
کمالوندی
Kisah Abu Nawas; Menyindir Pejabat
Suatu ketika Abu Nawas menerima undangan untuk sebuah jamuan makan malam oleh baginda. Dalam undangan tersebut, ia diminta untuk berpidato mengisi acara jamuan dengan tausyiah agama.
Abu Nawas datang ke istana lebih awal menghadiri undangan baginda. karena itu, Abu Nawas dipersilahkan duduk di bagian depan. Di depan, ia seakan-akan seperti menjadi tamu yang sangat istimewa.
Baca juga: Kisah Abu Nawas; Sandal Ajaib
Beberapa saat kemudian, para undangan yang lain mulai berdatangan satu per satu langsung menempati kursi-kursi yang disediakan. Kemudian, menyusul para pejabat kerajaan yang datang dan langsung menuju kursi yang paling depan. Akan tetapi, salah seorang pejabat yang hadir sedikit terlambat sangat terkejut melihat kursi paling depan sudah penuh dan salahsatunya sudah diisi oleh Abu Nawas.
pejabat tersebut langsung protes keras pada panitia penyelenggara makan malam.
“Kenapa saya yang lebih terhormat berada di belakang dan justru Abu Nawas yang hanya rakyat biasa berada di depan?” Protes pejabat tersebut.
“Tuan seharusnya menanyakan langsung kepada Abu Nawas sendiri?” Kata salah seorang panitia.
Karena merasa posisinya disamakan dengan orang biasa, pejabat tersebut tidak terima. Ia berjalan ke depan menghampiri Abu Nawas kemudian berbisik padanya bahwa yang pantas duduk di kursi itu adalah dirinya yang merupakan pejabat kerajaan terhormat.
“Wahai Abu Nawas, kamu tidak pantas duduk di sini, karena kursi depan seharusnya diisi oleh pejabat seperti saya.” Tegas pejabat itu dengan sombong.
Mendengar teguran pejabat yang merendahkannya, Abu Nawas membela diri. Maka terjadilah perdebatan diantara mereka, hingga para tamu lain juga mendengarnya.
“Saudara pejabat yang terhormat, pada kenyataannya Anda itu tidak lebih dari seorang pesulap,” kata Abu Nawas mulai angkat bicara.
“Wah, tidak bisa begitu, saya adalah pejabat kerajaan bukan pesulap. Engkau yang pesulap,” Cetus pejabat tersebut.
Semua tamu yang hadir dibuat tegang dan tertuju pada mereka berdua.
“Sekalipun saya adalah pesulap, tapi ketika naik panggung, saya bisa bertindak sesuai janji. Saat saya berjanji mengubah sapu tangan menjadi kelinci, maka bim salabim, sapu tangan itu benar-benar berubah menjadi kelinci.” Kata Abu Nawas.
“Apa maksudmu? Apa hubungannya denganku?” Tanya pejabat.
“Anda seperti seorang pesulap yang gagal di atas panggung, berjanji mengubah bunga menjadi kelinci tapi anda tidak berhasil mewujudkannya !!? Kata Abu Nawas yang membuat suasana semakin panas.
“Apa maksudmu?” Tanya pejabat itu marah.
“Sebelum menjadi pejabat Anda berjanji akan merubah nasib rakyat kecil menjadi lebih baik. Tapi, setelah menjadi pejabat, keadaan rakyat kecil sama saja seperti sebelum Anda menjadi penjabat.” Jelas Abu Nawas.
Wajah Pejabat tersebut menjadi merah, ia diam terdunduk dipermalukan Abu Nawas di depan para tamu yang hadir. Abu Nawas kembali bertanya padanya,
“Nah, kalau begitu, mana yang lebih lebih pantas duduk di sini?” Tanya Abu Nawas kembali.
Pejabat tersebut tidak menjawab pertanyaan Abu Nawas, Dengan perasaan kesal dan malu pejabat itu langsung beranja meninggalkan Abu Nawas dan duduk di belakang.
