کمالوندی

کمالوندی

 

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar mengatakan, orang-orang yang meneriakkan "Mampus Amerika" menjadi sebab permusuhan abadi kubu imperialis terhadap Republik Islam Iran.

Ayatullah Sayid Ali Khamenei, Minggu (9/1/2022) dalam pertemuan virtual dengan sejumlah lapisan masyarakat Qom untuk memperingati Kebangkitan 19 Dey (9 Januari 1978) menuturkan, "Amerika Serikat sangat memusuhi pemerintahan Republik Islam Iran, karena negara ini lahir dari agama dan merupakan manifestasi keyakinan agama dari sebuah bangsa."

Menurut Rahbar, Republik Islam Iran adalah perwujudan dari Islam, dan kedaulatan umat Islam, dan warga Ahlu Sunnah di berbagai negara dunia menunjukkan kecintaan pada Republik Islam Iran.

Ia menambahkan, "Acara-acara besar mengenang Syahid Qassem Soleimani di berbagai negara Muslim, adalah salah satu bukti kecintaan, dan dukungan umat Islam terhadap Republik Islam Iran, mulai dari timur Asia hingga ke barat Afrika."

Menurut Ayatullah Khamenei, acara pemakaman bersejarah Syahid Soleimani merupakan bukti menyalanya semangat masyarakat yang akan menjadi pembuka berbagai peluang.

"Di acara pemakaman Syahid Soleimani, rakyat Iran sekali lagi menunjukkan persatuan, identitas agama dan revolusi mereka, dan jika jenazah suci itu dibawa ke Suriah, Lebanon serta Pakistan, ia pun akan mendapatkan sambutan luas bangsa-bangsa Muslim, layaknya di Iran dan Irak," paparnya.

Ayatullah Khamenei menyebut gugurnya Jenderal Soleimani sebagai bukti berlanjutnya kalkulasi keliru AS. Para teroris ingin membuat sirna Haj Qassem sebagai simbol gerakan besar, tapi gerakan besar, tekad dan kecintaan masyarakat Iran serta masyarakat negara lain yang nampak pada peringatan tahun kedua gugurnya Syahid Soleimani, serta lahir dari kekuatan Tuhan, membuktikan bahwa mesin kalkulasi AS, benar-benar cacat dan rusak.

Rahbar menilai tidak tunduk pada penjajah dan arogan, adalah salah satu prinsip revolusi. Menurut Ayatullah Khamenei, jika pada satu waktu berunding, berdialog dan berinteraksi dengan musuh, itu bukan berarti tunduk pada musuh, sebagaimana sampai sekarang tidak tunduk, dan ke depannya juga akan seperti itu.

 

Lebih dari 150 personel militer Amerika Serikat pada kuartal ketiga tahun 2021 mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, dan jumlah mereka secara total lebih besar dari para tentara yang tewas akibat terpapar virus Corona.

Dikutip stasiun televisi Fox News, Minggu (9/1/2022), berdasarkan data yang dirilis Departemen Pertahanan AS, Pentagon, selama kuartal ketiga tahun 2021, 163 personel militer AS melakukan bunuh diri, 70 di antaranya tentara aktif, 56 tentara cadangan dan 37 anggota Pasukan Garda Nasional.

Total personel militer AS yang melakukan bunuh diri selama kuartal ketiga tahun 2021 jika dibandingkan dengan kuartal kedua tahun yang sama jumlahnya menurun, akan tetapi tingkat bunuh diri di antara tentara cadangan dan Pasukan Garda Nasional bertambah.

Di sisi lain, tentara AS yang tewas akibat bunuh diri dalam rentang waktu antara bulan Juli hingga September 2021, jumlahnya dua kali lipat lebih besar dari tentara yang tewas karena virus Corona.

Pada tanggal 8 Januari 2022, 86 tentara Amerika Serikat meninggal dunia karena terpapar virus Corona. Menurut keterangan Pentagon, hingga September 2021 jumlah total tentara AS yang meninggal karena Corona mencapai 43 orang.

Selama tahun 2021, total ada 476 tentara AS yang melakukan bunuh diri, data Pentagon menunjukkan di tahun 2020, 701 personel militer AS bunuh diri. 

 

Kementerian Luar Negeri Iran mengumumkan bahwa Letjen Syahid Qassem Soleimani selalu berperan sejalan dengan kebijakan prinsip Republik Islam Iran dalam membantu membangun perdamaian dan stabilitas di tingkat regional maupun internasional.

Menjelang peringatan tahun kedua kesyahidan Letjen Qassem Soleimani, Kementerian Luar Negeri Iran mengeluarkan pernyataan hari Jumat (31/12/2021) yang menegaskan, "Pemerintah AS menerapkan standar ganda dan membuat klaim palsu, termasuk klaim mengenai terorisme, dalam tindakan kriminal yang melanggar aturan dan prinsip hukum internasional dengan merencanakan dan melakukan serangan teroris terhadap Letjen Syahid Soleimani sebagai salah satu pejabat tinggi Republik Islam Iran di wilayah negara tuan rumah Irak,".

"Tindakan otoritas AS meneror pahlawan internasional melawan terorisme demi mendukung kelompok teroris, yang secara terbuka mengungkap kebohongan para pengusung slogan mereka sebagai penentang terorisme," kata statemen Kemlu Iran.

"Kesyahidan Haji Soleimani, Abu Mahdi al-Mohandes dan kawan-kawan bukan hanya tidak mengurangi kapasitas perlawanan, tetapi sebaliknya akan memperkuat solidaritas di dalam Iran, sekaligus memperjelas strategi dan menonjolkan wacana perlawanan [di tingkat dunia]," tegasnya.

Kementerian Luar Negeri Iran juga menekankan,"Tidak diragukan lagi, tindakan kriminal Amerika Serikat dalam membunuh Syahid Soleimani adalah contoh dari serangan teroris yang direncanakan dan dioperasikan secara terorganisir oleh pemerintah AS saat itu, dan sekarang menjadi tanggung jawab dari Gedung Putih,".

Kemlu Iran juga mengejar masalah ini dalam dimensi politik, hukum, internasional dan diplomasi publik, sekaligus menyampaikan kecaman moral, politik dan hukum terhadap pemerintah AS atas kejahatannya di tingkat internasional.

Pada tanggal 3 Januari 2020, Letjen Qassem Soleimani, Komandan Pasukan Quds Korps Garda Revolusi Islam, melakukan perjalanan ke Irak atas undangan resmi dari otoritas Irak gugur bersama Wakil Kepala Al-Hashd al- Shaabi dan delapan rekannya akibat serangan udara pasukan AS di bandara Baghdad.

