کمالوندی

کمالوندی

 

Menurut Allamah media apakah yang paling ampuh dan kukuh dalam menetapkan kebenaran? 

Apa perbedaan krusial antara epistemologi Mulla Sadra dan Allamah Thabathabai?

 

Salam sejahtera. Terima kasih sebelumnya atas kesediaan Anda menjawab pertanyaan saya. Yang ingin saya tanyakan adalah bagaimanakah epistemologi itu dalam pandangan Allamah Thabathabai? Menurut Allamah media apakah yang paling ampuh dan kukuh dalam menetapkan kebenaran? Apa perbedaan krusial antara epistemologi Mulla Sadra dan Allamah Thabathabai?
Jawaban Global

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa secara umum para filosof Ilahi entah itu filosof Peripatetik (Massyâ'), filosof Iluminasi (Isyrâq), dan filosof Hikmah (Hikmah Muta'âliyah) bahkan para arif juga, berpendapat yang kurang lebih sama dalam masalah epistemologi; karena pertama, mereka meyakini bahwa dunia keberadaan adalah sesuatu yang ril dan faktual; mereka juga meyakini bahwa alam keberadaan memiliki nafs al-amr. Dengan kata lain, pandangan para filosof ini berseberangan dengan para sophis yang memandang alam keberadaan sebagai khayalan dan fantasi semata. Sementara filosof Ilahi mengakui realitas dan hakikat alam keberadaan.
Kedua, mereka meyakini bahwa realitas (pemahaman yang sesuai dengan kenyataan) itu sebagian ada; artinya alam keberadaan di samping ia ada, ia juga dapat ditemukan dengan perantara ilmu dan pengetahuan manusia dan manusia dapat mengenal alam keberadaan ini.
Ketiga, realitas (pemahaman yang sesuai dengan kenyataan) dalam pandangan mereka bersifat tetap dan permanen; artinya terdapat kesesuaian antara konsep dan kandungan pikiran dengan kenyataan dan nafs al-amr-nya tidak dapat bersifat temporal; melainkan bersifat permanen.[1]
Keempat, para filosof ini juga bersepakat terkait dengan media-media pengetahuan bahwa media-media dan jalan-jalan pengetahuan dalam pandangan mereka adalah: 1. Indra dan ilmu-ilmu eksperimental. 2. Akal dan argumen-argumen logis. 3. Penyingkapan dan penyaksian batin. 4. Wahyu.
Adapun yang dimaksud dengan media wahyu adalah hasil dan resultan wahyu. Hasil dan resultan wahyu merupakan salah satu media pengetahuan terhadap realitas yang terdapat pada setiap manusia; meski inti wahyu terkhusus untuk para nabi Ilahi.[2]
Poin utama yang harus mendapat perhatian adalah bahwa terkait dengan criteria standar dan nilai tiga jalan dan media pengetahuan pertama (indra, akal dan penyaksian) para filosof sedikit berbeda pendapat tentang hal ini. Dalam pandangan ahli makrifat dan irfan, penyingkapan dan penyaksian batin lebih utama; dalam pandangan mereka jalan yang paling meyakinkan untuk memahami realitas dan hakikat adalah melalui jalan penyingkapan (kasyf) dan penyaksian (syuhud) yang diperoleh melalui jalan sair dan suluk serta olah batin (riyâdhah).
Akan tetapi meski sandaran utama ahli makrifat adalah penyaksian batin dan memandang bahwa penyaksian batin lebih tinggi dari akal, namun mereka tidak memandang jalan akal bertentangan dengan jalan syuhud atau memandangnya sebagai sebuah perkara batil; melainkan dalam pandangan mereka akal yang penuh cahaya dan tidak terkontaminasi dengan pelbagai keraguan imaginasional dan ilusional, dapat berdaya guna untuk memahami realitas-realitas. Bahkan akal dapat membantu jalan penyingkapan dan penyaksian dalam memahami realitas.[3]
Dalam pandangan filsafat Peripatetik akal dan argumen-argumen logis lebih utama; dalam pandangan mereka, indra dan pengalaman juga tanpa bantuan akal tidak akan berguna bagi manusia dalam mencerap pengetahuan. Akan tetapi bersandar pada argumen-argumen rasional tidak bermakna pengingkaran terhadap penyaksian irfani; melainkan sebagian pengikut fisafat Peripatetik seperti Ibnu Sina berupaya mengelaborasi kasyf dan syuhud para arif dalam bahasa filosofis dan rasionalis.[4]
Filafat Iluminasi juga meski merupakan filsafat dzauqi, namun demikian mereka memandang penalaran dan filsafat penalaran sebagai dasar dan kemestiannya serta menilai pelatihan secara teratur akal teoritis dan fakultas penalaran merupakan tingkatan pertama kesempurnaan bagi para pencari makrifat. Dengan kata lain, filsafat Iluminasi adalah sebuah filsafat yang berupaya menciptakan hubungan antara dunia penalaran dan iluminasi atau pemikiran penalaran dan penyaksian batin.[5]
Dasar filsafat hikmah (Hikmah al-Muta'aliyah) juga membangun penjelasan pengetahuan-pengetahuan kasyf dan syuhud dengan bahasa filsafat dan akal; atas dasar itu, Mulla Sadra setelah mengelaborasi secara rasional sebagian masalah-masalah filsafat berkata, "Dengan kemurahan Allah Swt, kami menggabungkan antara dzauq dan wijdân, antara bahts dan burhân."[6]
Poin terakhir: Terkait dengan perbedaan pandangan Allamah Thabatahabai dan Mulla Sara dalam masalah epistemologi dapat dikatakan bahwa Allamah Thabathabai sembari mengakui kedudukan dan kemampuan syuhud batin dan jalan hati untuk memahami pelbagai realitas, namun secara keseluruhan apa yang menjadi perhatian utama Allamah Thabathabai dalam karya-karyanya adalah akal dan penalaran-penalaran rasional. Dengan kata lain, tidak ditemukan Allamah Thabathabai menjelaskan sesuatu dan beragumentasi dengan memanfaatkan kasyf dan syuhud batin; sebagai hasilnya nampaknya dalam pandangan Allamah Thabathabai, akal sebagai media kokoh dan bersifat umum bagi setiap manusia untuk menyingkap realitas.
Namun Mulla Sadra di samping ia merupakan seorang filosof rasionalis namun dalam karya-karyanya kita banyak menyaksikan masalah-masalah dzauqi dan syuhudi. Mulla Sadra dalam mukadiimah al-Asfar menyinggung sedikit tentang sekelumit biografinya dan perjalanan ilmunya, dan bagaimana ia dapat sampai pada level kasyf dan syuhud: "Kemudian saya mengalihkan perhatian secara instingtif terhadap Penyebab segala sesuatu (musabbib al-asbab) dan tunduk pada Sosok yang memudahkan pekerjaan-pekerjaan rumit. Kemudian setelah beberapa lama, saya dalam kondisi bersembunyi dan mengisolasi diri, dikarenakan oleh perjuangan dan perjalanan panjang, jiwaku memperoleh derajat cahaya yang tinggi dan hatiku menjadi cair disebabkan oleh pelbagai olah batin (riyâdhah). Sebagai hasilnya, jiwaku disinari cahaya-cahaya malakut, dihiasi ornamen alam jabarut dan dipendari cahaya-cahaya ahadiyat. "[7]
Sebagaimana Mulla Sadra dalam beberapa hal untuk mengelaborasi dan menetapkan masalah di samping menggunakan argumentasi juga memanfaatkan kasyf dan syuhud. Sebagai contoh kami akan menyinggung dua hal: 1. Kasyf dan burhan yang menjelaskan hal ini dan bersepakat bahwa seuruh entitas berada pada tataran untuk mencapai tingkatan tertinggi kebaikan dan cahaya yang lebih unggul (cahaya Allah Swt).[8]
2. Bagi kami kekuatan argumentasi dan cahaya kasyf serta syuhud tampak jelas. Ketiganya merupakan sumber tertinggi untuk meluaskan dan kekuatan eksistensial. Ketiganya merupakan sumber awal dan juga sumber akhir."[9] [iQuest]

[1]. Silahkan lihat, Murtadha Muthahhari, Ushûl Falsafah, jil. 1, hal. 103-108, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Tanpa Tahun.
[2]. Silahkan lihat, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Syi'ah dar Islâm, hal. 74-100, Bustan Kitab, Qum, Cetakan Kelima, 1388 S.
[3]. Silahkan lihat, Yadullah Yazdanpanah, Mabâni wa Ushûl 'Irfân Nazhari, hal. 139-142, Muassasah Imam Khomeini, Qum, Cetakan Pertama, 1388 S.
[4]. Ibnu Sina bagian-bagian (Namath 8, 9, 10) kitab Isyarat mengkhususkan masalah ini; bahkan Namath 9 dinamai dengan "Maqâmat al-'Ârifin" yang membahas masalah ini.
[5]. Silahkan lihat, Syaikh Isyraq, Majmu'ah Mushannafât Syaikh Isyrâq, dengan mukadimah Sayid Husain Nashr, Mukaddimah, hal. 32, Muassasah Muthala'at wa Tahqiqat Farhanggi, Teheran, Cetakan Kedua, 1375 S.
[6]. Muhammad Shadr al-Muta'llihin (Mulla Sadra), al-Hikmat al-Muta'âliyah, jil. 8, hal. 143, Mansyurat Mustafawi, Qum, Tanpa Tahun.

[7]. Ibid, jil. 1, hal. 8.
[8]. Ibid, jil. 8, hal. 38.
[9]. Ibid, jil. 9, hal. 140.

Selasa, 21 Desember 2021 16:20

Kapan haji mulai diwajibkan?

 

kapan haji mulai diwajibkan? Jawaban Global Berdasarkan riwayat, haji memiliki latar belakang yang sangat panjang dan sedemikian panjang sehingga sampai pada masa-masa sebelum penciptaan Nabi Adam As. Disebutkan bahwa setelah pelaksanaan haji Nabi Adam As usai, malaikat Jibril bersabda kepadanya, “Berbahagialah wahai Adam! Engkau telah dimaafkan. Aku bertawaf di sekeliling rumah (Ka’bah) ini tiga ribu tahun sebelumm

kapan haji mulai diwajibkan?
Jawaban Global
Berdasarkan riwayat, haji memiliki latar belakang yang sangat panjang dan sedemikian panjang sehingga sampai pada masa-masa sebelum penciptaan Nabi Adam As.
Disebutkan bahwa setelah pelaksanaan haji Nabi Adam As usai, malaikat Jibril bersabda kepadanya, “Berbahagialah wahai Adam! Engkau telah dimaafkan. Aku bertawaf di sekeliling rumah (Ka’bah) ini tiga ribu tahun sebelummu.”
Adapun tata cara dan urutan pelaksanaan haji kaum Muslimin dengan manasik-manasik seperti tawaf, sa’i, memotong hewan qurban, melempar jumrah, semuanya kembali pada masa-masa Nabi Ibrahim As. Karena secara pasti, peletak batu pertama haji secara resmi juga dilakukan oleh Nabi Ibrahim As dan Allah Swt memerintahkan kepadanya untuk mengumumkan haji dan menyeru orang-orang untuk datang berhaji ke rumah Ka’bah.
 
