کمالوندی
Surat Fusshilat ayat 13-18
فَإِنْ أَعْرَضُوا فَقُلْ أَنْذَرْتُكُمْ صَاعِقَةً مِثْلَ صَاعِقَةِ عَادٍ وَثَمُودَ (13) إِذْ جَاءَتْهُمُ الرُّسُلُ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ قَالُوا لَوْ شَاءَ رَبُّنَا لَأَنْزَلَ مَلَائِكَةً فَإِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ (14)
Jika mereka berpaling maka katakanlah: "Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum 'Aad dan Tsamud". (41: 13)
Ketika para rasul datang kepada mereka dari depan dan belakang mereka (dengan menyerukan), “Janganlah kamu menyembah selain Allah.” Mereka menjawab, “Kalau Tuhan kami menghendaki tentu Dia akan menurunkan malaikat-malaikat-Nya, maka sesungguhnya kami kafir kepada wahyu yang kamu diutus membawanya.” (41: 14)
Di ayat sebelumnya diisyaratkan sejumlah tanda-tanda ilmu dan kekuatan Tuhan di bumi dan langit. Ayat ini ditujukan kepada para pengingkar Tuhan dan mengatakan, “Sikap keras kepala dan pengingkaran terhadap Tuhan hanya berakhir dengan kemurkaan Tuhan. Sama seperti kaum sebelumnya meski telah mendengar dakwah dan seruan para nabi serta menyaksikan mukzijatnya, namun mereka tetap menolak seruan tersebut.
Untuk menjustifikasi pengingkarannya, mereka berkata kepada para nabi: “Jika kamu menginginkan kami beriman maka tunjukkan kepada kami malaikat yang membawa wahyu sehingga kami menyaksikan dengan mata kepala kami. Tapi karena kamu (nabi) tidak mampu melakukan hal ini maka kami tidak akan beriman kepada seruan dan dakwahmu serta kami akan tetap kafir.” Tentu saja sikap keras kepala seperti ini membangkitkan kemurkaan Tuhan dan alam yang menjadi manifestasi kelembutan Ilahi kali ini menjadi sebab kehancuran mereka.
Dari dua ayat tadi terdapat empat poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Salah satu tugas para nabi memperingatkan manusia akan dampak dari perbuatan buruk mereka.
2. Seluruh azab tidak terbatas di akhirat. Tapi sejumlah azab juga diturunkan di dunia. Kita harus berhati-hati jangan sampai perbuatan buruk kita membuat kita rugi di dunia dan akhirat.
3. Melalui para nabi, Tuhan menyempurnakan hujjah-Nya terhadap manusia sehingga mereka tidak lagi memiliki alasan bagi kekufurannya. Sunnatullah adalah selama belum ada hujjah yang sempurna bagi manusia, para pengingkar dan penentang tidak dianggap kafir.
4. Agenda utama misi para nabi adalah menyeru manusia untuk beriman kepada Tuhan. Dengan demikian tidak ada nabi yang mengajak manusia untuk menyembah dirinya.
فَأَمَّا عَادٌ فَاسْتَكْبَرُوا فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَقَالُوا مَنْ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللَّهَ الَّذِي خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يَجْحَدُونَ (15) فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِي أَيَّامٍ نَحِسَاتٍ لِنُذِيقَهُمْ عَذَابَ الْخِزْيِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَعَذَابُ الْآَخِرَةِ أَخْزَى وَهُمْ لَا يُنْصَرُونَ (16)
Adapun kaum 'Aad maka mereka menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dan berkata, “Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?” Dan apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah Yang menciptakan mereka adalah lebih besar kekuatan-Nya daripada mereka? Dan adalah mereka mengingkari tanda-tanda (kekuatan) Kami. (41: 15)
Maka Kami meniupkan angin yang amat gemuruh kepada mereka dalam beberapa hari yang sial, karena Kami hendak merasakan kepada mereka itu siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Dan Sesungguhnya siksa akhirat lebih menghinakan sedang mereka tidak diberi pertolongan. (41: 16)
Melanjutkan ayat sebelumnya yang menyebutkan kaum Aad dan Tsamud, ayat ini mengisyaratkan kekufuran dan metode kekafiran mereka. Patut untuk dicatat bahwa kaum Aad hidup di selatan Arab Saudi. Mereka adalah kaum yang suka berperang dan memiliki kekuatan serta kekayaan yang besar. Mereka membangun rumah dan istananya di dataran tinggi. Mereka memiliki benteng dan istana yang indah dan kuat. Mereka menganggap dirinya tak terkalahkan dan lebih unggul dari yang lain.
Kondisi ini membuat mereka semakin congkak dan sombong. Oleh karena itu, mereka dengan congkak berkata kepada Nabi Hud as,”Siapa kamu, berani memperingatkan kami bahkan pembangkangan kepada Tuhan akan menyebabkan turunnya azab kepada kami? Apakah ada yang lebih kuat untuk menghancurkan kami atau mengalahkan kami?
Mereka sangat dimabuk kekuatan sehingga bangkit melawan Tuhan dan menolak seruan nabi. Mereka lupa atas poin ini bahwa Tuhan yang menciptakannya lebih kuat dari mereka. Ia bukan saja pencipta mereka tapi juga pencipta bumi dan langit. Pada dasarnya kekuatan manusia tidak dapat dibandingkan dengan kekuatan-Nya.
Bagaimana pun juga akibat pembangkangan kaum tersebut, kehinaan diturunkan kepada mereka. Badai topan diturunkan kepada mereka selama satu peka. Seluruh rumah dan kebun serta kehidupan kaum sombong ini berantakan. Pada akhirnya tidak ada yang tersisa kecuali puing-puing istana yang dulunya megah dan penuh kekayaan. Ini azab duniawi, tapi azab ukhrawi lebih menghinakan dan tidak ada yang akan membantu mereka.
Dari dua ayat tadi terdapat empat poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kekufuran yang didasari oleh rasa congkak juga memiliki azab duniawi.
2. Mabuk kekuatan membahayakan individu maupun masyarakat serta berakibat pada kehinaan duniawi.
3. Faktor alam, baik itu ketika turun nikmat atau azab, bertugas menjalankan perintah Tuhan dan melaksanakan apa yang Ia kehendaki.
4. Ketika rahmat Ilahi turun, itu sebuah berkah dan ketika bala dan kemurkaan Allah diturunkan itu sebuah kesialan.
وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى فَأَخَذَتْهُمْ صَاعِقَةُ الْعَذَابِ الْهُونِ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (17) وَنَجَّيْنَا الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (18)
Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan. (41: 17)
Dan Kami selamatkan orang-orang yang beriman dan mereka adalah orang-orang yang bertakwa. (41: 18)
Setelah kaum ‘Aad, ayat ini mengisyaratkan kaum Tsamud. Kaum Tsamud hidup di utara Arab Saudi. Mereka membangun tempat tinggal di kedalaman gunung. Mereka memiliki lahan pertanian yang subur dan kebun-kebung yang rindang.
Terkait kaum Tsamud, Allah Swt berfirman: “Kaum ini seperti kaum lainnya, kami telah memberi mereka petunjuk. Kami mengutus Saleh untuk memberi mereka petunjuk. Saleh mendatangi mereka dengan membawa argumentasi yang kuat dan mukjizat. Namun mereka memilih untuk mengingkari dan menentangnya ketimbang menerima hidayah. Seakan-akan mereka lebih memilih kebutaan hati ketimbang memahami kebenaran serta tidak ingin menerima kebenaran.”
Mengingat penentangan kaum ini didasari keras kepala dan kesombongan, bukan karena ketidaktahuan akan kebenaran, maka mereka di dunia mendapat azab menyedihkan dan menghinakan. Rumah dan kota mereka dihancurkan oleh petir. Petir yang bukan saja membuat mereka ketakutan, tapi petir yang membuat gempa bumi dan membalik segala sesuatu di atasnya.
Sementera mereka yang beriman dan berbuat baik, tidak mendapat azab. Allah Swt menyelamatkan mereka dan terbebas dari azab mengerikan ini.
Dari dua ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kafir indikasi kebutaan hati. Bersikeras pada kekafiran dan jalan menyimpang akan menimbulkan dampak merugikan bagi manusia.
2. Rahmat dan kemurkaan Tuhan sistematis dan sesuai dengan hukum dan sejatinya hasil dari amal perbuatan manusia. Kesucian dan iman kunci keselamatan dan kekufuran serta dosa penyebab kehancuran.
Surat Fusshilat ayat 8-12
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ (8)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka mendapat pahala yang tiada putus-putusnya. (41: 8)
Ayat terakhir di pertemuan sebelumnya berkenaan dengan orang musyrik yang tidak mengelurkan zakat dan tidak beramal saleh serta tidak beriman kepada hari akhir. Namun begitu jika pun mereka berbuat baik, namun karena tidak meyakini hari kiamat, maka ia tidak mendapat pahala.
Ayat ini menyatakan, “Mereka yang beriman kepada Allah dan hari kiamat serta selalu berbuat baik sesuai dengan kapasitas individu serta posisi sosialnya, maka Allah akan memberinya pahala yang tak ada habisnya di hari Kiamat.”
Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Iman dan amal saleh tidak dapat dipisahkan dan di hari Kiamat tanpa yang lain salah satunya tidak akan berguna.
2. Pahala Ilahi di akhirat tidak ada habisnya, berbeda dengan di dunia, bahkan pahala paling bernilai pun terbatas dan ada akhirnya.
قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الْأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَنْدَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ (9) وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاءً لِلسَّائِلِينَ (10)
Katakanlah, “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam.” (41: 9)
Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. (41: 10)
Ayat ini ditujukan kepada orang kafir dan musyrik, “Apakah kalian mengingkari Tuhan yang menciptakan dunia dalam dua hari dan menempatkan sekutu bagi-Nya? Betapa ini sebuah kesalahan besar dan ucapan tak berdasar?!”
Sejatinya bumi yang kalian huni adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan Ia tidak membutuhkan sekutu dalam hal ini. Ia bukan saja pencipta bumi, tapi Ia adalah Tuhan seluruh dunia. Yakni Ia adalah Tuhan alam semesta dan yang mengatur segala urusan alam. Dengan demikian sejatinya yang paling layak untuk disembah adalah pemilik segala ciptaan, pengatur segala urusan dan penguasa dunia.
Setelah menciptakan bumi, Ia juga menciptakan segala kebutuhan manusia, hewan dan tumbuhan serta menyerahkannya kepada mereka. Gunung yang menjulang tinggi, laut dan samudera yang luas, hutan yang lebat dan tambang di perut bumi seluruhnya demi memenuhi kebutuhan penduduk bumi.
Bumi memiliki banyak berkah dan manfaat serta beragam bahan makanan tumbuh darinya. Tak diragukan lagi berkah dan nikmat ini sesuai dengan kebutuhan makhluk serta tidak ada kekurangannya. Seperti yang dinyatakan Tuhan bahwa apa yang dibutuhkan bagi kelangsungan makhluk hidup telah diciptakan. Apakah seluruh nikmat ini ada dan muncul di muka bumi dengan sendirinya, atau apakah ada yang membantu Tuhan menciptakannya? Pastinya bukan demikian.
