
کمالوندی
Persatuan Umat Islam dalam Perspektif Ayatullah Khamenei
Konferensi Internasional Persatuan Islam ke-33 digelar di Tehran, ibu kota Republik Islam Iran, yang dimulai sejak hari Kamis, tanggal 23-25 Aban 1398 HS bertepatan dengan 14-16 November 2019. Konferensi tahunan yang diprakarsai Republik Islam Iran ini mengusung tema "Persatuan Umat Islam untuk Membela Masjid al-Aqsa". Konferensi ini dihadiri ulama, tokoh politik, cendekiawan dan akademisi dari 90 negara dunia.
Konferensi Internasional Persatuan Islam ke-33 diselenggarakan bersamaan dengan kelahiran Rasulullah Saw dan cucunya, Imam Shadiq as, sekaligus peringatan Pekan Persatuan dengan tema "Persatuan Umat Islam untuk Membela Masjid al-Aqsa" yang dihadiri ulama, tokoh politik, cendekiawan dan akademisi dari 90 negara.
Pada hari Jumat, 15 November 2019, para peserta konferensi bertemu dengan Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar Ayatullah al-Udzma Said Ali Khamenei dan selain itu ada sejumlah acara lain seperti kembali menyatakan komitmen dengan pendiri Republik Islam Iran, Imam Khomeini ra, pemberian penghargaan kepada para tokoh di bidang pendekatan antarmazhab, peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw dan pameran karya-karya seni pendekatan antarmazhab termasuk sebagian dari kegiatan Konferensi Internasional Persatuan Islam ke-33. Dalam acara penting internasional ini, sekitar 400 ilmuan dari 90 negara yang berpartisipasi dalam konferensi yang membahas itu-isu penting dunia Islam, terutama Palestina.
Islam sangat menekankan solidaritas dan persatuan dari para pengikutnya. Dari satu sisi, al-Quran menyeru mereka untuk berpegang teguh dengan tali hidayah ilahi dan menyampaikan panggilan "Wa'tashimuu Bihablillahi Jami'an", di sisi lain melarang umat Islam mencerai-beraikan tali cinta dan kasih sayang di antara mereka dan berfirman, "Wa Laa Tafarraquu", jangan berpisah menjadi berpuak-puak. Berdasarkan firman Allah ini, keberlangsungan agama tidak dapat dirusak dengan perselisihan, dan hanya persatuan yang dapat menyampaikan umat Islam di dunia ke tujuannya.
Acara Konferensi Internasional Persatuan Islam ke-33 dibuka dengan pidato Hassan Rouhani, Presiden Republik Islam Iran yang diselenggarakan di Gedung KTT Tehran. Presiden Rouhani dalam acara ini menekankan bahwa salah bila kita menjadikan musuh sebagai teman. Rouhani mengatakan, "Generasi muda harus memahami bahwa Amerika Serikat tidak pernah menjadi sahabat bangsa-bangsa kawasan dan umat Islam. Sementara masalah regional harus diselesaikan oleh rakyat dan negara-negara kawasan. Karena pihak lain tidak dapat menyelesaikan masalah ini, bahkan mereka selalu memunculkan masalah."
Sekjen Forum Internasional Pendekatan Antar-Mazhab Islam, Ayatullah Mohsen Araki menjadi salah satu pembicara kunci konferensi ini. Ayatullah Araki di awal pembicaraannya menyampaikan rasa terima kasih kepada Pemimpin Besar Revolusi Islam sebagai pribadi yang mengibarkan bendera pendekatan dan persatuan, kemudian menyampaikan terima kasih kepada presiden Iran yang hadir dalam acara ini lalu mengatakan, "Hari ini, poros Muqawama semakin kuat dibandingkan waktu sebelumnya dan telah benar-benar memberikan kekuatan kepada poros ini di seluruh kawasan. Salah satu warisan dari kemenangan front Muqawama adalah semakin meluasnya pesan persatuan di dunia Islam dan semakin tersisihnya kelompok Takfiri. Hari ini, dengan penuh kegembiraan kita mengumumkan bahwa wacana persatuan telah mendominasi dan lebih populer di seluruh dunia Islam."
Sheikh Isa Qasim, Pemimpin Syiah Bahrain menjadi pembicara berikutnya dalam konferensi ini. Sheik Isa Qasim mengatakan, "Kembali pada persatuan kita. Ketika kalian kembali pada persatuan, seluruh dunia akan hidup, kalau tidak, bumi akan mati dan kehidupan seperti di lembah. Umat Islam hari ini sedang menghadapi ujian berat dalam agamanya dan menghadapi ujian yang terus-menerus. Sikap umat Islam terkait masalah Palestina dan Masjid al-Aqsa adalah ujian berat yang dapat mengembalikan umat ini pada perpecahan atau persatuan Islam."
Konferensi Internasional Persatuan Islam Ke-33
Di sela-sela penyelenggaran konferensi persatuan, para cendekiawan dan ulama dunia Islam melakukan pertemuan dengan Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran. Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei dalam pertemuan ini menyampaikan selamat atas kelahiran Nabi Muhammad Saw dan Imam Jakfar Shadiq as, dan setelah itu menyebut Nabi Muhammad Saw sebagai "Manifestasi al-Quran", "Makhluk Allah terbaik dan paling agung" dan "Cahaya, wasilah kehidupan dan penerangan masyarakat manusia".
Rahbar mengatakan, "Keberadaan suci Nabi Muhammad Saw benar-benar adalah puncak alam keberadaan dan titik terbaik dunia. Al-Quran menyebut dirinya sebagai "cahaya". Dalam al-Quran ada ungkapan tentang al-Quran sendiri dan itu adalah "cahaya". Qad Jaakum Minallah Nuurun wa Kitaabun Mubiin. Al-Quran adalah cahaya. Dikutip dari istri Nabi Saw bahwa ada yang bertanya tentang Nabi Saw, ia menjawab, "Akhlaknya adalah al-Quran. Artinya, "Manifestasi al-Quran". Dengan demikian, Nabi Saw juga adalah cahaya. Karena cahaya adalah alat untuk menerangi dan alat untuk kehidupan manusia, maka Nabi Muhammad Saw adalah alat penerangan dan kehidupan masyarakat manusia."
Dengan mencermati perubahan yang terjadi di tengah masyarakat Islam hingga kini, sejauh itu umat Islam menjauh dari prinsip-prinsipnya, mereka terjebak perselisihan dan perpecahan. Dan ketika semakin menjauh dari prinsip dan keyakinannya, akan mengalami kemunduran dan pada waktu itu, karena mereka seperti satu tubuh yang saling berhubungan dan membentuk barisan yang kokoh di balik keyakinan dasar bersama, maka seukuran itu pula mereka meraih kemuliaan dan kekuatan. Hal ini membuat masalah urgensi persatuan semakin serius.
Ayatullah Khamenei dalam pertemuan ini menilai sebab berbagai musibah yang menimpa Dunia Islam, khususnya kondisi yang menyedihkan Palestina adalah kelemahan persatuan Islam. Rahbar menekankan bahwa terhapusnya Israel berarti terhapusnya rezim buatan Zionis, dan berkuasanya pemerintahan terpilih para pemilik asli Palestina baik dari Islam, Kristen maupun Yahudi.
