کمالوندی

کمالوندی

 

Hari Jilbab Sedunia, yang dimulai pada 2013 untuk mendorong perempuan dari semua agama dan latar belakang untuk mengenakan jilbab dalam mendukung perempuan Muslim, dirayakan pada Jumat.

Hari Jilbab Sedunia, yang dimulai pada 2013 untuk mendorong perempuan dari semua agama dan latar belakang untuk mengenakan jilbab dalam mendukung perempuan Muslim, dirayakan pada Jumat.

Pada 2017, Hari Hijab Sedunia menjadi organisasi nirlaba, dengan misi untuk memerangi diskriminasi terhadap perempuan Muslim melalui kesadaran dan pendidikan.

Menurut pernyataan dari LSM pendiri acara tahunan itu, moto untuk Hari Hijab Sedunia (WHD) 2019 adalah "Mematahkan Stereotip, Menghapuskan Batas" dengan mengusung tagar #FreeInHijab.

"#FreeInHijab adalah tagar yang sangat dibutuhkan untuk situasi global kita saat ini, di mana perempuan berjilbab diberi label oleh media sebagai kaum tertindas dan secara simbolis dipenjara," kata Nazma Khan kepada Anadolu Agency dalam wawancara eksklusif menjelang peluncuran kampanye.

Sementara itu, ribuan perempuan memakai hijab selama Bulan Suci Ramadhan untuk meningkatkan kesadaran mengenai penutup kepala buat perempuan dan mendidik orang mengenai memerangi Islamfobia, kata pendiri World Hijab Day Organization.

Dari Belarusia, Brazil, Kanada, Jerman, Malaysia, Selandia Baru, Inggris sampai AS dan di belahan lain dunia, perempuan ikut dalam Tantangan Ramadan kelompok tersebut untuk tahun kedua berturut-turut, kata Nazma Khan kepada Kantor Berita Turki, Anadolu.

"Dengan mengundang perempuan dari berbagai kepercayaan dan latar-belakang untuk memakai hijab, itu menormalkan hijab," katanya. "Jadi, itu tidak lagi menjadi sesuatu yang tetap 'tak diketahui' yang sebagian orang mungkin tak takut atau memandangnya sebagai ancaman."

Tapi sebagian perempuan telah sangat terinspirasi sehingga mereka telah menerima tantangan itu dan bahkan bertindak lebih jauh dan memutuskan untuk berpuasa selama 29 atau 30 hari sebagaimana diwajibkan dalam Agama Islam.

"Buat saya, ikut dalam tantangan memakai hijab selama 30 hari dan berpuasa adalah sebelum kita menilai seseorang kita harus memahami proses berpikir, tantangan dan pengalamannya," kata Duta Besar Hari Hijab Dunia Ashley Pearson kepada Anadolu yang dikutip Parstoday dari Antara, Senin (03/06).

"Saya ingin mempelajari bagaimana rasanya buat orang lain dan memahami apa yang mereka hadapi," kata Pearson, yang tinggal di Arkansas.

Pearson bahkan datang ke satu masjid lokal dan berteman. Ia bergabung dengan mereka selama berbuka puasa, atau iftar, dan menikmati mempelajari kebudayaan Islam.

"Saya puasa selama Tantangan Ramadan, dan sejauh ini saya kira itu baik buat saya," kata Pearson pada hari ke-15 Ramadan.

"Itu mungkin menjadi agak sulit, tapi itu dapat benar-benar mengajarkan kamu disiplin diri sendiri."

"Banyak perempuan mengeluh bahwa ini penindasan, tapi saya tidak setuju sepenuhnya. Saya memandang hijab sebagai kebebasan, pembebasan," kata Siobhan Welch.

"Saya memiliki kendali mengenai siapa yang memandang saya, berapa sering mereka melihat saya. Saya memiliki kekuasaan atas tubuh saya, bukan orang lain."

"Berhenti dan berpikir sebentar sebelum kamu menghakimi saya," kata perempuan yang berusia 47 tahun tersebut kepada Anadolu Agency. "Saya telah memakai hijab setiap hari selama lebih (dari empat) tahun sekarang. Ini bukan cuma perintah agama, sebab itu diharuskan oleh agama saya. Tapi saya merasa bahwa melakukannya memperlihatkan penghormatan, cinta, kerendahan hati di hadapan Tuhan."

Sania Rukhsar Zaheerudin, mahasiswi Muslimah medis yang berusia 25 tahun yang biasanya tidak memakai hijab, ikut dalam tantangan itu dan memandangnya dengan cara yang persis sama.

"Di dunia tempat Islamphobia ada, ini seperti alat kekuatan buat perempuan Muslimah. Ini membantu kita menjadi lebih yakin, memberi kita pendapat secara global, menghilangkan ketakutan tidak diterima di masyarakat," katanya.

"Perempuan Muslimah kadangkala diproyeksikan sebagai tertindas, tertekan dan direndahkan oleh dunia zaman modern. Dan karena konsep Islamphobia menyebar seperti kebakaran hutan, penting buat kita, perempuan Muslimah, merasa sama dengan yang lain," ia menambahkan.

 

Rasulullah Saw berkata kepada Imam Ali as, “Wahai Ali, Allah melaknat orangtua yang mengakibatkan anak mereka tidak taat pada mereka berdua dengan melaknat mereka.”

Pada suatu hari Rasulullah Saw bersama sekelompok sahabatnya melewati sebuah tempat, lalu beliau menyaksikan sekumpulan anak sedang bermain. Beliau menghentikan langkah. Sambil memperhatikan anak-anak yang sedang asyik bermain, Nabi bersabda, “Celakalah anak-anak akhir zaman lantaran ulah ayah-ayah mereka.”

“Apakah karena ayah-ayah mereka musyrik?” sahabat-sahabat bertanya.

“Tidak. Mereka ayah-ayah yang mukmin, namun tidak sedikitpun mengajarkan kewajiban-kewajiban kepada mereka. Apabila anak-anak mereka mempelajarinya, maka mereka melarangnya. Dan mereka lebih senang dengan harta benda dunia yang hanya sedikit.”

