
کمالوندی
Mendagri Jamin Kepulangan Pengungsi Syiah
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan pemerintah menjamin keselamatan warga Syiah Sampang dalam upaya memulangkan mereka kembali ke kampung halamannya. Pemerintah juga akan memfasilitasi pemulangan tersebut meski dilakukan bertahap.
"Pemerintah menjamin keamanan dan memfasilitasi pemulangan pengungsi," kata dia saat ditemui di kantornya, Senin, 12 Agustus 2013.
Gamawan mengatakan pemerintah tak mensyaratkan pertobatan bagi pengungsi agar bisa pulang ke Desa Nangkernang dan Bluuran, Sampang. Negara tak ikut campur mengatur keyakinan yang dipilih masyarakat. "Negara tidak masuk ke wilayah keyakinan. Itu urusan pribadi dengan Tuhan," katanya.
Dalam pertemuan antara pemerintah, perwakilan pengungsi, dan ulama Madura, Gamawan mengatakan para pihak yang berselisih telah sepakat soal poin-poin rekonsiliasi. Ada 12 poin yang disepakati. Poin-poin itu mengatur apa yang harus dilakukan ulama, pengungsi, dan pemerintah dalam proses rekonsiliasi.
Pekan lalu, upaya pemulangan pengungsi masih tersendat. Kuasa hukum pengungsi Syiah yang juga Direktur Eksekutif Yayasan Bantuan Hukum Universalia, Hertasning Ichlas, mengatakan pengungsi yang akan pulang diminta menandatangani ikrar yang berisi syahadat ulang untuk kembali ke ajaran Ahlus Sunnah.
Warga Syiah itu dipaksa untuk meneken sembilan ikrar di hadapan tokoh dan pemerintah yang intinya syahadat ulang, menganggap ajaran Tajul Muluk sesat, dan kembali ke Ahlus Sunnah. Ada pesan-pesan bahwa jika tidak menandatangani tidak dijamin keamanan rumah dan keselamatannya.
Hertasning berujar sudah ada 34 orang warga Syiah yang mengalami hal serupa. Pemaksaan ikrar terhadap warga Syiah telah terjadi lima hari belakangan.
Ditanya soal masalah pembacaan Syahadat itu, Gamawan mengaku tak tahu. "Itu urusan Menteri Agama," katanya. Yang jelas, kata Gamawan, negara tidak ikut campur mengurus keyakinan orang. "Negara kan tidak masuk dalam wilayah itu. Itu kan sudah soal keyakinan betul. Itu urusan dia dengan Tuhan."
Friksi Dua Afiliasi Al-Qaeda di Irak Semakin Meruncing
Bertentangan dengan seluruh upaya untuk mengakhiri perselisihan antara Pemerintahan Islam Irak dan Syam (Suriah) dan Front Al-Nusra, friksi bersenjata antardua kelompok afiliasi Al-Qaeda di Suriah itu telah mencapai puncaknya.
Alalam (12/8) melaporkan, friksi internal Al-Qaeda di Suriah antardua afiliasi Pemerintahan Islam Irak dan Syam pimpinan Abu Bakr Al-Baghdadi dan Front Al-Nusra pimpinan Abu Muhamamd Al-Joulani, semakin meruncing.
Friksi itu dimulai sejak Al-Baghdadi menyatukan anasir Al-Qaeda di Irak dan Suriah dengan membentuk Pemerintahan Islam Irak dan Syam dan mengangkat dirinya sebagai panglima Al-Qaeda di duna negara tersebut. Akan tetapi Al-Joulani menolak keputusan Al-Baghdadi itu. Dan pada akhirnya, dukungan para syeikh esktrim dan ansir jihadi radikal terhadap Al-Baghdadi semakin meningkat.
Meski Al-Joulani dikirim oleh Al-Baghdadi ke Suriah dan membentuk Front Al-Nusra dan dia berhasil menggalang kekuatan berkat dukungan para anasir teroris asing di Suriah, akan tetapi penentangan Al-Nusra terhadap Al-Baghdadi adalah karena tidak mengkoordinasikan pembentukan Pemerintahan Islam Irak dan Syam itu dengan pemimpin tertinggi Al-Qaeda, Ayman Al-Zawahiri.
Masalah ini menimbulkan Ayman Al-Zawahiri merilis pernyataan dan menyebut Al-Baghdadi dan Al-Joulani sama-sama melakukan kekeliruan yang menyebabkan munculnya perselisihan ini.
Namun hingga kini friksi kedua afiliasi jaringan teroris Al-Qaeda itu masih belum sampai pada bentrokan bersenjata dalam skala massif, mengingat Pemerintahan Islam Irak dan Syam beraktivitas di utara Suriah sementara Front Al-Nusra beroperasi di selatan Suriah. Akan tetapi friksi tersebut sedemikian meruncing sehingga kemungkinan dalam waktu dekan akan terjadi bentrokan bersenjata berdarah.