 

Khatib Shalat Jumat Tehran, Ayatullah Sayid Ahmad Khatami mengatakan, "Jika rezim Zionis membuat kesalahan sekecil apa pun terhadap Iran, maka angkatan bersenjata Iran akan membalasnya dengan jawaban yang menghancurkan."

Ayatullah Sayyid Ahmad Khatami dalam khutbah Jum'atnya menyinggung manuver militer terbaru Korps Garda Revolusi Islam dan reaksi pejabat rezim Zionis, dengan mengatakan, "Jika mereka membuat kesalahan dan berpikir untuk melakukan agresi melawan bangsa Iran, maka harinya akan berubah menjadi malam yang gelap gulita dengan misil IRGC,".

Di bagian lain khutbahnya, Ayataullah Khatami menjelaskan mengenai peringatan tahun kedua kesyahidan Letjen Qassem Soleimani, Komandan Pasukan Quds IRGC, dengan menegaskan, "Republik Islam Iran menampar Amerika Serikat dengan serangan rudal ke pangkalan militer Ain al-Assad. Tetapi balas dendam terakhir adalah hukuman terhadap semua aktor, dari komandan, pelaku, hingga penasihat pembunuhan Syahid Soleimani, terutama penjahat Trump, yang secara eksplisit melakukan kejahatan ini.,".

"Darah suci Syahid Soleimani dan rekan-rekannya mengakhiri kehadiran ilegal Amerika Serikat di Afghanistan dan dengan persetujuan parlemen Irak, mereka akan segera dipaksa meninggalkan negara ini," tegasnya.(

 

l Hashd Al Shaabi mengumumkan penghancuran tempat persembunyian kelompok teroris Daesh di provinsi Salah al-Din.

Sumaria News melaporkan, pasukan Al Hashd Al Shaabi menemukan dan menghancurkan tiga tempat persembunyian teroris Daesh di provinsi Salah al-Din dalam operasi skala besar pada hari Jumat.

Selama beberapa hari terakhir, pasukan Al Hashd Al Shaabi telah menemukan dan menghancurkan sejumlah tempat persembunyian milisi teroris Daesh di provinsi Diyala dan Anbar.

Pada tahun 2017, setelah tiga tahun pertempuran, Irak menyatakan kemenangan atas kelompok teroris Daesh, tetapi elemen yang tersisa dari kelompok teroris ini masih aktif di beberapa wilayah provinsi Diyala, Kirkuk, Nineveh, Al-Anbar dan Baghdad.

Tentara Irak dan pasukan Al Hashd Al Shaabi terus mencari, membersihkan dan mengejar sisa-sisa milisi teroris Daesh di seluruh negeri untuk memastikan mereka tidak muncul kembali.

 

Berdasarkan prinsip-prinsip Filsafat dan Irfan serta literatur-literatur agama, tiada seorang pun yang dapat menyelami hakikat zat Allah Swt. Hal ini disebabkan karena kenirbatas-Nya dan ketak-berujung-Nya hakikat zat tersebut.[1]

Ringkasan Pertanyaan

Apa maksudnya beriman kepada Allah melalui asma-Nya ? Jelaskan !
Pertanyaan
Apa maksudnya beriman kepada Allah melalui asma-Nya? Jelaskan!
Jawaban Global
Berdasarkan prinsip-prinsip Filsafat dan Irfan serta literatur-literatur agama, tiada seorang pun yang dapat menyelami hakikat zat Allah Swt. Hal ini disebabkan karena kenirbatas-Nya dan ketak-berujung-Nya hakikat zat tersebut.[1]
Para arif, seperti filosof dan pemikir lainnya – sepakat bahwa zat Allah Swt secara mutlak dan tanpa adanya sedikit pun sifat dan qaid yang dilekatkan pada-Nya, tidak dapat diketahui oleh siapa pun dan tiada seorang pun yang dapat sampai kepada Zat Allah Swt. Zat Allah Swt sebagai Entitas Mutlak dan Nirbatas tidak memiliki relasi sedikit pun dengan entitas terbatas (baca: para makhluk). Karena itu, sabda Nabi Muhammad Saw yang sangat terkenal ini menyatakan bahwa, “Tuhanku! Kami tidak mengenal-Mu sepantas-Nya diri-Mu dikenal dan kami tidak menyembah-Mu sebagaimana layaknya Engkau disembah.”[2]
Demikian juga, Imam Ali As dalam mendeskripsikan Allah Swt berkata, “Orang yang tinggi kemampuan akalnya tak dapat menilai, dan penyelam pengertian tak dapat mencapai-Nya; la yang untuk menggambarkan-Nya tak ada batas telah diletakkan.”[3]
Dengan demikian, mengenal hakikat Zat Allah Swt tidak mungkin dilakukan oleh siapa pun; karena itu untuk mengenal dan beriman kepada Allah Swt maka jalan yang harus ditempuh adalah melalui jalan asma (nama-nama) dan mazhahir (pelbagai penampakan) Allah Swt.[4]
Adapun terkait dengan makna mengenal Allah Swt melalui asma (nama-nama) adalah sebagai berikut:

    Yang dimaskud dengan asma (nama-nama) dalam terminologi Filsafat dan Irfan, bukanlah nama literal. Nama-nama dalam terminologi Irfan adalah zat dengan tambahan satu sifat tipikal. Hakikat nama dari sudut pandang Irfan adalah penambahan satu sifat (yang bersifat iktibari atau relasional) terhadap zat dan menciptakan satu entifikasi tertentu. Misalnya nama “Rahman” pada hakikatnya mengacu pada zat, dengan sifat rahmat.  Dengan analisa seperti ini pada dasarnya pembahasan  asma (nama-nama) mengemuka tatkala seorang arif mencermati Allah Swt yang turun dari maqam zat terlepas dari segala bentuk iktibar atau penyebutan, dan berada pada maqam entifikasi tertentu.[5]
    Yang dimaksud mengenal Allah Swt melalui nama-nama adalah mengenal Zat Allah Swt dalam pancaran pelbagai manifestasi dan dalam pelbagai manifestasi tertentu-Nya ini disebut sebagai maqam asma dan sifat.[6] [iQuest]

 
[1] Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, 1944 (Tak Terbatas-Nya Entitas Tuhan); 2944 (Argumen-argumen Kenirbatasan Tuhan).
[2] Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 66, hal. 292, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Cetakan Kedua, 1403 H.
«ما عرفناک حق معرفتک و ما عبدناک حق عبادتک»
[3] Sayid Radhi, Muhammad bin Husain, Nahj al-Balāghah, Riset oleh Subhi Shaleh, Khutbah 1, hal. 39, Qum, Hijrat, Cetakan Pertama, 1414 H; Terjemahan Persia Nahj al-Balāghah, Penj. Ansariyan Husain, hal. 43, Tehran, Payam Azadi, Cetakan KEdua, 1386 S.
«الَّذِی لَا یُدْرِکُهُ بُعْدُ الْهِمَمِ وَ لَا یَنَالُهُ غَوْصُ الْفِطَن»
[4] Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Jawaban No. 479 (Mengenal Allah); 13864 (Mengenal Allah Tanpa Tasybih dan Ta’thil).
[5] Ibid, hal. 308-309.
[6] Silahkan lihat, Yazdan Panah, Sayid Yadullah, Mabāni wa Ushul Irfān Nazhari, hal. 312-318, Qum, Muassasah Imam Khomeini, 1388 S; Diadaptasi dari Pertanyaan 59683 (Yang Dimaksud dengan Nama-nama Universal atau Para Imam Asma).

