
کمالوندی
Mushaf Fathimah as
Mushaf Fathimah as
Salah satu tuduhan yang ditujukan kepada Madzhab Syiah adalah bahwa syiah memiliki Quran selain Quran yang ada di kalangan Muslimin yaitu Mushaf Fatimah. Alasan dari tuduhan tersebut adalah bahwa Kitab Fatimah merufakan Mushaf dan Quran yang ada di tengah Kaum Muslimin juga disebut sebagai Mushaf. Padahal riwayat gamblang menjelaskan bahwa Mushaf Fatimah bukanlah bagian dari Quran ataupun menyamai al-Quran. Diriwayatkan dari Imam Shodiq as : “Mushaf Fatimah ada padaku, aku tidak berfikir bahwa Mushaf ini menyamai al-Quran namun dalam Mushaf tersebut terdapat pembahasan-pembahasan yang kita butuhkan untuk lebih mengenal Quran.”
Selain itu kata ‘Mushaf’ tidak terdapat dalam Quran maupun dalam Hadits Nabi. Jadi Mushaf Fatimah as adalah sesuatu yang lain dari al-Quran dan itupun tidak ada di tengah Kaum Syiah. Namun merupakan kitab yang berisi kandungan berupa seluruh kejadian dalam sejarah manusia dari awa hingga akhir penciptaan dan mencakup hadits-hadits yang beliau (Fatimah Az-Zahra as) dengar langsung dari ayahnya yang mulia dan putra-putranya meriwayatkannya setelah beliau wafat. Mushaf ini seperti Mushaf Aisyah dimana ia dan Istri-istri yang lainnya mendengar langsung dari Rosululloh saw.
Apa yang Dimaksud dengan Nashibi
Apa yang Dimaksud dengan Nashibi?
Apakah Syiah menganggap Ahlu Sunnah sebagai Nashibi atau tidak?
Jawaban ringkas : Nashibi adalah sebutan bagi orang-orang yang memusuhi Ahlul Bayt as dan atau mencaci dan menghina mereka. Adapun syiah sama sekali tidak menganggap Ahlu Sunnah sebagi Nashibi karena mereka juga mencintai keluarga nabi Muhammad saw dan mengkafirkan orang-orang yang memusuhi keluarga Nabi.
Jawaban komprehensif :
1. Dalam Quran dikatakan “Janganlah kalian mengatakan sesuatu yang kalian tidak ketahui…” (1) kenapa? Karena mata, telinga dan mulut kelak akan diperhitungkan dan dipertanggung jawabkan.
2. Masalah kecintaan kepada al Qurba atau Ahlul Bayt dan tidak memusuhi mereka merupakan kesepakatan dua golongan ini (Syiah dan Ahlu Sunnah) karena hal tersebut telah diperkuat baik itu oleh Quran ataupun Hadits. Adapun Quran dalam Firman-Nya : “Katakanla (wahai Muhammad)! Aku tidak meminta upah sepeserpun dari kalian keciali kecintaan kepada al-Qurba (Keluarga) ku.” (2) dan barang siapa yang mengamalkan suatu kebaikan maka Aku akan menambahkan kebaikan tersebut. Dalam Ayat yang lainnya (3) dan dalam riwayat disebutkan :
Kami jelaskan dalam dua bagian dari riwayat yang yang diambil secara umum.
1. Riwayat yang berkaitan dengan kecintaan kepada Ahlul Bayt.
· Zamakhsyari meriwayatkan bahwasanya Rosululloh saw bersabda : “Ketahuilah! Barang siapa yang mati dalam kecintaan kepada keluarga Muhammad maka ia mati dalam keadaan syahid.” (4), ketika ia meninggal maka ia telah diampuni, termasuk Mukmin yang bertaubat dan malaikat pencabut nyawa memberi kabar gembira tentang tempatnya kelak di surga begitu juga di dalam kubur ia akan melihat ada dua pintu menuju surga yang terbuka untuknya dan kuburannya penuh dengan Malaikat pembawa rahmat.
· Rosululloh saw bersabda : “Pengenalan terhadap keluarga Muhammad merupakan keselamatan dari neraka jahannam, kecintaan kepada mereka adalah jaminan utuk melewati shiratal mustaqim dan berwilayah kepada keluarga Muhammad saw adalah keamanan dari Adzab Allah swt.” (5)
2. Riwayat yang berkaitan dengan membenci dan memusuhi Ahlul Bayt.
· Rosululloh saw bersabda : “ketahuilah bahwa barang siapa yang mati dalam keadaan dipenuhi kebencian kepada keluarga Muhammad, maka dia mati kafir.” (6) dalam riwayat lain dikatakan, ia tidak akan pernah mencium wangi surga.
· Rosululloh saw. bersabda : “Ali adalah sebaik-baiknya manusia, maka barang siapa yang enggan menerimanya dia adalah kafir.” (7).
Setelah penjelasan muqodimah di atas, untuk jawaban untuk soal yang pertama yang telah disebutkan tadi adalah bahwa Nashibi memiliki 2 makna, yaitu :
1) Makna secara bahasa yaitu kelelahan dan kesulitan, pengorbanan atau usaha (faidza faroghta fanshob). (8)
2) Makna Istilah yaitu bahwa nashibi dalah sebutan bagi mereka yang memusuhi Ahlul Bayt as. atau mereka yang mencaci keluarga nabi saw atau memusuhi salah satu Imam dari 12 Imam Maksum yang diyakini mazhab Syiah Imamiyah. (9) Istilah ini diambil dari hadits yang diriwayatkan oleh Ahlul Bayt as. (10) dan sebagai contoh, disini kami bawa beberapa riwayat tersebut.
ü Abi Bashir meriwayatkan dari imam jafar ash-Shidiq as. bahwa beliau berkata : “Pemabuk diibaratkan sebagai penyembah berhala, dan memusuhi Ahlul Bayt lebih buruk dari pemabuk.” (11)
ü Diriwayatkan dari Imam Muhammad Baqir as bahwa beliau ditanya “Apakah perempuan Syiah bisa menikahi seorang Nashibi? Beliau menjawab : “tidak boleh, karena Nashibi adalah seorang kafir.” (12)
ü Dalam riwayat yang lain disebutkan : “Sesungguhnya Allah swt tidak menciptakan makhluk yang lebih najis dari pada seekor anjing, namun orang yang memusuhi Ahlul Bayt lebih buruk dari seekor anjing. (13) di tiga riwayat tersebut kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Nashibi itu adalah musuhnya Ahlul Bayt, disebutkan juga bahwa mereka Kafir dan najis dan perempuan Muslim tidak dibolehkan menikahi mereka.