Para Mubaligh Wahabi Lagi-Lagi Keluarkan Fatwa di Suriah
Para mubaligh Wahabi merilis fatwa pemutusan hubungan dengan kelompok minoritas di Suriah dan menyita properti serta lahan-lahan mereka.
Alalam (12/8) melaporkan, sebanyak 34 mubaligh Wahabi yang bernama Ulama Kota Duma, merilis fatwa yang membohkan warga propinsi Rif Dimashq untuk menyita dan merampas properti dan harta kaum Kristen, Alawi, dan Druze serta berbagai kelompok minoritas di Suriah.
Para ulama Wahabi itu menekankan bahwa fatwa tersebut adalah karena kelompok minoritas menolak bekerjasama dengan kelompok penentang dan teroris untuk menggulingkan pemerintahan Suriah.
Nasihat Imam Husein as: Tata Krama Berbicara
Tata Krama Berbicara
Imam Husein as berkata kepada Abdullah bin Abbas:
"Wahai Ibnu Abbas! Jangan berbicara yang tidak ada hubungannya denganmu. Karena saya mengkhawatirkan dampaknya yang berat kepadamu. Begitu juga dengan ucapan yang ada hubungannya denganmu. Jangan katakan itu selain di tempat yang sesuai. Karena betapa banyak orang yang mengatakan kebenaran tidak pada tempatnya dan akhirnya membuatnya malu. Jangan berdebat dengan orang yang sabar dan sombong. Karena orang yang sabar akan menjauhimu dan orang sombong akan merendahkanmu. Jangan membicarakan orang yang tidak ada di tempat, kecuali omongan yang engkau dapat menerimanya ketika orang itu membicarakannya di belakangmu. Berlakulah seperti seorang hamba yang mengerti bahwa bila ia berbuat dosa maka akan mendapat azab dan bila berbuat baik maka akan mendapat pahala." (Abu al-Fath, Muhammad bin Ali Karajiki, Kanz al-Fawaid, Qom, Entesharat Mostafavi, 1369 Hs, hal 194)
Sumber: Pandha-ye Emam Hossein.
Imam Sajjad, Simbol Keagungan Akhlak dan Spiritualitas
Imam Ali Zainal Abidin dilahirkan tanggal lima Sya'ban tahun 38 H. Putra Imam Husein dijuluki dengan sebutan Imam Sajjad, karena tekun beribadah dan bersujud kepada Allah Swt. Selain dekat dengan Tuhan, Imam Sajjad juga dikenal sebagai orang yang sangat dermawan, penyantun terutama kepada orang miskin, anak yatim dan orang-orang tertindas.
Manusia mulia ini juga dikenal dengan doa-doanya yang memiliki ketinggian bahasa yang menjulang dan kedalaman makna yang menghunjam. Beliau menjalani malam dengan doa dan ibadah kepada sang maha Pencipta. Tentang ini, Imam Baqir as, putra Imam Sajjad berkata, "Ketika semua orang di rumah tertidur di awal malam, ayahku, Imam Sajjad bangun mengambil wudhu dan shalat dua rakaat. Kemudian beliau mengambil bahan makanan dalam karung dan memanggulnya sendirian menuju daerah orang-orang miskin dan membagikan makanan kepada mereka. Tidak ada seorangpun yang mengenalnya. Setiap malam orang-orang miskin menunggu beliau di depan rumah mereka untuk menerima jatah makanannya. Tapak hitam dipunggung ayahku merupakan bukti bahwa beliau memanggul sendiri makanan yang dibagikan kepada orang miskin."
Imam Sajjad dengan tanpa pamrih dan hanya mengharap keridhaan Allah dalam berbuat baik terhadap orang lain. Ketika bersama rombongan bergerak menuju Mekah untuk menjalankan ibadah haji, beliau meminta supaya pengurus rombongan tidak memperkenalkan identitas dirinya kepada yang lain. Dengan cara ini rombongan lain tidak mengenalinya, dan beliau bisa leluasa melayani keperluan mereka yang hendak berangkat untuk menunaikan ibadah haji.
Dalam sebuah perjalanan seseorang mengenalinya dan berkata, "Apakah kalian tahu siapa pemuda ini " Ia tidak lain adalah Ali bin Husein. Rombongan itu berlari mendekati Imam Sajjad dan memberi hormat serta memohon maaf karena tidak mengenalinya. Imam berkata, "Suatu hari saya berangkat bersama rombongan haji dan anggota rombongan mengenalnya dan menghormatiku, sebagaimana mereka menghormati Rasulullah. Akhirnya merekalah yang melayani keperluanku bukan sebaliknya. Padahal saya ingin melayani keperluan mereka. Inilah alasan saya tidak ingin dikenali oleh mereka."