 

Disebutkan dialog Nabi Khidir As dengan Nabi Musa As dalam ayat 74 surat al-Kahfi. Alasan apa yang membuat Nabi Khidir membunuh seorang anak kecil? Apakah peristiwa seperti ini dapat dikatakan terjadi atas izin Allah Swt?

Jawaban Global

Islam adalah agama kebijaksanaan, akal dan hikmah. Dari sejak awal diturunkannya sejak masa Nabi Adam as., Islam telah mepersembahkan ajaran-ajarannya yang dipenuhi cahaya hikmah yang menjadi suluh pelita perjalanan umat manusia. Ya, Islam telah melahirkan pribadi-pribadi terpilih dari rahim suci ajarannya. Sejarah telah mencatat dengan sangat baik betapa banyak sosok-sosok agung nan cemerlang yang menghiasi cakrawala kebijaksanaan yang terlahir, dibimbing dan dibesarkan oleh ajaran Islam yang suci. Bahkan di kitab suci al-Qur’an, hampir sepertiga isinya menceritakan tentang kisah-kisah orang-orang yang terdahulu, baik mereka yang ingkar seperti Fir’aun dan Qarun, maupun mereka yang taat dan menjadi kebanggaan kebijaksanaan seperti para Nabi, alim-ulama dan mereka yang dekat dengannya. Yang mana melalui perantaraan merekalah kita bisa mengambil pelajaran dan mereguk hikmah suci Ilahi ini.

Salah satu kisah yang terkenal yang disebutkan oleh al-Qur’an mengenai kebijaksanaan dan hikmah orang-orang terdahulu ini terekam dalam Surat al-Kahfi: 74 yang artinya, “Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar." Begitu terkenalnya kisah ini hingga ia sampai diabadikan oleh Allah Swt dalam kalam suci-Nya, yang mana ini menandakan nilai penting kisah ini dan kedalaman hikmahnya. Ini jelas karena mustahil Allah meletakkan dalam al-Qur’an firman-Nya yang tidak mempunyai makna.

Namun ketika sekilas membaca kisah yang diabadikan dalam salah satu ayat al-Qur’an diatas kita seolah-olah melihat sebuah kontradiksi yang sangat keras. Bagaimana tidak? Ayat di atas menyajikan kisah tentang salah seorang Nabi Allah yang dipuji oleh Allah mempunyai ilmu khusus, yaitu Nabi Khidhir as, yang mana sebagai seorang Nabi ia sudah sepatutnya bersikap lembut dan penuh kasih-sayang. Apalagi terhadap seorang anak. Namun pada ayat di atas disebutkan dengan jelas tindakannya yang langsung membunuh seorang anak (ghulam) yang baru saja ditemuinya di suatu desa. Anak yang sama sekali tidak dikenalnya. Bukankah ini merupakan sebuah keganjilan yang sangat mencolok? Bagaimana bisa seorang Nabi yang dipuji ilmunya oleh Allah Swt dalam al-Qur’an melakukan hal seperti ini? Bagaimana seorang Nabi bisa dengan mudahnya menumpahkan darah seorang anak yang tak berdosa? Bahkan Nabi Musa as. sendiri yang saat itu sedang mengiringinya pun –yang notabenenya sama-sama Nabi- sampai melanggar janjinya sendiri untuk tidak membuka mulutnya dan memprotesnya dengan keras!

Jika al-Qur’an adalah kita yang penuh hikmah dan tidaklah semua isinya kecuali hikmah dan kebijaksanaan, maka gerangan apa yang dikehendaki Allah dengan mengabadikan kisah ini di al-Qur’an? Bukankah ini seperti menorehkan tinta hitam pada kertas putih bersih semata? Tidakkah Allah Swt malah mencederai Nabi-Nya sendiri dengan kisah ini? Tidakkah Ia malah memaklumatkan ketidaksempurnaan-Nya dengan hal ini? Tentu saja, jawabannya adalah tidak! Justru sebaliknya, jika kita pahami dengan lebih teliti, kita akan menemukan kebijaksanaan dan hikmah yang sangat besar di dalamnya. Mari kita bahas bersama!

Jawaban Detil

Sebelum kita membahasnya dengan lebih rinci dan memecahkan kemusykilan ini, kita harus terlebih dahulu mengetahui beberapa hal dasar yang akan kita jadikan pijakan awal pembahasan ini. Hal-hal tersebut adalah;

