
کمالوندی
Bagaimana konsep dosa itu?
Hakikat Dosa dan Dampaknya Bagi Manusia
Pertanyaan: Bagaimana konsep dosa itu? Apakah dosa itu hanya merupakan sebuah aktifitas dalam memberikan kerugian kepada orang lain maupun merampas hak-hak orang lain? Apa jalan keluar dari dosa dan maksiat?
Jawaban global:
Ada empat poin yang perlu diutarakan guna menjawab pertanyaan di atas:
1. Hakekat dosa: dosa di dalam bahasa arab disebut sebagai itsm atau ‘ishyan yang artinya adalah ketidakpatuhan terhadap segala perintah Tuhan, kesalahan dan ketergelinciran. Seseorang melakukan dosa lantaran takluk oleh godaan hawa nafsu dan mengesampingkan akal sehat. Dengan melakukan dosa sebenarnya seseorang telah menghianati diri sendiri dan membahayakannya. Dosa adalah perangkap setan yang dalamnya adalah api dan luarnya adalah kenikmatan yang sangat singkat. Orang yang lalai akan dengan mudah tertipu dengannya dan akan menyesal hingga datang azab dari Allah swt.
2. Pengaruh dosa: Dosa memiliki pengaruh yang buruk bagi diri dan sosial. Efek bagi diri misalnya: kering dan kerasnya hati, terjauhnya dari makrifat dan rahasia-rahasia ilahi, hati menjadi tempat bernaungnya setan, dosa menjadi hijab untuk mengenal diri dan Tuhan, hilangnya kenikmatan di kala munajat, tidak diterimanya amal ibadah, menjadikan manusia ingkar kepada hari kiamat dan hari pembalasan.
Adapun efek sosialnya misalnya: kemunduran masyarakat, meskipun secara lahir masyarakat telah maju, akan mengalami kerusakan mental, nilai-nilai kemanusiaan dan moral akan menurun bahkan menghilang dari muka bumi.
3. Pemicu Dosa: para ulama berpendapat bahwa kebodohan dan kelalaian adalah doa sebab utama pendorong terjadinya kemaksiatan. Kelalaian adalah senjata dan sarana utama setan untuk menyusup kedalam diri manusia. Adapun kebodohan, ia adalah sumber kemungkaran; kebodohan dalam nilai-nilai kemanusiaan; kebodohan dalam efek kesucian dan harga diri, kebodohan dalam pengaruh dosa dsb.
4. Jalan keluar: ada beberapa jalan keluar dari dosa:
a. Taubat dan Istighfar: taubat adalah niat untuk kembali kepada Allah swt dan tekad untuk tidak mengulang dosa.
b. Mengingat-ingat dosa.
c. Mengingat Allah.
d. Tekad manusia.
Jawaban rinci:
Dosa di dalam tata bahasa Arab disebut sebagai itsm, atau ‘ishan (dengan shad). Yang berarti ketidakpatuhan, kesalahan, ketergelinciran dan penentangan terhadap perintah dan larangan Tuhan. Dengan kata lain: segala perbuatan yang menurut Tuhan tidak baik dan salah. Karena hal-hal tertentu memiliki kerugian dan bahaya bagi diri manusia maka hal tersebut dilarang, dan sebaliknya dalam hal-hal tertentu Allah mewajibkan manusia untuk menjalankan suatu hal karena hal tersebut memang mesti dilakukan demi maslahat manusia. Walhasil, dosa merupakan bentuk penentangan dengan nilai-nilai kehambaan manusia terhadap Tuhannya.
Manusia memiliki tiga potensi dalam jiwanya, yaitu potensi Ghadhabiah, Syahwat dan akal. Seseorang akan menjadi manusia sempurna apabila potensi ghadabiah dan syahwatnya dapat tunduk dibawah kepemimpinan akal. Seseorang melakukan dosa dikarenakan potensi ghadabiah dan syahwatnya tak mau tunduk kepada potensi akalnya, malah kedua syahwat tersebut sepenuhnya menguasai dirinya. maka segala perbuatan yang dilakukannya merupakan hasil dari dorongan syahwatnya maupun dorongan ghadhabnya. Apabila seseorang tak memenangkan akal praktisnya atas potensi ghadhab dan syahwatnya, atau tau memenangkan akal teoritisnya atas khayalan dan dugaan semunya maka sesungguhnya ia menzalimi dan menghianati dirinya. apabila seseorang telah berkhianat kepada dirinya sendiri ia akan berkhianat kepada selain dirinya dan tak akan mempedulikan hak-hak dirinya dan orang lain.[1]
Dosa adalah perangkap setan: dalam riwayat Ahlul Bait disebutkan bahwa kenikmatan duniawi diibaratkan sebagai perangkap dan jebakan. Adapun dosa diibaratkan sebagai tali untuk mengikat mangsa. Artinya dosa adalah sebuah wasilah bagi setan untuk mengikat mangsanya, yaitu manusia. dan perlu diperhatikan bahwa tali yang digunakan setan untuk mengikat manusia itu beraneka ragam. Setan memilih tali khusus untuk setiap manusia sesuai dengan kelemahan-kelemahan masing-masing. Sebagian dipancing dengan harta, sebagian dengan kedudukan dan pengaruh, sebagian dengan godaan seksual dan lain sebagainya.
Api neraka terhimpun dari kelezatan semu dan syahwat. yakni perangkap yang dalamnya adalah api dan luarnya adalah syahwat dan kelezatan duniawi. Manusia apabila tertipu dengan penampakan luarnya akan terjerumus ke dalam jilatan api yang pedih.[2]
Pengaruh dosa dan maksiat: pengaruh buruk dosa dan maksiat dibagi menjadi dua: individu dan sosial.
