
کمالوندی
Kumail bin Ziyad dalam Kaca Mata Riwayat
Sumber :
Buku : Syarah Doa Kumail
Karya : Ayatullah Husein Ansariyan
Haj Mirza Hasyim Khorasani, dalam kitab Muntakhab Attawarikh, mengatakan bahwa orang-orang yang hidup pada masa Ali bin Abi Thalib (as) terbagi menjadi tiga golongan : hawariyun, teman, dan sahabat khusus beliau (as). Hawariyun terdiri dari empat orang, yaitu ‘Amru bin Hamaq Khaza’i, Maitsam Tamar, Muhammad bin Abu Bakar dan Uwais Qarani. Sedangkan sahabat khusus Imam Ali (as), terdiri dari banyak orang yang salah satu diantaranya adalah Kumail bin Ziyad. Kemudian Haj Mirza Hasyim Khorasani melanjutkan : “Kumail merupakan seorang tabi’in ternama yang pada tahun 83 H, di usianya yang ke 90 dibunuh oleh Hajaj bin Yusuf”.
Meskipun terdapat berbagai perbedaan pendapat dalam menentukan para pengikut ahlul bait, akan tetapi Ahlusunnah dalam hal ini mengakui keabsahan Kumail bin Ziyad. Sebagaimana Ibnu Abi-l Hadid yang termasuk ulama besar Mu’tazilah, mengenai sosok Kumail bin Ziyad menyebutkan : “Ia adalah pengikut pilihan Ali”.
Dzahabi juga menuliskan : “Kumail adalah seorang lelaki mulia, pemimpin kaumnya dan pengikut Ali”.
Ibnu Katsir Damasyqi berkata : “Ia adalah orang yang tangguh dan pemberani, orang yang zuhud serta ahli ibadah”.
Dinukil dari buku syarah doa kumail, karya Ayatullah Husein Ansariyan.
Kasih Sayang, Poros Agama Tuhan
Islam adalah agama kasih sayang dan rahmat bagi semesta alam. Allah Swt dalam al-Quran memperkenalkan Nabi Muhammad Saw sebagai rahmat bagi sekalian alam. Menurut perspektif Islam, kasih sayang memainkan peran dominan dalam mengatur masyarakat
Islam adalah agama kasih sayang dan rahmat bagi semesta alam. Allah Swt dalam al-Quran memperkenalkan Nabi Muhammad Saw sebagai rahmat bagi sekalian alam. Menurut perspektif Islam, kasih sayang memainkan peran dominan dalam mengatur masyarakat ideal. Imam Ali as menilai Islam sebagai agama yang membangun pilar-pilarnya atas landasan cinta kepada Tuhan. Dalam khutbah 198 Nahjul Balaghah, Imam Ali as berkata, "Islam adalah agama yang dipilih oleh Allah Swt untuk dirinya dan pilar-pilarnya dibangun atas pondasi cinta."
Cinta yang bersumber dari lubuk hati merupakan sebuah kekuatan besar yang merekatkan umat manusia dan mengumpulkan mereka pada satu poros. Oleh karena itu, kitab suci al-Quran dan hadis dipenuhi oleh pesan-pesan cinta dan kasih sayang. Sebagai contoh, Tuhan dalam surat Ali Imran ayat 76 berfirman, "? Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa." Dalam ayat 134 surat yang sama, Allah Swt berfirman, "Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." Sementara pada ayat yang lain disebutkan bahwa Allah mencintai orang-orang yang sabar. Imam Muhammad al-Baqir as berkata, "Agama adalah cinta dan cinta adalah agama."
Salah satu bentuk cinta yang paling utama adalah mencintai Allah Swt. Islam memberikan berbagai kiat dan amalan untuk menanamkan dan memperkuat rasa cinta kepada Sang Pencipta. Ibadah wajib dan sunnah serta doa dan munajat merupakan faktor efektif untuk memperkuat kasih sayang dan cinta kepada Allah Swt. Manusia yang secara alamiah menghargai keutamaan, keindahan, dan kesempurnaan niscaya ia akan mencintai Allah Swt. Dalam surat Ali Imran ayat 31, Allah Swt berfirman, "Katakanlah! Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat tersebut menjelaskan bahwa mengikuti Nabi Muhammad Saw merupakan bukti kecintaan seseorang kepada Allah Swt. Kecintaan ini akan dijawab oleh Tuhan dengan menjadikan manusia sebagai sosok yang dicintai oleh-Nya dan diampuni dosa-dosanya. Cinta ini lebih tinggi derajatnya dari semua jenis cinta dan juga sumber bagi semua cinta. Rasul Saw bersabda, "Kecintaan seorang mukmin kepada sesama termasuk dari tanda-tanda utama iman. Ketahuilah bahwa barangsiapa yang mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, maka ia termasuk dari orang-orang pilihan Tuhan."
Hawa nafsu dan naluri kebinatangan dalam diri manusia memainkan peran besar dalam menentukan kebahagiaan dan kesengsaraan seseorang dan masyarakat. Manusia perlu mengendalikannya dengan memanfaatkan kekuatan akal dan cinta. Akal dengan sendirinya tentu saja tidak dapat membendung gejolak hawa nafsu yang menyeret manusia ke lembah kehinaan. Oleh sebab itu, ajaran Islam menjadikan cinta kepada Allah Swt sebagai instrumen untuk mengontrol hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan duniawi.
Kecintaan dan keimanan hakiki kepada Allah Swt akan membentuk sebuah bendungan raksasa untuk melawan dorongan hawa nafsu dan sifat-sifat tercela dalam diri manusia. Para pecinta sejati akan tenggelam dalam keagungan dan keindahan Tuhan, seakan-akan ia telah menyatu dengannya dan tidak ada dzat lain di hatinya. Nabi Yusuf as dengan ketampanan yang luar biasa telah menjadi pusat perhatian para wanita bangsawan Mesir. Namun, dengan kecintaan dan keimanan hakiki, ia mampu melawan semua godaan mereka dan bahkan ia lebih memilih penjara daripada istana yang megah demi menjaga kesuciannya.
Naluri cinta diri sendiri juga termasuk modal penting yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Naluri ini merupakan salah satu landasan penting untuk pendidikan agama di tengah masyarakat. Tentu saja, kecintaan yang berlebihan terhadap diri sendiri akan melahirkan sikap sombong dan egoisme. Begitu juga dengan cinta kepada anak. Hal ini merupakan sesuatu yang baik, tapi yang lebih penting adalah cara mencintai; bagaimana dan seberapa kadarnya. Di sini, semuanya bergantung pada keahlian orang tua untuk memainkan perannya. Kasih sayang yang berlebihan tentu saja tidak benar. Orang tua tidak boleh menunjukkan kasih sayangnya kepada anak tanpa alasan yang jelas, dan begitu juga tidak boleh menghukuminya karena perkara-perkara kecil. Menunjukkan kasih sayang yang tidak pada tempatnya juga tidak benar, begitu pula dengan janji yang tidak pernah ditepati.