Al-Qur’an menyebutkan bahwa Nabi Khidir As adalah hamba Allah Swt yang memliki ilmu dan rahmat khusus Ilahi.
Beberapa ayat dan riwayat yang ada memberi pemahaman bahwa terbunuhnya anak yang baru balig (ghulam) tersebut bukanlah akibat dari tindakan yang dilakukan karena kebencian, hawa nafsu atau amarah.
Kematian anak tersebut di tangan Nabi Khidir As atas perintahdan izin Allah Swt.
Tanpa diawali dialog atau percekcokan antara Nabi Khidir As dengan anak tersebut, Nabi Khidir As sengaja dengan penuh kesadaran membunuh anak tersebut. Jadi pembunuhan ini bukan kebetulan atau kecelakaan (ketidaksengajaan).
Ayah dan ibu dari anak yang dibunuh tersebut adalah orang-orang Mukmin yang mendapat anugerah khusus dari Allah Swt. Nabi Khidir As ketika itu sangat mengkhawatirkan kedua orangtua si anak menjadi kafir dan sesat karena perangai buruk anak tersebut kelak.
Merujuk ayat-ayat terkait peristiwa ini serta riwayat-riwayat dari para Imam Maksum As, dapat dipahami bahwa Allah Swt hendak mengaruniai seorang anak perempuan kepada sepasang suami istri tersebut sebagai gantinya. Kelak dari rahim anak perempuan ini lahir nabi-nabi. Berdasarkan riwayat-riwayat tersebut, sekitar 70 nabi yang lahir dari keturunan anak perempuan tersebut. Sedangkan anak laki-laki tersebutmenjadi penghalang lahirnya nabi-nabi tersebut.
Anak laki-laki yang dibunuh Nabi Khidir tersebut tenggelam dalam kekufuran dan tiada harapan sedikitpun untuk menerima hidayah. Kekufuran serta keingkaran terhadap kebenaran mengakar di dalam hatinya, kendati secara lahiriah tampak seperti seorang suci. Dengan kata lain, kejahatan anak laki-laki tersebut adalah kufur atau murtad secara fitrah dan balasan setimpal bagi orang seperti ini tidak lain adalah hukuman mati.
Kematian anak laki-laki tersebut membawa manfaat yang sangat banyak diantaranya adalah terpeliharanya iman kedua orangtuanya, kedua orangtua anak laki-laki tersebut terhindar dari segala bentuk kesedihan akibat adanya hubungan dan rasa kekeluargaan, merasa gembira karena telah sukses menjalani qada dan qadar Ilahi, memperoleh keberkahan yang melimpah (melalui anak perempuannya), Nabi Musa dapat mengetahui sebagian rahasia, ilmu gaib dan hakikat batin, teraplikasinya aturan-aturan Tuhan melalui Nabi Khidir As, mencegah bertambah beratnya pertanggungjawaban amal jelek anak laki-laki tersebut akibat perbuatan yang kelak akan dilakukannya (diantaranya: menyesatkan serta mengganggu kedua orangtuanya) dan lain sebagainya.
 

Setelah kita mengetahui fakta-fakta di atas, maka hal penting lain yang harus kita perhatikan adalah bawa diantara sifat kesempurnaan (kamaliyah) Allah Swt adalah sifat Hakim (Mahabijak). Sifat ini termanifestasi baik pada tataran takwini ataupun tasyri’i. Walaupun mungkin saja semua orang tidak mengetahuinya kecuali hanya beberapa orang yang tahu tentang sebagian rahasia keberadaan alam. Salah seorang yang mendapat anugerah rahmat dan inayah khusus serta pengajaran Ilahi dan ilmu ladunni adalah Khidir As yang selain memperoleh rahmat dan ilmu Ilahi serta taufik menyampaikan sebagian dari rahasia-rahasia tersebut kepada Nabi Musa As, ia juga mendapat perintah untuk menjalankan hukum Ilahi.

Oleh karena itu, terkait dengan tewasnya anak laki-laki tersebut di tangan Nabi Khidir As, dengan memperhatikan fakta-fakta di atas, kita dapat menemukan sebuah jawaban yang sederhana, yaitu bahwa semuanya tak lain dari hikmah dan Kemahapengaturan Allah Azza Wa Jalla yang terejawantahkan melalui tangan Nabi Khidhir as. Kendati kata ghulam memiliki makna yang bermacam-macam, seperti pelayan, anak kecil, anak dewasa, baru balig dan lain sebagainya. Akan tetapi makna yang dianggap sesuai pada (ayat-ayat 74 dan 80 surat Al-Kahfi) adalah anak laki-laki yang baru balig yang baru tumbuh kumisnya dan sesuai pula dengan sebagian ayat dan  riwayat.[1] Karena itu berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa seseorang  yang tewas di tangan Nabi Khidir As itu adalah seorang anak laki-laki yang baru balig dan bukan seorang anak kecil!

Kemudian, kematian anak laki-laki tersebut tidaklah diawali dengan dialog atau percekcokan yang memunculkan rasa amarah dan emosi atau karena nafsu jahat. Nabi Khidhir sama sekali tidak betengkar dan bersilang pendapat dengan pemuda itu, akan tetapi beliau langsung membunuh anak itu dengan pedang. Dan itu semua dilakukannya dengan penuh kesadaran dan kesengajaan. Bukan karena kecelakaan atau ketidaksengajaan. Nabi Khidir As melakukan hal ini tanpa ada rasa ragu sedikitpun dalam hatinya dan mengamalkannya sesuai dengan ilmu Ilahi dan batini yang dianugerahkan Allah padanya.[2] Wal-hasil bahwa peristiwa ini bukanlah sebuah kejadian yang bersifat kebetulan. Dan berdasarkan ma’arif Al-Qur’an dan kalimat-kalimat agung para Imam Ma’shum As serta tinjauan filsafat, bahwa di alam ini tidak ada istilah “kebetulan”. Proses pembunuhan ini dilakukan oleh seorang hamba khusus Allah Swt yang dianugerahi rahmat dan ilmu khusus dari Allah Swt, sebagaimana Firman-Nya dalam surat al-Kahfi ayat 65:”lalu mereka bertemu dengan seorang hamba diantara hamba-hamba kami, yang telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami dan yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami”.

Di sini, Nabi Khidir As dengan berdasar pada perintah dan hukum Ilahi, bertindak sebagai pelaksana perintah tersebut[3] atau ia berposisi sebagai sebab diantara sebab-sebab takwini  pada terealisasinya kehendak dan keinginan Ilahi. Sedangkan Nabi Musa as saat itu bertindak berdasarkan pada hukum Ilahi yang lain yang ada di bawahnya, yaitu hukum tasyri’i atau syari’at. Karena itulah Nabi Musa as memprotes tindakan Nabi Khidhir as yang menurutnya tidak sesuai. Baru setelah dijelaskan oleh Nabi Khidhir as, Nabi Musa as menerimanya dan tunduk padanya.

Di sisi lain, ayah dan ibu anak laki-laki tersebut adalah orang-orang mukmin yang Allah Swt karunia inayah dan taufik khusus. Dan berdasarkan ilmu zat-Nya Allah Swt tahu bahwa kalau anak laki-lakinya itu hidup, maka kedua orang tua tersebut akan terjerumus ke dalam fitnah, kekufuran dan kesesatan yang luar biasa dimasa mendatang. Dengan alasan ini Allah Swt memerintahkan kepada Nabi Khidir As untuk membunuh anak laki-laki tersebut dan dengan inayah ini Allah Swt memberikan maqam kemuliaan khusus kepada kedua orangtua tersebut di akhirat.[4]

Bersandarkan pada riwayat-riwayat yang sampai ke kita, dapat dikatakan bahwa Allah Swt hendak mengganti anak laki-laki tersebut -dengan melihat keimanan serta kesabaran yang dimiliki oleh orang tua itu- dengan seorang anak perempuan yang lahir dari keturunannya  sekitar 70 nabi. Dan ini merupakan balasan pahala yang lebih baik dan sebuah rahmat yang lebih dekat dan lebih banyak.[5]