1. Pengaruhnya terhadap individu:
1. Dosa hakikatnya adalah nanah dan kotoran yang hanya menggelapkan ruh dan hati. Karena dosa, seseorang tak dapat memiliki tidur yang baik sehingga mendapatkan ilham dan makrifat di dalam mimpinya, tidak pula akan memiliki keterjagaan (dari tidur) yang baik sehingga ia tidak akan dapat menyingkap suatu ilmu dan pengetahuan tertentu maupun menyalurkan ilmunya kepada orang lain. Maka dari itu, apabila hati dan ruh telah menghitam banyak sekali rahasia-rahasia dan hakekat menjauh darinya yang semestinya tanpa dosa tersebut dapat ia dapatkan. Dan sebaliknya Ruh yang bercayaha karena bersih dari maksiat akan menjadi sumber dan tempat bersemayamnya ilham ilahi. Maka dari itu para salik sedikit sekali berbicara dan sangat berhati-hati terhadap makanannya. Yang mana dengan pembersihan hati, mereka akan dapat mendengarkan suara hikmah dari Tuhannya. Karena bila seseorang ingin mendengarkan sebuah suara, ia hendaknya mengkondisikan dirinya untuk diam lalu mendengarkannya.[3]
2. Ketika seseorang berada di bawah kekuasaan setan dan telah terhasut oleh bisikan setan dan juga melakukan perbuatan yang berasaskan kedua hal tersebut, maka secara bertahap hatinya menjadi singgasana setan. Mengenai hal ini al-Quran telah mengisyaratkan dalam surat Syuara 221-222, yang mana disebutkan bahwa hati seorang pendusta merupakan tempat turun dan bersemayamnya setan. Namun seseorang yang amanah dan jujur kepada ilmu maupun yang amanah dan menepati janji dalam permasalahan harta dan perbuatan bukanlah tempat bernaungnya setan.[4]
3. Dosa merupakan hijab makrifatun nafs. Karena dosa, seseorang melalaikan dan melupakan Tuhannya. Kelalaian ini menjadi hijab bagi seseorang untuk dapat mengetahui dirinya (makrifatun nafs) dan tak membiarkan orang lain pun mengetahui dirinya.[5]
Apabila seseorang mengahancurkan dirinya sendiri, maka sampai kapanpun ia tak akan dapat menyingkap hakikatnya. Ia mengikat dirinya sendiri dari menyingkap hakekat dan sampai kapanpun ia takkan mampu melepasnya bahkan api neraka jahannam pun tak mampu membakar ikatan tersebut; karena meskipun api dapat melelehkan besi sekalipun, namun ikatan tersebut adalah api itu sendiri, maka api jahannam itu sampai kapanpun tak akan mampu melelehkan api ikatan itu.[6]
4. Dosa dapat menjegah seseorang dari nikmatnya bermunajat meskipun ia selalu merasa menyesal karena ia tak dapat mereguk kenikmatan itu. Namun, dikarenakan dosa-dosa dan kerasnya hati ia menghancurkan segala sarana yang akan mengantarkannya ke sana. Syaikh Shaduq dalam kitabnya “Al-Tauhdi” dari Imam Ridho as menukilkan bahwa suatu saat seseorang bertanya kepada Imam as: Mengapa Tuhan terhijab (terhalang) dari pandangan? Beliau menjawab: “Dia tidak terhijab, namun engkau lah yang tak melihat-Nya dikarenakan banyaknya dosa-dosa yang bagaikan sebuah tirai yang menghalangi pengelihatan (batin dan fitrah) mu dan (dosa-dosa itu) tak membiarkan manusia menyaksikan Tuhannya dengan mata fitrahnya.”[7]
Banyak sekali disebutkan di dalam riwayat yang menyatakan bahwa dosa menjadi hijab bagi manusia. misalnya:
A. Rasulullah saw bersabda: “Ketika seseorang melakukan dosa timbullah setitik noda hitam di dalam hatinya. Apabila ia menghindari dosa ataupun setelah itu ia menyesali dan bertaubat maka hatinya akan menjadi bersih, namun apabila ia mengulangi lagi dosa tersebut titik hitam itu akan membesar dan akhirnya akan menguasai seluruh hatinya.”[8]
B. Rasulullah saw bersabda: “Banyak dosa mengakibatkan hati seseorang menjadi rusak dan hancur.”
C. Imam Ja’far as-Shadiq as bersabda: “Aku berwasiat kepada kalian untuk kalian bertakawa dan berwaspada terhadap segala dosa, juga untuk bersungguh-sungguh dan mementingkan ibadah. Ketahuilah bahwa ibadah bila tak dibarengi dengan meninggalkan hal-hal yang haram tak memiliki faedah sama sekali.”