Rahbar mengatakan, "Para musuh Islam, yang dipimpin Amerika Serikat menentang prinsip agama Islam dan semua negara Muslim. Senjata utama mereka di kawasan adalah infiltrasi di pusat-pusat sensitif dan pusat pengambilan keputusan, menciptakan perpecahan di antara bangsa-bangsa, dan mengajukan opsi menyerah di hadapan Amerika sebagai solusi masalah. Jalan keluar untuk menghadapi konspirasi ini adalah penyadaran dan perlawanan di jalan kebenaran."
Menurut pandangan Islam, membela umat Islam yang tertindas termasuk rakyat Palestina merupakan kewajiban setiap umat Islam dan kewajiban ini tidak terbatas pada etnis dan bangsa tertentu. Dengan demikian, semua negara dan bangsa Islam harus berpartisipasi aktif dalam melawan rezim Zionis Israel. Ayatullah Khamenei menilai musibah-musibah yang menimpa Dunia Islam termasuk pendudukan Palestina dan perang berdarah di Yaman, Asia Barat dan Afrika Utara diakibatkan oleh tidak adanya komitmen atas prinsip menghindari konflik, dan tidak adanya persatuan melawan musuh bersama. Menurut Rahbar, "Hari ini musibah terbesar Dunia Islam adalah pendudukan Palestina, sebuah bangsa yang terasing dari rumah dan tanah airnya sendiri."
Pemimpin Revolusi Islam menyinggung sikap jelas Imam Khomeini ra sejak awal kebangkita Islam dalam mengumumkan bahaya penyusupan, intervensi dan kezaliman Zionis menyampaikan sikap Republik Islam Iran dalam masalah Palestina sebagai sikap tegas dan prinsip. Rahbar mengatakan, "Sejak awal Revolusi Islam hingga hari ini kami tetap dengan sikap ini. Yakni, tanpa ada pertimbangan dan basa-basi telah membantu Palestina dan rakyat Palestina dan akan tetap membantu. Menurut kami ini adalah kewajiban semua dunia Islam." Rahbar menyebut masalah "hapus Israel" berarti penghancuran "rezim Zionis yang dipaksakan" dan rakyat Palestina baik Muslim, Kristen maupun Yahudi yang merupakan pemilik asli tanah air mereka, harus bisa memilih pemerintahannya sendiri, dan pihak asing, perusuh serta pengacau seperti Benjamin Netanyahu harus diusir, sehingga bangsa Palestina bisa mengelola negaranya sendiri, dan ini akan segera terwujud."
Ayatullah Khamenei menyebut kehadiran Amerika di kawasan menciptakan keburukan, kerusakan, kekacauan dan terbentuknya kelompok-kelompok seperti Daesh (ISIS). Seraya menekankan pentingnya bangsa-bangsa Muslim di kawasan untuk mengetahui wajah asli dan munafik Amerika, Rahbar mengatakan, "Senjata utama mereka di kawasan adalah infiltrasi di pusat-pusat sensitif dan pusat pengambilan keputusan, menciptakan perpecahan di antara bangsa-bangsa, dan mengajukan opsi menyerah di hadapan Amerika sebagai solusi masalah. Jalan keluar untuk menghadapi konspirasi ini adalah penyadaran dan perlawanan di jalan kebenaran."
Sayid Ibrahim Raisi, Ketua Mahkamah Agung menjadi pembicara kunci dalam penutupan Konferensi Internasional Persatuan Islam ke-33. Dalam Pidatonya, Sayid Raisi mengatakan bahwa konferensi ini berhasil diselenggarakan di balik perhatian Rasulullah Saw dan Imam Shadiq as. Menurutnya, "Kami berharap isu-isu yang telah dibahas benar-benar menjadi sumber berkah bagi dunia Islam dan persatuan di antara umat Islam."
Sementara Ayatullah Araki juga mengisyarakatkan pelaksanakan berbagai program di periode konferensi persatuan Islam kali ini dan menyebut mereka yang hadir dalam konferensi ini menunjukkan perhatian serius umat Islam dari segala penjuru dunia akan masalah persatuan Islam dan pembentukan umat yang satu.
Setahun Gerakan Protes Rompi Kuning
Gerakan protes melawan kapitalisme di Prancis dan kebijakan pemerintah Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang dikenal sebagai "Gerakan Jaket Kuning", memasuki satu tahun, yang meletus sejak 17 November 2018.
Meskipun pemicu awal gerakan protes ini adalah kebijakan baru pemerintah Perancis tentang bahan bakar, tapi langkah ini secara bertahap berubah menjadi gerakan melawan kebijakan pemerintahan Macron menyusul ketidakpeduliannya terhadap tuntutan rakyat Prancis.
Macron dan jajaran kabinetnya mengira gerakan rompi kuning hanyalah aksi protes berumur pendek, jadi mereka tidak terlalu memperdulikannya sejak awal kemunculan. Namun seiring berjalannya waktu, gerakan itu berubah menajdi bola salju yang mengelinding terus membesar menjadi protes meluas melawan sistem kapitalisme yang tidak adil dan menimbulkan kesenjangan kelas yang semakin menganga.
Pemerintah Prancis harus mundur selangkah demi selangkah menghadapi gerakan massa ini. Kelanjutan gerakan ini menunjukkan bahwa penyebab pembentukannya jauh lebih dalam dan lebih gigih daripada sekadar menyuarakan sejumlah tuntutan. Alexandre Beauvais Chiva, juru bicara aksi rompi kuning pada Desember 2018, mengatakan, "Sejak Macron berkuasa, dia telah menghina rakyat Prancis dan belum mendengarkan tuntutannya. Kami ingin dilihat dan suara kami ingin didengar,".
Gerakan rompi kuning meletus pada November 2018 untuk memprotes kenaikan biaya pajak bahan bakar di bawah kebijakan pemerintah Macron tentang perubahan pola konsumsi bahan bakar. Mereka mengenakan rompi kuning sebagai simbol persatuan, dan sejak saat itu gerakan protes tersebut disebut sebagai gerakan rompi kuning.
Jumlah pengunjuk rasa di minggu pertama protes pada hari Sabtu, 17 November 2018 diperkirakan sekitar 282 ribu orang. Kemudian protes yang terjadi setiap hari Sabtu di Paris dan kota-kota kecil dan besar di Prancis, meluas dari tuntutan pemotongan pajak menjadi pengunduran diri Macron. Bahkan akhir Republik Kelima diumumkan.
Presiden Prancis menarik diri dari reformasi ekonomi yang diusulkan pemerintah, termasuk rencana untuk menaikkan pajak bahan bakar, dan menambahkan € 100 sebulan untuk upah minimum di negara itu. Namun, langkah-langkah ini justru meningkatkan tuntutan pemrotes.