Jawaban Detil
Berdasarkan riwayat haji, memiliki latar belakang yang sangat panjang dan sedemikian panjang sehingga sampa pada masa-masa sebelum penciptaan Nabi Adam As seperti apa yang diungkap oleh Imam Shadiq As yang bersabda, “Setelah pelaksanaan haji Nabi Adam As usai, malaikat Jibril bersabda kepadanya, “Berbahagialah wahai Adam! Engkau telah dimaafkan. Aku bertawaf di sekeliling rumah (Ka’bah) ini tiga ribu tahun sebelummu.”[1]
Demikian juga Imam Shadiq As bersabda, “Setelah Nabi Adam kembali dari Mina (dan hajinya berakhir), para malaikat bertemu dengannya dan berkata kepadanya, “Wahai Adam! Hajimu berjalan baik! Kami menunaikan ibadah haji di rumah ini dua ribu tahun sebelummu.”[2]
Seseorang datang bertanya kepada Amirul Mukminin Ali As, “Siapakah penghuni langit yang pertama kali menunaikan haji?” Imam Ali As menjawab, “Jibril adalah malaikat penghuni langit yang pertama menunaikan ibadah haji.”[3]
Adapun tata cara dan urutan pelaksanaan haji kaum Muslimin dengan manasik-manasik seperti tawaf, sa’i, memotong hewan qurban, melempar jumrah, semuanya kembali pada masa-masa Nabi Ibrahim As. Karena secara pasti, peletak batu pertama haji secara resmi juga dilakukan oleh Nabi Ibrahim As dan Allah Swt memerintahkan kepadanya untuk mengumumkan haji dan menyeru orang-orang untuk datang berhaji ke rumah Ka’bah. Dalam hal ini, al-Quran menyatakan:
«وَ أَذِّنْ فِی النَّاسِ بِالْحَجِّ یَأْتُوکَ رِجالاً وَ عَلى‌ کُلِّ ضامِرٍ یَأْتینَ مِنْ کُلِّ فَجٍّ عَمیق»
“Dan serulah seluruh manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (Qs. Hajj [23]:27)
Akan tetapi sepanjang zaman – khususnya pada masa jahiliyah – haji Ibrahimi juga sebagaiman hukum-hukum lainnya mengalami penyimpangan. Berikut ini kami akan melampirkan sebagian amalan haji dan sebagian yang telah mengalami penyimpangan:

    “Kemudian bertolaklah kamu (menuju Mina) dari tempat orang-orang banyak bertolak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[4]

 Ayat ini menyoroti tentang salah satu tradisi orang-orang musyrik Mekkah pada masa jahiliyah dimana wukuf di Arafah hanyalah terkhusus bagi orang-orang yang datang dari luar kota Mekkah yang ingin menunaikan ibadah haji, namun Quraisy dan suku-suku di sekeliling kota Mekkah serta kerabat-kerabat Quraisy tidak termasuk dari perintah ini. Hal ini diungkap oleh Imam Shadiq tatkala menjelaskan ayat ini, “Orang-orang Quraisy berkata, “Kami lebih unggul atas Kabah ketimbang orang lain. Karena itu (untuk pelaksanaan haji) kalian mulai dari Muzdalifah (Masy’ar) dan tidak perlu pergi ke Arafah! Allah Swt memerintahkan kepada mereka untuk memulai dari Arafah sebagaiman orang lain.”[5]

    “Sesungguhnya nasî’ (mengubah-ubah dan mengundur-undurkan bulan-bulan haram itu) adalah menambah kekafiran yang dengan tindakan ini orang-orang yang kafir disesatkan. Mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Allah haramkan (dengan tujuan supaya mereka dapat menyempurnakan jumlah bilangan empat bulan haram itu). Maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Perbuatan mereka yang buruk itu dijadikan indah dalam pandangan mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”[6]

Ayat mulia ini menyinggung tentang sebuah tradisi sesat masyarakat jahiliyah yang disebut sebagai nasi yang bermakna mengubah-ubah bulan-bulan haram itu dimana perbuatan ini setiap tahunnya dilakukan melalui sebuah perayaan khusus di Mina yang menunjukkan sikap pragmatis mereka; karena dengan mengubah dan mengganti tahun-tahun haram ini, mereka ingin penyelenggaran haji dilakukan sesuai dengan kepentingan dagang dan propaganda mereka. Karena itu, mereka berusaha supaya haji dilakukan pada hari-hari yang menyenangkan dan waktu-waktu mudah namun mengingat haji dilakukan pada hari-hari Dzulhijjah dan terkadang bulan Dzulhijjah panas matahari di Mekkah sangat terik dan menyengat sehingga membuat susah orang-orang yang menunaikan ibadah haji dan buntutnya dapat merubah kalkulasi perdagangan mereka. Oleh itu, dengan nasi mereka ingin musim haji dilakukan pada musim yang lebih sesuai dan cocok dengan kondisi mereka. Perbuatan ini berlanjut sampai tahun sepuluh Hijriah hingga Rasulullah Saw pada Hajjatul Widâ melarang perbuatan ini.[7] Dengan turunnya ayat ini, nasi dipandang sebagai perbuatan kufur sehingga pelaksanaan haji tidak menjadi alat permainan orang-orang pragmatis yang ingin mencari keuntungan.

    “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar (dan tanda-tanda kebesaran) Allah. Maka barang siapa yang melakukan ibadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa (baca: larangan) baginya mengerjakan sai antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati (di samping kewajiban itu), sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.”[8]

Salah satu amalan haji pada masa jahiliyyah, sai antara gunung-gunung Shafa dan Marwah namun di tas gunung ini, diletakkan dua berhala yang bernama Asaf dan Nailah sehingga kaum musyrik dapat memberi penghormatan pada dua berhala ini tatkala melakukan sai. Akibatnya, kaum Muslimin disebabkan oleh latar belakang tercela seperti ini enggan melakukan sai antara Shafa dan Marwah pada musim haji. Mereka mengira perbutan ini adalah perbuatan jahiliyah. Allah Swt dengan mewahyukan ayat ini, gambaran dan anggapan ini ditolak dan menyatakan bahwa sai antara Shafa dan Marwah merupakan salah satu syiar dalam agama, sebagaimana Muawiyah bin Ammar meriwayatkan dari Imam Shadiq As yang bersabda, “Kaum Muslimin beranggapan bahwa sai antara Shafa dan Marwah merupakan ciptaan orang-orang musyrik dan akibatnya Allah Swt menurunkan ayat mulia ini...”[9]

    Salah satu tradisi jahiliyah lainnya pada pelaksanaan haji adalah melakukan thawaf dalam kondisi telanjang. Mereka meyakini bahwa penyediaan pakaian ihram berada di tangan Quraisy dan apabila ada seseorang tidak memiliki pakaian ihram maka ia harus melakukan thawaf dalam kondisi telanjang dan memandang batal mengenakana pakaian dan kain yang berasal dari luar haram. Imam Shadiq As bersabda, “Rasulullah Saw setelah menaklukkan kota Mekkah tidak menghalangi orang-orang musyrik melakukan ziarah baitullah dan salah satu kebiasaan ziarah orang-orang musyrik adalah bahwa apabila mereka mengenakan pakian memasuki Mekkah dan melakukan thawaf di sekeliling baitullah dengan pakaian yang sama, maka pakaian itu harus ditanggalkan dan sedekah pakaian itu menjadi wajib baginy. Karena itu supaya mereka tidak menanggalkan pakaian-pakaian mereka maka sebelum thawaf mereka menyewa dan meminjam pakaian dari orang lain dan mengembalikan pakaian itu kepada pemiliknya setelah menunaikan thawaf. Apabila seseorang tidak menemukan pakaian untuk dipinjam dan disewa dan ia hanya memiliki satu pakaian, supaya ia tidak kehilangan baju maka ia terpaksa harus melaksanakan thawaf dalam keadaan telanjang.”[10]

Dengan datang dan berkuasanya Islam, Rasulullah Saw bangkit melawan penyimpangan-penyimpangan kaum jahiliyah. Sembari memurnikan pelaksanaan haji dari penyimpangan-penyimpangan kaum jahiliyah, beliau menghidupkan kembali tradisi Nabi Ibrahim As; karena itu haji yang diterima dan dianjurkan Islam adalah haji yang sesuai dengan tradisi Nabi Ibrahim As dan syariat suci Islam juga, dengan bentuk yang sama, mewajibkan kaum Muslimin untuk melakukan hal yang sama, dan mengajarkan kepada kita manasik haji, syarat-syarat dan rukun-rukunnya. [iQuest]
 
 
 
[1]. Syaikh Shaduq, ‘Ilal al-Syarâ’i, jil. 2, hal. 407, Kitabpurusyi Dawari, Cetakan Pertama, Qum, 1385 S.  
[2]. Syaikh Shaduq, Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, jil. 2, hal. 230, Daftar Nasyr Islami, Qum, Cetakan Kedua, 1404 H.  
[3]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 10, hal. 78, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, 1403 H.  
[4]. (Qs. al-Baqarah [2]:199)
«ثُمَّ أَفیضُوا مِنْ حَیْثُ أَفاضَ النَّاسُ وَ اسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحیم»
[5]. Abdu ‘Ali bin Jum’ah ‘Arusi Huwaizi, Tafsir Nur al-Tsaqalain, jil. 1, hal. 195, Ismailiyan, Qum, Cetakan Keempat, 1415 H.  
[6]. (Qs. Taubah [9]:37)
«إِنَّمَا النَّسی‌ءُ زِیادَةٌ فِی الْکُفْرِ یُضَلُّ بِهِ الَّذینَ کَفَرُوا یُحِلُّونَهُ عاماً وَ یُحَرِّمُونَهُ عاماً لِیُواطِؤُوْا عِدَّةَ ما حَرَّمَ اللهُ فَیُحِلُّوا ما حَرَّمَ اللهُ زُیِّنَ لَهُمْ سُوءُ أَعْمالِهِمْ وَ اللهُ لا یَهْدِی الْقَوْمَ الْکافِرینَ»
[7]. Tafsir Nur al-Tsaqalain, jil. 2, hal. 217.  
[8]. (Qs. al-Baqarah [2]:158)  
«إِنَّ الصَّفَا وَ الْمَرْوَةَ مِنْ شَعَآئِرِ اللهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَیْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَیْهِ أَنْ یَطَّوَّفَ بِهِمَا وَ مَن تَطَوَّعَ خَیْرًا فَإِنَّ اللهَ شَاکِرٌ عَلِیْمٌ»
[9]. Tafsir Nur al-Tsaqalain, jil. 1, hal. 146 & 148.  
[10]. Mulla Muhsin Faidh Kasyani, Tafsir Shâfi, Riset oleh Husain A’lami, jil. 2, hal. 192, al-Shadr, Tehran, Cetakan Kedua

 

-Banyak soal berkaitan dengan masalah ketuhanan, yang hanya bisa dijawab oleh kalangan khusus di atas tingkat awam. Tetapi masalah keadilan Tuhan menjadi perhatian -dan dapat diikuti- semua kalangan, dari yang awam sampai yang pakar.
-Muslimin tidak berselisih tentang sifat-sifat bagi Allah, melainkan tak setajam perselisihan mereka tentang masalah adil. Sampai batas, keyakinan terkait masalah ini membawa identitas bahwa fulan syii atau sunni, dan jika sunni, ia mutazili atau asyari.
Mutazilah dan Syiah meyakini keadilan Tuhan bahwa Dia mustahil berbuat lalim, keduanya dikenal dengan Adliyîn atau Adaliyah. Karena mereka memandang adil sebagai dasar agama. Lalu keduanya terpisah oleh masalah imâmah (kepemimpinan ilahiah) yang dipandang oleh Syiah sebagai dasar lainnya bagi agama.
Asyairah sama sekali tidak mengingkari keadilan Tuhan. Tidaklah mungkin mereka memandang bahwa Allah tidak adil. Yang menjadi persoalan di sini ialah mengenai potensi akal, bahwa ia mampu menjangkau nilai-nilai perbuatan-perbuatan (termasuk perbuatan Tuhan), mana yang harus dilakukan dan yang ditinggalkan. Misalnya, Allah swt memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dan orang-orang kafir ke dalam neraka.
Jadi, titik mendasar perbedaan antara Asyariah dan Adaliyah terletak pada baik dan buruk. Bahwa, perbuatan itu sendiri dalam pandangan Asyarah tidak mensifati baik atau buruk. Baik dalam urusan yang ada (takwini) adalah apa yang Allah lakukan, dan dalam urusan yang diadakan (tasyrii) adalah apa yang Allah perintahkan.
Sedangkan dalam pandangan Adaliyah, perbuatan itu mensifati baik atau buruk. Potensi akal sampai pada pengetahuan sisi-sisi baik dan buruk dalam perbuatan-perbuatan. Rasionalitas ini tak berarti naudzubillah sampai dikatakan- bahwa: akal memberi perintah dan larangan kepada Tuhan. Melainkan ia menyingkap keselarasan dan ketidak selarasan suatu perbuatan dengan kesempurnaan ilahiyah. Atas dasar inilah pandangan akal bahwa mustahil perbuatan buruk dari Allah swt.

