کمالوندی

کمالوندی

Sabtu, 27 April 2013 19:44

Mengapa Nuklir Israel Berbahaya ?

Richard Falk, investigator khusus HAM PBB di wilayah Palestina Pendudukan menyatakan program nuklir militer Israel mengancam keamanan seluruh kawasan Timur Tengah. Investigator HAM PBB itu menyebut Israel sebagai satu-satunya rezim yang memiliki senjata nuklir di Timur Tengah. Menurut Falk, eksistensi Israel sendiri sebagai ancaman, apalagi dengan program nuklir militernya. Bagi Falk, program nuklir militer Israel sangat berbahaya, karena Tel Aviv kapanpun bisa menggunakan senjata nuklirnya untuk menyerang pihak lain.

Sejak awal pendiriannya, proyek nuklir Israel bertujuan militer. Pada tahun 1952, rezim Zionis mendirikan Komisi Energi Nuklir. Lima tahun kemudian komisi tersebut mencapai kesepakatan dengan Prancis mengenai pembangunan reaktor riset Dimona, Negev. Reaktor riset berkekuatan 24 megawat air berat itu dioperasikan pada tahun 1964. Di reaktor ini pula Prancis melakukan pengolahan bahan bakar nuklir, sekaligus menyiapkan plutonium untuk memenuhi kepentingan militer Israel.

Sejak itu Israel semakin agresif meningkatkan kemampuan nuklir militernya. Pada tahun 1964, CIA melaporkan bahwa Israel berhasil memproduksi bom atom plutonium.

Hingga dekade 1990-an, rezim Zionis meningkatkan jumlah hulu ledak nuklirnya dari 75 hingga 130 buah. Pada tahun 2006, dengan dukungan AS dan negara Barat lainnya, Israel terang-terangan mengumumkan program nuklir militernya. Bulletin of The Atomic Scientist mengumumkan bahwa jumlah hulu ledak nuklir Israel menempati urutan kelima di dunia.

Rezim Zionis meningkatkan kekuatan nuklir militernya dengan bantuan negara-negara Barat terutama AS. Meskipun negeri Paman Sam itu didera krisis ekonomi, Washington justru berniat meningkatkan bantuan militernya bagi Tel Aviv. Baru-baru ini, Presiden Amerika, Barack Obama dalam rancangan anggaran belanja negara yang dikirimnya ke Kongres menambah usulan bantuan militer bagi Israel hingga $3,4 miliar.

Dukungan besar-besar negara-negara Barat terhadap Israel menyebabkan Tel Aviv semakin arogan mengembangkan program nuklir militernya yang membahayakan perdamaian kawasan. Saat ini, Israel memiliki setidaknya 300 hulu ledak nuklir, tapi selalu "kebal" sanksi dan hukuman dari organisasi internasional semacam PBB.

Padahal, selama ini Israel-lah yang jelas-jelas memiliki senjata nuklir di kawasan Timur Tengah yang mengancam perdamaian dan keamanan regional. Tapi, sanksi internasional justru dijatuhkan kepada negara lain semacam Iran yang mengembangkan program energi nuklir untuk tujuan damai yang berada di bawah Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan bekerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA).

Ketika organisasi internasional semacam Dewan Keamanan PBB gencar mempersoalkan program nuklir sipil Iran, yang hingga kini tidak terbukti menyimpang ke arah program senjata nuklir. Tapi, sikap yang sama tidak berlaku bagi Tel Aviv, yang tidak pernah mengakui NPT dan menutup pintu bagi investigator IAEA untuk menyelidiki instalasi nuklir militernya.

Berbagai pelanggaran Israel terhadap ketentuan internasional, terutama terkait program nuklir militernya mengancam keamanan dan perdamaian kawasan dan dunia. Untuk itu, sejumlah negara regional dan dunia mendesak sikap tegas PBB terhadap Israel, terutama institusi terkait seperti IAEA terhadap program nuklir militer Israel. Tapi, karena dukungan segelintir negara Barat terutama AS di Dewan Keamanan PBB, hingga kini tidak ada keputusan serius untuk menindak kejahatan Israel yang semakin merajalela.