Adapun pertanyaan kedua, apakah syiah menganggap Ahlu Sunnah merupakan Nashibi?
Perlu dikatakan bahwa Syiah sama sekali tidak menganggap mereka sebagai Nashibi karena beberapa alasan sebagai berikut :
1. Mayoritas Ahlu Sunnah (Selain Nashibi) meyakini kewajiban mencintai Keluarga Nabi berdasarkan Nash Quran dan Riwayat dari mereka yang sebelumnya telah disebutkan, dan Imam Syafi’i ra. adalah salah satu Imam besar ahlu Sunnah yang kebanggaannya adalah “Jika pecinta Keluarga Nabi merupakan Rafidhi, maka biarlah seluruh jin dan manusia bersaksi bahwa aku adalah seorang Rafidhi dan pecinta Ahlul Bayt.” (14)
2. Ahlu Sunnah pun menganggap menganggap kafir mereka yang memusuhi Ahlul Bayt Nabi, dan sebelumnya telah kita sebutkan riwayat yang berkaitan. Jadi bagaimana mungkin mereka (Ahlu Sunnah) seorang Nashibi.
3. Nashibi itu najis seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa hewan sembelihan mereka dan menikahi mereka adalah haram. Namun tidak ada satu pun fatwa tersebut yang ditujukan kepada Ahlu Sunnah, tapi dalam seluruh risalah amaliyah secara jelas bahwa hewan sembelihan mereka adalah halal, dibolehkan menikah dengan mereka dan seterusnya. Bahkan seluruh Ulama Syiah mengatakan bahwa mensholati dan menguburkan jenazah Muslimin (baik itu Syiah atau Ahlu Sunnah) adalah sesuatu yang wajib. (15)
Ringkasan dari jawaban atas pertanyaan pertama
Nashibi memiliki makna bahasa yang berarti kesulitan, kelelahan dan usaha pengorbanan. Dan memiliki makna secara istilah yang diambil dari riwayat-riwayat Ahlul Bayt as yaitu mereka adalah yang memusuhi dan selalu mencaci keluarga Nabi Muhammad saw.
Ringkasan dari Jawaban atas pertanyaan kedua
Syiah sama sekali tidak menganggap Ahlu Sunnah sebagai Nashibi dikarenakan mereka juga mencintai Ahlul Bayt dan menganggap kafir orang-orang yang memusuhi keluarga Nabi saw, juga seluruh Ulama membolehkan menikahi mereka dan wajib ikut serta dalam mensholati dan menguburkan jenazah mereka.
[1] QS. Al-Isro : 36
[2] QS. Asy-Syuraa : 23
[3] QS. Sabaa : 47 dan QS. Al-Furqon : 57
[4] Muhammad bi Umar Zamakhsyari, al-Kasyaf jilid 4 hal. 220 ‘cetakan Daarul Kitab al-Arabi tahun 1407 H/1987 M’
[5] Hafiz Sulaimani Qunduzi, Kanzul Ummal Fii Sunanil Aqwal wal Af’al Jilid 11 hal. 610 ‘cetakan Yayasan ar-Risalah, Beirut tahun 1405 H/1915 M’
[6] al-Kasyaf jilid 4 hal. 221
[7] Kanzul Ummal Fii Sunanil Aqwal wal Af’al Jilid 11 hal. 610 ‘cetakan Yayasan ar-Risalah, Beirut tahun 1405 H/1915 M’
[8] Raghib Isfahani dalam kitab Mufrodat Quran cetakan kedua tahun 1404 H hal. 494 diambil dari kalimat “نصب”.
[9] Kitab Risalah Tawdihul Masail Maraji’, pembahasan Kafida dan jenis-jenisnya; Urwatul Wutsqo, Sayyid Yazdi Jilid 1 Hal. Pembahasan Kafir (dalam bab Najis-najis); dalam berbagai Risalah masalah ke-117, 113 dan 111)
[10] Sebagian ahli bahasa mengartikan Nashibi sebagai kelompok yang memusuhi Amirul mukmini as, yang diambil dari beberapa riwayat; Ahmad Siyah, kamus Jami’ Arabi farsi cetakan ke-8, jilid 4 hal. 270 kalimat “نصب”
[11] Muhammad bin Hasan al-Hurr al-Amili, Wasailusyiah (cetakan Daru Ihyai Turots, Libanon) jilid 18 hal. 559 hadits no. 12)
[12] Ibid, bab 10 dari bab yang diharamkan untuk dinikahi, hadits no. 15
[13] Ibid, jilid 1 hal. 159, hadits no. 5
[14] Sulthan al-Waidhin, Shabha-e-Pishavar (darul Kitab Islamiyah, 37, 1376 h) hal. 64
[15] Risalah amaliyah seluruh marja’, dalam pembahasan Sholat Jenazah
Kriteria hadis shahih
Kriteria-kriteria Syiah dalam Menerima atau Menolak Hadits Apa?
Tanya : jika dalam sebagian kitab-kitab kami orang Syiah tidak memiliki sanad yang kuat dan tidak bisa dijadikan sandaran, bagaimana kita bisa menemukan hadits yang benar dan menjadikannya sebagai rujukan? Apa kriterianya dala menerima dan menolak sebuah hadits?
Jawab : Kitab Rijal salah satu ilmu yang berkaitan dengan Hadits yang dengan menggunakan kaidah-kaidah yang dibahas di dalamnya seseorang bisa menentukan hadits yang sanadnya utuh dan jelas. Dengan adanya bantuan dengan ilmu tersebut, kita bisa membedakan antara hadits shahih dengan hadits yang dhoif ataupun majhul.
Catatan : Salah satu kelebihan dari Mazhab Syiah adalah hanya menganggap Quran yang mutlak harus diterima dan tidak ada kitab-kitab hadits yang dianggap seperti itu. Namun saudara kita Ahlu Sunnah menganggap dua kitab hadits yaitu Shahih Bukhori dan Shahih Muslim harus diterima karena semua di dalamnya merupakan hadits yang shahih.
Memohon Syafaat dari Para Wali Allah4
Memohon Syafaat dari Para Wali Allah (bag. 4)
Apakah meminta pertolongan dari para wali Allah merupakan perbuatan syirik?