Mengapa Keadilan Bagian dari Ushuluddin?
Adil salah satu sifat positif dan kesempurnaan bagi Allah. Alasan bahwa sifat ini dipandang sebagai dasar agama (ushuluddin):
1-Memiliki urgensi yang khas, bahwa banyak sifat yang melazimkan adil atau didasari keadilan. Karena maknanya luas, yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya.
2-Keadilan Tuhan mendasari prinsip maad (hari akhir) dan nubuwah yang keduanya sebagai dasar agama, dan konsep imamah yang menjadi dasar mazhab Syiah.
3-Di antara semua sifat Allah, adil terpilih menjadi salah satu dasar agama dalam mazhab Syiah (dengan kata lain, bagian dari dasar-dasar mazhab Syiah), memiliki akar historis dan akar politis:
Yang pertama, telah disinggung di atas mengenai baik dan buruknya perbuatan, Asyarah memandang bahwa apapun yang Allah inginkan dan lakukan adalah baik. Termasuk seandainya Dia memasukkan Imam Ali as ke dalam neraka dan pembunuhnya, Ibnu Muljam, ke dalam surga, terlepas dari pandangan akal bahwa semua perbuatan Tuhan memuat hikmah (bijaksana).
Akal memandang setiap perbuatan Tuhan tidak kontra hikmah walaupun seluruh alam keberadaan adalah milik-Nya, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu. Allah swt menjanjikan surga bagi para hamba yang saleh, dan neraka bagi kaum yang thâleh (durhaka). Mustahil bagi Allah ingkar janji, dan karena itu buruk maka tak mungkin Dia melakukan keburukan.
Akal menilai bahwa Allah tidak mungkin berbuat lalim, bukan membatasi kemaha kuasaan-Nya. Melainkan hikmah (kebijaksanaan-Nya) lah yang meniscayakan qudrah (kuasa-Nya) pada posisi yang semestinya.
Yang kedua, bertolak pada periode bani Umayah dan bani Abbasiyah, para penguasa untuk mencegah tindakan-tindakan protes, gejolak dan kebangkitan umat, propaganda mereka ialah bahwa segala sesuatu adalah kehendak Allah, termasuk menjadikan mereka berkuasa, dan tak seorang pun yang berhak bicara terhadap kehendak-Nya. Sebab, kekuasaan bagi mereka di dunia ini adalah takdir-Nya (jabr; determinisme), dan tiada pilihan bagi orang-orang yang dikuasai mereka. Determinisme ini membawa keridhaan Allah, dan oleh karena itu apapun yang Allah perbuat adalah adil.
4-Keadilan diangkat sebagai dasar agama, sebuah isyarat untuk menghidupkan keadilan di tengah umat dan perlawanan terhadap segala bentuk kezaliman. Seperti halnya tauhid sebagai cahaya penyeru persatuan dan kesatuan di tengah mereka, untuk mengokohkan satu barisan, maka kepemimpinan para nabi dan imam (as) merupakan kepemimpinan kebenaran di tengah seluruh umat manusia. Oleh karena itu, prinsip keadilan Tuhan di seluruh alam keberadaan, mengisyaratkan keharusan menerapkan keadilan di tengah umat manusia dari segala lapisan.

Referensi:
-Al-Adl al-Ilahi/Syahid Mutahari
-Silsilatu ad-Durus fi al-Aqaid al-Islamiyah/Ayatullah Syaikh Makarim Syirazi
-Durus fi al-Aqidah al-Islamiyah/Ayatullah Syaikh M Taqi Misbah Yazdi
-Adl/Ayatullah Syaikh Muhsin Qara`ati

 

Mengapa surah Al-Rum disebut sebagai surah Makkiyah? Sementara dalam Sunan Al-Tirmidzi disebutkan bahwa surah ini diturunkan setelah hijrah Rasulullah Saw ke Madinah?
Jawaban Global
Kebanyakan mufasir dan ulama Ulum al-Qur'an baik dari kalangan Sunni dan Syiah meyakini bahwa surah Al-Rum itu adalah surah Makkiyah (diturunkan di Mekkah)[1] kecuali ayat 17 dan 18 surah ini yang diturunkan di Madinah.[2]
Adapun riwayat yang disinggung dalam pertanyaan disebutkan di salah satu kitab sahih Ahlusunnah yang menyatakan bahwa surah Al-Rum adalah surah Madaniyah.
Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Said:
"Tatkala kaum Muslim ikut serta dalam perang Badar pasukan Romawi juga menang atas pasukan Persia. Kemudian orang-orang beriman takjub lalu turunlah ayat yang menyatakan: الم غلبَتِ الرُّوم (Alif Lâm Mîm. Telah dikalahkan bangsa Romawi) hingga بِنَصْرِ اللَّهِ "(karena pertolongan Allah)."[3]
Selanjutnya Tirmidzi berkata: "Nashr bin Ali membaca awal surah Al-Rum dengan "ghalabat" (dalam bentuk aktif [ma'lum]). "
Demikian juga Tirmidzi menilai hadis ini sebagai hadis gharib dan hasan.[4]
Riwayat yang dalam pandangan Tirmidzi sendiri merupakan gharib; bersumber dari perbedaan bacaan yang dibaca dalam bentuk aktif yang dalam hal ini menjelaskan kemenangan orang-orang Roma setelah hijrah bukan kekalahan mereka sebelum hijrah!
Namun riwayat ini tidak begitu banyak memiliki pendukung. Ibnu Asyur - salah seorang mufasir Ahlusunnah pada abad keempat belas - berkata:
"Hal demikian, adalah ucapan yang tidak ada seorang pun yang mengikutinya.[5] Demikian juga tiada seorang pun mufasir Ahlusunah yang menerima ucapan ini."[6]
Atas dasar itu, sesuai dengan riwayat dan bacaan masyhur yang memandang ayat "ghulibat" - dibaca secara passif - dapat disimpulkan bahwa surah Al-Rum adalah surah Makkiyah dan sejalan dengan peristiwa-peristiwa sejarah. [iQuest]

[1]. Muhammad bin Hasan, Syaikh Thusi, al-Tibyân fi Tafsir al-Qur'ân, jil. 8, hal. 227, Beirut, Dar al-Ihya al-Turats al-‘Arabi, Tanpa Tahun; Fadhl bin Hasan Thabarsi, Majma' al-Bayân fi Tafsir al-Qur'ân, jil. 8, hal. 459, Nasir Khusruw, Cetakan Ketiga, Tehran, 1372 S; Muhammad bin Umar Fakhrrurazi, Mafâtih al-Ghaib, jil. 25, hal. 79, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Cetakan Ketiga, Beirut 1420; Sayid Mahmud Alusi, Ruh al-Ma'âni fi Tafsir al-Qur'ân al-Azhim, jil. 11, hal. 18, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cetakan Pertama, Beirut, 1414 H; Abul Qasim Muhammad bin Muhammad Nuwairi, Syarh Thayyibah al-Nasyr fi al-Qirâ'ah, jil. 2, hal. 503, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cetakan Pertama, Beirut, 1424 H.
[2]. Al-Tibyân fi Tafsir al-Qur'ân, jil. 8, hal. 227; Majma' al-Bayân fi Tafsir al-Qur'ân, jil. 8, hal. 459; Abdullah bin Umar Baidhawi, Anwâr al-Tanzil wa Asrâr al-Ta'wil, jil. 4, hal. 201, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, Cetakan Pertama, Beirut, 1418 H.
[3]. "Alif Lâm Mîm. Telah dikalahkan bangsa Romawi. Di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang. Dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka kalah dan menang itu). Dan di hari itu orang-orang yang beriman bergembira (lantaran suatu kemenangan yang lain). Karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang." (Qs. Al-Rum [30]:1-5) Muhammad bin Isa Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Riset dan annotasi: Ahmad Muhammad Syakir, Muhammad Fuad Abdul Baqi, jil. 5, hal. 343, Syarkah Maktabah wa Mathba' Mustafa al-Babi al-Halabi, Cetakan Kedua, Mesir, 1395. Silahkan lihat, Abdur-Rahman, Ibn Abi Hatim, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, Riset oleh: As'ad Muhammad al-Thayyib, jil. 9, hal. 3087, Maktabah Nizar Mustafa al-Baz, Cetakan Ketiga, Arab Saudi, 1419 H.
«عَنْ أَبِی سَعِیدٍ، قَالَ: لَمَّا کَانَ یَوْمُ بَدْرٍ ظَهَرَتِ الرُّومُ عَلَى فَارِسَ فَأَعْجَبَ ذَلِکَ المُؤْمِنِینَ فَنَزَلَتْ: "الم غُلِبَتِ الرُّومُ" - إِلَى قَوْلِهِ - "یَفْرَحُ المُؤْمِنُونَ بِنَصْرِ اللَّهِ" قَالَ: فَفَرِحَ المُؤْمِنُونَ بِظُهُورِ الرُّومِ عَلَى فَارِسَ».
[4]. Ibid.
«هَذَا حَدِیثٌ حَسَنٌ غَرِیبٌ مِنْ هَذَا الوَجْهِ، کَذَا قَرَأَ نَصْرُ بْنُ عَلِیٍّ "غَلَبَتِ الرُّومُ"»

[5]. Muhammad bin Thahir, Ibnu Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, jil. 9, hal. 5, Muassaah al-Tarikh, Cetakan Pertama, Tanpa Tahun.
«و هذا قول لم یتابعه أحد».
[6]. Silahkan lihat, Muhammad Tsanaullah Mazhhari, al-Tafsir al-Mazhhari, jil. 7, hal. 221, Maktabah Rusydiyah, Pakistan, 1412 H.

 

Hari Lahir

Di rumah yang dindingnya berlapiskan tanah, di kota Madinah Al-Munawwarah, seorang cucunda Nabi, Hasan dilahirkan. Hari itu bertepatan dengan 15 Ramadhan. Hasan kecil diasuh dalam haribaan datuknya, Muhammad saw dan ayahnya Ali bin Abi Thalib as, serta ibunya Fatimah Az-Zahra’ as.

Rasulullah saw sangat mencintai Hasan as. Beliau mengatakan, "Hasan bin Ali adalah putraku." Dalam kesempatan yang lain beliau menyatakan, “Hasan adalah permata hatiku di dunia."

Sudah lama kaum muslimin menyaksikan Nabi saw sering membawa Hasan as di pundaknya dan beliau pernah berkata, “Semoga Allah SWT mendamaikan dua kelompok dari kaum muslimin dengan perantaranya.” Kemudian beliau berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah dia dan cintailah orang-orang yang mencintainya." Beliau pun senantiasa mengulang-ulang berita ini, "Hasan dan Husain adalah penghulu para pemuda di surga."

Suatu hari Rasulullah saw melakukan salat di masjid. Kemudian Hasan as menghampirinya, sedang beliau dalam keadaan sujud. Karena ia naik ke atas punggungnya, lalu duduk di leher datuk kinasihnya itu, Rasulullah saw bangun dari sujudnya secara perlahan-lahan sampai Hasan turun sendiri.

Tatkala beliau selesai dari salatnya, sebagian sahabat berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya engkau telah berbuat sesuatu terhadap anak kecil ini yang tidak pernah engkau lakukan kepada yang lainnya."

Nabi menjawab, "Sesungguhnya anak ini adalah jantung hatiku dan anakku ini adalah ‘sayid’ (sang pemimpin). Semoga Allah SWT mendamaikan dua kelompok muslim yang berseteru melalui tangannya."
Perangai Imam Hasan as

Suatu waktu, Imam Hasan as dan Imam Husain as berjalan menuju masjid. Tiba-tiba mereka menyaksikan seorang kakek tua yang sedang berwudhu. Namun, tata cara wudhunya tidak benar.