Dukungan Washington dan sekutunya terhadap Tel Aviv, membuat Israel semakin agresif meningkatkan produksi senjata nuklir dan menggunakannya untuk mengobarkan perang di kawasan. Berbagai laporan menunjukkan bahwa rezim Zionis menggunakan senjata nuklir dalam sejumlah perang seperti perang delapan hari di Jalur Gaza, pada November 2012 lalu. Sejatinya, sikap pasif PBB dan publik dunia hanya akan membuat rezim Zionis semakin arogan untuk melanjutkan kebijakan haus perangnya di kawasan.

Seorang warga Amerika Serikat akan disidang di pengadilan tinggi Korea Utara karena dituduh telah melawan pemerintahan Pyongyang.

Kantor berita China, Xinhua sebagaimana dikutip Fars News (27/4) melaporkan, menurut berita yang dilansir kantor berita resmi Korut, Pae Jun-Ho warga Amerika keturuan Korea akan segera diseret ke pengadilan tinggi rakyat Korea.

Pada tanggal 3 November tahun lalu, Pae Jun-Ho memasuki Korea Utara untuk melakukan sejumlah aksi teror, namun aparat keamanan berhasil menangkapnya.

Kantor berita resmi Korut mengatakan, tersangka mengakui semua perbuatannya yang bermaksud untuk menggulingkan pemerintahan berkuasa negara itu.

Menurut keterangan sumber pemerintah Korut, Pae Jun-Ho dinyatakan bersalah berdasarkan bukti-bukti yang ada.

Sebelumnya Bill Richardson, mantan Walikota Negara Bagian New Mexico dan Eric Smith, Direktur Operasional Google berkunjung ke Korut pada tanggal 7 sampai 10 Juni untuk membebaskan warga AS itu, namun gagal.

Ledakan bom terjadi di salah satu kantor Partai Rakyat Pakistan yang tengah disibukkan dengan aktifitas persiapan pemilu. Dalam insiden tersebut setidaknya 10 orang tewas.

BBC sebagaimana dikutip Mehr News (27/4) melaporkan, ledakan terjadi kemarin malam di salah satu kantor Partai Rakyat Pakistan di kota Karachi. Ledakan terjadi beberapa saat menjelang digelarnya orasi politik di kantor tersebut, akibatnya 10 orang tewas dan 25 orang lainnya luka-luka.

Kelompok teroris Taliban mengaku bertanggung jawab atas insiden tersebut. Ini adalah ledakan ketiga dalam beberapa hari terakhir yang dilakukan Taliban di Karachi.

Pada tanggal 11 Mei mendatang Pakistan akan menyelenggarakan pesta demokrasi, namun karena beberapa kelompok anti-Taliban direncanakan akan ikut serta dalam pemilu, milisi bersenjata itu berusaha untuk merusak citra kelompok-kelompok tersebut.

Sabtu, 27 April 2013 19:37

Akhirnya, Uni Eropa Kecam Israel

Gelombang kecaman terhadap rezim Zionis Israel terus mengalir. Kali ini Uni Eropa berani mengkritik Israel karena menghancurkan beberapa bangunan milik rakyat Palestina di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur (al-Quds), dan menggusur puluhan orang dari tempat tinggalnya.

Dalam sebuah pernyataan Jumat (26/4), utusan Uni Eropa di Yerusalem dan Ramallah menyatakan keprihatinannya yang mendalam atas langkah rezim Tel Aviv menghancurkan 22 bangunan di Tepi Barat pada tanggal 23 dan 24 April lalu. Utusan Uni Eropa itu mengatakan bahwa beberapa bangunan yang dihancurkan dibiayai oleh negara-negara anggota organisasi Eropa tersebut.

"Sejak tahun 2008 lebih dari 2.400 rumah Palestina dan infrastruktur lainnya telah dihancurkan di Tepi Barat dan Yerusalem timur, yang menyebabkan lebih dari 4.400 orang terlantar," kata pernyataan itu.