Kehidupan Imam Ali Zainal Abidin menjadi mata air pengetahuan dan akhlak bagi yang mendulangnya. Salah satu pelajaran besar dari kehidupan beliau adalah cara memberikan nasehat yang bijaksana. Suatu hari seoranglelaki mengeluh dan putusa asa atas rahmat Allah swt. Ia berkata, "Saya berdoa, munajat dan memohon kepada Allah, tapi suara ini tidak melampaui langit-langit rumah apalagi menembus angkasa." Mendengar keluhan itu, salah seorang temannya berkata, "Jangan keliru saudaraku, Allah dekat dengan kita. Tapi kitalah yang tidak memiliki kemampuan untuk merasakannya. Bukankah, Allah swt dalam al-Quran berfirman, "Aku lebih dekat dari urat nadimu."
Tapi nasehat itu tidak berpengaruh, dan lelaki itu kian hari semakin putusasa atas kehidupannya. Akhirnya suatu hari ia diajak bertemu dengan Imam Sajjad. Di hadapan Imam Sajjad lelaki itu berkata, "Saya menemui Anda untuk menanyakan mengapa doaku tidak terkabul. Padahal Allah swt berfirman, ‘Berdoalah, maka Aku akan mengabulkan doamu ‘. Saya khawatir akidah saya lemah dan meninggal dalam keadaan tidak beragama."
Imam Sajjad memandang dengan penuh kasih sayang kepada lelaki. Beliau kemudian bertanya, "Apakah shalatmu awal waktu atau tidak? Apakah engkau telah berbuat baik seperti bersedekah kepada orang miskin demi mendekatkan diri kepada Allah? Apakah sikapmu baik terhadap teman-temanmu? Apakah kamu tidak mengucapkan kalimat yang menyulut permusuhan? Apakah engkau tidak memberikan persaksian palsu? Apakah kamu telah menunaikan zakat dan membayar utang? Apakah engkau tidak kikir terhadap kaum fakir dan membantu yatim?"
Lelaki itu menjawab, "Wahai Ali bin Husein, sayang sekali saya tidak termasuk kriteria yang Anda sebutkan. Imam sambil tersenyum ramah menjawab, "Lalu apa yang diharapkan dari Allah ? Semua kriteria yang saya sebutkan itu selain berguna bagi akhiratmu juga bermanfaat bagi duniamu. Salah satunya adalah dikabulkannya doa. Dengarlah perintah Allah, maka Allah akan mendengar perkataan kita."
Dalam pandangan Imam Sajjad, hubungan vertikal dengan Allah swt tidak bisa dipisahkan dari hubungan horizontal antarsesama manusia. Imam Zainal Abidin dalam Risalah Huquq menyinggung hak sesama manusia. Sebab setiap anggota masyarakat memiliki tanggung jawab bersama dalam menjalani kehidupan ini. Dengan cemerlang, Imam Sajjad menjelaskan bagaimana hak pemimpin terhadap bawahannya dan sebaliknya. Tidak hanya itu, Imam Sajjad juga menjelaskan bagaimana hubungan keluarga menyangkut hak orang tua terhadap anaknya dan sebaliknya, hak bertetangga, berteman dan hak terhadap harta.
Menurut Imam Sajjad, manusia adalah pelayan bagi yang lain, sehingga dalam masyarakat tumbuh budaya gotong-royong dan saling membantu. Di bagian lain Imam Sajjad mengungkapkan perkataan tentang saudara. Beliau berkata, "Saudara yang buruk adalah orang yang memperhatikanmu ketika keadaan lapang, namun menjauhi ketika sulit." Untuk itu seorang mukmin berkewajiban berbuat baik kepada orang lain.
Dalam pandangan Imam Sajjad, melayani orang lain memiliki berbagai dampak yang sangat besar baik di dunia maupun di akhirat. Salah satunya adalah membantu orang yang terkena musibah dan membutuhkan pertolongan. Imam Sajjad berkata, "Di dunia ini tidak ada yang lebih mulia selain berbuat baik kepada saudara."
Imam Sajjad dalam berbagai riwayat lain menjelaskan bahwa orang yang membantu orang lain akan mendapat ganjaran pahala akhirat, ampunan dosa, kedudukan yang tinggi di surga serta pahala lainnya. Beliau berkata, "Tuhanku, semoga shalawat tercurah atas Muhammad dan keluarganya.., anugerahilah tanganku ini agar bisa berbuat baik kepada orang lain, dan jangan rusakkan kebaikan itu dengan riya dalam diriku."
Imam Sajjad bahkan dalam doanyapun memberikan contoh bagaimana mengabdi dan melayani kebutuhan orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Imam Zainal Abidin kepada putranya berkata, "Barang siapa yang meminta tolong padamu untuk melakukan suatu pekerjaan baik, maka lakukanlah. Jika kamu ahlinya maka lakukan dengan sebaik-baiknya, Jika bukan engkau telah berbuat baik."
