
کمالوندی
Tafsir Al-Quran, Surat Ali Imran Ayat 23-27
Ayat Ke 23-24
Artinya:
Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bahagian yaitu Al Kitab (Taurat), mereka diseru kepada kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum diantara mereka; kemudian sebahagian dari mereka berpaling, dan mereka selalu membelakangi (kebenaran). (3: 23)
Hal itu adalah karena mereka mengaku: "Kami tidak akan disentuh oleh api neraka kecuali beberapa hari yang dapat dihitung". Mereka diperdayakan dalam agama mereka oleh apa yang selalu mereka ada-adakan. (3: 24)
Sebelumnya, telah dibicarakan tentang Yahudi dan Nasrani (lapisan cerdik pandai mereka). Sekalipun mereka telah mengetahui kebenaran Islam, namun tetap saja tidak bersedia menerima Islam dan mengingkarinya atas dasar kedengkian, dan permusuhan.
Ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw, "Jika kaum Yahudi tidak beriman dengan agamamu, maka janganlah bersedih. Karena mereka juga tidak komit sekalipun terhadap agama mereka sendiri. Sewaktu salah seorang dari mereka melakukan zina, untuk lari dari hukuman taurat yaitu dirajam, mereka datang ke Muhammad dengan harapan hukum Islam berbeda dengan itu. Namun ketika engkau mengeluarkan hukum al-Quran yang sama dengan hukum Yahudi, maka mereka memungkiri hukuman taurat dan menyembunyikan perintah Tuhan ini.
Al-Quran menyebutkan akar kesombongan agama yang melanda bani Israel. Mereka berpikir sangat dicintai oleh Tuhan dari pada kaum yang lain. Oleh karenanya mereka yakin pada hari kiamat nanti, tidak akan masuk neraka atau kalau masuk pun, hanya beberapa hari saja.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Pengakuan bukannya pertanda iman. Saat pelaksanaan hukum-hukum Tuhan, misalnya Qishas, maka iman seseorang akan menjadi jelas.
2. Setiap jenis kesombongan dan melihat baik sendiri adalah perbuatan yang terlarang, sekalipun sumbernya adalah agama.
3. Semua manusia , baik di dunia maupun akhirat, adalah setara di sisi Allah dan tak seorangpun yang lebih mulia dari lainnya.
Ayat ke 25
Artinya:
Bagaimanakah nanti apabila mereka Kami kumpulkan di hari (kiamat) yang tidak ada keraguan tentang adanya. Dan disempurnakan kepada tiap-tiap diri balasan apa yang diusahakannya sedang mereka tidak dianiaya (dirugikan). (3: 25)
Melanjuti dua ayat sebelumnya yang menjelaskan pelbagai dugaaan tidak benar kaum Yahudi, ayat ini mengingatkan bahwa kenyataan tidaklah sama dengan apa yang mereka duga. Karena di sisi Allah, tidak ada perbedaan antara Yahudi dan non Yahudi. Masing-masing tergantung amal perbuatannya, dari agama manapun. Allah Swt mengeluarkan hukum bersdasarkan keadilan antara masyarakat dan dalam hukuman dan ganjaran, tidak menerapkan diskriminasi.
Dari ayat tadi terdapat satu poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Bahwa pahala atau ganjaran adalah berdasarkan iman dan perbuatan, bukannya kepada keterikatan agama, etnis dan keturunan.
Ayat ke 26-27
Artinya:
Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (3: 26)
Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)". (3: 27)
Melanjuti ayat sebelumnya yang menjelaskan kesombongan dan fanatisme sebagian Ahlul Kitab terhadap Islam, ayat ini ditujukan kepada Nabi dan muslimin berkata, "Semuanya ada di tangan Tuhan dan kemuliaaan dan kekuatan yang sejati ada pada-Nya. Seperti halnya Tuhan telah memenangkan muslimin dengan Fathu Makkah tanpa pertumpahan darah, hati masyarakat seperti Iran, Romawi condong ke agama islam dan agama suci ini akan berkuasa di dunia.
Berkaitan dengan ayat ini, dalam sejarah disebutkan bahwa di saat menggali khandaq atau parit di sekeliling Madinah dalam perang Ahzab, pacul Nabi mengenai batu besar dan dari batu itu memancar sinar. Rasul bersabda, "Aku melihat cahaya kemenangan Islam terhadap orang-orang kafir dan jatuhnya istana madain dan Romawi ke tangan islam. Dengan berita gembira ini, kaum muslimin meneriakkan takbir kemenangan. Namun orang-orang munafik tidak percaya dan mengatakan, "Betapa kalian punya angan angan yang kosong. Padahal kalian takut terhadap musuh. Itulah mengapa kalian menggali parit, tapi tetap saja berangan-angan menguasai Iran dan Romawi?
Pada saat itu, ayat-ayat yang jadi topik pembahasan kita diturunkan dan Allah Swt kepada Nabi-Nya berfirman, "Sebagai jawaban untuk mereka mereka yang berpikiran pendek, katakanlah, "Pengatur dan pemilik alam semesta adalah Allah. Dia bukan hanya pencipta langit dan bumi, tapi seluruh perputarannya secara teratur di dalam porosnya yang mewujudkan malam dan siang juga berada di tangan-Nya.
Kehidupan, kematian dan makanan serta rezeki kalian dan semua yang bernyawa ada di tangan-Nya. Mengapa kalian (munafiqin) heran sekiranya Tuhan memberikan kekuasaaan kepada muslimin? Dan kenapa kalian untuk memperoleh kemuliaaan dan kekuatan, berlindung kepada selain Allah? Jika kalian ingin kekuasaan dan kekuatan, maka carilah di bawah naungan agama. Laksanakanlah perintah-perintah agama, maka Allah Swt akan memberikan kekuatan dan kemuliaan kepada kalian, sehingga tidak ada kekuatan zalim manapun yang mampu menguasai kalian.
Jika dewasa ini, orang-orang kafir memonopoli dan mendominasi dunia, sedangkan muslimin dalam posisi yang lemah, akarnya berada pada dua hal. Satu, perpecahan dan pengkotakan muslimin yang menurut sunnah Tuhan merupakan penyebab kehinaan dan dominasi orang orang zalim. Kedua, upaya orang orang kafir di jalan pencarian ilmu pengetahuan dan penerapan disiplin dan peraturan yang menurut sunnah Tuhan merupakan penyebab kemuliaaan dan kelanggengan kekuasaan.
Oleh karena itu, Tuhan tidak akan memuliakan dan merendahkan seseorang tanpa alasan. Pondasi-pondasi bangunan kemuliaan ada di tangan kita dan kitalah yang menentukan nasib kita dan masyarakat dengan perilaku dan perbuatan kita sendiri.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Tatanan alam semesta ada di tangan Allah, baik dalam penciptaan makhluk, maupun dalam pengaturan urusan. Maka muslimin harus berkerja sesuai dengan seirama dengan peraturan dan segala sunnah-Nya sehingga sampai kepada kebahagiaan.
2. Pemerintahan dan kekuasaan yang sejati adalah milik Tuhan. Kekuasaan lainnya adalah sementara. Hari ini ada dan esok hari sirna.
3. Perputaran alam adalah berpijak pada dua fenomena, kematian dan kehidupan. Dengan kekuasaan Tuhan, dari dalam biji yang tak bernyawa, tumbuh pohon tumbuhan dan dari bahan makanan yang tak bernyawa, maka terwujudlah sel -sel yang hidup.
Tafsir Al-Quran, Surat Ali Imran Ayat 18-22
Ayat ke 18
Artinya:
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (3: 18)
Ayat ini ditujukan kepada Nabi dan Muslimin yang menyebutkan bahwa kekufuran orang-orang kafir dan syiriknya orang-orang musyrik tidak sepatutnya membuat bingung Muslimin. Karena para cendikiawan yang sejati memiliki akal dan logika menyaksikan Keesaan Tuhan. Di samping itu, tatanan alam yang berpijak di atas keadilan dan jauh dari segala bentuk berlebihan dalam penciptaan sendiri merupakan saksi yang paling kokoh atas Keesaan Tuhan.
Allah Swt menciptakan serangkaian mahkluk ini, dari langit, bumi, gunung dan lautan serta tumbuhan dan binatang yang dikelola di bawah sistem yang satu. Semuanya menyaksikan Keesaan-Nya dan para malaikat yang merupakan petugas-Nya dalam mengatur alam, juga menyaksikan Keesaan Tuhan.
Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Argumen yang terbaik atas Keesaan sang pencipta, adalah keteraturan alam semesta dan korelasi yang selaras antara berbagai makhluk.
2. Ilmu akan bernilai ketika manyampaikan manusia kepada Tuhan. Demikian pula iman akan bernilai jika berpijak pada ilmu dan makrifah.
Ayat ke 19-20
Artinya:
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (3:19)
Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah, "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam". Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (3: 20)
Di zaman Nabi Musa atau Nabi Isa as atau para nabi lainnya, kewajiban masyarakat adalah mengimani mereka dan kita-kitab yang diturunkan kepadanya. Namun dengan diturunkannya al-Quran, Ahlul Kitab dan lain-lainnya haruslah mengimani Nabi itu dan mengikuti serta menjalankan agama yang dibawanya. Akan tetapi, kefanatikan agama atau etnis telah menyebabkan sebagian besar dari mereka tidak bersedia menerima Islam. Padahal mereka mengetahui kebenaran agama suci ini. Ayat ini menegaskan kepada Ahlul Kitab, jika kalian pasrah kepada Tuhan, maka kalian harus memeluk Islam. Karena Tuhan yang mengutus Musa dan Isa, kini telah mengutus nabi bernama Muhammad dan telah memerintahkan kalian untuk mengikutinya. Jika kalian mengingkarinya, maka tunggulah hukuman Tuhan di dunia dan akhirat, dimana Tuhan lebih cepat dari yang diperkirakan oleh hamba-hamba-Nya dalam menghitung amalan mereka.
Kepada Rasulullah dikatakan bahwa dalam rangka mengislamkan orang kafir dan musyrik, beliau tidak boleh memaksakan diri. Jangan pula beliau berdebat dan berparang dengan mereka. Karena tugas atau misi Nabi hanya menyampaikan kebenaran, sehingga masyarakat mengenali kebenaran itu. Oleh karenanya, siapa saja yang mau menerima, ia akan diberikan petunjuk (hidayah). Namun bagi orang yang mengetahui kebenaran, tapi ia tidak mau menerimanya dengan alasan apapun, maka tidak ada gunanya berdialog dan berdebat dengannya. Pasrahkan urusannya kepada Tuhan yang mengawasi secara sempurna hamba-hamba-Nya.
Dari dua ayat tadi terdapat empat poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kebanyakan pertikaian dan perselisihan adalah dengki dan fanatisme, bukannya ketidaktahuan tentang kebenaran dan hakikat.
2. Satu-satunya agama yang diterima oleh Tuhan yang Maha Esa adalah agama Islam. Kini, jika para pengikut agama samawi lainnya tunduk kepada Tuhan, maka mereka harus berpindah ke agama Islam.
3. Tugas kita terhadap orang-orang non-muslim khususnya mereka yang keras kepala, tidak lebih dari menyampaikan dan berargumentasi, bukannya perdebatan dan perang.
4. Masyarakat bebas memilih agama, dan mereka tidak boleh dipaksa menerima idealogi agama tertentu. Siapa yang memilih suatu jalan, maka ia sendiri nanti yang akan menanggung resiko baik buruknya.
Ayat ke 21-22
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memamg tak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yg pedih. (3: 21)
Mereka itu adalah orang-orang yang lenyap (pahala) amal-amalnya di dunia dan akhirat, dan mereka sekali-kali tidak memperoleh penolong. (3: 22)
Melanjuti ayat-ayat sebelumnya yang menyinggung soal penyebab syirik dan kekufuran yaitu kedengkian dan keras kepala, ayat ini menjelaskan kesan buruk kufur dan syirik.
Pada dasarnya, perbuatan manusia mengikuti ideologi dan pemikirannya. Orang yang secara akidah tidak bersedia menerima kebenaran, maka bukan hanya dia sendiri tidak menyesuaikan dirinya dengan kebenaran. Karena ia akan memerangi orang-orang yang hendak menegakkan kebenaran dan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Lebih dari itu, ia bahkan sanggup menumpahkan darah masyarakat yang tak berdosa dan senang dengan perbuatannya.
Di sini, jelas sekali bahwa permusuhan terhadap kebenaran dalam bentuk pemikiran dan tindakan akan membuat setiap orang kafir yang melakukan kebaikan tidak bernilai. Mirip seperti seorang pembantu yang mengabdi kepada tuannya di sepanjang usia, namun pada akhirnya ia membunuh anak tuannya itu tanpa alasan apapun. Sudah pastti keburukan perbuatan yang dilakukan pelayan tadi menutupi semua kebaikan yang diberikannya kepada tuannya.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kekufuran dan menutupi kebenaran adakalanya menyeret manusia kepada membunuh nabi. Kita harus senantiasa waspada, jangan sampai kita terlumuri oleh keyakinan keyakinan yang menyeleweng. Karena perbuatan yang berbahaya berakar dari pemikiran yang batil.
2. Mengajak kepada kebenaran dan bangkit untuk menegakkan keadilan merupakan perkara yang begitu penting, meskipun harus dibayar dengan terbunuh atau syahid. Sebagaimana halnya Imam Husein as telah mengorbankan nyawanya dan anak-anaknya di jalan ini.
3. Sebagian dosa bagaikan petir membakar kebun penuh pohon kebaikan manusia dalam satu detik dan tidak tertinggal kecuali jeritan penyesalan.
Tafsir Al-Quran, Surat Ali Imran Ayat 13-17
Ayat ke 13
Artinya:
Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.
Rasul dan Muslimin selama 13 tahun di Mekah berada di bawah penyiksaan dan gangguan orang-orang musyrik sehingga pihak musuh berencana membunuh Rasul yang dengan perintah Allah, Rasul dan Muslimin berhijrah dari Mekah menuju Madinah. Pada tahun kedua setelah hijrah, di wilayah Badar, terjadi perang, dimana jumlah Muslimin mencapai 313 orang dan jumlah orang-orang musyrik seribu orang. Namun musuh terpaksa mengakui kekalahan setelah mengalami 70 korban tewas dan 70 tertawan.
Ayat ini menyinggung tentang bantuan dan pertolongan Tuhan dalam perang ini dan menyatakan, "Allah Swt memperlihatkan kalian di mata mereka seakan-akan berlipat-ganda sehingga mereka ketakutan dan kehilangan semangat dalam melawan Muslimin. Permulaan dan akhir ayat ini menekankan bahwa pertolongan Tuhan di dalam perang Badar dan kemenangan tentara kebenaran terhadap kebatilan harus menjadi pelajaran untuk tidak merasa takut karena sedikitnya jumlah pasukan dan laksanakanlah tugas kalian dimana Allah akan membantu kalian.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Perang dalam Islam adalah untuk Allah dan mempertahankan agama bukan untuk unjuk kekuatan,ekspansi atau dominasi.
2. Salah satu dari pertolongan-pertolongan gaib Tuhan mewujudkan ketakutan di hati musuh yang menyebabkan musuh melihat kekuatan Muslimin berlipat-lipat.
3. Kejadian-kejadian yang berlaku di sekitar kita bagi semua merupakan pelajaran, namun hanya pemilik pandangan dan visi yang memetik pelajaran darinya.
Ayat ke 14
Artinya:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
Allah Swt menciptakan manusia di dunia dan memberikan apa yang diperlukan untuk melanjutkan kehidupan dan kesenangan yang dibenarkan oleh syariat. Untuk melanggengkan keturunan, kita memerlukan isteri dan anak. Untuk memenuhi kesenangan hidup, kita memerlukan uang dan kekayaan. Allah Swt menganugerahkan kesemua tadi. Demikian pula untuk makanan dan pakaian, kita memerlukan berbagai jenis binatang dan tetumbuhan. Namun harus diperhatikan bahwa semua urusan ini adalah sementara dan fana' (binasa), dan usianya paling lama adalah sesuai dengan usia manusia di dunia. Jika kita mengimani Tuhan dan Hari Kiamat, maka kita tidak boleh membesar-besarkan urusan duniawi di depan mata kita sehingga menyebabkan kesombongan, karena di Hari Kiamat, tidak satupun dari semua tadi yang punya nilai.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Hasrat dan kecintaan alamiah kepada material dan kebendaan ada dalam diri manusia, yang berbahaya adalah tertipu dengan daya tarik dan hiasan dunia.
2. Memanfaatkan dunia dan anugerah-anugerahnya tidaklah buruk, yang buruk adalah ketergantungan dan keterikatan dengan dunia.
