dibarengi dengan penyampaian hidayah dan penjelasan.

 

Dalam perjalanan dari Mekkah menuju Kufah dan Karbala, Imam Husein as yang mengetahui seluruh aspek kondisi dan situasi pada masa itu berkata, “Apakah kalian tidak menyaksikan kebenaran tidak diamalkan dan kebatilan tidak dicegah? Sunnah-sunnah telah mati dan bid’ah telah dihidupkan kembali.” Beliau mengemukakan itu untuk menjelaskan penyimpangan pemikiran, akhlak, berbagai kekeliruan, ketergelinciran masyarakat dan kelalaian dari menjaga elemen penting yang menjaga agama tetap hidup yaitu amr makruf dan nahyu munkar. Beliau menyebut kebangkitan beliau sebagai gerakan islah dan memperkenalkan dirinya sebagai “muslih”, yang berarti pengislah. Sebagaimana dalam surat wasiat kepada saudaranya Muhammad bin Hanifah, Imam Husein as menyatakan, “Aku bangkit untuk mengislah umat kakekku.”

 

Dalam menjelaskan filsafat kebangkitannya, Imam Husein as menyebutkan islah umat dan pembangkitan sirah Rasulullah Saw. Artinya beliau ingin menyadarkan umat Islam bahwa mereka sedang menjauh dari sunnah Rasulullah Saw. Imam Husein as menyadari dengan baik bahwa penyimpangan tersebut mengancam tegaknya pilar-pilar Islam dan jika dibiarkan berlanjut, maka banyak maarif agama yang akan termarginalkan dan pada akhirnya Islam hanya akan menjadi lapisan lahiriyah masyarakat.

 

Dalam kondisi mengenaskan seperti itu, apa yang dapat membebaskan agama dari  cengkeraman para penguasa zalim? Melihat pada kondisi yang ada, Imam Husein as mengambil keputusan sangat logis dan rasional untuk menyadarkan masyarakat. Karena bukan hanya masalah-masalah ideologi dan spiritual saja yang harus diluruskan kembali, melainkan masalah-masalah sosial dan politik masyarakat Islam saat itu. Maka untuk membebaskan agama dari masalah besar ini, pertama adalah tidak diakuinya pemerintahan Yazid dan kedua, penebusan dari penentangan terhadap rezim zalim Yazid.

 

Imam Husein as dengan menggunakan prinsip-prinsip yang benar beliau menjelaskan sebuah pemerintahan yang dipimpin oleh imam yang adil, serta mengecam perilaku-perilaku tidak adil para penguasa zalim. Pada tahap awal, beliau menjelaskannya dengan teori logis agama Islam dengan mengutip ucapan Rasulullah Saw dan mengatakan, “Barang siapa yang melihat penguasa zalim yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah Swt, dan dia berdiam diri, maka Allah Swt akan menempatkannya di sisi penguasa zalim itu.”

 

Keluarnya Imam Husein as dari Mekkah menuju Kufah juga menjadi peristiwa yang sangat menggemparkan. Tidak menuntaskan seluruh manasik haji di Mekkah, menimbulkan gelombang informasi luas di tengah masyarakat. Di satu sisi, Imam Husein as ingin menyedot perhatian umat Islam dan menginformasikan kepada para hujjaj tentang kebangkitan Imam Husein as untuk disampaikan ketika mereka pulang ke negara mereka. Dan di sisi lain, beliau ingin menekankan betapa pentingnya tujuan yang tengah diperjuangkan beliau.

 

Jika diperhatikan dari penjelasan Imam Husein as dan surat-surat beliau serta pertemuan beliau dengan para pemimpin kabilah di Mekkah, akan kita dapati bahwa gerakan Imam Husein as merupakan hasil dari analisa tingkat tinggi tentang kondisi dan situasi masyarakat Islam kala itu. Mengingat penyimpangan di sektor pemikiran agama merupakan masalah terbesar di masa itu, maka Imam Husein as menggunakan semua kesempatan untuk menjelaskan konsep-konsep hakiki agama dan memaparkan posisi seorang pemimpin dalam masyarakat.

Arbain, 40 hari memperingati kesyahidan Imam Husein bin Ali as dan para sahabatnya yang setia. Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa pada peringatan Arbain, Jabir bin Abdullah Ansari, salah satu sahabat Rasulullah Saw, berziarah ke makam para syuhada Karbala dan bahwa pada hari yang sama rombongan tawanan dari kubu Imam Husein as tiba di Karbala dalam perjalanan pulang ke Madinah. Dalam riwayat disebutkan bahwa hari itu bertepatan dengan tanggal 20 Safar tahun 61 Hijriah, atau 40 hari setelah kesyahidan Imam Husein as dan para sahabatnya di Karbala.
 