Imam Ali Zainal Abidin sangat menekankan pentingnya pengabdian kepada masyarakat. Pengabdian terhadap masyarakat bukan diukur dari seberapa besar pekerjaan itu, tapi kualitas layanan dan ketulusan niatlah yang menjadi ukuran dari bernilai atau tidaknya pekerjaan itu. Selain itu, pengabdian juga menumbuhkan sebuah ketenangan spiritual bagi seseorang yang bisa berbuat kebaikan bagi orang lain. Terkait hal ini Imam Sajjad berkata, "Sikap bersahabat dan bersaudara seorang mukmin kepada saudara mukmin lainnya adalah ibadah." Di bagian lain, Imam Sajjad mengingatkan nilai spiritual berbuat baik kepada orang lain dengan mengatakan, "Allah akan menggembirakan orang yang telah menggembirakan saudaramu."
Daras Akhlak: Menolong Orang Lain
Menolong Orang Lain
Rasulullah Saw bersabda, "Allah Swt menciptakan sebagian hamba-hamba-Nya yang bertugas memenuhi hajat manusia. Mereka ini memiliki dua sifat; suka berbuat baik dan menilai kedermawanan sebagai nilai kemanusiaan. Sesungguhnya Allah Swt mencintai akhlak mulia."[1]
Islam sangat memandang penting menolong orang lain dan menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh orang lain. Menurut Islam, perbuatan baik tidak terbatas pada melaksanakan shalat dan membaca al-Quran, tapi menolong orang lain dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan orang mukmin merupakan perbuatan baik yang paling bernilai.
Di masa Imam Kazhim as seorang pengikut Syiah yang tinggal di kota Rey, Iran memiliki utang kepada penguasa di kota itu dan ia tidak mampu untuk membayarkannya. Akhirnya ia berpikir untuk menemui Imam Kazhim as dan meminta bantuan beliau. Ia akhirnya pergi ke Madinah dan menceritakan masalah yang dihadapinya.
Imam Kazhim as kemudian menulis surat kepada penguasa Rey yang isinya, "Bismillahirrahmanirrahim. Ketahuilah bahwa di bawah Arasy Allah ada bayangan yang hanya bisa ditempati oleh tiga golongan manusia; seseorang yang berbuat baik kepada saudara seimannya, menyelesaikan masalah orang lain dan menggembirakan orang lain. Orang yang membawa surat ini juga saudaramu. Salam dan rahmat Allah untukmu."
Orang itu menerima surat dari Imam Kazhim as. Setelah melaksanakan kewajiban haji, ia kembali ke kotanya. Ia menemui penguasa Rey pada malam hari dan menceritakan semuanya yang terjadi. Malam itu penguasa Rey begitu gembira dan menerimanya dengan baik. Penguasa Rey memegangnya lehernya dan mulai mencium kepala dan mata orang itu. Dengan penuh rasa ingin tahu dan cinta ia membuka surat dari Imam Kazhim as. Setelah membacanya, ia meletakkan surat itu ke matanya dan sebagai penghormatan ia bangkit berdiri di hadapan tamunya. Ia kemudian membagi setengah hartanya dengan tamunya itu dan juga sebagian dari hartanya yang berupa barang dengan uang kontan. Setelah itu ia berkata, "Saudaraku, apakah engkau gembira?" Orang itu dengan wajah berseri-seri mengatakan, "Iya. Demi Allah, engkau telah membuatku gembira lebih dari yang saya harapkan."
Setelah itu catatan hutangnya dihapus dan dengan gembira penguasa Rey itu mengantarkan tamunya hingga keluar rumah.
Di waktu lain, orang itu kemudian pergi ke Mekah untuk mendoakan penguasa Rey itu sekaligus menceritakan apa yang terjadi kepada Imam Kazhim as. Ketika Imam Kazhim as mengetahui apa yang terjadi, beliau begitu gembira. Orang itu bertanya, "Apakah kejadian ini menggembirakanmu?"
Imam Kazhim as menjawab, "Demi Allah! Orang itu telah menggembirakan saya, Imam Ali dan kakekku Rasulullah Saw. Dan pada gilirannya ia telah membuat Allah Swt ridha akan perbuatannya."[2]
Dalam hadis ini, menggembirakan para Imam as dan Allah dapat terjadi ketika seseorang membantu dan melayani manusia yang lain. Setiap orang punya kewajiban untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi orang lain sesuai dengan kemampuannya.
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ada dua orang yang berselisih. Seorang sahabat besar bernama Mufaddhal memiliki uang sebanyak 400 dirham dan dengan uang yang dimilikinya itu ia berhasil menyelesaikan perselisihan dua orang itu. Setelah perselisihan reda, ia kemudian berkata, "Uang yang kuberikan kepada kalian itu berasal dari Imam Shadiq as."