Pada 14 Mei 2012, Uni Eropa telah meminta Tel Aviv supaya memenuhi kewajibannya terkait kondisi kehidupan rakyat Palestina, termasuk menangguhkan pengusiran paksa serta pembongkaran perumahan Palestina dan infrastruktur penting lainnya.

Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Prancis Philippe Lalliot mengecam langkah pasukan Israel yang menghancurkan sebuah kamp Palestina di utara Tepi Barat sungai Jordan dan menyebutnya sebagai pelanggaran HAM internasional. Kamp tersebut didanai oleh Perancis.

Pada hari Jumat, Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan mengatakan sekitar 60 orang, termasuk 36 anak-anak, mengungsi menyusul pembongkaran dua peternakan dan restoran Palestina oleh militer Israel

Sabtu, 27 April 2013 19:35

Mesir di Tengah Gelombang Krisis Baru

Demonstrasi-demonstrasi anti-pemerintah di sejumlah kota di Mesir, begitu juga upaya-upaya para demonstran untuk menduduki kantor-kantor Ikhwanul Muslimin dan bahkan kediaman Presiden Muhammad Mursi, menunjukkan bahwa ada perubahan signifikan dalam krisis yang tak kunjung usai di negara Piramida itu.

Jumat, 26 April 2013 lalu massa berkonsentrasi di depan istana kepresidenan. Sekalipun aksi unjuk rasa itu berakhir dengan bentrok fisik antara demonstran dan polisi, namun para pengunjuk rasa tidak mempedulikannya dan terus meneriakkan slogan-slogan anti-Ikhwanul Muslimin. Bersamaan dengan itu, rumor tersebar di tengah masyarakat bahwa Kementerian Dalam Negeri tengah membentuk pasukan pendukung Presiden Mursi. Namun Kemendagri membantah rumor tersebut dan menegaskan bahwa militer Mesir akan menjalankan tugasnya tanpa intervensi politik dari pihak manapun.

Banyak pengamat politik percaya, tidak menutup kemungkinan memang ada sejumlah kelompok yang sedang berusaha memperkeruh situasi dan menyibukkan pemerintah dengan masalah-masalah tidak urgen untuk memancing di air keruh. Kelompok liberal, kiri dan kelompok yang masih loyal terhadap rezim terguling terbukti tidak senang dengan kondisi Mesir sekarang. Mereka sedang berusaha memperburuk kondisi dan menggunakannya sebagai alat untuk menekan Kairo agar mau memenuhi keinginannya.

Front Penyelamat Nasional yang menghimpun kaum liberal dan politikus-politikus era Mubarak, saat ini dikenal sebagai ikon arus pergerakan tersebut. Mereka berperan dalam aksi-aksi pembangkangan sosial di Mesir dalam beberapa bulan terakhir. Mereka bahkan ditengarai berada di balik kerusuhan-kerusuhan berdarah yang terjadi di negara itu dan mereka jugalah yang melemparkan isu cacatnya pemilu yang akan digelar akhir tahun ini sehingga masyarakat pesimis dengan hasilnya. Pasalnya, mereka khawatir Ikhwanul Muslimin akan kembali memenangkan pemilu parlemen kali ini.

Disamping Front Penyelamat Nasional, terdapat beberapa kelompok yang tidak jelas identitasnya di Mesir seperti kelompok Black Bloc yang mendalangi sejumlah aksi kerusuhan. Demonstrasi yang terjadi kemarin juga dipelopori oleh kelompok Black Bloc, kelompok yang terang-terangan memproklamasikan diri sebagai oposan pemerintah Mursi dan mendapat suntikan dana dari luar Mesir.

Dengan memperhatikan kondisi yang ada, jelas bahwa arah politik baru Mesir menghadapi ancaman serius dari dalam dan luar. Pada kondisi seperti ini, satu-satunya jalan adalah sikap petinggi Mesir untuk duduk bersama menyelesaikan masalah tanpa intervensi asing. (IRIB Indonesia)

Menteri Informasi Suriah mengatakan Amerika Serikat hendak mengulang skenario invasi Irak di Suriah dengan menuding pemerintah Damaskus menggunakan senjata kimia terhadap milisi oposisi bersenjata yang didukung asing.