Kemudian Rasulullah Saw menampakkan kebencian dan ketidakrelaannya terhadap ayah-ayah semacam itu. Beliau bersabda, “Aku berlepas diri dari mereka, dan merekapun berlepas diri dariku.”(1)

Riwayat diatas berisi nubuat nabi tentang kondisi anak-anak di akhir zaman. Mayoritas ulama menyebutkan, masa kita sekarang ini termasuk akhir zaman. Jadi yang diceritakan nabi, adalah kondisi anak-anak kita. Riwayat diatas mengajak kita sebagai ayah untuk intropeksi diri dan banyak bercermin. Nabi menyebut anak-anak kita celaka, lantaran ulah kita sendiri. Kita vonis anak kita nakal, malah bisa jadi kita justru melakukan kenakalan yang lebih besar. Kita sebut anak kita bandel dan pembangkang, padahal bisa jadi memang kita tidak punya kelayakan untuk dipatuhi dan didengar. Kita tuntut anak-anak untuk memahami kita, tanpa berupaya untuk memahami anak lebih dulu. Sebelum mengeluhkan anak-anak kita, mari bertanya dulu, apakah sebagai ayah (maupun ibu), kita telah memenuhi hak-hak mereka sebagai anak?.

Kita beri mereka pendidikan, tapi justru fokus pada kepuasan diri kita sendiri. Tanpa mau tahu apa kemauan anak, kita stir mereka sesuai kehendak kita. Hobi, kesukaan dan minat mereka kita yang atur. Untuk disebut orangtua agamis dan saleh, kita tuntut anak kita bisa hafal Al-Qur’an, sementara diri kita sendiri jauh dari Al-Qur’an. Kita tuntut mereka berjama’ah di masjid, kita sendiri masih terlalu asyik untuk meninggalkan kesibukan kerja. Dengan perintah-perintah dan larangan yang kita buat, kita seolah telah melaksanakan kewajiban. Padahal yang dituntut adalah bagaimana memahamkan anak, sehingga melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya dengan penuh kesadaran. Malah, kita kadang begitu terburu-buru hendak memasukkannya ke lembaga pendidikan formal, hanya agar bisa sedikit bernapas lega dari kesumpekan melayani dan bermain dengan mereka. Dulu hanya ada TK (pra SD), sekarang sudah ada pra TK, Play group, tempat penitipan anak atau apapun namanya. Padahal memiliki anak bukan hanya berurusan bagaimana membesarkannya, namun yang lebih penting adalah bagaimana mempertanggungjawabkannya. Anak adalah amanah, ujian sekaligus sebagai lumbung pahala bagi orangtuanya. Nabi bersabda, “Orangtua yang menyenangkan hati anak-anaknya, akan disenangkan hatinya oleh Allah di akhirat nanti.” Sayang, kebanyakan kita malah menganggap anak itu adalah beban, bahkan sebelum mereka lahir. Tidak sedikit yang bilang, “Punya dua anak yang masih kecil-kecil, duh tidak kebayang repotnya. Hadapi sikecil yang sendiri saja repotnya bukan main. Sulit diatur…”

Banyak orang disebut orang tua hanya karena dia sudah punya anak, bukan lagi berbicara mengenai kematangan dan kedewasaan berpikir. Bukan lagi berbicara mengenai luapan kasih sayang, perhatian dan baluran pengharapan-pengharapan yang bijak. Kita menghindari memiliki banyak anak karena takut dililit dengan persoalan ekonomi yang makin sulit. Iran pun tidak terkecuali dalam hal ini. Slogan masyarakat yang populer, “Farzande kamtar, Zendeghi behtar“, semakin sedikit anak, kehidupan semakin lebih baik, ditantang banyak ulama.

Dalam ceramah-ceramah agama mereka, tidak luput mereka memesankan masalah ini. Bahwa khawatir miskin akan keberadaan anak adalah ciri-ciri masyarakat jahiliyah. Kalau masa jahiliyah dulu, mereka membunuh anak-anak mereka setelah lahir karena khawatir miskin, sekarang, anak-anak itu sudah dibunuh sebelum terlahir kedunia.

Ayatullah Ibrahim Amini, ulama besar Iran, ahli irfan dan tasawuf, sampai harus turun tangan. Beliau yang ulama besar, karena menganggap masalah ini sedemikian penting sampai harus pula menjadi ahli parenting dan konsultan masalah anak. Beliau tidak lagi hanya melayani konsultasi bagaimana menjadi ahli suluk, namun melayani pertanyaan bagaimana menghadapi anak. Ceramah-ceramahnya tidak hanya menjelaskan istilah-istilah irfan dan tasawuf yang rumit dan pelik namun menjelaskan juga bagaimana agar tidak salah mendidik anak. Buku-buku parentingnya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, disampul buku terjemahan itu kadang hanya ditulis Ibrahim Amini, kadang DR. Ibrahim Amini. Padahal beliau ulama besar yang termasuk dalam Majelis Khubregan, Dewan Ahli yang bertugas menjaga Wilayah Faqih dan juga penasehat ahli Lembaga Internasional Ahlul Bait yang beranggotakan 500 cendekiawan Islam yang tersebar di banyak negara. Beliau penulis buku Islam and Western Civilization yang didiskusikan dan dikaji di universitas-universitas Barat. Mengapa sekarang kesibukannya malah lebih banyak tersita melayani konsultasi pendidikan anak?. Karena besarnya masalah ini. Karena semakin banyaknya orangtua yang melalaikan pendidikan anaknya. Sebagaimana nubuat Nabi, banyak anak menjadi celaka karena orangtuanya.

Rasulullah Saw berkata kepada Imam Ali as, “Wahai Ali, Allah melaknat orangtua yang mengakibatkan anak mereka tidak taat pada mereka berdua dengan melaknat mereka.”(2)

Orangtua kita dulu, memeluk kita sambil memikirkan bagaimana kelak setelah dewasa dan mereka telah tiada, apakah kita masih menjalankan agama dengan baik, sekarang, kita juga mendekap anak kita, namun dengan kekhawatiran yang berbeda. Kita diliputi kecemasan jangan sampai karir kita terhambat karena kesibukan mengurusi mereka.