Mata Rasulullah Pun Berlinang, “Surga Untukmu Wahai Fathimah”
Pada saat malam Takbiran, Sayyidina Ali ibn Abi Thalib terlihat sibuk membagi-bagikan gandum dan Kurma. Beliau bersama istrinya, Sayyidah Fathimah az-Zahra putri Rasulullah Saw, Sayyidina Ali menyiapkan tiga karung gandum dan dua karung Kurma. Terihat, Sayyidina Ali memanggul gandum, sementara istrinya Sayyidah Fatimah menuntun Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein. Mereka sekeluarga mendatangi kaum fakir miskin untuk disantuni.
Esok harinya tiba Shalat ‘Idul Fitri. Mereka sekeluarga khusyuk mengikuti Shalat jama’ah dan mendengarkan khutbah. Selepas khutbah ‘Id selesai, keluarga Rasulullah Saw itu pulang ke rumah dengan wajah berseri-seri.
Sahabat beliau, Ibnu Rafi’i bermaksud untuk mengucapkan selamat ‘Idul Fitri kepada keluarga putri Rasulullah Saw. Sampai di depan pintu rumah, alangkah tercengang Ibnu Rafi’i melihat apa yang dimakan oleh keluarga Rasulullah itu.
Sayyidina Ali, Sayyidah Fatimah, Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein yang masih balita, dalam ‘Idul Fitri makanannya adalah gandum tanpa mentega, gandum basi yang baunya tercium oleh sahabat Nabi itu.
Seketika itu Ibnu Rafi’i berucap Istighfar, sambil mengusap-usap dadanya seolah ada yang nyeri di sana. Mata Ibnu Rafi’i berlinang butiran bening, perlahan butiran itu menetes di pipinya.
Kecamuk dalam dada Ibnu Rafi’i sangat kuat, setengah lari ia pun bergegas menghadap Rasulullah Saw.
Sesampainya tiba di depan Rasulullah, “Ya Rasulullah, ya Rasulullah, ya Rasulullah, putri baginda dan cucu baginda,” ujar Ibnu Rafi’i. “Ada apa wahai sahabatku?” tanya Rasulullah.
“Tengoklah ke rumah putri baginda, ya Rasulullah. Tengoklah cucu baginda Hasan dan Husein.”
“Kenapa keluargaku?”
“Tengoklah sendiri oleh baginda, saya tidak kuasa mengatakan semuanya.”
Rasulullah Saw pun bergegas menuju rumah Sayyidah Fatimah. Tiba di teras rumah, tawa bahagia mengisi percakapan antara Sayyidina Ali, Sayyidah Fatimah dan kedua putranya.
Mata Rasulullah pun berlinang. Beliau menangis melihat keluarga putri tercinta dan dua cucunya yang hanya makan gandum basi dihari Raya Idul Fitri.
Di saat semua orang berbahagia, di saat semua orang makan yang enak-enak. Keluarga Rasulullah Saw penuh tawa bahagia dengan hanya makan gandum yang baunya tercium tak sedap.
“Ya Allah, Allahumma Isyhad…Ya Allah, Allahumma Isyhad… (Ya Allah saksikanlah, saksikanlah) Di hari ‘Idul Fitri keluargaku makanannya adalah gandum yang basi. Mereka membela kaum papa, ya Allah. Mereka mencintai kaum fuqara dan masakin. Mereka relakan lidah dan perutnya mengecap makanan basi, asalkan kaum fakir-miskin bisa memakan makanan yang lezat. Allahumma Isyhad, saksikanlah ya Allah, saksikanlah,” bibir Rasulullah berbisik lembut.
Sayyidah Fathimah tersadar kalau di luar pintu rumah, sang ayah sedang berdiri tegak. “Duhai ayahnda, ada apa gerangan ayah menangis?”