D. Rasulullah saw bersabda kepada Abuzar al-Ghifari: “Inti agama adalah meninggalkan dosa. Rahasia agama adalah ketaatan kepada Allah dan ketahuilah bahwa apabila badanmu bungkuk bagaikan busur panah karena banyaknya salat, maupun badanmu bagaikan senar yang tipis sekalipun karena banyaknya puasa, tak akan berguna sedikitpun bagimu kecuali hal itu dibarengi dengan wara’ dan meninggalkan kemaksiatan. Hai Abuzar! Mereka yang meninggalkan kenikmatan haram di dunia dan memilih untuk hidup zuhud adalah para auliya dan kekasih Allah swt.” [9]
5. Ingkar kepada hari kiamat: sering kali seseorang mengimani hari kiamat. Namun keimanan dan pengetahuannya terhadap hari kiamat tersebut tak memberikan efek dalam perbuatannya.[10] Dalam surah al-Muthaffifin ayat 11-14 diisyarahkan tentang segolongan orang yang secara global mengingkari hari kiamat, lalu Allah dalam sebuah ayat berfirman: “Bukti-bukti kebenaran hari kiamat sangatlah jelas, hanya orang-orang yang durhaka dan pendosa yang mengingkarinya. Sampai kapanpun mereka tak akan tunduk kepada tanda-tanda Allah, maka dari itu setiap ayat-ayat Tuhan dibacakan kepada mereka mereka akan menjawab: itu semua hanyalah dongeng dan cerita-cerita orang-orang terdahulu.” Dapat dipahami dari ayat di atas bahwasanya dosa dapat menghilangkan kesucian hati, sedemikian rupa sehingga hakikat-hakikat ilahi tak akan dapat termanifestasikan di dalam hati. Padahal, tanda-tanda ilahi khususnya dalam konsep tauhid dan hari pembalasan sangatlah jelas.[11]
Pengaruh dosa dalam sosial: dosa dapat mempengaruhi kemunduran sosial masyarakat dan meningkatnya keriminalitas dan kefasikan. Maka pergerakan dan kemajuan para aktifis dan pembangun masyarakat akan tersendat. Bahkan masyarakat barat, para kriminal merupakan tingkat massyarakat terendah dari masyarakat.
Pendorong dosa adalah lalai dan kebodohan: senjata terampuh setan dan jalan terbaiknya untuk mempengaruhi manusia adalah dengan memanfaatkan kelalaian manusia. Apabila setan mampu menjadikan manusia lalai, maka ia akan dengan mudah menerima serangan berikutnya, yaitu kebodohan. Kebodohan sumber dan pendorong kriminalitas dan kemaksiatan. Ayat yang berkenaan dengan kisah Nabi Yusuf as menunjukkan bahwa cinta yang dilumuri dosa dan penyelewengan seksual bersumberkan kebodohan. Kebodohan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, kebodohan terhadap efek dan urgensi kesucian, kebodohan terhadap pengaruh-pengaruh buruk dosa dan juga kebodohan terhadap perintah-perindah dan larangan Tuhan.[12]
Jalan Keluar dari Dosa: ada beberapa jalan untuk menyelamatkan diri dari dosa, doantaranya:
1. Taubat[13] dan Istighfar[14]: taubat secara bahasa berarti kembali. Ketika seorang “hamba” kembali kepada tuannya dikatakan ia telah bertaubat (dalam tata bahasa arab). Allah swt memerintahkan kepada setiap mukmin untuk selalu bertaubat.
2. Memperhatikan dan merenungi bahaya dosa.[15]
3. Memperkuat tekat.[16]
4. Mengingat Allah.[17]
[1] Jawadi Amuli, Abdullah, Marahele akhlaq dar Qoran, hal 332-334.
[2] Nahj al-Balaghah, Khotbah ke 176; Jawadi Amuli, Abdullah, mabadi e akhlaq dar Qoran, hal 318; Mulla Mahdi Naraqi, Jamiu as-Saadat, hal 194; Jawadi Amuli, Abdullah, Tasnim, hal 400.
[3] Jawadi Amuli, Abdullah, Marahele akhlaq dar Qoran, hal 155-159.
[4] Jawadi Amuli, Abdullah, Mabadi e akhlaq dar Qoran, hal 112.
[5] Mojadalah, 19.
[6] Jawadi Amuli, Abdullah, Mabadi e akhlaq dar Qoran, ha 235-236.
[7] Tauhid e Shaduq, hal 252; Jawadi Amuli, Abdullah, Fitrat dar Qoran, hal, 103.
[8] Tafsir al-Qurthubi, jilid 10, hal 705; Ruh al-Ma’ani, jilid 30, hal 73.
[9] Kulaini, Ushul al-Kafi, jilid 2, bab dzunub, riwayat 1 dan 13; Makarim Shirazi, Payam e Qoran, jilid 1, hal 360-367; Dur al-Mantsur, jilid 6, hal 326; Allamah Majlisi, Hilyatu al-Muttaqin, hal 98.
[10] Jassiyeh, 23; Jawadi Amuli, Abdullah, Tafsir Nasnim, jilid 2, hal 203.
[11] Makarim Shirazi, Payam e Qoran, jilid 1, hal 361; Tafsir Fakhrurrazi, jilid 31, hal 94.
[12] Makarim Shirazi, Nasir, Payam e Qoran, jilid 1, hal 88; Jawadi amuli, Abdullah, Tasnim, jilid 3, hal 397.
[13] Q.S Nur ayat: 31.
[14] Nahj al-Balaghah, hal 128, hikmah ke 409; Mulla Ahmad Naraqi, Mi’raju as-Sa’adah, hal 669; Shahid Mutahari, Falsafe e Akhlaq, hal 164.
[15] Jawadi Amuli, Abdullah, Mabadi e Akhlaq, hal 55-56.
[16] Q.S Al-Ahzab ayat; 41
[17] Jawadi Amuli, Abdullah, Mabadi e Akhlaq, hal 55-56.
Menamai Anak Dengan Nama Abdunnabi, Abdurrasul dan Yang Semisal
Menamai Anak Dengan Nama Abdunnabi, Abdurrasul dan Yang Semisal
Jawaban Ayatullah Ja’far Subhani terhadap sebuah kritikan tentang: “Mengapa sebagian dari kita menamai anak-anak mereka dengan nama semisal “Abdu an-Nabi” (hamba Nabi) atau “Abdu ar-Rasul” (Hamba Rasul)? Bukankah kita adalah hamba Allah?”