Kalau dulu, orangtua kita berdo’a demi kesuksesan kita dunia akherat, kita setelah menjadi orangtua, meminta anak agar mendo’akan kemulusan karier kita. Sebelum semuanya terlambat, sebagai pendidik pertama dan utama bagi tumbuh kembangnya anak-anak, sebagai orangtua mari menyadari pentingnya peran orangtua dalam pendidikan anak yang sedikit banyaknya akan berpengaruh kebahagiaan atau kesuraman masa depan mereka.

Wallahu ‘alam bishshawwab

[Ismail Amin, Presiden IPI Iran 2019-2021]

(1) [Jami’ul Akhbar, hal. 124]

(2) [Wasa’il Syiah, jilid 21, hal. 290]

Rabu, 06 November 2019 18:18

Mendoakan Indonesia dari Karbala

 

Hari-hari ini, jutaan umat Islam sedang melaksanakan perjalanan kaki dari kota Najaf menuju Karbala, tempat peristirahatan terakhir Imam Husein. Perayaan tersebut dikenal dengan Arba'in. Maknanya, 40 hari setelah dibunuh secara mengenaskan, lalu kepala cucu Nabi Muhammad SAW tersebut dipersatukan kembali dengan jasadnya.

Jabir bin Abdullah al-Anshari dikenal sebagai sosok yang pertama kali melakukan ziarah dari Madinah ke Karbala untuk memperingati 40 hari wafatnya Imam Husein. Lalu, tradisi tersebut dilestarikan oleh para pencinta dan pengikut Imam Husein dari berbagai penjuru dunia, bahkan dari berbagai agama untuk mengenang kepahlawanan dan perjuangan Imam Husein.

Dalam menghormati peringatan Arba'in, warga Irak yang dalam beberapa hari terakhir menggelar demonstrasi besar-besaran dalam rangka mengkritisi para elite politik yang korup di negeri seribu satu malam itu, sangat menghargai Imam Husein. Mereka menghentikan demo-demo untuk sementara waktu. Mereka sangat menjunjung tinggi Imam Husein.


Saya beruntung tahun ini dapat mengikuti perayaan Arba'in di Karbala, yang akan berlangsung pada 19 Oktober. Saya dan jutaan pencinta dan pengikut Imam Husein akan berjalan kaki sepanjang 80 km dari Najaf ke Karbala. Suasananya luar biasa, jutaan umat tenggelam dalam suasana magis, saling bahu-membahu, penuh keramahtamahan dan kasih sayang.

Kebetulan saya dan teman-teman dari Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) singgah pertama kali di rumah warga Irak, Nabil namanya. Kami tidak pernah kenal sebelumnya warga Irak ini, tetapi kami diterima layaknya keluarga yang sudah dekat dan kenal dalam waktu lama. Kami dijamu dengan menu masakan khas Irak, dan disediakan Indomie atau Sarimi yang sangat populer di Irak dalam beberapa tahun terakhir.

Bagi saya yang tumbuh dari tradisi NU, saya mengenal Imam Husein sejak masih menimba ilmu di pesantren. Saat mendengarkan kisah pembunuhan Imam Husein, saya hanya bisa sedih dan gelisah. Apakah gerangan yang menyebabkan cucu Rasulullah SAW dibunuh? Padahal dalam beberapa hadisnya disebutkan, Husein bagian dariku, dan aku bagian dari Husein. Di dalam hadis lain disebutkan, Hasan dan Husein adalah dua pemuda penghuni surga.

Maka dari itu, sungguh keji para pelaku pembunuhan terhadap sosok suci, seperti Imam Husein. Kisahnya akan dikenang sepanjang masa, dan harus menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, bahwa pembunuhan dan diskriminasi tidak bisa dibenarkan atas alasan apapun, apalagi hanya karena kekuasaan semata.

Bung Karno pada 1960 pernah berkunjung ke Karbala. Ia menjadikan Imam Husein sebagai sosok inspiratif, karena perjuangannya telah menginspirasi para pemimpin dunia, termasuk Mahatma Gandhi dalam melawan imperialisme dan memperjuangkan kemanusiaan. Dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, Bung Karno menyatakan, "Imam Husein adalah panji berkibar yang diusung oleh setiap orang yang menentang kesombongan di zamannya, di mana kekuasaan itu telah tenggelam dalam kelezatan dunia serta meninggalkan rakyatnya dalam penindasan dan kekejaman."

Pada masa ini, kita pun masih melihat betapa kesombongan yang dilakukan oleh negara-negara adidaya dan mereka yang merasa pemegang kebenaran absolut. Kesombongan itulah yang harus terus dilawan, dan tidak boleh melahirkan ketidakadilan dan penindasan. Spirit Imam Husein harus terus menyala, karena kebenaran dan perjuangan tidak turun dari langit, melainkan harus diperjuangkan.

Hal lain dalam peringatan Arba'in di Karbala adalah doa-doa yang terlantun oleh jutaan umat para pencinta dan pengikut Imam Husein. Mereka meyakini bahwa doa-doa akan dikabulkan Tuhan. Karenanya, kami semua warga Indonesia yang kebetulan ikut serta dalam peringatan Arba'in tahun ini tak luput akan mendoakan Indonesia tercinta. Seperti yang dikatakan oleh Imam Ja'far al-Shadiq, bahwa setiap doa dan langkah kaki para peziarah akan mendapatkan pahala, karena para malaikat akan menyertai para peziarah.

Negeri kita sedang dalam persimpangan. Kita mempunyai kesempatan untuk tumbuh menjadi negeri yang besar, karena perjalanan demokrasi dengan segala hiruk-pikuk dan dilemanya telah mengantarkan kita menjadi negara yang mampu menjalankan demokrasi secara mengagumkan. Tetapi, kita juga sedang menghadapi adanya gejala "menghalalkan segala cara" dari beberapa orang dan kelompok yang kerap menebarkan fitnah, yang jika tidak dikelola dengan baik dapat melahirkan konflik, bahkan diskriminasi yang sangat mengenaskan.