Manusia tidak memungkiri dalam hal kebutuhan meminta pertolongan kepada orang-orang yang masih hidup guna membantu menyelesaikan urusan-urusannya. Adapun dalil yang memperbolehkan meminta pertolongan kepada hamba Tuhan yang masih hidup yang memiliki mukjizat dan kemampuan luar biasa yang di luar nalar manusia tanpa perantara materi terdapat di dalam Kalam Ilahi : “…dan aku menyembuhkan orang yang buta semenjak lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang yang mati dengan seizin Allah;…” (QS. Ali Imron : 49) dan ayat : “Dan (ingatlah) ketika kau mampu menyembuhkan orang yang buta dan berpenyakit sopak dengan seizin-Ku,…” (QS. al-Maidah : 110) ayat ini merupakan dalil yang jelas dalam hal ini.
Adapun meminta pertolongan kepada ruh para Kekasih Allah merupakan masalah yang sangat penting dalam pembahasan ini. Kenapa? Karena Muslimin jaman sekarang tidak hidup pada masa Nabi dan para Imam maksum sehingga tidak mampu secara langsung meminta pertolongan kepada mereka sebagai perantara kepada Tuhannya. Dalam pembahasan ini , kita memahami 4 poin yang menunjukkan bolehnya meminta pertolongan kepada para Wali Allah swt :
1. Kekalnya Ruh setelah mati
2. Hakikat seorang manusia adalah ruhnya
3. Berhubungan dengan alam ruh adalah sesuatu yang mungkin dan bukan mustahil
4. Hadits-hadits shahih yang menunjukan keabsahan perbuatan tersebut
Pada masa Khalifah kedua Umar bin Khattab ra., masyarakat tertimpa kekeringan “Qaht”. Seorang laki-laki dating ke Kubur Rosululloh saw dan berkata : “wahai Rosululloh mohonkanlah hujan kepada Tuhanmu untuk umatmu yang tertimpa bencana.” Lalu pada malam harinya, Rosululloh dating kepada mimpi laki-laki tersebut dan bersabda : “Pergilah temui Umar dan sampaikan salamku padanya, katakanlah bahwa hujan akan segera turun.” Samhudi setelah menceritakan kejadian ini berkata : “merupakan satu kesaksian memohon hujan kepada Allah swt melalui Nabi, padahal beliau berada di alam barzakh. Dan tidak salah Rosululloh saw ketika berada di alam barzakh meminta sesuatu kepada Allah , begitu pun ketika beliau mengetahui ada seseorang yang meminta pertolongan kepadanya.” Hal ini jelas terdapat dalam banyak riwayat, jadi tidaklah masalah jika kita memohon sesuatu dari Nabi Muhammad saw seperti semasa hidupnya.
Memohon Syafaat dari Para Wali Allah Bagian3
Memohon Syafaat dari Para Wali Allah (bag. 3)
Apakah Allah swt memperbolehkan meminta pertolongan kepada para Wali dalam berbagai kesulitan?
Wahabi menganggap hal tersebut adalah haram berdasarkan dalil al-Quran surat
Fathir ayat 14 : « ان تدعوهم لا یسمعون دعاءکم» “Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar suaramu; …”
ghafir ayat 60 : « و قال ربکم ادعونی استجب لکم ان الذین یستکبرون عن عبادتی سید خلون جهنم داخرین» “Dan Tuhanmu berfirman : ‘berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahku akan masuk neraka jahannam.”
Dalam hal ini ayat lain pun terdapat dalam surat al-A'raf ayat 194 dan 197, Yusuf 106, al-Isra' 56.
Dalil-dalil di atas bisa di jawab dengan penjelasan di bawah ini :
Setiap ayat memiliki makna dzahir dan bathin, yang di maksud dari doa disana adalah ibadah bukan panggilan berbentuk ucapan ataupun permintaan kebutuhan benbentuk ucapan. Keseluruhan ayat di atas yang mengandung lafadz doa memiliki maksud ibadah, ini terkait berhala-berhala yang para penyembah berhala menganggap ke’Uluhiyah’an/ketuhanan mereka. Jadi, menjadikan ayat tersebut sebagai dalil atas bahasan kita dalam permohonan tanpa adanya unsur ibadah dan keyakinan akan ketuhanan adalah sesuatu yang mengherankan.
Oleh karena itu jika engkau mengatakan Ya Ali Ya Rasulallah Ya Zahra atau yang lainnya tidak masalah, tapi ini merupakan jenis permohonan kepada Allah melalui mereka dan ini adalah perbuatan terpuji. Kenapa? Karena mereka adalah hamba-hamba yang shaleh dimana Allah swt telah memilih mereka sebagai Nabi dan Imam/Pemimpin dan Allah swt telah berjanji untuk mengabulkan doa-doa para hambanya melalui doa lisan suci mereka. Hal tersebut terdapat di dalam quran surat an-Nisa ayat 64 “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohonkan ampun kepada Allah, dan Rosul pun memohonkan ampun untuk mereka, begitulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”.
Memohon Syafaat dari Para Wali Allah Bagian2
Memohon Syafaat dari Para Wali Allah (bag. 2)
Syafaat adalah kehendak mutlak yang berasal dari Allah swt bukan dari yang lainnya, seperti di syaratkan dalam al-Quran Q.S. Asy-Syu'ara ayat 80 yang berbunyi : « و اذا مرضت فهو یشفین» “dan ketika aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku”.
Kesembuhan yang dimaksud adalah dengan sebab-sebabnya yang dimana Allah Swt menciptakan sebab dan meletakkan pengaruh atau akibat dari setiap sebab tersebut. Dengan izin-Nyalah mereka bekerja dan dengan kehendak-Nya sebab tersebut terus memberikan pengaruh, seperti bajunya Nabi Yusuf as membuka penglihatan ayahnya Ya’qub as “Tatkala datang pembawa kabar gembira itu, maka diletakannya baju gamis itu ke wajah Ya’qub, lalu kembalilah dia bisa melihat…” (Q.S. Yusuf : 96).
Sudah jelas bahwa kesembuhan itu hakikatnya adalah dari Allah swt dan mengambil berkah dari sebuah baju sebagai perantara semata dalam kesembuhan. Begitupun obat yang dengan izin Allah menjadi perantara untuk kesembuhan.
Demikian juga ketika seseorang meminta kesembuhan dari Wali Allah, padahal dia tahu kesembuhan dari penyakit dan hidupnya orang mati dengan perantara mereka dengan izin Allah swt. Amal tersebut di perbolehkan dan sesuai dengan syari'at serta dengan ketauhidan.
