
کمالوندی
Ketika Petinggi AS Ketakutan atas Balasan Iran
Setelah sehari dari kejahatan dan langkah ilegal Amerika meneror Komandan Brigade Quds IRGC Iran, Letjen Qasem Soleimani dan Wakil komandan Hashd al-Shaabi, Irak Abu Mahdi al-Muhandis beserta rombongan, para petingg AS dalam sikap kontradiktifnya seraya berusaha menjustifikasi aksi ini, mengklaim bahwa mereka tidak menghendaki perang dengan Iran.
Sekaitan dengan ini, Presiden AS Donald Trump Jumat (03/01) sore di pidatonya mengklaim bahwa Soleimani tengah berencana menyerang para diplomat dan militer Amerika. Trump menyatakan bahwa tugas sucinya adalah membela Amerika dan ia menginstruksikan peneroran Soleimani.
Trump menyebut keputusannya ini untuk menghentikan perang, bukan mengobarkan perang serta menekakan bahwa langkah Iran memanfaatkan pejuang untuk mengobarkan instabilitas di negara-negara tetangga sejak saat ini harus dihentikan.
Wakil presiden Amerika Mike Pence mengklaim bahwa Syahid Soleimani mengawasi upaya untuk melancarkan aksi teror di wilayah Amerika. Menurtu klaim Pence, Syahid Soleimani merencanakan serangan dalam waktu dekat terhadap diplomat dan militer Amerika.
Pence seperti petinggi Gedung Puti lainnya menjustifikasi aksi kejahatan militer Amerika dan mengatakan, Amerika memutuskan untuk meneror Soleimani karena Iran memiliki peran dalam mendukung teroris 11 September.
Sementara itu, Penasihat Dewan Keamanan Nasional AS, Robert O'Brien hari Jumat mengklaim bahwa langkah ini sebauh operasi preemptive yang ditujukan untuk melindungi staf dan militer Amerika.
Omong kosong petinggi senior Gedung Putih sejatinya diungkapkan sebagai justifikasi aksi ilegal Amerika. Khususnya wakil presiden Amerika untuk menjustifiksi peneroran Soleimani berusaha menyodorkan aksi-aksi syahid ini anti Amerika mulai dari Afghanistan hingga Suriah, Lebanon dan Irak. Pence bahkan menuding Syahid Soleimani berada di balik serangan teror 11 September 2001 di Amerika.
Meski demikian langkah Amerika meneror Syahid Soleimani dan Abu Mahdi al-Muhandisi, petinggi militer Irak beserta rombongan adalah ilegal dan melanggar prinsip hukum internasional serta melanggar norma-norma internasional. Langkah yang tidak biasa ini sangat jarang terjadi di sejarah hubungan internasional.
Sejatinya seorang elit politik tertinggi sebuah negara secara resmi menginstruksikan teror terhadap petinggi militer negara lain di jalan terbuka dan tanoa melalui sebuah operasi militer. Letjen Soleimani memasuki Irak secara legal dengan visa dan atas undangan penasihat pemerintah Irak, serta bukan dalam kondisi perang sehingga militer Amerika berhak melakukan operasi anti militer terhadapnya.
Selain itu, Abu Mahdi al-Muhandisi, wakil Hashd al-Shaabi juga salah satu petinggi senior angkatan bersenjata Irak dan Amerika dengan meneror dirinya bukan saja melanggar kedaulatan Irak, bahkan melakukan aksi permusuhan di dalam wilayah Irak dan aksi ini sepenuhnya melanggar hukum dan ketentuan internasional.
Selain itu, klaim palsu petinggi Amerika bahwa Soleimani berencana menyerang pangkalan dan instalasi AS di Irak serta sejatinya Washington yang terburu-buru meneror komandan Brigade Quds ini dengan klaim langkah preemptive bukan justifikasi untuk aksi ilegal ini serta aksi tersebut tidak memiliki argumenstasi dan legalitas.
Tak hanya itu, Trump juga melanggar undang-undang dalam negeri Amerika dan tanpa memperhatikan konstitusi dan meminta ijin dari DPR menginstruksikan operasi teror ini. Menurut undang-undang dalam negeri Amerika, Trump dalam hal ini telah melakukan sebuah kejahatan.
Petinggi Washington yang saat ini ketakutan atas respon tegas dan balasan keras Iran selain berusaha menjustifikasi aksi terornya, juga aktif mengancam Republik Islam Iran. Trump mengatakan bahwa Washington memiliki list dari tujuannya dan siap menjalankannya kapan saja.