Adanya kelompok-kelompok takfiri, yang mudah menyalahkan, menyesatkan, dan mengafirkan pihak lain menjadi deteksi dini bagi kita semua. Apalagi baru-baru ini ada kelompok takfiri yang melakukan tindakan kekerasan terhadap salah seorang pejabat tinggi republik ini.

Kita semua tertegun; tidak boleh lagi hal tersebut terjadi. Kekerasan dan diskriminasi demi kemenangan dan kebenaran palsu harus diakhiri. Saatnya kita tumbuhkan persaudaraan dan persatuan dalam konteks kebangsaan dan kemanusiaan.

Peringatan Arba'in tahun ini bertemakan Hubbu Husein Yajma'una. Cinta kepada Imam Husein mempersatukan kita. Kata kuncinya adalah persatuan. Seluruh umat dan kelompok harus memupuk persatuan dan persaudaraan, termasuk persaudaraan Sunni dan Syiah sebagai komunitas terbesar di dunia. Saatnya berangkulan tangan, memahami perbedaan, dan mencari persamaan dan titik temu.

Sayangnya, peristiwa besar seperti Arba'in yang diikuti kurang lebih 30 juta warga tidak disiarkan oleh media-media utama, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Media-media di Tanah Air pun sangat sedikit yang mengabarkan peristiwa Arba'in ini dengan segala pemaknaan dan hikmah yang terkandung di dalamnya.

Kita tidak akan mungkin menjadi negeri yang besar jika perselisihan dan konflik masih mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita harus bersama-sama membuang jauh-jauh kebencian dan kesombongan. Mari kita rajut kebersamaan dengan semangat cinta kepada Imam Husein. Kita harus meneladani Rasulullah SAW sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia dan alam semesta. Labbaika Ya al-Imam al-Husein.


Zuhairi Misrawi cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East, Jakarta

 

Rabu, 06 November 2019 18:18

Kisah Abu Nawas; Hadiah Bagi Tebakan Jitu

 

Hadiah Bagi Tebakan Jitu; Pada suatu ketika Baginda Raja Harun Al Rasyid mengajukan dua pertanyaan kepada para menterinya, tapi tidak ada satu pun dari mereka dapat memberikan jawaban yang dapat memuaskan baginda. Sedang baginda raja sangat menginginkan jawaban yang tepat terhadap pertanyaannya.

Para penasehat kerajaan akhirnya menyarankan baginda raja menghadirkan Abu Nawas ke istana dan bertanya kepadanya. Baginda raja kemudian memerintahkan pesuruh istana untuk menjemput Abu Nawas. Ia pun tiba dan menghadap baginda.

Baginda bertanya kepada Abu Nawas:

Wahai Abu Nawas, akhir-akhir ini aku susah tidur karena dibayang-bayangi oleh keingintahuanku menyingkap dua rahasia alam?

Mohon ampun baginda, apa sebenarnya keingintahuan baginda itu. Bolehkah baginda memberitahukannya kepada hamba? tanya Abu Nawas.

Pertama, dimanakah sebenarnya letak batas jagat raya ciptaan Allah?? Baginda mulai mengutarakan pertanyaannya.

Abu Nawas menjawab,

Di dalam pikiran, wahai baginda!!! Baginda yang mulia, sesungguhnya ketidakterbatasan itu ada karena keterbatasan. Dan keterbatasan itu ada di dalam pikiran manusia. Oleh sebab itu, kita tidak akan mengetahui dimana letak batas jagat raya ciptaan Allah, karena sesuatu dengan keterbatasan tidak dapat melampaui ketidakterbatasan.?

Mendengar penjelasan Abu Nawas baginda raja merasa puas dan kembali mengajukan pertanyaan kedua.

Wahai Abu Nawas, manakah jumlahnya yang lebih banyak antara ikan-ikan di laut dengan bintang-bintang di langit?? Tanya baginda.

Lebih banyak ikan-ikan di laut ya baginda,? jawab Abu Nawas.

Apa alasannya engkau mengatakan begitu, wahai Abu Nawas?? Tanya Baginda kembali.

Abu Nawas kemudian menjawab,

Mohon maaf baginda yang mulia, bukankah setiap hari kita menangkap ikan di laut bahkan dalam jumlah yang sangat besar, tapi ikan-ikan itu tetap saja tidak berkurang. Sedang bintang-bintang di langit juga berjumlah banyak, tapi kita tidak pernah melihatnya rontok dan tetap pada tempatnya?

Maka dengan telah terjawabnya kedua pertanyaan baginda raja itu, hilanglah rasa penasarannya. Abu Nawas kemudian diberikan hadiah atas jasanya.

Rabu, 06 November 2019 18:17

Kisah Abu Nawas; Menjebak Pencuri

 

Pada zaman dahulu orang berpikir dengan cara yang amat sederhana. Dan karena kesederhanaan berpikir ini seorang pencuri yang telah berhasil menggondol seratus keping lebih uang emas milik seorang saudagar kaya tidak sudi menyerah.

Hakim telah berusaha keres dengan berbagai cara tetapi tidak berhasil menemukan pencurinya. Karena merasa putus asa pemilik harta itu mengumumkan kepada siapa saja yang telah mencuri harta milikny merelakan separo dari jumlah uang emas itu menjadi milik sang pencuri bila sang pencuri bersedia mengembalikannya. Tetapi pencuri itu malah tidak berani menampakkan bayangannya.

Kini kasus itu semakin ruet tanpa penyelesaian yang jelas. Maksud baik saudagar kaya itu tidak mendapat tanggapan-tanggapan yang sepantasnya dari sang pencuri. Maka tidak bisa disalahkan jika saudagar itu mengadakan sayembara yang berisi barang siapa yang berhasil menemukan pencuri uang emasnya, ia berhak sepenuhnya memiliki harta yang dicuri.

Tidak sedikit orang yang mencoba tetapi semuanya kandas. Sehingga pencuri itu bertambah merasa aman tenteran karena ia yakin jati dirinya tak akan terjangkau. Yang lebih menjengkelkan adalah ia berpura-pura mengikuti sayembara. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa menghadapi orang seperti ini bagaikan menghadapi jin. Mereka tahu kita, sedang kita tidak. Seorang penduduk berkata kepada hakim tersebut.

