کمالوندی

کمالوندی

Sabtu, 21 Juli 2012 07:51

Hak Hidup

Hak hidup termasuk hak yang paling alami dan utama, Allah SWT berfirman, Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang padamu.[1] Dan, Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.[2]

Islam memperhatikan hak hidup ini sejak awal munculnya nuthfah (sperma) yang merupakan materi penciptaan. Karena itu, syariat Islam melarang untuk membunuhnya, dan barang siapa yang membunuhnnya akan mendapatkan balasan material setimpal (madi).

Ishaq bin ‘Ammar meriwayatkan, aku bertanya kepada abu Hasan (Imam Ridha as), tentang seorang wanita yang takut hamil, lantas ia minum obat pengugur kandungan lalu mengenai apa yang di dalam rahimnya.

Imam as bersabda, “Tidak! (Itu tidak boleh).”

Aku berkata, “Itu hanya sebuah nuthfah!”

Beliau as menjawab, “Sesungguhnya materi pertama yang diciptakan adalah nuthfah.”[3]

Atas dasar itu, maka hak hidup menempati posisi yang amat penting dalam ajaran Ahlulbait as. Hal ini Nampak sejelas-jelasnya bagi orang yang mengkaji riwayat-riwayat hadis yang berkaitan dengan bab Qishash, dan akan didapati sebuah pandangan yang lebih mendalam mengenai hak ini; sebuah tanggapan tegas bahwa semua sebab yang dibuat (dengan sengaja) atau secara langsung membunuh nutfah dan membunuh jiwa serta menumpahkan darah secara haram dianggap sebuah pelanggaran hak hidup manusia, yang konsekuensinya adalah hukuman berat di dunia dan di akhirat.

Salah satu dalil naqli (tekstual; al-Qur’an & hadis) yang menunjukan atas haramnya membunuh secara tidak langsung, antara lain Muhammad bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far (Imam Baqir) as yang berkata, “Akan datang seorang pria pada hari kiamat sedang di tangannya terdapat kantung yang berisi darah, ia berkata, “Demi Allah, aku tidak membunuh dan tidak pula ikut andil dalam (menumpahkan) darah ini!”

Lantas diberitahukan (kepadanya), “Memang benar, tapi kamu telah menyebut (tentang) si fulan hamba-Ku, yang menyebabkan ia terancam (fataraqqa dzalika)[4] dan terbunuh. Sehingga daranya tertumpah karenamu.”[5]

Dalam Hadis lain sisebutkan, Rasulullah saww, “Allah Swt mencintai dusta demi kemaslahatan, dan membenci kejujuran demi kemaksiatan.”

Begitu pula terdapat riwayat-riwayat tentang larangan bunuh diri, yang ringkasnya seorang mukmin akan diuji dengan segala cobaan dan akan mati dengan berbagai cara kematian (meninggal secara alamiah) selain (dengan cara) bunh diri. Dan barang siapa yang membunuh dirinya dengan sengaja, maka kelak ia berada di neraka jahanam selama-lamanya.

Mengenai hal ini, ada sebagaian orang yang dangkal pandangannya atau buta hatinya, mencela dan meragukan prinsip taqiyah pengikut Ahlulbait as. Ia bodoh atau pura-pura bodoh akan kedalaman hikamh di balik perumusan prinsip ini sebagai sebuah dasar solusi alternative tanpa pertumpahan darah.

Muhaqqiq al-Hili berkata, “Jika ia (seorang) dipaksa membunuh, maka hukum qishash jatuh pada si pembunh, bukan orang lain.”

Dalam riwayat Ali bin Ri’ab, “Dalam pembunuh harus dipenjara sampai mati, jika yang dipaksa membunuh sudah baligh dan berakal.”[6]

Dalam Hadis lain dari Aimah as, “Nabi-nabi sebelum Rasulullah saww melakukan taqiyah untuk melindungi umatnya.”

Taqiyah memiliki syarat-syarat dan batasan-batasan yang harus diperhatikan, terutama ketika sebuah kasus telah sampai pada batas membahayakan nyawa orang lain. Sesuai dengan kandungan hadits, “Taqiyah dibuat untuk mencegah pertumpahan darah. Artinya, jika darah tertumpuh, tiada taqiyah.”[7]

 

[1] QS. An-Nisa: 29

[2] QS. Al-Maidah: 32

[3] Man la Yahdhuruhul Faqih IV, 126/440 & al-Wasail 29:25 /1, Bab VII, al-Qishash fin-Nafs

[4] Fataraqqa dzalika, maksudnya mengangkat. Hadis ini menerangkan keharusan merahasiakan sesuatu ketika ada kemungkinan bahaya dilakukan.

[5] Wasailusy Syi’ah, 29:17/1, Bab 2, al-Qishas fin-Nafs.

[6] Syarayi’il Islam Bab al-Qishash, 4:975, Dar al-Huda, Qum cet. 3

[7] Al-Kafi, 2:228/16, Bab Taqiyah.

Sabtu, 21 Juli 2012 07:44

Merajut Dakwah Dalam Bingkali Ukhuwah

Allah SWT Berfirman :

“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (penalaran filosofis), dan Nasehat yang baik (himbauan moralis), dan berdiskusilah dengan mereka dengan cara yang sebaik-baiknya (harmonis). (Q.S. An-Nahl: 125)

Berdasarkan ayat ini para mufassir menjelaskan tiga cara atau jenjang dalam mengajak menusia agar mendapatkan hidayah. Setiap cara harus dipahami oleh juru dakwah sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

Murtadha Muthahhari, menjelaskan ayat ini dengan menyatakan bahwa ketika disebutkan kata Rabb (Tuhan yang maha pemelihara), maka disitu terasa adanya perhatian yang menunjukkan kearah tarbiyah, yaitu pemeliharaan dan pendidikan. Yakni serulah manusia kejalan Rabb-mu yaitu Tuhan-mu yang memberikan pendidikan bagi manusia. Dengan cara bagaimana?

Pertama, dengan hikmah, yaitu suatu ucapan yang cermat dan tegas, tidak tersentuh oleh cacat dan tidak menimbulkan keraguan sedikitpun. Ini berarti sebuah penalaran filosofis – ingat filsafat diterjemahkan dengan hikmah dan filosof disebut juga dengan hukama— dalam menjelaskan ajaran-ajaran Islam, dengan mengajukan bukti-bukti yang tak terbantahkan (argumentasi) melalui penjabaran ilmiah, sehingga menanamkan keyakinan kuat yang terpatri dalam hati.

Kita tunjukkan bahwa agama Islam itu benar, karena secara rasional argumentasi Islam harus diterima. Seorang pendakwah harus mampu berbicara dengan hikmah, dengan penalaran filosofis, dengan argumentasi rasional. Pendeknya aktivis dakwah harus mampu menjelaskan wahyu al-Quran dan sunnah nabi dengan menggunakan akal sehat. “kami para nabi, diperintahkan agar berbicara kepada manusia sesuai tingkatan akal mereka” begitu sabda Rasulullah Saw.

Kedua, adalah nasehat yang baik (mauizhah hasanah), yang bagi Muthahhari, menyeru ke jalan Tuhan dengan memberikan nasehat yang tepat dan cermat serta dengan ucapan-ucapan yang mudah diterima dan dicerna. Ini berarti sebuah himbauan moral yang mengajak untuk memperbaiki diri, dan menjauhi perbuatan terlarang, Bila penalaran filosofis (hikmah) mengaplikasikan dimensi ilmiah (teoritis) maka himbauan moral lebih terfokus pada dimensi amaliah (praktis).