Orang tua mampu menciptakan perubahan dalam fisik dan jiwa anak. Mereka juga bisa membangun karakter sang anak. Pendidikan merupakan proses yang tidak pernah berhenti dan orang tua dituntut untuk mendidik putra-putrinya agar menjadi pribadi yang baik. Orang tua dapat menjauhkan anaknya dari segala keburukan, kemunafikan, dan sifat buruk lainnya dan menggantikannya dengan cinta, kesenangan, kebaikan, dan sifat baik lainnya. Mereka punya peran penting dalam pembentukan kepribadian anak dalam segala kondisi.
Dalam pandangan Islam, mengajarkan pengertian-pengertian agama kepada anak-anak merupakan masalah yang penting. Berdasarkan bimbingan Nabi Saw dan Ahlul Bait as, pengajaran pengertian-pengertian agama telah dimulai sejak bayi lahir dan pendidikan di masa kanak-kanak menjadi dasar bagi pendidikan di masa depan. Imam Ali as menyebut alasan terpenting dimulainya pendidikan di masa kanak-kanak dikarenakan hati dan jiwa mereka masih suci dan polos. Hal itu dikarenakan hati mereka belum terpolusi oleh dosa dan keburukan. Imam Ali as berkeyakinan bahwa dalam hati anak-anak yang masih suci ini dengan mudah menanam benih iman dan kejujuran, begitu juga benih kekufuran, kebohongan dan riya.
Kecintaan kepada ayah dan ibu juga memiliki pengaruh penting dalam perkembangan moral dan spiritual manusia. Agama mengajarkan manusia untuk menghormati kedua orang tua dan taat kepada mereka. Berbakti kepada ayah dan ibu akan mendatangkan banyak kebaikan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Rasulullah Saw bersabda, "Jika seseorang melewati malam sampai pagi dalam keadaan diridhai oleh ayah dan ibunya, maka Allah akan membukakan dua pintu surga baginya. Namun jika ia melewatkan malam sementara ia mendapat keridhaan dari satu di antara ayah dan ibunya, maka Allah akan membukakan baginya satu pintu surga."
Anak dituntut untuk mencintai kedua orang tuanya dengan setulus hati dan menunjukkan cinta itu kepada mereka. Allah Swt sangat mengagungkan kedudukan orang tua dan memerintahkan anak supaya merendah di hadapan mereka, berbuat baik kepada mereka dan membuat mereka ridha kepadanya. Di dalam al-Quran surat al-Isra ayat 24, Allah Swt berfirman, "Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ?Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil." Nabi Isa as tatkala hendak mengenalkan dirinya, juga menyinggung tentang pentingnya ketaatan kepada sang ibu. Hal itu diabadikan oleh Allah Swt dalam surat Maryam ayat 32.
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah Saw menghubungkan antara keridhaan dan kemurkaan Allah Swt dengan keridhaan dan kemurkaan kedua orang tua. Beliau bersabda, "Keridhaan Allah ada pada keridhaan orang tua. Dan kemarahan Allah ada pada kemarahan orang tua." Begitulah Allah Swt dan Rasul-Nya memberikan kedudukan yang sangat istimewa terhadap orang tua sehingga berbuat baik kepada keduanya merupakan suatu kewajiban dan kemuliaan. Sedangkan durhaka kepada keduanya adalah sebuah kemaksiatan dan dosa besar yang sangat hina.
Rasulullah Saw bersabda, "Memberi sedekah pada tempatnya, berbuat baik kepada orang tua, dan silaturahmi akan mengubah kesengsaraan menjadi kebahagiaan, memanjangkan umur, dan mencegah kematian yang buruk."
Nabi Muhammad SAW, Manusia Sempurna. sesi 1
Bangsa Quraisy
Bangsa Quraisy dipandang sebagai salah satu bangsa yang dihormati dan disegani di antara bangsa-bangsa yang ada di semenanjung Arabia. Quraisy sendiri terbagi ke dalam berbagai suku. Bani Hasyim adalah salah satu suku terhormat di antara suku-suku yang ada. Qushai bin Kilab adalah nenek moyang mereka yang bertugas sebagai penjaga Ka'bah.
Di tengah warga Makkah, Hasyim dikenal sebagai orang yang mulia, bijaksana, dan terhormat. Ia banyak membantu mereka, memulai perniagaan pada musim dingin dan musim panas supaya mereka mendapatkan penghidupan yang layak. Atas jasa-jasanya, warga kota memberinya julukan "sayid" (tuan). Julukan ini secara turun-temurun disandang oleh anak keturunan Hasyim.
Setelah Hasyim, kepemimpinan bangsa Quraisy dipercayakan kepada anaknya yang bernama Muthalib, kemudian dilanjutkan oleh Abdul Muthalib.
Abdul Muthalib adalah seorang yang berwibawa. Pada masanya, Abrahah Al-Habasyi menyerbu Makkah untuk menghancurkan Ka'bah, namun berkat pertolongan Allah SWT, Abrahah dan pasukan gajahnya mengalami kekalahan. Tahun penyerbuan itu kemudian dikenal dengan nama Tahun Gajah. Dan sejak peristiwa itu, nama Abdul Muthalib pun semakin terpandang di kalangan kabilah Arab.
Abdul Muthalib mempunyai beberapa anak. Di antara mereka, Abdullah-lah anak yang paling saleh dan paling dicintainya. Pada usia 24 tahun, Abdullah menikah dengan perempuan mulia bernama Aminah.
Dua bulan setelah Tahun Gajah, Aminah melahirkan seorang anak. Ia memberinya nama Muhammad. Sebelum kelahiran Muhammad, ayahnya Abdullah meninggal dunia. Tak lama setelah melahirkan, sang ibu pun menyusul suaminya kembali ke alam baka. Maka, sejak awal kelahirannya, Muhammad sudah menjalani hidupnya sebagai anak yatim.
Setelah ditinggalkan oleh kedua orang tua yang dicintainya, Muhammad diasuh oleh sang kakek, Abdul Muthalib. Berkat anugerah dan rahmat dari Allah SWT, Muhammad tumbuh menjadi dewasa dengan kesucian jiwa yang terpelihara.
Warga kota Makkah begitu mencintainya, bahkan merelakan barang-barang mereka berada di bawah pengawasan Muhammad. Atas kejujuran dan sifat amanah yang ditunjukkannya, mereka memberinya gelar "Al-Amin", yakni orang yang tepercaya.
Dengan bekal iman yang teguh, Muhammad membantu orang-orang fakir, membela orang-orang yang tertindas, membagikan makanan kepada mereka yang lapar, mendengarkan keluhan-keluhan mereka, dan berusaha memberikan jalan keluar atas masalah-masalah yang mereka hadapi.
Ketika beberapa orang pemuda menggalang sebuah gerakan yang dikenal dengan nama "Sumpah Pemuda" (Hilful Fudhul), segera Muhammad pun bergabung bersama mereka, karena gerakan itu sejalan dengan perilaku luhur dan tujuan-tujuannya.
Pada suatu waktu, Abu Thalib, paman Muhammad, menasehatinya untuk ikut berniaga dengan kafilah dagang Khadijah, seorang wanita Makkah yang kaya dan terhormat. Kemudian, Muhammad pun ditunjuk untuk memimpin kafilah dagang tersebut.