Allah Swt melalui lisan nabi Isa as berfirman dalam surat Ali Imran ayat 49 “Dan (sebagai Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka) ‘sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa mukjizat dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; ...”
Memohon Syafaat dari Para Wali Allah Bagian 1
Memohon Syafaat dari Para Wali Allah
# Pengertian Ibadah
Ibadah merupakan ketundukan dan kepasrahan diri yang bersumber dari keyakinannya kepada Ketuhanan, Kekuasaan dan Kehendak mutlak-Nya dalam berbuat. Ini adalah pengertian bersifat fitrah yang diperkuat juga oleh al-Quran dan Hadits. Oleh karena itu, bukanlah suatu kesyirikan atau bentuk peribadatan jika seseorang merendah diri dan menunjukan ketundukannya di hadapan orang lain -yang tidak didasarkan kepada keyakinannya terhada Uluhiyah/Ketuhanan mereka, namun dikarenakan kedudukan mereka yang mulia yang diperoleh dari ketaatannya kepada Allah swt. Dalam Q.S. Anbiya : 26-27 Allah swt berfirman
« عباد مکرمون، لا یسبقونه بالقول و هم بامره یعملون»
“Mereka adalah hamba-hamba ynag mulia, mereka tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.”
Jadi perbuatan seperti mencium tangan Nabi saw, Imam Maksum, Ulama, Guru, Ayah dan Ibu, Quran dan yang lainnya bukanlah merupakan perbuatan syirik atau menyekutukan Allah swt.
Setelah pendahuluan di atas yang mengenalkan kepada kita tentang kriteria dalam beribadah, kita akan membahas beberapa amal dan perbuatan yang sudah biasa dikalangan Muslimin dan bukan hanya dikhususkan untuk Mazhab Syiah Imamiyah. Lalu kita akan membandingkannya sebagai neraca antara Ibadah dan Syirik sampai jelas apakah hal tersebut bertentangan dengan ketauhidan dan mengandung unsur kesyirikan atau tidak.
Dalam bahasan kali ini kita akan membahas beberapa poin di bawah ini secara ringkas :
- Apakah meminta pertolongan kepada Wali Allah merupakan perbuatan syirik?
Jawab : Syafaat adalah pertolongan dari sisi Allah swt untuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa memelihara hubungan mereka dengan Tuhannya, para Nabi dan para Kekasih-Nya meskipun omereka orang yang berdosa.
# Dalil Bolehnya Meminta Syafaat
1. Meminta syafaat sama saja meminta doa, dan meminta doa kepada orang soleh adalah sesuatu yang mustahab dan dianjurkan.
2. Dalam hal ini al-Quran menjelaskan tentang meminta ampunan melalui para kekasih-Nya. Allah berfirman :
‹‹ و لو انهم اذا ظلموا انفسهم جاءوك فاستغروالله واستغفرلهم الرسول لوجدوا الله تواباً رحيما ››
"… Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohonkan ampun kepada Allah, dan Rosul pun memohonkan ampun untuk mereka, begitulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” Q.S. An Nisa : 64. Di dalam ayat tersebut tidak dikhususkan kepada zaman para Nabi saja sebagaimana juga tertera dalam hadits dan sunnah para sahabat ra.
3. Hadits Nabi dan Jalan Para Sahabat
Tirmidzi dalam Shahihnya meriwayatkan sebuah hadits dari Anas ra yang berkata : "Saya meminta Nabi saw untuk memberikan syafaat/pertolongan di hari kiamat kelak." Lalu Nabi Muhammad saw bersabda : "Kelak saya akan memberikanmu syafaat." saya bertanya : "Kemana saya harus mencarimu?" Beliau saw menjawab : "Carilah Aku di Sirotol Mustaqim.
Hadits ini disepakati oleh kalangan muslimin, yang jadi topik pada bahasan kali ini adalah apakah merupakan perbuatan syirik ketika kita meminta syafaat/pertolongan dari seorang yang telah diberikan hak syafaat seperti jika kita mengatakan "yaa Rasulalloh syafaatilah kami"?
Kelompok wahabi menganggap bahwa itu adalah prbuatan syirik. Yang menjadi dalil mereka adalah:
1. Perbuatan ini adalah perbuatan para musyrikin karena mereka meminta syafaat kepada berhala, sbagaimana disebutkan juga dalam ayat al-Qur'an.
Jawab : Quran menganggap mrka menyekutukan Allah swt bukan di karenakan mereka meminta pertolongan berhala tetapi karena memang mereka menyembah berhala.
2. Syafaat hanya hak periogatif Allah swt seperti yang ada dalam Quran Surat az-Zumar ayat 43-44 : “Bahkan mereka mengambil pemberis syafaat selain Allah. Katakanlah : “Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatupun dan tidak berakal?” Katakanlah : “Hanya kepunyaan Allah syafa’at itu semuanya…””
Jawab : Allah telah memberikan izin kepada sekelompok hambanya untuk memberikan syafaat dengan syarat-syarat tertentu, seperti disebutkan dalam Quran Surat al-Isra. Quran menyebutkan maqam Mahmud kepada Nabi saw dan semua Mufassir menafsirkan hal tersebut dengan syafaat.
3. Meminta syafaat kepada orang yang sudah meninggal merupakan perbuatan yg sia-sia, dalam Quran disebutkan surat Fathir ayat 22 :
« ان الله یسمع من یشاء و ما انت بسمع من فی القبور».
“… Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.”
Jawab : Kami tidak berbicara kepada jasad orang yang sudah meninggal, tapi kepada ruh suci dari hamba-hamba shaleh yang hidup di alam Barzakh. Dan kita menyampaikan salam penghormatan kepada ruh-ruh suci yang penuh cahaya dan menziarahi mereka serta meminta syafaat/pertolongan mereka.
Para sahabat memohon syafaat kepada Nabi Muhammad Saw setelah wafat beliau dan diriwayatkan ketika beliau meninggal, khalifah pertama Abu Bakar ra membuka penutup wajah nabi Saw dan menciuminya Lalu dia berkata : “ayah ibuku sebagai tebusanmu kau memiliki hidup dan mati yang bersih, ingatlah kami di sisi Allah swt.” (Kasyful Irtiyab hal. 65)
Dialog Imam Sajjad as dengan seorang lelaki tua penduduk Syam
Dialog Imam Sajjad as dengan seorang lelaki tua penduduk Syam
Kebenaran Ahlul Bait as
Dalam tragedi Karbala, Imam Sajjad as beserta rombongannya memasuki kota Damaskus sebagai tawanan. Seorang lelaki tua dari penduduk Syam menghampiri Imam Sajjad as dan rombongannya kemudian berkata : “Segala puji dan syukur atas Tuhan yang telah membinasakan kalian, membebaskan kota-kota kalian dari laki-laki kalian dan membuat Amirul Mukminin (Yazid) berkuasa atas kalian.”