3. Untuk mengkontrol keinginan dan syahwat, maka kita harus membandingkan dunia yang fana dengan nikmat abadi akhirat.
Ayat ke 15
Artinya:
Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?". Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal didalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.
Mengusul ayat sebelumnya, yang menjelaskan sebagian perkara dunia yang diminati oleh manusia, ayat ini menyinggung tentang sebagian nikmat-nikmat surga yang abadi pada Hari Kiamat sehingga manusia dengan membandingkan keduanya, dapat memilih jalan yang benar dan tidak termakan oleh lahiriah dunia. Jika di dunia, taman dan pemandangan indah alam menarik pandangan manusia, di surga terdapat taman penuh dengan pohon dan hutan yang dari kaki pohon-pohonnya mengalir sungai dan di dahannya, terdapat berbagai jenis buah-buahan dan makanan.
Disamping itu, dalam ayat ini, Allah Swt memberikan khabar gembira akan isteri-isteri yang cantik menawan. Berita-berita gembira tadi menunjukkan sebagian dari nikmat material akhirat yang kecil. Ganjaran penghuni surga yang paling besar adalah keridhaan Tuhan kepada hamba-hamba mukmin-Nya yang tidak ada sesuatu apapun yang menandingi nikmat ini.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Jalan untuk memiliki nikmat-nikmat syurga yang langgeng adalah Takwa dan menjauhi kekotoran, karena surga adalah tempat orang-orang yang bersih.
2. Kenikmatan surga tidak terbatas dengan kelezatan materi. Mendapat keridhaan Tuhan adalah kelezatan spiritual yang tertinggi bagi para penghuni surga.
3. Kesucian adalah nilai yang tertinggi bagi wanita. Allah Swt mensifati isteri-isteri di surga dengan kata suci.
Ayat ke 16-17
Artinya:
(Yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka,"
(yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur.
Ayat sebelumya mengenalkan orang-orang bertakwa sebagai ahli surga. Dua ayat ini menjelaskan kekhususan-kekhususan pemikiran, akhlak dan prilaku orang-orang yang bertakwa, sehingga terjelas siapakah yang berhak dan layak masuk surga.
Ayat pertama menjelas taubah dan inabah orang-orang yang bertakwa yang senantiasa meminta ampun dari Allah. Pada dasarnya, jalan untuk sampai kepada takwa adalah iman dan bersikap seimbang (i'tidal) kepada keberadaan Allah. Selagi manusia tidak menyakini bahwa semua perbuatannya diawasi, maka mereka tidak akan mengontrol diri.
Akan tetapi arti takwa bukanlah tersucikan dari dosa, melainkan dengan artian menahan diri. Orang-orang yang bertakwa mungkin saja terjatuh ke dalam perbuatan dosa, namun beda mereka dengan pendosa lain ada 2 hal; pertama dosa bukan bagian dari kebiasaan mereka, akan tetapi mereka berbuat dosa karena khilaf dan lupa. Kedua, jika mereka berdosa, langsung mereka terpikir untuk taubat sehingga dirinya bisa terlepas dari kesan-kesan dosa di dunia dan akhirat.
Ayat berikutnya menjelaskan 5 sifat penting dari dampak positif takwa bagi orang-orang yang bertakwa. Kesabaran dan ketabahan di jalan kebenaran dan bertahan dalam melawan bujukan-bujukan batil dan setan merupakan sifat yang paling mendasar. Kejujuran dalam akidah, perkataan dan tindakan merupakan sifat-sifat lain orang-orang yang bertakwa dan sifat-sifat ini memelihara manusia dari segala bentuk kemunafikan, riya, kebohongan dan penipuan.
Demikian pula ketaatan mereka dari perintah Allah disertai dengan tunduk dan kerendahan diri serta menerima hukum Allah dengan sepenuh jiwa. Di samping taat kepada Allah, mereka juga memikirkan makhluk dan menginfakkan sebagian harta mereka untuk orang-orang yang memerlukan.
Namun dengan melakukan perbuatan baik ini, bukan berarti mereka jadi sombong, bahkan mereka selalu merasa masih banyak kekurangan dalam mengabdi dan membantu manusia-manusia yang lemah dan mereka senantiasa beristighfar dan meminta ampunan atas segala kesalahan dan kekurangan.
Dari ayat ini kita petik pelajaran bahwa takwa bukan berarti mengucilkan diri, melainkan disamping menghindari dosa, kita harus menghidupkan sifat-sifat baik (hasanah) pada diri kita dan berusaha memberikan pengabdian kepada umat manusia.
Tafsir Al-Quran, Surat Ali Imran Ayat 7-12
Ayat ke7
Artinya:
Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
Dalam ayat ini, disinggung soal ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang makna dan maksudnya jelas seperti ayat "Qul Huwwallahu Ahad" artinya Tuhan Maha Esa. Ayat ini adalah dasar al-Quran yang menjadi rujukan dan penjelas ayat-ayat lainnya.
Adapun ayat-ayat mustasyabih adalah ayat-ayat yang artinya rumit dan banyak sekali terdapat kemungkinan dalam ayat jenis ini seperti, "Yadullohu fauqa aydihim", artinya tangan Allah berada di atas tangan mereka. Jelas sekali bahwa Tuhan tidak memiliki badan sehingga punya tangan dan kata tangan dalam ayat ini merupakan kinayah dari pada kekuasaaan.
Secara umumnya, Allah Swt telah menjelaskan pengetahuan-pengetahuan yang tinggi dan realita -relaita yang besar di alam ini untuk kepahaman masyarakat secara umum selagi memungkinkan dalam bingkai bahasa yang mudah dan lafad-lafad al-Quran . Walaupun demikian, untuk memahami sebagian realita seperti sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan bagi kebanyakan manusia adalah perkara yang sulit dan hanya para ulama dan cendekiawan dan orang-orang yang berhati bersih yang dapat memahami batin lafad-lafad tersebut.
Namun orang-orang yang berusaha menyesatkan orang lain, mereka meninggalkan ayat-ayat yang jelas dan cenderung kepada ayat-ayat semacam ini (mutasyabih) dengan tujuan memutarbalikkan kebenaran dan dengan jalan ini, mereka dapat menggapai tujuannya. Mereka ingin menisbatkan pandangan dan pendapatnya kepada ayat dengan jalan tafsir bir ra'yu (menafsirkan semaunya sendiri) dan mereka mengatakan, "Apa yang kami katakan, juga didukung oleh al-Quran, atau pendapat kami adalah pendapat al-Quran, dan dengan jalan ini, mereka menisbatkan akidah sesat mereka kepada al-Quran".
Padahal Allah Swt di bagian terakhir ayat mengingatkan, hanya orang-orang yang mendalami ilmu (rasikhuna fil ilm) yaitu para nabi dan auliya yang mengetahui takwil (hakikat al-Quran) dan hanya merekalah yang dapat menjelaskan takwil al-Quran kepada masyarakat. Firman-firman Tuhan yang bersumber dari ilmunya yang tidak terbatas memerlukan para penafsir yang telah menimba ilmu Tuhan dan mampu memahami maksud Tuhan.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Sebagian ayat al-Quran memiliki makna dan pengertian yang sangat tinggi. Hanya para cendekiawan yang sejati dan mencari kebenaran yang punya jalan untuk memahami segala maksud Tuhan. Maka apa yang kita tidak mengerti, janganlah kita ingkari dan selewengkan.
2. Sebagian orang menyebarluaskan akidah-akidah yang sesat dengan nama Islam dan al-Quran. Kita harus cermat sehingga dapat mengambil air dari sumbernya yaitu penjelasan Nabi dan keluarga sucinya.
3. Fitnah bukan hanya terbatas dengan membangkitkan pertikaiaan, melainkan fitnah yang terbesar adalah menyelewengkan hakikat agama dan tafsir bir ra'yu ayat-ayat al-Quran.
Ayat ke 8-9
Artinya:
(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)"
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya". Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.
Pada ayat sebelum ini, telah dibicarakan bahwa para cendikiawan di hadapan ayat-ayat al-Quran ada dua golongan, sekelompok yang menyeleweng dan berupaya menyelewengkan makna-makna al-Quran sehingga menisbatkan masalah-masalah yang merupakan pendapatnya kepada kitab Samawi.
Dan sekelompok lain yang memiliki ilmu yang sejati dan mendapatkan kedalaman makrifat, kelompok ini pasrah seratus persen kepada Allah dan perintah-perintahnya tanpa mewujudkan penyelewengan dari ayat-ayat, mereka sampai kepada hakikat ayat dan menjelaskannya sekiranya diperlukan.