Selama bergabung dalam kafilah dagangnya, Khadijah menyaksikan dari dekat kejujuran, keteguhan, dan keutamaan perilaku Muhammad. Tak segan lagi Khadijah melamarnya. Muhammad menerima lamaran itu. Dan tak lama kemudian, mereka pun melangsungkan pernikahan.
Dari perhikahan itu, mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Fatimah, yang dari keturunannya lahirlah manusia-manusia suci.
Hajar Aswad (Batu Hitam)
Sepuluh tahun setelah pernikahan itu, banjir besar melanda kota Makkah yang merusak sebagian besar bangunan Ka'bah. Warga kota bermaksud untuk memperbaikinya.
Untuk mencegah perseturuan yang bakal terjadi, perbaikan itu dilakukan oleh berbagai suku yang ada di kota secara gotong royong. Namun, tatkala perbaikan telah selesai, tibalah saatnya untuk meletakkan Hajar Aswad. Ketika itu, masing-masing bangsa mengaku paling berhak untuk meletakkan batu itu.
Perang hampir saja terjadi. Tiba-tiba Muhammad muncul memberi sebuah usulan, dengan menanggalkan jubahnya dan meletakkan Hajar Aswad tepat di tengah-tengahnya, lalu setiap kepala suku memegang tepi jubah itu, lantas membawanya bersama-sama ke tempat asalnya.
Wahyu Pertama
Menginjak usia 40 tahun, Muhammad diangkat sebagai nabi. Suatu hari, ketika beliau sedang melakukan ibadah di gua Hira, datanglah Malaikat Jibril as membawa wahyu dari Allah dan menyapanya, "Iqra! Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari gumpalan darah. Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Mahamulia. Dialah yang mengajarkan ilmu dengan pena. Dialah yang telah mengajarkan kepada manusia akan segala yang tidak diketahuinya."
Sejak itu, Muhammad terpilih untuk mengemban risalah Allah sebagai Rasulullah saw di tengah umat manusia di seluruh dunia.
Di awal-awal kenabian, Rasulullah saw berdakwah secara rahasia. Pada saat itu, hanya beberapa orang saja yang mau menerima Islam. Orang pertama yang mengakui Muhammad sebagai Rasulullah saw ialah istri beliau, Khadijah, kemudian disusul oleh sepupunya, Ali bin Abi Thalib.
Tiga tahun lamanya Islam terus menyebar di kalangan rakyat miskin kota Makkah. Setelah itu, Allah SWT memerintahkan Rasulullah saw untuk melakukan dakwah secara terang-terangan, mengajak manusia menyembah Tuhan Yang Esa dan memulai perang suci melawan para penyembah berhala.
Tugas dakwah merupakan tugas yang penuh resiko dan bahaya. Sebab, para pemimpin kabilah telah sekian lama larut dalam kenikmatan berupa kedudukan dan menjadikan orang-orang sebagai budaknya.
Mereka khawatir bahwa dakwah Rasulullah saw akan merongrong kekuasaan mereka. Selain itu, tugas dakwah akan menjumpai kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaannya, karena berhala-berhala itu telah lama dijadikan sesembahan oleh mereka.
Rasulullah saw tidak mengenal toleransi. Ia memilih untuk memikul tugas ini untuk mengesakan Tuhan dan menegakkan undang-undang Tauhid di muka bumi.
Masyarakat yang sebelumnya menghormati dan santun terhadap Nabi saw, kini berbalik membenci dan memusuhi dakwah beliau dengan harta. Namun usaha mereka gagal.
Kemudian, permusuhan mereka berlanjut dengan menyiksa dan menjarah harta-harta milik Nabi saw. Namun, usaha mereka ini pun tidak berhasil untuk menahan laju dakwah suci beliau.
Kaum kafir Makkah tidak pernah lelah untuk mengubah pendirian Rasulullah saw. Mereka meningkatkan permusuhannya dan mengusir beliau beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya keluar dari Makkah, lalu mengurungnya di ladang Abu Thalib hingga sebagian mereka yang bersama Rasul di dalamnya mati kelaparan.
Mereka bahkan memperketat pengurungan ladang itu sehingga makanan dan minuman tidak dapat ditemui oleh Nabi beserta pengikutnya yang setia. Beberapa penduduk yang ikut Nabi mempertaruhkan hidupnya untuk menyelundupkan makanan dari kota di kegelapan malam.
Waktu berlalu begitu cepat. Kaum kafir menyerah pada tekad dan kegigihan yang ditunjukkan oleh kaum muslimin. Mereka memutuskan untuk membunuh Rasulullah saw.
Untuk itu, mereka memilih pemuda-pemuda terkuat dari kalangan keluarga dan suku mereka dengan memberikan upah yang tinggi kepada siapa yang berhasil membunuh beliau. Mereka menetapkan untuk menyergap kediaman Nabi saw pada malam hari.
Hijrah ke Madinah
Rencana keji itu diketahui oleh Rasulullah saw melalui wahyu yang disampaikan Malaikat Jibril as. Beliau memilih sepupunya Ali bin Abi Thalib untuk menggantikannya tidur di atas ranjang beliau dengan mempertaruhkan hidupnya demi keselamatan beliau.
Beliau hijrah dari Makkah ke Madinah di kegelapan malam. Kaum musyrikin telah berkumpul untuk membunuh Nabi saw. Betapa terkejutnya mereka, tatkala mendapati Ali di atas ranjang Rasul saw. Mereka segera mengejar beliau. Namun pengejaran itu gagal. Mereka pun kembali ke Makkah dengan tangan hampa.
Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, Nabi saw tiba di Quba, sebuah tempat di dekat kota Madinah. Penduduk desa menyambut kedatangan beliau. Dengan suka cita beliau berencana membangun tempat salat dan menyusun tugas-tugas dakwah.
Pembangunan masjid Quba berjalan lancar. Nabi saw turun tangan langsung dalam menyelesaikan pembangunannya. Sesudah itu, beliau melakukan salat Jumat dan berdiri sebagai khatib. Inilah salat Jumat yang pertama kali dilaksanakan oleh beliau.
Rasulullah saw menetap di Quba untuk beberapa saat sambil menyampaikan ajaran-ajaran Allah. Di sana pula beliau menantikan kedatangan Ali yang ditinggalkannya di kota Makkah untuk menunaikan titipan dan amanat kepada pemiliknya masing-masing. Hingga akhirnya Ali pun datang ke Quba bersama kaum wanita keluarga Bani Hasyim.
Rasulullah saw memasuki kota Yatsrib, dan sejak saat itu pula nama kota itu berubah menjadi Madinatur-Rasul atau Madinah Al-Munawarah. Penduduk kota menyambut beliau dan sebagian kaum Muhajirin yang menyertainya dengan begitu hangat dan meriah. Setiap penduduk berlomba meminta beliau untuk duduk di rumah mereka. Kepada mereka semua, beliau berkata, "Berilah jalan kepada untaku ini. Aku akan menjadi tamu orang yang di depan pintunya unta ini berhenti."
Si unta berjalan dan melintasi jalan-jalan kota Madinah, hingga ia menghentikan langkahnya dan bersila di depan pintu rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Di rumah itulah Rasulullah saw dijamu.