Beginilah Imam Sajjad as berdialog dengan seorang lelaki tua dari kalangan muslimin yang tidak sadar itu.
Imam as : “Wahai orang tua, apakah engkau membaca Al-Qur’an?”
Orang tua : “Tentu.”
Imam as : “Apakah emgkau memahami dengan baik arti dari ayat yang mana Tuhan berfirman :
“قُل لا اَسْئَلُكُمْ عَلَیْهِ اَجراً اِلاَّ الْمَوَدَّهَ فِی الْقُربی “ : “Katakanlah : “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kecintaan kepada Al-Qurba(keluarga).””” (surat Ash-Shura : 23)
Orang tua : “iya, aku membaca ayat ini,”
Imam as : “Keluarga Nabi saw dalam ayat ini adalah kami. Wahai orang tua! Apakah engkau membaca ayat ini yang ada di surat Al-Isra (ayat 26) : “وَآتِ ذَالْقُربی حَقَّهُ” : “Dan berikanlah kepada keluarga akan haknya”.
Orang tua : “iya, aku membacanya.”
Imam as : “Keluarga dan kerabat Nabi saw dalam ayat ini adalah kami. Wahai orang tua apakah engkau membaca ayat ini (Al-Anfal : 41) : ” وَاعْلَمُوا اَنَّما غَنِمْتُمْ مِنْ شَیء فَاِنَّ لِلّهِ خُمُسَهُ وَ لِلرَّسُولِ وَلِذِی الْقُربی” : “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul dan keluarga Rasul…””
Orang tua : “Iya, aku membacanya”
Imam as : Keluarga Nabi as yang dimaksud dalam ayat ini adalah kami. Wahai orang tua, apa kau membaca ayat ini :” اِنَّما یُریُد اللهُ لِیُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَیْتِ وَیطَهِّركُمْ تَطْهیِراً” : “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian hai ahlul bait dan membersihkan kalian sebersih-bersinya”
Orang tua : “Iya, aku juga membacanya”
Imam as : “Kami adalah keluarga yang mana Allah swt menurunkan ayat itu (ayat tathir) berkenaan dengan keutamaan kami.”
Ketika itu laki-laki tua itu terdiam, menemukan kebenaran dan tanda-tanda penyesalan atas apa yang telah dia katakan tampak di wajahnya. Setelah beberapa saat berkata kepada Imam Sajjad as : “Demi Tuhan, benarkah kalian adalah yang sebagaimana kau jelaskan?”
Imam as : “Demi Allah dan demi hak kakekku Rasulullah saw, kami adalah keluarga tersebut.”
Lelaki tua itu setelah mendengar ucapan Imam, berubah dan menangis lalu mengangkat tangannya ke langit dan berkata : “Ya Allah, kami berlepas diri dari musuh-musuh ahlul bait baik kalangan jin dan manusia.” Saat itu pula dia bertaubat di hadapan Imam Sajjad as.
Berita tentang taubatnya lelaki tua itu sampai ke Yazid.
Yazid memerintahkan untuk menggantung lelaki tua tersebut, dan lelaki tua itupun akhirnya syahid.
-Luhuf Sayyid bin Thawuus hal 177 & 178
Siapa sajakah yang bersedekap dan siapa sajakah yang tangannya lurus ketika shalat ?
Siapa sajakah yang bersedekap dan siapa sajakah yang tangannya lurus ketika shalat ?
Meletakan tangan kanan diatas tangan kiri (bersedekap dalam shalat) merupakan perkara yang sangat masyhur ke sunnahannya di tiga mazhab dari empat mazhab ahlu Sunnah :
Para pengikut Hanafi berkeyakinan bahwa : bersedekap dalam shalat adalah Sunnah dan bukan wajib, bagi laki-laki alangkah baiknya jika meletakan sedekapnya di bawah pusar, sementara bagi perempuan diatas dadanya.
Para pengikut Syafi’i berkeyakinan Bahwa : bersedekap dalam shalat bagi laki-laki dan perempuan adalah Sunnah, dan alangkah baiknya jika sedekapnya diletakan diantara dada dan pusar, dan agak condong ke arah kiri.
Para pengikut Hanbali berkeyakinan bahwa : bersedekap adalah Sunnah, dan alangkah baiknya jika sedekapnya itu diletakan di bawah pusar.
Beda halnya dengan para pengikut Maliki yang berkeyakinan bahwa : meluruskan tangan dalam shalat wajib adalah Sunnah.
Bahkan sebelum para pengikut Maliki, beberapa orang juga mengatakan hal sama. Diantaranya adalah: Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Musayyib, Sa’id bin Jubair, Atho, Ibnu Juraih, Nakha’i, Hasan Bashri, Ibnu Sirin, dan beberapa kelompok dari fuqaha (ahli fiqih).
Diriwayatkan dari Imam Auzaa’i bahwa orang yang hendak shalat boleh memilih antara sedekap atau meluruskan tangannya.[1]
Adapun yang masyhur dalam mazhab Syi’ah Imamiyah bahwa sedekap dalam shalat adalah haram dan membatalkan shalat, dan sangat sedikit dari para fuqaha (ahli fiqih) syiah yang mengatakan bahwa sedekap itu makruh, diantaranya Abu Shilaah Halabi dalam al-kaafi.[2]
[1] Muhammad Jawad Mughniyah: Al-Fiqh alaal Madzahibil Khamsah, hal 110, dan bisa dilihat juga (Risalah mukhtasharah as-sadl) karya Dr. Abdul Hamid, hal 5.
[2] Muhammad Hasan Najafi, jilid 15 hal 11-16.
Apa itu Taqiyyah
Apa itu Taqiyyah ?