Dengan mauidhah al-hasanah (nasehat yang baik) seorang juru dakwah menjadi perayu-perayu ulung yang mengetarkan hati setiap insan. Bawalah orang yang didakwahi dalam suasana nyaman yang seolah-olah mereka berada di dalamnya dengan penuh perasaan dan gejolak emosi yang tersentuh dalam. Dengan himbauan-himbauan moral kita sentuh keinginan-keinginan dan kerinduan mereka, kita redakan kegelisahan dan kecemasan mereka.

Cara Ketiga, adalah “berdiskusi dengan cara yang baik” atau penuh keharmonisan. Islam ialah agama yang siap untuk dikritik, diprotes, atau dibantah. Kalau ada lawan-lawan Islam yang mencoba meruntuhkan ajaran Islam dengan menyerang ajaran-ajarannya, maka seorang pendakwah menjadi juru bicara untuk menjawab kritik dan keberatan-keberatan yang di ajukan oleh musuh-musuh Islam. Kita diperintahkan untuk berdiskusi dan menerima tantangan untuk berdebat, bukan menghindarinya. Tetapi ingat, seperti dijelaskan ayat ini, haruslah digunakan etika diskusi yang baik dan harmonis. Seperti dipesankan Muthahhari, DALAM BERDEBAT JANGAN SEKALI-KALI MENYIMPANG DARI JALAN KEBENARAN, TETAPI HENDAKLAH SENANTIASA BERSIKAP ADIL, TIDAK MENUTUP MATA TERHADAP KEBENARAN DAN TIDAK SEKALI-KALI MENGUCAPKAN KEBOHONGAN.

Dengan perdebatan dan diskusi kita berusaha menyampaikan kebenaran disertai niat agar memperoleh hidayah Allah Swt. Dalam perdebatan kita mesti pula membekali diri dengan dua hal sebelumnya, yakni penalaran filosofis dan himbauan moralis. Berdebat bukan untuk menang tetapi untuk membuktikan kebenaran. Karenanya seorang juru dakwah mesti mempunyai keahlian dan kualitas diri untuk mampu berpikir rasional dan argumentatif sekaligus berbicara dengan bahasa yang kokoh, mudah dipahami, terutama mudah menarik hati.

Jadi seorang juru dakwah, seperti dikatakan Sayid Hussain Fadhullah, dituntut untuk memperbanyak perbendaharaan ilmiah serta tidak menyakitkan perasaan dan hati penerima dakwah. Hal ini karena tugas juru dakwah dalam berdiskusi adalah memasukkan mereka para pembangkang kebarisan sasaran dakwah, mendekatkan mereka untuk mengikuti aqidah yang benar, meluruskan pemikiran-pemikiran dan keimanan mereka. Bukan membikin putus asa, mengalahkan atau membunuh mereka. Tugas juru dakwah bukan meraih kemenangan atas musuh untuk memuaskan ambisi kesombongan diri. Tugas juru dakwah adalah untuk menyadarkan orang lain untuk mengikuti kemanusiaannya, dan mengingatkannya akan akidah yang mengikatnya. Lalu membentuknya untuk mengikuti jalan yang benar, sehingga pada gilirannya akan menjadi sahabat dalam mensukseskan dakwah menuju Allah Swt.

Dengan demikian, layaknya seorang orator ulung, juru dakwah harus membuktikan kredibilitas dirinya, kekuatan argumentasinya, dan penjelasan yang mampu menghujam akal dan sanubari orang yang didakwahinya. Sebagai seorang pendakwah kita harus mampu mengaplikasikan ketiga cara tersebut dengan memperhatikan kondisi dan situasi sekitarnya.

Tambahan dari itu semua, perlu disadari, dalam menyampaikan pesan dakwah, baik dengan cara hikmah, nasehat yang baik ataupun dengan cara diskusi, kita harus bersatu padu. Jangan terkurung dalam sekat-sekat mazhab yang sempit. Janganlah kita saling menghujat dan menyalahkan bahkan mungkin sampai pada tahap pengkafiran hanya karena orang lain berbeda pendapat dengan kita. Kita harus menyadari apa yang kita amalkan adalah produk dari apa yang kita pikirkan. Ajaran Islam tidak terbatas, karenanya tidak ada kajian yang sudah tuntas. Terlebih apa yang kita pahami tergantung seberapa informasi yang kita terima.

Akhirul kalam, kemajuan Islam tidak akan berhasil jika tidak dimanajemen dengan baik, akan tetapi manajemen tidak akan berjalan tanpa adanya kebersamaan diantara kita. Karenanya, mari kita jalin ukhuwah dalam dakwah Islam bukan pecah belah, kita cari titik temu yang mempersatukan bukan titik beda yang menyebabkan pertengkaran. Juru dakwah dan ummat hendaknya harus saling berbagi informasi dan membentuk integritas diri serta menambah wawasan dan memperbaiki pemahaman. Sesama juru dakwah dan sesama anggota jemaah harus mampu membina jalinan dan komitmen yang harmonis. Untuk itu kita bentuk berbagai sarana dan wadah untuk mengembangkan sistem informasi dalam menjalin silaturrahmi antara berbagai organisasi sehingga terbentuk kekuatan dakwah serta pemikiran Islam. INILAH DIA, MERAJUT KETANGGUHAN DAKWAH DALAM JALINAN UKHUWAH. Wallahu a’lam bi al- shawab.

 

Jumat, 20 Juli 2012 20:40

Imam Husein as, Mentari Keutamaan

Tanggal 3 Sya'ban 4 H, kota suci Madinah menjadi saksi kelahiran seorang bayi suci, buah cinta Ali bin Abi Thalib as dan Fathimah az-Zahra as. Ia adalah putra kedua sebuah keluarga yang selalu dipuji-puji oleh Rasulullah Saw dan disebutnya sebagai Ahlul Bait. Bahkan al-Quran pun menegaskan kesucian mereka dari segala dosa dan noda. Dalam surat al-Ahzab ayat 33, Allah Swt berfirman, "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."

Ibunda bayi lelaki itu adalah Sayidah Fathimah az-Zahra as, putri Rasulullah Saw. Ia adalah perempuan terbaik lantaran keutamaan akhlak dan kesempurnaannya. Allah Swt menurunkan surat al-Kautsar sebagai bentuk penghargaan terhadap posisi Sayidah Fathimah yang begitu luhur.

Sementara ayah dari bayi suci itu adalah Ali bin Abi Thalib as. Ia adalah lelaki pertama yang memeluk Islam dan tak pernah ternodai dengan kemusyrikan. Ia dikenal sebagai sosok manusia yang pemberani, pujangga, dan orator ulung. Perjuangan beliau dalam membela Islam sedemikian besarnya, hingga ia mendapat julukan "Asadullah", Singa Allah.

Pada hari yang penuh dengan berkah dan kebahagiaan itu, sang bayi pun segera diantar ke pangkuan Rasulullah Saw. Dengan penuh penghormatan, Imam Ali as meminta Rasulullah saw untuk memberi nama cucunya yang baru lahir itu. Dan akhirnya sang kakek memberinya nama Husein.