Sesampainya di Madinah, pertama yang dilakukan oleh Rasulullah saw ialah pembangunan masjid sebagai pusat dakwah dan pengajaran. Nabi juga segera menyerukan perdamaian serta persaudaraan antara dua bangsa; Aus dan Khazraj, yang telah berperang selama bertahun-tahun akibat hasutan yang dilancarkan oleh orang-orang Yahudi Madinah.
Dalam rangka mengikis habis akar-akar pembeda antara kaum Muhajirin yang datang dari Makkah dan kaum Anshar sebagai penduduk asli Madinah, Rasulullah saw mempersaudarakan mereka satu persatu, sehingga kaum Muhajirin tidak menjadi beban kaum Anshar di kemudian hari dan mereka dapat hidup bersama dengan rukun dan damai.
Orang-orang Yahudi Madinah memandang persaudaraan itu dengan penih kedengkian. Mereka selalu berusaha menyulut semangat perpecahan di kalangan kaum muslimin. Sementara Rasulullah saw memadamkan api pertikaian, mereka malah giat mengobarkannya.
Abdullah bin Saba: Antara Mitos dan Fakta
Abdullah bin Saba didaulat sebagai tokoh pendiri madzhab syi'ah yang menurut sebagian buku seperti Tarikh Milal wa Nihal madzhab syiah didirikan olehnya pada masa khalifah Utsman bin Affan.[1] Namun demikian, klaim ini tentunya bisa kita pertanyakan dan tinjau kembali sejauh mana kebenarannya. Karena sebagaimana yang akan dibahas nanti bahwa sumber primer yang dijadikan rujukan dalam menukil tokoh ini berasal dari satu sumber. Dan sumber inipun oleh beberapa sejarawan serta muhaditsin tidak diterima keabsahannya.
Berdasarkan hal tersebut, pertanyaan mendasar yang mesti diajukan, apakah Abdullah bin Saba merupakah tokoh nyata dalam sejarah islam ataukah sekedar tokoh fiktif yang sengaja dibuat untuk kepentingan tertentu.
Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk mencoba meninjau kembali kebenaran tokoh Abdullah bin Saba tersebut.
Sekilas Tentang Abdullah bin Saba dan Pemikirannya
Lebih dari seribu tahun lamanya para sejarawan (lama maupun kontemporer) dalam kitabnya telah mencatat riwayat-riwayat mencengangkan mengenai Abdullah bin Saba dan Sabaiyun (pengikut Abdullah bin Saba). Lantas siapakah sebenarnya Abdullah bin Saba? Bagaimanakah pemikirannya serta apa yang telah dilakukannya?
Dibawah ini beberapa riwayat ringkas dari para sejarawan mengenai Abdullah bin Saba:
Seorang Yahudi dari Shan'a di Yaman yang pada zaman khalifah ketiga pura-pura masuk Islam dan secara sembunyi-sembunyi membuat sebuah gerakan untuk memecah belah ummat Islam. Ia melakukan berbagai perjalanan ke kota-kota besar islam seperti Kufah, Basrah, Damsyik, dan Mesir sambil menyebarkan suatu kepercayaan akan kebangkitan Nabi Muhammad SAW sebagaimana akan kembalinya Nabi Isa As. Dan sebagaimana para nabi sebelumnya memiliki washi (pengganti), Ali adalah washi dari Nabi Muhammad SAW. Dia penutup para washi sebagaimana Muhammad SAW sebagai penutup para nabi, dan menuduh Utsman dengan zalim telah merampas hak washi ini darinya, serta mengajak masyarakat untuk bangkit mengembalikan kedudukan washi tersebut pada yang berhak.2
Sejarahwan menyebut tokoh utama dari cerita tersebut di atas adalah Abdullah bin Saba dengan laqab "Ibn Ummat Sauda" –Anaknya budak hitam- mereka mengatakan Abdullah bin Saba mengirimkan para muballighnya ke berbagai kota dan dengan dalih amar ma'ruf nahi munkar memerintahkan pada mereka untuk melumpuhkan para pemimpin di kota-kota tersebut. Kaum muslimin pun banyak yang mengikutinya dan membantu mensukseskan rencananya.
Mereka mengatakan Sabaiyun (sebutan untuk para pengikut Abdullah bin Saba) dimana saja berada dalam rangka memuluskan rencananya, mereka memprovokasi serta menghasut masyarakat untuk melawan pemerintah dan menulis surat kritikan terhadap pemerintah, tidak hanya itu, surat inipun dikirimkan ke berbagai daerah lain. Propaganda dan agitasi yang dilakukan oleh kelompok sabaiyun ini akhirnya membuahkan hasil yaitu dengan berdatangannya sebagian dari kaum muslimin ke madinah untuk memblokade serta mengepung rumah khalifah ketiga (Ustman bin Affan) dan berakhir pada terbunuhnya khalifah di tangan mereka. Yang kesemuanya ini berada dibawah kepemimpinan kelompok sabaiyun.
Setelah kaum muslimin menyatakan bai'atnya pada Ali , Aisyah (ummul mukminin) beserta Talhah dan Zubair untuk menuntut terbunuhnya Utsman bergerak menuju Bashrah. Di luar kota Bashrah antara Ali dengan Talhah dan Zubair sebagai pemimpin pasukan Aisyah dalam perang Jamal melakukan perundingan. Hal ini diketahui oleh kelompok Sabaiyun bagi mereka jika perundingan dan kesepahaman ini sampai terjadi penyebab asli dari terbunuhnya khalifah ketiga yang tiada lain adalah mereka sendiri akan berdampak negatif terhadap mereka. Oleh karena itu, malam hari mereka memutuskan untuk menggunakan cara apapun yang bisa dilakukan agar perang tetap terjadi. Akhirnya mereka menyusup masuk pada kedua kelompok yang berbeda. Pada malam hari ditengah kedua pasukan dalam kondisi tertidur dan penuh harap agar perang tidak terjadi, kelompok sabaiyun yang berada di pasukan Ali melakukan penyerangan dengan memanah pasukan Talhah dan Zubair, dan sebaliknya akhirnya perangpun antara kedua belah pihak tidak bisa terhindarkan lagi.3
Sumber Riwayat Abdullah bin Saba
Untuk lebih mengetahui siapakah sebenarnya Abdullah bin Saba, alangkah baiknya jika kita melihat sebagian pendapat para sejarawan dalam menceritakan sosok Abdullah bin Saba dan sumber yang digunakannya, yang pada akhirnya kita akan bermuara pada sumber asli penukilan dari cerita Abdullah bin Saba tersebut.
1. Sayyid Rasyid Ridha
Sayyid Rasyid Ridho dalam bukunya (Syi’ah wa Sunni, hal. 4-6) mengatakan bahwa pengikut syiah memulai perpecahan antara dien dan politik di tengah ummat Muhammad Saw, dan orang yang pertama kali menyusun dasar-dasar syiah adalah seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba yang berpura-pura masuk Islam, dia mengajak masyarakat untuk membesar-besarkan Ali, sehingga terciptalah perpecahan dikalangan ummat, dan telah merusak dien dan dunia mereka.