Meski demikian Amerika harus menyadari bahwa Iran tidak pernah takut atas ancaman Washington dan di waktu yang tepat dan dibutuhkan, Tehran akan memberi balasan setimpal atas aksi kejahatan pemerintah Donald Trump.
Trump, Ancaman Keamanan Internasional
Tindakan AS di kawasan Asia Barat, terutama kehadiran militernya yang meningkat secara signifikan, eskalasi tekanan terhadap Iran, dan aksi teroris terhadap Syahid Qasem Solaemani dan beberapa orang lainnya menimbulkan ancaman keamanan regional dan internasional.
Langkah destruktif AS ini menyulut kecaman dari berbagai negara, termasuk Rusia. Kementerian luar negeri Rusia mengutuk pembunuhan Letjen Solaemani, dan menilai Washington sedang berusaha untuk mengubah perimbangan kekuatan di kawasan Asia Barat yang dilakukan sebagai sebagai puncak keputusasaan AS.
Moskow memandang AS berupaya menjustifikasi aksi destruktifnya dengan mengeksploitasi masalah demonstrasi di depan kedutaan besarnya di Baghdad sebagai dalih. Juru Bicara Kemenlu Rusia, Maria Zakharova mengatakan, Pemerintah AS seharusnya mengadukan aksi unjuk rasa terhadap kedutaannya di Baghdad kepada Dewan Keamanan PBB, tapi Washington tidak melakukannya. Bahkan mengambil lamngkah ilegal yang bertujuan untuk memancing reaksi publik dunia dan berusaha mengubah perimbangan kekuatan di kawasan.
Aksi demontrasi warga Irak di kedutaan AS di Baghdad dilancarkan sebagai bentuk protes terhadap kejahatan Washington membombardir basis Al-Hashd al-Shaabi di provinsi Al-Anbar yang menewaskan puluhan orang.
Padahal pemerintahan Trump tahu bahwa pasukan relawan rakyat Al-Hashd Al-Shaabi termasuk bagian dari angkatan bersenjata Irak. Serangan tersebut dilancarkan dengan dalih fiktif yang menuduh mereka menyerang pangkalan AS di Kirkuk dan tewasnya seorang kontraktor AS.
Kemudian, Trump mengeluarkan instruksi langsung aksi teror terhadap Syahid Qasem Solaemani yang memicu reaksi dari para pejabat tinggi negara-negara dunia. Menlu Rusia, Sergei Lavrov dalam percakapan telepon dengan sejawatnya dari AS, Mike Pompeo menegaskan bahwa pembunuhan Qasem Solaemani jelas merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional. Selain itu, Rusia juga menilai aksi teror terhadap Solaemani berdampak negatif terhadap struktur keamanan global.
Kementerian Pertahanan Rusia dalam sebuah pernyataan hari Jumat (3/1/2020) menyinggung peran Syahid Solaemani, dalam perang melawan kelompok-kelompok teroris, termasuk Daesh di Irak dan Suriah, dan menilai pembunuhannya dalam situasi politik dan militer yang rawan di kawasan Asia Barat akan berdampak negatif terhadap struktur keamanan internasional.
Rusia telah berulangkali mengkritik kebijakan destruktif AS di Asia Barat, yang memperburuk instabilitas dan konflik di kawasan Asia Barat. Langkah Trump menarik AS keluar dari JCPOA pada Mei 2018 yang disusul kebijakan tekanan maksimum terhadap Iran meningkatkan suhu konflik di kawasan, terutama eskalasi ketegangan di Selat Hormuz dan Teluk Persia.
Kini, Amerika Serikat sekarang dengan sengaja menyerang pangkalan Al-Hashd Al-Shaabi di Irak dan meneror Syahid Solaemani dan wakil kepala Al-Hashd Al-Shaabi secara pengecut untuk menyeret kawasan menuju fase konflik baru dengan langkah-langkah provokatifnya. Sejak Trump berkuasa keamanan Asia Barat dan internasional semakin terancam melebihi sebelumnya.
Inggris Kerahkan Dua Kapal Perang ke Teluk Persia
Menteri Pertahanan Inggris Ben Wallace mengatakan, dua kapal perang negaranya telah dikirim ke Teluk Persia.
"Pemerintah Inggris telah memerintahkan pengiriman kapal perang ke kawasan," ujarnya dalam sebuah pernyataan hari Sabtu (4/01/2020) seperti dikutip IRNA.
Dia menyebut Iran sebagai pemicu ketegangan di Irak, tanpa menyinggung kejahatan-kejahatan AS yang dilakukan di wilayah Asia Barat.