Dari hadis itu dapat dipahami bahwa Imam Shadiq as memiliki orang kepercayaan yang diberi uang dan diperingahkan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat.
Sumber: Makarem Shirazi, Naser, Goftare Masoumeen (1): Dars-e Akhlak Ayatollah Makarem Shirazi, Tadvin: Mohammad Abdollah Zadeh, 1388 Hs, Qom, Entesharate Emam Ali bin Abi Thalib as.
Hadis Akhlak Ushul Kafi: Saudara Seiman
Saudara Seiman
1. Imam Shadiq as berkata, "Ahli iman itu bersaudara dan anak-anak dari seorang ayah dan ibu. Bila seseorang dari mereka terluka, maka yang lainnya tidak bisa tidur."[1]
2. Imam Shadiq as berkata, "Seorang mukmin adalah saudara mukmin lainnya, mata dan pembimbingnya. Ia tidak mengkhianati saudaranya, tidak menzalimi, tidak menipu dan tidak berjanji kepadanya lalu tidak ditepati."[2]
3. Imam Baqir as berkata, "Seorang mukmin saudara kandung mukmin yang lain. Karena Allah Swt menciptakan orang-orang mukmin dari tanah surga dan angin surga menghembus dari badan mereka. Itulah mengapa mereka adalah saudara kandung."[3]
4. Imam Baqir as berkata, "Kalian tidak bersaudara karena urusan ini (agama), tapi kalian telah saling mengenal dikarenakan agama ini."[4]
5. Imam Shadiq as berkata kepada para sahabatnya, "Jadilah saudara yang baik, saling mencintai karena Allah, saling berhubungan dan mengasihi."[5]
Sumber: Vajeh-haye Akhlak az Ushul Kafi, Ibrahim Pishvai Malayeri, 1380 Hs, cet 6, Qom, Entesharat Daftar Tablighat-e Eslami.
Sisi Lain Kehidupan Putra Kesayangan Rasul
Imam Hasan al-Mujtaba as adalah cucu pertama Rasulullah Saw dari Ali bin Abi Thalib as dan Sayidah Fathimah as. Beliau lahir pada pertengahan bulan Ramadhan tahun 3 hijriah di kota Madinah. Ketika Rasul Saw diberi kabar tentang kelahiran cucu pertamanya itu, wajah beliau berseri-seri dan hatinya dipenuhi rasa gembira. Beliau bergegas menuju rumah Sayidah Fathimah as untuk melihat langsung cucunya itu. Sayidah Fathimah as langsung menyerahkan Imam Hasan as yang masih bayi kepada Rasulullah Saw. Setelah menggendongnya, Rasul Saw kemudian membacakan azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri Imam Hasan as. Ketika itu, Malaikat Jibril as turun dan menyampaikan perintah Allah Swt kepada beliau agar menamakan cucu pertamanya dengan Hasan, yang berarti baik dan terpuji.
Imam Hasan as yang mendapat gelar mujtaba yang berarti "terpilih" ini, merupakan salah satu dari empat orang terdekat Nabi Saw atau Ahlul Bait as yang dibawa ke arena mubahalah menghadapi tantangan kaum Nasrani Najran. Mereka inilah yang telah disucikan Allah dari noda dan dosa, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat tathir. Pada tanggal 24 Dzulhijjah, para pendeta Nasrani datang untuk bersumpah dengan Nabi Muhammad Saw guna membuktikan mana yang paling benar. Tapi pribadi-pribadi yang diajak oleh Rasulullah Saw membuat mereka takut dan membatalkan niatnya untuk bermubahalah dengan Rasul Saw dan keluarganya.
Imam Hasan as senantiasa mendampingi Rasulullah Saw. Terkadang ia duduk di pangkuan Nabi Saw, terkadang pula beliau memikul cucu kesayangannya itu di pundaknya. Setiap kali wahyu turun, ia pun mendengar langsung dari bibir Rasulullah Saw dan menukilkannya untuk sang ibu, Sayidah Fatimah Zahra as. Sejatinya, keistimewaan terbesar yang dimiliki Imam Hasan as adalah kepribadian beliau yang begitu mirip dengan Rasulullah Saw. Meski ia adalah cucu Rasul saw, namun beliau selalu menyebut Imam Hasan as sebagai putranya. Seluruh ulama dan sejarawan muslim juga meyakini hal itu.
Mufasir al-Quran, Jalaluddin Suyuti meyakini bahwa ayat 61 surat Ali Imran merupakan bukti yang menguatkan masalah tersebut. Dalam penggalan surat Ali Imran yang juga dikenal sebagai ayat mubahalah itu dinyatakan, "Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), Maka Katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak Kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri Kami dan isteri-isteri kamu, diri Kami dan diri kamu; kemudian Marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta."