Penciptaan di sini dilakukan melalui proses dan tahapan. Dalam hal ini ada dua tahapan di penciptaan bumi sehingga planet ini siap untuk dimanfaatkan dan ada tahapan lain supaya muncul beragam nikmat di bumi. Total ada empat tahap supaya bumi siap untuk menerima penghuninya serta supaya dapat memenuhi kebutuhannya secara penuh.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Pencipta dunia dan Tuhannya satu. Berbeda dengan keyakinan kaum musyrik bahwa mereka meyakini Tuhan sebagai pencipta, namun di pengaturan urusan alam semesta, mereka menempatkan sesuatu atau sosok lain sebagai mitra dan sekutu Tuhan.
2. Sistem penciptaan secara bertahap, bukan sekaligus dan sekali. Sama seperti penciptaan bumi dilakukan secara bertahap dan dalam dua fase.
3. Di antara tanda-tanda rububiyah Ilahi adalah menempatkan beragam berkah dan rejeki di bumi sehingga seluruh kebutuhan manusia terpenuhi. Tapi pembagian yang tidak adil, berlebih-lebihan serta perilaku zalim membuat dewasa ini mayoritas penduduk bumi miskin dan membutuhkan.
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ (11) فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاءٍ أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ (12)
Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan suka hati.” (41: 11)
Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (41: 12)
Setelah menjelaskan penciptaan Tuhan dan seluruh kebutuhan makhluk hidup, ayat ini mengisyaratkan penciptaan langit dan menyatakan, ketika Tuhan berkehendak menciptakan langit, pertama-tama penciptaan tersebut berbentuk gumpalan gas yang luas dan besar di Tuhan kemudian menetapkan bentuk dan hukum baginya.
Iradah takwini (kehendak dalam tata cipta) Tuhan di penciptaan langit dan bumi dalam bentuk khusus dan bumi serta langit tidak memiliki pilihan kecuali tunduk kepada-Nya. Ingin atau tidak, keduanya harus sesuai dengan keinginan Tuhan.
Sama seperti bumi yang diciptakan dalam dua tahap serta siap menerima penghuninya, langit juga dengan segala keagungannya dibentuk dan diciptakan dalam dua tahap sesuai dengan kehendak Tuhan.
Dalam hal ini Tuhan menciptakan tujuh langit dan apa yang ada di atas kita adalah langit pertama. Dengan kata lain, alam penciptaan terdiri dari tujuh bentuk yang besar di mana hanya satu bentuk yang tampak oleh pandangan manusia. Teleskop canggih umat manusia pun tidak mampu menyaksikan apa yang ada dibalik langit pertama ini.
Poin lain adalah ketika malam hari, bintang menjadi hiasan langit, seperti lampu yang bersinar terang. Setiap dari bintang ini memiliki rahasia masing-masing dan mengajak manusia untuk memikirkan alam semesta dan alam penciptaan ini. Allah Swt menjaga langit dari segala ancaman dan bahaya.
Dari dua ayat tadi terdapat empat poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Langit pada awalnya berbentuk asap dan gas.
2. Seluruh alam semesta tunduk kepada perintah Tuhan. Jangan sampai kita menjadi bagian yang tidak selaras dengan alam semesta.
3. Sistem alam semesta sangat luas dari pandangan dan pengetahuan kita. Apa yang kita saksikan dari bintang dan planet atau apa yang bakal dikuak di masa depan hanya berkaitan dengan langit pertama. Manusia tidak memiliki informasi dan pengetahuan mengenai langit lain dan seluruh penciptaan di seluruh alam semesta.
4. Alam manifestasi ilmu dan kekuatan Tuhan yang menciptakan dunia berdasarkan ketentuan tertentu dan kemudian mengaturnya.
Surat Fusshilat ayat 1-7
Hari ini kita sampai pada pembahasan Surat Fussilat. Surat ini diturunkan di Mekah dan memiliki 54 ayat. Sama seperti surat-surat yang diturunkan di Mekah, surat ini pun mengandung pembahasan mengenai awal penciptaan dan maad (hari akhir) serta tanda-tanda kekuasaan Allah Swt di manusia dan dunia.
Kita akan membahas tafsir Surat Fussilat dari ayat 1 hingga 7. Kita awali pembahasan kita hari ini dengan tafsir surat ini dari ayat 1 hingga 4, namun terlebih dahulu kita dengan bersama bacaan ayat ini beserta terjemahannya sebagai berikut:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
حم (1) تَنْزِيلٌ مِنَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (2) كِتَابٌ فُصِّلَتْ آَيَاتُهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (3) بَشِيرًا وَنَذِيرًا فَأَعْرَضَ أَكْثَرُهُمْ فَهُمْ لَا يَسْمَعُونَ (4)
Haa Miim. (41: 1)
Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (41: 2)
Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. (41: 3)
yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan. (41: 4)
Sebelumnya kita telah bahas bahwa 29 surah al-Quran dimulai dengan huruf Muqataah. Di surat-surat ini, setelah huruf muqataah, diisyaratkan keagungan al-Quran. Surat Fussilat juga seperti ini dimulai dengan dua huruf Ha’ dan Miim serta kemudian berbicara mengenai penurunan kitab suci ini yang bersumber dari rahmat Ilahi. Oleh karena itu, ayatnya sumber rahmat bagi seluruh manusia. Orang mukmin memanfaatkan rahmat tersebut, sementara orang kafir tidak mendapatkannya.
Patut dicatat bahwa ayat al-Quran tidak diturunkan secara tertulis dan Rasul juga tidak menuliskannya, tapi Rasul membacakan wahyu tersebut kepada masyarakat. Oleh karena itu, wahyu tersebut disebut al-Quran. Atas instruksi Nabi, empat sahabat menulis apa yang bacakan Rasul. Dan nama lain dari al-Quran adalah Kitab.
Al-Quran diturunkan dalam bentuk bahasa Arab fasih dan ayatnya sangat jelas bagi mereka yang ingin mengetahui kebenaran. Selain mengandung pengatahuan dan menambah makrifat, melalui peringatan dan kabar gembira, al-Quran juga mendorong manusia untuk melakukan perbuatan baik dan memperingatkan mereka atas perbuatan buruk.
Respon mayoritas masyarakat atas seruan Rasulullah dan kitab samawi adalah menolak dan membelakanginya, karena ajakan ini membatasi hawa nafsu mereka karena tidak mengijinkan mereka untuk mengatakan apa saja yang ingin mereka katakan atau melakukan perbuatan apapun yang mereka ingin lakukan.
Dari empat ayat tadi terdapat empat poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Al-Quran Kalam Ilahi, bukan ucapan Nabi Muhammad Saw. Kandungan Kitab Samawi ini bersumber dari rahmat luas Ilahi. Oleh karena itu, dari sisi lafadh dan kandungan, Al-Quran bersumber dari Allah Swt yang Maha Mengetahui dan penuh Rahmat. Wajar jika manusia bertindak sesuai dengan ajaran ini, maka umat manusia akan berkembang dan mencapai ketinggian.
2. Al-Quran menjelaskan faktor kesempurnaan dan hidayah masyarakat secara detail dan dalam bentuk yang beragam. Seperti, nasib umat terdahulu, kisah dan pelajaran berharga, penyebutan nikmat Ilahi, perintah dan larangan, penjelasan sebab jatuhnya sebuah peradaban, masa depan umat manusia, peristiwa hari Kiamat, nasehat dan lain-lain.
3. Al-Quran memberi manusia pengetahuan dan penerangan. Siapa saja yang mengejar pemahaman kebenaran dan pengetahuan sejati, harus merujuk kepada al-Quran.
4. Berdasarkan prinsip pengajaran dan pendidikan yang benar, ancaman dan harapan, kabar gembira dan peringatan, keduanya sangat penting dan tidak dapat dipisahkan. Fokus pada satu sisi dan lalai pada sisi lain akan menimbulkan dampak merugikan.
وَقَالُوا قُلُوبُنَا فِي أَكِنَّةٍ مِمَّا تَدْعُونَا إِلَيْهِ وَفِي آَذَانِنَا وَقْرٌ وَمِنْ بَيْنِنَا وَبَيْنِكَ حِجَابٌ فَاعْمَلْ إِنَّنَا عَامِلُونَ (5)
Mereka berkata, “Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu; sesungguhnya kami bekerja (pula).” (41: 5)
Ayat ini mengisyaratkan respon musyrikin Mekah terhadap seruan dan ajakan Rasulullah Saw dan menyatakan, "Ketika Rasul membacakan al-Quran kepada mereka, mereka menolak mendengarkan dan memperhatikan bacaan tersebut dan untuk membuat Nabi putus asa dalam dakwahnya, mereka mengatakan, "Wahai Muhammad! Jangan berbuat yang sia-sia. Telinga kita bermasalah dan kita tidak mendengarkan ucapanmu. Jika pun kita mendengarkan melalui telinga kita, maka itu tidak berpengaruh pada hati kami. Sepertinya ada penghalang antara kami dan kamu serta tidak membiarkan kita menerima dakwahmu. Oleh karena itu, biarkan kami sehingga kami dapat berbuat sesuka kami. Dan kami juga akan membiarkan kamu, sehingga kamu dapat berbuat sesuka kamu juga."
Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Ayat al-Quran seperti air hujan yang tercurah ke bumi dan menyuburkan tanah. Namun ketika air hujan ini menyentuh batu yang keras, bukan saja tidak meresap tapi tertolak keluar. Hati manusia yang keras juga sampa seperti batu ini ketika menghadapi wahyu Ilahi.
2. Jika pihak seberang tidak ingin menerima kebenaran, kalam Ilahi dari mulut Nabi juga tidak efektif, apalagi orang lain.
3. Fanatisme dan taklid buta seperti tirai yang menutupi hati manusia dan mencegah mereka memahami kebenaran serta menerimanya.
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ (6) الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالْآَخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ (7)
Katakanlah, “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya.” (41: 6)
(yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat. (41: 7)
Menyikapi klaim musyrikin Mekah yang berbicara karena fanatisme dan sikap keras kepala, Rasul kepada mereka mengatakan, "Aku juga manusia sama seperti kalian. Aku tidak mengaku sebagai Tuhan dan juga tidak mengklaim unggul dari kalian. Aku dari keturunan kalian dan termasuk kabllah kalian. Perbedaan antara Aku dan kalian adalah Aku menerima wahyu untuk menolak kesyirikan dan penyembahan berhala serta aku juga menyeru kalian untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Kalian yang berbicara demikian denganku harus menyadari bahwa Aku tidak ingin memaksa kalian menerima seruanku. Tapi aku menunjukkan kalian jalan kebenaran dan meminta kalian berjalan di jalan Tuhan serta meninggalkan perbuatan kalian sebelumnya sehingga Tuhan mengampuni kalian.