Imam Hasan as berpikir sejenak, bagaimana cara menunjukkan wudhu yang benar kepada kakek tersebut tanpa harus menyinggung perasaannya. Kemudian, keduanya mendatangi kakek tersebut seolah-olah keduanya sedang bertengkar tentang wudhu siapakah yang benar. Masing-masing mengatakan, "Wudhumu tidak benar!" Kemudian keduanya berkata pada kakek tersebut, "Wahai kakek, berilah keputusan yang bijak untuk kami berdua, mana di antara kami yang wudhunya benar."

Maka, mulailah keduanya berwudhu. Lantas kakek itu mengatakan, "Wudhu kalian semua sudah benar." Kemudian kakek itu menunjuk kepada dirinya sendiri dan berkata, "Hanya kakek yang bodoh inilah yang tidak benar wudhunya, dan kini telah belajar dari kalian berdua."

Pada suatu hari, salah seorang sahabat menyaksikan Nabi saw memanggul Hasan dan Husain di pundaknya. Sahabat itu berkata, "Semulia-mulia unta adalah unta kalian."

Nabi saw menjawab, "Dan Semulia-mulia penunggang adalah mereka berdua."
Ketakwaan Imam Hasan as

Imam Hasan as adalah orang yang paling ‘abid (tekun ibadah) pada zamannya. Ia menunaikan ibadah haji sebanyak 25 kali dengan berjalan kaki.

Bila beliau hendak berwudhu dan shalat, wajahnya menjadi pucat dan tubuhnya bergetar karena takut kepada Allah SWT. Beliau berkata, "Suatu keharusan bagi setiap orang yang berdiri di depan Tuhannya untuk merasa takut, pucat wajahnya, dan gemetar seluruh tubuhnya."

Apabila telah sampai di pintu masjid, beliau menengadahkan wajahnya ke langit dan berkata dengan penuh khusyuk, "Tuhanku inilah tamu-Mu berdiri di beranda pintu rumah-Mu! Wahai Dzat Yang Mahapemurah, telah datang orang yang banyak melakukan keburukan kepada-Mu! Maka hapuskanlah seluruh keburukan yang ada pada diriku dengan kebaikan yang ada di sisi-Mu, Wahai Yang Maha Mulia!”
Kelembutan Imam Hasan as

Pada suatu hari, Imam Hasan as berjalan di tengah keramaian masyarakat. Tiba-tiba di tengah jalan beliau bertemu dengan orang tak dikenal yang berasal dari Syam. Orang tersebut ternyata seorang yang sangat benci terhadap Ahlulbait Nabi saw (nashibi). Mulailah orang itu mencaci maki Imam. Beliau tertunduk diam tidak menjawab sepatah kata pun di hadapan cacian itu, hingga orang itu menuntaskan caciannya.

Setelah itu, Imam as membalasnya dengan senyuman, lantas mengucapkan salam kepadanya sembari berkata, "Wahai kakek, aku kira engkau seorang yang asing. Bila engkau meminta pada kami, kami akan memberimu. Bila engkau meminta petunjuk, aku akan tunjukkan. Bila engkau lapar, aku akan mengenyangkanmu. Bila engkau tidak mememiliki pakaian, aku akan berikan pakaian. Bila engkau butuh kekayaan, aku akan berikan kekayaan. Bila engkau orang yang terusir, aku akan kembalikan. Dan bila engkau memiliki hajat yang lain, aku akan penuhi hajatmu."

Mendengar jawaban Imam Hasan as tersebut, kakek tersebut terperanjat dan terkejut, betapa selama ini ia keliru menilai keluarga Nabi saw. Sejak saat itu, dia sadar bahwa Mu‘awiyah telah menipu dirinya dan masyarakat yang lain. Bahkan Mu‘awiyah telah menyebarkan isu dan fitnah tentang ihwal Ali bin Abi Thalib as dan keluarganya.

Terkesan oleh jawaban Imam as, Kakek itu pun menangis dan berkata, "Aku bersaksi bahwa engkau adalah khalifah Allah SWT di muka bumi ini, dan sesungguhnya Allah Mahatahu kepada siapa risalah-Nya ini hendak diberikan. Sungguh sebelum ini engkau dan ayahmu adalah orang-orang yang paling aku benci dari sekalian makhluk Allah. Tapi, sekarang engkau adalah orang yang paling aku cintai dari segenap makhluk-Nya."

Kakek tersebut akhirnya dibawa oleh Imam as ke rumahnya dan beliau menjamunya sebagai tamu terhormat hingga dia pergi.
Kedermawanan Imam Hasan as

Seorang pernah datang menjumpai Imam Hasan as dan meminta kepada beliau untuk memberi sejumlah uang. Atas permintaan orang itu, Imam as memberikan 50.500 Dirham.

Ketika seorang Arab Badui datang meminta, Imam as berkata, "Berikan apa yang ada dalam laci itu padanya." Di dalamnya didapati 20.000 Dinar, dan segera diberikan kepada orang Badui itu.

Pada suatu hari, Imam Hasan as melakukan tawaf di Ka’bah. Tiba-tiba beliau mendengar seseorang yang sedang berdoa kepada Allah SWT agar memberinya rezeki sebanyak 10.000 Dirham. Kemudian beliau pergi ke rumahnya, lantas mengirimkan 20.000 Dirham untuknya.

Diriwayatkan, seseorang menjumpai Imam Hasan dan berkata, "Aku telah membeli seorang budak dan ia melarikan diri dariku." Mendengar itu, beliau lekas memberinya delapan orang budak sebagai ganti budaknya yang hilang itu.
Khilafah (Kepemimpinan Islam)

Segera setelah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib menemui kesyahidan pada 21 Ramadhan akibat tebasan pedang Ibnu Muljam, kepemimpinan Islam beralih ke pundak putranya, yaitu Imam Hasan as. Peralihan ini disambut oleh kaum muslimin saat itu dengan menyatakan baiat (ikrar setia) kepada beliau. Ketika itu, beliau baru berusia 27 tahun.

Pada pagi hari, di awal peralihan kepemimpinan umat itu, Imam as naik ke atas mimbar dan memberikan pidato tentang sejarah, kelangsungan kepemimpinan politik ayahnya dalam memperjuangkan keadilan, kesetaraan, dan menantang setiap makar para pengkhianat agama.

"Sungguh telah diambil nyawanya pada malam itu. Dialah manusia yang orang-orang sebelumnya belum pernah mengunggulinya dalam beramal, dan orang-orang setelahnya pun tak sanggup melakukan amalan tersebut. Sungguh ia berjuang bersama Rasulullah dan telah menjaganya dengan dirinya, dan Rasulullah memberikan panji Islam kepadanya. Sedang malaikat Jibril menjaganya dari sisi kanan dan malaikat Mikail dari sisi kirinya. Dan beliau tidak pernah kembali sehingga Allah SWT membuka dan memperlihatkan kemenangan kepadanya. Sungguh beliau telah syahid di malam ketika Isa bin Maryam as dimikrajkan dan di malam ketika Yusya’ bin Nun, sang penerus Musa as pergi menghadap Allah SWT.”

Kemudian air mata Imam Hasan as luruh membasahi pipinya. Tangisan beliau telah membuat orang-orang yang hadir saat itu juga ikut menangis.

Lalu Imam as melanjutkan pidato, “Aku adalah putra dari pemberi kabar gembira (basyir). Aku adalah putra pemberi peringatan (nazdir). Aku adalah putra penyeru ke jalan Allah (da'i). Aku adalah putra pelita yang cerlang (sirajun munir). Aku adalah bagian keluarga Nabi (Ahlulbait) yang Allah telah jauhkan dari segala kotoran dari diri mereka dan telah mensucikan mereka sesuci-sucinya.

"Aku termasuk Ahlulbait yang Allah SWT telah mewajibkan orang-orang untuk mencintainya sebagaimana firmannya, ‘Katakanlah [wahai Muhammad]! ‘Aku tidak meminta upah apa pun dari kalian atas risalah ini kecuali kecintaan kepada keluargaku.’ Dan barang siapa melakukan suatu kebaikan, maka akan Kami tambahkan baginya suatu kebaikan.’” (QS. Asy-Syura: 22)

Tak lama setelah itu bangkitlah Abdullah bin Abbas dan berkata, “Ketahuilah wahai sekalian manusia, inilah putra Nabimu dan penerima wasiat dari Imammu. Maka, berbaiatlah kepadanya!"

Serempak orang-orang menjawab seruannya dan bergegas untuk memberikan baiat kepada Imam Hasan as.
Muslihat dan Makar Mu‘awiyah

Sementara itu, Mu‘awiyah secara terus-menerus melancarkan makar dan penentangan terhadap Imam Hasan as. Sebagaimana pada masa Imam Ali as, perang Shiffin dan perang Nahrawan adalah bentuk pembangkangannya terhadap khalifah muslimin, dan usahanya dalam rangka merampas tampuk kepemimpinan umat Islam dari tangan pemimpinnya yang sah.

Masyarakat telah memilih Imam Hasan as sebagai khalifah Rasulullah saw, dan sebagai pemimpin mukminin. Akan tetapi, Mu‘awiyah menentang dan menolak baiat kepadanya. Alih-alih menunjukkan ketaatan, dia malah menyebarkan mata-matanya ke Kufah dan Bashrah, serta mengirimkan uang guna membeli hati beberapa orang dekat beliau.

Imam Hasan as tidak menganggap remeh makar yang dilakukan oleh Mu‘awiyah. Bahkan, beliau memerintahkan untuk menghukum mati para mata-mata Mu‘awiyah. Kemudian beliau mengirimkan surat ancaman kepada Mu‘awiyah agar ia menghentikan penyimpangan dan penentangannya.
Persiapan Perang

Selain melakukan makar, Mu‘awiyah mengerahkan seluruh tentaranya untuk menebarkan rasa takut di hati kaum muslimin. Tak segan-segan ia menyerang mereka serta merampok seluruh harta benda miliknya. Imam Hasan as berupaya untuk melawan dan bersiap-siap menyusun barisan perang.

Di hadapan kaum muslimin, Imam mengatakan, “Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan jihad untuk makhluknya dan menjadikan jihad tersebut sebagai sebuah kewajiban. Kemudian Allah SWT mengatakan kepada mujahidin, “Bersabarlah! Karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar, dan kalian tidak akan mendapatkan apa yang kalian inginkan kecuali dengan kesabaran atas apa yang kalian tidak inginkan. Berangkatlah! Semoga Allah SWT menaungi kalian!”

Sayang sekali, rasa takut telah menguasai mereka sehingga sambutannya untuk ikut berperang begitu dingin. Maka, di sinilah Adi bin Hatim At-Tha’i, salah seorang sahabat Imam as, bangkit sambil berteriak lantang dan mencemooh mereka, “Akulah Adi bin Hatim! Maha Suci Allah, Duhai ... alangkah jijiknya tempatku ini! Tidaklah kalian sambut seruan Imam dan putra Nabi kalian."

Sebagian pembela Imam Hasan bangkit dan memberi semangat kepada masyarakat untuk bersiap-siap menghadapi Mu‘awiyah. Hingga tersusunlah pasukan berjumlah dua belas ribu prajurit. Pasukan ini dipimpin oleh Ubaidillah bin Abbas yang kedua putranya telah dibunuh oleh Mu‘awiyah.

Sayangnya, di dalam tubuh pasukan Imam Hasan as sendiri terdapat banyak orang yang rakus akan dunia, sehingga Mu‘awiyah begitu mudahnya membeli mereka dengan kepingan Dirham dan Dinar, dan mereka pun begitu mudahnya membelot ke pasukan Mu‘awiyah.

Bahkan, Mu‘awiyah telah berhasil menyuap panglima perang Imam Hasan as, Ubaidillah bin Abbas dengan uang sebesar satu juta Dirham. Lantas ia pun berkhianat dan membelot dari pasukan beliau. Dia lebih memilih berdiri di barisan Mu‘awiyah dan rela membiarkan beliau bangkit sendiri.