Penghambaan dan pengabdian memiliki macam-macam dan bentuk-bentuk yang beraneka ragam. Sebagian penghambaan dan pengabdian itu terkhusus untuk Tuhan, dan sebagian untuk selainnya. Penjelasan lebih rincinya adalah sebagai berikut:
1. Penghambaan takwini, yang mana hal tersebut berhubungan dengan segala bentuk penciptaan, haruslah dinisbahkan hanya kepada Allah semata. Ketika Nabi Isa as berkata: “Aku adalah hamba Allah” dan juga kita sebut nabi Muhammad sebagai Abduhu wa rasuluh (hamba dan utusan-Nya), maka yang kita maksud dari penghambaan disini adalah penghambaan yang bersifat penyembahan dan peribadahan yang konsep ini merupakan kosekwensi dari konsep penciptaan. Dengan kata lain bahwa karena Allah adalah yang menciptakan kita dan kita merupakan makhluk-Nya, bukan makhluk selain-Nya, maka kita wajib untuk menjadi hamba bagi-Nya. Allah berfirman di dalam al-Qur’an al-Karim:
( إن کلّ من فی السموات والأرض إلاّ آتی الرحمن عبداً ). مریم/ 93
Artinya: ”tak ada sesuatupun di langit maupun di bumi kecuali ia menjdi hamba Allah Sang Maha Pengasih.” (Maryam: 93)
2. Penghambaan secara undang-undang Islam. menurut hukum Islam, apabila kaum muslimin telah memenangkan suatu peperangan dengan kaum kafir, kaum muslimin akan menjadikan sisa musuh yang masih hidup sebagai tawanan perang. Lalu kemudian menjadikan mereka sebagai budak/hamba bagi kaum muslimin.
( وأنکحوا الأیامی منکم و الصالحین من عبادکم و امائکم إن یکونوا فقراء یغنهم الله من فضله... ) . ( نور/ 32)
Maka nikahkanlah para laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki pasangan dari kalian begitu pula dengan para budak laki-laki dan perempuan kalian yang salih, apabila mereka miskin maka Allah akan mengkayakan mereka dengan limpahan-Nya..)
Di dalam ayat ini secara gamblang disebutkan bahwa kaum muslimin memiliki budak/hamba. Penghambaan disini hanyalah sebagai penghambaan secara undang-undang dan relatif.
3. Penghambaan untuk penghormatan. Ini dilakukan kepada mereka yang memiliki hak penghormatan. Amirul Mu’minin Ali as berkata: Barang siapa yang mengajariku satu huruf (satu hal) maka aku menjadi hambanya).
Untuk mengungkapkan rasa cinta dan pentadziman kepada para nabi dan para imam, kaum muslimin menjadikan diri mereka hamba dan budak mereka. Hamba yang dimaksud disini adalah hamba dalam pengertian nomer dua dan tiga di atas. Sebagaimana mereka patuh dan taat kepada Allah swt, mereka juga taat dan patuh kepada para nabi dan imam mereka.
Terlepas dari itu semua, bila kita lihat makna ‘Abd dalam tata bahasa arab, salah satu artinya adalah orang yang patuh kepada orang tertentu. Maka dari itu bila kita terjemahkan kata “Abdurrasul” adalah orang yang patuh kepada Rasul. Begitupun dengan Abdunnabi, Abdul Husain dsb. Al-Qur’an juga menekankan tentang kelaziman manusia untuk taat kepada Allah, Rasul dan ulil amr. Allah berfirman:
( أطیعوا الله وأطیعوا الرسول وأُولی الأمر منکم ). نساء/ 59
Pertanyaan: apakah bersumpah atas nama selain Allah sama dengan syirik?
Bersumpah Atas Nama Selain Allah
Pertanyaan: apakah bersumpah atas nama selain Allah sama dengan syirik?
Jawab: mari kita jawab menggunakan dalil-dalil al-Quran dan Hadis di bawah ini.
Di dalam al-Quran disebutkan:
وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ وَطُورِ سِينِينَ وهَٰذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ
“Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, Dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang aman.” (Q.S at-Tin ayat: 1-3)
واللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ
“Demi malam apabila menutupi (cahaya siang) dan siang apabila terang benderang.” (Q.S al-Lail ayat: 1-2)
Dan masih banyak sekali ayat-ayat yang serupa yang mana Allah swt bersumpah dengannya. Misalnya Allah swt bersumpah demi qalam, matahari, bulan, dsb.
Selain itu juga banyak hadis yang menunjukkan bahwa Nabi saw juga terkadang melakukan sumpah atas nama selain Allah swt. misalnya: “suatu saat seseorang mendatangi Rasulullah saw dan berkata: Wahai Rasulullah, sedekah yang mana yang pahalanya paling tinggi? Beliau menjawab: demi ayahmu.....”[1]
Di dalam Sunan Ibn Hanbal diriwayatkan bahwa Nabi saw di akhir kalimatnya berkata kepada seseorang: “.....demi jiwamu aku bersumpah bahwa bila kau melakukan amar makruf dan nahi mungkar akan lebih baik daripada kau hanya diam.”[2]
[1] Shahih Muslim , 3:94
[2] Musnad Ahmad, 5:225
Bagaimana Api Neraka Dapat Membakar Setan Sedangkan Ia Tercipta dari Api?
Bagaimana Api Neraka Dapat Membakar Setan Sedangkan Ia Tercipta dari Api?
Ketika ditanya tentang pertanyaan ini, Ayatullah Jawadi Amuli menjawab:
Benar bahwa setan diciptakan dari api, namun ada unsur-unsur lain yang melengkapi. Sebagaimana pembentuk utama manusia adalah tanah, namun ia juga disempurnakan dengan unsur-unsur lainnya.
Pada awalnya tanah berubah menjadi gumpalan kulit dan daging, kemudian Allah menganugerahinya dengan indera perasa. Maka, sejak saat itu ia dapat merasakan sakit ketika mendapatkan suatu benturan.
Ketika segumpal tanah maupun batu dibenturkak dengan benda sejenis, ia akan mengalami perubahan tertentu seperti pecah, hancur dsb. Namun, karen benda tersebut tak memiliki indera perasa, ia tak akan merasa sakit. Padahal itu dibentukan kepada sesama jenisnya.