Selama 40 hari, hati penuh duka dan mata berlinang air mata para wanita dan anak-anak, menceritakan besarnya nestapa mereka. Dan sekarang, rombongan yang berduka itu kini telah tiba di Karbala. Ketika kaki mereka menginjak tanah Karbala, seluruh adegan dan peristiwa memilukan di bumi nestapa itu seakan tertayangkan kembali di depan mata mereka. Teriak tangis dan sedu sedan anggota rombongan tersebut seketika meledak-ledak. Imam Sajjad as menatap makam para syuhada dan mengingat kembali hari penuh lara  ketika beliau menyaksikan tubuh para syuhada roboh dan mencucapkan selamat tinggal. Kesedihan tiada tara meliputi batin Imam Sajjad as, dan hanya ucapan bibinya Sayyidah Zainab sa yang sedikit meringankan kepedihan di hati beliau.

 

Pada sore hari Asyura, Sayyidah Zainab sa berkata kepada Imam Sajjad as: “Jangan kau gelisah dengan apa yang kau saksikan. Allah Swt telah mengikat perjanjian dengan sekelompok dari umat ini untuk mengumpulkan anggota tubuh yang terpisah-pisah ini dan tubuh yang bergelimangan darah ini dan menguburkannya. Di bumi ini, mereka akan meletakkan sebuah tanda untuk makam ayahmu di mana berlalunya masa tidak akan menghilangkan dan merusaknya. Para pemimpin kekufuran dan pengikut kebatilan akan berusaha menghancurkannya. Akan tetapi upaya mereka akan semakin melantangkan kebesaran namanya (Husein bin Ali as).”

 

Sekarang, pada hari ke-40 pasca tragedi Karbala, Sayyidah Zainab sa bersama rombongan menginjakkan kaki di bumi penuh duri Karbala untuk menumpahkan kerinduannya di makam saudaranya. Sayyidah Zainab sa duduk di samping makam Imam Husein as dan dengan suara penuh kepiluan berbincang dengan Imam Husein as. Disebutkan dalam berbagai riwayat bahwa rombongan keluarga Imam Husein as dan sahabatnya itu tiga hari berada di Karbala dan setelah menggelar acara duka bergerak menuju Madinah.

 

Arbain merupakan peluang lain bagi kita untuk merenungkan kembali seluruh aspek dalam Asyura. Meski peristiwa itu terjadi pada waktu dan di tempat tertentu, akan tetapi pelajaran dan pesannya akan berlanjut hingga akhir perjalanan sejarah dunia. Karena kebangkitan Imam Husein as telah terikat dengan nilai-nilai akhlak dan kemanusiaan terindah. Oleh sebab itu, pelajaran dan pesannya tidak akan pernah usang. Nilai-nilai yang membentu kebangkitan Imam Husein as adalah nilai-nilai yang juga diperjuangkan oleh para anbiya dan waliyullah.

 

Sepanjang sejarah, perlawanan terhadap kekejaman dan ketidakadilan, perjuangan menghadapi kaum mufsid dan pelanggar hak-hak masyarakat, selalu menjadi pedoman hidup manusia-manusia terbebaskan di dunia. Imam Husein as, yang juga termasuk di antara manusia-manusia yang dimuliakan Allah Swt, ketika menyadari ancaman yang dihadapi umat Islam, beliau tidak bungkam dan bangkit melakukan islah secara fundamental. Sesuai dengan ketentuan alam semesta, dunia adalah wadah untuk berbagai keutamaan, nilai-nilai indah kemanusiaan serta panggung perluasan perdamaian dan keadilan. Jika ada sekelompok yang bertindak bertentangan dengan sunnah ini, maka berat bagi manusia-manusia pencari Allah Swt dan kebenaran untuk hanya diam menonton. Ketika itu, mereka akan bangkit melawan sebagaimana yang telah dilakukan Imam Husein as di Karbala.

 

Imam Husein as sangat menekankan pada upaya penyadaran masyarakat, karena kebodohan dan penyimpangan sekelompok masyarakat, selalu menjadi pintu bagi para kaum durjana untuk menguasai dan semena-mena terhadap masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan para penguasai Bani Umayah, yang memanfaatkan kebodohan dan ketidaksadaran masyarakat. Rezim Bani Umayah berusaha mendistorsi dan memutarbalikkan nilai-nilai yang diwariskan Rasulullah Saw, agar dapat berkuasa dalam masyarakat. Mereka mendistorsi ajaran dan konsep-konsep dalam agama demi kepentingan mereka.

 

Padangan yang dangkal dan perspektif menyimpang serta pengutamaan penampilan lahiriyah religius, termasuk di antara masalah yang diderita masyarakat Islam kala itu. Sementara itu, Imam Husein as yang mendeteksi penyimpangan tersebut, telah memperingatkan masyarakat akan berkuasanya para penipu lalim dengan berpenampilan patuh pada agama. Dalam hal ini beliau berkata: “Agama hanya permainan lidah mereka. Mereka menginginkan agama hanya jika melimpahkan dan menjamin penghasilan duniawi mereka dan ketika dihadapkan pada ujian dan bencana; betapa sedikit mereka yang (benar-benar) beragama.”