Imam Hasan as memahami betapa sulitnya menghadapi Mu‘awiyah dengan pasukan-pasukan yang lemah imannya itu. Mereka merelakan dijualbelikan diri dan agamanya dengan harga yang amat rendah. Dari sinilah Mu‘awiyah menawarkan perdamaian kepada Imam as, dengan syarat beliau harus turun dari kekhalifahan.

Di samping itu, Imam Hasan as tahu bahwa dengan meneruskan perlawanan terhadap Mu‘awiyah malah akan membawa kehancuran dan kematian sahabat-sahabat serta pembela-pembela setia beliau yang sebagiannya adalah sahabat-sahabat mulia Nabi saw. Belum lagi tentara Syam yang akan menduduki Kufah. Semua itu turut melengkapi kekuatiran Imam as.
Perdamaian

Orang-orang Khawarij telah merencanakan siasat untuk membunuh Imam Hasan as yang ternyata mendapat dukungan Mu‘awiyah dari jauh, dengan maksud memaksa Imam Hasan as menerima usul perdamaian dan turun dari kursi kekhalifahan.

Imam as tidak memikirkan selain kepentingan Islam dan kemaslahatan umatnya. Maka itu, demi menghindari pertumpahan darah, Imam as dengan terpaksa menyepakati perdamaian itu, dan menulis butir-butir perdamaian, di antaranya:

1. Hendaknya Mu‘awiyah bertindak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah Nabi.

2. Hendaknya tidak melakukan pencaci-makian terhadap Ali bin Abi Thalib.

3. Mu‘awiyah tidah berhak untuk menentukan seorang pun untuk menduduki khilafah.

4. Tidak memaksa Imam Hasan untuk mengakui Mu‘awiyah sebagai Amirul Mukminin.

5. Hendaknya Mu‘awiyah mengembalikan kekhalifahan kepada Imam Hasan as, dan bila Imam as telah meninggal, maka kekhalifahan dikembalikan kepada Imam Husain as.
Mu‘awiyah Merobek Surat Perdamaian

Sebelumnya, Imam Hasan as telah mengetahui bahwa Mu‘awiyah tidak akan menjalankan butir-butir yang tercantum dalam perdamaian tersebut. Akan tetapi, beliau hendak menunjukkan kepada umat tentang akal bulus Mu‘awiyah, bahwa dia adalah orang yang tidak teguh pada janji dan agama.

Perjanjian damai telah dilaksanakan. Segera setelah memasuki kota Kufah, Mu‘awiyah naik ke mimbar dan berpidato di depan khalayak seraya mengatakan, “Sesungguhnya aku tidak membunuh, tidak juga angkat senjata, atau menyerbu kalian supaya kalian berpuasa atau melakukan salat. Akan tetapi, tujuanku agar aku memimpin kalian. Ketahuilah, bahwa setiap butir yang tertulis dalam surat perdamaian itu sekarang ada di bawah telapak kakiku." Dengan cara secongkak itu Mu‘awiyah menginjak-injak perdamaian.

Selanjutnya, Mu‘awiyah menentukan Ziyad bin Abih sebagai gubernur Kufah. Ia mulai mengusir pengikut Ahlulbait, menghancurkan rumah-rumah mereka, merampas harta benda mereka, hingga menyiksa dan memenjarakan mereka.

Imam Hasan as berupaya untuk membantu orang-orang yang teraniaya, dan menentang seluruh perbuatan zalim Mu‘awiyah yang telah melanggar butir-butir perdamaian sebagaimana yang telah diberikan kepadanya.

Sampai pada saatnya, Mu‘awiyah merencanakan pembunuhan terhadap Imam Hasan as dan berupaya untuk mendudukkan anaknya yang bernama Yazid di atas kursi kekhalifahan. Dalam rangka itu, ia berpikir untuk meracuni beliau.

Untuk menjalankan rencana pembunuhan tersebut, Mu‘awiyah memilih Ja‘dah, istri Imam Hasan as, yang ayahnya adalah seorang munafik. Tentunya setelah mengiming-imingi imbalan harta kekayaan dan menjadi istri putra mahkota, Yazid.

Setan mulai menggoda pikiran Ja‘dah. Ia pun bersedia menerima racun yang dikirimkan Mu‘awiyah untuknya, lalu mencampurkannya ke dalam makanan yang telah dipersiapkan untuk buka puasa. Karena saat itu Imam as sedang berpuasa.

Tiba saatnya berbuka puasa. Imam Hasan as mulai berbuka dengan makanan yang telah disediakan oleh Ja‘dah. Tiba-tiba ia merasakan pedih dan sakit. Pengaruh racun itu membuat usus beliau terkoyak. Kemudian ia menatap istrinya dan berkata, “Wahai musuh Allah! Kau telah membunuhku. Semoga Allah membunuhmu. Sungguh Mu‘awiyah telah memperdaya dan menipumu. Semoga Allah menghinakanmu dan menghinakannya (Mu‘awiyah).”

Dan demikianlah kenyataannya. Mu‘awiyah tidak menepati janjinya kepada Ja‘dah. Ia berhasil menipu Ja‘dah dan bahkan mengusirnya dari istana. Mu‘awiyah berkata kepadanya, “Kami lebih cinta pada Yazid!” Begitulah nasib Ja‘dah. Ia menderita di dunia dan akhirat. Sejak saat itu, ia lebih dikenal dengan julukan "Si Peracun Suami".

Karena tak lagi kuasa menahan jahatnya racun tersebut, akhirnya Imam Hasan as gugur sebagai syahid pada 28 Shafar 50 H. Dan di hadirat Allah kelak, beliau akan mengadukan kezaliman Bani Umayyah terhadap dirinya.

Jasad suci Imam Hasan as dikebumikan di pemakaman Baqi‘, di Madinah Al-Munawwarah.[]
Riwayat Singkat Imam Hasan as

Nama        : Hasan.

Gelar        : Al-Mujtaba.

Panggilan : Abu Muhammad.

Ayah         : Ali bin Abi Thalib.

Ibu            : Fatimah.

Kelahiran : Madinah, 15 Ramadhan 3 H.

Usia          : 47 tahun.

Syahid      : 28 Shafar 50 H.

Makam    : Pemakaman Baqi‘, Madinah.

 

Sejenak kita saksikan beberapa fatwa Ulama Wahabi terkait bertawasul.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz seorang mufti terkemuka Hijaz mengatakan bahwa: “tawasul pada kedudukan, maqom dan berkah atau hak seseorang adalah sebuah bid’ah tapi bukan syirik. Jadi tidak dibenarkan siapapun yang berkata ‘Allahumma inni bijahi Nabiyika/ bijahi awliyaika fulan…’ atau ‘bihaqi fulan’ atau ‘bibarkati fulan…’, hal ini merupakan bid’ah dan condong kepada kesyirikan meskipun tidak sampai pada derajat syirik.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat mutanawi’ah, syaik Ibn Baz, jil. 4 hal. 311)
Syaikh Soleh bin Fauzan berkata: “barang siapa yang beriman pada sifat Khaliq dan Raziq Allah swt. namun diwaktu yang sama ia menempatkan seorang perantara antara dia dengan Tuhannya, maka ia telah melakukan bid’ah… dan jika ia bertawasul (kepada jah/maqam atau kedudukan mereka disisi Allah swt.) tanpa menyembah mereka, maka ini adalah bid’ah yang diharamkan dan ang mengantarkan pada kesyirikan…” (al-Muntaqi min Fatawa as-Syaikh Ibn Fauzan, jil 2 hal. 54) 1338
Nashiruddin Al-Bani: “Saya berkeyakinan bahwa barang siapa yang bertawasul kepada Awliya, Shalihin dan lainnya, maka ia telah melenceng dari jalan kebenaran (agama)…” (Fatawa al-Baani, hal. 432)
Wahabi yang mengaku mengikuti ulama salaf dan ingin memurnikan Islam dari ‘inovasi-inovasi’ ibadah yang tidak ada pada zaman Nabi maupun Sahabat, sudah terlalu banyak mempermasalahkan amalan-amalan yang dilakukan oleh Muslimin pada umumnya. Inovasi-inovasi tersebut mereka sebut Bid’ah, Salah satunya yaitu tawasul seperti fatwa yang telah dikemukakan sebelumnya. Secara umum alas an bid’ah adalah yang paling sering digunakan oleh kaum tersebut. Padahal dalam memahami makna bid’ah itu sendiri perlu pendalaman yang intensif karena disana masih terdapat perbedaan pandangan dari sisi makna maupun misdaq-nya.

Lalu apakah benar tawassul itu diharamkan (karena menjurus pada kesyirikan)? Apakah tawassul ini sesuai dengan ajaran dan sunnah Rasulullah saw.?

Sebenarnya sudah banyak sanggahan atas syubhat yang dilemparkan oleh para pengikut Abdullah bin Wahab ini, namun tidak ada salahnya kita lebih menggali lagi untuk memantapkan keyakinan atas kebenaran hakiki dari salah satu ibadah Muslimin ini.

Tawassul sendiri memiliki makna bahwa seorang hamba menempatkan sesuatu atau seseorang sebagai perantara antara dia dengan Allah swt. yang mengantarkannya untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Wasilah/perantara pada dasarnya memiliki 2 jenis yaitu materi seperti air dan makanan yang menjadi perantara menghilangkan kehausandan rasa lapar dan non-materi seperti Allah mengampuni dosa seorang hamba ketika ia menjadikan Nabi sebagai perantara dalam memintakan ampunan untuk dirinya.

وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوّاباً رَحِيماً

“…sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya dating kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah dan Rosul pun memohon ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 64)

Penting untuk difahami bahwa tatanan penciptaan tidak lepas dari sebab akibat atau illat dan ma’lul dan ini tidak terbatas pada hal yang bersifat materi saja, hidayah dan ampunan yang merupakan anugerah dari Allah swt. pun tidak lepas dari tatanan ini. Aturan ini bersumber dari ke-Maha Bijaksanaan Tuhan dalam menciptakan sebaik-baiknya penciptaan; (Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah,) (QS. Sajdah: 7)

Al-Quran banyak menyinggung masalah ini salah satunya ayat yang berbunyi:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung.” (QS. Al-Maidah: 35)

Melalui kisah-kisah teladan yang terekam dalam Quran, Allah swt menyinggung berbagai hal yang berkaitan dengan menjadikan seseorang sebagai perantara untuk mengantarkan hamba-Nya pada kedekatan kepada Allah swt. seperti pada kisah Nabi Musa dan Nabi Muhammad saw ketika menjadikan arah kiblat sebagai wasilah untuk memfokuskan diri diharibaan-Nya.

Allah swt. berfirman:

قَدْ نَري تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّماءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضاها فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ وَحَيْثُ ما كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغافِلٍ عَمّا يَعْمَلُونَ

“Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS.Al-BAqarah: 144) n

وَأَوْحَيْنا إِلي مُوسي وَأَخِيهِ أَنْ تَبَوَّءا لِقَوْمِكُما بِمِصْرَ بُيُوتاً وَاجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya, “Ambillah beberapa rumah di Mesir untuk (tempat tinggal) kaummu dan jadikanlah rumah-rumahmu itu tempat ibadah dan laksanakanlah shalat serta gembirakanlah orang-orang mukmin.” (QS. Yunus: 87)

Seorang hamba yang mengingkari sebab-akibat yang merupakan bagian dari penciptaan, berarti ia mengingkari wujud penciptaan itu sendiri dan telah berpaling dari hikmah Tuhan yang dengannya menciptakan alam semesta. Syahid Muthahari berkata bahwa setiap Fi’il Allah memiliki aturan dan hikmah, dan jika seorang hamba tidak memperhatikan aturan ini maka dia telah bermaksiat.