Taqiyyah berdasarkan akar katanya, berasal dari kata «وقاية» yang memiliki arti penjagaan diri, seseorang atau sesuatu dari gangguan dan bahaya musuh. Oleh karena itu pengertian taqiyyah adalah seseorang melakukan sebuah perbuatan sedemikian rupa sehingga dengan perbuatannya itu mencegah gangguan musuh terhadap jiwa, harta dan harga diri seorang muslim. Taqiyyah memiliki bentuk yang bermacam-macam, salah satu bentuknya adalah taqiyyah dari tekanan dan ancaman musuh, seperti halnya pada awal-awal sejarah islam, orang-orang kafir Quraisy memaksa Ammar untuk mengucapkan kalimat-kalimat yang mengandung kekufuran, dan diapun akhirnya mengucapkan kalimat-kalimat itu sedangkan hatinya dipenuhi dengan keimanan.
Mengingat poin ini sangatlah diperlukan, bahwa dalam sebagian kondisi jika seseorang bertaqiyyah, dasar-dasar agama akan berada dalam bahaya atau sebagian maslahat-maslahat yang lebih penting menghilang, maka dalam hal ini bukanlah tempat yang cocok untuk taqiyyah.
Apa tolok ukur taqiyyah ?
Taqiyyah memiliki arti menutupi keyakinan batini dan menyembunyikan keimanan ketika berhadapan dengan para penentang dengan tujuan mencegah kerugian-kerugian yang bersifat duniawi maupun maknawi (agama), dan merupakan salah satu dari kewajiban-kewajiban setiap muslim yang memiliki dasar dalam Al-Quran. Taqiyyah dari sudut pandang Al-Quran Al-Majid dalam masalah ini memiliki beberapa ayat berkaitan dengannya yang mana sebagian darinya akan kami bawakan.
a. لايتخذ المومنون الكافرين اولياء من دون المومنين و من يفعل ذلك فليس من اللّه في شي ء الا ان تتقوا منهم تقاة
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena menjaga diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.” (Ali imran : 28)
Ayat ini dengan jelas menunjukan hakikat tidak bolehnya berteman dengan orang kafir, kecuali dengan alasan menjaga diri dan menangkal bahaya, yang mana dalam kondisi seperti ini secara Dzhohiriah bisa menampakan pertemanan dan akur dengan mereka.
b. مـن كـفـربالله مـن بـعد ايمانه الا من اكره و قلبه مطمئن بالايمان و لكن من شرح بالكفر صدرا فعليهم غضب من اللّه و لهم عذاب عظيم
“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman, akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (An-Nahl : 106)
Para mufassir, berkenaan dengan Sya,ne nuzul (situasi ketika ayat diturunkan) mengatakan bahwa suatu hari Ammar bin Yasir beserta ayah dan ibunya tertangkap oleh musuh, orang-orang kafir itu menginginkan mereka meninggalkan islam dan menerima kesyirikan dan kekafiran. Orang tua Ammar kedua-duanya bersikukuh atas ketauhidan Tuhan dan risalah Nabi, oleh karena itu salah satunya gugur syahid dan yang satunya lagi menjadi bahan siksaan musuh-musuh islam, akan tetapi Ammar bertolak belakang dengan keinginan hatinya, dia bertaqiyyah, dan mengucapkan apa-apa yang telah diucapkan oleh orang-orang kafir itu, lalu diapun terbebas.
Ketika dia sampai didekat Rasulullah saw, dia sangat sedih dan gelisah atas ucapannya. Melihat hal ini, Nabi saw menenangkannya, dan ayat yang tadi telah disebutkanpun turun. Berdasarkan ayat ini dan perkataan para mufassir jelaslah bahwa menyembunyikan keyakinan batin dengan tujuan menjaga diri dan mencegah kerugian-kerugian materi dan maknawi, pada jaman Nabipun telah terjadi dan telah diterima oleh islam.
Taqiyyah dalam pandangan Syiah. Sejak masa pemerintahan-pemerintahan dzalim Bani Umayyah dan Bani Abbas sepanjang sejarah, mereka memerangi orang-orang Syiah dan memfokuskan diri mereka masing-masing untuk membantai mereka. Orang-orang syiah, berdasarkan arahan Al-Quran bertaqiyyah dan menyembunyikan akidahnya sendiri, dan dengan cara ini mereka bisa menyelamatkan diri dan saudara-saudara muslim lainya dalam kondisi sulit tersebut. Jelas juga bahwa dalam situasi terjepit, terdesak dan terdzalimi seperti itu tidak bisa dibayangkan ada jalan keluar lain lagi dari badai kedzaliman yang mengintimidasi Syiah hingga lenyap. Oleh karena itu dalam keadaan dimana para penguasa dzalim tidak memusuhi orang-orang Syiah dan pembantaian mereka tidak dijadikan asas pemerintahannya, maka tidak ada alasan untuk bertaqiyyah bagi orang-orang Syiah. Yang perlu diingat adalah Taqiyyah tidak dikhususkan bagi orang-orang syiah, tapi bagi kaum muslimin yang lainnyapun ketika berhadapan dengan musuh yang menumpahkan darah, yang menentang semua madzhab islam (seperti Khawarij dan pemerintah-pemerintahan dzalim yang melakukan semua perbuatan-perbuatan haram) dimana tidak memiliki kemampuan menghadapi mereka, maka dengan tameng Taqiyyah mereka berlindung, dan menutupi keyakinan batinnya demi menjaga diri (jiwa). Dari beberapa hal yang telah lalu, bisa diambil kesimpulan bahwa :
1) Taqiyyah memiliki asas dalam Al-Quran dan merupakan cara yang digunakan oleh sahabat Nabi saw, dan penerimaan nabi adalah saksi yang jelas atas diperbolehkannya taqiyyah pada awal-awal sejarah islam.
2) Alasan bertaqiyyahnya Syiah adalah pencegahan terhadap pembantaian tanpa belas kasih terhadap orang-orang Syiah dan penangkal badai kedzaliman pada masa pemerintahan Bani Umayah dan Bani Abbas yang hendak melenyapkan madzhab ini.
3) Taqiyyah tidak khusus bagi kelompok Syiah, melainkan di tengah-tengah seluruh kaum muslimin.
4) Taqiyyah tidak hanya untuk menjaga diri ketika berhadapan dengan orang-orang kafir dan menyembunyikan akidah islam dari orang-orang musyrik, melainkan tolok ukurnya secara umum adalah menjaga keselamatan kaum muslimin. Dan menyembunyikan keyakinan batin merupakan hal yang lazim ketika berhadapan dengan musuh yang tak segan untuk menumpahkan darah yang mana dia tidak memiliki kekuatan untuk menghadapinya dan syarat-syarat untuk melawannyapun belum tepenuhi.