Namun manusia senantiasa berada dalam bahaya penyelewengan, oleh karenanya dalam ayat ini orang-orang yang (rasikh) mendalam ilmunya, walaupun mereka berilmu dan beriman, namun mereka menghendaki dari Allah agar memelihara jiwa-jiwa mereka dari segala bentuk kecenderungan kepada penyelewengan sehingga tidak terjerat kepada apa yang kelompok pertama terlilit olehnya. Mereka senantiasa melihat kiamat di depan matanya dan tidak menisbatkan sesuatu kepada Allah tanpa dalil atau argumentasi, karena mereka tahu apa yang mereka katakan, harus mereka jawab di pengadilan Tuhan kelak itupun pengadilan yang tak bisa dipungkiri. Pengingkaran janji terjadi karena lupa atau penyesalan, atau kelemahan atau takut, yang mana tak satupun dari semua itu yang dapat masuk dalam Zat Allah Swt.
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Janganlah kita sombong dengan ilmu dan iman. Betapa banyak cendikiawan yang berkhianat dimana semestinya mengabdi dan betapa banyak orang-orang Mukmin yang akhirnya mati dalam keadaan kafir dan tak beragama.
2. Petanda ilmu yang sejati adalah perhatian kepada Allah menyatakan kelemahan di sisi Tuhan dan meminta bantuan darinya.
Ayat ke 10-12
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. Dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka.
(keadaan mereka) adalah sebagai keadaan kaum Fir'aun dan orang-orang yang sebelumnya; mereka mendustakan ayat-ayat Kami; karena itu Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan Allah sangat keras siksa-Nya.
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir: "Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke dalam neraka Jahannam. Dan itulah tempat yang seburuk-buruknya".
Allah Swt dalam ayat yang ditujukan kepada Rasul dan Muslimin ini berfirman bahwa kekayaan dan kekuatan serta kabilah kuffar janganlah membuat kalian keheranan. Semua itu hanya di dunia dan pada hari kiamat tak satupun dari perkara itu yang dimiliki kaum kuffar, karena badan orang-orang kafir nanti menjadi kayu bakar jahanam dan tidak ada yang dapat menjauhkan mereka dari api neraka.
Kemudian Allah Swt memperingatkan Muslimin janganlah kalian pikir, hanya dalam zaman kalian, terdapat orang-orang kafir dengan Tuhan dan kitab-Nya dan memerangi kalian, melainkan sepanjang sejarah berbagai orang memerangi kebenaran, namun mereka tidak mampu menghapuskan kebenaran, melainkan mereka sendiri yang musnah. Bahkan Fir'aun yang merupakan simbol kekuatan tidak dapat bertahan menghadapi kemurkaan Allah walaupun sedetik.
Ayat terakhir sejenis ramalan al-Quran yang Allah beritakan kepada Nabi-Nya bahwa dengan segera orang-orang musyrik dan kuffar Mekah dan Madinah telah tertumpas di tangan kalian dan sampai kepada hukuman kekafiran mereka.
Dari tiga ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Janganlah kita menambat hati kepada anak dan harta serta keluarga, karena orang-orang kafirlah yang memandang kekayaan dalam harta dan anak.
2. Pemikiran-pemikiran berbau kufur dan amalan-amalan batil menghancurkan esensi manusia sehingga pada titik, dimana manusia berada sejajar dengan tumbuh-tumbuhan dan menjadi bahan bakar api.
3. Melakukan perbuatan dosa adalah buruk, namun lebih buruk dari itu, manakala dosa telah menjadi kebiasaan manusia yang bila seperti ini, akan berakibat sangat buruk.
4. Kufur akan mengalami kekalahan dan akhirnya kemenangan yang menang.
Tafsir Al-Quran, Surat Ali Imran Ayat 1-6
Surat Ali-Imran merupakan surah ketiga al-Quran. Surat ini terdiri dari 200 ayat yang diturunkan di Madinah dan bernama "Ali Imran" yang artinya "Keluarga Imran" yang diambil dari ayat 33 surat ini. Ayah Nabi Musa dan ayah Sayyidah Maryam, keduanya bernama Imran dan maksud dari keluarga Imran adalah keluarga Nabi Musa dan Nabi Isa. Tetapi dalam surat ini, yang diungkap adalah kisah kelahiran Sayyidah Maryam, ibadah-ibadahnya dan puteranya Nabi Isa dan keluarga Imran sebagai keluarga pilihan Tuhan yang mendapat penghormatan dan pujian.
Ayat Ke 1-2
Artinya:
Alif Lam Mim.
Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia yang hidup kekal lagi senantiasa berdiri sendiri.
Mengenai Alif, lam, Mim, pada permulaan surat al-Baqarah, telah dibahas dalam surat al-Baqarah. Disebutkan di sana bahwa huruf-huruf ini yang datang pada permulaaan 29 surah al-Quran merupakan rahasia al-Quran antara Nabi dan Tuhan. Dan kemungkinan suatu petunjuk bahwa al-Quran adalah mukjizat ilahi yang tersusun dari huruf-huruf alif-ba yang diketahui semua orang, maka setiap orang ditantang untuk membuat kitab semacam al-Quran dari huruf alif ba, kalau mereka mampu.
Ayat selanjutnya menyinggung soal sifat-sifat Tuhan. Dia yang memiliki semua kesempurnaan dan suci dari semua aib dan kekurangan. Dia yang bukan hanya dalam zat, melainkan dalam sifat pun tidak ada yang menyerupainya. Sebelum ini, kita tidak ada dan setelah ini, kita akan tiada, tetapi Dia senantiasa ada dan akan terus ada. Oleh yang demikian, hanya Dia-lah yang layak dipuji dan disembah dan tak seorangpun dan sesuatu yang layak dijadikan sesembahan.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Dari pada tunduk di hadapan sesama manusia lantaran kekayaaan atau jabatan atau kekuasaaan, kita tunduk hanya kepada Allah.
2. Setiap orang memiliki kekurangan dan yang memiliki kesempurnaan pasti bersumber dari Dia.
3. Kesempurnaan mutlak hanya milik Allah semata.
Ayat Ke 3-4
Artinya:
Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.
sebelum (Al Quran), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al Furqaan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan (siksa).
Setelah Allah Swt menurunkan kitab samawi Taurat dan Injil kepada para penganutnya yang disebut dalam al-Quran sebagai Ahlul Kitab, Allah menurunkan juga al-Quran sebagai kitab paling sempurna. Ketika Allah menurunkan al-Quran, para Ahlul Kitab tidak mau beriman kepada Nabi Muhammad Saw, Islam dan kitab yang diturunkan kepadanya, yaitu al-Quran. Mereka heran dan tidak bersedia beriman kepada Nabi Muhammad dan Islam.
Ayat ini diturunkan untuk menjawab keheranan mereka bahwa Allah Swt di sepanjang sejarah telah memilih para nabi dan menurunkan kitab dan syariat yang baru melalui sebagian mereka. Kitab-kitab samawi tersebut, masing-masing saling membenarkan karena semuanya datang dari satu Tuhan dan semuanya berdasarkan kebenaran dan kejujuran. Oleh karenya, tidak mengherankan, kalau Allah yang menurunkan Taurat dan Injil kepada Musa dan Isa, juga menurunkan al-Quran kepada Muhammad Saw. Jika kalian memang mencari kebenaran, maka kalian harus mengimani. Namun jika kalian mengingkari atau kufur, maka kalian akan ditimpa hukuman Tuhan di dunia dan akhirat dan tidak ada jalan untuk lari.
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Tujuan dari kedatangan Rasul dan Nabi dan diturunkannnya kitab-kitab samawi adalah memberi petunjuk masyarakat dan menyatukan mereka berdasarkan kebenaran, bukannnya kitab itu sendiri menyebabkan pertikaiaan dan perselihan bagi mereka.
2. Pada waktu kita jatuh ke lembah kebingungan untuk mengenali kebenaran, maka kita harus kembali kepada al-Quran yang merupakan pemisah antara kebenaran dan kebatilan dan alat untuk mendeteksi mana yang benar dan mana yang salah atau batil.
Ayat Ke 5-6
Artinya:
Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit.
Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya. Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Salah satu dari akar dosa adalah lupa mengingat Allah. Manusia lupa kalau dirinya sedang dilihat dan berada di dalam pengawasan Tuhan. Dan apapun yang didengar, dikatakan atau dilakukan, semuanya tidak tersembunyi di mata Allah. Bukan hanya amal perbuatan manusia, melainkan apa yang ada di bumi dan langit dari berbagai makhluk, semuanya di sisi Allah terang dan diketahui dan tidak satupun yang terlepas dari penglihatan-Nya. Bahkan manakala keberadaan kita tersembunyi dari pandangan orang lain dan kita sedang menjalani hari-hari di dalam perut ibu kita ketika dalam bentuk janin, hanya Tuhan-lah yang melihat keberadaan kita. Bahkan Dia-lah yang membentuk kita sesuai dengan kehendaknya yang bijaksana. Bahkan pengaruh faktor-faktor keturunan ayah dan ibu terhadap anak adalah berdasarkan tadbir dan kebijaksananNya dan tidak keluar dari lingkaran kekuasaaan dan kehendak Tuhan.
Menarik sekali, topik pembentukan manusia oleh Tuhan terdapat di antara ayat yang berkaitan dengan diturunkannya kitab-kitab samawi. Mungkin hal ini menunjukkan poin ini bahwa Tuhan yang memberikan kehidupan kepada kalian di saat kalian berbentuk janin. Dia pulalah yang menumbuhkan batin dan ruh kalian dengan menetapkkan undang-undang dan menurunkan kitab dan menghidupkan masyarakat.
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Faktor banyaknya jumlah orang dan makhluk lain, tempat dan waktu, tidak satupun yang menyebabkan Allah tidak dapat mengetahui semua tadi.
2. Meskipun Allah Swt mampu melakukan segala perbuatan, namun Allah Swt tidak melakukan suatu pekerjaan bertentangan dengan hikmah, dan keinginan-Nya mengikuti hikmah-Nya.
Mengenal Surat Ali Imran
Surat ini dinamakan Ali Imran karena Ali Imran atau keluarga Imran yang merupakan sebuah keluarga pilihan yang dipuji Allah Swt. Nama Imran digunakan terhadap dua dari kakek Rasulullah Saw, yaitu Nabi Isa as dan Musa as. Surat Ali Imran diturunkan setelah masa hijrah Rasulullah ke Madinah dan termasuk surat yang seluruh ayatnya diturunkan di Madinah.
Dalam surat ini disebutkan tentang kondisi umat Islam saat itu serta berbagai kesulitan yang dihadapi Rasulullah dan kaum Muslim termasuk gangguan orang-orang Yahudi yang senantiasa berupaya menyulut keonaran di satu sisi, dan perlawanan terhadap kaum musyrik di sisi lain. Islam pada masa itu tengah berkembang dan ini sangat tidak diinginkan oleh kaum Musyrikin yang kemudian disusul dengan kaum Yahudi dan Kristen. Menyusul fenomena ini, dua kekuatan besar saat itu yaitu imperium Romawi dan Persia juga saling berusaha menunjukkan kekuatan masing-masing.
Oleh sebab itu, dalam surat Ali Imran, Allah Swt menyeru umat Islam untuk bersatu. Mereka dituntut untuk mempersiapkan diri bersatu dan dengan sekuat tenaga menghadapi musuh yang berupaya memadamkan cahaya Allah. Selain itu, umat Islam juga dituntut untuk bersabar dan tabah menghadapi segala kesulitan dalam perjuangan mereka.
Sebagian dari surat Ali Imran ini berhubungan dengan kaum musyrikin dan kafir yang menekankan bahwa mereka dalam waktu dekat akan kalah. Mereka tidak akan mampu melawan kehendak Allah Swt. Kemudian disebutkan pula kaum Musyrikin dan Kafir beranggapan bahwa dengan kenikmatan duniawi seperti harta dan keturunan dapat memutuskan ketergantungan mereka terhadap Allah Swt. Padahal kecintaan terhadap kenikmatan duniawi ini adalah hawa nafsu yang dihembuskan oleh setan dalam hati setiap manusia. Kenikmatan tersebut adalah sarana temporal kehidupan dunia dan harus menjadi gerbang penyelesaian yang baik menuju Allah Swt.
Kemudian dalam surat Ali Imran disebutkan pula bahwa rasa takut kepada Allah Swt adalah hal yang sangat penting dan menjauhkan diri dari kenikmatan-kenikmatan yang menyesatkan hingga dapat menggapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Surat Ali Imran juga mengandung beberapa hukum politis seperti haramnya menjalin tali persahabatan dengan kaum kafir dan musuh-musuh Allah Swt, haramnya pemutusan hubungan atau penjagaan jarak dengan orang-orang Mukmin. Dijelaskan pula masalah keamanan Ka'bah yang merupakan rumah yang aman untuk hamba-hamba Allah Swt. Selain itu, surat ini juga menjelaskan sejumlah masalah lainnya seperti penjelasan kehidupan Sayidah Maryam dan Nabi Isa as, doa-doa kaum Mukmin, dan berbagai masalah lainnya.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 282-286
Ayat ke 282
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ayat ini adalah ayat yang terpanjang dalam al-Quran dan berbicara soal hak manusia. Yaitu memelihara hak keuangan masyarakat. Menyusuli ayat-ayat sebelumnya mengenai hukum-hukum ekonomi Islam yang dimulai dengan memacu masyarakat supaya berinfak dan memberikan pinjaman dan dilanjutkan dengan mengharamkan riba, ayat ini menjelaskan cara yang benar bertransaksi supaya transaksi masyarakat terjauhkan dari kesalahan dan kedzaliman dan kedua pihak tidak merugi.
Syarat-syarat yang ditetapkan oleh ayat ini untuk transaksi adalah sebagai berikut:
1. Untuk setiap agama, baik hutang maupun jual beli secara hutang, haruslah tertulis dan berdokumen.
2. Harus ada penulis selain dari kedua pihak yang bertransaksi, namun berpijak pada pengakuan orang yang berutang.
3. Orang yang berhutang dan yang memberikan pinjaman haruslah memperhatikan Tuhan dan tidak meremehkan kebenaran dan menjaga kejujuran.
4. Selain tertulis, harus ada dua saksi yang dipercayai oleh kedua pihak yang menyaksikan proses transaksi.
5. Dalam transaksi tunai, tidak perlu tertulis dan adanya saksi sudah mencukupi.
Ayat ke 283
Artinya:
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dalam ayat-ayat sebelum ini, telah dikatakan bahwa Islam menganjurkan agar hak-hak milik masyarakat dipelihara. Setiap jenis transaksi bukan tunai atau pembayaran hutang haruslah tercatat dan dilangsungkan di depan dua saksi supaya tidak berlaku kesalahan atau bila salah dan seorang ada yang memungkiri, tidak tercipta kesulitan. Perhatian Islam terhadap persoalan ini sampai pada tahapan di mana dalam perjalanan pun, lakukanlah pesan ini dan jika kalian tidak menemukan penulis, maka kokohkanlah transaksi (jual-beli) itu dengan cara mengambil sesuatu dari pihak yang berutang sebagai jaminan.
Jaminan yang ada di tangan pihak piutang, adalah amanah dan si piutang tidak memiliki hak untuk memanfaatkan atau menggunakannya di jalan yang tidak benar, melainkan ia harus berupaya memelihara dan menjaganya agar ketika orang yang berhutang membayar pinjamannya, maka jaminannya itu dikembalikan kepadanya secara utuh. Orang yang berutang pada hakekatnya dianggap sebagai orang yang amanah sehingga diberikan pinjaman, maka ia harus membayar utangnya itu tepat pada waktunya, supaya orang yang memberikan pinjaman tidak memperoleh kerugian. Khususnya di tempat di mana orang yang berpiutang kepercayaannya kepada yang berutang sedemikian besarnya sehingga tidak meminta jaminan, maka dalam kondisi seperti ini, pihak yang berutang harus memandang Allah dan tidak memakan harta orang lain.
Penutupan ayat juga menganjurkan kepada orang-orang Mukmin secara umum supaya tidak berpendek tangan dalam menjelaskan hak-hak masyarakat, karena Allah Swt mengetahui segala apa yang ada di hati kalian dan menyembunyikan kebenaran, kendati dalam zahirnya diam dan manusia tidak melakukan suatu pun tindakan, sehingga merasakan berbuat dosa, namun sesungguhnya merupakan dosa yang paling besar, karena ruh manusia menjadi kotor karenanya.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Transaksi bukan tunai, janganlah ditegaskan atas janji lisan, melainkan dengan tertulis dan mengambil kesaksian dan sekiranya perlu, transaksi itu dikokohkan dengan mengambil jaminan.