Rekan setia kami mewakili seluruh kerabat kerja Radio Melayu Suara Republik Islam Iran, tak lupa mengucapkan selamat sejahtera atas datangnya hari kelahiran Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib as. Semoga kita semua di hari yang penuh bahagia ini mendapat berkah dan inayah dari Allah Swt.

Kecintaan dan perhatian Rasulullah Saw kepada Imam Husein sudah menjadi buah bibir umat Islam di masa itu. Bint al-Shati, penulis kenamaan Mesir menuturkan, "Bagi Nabi, nama Hasan dan Husein adalah senandung indah dan suara merdu yang tak pernah membosankan untuk selalu disebut-sebutnya. Beliau selalu menganggap kedua cucunya itu seperti anak sendiri. Allah Swt menganugerahkan nikmat yang demikian besar kepada Sayidah Zahra as sehingga keturunan Rasulullah Saw terus bersambung melalui putra-putranya dan memberi kehormatan kepada Ali bin Abi Thalib as sehingga melaluinya keturunan Nabi Saw tiada terputus".

Kecintaan Rasulullah saw kepada kedua cucunya itu bukan sekedar karena ikatan keluarga dan darah. Sebab sebagaimana yang ditegaskan sendiri oleh al-Quran, seluruh perilaku dan ucapan Nabi Saw tidak pernah ternodai oleh hawa nafsu dan keinginan pribadi, melainkan selalu bersumber dari wahyu dan bimbingan ilahi. Kecintaan Rasulullah Saw kepada Hasan dan Husein sejatinya bersumber dari posisi istimewa kedua cucunya itu di kalangan umat Islam. Seluruh jiwa dan kalbu Rasulullah Saw dipenuhi oleh rasa sayang dan cintanya kepada Hasan dan Husein as. Sampai-sampai beliau bersabda, "Barang siapa yang mencintai mereka, maka ia sejatinya mencintaiku. Dan barang siapa yang memusuhinya, maka ia memusuhiku".

Saat peristiwa Mubahalah terjadi, Husein bin Ali masih kecil. Pada hari itu, Rasulullah Saw mengajukan tantangan Mubahalah kepada kaum Nasrani Najran untuk membuktikan ajaran mana yang benar dan mengharap kehancuran bagi yang salah. Untuk membuktikan keseriusan beliau dalam bermubahalah dengan para pemimpin kaum nasrani Najran, Rasulullah pun membawa orang-orang yang paling dicintainya, yaitu Ahlul Bait beliau sendiri. Mereka adalah Imam Ali as, Sayidah Fatimah, dan kedua putranya, Hasan as dan Husein as.

Perlahan tanpa terasa, Husein as telah menginjak usia enam tahun. Pada usianya yang masih kanak-kanak itulah, Rasulullah Saw memenuhi panggilan ilahi dan menutup mata untuk selamanya. Rasulullah Saw meninggalkan umatnya setelah beliau berpesan untuk menjadikan Ahlul Bait sebagai rujukan utama dan selalu mencintai mereka.

Selang beberapa tahun setelah kepergian Rasulullah Saw, umat Islam akhirnya meminta Imam Ali as sebagai khalifah. Di masa itu, Husein bin Ali as selalu menjadi sahabat setia perjuangan ayahnya dalam menegakkan Islam. Bersama saudaranya, Hasan bin Ali as, Husein bin Ali as senantiasa mendampingi Imam Ali as baik di medan laga maupun di kancah politik.

Pasca syahidnya Imam Ali as, tampuk kepemimpinan umat beralih ke Imam Hasan as, kakak Husein bin Ali as. Seperti halnya di masa Imam Ali, Husein bin Ali as selalu setia mendampingi perjuangan dan kepemimpinan Imam Hasan as. Setelah Imam Hasan gugur syahid, kendali imamah berada di tangan Imam Husein as hingga akhirnya terjadilah peristiwa heroik di padang Karbala dan menempatkan dirinya sebagai pahlawan pembebasan terbesar di sepanjang masa.

Tak syak, Nabi Muhammad Saw dan Ahlul Baitnya as adalah suri teladan terbaik bagi seluruh manusia. Dengan mengenal dan menerapkan model kehidupan mereka, niscaya kita akan memiliki suatu kehidupan yang luhur dan berorientasi ilahi.

Sirah dan model kehidupan Imam Husein as berpijak di atas landasan kecintaan terhadap umat. Keberadaan beliau merupakan manifestasi kecintaan kepada Sang Khaliq hingga sinaran cintanya menerangi seluruh alam semesta dan menyeru umat manusia untuk memeluk kebenaran.

Imam Husein as terkenal sebagai sosok manusia yang amat pengasih dan pemaaf. Dalam sejarah kehidupannya dicatat, suatu ketika seorang dari Syam bernama Isham datang ke kota Madinah. Setibanya di sana, ia melihat seorang pribadi yang terlihat amat berbeda dengan khalayak lainnya. Ia pun bertanya kepada orang-orang, siapakah gerangan sosok istimewa yang dilihatnya itu. Mereka menjawab, ia adalah Husein bin Ali as. Isham yang saat itu terpengaruh oleh fitnah dan propaganda Bani Umayyah segera pergi mendekati beliau dan mencercanya dengan segala hinaan dan makian. Menanggapi perilaku Isham, Imam Husein tak lantas marah begitu saja, sebaliknya beliau justru menatapnya dengan penuh keramahan dan kasih sayang. Sejenak kemudian, beliau pun membacakan ayat suci al-Quran mengenai sikap maaf dan mengabaikan kekhilafan orang lain, lalu berkata, "Wahai lelaki, aku siap melayani dan membantu apapun yang engkau perlukan". Kemudian Imam as bertanya, "Apakah engkau berasal dari Syam?" Lelaki itupun menjawabnya, "Iya".

Imam lantas berkata, "Aku tahu mengapa engkau bersikap demikian. Tapi kini engkau sekarang berada di kota kami dan terasing di sini. Jika engkau memerlukan sesuatu, aku siap membantu dan menyambutmu di rumahku".

Melihat sikap Imam Husein yang di luar dugaan dan begitu ramah itu, Isham pun menjadi takjub dan terkesima. Hingga ia pun berkata, "Di saat itu, aku berharap bumi terbelah dan aku tergelincir di dalamnya daripada bersikap begitu keras kepala dan ceroboh semacam itu. Bayangkah saja, hingga saat itu aku masih menyimpan kebencian yang sangat mendalam terhadap Husein dan ayahnya. Namun sikap penuh welas asih Husein bin Ali as membuat diriku malu dan menyesal. Dan kini tak ada siapapun yang lebih aku cintai kecuali dia dan ayahnya".

Dalam rangkaian wejangannya, Imam Husien as berkata, "Wahai umat manusia, hiduplah kalian dengan nilai-nilai moral yang luhur dan berlomba-lombalah kalian untuk memperoleh bekal kebahagiaan. Jika kalian berbuat baik kepada seseorang, namun ia tak membalas kebaikanmu, janganlah khawatir. Sebab Allah Swt akan memberimu ganjaran yang terbaik. Ketahuilah, kebutuhan masyarakat kepada kalian merupakan nikmat ilahi. Maka, jangan kalian lewatkan kenikmatan itu supaya kalian bisa terhindar dari azab ilahi."