Laki-laki yang disebutkan di atas adalah seorang laki-laki kafir (atau murtad secara fitrah) dimana tidak ada sedikit pun harapan pada dirinya untuk memeperoleh cahaya petunjuk dan hidayah Ilahi. Kalau hidup, Ia tidak hanya semakin larut dan tenggelam dalam kerusakan dan kejahatan, tapi ia juga akan berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain, khususnya orang tuanya ikut tersesat. Jadi kematiannya itu merupakan akibat dari kekufuran atau kemurtadannya serta tidak ditemukan tanda-tanda sedikit pun kalau ia akan beriman dan meninggalkan kekufuran[6]. Dan Nabi Khidir As dengan ilmu ladunninya tahu akan hal itu, kendati secara lahiriah Nabi Musa As tidak punya pengetahuan akan hal itu. (masalah kemurtadan sebagai sebuah pandangan bisa menjadi fokus perhatian).

Dengan ungkapan lain, kematian anak laki-laki tersebut membawa manfaat dan guna yang cukup banyak dimana ia bisa dikatakan sebuah amalan yang sudah diperhitungkan secara matang. Dan juga merupakan sebuah lingkaran matarantai alam semesta yang indah ini dan merupakan sebuah tanda dari hikmah dan kekuatan Ilahi serta sebuah rahasai dari ribuan rahasia tersembunyi alam semesta ini. Diantara rahasia-rahasia tersebut adalah: Kedua orang tua mukmin dari anak laki-laki tersebut dapat terhindar dari bahaya kesesatan yang mungkin saja menimpa mereka akibat adanya hubungan rasa kekeluargaan dengan anak laki-lakinya itu. Mereka telah menunjukkan kesabaran, kerelaan serta kepasrahan atas qadha dan qadar Allah Swt sehinga berhasil dan sukses menjalani ujian Ilahi. Guna terealisasinya keinginan dan kehendak Ilahi dan penganugerahan seorang anak perempuan yang merupakan sumber keberkahan, maka Allah Swt memerintahkan kepada Nabi Khidir As untuk membunuh anak laki-laki kafir tersebut yang mana dianggap sebagai penghalang.

Melalui peristiwa ini, dan dengan pengenalan serta kebersamaan Nabi Musa As dengan salah seorang hamba suci Allah Swt yang merupakan sebuah lautan ilmu dari ilmu-ilmu Ilahi dan rahasia dari segala rahasia Tuhan terbuka untuk maqam mulia tersebut serta pancaran cahaya dari ilmu dan hakikat yang gaib. Dan beliau mencapai maqam kesempurnaan sesuai izin yang Allah Swt anugerahkan. Berkenaan hal ini, Al-Qur’an menyatakan bahwa:”Nabi Musa As berkata kepada Hadrat Khidir As: bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang diajarkan kepadamu?”.[7]

Ya, dengan melaksanakan perintah Allah Swt dan kematian anak laki-laki tersebut, maka catatan amal jeleknya pun tertutup dan mencegah akan bertambahnya catatan amalan dosa yang akan dilakukannya dimasa mendatang dan lain sebagainya. Dengan kata lain bahwa kematian laki-laki tersebut membawa manfaat yang cukup banyak bagi orang-orang yang punya hubungan khusus dengan peristiwa tersebut, baik itu bagi laki-laki tersebut (yang mati), dan juga bagi kedua orangtua laki-laki tersebut serta bagi Nabi Khidir As dan yang menyertainya. []     

 

[1] . Mu’jam Muqayisullughah; al Afshah, jilid 1 halaman 11; al ‘Ain, jilid 4 halaman 442; Farhangg-e buzurg-e jame-e nuvin, jilid 3 halaman 1127; Mufradat Raghib; Aqrabul Mawarid; Muhammad Mahdi Fuladawan, Tarjume-e qur’an-e karim, ayat 74 dan 80.

[2] . tafsir Shafi, jilid 2; Biharul anwar, jilid 13 halaman 284.

[3] . tafsir Nurutstsaqalain, jilid 3 halaman 284; Biharul anwar, jilid 13 halaman 288.

[4] . Qs. Al Kahfi ayat 80; Allamah Majlisi, Biharul anwar, jilid 13 halaman 288.

[5] . tafsir Nurutstsaqalain, jilid 3 halaman 286, hadits 170-173; Biharul anwar, jilid 13 halaman 311; Ushul Kafi, jilid 2 halaman 83.

[6] . tafsir Nurutstsaqalain, jilid 3 halaman 286; tafsir Shafi, jilid 3 halaman 255; tafsir Majma’ al Bayan dan tafsir ‘Ayyasyi (ayat-ayat yang ada kaitannya dengan peristiwa Hadrat Hidir As dan Nabi Musa As); ‘Ilalusysyarayi’.

[7] . Qs. Al Kahfi ayat 66.

Selasa, 21 Desember 2021 16:42

Hukum Riba

 

Apa pengertian riba? Dimana Perbedaan mendasar pada riba dan jual beli dimana yang satu nya haram dan yang lainnya halal?

Pertanyaan

Apa pengertian riba? Dimana Perbedaan mendasar pada riba dan jual beli dimana yang satu nya haram dan yang lainnya halal?

Jawaban Global

Istilah riba bisa terjadi dalam dua hal:

Riba qardhi ( riba dalam utang atau biasa disebut dengan riba dain)

Riba muâ’malah (riba dalam transaksi jual beli)

Riba qardhi disebut sebagai utang yang untuk hal tersebut ditetapkan satu persyaratan atau dengan kata lain mengambil manfaat tambahan dari utang tersebut. (dalam apa yang masuk dalam persyaratan utang yang menyebabkan perbuatan tersebut masuk dalam kategori perbuatan haram terdapat perbedaan di antara para ulama fikih).

Riba jual beli disebut sebagai transaksi jual beli yang pertama: jual beli dengan dua jenis barang yang sama, kedua: barang yang dijadikan jual beli di timbang atau ditakar (setimbang dan seukuran), ketiga: dua barang yang tidak sama jenis.[1] Contohnya transaksi atau barter dua kilo gram beras jenis Pandanwangi dengan tiga kilo beras jenis IR64 lokal.