Mengapa tuan hakim tidak minta bantuan Abu Nawas saja?

Bukankah Abu Nawas sedang tidak ada di tempat?  Kata hakim itu balik bertanya.

Kemana dia?  Tanya orang itu.

Ke Damakus?  Jawab hakim.

Untuk keperluan apa?  Orang itu ingin tahu.

Memenuhi undangan pangeran negeri itu? Kata hakim.

Kapan ia kembali?  Tanya orang itu lagi.

Mungkin dua hari lagi?  Jawab hakim.

Kini harapan tertumpu sepenuhnya di atas pundak Abu Nawas.

Pencuri yang selama ini merasa aman sekarang menjadi resah dan tertekan. Ia merencanakan meninggalkan kampung halaman dengan membawa serta uang emas hasil curiannya. Tetapi ia membatalkan niat karena dengan menyingkir keluar daerah sama halnya dengan membuka topengnya sendiri. Ia lalu bertekad tetap tinggal apapun yang akan terjadi.

Abu Nawas telah kembali ke Baghdad karena tugasnya telah selesai. Abu Nawas menerima tawaran mengikuti sayembara menemukan pencuri uang emas. Hati pencuri uang emas itu tambah berdebar tak karuan mendengar Abu Nawas menyiapkan siasat.

Kesesokan harinya semua penduduk dusun diharuskan berkumpul di depan gedung pengadilan. Abu Nawas hadir dengan membawa tongkat dalam jumlah besar. Tongkat-tongkat itu mempunyai ukuran yang sama panjang. Tanpa berkata-kata Abu Nawas membagi-bagikan tongkat-tongkat yang dibawa dari rumahnya.

Setelah masing-masing mendapat satu tongkat, Abu Nawas berpidato, ?Tongkat-tongkat itu telah aku mantrai. Besok pagi kalian harus menyerahkan kembali tongkat yang telah aku bagikan. Jangan khawatir, tongkat yang dipegang oleh pencuri selama ini menyembunyikan diri akan bertambah panjang satu jari telunjuk. Sekarang pulanglah kalian?

Orang-orang yang merasa tidak mencuri tentu tidak mempunyai pikiran apa-apa. Tetapi sebaliknya, si pencuri uang emas itu merasa ketakutan. Ia tidak bisa memejamkan mata walaupun malam semakin larut. Ia terus berpikir keras. Kemudian ia memutuskan memotong tongkatanya sepanjang satu jari telunjuk dengan begitu tongkatnya akan tetap kelihatan seperti ukuran semula.

Pagi hari orang mulai berkumpul di depan gedung pengadilan. Pencuri itu mersa tenang karena ia yakin tongkatnya tidak akan bisa diketahui karena ia telah memotongnya sepanjang satu jari telunjuk. Bukankah tongkat si pencuri akan bertambah panjang satu jari telunjuk? Ia memuji kecerdiakan diri sendiri karena ia ternyata akan bisa mengelabui Abu Nawas.

Antrian panjang mulai terbentuk. Abu Nawas memeriksa tongkat yang dibagikan kemarin. Pada giliran si pencuri tiba Abu Nawas segera mengetahui karena tongkat yang dibawanya bertambah pendek satu jari telunjuk. Abu Nawas tahu pencuri itu pasti melakukan pemotongan pada tongkatnya karena ia takut tongkatnya bertambah panjang.

Pencuri itu diadili dan dihukum sesuai dengan kesalahanya. Seratus keping lebih uang emas kini berpindah ketangan Abu Nawas. Tetapi Abu Nawas tetap bijaksana, sebagian dari hadiah itu diserahkan kembali kepada keluarga si pencuri, sebagian lagi untuk orang-orang miskin dan sisanya untuk keluarga Abu Nawas sendiri.

Rabu, 06 November 2019 18:17

Kisah Abu Nawas; Cara Mudah Berkebun

 

Sudah beberapa kali Abu Nawas membuat baginda raja hampir celaka. Akan tetapi ia selalu dapat meloloskan diri dari jeratan hukuman yang mengancamnya. Karena sudah tidak ada cara lain yang tepan untuk menghukum Abu Nawas, baginda pun menggunakan kekuasaan absolutnya untuk memenjarakan Abu Nawas meski tanpa alasan alasan yang jelas.

Suatu hari cuaca sangat cerah, Abu Nawas dan istrinya pergi berkebun di ladang milik mereka yang tidak jauh dari rumah.

Sambil menyeka keringat yang mulai membasahi kening dan sekujur tubuhnya, Abu Nawas berkata pada istrinya,

“Wahai Istriku !! Kita sudah mencangkul dari pagi, hingga siang hari begini, tapi baru sepertiga bagian saja yang bisa kita cangkul!!”

Istrinya hanya tersenyum sambil menjawab,

“Iya suamiku!! Kita harus lebih bekerja keras agar dua hari lagi kita dapat menanam bibit kentang Kita.”

Abu Nawas dan istrinya tidak tahu kalau pengawal kerajaan sedang mencarinya. Terdengar suara teriakan para pengawal yang berteriak-teriak memanggilnya semakin dekat dengan kebunnya.

Alangkah terkejutnya ia ketika ia mendekat, tiba-tiba ia langsung ditangkap oleh para pengawal layaknya seorang penjahat.

“Hai apa-apaan ini lepaskan Aku, apa salahku?” Kata Abu Nawas sambil berontak berusaha melawan.

Para pengawal tidak memperdulikan dan segera mengikat tangan Abu Nawas. Sedangkan istri Abu Nawas hanya bisa menagis melihat suaminya dibawa oleh para pengawal itu tanpa mengetahui penyebabnya.

Akhirnya Abu Nawas ditangkap dan dibawa kepenjara kerajaan.

Setelah menempuh perjalanan panjang, sampailah mereka ke penjara kerajaan. Segera Abu Nawas dijebloskan dalam penjara yang sempit dan gelap.