Akhir ayat ini memperingatkan umat Musyrik bahwa bersikeras dalam kemusyrikan akan berakibat sangat buruk. Kemudian ayat ini menyebutkan dua karakteristik musyrikin. Pertama, orang musyrik mengingkari hari Kiamat dan kedua tidak memperhatikan orang yang membutuhkan serta menolak memberi infak di mana ini juga termasuk tanda-tanda pengingkaran terhadap hari Kiamat. Karena mereka yang tidak beriman kapada Allah Swt, menginginkan segala sesuatu untuk dirinya sendiri dan tidak memiliki motivasi untuk berinfak.
Dari dua ayat tadi terdapat empat poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Rasulullah menyeru masyarakat beriman kepada Tuhan, bukan kepada dirinya. Tujuannya adalah membebaskan manusia dari perbudakan taghut eksternal dan juga hawa nafsu.
2. Beriman kepada Keesaan Tuhan harus termanifestasi di seluruh kehidupan manusia. Tauhid hanya bukan hanya sebuah keyakinan, tapi petunjuk perbuatan dan amal manusia di kehidupan.
3. Orang mukmin konsisten di jalan Tauhid. Ia senantiasa berusaha menkompensasi kesalahan masa lalunya sehingga mampu tetap eksis di jalan Tuhan dan tidak tergelincir di jalan kebenaran.
4. Iman bukan sekedar klaim seseorang. Oleh karena itu, orang mukmin yang tidak mengeluarkan zakat, maka di dalam dirinya akan muncul karat-karat kemusyrikan dan kekufuran.
Islam dan Gaya Hidup (42-Tamat)
Pada segmen ini, kita sudah memasuki tema seputar keluarga dan prinsip-prinsip yang melandasi hubungan antar anggotanya dalam gaya hidup Islami. Sebelumnya, kita sudah memaparkan beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh keluarga yang seimbang seperti, keinginan untuk maju bersama, rasa cinta, dan kasih sayang, berpikir positif dan berbaik sangka, dan gotong royong dan saling membantu dalam pekerjaan-pekerjaan di rumah.
Di antara masalah yang ditekankan dalam gaya hidup Islami adalah membangun hubungan keluarga khususnya interaksi antara suami-istri atas dasar logika. Dewasa ini, banyaknya tuntutan dan keinginan yang tidak rasional dari masing-masing pihak telah menjadi salah satu fenomena yang mengancam keutuhan rumah tangga.
Ketenangan hidup kadang terusik dengan munculnya tuntutan-tuntutan yang tidak rasional. Pasangan muda atau mereka yang baru menikah biasanya sangat rentan dengan masalah ini, karena zona pembatas antara tuntutan rasional dan tidak rasional di mata mereka masih belum jelas. Kasus ini kadang membuat perasaan mereka tersakiti.
Titik krisis dalam kehidupan dimulai ketika tuntutan-tuntutan yang tidak rasional dan tidak terpenuhi bertumpuk menjadi satu dan daya tolak suami-istri terhadap tuntutan tersebut juga menyusut secara perlahan. Akhirnya, sentimen negatif tumbuh berkembang dan hubungan mereka merenggang dan penuh konflik. Sementara keluarga yang seimbang menutup celah munculnya benih-benih konflik dan perseteruan dalam kehidupan dengan cara mengatur dan menetapkan tuntutan yang rasional. Dengan begitu, mereka mencapai kata sepakat tentang tuntutan-tuntutannya dan tetap memelihara semangat kesepahaman dan kekompakan dalam kehidupan.
Dalam kehidupan bersama, karena munculnya hubungan dan interaksi baru, maka kepentingan dan selera pribadi antara suami-istri sering berbenturan. Pada akhirnya, konflik yang timbul akibat perbedaan kepentingan pribadi tampak lebih jelas. Dalam situasi seperti ini, jika suami-istri memiliki akhlak dan pendidikan yang baik, maka ia dapat menjadi landasan yang kuat untuk mencari jalan dalam menyelesaikan perselisihan dan memperkuat kehadiran logika dalam lembaran kehidupan.
Namun, ada keluarga tertentu di mana salah satu pihak memaksakan kehendaknya kepada para anggota keluarga dan memimpin rumah tangga dengan tangan besi. Keluarga seperti ini mengabaikan logika dan menciptakan iklim yang buruk dan penuh konflik di tengah keluarga. Karena, para anggota yang lain sama sekali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Aturan hidup diperlukan untuk mengatur hubungan antara suami dan istri. Tetapi, aturan itu baru dapat mendefinisikan secara benar hubungan tersebut ketika disusun berdasarkan hak-hak dan sesuai dengan kebutuhan jiwa mereka. Semua hak baik dari pihak pria maupun wanita harus diakui dalam aturan itu. Masalah gender, usia, dan pendidikan, semua tidak boleh melangkahi logika dan kebenaran. Oleh karena itu, mereka sama-sama tidak boleh memaksakan selera dan pandangannya kepada pihak lain.
Di antara anjuran moral dalam Islam adalah mengikuti kebenaran dan memiliki sikap rasional. Mengikuti kebenaran di lingkungan keluarga tentu saja akan membawa dampak-dampak positif dalam hubungan suami-istri. Ciri khas orang beriman dan berakhlak adalah mencintai kebenaran. Rasulullah Saw bersabda, “Katakanlah kebenaran meskipun itu akan merugikanmu.” Suami dan istri perlu memperhatikan bahwa kadang dalam pertikaian dan konflik, kebenaran justru berada di pihak lawan.
Dalam kondisi seperti ini, ia harus mengakui dan menerima kebenaran sesuai dengan kewajiban moral, a
Cinta dan kasih sayang
gama, dan komitmen hidup berumah tangga. Pengakuan tersebut akan menurunkan emosi dan kemarahan pasangannya. Jelas bahwa lari dari logika dan kebenaran, sama seperti menabur benih kedengkian dalam hati dan juga menghilangkan kepercayaan dan keyakinan pasangan.
Lingkungan keluarga akan berantakan dan suami-istri juga kehilangan kemesraan jika pertikaian dan konflik terjadi di antara mereka. Penelitian menunjukkan bahwa konflik rumah tangga sama sekali tidak akan membuat masing-masing pihak bahagia. Jika akhir dari konflik tampak menguntungkan satu pihak, tapi kondisi ini tidak akan membuat ia sukses.
Hukum Islam tidak mengizinkan suami untuk berperilaku tidak rasional terhadap istrinya. Aturan-aturan Islam lebih menekankan sikap toleran dengan istri. Kaum pria lebih tahan banting daripada wanita dan mereka perlu menaruh perhatian khusus terhadap perasaan lembut wanita.
Suami dan istri berdasarkan ajaran agama dan akhlak, harus mengesampingkan sikap egois di tengah keluarga dan dalam kasus pertikaian, masing-masing pihak perlu mengabaikan hak-hak tertentu demi maslahat yang lebih besar. Dalam gaya hidup Islami, suami dianjurkan untuk menggunakan argumentasi yang kuat dalam berdiskusi dengan istrinya. Jika sang istri susah untuk menerima realitas dan ada kemungkinan akan melukai perasaannya, maka suami perlu mengubah nada bicara dari bahasa perintah menjadi saran yang terkesan akrab dan bersahabat.
Suami kadang perlu memutar ulang memori mereka berdua di masa lalu, di mana mereka mengakhiri setiap perselisihan dengan cara yang rasional dan logis. Kita tidak akan menemui kasus penghinaan dan pelecehan jika sebuah keluarga mengedepankan logika dan argumentasi.
Dalam gaya hidup Islami, sifat pemaaf dan toleran merupakan prinsip lain yang harus diterapkan di tengah keluarga. Memaafkan memiliki tempat khusus dalam Islam dan ia dianggap sebagai bagian dari sifat-sifat orang Mukmin. Sejarah kehidupan Rasulullah Saw dan para pemuka agama menunjukkan bahwa sikap pemaaf dan toleran yang mereka tunjukkan telah menarik banyak orang untuk mengkaji Islam dan membuka jalan hidayah untuk mereka yang tersesat. Panduan akhlak Islami menganjurkan toleransi di tengah keluarga dan masyarakat serta mengajak suami-istri untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dan jauh dari konflik.
Suami dan istri harus menunjukkan jiwa besarnya melebihi komunitas-komunitas lain. Kehidupan bersama menuntut kedua pihak untuk saling mengetahui kondisi mental dan kekurangan masing-masing, tapi masalah ini jangan membuat mereka mengumbar aib atau saling menghina. Jika ini terjadi, ketenangan rumah tangga akan hilang dan mendorong mereka untuk saling curiga dan bermusuhan.
Sifat pemaaf dan toleran menuntut kita untuk menutupi aib pasangan dan dalam kasus tertentu, kita harus berpura-pura lupa atas sebuah kesalahan kecil pasangan. Dengan kata lain, kita bersikap seakan-akan kita sudah lupa dengan kesalahan itu.
Dengan melupakan atau menutupi kesalahan kecil pasangan, berarti kita sudah menunjukkan kebesaran jiwa. Toleransi terhadap perilaku keliru, juga dapat menjadi cara untuk memelihara ketenangan keluarga. Berlanjutnya sikap ini tentu memiliki dampak-dampak positif dan memancing pihak lain untuk memperbaiki perilakunya.
Para psikolog menjelaskan manfaat sikap pemaaf dan toleran dalam rumah tangga, mereka mengatakan, "Dengan menutup mata terhadap kekurangan pasangan, telah memberi kesempatan kepadanya untuk memperbaiki perilakunya. Saat hempasan kritikan dan celaan menimpa dirinya, segala bentuk keinginan dan keberanian untuk menebus menjadi berkurang. Menutup mata dari kesalahan kecil pasangan berpotensi mewujudkan kesepahaman dalam keluarga.”
Akan tetapi untuk sampai pada tujuan itu, kita harus memiliki strategi tertentu sehingga perilaku-perilaku yang keliru tidak keterusan. Oleh sebab itu, kita perlu menciptakan ruang untuk menumbuhkan perilaku-perilaku positif. Toleransi kadang dapat diperlihatkan dengan sikap diam yang penuh makna dan ini sangat menyentuh pasangan kita. Sikap ini bahkan mendorong pasangan kita untuk meninjau kembali perilaku dan perbuatannya.
Setiap individu – dengan memperhatikan bentuk kepribadian dan perasaan pasangannya – dapat memilih cara yang tepat untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan pasangan, dengan catatan cara tersebut harus memperkuat perilaku positif pada diri pasangannya.
Islam dan Gaya Hidup (41)
Semua pasangan suami-istri ingin memulai kehidupan baru dengan bahagia dan langgeng. Sebagian pasangan merasakan indahnya hidup satu atap hanya sebentar saja, namun sebagian yang lain hanya bisa dipisahkan oleh maut dan mereka selalu merayakan ulang tahun pernikahannya dengan penuh bahagia dan suka cita.
Mengapa bisa demikian?