Dalam sebuah wawancara dengan TV Rusia, Omran Al-Zoubi membantah tuduhan para pejabat AS bahwa senjata kimia telah digunakan oleh militer Suriah dalam skala kecil.

"Ini tak berdasar, dan itu hanya taktik baru untuk memberikan tekanan politik dan ekonomi terhadap Suriah," kata Al-Zoubi, Jumat (26/4).

"Amerika ingin memanipulasi masalah ini dan mengulangi skenario [invasi] Irak, " tegasnya.

Sebelumnya, pada hari Kamis, Menteri Pertahanan AS Chuck Hagel mengklaim bahwa dinas intelijen Amerika telah membuat penilaian "dengan berbagai tingkat kepercayaan" bahwa pemerintah Suriah menggunakan senjata kimia dalam skala kecil.

Pernyataan itu menyusul klaim sebelumnya oleh rezim Israel, Inggris dan Perancis bahwa senjata kimia telah digunakan di Suriah, tapi tidak memberikan penjelasan spesifik tentang bagaimana dan oleh siapa.

Sementara itu, seorang pejabat pemerintah Suriah pada Jumat (26/4) balik menuduh milisi oposisi anti-Damaskus menggunakan senjata kimia. Pejabat itu menyatakan bahwa ada dokumen yang kuat membuktikan penggunaan senjata kimia oleh milisi oposisi bersenjata dalam serangan terhadap desa Khan al-Assal di luar kota utara Aleppo pada bulan Maret lalu.

Mantan Presiden AS George W. Bush menggunakan alasan senjata kimia untuk membenarkan invasi Irak.(

Irak menggelar pemilu dewan provinsi di 12 provinsi dari 18 provinsi negara ini pada hari Sabtu (20/4). Berdasarkan keterangan sumber-sumber pemerintah, di pemilu dewan provinsi Irak, sebanyak 3.592.000 mereka yang berhak memiliki menyalurkan suaranya di tempat pemungutan suara (TPS). Di pemilu ini tercatat 265 kubu politik dan lima koalisi serta 8302 kandidat turut meramaikan ajang demokrasi ini.

Para kandidat ini bersaing untuk memperebutkan 378 kursi di 12 provinsi. Sementara itu, pemilu dewan provinsi belum digelar wilayah otonomi Kurdistan dan tiga provinsi di Irak barat. Perdana Menteri Nouri al-Maliki mengumumkan pemilu di tiga provinsi barat ditangguhkan enam bulan mendatang mengingat kondisi tak aman di wilayah tersebut.

Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah provinsi Irak khususnya provinsi yang berpenduduk mayoritas Sunni seperti al-Anbar, Nainawa dan Mosul serta kota-kota seperti Baquba dan Fallujah menjadi ajang aksi demo anti pemerintah. Di kerusuhan dan instabilitas di wilayah-wilayah tersebut sejumlah kubu ekstrim dalam negeri juga terlibat.

Pada hari Jumat (19/4) sejumlah wilayah di Irak seperti Baghdad dan Kirkuk diguncang serangan teroris. Insiden tersebut menewaskan lebih dari 70 orang dan menciderai sejumlah warga lainnya. Bersamaan dengan aksi teroris tersebut dengan pemilu dewan provinsi merupakan langkah yang terorganisir dan dipersiapkan sebelumnya.

Pengamat politik meyakini bahwa teroris dan pendukung mereka berusaha mempengaruhi proses pemilu dewan provinsi di Irak dengan menebar instabilitas dan kerusuhan. Khususnya hasil sementara pemilu dewan provinsi menunjukkan keunggulan aliansi Ammar Hakim "Al-Mawatin".

Oleh karena itu, sepertinya kubu politik internal Irak yang menjadi antek asing berusaha menggoyang stabilitas negara dengan memanfaatkan kelompok Salafi khususnya al-Qaeda dan Partai Baath. Hal ini mereka lakukan untuk mencegah kemenangan kubu Syiah di perolehan kursi dewan.