Cerita ini pun terus berlanjut sampai halaman enam kemudian dia mengatakan apabila seseorang ingin mengetahui peristiwa perang Jamal, lihatlah kitab Tarikh Ibnu Atsir, Jilid 3, hal.95-103, maka akan ditemukan sejauhmana peran Sabaiyun dalam memecah belah ummat, dan secara mahir memainkan perannya serta tidak mengizinkan terjadinya perdamaian diantara keduanya (kelompok Ali dan Aisyah).
Dengan demikian dapat diketahui bahwa Sayyid Rasyid Ridlo mengutip cerita ini dari kitab Tarikh Ibnu Atsir.
2. Ibnu Atsir (w. 732 H)
Ibnu Atsir (w. 630 H.Q) menuliskan secara sempurna tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi sekitar tahun 30-36 H tanpa menyebutkan sumber-suber yang dijadikan rujukannya, namun dalam prakata bukunya Tarikh al-Kamil ia mengatakan "Saya telah mendapatkan riwayat-riwayat ini dari kitab Tarikhul Umam wa Al-Muluk yang ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad Thabari.
3. Ibnu Katsir (w. 747 H)
Ibnu Katsir (w.774 H.Q) dalam bukunya yang berjudul Al-Bidayah wa Al-Nihayah meriwayatkan cerita Abdullah bin Saba dengan menukil dari Thabari dan pada halaman 167 dia mengatakan:
"Saif bin Umar mengatakan: sebab dari penyerangan terhadap Utsman adalah karena seorang yahudi yang bernama Abdullah bin Saba yang mengaku islam dan dia pergi menuju Mesir kemudian membentuk para muballig dan ..." Kemudian cerita Abdullah bin Saba dengan seluruh karakteristiknya terus berlanjut sampai halaman 246 kemudian dia mengatakan :
"Demikianlah ringkasan yang dinukil oleh Abu Ja'far Thabari"
4. Ibnu Khaldun
Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun dalam bukunya yang berjudul Al-Mubtada' wa Al-Khabar sebagaimana Ibnu Atsir dan Ibnu katsir dalam menceritikan Abdullah bin saba telah mengutip dari Thabari. Dia setelah menukil peristiwa perang jamal (jilid 2, hal 425) mengatakan:
"Demikianlah peristiwa perang jamal yang diambil secara ringkas dari kitabnya Abu Ja'far Thabari..."
5. Thabari (w. 310 H)
Tarikh Thabari adalah kitab sejarah yang paling lama yang menjelaskan cerita Abdulah bin Saba disertai dengan para perawi dari cerita tersebut. Semua kitab sejarah yang ada setelahnya dalam menjelaskan cerita Abdulah bin Saba menukil dari Tarikh Thabari. Oleh karenanya kita harus melihat dari manakah dia menukil cerita tersebut serta bagaimanakah sanadnya?
Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Thabari Amuli (w. 310 H) cerita sabaiyun dalam kitabnya Tarikh Al-Imam wa Al-Muluk hanya menukil dari Saif bin Umar Tamimi Kufi. Ia merujuk hanya sebagian dari peristiwa-peristiwa itu, sebagai berikut :
Pada tahun yang sama (yakni 30 H) peristiwa mengenai Abu Dzar dan Muawiyah, dan pengiriman Abu Dzar oleh muawiyah dari Syam ke Madinah. Banyak hal yang dikatakan tentang peristiwa itu, tetapi saya tidak mau menuliskannya, sebagaimana Sari bin Yahya telah menuliskannya buat saya demikian:
"Syu'aib bin Ibrahim telah meriwayatkan dari Saif bin Umar:"...Karena Ibnu Sauda sampai ke Syam (Damsyik) dia bertemu dengan Abu Dzar dan berkata: Wahai Abu Dzar! Apakah kamu melihat apa yang sedang dilakukan oleh Muawiyah?.. Kemudian Thabari cerita Ibnu Saba hanya menukilnya dari Saif dan dia mengakhiri penjelasannya mengenai keadaan Abu Dzar dengan mengatakan :"Orang-orang lain telah berbicara banyak riwayat pembuangan Abu Dzar, tetapi saya segan menceritakannya kembali"
Mengenai peristiwa-peristiwa dalam tahun-tahun 30-36 H, Thabari mencatat riwayat bin Saba dan kaum sabaiyah, pembunuhan Utsman serta peperangan jamal dari Saif. Dan Saif adalah satu-satunya orang yang dapat dikutipnya.
Thabari meriwayatkan kisahnya dari Saif melalui dua orang:
1. 'Ubaidillah bin Sa'id Zuhri dari pamannya Ya'qub bin Ibrahim dari Saif.
Dari jalur-jalur ini riwayat-riwayat tersebut dia mendengar dari 'Ubaidillah dan menggunakan lafadz "Haddatsani atau Haddatsana" yaitu diceritakan kepada saya atau diceritakan kepada kami.
2. Sari bin Yahya dari Syu'aib bin Ibrahim dari Saif.
Thabari dalam jalur sanad ini hadits-hadits Saif diambil dari dua bukunya yang berjudul Al-Futuh dan Al-Jamal, dengan dimulai oleh kata Kataba ilayya (ia menulis kepada saya), Haddatsani (ia meriwayatkan kepada saya) dan Fi Kitabihi Ilayya (dalam suratnya kepada saya)4
Dengan demikian dari beberapa sumber di atas sebagai sumber rujukan dalam menceritakan Abdullah bin Saba semuanya pada akhirnya merujuk pada apa yang diriwayatkan oleh Thabari dalam buku masyhurnya Tarikh Thabari. Namun demikian, ada juga beberapa sejarahwan lain yang meriwayatkan Abdullah bin Saba dan kaum Sabaiyun tidak mengutip dari Thabari, tetapi langsung mengutipnya dari Saif, mereka adalah :
1. Ibnu 'Asakir (w. 571 H)
Ibnu 'Asakir mencatat dari sumber lain. Dalam bukunya Tarikh Madinah Damsyik , ketika ia menulis tentang biografi Thalhah dan Abdulah bin Saba, dia telah mengutip bagian-bagaian dari cerita-cerita tentang kaum Sabaiyah melalui Abul Qasim Samarqandi dan Abul Husain Naqqur dari Abu Thaher Mukhallas dari Abu Bakar bin Saif dari Sari dari Syu'aib bin Ibrahim dari Saif.
Jadi sumbernya adalah Sari, salah satu dari dua jalur yang telah dikutif Thabari.