Abu Nawas hanya bisa merenungi nasibnya sambil berpikir bagaimana caranya supaya ia dapat keluar dari penjara itu. Ia teringat istrinya dirumah, kasihan istrinya tentu ia merasa sedih dan bingung atas kejadian yang menimpanya kini. Abu Nawas juga teringat ladangnya yang belum selesai ia tanami kentang, dan membayangkan betapa repotnya sang istri mengurus ladang seorang diri.

Setelah beberapa hari dipenjara, Abu Nawas menemukan ide. Segera ia menulis surat untuk istrinya di rumah, dan isi surat itu berbunyi,

“Istriku tercinta,

Jangan bersedih dengan keadaanku sekarang ini, Aku baik-baik saja. Kamu jangan kuatir bagaimana kamu menghidupi dirimu sendirian.

Istriku tercinta,

Ketahuilah kalau Kita masih punya simpanan harta karun yang berupa emas, permata dan berlian. Semua itu Aku kubur di ladang milik kita. Cobalah Kau gali pasti Kau akan menemukannya. Gunakanlah untuk mencukupi kebutuhan keluarga kita selama aku masih di sini.”

Setelah selesai menuliskan surat tersebut, Abu Nawas meminta penjaga untuk mengantarkan surat itu kepada istrinya. Penjaga yang dititipi surat itu penasaran dan membuka surat Abu Nawas untuk istrinya tersebut. Setelah mengetahui isi surat tersebut, sang penjaga melaporkan kepada baginda.

Begitu membaca surat Abu Nawas untuk istrinya tersebut, tanpa menunggu lama ia memerintahkan beberapa pengawalnya untuk pergi ke ladang Abu Nawas. Para pengawal tersebut diperintahkan untuk menggali ladang  milik Abu Nawas dan mengambil harta karun yang dimaksud Abu Nawas.

Baca juga: Kisah Abu Nawas; Menjebak Pencuri

Tidak berapa lama kemudian sampailah para pengawal itu di ladang Abu Nawas. Tanpa permisi mereka langsung menggali ladang tersebut. Istri Abu Nawas merasa sangat heran melihat banyak pengawal kerajaan yang menggali ladang kentangnya.

Sudah seluruh tanah di ladang milik Abu Nawas digali tapi tidak ada harta karun yang dijumpai. Akhirnya para pengawal itu memutuskan untuk menghentikan penggalian dan kembali ke kerajaan untuk melaporkannya pada baginda.

Istri Abu Nawas merasa heran, benarkah para pengawal itu sudah sangat baik membantunya mencangkul ladang selama suaminya dipenjara.

Abu Nawas yang mendengar kejadian itu, tertawa terpingkal-pingkal, ia kemudian kembali menulis surat untuk istrinya dan sesuai dugaan Abu Nawas, kembali surat itu diserahkan kepada baginda terlebih dahulu.

Adapun isi dari surat kedua Abu Nawas,

“Istriku tercinta,

Baginda Raja sudah sangat baik mengirimkan para pengawalnya untuk membantu kita mengolah tanah di ladang. Sekarang ladang kita sudah dicangkul semua.

Sekarang kamu tentu lebih mudah menanam kentang, tidak usah repot lagi mencangkul ladang sebegitu luas.

Sabarlah istriku, Aku akan cepat pulang karena baginda adalah orang yang bijaksana. Beliau tahu kalau aku tidak beralah. Pasti sebentar lagi Aku akan dibebaskan.”

Setelah membaca isi surat Abu Nawas, baginda merasa malu kepada dirinya sendiri.

Sebagai seorang Sultan yang berkuasa tidak sepantasnyalah beliau penjarakan Abu Nawas dengan alasan yang tidak jelas, meski beliau sangat ingin. Beliau sadar akan kekeliruannya itu, kemudian memerintahkan pengawalnya untuk membebaskan Abu Nawas dari penjara.

Rabu, 06 November 2019 18:16

Kisah Abu Nawas; Tanya Satu Jawab Tiga

 

Kisah Abu Nawas; Suatu hari dalam sebuah diskusi bersama dengan para murid-muridnya, Abu Nawas tiba-tiba dicecar pertanyaan oleh beberapa muridnya dengan pertanyaan yang sama.

Mula-mula salah seorang muridnya bertanya,

Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau dosa-dosa kecil?

Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil. Jawab Abu Nawas.

Mengapa? Tanyanya kembali.

Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan.  Kata Abu Nawas.

Murid pertama puas dengan jawaban Abu Nawas karena ia memang yakin begitu.

Kemudian murid kedua menanyakan pertanyaan yang sama dengan sebelumnya di atas,

Orang yang tidak mengerjakan keduanya.  Jawab Abu Nawas.

Mengapa?  Tanya murid kedua.

Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan dari Tuhan!  Kata Abu Nawas.

Murid kedua langsung bisa menerima dan memahami jawaban Abu Nawas tersebut.

Kembali murid ketiga bertanya dan masih dengan pertanyaan yang sama sebelumnya. Abu Nawas pun kembali menjawab,

Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar.

Mengapa? Kata murid ketiga.

Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu.  Jawab Abu Nawas.

Baca Juga: Hadiah Bagi Jebakan Jitu

Murid ketiga itu puas dengan jawaban Abu Nawas. Akan tetapi Abu Nawas kembali ditanyai oleh beberapa murid lain yang belum memahami jawaban-jawaban Abu Nawas tersebut,

Wahai guru! Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda?

Itu karena manusia itu dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak, dan tingkatan hati.  Jawab Abu Nawas

Apakah tingkatan mata itu? Tanya murid kembali.

Anak kecil yang melihat bintang dilangit, ia mengatakan bintang itu kecil karena ia hanya menggunakan mata.

Apakah tingkatan otak?  Tanya murid Abu Nawas.

Orang pandai yang melihat bintang, ia mengatakan bintang itu besar karena ia memiliki pengetahuan. jawab Abu Nawas.

Lalu apakah tingkatan hati itu?  Tanya mereka kembali.

Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit. Ia tetap mengatakan bintang itu kecil walaupun tahu bintang itu besar. Karena bagi orang yang mengerti tidak ada sesuatu apapun yang besar, melainkan dengan ke Maha Besaran Allah.  Jawab Abu Nawas.