Ini adalah pertanyaan yang menyita perhatian para pakar keluarga dan psikolog dalam beberapa dekade terakhir. Salah satu kesimpulan mereka tentang pasangan bahagia adalah memiliki pikiran positif dan prasangka baik antar sesama serta punya kesepahaman dan keterlibatan kolektif dalam semua urusan.
Menurut para psikolog, salah satu kriteria utama keluarga yang seimbang adalah kemampuan untuk bersikap positif dan konstruktif dengan lingkungan sekitar atau dengan kata lain, memiliki tendensi positif dan pandangan positif. Keluarga positive thinking ketika menghadapi masalah dan kendala di sekitarnya, mereka tetap mencari sisi positif, inspiratif, dan nilai-nilai edukatif dan bahkan sebisa mungkin menutup mata dari sudut negatifnya. Tendensi positif bisa disebut sebagai seni memandang baik sesuatu. Kondisi seperti ini terpengaruh oleh kualitas jiwa dan mental manusia.
Para pemeluk agama biasanya memiliki pikiran positif dan selalu optimis. Karena, agama mengajarkan manusia untuk berbaik sangka kepada sesama dan menghindari rasa curiga serta memiliki asumsi positif terhadap perkataan dan perilaku sesama. Panduan akhlak Islami meminta umatnya untuk berbaik sangka di lingkungan keluarga.
Sikap husnuzan dan positive thinking tentang suami-istri memainkan peran besar dalam memperkuat pondasi rumah tangga. Jelas bahwa upaya para anggota keluarga untuk menghapus asumsi negatif di antara mereka, akan membuka ruang untuk hubungan yang lebih baik dan lebih akrab.
Para psikolog – demi memperkuat pandangan positif dalam kehidupan bersama – mengusulkan agar suami-istri merekam kapasitas dan kelebihan yang dimiliki oleh pasangannya dalam memorinya dan memperhatikan hal itu sebagai sebuah dasar dalam kehidupan. Dalam interaksi dengan pasangan, khususnya komunikasi dua arah, ia harus memuji kelebihan pasangannya dan berusaha agar suasana dialog penuh dengan optimisme sehingga meninggalkan pengaruh positif.
Jika kita ingin menyaksikan sifat tertentu pada diri pasangan kita dan untuk saat ini ia belum memilikinya, maka kita – daripada mencela atau membuat sindiran – dapat menggunakan metode lain untuk menumbuhkan sifat tersebut.
Dalam kondisi ini, doktrinisasi nilai-nilai positif tampaknya dapat menjadi sebuah solusi yang tepat. Sifat-sifat terpuji akan tampak dalam diri pasangan kita dengan cara menanamkan nilai-nilai positif. Sebagai contoh, jika kita merasa pasangan kita lemah dalam menghadapi masalah dan cobaan, maka kita dapat berbisik kepadanya, “Aku memuji kepribadianmu yang penuh kesabaran dan kekuatan dalam mengatasi masalah.” Atau mengucapkan kalimat ini, “Aku yakin engkau tidak akan membiarkan masalah itu mengalahkan dirimu.”
Secara umum dapat dikatakan bahwa di tengah keluarga yang seimbang dan sehat, suami-istri berusaha untuk selalu berpikir positif dan tidak mencari-cari kekurangan pasangannya dan dalam interaksinya, mereka harus berpijak pada penguatan-penguatan sisi positif antar sesama.
Kesepahaman dan keterlibatan kolektif juga dapat ditemukan di semua sendi kehidupan keluarga yang seimbang dan bahagia. Kondisi ini tercipta karena kekompakan suami-istri. Para psikolog mengatakan, “Jika kita mampu melihat masalah dari sudut pandang pasangan kita, sehingga kita memahami pola pikir dan pandangannya dalam berbagai masalah, maka kita telah mencapai kesepahaman dengan pasangan kita. Dalam situasi seperti ini, hubungan baik secara utuh telah tercipta dalam hidup kita. Suami-istri harus dapat menikmati saat-saat yang jauh dari segala hiruk-pikuk kehidupan. Kesepahaman dan saling menghormati dalam suasana yang hangat dan akrab tentu sangat bermakna. Lalu, bagaimana kita bisa menciptakan jalan kesepahaman dalam hidup ini?”
Menurut para psikolog, menjadi pendengar yang baik adalah sebuah seni dan memainkan peran penting dalam mewujudkan kesepahaman. Ketika sedang bercengkrama dengan pasangan, kita harus mendengarnya dengan baik dan memusatkan perhatian pada apa yang ia ucapkan. Sebuah sikap yang memperlihatkan jika kita menghargai dia dan mendengarkan isi pembicaraannya. Kita juga perlu memperhatikan kondisi emosional dan seleranya serta berusaha untuk membuka diskusi dengan tema-tema yang disukainya
Jangan pernah membanding-bandingkan pasangan kita dengan orang lain. Sikap ini secara serius akan merusak hubungan baik kita dengan pasangan. Ketahuilah bahwa pasangan kita adalah sosok spesial dan memiliki sekumpulan karakter positif dan negatif. Oleh karena itu dalam kondisi darurat, kita bisa membandingkan pasangan kita dengan dirinya sendiri, yakni dengan sifat-sifat baiknya di masa lalu. Kita perlu memberi apresiasi atas kemajuannya di bidang akhlak dan spiritualitas. Sikap ini berpengaruh dalam menciptakan kesepahaman di antara suami-istri.
Gaya dan bahasa komunikasi juga termasuk faktor yang memainkan peran penentu dalam mewujudkan kesepahaman. Setiap kata dan kalimat memiliki bobot psikologis dan emosional. Komunikasi sukses adalah sebuah hubungan di mana kedua pihak sama sekali tidak memakai kata-kata yang menyinggung perasaan atau bersifat melecehkan.
Berkenaan dengan cara-cara lain untuk membangun kesepahaman, para pakar keluarga mengatakan, suami-istri masing-masing harus mempertimbangkan pasangannya dalam proses pengambilan keputusan dan pemilihan sebuah solusi agar tercipta kesepahaman. Pasangan kita tidak boleh dijauhkan dari meja pengambilan keputusan dan kita juga harus menghargai pendapat masing-masing dan tidak bersikap egois. Akan tetapi, kesepahaman adalah sebuah perkara relatif dan mustahil untuk mencapai kata sepakat dalam semua masalah. Maksud dari kesepahaman di sini adalah bahwa suami-istri dalam banyak urusan mengambil langkah yang selaras dan sejalan.
Kesepahaman dan keselarasan memiliki hubungan langsung dengan pengenalan suami dan istri terhadap sesama. Tingkat pengenalan ini akan meningkat setelah keduanya menjalani kehidupan bersama selama bertahun-tahun. Untuk itu, pasangan yang baru menikah tidak boleh berharap akan tercipta kesepahaman dan keselarasan sempurna di permulaan kehidupan bersama.
Keluarga yang seimbang juga memiliki kriteria lain yaitu saling membantu dan membangun kemitraan dalam perkara-perkara positif. Setelah ijab kabul, pria dan wanita bersama-sama menginvestasikan sesuatu yang sangat bernilai. Kemitraan ini tidak membicarakan masalah harta dan kekayaan, tapi mereka menanamkan modal kemanusiaan yang paling bernilai yaitu, hati, jiwa, perasaan, dan impian-impian. Dalam kemitraan seperi ini, mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi kesuksesan atau kegagalan dan sama-sama memikul tanggung jawab sesuai dengan porsi masing-masing.
Hal penting di sini bukan hanya saling membantu, tapi tujuan utama dalam kemitraan ini adalah mempertahankan eksistensi keluarga. Setiap anggota harus memikirkan kepentingan semua individu dan menghadirkan ketenangan bagi keluarga. Dalam ajaran Islam, gotong royong dan saling membantu memiliki tempat khusus, terutama dalam melaksanakan tugas-tugas rumah tangga. Tidak hanya dalam al-Quran, tapi sirah para tokoh agama juga menekankan pentingnya gotong royong dan kerjasama.
Para pemuka agama mendorong suami-istri untuk saling membantu dan mereka menyampaikan beberapa poin penting untuk menumbuhkan semangat gotong royong. Sejarah mencatat bahwa Rasulullah Saw terjun langsung untuk membantu pekerjaan rumah meski beliau adalah sosok yang agung dan mulia. Keteladanan ini merupakan bukti dari perhatian besar Islam untuk mempertahankan eksistensi keluarga. Jika para anggota keluarga tahu tentang dampak-dampak baik gotong royong, mereka akan menunjukkan perhatian besar untuk membantu tugas-tugas di rumah.
Sirah dan keteladanan Rasulullah Saw merupakan model terindah dari gotong royong dan kerjasama ini. Beliau bersabda kepada para sahabatnya, “Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku."
Islam dan Gaya Hidup (40)
Para individu yang memilih menikah jelas mereka ingin mencari sebuah keteladanan untuk mencapai kebahagiaan dan memiliki sebuah keluarga yang seimbang. Lalu, apa saja kriteria-kriteria keluarga yang seimbang itu? Kami ingin Anda menyimak sebuah contoh berikut; musim semi menyimpan daya tarik yang menakjubkan. Pepohonan tumbuh hijau, aneka bunga menebar keharuman, dan burung-burung berkicau memecah keheningan alam.
Kehidupan seimbang juga harus memiliki keanekaragaman yang dibutuhkan. Rutinitas kerja, waktu istirahat, agenda liburan, kegiatan belajar, olahraga, dan waktu untuk beribadah, merupakan unsur-unsur untuk menghadirkan kehidupan yang penuh warna, di mana ia bernilai pada tempatnya masing-masing.
Keindahan dan kesegaran musim semi mengajarkan kita untuk menjadikan hidup ini penuh gairah dan menyenangkan. Suami dan istri harus menjadi faktor kesenangan dan kebahagiaan batin satu sama lain. Di antara keindahan lain musim semi adalah keseimbangan suhu udara. Udara yang nyaman dan angin sepoi menghadiahkan kesegaran bagi jiwa.
Dengan mengambil inspirasi dari keseimbangan musim semi, suami dan istri harus membangun sebuah hubungan timbal balik yang efektif dan dan jauh dari sikap-sikap egois dan ekstrim. Hubungan mereka tidak boleh menciptakan ketergantungan yang berlebihan atau hubungan yang dingin dan penuh emosi, yang dapat menghapus benih-benih cinta dari hati.
Musim semi juga mengajarkan poin lain tentang sebuah kehidupan yang seimbang. Alam setelah satu periode beku dan layu, kembali menunjukkan kegagahannya di musim semi dan hadir dengan keindahan yang menakjubkan. Pohon-pohon yang membeku diterpa hawa dingin sekarang menampakkan tunas muda yang hijau untuk menyambut musim semi. Perubahan unik ini mengirim sebuah pesan kepada manusia bahwa mereka sebagai makhluk yang paling mulia, tidak boleh tertinggal dari alam dalam mewujudkan perubahan dan mereka bahkan harus memimpin perubahan.