Gerakan rompi kuning memiliki spektrum yang luas dari berbagai kelas sosial seperti pelajar, mahasiswa, perawat, karyawan, pekerja, sopir truk, guru, pelayan, imigran dan sebagainya. Orang-orang ini tidak saling kenal sebelum gerakan dimulai. Mereka tidak memiliki kesamaan kecuali tuntutan ekonomi.
Menurut statistik baru dari Kementerian Kehakiman Prancis, polisi sejak itu telah menangkap lebih dari 10.000 pendukung gerakan rompi kuning dan pengadilan Prancis telah mengeluarkan lebih dari 3.000 vonis pengadilan terhadap anggota gerakan protes tersebut. Mereka dituduh berpartisipasi dalam "kerusuhan massal" dan "menyerang penegak hukum". sebanyak 400 orang dijatuhi hukuman penjara.
Banyak dari mereka yang ditangkap telah dijatuhi hukuman layanan sosial wajib. Selama setahun terakhir, 52 orang tewas dan 10.790 lainnya terluka dalam protes di Prancis. Menurut jajak pendapat Elable yang dirilis Rabu, 13 November, 55 persen orang Prancis mendukung atau bersimpati dengan gerakan ini, tetapi 63 persen tidak ingin gerakan protes berlanjut.
Gerakan rompi kuning terus berkembang meskipun terjadi pasang surut, dan menjadi tantangan kronis bagi Macron. Kebijakan ekonomi Macron, terutama di bidang bahan bakar dan isu-isu lingkungan yang mengarah pada pembentukan rompi kuning, kini telah menjadi subjek demonstrasi anti-kapitalis, dan terus terjadi di berbagai kota di Prancis. Meskipun tidak memiliki struktur pemimpin yang jelas, tapi gerakan protes ini oleh beberapa ahli disebut sebagai salah satu gerakan anti-kapitalis terbesar di Perancis. Beberapa analis percaya bahwa kenaikan pajak bahan bakar hanyalah alasan untuk melancarkan protes populer yang meluas sebagai tanggapan terhadap situasi ekonomi Perancis yang memburuk sekaligus penentangan terhadap aturan kapitalis di negara itu.
Protes rompi kuning saat ini telah memasuki dimensi politik, sosial dan ekonomi. Pemimpin La France insoumise, Jean-Luc Mélenchon mengatakan, "Kini sudah terlambat untuk mendengar para pengunjuk rasa karena orang-orang telah hancurkan di bawah tekanan ekonomi,". Dalam dimensi politik, para pengunjuk rasa menuntut pengunduran diri pemerintah, dan bahkan Macron, dan dalam dimensi yang lebih luas muncul tuntutan perubahan politik radikal akibat kebijakan ekonomi Macron.
Dalam aspek sosial, protes ini dapat dilihat sebagai simbol protes rakyat Prancis terhadap tingginya kemiskinan di negara Eropa ini, terutama para korban yang terpinggirkan. Kelas pekerja dan kelas menengah di Prancis merasa frustrasi dan marah karena mereka kehilangan harapan untuk masa depannya. Mereka menyebut Macron sebagai presiden orang kaya. Dominique Moïsi, profesor politik Prancis mengatakan, gerakan itu adalah simbol keadaan darurat dan persatuan rakyat Prancis yang merujuk pada gerakan anti-kapitalisme di negara Eropa ini.
Di tengah meningkatnya kemiskinan, kebijakan pajak Macron terutama pajak bahan bakar, merupakan pukulan besar bagi rakyat negara ini. Pada saat yang sama, pergerakan rompi kuning dapat dianggap sebagai gerakan anti-euro. Mengingat bahwa menaikkan upah minimum adalah salah satu tuntutan dari rompi kuning, pemerintah Prancis tidak memiliki kendali atas nilai euro dan tidak dapat menanggapi secara positif tuntutan para pemrotes.
Tampaknya, gerakan rompi kuning akan terus bertahan, meskipun terjadi pasang surut. Gerakan protes anti-kapitalis ini, meskipun dimulai dengan dalih yang dipicu seruan media sosial di Prancis, tetapi kegigihan protes ini mencerminkan tuntutan yang sangat besar dari rakyat melawan ketidakefisienan kebijakan politik, ekonomi dan sosial pemerintah Macron dan sistem kapitalis di Eropa.
Protes rompi kuning yang meluas adalah manifestasi dari protes rakyat dan kemarahan mereka selama beberapa tahun terakhir. Sebagian analis percaya bahwa gerakan ini adalah cerminan dari masalah nyata yang melilit Prancis dan akan terus berlanjut selama masalah krisis yang tidak terlihat di permukaan Prancis belum diselesaikan.
Tahun Kedua Kemenangan Poros Perlawanan terhadap Daesh di Suriah
Pada 21 November 2017, Qasem Soleimani, komandan Brigade Quds Sepah Pasdaran Republik Islam Iran menulis surat kepada Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamanei mengenai kemenangan poros muqawama melawan kelompok teroris Daesh di Suriah. Tahun ini, menjadi peringatan kedua pengumuman kemenangan poros muqawama melawan kelompok teroris Daesh.
Suriah menghadapi protes anti-pemerintah pada 2011, yang berubah menjadi perang besar-besaran yang melibatkan milisi teroris yang datang dari berbagai negara dunia dengan intervensi poros Arab, Ibrani dan Barat. Kelompok-kelompok teroris yang sebelumnya telah hadir di negara-negara lain, terutama di Afghanistan dan Irak dikerahkan di Suriah, dan terjadi perekrutan anggota secara masif. Warga dari 80 negara ikut berperang melawan pemerintah Suriah. Kelompok teroris Daesh adalah salah satu kelompok penting yang secara aktif terlibat dalam perang dengan pemerintahan Bashar Assad.
Sejak invasi AS ke Irak dan jatuhnya Saddam Hussein tahun 2003, kelompok teroris ini telah ada selama lebih dari 15 tahun dengan nama yang berbeda-beda. Kemudian, di tahun 2014 berdiri dengan mengusung nama "Negara Islam Irak dan Sham" (Daesh atau ISIS) di bawah kepemimpinan Abu Bakar al-Baghdadi yang menyatakan diri sebagai khalifah.
Setelah menduduki daerah yang luas di Irak dan Suriah. kelompok teroris Daesh mendeklarasikan Raqqa di Suriah dan Mosul di Irak sebagai ibu kota kekhalifahannya. Daesh telah menciptakan teror dengan taktik merilis video pemenggalan sandera, tentara, dan eksekusi massal yang disebar di media sosial.
Dalam sebuah surat yang dilayangkan kepada Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Qasem Soleimani menggambarkan kelompok teroris Daesh sebagai "fitnah hitam" dengan berbagai kejahatannya. Dalam surat ini, ia menyebut kelompok teroris Daesh memenggal kepala anak-anak atau pria hidup-hidup dan membunuh keluarga mereka, menangkap gadis dan wanita tak berdosa serta memperkosanya, membakar mereka hidup-hidup dan membantai ratusan anak muda, menghancurkan ribuan masjid dan fasilitas publik seperti rumah sakit dan lainnya.