Kepada dalil Al-Quran manakah Syiah meyakini diperbolehkannya taqiyyah ?
Allah swt dalam surat Ali Imran ayat 28 berfirman :
«لايتخذ المومنين الكافرين اولياء من دون المومنين و من يفعل ذلك فليس من اللّه في شي ء الا ان تتقوا منهم تقيه و يحذركم اللّه نفسه و الي اللّه المصير»
Ayat ini dengan jelas menunjukan diperbolehkannya Taqiyyah.
Dan juga dalam ayat menceritakan kisah Ammar beserta ayah dan ibunya surat An-Nahl ayat 106 menunjukan diperbolehkannya syariat :
«من كفر باللّه من بعد ايمانه الا مـن اكـره و قلبه مطمئن بالايمان و لكن من شرح بالكفر صدرافعليهم غضب من اللّه و لهم عذاب عظيم»
Akal juga menerima pernyataan di atas. Karena tujuan sang pemberi syariat adalah menampakan kebenaran dan kelanggengannya, dan terkadang dengan taqiyyah ataupun berjalan bersama musuh-musuh agama dan para penentang kebenaran, lebih baik dalam menjaga agama dan kebenaran.
Begitu pula dengan kisah seorang yang beriman dari keluarga Firaun. Dengan jelas ditegaskan dalam Al-Quran bahwa dia menutupi dan menyembunyikan keimanannya, dan ini adalah sebuah dalil lagi atas diperbolehkannya taqiyyah.
«وَ قالَ رَجُلٌ مُؤْمِنٌ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إيمانَهُ أَ تَقْتُلُونَ رَجُلاً أَنْ يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ وَ قَدْ جاءَكُمْ بِالْبَيِّناتِ مِنْ رَبِّكُم»
“Dan berkata seorang laki-laki dari keluarga Firaun yang menyembunyikan imannya berkata : “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan : “Tuhanku ialah Allah padahal dia datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari tuhanmu…”””
Apakah para Nabi pernah bertaqiyyah ?
Taqiyyah memiliki beberapa macam, hanya taqiyyah karena takutlah satu-satunya bentuk taqiyyah yang tidak ada dalam proses dakwah dan tablig para Nabi. Namun, taqiyyah memiliki bentuk yang lain seperti taqiyyah untuk memperoleh kecintaan dan menutupi maksud. Kehidupan para Nabi secara khusus Nabi akhir zaman dipenuhi dengan jenis taqiyyah tersebut, seperti halnya dalam beberapa kejadian ketika hendak maju kemedan perang, beliau menyembunyikan rencananya, konsep-konsep peperangan beliau, sepenuhnya dirahasiakan. Dan proses penyembunyian yang merupakan satu bentuk dari taqiyyah dalam setiap tahapan digunakan, terkadang untuk menjelaskan sebuah hukum beliau memakai tahapan yang berbentuk taqiyyah. Bagaimanapun juga, taqiyyah diterima oleh setiap orang yang berakal dimanapun dan para wali Allah juga untuk sampai kepada tujuan-tujuan suci mereka, dalam sebagian tahapan-tahapannya mereka bertaqiyyah.
Bagaimanakah pandangan Khawarij tentang taqiyyah dan apa kritik terhadapnya ?
Penganut madzhab Azariq (salah satu kelompok Khawarij) berkata bahwa taqiyyah baik dalam ucapan maupun perbuatan adalah haram. Di saat yang sama kelompok Najdiyeh (salah satu kelompok khawarij) meyakini bahwa taqiyyah diperbolehkan. Namun, betapa banyak berita yang menyatakan bahwa semua kelompok Khawarij meyakini bahwa taqiyyah itu haram sekalipun seorang mukmin dalam keadaan terdesak dan nyawanya terancam (Imam Abduh : Al-Manar 3/280 berdasarkan tulisan muridnya sayyed Muhammad Ridho Rasyid, dan yang dia maksud adalah madzhab Azariq bukan Najdiyeh). Penelitian : Taqiyyah berdasarkan pembagian hukum yang terbagi menjadi lima, maka sebagiannya adalah wajib dan bagian yang lainnya adalah haram. Taqiyyah jika untuk menjaga nyawa, harta dan kehormatan maka hukumnya wajib, namun jika taqiyyah malah menyebabkan keburukan besar, seperti ; hilangnya agama dan tertutupinya kebenaran bagi generasi yang akan datang, maka hukumnya haram. Syeikh Mufid berkata : “Taqiyyah dalam agama diperbolehkan dalam keadaan nyawa terancam, dan terkadang dalam beberapa kondisi untuk menjaga harta juga kemaslahatan yang lainnya.”
Bagaimanakah akidah Syiah terhadap taqiyyah ! Bukankah taqiyyah itu sama halnya munafiq ?
Manusia adalah sebuah wujud yang bersifat sosial, yang senantiasa dalam kehidupannya -supaya sampai pada tujuan- berhadapan dengan banyak permasalahan, dan betapa banyak pula bahaya yang mengancamnya. Oleh sebab itu yang akan selalu ada dalam benaknya adalah “Bagaimana bisa menjaga nyawa, harta dan kehormatannya tanpa meninggalkan akidahnya ?” asas ini berlaku bagi setiap muslim, karena orang-orang musyrik -yang mana mereka selalu melihat bahwa agama atau keyakinan agama menutup jalan tujuan dan keserakahan mereka- menjadikan agama sebagai objek yang mereka perangi. Al-Quran memberikan arahan yang masuk akal yang mana setiap orang berakal dan para pemikir memakainya, supaya terlepas dari ancaman tadi. Dan hal itu adalah menyembunyikan akidah ketika berhadapan dengan bahaya, yang kemudian hal itu disebut dengan taqiyyah.
Berdasarkan hal ini maka taqiyyah merupakan penyembunyian akidah demi menjaga nyawa dan keselamatan keyakinan.
Al-Marhum syekh Mufid, salah seorang tokoh dan pembesar Syiah, berkenaan dengan taqiyyah dia berkata : “Taqiyyah adalah menutupi akidah dan menyembunyikannya dari para penentang karena takut dan mencegah kerugian duniawi maupun agama.”