Imam Husein as juga pernah berkata, "Barang siapa yang terjebak dalam kesulitan dan ia tak tahu mesti berbuat apa lagi, maka kasih sayang dan bersikap lemah lembut dengan masyarakat merupakan kunci untuk menyelesaikan persoalannya".

Imam pernah pula menuturkan, "Insan yang paling pemaaf adalah seseorang yang memaafkan saat ia berada di puncak kekuasaannya".

Tanggal 4 Syaban 26 H, Abbas bin Ali bin Abi Thalib terlahir ke dunia. Ibunya bernama Fatimah dari Kabilah Bani Kilab. Kabilah Bani Kilab dikenal karena keberanian dan sikap ksatrianya. Ibu yang mulia ini, diperistri oleh Imam Ali as beberapa tahun setelah wafatnya Sayyidah Fatimah az-Zahra as. Pernikahannya dengan Imam Ali membuahkan empat putra. Lantaran memiliki empat anak laki-laki inilah Fatimah lantas dijuluki sebagai Ummul Banin, ibu anak-anak lelaki. Saat terjadinya tragedi Karbala, anak-anak Ummul Banin begitu banyak berkorban hingga gugur syahid demi membela keluarga nabi dan agama Allah.

Abul Fadhl dikenal memiliki wajah yang rupawan dan tubuh yang kekar. Karena itu, ia dijuluki sebagai Qamarul Bani Hasyim, Rembulan Bani Hasyim. Mengomentari keistimewaan Abul Fadhl ini, Ibnu Shahr Ashub dalam kitab Manaqib menulis, "Dia mendapat gelar Rembulan Bani Hasyim karena keutamaan rohani dan jasmaninya, karena cahaya kehambaan dan ikhlasnya terpancar dari wajahnya".

Abbas bin Ali dilahirkan di sebuah rumah yang juga menjadi ruang ilmu pengetahuan dan hikmah. Selama 14 tahun, ia melewati masa-masa hidupnya bersama sang ayah, Imam Ali as, sehingga ia pun banyak belajar mengenai keilmuan, iman dan kesempurnaan dari ayahnya itu. Ia pun banyak belajar mengenai budi bahasa dan pandangan yang mendalam dari ayahnya. Imam Ali as sendiri memberikan perhatian khusus kepada putranya ini. Selain memberikan pendidikan ruhani dan spiritual. Imam Ali juga banyak memberikan pendidikan jasmani dan seni perang kepada Abbas.

Salah satu karakter utama Abbas bin Ali adalah kedekatan dan rasa sayangnya kepada sang kakak, Imam Husein as. Sehingga Abbas pun banyak memperoleh pengaruh positif, dari segi keutamaan moral dan spritual dari kakaknya itu. Kedekatan dan kesetian Abbas bin Ali kepada kakaknya, Imam Husein terlihat nyata saat terjadinya tragedi Karbala.

Sejak kecil, kalbu Abbas bin Ali telah terikat dengan Sang Khaliq. Gairah iman dan takwa beliau selalu berkobar di sepanjang masa hidupnya, sehingga prilaku dan tindakan beliau senantiasa dihiasi dengan akhlak yang mulia. Dari segi keilmuan dan spiritualnya, Abbas bin Ali dikenal sebagai tokoh yang amat bertakwa, berprilaku saleh dan menjadi kepercayaan masyarakat. Siapapun yang mengenalnya niscaya mengakui beliau sebagai seorang yang bijak dan mulia. Sikapnya yang terbuka dan ramah membuat siapapun tertarik kepada belaiu.

Kebijaksanaan dan ketinggian ilmu Abbas bin Ali menjadikannya sebagai tempat rujukan umat untuk meminta pandangan dan bermusyawarah. Ia juga dikenal memiliki pengetahuan agama yang mendalam, baik di bidang fiqih maupun akidah. Abal Fadhl atau Abbas bin Ali dijuluki pula sebagai Babul Hawaij, seseorang yang memenuhi keinginan dan keperluan orang lain, lantaran kebiasaan beliau yang selalu membantu dan menolong orang yang memerlukan.

Abbas bin Ali adalah seorang yang amat rendah hati dan santun. Keteguhan, kesantunan, dan kesabaran Abbas bin Ali mengingatkan kita pada ucapan mutiara Imam Ali yang berbunyi, "Tak ada warisan yang lebih mulia kecuali akhlak". Ia tak pernah duduk tanpa meminta ijin di hadapan kakak-kakaknya seperti Imam Hasan as dan Imam Husein as. Dan selam 34 tahun masa hidupnya, ia senantiasa memanggil kedua kakaknya itu dengan sebutan wahai putra nabi atau wahai tuanku.

Sikap rela berkorban adalah karakter utama kpribadian Abbas bin Ali. Pengorbanan agungnya itu ia pentaskan dengan begitu indahnya di medan Karbala. Hingga masa-masa akhir hidupnya, ia masih menjadi penolong setia Imam Husein. Sampai-sampai tiap kali nama Imam Husein as disebut dalam mengenang peristiwa Asyura, maka nama Abul Fadhl pun akan terucap pula. Abbas bin Ali adalah pembawa bendera pasukan Imam Husein dalam peristiwa kebangkitan Karbala.

Ketika tragedi Karbala berkecamuk, saat Imam Husein dan keluarga nabi lainnya didera oleh dahaga, dengan gagah beraninya, Abbas bin Ali menerobos kepungan tentara musuh yang berusaha menghalagi pasukan Imam Husein memperoleh air dari sungai Furat. Setibanya di bibir sungai, ia menatap segarnya air sungai. Meski dahaga telah mencekiknya, namun ia mengurungkan niatnya untuk meneguk air lantaran teringat oleh wajah kehausan Imam Husein, saudara-saudara, dan sanak familinya yang lain. Ia pun segera mengisi kantong persediaan airnya dengan air sungai dan memacu kudanya kembali menuju perkemahan pasukan Imam Husein. Namun di tengah jalan ia menjadi sasaran serbuan musuh, hingga kedua tanggannya terpenggal dan gugur syahid.

Keberanian dan pengorbanan Abbas bin Ali ini menjadi contoh nyata ucapan Imam Ali yang menyatakan, "Orang beriman yang paling mulia adalah dia yang lebih utama ketimbang orang beriman lainnya dalam mengorbankan jiwa, keluarga, dan hartanya untuk orang lain."

Pengorbanan Abbas bin Ali lahir dari makrifat dan pengetahuan mendalamnya terhadap agama dan cita-cita ilahi. Pengetahuan yang mendalam itu membentuk pribadinya sehingga mendorong beliau untuk rela berkorban di jalan Allah. Ia belajar dari ayahnya, Imam Ali as, bahwa hidup harus bertujuan. Karena itu alangkah mulianya jika hidup manusia dibaktikan di jalan ilahi, dalam menyebarkan dan meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan dan memerangi kemungkaran dan ketidakadilan.

Para ulama dan muhaddis besar saat memuji keutamaan Abbas bin Ali menyatakan, "Dia bagaikan lautan yang berombak indah, dengan pantai yang penuh dengan kemuliaan dan keutamaan". Semoga Allah Swt menyambungkan jiwa dan hati kita pada segala sumber kesempurnaan dan kesucian.