Komandan Pasukan Quds Iran juga menulis dalam surat itu, "Orang-orang Muslim di negara-negara ini (Suriah dan Irak), kaget menyaksikan badai beracun ini, dan sebagian dari mereka menjadi bagian dari kelompok penjahat Takfiri ini, dan jutaan orang meninggalkan rumah mereka untuk mengungsi ke kota dan negara lain.
Lebih dari 6.000 pemuda yang tertipu dengan slogan Daesh "membela Islam" bergabung dengan kelompok teroris ini dan menjadi pelaku pemboman bunuh diri untuk di alun-alun, masjid, sekolah, bahkan rumah sakit Muslim dan pusat-pusat layanan publik yang menewaskan puluhan ribu orang.
Menurut pengakuan salah seorang pejabat tinggi AS sendiri, semua kejahatan ini telah dirancang dan dieksekusi oleh para pemimpin dan organisasi yang berafiliasi dengan Amerika Serikat. Besarnya kejahatan Daesh di Irak dan Suriah sangat sangat parah menyebabkan Amnesty International mendefinisikan tindakan kelompok teroris ini sebagai "pembersihan etnis".
Tapi berkat perjuangan rakyat Irak dan Suriah bersama pemerintah dan gerakan muqama akhirnya sebagian besar kelompok teroris Daesh berhasil ditumpas. Pada 21 November 2017, akhir Daesh di Suriah diumumkan dengan selesainya Operasi Pembebasan di Al-Bukamal di perbatasan Suriah-Irak. Kerugian material akibat kehadiran kelompok teroris Daesh bagi Irak dan Suriah diperkirakan lebih dari $ 500 miliar.
Menurut pengakuan Presiden AS Donald Trump sendiri, Daesh adalah produk buatan Washington di wilayah Asia Barat. Faktanya, kelompok teroris Daesh diciptakan dalam jangka panjang sebagai organisasi teroris dari kawasan Asia Barat yang terbesar di dunia dengan dukungan intelektual, keuangan, politik dan militer dari Arab Saudi, Amerika Serikat dan Inggris.
Pendudukan sebagian besar tanah Suriah dan Irak oleh kelompok teroris Daesh bertujuan untuk menghilangkan gerakan perlawanan terhadap rezim Zionis. Namun, setelah kejahatan keji yang dilakukan oleh kelompok teroris ini, Amerika Serikat pada tahun 2014 membentuk apa yang disebutnya sebagai koalisi internasional untuk melawan ISIS, yang tidak berusaha menghancurkan kelompok teroris, tetapi hanya melemahkannya saja.
Berbeda dengan pendekatan pemerintah AS terhadap Daesh, Poros Perlawanan, termasuk Republik Islam Iran, Hizbullah, militer Suriah, dan kelompok-kelompok perlawanan lainnya bersama dengan Rusia, melancarkan aksi serius untuk menumpas Daesh dan membersihkan Suriah dan Irak dari kelompok teroris itu.
Hasil penting dari gerakan ini berhasil mencegah jatuhnya Baghdad dan Damaskus ke tangan kelompok teroris. Padahal, ahli strategi AS mengatakan, setelah Daesh menguasai Mosul akan membutuhkan lebih dari 30 tahun untuk mengeluarkan Mosul dari pendudukan kelomopok teroris ini.
Sementara Poros Perlawanan fokus pada penghancuran Daesh, ada banyak laporan yang menyebut koalisi internasional anti-ISIS yang dipimpin AS justru membantu kelompok teroris tersebut. Hanya beberapa hari sebelum pengumuman berakhirnya Daesh di Suriah, sumber-sumber berita melaporkan bahwa Washington meluncurkan gambar udara perbatasan Suriah dan Irak dan menyerahkannya ke Daesh. Media juga melaporkan bahwa pesawat pengintai Israel juga telah mengambil gambar al-Bukamal dan memberikan gambar-gambar ini kepada Daesh agar kelompok teroris itu melancarkan serangan balik.
Dengan berbagai pelanggaran yang dilakukan AS dan sekutunya, kehadiran kelompok teroris Daesh di Suriah diumumkan pada November 2017. Sumbu Perlawanan yang dipimpin oleh Republik Islam Iran berhasil membuktikan keberhasilannya mengalahkan kelompok teroris Daesh yang tidak memakan waktu 30 tahun.
Pada saat yang sama, Poris Perlawanan menunjukkan kemampuannya mengganggu permainan yang dirancang oleh AS dan sekutunya terhadap keamanan dan stabilitas politik Asia Barat. Tidak seperti "keamanan versi AS dan Barat yang diimpor dari luar, keamanan dalam definisi poros perlawanan mencegah terjadinya pengotak-kotakan negara kawasan menjadi negara lebih kecil, dan menjadi tidak terjadinya penyebaran ketidakaman maupun kekerasan di seluruh kawasan.
Tidak diragukan lagi, poros Arab, Ibrani dan Barat adalah pecundang utama dari keberhasilan strategis poros yang berhasil mengalahkan Daesh di Suriah, karena secara formal menghancurkan impian mereka untuk menggulingkan pemerintah yang berdaulat di Suriah.
Penumpasan Daesh di Suriah dan Irak telah membuktikan bahwa poros segitiga; Barat, Ibrani, dan terbukti mendukung teroris, tetapi lebih dari itu, sebagian besar kelompok teroris termasuk Daesh memang dibuat langsung oleh Barat terutama Amerika atau hasil dari kebijakannya di kawasan Asia Barat.
Mengenal Organisasi Basij Iran
Tanggal 5 Azar 1358 Hijriyah Syamsiah (26 November 1979), Bapak Pendiri Republik Islam Iran, Imam Khomeini ra mengeluarkan perintah pelatihan militer massal dan pembentukan tentara rakyat dengan kekuatan 20 juta orang.
Berbicara di hadapan pasukan Korps Garda Revolusi Islam Iran (Pasdaran) di Tehran, Imam Khomeini mengajak semua lapisan masyarakat bersatu dan memiliki kesiapan untuk menghadapi ancaman terhadap negara.
"Negara Islam semuanya harus militeris dan memiliki pelatihan militer… harus demikian di seluruh negara di mana setelah beberapa tahun memiliki 20 juta pemuda, memiliki 20 juta pemanggul senjata dan 20 juta tentara…," kata Imam Khomeini.
Sebuah asumsi keliru jika mengira Basij (Organisasi Basij Mustaz’afin) lahir karena perang yang dipaksakan atau Revolusi Islam. Basij adalah sebuah pemahaman yang baik kaum Muslim tentang persatuan, tekad, dan keikhlasan, yang lahir dengan munculnya Islam dan kemudian berkembang di tengah bangsa-bangsa Muslim.
Organisasi Basij Mustaz’afin adalah salah satu dari lima kekuatan Korps Pasdaran (Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Pasukan Quds, dan Basij). Basij bertugas merekrut dan mengorganisir sukarelawan rakyat yang sejalan dengan tujuan-tujuan organisasi.