Rasulullah tak tahan mendengar pertanyaan itu. Setengah berlari ia memeluk putri kesayangannya sambil berujar,
“Surga untukmu, Nak…Surga untukmu.”
Demikianlah, menurut Ibnu Rafi’i, keluarga Rasulullah Saw pada hari ‘Idul Fitri menyantap makanan yang basi dan bau.
Ibnu Rafi’i berkata, “Aku diperintahkan oleh Rasulullah Saw agar tidak menceritakan tradisi keluarganya setiap ‘Idul Fitri dan aku pun simpan kisah itu dalam hatiku.
Namun, selepas Rasulullah Saw wafat, aku takut dituduh menyembunyikan Hadits, maka aku ceritakan hal ini agar menjadi pelajaran bagi segenap kaum Muslimin.”
(Musnad Imam Ahmad, jilid 2, hlm. 232).
Allahumma Shalli ‘Alaa Sayyidina Muhammad Wa ‘Alaa Aali Sayyidina Muhammad.
Keajaiban Membaca Basmalah Setiap Hari
Bacalah Basmalah ketika kita hendak beraktifitas dan di setiap pekerjaan kita. Percayalah selain aktifitas kita akan berjalan lancar juga akan berkah. Selain itu dengan membaca Basmalah, inshaAllah akan ada pahala di setiap pekerjaan yang kita lakukan.
NuOnline mengabarkan bahwa ada seorang perempuan yang bersuamikan seorang lelaki munafik. Perempuan itu selalu mengucap basmalah sebelum melakukan sesuatu, baik ucapan maupun perbuatan.
Suaminya suatu saat berujar, “Sungguh aku akan mempermalukannya sebab kebiasaannya itu.”
Kemudian ia memberikan sebuah bungkusan kepada istrinya untuk disimpan.
Istrinya pun menaruh bungkusan itu pada suatu tempat dan menguncinya.
Suaminya berusaha agar istrinya lupa. Lalu ia mengambil bungkusan itu beserta isinya dan membuangnya ke dalam sumur.
Kemudian ia bertanya kepada istrinya tentang bungkusan itu.
Istrinya langsung menuju tempat penyimpanan bungkusan tersebut seraya mengucapkan bismillâhirrahmânirrahîm.
Allah Ta’ala memerintahkan malaikat Jibril agar lekas turun dan mengembalikan bungkusan itu ke tempatnya semula.
Kemudian istrinya mengambil bungkusan itu.
Ternyata bungkusan tadi tetap pada tempatnya semula.
Sang suami pun terheran-heran dan akhirnya dia bertobat kepada Allah Ta’ala.
Kisah ini bisa dibaca dalam kitab An-Nawadir karya Syaikh Ahmad Syihab al-Din Ibn Salamah al-Qalyubi (w. 1069 H), pada bab “Keutamaan Basmalah”.
الحكاية الأولى: في فضل البسملة
حكي: أن امرأة كان لها زوج منافق وكانت تقول على كل شيء من قول أو فعل باسم الله، فقال زوجها لأفعلن ما أخجلها به فدفع إليها صرة وقال لها: احفظيها، فوضعتها فى محل وغطتها. فغافلها وأخذ الصرة وأخذ ما فيها ورماها في بئر في داره، ثم طلبها منها، فجاءت إلى محلها وقالت باسم الله، فأمر الله تعالى جبريل أن بنزل سريعا ويعيد الصرة إلى مكانها فوضعت يدها لتأخذها فوجدتها كما وضعتها، فتعجب زوجها وتاب إلى الله تعالى
Kisah Abu Nawas; Melarang Ruku Dan Shalat
Suatu hari, baginda raja Harun Al Rasyid sangat murka kepada Abu Nawas, ia ingin sekali menghukum berat Abu Nawas bahkan memancungnya. Bagaimana tidak, Baginda menerima informasi bahwasanya Abu Nawas telah berani menyebar fitnah melarang rukuk dan sujud di dalam ibadah shalat dan menuduh baginda raja sebagai orang yang suka fitnah.