Terakhir, ada riwayat yang dinukil dari Usman bin Hanif mengatakan bahwa ada seorang yang buta mendatangi Rasulullah saw. dan meminta padanya untuk berdoa kepada Allah untuk kesembuhannya. Beliau bersabda: “Jika kamu mau bersabar, maka itu lebih baik bagimu. Namun jika kamu mau aku akan mendoakanmu.” Orang yang buta tersebut berkata: “aku ingin Anda berdoa untuk kesembuhanku.” Rasulullah saw menyuruhnya untuk berwudhu dan berdoa seperti ini,

«اللّهمّ إنّي أسألك وأتوجّه إليك بنبيّك محمّد نبيّ الرحمة، يا محمّد! إنّي توجّهت بك إلي ربّي في حاجتي ليقضيها، اللّهمّ شفّعه فيّ»

Semua ini adalah bentuk dari bertawasul kepada Allah swt. yang terekam dalam Al-Quran maupun Riwayat, jadi tidaklah benar mengatakan bahwa tawassul/menjadikan hamba Sholeh sebagai perantara mendekatka diri pada Allah adalah ‘inovasi’ dalam ibadah yang tidak ada pada zaman Nabi dan Sahabat. Sekiranya dalam hal ini perlu pemahaman lebih dalam dengan merujuk kitab-kitab muktabar supaya memantapkan keyakinan kita dalam menjalankan ibadah tanpa terpengaruh oleh syubhat-syubhat musuh Islam baik di luar ataupun tubuh Islam itu sendiri.

Selasa, 21 Desember 2021 15:57

Kenapa Kita Harus Memuliakan Anak Yatim?

 

Dalam satu wilayah, keberadaan anak-anak yang kehilangan ayahnya atau kedua orang tuanya adalah satu hal yang tidak bisa dihindari. Anak-anak ini menjadi perhatian penting bukan hanya agama Islam tapi seluruh agama ataupun bangsa sekalipun dan mereka yang menghormati, menyayangi dan memberikan simpatinya kepada anak-anak ini memiliki tempat istimewa di hadapan masyarakat.

Islam memandang bahwa memperhatikan urusan materi dan non materi serta kebahagian dan keamanan yatim merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Banyak riwayat yang berkaitan denganya dan ayat2 al Quran pun mesejajarkan perbuatan baik terhadap anak yatim dengan perbuatan baik terhadap orang tua, kerabat dekat serta orang miskin dan menjadikannya tugas yang penting bagi orang-orang beriman.

Rasulullah saw. yang sudah menjadi yatim saat lahir kedunia merupakan ayah bagi para yatim piatu semasa hidupnya, begitu pula Imam Ali as. yang sebagian besar umurnya dihabiskan bersama Rasulullah saw.

Mereka selalu menampakkan kasih sayang yang luar biasa terhadap para yatim dan memperilakukannya dengan istimewa, sehingga para sahabat yang melihatnya berharap menjadi anak yatim karena ingin mendapat ksih sayang dan perlakuan yang istimewa dari Rasulullah saw. ataupun Imam Ali as.

Rasul pun memerintahkan kita untuk menjadi ayah bagi para yatim dengan sabdanya : “Jadilah seperti ayah yang penyayang bagi para yatim, dan ketahuilah apa yang kamu tanam itulah yg akan kamu petik.”

Yaitu kebaikanmu pada anak yatim balasannya adalah kebaikan yang lebih besar kelak di akherat yang telah Allah swt. siapkan.

Dan sabdanya : “Barang siapa yang mengurus anak yatim dan menjamin nafkah dan urusan materinya, maka aku dan dia kelak akan bersama disurga seperti dua jari ini (isyarat).”

Anak yatim memiliki hak khusus dari kita dimana hal ini menjadi landasan dan parameter setiap individu yang memenuhi haknya dalam meniti jalan kesempurnaan. Mereka yang mendzolimi hak anak yatim disebut sebagai pendusta agama. Berlaku buruk terhadap mereka, memakan harta yg dititipkan untuk mereka diibaratkan dengan memakan api pada hakikatnya dan hal ini sangat dilarang keras oleh Islam, mereka yang melakukannya dijamin dengan balasan api neraka. Begitu gamblangnya risalah Islam dalam menasihati kita agar kita jangan sampai menyakiti anak yatim. Disebutkan bahwa tangisan anak yatim yg kita dzolimi, sesungguhnya hal itu menyebabkan bergoncangnya Arsy. Seperti sabda Nabi saw : “Ketika seorang anak yatim menangis, maka Arsy akan bergetar karena tangisannya”

Sesungguhnya kita memiliki teladan yaitu Rasululloh saw., keluarga dan Sahabat2nya yang mulia bagaimana mereka memperlakukan dan mnunjukkan kasih sayangnya pada anak yatim. Itulah yang perlu kita contoh dalam kehidupan kita.

Sebagaimana terdapat di dalam hadits bahwa “salah satu amal yg paling utama adalah memberikan kebahagiaan pada hati setiap mukmin.” maka membahagiakan hati anak yatim sungguh termasuk keutamaan yg besar di sisi Tuhan.

Mudah2an kita mampu membahagiakan anak2 yatim dengan apa yang kita miliki…

Rasulullah saw. bersabda : “Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang dinamakan ‘pintu kebahagiaan’, tidak akan memasukinya kecuali mereka yang memuliakan dan membahagiakan anak-anak yatim.”

Selasa, 21 Desember 2021 15:55

Pelajaran Kemuliaan Hidup dari Imam Husein

 

Pada tanggal 3 Sya'ban tahun ke-4 Hijriah kebahagiaan terpancar dari rumah keluarga Rasulullah Saw. Asma membawa bayi yang terbungkus kain putih dan memberikannya kepada Rasulullah saw. Beliau begitu gembira lalu mendekapnya. Dibacakan azan di telinga kanan bayi itu, dan iqamat di telinga kirinya. Kemudian  bayi itu ditidurkan di pangkuannya. Ketika itu, Jibril datang menemui Nabi Muhammad Saw, dan berkata, "Allah swt menyampaikan salam bagimu dan berfirman, 'Kedudukan Ali disampingmu seperti Harun bagi Musa, maka namailah anak ini dengan nama putra Harun yaitu 'Syabir', yang dalam bahasa Arab  berarti 'Husein'." Maka Rasulullah saw menamainya dengan Husein. 

Imam Husein dibesarkan di lingkungan keluarga suci. Para pendidik beliau adalah orang-orang yang paling mulia moralnya dan paling menjulang kemanusiaannya. Imam Husein dibesarkan di tengah orang-orang yang mengemban tugas membimbing dan memimpin umat manusia. Beliau tumbuh besar dalam sebuah keluarga yang dipenuhi dengan kesempurnaan dan keutamaan akhlak. Beliau selama beberapa tahun mendapat didikan langsung dari Rasulullah Saw. Selain itu, kedua orang tuanya, yaitu Imam Ali dan Sayidah Fatimah merupakan dua manusia agung hasil didikan langsung Nabi Muhammad Saw. Pembinaan Rasulullah Saw, kasih sayang dan keadilan Ali, serta keutamaan Fatimah membentuk keindahan dan kesempurnaan Husein.

Suatu hari, Rasulullah terlihat keluar dari rumahnya, saat itu Hasan berdiri di salah satu bahu beliau, dan Husein berdiri di bahu lainnya. Rasulullah mencium mereka berdua. Seseorang bertanya, "Wahai Rasulullah, Anda mencintai kedua anak ini?" Beliau bersabda, "Barang siapa yang mencintai keduanya, ia mencintaiku dan barang siapa yang memusuhinya, maka ia memusuhiku". Abu Hurairah berkata, "Aku melihat dengan mata sendiri langkah Husein kecil di atas kaki Rasulullah. Beliau memegang kedua tangan Husein dan mengangkatnya. Anak itu diangkat hingga melangkah di dada Rasulullah. Ketika itu beliau mencium anak itu seraya berdoa, "Ya Allah, Cintailah ia, sebagaimana aku mencintainya".

Imam Shadiq menyebut Imam Husein sebagai manifestasi Nafs al-Mutmainah, jiwa yang tenang, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran. Perkataan dan sikap Imam Husein menunjukan bahwa dalam hidupnya senantiasa menegakkan kebenaran dan keadilan serta menyebarkan agama Tuhan. Husein senantiasa menegakkan jalan Rasulullah Saw dan para Nabi sebelumnya. Tampaknya, inilah maksud dari ziarah warits yang disampaikan kepada beliau, pada saat kita membaca, "Assalamu Alaika ya Waritsa Adama shifwatillah, Assalamu Alaika Ya waritsa Nuhi Nabiyillah... Assalamu Alaika ya Waritsa Muhammad Rasulillah. Salam atasmu wahai pewaris Adam as, Salam atasmu wahai pewaris nuh... salam atasmu wahai pewaris Rasulullah…

Perjuangan Husein bin Ali melawan kezaliman telah menjadi contoh dari figur manusia pembela nilai-nilai luhur meskipun harus ditebus dengan nyawanya sendiri. Aktivitas Bani Umayyah membuat ajaran akhlak Rasulullah di tengah umat Islam mulai pudar. Kerusakan moral di tengah masyarakat semakin tinggi dan semakin transparannya kezaliman penguasa lalim. Ketika itu Imam Husein berkata, "Wahai umat manusia, hiduplah kalian dengan nilai-nilai moral yang luhur dan berlomba-lombalah kalian untuk memperoleh bekal kebahagiaan. Jika kalian berbuat baik kepada orang lain, meski ia tak membalas kebaikanmu, janganlah khawatir. Sebab Allah swt akan memberimu ganjaran yang terbaik. Ketahuilah, kebutuhan masyarakat kepada kalian merupakan karunia ilahi. Maka, jangan kalian lewatkan karunia itu supaya kalian bisa terhindar dari azab ilahi."

Imam Husein terkenal sebagai sosok manusia yang amat pengasih dan pemaaf. Lembaran sejarah Islam menjelaskan suatu ketika seorang dari Syam bernama Isham datang ke kota Madinah. Setibanya di sana, ia melihat seorang pribadi yang terlihat amat berbeda dengan khalayak lainnya. Ia pun bertanya kepada orang-orang, siapakah gerangan sosok istimewa yang dilihatnya itu. Mereka menjawab, ia adalah Husein bin Ali. Isham yang saat itu terpengaruh oleh fitnah dan propaganda Bani Umayyah segera pergi mendekati beliau dan mencercanya dengan segala hinaan dan makian.

Menanggapi perilaku Isham, Imam Husein tidak marah, sebaliknya beliau justru menatapnya dengan penuh keramahan dan kasih sayang. Sejenak kemudian, beliau pun membacakan ayat suci al-Quran mengenai sikap maaf dan mengabaikan kekhilafan orang lain, lalu berkata, "Wahai lelaki, aku siap melayani dan membantu apapun yang engkau perlukan". Kemudian Imam Husein bertanya, "Apakah engkau berasal dari Syam?" Lelaki itupun menjawabnya, "Iya". Imam lantas berkata, "Aku tahu mengapa engkau bersikap demikian. Tapi kini engkau sekarang berada di kota kami dan terasing di sini. Jika engkau memerlukan sesuatu, aku siap membantu dan menyambutmu di rumahku".

Melihat sikap Imam Husein yang di luar dugaan dan begitu ramah itu, Isham pun heran dan terkesima. Ia pun berkata, "Di saat itu, aku berharap bumi terbelah dan aku tergelincir di dalamnya daripada bersikap begitu keras kepala dan ceroboh semacam itu. Bayangkah saja, hingga saat itu aku masih menyimpan kebencian yang sangat mendalam terhadap Husein dan ayahnya. Namun sikap penuh welas asih Husein bin Ali membuat diriku malu dan menyesal. Dan kini tak ada siapapun yang lebih aku cintai kecuali dia dan ayahnya".