"Wahai manusia! Sungguh telah datang kepada kalian bulan Allah dengan membawa berkah, rahmat dan maghfirah. Bulan yang paling mulia di sisi Allah. Harinya merupakan hari yang utama, malamnya adalah malam yang paling utama, dan saatnya termasuk saat-saat yang paling utama.

Inilah bulan ketika kamu diundang menjadi tamu Allah dan dimuliakan oleh-Nya. Di bulan ini nafasmu dihitung sebagai tasbih, tidurmu ibadah, amalmu diterima dan doamu diijabah. Bermohonlah kepada Allah Tuhanmu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbingmu untuk melakukan puasa dan membaca kitab-Nya. Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini.

Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu akan kelaparan dan kehausan di Hari Kiamat. Bersedekahlah kepada kaum fuqara dan masakin. Muliakan orang yang lebih tua dari kamu, sayangi yang lebih muda, sambungkanlah tali persaudaraan, jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal dipandang dan pendengaran dari apa yang tidak halal didengar. Kasihilah anak-anak yatim, niscaya dikasihi manusia anak-anak yatimmu.

Bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah tanganmu untuk berdoa pada waktu shalatmu karena itulah saat yang paling utama ketika Allah Azza wa Jalla memandang hamba-hamba-Nya dengan penuh kasih sayang. Dia menjawab mereka ketika mereka yang menyeru-Nya. Menyambut mereka ketika memanggil-Nya, dan mengabulkan mereka ketika berdoa kepada-Nya.

Wahai manusia! Sesungguhnya dirimu tergadai oleh perbuatan-mu, bebaskan dirimu dengan istighfarmu. Punggungmu berat oleh bebanmu, ringankan dengan lamanya sujudmu.

Ketahuilah! Sesungguhnya Allah Swt bersumpah dengan kemuliaan-Nya untuk tidak menyiksa orang-orang yang shalat dan orang-orang yang sujud, dan tidak mencampakkan mereka ke dalam api neraka pada hari manusia dibangkitkan menuju Tuhan alam semesta.

Wahai manusia! Barangsiapa di antara kamu memberi buka kepada orang-orang mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan ia diampuni dosa-dosanya yang lalu.

Sahabat bertanya, "Ya Rasulullah! Tidak semua kami mampu berbuat demikian."

Rasulullah Saw bersabda, "Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan seteguk air. Sesungguhnya Allah Swt memberi pahala kepada orang yang beramal sekalipun sedikit, jika ia benar-benar tidak mampu melakukan lebih dari itu."

Wahai manusia! Siapa yang memperindah akhlaknya di bulan ini ia akan berhasil melewati shirathal mustaqim pada hari ketika kaki-kaki tergelincir.

Siapa yang meringankan beban pekerjaan pembantu dan pegawainya di bulan ini, Allah akan meringankan pemeriksaan-Nya di Hari Kiamat.

Barangsiapa menahan kejelekannya dibulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.

Barangsiapa yang memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakannya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.

Barangsiapa menyambungkan tali persaudaraan di bulan ini Allah akan menghubungkan dia dengan kasih sayang-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.

Barangsiapa yang memutuskan silaturrahim di bulan ini, Allah akan memutuskan ia dengan kasih sayang-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.

Barangsiapa melakukan shalat sunnah di bulan ini, Allah akan mencatat baginya kebebasan dari api neraka.

Barang siapa melakukan shalat fardhu, baginya ganjaran 70 kali shalat fardhu di bulan yang lain.

Barangsiapa memperbanyak shalawat kepadaku di bulan ini, Allah akan memberatkan timbangannya pada hari ketika timbangan meringan.

Barangsiapa membaca satu ayat al-Quran di bulan ini, ganjarannya seperti mengkhatam al-Quran pada bulan lainnya.

Wahai manusia! Sesungguhnya pintu-pintu surga dibukakan bagimu, maka mohonlah kepada Tuhanmu agar tidak pernah menutupkannya bagimu.

Pintu-pintu neraka tertutup, maka mohonlah kepada Tuhanmu untuk tidak akan pernah dibukakan bagimu.

Setan-setan terbelenggu, maka mintalah agar ia tak lagi pernah menguasaimu …" (Fadhail Al-Asyhur Ats-Tsalatsah, hlm 79)

Di negara Mesir tinggal seorang bernama Abdul Malik. Karena anaknya diberi nama Abdullah, ia dipanggil dengan nama Abu Abdillah. Abdul Malik adalah seorang atheis. Ia memiliki keyakinan dunia tercipta dengan sendirinya.

Suatu hari ia mendengar bahwa ada Imam Syiah bernama Shadiq yang tinggal di Madinah. Seorang yang dikenal dengan kepandaiannya. Ia ingin sekali berdialog tentang masalah Tuhan dan akidah. Oleh karenanya ia pergi ke Madinah.

Ketika sampai di kota Madinah, ia langsung bertanya tentang Imam Shadiq as. Orang-orang memberitahunya bahwa Imam Shadiq as tengah berada di Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Ia tidak ingin tinggal lebih lama dan segera menuju Mekah. Ia tiba dan menuju dekat Ka'bah. Dari sana ia melihat Imam Shadiq as yang tengah melakukan tawaf. Ia kemudian ikut ke dalam barisan orang-orang yang tengah melakukan tawaf. Dengan penuh kebencian ia menyenggol Imam Shadiq as.

Dengan lembut Imam Shadiq as bertanya kepadanya, "Siapa namamu?"

Ia menjawab, "Abdul Malik. Hamba setan."

"Bagaimana engkau sering dipanggil," tanya Imam.

"Abu Abdillah," jawabnya.

Imam Shadiq as berkata, "Engkau adalah hamba Allah, sebagaimana dapat dipahami dari namamu. Zat yang memilikimu ini adalah penguasa langit atau bumi? Karena tiba-tiba saja, sesuai dengan panggilanmu, engkau adalah ayah dari hamba Allah. Katakanlah! Saya ingin tahu. Apakah anakmu hamba Allah di langit atau hamba Allah di bumi? Setiap jawaban yang akan engkau berikan, maka engkau dengan sendirinya telah mengakui pencipta."

Abdul Malik tidak berkata apa-apa.

Di situ ada Hisyam bin Hakam, murid Imam Shadiq as. Kepada Abdul Malik ia berkata, "Mengapa engkau tidak menjawab pertanyaan Imam?"

Abdul Malik benci dengan ucapan Hisyam dan wajahnya menekuk.

Dengan lembut Imam Shadiq as berkata kepada Abdul Malik, "Bersabarlah hingga tawaf saya selesai! Setelah tawaf, datanglah kepada saya dan kita akan berbicang-bincang.

Ketika Imam Shadiq as selesai melakukan tawaf, Abdul Malik mendatanginya dan duduk di hadapannya. Sekelompok murid Imam juga datang dan hadir di sana. Tiba-tiba keduanya telah terlibat dialog sebagai berikut:

Imam Shadiq, "Apakah engkau menerima bahwa bumi memiliki bentuk lahiriah dan batin?

Abdul Malik, "Iya."

Imam Shadiq, "Apakah engkau telah pergi ke dalam bumi?"

Abdul Malik, "Tidak. Belum pernah."

Imam Shadiq as, "Berarti engkau tahu apa yang ada di dalam tanah."

Abdul Malik, "Saya tidak tahu tentang apa yang ada di dalam tanah. Tapi menurut saya tidak ada sesuatu di dalam tanah."