Namun, harus diperhatikan mungkin secara lahir sebagian dari transaksi nampaknya tidak masuk dalam kategori dua jenis riba di atas, namun dengan memperhatikan lebih detil kita melihat kenyataannya  hal tersebut tidak lain daripada riba dan mungkin kedua belah pihak menata bingkai transaksi seolah-olah   menghindar dari riba (yang kenyataannya mereka melakukan perbuatan riba). [iQuest]

Untuk penjelasan lebih rinci dalam bidang ini Anda dapat merujuk pada indeks terkait No 14977,  Transaksi Rabawi dalam Bentuk Tunai atau Kredit, dan 17097: Riba dan Tender dengan Menerima Komisi.

 

[1] Silahkan merujuk pada Risâlah-haye Taudhih al-Masâil bagian hukum-hukum jual beli;  diadaptasi dari index 1275.

 

Apa bukti bahwa Islam rahmatan lilalamin? Jawaban Global Al-Quran memberikan isyarat kepada dua macam rahmat, rahmat umum yaitu bagi alam semesta dan rahmat khusus bagi kaum mukminin. Untuk memperjelas bagaimana Islam merupakan rahmat bagi alam semesta, pada aw

Apa bukti bahwa Islam rahmatan lilalamin?
Jawaban Global
Al-Quran memberikan isyarat kepada dua macam rahmat, rahmat umum yaitu bagi alam semesta dan rahmat khusus bagi kaum mukminin. Untuk memperjelas bagaimana Islam merupakan rahmat bagi alam semesta, pada awalnya harus dilihat bahwa hal-hal apa saja yang menjadikan rahmat bagi alam semesta dan memerlukan apa saja, apa saja kebutuhan-kebutuhan mendasar dan esensial manusia?
Apabila kita meneliti wujud diri kita, maka kita akan melihat bahwa esensi dan hakikat wujud manusia adalah pikiran dan pengetahuannya. Oleh itu, kebutuhan utama dan pertama manusia adalah hidayah. Dalam hal ini, Islam merupakan hidayah yang paling sempurna bagi manusia.
Untuk menjelaskan agama Islam merupakan rahmat bagi alam semesta harus dikatakan bahwa Islam membuka jalan kepada jalan hidayah dan membawa manusia untuk mencapai kebahagiaan di dua dunia. Tipologi ini sangat penting di mana tidak ada syarat-syarat ras, jenis kelamin, waktu, tempat dan lain sebagainya untuk dapat melalui jalan ini.
Bagi orang-orang yang berakal, dalil ini telah cukup bahwa Islam dapat diterima sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Tentu saja maksud agama Islam merupakan agama rahmat tidak berarti bahwa agama-agama sebelumnya dan para nabi ulul azmi sebelumnya bukan merupakan rahmat bagi alam semesta. Tidak demikian. Hanya saja terdapat dalil-dalil yang mengenalkan bahwa Islam, al-Quran dan Nabi Muhammad Saw adalah sumber rahmat dan berkah bagi seluruh alam semesta, yaitu bahwa kaum Mukminin akan menerima rahmat yang luas ini; para pembangkang dan penentangnya dikarenakan adanya rasa dengki dan keras kepala, maka mereka tidak akan menerima rahmat Ilahi dan akan menanggung kerugian dunia dan akhirat.
Ada baiknya kami menyebutkan sebagian ayat-ayat al-Quran yang secara gamblang mendeklarasikan bahwa Islam adalah agama rahmat:

    Nabi Islam Sang Nabi Rahmat

«وَ ما اَرْسَلْناکَ اِلاَّ رَحْمَهً لِلْعالَمِینَ»
“Dan tiadalah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Qs Al-Anbiya [21]: 107)
 
Islam menjadi rahmat bagi seluruh manusia di dunia karena Nabi Muhammad Saw membawa syariat dan ajaran di mana ketika seseorang mengamalkan ajaran-ajarannya, maka ia akan bahagia  di dunia dan di akhirat. Islam akan mendatangkan rahmat bagi ahli dunia dan bagi kaum Mukmin. Ya, Islam merupakan rahmat dari sisi bahwa pengaruhnya sedemikian berkah dan dengan berkah kebangkitan Nabi Saw serta ajakannya kepada kebahagiaan telah membawa perubahan dalam masyarakat, di mana apabila kita membandingkan keadaan masyarakat dunia sebelum dan setelah bi’tsah (pengutusan) Nabi Saw, maka berkah rahmat akan nampak kelihatan secara nyata.

 

Dapatkah Anda jelaskan pelbagai tingkatan dan stasiun sair-suluk?
Jawaban Global
Salah satu penjelasan yang paling terkenal terkait dengan tingkatan-tingkatan sair dan suluk adalah penjelasan yang diungkapkan dalam buku Manthiq al-Thair karya Fariduddin al-Atthar yang menerangkan tingkatan-tingkatan sair dan suluk dalam tujuh tingkatan. Tingkatan-tingkatan dan stasiun-stasiun itu adalah:

Thalab (menuntut). Isyq (Cinta) Makrifat (Pengetahuan) Istighna (Merasa kaya) Tauhid Hairat (Takjub) FanaKlasifikasi tingkatan-tingkatan dan stasiun-stasiun ini lebih banyak menyoroti masalah perjalanan batin seorang sâlik (pejalan). Adapun simbol-simbol lahir suluk dan amalan-amalan yang harus dilakukan kurang begitu ditonjolkan. Meski pada sebagian penjelasan lainnya tingkatan-tingkatan amali dan praktis sair-suluk juga tetap menjadi obyek perhatian.
Jawaban Detil
Apa yang pasti, seorang salik untuk sampai pada puncak kesempurnaannya harus melintasi pelbagai tingkatan dan stasiun dalam perjalanan sair dan suluk. Tingkatan-tingkatan ini meski disebutkan dengan nama-nama dan bilangan-bilangan yang berbeda, namun kesemuanya menunjuk pada satu perjalanan tunggal. Tingkatan-tingkatan ini secara umum bermula dari thalab (menuntut), dan setelah mujahadah, memperoleh makrifat dan cinta, berakhir pada puncak perjalanan yaitu perjumpaan dengan Allah Swt (liqauLlah). Ungkapan al-Quran terkait dengan tingkatan-tingkatan sair dan suluk adalah Islam, iman, hijrat, jihad, syahâdah, imâmah dan liqaulllâh.

Salah satu penjelasan yang terkenal terkait dengan tingkatan-tingkatan sair dan suluk adalah penjelasan yang diungkapkan dalam buku Manthiq al-Thair karya Fariduddin al-Atthar yang menerangkan tingkatan-tingkatan sair dan suluk dalam tujuh tingkatan. Tingkatan-tingkatan dan stasiun-stasiun itu adalah:

Thalab (menuntut). Isyq (Cinta) Makrifat (Pengetahuan) Istighna (Merasa kaya) Tauhid Hairat (Takjub) Fana.[1] 

Kasifikasi tingkatan-tingkatan dan stasiun-stasiun ini lebih banyak menyoroti masalah perjalanan batin seorang salik (pejalan). Adapun simbol-simbol lahir suluk dan amalan-amalan yang harus dilakukan kurang begitu ditonjolkan. Kendati pada sebagian penjelasan lainnya tingkatan-tingkatan amali dan praktis sair-suluk juga tetap menjadi obyek perhatian.