 

Bani Umayah membuat agama sebagai alat demi tujuan-tujuan politiknya serta berusaha keras untuk menggerogoti ajaran dan konsep agama. Rasullah Saw pada masa hidupnya, telah memperingatkan masyarakat akan munculnya gerakan seperti ini dan bersabda: “Di antara kalian akan muncul sekelompok orang, di mana kalian akan menganggap kecil, shalat dan puasa kalian di hadapan shalat dan puasa mereka serta amal kalian di hadapan amal mereka. Mereka membaca al-Quran, akan tetapi bacaan tersebut tidak lebih dalam dari tenggorokan mereka, dan kelompok ini akan seperti anak panah yang melesat dari busur dan keluar dari agama.”

 

Dalam persepektif manusia luhur seperti Imam Husein as, kehidupan hanya akan bermakna di bahwa kekuasaan Allah Swt dan kepemimpinan manusia saleh. Jika seseorang dan masyarakat, berserah diri di hadapan kekuasaan selain Allah Swt, maka dia akan terjerumus dalam kehancuran. Oleh karena itu, Imam Husein as menilai kekuasaan rezim pemuja dunia dan sewenang-wenang sebagai ancaman paling berbahaya bagi masyarakat Islam. Dengan demikian, Imam Husein as mengumumkan dan mengingatkan soal ketidaklayakan Yazid bin Muawiyah untuk menjadi khalifah Muslimin.

 

Secara gamblang dan tegas, Imam Husein as menjelaskan bahwa kebahagiaan umat Islam berada di bawah kekuasaan Allah Swt dan komitmen terhadap nilai-nilai luhur ilahi. Melalui amr makruf dan nahyu munkar beliau mengacu pada islah urusan umat Rasulullah Saw. Dalam merealisasikannya, Imam Husein as berjuang hingga mengorbankan nyawanya. Dengan kesyahidan Imam Husein as, terjadi goncangan hebat dalam tubuh umat islam dan nurani yang terlelap dalam kejahilan atau terpuruk karena ketakutan, akhirnya tergugah dan bangkit. Oleh karena itu kita saksikan bahwa banyak orang yang tidak  bersama Imam Husein as pada kebangkitan di Karbala, akan tetapi setelah Asyura, mereka banyak yang tersadarkan serta bangkit melawan penguasa zalim.

 

Ibn Khaldun dalam menjelaskan berbagai dampak pasca kesyahidan Imam Husein as di Karbala menulis, “Muncul gelombang kebencian terhadap pemerintah (Bani Umayah) dan para pengelolanya. Sekelompok masyarakat merasa menyesal karena tidak membantu putra Rasulullah Saw dan secara bertahap, gelombang kebangkitan meliputi masyarakat Islam serta menjadi awal dari gerakan Tawwabin, kebangkitan Umat Mukhtar dan berbagai kebangkitan lain.”

 

Perjuangan Imam Husein as bukan sebuah gerakan tanpa perhitungan, melainkan berdasarkan pada prinsip dan mekanisme yang sedemikian rupa sehingga tidak akan pudar ditelan masa. Tujuan, semangat, pesan kebenaran, mekanisme perlawanan dan perjuangan beliau, sedemikian rupa sehingga akan menjadi inspirasi bagi manusia-manusia bebas dan pencari kebenaran di sepanjang masa. Bagaimana tidak? Inspirasi itu juga terlahir ketika di puncak pertempuran, Imam Husein as tetap memberikan hidayah dan bimbingan dengan untaian kata irfani kepada sekelompok  manusia yang akan membunuhnya.

 

Meski telah kehilangan putra dan sahabat-sahabatnya yang setia, Imam Husein as tetap berbicara kepada pasukan musuh dan menyeru mereka untuk menuju jalan kebenaran dan kebahagiaan. Karena beliau adalah imam yang mengasihi umatnya dan yang menderita menyaksikan kejahilan dan penyimpangan masyarakat. Bertentangan dengan sejumlah klaim, jika kebangkitan Imam Husein as di Karbala adalah demi kepentingan-kepentingan duniawi seperti kekuasaan dan harta, maka gerakan beliau akan terpendam pada era tersebut dan tidak akan berlanjut sampai berabad-abad hingga sekarang.

 

Sekarang, setiap aspek dari kebangkitan Imam Husein as dapat menjadi inspirasi bagi kaum tertindas dan teraniaya. Saat ini, nama dan kenangan Imam Husein as dan para sahabatnya yang setia, bergelora sedemikian rupa dalam hati jutaan manusia pecinta dari berbagai penjuru dunia, sehingga mereka menempuh perjalanan panjang dengan berjalan kaki hingga makam Imam Husein as di Karbala menjelang peringatan hari Arbain. Fenomena ini mengingatkan kita akan hadis Rasulullah Saw yang bersabda: “Setelah kesyahidan Husein (as) akan menyala api di hati setiap mukmin yang tidak akan pernah redup dan padam.”(

Sabtu, 12 Desember 2015 21:54

Imam Musa Kadzim, Samudera Ilmu

Imam Musa Kadzim dilahirkan pada tahun 128 H di desa Abwa, yang terletak antara Mekah dan Madinah. Ayahnya, Imam Shadiq, dan ibunya Sayidah Hamidah yang merupakan wanita paling mulia di zamannya. Ketika Imam Musa Kadzim lahir, Imam Shadiq menyebut putranya itu sebagai penerus imamah sepeninggal beliau. Pada usia 20 tahun, ayahnya syahid, dan Imam Kadzim memimpin umat Islam selama 35 tahun.
 