Baginda yang sudah sangat marah kemudian memerintahkan pengawal istana untuk menangkap Abu Nawas dan menghadirkan dia ke istana untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Setelah Abu Nawas diseret keistana, baginda kemudian bertanya kepadanya,
“Wahai Abu Nawas, apakah benar engkau berpendapat rukuk dan sujud tidak diperlukan di dalam shalat?” Tanya baginda.
“Benar, Baginda Raja !” Jawab Abu Nawas dengan santai.
Meski baginda ingin sekali memancung Abu Nawas karena jawabannya itu, beliau masih berupaya sabar dan kembali mengajukan pertanyaan lain kepada Abu Nawas,
“Benarkah engkau berkata kepada orang-orang bahwa aku adalah orang yang suka fitnah?” Tanya baginda.
“Benar Paduka !” Jawab Abu Nawas kembali dengan santai.
Kali ini baginda tidak bisa lagi membendung amarahnya, dengan sangat marah baginda berkata kepada Abu Nawas,
“Wahai Abu Nawas, Engkau pantas dihukum mati karena telah melanggar Syariat Islam dan menyebarkan fitnah tentang junjunganmu !” Kata baginda geram.
“Tunggu dulu baginda !!, janganlah tergesa-gesa mengambil keputusan. Izinkan hamba sedikit membela diri” Pinta Abu Nawas.
“Baiklah, jelaskan sekarang!” Kata baginda.
“Memang hamba akui dua pendapat tadi. Akan tetapi sepertinya, kedua pendapat hamba tersebut datang kepada paduka dalam keadaan tidak lengkap dan seolah-olah hamba bersalah dan melanggar syariat Islam, hamba merasa difitnah.” Jelas Abu Nawas.
“Wahai Abu Nawas, apa maksudmu? Kenapa engkau membela diri jika mengaku bersalah?” Tanya baginda.
Abu Nawas kemudian segera memberikan penjelasan rinci,
“Ampun Paduka yang mulia, Hamba memang melarang rukuk dan sujud dalam shalat, tapi bukanlah shalat lima waktu atau shalat lainnya, melainkan shalat jenazah. Memang pada waktu itu hamba sedang menjelaskan shalat jenazah.” Jelas Abu Nawas.
Baginda Raja Harun Al Rasyid mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Abu Nawas. Meski sebelumnya emosinya mulai muncul, namun raja membenarkan apa yang menjadi pendapat Abu Nawas tersebut.
“Lalu bagaimana tentang pernyataanmu tentangku yang suka fitnah?” Tanya baginda.
“Oh, jika hal tersebut kebetulan pada saat itu hambasedang menjelaskan tentang Surat Al-Anfal ayat 28 yang berbunyi sebagai berikut:
Artinya:
“dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
“Nah,baginda sebagai seorang raja yang memiliki harta banyak dan sebagai seorang ayah yang menyayangi anak-anak baginda, baginda termasuk orang-orang yang menyukai fitnah (cobaan/ujian) itu, karena baginda menyayangi harta dan anak-anak baginda.” Lanjut Abu Nawas.
Mendengar penjelasan Abu Nawas, baginda merasa malu. karena kata-kata Abu Nawas tersebut bukan hanya untuk pembelaan diri semata, melainkan sebuah sindiran dan teguran terhadapnya yang selama ini terlalu larut dalam kesenangan dunia semata. padahal kenikmatan yang ia dapatkan itu adalah ujian dari Allah SWT.
Baginda raja akhirnya meminta maaf kepada Abu Nawas karena telah berburuk sangka kepadanya. Hal itu terjadi karena beberapa orang pegawai kerajaan tidak senang melihat kedekatan Abu Nawas dengan baginda. Oleh sebab itu mereka sengaja menyampaikan informasi yang salah agar Abu Nawas celaka.