Selain itu, salah satu karakter yang bisa kita pelajari dari kehidupan Imam Husein adalah pandangannya mengenai dunia. Menurut Imam Husein, manusia tidak boleh menggantungkan diri kepada keindahan dunia yang bersifat semu. Imam Husein berkata: "Apa yang disinari oleh matahari di atas bumi ini, mulai dari timur hingga barat, dari laut hingga padang pasir, dari gunung hingga lembah, semua itu di mata seorang wali Allah adalah ibarat sebuah bayangan yang cepat berlalu dan tidak layak dicintai. Wahai manusia! Janganlah menjual diri kalian kepada dunia yang fana ini. Sadarlah bahwa tidak ada yang berharga bagi kalian selain surga dan barang siapa yang mencintai dunia dan puas atasnya, maka ia telah puas terhadap sesuatu yang hina."

Rekan setia di penghujung acara, kami segenap kru Radio Melayu Suara Republik Islam Iran menyampaikan selamat atas kelahiran Imam Husein. Imam Husein berkata, "Ayahku Imam Ali pernah mengatakan barang siapa yang berpuasa di bulan Syaban demi mendekatkan diri kepada Allah dan kecintaan kepada Rasulullah Saw,… maka surga wajib baginya"

 

Sejak kecil kita sering diajarkan doa Nabi Musa as dalam Al-Qur’an yang berbunyi,

قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي – وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي – وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي – يَفْقَهُوا قَوْلِي

Dia (Musa) berkata, “Ya Tuhan-ku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku.” (QS.Thaha:25-28)

Doa yang sangat indah, khususnya disaat kita harus berbicara dan menghadapi sesuatu. Namun ada satu pertanyaan, tahukah kita apa arti lapang dada? Apakah kita selama ini berdoa tanpa tau maksud dari doa kita sendiri?

Pada awalnya, Nabi Musa diperintahkan oleh Allah untuk mendatangi Fir’aun, Raja yang terkenal sangat kejam. Tapi anehnya, Nabi Musa tidak meminta bekal senjata, pasukan ataupun bantuan disaat itu. Beliau hanya berdoa dan meminta agar Allah Melapangkan dadanya, Mempermudah urusannya dan Melancarkan bicaranya.

Dari semua doa itu, yang pertama diminta adalah lapang dada. Karena ini adalah bekal yang paling penting untuk memikul tanggung jawab dan menghadapi segala rintangan. Khususnya ketika menyampaikan kebenaran.

Lapang dada adalah perpaduan antara ikhlas, sabar dan tawakal. Apapun yang terjadi tidak akan membuat hatinya sempit dan menyesal.

Jika kita perhatikan, Nabi Musa meminta kepada Allah untuk dilapangkan dadanya. Sementara Baginda Nabi Muhammad saw telah diberi kelapangan dada sebelum beliau meminta. Itulah kemuliaan Rasulullah diatas nabi-nabi yang lain.

أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ

“Bukankah Kami telah Melapangkan dadamu (Muhammad)?” (QS.as-Syarh:1)

Karena itu, kehidupan Rasulullah saw selalu dipenuhi kesabaran ketika dihadapkan dengan berbagai rintangan dan masalah. Bahkan dengan lapang dada Rasulullah saw mendoakan umat yang memusuhi dan memerangi beliau,

“Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, sesungguhnya mereka belum mengetahui”

 

Gambaran lapang dada yang dimiliki Rasulullah juga terlihat ketika Fathu Mekah. Disaat Rasulullah telah menguasai mekah, beliau berhadapan dengan orang-orang yang memusuhi bahkan berusaha membunuh beliau selama bertahun-tahun.

Namun beliau tidak membalas perbuatan keji mereka, dengan lapang dada Rasulullah saw melepaskan dan membebaskan musuh-musuhnya. Beliau bersabda,

“Pergilah, sungguh kalian adalah orang-orang yang dibebaskan !”

 

Kemudian beliau membaca ayat yang dibaca oleh Nabi Yusuf as ketika memaafkan saudara-saudaranya,

قَالَ لاَ تَثْرَيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللّهُ لَكُمْ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

Dia (Yusuf ) berkata, “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah Mengampuni kamu. Dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.” (QS.Yusuf:92)

Semoga kita mendapatkan taufik untuk memiliki hati yang lapang dalam menghadapi segala masalah dalam hidup.

Selasa, 21 Desember 2021 15:51

Konsep insan kamil menurut Islam

 

Rumi mengatakan, sekiranya ia tidak ada, langit dan para malaikat tidak akan memiliki tempat; sekiranya ia tidak ada, maka bumi tidak akan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan mengembangkan bunga melati. Ia dalam pembicaraan Rumi adalah sosok insan kamil atau manusia sempurna yang telah menca

Rumi mengatakan, sekiranya ia tidak ada, langit dan para malaikat tidak akan memiliki tempat; sekiranya ia tidak ada, maka bumi tidak akan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan mengembangkan bunga melati.

Ia dalam pembicaraan Rumi adalah sosok insan kamil atau manusia sempurna yang telah mencapai derajat yang paling tinggi dari kemanusiaan dan kesempurnaan dirinya dari seluruh makhluk dan mengatasi makhluk lainnya. Ia adalah insan kamil.

Pembicaraan mengenai insan kamil adalah pembicaraan yang menjadi titik tolak dalam pembicaaraan tentang ciptaan-ciptaaan Allah Swt khususnya dalam dunia tasawuf dan filsafat Islam. Karena itu pembicaraan mengenai insal kamil pada khazanah irfan adalah sisi batin dari manusia.

Ada dua karya besar yang berbicara mengenai insan kamil. Pertama, al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakhir wa al-Awail karya Syekh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1366-1430 M) dan al-Insan al-Kamil karya Azizuddin Nasafi.

Dalam dunia tasawuf, eksistensi selain Allah adalah eksistensi yang relatif atau nisbi. Pasalnya, segala sesuatu selain Allah Swt adalah pancaran dari diri Allah Swt. Disebutkan juga dalam dunia tasawuf bahwa alam semesta ini atau segala yang berkaitan yang diciptakan oleh Allah Swt, tidak lain adalah menifestasi dari Allah Swt. La maujudan illallah dan la mahbuban illallah dan la maqshudan illallah.

Allah mengambarkan semua ini sebagai tanda-Nya atau ayat-Nya seperti dikatakan dalam ayat, Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, (QS 41:53)

Mengapa Allah mengatakan semua ini sebagai tanda bagi diri-Nya? Bukanlah hal ini adalah riil-Nya. Namun, ia hanyalah dapat mengantarkan kita kepada pemahaman sesuatu yang diisyaratkan-Nya dan sesuatu di balik dari semua ini tidak lain adalah Allah Azza wa Jalla.

Karena itu, dalam keyakinan para arif dan sufi, apa yang muncul dari alam ini adalah wujud yang tidak nyata, hanya sebagai sebuah isyarat saja. Bahkan diri dan eksistensi kita bukan disebabkan oleh dirinya, melainkan oleh sesuatu yang lain itu. Dari sinilah pembicaraan mengenai insan kamil itu muncul.

Pembicaraan mengenai insan kamil ini menjadi sesuatu penting disebabkan, pertama, orang hanya dapat mengenai hakikat Allah yang sejati melalui pemahamannya terhadap insan kamil. Yang sebelumnya mungkin manusia mengenai Allah melalui bentuk dari tanda-tanda-Nya atau ciptaan-ciptaan-Nya, bukan melalui hakikat yang diisyaratkan-Nya. Hal ini disebabkan bahwa makrifat kita belum sempurna.

Para sufi pun mengkritisi para filosof, yang berbasis pemahaman akal, dengan mengatakan bagaimana mungkin Anda memahami cahaya Allah dengan cahaya lilin, bagaimana mungkin pemahaman makhluk ini digandengkan dengan Tuhan. Bagaimana Anda akan memahami cahaya matahari yang luar biasa melalui cahaya lilin? Anda harus membuka jendela rumah Anda dan di situ Anda akan menemukan cahaya matahari yang sesungguhnya. Anda harus mengangkat pemahaman Anda dari akal ini dan membuka pintu hati Anda. Diriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Ali as, ”Bagaimana mungkin engkau menyembah Tuhan yang tidak engkau saksikan?” Imam Ali berkata, ”Bagaimana mungkin aku menyembah Dia sementara aku belum menyaksikan-Nya?”

Dalam hal ini, Imam Ali sudah mencapai derajat kesempurnaannya. Derajat kedekatan kita ditentukan oleh kedekatan kita dalam mengenal-Nya.

Yang kedua adalah kita mengenali hakikat kita yang sesungguhnya. Ke mana kita akan berjalan atau kita memiliki tujuan dalam perjalanan hidup kita? Tujuan yang paling mendasar dari hidup kita adalah Allah Swt. Bagaimana kita mampu berjalan menuju Allah?

Posisi insan kamil ini adalah orang-orang yang sudah melakukan proses perjalanan itu sehingga ia mampu mengikuti-Nya. Kita selalu berdoa, ”Bimbinglah kami ke jalan yang lurus.” Jalan siapa itu? Adalah jalan orang-orang yang Kami beri kenikmatan dan mereka tidak berada dalam kesesatan.

Poin penting ketiga adalah kita mampu melihat realitas diri Muhammad, diri para nabi para rasul dan kekasih Allah dengan makna yang benar. Apakah pandangan mereka salah? Dikarenakan pandangan mereka (orang awam) selama ini adalah pandangan dalam bentuk fisiknya.

Berdasarkan tiga poin ini maka pembicaraan mengenai insan kamil ini menjadi penting. Pertama, adalah hakikat penciptaan manusia; kedua, tentang khalifah dan hakikat insan kamil; dan ketiga, ketergantungan seluruh semesta terhadap insan kamil dalam perjalanan menuju Allah Swt.

Hakikat Penciptaaan Manusia

Bahwa Allah Swt pada hadis Qudsi berfirman, ”Aku adalah pembendaharaan yang tersembunyi dan cinta untuk dikenal, maka Aku ciptakanlah beragam ciptaan.”

Allah mengisyaratkan tentang diri-Nya dengan kata Dia (Yang Tersembunyi), dalam ketunggalan-Nya, karena kecintaan diri-Nya untuk dikenal. Ibarat manusia yang selalu bercermin terhadap dirinya disebabkan manusia mencintai dirinya atau sebagai dorongan cinta terhadap dirinya dan beragam pengetahuaan manusia tentang dirinya itu muncul. Keberagaman pengetahuan yang muncul dari diri-Nya inilah memunculkan keberagaman hal. Allah Swt ketika memahami diri-Nya, munculnya pengetahuan tentang diri-Nya, baru dari pengetahuan inilah, muncul alam semesta ini. Maka Allah mengatakan, ”Maka Aku ciptakan beragam ciptaaan”, baru fase atau proses ketiga muncul.

Setiap kemunculan dari diri Allah itu, maka muncullah persepsi nama Allah yang indah dan mengantarkan pada kesempurnaan. Dalam ayat disebutkan, Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) (QS 17: 110) Karena itu, beragam nama di sini, setiap nama ini memanifestasikannya ke alam semesta. Setiap alam ini menunjukkan gambaran atau manifestasi nama Allah Swt.

Hakikat Manusia Dalam Matsnawi Rumi

    “Karena itu, sementara dalam bentuk engkau adalah mikrokosmos,

    pada hakikatnya engkau adalah makrokosmos.

    Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah

    padahal ranting itu tumbuh justru demi buah.

    Kalau bukan karena mengharap dan menginginkan tumbuh,

    betapa pekebun itu akan menanam pohon.

    Jadi sekalipun tampaknya pohon itulah yang melahirkan buah

    (Tapi) pada hakikatnya (justru) pohon itulah yang lahir dari buah.”

    (al-Mastnawi 4:30)

Maulana Jalaluddin Rumi al-Balkhi adalah seorang arif besar. Beliau lebih dikenal dengan Maulawi Rumi, dan merupakan sastrawan Persia abad ke tujuh Hijriah. Salah satu karya masterpiece-nya adalah Matsnawi, yang isinya membahas tentang banyak hal. Dalam buku Menapak Jalan Spiritual, Murtadha Muthahhari mengatakan, “Matsnawi merupakan samudra filsafat dan irfan, yang sarat dan penuh dengan berbagai hal yang pelik yang bersifat spiritual, sosial dan irfan.”