Imam Kadzim mengalami empat fase dinasti Abbasiyah, yaitu: Khalifah Mansur, Mahdi, Hadi dan Harun. Lembaran sejarah mengungkapkan bahwa Imam Musa Kadzim mendekam di penjara selama 14 tahun. Penguasa lalim saat itu menghendaki Imam Musa menghentikan perlawanannya atas kezaliman. Bahkan Dinasti Abbasiah menjanjikan akan memberikan harta yang melimpah setiap bulan kepada Imam Musa. Namun beliau menolak usulan tersebut dengan menyebutkan ayat 33 surat Yusuf, "Penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku."

 

Fase kehidupan Imam Kadzim di era dinasti Abbasiyah dipenuhi berbagai tekanan dari pemerintah zalim. Meskipun demikian, Imam Kadzim sepanjang hidupnya tetap aktif memberikan arahan dan petunjuk tentang ajaran Islam dari Rasulullah Saw. Ibnu Hajar Haitsami, salah satu pemuka Ahlu Sunnah berkata, Musa Kazim pewaris ilmu-ilmu dari ayahnya dan memiliki keutamaan serta kesempurnaan. Beliau mendapat gelar Kadzim karena kesabaran beliau menghadapi cacian dan kelapangan beliau memaafkan orang yang bersalah kepadanya. Di zamannya, tidak ada orang yang menandinginya baik dari sisi keilmuan maupun ketakwaan.  

 

Salah satu nasehat Imam Musa Kadzim mengenai pentingnya ilmu agama, terutama marifatullah. Imam Kadzim berkata, “Kenalilah Tuhan dalam beragama. Sebab marifatullah dan fiqh adalah kunci pengetahuan dan kesempurnaan ibadah.”

 

Dalam pesannya, Imam Kadzim menjelaskan urgensi agama bagi kebahagiaan umat manusia dengan syarat memahami dengan baik, terutama masalah marifatullah. Orang yang menyelami agama dengan baik akan mengetahui mana jalan yang benar dan mana yang sesat. Oleh karena itu, kewajiban Muslim adalah memahami keyakinan keagamaannya dengan sebaik-baiknya.

 

Di bagian lain nasehatnya, Imam Kadzim berkata, “Aku membagi pengetahuan masyarakat terdiri dari empat bagian. Pertama, kenalilah Tuhanmu. Kedua, ketahuilah dengan dan untuk apa sesuatu itu. Ketiga, ketahuilah apa yang diinginkan. Keempat, ketahuilah apa yang akan membuatmu keluar dari agama.”

 

Nasehat Imam Kadzim tersebut menunjukkan keluasan ilmu. Beliau juga menjelaskan ilmu apa yang akan memberikan manfaat bagi manusia, terutama kebahagiaannya sehingga menjadi prioritas untuk dipelajari. Menurut Imam Kadzim, marifatullah, sebagai ilmu yang paling penting. Sebab ilmu ini merupakan kunci dari ilmu lainnya. Setelah mengenal Tuhan, kita akan mensyukuri karunia-Nya yang melimpah. Pengetahuan tentang karunia Tuhan membawa kita untuk mendalami berbagai disiplin ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.

 

Meskipun berada dalam tekanan penguasa lalim, Imam Kadzim dengan berbagai cara melakukan penyadaran kepada umat Islam mengenai sistem politik dan sosial yang ideal berdasarkan ajaran Islam, sehingga masyarakat pun memahami nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial, termasuk dalam politik.

 

Di saat-saat sulit sekalipun, Imam Kadzim tetap konsisten membimbing umat Islam baik secara langsung maupun melalui para muridnya. Arahan dan bimbingan Imam Kadzim tentu saja sangat berpengaruh bagi masyarakat. Hisham bin Hakam adalah salah satu murid Imam Kazim. Ia banyak meninggalkan karya di berbagai ilmu. Imam kerap memberi nasehat kepada Hisham, salah satunya berkenaan dengan dunia dan akhirat. Beliau berkata, bukan dari kami orang yang rela menjual akhiratnya demi dunia atau sebaliknya.

 

Pembahasan mengenai hubungan dunia dan akhirat telah menjadi polemik sejak dahulu kala. Menyikapi masalah ini, Imam Kadzim memandang dunia dan akhirat bukan hanya tidak dapat dipisahkan, namun keduanya memiliki hubungan sangat erat. Sebab dunia merupakan kesempatan dan medan bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan. Oleh karena itu, dunia menjadi arena untuk mencapai kebahagiaan di akhirat.

 

Menurut Imam Kadzim, sikap berlebih-lebihan dalam masalah dunia dan akhirat berarti seseorang telah keluar dari jalan Ahlul Bait. Dunia akan menjadi hina ketika ia dijadikan sebagai tujuan oleh manusia, dan manusia sangat bergantung dengannya. Ketika itu, dunia berubah menjadi arena yang melalaikan manusia, bukannya tempat untuk mencapai kesempurnaan.

