
کمالوندی
Kebangkitan Imam Husein as dari Dimensi Logis dan Spiritual
Kebangkitan Imam Husein as sedemikian komprehensif sehingga dapat ditafsirkan dan dianalisa dengan berbagai metode. Oleh sebab itu, sepanjang sejarah, para sejarawan, teolog, fuqaha, ilmuwan, seniman, manusia-manusia arif, penyair, politisi dan mereka yang memiliki jiwa bebas, masing-masing memiliki analisa dan pemahaman tersendiri dari kebangkitan Imam Husein as. Meski demikian laporan dan analisa historis terkadang mengalami penyimpangan atau penyembunyian fakta. Penting untuk diperhatikan bahwa analisa dari satu dimensinya seperti hanya terfokus pada dimensi logis, emosional dan afeksi, historis, sosial ataukearifan saja, tanpa mempertimbangkan sisi lain dalam kebangkitan Imam Husein as, akan mengesampingkan berbagai dimensi penting lain. Salah satu yang perlu direnungkan terkait kebangkitan Imam Husein as adalah penyejajaran dimensi logis di samping dimensi spiritualnya.
Dalam budaya dan ajaran Islam serta dalam sirah Rasulullah Saw dan Ahlul Bait as, akal, logika, perjuangan, jihad, cinta dan spiritualitas, bukan hanya tidak saling bertentangan, melainkan sebagai pelengkap masing-masing elemen. Karena berasal dari satu sumber dan berdasarkan pada nilai-nilai dan ideologi. Oleh karena itu, dalam gerakan Imam Husein as, dimensi spiritualitas dan perjuangan tertinggi itu dibarengi dengan kesadaran, pengetahuan dan wawasan. Dalam perilaku dan ungkapan Imam Husein as serta para sahabat beliau, disaksikan manifestasi tertinggi penghambaan dan ketertundukan di hadapan Haq, serta keberanian dan perjuangan paling herois dalam memerangi kebatilan. Disaksikan pula, manifestasi cinta, semangat, penyerahan diri, dan hidayah, yang masing-masing pada tingkat yang sangat tinggi pula.
Imam Husein as dengan mempertimbangkan kondisi budaya, politik dan sosial kala itu, beliau menyadari betapa masyarakat Islam secara gradual bergerak menuju ke arah kematian agama dan nilai-nilai islami. Beliau memahami bahwa masyarakat memerlukan sebuah gerakan fundamental dan mendalam untuk menghidupkan kembali Islam dan meng-islah masyarakat Muslim. Sebuah gerakan yang berdasarkan pada logika dan rasionalitas di satu sisi, dan berasaskan pada pengorbanan di sisi lain.
Apa yang memulai kebangkitan ini adalah, ancaman yang dihadapi Islam dan kepentingan umat Islam. Imam Husein as, tidak menerima kekuasaan seorang yang tidak layak seperti Yazid, serta menolak berbaiat dengannya. Oleh karena itu, dengan kondisi sulit akibat paksaan dari Yazid untuk mendapat baiat dari Imam Husein as, beliau terpaksa meninggalkan Madinah. Tekad Imam Husein as sedemikian bulat sehingga ketika mendapat tawaran dari saudaranya, Muhammad bin Hanifah untuk berlindung di Yaman, beliau berkata, “Wahai saudaraku! Demi Allah! Jika aku tidak punya tempat lagi di dunia ini, tidak ada lagi tempat berlindung dan tempat yang aman di dunia ini, aku tidak akan berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah!”
Oleh karena itu, Imam Husein as bergerak menuju Mekkah, rumah Allah Swt yang aman dan menjelaskan kepada masyarakat tentang kondisi dan situasi masa kepada mereka. Pada hari Arafah, beliau memanjatkan doa arif dan penuh cintanya kepada Allah Swt dan kemudian bergerak menuju Kufah meninggalkan manasik hajinya yang belum tuntas. Di dekat Kufah, Hur dan pasukannya menghadang jalan Imam Husein as dan sahabat beliau. Akhirnya rombongan Imam Husein as terpaksa menempuh jalur lain melintasi padang Karbala.
Di bumi itulah Imam Husein as dikepung oleh musuh. Dalam kondisi sulit dan krisis, keputusan apa yang harus diambil beliau? Menyerah dan berdamai? Tidak mungkin, karena bertentangan dengan tujuan kebangkitan dan gerakan beliau. Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah perlawanan dan perjuangan dibarengi dengan penyampaian hidayah dan penjelasan.
Dalam perjalanan dari Mekkah menuju Kufah dan Karbala, Imam Husein as yang mengetahui seluruh aspek kondisi dan situasi pada masa itu berkata, “Apakah kalian tidak menyaksikan kebenaran tidak diamalkan dan kebatilan tidak dicegah? Sunnah-sunnah telah mati dan bid’ah telah dihidupkan kembali.” Beliau mengemukakan itu untuk menjelaskan penyimpangan pemikiran, akhlak, berbagai kekeliruan, ketergelinciran masyarakat dan kelalaian dari menjaga elemen penting yang menjaga agama tetap hidup yaitu amr makruf dan nahyu munkar. Beliau menyebut kebangkitan beliau sebagai gerakan islah dan memperkenalkan dirinya sebagai “muslih”, yang berarti pengislah. Sebagaimana dalam surat wasiat kepada saudaranya Muhammad bin Hanifah, Imam Husein as menyatakan, “Aku bangkit untuk mengislah umat kakekku.”
Dalam menjelaskan filsafat kebangkitannya, Imam Husein as menyebutkan islah umat dan pembangkitan sirah Rasulullah Saw. Artinya beliau ingin menyadarkan umat Islam bahwa mereka sedang menjauh dari sunnah Rasulullah Saw. Imam Husein as menyadari dengan baik bahwa penyimpangan tersebut mengancam tegaknya pilar-pilar Islam dan jika dibiarkan berlanjut, maka banyak maarif agama yang akan termarginalkan dan pada akhirnya Islam hanya akan menjadi lapisan lahiriyah masyarakat.
Dalam kondisi mengenaskan seperti itu, apa yang dapat membebaskan agama dari cengkeraman para penguasa zalim? Melihat pada kondisi yang ada, Imam Husein as mengambil keputusan sangat logis dan rasional untuk menyadarkan masyarakat. Karena bukan hanya masalah-masalah ideologi dan spiritual saja yang harus diluruskan kembali, melainkan masalah-masalah sosial dan politik masyarakat Islam saat itu. Maka untuk membebaskan agama dari masalah besar ini, pertama adalah tidak diakuinya pemerintahan Yazid dan kedua, penebusan dari penentangan terhadap rezim zalim Yazid.
Imam Husein as dengan menggunakan prinsip-prinsip yang benar beliau menjelaskan sebuah pemerintahan yang dipimpin oleh imam yang adil, serta mengecam perilaku-perilaku tidak adil para penguasa zalim. Pada tahap awal, beliau menjelaskannya dengan teori logis agama Islam dengan mengutip ucapan Rasulullah Saw dan mengatakan, “Barang siapa yang melihat penguasa zalim yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah Swt, dan dia berdiam diri, maka Allah Swt akan menempatkannya di sisi penguasa zalim itu.”
Keluarnya Imam Husein as dari Mekkah menuju Kufah juga menjadi peristiwa yang sangat menggemparkan. Tidak menuntaskan seluruh manasik haji di Mekkah, menimbulkan gelombang informasi luas di tengah masyarakat. Di satu sisi, Imam Husein as ingin menyedot perhatian umat Islam dan menginformasikan kepada para hujjaj tentang kebangkitan Imam Husein as untuk disampaikan ketika mereka pulang ke negara mereka. Dan di sisi lain, beliau ingin menekankan betapa pentingnya tujuan yang tengah diperjuangkan beliau.
Jika diperhatikan dari penjelasan Imam Husein as dan surat-surat beliau serta pertemuan beliau dengan para pemimpin kabilah di Mekkah, akan kita dapati bahwa gerakan Imam Husein as merupakan hasil dari analisa tingkat tinggi tentang kondisi dan situasi masyarakat Islam kala itu. Mengingat penyimpangan di sektor pemikiran agama merupakan masalah terbesar di masa itu, maka Imam Husein as menggunakan semua kesempatan untuk menjelaskan konsep-konsep hakiki agama dan memaparkan posisi seorang pemimpin dalam masyarakat.
Sirah Perdebatan Imam Ali bin Musa al-Ridha as
Hari ini adalah hari kelahiran Imam Ali bin Musa al-Ridha as, cucu suci Rasulullah Saw. Seorang pemimpin yang lebih dari 1.000 tahun lalu telah menginjakkan kaki ke Persia dan kehadirannya membanjiri hati hari pecinta Rasulullah Saw dan Ahlul Bait Nabi as dengan suka cita dan kegembiraan.
Gelombang manusia yang berziarah ke makam Imam Ali al-ridha as, mengingatkan masa-masa ketika beliau bergerak dari Madinah menuju Marv, salah satu wilayah Persia (Iran saat ini). Warga kota Marv telah beberapa hari sebelumnya mempersiapkan diri menyambut kedatangan manusia mulia itu.