Sebagian juga membagi tingkatan sair-suluk menjadi tujuh tingkatan: yakzha (kesadaran), taubat, takwa, tahliyah, tajliyah dan liqauLlâh."[2]

Sebagian arif juga menghitung adanya seratus atau seribu tingkatan suluk (perjalanan).[3]

Salah satu penjelasan eksklusif terkait dengan pelbagai tingkatan sair dan suluk disebutkan dalam risalah yang disandarkan kepada Sayid Bahrul Ulum. Beliau dalam tingkatan-tingkatan sair-suluk menyebutkan dua belas hal[4] yang kesemuanya terhitung sebagai tingkatan-tingkatan dan derajat-derajat dari Islam, iman, hijrah dan jihad. Adapun dua belas hal tersebut adalah sebagai berikut:

Islam asghar (kecil). Iman asghar (kecil). Islam akbar (besar). Iman akbar yaitu ruh dan makna Islam akbar. Hijrah akbar atau hijrah dari ahli maksiat dan kezaliman. Jihad akbar. Penaklukan dan kemenangan atas lasykar setan. Islam a'zhâm (teragung) atau dominasi atas syahwat-syahwat dan angan-angan. Iman a'zhâm (teragung) atau penyaksian ketiadaan dan fananya ia di hadapan Allah Swt. Hijrah agung atau perpindahan dari wujudnya dan melupakan dirinya. Jihad a'zhâm (teragung) yang ditempuh oleh seorang salik setelah hijrah dari dirinya dan berperantara kepada Zat Suci Allah Swt sehingga seluruh pengaruh ananiyah lebur dan hancur dan melangkah di alam tauhid mutlak. Alam khulush.Dalam Risâlah Sair wa Sulûk yang disandarkan kepada Allamah Bahrul Ulum setelah menyebutkan alam-alam dan tingkatan-tingkatan atas, dibahas tentang proses bagaimana melintasi jalan yang penuh liku dan kehormatan ini. Allamah Bahrul Ulum membeberkan dua puluh lima instruksi untuk sampai pada tujuan-tujuan menjulang ini yang akan kami sampaikan secara ringkas sebagaimana berikut ini:

Salik ilaLlâh (pejalan menuju Allah) dan pengelana jalan untuk meraih kedekatan di sisi Allah, setelah mengetahui prinsip-prinsip agama demikian juga hukum-hukum agama, siap-siap melangkahkan kaki dan melakukan perjalanan, ia harus menjalankan dua puluh lima instruksi berikut ini untuk sampai tujuan:[5]

Pertama: Meninggalkan adab, adat dan kebiasaan yang menghalangi manusia untuk melintasi jalan ini dan tenggelam dalam pelbagai noda dan kontaminasi.

Kedua: Tekad bulat untuk melintasi jalan, tidak takut kepada siapapun dan dengan bersandar kepada Allah Swt ia tepiskan segala keraguan yang datang menghampiri. 

Ketiga: Bersikap lembut dan moderat yang bermakna bahwa pada saat itu jangan menimpakan banyak hal kepada dirinya karena jangan sampai muncul kebencian dan kejenuhan dalam dirinya sehingga tertinggal dalam perjalanan.

Keempat: Istiqâmah yang bermakna bahwa ia harus tetap setia terhadap taubatnya dan supaya tidak lagi kembali melakukan kesalahan dan dosa. Demikian juga ia harus setia menjalankan apa yang dipesankan oleh sang guru.

Kelima: Stabil dan dawam yang bermakna program-program yang ia pilih dijadikan sebagai adat yang berterusan sehingga tidak lagi menyisakan peluang baginya untuk kembali kepada kebiasaannya yang telah lalu.

Keenam: Murâqabah yang bermakna menaruh perhatian kepada dirinya dalam segala kondisi supaya tidak melakukan kesalahan.

Ketujuh: Muhâsabah yang telah disinggung dalam hadis "Bukan dari kami yang tidak melakukan muhasabah atas dirinya setiap hari."

Kedelapan: Muakhâdzah yang bermakna bahwa setiap kali ia melakukan kesalahan maka ia harus menghukum dirinya.

Kesembilan: Musâra'ah yang bermakna bersegera, sesuai dengan tuntutan perintah, "Bersegeralah menuju pengampunan Tuhanmu"[6] yang disebutkan dalam al-Qur'an sebelum setan membisikan was-was kepadanya.

Kesepuluh: Irâdah yang bermakna bahwa batinnya sedemikian ia ikhlaskan sehingga tidak tersisa lagi unsur pengecohan di dalamnya dan melabuhkan seluruh cintanya pada Nabi Saw dan para washinya.

Kesebelas: Adab yang bermakna menjaga adab terkait dengan Allah Swt, Rasulullah Saw dan para khalifah maksumnya. Dalam menjaga adab ini sekali-kali kita tidak melontarkan ucapan yang bernada protes dan berusaha dalam mengagungkan orang-orang suci ini bahkan dalam mengemukakan keperluan menghindari menggunakan kata-kata perintah dan larangan.

Keduabelas: Niat yang bermakna memurnikan niat dalam perjalanan dan seluruh amalan yang dilakukan sepenuhnya untuk Allah Swt.

Ketigabelas: Shamt yang bermakna diam dan menjaga lisan untuk tidak banyak berkata-kata kecuali seperlunya.

Keempatbelas: Ju' dan makan sedikit yang merupakan salah satu syarat penting untuk dapat melintasi jalan ini namun tidak sampai menyebabkan kelemahan dan kelemasan.

Kelimabelas: Khalwat yang bermakna mengasingkan diri dari ahli maksiat dan pecinta dunia. Dan menjauhkan diri dari kebisingan dan keonaran tatkala ibadah dan berdzikir. 

Keenambelas: Sahar dan bangun ketika dini malam (khususnya akhir malam) yang berulang kali ditekankan pada ayat dan riwayat.

Ketujuhbelas: Senantiasa menjaga kesucian yang bermakna senantiasa dalam keadaan wudhu yang memberikan cahaya khusus kepada batin manusia.

Kedelapanbelas: Thadarru' (tunduk rendah) di hadapan Tuhan. Sedapat mungkin mengungkapkan kerendahan di hadapan Tuhan.