 

Masyarakat ideal dalam pandangan Ahlul Bait adalah masyarakat yang mampu menyeimbangkan antara akal, emosi, ibadah, agama dan dunia serta tidak berlebih-lebihan dalam menggunakannya.

 

Di sisi lain, Imam Kadzim menegaskan ajaran agama sebagai dasar bagi aktivitas dunia. Dari sinilah kita saksikan Imam Kadzim memprotes sikap Safwan bin Mahran yang menyewakan unta-untanya kepada Harun al-Rashid, pemimpin zalim untuk pergi haji. Beliau berkata, "Wahai Safwan tindakanmu terpuji kecuali ketika kamu menyewakan untamu kepada Harun al-Rashid."

 

Sepintas ketika Safwan bertransaksi dengan Harun hanya sekedar masalah ekonomi. Namun dalam pandangan Imam Kadzim, transaksi ekonomi yang dilakukan dengan pemimpin zalim akan merusak kebahagiaan akhirat seseorang. Ini adalah masalah yang senantiasa diperingatkan Imam Kazim dengan sabda beliau, “Wahai manusia! berhati-hatilah, jangan kalian rusak akhiratmu dikarenakan dunia. Artinya jangan kalian tenggelam dalam kenikmatan duniawi sehingga kalian melupakan tujuan utama hidup kalian di dunia ini.”

 

Berkenaan dengan para penguasa zalim Imam Kadzim berkata: "Barang siapa yang menghendaki mereka tetap hidup, maka ia termasuk golongan mereka. Dan barang siapa yang termasuk golongan mereka, maka ia akan masuk neraka". Dengan demikian, Imam telah menentukan sikap tegas terhadap pemerintahan Harun al-Rashid, mengharamkan kerja sama dengannya dan melarang para pengikutnya untuk bergantung kepada pemerintahannya.

 

Imam Kadzim sangat menekankan masalah evaluasi diri. Beliau berkata, “Barang siapa yang mengevaluasi diri dan perbuatannya, maka ia termasuk dari kami [Ahlul Bait]. Jika melakukan perbuatan baik, mintalah taufik dari Allah swt

untuk melakukan kebaikan lebih banyak lagi. Tapi, jika melakukan keburukan, maka beristigfarlah dan mohon ampunan dari Allah swt”.  Sekali lagi, kami mengucapkan selamat dan suka cita di hari kelahiran Imam Musa Kadzim.

Sabtu, 12 Desember 2015 21:45

Imam Hasan, Pelindung Kesucian Islam

Hari ini, 28 Safar bertepatan dengan wafatnya cucu tercinta Rasulullah Saw, Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Setiap tahun umat Islam memperingati hari wafatnya manusia suci ini dan mereka tenggelam dalam kesedihan yang mendalam. Umat Islam tak pernah melupakan jasa dan peran manusia suci ini dalam membela agama kakeknya. Imam Hasan gugur syahid setelah empat puluh tahun dari meninggalnya Rasulullah. Cucu nabi ini syahid di tahun 50 Hijriah.
 

Di akhir kehidupannya Imam Hasan menggengam tangan saudaranya, Imam Husein as dan berkata, “Di detik-detik terakhir kehidupanku, Aku sedih karena harus berpisah darimu. Namun Aku senang karena segera akan bertemu dengan kakek, ayah dan ibuku Fatimah. Saudaraku! Aku mewasiatkan kepadamu untuk memaafkan keluargaku jika mereka melakukan kesalahan dan menerima mereka yang berbuat baik. Dan Aku berharap kamu menjadi ayah bagi mereka.”

 

Imam Hasan adalah putra Imam Ali bin Abi Thalib dan Sayidah Fatimah as, putri tercinta Rasulullah. Beliau selama delapan tahun hidup di bawah asuhan kakeknya, Nabi Muhammad Saw. Selama itu, Imam Hasan banyak belajar dari kakeknya tentang hakikat dan rahasia Ilahi. Delapan tahun tumbuh di bawah kasih sayang Rasulullah membuat Imam Hasan menjadi pemuda yang terampil di kemudian hari dan memiliki hati yang lembut. Terkadang Imam Hasan berada di sisi Rasulullah ketika beliau menerima wahyu. Imam Hasan mendengarkan langsung lantunan ayat suci al-Quran langsung dari Rasulullah dan kemudian membacakannya kepada ibunda beliau, Sayidah Fatimah as.

 

Karakteristik Imam Hasan as disebutkan dalam sebuah riwayat sangat mirip dengan Rasulullah Saw baik dari sisi wajah maupun akhlak. Imam Hasan dikenal memiliki sifat tawadhu dan pemurah. Bahkan beliau menginfakkan hartanya di jalan Allah tiga kali, dan setiap kali, Imam Hasan memberikan separuh hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Imam Hasan juga dikenal sebagai Karim Ahlul Bait. Karim dilekatkan kepada sosok yang sangat pemurah.