Tentara relawan rakyat ini dikenal dengan sebutan Basij Mustaz’afin atau pasukan perlawanan Basij, yang dibentuk pada 5 Azar 1358 HS atas perintah Imam Khomeini. Basij diakui sebagai salah satu kekuatan melalui keputusan Parlemen Iran pada bulan Dey tahun 1359 HS dan berada di bawah Korps Pasdaran.
Anggota tentara relawan rakyat ini dipanggil basiji dan berdasarkan pasal 13 undang-undang perekrutan Korps Pasdaran, basiji adalah individu yang secara sukarela berada di bawah Pasdaran untuk mewujudkan tentara 20 juta personel.
Menurut pasal tersebut, anggota basiji dibagi menjadi tiga divisi Basij Biasa, Basij Aktif, dan Basij Khusus atau Pasdaran Kehormatan. Selama perang Iran dan Irak, anggota basiji dikirim secara sukarela dan terorganisir ke medan tempur.
Mengenai Organisasi Basij Mustaz’afin, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei mengatakan, "Jika kita ingin memperkenalkan Basij dalam sebuah definisi singkat, maka harus kita katakan, 'Basij adalah sebuah organisasi yang diisi oleh orang-orang yang bersih, yang paling rela berkorban, dan para pemuda yang paling siap mengabdi yang berkumpul untuk tujuan luhur bangsa ini dan untuk mengantarkan negara ini pada kebahagiaan…
Basij adalah kumpulan dari berbagai individu yang berada di bawah sebuah institusi yang besar dan kuat, sebuah kumpulan yang sadar, berkomitmen, arif, dan peduli terhadap persoalan negara dan kebutuhan bangsa.
Sebuah perkumpulan yang membuat musuh takut dan sahabat merasa optimis dan tenang. Sebenarnya, semua orang mukmin, sadar, arif, cinta, berkomitmen, dan menyukai pengabdian di setiap medan dari medan-medan yang membawa manfaat bagi bangsa, mereka adalah bagian dari basiji. Oleh karena itu, Basij adalah sebuah nama suci."
Masalah pelatihan rakyat muncul seiring pecahnya perang yang dipaksakan dan pada masa itu, Organisasi Basij mampu menyelesaikan berbagai persoalan negara. Masyarakat yang sudah terlatih juga diterjunkan ke medan perang secara berkelompok.
Organisasi Basij Mustaz’afin yang berada di bawah Korps Pasdaran, mengorganisir pengiriman masyarakat yang sudah terlatih ke medan perang selama delapan tahun agresi sepihak rezim Saddam Irak.
Imam Khomeini ra berulang kali memuji pengorbanan pasukan Basij, termasuk dalam memikul misi berat selama perang dengan musuh asing dan antek-antek mereka di dalam negeri. Ia menganggap negara berhutang budi kepada Basij. Ayatullah Khamenei menganggap Basij sebagai warisan Imam Khomeini yang paling besar, paling berharga, dan paling langgeng.
Sejak awal dibentuk, Basij mampu memainkan peran efektif dalam mendukung dan menjaga cita-cita Revolusi Islam. Sejak awal perang, organisasi ini memainkan peran efektif di medan tempur yang ditandai dengan kehadiran pasukan mereka di garis depan, hingga memberikan pengabdian yang luas kepada masyarakat.
Dalam menghadapi bencana alam, pasukan Basij menjadi tumpuan masyarakat dan andalan pemerintah, seperti pengabdian yang mereka berikan pada gempa bumi kota Rudbar 1990.
Kajian sejarah Iran dalam beberapa abad terakhir menunjukkan bahwa tidak ada gerakan rakyat dan perubahan yang terjadi tanpa kepemimpinan atau dukungan dari kalangan ulama. Salah satu tugas ulama adalah melawan penindasan dan memperjuangkan keadilan.
Basij juga merupakan institusi yang lahir dari rahim rakyat dan selalu menyaksikan kehadiran para ulama pejuang di tengahnya. Para ulama Basij mendedikasikan banyak martir selama masa perang. Hari ini mereka juga terlibat aktif di bidang ideologi, militer, politik dan lainnya.
Komposisi utama dari setiap masyarakat dibentuk oleh perempuan dan mereka memainkan peran besar di bidang pendidikan. Tidak berlebihan jika kita menganggap perempuan sebagai elemen pembentuk budaya di setiap bangsa. Islam menaruh perhatian khusus terhadap posisi perempuan dan menekankan partisipasi positif mereka di masyarakat.
Ideologi Basij juga berkembang dan tumbuh di tengah perempuan Iran. Mereka memiliki saham besar dalam kemenangan Revolusi Islam karena kehadirannya yang efektif dan kontribusi yang diberikan selama perang yang dipaksakan. Basij perempuan bertugas merekrut, melatih, dan mengorganisir kalangan perempuan di Iran. Selama ini, perempuan Basij telah memberikan kontribusi besar di bidang militer, bantuan sosial, ideologi, politik, dan literasi.
Pasukan Basij juga menerima pelatihan teknik penyelamatan dan metode untuk mengurangi dampak kerugian dalam menghadapi bencana alam. Saat ini, mereka selalu diterjunkan untuk membantu proses evakuasi dan penyelamatan masyarakat di setiap bencana alam.
Hari ini Iran menjadi salah satu negara yang mampu memberikan pertolongan tercepat di daerah bencana, karena pasukan Basij memiliki keahilan untuk melakukan itu dan terbukti sukses, seperti kegiatan-kegiatan mereka di bidang lain.
Intervensi Barat di Urusan Internal Iran
Barat pasca kemenangan Revolusi Islam di Iran dan pembentukan pemerintahan Republik Islam, senantiasa memilih pendekatan permusuhan terhadap Tehran. Sekaitan dengan ini, Barat berusaha menekan Republik Islam Iran dengan harapan mampu menumbangkan pemerintahan ini.
Upaya Barat tersebut direalisasikan mulai dari perang yang dipaksakan Iran-Irak, klaim palsu terkait program nuklir Iran serta berbagai sanksi dengan alasan ini.
Pelopor upaya anti Iran dari Barat adalah Amerika Serikat. Para presiden Amerika baik dari Republik maupun Demokrat, selama empat dekade lalu dengan berbagai kebijakan, berusaha melemahkan dan menumbangkan Republik Islam Iran. Namun upaya mereka sia-sia.
Kerusuhan terbaru di Iran dengan alasan kenaikan bensin meletus sejak hari Jumat (15 November 2019). Peristiwa ini menurut pandangan Barat khususnya Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa sama halnya dengan peluang untuk mengintervensi urusan internal Iran. Dalam hal ini mereka bukan saja secara terang-terangan mendukung para perusuh, tapi juga berusaha menekan Republik Islam untuk tidak melawan mereka.
Kerusuhan terbaru di Iran
Padahal berbagai bukti menunjukkan ada campur tangan Barat untuk memperluas aksi kerusuhan dan instabilitas di Iran serta kerusuhan ini diprogram sebelumnya. Besarnya aksi perusakan fasilitas publik di kerusuhan terbaru mengindikasikan bahwa kerusuhan tersebut bukan pekerjaan warga biasa, tapi hasil dari sebuah skenario yang telah dirancang sebelumnya.