Para anggota sebuah keluarga – sebagai individu yang siap mengembangkan potensi dan menciptakan perubahan positif – selalu berpikir untuk mewujudkan kemajuan dan perubahan ke arah yang lebih baik. Kemajuan dan transformasi ini tentu saja harus mempertimbangkan kondisi umum keluarga. Memperhatikan perubahan konstruktif, akan menyelamatkan keluarga dari kondisi stagnan menuju perkembangan dan kemajuan serta menyediakan ruang untuk bergerak ke arah kesempurnaan bagi semua anggota keluarga.
Mencapai kemajuan dan kesempurnaan merupakan salah satu kriteria dari keluarga yang seimbang. Suami dan istri sama-sama memiliki kemuliaan kemanusiaan dan mereka juga sama-sama menyimpan potensi untuk kemajuan dan kesempurnaan. Mereka juga ingin melihat pasangannya maju dan mencapai kesuksesan di semua bidang. Pandangan seperti ini akan menjadikan kehidupan keluarga sebagai tempat berinovasi dan menyelamatkan keluarga dari keruntuhan dan keterpurukan.
Di sebuah keluarga yang seimbang, suami dan istri tidak merampas potensi untuk perubahan dan perbaikan dari pasangannya. Suami meskipun menemukan titik kelemahan pada satu pihak, namun ia tetap memuliakan kepribadian istrinya dan bahkan sebisa mungkin berusaha untuk mengatasi kelemahan tersebut. Sikap baik ini bersumber dari rasa cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Pada dasarnya, pemuliaan dan penghormatan timbal balik itu akan menciptakan sebuah iklim untuk kemajuan dan kesuksesan bersama.
Islam sangat menekankan perkara menghormati kepribadian dan kemuliaan individu dalam hubungan sosial. Sikap mulia ini merupakan sebuah keniscayaan di lingkungan keluarga. Islam menekankan agar suami-istri saling menjaga marwah dan mereka juga harus menjadi pakaian untuk pasangannya. Dengan kata lain, pakaian menutupi aib dan kekurangan pemakainya, suami-istri juga harus menjadi hijab untuk menutupi kekurangan masing-masing. Akan tetapi, jika mereka saling mengumbar aib atau berbangga dengan kelebihan yang dimilikinya, maka lingkungan keluarga akan kehilangan ketenangan dan hubungan suami-istri menjadi terganggu.
Kita pernah mendengar bahwa sejumlah pasangan rela menguburkan impian-impian pribadinya dan secara tulus memperjuangkan kemajuan dan kesuksesan pasangannya. Mereka bahkan siap mengorbankan apapun demi kejayaan orang yang dicintainya. Mereka ini ibarat sayap untuk menerbangkan pasangannya setinggi mungkin atau tempat pelontar bagi teman hidupnya. Oleh karena itu, kewajiban moral manusia memerintahkan mereka untuk memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya atas pengorbanan yang dipersembahkan oleh pujaan hatinya.
Jika suami atau istri sukses di bidang pendidikan dan karir berkat dukungan pasangannya, maka ia perlu sedikit menoleh ke belakang untuk merasakan curahan kasih sayang dan pengorbanan pasangannya di semua jenjang kehidupan bersama. Dengan begitu, kita akan mengerti makna sebuah pengorbanan dan hal ini bisa menghangatkan hubungan suami-istri.
Keluarga yang seimbang dalam gaya hidup Islami juga harus menjadi wadah untuk mentransfer kasih sayang dan meluapkan perasaan dengan benar. Para pakar masalah keluarga mengatakan bahwa tidak adanya pengetahuan tentang metode bertukar kasih sayang dan perasaan dengan benar, termasuk salah satu alasan kegagalan dalam kehidupan rumah tangga.
Cinta dan kasih sayang khususnya di awal pernikahan, masih sangat kental dan penuh gairah. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dan karena tidak adanya pengetahuan atau kelalaian salah satu pihak atau kedua-duanya, kekuatan cinta itu akan menurun dan secara perlahan memasuki titik jenuh.
Dalam kondisi ini, keluhan dan ketidakpuasan ibarat cambuk yang mencabik-cabik raga kehidupan bersama. Suami dan istri sama-sama heran dan bertanya-tanya mengapa kehidupan hangat dan indah mereka kini berubah menjadi dingin dan kaku. Mereka melupakan fakta ini bahwa jika cinta dan kasih sayang sangat penting untuk sebuah awal yang indah, maka ia juga sangat penting untuk menjamin keberlangsungan kehidupan rumah tangga.
Jika sepuluh tahun pertama kehidupan bersama kita anggap sebagai garis star pertukaran kasih sayang, maka sepuluh tahun berikutnya, kehidupan memerlukan pertukaran perasaan yang lebih intens. Khususnya ketika sudah memasuki masa tua, masing-masing pihak mulai merasa sendirian dan situasi ini bisa menciptakan masalah baru bagi mereka.
Lubuk hati adalah muara cinta dan kasih sayang manusia. Untuk itu, kita tidak boleh membuka pintu hati untuk dikotori oleh perasaan negatif dan menodai cinta suci. Suami dan istri harus menyediakan ruang untuk pengembangan perasaan positif guna memiliki sebuah hubungan yang sehat dan proporsional. Jika masing-masing dari mereka menanamkan benih kebencian dalam hatinya, maka ia atau keduanya harus siap diterjang amukan badai. Oleh sebab itu, mereka harus bertukar kasih sayang dan cinta yang berasal dari lubuk hati masing-masing.
Komunikasi dapat menjadi alternatif lain untuk menunjukkan kasih sayang dan perasaan kepada pasangan. Kita menemukan banyak orang yang sangat mencintai pasangannya, tapi mereka tidak tahu cara menampakannya dan pada akhirnya mengundang keraguan tentang ketulusan kecintaannya terhadap pasangannya. Rasulullah Saw memberikan saran khusus untuk memperkuat hubungan suami-istri di tengah keluarga. Beliau menyinggung masalah komunikasi positif di antara mereka dan bersabda, “Barang siapa yang berkata kepada istrinya bahwa aku mencintaimu, maka kalimat ini tidak akan pernah terhapus dari hatinya.”
Membantu pasangan juga dapat menjadi langkah praktis untuk menunjukkan cinta. Suami-istri dengan mengetahui hobi masing-masing, berusaha untuk melakukan sesuatu yang menjadi impian pasangannya. Dengan pekerjaan ini, ia telah meringankan tugas pasangannya dan juga membangkitkan rasa cinta pada diri pasangannya yaitu, “Engkau adalah kebanggaanku dan kehadiranmu sangat berarti bagiku.”
Islam dan Gaya Hidup (39)
Pernikahan merupakan sebuah momen penting dan menentukan dalam kehidupan setiap insan. Membentuk rumah tangga dari segi fitrah, akal sehat, dan bahkan perspektif agama dan sosiologi, merupakan bagian dari urgensitas kehidupan.
Para pakar pendidikan dan psikolog percaya bahwa keselamatan dan kebahagiaan masyarakat, tergantung pada pembangunan prosedural pondasi rumah tangga dan kemudian mengawasi semua dimensinya. Untuk itu, pernikahan harus dibentuk atas prinsip yang benar sehingga mendorong perkembangan dan kesempurnaan suami-istri serta menciptakan kesehatan mental keluarga dan masyarakat.
Jika kriteria-kriteria yang sahih dalam pemilihan pujaan hati tidak diperhatikan, hal ini dapat memicu timbulnya berbagai masalah dalam rumah tangga. Para psikolog dan pakar keluarga, memaparkan sejumlah kriteria yang benar dalam urusan pernikahan yang mencakup aspek psikologis, ekonomi, budaya, dan sosial. Mereka percaya bahwa tingkat keakuratan informasi tentang masing-masing pihak yang dimiliki oleh pria dan wanita sebelum ijab kabul, dapat memudahkan mereka untuk memprediksi apakah pernikahannya berjalan sukses atau kandas di tengah jalan.
Sejumlah riset menunjukkan bahwa para individu ingin memilih pasangan yang identik dengannya. Kriteria kesamaan ini biasanya berkaitan dengan keyakinan agama, pendidikan, budaya, garis keturunan, kondisi ekonomi, dan status sosial. Orang-orang seperti ini mendefinisikan kehidupan sebagai kesamaan satu sama lain dan impian-impian mereka juga tampak lebih dekat.
Faktor-faktor budaya merupakan salah satu kriteria penting yang bisa mendekatkan kedua insan. Semakin besar dimensi persamaan budaya yang dimiliki oleh seseorang dengan calonnya, maka ia lebih siap untuk beradaptasi dan menemukan perbedaan yang lebih kecil.
Penting untuk diketahui bahwa meskipun kedua pihak sudah berikhtiyar untuk memilih pasangan dengan kesamaan maksimal dengan dirinya, namun pria dan wanita tetap saja menyimpan perbedaan signifikan di antara mereka. Oleh karena itu, mereka harus belajar untuk hidup dengan perbedaan yang ada dan dengan menyelesaikan perselisihan serta mencapai kesepahaman, mereka dapat menghadirkan sebuah kehidupan yang bahagia dan mengesankan.
Sebagian kriteria seperti, masalah tanggung jawab merupakan bentuk kesamaan yang dimiliki oleh kedua pihak, pria dan wanita. Hubungan mereka dalam membina rumah tangga akan semakin kuat jika mereka punya banyak kesamaan terkait kriteria-kriteria memilih pasangan. Kumpulan kriteria ini dalam literatur Islam disebut “Prinsip Kafa’ah dan Kesepadanan.” Kesetaraan ini mencakup; agama dan iman, akhlak mulia, garis keturunan, ketampanan dan kecantikan, keterpautan usia, dan pekerjaan masing-masing calon.
Pria dan wanita juga perlu memperbesar pengenalan tentang masing-masing pihak dan menetapkan parameter yang lebih rasional. Dengan begitu, mereka bisa membina rumah tangga idaman dan tidak banyak menemui masalah. Kebanyakan pakar masalah keluarga percaya bahwa unsur-unsur budaya memainkan peran efektif dalam pernikahan. Kesamaan agama, mazhab, adat-istiadat, dan keyakinan, memiliki peran penting dalam mempertahankan keutuhan rumah tangga. Agama bahkan memberi pengaruh luar biasa bagi keteladanan perilaku suami-istri.
Penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai dan keyakinan individu melebihi faktor-faktor lain dalam mempengaruhi perilaku manusia. Perbedaan dalam keyakinan dan pemikiran dapat memperlebar perbedaan seiring dengan berjalannya waktu dan inkonsistensi satu pihak terhadap nilai-nilai agama, juga bisa menciptakan banyak masalah bagi mereka berdua. Sebab, iman dan keyakinan beragama sebagai sebuah ideologi dan pandangan hidup berpengaruh pada semua dimensi kepribadian seseorang.