Imam Shadiq as, "Ragu merupakan satu bentuk dari kebingunan. Artinya, engkau tidak punya keyakinan terhadap sesuatu."

Tiba-tiba Imam Shadiq as bertanya kepadanya, "Apakah engkau pernah pergi ke langit?"

Abdul Malik menjawab, "Tidak. Belum pernah."

Imam Shadiq as, "Aneh sekali! Engkau orang yang belum pernah pergi ke Timur dan Barat, tidak juga ke dalam bumi, bahkan tidak pernah pergi ke atas langit untuk mengetahui ada apa di sana, tapi dengan kebodohan dan ketidaktahuan engkau mengingkari Allah? Apakah ada seorang yang berakal mengingkari sesuatu yang tidak diketahuinya?"

Abdul Malik, "Hingga saat ini belum ada orang yang berbicara kepada saya seperti ini."

Imam Shadiq as, "Dengan demikian, engkau ragu akan hal ini. Ada kemungkinan di atas langit atau di dalam bumi ada sesuatu atau tidak."

Abdul Malik, "Benar. Kedua hal itu mungkin terjadi."

Imam Shadiq as, "Orang yang tidak tahu tidak akan pernah mampu mengajukan dalil kepada orang yang tahu."

"Wahai saudara Mansur! Dengarkan aku dan belajarlah padaku! Kami tidak pernah ragu akan keberadaan Allah. Bukankah engkau tidak pernah melihat matahari, bulan, malam dan siang yang muncul di ufuk yang harus berjalan di jalurnya dengan tertib lalu kembali lagi. Mereka harus melakukan rotasinya setiap hari di jalurnya. Sekarang saya ingin bertanya kepadamu, "Bila matahari dan bulan memiliki ikhtiar, mengapa mereka bergerak kembali? Bila mereka tidak terpaksa bergerak di jalur yang telah ditentukan, mengapa malam tidak berubah menjadi siang atau sebaliknya?

Wahai Saudara Mansur! Demi Allah. Mereka terpaksa melakukan gerak di jalur yang telah ditentukan. Zat yang menentukan semua ini lebih perkasa dan kuasa."

Abdul Malik berkata, "Benar apa yang engkau ucapkan."

Imam Shadiq as berkata, "Wahai saudara Mansur! Katakanlah! Aku ingin tahu tentang apa yang kalian yakini tentang waktu yang mengatur segalanya. Waktu membawa manusia. Lalu mengapa waktu tidak mengembalikan mereka? Bila waktu membawa kembali mereka, lalu mengapa tidak membawanya?"

"Wahai saudara Mansur! Semua terpaksa dan tidak punya pilihan lain. Mengapa langit berada di atas dan bumi di bawah? Mengapa langit tidak jatuh menimpa bumi? Mengapa bumi tidak menempel ke langit dan apa saja yang berada di atasnya menempel di langit?"

Ketika ucapan dan argumentasi Imam Shadiq as sampai di sini, Abdul Malik menghempaskan keraguanya dan sampai ke satu keyakinan. Ia mengimani apa yang disampaikan Imam Shadiq as dan menyatakan keislamannya. Ia langsung meyakini Allah yang Maha Esa dan kebenaran Islam. Secara transparan ia menyatakan, "Allah adalah pencipta langit dan bumi dan menjaga keduanya!"

Hamran, seorang murid Imam Shadiq as yang hadir di situ melihat ke wajah Imam dan berkata, "Saya sebagai tebusanmu! Bila mereka yang mengingkari Allah beriman di tanganmu dan memeluk Islam, maka orang-orang Kafir beriman di tangah ayahmu (Rasulullah Saw)."

Abdul Malik yang baru saja memeluk Islam berkata kepada Imam Shadiq as, "Sudilah Anda menerima saya sebagai murid."

Imam Shadiq as berkata kepada Hisyam bin Hakam, salah satu murid terbaiknya, "Ajaklah Abdul Malik bersamamu dan ajarkan ia hukum-hukum Islam."

Hisyam adalah seorang guru akidah bagi masyarakat Syam dan Mesir. Ia membawa Abdul Malik bersamanya. Hisyam mengajarkannya akidah dan hukum Islam, sehingga ia memiliki sebuah akidah yang lurus, sesuai dengan yang diinginkan Imam Shadiq as.

 

Allah Swt dalam ayat 153 surat al-Baqarah berfirman:

یَا أَیُّهَا الَّذِینَ آمَنُواْ اسْتَعِینُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِینَ.

Yang artinya: Wahai orang-orang yang beriman, berlindunglah kalian dengan kesabaran dan shalat, maka sesungguhnya Allah Swt bersama orang-orang yang sabar.

Atau dalam ayat 45 dan 46 surat al-Baqarah, Allah Swt berfirman:

وَاسْتَعِینُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَکَبِیرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِینَ.

"Mintalah pertolongan dengan kesabaran dan shalat, dan sesungguhnya keduanya sangat memberatkan kecuali untuk orang-orang yang khusyu."

Dalam al-Kaafi diriwayatkan bahwa Imam Ja'far as-Shadiq as berkata, setiap kali ada sesuatu atau urusan yang mengejutkan Imam Ali as, maka dia akan berdiri dan menunaikan shalat. Dan beliau berkata:

اسْتَعِینُوا بِالصَّبْرِ وَ الصَّلاةِ

Dalam kitab yang sama, diriwayatkan pula dari Imam Ja'far as-Shadiq as berkata: kesabaran itu adalah berpuasa. Setiap kali ada sebuah peristiwa menimpa seseorang, maka hendaknya dia berpuasa, sampai Allah Swt menyelesaikan masalahnya, karena Allah Swt berfirman; berlindunglah dengan kesabaran, yang maksudnya adalah berpuasa.

Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw disebutkan bahwa ada tiga jenis kesabaran: pertama, kesabaran di hadapan musibah. Kedua, kesabaran di hadapan maksiat. Ketiga, kesabaran di hadapan ibadah.

Berdasarkan yang dijelaskan dalam berbagai riwayat, maksud dari kesabaran dalam ayat ini adalah puasa yang merupakan salah satu bukti (misdaq) dari kesabaran.

 

Jumat, 20 Juli 2012 20:06

Imam Khomeini Keturunan Sayid Kashmir

Buyut Imam Khomeini

Ada baiknya terlebih dahulu kita membahas tentang buyut kami sebelum membahas yang lainnya. Buyut kami adalah Sayid Din Ali Shah. Beliau adalah keturunan Rasulullah dan bertempat tinggal di Kashmir. Tambahan kata "Shah" di akhir namanya berarti "Sayid". Sebelumnya saya tidak mengetahuinya. Tapi teman-teman kami yang berasal dari Kashmir mengatakan, "Kakek anda mencapai syahadah di sana. Beliau merupakan ruhaniwan dan tokoh agama di sana." Teman-teman kami ini mengatakan bahwa para ulama dan masyarakat Kashmir mengetahui tentang masalah ini.

Kakek Imam Khomeini

Kakek kami bernama Sayid Ahmad putera Sayid Din Ali Shah. Beliau dikenal dengan sebutan Sayid Ahmad Hindi. Kira-kira pada tahun 1254 Hq atau tahun 1217 Hs Almarhum Sayid Ahmad Hindi dari Najaf dan Karbala pergi ke Khumein dan tinggal di sana atas permintaan para peziarah Khumein, khususnya Yusuf Khan Farfahani, salah seorang tuan tanah desa Khumein dan penduduk Farfahani, sebuah daerah di dekat Khumein.