 

Imam Hasan pasca syahidnya Imam Ali as memegang tampuk Imamah. Saat itu masyarakat Islam berada di kondisi sangat sensitif. Kepemimpinan umat Islam adalah isu sangat vital. Imam Hasan setelah gugurnya sang ayah, di sebuah pidatonya menjelaskan kebenaran jalan Rasulullah dan Imam Ali kepada umat Islam. Beliau juga mengingatkan bahwa Ahlul Bait Nabi adalah cahaya penerang hakikat (kebenaran) setelah Nabi Muhammad. Secara transparan Imam Hasan membela posisi Ahlul Bait dan mengungkapkan kesiapannya untuk memegang tanggung jawab berbahaya sebagai pemimpin umat.

 

Banyak umat Islam yang berbaiat kepada Imam Hasan di kota Kufah dan beliau menerima Imamah di kondisi yang penuh kegelisaan dan tak tenang. Baiat warga kepada Imam Hasan sangat tidak diharapkan oleh Muawaiya yang menjadi gubernur Syam. Oleh karena itu, ia bangkit menentang Imam Hasan. Sementara itu, Imam Hasan meminta Muawiyah untuk tidak bersikap keras kepala dan mengikuti kebenaran. Namun penentangan Muawiyah kepada Imam Hasan akhirnya berujung pada pengiriman pasukan ke Irak untuk memerangi khalifah resmi umat Islam. Di balik militeralisasi ini, Muawiyah juga tak segan-segan menyuap tokoh-tokoh berpengaruh di Kufah.

 

Bani Umayyah dengan janji yang muluk-muluk berhasil merekrut sejumlah tokoh berpengaruh dan memiliki nama di Kufah serta memisahkannya dari Imam Hasan. Saat itulah, Muawiyah berani mengumumkan perang terhadap Imam Hasan. Imam pun tak tinggal diam dan mengirim pasukan sebanyak 4000 orang untuk melawan pembangkang dan menyeru umat Islam untuk bangkit membela kebenaran. Namun Imam harus menelan kekecewaan besar, karena beliau menyaksikan sikap pengecut, dan menyerah di sejumlah warga, khususnya pada komandan di pasukannya.

 

Cinta dunia dan mengejar kepentingan pribadi, mendorong pada komandan pasukan Imam Hasan rela mengkhianati pemimpinnya. Di suasana seperti itu, Imam secara teliti mempertimbangkan kondisi dan menyadari bahwa ia berada dalam kondisi sulit dan perang melawan Muawaiyah banyak ruginya ketimbang manfaat. Oleh karena itu, Imam yang sangat mengkhawatirkan masa depan Islam dan nasib umat Islam berpendapat bahwa maslahat yang ada adalah menghindari perang. Dengan demikian Imam Hasan bersedia menerima perjanjian damai dengan Muawiyah.

 

Di sisi lain, di kondisi sensitif tersebut, perbatasan wilayah Islam mendapat ancaman dari Romawi Timur dan setiap saat imperium ini siap untuk menyerang umat Islam. Pastinya bentrokan dan perang antara umat Islam di kondisi seperti ini akan menguntungkan Romawi. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Imam Hasan setelah menerima perjanjian damai dalam sebuah pidatonya menjelaskan bahwa perang tidak menguntungkan umat Islam dan kemudian beliau membacakan ayat 111 surat Anbiya. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian damai beliau merupakan ujian bagi umat Islam dan menguntungkan beliau.

 

Abu Said, salah satu sahabat Imam Hasan berkata, “Pasca penandatanganan perjanjian damai, Aku mendatangi Imam Hasan dan Aku berkata, Wahai Anak Rasulullah! Mengapa Anda berdamai dengan Muawiyah, padahal Anda mengetahui Anda adalah pemuka kebenaran? Imam saat memberikan jawaban pertanyaanku mengisyaratkan perjanjian damai Rasulullah dengan musyrik Mekah di Hudaibiyah dan kemudian dengan bersandar pada al-Quran beliau menjaskan kisah Nabi Khidir dan Musa di mana Khidir melubangi kapal dan merusaknya untuk menjaga pemilik serta penumpangnya. Di sisi lain, hikmah tindakan Nabi Khidir tersebut tidak diketahui oleh Nabi Musa. Imam Hasan kemudian bersabda bahwa perdamian dirinya dengan Muawiyah juga memiliki rahasia yang untuk saat ini tidak kalian ketahui dan hasilnya akan terungkap nanti.”

 

Di riwayat lain, Imam Hasan kepada Abu Said mengatakan, “Jika Aku tidak melakukan hal ini, maka tidak ada satu pun pengikut Ahlul Bait yang akan tersisa di muka bumi dan semuanya akan terbunuh. Di kasus sengketa antara Aku dan Muawiyah, Aku berada di pihak yang benar, namun Aku menyerahkan kepada Muawiyah. Aku melakukan hal ini untuk melindungi nyawa, darah dan harta kalian.”