Psikolog Iran Gholamali Afrooz menuturkan, “Di antara faktor utama keutuhan rumah tangga dan ketenangan hidup adalah kesamaan pandangan dan keyakinan bergama serta komitmen praktis pasangan suami-istri terhadap nilai-nilai moral. Oleh karena itu, kaum Muslim dan Muslimah ingin memiliki pendamping hidup yang taat agama dan baik akhlaknya. Keinginan seperti ini bersumber dari batin yang suci dan fitrah yang sempurna manusia. Allah Swt menyebut sebaik-baiknya pernikahan adalah ikatan di antara dua orang yang bersih dan dalam surat An-Nur ayat 26 disebutkan, ‘Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).’ Kesucian sebagai modal utama eksistensi manusia, bersumber dari keyakinan kepada Allah Swt dan ketakwaan. Jika tidak ada perhatian yang cukup untuk perkara ini, maka itu sama seperti mendirikan pilar-pilar kehidupan di atas tanah yang rapuh dan bergerak.”
Jelas bahwa menjaga dan memperkuat keyakinan agama oleh suami-istri, akan menciptakan daya tarik yang kuat dalam kehidupan bersama. Kesamaan agama dan mazhab akan menghadirkan kehidupan dan hubungan manis bagi para pasangan suami-istri.
Kriteria perilaku dan akhlak juga berkontribusi dalam pemilihan teman hidup. Akhlak mulia sangat ditekankan dalam agama dan dianggap sebagai salah satu syarat untuk membina rumah tangga. Riset membuktikan bahwa sifat-sifat moral seperti, perilaku baik, kehormatan, kejujuran, dan sifat pemaaf, merupakan kriteria utama seorang pria dan wanita baik untuk pernikahan.
Agama Islam juga sangat menekankan perkara iman dan akhlak dalam merajut ikatan suci. Rasulullah Saw dalam sebuah hadis bersabda, “Jika datang kepada kalian seorang pelamar putri kalian yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan putri kalian.”
Latar belakang sosial dan budaya pria dan wanita juga termasuk unsur efektif untuk melestarikan sebuah pernikahan. Perbedaan budaya dan strata sosial bisa melahirkan masalah dalam membangun kesepahaman. Namun, ada juga kasus tertentu di mana suami dan istri bisa menciptakan surga dalam rumah tangga meskipun memiliki perbedaan dari segi strata sosial dan ekonomi. Dalam kasus seperti ini, iman dan akhlak tentu saja memainkan peran krusial. Akan tetapi, penelitian menunjukkan bahwa kesamaan relatif antara keluarga pria dan wanita dari lata belakang sosial dan ekonomi, merupakan sebuah prinsip penting untuk membangun kesepahaman-kesepahaman berikutnya di antara mereka berdua.
Kecantikan dan daya tarik fisik juga termasuk kriteria yang jadi pertimbangan dalam memilih pasangan hidup. Jika pernikahan atas dasar perjodohan dan tidak ada rasa cinta, maka ketidakpuasan akan mudah muncul. Islam menaruh perhatian terhadap unsur psikologis pernikahan yakni, ketertarikan dan rasa cinta. Karena, perkara ini akan mendorong keberlangsungan ikatan suci antara suami-istri. Berkenaan dengan unsur psikologis pernikahan, para pakar masalah keluarga menekankan kesamaan relatif tingkat kecerdasan dengan tujuan menciptakan kepuasan dalam kehidupan bersama.
Penelitian tentang tingkat kecerdasan dan kepuasan keluarga, menunjukkan bahwa jika pria atau wanita menemukan pasangannya berada di bawah kepintarannya, maka tingkat kepuasan di tengah mereka mencatat angka lebih rendah. Kesetaraan dalam pendidikan juga dapat mendekatkan pandangan pria dan wanita dalam kehidupan bersama. Pendidikan dengan sendirinya tentu tidak dapat menjadi garansi sebuah hubungan rasional dan penjamin kesehatan mental keluarga. Meski demikian, ruang untuk kesepahaman terbuka lebih besar di antara pasangan yang memiliki jenjang pendidikan hampir setara.
Perlu diingat bahwa pernikahan adalah sebuah perkara yang sangat penting dan menentukan, kesuksesan dan kegagalan dalam hal ini memberi pengaruh besar bagi masa depan kehidupan seseorang. Pendamping yang baik, sepadan, dan serasi, akan mewarnai kehidupan dengan ketenangan dan kedamaian serta menyediakan peluang untuk mengembangkan berbagai potensi dan bakat. Sebaliknya, kegagalan dalam pernikahan akan menciptakan pesimisme, depresi, kegalauan, dan bahkan penuaan dini, serta mematikan potensi-potensi internal seseorang.
Bagi mereka yang ingin menikah, sebaiknya mereka membangun hubungan dengan keluarga yang mulia, taat beragama, dan berkarakter. Mereka juga perlu menjauhi keluarga yang hina dan materialistik, karena biasanya akan menemui banyak masalah. Ayah dan ibu di keluarga yang saleh, berusaha memberikan keteladanan moral dan perilaku bagi anak-anaknya dan mereka juga mewariskan nilai-nilai mulia sebagai pegangan hidup putra-putrinya.
Generasi yang tumbuh di sebuah keluarga saleh, mewariskan keutamaan moral dari orang tuanya dan selalu melangkah di jalan yang lurus meskipun sedang dihadang badai kehidupan. Dengan kata lain, komitmen mereka untuk kemuliaan dan harga diri telah mencegah mereka dari penyimpangan.
Islam dan Gaya Hidup (38)
Kita pada seri sebelumnya sudah berbicara tentang pentingnya pernikahan dalam gaya hidup Islami dan sekarang kita akan memaparkan beberapa parameter untuk sebuah pernikahan sukses. Semua orang memimpikan sebuah pernikahan yang sukses dan sebuah rumah tangga yang langgeng, karena pernikahan yang sukses merupakan cerminan dari keluarga bahagia.
Keluarga bahagia diibaratkan sebagai sebuah taman yang penuh bunga, di mana kunci taman impian itu dimulai dari pemilihan pasangan yang baik. Taman indah ini tentu saja memerlukan perhatian dan perawatan rutin sehingga selalu tampak indah dan menawan.
Namun, sebelum kita membuka diskusi tentang parameter yang baik untuk memilih teman hidup, ada baiknya kita berbicara mengenai cinta dan kasih sayang sebagai sebuah keniscayaan kehidupan satu atap. Ada banyak kasus di mana suami dan istri memulai kehidupan bersama dengan cinta dan kecocokan, mereka sama sekali tidak mengharapkan prahara dalam rumah tangganya. Mereka karena rasa saling cinta mengira akan selalu hidup damai dan jauh dari keributan. Tapi, realitas kadang berkata lain dan tidak lama setelah melafalkan janji setia, mereka baru menyadari ada rentang jarak antara keduanya dan keributan dan pertengkaran segera dimulai.
Setelah lelah bertengkar, mereka kemudian merasa sudah tidak saling mencintai. Pasangan ini tampaknya menyadari bahwa mereka tidak punya pemahaman yang benar tentang kehidupan dan membangun rumah tangga atas dasar asumsi-asumsi keliru di antara mereka. Jika seorang istri sampai berpikir bahwa suaminya selama ini hanya berpura-pura dan menampilkan sesuatu yang berbeda dengan realitas, maka hal ini tentu sangat menyiksa batin perempuan.
Pada dasarnya, banyak orang terutama pemuda beranggapan bahwa ketika cinta datang mengetuk pintu hati mereka, maka kesempatan untuk menikah sudah di depan mata. Padahal, para pakar rumah tangga dan psikolog percaya bahwa cinta dengan sendirinya tidak cukup untuk memiliki sebuah pernikahan yang sukses.
Cinta adalah sebuah perasaan yang berbunga-bunga dan menyenangkan dalam diri manusia. Perasaan adalah warna dan bunga kehidupan, sementara perasaan senang dan positif akan menghiasi kehidupan dengan warna yang indah. Cinta adalah ketertarikan dan rasa senang yang muncul dalam diri seseorang terhadap orang lain.
Akan tetapi, cinta itu harus memiliki beberapa karakteristik khusus. Dengan adanya ciri khas itu, problema dalam kehidupan rumah tangga cenderung lebih sedikit. Para psikolog memaparkan sejumlah kriteria mengenai ciri-ciri cinta hakiki dalam kehidupan bersama. Salah satu unsur penting cinta adalah pemahaman akan kebutuhan, selera, dan perasaan satu sama lain. Suami dan istri harus mengetahui tentang ketertarikan dan selera masing-masing pihak dan saling membantu untuk mencapai keinginan-keinginan yang rasional, bukannya menciptakan hambatan.
Faktor penting lainnya dalam pernikahan adalah sikap saling menghormati. Ketika suami-istri saling mencintai, mereka juga akan saling menghormati. Jelas bahwa penghinaan, sikap emosi, dan perilaku kasar, merupakan tanda-tanda dari cinta lahiriyah dan palsu di antara kedua insan. Rasa bertanggung jawab terhadap kehidupan, masa depan, dan kesehatan fisik dan mental pihak lain, merupakan tanda lain dari cinta hakiki dan jika rasa ini tidak hadir, hubungan suami-istri akan terganggu dan dingin.
Dalam banyak kasus, apa yang disebut cinta sebenarnya hanya ketergantungan perasaan dan sebuah bentuk kegilaan. Untuk itu, para psikolog menyarankan agar kita memperhatikan hubungan emosional kita dengan orang yang akan menjadi teman hidup kita dan mempertimbangkan kriteria-kriteria utama.
Pernikahan merupakan sebuah keputusan penting untuk hidup dan dasar untuk membuat keputusan yang benar adalah berpikir dan bertafakkur. Perasaan akan goyah dan luntur seiring berjalannya waktu, begitu juga dengan cinta monyet, ia hanya sebuah perasaan yang memudar bersama perjalanan waktu. Oleh karena itu, untuk membuat keputusan penting seperti pernikahan, kita perlu mempertimbangkan matang-matang dan berpikir jauh ke depan, kita tidak boleh dikalahkan oleh perasaan dan suasana hati serta menutup jalan untuk berpikir jernih.
Bayangkan saja, kita pergi ke sebuah tokoh untuk membeli baju. Apakah kita akan memilih sembarangan tanpa melihat harga dan modelnya? Lalu, bagaimana sikap kita dalam membeli sebuah buku atau bepergian ke sebuah tempat? Apakah kita hanya mengandalkan perasaan yaitu suka atau tidak suka? Jelas tidak demikian.
Jika kita perhatikan baik-baik, kita akan mengerti bahwa dalam banyak kasus bahkan dalam memilih hal-hal yang kecil sekali pun, kita membuat keputusan dengan pertimbangan rasional dan akal sehat. Meski kita sudah suka dengan sebuah baju, tapi tetap saja ada aspek-aspek lain yang jadi pertimbangan kita seperti, motifnya, ukuran, harga, dan kecocokan fisik kita.