Ketika rombongan Imam Ali al-ridha as tiba di Marv, suka cita bercampur dengan air mata kerinduan masyarakat tidak dapat terbendung lagi. Masing-masing orang menyampaikan kerinduan dan kecintaan meeka dengan berbagai cara. Sambutan masyarakat sedemikian rupa sehingga membuat rombongan Imam Ali al-ridha as terpaksa berhenti. Semua orang ingin menatap wajah cucu Rasulullah Saw itu dan mendengarkan suaranya. Kesempatan itu pun tidak disia-siakan Imam untuk berpidato.
Dalam suasana yang mendadak hening, Imam Ali al-ridha menyampaikan hadis qudsi di mana Allah Swt berfirman kepada Rasulullah Saw, dan berkata: “Kalimat tauhid yaitu tiada tuhan selain Allah (Swt) adalah benteng-ku dan barang siapa yang memasuki benteng-Ku, maka akan terjaga dari azab-Ku.”
Setelah mengutip hadis tersebut, Imam Ridho as memperkenalkan diri sebagai syarat untuk masuk dalam benteng itu dan mengatakan, “Namun dengan memperhatikan syarat-syaratnya dan aku termasuk di antara persyaratan itu.” Dengan demikian, Imam Ali al-ridha as telah menjelaskan peran poros Ahlul Bait as dalam kepemimpinan umat Islam.
Imam Ali al-ridha as lahir pada tahun 148 hijriah di kota Madinah. Di bawah binbingan ayah beliau, Imam Musa al-Kadzim as, beliau siap memikul tanggung jawab berat itu. Imam Ali al-ridha as, adalah mata air ilmu dan keutamaan. Amal dan kata-kata beliau penuh dengan keridhoan atas Allah Swt. Oleh karena itu, beliau diberi gelar al-Rhido.
Beliau memikul tanggung jawab imamah selama 20 tahun yang sebagian besarnya dihabiskan di Madinah dan tiga setengah tahun terakhir masa hidupnya di kota Marv, Khurasan (Iran saat ini). Beliau meninggalkan Madinah atas paksaan penguasa Bani Abbasiah kala itu, Ma’mun.
Kala itu Marv merupakan pusat ilmiah di tanah Khurasan. Imam Ali al-ridha as menggunakan keunggulan tersebut untuk meningkatkan gerakan ilmiah. Di lain pihak, Ma’mun berusaha tampil dekat dengan Imam Ali al-ridha demi kepentingan politiknya. Namun pada saat yang sama, dia selalu berusaha mencoreng keutamaan ilmu Imam Ali al-ridha as dengan menggelar berbagai acara debat. Akan tetapi Imam dalam setiap sesi perdebatan, selalu menang dan bahkan mempengaruhi para ilmuwan yang hadir, dengan argumentasinya yang kokoh.
Islam adalah agama yang menyambut berbagai pertanyaan dan tidak pernah tercatat dalam sejarah bahwa para imam Ahlul Bait as tidak menjawab pertanyaan yang dikemukakan kepada mereka. Imam Ali al-ridha as, berperan penting dalam perluasan budaya Islam. Dalam berbagai acara debat, Imam selalu mempertimbangkan hidayah dan bimbingan untuk lawan dan tidak berusaha untuk selalu menang. Beliau membuktikan kebenaran keyakinan Islam dengan menggunakan argumentasi logis yang kokoh. Imam berkata, “Jika masyarakat memahami keindahan ungkapan kami maka mereka pasti akan mengikuti kami.” Dan terbukti betapa banyak musuh-musuh yang akhirnya menjadi teman di akhir acara perdebatan.
Imam Ali al-ridha as yang menguasai teknik-teknik argumentasi, selalu mempertimbangkan setiap dimensi. Pertimbangan atas tingkat budaya di masa itu dan penyesuaian istilah-istilah yang digunakan, semuanya harus sesuai dengan kemampuan logika dan pemikiran lawan debat.
Terkadang dalam berdebat dengan para ilmuwan Imam Ali al-ridha as, menekankan pada berbagai sisi dan argumentasi yang juga diterima oleh lawan debat. Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah soal debat antara Imam Ali al-ridha as dan para tokoh Kristen dengan menggunakan argumentasi kitab Injil dan juga dalam pembahasan dengan tokoh Yahudi dan menggunakan argumentasi dari kitab Taurat.
Meski memiliki tingkat keilmuwan tinggi, akan tetapi Imam tidak merendahkan lawan debat beliau. Imam selalu menjaga kehormatan pihak seberang meski sebagiannya tidak beragama. Jika perdebatan sampai pada titik di mana pihak lawan tidak lagi bisa menjawab, beliau membimbingnya atau mengutarakan sebuah pertanyaan sehingga pembahasan mereka menghasilkan. Bahkan terkadang beliau menjawab pertanyaan lawan dengan mengatakan, “Jika kau bertanya seperti ini maka pendapat kamu sendiri akan tertolak.”
Di antara lawan debat Imam Ali al-ridha as, adalah seseorang bernama Amran Sabi, yang tidak meyakini adanya Allah Swt, di mana setelah menyaksikan sikap dan argumentasi Imam, dia beriman kepada Allah Swt dan memeluk agama Islam. Sepanjang perdebatan, Imam memanggil Amran dengan nama kecilnya sehingga dengan demikian terjalin keakraban dan tercipta suasana santai. Selama tanya jawab berlangsung, Imam ketika menjawab pertanyaan Amran Sabi beliau mengatakan, “Wahai Amran, apakah kau paham?” Sikap itu sedemikian rupa sehingga Amran juga memberikan jawaban secara terhormat dan mengatakan, “Iya, tuanku.”
Tujuan dan maksud para pendebat adalah harus sampai pada hakikat yang jelas dan tak tergoyahkan. Itu hanya dapat tercapai ketika perdebatan jauh dari fanatisme dan permusuhan. Imam Ali al-ridha as dengan akhlak yang mulia, tidak menuding lawan beliau telah berbohong dan juga tidak pernah menistakan atau merendahkan mereka. Melainkan beliau selalu mengingatkan titik kekeliruan dan penyimpangan mereka. Beilau tidak pernah mengkritisi individu melainkan mengkritisi masalah pembahasan.
Perdebatan Imam Ali al-ridha as, membawa banyak berkah untuk dunia Islam termasuk di antaranya adalah menunjukkan citra kebebasan dalam Islam. Imam telah mematahkan klaim dan kebohongan banyak pihak bahwa Islam memaksakan kehendak dan menghunuskan pedang kepada para penentangnya. Namun tampilnya Imam Ali al-ridha as, telah jelas bagi semua orang bahwa Islam menyambut perbedaan pendapat bahkan meski dari pihak yang menafikan tauhid dan menentang Islam.
Termasuk di antara berkah dan manfaat perdebatan Imam al-ridha as, adalah membuka lahan yang kondusif bagi penyebaran risalah Islam dan perluasan khazanah ilmu Islam, serta jawaban tegas secara ilmiah kepada para penentang Islam. Metode-metode dakwah Imam Ali al-ridha as dalam berbagai acara perdebatan memiliki pengaruh yang luar biasa untuk menyingkap penyimpangan anti-Islam dalam masyarakat, sekaligus menjelaskan posisi luhur Ahlul Bait as.
Dalam acara-acara perdebatan itu dan di antara para penentang Islam, Imam Ali al-ridha as menggalang sahabat yang setia, seperti Amran Sabi, yang juga pada akhirnya menjadi pembela agama Allah Swt. Sirah perdebatan Imam Ali al-Ridha as merupakan teladan dalam dialog konstruktif yang merefleksikan nilai-nilai akhlak, rasionalitas dan argumentasi untuk mencapai hasil yang lebih baik dan lebih efektif.(
Akhlak dalam Sirah Kehidupan Imam Muhammad al-Jawad as
Manusia memerlukan teladan dan contoh yang meyakinkan untuk mencapai posisi aman dan terjamin di dunia dan akhirat. Secara fitrah manusia mencari kesempurnaan dan keutamaan akhlak. Oleh sebab itu, manusia selalu mencari seseorang yang sempuna dan memiliki berbagai keutamaan dan keindahan maknawi dan hakiki. Rahasia kesuksesan dan kemenangan para pemimpin agama adalah pesona hati suci mereka dalam hal ini. Mengingat para nabi dan auliya Allah, yang memiliki berbagai keutamaan dan nilai-nilai luhur, adalah manusia-manusia terbaik di masanya.
Dengan meneliti dan merunut sirah dan kehidupan para anbiya dan auliya, manusia pencari kebenaran akan menjadikan mereka sebagai teladan dalam amal dan ibadah. Salah satu di antara teladan tersebut adalah Imam Muhammad al-Jawad as, di mana sirah kehidupan beliau penuh dengan spiritualitas, kesejukan, kepedulian dan kasih sayang. Beliau adalah manifestasi manusia sempurna dari sisi kecintaan, kasih sayang, keluruhan akhlak, kejujuran, kebenaran dalam ucapan, keilmuan, pengorbanan, kesatriaan dan lain-lain.
Imam Jawad gugur syahid pada akhir bulan Dzulqa’dah tahun 220 Hijriah. Dalam sejarah hidup beliau yang singkat itu, beliau memberikan kontribusi besar dalam meningkatkan bobot maarif islami. Kehidupan Imam Jawad as adalah teladan sempurna dan komprehensif untuk seluruh umat manusia khususnya para pemuda. Tidak diragukan lagi bahwa di dunia moderen yang di dalamnya berbagai masalah mental dan perilaku yang terus meroket ini, pengakraban dan peneladanan akhlak dan perilaku manusia kekasih Allah Swt ini, akan menjadi pengurai simpul semua masalah kehidupan.