Para ulama sepakat, pada peristiwa Mubahalah, Imam Hasan dan Imam Husein as bersama Imam Ali as dan Sayidah Fatimah as mendampingi Rasulullah Saw. Dengan demikian sesuai dengan ayat tadi, ungkapan ‘anak-anak kami' yang dimaksud tak lain adalah Imam Hasan as dan Imam Husein as. Di samping itu, hadis-hadis Rasulullah Saw merupakan juga bukti lain akan hal ini. Beliau senantiasa menyebut kedua cucu kesayangannya itu sebagai putranya. Nabi Saw bersabda, "Hasan dan Husein as adalah dua putraku. Barang siapa yang mencintainya, maka ia mencintai aku pula."
Imam Hasan as dicintai oleh seluruh masyarakat dan mereka semua menghormati beliau. Salah satu bentuk kecintaan masyarakat kepada Imam Hasan as adalah mereka selalu berkumpul di sekitar rumah beliau di Madinah untuk menanyakan berbagai permasalahan dan setiap orang yang lewat di depan rumah Imam Hasan as, mereka selalu memperlambat gerak langkahnya dan menikmati kata-kata mutiara yang keluar dari lisan manusia mulia ini atau mereka sekedar menatap tajam wajah beliau sebagai pengingat sosok Nabi Saw. Imam Hasan as menyelesaikan semua permasalahan masyarakat dengan penuh semangat dan dengan wajah yang ramah.
Imam Hasan as memiliki kepribadian yang luhur, suci, dan berakhlak mulia. Sikap beliau kepada seluruh masyarakat dan bahkan musuh, sangat santun dan mulia sehingga semua mendekat ke arahnya. Rendah hati dan kebesaran jiwa beliau di samping kedermawanan dan pemaaf telah menjadi buah bibir khalayak. Imam Hasan as berkata, "Memberi sebelum diminta adalah kebesaran jiwa yang teragung." Imam Hasan as adalah pribadi yang sangat agung, penyabar, sangat berwibawa dan teguh pendirian. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang sangat pemberani. Ketinggian ilmu dan hikmah beliau membuat kagum siapapun serta sangat bijak dalam memutuskan suatu perkara.
Dikisahkan bahwa "Suatu hari, Imam Hasan as berjalan di tengah keramaian masyarakat. Tiba-tiba di tengah jalan beliau bertemu dengan orang tak dikenal yang berasal dari Syam. Pendatang itu ternyata seorang yang sangat membenci Ahlul Bait Nabi as. Mulailah ia mencaci maki Imam Hasan. Beliau tertunduk diam tidak menjawab sepatah kata pun terhadap cacian itu, hingga orang tersebut menuntaskan hinaannya." Setelah itu, Imam Hasan as membalasnya dengan senyuman, lantas mengucapkan salam kepadanya sembari berkata, "Wahai kakek, aku kira engkau seorang yang asing. Bila engkau meminta pada kami, kami akan memberimu. Bila engkau meminta petunjuk, aku akan tunjukkan. Bila engkau lapar, aku akan mengenyangkanmu. Bila engkau tidak memiliki pakaian, aku akan berikan pakaian. Bila engkau butuh kekayaan, aku akan berikan harta. Bila engkau orang yang terusir, aku akan mengembalikanmu. Dan bila engkau memiliki hajat yang lain, aku akan penuhi kebutuhanmu."
Mendengar jawaban seperti itu, kakek tersebut terperanjat dan terkejut, betapa selama ini ia keliru menilai keluarga Nabi Saw. Sejak saat itu, dia sadar bahwa Muawiyah telah menipu dirinya dan masyarakat lain. Bahkan Muawiyah telah menyebarkan isu dan fitnah tentang ihwal Ali bin Abi Thalib as dan keluarganya. Terkesima oleh jawaban Imam Hasan as, kakek itu pun menangis dan berkata, "Aku bersaksi bahwa engkau adalah khalifah Allah Swt di muka bumi ini, dan sesungguhnya Allah Maha Tahu kepada siapa risalah-Nya ini hendak diberikan. Sungguh sebelum ini engkau dan ayahmu adalah orang-orang yang paling aku benci dari sekalian makhluk Tuhan. Tapi, sekarang engkau adalah orang yang paling aku cintai dari segenap makhluk-Nya." Lelaki tua itu akhirnya diajak oleh Imam Hasan as ke rumahnya dan beliau menjamunya sebagai tamu kehormatan hingga ia pamit untuk pulang.