Kementerian Pertahanan Inggris menyatakan bahwa pihaknya telah mengirim kapal perang HMS Montrose dan kapal perusak HMS Defender ke Teluk Persia.
Inggris mengerahkan dua kapal perang ke kawasan dengan alasan melindungi warganya. Keputusan ini diambil setelah militer AS dalam sebuah aksis teror membunuh Komandan Pasukan Quds Iran, Letnan Jenderal Qasem Soleimani di Baghdad, Irak.
Ketua DPR AS: Tindakan Trump Bahayakan Nyawa Tentara AS
Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi, menganggap laporan Presiden Donald Trump mengenai tindakan teror terhadap komandan pasukan Quds Iran, tidak jelas.
"Kita tidak bisa menempatkan nyawa prajurit Amerika, diplomat dan lainnya lebih berisiko dengan terlibat dalam tindakan provokatif dan tidak proporsional. Serangan ini berisiko memicu meningkatnya kekerasan yang berbahaya," tulis Pelosi di akun Twitter-nya seperti dikutip IRNA, Minggu (5/01/2020).
Dia menegaskan bahwa Trump telah melakukan serangan di Irak yang menargetkan para pejabat tinggi militer Iran dan membunuh Komandan Pasukan Quds, Letnan Jenderal Qasem Soleimani, tanpa Otorisasi Penggunaan Kekuatan Militer, dan tindakan ini diambil tanpa berkonsultasi dengan Kongres.
"Kongres harus segera diberitahu tentang situasi serius ini dan langkah-langkah lain yang sedang dipertimbangkan oleh pemerintah, termasuk pengiriman pasukan tambahan ke kawasan," tandas Pelosi.
Berdasarkan Undang-Undang Otorisasi Penggunaan Kekuatan Militer yang disahkan Kongres AS pada tahun 1973, presiden harus memberitahu Kongres dalam waktu 48 jam sebelum melakukan intervensi militer atau pengerahan pasukan.
Komandan Pasukan Quds Iran, Letjen Qasem Soleimani dan Wakil Komandan Hashd al-Shaabi Irak, Abu Mahdi al-Muhandis, gugur syahid dalam serangan udara yang dilancarkan oleh pasukan teroris AS di Bandara Internasional Baghdad, Irak pada Jumat lalu.
Rusia dan Turki Nyatakan Keprihatinan atas Aksi Teror AS
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dan mitranya dari Turki, Mevlut Cavusoglu, menyuarakan keprihatinan atas dampak tindakan terorisme AS yang menyebabkan komandan pasukan Quds Iran gugur syahid.
Seperti dikutip kantor berita IRIB, Minggu (5/01/2020), Lavrov dan Cavusoglu menyatakan keprihatinan mendalam tentang konsekuensi serius tindakan AS terhadap perdamaian dan stabilitas di wilayah Asia Barat (Timur Tengah).
Lavrov menekankan bahwa tindakan AS merupakan pelanggaran berat terhadap norma-norma hukum internasional dan tidak membantu mencapai tujuan perang melawan terorisme, yang diklaim oleh Washington.
Komandan Pasukan Quds Iran, Letnan Jenderal Qasem Soleimani memainkan peran besar dalam perang menumpas kelompok-kelompok Takfiri dan Daesh di Asia Barat.
Letjen Soleimani dan Wakil Komandan Hashd al-Shaabi Irak, Abu Mahdi al-Muhandis, gugur syahid dalam serangan udara yang dilancarkan oleh pasukan teroris AS di Bandara Internasional Baghdad, Irak pada Jumat lalu.
Warga AS Turun ke Jalan Memprotes Aksi Terorisme Trump
Para demonstran turun ke jalan di seluruh AS pada hari Sabtu (4/01/2020) untuk memprotes pembunuhan Letnan Jenderal Qasem Soleimani oleh pemerintahan Trump.
Aksi tersebut digelar di 70 kota Amerika termasuk Washington untuk menyuarakan penentangan mereka terhadap perang atas Iran dan Irak, serta menyerukan pembebasan Palestina dari cengkraman rezim Zionis.
Warga dan aktivis anti-perang di AS memprotes aksi teror terhadap para petinggi militer Iran oleh Gedung Putih. Mereka juga menentang intervensi militer dan sanksi terhadap Iran. Demikian dilaporkan kantor berita IRNA.
Demonstrasi ini dipelopori oleh kelompok Act Now to Stop War and End Racism, kelompok anti-perang, dan Code Pink.