Imam Jawad as menilai amal yang tidak didukung dengan ilmu, tidak bernilai. Menurut beliau, setiap amal harus dilakukan dengan kesadaran, pengetahuan dan kewaspadaan. Jika seseorang terjun dalam sebuah aktivitas yang tidak diketahuinya atau masuk ke sebuah ruangan selain melalui jalurnya, maka dia akan merugi dan gagal. Oleh karena itu, Imam Jawad dalam hal ini mengatakan, “Orang yang tidak mengenal jalan masuk sebuah pekerjaan, maka [pencarian] jalan keluarnya akan membuatnya putus asa.” (Bihar al-Anwar jilid 57). Beliau juga mengatakan, “Pengaturan dan perencanaan setiap amal sebelum melaksanakannya, akan menjaga manusia dari kekecewaan,” (Mutaha al-Amaal jilid 2).
Dengan demikian, orang yang melakukan pekerjaannya dengan kesadaran, pengetahuan dan perencanaan, dia akan berhasil dan meski terjadi gangguan, dia akan mampu mempertimbangkan semua aspek untuk menyelesaikan masalahnya. Orang seperti ini tidak akan kecewa dengan apa yang telah dilakukannya karena sejak awal segala langkahnya telah melalui prosesnya yang benar.
Kerendahan hati menurut Islam termasuk di antara keutamaan dan nilai-nilai luhur dalam akhlak serta menunjukkan kesempurnaan akal seseorang. Sebaliknya, takabbur dan kesombongan adalah sifat tercela, karena akan menghalangi manusia menerima kebenaran dan hidayah. Semakin sifat takabbur dan kesombongan bertambah dalam diri manusia, maka semakin meningkat pula penekanannya pada kesesatan dan kegelapan.
Imam Jawad as memaparkan berbagai pengaruh positif dan berkah dalam kerendahan hati dan mengatakan bahwa tawadhu’ atau kerendahan hati akan membuka pintu untuk keridhoan Allah Swt. Beliau adalah orang yang paling bertawadhu’ di masanya dan beliau menilai kerendahan hati itu sebagai kebanggaan beliau. Dan dalam rangka mendorong masyarakat untuk memperhatikan sifat luhur ini, beliau mengatakan, “Kerendahan hati adalah perhiasan dan kemuliaan hasab dan nasab,” (Bihar al-Anwar jilid 77)
Sama seperti para imam Ahlul Bait as, Imam Jawad selalu memprioritaskan kesabaran dan toleransi dengan masyarakat. Beliau tidak bersikap keras kepada orang lain dan jika ada yang berbuat kekeliruan, dengan mudah beliau merelakan dan menutupinya. Imam Jawad as dikenal sangat penyabar di hadapan sikap-sikap kasar sebagian kelompok. Namun berkat ketabahan dan kesabaran luar biasa itu, banyak manusia yang tersesat yang terpesona akan akhlak mulia Imam dan akhirnya menerima hidayah.
Hal ini telah ditekankan Allah Swt kepada Rasulullah Saw dalam ayat 159 surat Aali Imran, yang artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Imam Jawad as menilai toleransi dan kasih sayang sebagai salah satu prinsip dalam interaksi sosial. Beliau mengatakan, “Salah satu tanda toleransi seseorang terhadap saudaranya adalah tidak memarahinya di depan orang lain.” Oleh karena itu, menyoal orang lain meski ada alasan logis, bukan sikap yang tepat. Setiap manusia harus bersikap lembut dan penuh kasih sayang dengan orang lain. Karena ini adalah ketentuan Allah Swt sebagaimana dijelaskan oleh Imam Jawad as: “Barang siapa meninggalkan toleransi dan perdamaian, maka kesulitan akan menghadangnya.”
Kejujuran dan kebenaran dalam ucapan merupakan salah satu amal terpuji dan termasuk di antara keutamaan akhlak. Fitrah suci manusia menuntutnya untuk selamat, stabil serta agar hati dan lidahnya seirama. Apa yang dikatakannya, itu pula yang diyakininya. Itu adalah makna kejujuran dan kejujuran di hadapan Allah Swt juga harus menjadi prioritas. Ketika dalam shalat kita membaca ayat kelima surat al-Fatihah: “hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan,” maka seharusnya kita jujur dalam hal ini. Akan tetapi sayangnya, manusia kerap menghindari dosa di hadapan orang lain, namun tidak demikian ketika sendirian.
Pengabdian kepada masyarakat merupakan salah satu cara paling efektif untuk menarik hati manusia. Fitrah manusia akan condong dan terikat kepada orang yang berbuat baik kepadanya atau menyelesaikan masalahnya. Salah satu teladan akhlak Imam Jawad as adalah perhatian beliau terhadap tuntutan masyarakat dan upaya untuk menyelesaikan masalah mereka. Oleh karena itu, pada puncak pengabdian dan pengorbanan demi masyarakat, beliau memanfaatkan seluruh sarana dan kemampuan yang dimiliki untuk membantu menyelesaikan masalah masyarakat dan memenuhi tuntutan mereka.
Sedemikian dermawan Imam Jawad as kepada masyarakat sehingga beliau mendapat gelar panggilan “Jawad” yang artinya adalah dermawan. Beliau mengatakan bahwa kunci diturunkannya nikmat-nikmat Allah Swt yang melimpah kepada seseorang adalah upayanya untuk menyelesaikan masalah masyarakat, dan dalam amal ini hanya keridhoan Allah Swt yang diharapkan. Menurut Imam Jawad as, terkadang dengan pekerjaan-pekerjaan mudah, manusia dapat lebih dekat dengan Allah Swt. Beliau mengatakan, “Bersikap lemah-lembut dan banyak bersedekah, akan menyampaikan hamba pada keridhoan Allah Swt.”
Beliau menilai berbuat baik dan bantuan kepada mereka yang membutuhkan termasuk di antara amal yang paling dicintai Allah Swt. Dalam hal ini, Imam Jawad as berkata, “Nikmat tidak akan ditambah untuk seseorang, kecuali dia kebutuhan masyarakat darinya juga meningkat, maka jika seseorang tidak dapat memikul beban berat ini, maka nikmat tersebut juga akan memudar.”
Ahmad bin Hadid meriwayatkan, “Bersama sekelompok orang kami berangkat untuk haji. Di tengah perjalanan kami dihadang para perampok dan mereka merampas semua yang kami miliki. Ketika sampai di Madinah, aku melihat Imam Jawad as. Bersamanya aku pergi ke rumahnya dan aku ceritakan masalahku. Imam (as) memerintahkan agar aku diberi baju bersama uang seraya berkata kepadaku: bagikan uang ini dengan teman-temanmu sebanyak jumlah uang mereka yang terampas. Ketika aku selesai membagikan uang itu, jumlahnya sama persis dengan uang kami yang dirampas para perampok.”
Imam Muhammad Baqir as, Peletak Pondasi Gerakan Ilmiah Islam
Kabar gugur syahidnya Imam Muhammad Baqir as, sangat berat bagi sahabat-sahabat dekat Imam Muhammad Baqir as seperti Jabir bin Yazid Ja’fi. Jabir selalu mengingat pesan pertama dari Imam Muhammad Baqir as. Pada hari itu, untuk pertama kalinya, dia bertemu dengan Imam Muhammad Baqir as di Masjid Nabi (Saw). Hari itu dia mendengar Imam berkata, “Carilah ilmu, karena mencari ilmu adalah hal terpuji. Ilmu adalah pembimbing kalian dalam kegelapan dan penolong kalian dalam kesulitan, dan ilmu adalah teman yang baik bagi manusia.”
Imbauan tersebut membuat Jabir menghadiri pertemuan dan diskusi ilmiah Imam Muhammad Baqir as. Sepeninggal Imam Muhammad Baqir as, Jabir menangis kala mengingat kasih sayang beliau dan mengenang kembali pesan-pesan lain Imam. Imam Muhammad Baqir as berkata, “Wahai Jabir, orang yang merasakan kenikmatan mengingat Allah Swt dalam dirinya, maka hatinya tidak akan terjerat (cinta) dengan sesuatu yang lain. Para pencari Allah tidak mengandalkan dunia ini dan tidak pula bergantung padanya. Maka berusahalah menjaga apa yang telah diamanatkan oleh Allah Swt dari agama dan hikmah-Nya kepadamu.”
Tugas terpenting Rasulullah Saw dan Ahlul Bait as adalah membimbing umat manusia menuju jalan kebahagiaan. Oleh karena itu, masing-masing mereka melaksanakan tugas tersebut dengan cara yang berbeda sesuai dengan kondisi sosial dan politik pada masa itu. Pada masa kepemimpinan Imam Muhammad Baqir as yang berlangsung selama 19 tahun, kondisi memungkinkan beliau untuk beraktivitas menjelaskan dan memperluas maarif Islam. Beliau diberi gelar nama “Baqir al-Ulum” yang berarti pemecah ilmu-ilmu.
Gelar tersebut diberikan langsung oleh Rasulullah Saw. Hal ini disebutkan dalam berbagai riwayat baik dari Syiah maupun Sunni. Bihar al-Anwar, Amali (Syeikh Saduq) dan Uyun al-Akhbar, adalah di antara sumber-sumber riwayat tersebut dari kalangan Syiah. Sementara dari Ahlusunnah, riwayat tersebut bersumber dari kitab sejarah milik Ibn Asakir dan Tadzkira al-Khawas ibn Juzi.