Sejumlah kubu politik yang merasa terisolasi berusaha menekan Nouri al-Maliki dengan mempertanyakan kemampuan pemerintah dalam mengontrol keamanan negara dan dengan demikian mereka berharap mampu mencegah Koalisi Negara Hukum mendapat kursi besar di dewan.

Tak diragukan lagi bahwa upaya untuk mempengaruhi pemilu dewan provinsi hanya sebagian dari motif para teroris di aksi yang mereka kobarkan. Dewasa ini berbagai kubu yang berafiliasi dengan Barat dan sejumlah pejabat Arab Saudi tengah membentuk front anti Maliki dengan tujuan untuk menolak mosi percaya terhadap pemerintahan sang perdana menteri Irak ini.

Mengingat hal ini, sejumlah elit politik menilai pemilu dewan provinsi Irak yang digelar dengan dipantau oleh wakil partai politik negara ini dan 300 pengamat internasional merupakan ujian serius untuk mengkaji tingkat popularitas berbagai kubu politik serta kubu yang membentuk pemerintahan di Baghdad.

Sementara itu, pendapat lainnya menyatakan, pemilu dewan provinsi Irak dapat menjadi babak baru terbentuknya kekuatan dan kubu politik yang seirama dengan proses politik saat ini demi mempercepat program pembangunan dan kemajuan bangsa.

Senin, 22 April 2013 19:23

Libya dan Rekonsiliasi Nasional

Perdana Menteri pemerintahan sementara Libya, Ali Zeidan saat berbicara di konferensi perdamaian antar kabilah yang digelar di kota Tripoli menekankan perealisasian rekonsiliasi nasional di negara ini. Ia menyebut berdamai dan solidaritas sebagai kebutuhan mendesak Libya saat ini untuk tetap eksis. Ali Zeidan juga mengharapkan berbagai kabilah khususnya suku-suku yang berada di wilayah selatan untuk tidak saling berperang.

Harapan Zeidan digulirkan di saat Libya meski telah satu setengah tahun dari tergulingnya diktator Muammar Gaddafi, sampai saat ini belum mengecap ketenangan dan stabilitas. Hingga kini berbagai kabilah di negara ini cendung menggunakan kekerasan dan senjata untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. Senjata kini menjadi sarana bagi mereka untuk memaksakan tuntutannya.

Di era pemerintahan Gaddafi, tidak ada kabilah yang berani unjuk kekuatan. Hal ini disebabkan peraturan keras yang diterapkan oleh sang diktator dan sistem keamanan yang ketat. Namun pasca tergulingnya Gaddafi kondisi di negara ini berubah seratus persen. Kubu revolusioner dan para pemimpin kabilah saling berlomba merebut jatah mereka di pemerintahan.

Dalam beberapa bulan lalu, berbagai wilayah di Libya menjadi ajang bentrokan bersenjata antara milisi bersenjata dari kabilah yang ada dengan pasukan pemerintah semenara. Kabilah di Timur, Barat dan Selatan saling berbangga dengan jumlah mereka di masyarakat Libya serta menentang pemerintah. Untuk menunjukkan kekuatannya, kabilah-kabilah ini saling berperang di antara mereka. Sampai saat ini tercatat beberapa kali bentrokan berdarah terjadi di Libya.

Bahkan di wilayah Timur muncul ide pemisahan diri dari pemerintah pusat dan saat ini sejumlah wilayah negara ini lepas dari kontrol pemerintah pusat. Pasukan dari kabilah di Timur yang sebagiannya bekerja di sektor industri perminyakan berulang kali menggelar aksi mogok kerja menuntut penambahan jatah kekuasaan terhadap industri penting dan pemanfaatan hasil dari minyak bagi kepentingan daerahnya tersebut. Aksi mogok kerja menjadi bagian terpenting dari isu yang ada. Namun ketika anggota kabilah ini mengangkat senjata dan menentang pasukan pemerintah, maka bentrokan berdarah pun tak terelakkan.