Begitupun dengan setan. Ia dibekali oleh Allah dengan indera perasa yang dengannya ia akan merasakan segala energi yang datang kepadanya.
Maka dari itu meskipun setan tercipta dari api, namun ia memiliki ruh dan kekuatan dan indera perasa yang mengakibatkan api neraka pun dapat membakar dan menyiksanya.
Sumber:
نسيم انديشه (پرسش و پاسخها از آیه الله جوادی آملی) ، دفتر دوم ، ص60
Memperingati Hari-Hari Kelahiran Dan Kematian Para Wali Allah, Bid’ah Kah?
Memperingati Hari-Hari Kelahiran Dan Kematian Para Wali Allah, Bid’ah Kah?
Di bawah ini adalah ayat-ayat yang menegaskan diperbolehkannya memperingati dan mengagungkan Nabi saw.
1.
فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), maka itulah yang orang-orang yang beruntung.”(al-A’raf ayat: 157)
2. Nabi Ya’qub as setelah berpisah dengan Nabi Yusuf as menangis setiap pagi dan malam hingga memutih kedua matanya dikarenakan kesedihannya.
وَتَوَلَّىٰ عَنْهُمْ وَقَالَ يَا أَسَفَىٰ عَلَىٰ يُوسُفَ وَابْيَضَّتْ عَيْنَاهُ مِنَ الْحُزْنِ فَهُوَ كَظِيمٌ
“Dan Ya’qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: “aduhai duka citaku terhadap Yusuf”, dan kedua matanya putih karena kesedihan dan dia adalah orang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).” (Yusuf ayat: 84)
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, bila mengungkapkan rasa kecintaan dan kesedihan boleh dilakukan di waktu ketika mereka hidup, bagaimana bisa itu diharamkan setelah wafatnya mereka?
3. Perhatikanlah ayat berikut ini:
قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَىٰ
“Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatuatu upahpun atas seruanku melainkan kecintaan kepada keluarga(ku).”” (As-Syu’ara ayat: 23)
Empat belas abad berlalu sejak turunnya ayat ini, Bila seseorang di jaman ini hendak menjalankan perintah dari ayat ini apakah salah bila ia bergembira dengan kegembiraan mereka (keluarga Nabi) dan bersedih karena kesedihan mereka meskipun empat belas abad telah berlalu sejak diturunkannya ayat ini?
4. Begitupun dengan ayat ini:
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ
“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.” (al-Insyirah 4)
Menyelenggarakan peringatan-peringatan bahagian dan duka misalnya maulid Nabi saw adalah sebuah aplikasi dari meninggikan dan mengagungkan Nabi saw. Sangat disayangkan mengapa kelompok salafi wahabi menunjukkan penentangannya melalui lisan dan perbuatan mereka? Salah satu yang paling sedring dikoar-koarkan adalah penentangan mereka terhadap maulid Nabi saw dengan dalil bahwa hal ini tidak ada di zaman Nabi saw. Padahal mereka mengadakan acara besar-besaran untuk memperingati tokoh-tokoh besar politis mereka.
Kaum muslimin sejak jaman dahulu sudah sering menyelenggarakan peringatan bahagia maulid Nabi saw.
Diyar Bakri mengatakan: “…kaum muslimin selalu menyelenggarakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw, dalam hari itu juga mereka menyelenggarakan pesta perkawinan melantunkan puji-pujian dan membaca maulid.” (lihat: Tarikh al-Khamis, 1: 223)
Sifat-sifat Allah swt dan Melihat-Nya Kelak
Sifat-sifat Allah swt dan Melihat-Nya Kelak
Sebagian kaum muslimin meyakini bahwa Allah menciptakan makhluk dengan rupa dan bentuk seperti dirinya dan Allah swt. memiliki Jari jemari, perut dan kaki. Dan nanti pada hari kiamat Ia akan menginjakkan kaki-Nya di tengah api neraka sampai neraka berkata : Cukup! Cukup!. Begitupun Ia memiliki tempat dan selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya karena mereka telah meriwayatkan bahwa Rosululloh saw. bersabda : “Allah swt pada akhir malam turun ke langit bumi...” (5) dan mereka juga meriwatkan : “Allah memiliki istana dimana Ia tinggal di dalamnya, dan Muhammad saw. meminta izin untuk bisa memasukinya. (6) Adapun tentang melihat Allah swt, mereka meriwayatkan sebuah hadis yang berbunyi : “Nabi Muhammad saw kelak di hari kiamat akan melihat Allah swt.” dan sabda beliau : “Seluruh Muslimin kelak di hari kiamat akan melihat Tuhan mereka layaknya melihat bulan pada malam 14 di bulan Rajab. (7) selain itu, mereka pun menjadikan ayat yang berbunyi : (Wajah-wajah orang Mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada tuhannyalah mereka melihat.) (8) sebagai dalil atas klaim mereka.
Adapun jawaban semua riwayat-riwayat yang telah merek bawakan adalah kalimat ini : “Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya.” (9), “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang terlihat.” (10) dan Firman Allah kepada Nabi Musa as. yang meminta untuk dapat melihat-Nya : “Sesungguhnya kamu tidak akan pernah mampu melihat-Ku.” (11)
Dan adapun ayat yang dijadikan dalil oleh mereka memiliki makna yaitu mereka menunggu perintah Tuhan mereka.
Setelah ayat-ayat yang jelas dan gamblang ini, bagaimana mungkin sebagian Muslimin (yang namanya telah disebutkan di atas) bisa meyakini hadits-hadits tersebut? kita meyakini bahwa riwayat-riwayat ini merupakan fitnah yang bersumber dari Yahudi yang mereka masukkan ke budaya dan khazanah keilmuan Islam melalui sebagian Tabiin yang lugu di kalangan Muslimin.