Diriwayatkan salah seorang sahabat Rasulullah Saw bernama Jabir bin Abdullah Ansari mengatakan, suatu hari, Rasulullah Saw berkata kepadaku: “Sepeninggalku, kau akan melihat akan ada seseorang dari keturunanku yang namanya sama dengan namaku. Dia akan memecah ilmu dan membuka pintu ilmu bagi masyarakat.”
Imam Muhammad Baqir as sangat memperhatikan masalah belajar dan perluasan ilmu pengetahuan. Pada hakikatnya, dapat dikatakan beliau adalah peletak pondasi gerakan ilmiah dan budaya dunia Islam. Imam Muhammad Baqir as dengan sangat teliti dan terperinci, memilah-milah dan menganalisa berbagai masalah ilmiah dan fikih. Menurut para perawi sejarah Islam, melalui berbagai aktivitas ilmiah yang yang sangat luas dan mendalam, Imam Muhamamd Baqir as menghembuskan semangat baru untuk kehidupan ilmiah dan maarif Islam.
Di antara upaya Imam Muhammad Baqir as adalah penjelasan masalah-masalah teologi dalam berbagai acara diskusi dengan para ulama dan ilmuwan di masanya. Metode diskusi termasuk di antara metode efektif untuk menumbuhkan dan meningkatkan gerakan ilmiah dalam masyarakat Islam. Diskusi itu dilakukan berdasarkan asas perhatian dan penghormatan terhadap pendapat pihak lawan dan juga pemberian kesempatan untuk mengemukakan pendapat.
Imam Baqir as dalam hal ini mengatakan, “Para ilmuwan harus lebih tamak untuk mendengar pendapat. Selain mengasah kepiawaian berbicara, mereka juga harus meningkatkan kemampuan untuk mendengar dengan baik.” Beliau juga mengatakan, “Ketika kamu duduk bersama seorang ilmuwan, maka hendaknya kau belajar untuk lebih tamak dalam mendengar ketimbang berbicara serta menyimak dengan baik. Sebagaimana kau mempelajari berbicara dengan baik, jangan kamu potong ucapan siapa pun.” Oleh karena itu, dengan menggelar berbagai acara diskusi dengan para ilmuwan bahkan dari kelompok penentang, Imam Muhammad Baqir as telah memperluas ilmu-ilmu Islam.
Dengan kata lain, Imam Muhammad Baqir as bukan hanya menjadi peletak pondasi metode perspektif baru dalam sejarah Islam. Beliau juga memiliki program untuk perluasan ilmu pengetahuan serta memberikan mekanisme rapi dan rasional untuk menjelaskan dan memaparkan ilmu dan maarif agama.
Di antara perjuanan ilmiah Imam Muhammad Baqir as adalah pembentukan universitas maarif Islam dan pendidikan banyak murid di berbagai cabang ilmu. Jumlah murid Imam Muhammad Baqir as mencapai 465 orang. Masing-masing sahabat dan murid beliau menghafal ribuan hadis dan dalam banyak kesempatan, hadis-hadis tersebut disusun dan dikumpulkan.
Asas dan prinsip setiap aksi dan amal adalah wacana dan perspektif. Jika ilmu pengetahuan diharapkan meluas dalam masyarakat, maka tahap awalnya adalah menekankan pentingnya mencari ilmu, nilai dan kemuliaan para guru dan ulama, tujuan menimba ilmu serta pengaruhnya. Imam Muhammad Baqir as dalam menyebarkan wacana serta mempersiapkan penimbaan ilmu, telah mengambil langkah-langkah efektif dan mengemukakan hadis-hadis berharga untuk menciptakan semangat menimba ilmu. Untuk hal ini, beliau mengatakan, “Ilmu adalah khazanah dan kuncinya adalah pertanyaan. Maka bertanyalah sehingga Allah Swt akan merahmati kalian; karena bertanya akan mendatangkan pahala untuk empat orang: penanya, guru, pendengar, dan orang yang menjawab.”
Salah satu langkah lain Imam Muhammad Baqir as dalam jihad ilmiah adalah upaya untuk menjaga budaya dan maarif agama dengan mengabadikannya dalam buku dan catatan. Keistimewaan langkah Imam Muhammad Baqir as menunjukkan pengaruhnya pada masa gerakan ilmiah Imam Ja’far Sadiq as.
Beliau juga menunjukkan perjuangan gigih untuk menajga ilmu pengetahuan tetap berada di luar jangkauan rezim berkuasa, para khalifah Bani Umayah. Tidak boleh dilupakan bahwa para Khalifah Bani Umayah berusaha menisbatkan gerakan ilmiah dalam masyarakat Islam itu kepada istana. Akan tetapi cara yang ditempuh Imam Muhammad Baqir as melawan upaya tersebut adalah memperkokoh pondasi gerakan ilmiah di seluruh wialyah umat Islam. Demi mengacu tujuan tersebut, beliau juga meningkatkan gerakan penerjemahan. Perlu diingat pula bahwa Imam Muhammad Baqir as juga sangat menekankan perluasan dan pengembangan ilmu. Beliau mengatakan, “Zakat ilmu adalah dengan mengajarkannya kepada para hamba Allah.”
Imam Muhammad Baqir as, di samping berbagai aktivitas ilmiah, beliau juga berjuang untuk mengislah urusan sosial dan menentang kezaliman. Oleh karena itu, beliau selalu menjadi target kebencian dan makar para penguasa Bani Umayah, yaitu Hisham bin Abdulmalik. Permusuhan itu sedemikian rupa sehingga beliau secara paksa direlokasi ke pusat pemerintahan Bani Umayah, yaitu di Syam (Suriah sekarang). Dengan demikian, rezim penguasa dapat dengan ketat mengawasi seluruh aktivitas beliau. Belum cukup, Imam Baqir as juga sempat dijebloskan ke penjara.
Namun cara-cara itu terbukti tidak efektif dalam mencegah perjuangan ilmiah dan anti-kezaliman Imam Muhammad Baqir as. Bahkan kehadiran beliau di Syam justru berdampak negatif bagi kekuasaan Hisham bin Abdulmalik. Oleh karena itu dia memutuskan untuk memulangkan Imam ke Madinah. Namun, di mana pun beliau berada, beliau bersinar bak matahari yang menerangi jalan umat Islam. Sebab itu pula, Hisham akhirnya membunuh Imam Baqir as dengan racun.(
Terbitnya Mentari Hidayah Kesepuluh
Setelah Rasulullah Saw, menurut ungkapan beliau, telah ditinggalkan dua pusaka berharga kepada umat Islam yaitu al-Quran dan para Ahlul Bait as, yang akan menjadi pembimbing manusia menuju hidayah. Penekanan Rasulullah Saw terhadap Ahlul Bait as setelah al-Quran, adalah bahwa kehendak Allah Swt dan Rasul-Nya agar umat manusia dalam mempelajari dan memahami al-Quran serta berada di jalan yang lurus, mengikuti cahaya terang Ahlul Bait as dan menjadikan mereka teladan serta tempat rujukan. Oleh karena itu, posisi ilmiah dan marji’ serta pemimpin intelektual para manusia mulia ini sangat penting.
Pada masa di mana batas antara kebenaran dan kebatilan telah samar, dan kebatilan tampil dengan busana kebenaran; pengetahuan maarif murni Islam dari dua sumber yang sangat berharga itu, akan membuat setiap Muslim lebih bersikap bijak dalam menghadapi gerakan pemikiran distorsif dan syubhah. Oleh karena itu, Imam Hadi as dalam doa ziarah “Jami’ah Kabiroh” menilai para imam sebagai tambang rahmat, para pemilik khazanah ilmu pengetahuan, pemimpin dalam hidayah dan lentera terang dalam kegelapan.
Imam Hadi as lahir pada tahun 212 Hijriah di Madinah, dan setelah syahidnya sang ayah, Imam Jawad as, beliau memegang tanggung jawab kepemimpinan umat Islam. Pada era kepemimpinan Imam Hadi as yang berlangsung sekitar 24 tahun, beliau hidup di era kekuasaan enam khalifah dinasti Abbasiah. Dari keseluruhan masa kepemimpinannya, Imam Hadi as tinggal selama 13 tahun di Madinah. Selama itu, beliau memanfaatkan kekacauan kekuasaan dalam rezim Abbasiah untuk memperluas dan menjelaskan ajaran Islam.
Para pencari ilmu dari berbagai tempat berdatangan menghadap beliau dan menimba ilmu dari khazanah hikmah dan ilmu Ahlul Bait Nabi ini. Para pecinta Ahlul Bait dari berbagai wilayah termasuk Iran, Irak dan Mesir mengemukakan masalah dan pertanyaan kepada beliau baik secara langsung maupun korespondensi. Ketika itu Imam Hadi as mengutus wakil-wakil beliau ke berbagai tempat dan mereka menjadi jembatan hubungan dengan sang Imam dalam masalah-masalah syariat, ekonomi dan sosial.
Di kota Madinah, Imam Hadi as menjalin hubungan erat dengan orang-orang yang tertindas dan papa. Mereka yang kesulitan dalam mencari nafkah atau yang tidak memiliki tempat berteduh, mendatangi Imam Hadi as dan mereka pun mendapat bimbingan solusi atau dibantu beliau. Imam Hadi as mengeluarkan dana khumus, sedekah, zakat dan berbagai dana yang terkumpul dari berbagai wilayah, untuk membantu fakir miskin.