Dalam satu tahun lalu, Libya mengalami masa-masa kemunduran pesat akibat tidak adanya stabilitas dan keamanan. Kondisi ini ditambah dengan tidak tercapainya kesepakatan nasional di struktur politik dan sosial negara ini. Meski Libya di antara negara-negara Afrika memiliki cadangan minyak dan gas terbesar, namun Tripoli masih belum mampu memanfaatkan hasil dari nikmat besar Tuhan ini untuk memajukan perekonomian dan mensejahterakan kehidupan rakyatnya.

Hal ini didorong oleh minimnya tingkat keamanan negara ini dan dari sisi lain, permusuhan antar kabilah menjadi faktor utama yang mencegah jalannya stabilitas politik dan kemajuan ekonomi di Libya. Sampai kini pun belum ada kepercayaan kepada pemerintah. Pasukan revolusioner pun hingga kini belum menyerahkan senjata mereka kepada pemerintah. Komite rakyat yang dibentuk di era revolusi pun belum sepenuhnya bubar dan masih terpecah-pecah. Komite ini belum terkumpul dalam satu wadah.

Secara praktisnya setiap wilayah di Libya berada dalam kekuasaan satu kabilah tertentu. Kondisi ini sama halnya dengan memunculkan gejolak dan kekacauan politik di Libya. Jika gejolak ini terus berlanjut, proses pembentukan pemerintahan di negara ini akan terhambat. Dengan demikian maka tak diragukan lagi kondisi tersebut menjadi era terburuk bagi Libya baru.

 

Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Chuck Hagel Sabtu malam (20/4) memulai lawatannya selama sepekan ke Timur Tengah. Di safarinya ini, Hagel akan mengunjungi Palestina pendudukan, Yordania, Arab Saudi, Mesir dan Uni Emirat Arab. Agenda terpenting Hagel di lawatannya ke Timur Tengah adalah isu berlanjutnya krisis Suriah, program nuklir Iran dan penjualan senjata Amerika senilai 10 miliar dolar kepada Arab Saudi, Emirat dan Israel.

Mengingat tujuan pertama lawatan Hagel adalah Palestina pendudukan maka dipastikan ia bakal berusaha menunjukkan sikap persahabatannya dengan Israel mengingat sikapnya sebelum ini terhadap rezim penjajah al-Quds tersebut. Hal ini sangat penting ketika saat menjadi senator di Senat, Hagel terkenal dengan sikap kerasnya terhadap Israel serta penentangannya terhadap sanksi atas Republik Islam Iran.

Saat duduk di Senat Hagel juga mendukung perundingan dengan kelompok muqawama seperti Hizbullah dan Hamas. Masalah ini sempat menyulitkan Hagel saat pembahasan kelayakan dirinya untuk menempati posisi menteri pertahanan Amerika. Petinggi Israel menentang keras penunjukan dirinya menempati posisi strategis tersebut. Meski adanya banyak penentangan, akhirnya Hagel ditunjuk juga sebagai menhan Amerika. Selanjutnya ia langsung mengubah sikap terdahulunya dan berusaha mendekati Israel.

Lawatan Hagel ke Timur Tengah ini digelar ketika Amerika Serikat pada hari Sabtu (20/4) berhasil menyelesaikan kontrak penjualan senjata baru senilai 10 miliar dolar kepada Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Rezim Zionis Israel. Proyek ini dalam rangka menyebarkan Iranphobia dan mendorong pemerintah Arab pro Barat untuk terus mempersenjatai diri. Adapun penjualan senjata kepada Israel dimaksudkan untuk memperkuat dan meningkatkan kemampuan militer rezim penjajah ini.