Pernikahan Sayid Ahmad

Ketika Sayid Ahmad datang ke Khumein, beliau menikah dengan Sakinah Khanum, saudari perempuan Yusuf Khan. Ayah Sakinah Khanum bernama Mohammad Hossein Beig. (IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati)

Dikutip dari pernyataan Almarhum Ayatullah Sayid Murtadha Pasandideh, kakak Imam Khomeini ra.

Sumber: Pa be Pa-ye Aftab; Gofteh-ha va Nagofteh-ha az Zendegi Imam Khomeini ra, 1387, cetakan 6, Moasseseh Nashr-e Panjereh.

 

Definisi puasa

Satu dari sekian kewajiban dan ritual tahunan dalam islam untuk membinajiwa seseorang adalah puasa. Puasa ialah meninggalkan hal-hal –yang akan tiba penjelasannya- dari dari azan Subuh sampai Maghrib untuk menaati perintah Allah. Untuk mengenal hukum-hukum puasa, pertama-tama kita harus mengenal macam-macamnya.

Macam-macam puasa:

1. Puasa wajib

2. Puasa haram

3. Puasa sunah

4. Puasa makruh

 

Puasa-puasa wajib

Puasa-puasa ini adalah wajib:

• Puasa bulan Ramadhan.

• Puasa qadha.

• Puasa kaffarah.(1)

• Puasa karena nazar.

• Puasa qadha ayah(2) yang wajib atas anak lelakiterbesar. (3)

 

Sebagian dari puasa-puasa haram

 

• Puasa pada hari raya Idul Fitri (hari pertama dari bulan Syawal).

• Puasa pada hari raya Idul Adha (hari kesepuluh dari bulan Zulhijah)

• Puasa sunahseorang anak yang membuat orang tuaterganggu.

• Puasa sunah seorang anak yang dilarang oleh orang tuanya (berdasarkan ihtiyath wajib) (4)

 

Puasa-puasa sunah

Berpuasa pada hari-hari dalam setahun -selain puasa-puasa haram dan makruh- adalah sunah. Akan tetapi, ada hari-hari tertentu yang lebih ditekankan dan dianjurkan, antara lain:

• Setiap hari Senin dan Jumat.

• Hari dibangkitkannya Nabi Ssaw sebagai nabi (27 Rajab).

• Hari raya Ghadir (18 Zulhijah).

• Hari kelahiran Nabi Muhammad Saw.(17 Rabi'ul awal).

• Hari Arafah (9 Zulhijah), selama puasa tidak menjadi kendala dalam membaca doa-doa hari itu.

• Sepanjang bulan Rajab dan Syaban.

• Tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan. (5)

 

Puasa-puasa makruh

• Puasanya tamu tanpa izin tuan rumah.

• Puasanya tamu yang dilarang tuan rumah.

• Puasanya anak tanpa seizin ayahnya.

• Puasa pada hari ‘Asyura (10 Muharam).

• Puasa hari Arafah jika menjadi penghalang untuk membaca doa-doa hari itu.

• Puasa seseorang pada hari yang dia tidak tahu apakah itu hari Arafah atau hari raya Idul Adha.(6)

 

Niat puasa

1. Puasa termasuk ibadah dan harus dikerjakan dalam rangka melaksanakan perintah Allah Swt. (7)

2. Seseorang bisa berniat pada setiap malam bulan Ramadhan untuk puasa esok harinya, dan lebih baik berniat pada malam pertama bulan Ramadhan untuk puasa sebulanpenuh. (8)

3. Pada puasa wajib, niat puasa tidak boleh terlambat sampai azan Subuh tanpa uzur. (9)

4. Pada puasa wajib, jika karena ada uzur -seperti lupa atau bepergian- tidak berniat puasa, maka selama tidak mengerjakan sesuatu yang membatalkan puasa, bisa berniat puasa sebelum waktu Zuhur tiba. (10)

5. Niat tidak harus diucapkan dengan kata-kata, bahkan sudah cukup sebatas kesadaran untuk tidak mengerjakan hal-hal yang membatalkan puasa dari Subuh sampai Maghrib demi melaksanakan perintah Allah Swt. (11)

 

Kesimpulan pelajaran

1. Waktu puasa, sejak dari azan Subuh sampai Maghrib.

2. Puasa bulan Ramadhan, puasa qadha, puasa kaffarah dan puasa nazar adalah termasuk puasa-puasa wajib.

3. Puasa qadha ayah, setelah meninggalnya,adalah atas anak lelakiterbesar.

4. Puasa hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha serta puasa sunah anak yang menyebabkan terusiknta orang tua adalah haram.

5. Berpuasa pada hari-hari dalam setahun selain puasa-puasa haram da makruh adalah sunah. Akan tetapi,terdapat hari-hari yang lebih ditekankan seperti:

 

a. Setiap hari Kamis dan Jumat.

b. Hari kelahiran dan hari pengangkatan Muhammad Saw sebagi nabi utusan Allah Swt.

c. Hari kesembilan dan kedelapan belas Zulhijah (hari Arafah dan hari raya Ghadir)

 

6. Puasa sunah anak tanpa seizin ayahnya adalah makruh.

7. Pada bulan Ramadhan, bisa berniat pada setiap malam untuk puasa esok harinya, dan lebih baik berniat pada malam pertama bulan Ramadhan untuk puasa sebulanpenuh.

 

Pertanyaan:

1. Apa hukum berpuasa pada hari-hari ini; 10 Muharam, 10 Zulhijah, 9 Zulhijah dan pertama Syawal?

2. Apakah seorang anak boleh berpuasa jika ayahnya mengatakan kepadanya bahwa besok jangan berpuasa?

3. Jika setelah subuh seseorangbangun dari tidur, apakah dia bisa berniat puasa?(IRIB Indonesia / SL)

 

Catatan:

(1) Penjelasan puasa qadha dan kaffarah dan beberapa hal yang berkaitan dengannya akan tiba pada pelajaran selanjutnya.

(2) Araki: dan puasa qadhanya ibu, (masalah 1382). Golpaigani: berdasarkan ihtiyath wajib shalat qadhanya ibu juga wajib baginya, (masalah 1399).

(3) Al-'Urwah Al-Wutsqa, jilid 2, hal 240 dan Taudhih Al-masail, masalah 1390.

(4) Taudhih Al-masail, masalah 1739 sampai 1742.

(5) Ibid, masalah 1748.

(6) Taudhih Al-Masail, masalah 1747.

(7) Ibid, masalah 1550.

(8) Ibid.

(9) Ibid, masalah 1554-1561.

(10) Ibid.

(11) Ibid, masalah ke-1550.

Sumber: Belajar Fikih Untuk Tingkat Pemula, 2008, Lembaga Internasional Ahul Bait

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Saw di akhir bulan Sya'ban mempersiapkan kaum Muslimin untuk menyamput datangnya bulan Ramadhan. Dalam kesempatan itu, Rasulullah menyampaikan sebuah nasehat yang amat indah sebagai berikut:

"Wahai kaum Muslimin!