 

Setelah perjanjian damai, Imam Hasan kembali ke kota Madinah dan dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan beliau memulai program kerjanya dengan bentuk baru. Mengingat aktivitas penguasa Bani Umayah dilakukan dengan kedok agama, maka kemungkinan penyimpangan dan interpretasi keliru terkait ideologi Islam semakin besar. Oleh karena itu, aktvitas Imam Hasan bertumpu pada upaya menjelaskan prinsip-prinsip Islam secara transparan dan jelas bagi ulama dan masyarakat, sehingga mereka mampu membedakan kebenaran dan kebatilan.

 

Setelah Imam Hasan kembali ke kota Madinah, para ulama dan ahli hadis berkumpul di majelis Imam Hasan. Mereka adalah sahabat Nabi dan juga sahabat Imam Ali. Di antara mereka ada tokoh terkenal seperti Jabir bin Abdullah Ansari, Habib bin Madhahir, Hujr bin Adi, Zaid bin Arqam, Sulaiman bin Surd Khuzai, Kumail bin Ziyad dan Muslim bin Aqil. Mereka adalah tokoh-tokoh yang datang dari berbagai kota dan setelah mendapat bimbingan dari Imam Hasan, menjadi tokoh terkenal dan benteng kuat yang menghambat pergerakan Bani Umayah.

 

Aktivitas lain Imam Hasan adalah membela pengikutnya dari represi Bani Umayah. Dalam hal ini, Imam Hasan menjadi tempat berlindung bagi pengikutnya dan dengan penuh keberanian beliau menentang kezaliman antek-antek Muawiyah. Imam Hasan berulang kali mempertanyakan legalitas pemerintahan Bani Umayah dan menyatakan kebenciannya terhadap pesuruh Bani Umayah. Imam Hasan di berbagai kasus bahkan memperingatkan Muawiyah.

 

Suatu hari Imam Hasan mengingatkan kepada Muawiyah bahwa Khalifah umat Islam adalah mereka yang bertindak sesuai dengan sunnah Rasulullah dan taat kepada perintah Allah. Khalifah bukan sosok yang menyalahi umat dan menghentikan sunnah serta menjadikan dunia sebagai ayah serta ibunya serta menjadikan hamba Allah sebagai budak dan mengklaim harta mereka milik pemerintah. Karena orang seperti ini ibaratnya seorang raja yang menduduki tahta dan hanya menikmatinya untuk waktu singkat serta kemudian ia akan terpisah dari nikmat tersebut.

 

Imam Hasan melalui metode politik, sosial dan budayanya di kota Madinah berhasil menciptakan gelombang baru pencerahan di tengah umat Islam. Aktivitas Imam Hasan sangat luas dan memiliki pengaruh kuat. Bahkan saat itu, umat Islam mengakui bahwa tindakan Imam Hasan telah mengingatkan pada usaha ayahnya sendiri, Imam Ali bin Abi Thalib. Tentunya kondisi ini sangat menakutkan bagi Bani Umayah. Oleh karena itu, mereka berusaha menghentikan aktivitas Imam Hasan di kota Madinah. Namun segala upaya yang mereka tempuh gagal mencegah Imam Hasan untuk menghentikan aktivitasnya. Akhirnya Bani Umayah memutuskan untuk membunuh cucu Rasulullah ini. Maka akhirnya salah satu penghulu pemuda surga ini gugur di tangan anasir Muawiyah melalui racun, tepatnya di tahun 50 hijriah.

 

Puluhan anasir teroris tewas selama operasi militer Suriah di sejumlah daerah di negara itu.

Kantor berita resmi Suriah (SANA), Sabtu (12/12/2015) melaporkan, operasi militer Suriah terhadap kelompok teroris ISIS dan Front al-Nusra di pinggiran Hama menewaskan 100 teroris.

Pasukan Suriah pada hari Jumat, juga menyerang posisi ISIS di desa-desa di sekitar timur Aleppo dan juga daerah di dekat Latakia. Dalam operasi itu, puluhan teroris tewas dan menderita kerugian besar.

Militer Suriah juga membersihkan wilayah pengunungan di bagian utara Provinsi Latakia di perbatasan negara itu dengan Turki dari teroris Front al-Nusra. Sejumlah anasir teroris dilaporkan tewas di Latakia.

Informasi lain menyebutkan bahwa militer Suriah telah menghancurkan markas persembunyian teroris di pinggiran timur Daraa.

Sementara itu, juru bicara kekuatan tempur Kurdi Suriah, Redur Khalil mengatakan pada Jumat bahwa sedikitnya 50 warga sipil tewas dan lebih dari 80 lainnya terluka akibat ledakan bom mobil yang dipasang ISIS di Provinsi Hasaka, Timur Laut Suriah.

Wakil Presiden Iran Eshaq Jahangiri, mengatakan Republik Islam Iran menganggap keamanan negara-negara tetangga sebagai keamanannya sendiri.

Dia menyampaikan hal itu, Sabtu (12/12/2015) pada acara perayaan 20 tahun kebijakan netralitas permanen Turkmenistan di Ashgabat. Demikian dikutip IRNA.