Sebagai penutup kami membawakan sebuah ucapan dari Amirul Mukminin dalam mensucikan Dzat Allah swt. secara sempurna dari segala kekurangan seperti memiliki rupa, bentuk dan jism atau menyerupai makhluknya. Beliau bersabda : “Barang siapa yang melekatkan sifat kepada Allah, Ia mengakui keserupaan-Nya, dan barang siapa mengakui keserupaan-Nya maka ia memandang-Nya dua, mengakui bagian-bagian bagi-Nya, dan barang siapa mengakui bagian-bagian bagi-Nya tidak mengenal-Nya, dan barang siapa tidak mengenal-Nya maka ia menunjuk-Nya, ia mengakui batas-batas bagi-Nya, dan barang siapa mengakui batas-batas bagi-Nya ia mengatakan jumlah-Nya... (12)
[1] Shahih Bukhori, Kitab Istidzan bab Badausalam; Musnad Ahmad jilid 2 hal. 244
[2] Shahih Bukhori, 2 : 122; 4 : 186
[3] Shahih Bukhori, tafsir surat Nun walqolam, ayat 43
[4] Shahih Bukhori 4 : 191, Kitab Tauhid
[5] Shahih Bukhori, kitab Tahajjud, Bab Doa dan Shalat di Penghujung Malam; Shahih Muslim, Kitab Doa
[6] Shahih Bukhori 8 : 183
[7] Shahih Bukhori 7 : 305
[8] QS. Qiyamat : 22
[9] QS. Asy-Syuraa : 11
[10] QS. Al-An’am : 103
[11] QS. Al-A’raf : 143
[12] Syarh Nahj Balaghah Muhammad Abduh, Khutbah Awal.
Keadilan Tuhan, Jabr dan Tafwidh
Keadilan Tuhan, Jabr dan Tafwidh
Untuk mengenal dengan makna “Qadr”, kami bawakan riwayat dari Imam Muhammad Ridha as. dalam menjawab pertanyaan tentang makna hadits dari Kakek beliau Imam Jafar ash-Shidiq as. yang berkata : ”Bukan Jabr atau Tafwidh namun Amr bayna Amroin” Imam Ridho as. berkata :
Barang siapa yang mengira bahwa pelaku setiap pekerjaan adalah Allah swt dan kemudian Allah menyiksa kita atas pekerjaan tersebut, maka ia termasuk Jabr. Dan setiap orang yang meyakini bahwa Allah menyerahkan semua urusan kepada makhluk-Nya maka dia termasuk Tafwidh. Meyakini Qadr merupakan kekafiran dan meyakini Tafwidz merupakan bentuk syirik.
Adapun makna Amr bayna Amroin terdapat jalan dalam ketaatan kepada perintah-perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya, maksudnya adalah Allah telah memberikan kekuatan potensi untuk melakukan keburukan atau meninggalkannya sebagi mana ia telah memberikan kekuatan untuk melakukan kebaikan ataupun meninggalkannya. Dan di samping itu Ia memerintahkan untuk melakukan kebaikan dan melarang untuk melakukan keburukan.
Ringkasnya adalah bahwa pengakuan terhadap Jabr bertentangan dengan keadilan Tuhan dan mereka yang termasuk di dalamnya, menganggap Dzulm merupakan sesuatu yang tidak mustahil untuk Tuhan dengan mengatakan kedzoliman-Nya adala keadilan itu sendiri. Tapi mereka tidak memperhatikan bahwa pada dasarnya kedzoliman adalah suatu keburukan dan mustahil Allah swt. melakukan sesuatu yang buruk.
Shalawat yang Sempurna Menurut Pandangan Syiah
Shalawat yang Sempurna Menurut Pandangan Syiah
Tanya : Dalam surat Ahzab ayat 56 Allah swt memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mencurahkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad saw. Kenapa orang-orang Syiah menambahkan keluarga Nabi dalam shalawat mereka?
Jawab : Pertama, ayat ini tidak melarang untuk menyampaikan shalawat kepada yang lainnya, namun hanya perintah untuk bershalawat kepada Nabi saw dalam firman-Nya “… Hai Orang-orang yang beriman sampaikanlah shalawat kepada Nabi…”
Kedua, Allah swt dalam Surat Ash-Shoffat ayat 103 berfirman : “Salam sejahtera atas Aali Yaasin.” Ini merupakan salah satu keutamaan Ahlul Bayt (keluarga) Nabi Muhammad saw dimana kita temukan di dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang memberikan salam khusus kepada para Nabi as. Seperti Firman-Nya “salam sejahtera atas Nuh, salam sejahtera atas Ibrahim, salam sejahtera atas Musa dan Harun…” Namun sama sekali tidak terdapat dalam ayat yang menujukkan salam tersebut kepada keturunan mereka kecuali kepada keluarga Nabi Islam saw. yang dalam Firman-Nya : “Salam sejahtera atas Aali Yaasiin.” Yaasin merupakan salah satu nama dari Rasulullah saw Penutup para Nabi as. Allah swt menyebutkan 5 nama dari 12 nama nabi Muhammad saw untuk memberikan pencerahan lebih kepada umatnya. Nama-nama tersebut adalah Muhammad, Ahmad, ‘Abdulloh, Nun dan Yaasin.
“Yaasiin, demi al-Quran yang penuh hikmah, sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari Rasul-Rasul,”
Dalam ayat ini, lafadz “yaa” merupakan huruf nida dan “siin” adalah nama mulia dari Nabi Muhammad saw dan sebagai isyarat kepada hakikat dzohir dan bathin beliau. Jadi makna salam sejahtera kepada aali yaasiin adalah salam sejah tera kepada keluarga Muhammad saw.