Terkadang beliau memberi modal kepada orang-orang fakir untuk berdagang sehingga tidak lagi tergantung serta dapat menjaga kehormatan dan nama baiknya. Para musafir yang sedang kesulitan juga dibantu Imam Hadi as dan beliau tidak membiarkan seorang Muslim di Madinah kelaparan atau seorang anak yatim yang menangis karena keterlantarannya.
Posisi dan popularitas Imam Hadi as di Madinah sedemikian kuat sehingga walikota Madinah bahkan tidak dapat mengambil tindakan keras dan pemaksaan terhadap cucu Rasulullah Saw itu. Pengaruh spiritual dan sosial Imam Hadi as, membuat seseorang bernama Buraihah yang ditunjuk oleh para penguasa Bani Abbasiah, sebagai pengawas kota Mekkah dan Madinah; dalam suratnya kepada Mutawakil, penguasa Bani Abbasiah menulis, “Jika kau menginginkan Haramain Syarifain (Mekkah dan Madinah) maka usirlah Ali bin Muhammad (Imam Hadi as) dari dua tempat ini; karena dia menarik masyarakat ke arahnya.”
Akhirnya pada tahun 233 Hijriah, Imam Hadi as bersama putra beliau yang masih kecil, Imam Hassan Askari as, dan para anggota keluarga beliau, terpaksa meninggalkan Madinah menuju Samara, yang ketika itu merupakan pusat pemerintahan Dinasti Abbasiah.
Seseorang bernama Yahya bin Hartsamah, ditugaskan mengawal kepergian Imam Hadi as dari Madinah menuju Samara. Dia tiba di Madinah bersama 300 pasukan perang. Dia mengatakan, “Aku pergi ke Madinah dan masuk ke kota itu. Masyarakat sedemikian sedih dan galau. Secara perlahan kesedihan itu berubah menjadi teriakan dan keributan. Mereka mengkhawatirkan nyawa Imam Hadi as. Beliau demikian baik kepada masyarakat dan mereka menilai kehadiran Imam Hadi as di antara mereka mendatangkan rahmat dan berkah. Aku meminta masyarakat untuk tenang dan aku bersumpah bahwa tidak ada perilaku kasar yang terjadi untuk Imam.” Dalam riwayat disebutkan, selama perjalanan Yahya bin Hartsamah mulai dekat dengan Imam dan memiliki kecenderungan kepada beliau.
Sejarah menunjukkan bahwa para penguasa Bani Umayah dan Abbasiah akan menggunakan segala cara untuk menggoyahkan posisi para imam Ahlul Bait as dalam masyarakat. Akan tetapi mereka tidak mampu berbuat apapun menggoyahkan keunggulan para imam Ahlul Bait as dari segi ilmu, akhlak dan spiritualitas. Pengkhianatan terbesar para penguasa Bani Umayah dan Abbasiah terhadap umat manusia khususnya umat Islam adalah pencegahan penyebaran dan perluasan ilmu-ilmu Ahlul Bait as dalam masyarakat. Pembatasan dan kebijakan represif mereka terhadap Imam Hadi as dan putra beliau Imam Hassan Askari as, lebih keras dibanding para imam sebelumnya. Meski demikian, Imam Hadi as menggunakan setiap kesempatan untuk menyebarkan maarif murni Islam kepada masyarakat dan menunjukkan jalan kebenaran kepada mereka.
Imam Hadi as tinggal di kota Samara selama 20 tahun dan sembilan bulan. Kota itu terletak di 130 kilometer utara Baghdad. Mengingat tujuan Mutawakil memaksa Imam Hadi as pindah ke Samara adalah untuk mengawasi dan menjauhkan beliau dari aktivitas sosial, budaya dan juga dari masyarakat, maka telah dipersiapkan rumah untuk beliau dengan memperhatikan tujuan-tujuan tersebut.
Rumah beliau berada di dalam sebuah pangkalan militer Bani Abbasiah, dan lokasi tersebut sepenuhnya mirip dengan penjara. Telah ditunjuk mata-mata oleh istana yang akan bekerja sebagai pembantu di rumah Imam Hadi as. Mereka akan mengawasi seluruh aktivitas Imam Hadi as dan melaporkannya kepada penguasa. Meski diawasi ketat serta menghadapi berbagai kesulitan, namun Imam tidak pernah berdamai dengan para penguasa zalim, dan bahkan setiap hari pengaruh spiritual beliau dalam masyarakat semakin meningkat.
Mencari ilmu pengetahuan adalah jalan terbaik untuk mencapai puncak kesempurnaan dan tanpa ilmu, manusia tidak akan mampu berbuat apa-apa. Imam Hadi as percaya bahwa untuk menggapai tujuan-tujuan tinggi, masing-masing manusia harus menimba ilmu pengetahuan dan makrifat; karena tanpa ilmu pengetahuan, maka dia tidak akan sampai ke tujuan.
Dalam sebuah hadis Imam Hadi as berkata: “Ilmuwan dan penimba ilmu keduanya adalah mitra dalam kemajuan dan hidayah.” Jika ulama dan cendikiawan masyarakat tidak berupaya serta masyarakat tidak mencari ilmu, maka tingkat pemikiran dan budaya masyarakat tidak akan berkembang dan tidak akan tercapai kemajuan.
Menurut Imam Hadi as, salah satu kriteria para wali Allah dan manusia-manusia saleh adalah, mengampuni, merelakan dan menerima permintaan maaf orang lain. Ayub bin Nuh mengatakan, “Imam dalam sebuah surat kepada salah seorang sahabat beliau yang menyakiti hati seseorang, menasehatinya agar pergi meminta maaf dan mengatakan, ‘jika Allah Swt menginginkan kebaikan untuk hamba-Nya, maka Dia akan memberikan kepada hamba itu sebuah kondisi di mana setiap kali dia dimintai maaf, dia akan menerimanya. Kau pun terimalah permintaan maafku.’
Keagungan Ahlul Bait Dalam Mubahalah
Ada banyak momen penting yang terjadi dalam kalender Islam selama bulan Dzulhijjah dan salah satunya adalah peristiwa mubahalah yang jatuh pada tanggal 24 Dzulhijjah. Mubahalah adalah saling melaknat atau saling mendoakan agar laknat Allah Swt ditimpakan kepada kaum zalim dan berdusta tentang kebenaran.Ketika orang-orang terlibat dalam sebuah dialog penting dan gagal mencapai sebuah kesimpulan, maka sebagai jalan terakhir adalah mereka sepakat berkumpul di suatu tempat dan kemudian berdoa kepada Allah Swt agar ditimpakan azab kepada orang-orang yang berdusta.
Para pemeluk agama lain dan pemimpin politik dan tokoh aliran kepercayaanmenaruh perhatian khusus kepada Islam dan kaum Muslim pasca penaklukan kota Mekkah pada tahun kedelapan Hijriah dan setelah Islam menyebar luas di Jazirah Arab. Mereka juga mulai memfokuskan perhatiannya ke kota Madinah sebagai pusat pemerintahan Islam. Penaklukan Mekkah telah membuka ruang untuk penyebaran agama Islam ke berbagai penjuru wilayah Hijaz dan bahkan ke negara-negara lain. Rasulullah Saw memanfaatkan kesempatan itu dengan baik dan melayangkan beberapa pucuk surat serta mengutus para wakilnya untuk menemui pemimpin negara-negara lain.
Rasulullah Saw menyeru mereka untuk memeluk Islam atau secara resmi mengakui pemerintahan Islam dan mematuhi aturan-aturannya.Banyak tokoh tertarik untuk berangkat ke Madinah guna melihat dari dekat pusat pemerintahan Islam dan bertemu dengan pemimpin kaum Muslim. Sejak tahun kesembilan Hijriah, para delegasi dan suku-suku Arab dari berbagai daerah berbondong-bondong datang ke Madinah untuk menemui Rasulullah Saw. Delegasi kaum Nasrani Najran juga bertolak ke Madinah setelah menerima sepucuk surat dari Nabi Muhammad Saw. Uskup Agung Najran kemudian membentuk sebuah dewan untuk membicarakan perkara tersebut.
Dalam pertemuan itu, salah satu pembesar Nasrani yang terkenal pintar dan bijak berkata,“Kita berkali-kali mendengar dari para ulama kita bahwa suatu hari posisi kenabian akan berpindah dari garis keturunan Ishak kepada anak-anak Ismail dan ada kemungkinan kalau Muhammad merupakan salah satu dari keturunan Ismail, yaitu nabi yang dijanjikan.” Setelah berdiskusi panjang lebar, Dewan Ulama Nasrani kemudian memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Madinah guna berdiskusi dari dekat dengan Muhammad Saw dan menyelidiki argumen-argumen kenabian akhir zaman.
Nasrani Najran memiliki dua pertanyaan penting dari Rasulullah Saw. Pertama,Muhammad akan mengajak mereka untuk memeluk ajaran apa? Dan kedua, bagaimana pendapat Muhammad tentang Isa al-Masih? Dalam menjawab pertanyaan pertama, Rasulullah Saw menyeru mereka untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan mengenai pertanyaan kedua, beliau berkata, “Isa adalah hamba yang terpilih dan beriman kepada Allah. Ia adalah seorang manusia dan tidak boleh dianggap sebagai anak Tuhan.” Akan tetapi, delegasi Nasrani tetap mempertahankan konsep Trinitas dan menyebut Isa al-Masih sebagai anak Tuhan. Menurut mereka, Isa adalah anak Tuhan karena ia lahir tanpa perantaraan seorang ayah.