2. Dengan jalan membayar hutang tepat pada waktunya, berarti kita telah memelihara kepercayaan dan keamanan ekonomi masyarakat terjaga.
Ayat ke 284
Artinya:
Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ayat ini memberikan peringatan kepada orang-orang Mukmin bahwa janganlah kalian pikir kalian akan diperhitungkan atas perbuatan-perbuatan dosa yang dilakukan dengan anggota jasmani seperti mata, kuping, mulut, telinga, dan tangan, melainkan Allah Swt tahu apa yang terlintas di hati kalian dan kalian akan disiksa karena dosa-dosa hati. Yang dimaksud oleh ayat ini adalah dosa-dosa yang secara prinsipnya memiliki dimensi kejiwaan dan dilakukan dengan pikiran dan jiwa, seperti keyakinan atau kepercayaan-kepercayaan yang kufur atau menyembunyikan hak rakyat telah diungkap pada ayat sebelumnya.
Namun, jika bisikan-bisikan setan terlintas di pikiran manusia atau bahkan memutuskan untuk berbuat dosa, selagi ia tidak melakukannya, maka ia tidak dikenai hukuman, akan tetapi pikiran untuk berbuat dosa itu sendiri secara lambat laun akan menggelapkan hati manusia dan menciptakan peluang untuk perbuatan dosa itu sendiri terjelma dalam bentuk nyata.
Dari ayat ini kita petik pelajaran bahwa manusia bukan hanya harus memperhatikan dan waspada terhadap mata dan telinganya, melainkan ia harus memperhatikan dan mewaspadai hati dan jiwanya agar kekejian dan kekotoran tidak menempati hatinya. Karena kalau sampai demikian, maka setan akan menguasainya dan jalan untuk melakukan segala jenis dosa terbuka lebar bagi manusia.
Ayat ke 285
Artinya:
Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali".
Dari sudut pandang Islam, dunia bagaikan sekolah yang di sepanjang sejarah Allah Swt telah mengutus para guru untuk hidayah dan mendidik serta membimbing para warganya. Para Nabi masing-masing dalam kelas sekolah ini telah memajukan manusia sampai pada titik di mana akal dan pikiran manusia memiliki kemampuan untuk memahami program Tuhan yang tersempurna dan Allah Swt telah mengutus Muhammad Saw dengan risalahnya. Dengan demikian, seorang Muslim meyakini semua nabi ilahi dan semua kitab samawi yang diturunkan oleh para malaikat dan tidak menerima pembedaan atau diskriminasi di kalangan para utusan Tuhan.
Ayat ke 286
Artinya:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".
Allah Swt menciptakan manusia berbeda-beda. Satu cerdas dan berpotensi besar, salah satunya kurang cerdas dan berpotensi sedikit, satu kuat, satunya lemah dan kurus. Harus diterima bahwa sebagian dari perbedaan-perbedaan ini adalah kelaziman penciptaan. Sementara apa yang dihadapi manusia dan sebagian lainnya disebabkan kezaliman segolongan manusia terhadap lainnya dan ketidakadilan sosial.
Sudah sewajarnya, perbedaan-perbedaan ini, baik benar maupun salah, meninggalkan pengaruh dalam kemampuan jasmani dan pikiran individu-individu. Jika Allah Swt menggantungkan harapan yang sama dengan semua perbedaan yang ada ini, maka ia telah melakukan kezaliman, dan Allah Swt terjauhkan dari perbuatan zalim. Oleh karena ini, hukuman dan ganjaran yang bergantung pada kadar taklif atau tugas, juga berbeda-beda. Dan Allah Swt pada Hari Kiamat memperhitungkan setiap orang bergantung pemahaman dan pengetahuannya tentang perintah-perintah agama, sebagaimana halnya Allah Swt berpijak pada keadilannya, jika manusia melupakan perintah yang wajib ataupun lantaran menghukumnya dan hanya dosa yang dilakukan atas dasar kesengajaan dan pengetahuan, akan menyebabkan hukuman.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Islam adalah agama yang mudah dan tidak membebani tugas yang berada di luar kemampuan dan Rasul Saw bersabda, "Saya telah diutus dengan agama yang mudah."
2. Hukuman dan pahala bergantung pada amal perbuatan dan amal mengikut niat dan tujuan, oleh karenanya perbuatan yang dilakukan atas dasar ketidaksengajaan atau lupa dan kesalahpahaman, tidak akan dikenakan hukuman dan sanksi.
3. Sikap Allah Swt terhadap manusia berdasarkan kemurahan dan rahmat ampunan. Oleh karenanya, jika manusia bertaubat dan menyesali dosa-dosanya, dosa-dosa manusia akan diampuni dan hati manusia akan kembali kepada kesucian setelah mengalami kekotoran.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 275-281
Ayat 275-276
Artinya:
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
Telah disebutkan bahwa Allah Swt dalam 14 ayat secara beruntun pada surat al-Baqarah menyeru orang-orang Mukmin agar berinfak dan menjelaskan kesan-kesan personal dan sosial. Alasannya, agar dari satu sisi menghidupkan jiwa kedermawanan dalam individu-individu dan mengurangi keterikatan mereka dengan dunia dan dari sisi lain kesenjangan serta perbedaan status sosial dapat dikurangi dan jiwa persaudaraan dan persamaan bisa ditegakkan dalam masyarakat Islam.
Kini kelanjutan dari ayat-ayat tersebut, al-Quran mengutarakan fenomena buruk "memakan riba" yang selain meluluhlantakkan keseimbangan ekonomi sosial, juga menggoyahkan keseimbangan jiwa orang yang memakan riba. Dari satu sisi, menyebabkan dendam dan kebencian orang-orang dhuafa' terhadap orang-orang kaya dan menyeret masyarakat ke lembah peledakan dan dari sisi lain, meninggalkan sejenis kegilaan bagi orang-orang yang memakan riba. Mereka yang tidak mengenali kecuali uang dan mas serta segala sesuatu bahkan emosi dan perasaan kemanusiaan dijualbelikan dengan uang.
Orang yang memakan riba tidak memanfaatkan uangnya untuk berperan dan berfungsi dalam produksi atau urusan pelayanan sosial, dan tanpa menggunakan pikiran atau tangannya. Mereka justru meminjamkan uang kepada orang miskin dan memerlukan, kemudian menagih lebih daripada jumlah uang yang dipinjamkan kepada orang yang meminjam. Hasil dari perbuatan ini pada akhirnya, yang lemah semakin lemah dan yang kaya semakin kaya. Dan ini adalah kezaliman yang paling tinggi pada hak orang-orang tertindas dan dengan demikian semua agama samawi mengharamkan riba dan orang-orang yang memakan riba dijatuhi sanksi.
Meskipun secara lahiriahnya riba menyebabkan bertambahnya kekayaan dan sedekah mengurangi harta kekayaan, namun pengaruh dan berkah harta ada di tangan Allah. Maka harta yang diperoleh dari jalan riba yang semestinya menyebabkan kebahagiaan dan kesenangan orang yang bersangkutan, karena disertai dengan kebencian orang-orang tertindas, telah mencabut keamanan jiwa dan harta dari orang yang memakan riba dan betapa mungkinnya menyebabkan hangus dan habisnya harta-harta asalnya. Lain halnya dengan orang-orang yang suka memberikan sedekah, dengan popularitas dan kecintaan masyarakat kepadanya, mereka berada dalam keadaan tenang dan damai dan membangun peluang bagi pertumbuhan dan kesejahteraan baginya.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Memakan riba menyebabkan hancurnya keseimbangan jiwa individu-individu dan keseimbangan masyarakat sampai pada tahapan dimana, sebagai ganti cinta kasih, tertanam kebencian dan sebagai ganti keadilan, tertanam kesewenang-wenangan sosial.
2. Islam adalah agama universal dan memiliki visi sosial. Dengan demikian, bagi urusan ekonomi rakyat, Islam memiliki program bukan hanya ibadah yang kering yang dipaksakan kepada rakyat dan melepaskan dunia mereka pada mereka sendiri.
3. Memakan riba sejenis ketiadaan syukur. Harta-harta yang diserahkan kepada kita tidaklah lebih dari amanah dan tidak menginfakkan harta-harta tadi kepada orang-orang miskin adalah tidak mensyukuri nikmat Tuhan yang mana kufur nikmat dapat menyebabkan kebinasaan.