Keniscayaan dalam pernikahan adalah bahwa seorang individu sesuai dengan kapasitasnya, memilih orang lain sebagai teman untuk hidup bersama, di mana ada kesesuaian dan kecocokan maksimal dengan dirinya. Semua orang tentu saja tidak bisa menemukan pasangan yang benar-benar cocok dengan dirinya dalam semua hal. Namun, mereka dapat menekankan kriteria-kriteria kunci dan esensial. Kita juga perlu memperhatikan poin lain bahwa keputusan rasional soal pernikahan bukan berarti mengabaikan perasaan dan cinta.
Tidak diragukan lagi bahwa jika cinta dan kasih sayang sudah menyertai kehidupan bersama, maka hubungan suami-istri dan kehidupan rumah tangga semakin indah dan hangat. Jadi, alangkah baiknya jika cinta itu dibangun atas landasan yang kuat. Sekarang, kita akan memaparkan kriteria untuk memilih pasangan hidup dalam gaya hidup Islami.
Pada satu kesempatan, Rasulullah Saw bersabda, “Setelah Islam – sebagai nikmat yang paling tinggi – adalah keberadaan istri yang baik dan salehah, sebagai nikmat terbesar kehidupan.” Tentu saja untuk mencapai kenikmatan besar itu, kita harus memperhatikan kriteria yang benar dan tepat.
Melalui pernikahan, dua insan – di mana masing-masing pihak memiliki perbedaan alamiah dan kriteria khusus – sepakat untuk menyusun rencana baru dalam kehidupan dan bersama-sama menapaki sebuah jalan yang berbeda dengan kondisi kehidupan jomblo. Dalam perjalanannya, perbedaan pandangan dan selera mungkin saja menggoyang bahtera kehidupan dan mengusik keteduhan rumah tangga. Manusia tertarik untuk memilih pasangan hidup yang sepadan dengannya (kufu’). Kesepadanan dan kesetaraan dua insan tidak hanya mendorong mereka untuk saling mencintai, tapi juga akan memperkuat hubungan dan ikatan mereka.
Berkenaan dengan kesepadanan dan kesetaraan suami-istri, para peneliti masalah keluarga menyinggung beberapa hal seperti, wilayah geografi kehidupan, strata sosial, sifat-sifat moral, serta karakteristik psikologis dan kultur. Ketidakcocokan dalam perkara tersebut bisa berujung pada pernikahan yang gagal.
Para psikolog menerangkan, “Dalam proses pernikahan, orang kadang bingung dalam menetapkan kriteria yang diperlukan untuk memilih pasangan impian. Motivasi materi, daya tarik luar, strata sosial, dan juga pandangan orang-orang sekitar, merupakan masalah yang membuat seseorang tertekan.”
Dalam hal ini, seorang psikolog Iran, ibu dokter Navabi Nejad mengatakan, “Semakin besar kedekatan antara pria dan wanita dari segi karakteristik psikologis dan kultur, maka kehidupan rumah tangga akan semakin awet. Dalam literatur Islam, kriteria-kriteria itu disebut sebagai prinsip kafa'ah atau kesetaraan, yang mencakup berbagai aspek seperti, usia, kondisi psikologis, budaya, keyakinan, dan srata sosial dan ekonomi.”
Kecantikan dan kesempurnaan fisik, biasanya menjadi titik perhatian pertama dalam pernikahan. Keterpautan usia antara pria dan wanita juga menjadi pertimbangan berikutnya. Jelas bahwa keterpautan usia memainkan peran penting dalam menyesuaikan kebutuhan, selera, dan impian masing-masing pihak.
Islam dan Gaya Hidup (38)
Kita pada seri sebelumnya sudah berbicara tentang pentingnya pernikahan dalam gaya hidup Islami dan sekarang kita akan memaparkan beberapa parameter untuk sebuah pernikahan sukses. Semua orang memimpikan sebuah pernikahan yang sukses dan sebuah rumah tangga yang langgeng, karena pernikahan yang sukses merupakan cerminan dari keluarga bahagia.
Keluarga bahagia diibaratkan sebagai sebuah taman yang penuh bunga, di mana kunci taman impian itu dimulai dari pemilihan pasangan yang baik. Taman indah ini tentu saja memerlukan perhatian dan perawatan rutin sehingga selalu tampak indah dan menawan.
Namun, sebelum kita membuka diskusi tentang parameter yang baik untuk memilih teman hidup, ada baiknya kita berbicara mengenai cinta dan kasih sayang sebagai sebuah keniscayaan kehidupan satu atap. Ada banyak kasus di mana suami dan istri memulai kehidupan bersama dengan cinta dan kecocokan, mereka sama sekali tidak mengharapkan prahara dalam rumah tangganya. Mereka karena rasa saling cinta mengira akan selalu hidup damai dan jauh dari keributan. Tapi, realitas kadang berkata lain dan tidak lama setelah melafalkan janji setia, mereka baru menyadari ada rentang jarak antara keduanya dan keributan dan pertengkaran segera dimulai.
Setelah lelah bertengkar, mereka kemudian merasa sudah tidak saling mencintai. Pasangan ini tampaknya menyadari bahwa mereka tidak punya pemahaman yang benar tentang kehidupan dan membangun rumah tangga atas dasar asumsi-asumsi keliru di antara mereka. Jika seorang istri sampai berpikir bahwa suaminya selama ini hanya berpura-pura dan menampilkan sesuatu yang berbeda dengan realitas, maka hal ini tentu sangat menyiksa batin perempuan.
Pada dasarnya, banyak orang terutama pemuda beranggapan bahwa ketika cinta datang mengetuk pintu hati mereka, maka kesempatan untuk menikah sudah di depan mata. Padahal, para pakar rumah tangga dan psikolog percaya bahwa cinta dengan sendirinya tidak cukup untuk memiliki sebuah pernikahan yang sukses.
Cinta adalah sebuah perasaan yang berbunga-bunga dan menyenangkan dalam diri manusia. Perasaan adalah warna dan bunga kehidupan, sementara perasaan senang dan positif akan menghiasi kehidupan dengan warna yang indah. Cinta adalah ketertarikan dan rasa senang yang muncul dalam diri seseorang terhadap orang lain.
Akan tetapi, cinta itu harus memiliki beberapa karakteristik khusus. Dengan adanya ciri khas itu, problema dalam kehidupan rumah tangga cenderung lebih sedikit. Para psikolog memaparkan sejumlah kriteria mengenai ciri-ciri cinta hakiki dalam kehidupan bersama. Salah satu unsur penting cinta adalah pemahaman akan kebutuhan, selera, dan perasaan satu sama lain. Suami dan istri harus mengetahui tentang ketertarikan dan selera masing-masing pihak dan saling membantu untuk mencapai keinginan-keinginan yang rasional, bukannya menciptakan hambatan.
Faktor penting lainnya dalam pernikahan adalah sikap saling menghormati. Ketika suami-istri saling mencintai, mereka juga akan saling menghormati. Jelas bahwa penghinaan, sikap emosi, dan perilaku kasar, merupakan tanda-tanda dari cinta lahiriyah dan palsu di antara kedua insan. Rasa bertanggung jawab terhadap kehidupan, masa depan, dan kesehatan fisik dan mental pihak lain, merupakan tanda lain dari cinta hakiki dan jika rasa ini tidak hadir, hubungan suami-istri akan terganggu dan dingin.
Dalam banyak kasus, apa yang disebut cinta sebenarnya hanya ketergantungan perasaan dan sebuah bentuk kegilaan. Untuk itu, para psikolog menyarankan agar kita memperhatikan hubungan emosional kita dengan orang yang akan menjadi teman hidup kita dan mempertimbangkan kriteria-kriteria utama.
Pernikahan merupakan sebuah keputusan penting untuk hidup dan dasar untuk membuat keputusan yang benar adalah berpikir dan bertafakkur. Perasaan akan goyah dan luntur seiring berjalannya waktu, begitu juga dengan cinta monyet, ia hanya sebuah perasaan yang memudar bersama perjalanan waktu. Oleh karena itu, untuk membuat keputusan penting seperti pernikahan, kita perlu mempertimbangkan matang-matang dan berpikir jauh ke depan, kita tidak boleh dikalahkan oleh perasaan dan suasana hati serta menutup jalan untuk berpikir jernih.
Bayangkan saja, kita pergi ke sebuah tokoh untuk membeli baju. Apakah kita akan memilih sembarangan tanpa melihat harga dan modelnya? Lalu, bagaimana sikap kita dalam membeli sebuah buku atau bepergian ke sebuah tempat? Apakah kita hanya mengandalkan perasaan yaitu suka atau tidak suka? Jelas tidak demikian.
Jika kita perhatikan baik-baik, kita akan mengerti bahwa dalam banyak kasus bahkan dalam memilih hal-hal yang kecil sekali pun, kita membuat keputusan dengan pertimbangan rasional dan akal sehat. Meski kita sudah suka dengan sebuah baju, tapi tetap saja ada aspek-aspek lain yang jadi pertimbangan kita seperti, motifnya, ukuran, harga, dan kecocokan fisik kita.
Keniscayaan dalam pernikahan adalah bahwa seorang individu sesuai dengan kapasitasnya, memilih orang lain sebagai teman untuk hidup bersama, di mana ada kesesuaian dan kecocokan maksimal dengan dirinya. Semua orang tentu saja tidak bisa menemukan pasangan yang benar-benar cocok dengan dirinya dalam semua hal. Namun, mereka dapat menekankan kriteria-kriteria kunci dan esensial. Kita juga perlu memperhatikan poin lain bahwa keputusan rasional soal pernikahan bukan berarti mengabaikan perasaan dan cinta.
Tidak diragukan lagi bahwa jika cinta dan kasih sayang sudah menyertai kehidupan bersama, maka hubungan suami-istri dan kehidupan rumah tangga semakin indah dan hangat. Jadi, alangkah baiknya jika cinta itu dibangun atas landasan yang kuat. Sekarang, kita akan memaparkan kriteria untuk memilih pasangan hidup dalam gaya hidup Islami.
Pada satu kesempatan, Rasulullah Saw bersabda, “Setelah Islam – sebagai nikmat yang paling tinggi – adalah keberadaan istri yang baik dan salehah, sebagai nikmat terbesar kehidupan.” Tentu saja untuk mencapai kenikmatan besar itu, kita harus memperhatikan kriteria yang benar dan tepat.
Melalui pernikahan, dua insan – di mana masing-masing pihak memiliki perbedaan alamiah dan kriteria khusus – sepakat untuk menyusun rencana baru dalam kehidupan dan bersama-sama menapaki sebuah jalan yang berbeda dengan kondisi kehidupan jomblo. Dalam perjalanannya, perbedaan pandangan dan selera mungkin saja menggoyang bahtera kehidupan dan mengusik keteduhan rumah tangga. Manusia tertarik untuk memilih pasangan hidup yang sepadan dengannya (kufu’). Kesepadanan dan kesetaraan dua insan tidak hanya mendorong mereka untuk saling mencintai, tapi juga akan memperkuat hubungan dan ikatan mereka.