Ulama Nasrani kemudian bertanya kepada Rasulullah Saw, “Jika Isa adalah hamba dan makhluk Tuhan, lalu siapa ayahnya? Manusia adalah makhluk dan ia wajib punya ayah.” Pada saat itu, turunlah Malaikat Jibril as untuk menyampaikan ayat 59 surat Ali Imran kepada Rasul Saw. Ayat tersebut berbunyi, “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, Jadilah (seorang manusia), maka jadilah dia."Rasul Saw lalu menjelaskan isi ayat tersebut kepada para pembesar Nasrani. Tetapi, mereka tidak peduli dengan ucapan Nabi Saw dan tetap berpegang pada keyakinannya. Mereka menyatakan tidak puas dengan penjelasan Nabi Saw dan mengaku belum menemukan jawaban atas pertanyaannya.
Setelah itu, turun lagi dua ayatsebagai lanjutan dari ayat sebelumnya kepada Rasulullah Saw. "… Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta."Istilah mubahalah sudah dikenal luas oleh masyarakat Arab dan para penganut agama langit sebagai sarana untuk membuktikan kebenaran.Rasulullah Saw menyampaikan perkara ini kepada delegasi Nasrani dan mereka menerima untuk bermubahalah.
Pada hari berikutnya, Rasulullah Saw datang ke rumah Ali bin Abi Thalib. Rasul Saw memegang tangan Sayidina Hasan sambil memangku Husein dan berjalan ke luar kota bersama Ali dan Fatimah. Ketika menyaksikan kedatangan mereka, salah satu tokoh Nasrani Abu Haritsah bertanya kepada kaumnya, “Siapa mereka yang bersama Nabi Saw?” Mereka menjawab, "Yang di depan itu anak paman dan suami putrinya serta orang yang paling dicintai olehnya. Dua anak itu adalah putra-putranya dari putrinya dan wanita itu adalah Fatimah, putrinya yang paling beliau cintai."
Rasul Saw duduk di atas dua tumitnya ketika memasuki arena mubahalah. Abu Haritsah berkata, "Demi Tuhan, ia duduk sebagaimana para nabi duduk untuk bermubahalah." Kemudian ia kembali berkata, "Jika Muhammad tidak dalam kebenaran, dia tak akan berani bermubahalah, dan jika ia bermubahalah dengan kita, kurang dari satu tahun, tidak akan ada lagi seorang Nasrani pun yang tersisa di bumi ini.”Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Abu Haritsahberkata, "Aku menyaksikan wajah-wajah yang jika mereka memohon kepada Tuhan untuk mengangkat sebuah gunung dari tempatnya, maka gunung tersebut akan terangkat. Jadi, janganlah bermubahalah. Jika kalian lakukan itu, maka kalian akan binasa dan tidak ada seorang Nasrani pun yang akan tersisa di bumi ini."
Setelah delegasi Nasrani membatalkan mubahalah, Rasul Saw bersabda kepada mereka, "Bila kalian bersedia melakukan mubahalah denganku dan Ahlul Bait-ku, maka wajah kalian akan diubah menjadi kera dan babi. Lembah ini kemudian akan menjadi api yang membakar kalian. Setelah itu, tidak lebih dari setahun seluruh pengikut Nasrani akan lenyap dari muka bumi." Pada dasarnya, peristiwa mubahalah bukan hanya menunjukkan kebenaran dakwah Nabi Muhammad Saw, tapi juga menjelaskan keutamaan khusus orang-orang yang bersama beliau di hadapan semua sahabat dan keluarga besarnya. Peristiwa ini juga menjelaskan kebenaran dan keagungan Ahlul Bait as.
Setelah kejadian itu, Abu Haritsahmenemui Rasulullah Saw dan kemudian mengucapkan syahadat dan memeluk Islam. Sementara bagi kaum Nasrani yang tetap berpegang pada agamanya, mereka harus membayar jizyah (pajak) dan menandatangani sebuah perjanjian sesuai dengan ketentuan Islam. Nabi Saw lalu memanggil Ali as dan berkata, "Sampaikan kepada mereka syarat-syarat Ahli Dzimmah dan jumlah yang harus mereka bayar."
Para ahli tafsir dan hadis Syiah dan Sunni menyatakan bahwa ayat mubahalah juga bukti atas kebenaran Ahlul Bait Nabi as.Ketika mendatangi arena mubahalah, Rasul Saw hanya membawa putrinya Fatimah az-Zahra as, kedua cucunya Sayidina Hasan dan Husein as, serta menantunya Sayidina Ali as. Oleh karena itu, maksud kata "Abnaana" dalam ayat mubahalah hanya terbatas pada Hasan dan Husein as, sementara "Nisaana" hanya tertuju pada Fatimah as, dan kata "Anfusana" hanya terfokus pada Ali. Singkat kata, peristiwa mubahalah telah memperjelas kebenaran Islam dan keagungan Ahlul Bait as kepada semua orang, terutama kaum Nasrani.
Dalam buku doa Mafatih al-Jinan, ada sejumlah amalan khusus yang dilakukan tepat di hari ini antara lain; Mandi, amalan ini menunjukkan usaha untuk membersihkan badan lahiriah dari kotoran dan menandakan kesiapan jiwa untuk berhias dengan doa-doa yang akan dibaca. Berpuasa, amalan ini membuat batin manusia menjadi lebih segar. Dan membaca doa khusus hari Mubahalah yang disebut doa Mubahalah yang agak mirip dengan doa Sahar di bulan Ramadhan.
Muharram: Bulan Kebangkitan Imam Husein as
Bulan suci Muharram kembali menyapa kita. Bulan penuh kenangan pahit dan menyedihkan. Bulan penuh tragedi atas gugurnya cucu Nabi Imam Husein as beserta keluarga dan pengikutnya di Padang Karbala. Bulan penuh kenangan perjuangan heroik Imam Husein menegakkan kembali ajaran murni kakeknya. Bulan Muharram senantiasa dikaitkan dengan nama Imam Husein serta perjuangan besarnya di Padang Karbala.
Setiap tahun, ketika Muharram tiba, hati-hati para pecinta Nabi dan keluarganya penuh gairah dan semangat. Namun tahun ini, muslim dunia memasuki bulan Muharram dan peringatan kebangkitan Imam Husein, selain berduka atas gugurnya cucu Nabi, mereka juga berduka atas tragedi Mina yang dialami para peziarah Baitullah. Tragedi ini berujung pada tewasnya ribuan jemaah haji dengan mulut kehausan dan kepanasan. Seraya mengenang kebangkitan Imam Husein, mari kita berdoa kepada Allah memohon supaya korban tragedi Mina diterima di sisi-Nya dan mendapat ampunan serta pahala sebesar-besarnya dan keluarga yang ditinggal diberi kesabaran.
Kebangkitan Imam Husein di Padang Karbala pada tahun 61 Hijriah termasuk peristiwa yang kekal dan abadi sepanjang sejarah. Gerakan agung dan mulia ini melampau sekat-sekat geografi dan sejarah serta terus memberikan pengaruhnya sepanjang masa. Perjuangan Imam Husein bahkan telah banyak menyadarkan manusia dan membangkitkan semangat perjuangan menentang kezaliman dan ketidakadilan. Oleh karena itu, kebangkitan Imam Husein di sejarah Islam dan bahkan dunia memiliki keunggulan tersendiri.
Seperti kita ketahui bersama, para nabi dan kekasih Allah Swt telah mengerahkan segenap usaha dan perjuangannya demi menyebarkan agama Ilahi, memerangi kezaliman, kefasadan serta berupaya membebaskan manusia dan menuntun mereka ke arah kebahagiaan. Hal ini dapat kita saksikan dengan jelas di lembaran sejarah sepanjang masa. Satu lagi, yang membuat perjuangan mereka memiliki nilai suci dan agung adalah movitasi perjuangan itu sendiri. Dalam berjuang para Nabi dan kekasih Allah tidak memiliki tendensi pribadi, niat tulus mereka adalah demi keridhaan Allah. Perjuangan Imam Husein pun tak luput dari kaidah ini. Perjuangan cucu nabi ini sepenuhnya tulus dan demi menegakkan agama Ilahi.
Secara global motivasi kebangkitan Imam Husein as dapat dicermati dalam cita-citanya menghidupkan kembali agama Ilahi. Tak diragukan lagi, Islam berhutang banyak terhadap usaha Nabi dan Ahlul Baitnya yang diberbagai kesempatan membersihkan ajaran Ilahi dari debu-debu bid’ah dan penyelewengan. Peristiwa yang terjadi pasca meninggalnya Rasulullah menunjukkan realita bahwa sejumlah pihak berusaha menghidupkan kembali sunah, tradisi dan ideologi jahiliyah. Sementara sejumlah lainnya, karena keropos dan lemahnya iman yang dimilikinya memilih mengikuti kelompok pertama. Ada pula kelompok yang memilih bungkam menyaksikan peristiwa yang berlaku saat itu.