Kini para murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda.

Rabu, 06 November 2019 18:15

Belajar Metode Dakwah Dari Sawah

 

Setiap manusia mempunyai karakter yang berbeda-beda. Ada yang ramah, sopan, keras, tengil, pelit, dan lain sebagainya. Maka dari itu cara berdakwahnya pun berbeda antara satu sama lain.

NUOnline mengabarkan bahwa menjelang sepertiga malam, kira-kira pukul dua dini hari, setelah menempuh perjalanan dari sore, kami berhenti sejenak sekedar mengisi perut, sebelum pulang ke desa masing-masing.

Sambil menikmati ayam dan lele bakar di sebuah warung Lamongan, di depan kantor kecamatan, kami berbincang dan berbagi cerita pengalaman dengan kiai kami, yang sudah berusia 70-an.

Ada santri paling sepuh di antara kami, yang pengalaman bersama Kiai lebih banyak, apalagi dia ikut rewang (membantu) di tambak dan sawah, sehingga pelajaran yang ia terima lebih kaya. Bukan hanya di surau pesantren, tapi juga di tambak dan sawah.

Ia bercerita, dulu pernah diajari oleh Kiai metode mencangkul. Ada tiga metode yang dicontohkan Kiai: mencangkul dengan cara miring, tegak dan membungkuk.

Santri itu disuruh Kiai mencoba apa yang telah dicontohkan. Namun sampai beberapa kali, menurut penilaian Kiai, santri tersebut belum bisa melakukannya secara tepat.

Baca juga: Kisah Abu Nawas; Cara Mudah Berkebun

Kiai menyuruh santrinya berpikir, lalu kira-kira Kiai berkata:

“Metode mencangkul yang bermacam-macam itu sesuaikanlah dengan keadaan tanah. Apakah tanah itu keras atau lunak, itu beda cara mencangkulnya. Tanah itu sama dengan manusia, ada yang keras atau kaku, ada yang lunak, ada yang labil. Cara mengajak atau mengarahkan mereka juga beda, seperti mencangkul tadi.”

Santri pun tertegun atas nasihat Kiai. “Sampai sekarang saya belum menangkap jelas nasihat beliau itu,” kata santri mengenang.

Aku yang mendengarkan tertegun pula. Tak menyangka sebelumnya, Kiai akan menautkan cara mencangkul dan metode mengajak manusia kepada kebaikan: dakwah.

Rabu, 06 November 2019 18:15

Kisah Abu Nawas; Sandal Ajaib

 

Suatu hari, Abu Nawas berangkat menuju pasar untuk berjualan mencari rezeki tambahan. Sesampainya di pasar ia langsung menggelar tikar sebagai lapaknya berjualan. Kebetulan pada hari itu ia berjalan sandal yang diberi nama “ajaib”

Abu Nawas mulai berteriak-teriak menawarkan barang dagangannya kepada para orang-orang di pasar.

“Sandal ajaib…sandal ajaib….sandal ajaib !!” Teriak Abu Nawas berkali-kali di pasar.

Sesaat kemudian datang seorang pemuda menghampirinya dan melihat-lihat barang dagangannya.

“Silahkan Tuan, mau membeli sandal?” Tanya Abu Nawas.

“Ya,,,apakah ini sandal ajaib?” Tanya pemuda.

“Tentu saja tuan.” Jawab Abu Nawas.

“Saya ingin mencari sandal yang bisa merubah hidupku yang miskin ini.” Kata pemuda itu.

“Apa maksud tuan?” Tanya Abu Nawas lagi.

“Saya ini sudah lama hidup miskin dan ingin sekali kaya raya. Saya ingin membeli barang yang bisa memberikan saya keberuntungan.” Kata pemuda itu.

Sejurus kemudian Abu Nawas menunjukkan salah satu sandal ajaibnya. Ia mengatakan bahwa sandal itu akan membuat pemiliknya dari tidak berada menjadi berada.

Karena tertarik dengan kata-kata Abu Nawas, tanpa berpikir panjang pemuda itu langsung membeli sandal ajaib yang dijual Abu Nawas.

Baca juga: Kisah Abu Nawas; Tanya Satu Jawab Tiga

Pemuda itu langsung memakai sandal ajaib tersebut kemudian meninggalkan Abu Nawas dan berkeliling kampung dengan harapan semoga keberuntungan segera berpihak kepadanya.

Pemuda tersebut terus menerus berjalan mengitari kampung-kampung dengan menggunakan sandal “ajaib”nya tersebut. Namun, harapannya tidak kunjung terwujud juga. Bukannya keberuntungan, si pemuda malah mendapat kemalangan. Ia hampir saja dihakimi warga, karena dikira pencuri yang sedang wara-wiri mengintai mangsa.

Hari sudah menjelang sore, dengan perasaan marah dan kecewa ia akhirnya mencari Abu Nawas meminta pertanggungjawabannya. Setelah bertanya sana-sini, akhirnya ia menemukan Abu Nawas.

“Assalamu’alaikum…” Sapa pemuda itu.

“Wa’alaikum salam…, eh ternyata Tuan, bagaimana kabar Tuan?” Tanya Abu Nawas.

“Kabar buruk. Aku tidak merasakan keberuntungan apa-apa setelah memakai sandal ini.Malahan hampir saja aku celaka dihajar warga kampung gara-gara dikira pencuri. padahal engkau sudah mengatakan jika sandal ini akan membawa keberuntungan kepada pemiliknya. Mana buktinya??” Protes si pembeli.

“Seingat saya,  tidak pernah saya mengatakan seperti itu Tuan?” Sanggah Abu Nawas.

“Saya hanya mengatakan bahwa sandal ini akan membuat orang yang tidak berpunya menjadi berpunya. buktinya adalah tuan sebelumnya belum memiliki sanda “ajaib” sekarang sudah memilikinya.” Kata Abu Nawas.

Mendengar penjelasan Abu Nawas, pemuda itu diam, ia akhirnya sadar bahwa dirinya sedang salah menafsirkan.

“Lalu mengapa engkau mengatakan bahwa sandal ini ajaib?” Tanya pemuda.