Ayat ke 277
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Ayat ini mengenalkan orang Mukmin yang sejati adalah orang yang di samping menjalin hubungan dengan Khaliq dengan melaksanakan shalat, mereka memikirkan hubungan dengan makhluk dengan membayar zakat. Agama tidak dikenali sebatas kewajiban-kewajiban kering dan tak berjiwa, melainkan senantiasa berpikir untuk memberikan kebaikan kepada orang lain. Kita harap zakat dan infak semakin meluas di tengah-tengah masyarakat sehingga tidak tersisa tempat bagi orang-orang dzalim dan pemakan riba serta berkuasanya keadilan yang sejati.
Ayat ke 278-279
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
Manakala ayat berkenaan dengan riba diturunkan kepada Muslimin yang memiliki piutang dari hasil riba, makanya mereka bertanya kepada Rasul berkaitan dengan ini. Ayat ini lalu diturunkan dan Rasul Saw mengumumkan ditengah-tengah Muslimin mengumumkan bahwa semua kontrak berkaitan dengan riba adalah batal dan keluarga serta kerabat Rasul harus meninggalkan riba paling dahulu.
Dalam ayat sebelumnya, kita baca bahwa membantu orang-orang miskin dan memberikan utang kepada mereka, identik dengan memberi utang kepada Allah dan Allah Swt akan memberikan pahalanya. Ayat ini memberikan peringatan kepada orang yang melakukan kezaliman terhadap orang-orang miskin dengan jalan mengambil riba bahwasanya jika kalian tidak meninggalkan riba, maka Allah dan rasul-Nya akan bangkit membela para mustadh'afin dan memerangi para pelaku kezaliman.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Iman bukanlah hanya dengan puasa dan shalat, melainkan dengan menjauhi harta haram, adalah syarat iman dan indikasi takwa.
2. Islam menghormati kepemilikan, namun tidak mengizinkan orang-orang kaya menjajah dan mengeksploitasi.
3. Berbuat zalim dan mau dizalimi, kedua-duanya terkutuk. Memakan riba adalah terlarang dan demikian juga memberikan riba.
Ayat ke 280-281
Artinya:
Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).
Sebagai lanjutan ayat-ayat terdahulu, yang merangsang orang-orang Mukmin agar membayar infak dan melarang mereka mengambil riba, ayat ini menyinggung poin moral sehubungan dengan bukan hanya dalam utang kalian jangan mengambil riba, malah ketika dalam masa yang sudah dijanjikan orang yang berutang tidak dapat membayar maka berilah dia kesempatan, dan lebih mulia dari itu bebaskanlah utangnya itu dan ketahuilah bahwa pemberianmu ini tidak akan terbiar tanpa jawaban dan Allah Swt akan menggantinya di Hari Kiamat tanpa dikurangi. Jika anjuran-anjuran agama dilaksanakan dalam masyarakat, maka ketulusan akan bertambah berlipat ganda? Keperluan orang-orang miskin akan terpenuhi dan juga orang kaya akan terbebaskan dari kerakusan dan kebakhilan dan keterkaitan dengan dunia serta dinding antara sikaya dengan simiskin dapat diperkecil.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Masalah yang utama dalam infak dan memberikan utang adalah untuk mewujudkan kesenangan dan kelapangan bagi orang-orang miskin, maka tidak boleh orang kaya memberikan pinjaman membuat orang miskin itu kembali jatuh miskin dan tidak berkemampuan membayarnya.
2. Islam pendukung sejati orang-orang tertindas dan dengan diharamkannya riba dan dianjurkannya infak, kekosongan-kekosongan ekonomi masyarakat dapat terpenuhi.
3. Mencari keridhaan Allah Swt dan keridhaan Khalik lebih baik dari mencari penghasilan.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 270-274
Ayat ke 270-271
Artinya:
Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat zalim tidak ada seorang penolongpun baginya.
Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Satu dari perkara yang menjadi penghalang infak dikalangan masyarakat ialah orang-orang yang memberi infak mengharapkan terimakasih dan penghargaan orang lain kepadanya. Ayat ini menyatakan, biarpun orang lain tidak melihat perbuatanmu dan tidak berterimakasih, akan tetapi Allah Swt melihatnya dan mencatatnya. Bukankah kamu memberikan infak karena Allah? Maka mengapa kamu mengharapkan balasan dari masyarakat? Sebaik-baik motivasi untuk manusia melakukan perbuatan baik ialah dengan mengetahui bahwa Allah Swt melihat perbuatan-perbuatan baik tersebut.
Menurut al-Quran, tidak mempedulikan nasib kaum tertindas dan lemah merupakan satu kezaliman yang menghalang manusia dari mendapat bantuan dan pertolongan pada Hari Kiamat, serta menghapus peluang mandapatkan syafaat para auliya Allah Swt. Tentang bentuk infak, sesuai dengan riwayat, sebaik-baik zakat wajib dikeluarkan secara terang-terangan, akan tetapi sedekah yang mustahab atau sunat diberikan secara rahasia. Mungkin alasannya karena amalan wajib merupakan satu kewajiban umum dan biasanya dilakukan tanpa perasaan riya.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Allah Swt mengetahui infak kita, maka sebaik-baiknya kita memberikan harta yag terbaik pada jalan Allah dengan niat yang paling tulus.
2. Infak terkadang harus diberikan secara terang-terangan dan terkadang secara rahasia. Infak yang dilakukan secara terang-terangan bisa menjadi faktor pendorong kepada orang lain dan infak yang dilakukan secara rahasia menjauhkan manusia dari menunjuk-nunjuk dan riya serta memelihara harga diri orang yang menerima sedekah.
3. Infak merupakan cara untuk menghapus dosa-dosa. Untuk bertaubat dan kembali kepada jalan yang benar, terkadang seseorang harus merelakan hartanya sehingga Allah mengampuni dosa-dosanya.
Ayat ke 272
Artinya:
Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).
Sebagaimana yang terdapat pada kitab-kitab tafsir, Muslimin merasa ragu untuk memberikan infak kepada orang miskin yang musyrik. Ketika RasulullahSaw ditanya berkenaan hal ini, maka turun ayat ini menjelaskan, penerimaan terhadap agama tidak diperbolehkan dengan paksaan atau tekanan sehingga untuk mendapatkan sepotong roti seorang fakir harus menyatakan keislamannya dan baru bisa mendapat infak dari Muslimin. Bahkan sebagaimana limpahan karunia ilahi di dunia ini meliputi semua manusia baik mukmin maupun kafir, maka dalam membantu orang-orang yang memerlukan, orang-orang Mukmin juga harus mempertimbangkan orang-orang yang non-Muslim karena mereka juga adalah makhluk Allah Swt. Allah akan memberi ganjaran sepenuhnya kepada mereka.
Sudah tentu infak yang diberikan kepada non-Muslim tidak menjadi sebab untuk memperkuat kekufuran mereka dan mendukung tujuan serta cita-cita musuh, bahkan menyebabkan mereka mengenal jiwa cinta sesama manusia di dalam Islam.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Tiada paksaan dalam menerima agama, dan tiada siapapun bahkan Nabi tidak boleh memaksa orang lain utnuk menerima Islam.
2. Islam adalah agama kemanusiaan dan tidak menyukai kefakiran biarpun untuk kalangan non-Muslim.
3. Sekiranya motivasi infak adalah untuk mendapatkan keridhaan Allah Swt, maka manusia akan mendapatkan balasan perbuatan baiknya di dunia dan di akhirat.
Ayat ke 273-274
Artinya:
(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Sebagaimana yang telah dikatakan, Islam memberikan anjuran-anjuran guna keseimbangan di tengah-tengah masyarakat Islam, diantaranya adalah infak. Ayat ini menyinggung bahwa salah satu bagian penting infak mengenai orang-orang yang berpindah (muhajir) dan para mujahidin, di mana mereka dalam tujuan hijrah dan jihad, terpaksa mengalami penderitaaan dan kehilangan rumah tempat tinggal dan di negeri orang. Selain tidak membawa harta benda juga tidak memiliki peluang untuk memperoleh pekerjaan.
Tetapi meskipun demikian harga diri dan kehormatan mencegah mereka dari perilaku minta-minta kepada orang lain dan mereka tidak bersedia melontarkan keperluan dan kemiskinan mereka. Oleh karenanya, masyarakat secara umum menyangka mereka berkecukupan, disinilah orang-orang mukmin perlu mencurahkan kepedulian mereka terhadap saudara-saudara seiman yang menjaga harga diri dan kehormatan, dan semestinya orang-orang ini tidak dibiarkan hidup dalam kesusahan.