Seperti yang kita ketahui bersama, Nabi melalui ajaran abadinya dan kepribadian agungnya berhasil menciptakan perubahan mendalam dan mendasar di masyarakat Arab jahiliyah saat itu. Namun setelah kematian beliau, gerakan untuk menghidupkan kembali tradisi jahiliyah semakin santer terjadi dan terbuka peluang lebar-lebar masuknya bid’ah di agama Ilahi ini.
Sementara itu kaidah ini tidak boleh dilupakan bahwa setiap terjadi perubahan dan revolusi, jejak, tradisi dan ideologi masa lalu akan masih tetap terlihat dan peluang masyarakat untuk kembali kepada tradisi masa lalu mereka terbuka lebar. Seiring dengan berkuasanya Bani Umayah di kekhalifahan Islam, gerakan untuk menghidupkan kembali tradisi jahiliyah terus berjalan dengan berkedok Islam serta semakin santer untuk menyelewengkan masyarakat dari ajaran murni Islam. Di kondisi seperti ini, sejumlah pihak berusaha menghidupkan kembali ideologi jahiliyah yang diberantas oleh Rasulullah. Kondisi ini mencapai puncaknya di akhir pemerintahan Bani Umayah, tepatnya di saat Yazid bin Muawiyah berkuasa.
Setelah Muawiyah, Yazid sang putra khalifah Bani Umayah ini berkuasa. Padahal berdasarkan perjanjian Muawiyah dengan Imam Hasan as, Muawiyah dilarang menentukan pengganti. Pelanggaran perjanjian ini membuat Yazid berkuasa. Untuk mempertahankan kekuasaannya, Yazid tak segan-segan mengabaikan serta menyelewengkan hukum Allah yang paling jelas sekali pun. Ia tercatat sosok paling tidak layak menduduki posisi khalifah umat muslim dalam sejarah Islam. Ia pun tak malu-malu menunjukkan kemaksiatan dan pelanggarannya atas hukum Ilahi.
Sementara itu, Imam Husein menyadari realita bahwa orang-orang zalim dengan kedok agama, menguasai rakyat dan mereka berusaha menghidupkan kembali ideologi jahiliyah dengan model baru. Mereka tak segan-segan menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya. Oleh karena itu, Imam Husein saat menjelaskan sebab penentangannya terhadap Yazid berkata, “Aku bangkit untuk memperbaiki umat kakek-ku dan aku ingin mengamalkan amar makruf nahi munkar, serta berperilaku seperti sunah kakek-ku Rasulullah Saw.”
Imam Husein yakin bahwa penguasa zalim tidak akan pernah berjalan di jalan yang benar. Sebuah masyarakat yang pernah mengecap kehidupan mulia di bawah kepemimpinan Rasulullah, kini dihadapkan pada kenyataan pahit berkuasanya seorang pemimpin seperti Yazid. Di seluruh wilayah Islam saat itu, tidak dapat disaksikan tanda-tanda keadilan. Di era kekuasaan Bani Umayah, rasisme dan kesukuan yang diberantas dengan gigih oleh Rasulullah, ternyata kembali dihidupkan dan seiring dengan berlalunya waktu, menyusup di tengah-tengah masyarakat Islam. Dengan demikian masyarakat Islam semakin jauh dari ajaran murni agama mereka.
Sementara itu, para Ahlul Bait Nabi dan sejumlah tokoh serta sahabat Nabi aktif memberikan pencerahan kepada masyarakat dan memerangi fenomena buruk yang berusaha menghidupkan kembali ideologi dan tradisi jahiliyah. Namun mengingat, sosok yang menduduki kekuasaan dan menjadi pemimpin umat Islam adalah orang yang tidak memiliki kelayakan dan ia banyak memberikan pengaruh negatif terhadap pemikiran serta ideologi rakyat, maka sedikit demi sedikit ideologi Islam sejati dan sendi-sendinya semakin terkucil.
Contoh nyata dalam hal ini adalah masjid yang di zaman nabi memainkan peran siginifikan sebagai tempat aktivitas seperti ibadah, politik dan sosial, secara perlahan telah kehilangan fungsi utamanya dan berubah menjadi tempat ibadah individu. Seremonial yang digelar di masjid Makkah, Madinah, Damaskus, Kufah dan Basra atas nama agama adalah ritual yang tidak memiliki semangat atau sekedar penipuan terhadap rakyat.
Saat itu dapat dikatakan bahwa seluruh amal ibadah tidak memiliki pengaruh positifinya dan tidak efisien. Di sisi lain, umat Muslim saat itu tidak peduli dengan gerakan dan peristiwa sosial dan politik di sekitarnya. Atau dengan kata lain, mereka telah jauh dari esensi sejati agama yang mereka anut. Artinya, Bani Umayah dengan program yang tersusun rapi, dengan menampilkan Islam di luarnya, sejatinya telah menghancurkan ajaran sejati agama samawi ini. Transformasi ini telah membuat umat Islam tidak peduli. Bahkan sejumlah tokoh Islam saat itu ternyata malah mengkhawatirkan kepentingan materinya ketimbang mengkhawatirkan agama Ilahi tersebut.
Di kondisi seperti ini, sosok seperti Imam Husein tidak dapat berdiam diri dan beliau menyadari sepenuhnya bahwa bungkam dihadapan kebijakan serta strategi manusia seperti Yazid akan berujung pada musnahnya Islam. Meski Yazid berusaha keras mengambil baiat dari Imam Husein, namun Imam menolak memberikan baiat kepada pemimpin Bani Umayah ini, serta bertekad memberikan perlawanan kepada para pemimpin zalim Bani Umayah.
Imam Husein selama pergerakannya senantiasa memberi pencerahan kepada rakyat serta tokoh masyarakat. Ini merupakan tugas pemimpin umat Islam memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memiliki pandangan yang benar dan membangunkan hati-hati yang tertidur. Oleh karena itu, Imam Husein di berbagai kesempatan aktif memberi pencerahan kepada masyarakat. Metode perjuangan Imam Husein mengedepankan semangat mencari kehormatan dan menjauhi kehinaan. Dalam perjuangannya, Imam Husein juga menekankan kebebasan dan kehormatan manusia. Di berbagai kesempatan, Imam Husein senantiasa mengingatkan hal-hal tersebut.
Imam Husein dengan berpegang teguh pada prinsip seperti ini mampu menghidupkan semangat dan hasrat umat Islam, sehingga perjuangan beliau menjadi abadi. Imam mengingatkan umat Islam bahwa mereka jangan sampai tunduk terhadap penguasa zalim dan hanya tunduk kepada perintah Allah yang diturunkan demi kebahagiaan umat Islam.
Husein bin Ali melalui kebangkitannya telah menunjukkan sebuah hakikat indah. Hakikat tersebut adalah ketika kezaliman menguasai umat manusia dan cahaya kebaikan serta keutamaan padam, maka manusia harus bangkit demi menghidupkan nilai-nilai agama, meskipun mereka harus berkorban nyawa di jalan ini.
Imam Husein as Perspektif Maulawi
Budaya Iran bercampur dengan budaya Islam setelah bangsa ini memeluk agama Islam. Dengan begitu, mereka memandang dirinya sebagai kaum Muslim dan sekaligus sebagai bangsa Iran dan tidak ada pertentangan di antara keduanya.Seiring perjalanan waktu, adat istiadat bangsa Iran mulai melekat warna dan nuansa Islami. Kebangkitan Karbala merupakan sebuah peristiwa yang telah menyatu dengan kehidupan bangsa Iran dan sudah menjadi sebuah epik nasional yang agung. Kebangkitan Imam Husein as merupakan sebuah revolusi yang sepenuhnya rasional dan gerakannya memiliki tujuan yang jelas.
Semangat jihad yang dikobarkan Imam Husein as adalah bukan sebuah aksi bunuh diri yang tanpa logika, tapi ia ingin membuka topeng dan kebobrokan rezim Bani Umayyah. Cucu Rasulullah Saw ini bergerak penuh kesadaran dan siap menjemput mati syahid. Dengan semangat jihad dan gerakannya itu, Imam Husein as telah mempercepat lenyapnya legitimasi rezim Umayyah.
Salah satu pelajaran penting yang dapat dipetik dari revolusi Asyuraadalah memahami momen yang tepat untuk berkorban sehingga ia bernilai dan dikenang sepanjang masa. Ketika kezaliman telah menemukan dimensi sosialdan seseorang menghadapi sebuah ketidakadilan struktural, yakni kezaliman sudah menjelma menjadi sebuah sunnah dan mulai mewabah di tengah masyarakat, maka ketika itu kebangkitan wajib dilakukan. Kebangkitan ini memiliki unsur rasionalitas dan juga unsur cinta. Di dalamnya ada kebijakan, ada semangat syahadah, dan juga ada cinta.
Jalaluddin Muhammad Maulawi – seorang penyair legendaris Iran – menunjukkan ketertarikan khusus terhadap pribadi Imam Husein as dan kebangkitannya dan ia menghidupkan revolusi Asyura melalui karya-karyanya. Maulawi secara khusus berbicara tentang peristiwa Karbala di dua tempat. Pertama dalam buku syairnya dengan judul Matsnawi Ma'nawi dan kedua dalam bukunya Diwan-e Shams. Perspektif Maulawi tentang peristiwa Asyura adalah pandangan yang sarat muatan cinta.