Untuk menjelaskan kerusuhan di Iran, pertama-tama kita harus merujuk sikap Amerika dan kemudian sejumlah pemerintah Eropa serta tujuan mereka. Presiden AS, Donald Trump senantiasa menunjukkan sikap anti Iran dan menekankan kebijakan represi maksimum terhadap Tehran untuk memaksa Iran menerima keinginan Washington.
Trump menyalahgunakan setiap peluang untuk mengintervensi urusan internal dan mengumbar klaim mengasihani rakyat Iran. Sekaitan dengan ini, Gedung Putih, Ahad (17/11/2019) sore dalam statemen intervensifnya seraya mengulang klaim palsu anti Iran, mendukung segelintir perusuh yang melakukan aksi perusakan fasilitas publik dengan dalih kenaikan harga bensin di sejumlah kota Iran.
Di statemen Gedung Putih disebutkan, "Amerika Serikat mendukung rakyat dan protes damai anti pemeritah. Kami mengutuk pemanfaatan pasukan pembunuh dan pembatasan ketat terhadap demonstran." Sikap Gedung Putih ini juga mendapat dukungan dari Kementerian Luar Negeri AS. Brian Hook, utusan khusus AS untuk Iran Senin (18/11/2019) seraya mengulang klaim palsu anti Iran dalam sebuah statemen intervensifnya secara transparan menyatakan, Amerika sangat mendukung perusuh dan kerusuhan di Iran.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo yang negaranya memiliki berkas tebal intervensi di urusan internal Iran, Sabtu (16/11) malam di akun twitternya seraya menyinggung berbagai protes di sejumlah kota Iran akibat reformasi harga bensin mengklaim, Washington mendukung rakyat Iran. Sementara menurut pandangan Iran, pemerintah Trump tengah menyalahgunakan kondisi saat ini demi memajukan tujuan busuknya dan mereka tidak memiliki niat baik apapun terhadap warga Iran.
Mike Pompeo
Pemerintah Trump yang berulang kali menggulirkan beragam tudingan terhadap Iran, dalam hal ini ia mengekar pendekatan represi maksimum untuk memaksa Iran mengubah perilakunya dan memaksakan tuntutan ilegal Amerika dalam bentuk 12 tuntutan Mike Pompeo. Selain itu, ia mengklaim sangat mengasihani rakyat Iran.
Trump seraya mengumumkan keluarnya AS dari JCPOA dan memulihkan kembali sanksi nuklir terhadap Iran, secara praktis telah mengobarkan perang ekonomi dengan menciptakan kemiskinan luas dan instabilitas di Iran. Ia dan petinggi Amerika lainnya berulang kali berbicara mengenai pentingnya represi maksimum terhadap rakyat Iran dengan anggapan mampu membuat rakyat dan pemerintah Iran saling berhadapan dalam koridor kebijakan pemiskinan dan pemberontakan.
Hal ini menunjukkan kedengkian besar Trump terhadap bangsa Iran karena kegagalannya menundukkan rakyat Iran melalui upayanya mengalahkan Republik Islam Iran. Amerika secara langsung berusaha mengkoordinir kerusuhan di Iran dan mengarahkannya. Dalam hal ini, Direktur eksekutif institut Ron Paul, Daniel McAdams mengungkapkan, Dinas Rahasia AS (CIA) berperan dalam aksi kerusuhan terbaru di Iran.
Daniel McAdams Selasa (19/11) dalam wawancaranya dengan televisi Russia to day (RT) terkait instabilitas dan kerusuhan terbaru di Iran mengatakan, transformasi terbaru Iran bukan sekedar protes kenaikan harga bensin, tapi sebuah kerusuhan yang dikobarkan melalui anasir Amerika di Iran serta mengikuti teladan CIA.
Ia mencontohkan kelompok MKO sebagai anasir AS dan mengatakan, bentuk kerusuhan seperti ini mayoritasnya hasil dari kinerja CIA yang dilancarkan oleh pemerintahan Donald Trump dan sejak tahun lalu tanggung jawabnya diserahkan kepada Michael D'Andrea, salah satu perwira tinggi CIA yang juga dikenal dengan julukan Ayatollah Mike.
Daniel McAdams
Koran New York Times dalam laporannya yang mendapat respon besar, menguak rencana yang dipimpin D'Andrea di CIA untuk mengobarkan kerusuhan dan instabilitas di Iran yang didukung oleh Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA). Model dan esensi kerusuhan terbaru di Iran serta laporan dan statemen petinggi Amerika selama beberapa pekan terakhir menunjukkan bahwa AS sebelum meletusnya protes di Iran telah melakukan banyak persiapan.
Salah satu anggota Demokrat beberapa hari setelah meletusnya kerusuhan di Iran mengklaim, "Protes di seluruh Iran menunjukkan bahwa kepemimpinan ulama di Iran mulai runtuh dan Iran membutuhkan kebebasan lebih besar." Sementara Koran Haaretz Israel sebelumnya mengutip berbagai sumber resmi AS menulis, "Anggota DPR Amerika meyakini bahwa saat ini merupakan kesempatan langka untuk menjatuhkan pemerintahan Iran."
Pusat Studi Keamanan Internasional di bawah pengawasan pemerintah AS merilis laporan detail mengenai kerusuhan dan protes di Iran dan laporan ini menunjukkan bahwa Amerika senantiasa menyusun program bagi transformasi internal Iran.
Amerika di kerusuhan tahun 2018 di sejumlah wilayah Iran juga ingin menumbangkan pemerintahan Republik Islam dan Trump serta petinggi Washington lainnya mempertebal tekadnya untuk menekan Tehran. Protes dua tahun lalu merupakan salah satu faktor berpengaruh bagi keluarnya AS dari JCPOA dan penerapan kembali sanksi baru demi menekan lebih keras Tehran.
Richard Grenell, duta besar Amerika di Jerman pada 19 November 2019 di akun twitternya menulis, "Kami mendengarlam suara rakyat Iran. Kami menyadari kesulitan yang ada, namun saat ini kami tidak dapat merilis perincian lebih besar atas apa yang telah kami lakukan hingga kini."
Sejumlah negara Eropa seperti Jerman dan Perancis secara terang-terangan juga mendukung kerusuhan terbaru di Iran dan menuntut represi lebih keras terhadap Republik Islam Iran. Ini menunjukkan bahwa Eropa meski mengklaim menentang pandangan Amerika di isu kesepakatan nuklir (JCPOA) dan menekankan untuk menjaga kesepakatan ini demi kepentingan pribadi mereka, namun mereka satu suara dengan Amerika di pendekatan anti Iran dan upaya untuk melemahkan dan menumbangkan pemerintah Tehran.
Departemen Luar Negeri Perancis 18 November 2019 dalam sebuah statemen intervensif mengklaim pentingnya menghormati kebebasan berpendapat dan hak protes damai di Iran. Ini merupakan respon pertama Perancis atas transformasi dan kerusuhan terbaru di Iran yang dilakukan melalui statemen intervensif.