Imam Hasan as tidak pernah menolak orang fakir dan peminta kecuali memenuhi semua hajat mereka. Ketika seseorang bertanya kepada beliau, "Bagaimana bisa engkau tidak pernah menolak pengemis?" Imam Hasan as menjawab, "Aku sendiri adalah pengemis di pintu rumah Tuhan dan pecinta kedekatan dengan-Nya. Aku malu mengusir seorang pengemis sementara aku sendiri seorang peminta-minta. Tuhan telah membiasakanku dengan nikmat yang berlimpah dan aku juga sudah terbiasa di hadapan-Nya untuk memperhatikan masyarakat dan berbagi nikmat Tuhan dengan mereka."
Kehidupan para ksatria Tuhan selalu dipenuhi oleh berbagai peristiwa besar dan kehidupan mulia Imam Hasan as juga demikian. Meski Imam Hasan as tidak hidup lebih dari 48 tahun, tapi dalam masa singkat itu beliau senantiasa memerangi kebatilan dan menyebarkan kebenaran.
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei berkata, "Masa-masa genting setiap revolusi adalah masa di mana hak dan batil telah samar... debu kemunafikan pada masa Imam Hasan lebih pekat dari masa Imam Ali... Imam Hasan tahu bahwa jika ia bersama beberapa sahabatnya berperang dengan Muawiyah dan gugur syahid, maka tidak dibiarkan siapapun menuntut darahnya karena dekadensi moral telah mendominasi para elite masyarakat. Propaganda, harta dan kelicikan Muawiyah, semua akan ia gunakan dan setelah berlalu satu atau dua tahun, masyarakat akan berkata, ‘Imam Hasan sia-sia berpedang dengan Muawiyah.' Oleh karena itu, Imam Hasan menghadapi semua kesulitan dan tidak menyeret dirinya ke medan perang, karena ia tahu darahnya akan sia-sia."
Daras Akhlak: Nilai dan Anti Nilai
Nilai dan Anti Nilai
Rasulullah Saw bersabda, "Apa yang akan terjadi dengan kalian ketika wanita dan pemuda kalian menjadi rusak, sementara kalian tidak melakukan amar makruf dan nahi munkar?" Dikatakan kepada beliau, "Apakah akan terjadi yang demikian?" Rasulullah Saw menjawab, "Iya dan akan lebih buruk dari itu, dimana kalian memerintahkan yang munkar dan melarang yang makruf." Ada yang bertanya, "Wahai Rasulullah! Apakah akan sampai seperti itu?" Beliau menjawab, "Iya, bahkan lebih buruk dari itu, dimana kemampuan memilih dan memilah kalian menjadi terbalik. Makruf di mata kalian menjadi munkar dan sebaliknya, munkar menjadi makruf."[1]
Dalam hadis ini Rasulullah Saw menjelaskan tiga tahapan penyimpangan umatnya:
1. Manusia melupakan kewajiban amar makruf dan nahi munkar.
2. Memerintahkan yang sebaliknya, memerintahkan munkar dan melarang makruf.
3. Penyimpangan ini merasuk ke dalam diri manusia, sehingga mengubah keyakinannya, dimana perbuatan buruk dinilainya sebagai satu kebanggaan serta tanda kepribadian dan peradaban. Sementara perbuatan baik menjadi anti nilai dalam pandangannya.
Patut diketahui bahwa tiga tahapan ini tidak terbatas hanya pada masalah amar makruf dan nahi munkar, tapi dalam setiap dosa pasti ada tiga tahapan ini. Manusia yang secara perlahan-lahan mendekati perbuatan dosa, maka langkah pertamanya adalah tidak peduli. Baginya sama saja berbuat dosa dengan berbuat baik. Setelah itu ia mulai mengambil sikap dengan mengajak perbuatan buruk dan melarang perbuatan baik. Bila hal ini telah dijalaninya, maka ia memasuki tahap ketiga, dimana kemampuannya memilih dan memilah menjadi berubah. Ia kini melihat perbuatan dosa sebagai satu keutamaan. Bila seseorang sampai pada tahapan ini, maka untuk kembali dan bertaubat menjadi satu hal yang sulit sekali. Karena ia telah merusak jembatan yang ada di belakangnya. Semua ini berjalan secara bertahap dan tidak disadari oleh manusia.
Masalah ini juga diungkapkan oleh Imam Ali as dengan pentakbiran yang luar biasa. Beliau berkata, "Barangsiapa yang tidak bangkit untuk membela yang makruf dan melawan yang munkar, sekalipun dengan hatinya, maka hatinya akan berubah, dimana yang di atas menjadi di bawah dan sebaliknya, yang di bawah menjadi di atas."[2]
Kondisi seperti ini terkadang terjadi pada pribadi dan bisa terjadi juga pada sebuah masyarakat. Allah Swt dalam al-Quran berfirman, "... Barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya."[3]
Sumber: Makarem Shirazi, Naser, Goftare Masoumeen (1): Dars-e Akhlak Ayatollah Makarem Shirazi, Tadvin: Mohammad Abdollah Zadeh, 1388 Hs, Qom, Entesharate Emam Ali bin Abi Thalib as.