2. Ibnu Abi Bakr (w. 741 H)
Bukunya At-Tamhid telah dijadikan sumber dan dinukil oleh beberapa penulis. Buku itu meriwayatkan pembunuhan terhadap Khalifah Utsman. Dalam bukunya itu disebutkan buku Al-Futuh karangan Saif.5
3. Dzahabi
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman Dzahabi (w. 748 H) dalam kitabnya yang berjudul Tarikh Al-Islam meriwayatkan sebagaian riwayat mengenai Abdullah bin Saba. Ia memulai dengan menukil dua riwayat dari Saif yang sebelumnya oleh Thabari tidak dinukil. Dia mengatakan:
"Berkata Saif bin Umar bahwa Athiyyah mengatakan, bahwa Yazid Al-Faq'asi mengatakan ketika Abdullah bin Saba pergi ke Mesir..."6
Dari beberapa sumber riwayat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebagian besar sejarahwan pasca Thabari dalam meriwayatkan sejarah mengenai Abdullah bin Saba semuanya bersumber dari buku Tarikh Thabari. Sementara hanya sebagian kecil saja dari sejarahwan yang langsung menukil riwayat mengenai Abdulah bin Saba dan Kaum Sabaiyah ini dari Saif yaitu, Thabari, Ibnu Asakir, Ibnu Abi Bakr dan Dzahabi. Dengan kata lain seluruh riwayat mengenai Abdullah bin Saba ini pada akhirnya bermuara pada Saif bin Umar yang kemudian dari dialah Thabari, Ibnu Asakir, Ibnu Abu Bakr dan Dzahabi mengutip.
Lantas siapakah sebenarnya Saif bin Umar, kemudian bagaimanakah dia dan riwayat-riwayat yang dikeluarkan olehnya di mata para muhaditsin. Dengan mengetahui jawaban ini kita bisa mengukur sejauh mana validitas riwayat-riwayat yang dikeluarkannya termasuk dalam hal ini riwayat mengenai Abdullah bin Saba.
Siapakah Saif bin Umar?
Menurut Thabari, namanya yang lengkap adalah Saif bin umar Tamimi Al-Usaidi. Menurut Al-Lubab Jamharat Al-Ansab dan Al-Isytiqaq, namanya Amr bin Tamimi. Karena ia keturunan Amr maka ia telah mengkontribusikan lebih banyak lagi tentang perbuatan-perbuatan heroik Bani Amr ketimbang yang lain-lainnya.
Namanya disebut sebagai usady, sebagai ganti Osayyad, dalam Al-Fihrist oleh Ibn Nadim. Dalam Tahdzib Al-Tahdzib, ia juga disebut Burjumi, Sa'adi atau Dhabi. Disebutkan pula bahwa Saif berasal dari Kufah dan tinggal di Baghdad, meninggal pada tahun 170 H pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid ( 170-193 H).
Saif bin Umar Tamimi menulis dua buah buku yang berjudul:
1. Al-Futuh Al-Kabir wa Al-Riddah, isinya menjelaskan tentang sejarah dari sebelum wafatnya Nabi Muhammad Saw hingga pada masa Utsman menjadi khalifah.
2. Al-Jamal wa Al-Masiri 'Aisyah wa Ali, mengenai sejarah sejak terbunuhnya Utsman sampai peristiwa peperangan jamal.
Kedua buku ini lebih banyak menceritakan tentang fiksi ketimbang kebenaran. Sebagian dari cerita-ceritanya adalah cerita palsu yang dibuat olehnya. Kemudian kedua buku ini pun menjadi sumber rujukan para sejarawan seperti Ibnu Abdil Bar, Ibnu Atsir, Dzahabi dan Ibnu Hajar ketika mereka hendak menulis dan menjelaskan perihal para sahabat Nabi Saw.
Allamah Askari menjelaskan dalam bukunya bahwa setelah diadakan penelitian terhadap buku-buku yang dikarang oleh keempat sejarahwan di atas ditemukan bahwa ada sekitar 150 sahabat nabi buatan yang dibuat oleh Saif bin Umar.7
Ahli Geografi seperti Al-Hamawi dalam bukunya Mu'jam Al-Buldan dan Al-Himyari dalam Al-Raudh yang menulis kota-kota islam juga menggunakan riwayat dari Saif dan menyebutkan nama-nama tempat yang diada-adakan oleh Saif8 Dengan demikian Saif tidak hanya membuat tokoh fiktif Abdullah bin Saba tetapi juga dia telah membuat ratusan tokoh fiktif lainnya dan juga tempat-tempat fiktif yang dalam realitasnya tidak ada. Berikut ini adalah pandangan dan penilaian para penulis biografi tentang nilai-nilai tulisan Saif :
1. Yahya bin Mu'in (w. 233 H); "Riwayat-riwayatnya lemah dan tidak berguna".
2. Nasa'i (w. 303 H) dalam kitab Shahih-nya mengatakan : "Riwayat-riwayatnya lemah, riwayat-riwayat itu harus diabaikan karena ia adalah orang yang tidak dapat diandalkan dan tidak patut dipercaya."
3. Abu Daud (w. 275H) mengatakan: "Tidak ada harganya, ia seorang pembohong (Al-Kadzdzab)."
4. Ibnu Abi Hatim (w. 327 H) mengatakan bahwa : "Dia telah merusak hadist-hadits shahih, oleh karena itu janganlah percaya terhadap riwayat-riwayatnya dan tinggalkanlah hadists-hadistnya."
5. Ibnu Sakan (w. 353 H)_mengatakan : "Riwayatnya lemah."
6. Ibnu Hiban (w. 354 H) dia mengatakan bahwa :" Hadists-hadits yang dibuat olehnya kemudian disandarkan pada orang yang terpercaya" juga dia berkata "Saif dicurigai sebagai Zindiq; dan dikatakan dia telah membuat hadits-hadits yang kemudia hadis tersebut dia sandarkan pada orang yang terpercaya."
7. Daruqutni (w. 385 H) berkata :" Riwayatnya lemah. Tinggalkanlah hadits-haditsnya."
8. Hakim (w. 405 H) mengatakan : "Tinggalkanlah hadits-haditsnya, dia dicurigai sebagai seorang zindiq."
9. Ibnu 'Adi (w. 365 H) mengatakan : "Lemah, sebagian dari riwayat-riwayatnya terkenal namun sebagian besar dari riwayat-riwayatnya mungkar dan tidak diikuti."
10. Firuz Abadi (w. 817 H) penulis kamus mengatakan:" Riwayatnya lemah."
11. Muhammad bin Ahmad Dzahabi (w. 748 H) mengenainya dia mengatakan :"Para ilmuwan dan ulama semuanya sepakat bahwa riwayatnya lemah dan ditinggalkan."
12. Ibnu Hajar (w. 852 H) mengatakan :"hadisnya lemah" dan dalam buku lain mengatakan :Walaupun banyak riwayat yang dinukil olehnya mengenai sejarah dan penting, tapi karena dia lemah, hadits-haditsnya ditinggalkan."
13. Sayuti (w. 911 H) mengatakan :"Sangat lemah."
14. Shafiuddin (w. 923 H) mengatakan :"Menganggapnya lemah."
Dari beberapa pendapat di atas (baik dari kalangan syi'ah maupun ahlu sunnah) menunjukan bahwa Saif bin Umar sebagai satu-satunya sumber yang meriwayatkan tentang Abdullah bin Saba adalah sesorang yang pembohong dan oleh sebagian dianggap zindik, juga riwayat-riwayatnya dianggap lemah. Dengan demikian, jelaslah bahwa Abdullah bin Saba adalah tokoh fiktif dalam sejarah Islam. Hal ini didasarkan bukan hanya karena adanya Saif bin Umar dalam jalur sanadnya, tetapi juga karena Saif bin Umar adalah seseorang yag terkenal zindiq dan fasik.