Perancis dan Jerman Dukung Kerusuhan di Iran
Seruan Deplu Perancis atas protes damai di Iran dirilis ketika hanya beberapa hari lalu, aksi demi rompi kuning di Perancis berujung pada kekerasan atas campur tangan aparat keamanan.
Sementara pemerintah Jerman saat merespon transformasi terbaru di Iran dalam sebuah statemen intervensifnya menuntut perhatian terhadap tuntutan demonstran. Jubir Angela Merkel 18 November dalam sebuah statemen intervensifnya meminta Iran supaya apa yang diklaim sebagai protes legal di Iran dihormati dan tuntutannya dipenuhi. Ia mengatakan, ketika warga mengungkapkan ketidakpuasannya atas kondisi ekonomi dan politik, seperti apa yang terjadi di Iran saat ini, harus dihormati. Lebih lanjut ia meminta pemerintah Iran membalas dengan tepat tuntutan ini melalui pendekatan dialog.
Kesamaan sikap AS dan Eropa terkait kerusuhan terbaru di Iran menunjukkan bahwa meski pemerintah Trump memainkan peran polisi buruk dan trioka Eropa serta Uni Eropa memainkan peran polisi baik terkait Iran, namun karena esensi permusuhan dengan Iran pada akhirnya mereka memiliki tujuan sama, yakni berusaha menumbangkan pemerintahan Republik Islam Iran.
Amerika menganggap bahwa dengan perang syaraf dan aksi-aksi penumbangan yang disertai dengan represi ekonomi terhadap Iran, mereka dapat memaksa Tehran menyerah terhadap tuntutannya. Pendekatan Amerika ini berarti intervensi di urusan internal Iran, sebuah langkah yang sepenuhnya ilegal menurut hukum internasional dan piagam PBB.
Pada dasarnya pendekatan AS terhadap Iran sekedar bertumpu pada ancaman, kekerasan dan pemaksaaan. Sementara pendekatan Eropa lebih halus melalui upaya diplomatik dan menolak menjalankan komitmennya di JCPOA.
Rakyat Iran Kecam Kerusuhan di negaranya
Meski demikian Iran selama empat puluh tahun senantiasa melawan kebijakan dan langkah-langkah Barat pimpinan Amerika dan secara praktis mematahkan konspirasi ini. Iran telah membuktikan bahwa mereka sukses melawan kebijakan permusuhan Barat.
Rakyat Iran berulang kali menunjukkan loyalitas mereka terhadap pemerintah Republik Islam dan tekad mereka melawan konspirasi Barat. Mengingat kejahatan besar Amerika dan sejumlah negara Eropa terhadap rakyat Iran, aksi penipuan dengan kedok solidaritas terhadap bangsa ini tidak mampu menipu bangsa Iran.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Sayid Abbas Mousavi seraya mengisyaratkan statemen intervensif Menlu AS, Mike Pompeo dalam mendukung perusuh mengatakan, rakyat terhormat Iran dengan baik menyadari bahwa statemen seperti ini tak lebih ungkapan bermuka dua dan menjijikkan serta tidak memiliki rasa solidaritas yang jujur.
Ketegangan Meningkat, AS Kirim Satu Skuadron F-35 ke UEA
Sejumlah media mengabarkan pengiriman satu sukadron jet tempur F-35 Amerika Serikat ke pangkalan udara Al Dhafra, Uni Emirat Arab sebagai kelanjutan manuver militer negara itu di kawasan Asia Barat.
Fars News (23/11/2019) mengutip harian Amerika Serikat, Standard-Examiner melaporkan, untuk kedua kalinya sepanjang tahun 2019, satu skuadron jet tempur F-35 Amerika dikerahkan dari pangkalan udara Hill, Utah untuk menjalankan tugas perang di Asia Barat.
Standard-Examiner menulis, atas alasan keamanan, Angkatan Udara Amerika mengumumkan berita ini setelah penarikan keluar skuadron lama.
Skuadron baru ini rencananya akan mendukung tugas komando pusat AU Amerika di kawasan Asia Barat.
Menurut surat kabar Amerika, beberapa minggu lalu, sebuah armada jet tempur dan teknisi pangkalan udara Hill, dipulangkan ke Amerika setelah bertugas selama 6 bulan di Asia Barat.
Kantor berita Sputnik terkait hal ini mengabarkan, di tengah meningkatnya ketegangan Iran dan Amerika, penguatan kehadiran militer Amerika di kawasan terus berlanjut, dan baru-baru ini Amerika juga mengirim 3000 tentara bersama sistem pertahanan udara ke Arab Saudi.
Pentagon: Kekuatan Rudal Iran Terbesar di Timur Tengah
Sebuah studi yang dilakukan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat yang diumumkan pada hari Selasa, 19 November 2019 menyebutkan bahwa Republik Islam Iran memiliki kekuatan rudal terbesar di kawasan Timur Tengah meskipun beberapa dekade disanksi oleh Gedung Putih.
"Iran memiliki program pengembangan rudal yang luas, dan ukuran dan kecanggihan pasukan misilnya terus tumbuh meskipun puluhan tahun upaya kontra-proliferasi ditujukan untuk mengekang kemajuannya," kata Badan Intelijen Pertahanan AS seperti dilansir Press TV.
Namun Departemen Pertahanan AS juga mengulang tuduhan tak berdasar bahwa program rudal Iran bukan untuk tujuan damai dan defensif.
"Iran telah mengandalkan rudal balistik sebagai kemampuan serangan jarak jauh untuk mencegah musuh-musuhnya di kawasan, khususnya Amerika Serikat, Israel dan Arab Saudi, dari menyerang negara itu," kata laporan tersebut.
Disebutkan pula bahwa Iran telah mengembangkan serangkaian rudal yang bisa menyerang pada jarak 2.000 km, yang mampu mencapai Tel Aviv atau Riyadh.
Sejak awal, pemerintah Iran telah berulang kali menegaskan bahwa program rudalnya tidak diproduksi untuk tujuan non-konvensional dan hanya dimaksudkan sebagai bagian dari kemampuan pencegahan.
AS meningkatkan tekanan terhadap Iran sejak tahun lalu setelah menarik diri secara sepihak dari perjanjian nuklir JCPOA (Rencana Aksi Komprehensif Bersama) yang disepakati pada 2015.
Sejak itu, pemerintahan Presiden AS Donald Trump berusaha mengurangi ekspor minyak Iran hingga ke angka nol, dan mengirim kapal-kapal induk dan kapal perang serta penambahan sekitar 1.500 pasukan ke kawasan untuk menangkal apa yang mereka sebut sebagai ancaman dari Iran.
Iran telah menolak langkah-langkah seperti perang psikologis, dan menegaskan bahwa Tehran memiliki cara sendiri untuk menghadapi permusuhan AS. Para pejabat Iran menegaskan bahwa pihaknya tidak menimbulkan ancaman bagi negara mana pun, tetapi akan mempertahankan diri jika diserang.
Pakistan Peringatkan Pencurian Data Whatsapp oleh Israel
Pemerintah Pakistan memperingatkan pencurian informasi pribadi dan lembaga negara itu melalui pesan media sosial Whatsapp.