Para demonstran menuntut penarikan pasukan AS dari Irak dan mendesak Trump tidak memicu ketegangan di kawasan. Rencananya aksi protes serupa juga akan digelar di Kanada.
Serangan militer AS di Bandara Internasional Baghdad, Irak pada lalu, menyebabkan 10 orang gugur syahid. Lima di antaranya termasuk Letjen Soleimani adalah warga Iran, dan lima lainnya termasuk Wakil Komandan Hashd al-Shaabi, Abu Mahdi al-Muhandis, berasal dari Irak.
Pasukan Koalisi AS Konfirmasi Serangan ke 2 Pangkalannya di Irak
Pasukan koalisi internasional anti-Daesh pimpinan Amerika Serikat mengkonfirmasi serangan ke 2 pangkalannya di Irak dan mengumumkan, serangan ini tidak menimbulkan korban jiwa.
Fars News (5/1/2020) mengutip Baghdad Post melaporkan, serangan ke 2 pangkalan yang menjadi markas pasukan koalisi pimpinan Amerika tidak menimbulkan korban tewas atau luka.
Pasukan koalisi Amerika mengabarkan, serangan rudal itu terjadi pukul 19.46 waktu Baghdad, namun tidak menimbulkan kerusakan pada fasilitas pangkalan.
Pada hari Sabtu (4/1) bersamaan dengan prosesi tasyi jenazah syuhada serangan udara Amerika hari Jumat (3/1), pangkalan udara Balad, 64 kilometer utara Baghdad dan selatan Provinsi Salahuddin, yang merupakan markas pasukan Amerika, dihantam beberapa rudal.
Trump: Iran Menyerang, AS Kirim Peralatan Perang Canggih ke Kawasan
Presiden Amerika Serikat mengatakan, jika Iran menyerang pangkalan kami, maka kami akan segera mengirim peralatan perang cantik dan mutakhir ke kawasan.
Fars News (5/1/2020) melaporkan, Donald Trump di laman Twitternya menulis, Amerika baru-baru ini mengeluarkan dana 3 triliun dolar untuk peralatan militer. Kami memiliki angkatan bersenjata dan peralata militer terbaik di dunia. Jika Iran menyerang salah satu pangkalan atau warga Amerika, maka kami akan mengirim sebagian peralatan militer canggih ini tanpa ragu.
Sebelumnya Trump mengatakan, Iran menyerang kami, lalu kami balas. Jika Iran menyerang lagi, yang sangat saya sarankan untuk tidak dilakukan, kami akan pukul Iran dengan pukulan yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya.
Presiden Iran mengancam akan menyerang 52 target di Iran jika negara ini membalas serangan udara di Baghdad, Irak yang menewaskan Komandan Pasukan Qods, Korps Garda Revolusi Islam Iran, IRGC hari Jumat (3/1) lalu.
Trump: Iran Menyerang, AS Kirim Peralatan Perang Canggih ke Kawasan
Presiden Amerika Serikat mengatakan, jika Iran menyerang pangkalan kami, maka kami akan segera mengirim peralatan perang cantik dan mutakhir ke kawasan.
Fars News (5/1/2020) melaporkan, Donald Trump di laman Twitternya menulis, Amerika baru-baru ini mengeluarkan dana 3 triliun dolar untuk peralatan militer. Kami memiliki angkatan bersenjata dan peralata militer terbaik di dunia. Jika Iran menyerang salah satu pangkalan atau warga Amerika, maka kami akan mengirim sebagian peralatan militer canggih ini tanpa ragu.
Sebelumnya Trump mengatakan, Iran menyerang kami, lalu kami balas. Jika Iran menyerang lagi, yang sangat saya sarankan untuk tidak dilakukan, kami akan pukul Iran dengan pukulan yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya.
Presiden Iran mengancam akan menyerang 52 target di Iran jika negara ini membalas serangan udara di Baghdad, Irak yang menewaskan Komandan Pasukan Qods, Korps Garda Revolusi Islam Iran, IRGC hari Jumat (3/1) lalu.
Ancaman baru Trump dan Ketakutan AS atas Balasan Iran
Kejahatan dan aksi ilegal Amerika meneror Komandan pasukan Quds IRGC, Letjen Qasem Soleimani dan Abu Mahdi al-Muhandis, wakil ketua Hashd al-Shaabi Irak bersama rombongan di Baghdad yang menuai respon keras Iran dan janji untuk membalas Amerika, telah membuat Presiden AS Donald Trump ketakutan.