Wallahu ‘alam bishshawwab. []
*Penulis adalah salah seorang Mahasiswa Progam S1, Fikih dan Ma'arif Islami,Al-Musthafa University, Qom, IRAN
1. Ali Rabbani Gulpaygani, Faraq wa Madzahibe Kalome, Qom, Entesharote Markaze Jahone Ulume Eslome, 1383, hal. 39
2 M. Hashem, Abdullah bin Saba Benih Fitnah, Bandar lampung, YAPI, 1987, hal.15
3 Allamah Murtadha Askari, Abdullah bin Saba Degar Afshanehoye Tarehe, 1375, hal.42
4 Keseluruh sumber riwayat ini dikutip dari Allamah Murtadha Askari, Abdullah bin Saba Degar Afshanehoye Tarehe, 1375, hal.42
5 M. Hashem, Abdullah bin Saba Benih Fitnah, Bandar lampung, YAPI, 1987, hal.76
6 Allamah Murtadha Askari, Abdullah bin Saba Degar Afshanehoye Tarehe, 1375, hal.66
7 Allamah Murtadha Askari, Abdullah bin Saba Degar Afshanehoye Tarehe, 1375, hal.70
8 Ibid
Apakah Nabi Saww Pernah Lupa Dalam Shalat?
Hadits Lupa di Dalam Kitab “Al-Faqih”
Didalam Ilmu kalam, menisbatkan sifat lupa kepada nabi saww adalah sesuatu yang mustahil, bahkan dalam segala hal nabi saww tidak pernah lupa, sebab kalau nabi saw pernah lupa dalam sesaat saja, berarti dimungkinkan pula nabi saww pernah lupa dalam menyampaikan wahyu Tuhannya, dan hal itu berhubungan dengan masalah aqidah yang harus ditolak. Dilain hal ulama besar Syiah seperti Syeikh Shaduq ra pernah mengatakan didalam kitab manla yahdhuruhu alfaqih, dengan mengutip riwayat mengenai shalat, bahwa nabi saww pernah shalat qadha subuh dan lupa didalam shalat dan melakukan sujud sahwi bahkan ekstremnya, orang yang tidak mempercayai nabi saww pernah lupa salah satu ciri dari ghulu.[1]
Riwayat yang dibawa Syeikh Shaduq adalah :
وروى الحسن بن محبوب عن الرباطي، عن سعيد الاعرج قال: ” سمعت أبا عبدالله عليه السلام يقول: إن الله تبارك وتعالى أنام رسوله صلى الله عليه وآله عن صلاة الفجر حتى طلعت الشمس، ثم قام فبدأ فصلى الركعتين اللتين قبل الفجر، ثم صلى الفجر، وأسهاه في صلاته فسلم في ركعتين ثم وصف ما قاله ذو الشمالين و إنما فعل ذلك به رحمة لهذه الامة لئلا يعير الرجل المسلم إذا هو نام عن صلاته أو سها فيها فيقال: قد أصاب ذلك رسول الله صلى الله عليه وآله.
Al-Husein Ibn Mahbûb meriwayatkan dari Arribâthi, dari Sa’îd al-A’râj berkata : Aku mendengar Aba Abdillah as bersabda: Sesungguhnya Allah Swt menidurkan Rasulullah saww sampai terbit matahari dan nabi saww dalam keadaan belum shalat shubuh, kemudian rasul saww bangun dan melaksanakan shalat dua rakaat (nafilah) sebelum shalat shubuh (qadha), kemudian melaksanakan shalat (qadha) Shubuh, dan Dia Swt juga membuat rasul saww lupa dalam shalatnya dengan memberi salam setelah rakaat kedua (dalam empat rakaat), kemudian yang mengingatkannya adalah dzu as-syimalain, hal itu terjadi untuk dijadikan rahmat bagi ummat ini (nabi saw), supaya tidak ada seorang lelaki muslim dihina karena ketiduran dan belum melaksanakan shalatnya atau lupa didalam shalatnya, dan dikatakan padanya bawa telah menimpa hal itu kepada rasulullah saww juga.[2]
Kemudian Syeikh Shaduq ra dalam hal ini membedakan antara sahw (lupa) dengan Isha (Melupakan-butuh objek), karena kalau sahw (lupa) dinisbatkan kepada orang yang lalai karena pengaruh syaetan, sedangkan yang terjadi pada nabi bukanlah lupa dalam makna demikian tetapi Allah Swt secara langsung membuat lupa (isha’) nabi dalam hal itu, dan hal ini tidak diakibatkan oleh lalai atau pengaruh syaetan karena إِنَّما سُلْطانُهُ عَلَى الَّذينَ يَتَوَلَّوْنَهُ (Sesungguhnya kekuasaan setan hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukanya dengan Allah)[3] dan nabi tidaklah berwala kepada syaetan. Begitu pula penulis sekaligus menjawab permasalahan yang menyatakan bahwa kalau nabi pernah lupa maka dimungkinkan nabi saww pernah lupa dalam menyampaikan wahyu tabligh dan risalah, dengan jawabannya yaitu : hal itu terjadi kalau makna lupa adalah disebabkan karena lalai, tetapi hal ini berbeda bukan karena hal itu tetapi karena Allah yang membuat nabi lupa (isha’), dilain hal beliau mengatakan bahwa shalat adalah hal yang musytarak selain nabipun melakukannya sedangkan wahyu, tidaklah demikian karena merupakan hal yang khusus dan mustahil menisbatkan lupa dalam masalah wahyu tabligh kepada ummat.
Syeikh Mufid ra Menolak Pendapat Syeikh Shaqud ra
Sebagian ulama menerima pendapat Syeikh Shaduq mengenai isha’ nabi saww tsubutan (alam kemungkinan) bukan itsbâtan (alam dalil), sebagian lagi menolak sepenuhnya baik itu sahwi maupun isha’ karena bertolak belakang dengan dalil aqli dan naqli kemaksuman nabi secara mutlak, terutama Syeikh Mufid didalam risalahnya ‘adam sahwi an-nabi saww, yang mengatakan bahwa isha’ pun tidak mungkin terjadi, yang mana Syeikh Mufid berkeyakinan bahwa hadits tersebut adalah hadits ahad yang tidak bisa dijadikan pegangan bagi permasalahan aqidah, dan juga beliau menambahkan bahwa hadits tersebut memiliki banyak permasalahan terutama dalam isi hadits tersebut, kadang menceritakan nabi saww lupa dalam shalat dzuhur sebagian riwayat dalam shalat ashar sebagian lagi dalam shalat isya,[4] dan juga hadits itu bertolak belakang dengan aqidah kemaksuman nabi saww. Sebagian Ulama seperti Alamah Jawadi Amuli dan ulama lainnya mengatakan kalau terjadi taarudh permasalahan naqliah dan aqliah yang sudah tsabit dalam permasalahan aqidah maka yang naqli itulah yang harus ditakwil bukan yang aqli.