IRNA (23/11/2019) melaporkan, peringatan tersebut disampaikan Kementerian Teknologi Informasi dan Telekomunikasi Pakistan pada hari Sabtu (23/11) setelah berita pencurian informasi akun-akun pengguna media sosial Whatsapp dari puluhan negara dunia termasuk Pakistan, oleh perusahaan rezim Zionis Israel, NSO, mencuat.
Kementerian Teknologi Informasi Pakistan menambahkan, agen intelijen musuh sudah menyiapkan program untuk menginfiltrasi akun-akun pribadi, dan informasi telepon genggam, dan dengan menggunakan virus bernama Pagasus mereka mencuri informasi dari telepon genggam sejumlah pejabat tinggi Pakistan.
Kementerian Teknologi Informasi Pakistan meminta para pejabat dan pegawai pemerintah negara itu untuk tidak membagikan informasi-informasi penting melalui jejaring media sosial Whatsapp.
Jenderal McKenzie: Ribuan Tentara AS tak Bisa Bendung Iran
Komandan US Central Command, CENTCOM di kawasan Asia Barat dalam sebuah wawancara mengakui bahwa pengiriman pasukan dan peralatan militer ke Asia Barat tetap tidak mampu menciptakan kekuatan pencegahan di hadapan Iran.
Fars News (23/11/2019) mengutip Foreign Policy melaporkan, Jenderal Kenneth McKenzie mengatakan, meski Amerika sudah mengirim ribuan tentara dan sejumlah banyak amunisi perang ke kawasan Asia Barat untuk menciptakan pencegahan di hadapan Iran, namun tetap gagal.
Situs Foreign Policy, Sabtu (23/11) dalam wawancara dengan McKenzie menulis, Pentagon sejak Mei 2019 telah mengirim 14.000 tentara tambahan, satu kapal induk dan puluhan ribu peralatan perang ke Timur Tengah untuk menghadapi apa yang disebutnya sebagai ancaman baru Iran.
Akan tetapi, imbuhnya, meski Amerika terus memperkuat kehadiran militernya di Timur Tengah, seorang jenderal senior negara ini percaya ancaman Iran terus meningkat, dan Tehran akan kembali memberikan pukulan.
Penentangan atas Dukungan AS terhadap Pembangunan Distrik Zionis
Dukungan penuh petinggi Gedung Putih terhadap kebijakan rezim Zionis Israel khususnya pelegalan sebagian proyek distrik Zionis di Tepi Barat Sungai Jordan bukan saja membangkitkan kemarahan publik dunia, tapi pengabaian hukum internasional yang menilai proyek ini melanggar hukum, telah memaksa sejumlah wakil Demokrat di DPR negara ini mengecam pelegalan kebijakan distrik Zionis oleh pemerintah Trump.
Sekaitan dengan ini, sebanyak 107 anggota Demokrat di DPR pada 22 November seraya menandatangani surat terbuka meminta Menlu Mike Pompeo meralat statemennya terkait dukungan terhadap pembangunan distrik Zionis di Tepi Barat dan Quds pendudukan.
Mike Pompeo 18 November lalu dalam sebuah pidatonya seraya menjelaskan bahwa Washington mengubah kebijakannya terkait pembangunan distrik Zionis di Tepi Barat dan mengklaim proyek ini dengan sendirinya tidak melanggar hukum internasional.
Statemen Pompoe dirilis ketika Dewan Keamanan PBB pada 23 Desember 2016 seraya meratifikasi resolusi 2334 meminta Israel segera dan secara total menghentikan seluruh proyek pembangunan distriknya di wilayah Palestina pendudukan.
Berdasarkan hukum internasional, seluruh distrik ini ilegal. Sementara itu, Israel seraya mengabaikan hukum internasional dan permintaan masyarakat dunia, terus melanjutkan pembangunan distrik Zionisnya di bumi Palestina pendudukan. Sejatinya petinggi Israel melalui proyek ini berusaha mengubah struktur geografi dan demografi wilayah Palestina dan memberi citra Zionis terhadap wilayah yang mereka duduki tersebut.
Meski Amerika selama bertahun-tahun mendukung kebijakan Israel dan berusaha memberi legalitas atas aksi-aksi di luar hukum dan anti kemanusiaan rezim ini, namun selama beberapa tahun terakhir, Presiden AS Donald Trump menjadikan dukungan tanpa syarat kepada Benjamin Netanyahu, perdana menteri Israel sebagai agenda kerjanya.
Contoh nyata dalam hal ini adalah relokasi kedubes Washington ke Quds pendudukan meski berbeda dengan sikap dunia internasional serta ancaman kepada negara-negara yang tidak tunduk pada instruksi Washington tersebut. Trump juga mengakui secara resmi aneksasi Dataran Tinggi Golan ke Israel. Kini Washington juga melegalkan pembangunan distrik Zionis di Tepi Barat, sebuah sikap yang juga melanggar hukum internasional.
AS dan Israel ketika melancarkan kebijakan setali tiga uang, di saat keduanya saat ini mengalami krisis internal yang lebih parah dari sebelumnya. Trump di Amerika kini menghadapi pemakzulan dan represi akibat tuntutan ini dan dari sisi lain, seiring dengan kian dekatnya pilpres 2020, ia membutuhkan dukungan Lobi Zionis di Amerika. Dengan demikian berbagai dukungan yang ditunjukkan Trump terhadap Israel juga dimaksudkan untuk meraih kepercayaan lebih besar dari Lobi Zionis.
Bernie Sanders, senator Amerika terkait hal ini mengatakan, distrik Zionis Israel ilegal dan Trump dengan sikapnya ini yang dimaksudkan untuk memuaskan pendukung ekstrimnya kembali membuat Amerika kian terkucil.
Sementara di Israel, posisi Benjamin Netanyahu semakin tidak stabil. Ia menghadapi beragam kesulitan politik dan dua kali gagal membentuk kabinet. Kini Netanyahu berperang bagi keberlangsungan politiknya. Ketua Partai Likud seraya mengkhawatirkan langkah Benny Gantz, Pemimpin Partai Blue and White membentuk kabinet, terus mengawasi rivalnya ini. Di kondisi seperti ini, perubahan sikap Amerika terkait pembangunan distrik Zionis di Tepi Barat sama halnya peluang besar bagi Netanyahu untuk memperbaiki citra politiknya.
Perdana Menteri Otorita Ramallah Mohammad Shtayyeh terkait hal ini mengatakan, sikap pemerintah Amerika ini sebuah upaya untuk meraih dukungan Benjamin Netanyahu di detik-detik akhir persaingannya untuk menduduki kembali posisi perdana menteri di Israel.
Upaya Washington untuk melegalkan pembangunan distrik Zionis bukan saja diprotes masyaakat internasional, tapi juga di dalam negeri Amerika, banyak menuai penentangan. Langkah ini juga sama halnya pengabaian penuh terhadap hukum internasional dan resolusi Dewan Keamanan PBB. Hal ini juga akan membuat Washington semakin terkucil di tingkat internasiol.