Syekh Anshari juga berkenaan dengan taqiyyah berkata : “Taqiyah yakni seorang muslim menjaga dirinya dari gangguan orang lain dengan cara sepakat dengan ucapan dan perbuatan mereka yang bertolak belakang dengan kebenaran.” Dengan mengamati makna taqiyyah maka jelaslah bahwa taqiyyah seutuhnya bertolak belakang dengan kemunafikan yang berarti menampakan keimanan dan menyembunyikan kekafiran. Dari sisi yang lain, menyembunyikan akidah supaya sampai pada tujuan yang penting, merupakan sebuah pekerjaan yang senantiasa dilakukan oleh orang-orang berakal. Dan hal ini membuat pentingnya taqiyyah yang merupakan tameng untuk melawan secara lebih dalam, menjadi lebih jelas bagi kita.
Taqiyyah selain sandaran akal (logika), juga memiliki sandaran dalam Al-Quran, dan dalam beberapa ayat dijelaskan mengenai beramal dengan taqiyyah yang berperan sebagai jalan keluar yang masuk akal dan diterima, seperti beberapa contoh dibawah :
1) من كفر باللّه من بعد ايمانه الا مـن اكـره و قلبه مطمئن بالايمان و لكن من شرح بالكفر صدرافعليهم غضب من اللّه و لهم عذاب عظيم
Para mufassir baik Syiah maupun Sunni berkenaan dengan Sya’ne nuzulnya ayat ini, menjelaskan bahwa ayat ini turun dan menceritakan tentang sekelompok muslimin pada awal-awal lahirnya islam yang dipaksa untuk menyatakan syirik dan kekafiran. Mereka adalah Ammar, Yasir, Sumayyah, Shahiib dan Bilal. Yasir dan Sumayyah yang pada saat itu bersikukuh dan tidak mengetahui diperbolehkannya berikrar dan menyatakan kekafiran, mereka mendapatkan penyiksaan yang sadis hingga akhirnya sampai pada kesyahidan. Namun Ammar yang saat itu masih muda, dia melakukan apa yang diinginkan oleh orang-orang musyrik, sementara hatinya dipenuhi dengan kecintaan dan keimanan kepada Allah swt dan Nabi-Nya. Berita tentang pernyataan kekafiran ini sampai ketelinga kaum muslimin, sebagian mereka menganggap Ammar sebagai seorang kafir dan mereka berkata : “Ammar telah meninggalkan syariat islam.” Tapi Nabi saw berkata : “Tidak demikian, Ammar dari ujung kepala hingga ujung kakinya dipenuhi dengan keimanan dan keimanan itu telah bersatu dengan kulit dan dangingnya.”
2) لايتخذ المومنين الكافرين اولياء من دون المومنين و من يفعل ذلك فليس من اللّه في شي ء الا ان تتقوا منهم تقيه و يحذركم اللّه نفسه و الي اللّه المصير
Banyak mufassir bahkan dari kalangan Ahlu Sunnah menggunakan ayat ini sebagai sandaran hukum taqiyyah.
3) وَ قالَ رَجُلٌ مُؤْمِنٌ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إيمانَهُ أَ تَقْتُلُونَ رَجُلاً أَنْ يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ وَ قَدْ جاءَكُمْ بِالْبَيِّناتِ مِنْ رَبِّكُم
Imam As-Shadiq as berkata : “Taqiyyah adalah wasilah penjagaan (jimat) bagi seorang mu’min.” Sebagaimana taqiyyah dalam Al-Quran dan riwayat para Ma’sum merupakan pelindung (tameng), Imam As-Shadiq juga dalam riwayat lain berkata : “Taqiyyah adalah perisai Allah di atas bumi ini, karena jika seorang mu’min dari keluarga Firaun menampakan imannya, maka dia akan terbunuh.”
Dalam sejarah perjalanan Ahlul Bait as juga kita menyaksikan bahwa beramal secara sembunyi-sembunyi dan bertaqiyyah merupakan sebuah taktik, contoh : bergeraknya Nabi saw tanpa sepengetahuan orang pada malam hari dari Mekkah ke Madinah, bersembunyi di goa Tsur, berangkatnya Imam Husein as pada malam hari dari Madinah ke Mekkah kemudian dari Mekkah ke Karbala, semua ini adalah bentuk dari penyembunyian akidah supaya sampai pada tujuan dan terselamatkannya nyawa.
Dengan mengamati pernyataan di atas bisa diambil kesimpulan bahwa taqiyyah atau menyembunyikan akidah untuk menjaga hal yang sangat penting seperti nyawa, harta dan kehormatan, adalah sebuah asas hukum Qur’ani yang selalu dikerjakan oleh orang-orang berakal. Dan bagi orang-orang Muslim, mengamalkannya demi sampai pada tujuan yang lebih penting, adalah hal yang masuk akal. Dari sisi yang lain, setiap manusia menggunakan dan mempraktekannya dalam jalan menuju tujuan-tujuan sekundernya, oleh sebab itu taqiyyah tidak hanya dimiliki oleh Syiah.
Dengan melihat surat Al-An’am ayat 68 Allah swt berfirman kepada Nabi saw : “Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokan ayat kami, maka tinggalkanlah mereka…” apakah ini bukti bahwa tidak adanya kebolehan taqiyyah bagi para pemuka agama atau dengan kata lain dimanakah kedudukan taqiyyah ?
Syiah tidak pernah berkata bahwa dalam segala hal harus bertaqiyyah, justru dalam beberapa hal taqiyyah diharamkan. Keharusan bertaqiyyah terdapat dalam hal-hal yang dimana taqiyyah atau menyembunyikan kebenaran lebih banyak memberikan manfaat dibanding menampakkannya, dan taqiyyah juga dapat mencegah bahaya dan malapetaka.
Sebuah pertanyaan : Saudara-saudara Ahlu Sunnah yang pada saat ini mereka berada dipenjara Guantanamo, Abu Gharib dsb… dan mereka yang dalam tawanan musuh-musuh islam, haruskah mereka bekerja sama dengan musuh dan menampakkan semua hal (yang ada dalam dirinya) secara rinci kepadanya ataukah bertaqiyyah ?
Jawabannya jelas, bahwa jika dalam banyak hal tidak bertaqiyyah maka hasilnya adalah akan terbantainya para wanita dan anak-anak muslimin yang tak berdosa oleh bala tentara asing.
Kesimpulan : Taqiyyah adalah asas islami dalam setiap madzhab islam, dan musuh-musuh islam dengan hal itu ingin mewujudkan perpecahan sehingga mereka bisa mengambil manfaat untuk kepentingan-kenpentingan pribadinya dan menguasai urusan kaum muslimin. Maka ambillah pelajaran wahai orang-orang yang berakal !!!