Dalam sejarah disebutkan, dimasa permulaan Islam sekelompok sahabat Rasul beserta beliau berhijrah dari Mekah ke Madinah, namun di Madinah mereka tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan. Karena orang-orang musyrikin Mekah telah memboikot kehidupan dan harta mereka. Masyarakat Madinah menampung sebagian dari mereka di rumah-rumah yang mereka diami dan memberikan makanan kepada mereka, namun sebagian dari mereka hidup di masjid Nabi di sebuah tempat bernama "shuffah" dimana ayat ini menganjurkan agar keadaan mereka diperhatikan.
Dari dua ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Allah Swt menempatkan hak bagi orang-orang miskin dalam harta orang-orang kaya.
2. Dalam masyarakat Islam seharusnya sebelum orang-orang miskin mengutarakan hajat atau keperluan mereka, dengan memperhatikan dan membantu mereka jauh sebelumnya bisa menjaga kehormatan orang-orang mukmin yang miskin dari menjadi hina.
3. Dalam kamus al-Quran orang fakir adalah orang yang tidak mampu dan mungkin untuk menjalankan roda kehidupan akibat kecacatan dan kelemahan tubuh seperti penyakit dan ketuaan atau faktor-faktor lainya seperti banjir dan gempa atau perang. Namun meskipun demikian, mereka memandang menjaga harga diri lebih wajib dari kecukupan material, hasilnya orang-orang yang meminta-minta dan mendatangi berbagai lapisan masyarakat bukanlah dikatakan fakir.
4. Allah Swt menjamin atau mengansuransikan masa depan orang-orang yang berinfak di jalan-Nya dari kemiskinan, dan tidak ada kekhawatiran buat mereka, seperti halnya mereka dengan bertawakal kepada Allah, tidak pernah menyesali segala yang diinfakkannya.
Asyura di Mata Ulama Al-Azhar
Dalam beberapa waktu terakhir tersebar berita soal penentangan al-Azhar dan kelompok Wahabi dan Salafi terhadap pelaksanaan peringatan Asyura oleh warga Syiah Mesir. Namun bagaimana sebenarnya pendapat al-Azhar terkait peristiwa Asyura dan tragedi di Karbala.
Berikut ini laporan kantor berita ABA Irak dikutip oleh FNA Senin (3/12).
Pengorbanan Sama dengan Kemenangan
Syeikh Mahmoud Asyur, seorang ulama terkemuka al-Azhar berpendapat, para penguasa zalim telah menistakan kebebasan manusia dan menentang perintah Allah Swt, dan seruan dan kebangkitan pertama dalam hal ini dilakukan oleh Imam Husein as melawan kezaliman dan orang-orang zalim untuk membenarkan jalan umat Islam dan beliau berkata: "Apakah kalian tidak melihat bahwa kebenaran tidak dtegakkan dan kebatilan tidak dicegah?"
Perilaku orang-orang fasid dan kebungkaman masyarakat di hadapan aksi mereka telah menghancurkan nilai-nilai ilahi dan memperluas nilai-nilai jahiliyah dalam umat Islam dan oleh karena itu Imam Husein as bangkit melawan para kaum zalim.
Kebangkitan Imam Husein as merupakan revolusi, perubahan dan islah terbesar dalam menghancurkan kefasadan. Kebangkitan Imam Husein as mengajarkan kepada kita bahwa pengorbanan setara dengan kemenangan dan darah dapat mengalahkan pedang, meskipun kemenangan tersebut memerlukan waktu.
Pengorbanan Adalah Kekuatan Abadi Melawan Kezaliman
Imam Husein as mengetahui kekalahan beliau secara fisik di Karbala, akan tetapi beliau rela menukarnya dengan manfaat maknawi; yaitu kemenangan yang diperoleh dengan darah suci beliau, keluarga dan para sahabat beliau. Darah-darah itu adalah menara yang menjadi pelajaran bagi seluruh insan bebas.
Umat Islam tidak dapat bangkit dari lelap kelalaiannya di hadapan kaum taghut yang berusaha memadamkan semangat perjuangannya, kecuali dengan pengorbanan, karena pengorbanan merupakan kekuatan abadi di hadapan kezaliman dan pengembalian nilai-nilai ilahi dalam kehidupan umat manusia. Oleh karena itu kita harus menghidupkan nilai-nilai kebangkitan huseini dalam diri, keluarga dan masyarakat kita, agar kita dapat menghadapi segala tantangan.
Umat Islam Diingatkan Pada Pelajaran Asyura dalam Bulan Muharram
Adapun Syeikh Mansour al-Rifai Ubaid, mantan wakil Syeikh al-Azhar mengatakan, "Siapa pun yang memperingati Muharram, sebenarnya sedang mengingatkan umat Islam pada luka berdarah di bulan ini atas kesyahidan Imam Husein as, dan siapa pun yang memperingati bulan Muharram, maka dia sedang mengingatkan kembali kepada umat Islam tentang pesan kepahlawanan Imam Husein as."
Apa yang terjadi di hari Asyura adalah pelajaran untuk mendidik umat dan manusia serta tazkiyah. Pelajaran terpentingnya adalah kehancuran kaum taghut yang merupakan sebuah nikmat besar seperti yang difirmankan Allah Swt:
« فَقُطِعَ دَابِرُ الْقَوْمِ الَّذِینَ ظَلَمُوا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِینَ»
Dari sini dapat dipahami bahwa Asyura merupakan hari terpenting dan termulia dalam sejarah yang di dalamnya salah satu sibol kezaliman termusnahkan dari muka bumi.
Setelah kesyahidan Imam Husein as, Allah Swt menetapkan kehinaan dan laknat kepada para pembunuh beliau hingga hari kiamat dan hari Asyura adalah hari terbongkarnya (kedok) para penjahat serta hari terbongkarnya seluruh kebengisan mereka di mata umat manusia. Inilah kehancuran hakiki, bukan kematian yang berarti hancurnya jasad.
Asyura adalah Ayyamullah
Seraya menjelaskan bahwa Asyura sepenuhnya dari kata islami yang tidak pernah ada di era jahiliyah, Syeikh Ubaid menyinggung ayat:
« وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَى بِآیَاتِنَا أَنْ أَخْرِجْ قَوْمَکَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَذَکِّرْهُم بِأَیَّامِ اللَّهِ. إِنَّ فِی ذَلِکَ لَآیَاتٍ لِّکُلِّ صَبَّارٍ شَکُورٍ»
Dan menjelaskan, "Qurtubi dalam tafsir ayat itu menulis bahwa maksud dari ayyamullah adalah nikmat Allah Swt kepada Bani Israil yang diselamatkan dari Firaun. Hasan Basri berpendapat bahwa bagian akhir ayat tersebut juga dapat dikaitkan dengan peristiwa yang sama yaitu hancurnya para kaum taghut yang salah satu buktinya adalah kehancuran Hajjaj bin Yusuf Tsaqafi."
Asyura termasuk ayyamullah, karena kehancuran Firaun hanya salah satu contoh ayyamullah, dan kehancuran Firaun adalah berita kehancurkan para Firaun di setiap masa dalam pertempuran antara kebenaran dan kebatilan.
Kesyahidan Imam Husein as, Awal Kehinaan Arab
Doktor Mahmoud Sabih, peneliti sejarah Ahlul Bait as berpendapat, "Asyura adalah hari pelajaran untuk kehancuran kaum zalim"
Peneliti sejarah Ahlul Bait as ini menyatakan, bahwa kesyahidan Imam Husein as adalah dimulainya kehinaan bagi kaum Arab dan Muslim seraya emngatakan, "Amr bin Ba'jah mengatakan; kehinaan pertama Arab adalah pembunuhan terhadap Husein bin Ali bin Abi Thalib (as) dan klaim Ubaidillah bin Ziyad."
Dijelaskannya, "Rasulullah Saw telah memberikan kabar bahwa umat beliau akan diuji dengan Ahlul Bait beliau (as) dan Ammarah bin Yahya bin Khaled bin Arfatah mengatakan; kami pada hari terbunuhnya Husein bin Ali (as) bertemu dengan Khaled bin Arfatah dan dia berkata kami mendengar dari Rasulullah Saw bahwa setelahku kalian (umat Islam) akan diuji dengan Ahlul Baitku (keluarga), dan sekarang umat Islam telah diuji, kaum arab dan Muslim telah terhinakan, penaklukan wilayah-wilayah non-Islam terhenti, serta serangan musuh terhadap umat Islam semakin meningkat."