Dalil-dalil dalam Riwayat
1. Ibn Abbas ra berkata bahwa yang dimaksud dengan Aali Yaasiin adalah Ahlul Bayt atau keluarga Nabi Muhammad saw. (Ibn Hajar Makki dalam kitab Showa’iq al-Muhriqoh menjelaskannya dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan keutamaan-keutamaan Ahlul Bayt as.)
2. Imam Fakhru Raazi berkata :
Sesungguhnya keluarga Nabi Muhammad saw menyamai beliau dalam 5 perkara. 1. Dalam salam, dalam firman-Nya alah menyampaikan salam kepada Nabi dan juga kepada keluarganya, 2. Dalam shalawat kepada Nabi Muhammad saw dan keluarganya di dalam Tasyahud, 3. Dalam kesucian, Allah berfirman : “Taahaa” maksudanya adalah wahai manusia suci, begitu pula untuk keluarga Nabi dalam ayat tathir, 4. Dalam keharaman menerima shodaqoh, 5. Dalam kecintaan kepada mereka, dimana Allah swt berfirman : “Katakanlah! Jika kamu mencintai Tuhan mu, maka ikutilah Aku maka Tuhanmu akan mencintaimu.” Dan tentan Ahlul Bayt Nabi, Rasululloh bersabda : “Katakanlah! Aku tidak meminta upah sepeserpun dari kalian kecuali kecintaan kepada kerabat ku (Ahlul Bayt).” (Ibn Hajar Makki dalam Showa’iqul Muhriqoh, Imam Muhammad Fakhru Rozi dalam tafsirnya ‘Tafsir Kabir’ Jilid 7 Hal. 163)
3. Rosululloh saw bersabda : “Jangan pisahkan antara diriku dan Ahlul Baytku dalam sholawat kalian.” (Bukhori dan Muslim dalam Shahihnya)
4. Ka’ab bin Ujzah meriwayatkan : Ketika turun ayat “sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bersholawat kepada Nabi…” Kami bertanya kepada Nabi : “wahai Rasululloh bagaimana kami bersholawat kepadamu?” Rosululloh menjawab : “Ucapkanlah seperti ini Allohumma Shlli ‘alaa Muhammad wa Aali Muhammad” dan dalam riwayat yang lain ditambahkan “Kama shollaita ‘alaa Ibrohim wa alaa Aali Ibrohim innaka Hamidun Majid.” (Shahih Bukhori jilid 33, Shahih Muslim jilid 1, Sulaiman Balkhi Hanafi dalam Yanaabi’ul Mawaddah, Ibn Hajar dalam Showa’iqul Muhriqoh)
5. Rasululloh saw ditanya : “Bagaimana kami mengucapkan shalawat kepadamu?” Beliau bersabda : “Allohumma sholli ‘alaa Muhammad wa Aali Muhammad kama sholayta ‘alaa Ibrohim wa ‘alaa Aali Ibrohim wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa Aali Muhammad kama baarokta ‘alaa Ibrohim wa ‘alaa Aali Ibrohim innaka Hamidun Majiid.” (Tafsir Kabir hal. 797 Imam Fakhru Rozi, Shabha-e-pishavar hal. 181)
6. Rosululloh saw bersabda : “janganlah kalian bersholawat padaku dengan shalawat yang terputus.” Sahabat ra bertanya : “Wahai Rosululloh apakah yang dimaksud shalawat yang terputus itu?” Rosululloh menjawab : “Yaitu kalian hanya mengucapkan Allohumma sholli ‘alaa Muhammad dan selesai, tapi ucapkanlah Allohumma Sholli ‘alaa Muhammad wa Aali Muhammad.” (Ibnu Hajar dala Showa’iqul Muhriqoh)
7. Rosululloh saw bersabda : “Doa seseorang akan terhalang sampai dia bershalawat kepada Muhammad dan Keluarganya.” (Ibn Hajar dalam Showa’iqul Muhriqoh, Shabha-e-Pishavar hal. 182, Sayyid Abi Bakr Shihabuddin ‘Alawiy dalam kitab Rusyfatu Shadi Bab 2 hal. 29 – 35 tentang penjelasan wajibnya bershalawat kepada Nabi dan Ahlul Baitnya)
Ukuran Tauhid dan Syirik
Ukuran Tauhid dan Syirik
Masalah tauhid dan syirik adalah salah satu masalah yang seluruh kalangan Muslimin memiliki pandangan yang sama terhadapnya dan tidak ada perselisihan di dalamnya. Tauhid memiliki beberapa tingkatan, dan di sini kita akan membahasnya secara universal serta kita akan menitik bertkan pembahasan kita pada tauhid ibadah karena hal ini banyak diselewengkan oleh kaum wahabi. Banyak dari amal-amal ibadah yang tersebar di tengah kaum Muslimin yang mereka anggap perbuatan syirik. Beberapa tingkatan tauhid diantaranya adalah :
1. Tauhid dalam Dzat; maksudnya adalah kita meyakini bahwa tidak ada satupun yang menyerupai ataupun padanan bagi Allah swt. Selain dalil akal, dapat kita temukan juga dalil-dalil dari Firman Allah seperti : “Tidak ada satupun yang menyerupai-Nya…” (1) dan ayat : “Katakanlah! Dialah Allah Yang Maha Esa.” (2)
2. Tauhid dalam penciptaan; Allah swt berfirman : “…Katakanlah! Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dialah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (3)
3. Tauhid dalam Ketuhanan dan pengatur sistem alam semesta; “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudiam Dia bersemayam di atas Arsy untuk mengatur segala urusan…” (4)
4. Tauhid dalam pembuatan syariat dan peletakan hukum; “… Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.”, “… barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim.”, “… barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang fasik.” (5)
5. Tauhid dalam ketaatan; “Dan tidaklah Kami mengutus seorang Rosul kecuali untuk ditaati dengan izin-Ku…” (6)
6. Tauhid dalam Ibadah; maksudnya hanya beribadah pada Allah Yang Maha Esa semata, sesuai dalam firman-Nya : “sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Ia. Ini adalah jalan yang lurus.” (7) pada dasarnya, hal ini disepakati oleh seluruh kalangan Muslimin dan hanya dalam misdaq-misdaqnya terdapat perbedaan seperti dalam sebagian amalan khusus. Yaitu, apakah beribadah kepada selain Allah adalah melakukan perbuatan syirik dan orang yang melakukannya adalah musyrik atau tidak? Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk memahami pokok pembahasannya dimana kita harus membangun pemahaman sebenarnya tentang ibadah terlebih dahulu dan neraca untuk menentukan tauhid atas perbuatan syirik ini adalah pokok/usul. Para wahabi telah lalai pada pokok tersebut oleh karenanya mereka banyak menghukumi amal-amal Muslimin sebagai syirik dalam Ibadah.