“Oh….jika itu memanglah namanya sandal Ajaib bukan sandalnya yang ajaib.”Jawab Abu Nawas.

“Jangan percaya kepada barang ajaib, karena percaya pada sesuatu selain Allah SWT bisa membuat kita syirik dan akan mendapatkan kesusahan di dunia dan akhirat kelak. Buktinya yang Tuan alami ini hari ini, oleh karena itu, segeralah bertobat kepada Alloh SWT.” Tambah Abu Nawas.

Akhirnya dengan perasaan malu, pemuda itu pergi begitu saja tanpa sepatah katapun. Ia menya dari jika ia telah melakukan kesalahan karena mengharap sesuatu kepada selain Allah SWT dan tanpa berusaha, mulai saat itu pun ia langsung bertobat.

 

Anak yang soleh adalah sebuah harta yang sangat berharga bahkan lebih berharga dari setiap dollar yang kita punya. Itu semua karena mempunyai anak soleh selain mampu berikan kebahagiaan di dunia juga mampu beri kebahagiaan di akhirat. berikut ini adalah salah satu cerita hikmah tentang anak soleh.

Nu Online mengabarkan bahwa suatu hari seorang alim bermimpi bertemu dengan para ahli kubur. Dalam mimpinya ia melihat para ahli kubur sedang berebut dan memungut berbagai macam bingkisan yang berserakan. Tak lama kemudian ia melihat ada satu orang yang sedang duduk acuh tidak tergiur sama sekali dengan berbagai barang berharga yang sedang diperebutkan tersebut. Orang alim ini pun dibuat heran dan penasaran.

“Mengapa anda diam saja tidak seperti mereka mengambil barang-barang itu?” tanya sang alim kepada orang tersebut.

Mendapat pertanyaan itu, ia langsung menjawab bahwa mereka yang sedang sibuk itu sedang mengambil ‘paket kiriman’ dari umat Islam yang mendoakan ahli kubur berupa bacaan Al-Qur’an, sedekah dan doa.

“Saya sendiri tidak butuh ‘bingkisan’ itu sebab saya sudah punya semuanya,” jawab laki-laki itu dengan mantap.

“Dari mana Anda bisa mendapatkan barang-barang itu?” tanya sang alim yang tambah penasaran.

“Saya punya anak yang berjualan kue di pasar X, setiap hari dia selalu mengirim bacaan Al-Qur’an dan doa kepadaku,” jawabnya

Tidak lama kemudian, sang alim ini terbangun dari tidurnya dan semua yang terjadi dalam mimpinya itu sangat jelas teringat hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengunjungi pasar X dan mencari seseorang yang menjual kue.

Berangkatlah sang alim ini menuju pasar X dan tidak perlu waktu lama untuk menemukan penjual kue di sana. Firasat orang alim ini semakin kuat ketika melihat mulut penjual kue ini tidak henti-hentinya bergerak seperti sedang membaca sesuatu.

“Saya melihat mulut Anda dari tadi tidak berhenti bergerak, kalau boleh tahu apa yang sedang dibaca?” tanya orang alim itu.

“Oh, saya sedang membaca Al-Qur’an dan dikirimkan khusus untuk orang tuaku yang sudah meninggal,” jawabnya.

Jawaban itu cukup memuaskan sang alim sebab apa yang disampaikan penjual kue itu ternyata memiliki hubungan dengan mimpi yang dialaminya kemarin.

Beberapa waktu kemudian, sang alim ini kembali bermimpi sebagaimana sebelumnya, namun ada sesuatu yang berbeda. Ia melihat orang yang dulu hanya duduk manis, sekarang juga ikut memungut ‘bingkisan’ dengan para ahli kubur lainnya. Sang alim tak sempat berkomunikasi, sebab orang itu terlihat begitu sibuk.

Ketika sudah bangun dari tidurnya, sang alim ini sedikit kebingungan hingga akhirnya ia memutuskan untuk kembali menemui sang penjual kue di pasar.

Namun saat sampai di pasar, sang alim tidak menemukan penjual kue itu sebab menurut informasi yang didapat, penjual kue yang waktu itu selalu membasahi bibirnya dengan bacaan Al-Qur’an ternyata sudah meninggal dunia.

Akhirnya sang alim pun menyimpulkan bahwa orang yang di mimpi pertama hanya duduk manis kemudian di mimpi kedua sibuk berebut ‘bingkisan’ itu ternyata sudah tidak lagi mendapat kiriman doa dari anaknya.

Dzikir yang berisi doa dan bacaan ayat suci Al-Quran atau juga sedekah yang dilakukan orang hidup kemudian ‘dikirimkan’ untuk orang yang sudah meninggal dunia sesungguhnya bisa sampai dan memberi manfaat bagi ahli kubur. Hal ini dibahas dalam kitab I’anatut Thalibin jilid 2 halaman 143.

Syaikh Bakri Syata Ad-Dimyati, sang penulis kitab tersebut mengutip hadits Rasulullah dan pendapat para ulama dalam membahas pentingnya ziarah dan mengirim doa untuk orang meninggal dunia sebagaimana kisah inspiratif ini.

Alquran

Keadilan Sosial dalam Al-Qur’an dan Pemerintahan yang Berorientasi Keadilan
Keadilan Sosial dalam Al-Qur’an dan Pemerintahan yang Berorientasi Keadilan
Terwujudnya cita-cita keadilan telah menjadi salah satu keinginan terpenting semua manusia reformis dan orang-orang merdeka dalam sejarah (termasuk para nabi). Revolusi Islam Iran juga dilakukan…

Nahjolbalaghe

Imam Ali dan Hak Asasi Manusia dalam Nahjul Balâghah, Tinjauan Tafsir Al-Qurân
Imam Ali dan Hak Asasi Manusia dalam Nahjul Balâghah, Tinjauan Tafsir Al-Qurân
Naskah pengantar pada seminar Internasional “imam ali dan hak asasi manusia Dalam Nahjul Balagah”, Citywalk 5th floor. Jakarta 30 Juni 2009, IMAM ALI DAN HAK…