Berkenaan dengan kesepadanan dan kesetaraan suami-istri, para peneliti masalah keluarga menyinggung beberapa hal seperti, wilayah geografi kehidupan, strata sosial, sifat-sifat moral, serta karakteristik psikologis dan kultur. Ketidakcocokan dalam perkara tersebut bisa berujung pada pernikahan yang gagal.
Para psikolog menerangkan, “Dalam proses pernikahan, orang kadang bingung dalam menetapkan kriteria yang diperlukan untuk memilih pasangan impian. Motivasi materi, daya tarik luar, strata sosial, dan juga pandangan orang-orang sekitar, merupakan masalah yang membuat seseorang tertekan.”
Dalam hal ini, seorang psikolog Iran, ibu dokter Navabi Nejad mengatakan, “Semakin besar kedekatan antara pria dan wanita dari segi karakteristik psikologis dan kultur, maka kehidupan rumah tangga akan semakin awet. Dalam literatur Islam, kriteria-kriteria itu disebut sebagai prinsip kafa'ah atau kesetaraan, yang mencakup berbagai aspek seperti, usia, kondisi psikologis, budaya, keyakinan, dan srata sosial dan ekonomi.”
Kecantikan dan kesempurnaan fisik, biasanya menjadi titik perhatian pertama dalam pernikahan. Keterpautan usia antara pria dan wanita juga menjadi pertimbangan berikutnya. Jelas bahwa keterpautan usia memainkan peran penting dalam menyesuaikan kebutuhan, selera, dan impian masing-masing pihak.
Islam dan Gaya Hidup (37)
Pernikahan merupakan sebuah momen penting dan krusial dalam kehidupan setiap individu. Membentuk rumah tangga dari segi fitrah, naluri, dan bahkan pandangan agama dan sosiologi, termasuk bagian dari kebutuhan fundamental kehidupan insan.
Para pakar ilmu pendidikan dan sosiolog percaya bahwa keselamatan dan kebahagiaan masyarakat bergantung pada peletakan yang benar pondasi bangunan rumah tangga dan mengawasi semua bagiannya. Oleh karena itu, pernikahan harus dibangun atas landasan dan prinsip yang benar sehingga mendorong perkembangan dan kesempurnaan suami-istri serta menciptakan kesehatan mental keluarga dan masyarakat.
Pernikahan tanpa tujuan dan pertimbangan matang, sama seperti membangun pondasi rumah di atas tanah yang rapuh dan bergerak. Tempat seperti ini tentu saja bukan lokasi yang tepat untuk mendirikan bangunan kehidupan. Dalam beberapa dekade terakhir, para pakar keluarga menaruh perhatian besar terhadap banyak persoalan seperti, kualitas hubungan suami-istri, kepuasan kedua pihak, dan dampaknya bagi keutuhan rumah tangga.
Saat ini hal yang menjadi perhatian dalam kajian psikologi pernikahan adalah mempelajari faktor-faktor efektif pada pernikahan dan meningkatkan kualitasnya. Dalam hal ini, ada banyak tema yang dipelajari seperti, peran unsur-unsur budaya dan ekonomi serta aspek mental dan kejiwaan.
Lalu, mengapa pernikahan dianggap penting dan urgen? Apakah Anda pernah memikirkan masalah ini? Dengan sedikit menguras pikiran, kita akan mengerti bahwa pernikahan pada tahap pertama adalah sebuah jawaban atas kebutuhan alamiah dan naluri, yang disalurkan secara benar dan halal. Dorongan seksual sangat menyiksa manusia dan jika tidak disalurkan pada waktu dan cara yang tepat, ia dapat menyeret pemiliknya pada kerusakan dan kehancuran. Dampak negatifnya tentu saja tidak hanya bagi fisik, tapi juga mempengaruhi kondisi mental dan kepribadian.
Dalam logika Quran, pernikahan merupakan pembentuk sebuah hubungan yang penuh kedamaian dan permulaan sebuah kehidupan yang dibarengi cinta dan kasih sayang. Sumber ketertarikan pria dan wanita terhadap sesama adalah kecintaan itu sendiri dan rahmat yang ditanamkan Allah Swt dalam diri mereka.
Ketertarikan dan kecintaan ini merupakan sesuatu yang lebih tinggi dari naluri hewani. Pernikahan membuat mental penuh emosional pemuda menjadi tenang dan damai serta mengantarkan pria-wanita untuk mengawali kehidupan bersama yang penuh keceriaan dan ketenangan.
Kita tahu bahwa pria dan wanita dari segi asal penciptaan yakni wujud kemanusiaan, adalah memiliki karakteristik yang sama. Namun, mereka berbeda dari segi psikologis dan gender. Fakta ini tidak berarti kekurangan bagi satu pihak dan kesempurnaan bagi pihak lain. Adanya perbedaan antara pria dan wanita justru memacu perputaran roda rumah tangga dan masyarakat dan dapat menciptakan jalan untuk mencapai keseimbangan ideal di tengah masyarakat. Perbedaan-perbedaan ini menyebabkan ketertarikan timbal balik antara pria dan wanita, dan dalam ketertarikan itu, tercipta banyak peluang untuk memenuhi sebagian besar dari kebutuhan mereka.
Dari aspek penciptaan, pria dan wanita sama-sama tidak boleh menganggap keistimewaan alamiah masing-masing pihak sebagai faktor keunggulannya atas pihak lain atau justru memandang keistimewaan alamiah pihak lain sebagai faktor kekurangannya. Pria dan wanita sama-sama terpisah dari segi indentitas kemanusiaannya, namun mereka menemukan situasi yang berbeda dalam rumah tangga dan dalam membangun interaksi antar sesama. Dalam kehidupan bersama, kedua pihak harus memuliakan identitas kemanusiaan satu sama lain serta menghormati naluri seksual dan kondisi mental yang berbeda.
Dalam kondisi ini, semua pihak menerima posisinya sebagai suami atau istri dan tidak bermimpi untuk menggantikan kedudukan pihak lain. Seorang psikolog Jerman, Erich Fromm setelah mempelajari perbedaan dunia pria dan wanita mengatakan, “Pria dan wanita sama-sama bisa saling memahami dan saling melengkapi, tapi mereka tidak akan pernah sama persis dan ini muncul karena perbedaan-perbedaan yang tertanam dalam wujud mereka.”
Jelas bahwa kebanyakan konflik rumah tangga dan sikap saling curiga disebabkan tidak adanya ketenangan batin dan tidak terpenuhinya kebutuhan emosional dan jiwa. Dengan kata lain, krisis kasih sayang adalah pemicu utama konflik tersebut. Setelah memperhatikan fakta ini, dapat kita katakan bahwa pasangan ideal dalam gaya hidup Islami adalah mereka yang menikmati ketenangan batin dan kedamaian jiwa secara optimal selama menjani hidup satu atap, dan keberadaan mereka mendatangkan rahmat dan kasih sayang. Di tengah itu semua, kehadiran cinta dan aura ketenangan yang dipancarkan oleh seorang istri tetap memainkan peran dominan di keluarga.
Oleh sebab itu, salah satu alasan utama menikah dan membentuk rumah tangga adalah untuk mencapai ketenangan jiwa dan emosional, di mana akan terpenuhi di tengah kehangatan keluarga.
Salah satu alasan lain pentingnya pernikahan adalah kebutuhan untuk mencapai perkembangan dan kesempurnaan. Ketika sudah melewati fase kanak-kanak dan menginjak usia dewasa, manusia membutuhkan sebuah identitas baru yang diperoleh melalui pernikahan dan pemilihan pasangan hidup.
Pernikahan membuat seseorang merasa mandiri dan mencapai fase dewasa. Ia sebagai seorang suami atau istri dituntut untuk melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Pria dan wanita melalui pernikahan akan meninggalkan banyak kesibukan di masa single dan berusaha mengumpulkan pengalaman baru dengan status barunya itu.
Para psikolog percaya bahwa pernikahan membuat kondisi mental pemuda menjadi stabil. Ketenangan dan kedamaian yang didapatkan dari pernikahan menyebabkan mereka lebih mudah untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih besar dan lebih penting. Keamanan yang diperoleh dari pernikahan juga memudahkan langkah mereka untuk meraih keseimbangan mental dan jiwa. Keseimbangan ini mendorong manusia untuk bekerja keras dan melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih baik. Kondisi ini terwujud jika pernikahan terbilang sukses dan pemilihan pasangan hidup juga tepat.
Seorang psikolog Iran Ibu dokter Navabi Nejad mengatakan, “Pria dan wanita setelah memasuki usia baligh dan masa remaja, selain ingin mencapai kemandirian berpikir, mereka juga mulai memikirkan pasangan hidup untuk menutupi kekurangannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan tak terbatasnya sehingga dengan memilih pasangan ideal, mereka membuka ruang untuk perkembangan dan kesempurnaannya. Ketika seorang individu berada di sebuah kehidupan bersama – di bawah rasa cinta, kasih sayang, dan keakraban – ia akan menjadi lebih bertanggung jawab. Ia memandang hidupnya memiliki tujuan dan memanfaatkan hasil kerja kerasnya untuk kepentingan keluarga.”
Pernikahan juga bertujuan untuk menjaga kemuliaan dan kehormatan individu. Menikah dan membentuk rumah tangga berguna untuk menjaga keselamatan dan keamanan masyarakat dan secara pasti akan mengurangi maksiat dan kriminalitas. Oleh karena itu, pendidikan moral Islam sangat menekankan masalah pernikahan dan dalam sebuah hadis Rasulullah Saw disebutkan bahwa pernikahan akan menyempurnakan setengah dari agama manusia.
Pernikahan juga penting untuk menjaga keberlangsungan generasi di tengah masyarakat. Kebanyakan orang ingin agar keturunannya tetap lestari dan mereka meninggalkan anak-cucu sebagai generasi penerus. Motivasi kaum wanita dalam hal ini sangat besar karena naluri keibuan pada diri mereka.
Inilah beberapa alasan tentang pentingnya pernikahan. Lalu, faktor-faktor apa saja yang akan memperkuat dan menjaga keutuhan rumah tangga? Dengan kata lain, kapan kita bisa mengatakan bahwa sebuah pernikahan telah sukses?
Para pakar mengatakan, pernikahan sukses adalah sebuah pernikahan di mana pria dan wanita sama-sama menapaki jalan kesempurnaan. Pria di samping pekerjaan dan karir, ingin memiliki perkembangan mental dan spiritual sebagai seorang manusia. Wanita juga bersama pendamping hidupnya, ingin mengembangkan bakat dan potensi internalnya. Suami-istri yang perhatian terhadap ketertarikan satu sama lain, pada dasarnya mereka telah menjalin sebuah hubungan emosional yang kuat.
Akan tetapi, tujuan tersebut tidak akan terwujud kecuali kita memiliki ketelitian dan kejelian dalam memilih teman hidup. Jika kita tidak menggunakan parameter yang benar dalam memilih, tentu saja bisa melahirkan berbagai persoalan di tengah keluarga.




