[1] QS. asy-Syuraa : 11
[2] QS. Tauhid : 1
[3] QS. ar-Ra’d : 16
[4] QS. Yunus : 3
[5] QS. al-Maidah : 44 – 45, 47
[6] QS. an-Nisa : 64
[7] QS. Ali Imran : 51
Quran dan Tahrif
Quran dan Tahrif
Quran adalah sumber rujukan tertinggi di kalangan Muslimin. Quran merupakan firman Allah swt. yang diturunkan kepada Rosul-Nya, dan di dalamnya tidak ada kesalahan sama sekali. Dan barang siapa yang meragukan kandungan Quran maka dia telah kafir. Muslimin memuliakan dan mensucikan kitab tersebut, namun terdapat perbedaan dalam menafsirkannya.
Yang menjadi rujukan Syiah dalam menafsirkan al-Quran adalah ucapan Nabi Muhammad saw dan para Imam Maksum as, sedangkan rujukan Ahlu Sunnah adalah hadits-hadits Nabi saw dan juga bersandar kepada para sahabat ra. Sudah tentu bahwa Ahlul bayt (Keluarga) Nabi adalah manusia yang paling memahami kitab Allah swt.
Adapun anggapan yang mengatakan bahwa menurut Syiah kitab suci ini telah ditahrif adalah sebuah fitnah semata. Dalam keyakinan mereka, hal ini tidak memiliki dampak sama sekali. Dan kita di sini akan membahas tentang jenis tahrif yang mampu kita cerna sehingga kita memahami bagian mana yang menjadi bahan perselisihan. Lalu kita akan membuktikan ketiadaan tahrif sesuai dengan Kitab dan Sunnah.
Jenis-jenis Tahrif
1. Mengubah/memindahkan segala sesuatu dari asalnya ke tempat yang lainnya, ini adalah makna tahrif secara bahasa yang disepakati oleh mayoritas Muslimin. Dan yang menjadi penguat hal tersebut adalah firman Allah swt. : “Sebagian orang-orang yahudi ingin mengubah perkataan dari tempat-tempatnya…” (1)
2. Mengurangi atau menambahkan satu atau dua kalimat dengan menjaga keutuhan al-Quran ; tahrif jenis ini telah terjadi pada jaman sahabat, oleh karena itu Utsman bin Affan memerintahkan untuk membakar Mushaf-mushaf dan mushaf yang ia kumpulkan adalah Quran yang sekarang berada di tengah-tengah kita.
3. Tahrif dengan menambahkan; maksudnya sebagian yang berada di dalam al-Quran yang kita pegang ini bersumber dari selain Kalam Ilahi, seluruh Muslimin sepakat bahwa tahrif dalam makna ini adalah batal dan tidak akan pernah terjadi.
Dalil-dalil tentang Batalnya Syubhat Tahrif dalam al-Quran :
1) Allah swt berfirman : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Dzikro (al-Quran), dan Kami lah yang menjaganya.” (2) ayat ini menjamin al-Quran dari adanya tahrif dan jaminan yang berasal dari Allah swt tidak pernah bohong.
2) “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari al-Quran ketika al-Quran itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka). Sesungguhnya al-Qiran adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (3)
3) Hadits masyhur Tsaqolain, dimana jika al-Quran dikatakan mengalami tahrif maka melazimkan gugurnya keharusan berpegang teguh kepadanya dan menuntut ketiadaannya al-Quran sebagai hujjah, padahal Rosululloh saw. di dalam hadits Tsaqolain memerintahkan kita untuk berpegang teguh kepadanya.
4) Sabda Nabi Muhammad saw. tentan kitab Ilahi : “ambillah segala sesuatu yang sesuai dengan al-Quran dan tinggalkanlah segala sesuatu yang bertentangan dengannya.” Hadits ini menunjukkan ketiadaannya tahrif dalam al-Quran.
5) Dalam al-Quran terdapat I’jaz yaitu diantaranya adalah penentangan al-Quran, seperti firman-Nya : “Apakah mereka mengira bahwa kitab ini adalah butan Muhammad? Katakanlah! Bawakan satu surat seperti dalam al-Quran.” (4) menurut ulama, ayat ini adalah dalil yang paling kuat dalam menolak adanya tahrif.
6) Penjelasan para Imam Maksum as. dan ulama besar Syiah tentang tidak adanya tahrif, seperti Syaik Soduq, Syaikh Mufid, Sayyid Mustadho, Syaikh Thusi dan yang lainnya.
[1] QS. an-Nisa : 46
[2] QS. al-Hijr : 9
[3] QS. Fushilat : 41 & 42
[4] QS. Yunus : 38