Empat Nasihat Allah SWT Pada Nabi Adam As
Allah swt berfirman kepada Nabi Adam as, “Aku akan mengumpulkan semua firman-Ku dalam empat kalimat.”
“Apa itu?” tanya Nabi Adam.
Allah swt berfirman, “Salah satu dari empat hal ini adalah punya-Ku dan salah satunya lagi untukmu. Yang ketiga adalah punya-Ku dan untukmu. Yang keempat adalah untuk dirimu dan umatmu.”
“Wahai Tuhanku! Jelaskanlah semuanya padaku!” pinta Nabi Adam.
Allah berfirman;
Sesuatu yang hanya untuk-Ku adalah engkau harus menyembah hanya kepada-Ku dan janganlah menyekutukan-Ku.
Hal untukmu adalah Aku akan memberikan pahala amal baikmu yang mana pada waktu itu engkau akan lebih memerlukannya (dari yang lainnya).
Sedangkah hal untuk-Ku dan untukmu ialah engkau berdoa dan Aku akan mengabulkannya.
Lalu sesuatu yang hanya untukmu dan umatmu adalah janganlah melakukan sesuatu pada orang lain yang mana engkau sendiri tidak akan menyukainya jika orang lain melakukannya padamu. Dan lakukanlah hal yang disukai orang lain sebagaimana engkau menyukainya jika orang lain melakukannya padamu.
Perbedaan Kehidupan Dunia Akhirat Antara Orang Baik Dan Jahat
Ratusan ayat al-Quran dan riwayat mengatakan bahwa amal baik dan dan buruk seorang manusia berpengaruh pada kehidupannya di akhirat. Amal baik menjadi sebab kebaikan di dunia juga akhirat. Amal buruk dan dosa menjadi sebab kehinaan ruh dan azab di dunia serta menjadi pendosa di akhirat.
أَمْ حَسِبَ الَّذينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ سَواءً مَحْياهُمْ وَ مَماتُهُمْ ساءَ ما يَحْكُمُونَ
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (Surah Al-Jatsiyaah, ayat 21)
Dari ayat di atas kita akan mendapatkan hal mendasar terkait perbedaan antara orang-orang yang beriman dan melakukan amal baik dengan mereka yang kufur dan berdosa.
Apakah bisa antara cahaya dan kegelapan, ilmu dan kebodohan, kebaikan dan keburukan, iman dan kufur, dihitung sebagai satu hal yang sama? Apakah mungkin sesuatu yang berbeda mempunyai hasil yang sama?
Jawabannya adalah tidak akan pernah sama. Mereka yang beriman dan mengerjakan amal saleh akan terpisah dengan para pendosa yang tidak beriman. Iman dan kufur, kebaikan dan keburukan akan memberikan warna tersendiri pada kehidupan dan kematian mereka.
Hal ini juga tercantum Firman Allah swt dalam surah Shaad ayat 28.
“Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat ma’siat?”
Maaf, Apakah Engkau Itu Tuhan?
Anak kecil bergerak-gerak di atas salju dalam keadaan kaki bertelanjang berharap rasa dingin tidak mengganggu telapak kakinya. Lalu ia menempelkan wajahnya pada kaca salah satu toko dan menatap tajam pada isi toko itu.
Lalu matanya tertuju pada sesuatu. Seakan-akan dengan tatapan matanya itu ia memintanya pada Tuhan.
Seorang wanita yang hendak masuk ke toko berhenti sejenak dan melihat anak kecil tersebut lalu masuk ke toko. Selang beberapa menit wanita tersebut keluar dengan membawa sepasang sepatu.
“Hai anak kecil! Ke sini sebentar!” panggil wanita itu.