Kesembilanbelas: Sedapat mungkin tidak memenuhi keinginan nafsu (bahkan pada hal-hal mubah).

Kedupuluh: Menjaga rahasia yang merupakan syarat terpenting mengingat para guru sangat menekankan hal ini. Demikian juga seluruh amalan dan programnya di jalan dirahasiakan (supaya tidak memunculkan riya dan pamer dalam hal ini). Apabila ia mencapai tingkatan mukasyafah alam-alam gaib, ia juga harus merahasiakannya dan tidak mengungkapnya kepada siapa pun (supaya tidak dijangkiti penyakit ujub dan ananiyah).

Keduapuluh satu: Memiliki guru dan murabbi baik itu guru umum yang membimbing dan menemani seluruh aktifitas yang terkait dengan sair dan sulûk  dan guru khusus yaitu Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As.

Namun salik harus memperhatikan bahwa tingkatan ini merupakan tingkatan yang sangat sublim dan subtil. Sepanjang Anda tidak memiliki pengetahuan tentang kelayakan ilmiah dan agama tentangnya maka jangan pernah mengandalkan bimbingan-bimbingannya karena terkadang setan muncul dalam pakaian seorang guru. Srigala berpakaian gembala dan menyimpangkan salik dari jalan yang ingin ia tuju.

Allamah Thabathabai dalam hal ini berkata, "Bahkan nampaknya sesuatu yang di luar kebiasaan dan memiliki ilmu gaib serta rahasia-rahasia tersembunyi manusia, melintasi air dan api, mengetahui masa depan dan semisalnya tidak dapat dipastikan bahwa orang-orang yang melakukan hal seperti ini memiliki maqam tinggi di jalan sulûk ilaLlâh. Karena, semua ini diperolah pada tingkatan mukâsyafah mental, dan dari tingkatan itu masih terbentang jalan yang sangat panjang untuk sampai tingkatan wushûl dan kesempurnaan.

Keduapuluh dua: Wirid yaitu dzikir-dzikir lisan yang membuka jalan bagi salik dan membantunya untuk melintasi jalan berliku menuju Allah Swt.

Keduapuluh tiga: Menafikan segala kenangan yang bermakna menguasai hatinya dan memerintah atasnya serta konsentrasi pikiran sedemikian sehingga tiada gambaran dan kenangan yang muncul dalam benaknya kecuali mengikut izin dan dalam kondisi ikhtiar. Dengan kata lain, jangan biarkan pikiran disibukkan dengan hal-hal yang tidak jelas dan hal ini merupakan salah satu pekerjaan yang pelik.

Keduapuluh empat: Pikiran yang bermakna bahwa salik dengan pikiran yang dalam dan benar dalam pengetahuan dan makrifat berusaha seluruh pikirannya terkait dengan sifat dan nama-nama Ilahi serta segala manifestasi dan perbuatan-Nya.

Keduapuluh lima: Dzikir yang bermakna perhatian hati kepada Zat Suci Ilahi; bukan dzikir lisan yang disebut sebagai wirid. Dengan kata lain, seluruh perhatiannya diarahkan kepada keindahan Allah Swt dan menutup matanya dari selain-Nya.

Demikianlah ringkasan dari Risâlah Sair dan sulûk  yang disandarkan Allamah Bahrul Ulum dimana Allamah Thabathabai juga mengikut metode ini, sesuai dengan apa yang diuraikan pada Risalah Lubb al-Lubâb, dengan sedikit perbedaan.

Akhir kata perlu untuk diingat bahwa masing-masing dari pusaka yang penuh nilai ini berada pada tataran menjelaskan tingkatan-tingkatan sair dan suluk dari para pendahulu yang sampai kepada kita. Bagi orang-orang yang sementara dalam perjalanan Irfan, penjelasan tingkatan-tingkatan dan stasiun-stasiun ini sangat bernilai namun demikian penyusunan pelbagai tingkatan sair dan suluk yang memiliki metode Qurani dan mencakup ajaran-ajaran suci Syiah dan peran sentral imam tetap merupakan sebuah kemestian.

Di samping itu, menaruh perhatian pada seluruh sisi eksoterik dan esoterik, teoritis dan praktis, personal dan sosial yang menjawab seluruh persoalan dan kebutuhan seorang salik pada masa sekarang ini adalah suatu hal yang niscaya diperlukan.[7] [iQuest]

 

[1]. Atthar dalam Manthiq al-Thair menyebut tujuh stasiun suluk, "Thalab, isyq, ma'rifat,... " Lughat Nâme Dekhâda, terkait dengan klausul haft wâdi.  
[2]. Husain Mazhahiri, Kâwusyi Nu dar Akhlâq Islâmi wa Syu'un Hikmat 'Amali, jil. 1, Fashl Panjum, Cegunegi Tazkiyah, Dengan judul, "Syiweh-hâye Pâk Kardan Nafs az Pelesytihâ, Muassasah Nasyr wa Tahqiqat-e Dzikr, Teheran, 1382 S.  
[3]. Di antara buku terpenting Khajah Abdullah Anshari adalah Shad Maidân dan Manâzil al-Sâirin yang menulis tentang tingkatan-tingkatan sair dan suluk. Dalam buku  Shad Maidân dengan bersandar pada tuturan Khidir As yang menyatakan bahwa terdapat ribuan makam antara hamba dan Tuannya, Khaja Abdullah Anshari berkata, "Dan ribuan makam itu adalah stasiun-stasiun yang dilalui oleh para pejalan menuju Tuhan." Syarat setiap stasiun adalah taubat batin dan taubat lahir, semenjak makrifat hingga cinta terbentang ribuan stasiun dan dari pengetahuan hingga kelancangan terbentang ribuan stasiun. Kalimat ini kemudian tertulis pada Shad Maidan (Seratus Medan), "Awal gerakan salik (pejalan) adalah taubat – medan pertama – dan ujung perjalanan adalah fana yaitu medan keseratus."
[4]. Mahdi bin Sayid Murtadha Bahr al-'Ulum, Risâlah Sair wa Suluk, Mansub be Bahrul Ulum, Kata Pengantar Sayid Husain Tehrani, hal. 76 – 109, Intisyarat Allamah Thabathabai, Masyhad 1417 H.  
[5]. Ibid, hal. 145 - 172
[6]. (Qs. Ali Imran [3]:133)  
[7]. Sehubungan dengan tingkatan-tingkatan dan stasiun-stasiun sair-suluk silahkan lihat, "Ali Akbar Khanjani, Sair wa Suluk 'Irfâni (Ahwâl-Marâhil wa Maqâmât), artikel Sayad Tu Basyi, hal. 209,