Kecaman Luas atas Seruan Zionis Radikal Serbu Masjid Al-Aqsa
Liga Arab mengecam seruan Zionis radikal untuk memasuki secara massal Masjid al-Aqsa dan menyebutnya langkah ini sangat mengkhawatirkan serta berdampak buruk. Muhammad Sabih, wakil Sekjen Liga Arab urusan Palestina dalam reaksinya atas seruan kelompok Zionis radikal untuk bergerak ke arah pintu Masjid al-Aqsa serta tuntutan bagi Zionis untuk bebas memasuki tempat suci umat Islam ini, memperingatkan dampak buruk seruan berbahaya yang melanggar hukum internasional tersebut.
Sabih dalam statemennya mengingatkan Liga Arab dengan keprihatinan mendalam mengawasi rencana dan pergerakan organisasi radikal Yahudi untuk merusak Masjid al-Aqsa serta membangun Sinagog di atas reruntuhan masjid ini dengan dukungan petinggi serta partai Zionis.
Sabih menambahkan, langkah Israel baik menutup pintu Masjid al-Aqsa dan melarang mereka yang berusia di bawah 40 tahun untuk memasuki tempat suci ini jelas-jelas melanggar undang-undang dan konvensi internasional serta hak umat muslim dalam menunaikan ibadahnya di setiap tempat yang mereka inginkan.
"Israel tidak berhak mencabut kebebasan beribadah yang juga dijamin oleh kesepakatan dan konvensi PBB," tandas Sabih.
Reaksi luas bangsa Palestina terhadap pergerakan anti Masjid al-Aqsa Israel juga menunjukkan sensitifitas bangsa ini terhadap tempat suci umat Islam tersebut, serta mengindikasikan bahwa rakyat Palestina tidak akan tahan terhadap pelecehan dan pelanggaran ideologi dan tempat suci umat Islam.
Eskalasi arogansi Israel di Baitul Maqdis dan aksi perusakan rezim ilegal ini terhadap Masjid al-Aqsa membuktikan kepalsuan klaim pro perdamaian Tel Aviv. Sejatinya babak baru arogansi Israel menyusul dimulainya kembali perundingan damai membuktikan realita ini bahwa perundingan damai hanya membuat rezim Zionis semakin congkak melakukan aksi-aksi brutal dan anarkisnya di bumi Palestina.
Israel selama ini senantiasa menunggu kesempatan untuk menghapus peninggalan bersejarah dan tempat suci Islam di Palestina serta mengubah demografi sosial di berbagai wilayah Palestina demi keuntungan mereka. Selain itu menampilkan wajah Zionis di berbagai wilayah Palestina khususnya Baitul Maqdis merupakan peluang untuk mengekalkan penjajahannya atas bumi Palestina tersebut.
Baru-baru ini rezim Zionis menebar agitasi guna merusak Masjid al-Aqsa. Rezim ilegal ini mencetak gambar Baitul Maqdis tanpa Masjid al-Aqsa, sebagai gantinya terpampang gambar sinagog umat Yahudi. Eskalasi agitasi Israel untuk menghancurkan Masjid al-Aqsa terjadi di saat petinggi dan partai rezim ini juga sibuk menebar propaganda untuk menghancurkan tempat suci umat Islam tersebut.
Terkait masalah ini, Partai Yisrael Beiteinu menyerukan peledakan Masjid al-Aqsa. Hal ini menunjukkan bahwa Zionis sejak lama memprogam penghancuran masjid umat Islam ini.
Mengingat pergerakan Zionis untuk merusak Masjid al-Aqsa, dapat disebut juga pergerakan ini dilancarkan dengan berkoordinasi dengan petinggi Israel dalam sebuah doktrin rezim ilegal ini yang bertumpu pada radikalisme dan kemudian disuntikkan ke tubuh masyarakat Zionis. Dalam kondisi tercemar seperti ini, warga Zionis pun kemudian terseret mengikuti dikte para penguasa mereka.
Di sisi lain, hasil jajak pendapat di Palestina pendudukan yang digelar oleh lembaga Liberal Demokrasi Israel menunjukkan bahwa mayoritas warga Zionis menolak segala bentuk perdamaian dengan Palestina yang menuntut pengunduran rezim ilegal ini ke garis perbatasan 1967.
Dalam kondisi seperti ini para pengamat meyakini bahwa pada dasarnya perdamaian bagi Israel yang dibentuk atas dasar kekerasan dan radikalisme serta perusakan tidak memiliki makna dan hanya sebagai sarana untuk memajukan penjajahannya atas bumi Palestina.
Sementara itu, Otorita Ramallah meski menyadari dampak buruk perundingan damai Timur Tengah masih saja bersikeras untuk berunding dengan Rezim Zionis Israel.