Anak laki-laki kecil pun menengoknya dan pergi ke arah wanita itu. Dia kaget dan terharu melihat sepasang sepatu yang dibawa oleh wanita itu dan berkata, “Apakah Anda itu Tuhan?” tanya anak kecil.
“Tidak aku hanya seorang hamba Tuhan.” Jawab wanita itu.
“Oh seorang Hamba Tuhan! aku tahu pastinya engkau punya hubungan dengan Tuhan”.
Seorang hamba Tuhan pasti punya hubungan dengan Tuhan sekecil apapun. Dari kisah ini, kita bisa memetik hikmah bahwa seorang hamba Tuhan harus mempunyai sifat seperti Tuhan. Yakni jika Tuhan itu Maha Pengasih dan Penyayang maka seorang hama Tuhan mestinya menjadi seorang yang pengasih dan penyayang juga.
Kisah Abu Nawas; Ibu Yang Asli
Kisah Abu Nawas; Kisah ini mirip dengan kejadian pada masa Nabi Sulaiman ketika masih muda. Entah sudah berapa hari kasus seorang anak bayi yang diakui oleh dua orang ibu yang sama-sama sangat ingin memiliki anak. Hakim pun rupanya mengalami kesulitan memutuskan dan menentukan perempuan yang menjadi ibu bayi itu sebenarnya.
Kasus ini sudah berlarut-larut tanpa ada keputusan yang jelas, hakim akhirnya menghadap Baginda Raja untuk meminta bantuan. Baginda pun turun tangan. Baginda memakai taktik rayuan. Baginda berpendapat mungkin dengan cara-cara yang amat halus salah satu, wanita itu ada yang mau mengalah. Tetapi kebijaksanaan Baginda Raja Harun Al Rasyid justru membuat kedua perempuan makin mati-matian saling mengaku bahwa bayi itu adalah anaknya. Baginda pun putus asa.
Baca juga: Kisah Abu Nawas; Wajah Bertemu Tuhan
Mengingat tak ada cara-cara lain lagi yang bisa diterapkan. Baginda pun berpikir mungkin perlu memanggil Abu Nawas meminta bantuannya. Abu Nawas hadir menggantikan hakim. Abu Nawas tidak menjatuhkan putusan pada hari itu melainkan menunda sampai hari berikutnya. Semua yang hadir yakin Abu Nawas pasti sedang mencari akal seperti yang biasa dilakukan. Padahal penundaan itu hanya disebabkan oleh hal lain, yaitu seorang algojo yang harusnya masuk dalam taktik Abu Nawas tidak berada di tempat.
Keesokan hari sidang pengadilan diteruskan lagi. Abu Nawas memanggil algojo dengan pedang di tangan. Abu Nawas memerintahkan agar bayi itu diletakkan di atas meja.
“Apa yang akan kau perbuat terhadap bayi itu?” Kata kedua perempuan itu saling memandang.
“Sebelum saya mengambil tindakan apakah salah satu dari kalian bersedia mengalah dan menyerahkan bayi itu kepada yang memang berhak memilikinya?”Kata Abu Nawas.
“Tidak, bayi itu adalah anakku!!” Kata kedua perempuan itu serentak.
“Baiklah, kalau kalian memang sungguh-sungguh menginginkan bayi itu dan tidak ada yang mau mengalah maka saya terpaksa membelah bayi itu menjadi dua sama rata dan membaginya kepada kalian.” Kata Abu Nawas mengancam dengan spontan.
Perempuan pertama girang bukan kepalang, setuju akan tindakan yang akan dilakukan Abu Nawas, sedangkan perempuan kedua menjerit-jerit histeris.
“Jangan, tolong jangan dibelah bayi itu. Biarlah aku rela bayi itu seutuhnya diserahkan kepada perempuan itu.” Kata perempuan kedua.
Abu Nawas tersenyum lega. pemilik sebenarnya bayi tersebut sudah diketahui. Abu Nawas segera mengambil bayi itu dan langsurig menyerahkan kepada perempuan kedua.