Selain itu, sepertinya pembahasan mengenai masa depan Suriah dan langkah Amerika dalam menyikapi krisis di Damaskus merupakan agenda utama perundingan Hagel di Timur Tengah. Lawatan Hagel ke negara-negara kawasan serta Palestina pendudukan juga ditujukan untuk mengkoordinasi lebih besar lagi di antara mereka untuk melancarkan kebijakan anti Suriah. Di sisi lain, di tengah lawatan Hagel ini, Washington mengkonfirmasikan kebijakannya menambah bantuannya kepada kubu pemberontak Suriah.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry sebelumnya menyatakan Washington akan memberi bantuan baru kepada kubu anti Suriah sebesar 123 juta dolar. Tak ketinggalan, Hagel juga mengkonfirmasikan rencananya untuk mengirim unit satu pasukan lapis baja beserta 200 tim ahli di bidang pelacakan dan logistik serta operasi khusus ke Yordania.

Berdasarkan berbagai laporan, Gedung Putihberada dalam tekanan sejumlah senator berpengaruh di Kongres yang meminta Barack Obama mengambil langkah-langkah pengamanan untuk mencegah meluasnya perang di Suriah. Dan Gedung Putih pun menyetujui usulan tersebut.

Muhammad al-Mumani, menteri penerangan dan informasi Yordania juga mengisyaratkan misi unit-unit militer Amerika dan menyatakan bahwa militer AS di Yordania nantinya akan memperkuat kemampuan militer Amman. Hal ini sangat sensitif bagi Yordania mengingat eskalasi krisis di Suriah.Menurut para pengamat, penempatan unit lapis baja Amerika di Yordania menunjukkan kian meluasnya krisis Suriah, bahkan fenomena ini telah menjadi krisis regional.

Amerika Serikat mulai mengkhawatirkan kondisi sekutunya di kawasan dan mulai melakukan langkah antisipasi guna menghadapi kondisi mendatang di kawasan. Peningkatan kehadiran pasukan Amerika di Yordania juga dimaksudkan untuk mengantisipasi kondisi tersebut.

Terkait isu nuklir Republik Islam Iran, lawatan Hagel ke Palestina pendudukan juga sangat penting. Apalagi mengingat penekankan Israel untuk menekan lebih hebat lagi sektor ekonomi Iran serta opsi militer yang dicanangkan oleh Tel Aviv dan garis merah terhadap kebijakan nuklir Tehran. Tahun lalu, Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu dan Presiden AS, Barack Obama terlibat friksi serius dalam masalah ini.

Oleh karena itu, mengingat transformasi terbaru khususnya perundingan Almaty antara Iran dan Kelompok 5+1 serta prakarsa yang diajukan Iran, sepertinya Hagel di lawatannya ini  ketika bertemu dengan petinggi Israel akan membahas usulan Iran tersebut dan langkah-langkah yang bakal ditempuh AS serta sekutunya menghadapi program nuklir damai Republik Islam Iran.

Ketua Fraksi Muqawama di parlemen Lebanon, Muhammad Raad menekankan pembentukan pemerintahan persatuan nasional.

Seperti dilaporkan IRNA, Muhammad Raad Senin (22/4) di sebuah acara di Lebanon selatan seraya mengisyaratkan lobi yang dilakukan Tammam Salam, perdana menteri Lebanon menandaskan, tidak ada pemerintah yang mampu memimpin Lebanon dalam kondisi sulit seperti ini kecuali pemerintahan persatuan nasional  karena masalah yang dihadapi pemerintah sangat penting.

Muhammad Raad seraya mengisyaratkan konspirasi sejumlah kubu internal untuk mengucilkan muqawama dari pembentukan pemerintah baru menekankan, isu muqawama merupakan standar utama dalam pembahasan setiap program dan rencana di Lebanon.

Petinggi Hizbulalh ini seraya mengisyaratkan kekuatan muqawama dalam menghadapai pergerakan musuh menambahkan, rencana musuh terhadap muqawama mengalami kebuntuan dan mereka secepatnya akan menerima kemampuan muqawama dalam menghadapi agresi rezim Zionis Israel.

Tammam Salam, perdana menteri baru Lebanon pada enam April 2013 dengan 124 suara mendukung parlemen ditunjuk untuk membentuk pemerintahan baru Lebanon.

Najib Mikati mengundurkan diri pada 22 Maret 2013 setelah pemerintahannya gagal mencapai kesepakatan di sidang kabinet terkait pembentukan komisi pengawas pemilu