Presiden Amerika Sabtu (04/01) yang ketakutan atas balasan keras Republik Islam Iran di pesan twitternya mengumbar ancaman terhadap Iran. Trump di cuitan terbarunya mengklaim, jika Iran menyerang kepentingan Amerika sebagai balasan atas teror terhadap Letjen Qasem Soleimani, Washington akan menarget sejumlah titik di Iran.
Syahid Soleimani
Trump menulis, "Kita membidik 52 titik dan target di Iran (sama dengan 52 sandera Amerika oleh Iran beberapa tahun lalu) di mana sejumlah target ini memiliki nilai tinggi bagi Iran dan budaya negara ini. Kita akan menyerang dengan cepat target tersebut. AS tidak lagi dapat mentolerir ancaman."
Trump sejatinya melalui ancamannya ini, yang juga mengancam akan menyerang dan menghancurkan situs bersejarah dan warisan budaya Iran, dengan transparan menunjukkan esensi arogan AS dan ketidakpedulian negara ini terhadap hukum serta prinsip internasional, khususnya ancaman terang-terangan menyerang situs budaya dan bersejarah Iran. Padahal hal ini dilarang oleh hukum internasional.
Ketika AS melakukan kejahatan berat meneror Syahid Soleimani dan melanggar hukum internasional, kini tanpa malu-malu meminta Iran menyudahi kasus ini. Balasan tegas Tehran atas permintaan Amerika ini dengan balasan pasti dan keras terhadap Washington telah membuat Trump ketakutan.
Mengingat kegagalan langkah Trump untuk meredam kemarahan Iran, Trump untuk menutupi ketakutan atas balasan Tehran dan poros muqawama, tanpa malu-malu mengancam Iran yang menurut anggapannya langkah ini dapat menakut-nakuti Tehran.
Meski demikian Iran pasca kemenangan Revolusi Islam, selama 40 tahun lalu telah menunjukkan bahwa Tehran tidak pernah takut dengan ancaman Washington dan senantiasa memberi balasan tegas atas kejahatan Amerika di kawasan.
Brigjen Hossein Salami, komandan IRGC hari Sabtu (04/01) saat merespon aksi teroris Amerika meneror Letjen Qasem Soleimani memperingatkan, "Teror terhadap Syahid Soleimani akan memicu balasan strategis di mana kehadiran pasukan AS di kawasan akan berakhir."
Masalah lain adalah sikap dan langkah Trump bahkan membuat DPR negara ini sangat khawatir dan rival politik presiden AS juga memperingatkan secara serius dampak kebijakan tak bijaksana Trump terhadap Iran.
Nancy Pelosi
Ketua DPR AS Nancy Pelosi Ahad (05/01) dini hari di statemennya menyatakan bahwa langkah militer dan provokatif pemerintah Trump membahayakan militer dan diplomat negara ini. Pelosi saat merespon pengumuman resmi Gedung Putih kepada Kongres terkait serangan udara terbaru AS di Baghdad yang menggugurkan Syahid Soleimani dan Abu Mahdi al-Muhandis, menilai laporan ini memicu banyak pertanyaan segera dan serius terkait penjadwalan, metode dan justifikasi keputusan pemerintah Trump melakukan aksi permusuhan terhadap Iran.
Pelosi seraya mengkritik keras langkah militer yang dilakukan tanpa ijin dan pemperitahuan kepada Kongres, menilainya sebagai pemicu ancaman terhadap warga Amerika dan ketidakpastian keamanan mereka.
Kebijakan dan langkah serta sikap Trump juga membuat pengamat AS kebingungan dan frustasi. Mereka bahkan tidak tahan terhadap statemen seperti ini. Barbara Slavin, jurnalis senior Amerika dan anggota Dewan Atlantik di akun twitternya menulis, "Saya tidak lagi follow Trump di twitter, Saya benar-benar tidak lagi dapat mentolerirnya. Namun cuitan Trump terkait penghancuran warisan budaya dan bersejarah Irah sepenuhnya tidak dapat diterima. Apa sebenarnya tujuan AS? Pada dasarnya apakah mereka punya kebijakan? Atau hal ini hanya dipicu oleh kesombongan satu orang? "
Isyarat Slavin atas masalah ini apakah langkah pemerintah Trump terhadap Iran didasari oleh sebuah kebijakan yang koheren atau sekedar dipicu oleh keputusan mendadak presiden Amerika, mengindikasikan bahwa sejatinya Trump tidak memiliki wawasan yang benar terkait Iran dan rakyat negara tersebut. Tak hanya itu, Trump juga tidak memiliki pengetahuan yang benar akan pengaruh regional dan kemampuan defensif serta ofensif Iran.