Abu Nawas minta agar perempuan pertama dihukum sesuai dengan perbuatannya. Karena tidak ada ibu yang tega menyaksikan anaknya disembelih. Apalagi di depan mata.
Baginda Raja merasa puas terhadap keputusan Abu Nawas. Sebagai rasa terima kasih, Baginda memberikan sejumlah hadiah atas bantuannya yang sangat berguna.
Kisah Abu Nawas: Wajah Bertemu Tuhan
Meski Abu Nawas tidak menyukai pejabat tinggi yang sombong pada pemerintahan Harus Ar-Rasyd, akan tetapi Abu Nawas tidak igin menaruh dendam dalam hati.
Suatu hari Abu Nawas berjalan menuju ke rumah pejabat tersebut dengan maksud silaturahmi dan menghapus segala kebencian. Sesampainya di rumah pejabat tersebut, Abu Nawas langsung dipersilahkan untuk masuk, tuan pejabat kemudian bertanya,
Baca Juga : Menyindir Pejabat
“Wajah yang mana yang engkau bawa mengunjungiku kali ini wahai Abu Nawas?” tanya tuan pejabat menyindir Abu Nawas.
“Aku membawa wajah ketika aku bertemu Tuhanku. Karena ternyata dosaku kepada-Nya lebih besar daripada kepada kamu!” Jawab Abu Nawas.
Tuan pejabat kemudian terdiam mendengar jawaban Abu Nawas, ia sangat tertegu dengan kerendahan hati Abu Nawas yang sama sekali tidak menyukai permusuhan. Akhirnya mereka pun menjalin persahabatan.
Hikmah dari kisah di atas adalah setiap insan biasa pasti pernah dan akan melakukan sebuah aib dan tergelincir pada jalan yang tidak diridhoi Allah swt. maka dari itu jangan berharap bahwa manusia biasa akan selalu melakukan sesuatu yang benar pada kita. Namun jika mereka pernah menyakiti dalam Islam kita mengenal istilah maaf dan kita bisa memaafkan mereka.
“Banyak di antara Ahli Kitab menginginkan sekiranya mereka dapat mengembalikan kamu menjadi kafir kembali setelah kamu beriman, karena rasa dengki yang ada dalam diri mereka setelah tampak jelas kebenaran bagi mereka. Maka maafkanlah dan berlapangdadalah, sampai Allah memberikan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S Al-Baqarah: 109)
Cerita Seorang Darwis Dan Gadis Remaja
Seorang yang zuhud (Zahid) dan seorang Darwis yang telah melewati maqom dan derajat dari suluk berjalan dari desa ke desa. Di tengah perjalanan mereka melihat seorang gadis remaja sedang berdiri di pinggir sungai yang mana ia ragu dan takut untuk menyebrangi sungai.
Ketika mereka berdua sampai di pinggir sungai, gadis remaja tersebut meminta pertolongan dari mereka. Darwis langsung memegang tangan gadis tersebut dan menuntunnya untuk menyebrangi sungai.
Setelah sampai di sebrang sungai, sang gadis pun pergi meninggalkan mereka sedangkan Darwis dan Zahid (orang yang zuhud) kembali melanjutkan perjalanannya.
Setelah menempuh jarak yang cukup jauh, akhirnya mereka tiba di tempat tujuan mereka.
Seketika itu, Zahid yang beberapa lama ini terdiam berkata kepada Darwis.
“Wahai sahabatku! Kita tidak boleh mendekati dan menyentuh hal-hal yang bisa menarik kita pada dunia. Dan gadis tersebut bisa menarik kita pada dunia.” Kata Zahid.
Setelah mendengar perkataan Zahid, Darwis dengan tenang menjawab, “Aku dari tadi telah melepaskan gadis kecil itu di sana. Sedangkan kamu masih menyentuhnya dan belum melepaskannya sampai sekarang.”