Jahangiri menekankan tekad Iran dan Turkmenistan untuk memperluas hubungan bilateral. Menurutnya, keamanan setiap negara dibentuk oleh daerah di sekitarnya dan dalam sebuah lingkungan sekitar yang kacau, keamanan harus ditegakkan dengan susah payah.

Hubungan Tehran dan Ashgabat, jelasnya, selalu bergerak maju di semua bidang dengan mengandalkan kesamaan sejarah dan budaya. Proses ini terus berlanjut berkat kebulatan tekad para pemimpin dari kedua negara.

“Republik Islam termasuk di antara negara pertama yang mendukung keputusan Turkmenistan untuk mengadopsi kebijakan netral. Tehran menilai positif keputusan Ashgabat untuk memperkuat hubungan bersahabat di antara kedua pihak serta mengubah garis perbatasan kedua negara menjadi gerbang persahabatan, persaudaraan, perdamaian dan keamanan,” tegasnya.

Pada kesempatan itu, Jahangiri juga menegaskan tekad serius Iran dalam perang terhadap momok terorisme. “Jika dunia lalai dalam memerangi terorisme, semua negara akan menanggung kerugian besar,” tambahnya.

Jahangiri bersama sebuah delegasi tingkat tinggi tiba di Ashgabat pada Sabtu (12/12/2015) dini hari, untuk berpartisipasi dalam perayaan dan konferensi internasional tentang kebijakan netral.

Pada 12 Desember 1995, Turkmenistan mengumumkan penerapan kebijakan netralitas permanen.

Sabtu, 12 Desember 2015 18:50

Rusia Minta Iran-Saudi Memperbaiki Hubungan

Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menekankan perlunya peningkatan hubungan antara Iran dan Arab Saudi, dan mengatakan pemulihan hubungan tersebut bisa membantu mempromosikan keamanan regional.

Berbicara pada Konferensi Dialog Mediterania di Roma, Jumat (11/12/2015), Lavrov mengatakan hubungan dekat antara Tehran dan Riyadh sangat penting untuk meredakan bahaya besar di Timur Tengah. Demikian dilansir Press TV.

Dia menyeru Iran dan Saudi untuk berusaha menghilangkan perselisihan mereka.

Lavrov lebih lanjut meminta kekuatan dunia untuk mengesampingkan perbedaan mereka dan bersatu melawan terorisme.

Dia juga mengkritik Amerika Serikat karena tidak bekerja sama dengan Rusia dalam kampanye anti-terorisme di Suriah, sebab mereka berbeda pandangan tentang nasib Presiden Bashar al-Assad.

Menlu Rusia menyebut desakan Barat untuk menggulingkan Assad sebagai kesalahan besar. "Kami percaya bahwa nasib Assad hanya dapat diputuskan oleh rakyat Suriah sendiri," tegasnya.

Konferensi Dialog Mediterania digelar selama tiga hari di Roma untuk membicarakan isu-isu politik, ekonomi dan budaya.

Publikasi surat kedua Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar untuk para pemuda Barat mendapat reaksi luas dari media-media Rusia.

IRNA (1/12) mengutip kantor berita Rusia, Interfax, Senin (30/11) mengulas surat Rahbar dan menulis, "Ayatullah Khamenei menilai standar ganda Barat pimpinan Amerika Serikat terkait Dunia Islam sebagai sebab lahirnya kelompok-kelompok teroris termasuk Taliban dan ISIS serta meningkatnya aksi-aksi teror di arena internasional."

Interfax mengatakan, "Pemimpin tertinggi Iran dalam suratnya untuk para pemuda mengakui bahwa terorisme merupakan masalah besar dan kegelisahan kolektif."

Sementara itu kantor berita Sputnik, terkait surat Rahbar menuturkan, "Pemimpin tertinggi Iran menganggap standar ganda Barat terkait kebangkitan di Dunia Islam sebagai simbol wacana kontradiktif dalam kebijakan luar negeri Barat."

Itar Tass juga memuat ulasan tentang surat kedua Rahbar untuk pemuda Barat dan mengatakan, "Pemimpin tertinggi Iran menegaskan, akar-akar kekerasan harus dicari di Barat, bukan di Dunia Islam. Pasalnya, budaya politik Barat selama bertahun-tahun bersandar pada serangan lunak dan luas terhadap Dunia Islam."

Situs internet Rusia, Islam Today menulis, "Ayatullah Khamenei dalam surat keduanya untuk para pemuda Barat menegaskan, negara-negara Timur Tengah lebih menderita karena terorisme dibanding Eropa."

Portal berita, Iran.ru memuat potongan surat Rahbar dan menulis, "Pemimpin tertinggi Iran mengirim surat lain kepada para pemuda Barat , ini adalah surat kedua untuk pemuda Barat dan alasan ditulisnya surat itu adalah peristiwa teror di Paris yang menewaskan 130 orang."

Kantor Ayatullah Khamenei, 20 November 2015 mempublikasikan surat Rahbar untuk para pemuda Barat dan menyebut motif ditulisnya surat itu adalah peristiwa getir Paris.