Maulawi dalam buku Matsnawi menukil sebuah kisah sebagai berikut, “Pada hari Asyura, seorang musafir tiba di Aleppo, Suriah dan ia menyaksikan sekelompok warga di kota itu sedang menggelar acara duka Karbala. Dia lalu bertanya, ‘Apakah acara berkabung ini dan kepada siapa ditujukan?’ Penduduk setempat menjawab, ‘Memang engkau tidak tahu? Acara duka ini untuk satu jiwa yang lebih utama dari seluruh generasi.”
Penduduk setempat kemudian mengisahkan peristiwa Asyura kepada tamu asing tersebut. ‘Apakah peristiwa itu terjadi hari ini atau kemarin?’ tanya musafir penuh heran. Warga menjawab, ‘Tidak, tapi ia terjadi tujuh abad silam.’Sang musafir kemudian menimpali, ‘Oh, tentu saja beritanya baru saja sampai ke telinga kalian. Jika demikian,lebih baik kalian menangis atas ketidaktahuan dan kelalaian kalian. Acara duka ini patut ada setelah selama ini terlelap dalam tidur.”
Maulawi melalui kisah tersebut ingin mengajak pembaca untuk memperhatikan tujuan-tujuan asli kebangkitan Imam Husein as dan memperingatkan mereka agar jangan sampai lalai terhadap tujuan-tujuan gerakan agung itu. Maulawi kemudian memberikan analisanya tentang revolusi Asyura dan mengatakan,“Jika kitaasumsikanperistiwa Karbala terjadi kemarin dan terjadi di sekitar tempat kita, lalu apakah reaksi yang mungkin ditunjukkan atas peristiwa itu hanya sebatas penyesalan, helaan nafas panjang, tangisan, dan ratapan? Apakah tidak bisa menunjukkan reaksi yang sepantas dengan tragedi itu?”
Menurut keyakinan Maulawi, peristiwa Asyura dapat ditelisik dari berbagai dimensi. Dia percaya bahwa menjelaskan kekerasan dan kekejaman sekelompok orang zalim, di mana kekejaman mereka telah mengundang jeritan dari setiap insan mulia dan merdeka, merupakan satu dimensi dari peristiwa Asyura yang memiliki dimensi-dimensi yang sangat luas.Dalam buku keenam Matsnawi, Maulawi dengan penuh penghormatan menyebut Imam Husein as sebagai ruh agung dan raja agama.
Maulawi kemudian bertutur lirih:
Jiwa seorang raja melarikan diri dari penjara
Mengapa kita harus merobek pakaian-pakaian kita dan bagaimana kita harus mengunyah tangan-tangan kita?
Karena mereka (Husein dan keluarganya) adalah raja-raja agama (hakiki)
Inilah saat kebahagiaan bagi mereka ketika mereka memutuskan ikatan-ikatan mereka
Mereka melaju menuju paviliun kerajaan
Mereka membuang belenggu dan rantai mereka.
(Matsnawi, buku keenam, bait 797-799)
Maulawi menyebut ruh agung Imam Husein as yang lari dari penjara dan tetap hidup. Dia menganggap kecintaan kepada Imam Husein as sebagai kelanjutan dari kecintaan kepada Nabi Muhammad Saw. Ia juga menggambarkan Nabi Muhammad Saw sebagai wujud telinga dan Imam Husein as adalah mutiara. Maulawi berkata, “Tidakkah kalian tahu bahwa hari Asyura adalah hari duka cita bagi satu jiwa yang lebih utama ketimbang seluruh abad?”
Dalam perspektif Maulawi, dimensi lain hari Asyura adalah tragedi pembantaian Imam Husein as dan ini adalah aspek duka cita kebangkitan Karbala. Dari sisi lain, jiwa yang agung itu telah terbebas dari penjara. Menurutkeyakinan Maulawi, kebangkitan Karbala telah merobohkan penjara dan membuat jiwa agung sang raja terbebas dari kurungan. Maulawi memandang peristiwa Asyura dari puncak kecintaan kepada Imam Husein as dan juga dari puncak kebencian terhadap Yazid. Ketika sudah sampai pada episode duka,penyair besar ini memprotes kekejaman yang dilakukan oleh para durjana dan ia – berdasarkan pengalaman dan motivasi sufistiknya – juga berusaha mengarahkan pandangannya kepada aspek keindahan kesyahidan Imam Husein as dan para sahabatnya.
Pelajaran terpenting yang bisa ditemukan di seluruh buku Matsnawi Maulawi adalah pelajaran memandang dunia dari aspek estetika. Manusia kadang terjebak dalam duka dan kesedihan karena sebuah tragedi besar sehingga membuat mereka melupakan dimensi-dimensi lain peristiwa itu. Maulawi adalah seorang pecinta dan ia tidak hanya mengerti cinta, tapi juga telah menyelaminya dan seluruh ajarannya mengajarkan cinta. Dia sudah cukup makan asam garam tentang bagaimana menjalani hidup penuh cinta, bagaimana memandang dunia ini dengan cinta, bagaimana menganalisa semua peristiwa dengan sentuhan cinta, dan bagaimana cinta dapat membantu akal sehingga bisa menyempurnakan kekurangan-kekurangannya.
Ketika memandang peristiwa Karbala, Maulawi juga melihatnya sebagai sebuah kisah cinta dan pengorbanan. Dia menyaksikan tangan-tangan para durjana dalam peristiwa itu dan dengan tegas menunjukkan kebenciannya. Namun, hal yang tampak lebih dominan dari itu adalah kehadiran pencinta sejati dan seorang ksatria Imam Husein as. Maulawi memandang Imam Husein as sebagai sosok yang penuh cinta dan kasih sayang.Maulawi menemukan aspek lain dari sebuah peristiwa yang sarat dengan kekejian dan kekejaman dan itu adalah aspek pengorbanan, kecintaan, dan penyerahan secara tulus. Dalam pandangan Maulawi, pengorbanan adalah peristiwa alam kemanusiaan terindah dan jika sifat ini semakin besar dan luas, maka ia akan semakin indah dan mendalam.
Dalam kaca mata Maulawi, tanda utama seorang pecinta adalah siap berkorban dan mempersembahkan segala hal. Sebuah pengorbanan dan persembahan yang diaktualisasikan dalam tindakan dan bukan ucapan. Pengorbanan itu harus dimulai dari harta benda dan kesenangan sampai pengorbanan harga diri dan jiwa. Imam Husein as dengan kebangkitan Karbala tidak hanya mengorbankan jiwanya, tapi juga mempersembahkan semua yang ia miliki.
Dalam menghadapi kematian, Maulawi mengambil sebuah pelajaran dari Imam Husein as bahwa seseorang harus menyambutnya dengan penuh keberanian dan cinta. Mutiara kebangkitan Imam Husein as adalah mempersembahkan jiwa dengan penuh cinta, di mana ia dikenang sepanjang masa dalam bentuk nilai-nilai moral yang paling luhur dan perilaku kemanusiaan yang paling indah. Kebangkitan Imam Husein as merupakan sebuah gerakan rasional dan visioner dalam melawan ketidakadilan struktural. Sebuah ketidakadilan yang telah mengakar kuat dan Imam Husein as menghentikan itu dengan kebangkitannya.
Tawanan Karbala Digiring ke Syam
Pada hari kesebelas Muharam, Umar bin Saad mengeluarkan perintah untuk meninggalkan Karbala menuju Kufah. Para wanita dinaikkan ke atas unta-unta yang tidak tertutup. Para keluarga Nabi ini ditawan layaknya para tawanan kafir. Mereka dibiarkand alam kondisi sulit dan penut penderitaan yang berat.
Saat bergerak dari Karbala, Umar bin Saad memerintahkan untuk mengarahkan para tawanan ke medan pertempuran. Qais bin Qurrah mengatakan, "Aku tak akan pernah melupakan bagaimana kondisi Zainab putri Fatimah as saat melihat jasad Husein yang tak berkepala dan tersungkur di atas tanah. Jeritannya begitu menyayat."
Imam Sajjad as berkata, "Saat aku memandang jasad para syuhada yang tersungkur di atas tanah dan tiada seorang pun dari mereka yang bersedia menguburkannya, dadaku penuh sesak dan rasa berat yang tak terhingga telah melingkupiku hingga hampir saja jiwaku melayang. Saat mengetahui keadaanku, bibiku Zainab menenangkanku supaya aku sabar menghadapi semuanya."
Tiada cara bagiku ‘tuk tak pergi dan tak meninggalkanmu,
Wahai tubuh yang tercabik-cabik, kuserahkan dirimu pada-Nya.
Imam Ali Zainal Abidin Syahid
Tanggal 12 Muharam tahun 95 Hijriah (dalam sebuah riwayat), Imam Ali Zainal Abidin, putra Imam Husain as, yang terkenal dengan nama Imam Sajjad, gugur syahid. Imam Sajjad adalah salah satu saksi peristiwa Karbala. Saat itu, beliau sakit keras sehingga tidak bisa ikut bertarung melawan pasukan Yazid. Setelah gugur syahidnya Imam Husein di Karbala, tampuk imamah diambil alih oleh Imam Sajjad as.
Sepanjang hidupnya, Imam Sajjad selalu berjuang menyebarkan ajaran Islam yang hakiki dan menyampaikan pesan perjuangan Karbala. Imam Sajjad dikenal sebagai orang yang sangat rajin beribadah dan bermunajat kepada Allah. Doa-doa indah yang sering beliau ucapkan, dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul "Sahifah Sajjadiah".