Bulan Allah telah datang dengan membawa berkah, rahmat, dan ampunan bagi kita semua. Bulan ini merupakan bulan yang paling baik di sisi Allah. Hari-hari di bulan ini merupakan hari-hari terbaik, malam-malamnya merupakan malam-malam yang terbaik, serta detik-detiknya merupakan detik-detik terbaik. Dalam bulan ini, Allah mengundang tamu-tamu-Nya dan Allah menganugerahi mereka kasih sayang dan rahmat-Nya. Di bulan ini, setiap tarikan nafas memiliki pahala yang setara dengan zikir kepada Allah dan tidur pun dinilai sebagai ibadah. Di bulan ini, setiap kali kalian bermunajat kepada Allah, Allah akan mengabulkan doa-doa kalian. Oleh karena itu, dengan kejujuran, ketenangan, dan hati yang bersih, mintalah kepada Alalh agar memberikan taufik kepada kalian untuk berpuasa dan membaca al-Quran. Orang yang celaka adalah orang yang di bulan agung dan penuh berkah ini, tidak mendapatkan rahmat dari Allah."

Ketika menyaksikan hilal atau terbitnya bulan Ramadhan, Rasulullah Saw akan berdiri menghadap kiblat dan berdoa kepada Allah, meminta keamanan dan keselamatan serta memohon agar Allah menemaninya dalam shalat, puasa, dan membaca al-Quran. Dalam bulan Ramadhan, Rasulullah sangat banyak melakukan amal saleh. Di antaranya memberi makanan berbuka kepada orang yang berpuasa.

Diriwayatkan, ketika bulan Ramadhan tiba, Rasulullah menunjukkan kasih sayang secara lebih besar kepada kaum fakir miskin. Rasulullah juga berpesan kepada kaum Muslimin agar di dalam bulan ini, mereka banyak membaca al-Quran. Suatu hari beliau ditanyai oleh seseorang, "Apakah amal terbaik di bulan ini?" Rasulullah menjawab, "Pekerjaan terbaik yang dilakukan pada bulan Ramadhan adalah tidak melakukan segala sesuatu yang dilarang oleh Allah Swt."

Umur manusia merupakan kumpulan dari detik-detik. Manusia yang beruntung adalah manusia yang berhasil memanfaatkan setiap detik dalam kehidupannya dengan cara yang bermanfaat. Langkah awal untuk memanfaatkan umur adalah mengenal kesempatan-kesempatan yang tiada bandingannya yang diberikan Allah kepada manusia. Suatu hari Allah berfirman kepada Nabi Daud as, "Dalam hari-hari kehidupan, ada saat-saat yang tiada bandingannya, berusahalah agar berada dalam naungan saat-saat tersebut."

Angin semilir yang membelai jiwa yang ditiupkan oleh bulan Ramadhan adalah salah satu momen penting yang memberikan semangat baru kepada jiwa manusia. Bulan suci Ramadhan bagaikan sebuah universitas yang memiliki jam pelajaran padat, yang menyatukan seluruh bulan dalam setahun. Pelajaran-pelajaran yang disampaikan dalam universitas ini sangatlah bermanfaat dan membangun. Manusia meskipun dengan seluruh uang yang dimilikinya, tidak akan mampu mendirikan universitas semacam ini. Firman Allah dalam jiwa kaum Muslimin sedemikian dalam dan memberikan pengaruh, sehingga kini setelah berlalu lebih dari 14 abad sejak diturunkannya hukum puasa melalui Rasulullah Muhammad Saw, universitas ini terus berdiri dengan diikuti oleh jutaan mahasiswa dari berbagai penjuru dunia.

Bulan suci Ramadhan dengan keistimewaan yang hanya dimiliki olehnya, memainkan peran menentukan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, pemanfaatan bulan ini sebaik-baiknya merupakan langkah pendahuluan dalam perkembangan dan pertumbuhan spiritualitas manusia di sepanjang hidupnya. Allah Swt menginginkan agar kaum muslimin di bulan ini berlomba-lomba dalam melakukan amal kebaikan. Amal terpenting dan wajib dilakukan di bulan ini adalah puasa. Puasa adalah kewajiban yang sangat banyak memiliki faedah bagi jiwa dan fisik manusia. Puasa akan membuat jiwa manusia menjadi lembut, memperkuat semangat, serta mengontrol hawa nafsu. Allah menetapkan kewajiban puasa agar manusia dihiasi oleh cahaya iman, makrifat, dan akhlak yang mulia. Sebagai balasan atas kewajiban puasa ini, Allah juga memanjakan hamba-hambanya dengan pahala yang sangat besar. Allah berfirman, "Puasa berasal dari-Ku dan Akulah yang akan memberi pahala."

* * *

Suatu hari Rasulullah menceritakan kepada para sahabat beliau tentang seorang lelaki yang akan menjadi penduduk surga. Para sahabat merasa takjub dan bertanya-tanya, apakah gerangan kelebihan lelaki yang disebut oleh Rasulullah itu, sehingga dia berhak menjadi penghuni surga. Lalu, salah seorang sahabat Rasul memutuskan untuk datang ke rumah lelaki itu agar secara langsung dapat menyaksikan perilakunya sehari-hari. Di rumah si lelaki ahli surga itu, sahabat Rasul melihat bahwa dia melakukan amal ibadah yang biasa saja. Di waktu subuh, ia bangun dan pergi menunaikan shalat di masjid. Sepulang dari masjid, lelaki itu menyediakan sarapan sederhana bagi tamunya, lalu berkata, "Tinggallah di rumahku sampai aku kembali. Aku akan pergi keluar."

Sahabat Rasulullah dengan penuh rasa ingin tahu, bertanya, "Kemanakan kamu akan pergi?"

Lelaki itu menjawab, "Aku pergi melakukan pekerjaan harianku di padang sahara."

Sahabat Rasulullah mendesak untuk diizinkan mengikuti lelaki ahli surga itu dan akhirnya, merekapun pergi bersama-sama ke padang pasir. Di sana, si lelaki mengumpulkan kayu bakar dan di sela-sela kesibukannya, bibirnya melantunkan zikir dan tasbih. Setelah kayu bakar cukup banyak terkumpul, iapun menjualnya dan uang yang didapatkannya digunakan untuk membeli air dan roti.

Selama dua-tiga hari, sahabat Rasulullah menyaksikan hal yang sama. Lelaki ahli surga itu sama sekali tidak melakukan perbuatan yang luar biasa dan istimewa. Akhirnya, iapun bertanya, "Wahai sahabatku, Rasulullah menyebutmu sebagai seorang yang akan dimasukkan ke dalam surga. Apakah kelebihanmu sehingga mendapatkan kemuliaan itu?"

Lelaki ahli surga menjawab, "Sahabatku, antara aku dan surga sangatlah jauh. Namun aku ingin menyampaikan hakikat kehidupanku kepadamu, dan sampaikan pulalah kepada orang lain. Aku selalu berusaha menjalankan hal-hal yang diwajibkan Allah sebaik mungkin. Selain itu, aku sangat takut berbuat dosa. Setiap kali aku ingin berbohong, menghina, atau berkata-kata yang buruk, seluruh tubuhku gemetar ketakutan. Aku selalu menginginkan kebaikan bagi orang lain sebagaimana aku menginginkan kebaikan bagi diriku. Aku juga selalu berharap orang lain tidak tertimpa keburukan sebagaimana aku juga tidak menyukai keburukan menimpa diriku."