Pembahasan tentang hakikat manusia adalah salah satu bahasan khusus yang dibahas oleh Rumi dalam Matsnawinya. Memahami hakikat manusia sangatlah sulit bagi sebagian dari kita. Padahal itu merupakan hakikat dirinya. Imam Khomeini pernah mengatakan “Menjadi ulama itu gampang tapi menjadi manusia itu amatlah sulit.” Dengan mengetahui esensi manusia akan mengantarkan seseorang kepada pengetahuan akan Tuhan.

Allah mengungkapkan tanda keagungan dan kekuaasaan-Nya melalui alam dan dalam diri manusia. Sehingga kalau kita mengetahuinya dengan baik maka hidup kita pun akan baik. Allah berfirman : “Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat (Tanda-tanda Kekuasaan) kami di ufuk (tepi langit) dan pada diri mereka sendiri. Sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran ini sebenarnya (dari Allah). Tidakkah cukup bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas tiap-tiap sesuatu.” (QS. Al-Ankabut : 53)

Manusia adalah makhluk yang unik. Hingga kini fisiknya saja masih diteliti dan masih banyak rahasia yang belum terpecahkan. Telebih lagi dari sisi jiwanya. Yang merupakan inti dari segala hal. Dalam hadis banyak disebutkan tentang keutamaan ma’rifatun nafs ini (pengetahuan tentang hakikat diri). Misalnya, Imam Ali berkata, “Barang siapa yang mengetahui hakikat dirinya, maka dia telah mencapai puncak setiap makrifah dan ilmu.”, “Janganlah kalian bodoh dengan tidak mengetahui hakikat diri kalian, karena kalau kalian bodoh dengan itu berarti kalian bodoh dengan segala hal.”, “Cukuplah pengetahuan seseorang itu kalau mengetahui hakikat dirinya dan cukuplah kebodohannya kalau tidak tahu akan hakikat dirinya.”

Maulawi Rumi adalah termasuk orang yang mengetahui hakikat dirinya, sehingga dia mencapai puncak makrifat dan keyakinan. Sebagaimana yang diutarakan dalam bait-bait syairnya. Dalam bait pertama dia mengatakan : “Karena itu, sementara dalam bentuk engkau adalah mikrokosmos, pada hakikatnya engkau adalah makrokosmos.”

Dari segi fisiknya, manusia adalah bagian dari makrokosmos, karena kita hidup di alam. Kita membutuhkan makan, kita membutuhkan air, kita perlu sayuran, kita pun perlu untuk makan daging. Apakah kebutuhan kita akan semua itu secara fitri dan tidak bisa dilepaskan sampai kapan pun ? Atau makanan hanyalah sebagai penunjang saja agar kita bisa bertahan hidup ? Dan alam diciptakan sebagai penunjang dalam hidup manusia ?

Rumi mengatakan bahwa dalam hakikatnya manusia, (bukan fisiknya) adalah makrokosmos. Kita adalah alam lain yang lebih besar dari alam ini. Sebagaimana perkataannya Imam Ali, “Apakah kalian mengira kalian, hanya tubuh kecil ini,padahal kalian adalah alam yang sangat besar.”Aneh memang manusia itu lebih banyak meneliti hal-hal diluar dirinya sedangkan hakikat dirinya sendiri tidak pernah diteliti, tidak pernah mencoba meneropong kedalam jiwanya. Selanjutnya Maulawi Rumi menjelaskan lebih jauh dengan sebuah perumpamaan :

“Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah padahal ranting itu tumbuh justru demi buah.”

Beliau umpamakan bahwa manusia itu ibarat buah, dan buah merupakan hasil akhir dan harapan petani penanam buah. Sedangkan alam ibarat ranting, ranting tercipta demi buah, ranting hanyalah sebagai wasilah untuk tumbuhnya buah. Jadi yang paling penting itu adalah buahnya bukan ranting atau pun pohon.

Sebagaimana sering disebutkan dalam Al-Quran bahwa alam diciptakan merupakan tanda dari kasih sayang Allah akan manusia. Agar manusia bisa memanfaatkannya untuk lebih mendekatkan dirinya kepada Allah. Jadi inti dari itu semua adalah alam diciptakan untuk manusia, yang harus dijadikan sebagai perantara untuk mencapai ridha Allah.

Tapi sayang berapa banyak dari manusia ini yang menjadikan alam, materi, kekayaan sebagai tujuan bukannya sebagai perantara penghantar kepada Tuhan.

Dan akibat dari itu adalah penyimpangan dan keserakahan untuk mendapatkan kekayaan dengan menggunakan segala cara. Kita terkadang melebihi binatang untuk mendapatkan hal yang kita inginkan. Kita banyak melakukan penyelewengan dalam menggunakan alam. Yang semestinya kita gunakan untuk kemajuan kemanusiaan kita malah menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan demi menguasai alam. Sebagaimana Allah berfirman, “Apabila kami berikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan darinya (tidak berterima kasih) tapi apabila ia tertimpa kejahatan, ia (berdoa) dengan doa yang panjang.”

Tubuh kita hanyalah perantara, karena kita hidup di alam fisik, alam yang senantiasa bebenturan dengan materi, Rumi melanjutkan : “Kalau bukan mengharap dan menginginkan tubuh betapa pekebun itu akan menanam pohon.”

Pohon hanya sebagai perantara sang petani untuk mendapatkan buah, karena buah tidak mungkin ada tanpa adanya pohon. Begitu juga hakikat manusia itu tidak akan bercahaya tanpa melalui perantara tubuh kasar ini, tubuh harus mengikuti ruh, dan harus seiring dengan ruh,jangan sampai tubuh dan tuntutannya (hawa nafsu) yang mengendalikan.

Kalau kita pandang sekilas nampaknya kita bagian dari alam, kita tidak bisa lepas dari alam, tapi kalau kita teliti dan mencoba menganalisis lebih jauh rahasia-rahasia alam maka akan nampak dan akan kita ketahui bahwa alam diciptakan untuk kita, alam berasal dari kita, alam sebagai pemandu dan pengingat kita akan keagungan dan kebesaran sang pencipta, sepertinya pohon tumbuh untuk melahirkan buah padahal pohon asalnya dari buah. “Jadi sekalipun pohon itu tampaknya yang melahirkan buah (tetapi) pada hakikatnya justru pohon itulah yang lahir dari buah.”

Maulawi belum menerangkan secara rinci akan hakikat manusia, dia baru menerangkan bahwa kita adalah alam yang lain (makrokosmos lain) dan bukannya bagian dari alam, karena alam yang ini diciptakan demi cintanya Allah pada manusia sebagai bukti, pengantar dan pengingat akan kebesaran-Nya.

Hakikat manusia dalam kaca mata Rumi adalah debu, debu yang mengepul ketika kuda lewat, debu yang mengecap sepatu kuda ketika kaki kuda menginjaknya.

Debu yang diinjak kaki sang kuda akan mengecap kaki kuda karena tidak mungkin jika debu diinjak kaki kuda menimbulkan tanda dan cap yang lain, bukan kaki kuda. Manusia seharusnya menjadi khalifah di alam dan bukannya perusak alam. Manusia seharusnya merupakan Tajalli (Manisfestasi) dari keagungan sifat-sifatNya. Manusia seharusnya menjadi khalifah dan duta kebesaran-Nya. Adakah manusia yang seperti itu ?

Jelas ada karena hakikat manusia yang sebenarnya adalah mereka, mereka yang sudah mencapai maqam kedekatan kepada-Nya, merekalah orang-orang yang senantiasa menjaga bumi, menjaga kelestarian alam dan penghuninya, merekalah yang senantiasa mengingatkan kita kepada Pencipta alam yaitu Allah, merekalah para Nabi, para Imam dan para aulia Allah.

Kita harus menjadi debu di kaki-Nya. Karena seharusnya setiap individu adalah menjadi debu di kaki-Nya. Agar kita menjadi hamba-Nya yang berserah diri seperti para wali Allah, supaya kita menjadi mahkota diatas kepala raja, keagungan di atas keagungan.

“…Setiap individu adalah debu, Hanya telapak kaki kuda itu menjadi cap kaki-Nya di atas debu, jadilah debu di kaki-Nya demi cap kaki kuda itu agar engkau dapat menjadi Laksana mahkota di atas kepala raja.”

Namun bagaimanakah caranya untuk mengetahui hakikat diri ini, setelah kita mengetahui bahwa kita adalah makrokosmos dan alam sebagai wasilah kemudian hakikat kita adalah debu di kaki-Nya ? Dan bagaimanakah agar supaya hakikat diri ini senantiasa ada dan terpatri kuat dalam jiwa? Sehingga kita bisa menjadi mahkota di atas kepala raja ?

Karena mungkin saja banyak yang mengetahui hakikat diri tapi sayang hanya sekedar isapan jempol belaka, karena makrifat ini memiliki standar dan ciri tersendiri yang akan selalu tampak dalam sikap dan perbuatan kita sehari-hari, kita hanya terbiasa melihat bulan yang ada di air. Kita terpaku dan terpana dengan melihat indahnya rembulan yang ada di air padahal hakikat bulan ada di langit.

Maulawi Rumi dalam perkataannya yang lain, menerangkan tentang cara untuk mencapai makrifah diri ini, dia mengatakan bahwa untuk mencapai makrifah ini adalah dengan cara Taskiyatun nafs, membersihkan diri dari debu keegoisan, mensucikan diri dari lumpur kemaksiatan dan mengosongkan diri dari selain-Nya.

Senantiasa menghiasi diri dengan mengingat-Nya.menerangi jiwa dengan selalu berbuat baik, dan menanamkan asma-NYA dalam jiwa agar tidak gelap.

Sehingga dengan jelas akan terlihat jalan dan tidak pernah tersandung, jalannya akan senantiasa lurus dan tidak pernah bengkok karena selalu dalam sinaran-Nya.

Hanya dengan mengosongkan diri dari selain-Nya dan menghiasi jiwa dengan keagungan-Nya kita bisa tahu siapa diri ktia, apa hakikat diri kita yang sebenarnya. Kita harus senantiasa berkontemplasi agar tahu hakikat diri kita dengan pasti. Rumi bertutur :

“Oh sucikanlah seluruh jiwamu dari debu keegoisan bebaskanlah dirimu dari sifat mementingkan diri sendiri sehingga kau lihat sendiri hakikat dirimu bersih tanpa noda, lihatlah dalam lubuk hatimu pengetahuan para nabi tanpa buku, tanpa perantara, tanpa guru.”

Itulah sosok Maulawi Rumi, Wali Allah yang telah mengetahui dirinya, telah mengosongkan dirinya dari selain-Nya, telah sampai kepada kedudukan debu di kaki-Nya. Sehingga dengan lancar dan gamblang menggambarkan kepada kita cara mengetahui dan menjadi debu di kaki-Nya. Kita sebagai manusia yang tidak mengetahui kebutuhan jasadi saja harus kembali merenungi perkataan sang maulawi, agar kita seperti dia, menjadi debu di kaki-Nya.

Akhirnya Maulawi mengungkapkan kekesalannya dengan mengungkapkan sebuah cerita, yaitu dia merasa kesal karena tidak pernah bertemu dengan manusia.

Dia hanya selalu bertemu dengan hantu dan hewan-hewan yang menakutkan. Dia ingin sekali bertemu dengan manusia. Dan ingin selalu mencarinya, walau pun butuh waktu yang lama. Dia mengungkapkan kekesalannya dengan syairnya :

“Kemarin sang tuan jalan-jalan keliling kota, dan lentera di tangannya. Ia berkata, “aku bosan dengan hantu dan hewan, aku rindu bertemu manusia, hatiku jenuh melihat sahabat patah semangat. Aku ingin melihat singa Tuhan rastam putra zal, mereka berkata : “kami telah mencarinya dalam waktu yang panjang ia tak ditemukan ia Menjawab, “Sesuatu yang tak ditemukan itulah yang senantiasa aku cari.”