Bagaimanapun pertentangan Ulama terhadap pernyataan Syeikh Shaduq ra dan riwayat yang diambilnya, sepanjang yang saya teliti hadits yang dibawa Syeikh Shaduq bisa dikatakan hadits sahih kalau perawinya yang bernama Ribâthi bukanlah Al-Hasan ibn Ribâthi Al-Bijli, karena nama itu adalah majhul belum ada keterangan didalam kitab-kitab rijal, sedangkan kalau yang dimaksud adalah Ali Ibn Al-Hasan Ibn Ar-Ribâthi maka dia adalah seorang imami yang tsiqah[5]. Oleh sebab itu dikarenakan nama musytarak yang ada dalam riwayat man la yahdhuruhu alfaqih tidak bisa dijadikan pegangan untuk mengitsbatkan kesahihan riwayat tersebut.
Isykal Pernyataan Syeikh Mufid ra
Syeikh Mufid mengatakan bahwa permasalahan lupa yang dinisbatkan kepada nabi saww adalah hadits ahad, hal tersebut jikalau dinisbatkan hanya kepada kitab “Al-Faqih” bisa dibenarkan tetapi kalau kita lihat didalam kitab-kitab lainnya seperti Al-Kâfi dan Istibshar maka kita akan menemukan hadits serupa yang lebih dari satu dengan kualitas sahih. Bahkan Syarif Murtadha (Ali Ibn Husein Musawi) didalam Al-Masâil An-Nâshiriyyât menjadikan hadits yang serupa sebagai dalil dalam fiqihnya mengenai sujud sahwi.[6] Walapun sebenarnya hadits lain mengenai lupa didalam shalat dan sujud sahwi yang tidak dinisbatkan kepada Nabipun banyak jumlahnya.
Kita dapat melihat beberapa hadits sebagai contoh didalam Al-kafi sebagai berikut:
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عِيسَى عَنْ سَمَاعَةَ بْنِ مِهْرَانَ قَالَ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللهِ (ع): …فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ (ص) صَلَّى بِالنَّاسِ الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَهَا فَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ ذُو الشِّمَالَيْنِ يَا رَسُولَ اللهِ أَ نَزَلَ فِي الصَّلاةِ شَيْ ءٌ فَقَالَ وَمَا ذَاكَ قَالَ إِنَّمَا صَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ (ص) أَتَقُولُونَ مِثْلَ قَوْلِهِ قَالُوا نَعَمْ فَقَامَ (ص) فَأَتَمَّ بِهِمُ الصَّلاةَ وَسَجَدَ بِهِمْ سَجْدَتَيِ السَّهْوِ …
Berkata Abu Abdillah as: …Sesungguhnya rasulullah saww pernah shalat dzhuhur berjamaah dua rakaat, karena lupa, kemuadian memberi salam akhir, kemudian Dzu As-Syimalain berkata wahai rasulullah saw, apakah ada yang kurang didalam shalat anda, Rasul menjawab : memang apa yang terjadi? Dzu As-Syimalain berkata sesungguhnya anda telah shalat dua rakaat, kemudian Rasul Saww bertanya kepada yang lainnya : apakah kalian melihat benar apa yang dia katakan , mereka berkata : betul, kemudian rasulullah saww, meneruskan shalatnya lalu melaksanakan sujud sahwi…[7]
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ النُّعْمَانِ عَنْ سَعِيدٍ الأَعْرَجِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ (ع) يَقُولُ صَلَّى رَسُولُ اللهِ (ص) ثُمَّ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَيْنِ فَسَأَلَهُ مَنْ خَلْفَهُ يَا رَسُولَ اللهِ أَحَدَثَ فِي الصَّلاةِ شَيْ ءٌ قَالَ وَمَا ذَلِكَ قَالُوا إِنَّمَا صَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ أَكَذَلِكَ يَا ذَا الْيَدَيْنِ وَكَانَ يُدْعَى ذَا الشِّمَالَيْنِ فَقَالَ نَعَمْ فَبَنَى عَلَى صَلَاتِهِ فَأَتَمَّ الصَّلاةَ أَرْبَعاً وَقَالَ إِنَّ اللهَ هُوَ الَّذِي أَنْسَاهُ رَحْمَةً للأُمَّةِ …
Berkata Sa’îd Al-A’râj aku mendengar Aba Abdillah as bersabda : Rasulullah melakukan salam setelah dua rakaat, kemudian dibelakangnya bertanya : wahai rasulullah saww apakah terjadi kekurangan didalam shalat? Rasul saww menjawab : apa yang terjadi?, mereka berkata : anda telah shalat dua rakaat, rasul saww bertanya : apakah hal itu benar wahai Dzulyadain, yang mana dipanggil Dzu as-Syimalain, dia berkata betul, kemudian rasul saww meneruskan shalatnya dan menyempurnakan shalatnya menjadi empat rakaat, kemudian Imam as bersabda: Sesungguhnya Allah Swt lah yang melupakan nabi saww sebagai rahmat bagi umat…[8]
Kedua hadits tersebut dan masih ada lagi hadits serupa lainnya dalam bab yang sama didalam Alkafi dengan sanad sahih begitu pula didalam Tahdzib Al-Ahkam didalam bab ahkam As-Sahwi fi As-Shalat dengan sanad sahih pula, walaupun isi dari riwayat tersebut banyak ditemukan permasalahan diantaranya bertolak belakang dengan riwayat sahih lainnya.
Ta’arudh Hadits
Riwayat-riwayat yang sahih yang menceritakan mengenai kejadian lupa didalam shalat yang dinisbatkan kepada nabi saww bertolak belakang isi kandungannya dengan banyak riwayat sahih lainnya semisal riwayat didalam tahdzib:
عَنْهُ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ مَحْبُوبٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُكَيْرٍ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ع هَلْ سَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ ص-سَجْدَتَيِ السَّهْوِ قَطُّ فَقَالَ لَا وَ لَا يَسْجُدُهُمَا فَقِيهٌ
قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ الَّذِي أُفْتِي بِهِ مَا تَضَمَّنَهُ هَذَا الْخَبَرُ فَأَمَّا الْأَخْبَارُ الَّتِي قَدَّمْنَاهَا مِنْ أَنَّ النَّبِيَّ ص سَهَا فَسَجَدَ فَإِنَّهَا مُوَافِقَةٌ لِلْعَامَّةِ وَ إِنَّمَا ذَكَرْنَاهَا لِأَنَّ مَا تَتَضَمَّنَهُ مِنَ الْأَحْكَامِ مَعْمُولٌ بِهَا عَلَى مَا بَيَّنَّاهُ
Darinya (Muhammad ibn Ali Ibn Mahbub), dari Ahmad ibn Muhammad dari Al-Hasan ibn Mahbûb dari Abdillah ibn Bukair dari Zurârah berkata : aku bertanya Aba Ja’far as apakah Rasulullah saww pernah melaksanakan dua sujud sahwi (karena lupa) sekali saja, Imam as menjawab tidak , dan tidak pula pernah seorang Faqih (orang alim) melaksanakan dua sujut (sahwi) itu.
Muhammad Ibn Al-Hasan (Syeikh Thûsi) yang mana berfatwa dengan kandungan riwayat tersebut (menolak sahwi nabi) adapun riwayat yang mengatakan nabi lupa kemudian melaksanakan sujud sahwi adalah riwayat yang sesuai dengan pendapat mazhab âmmah dan kami menyebutkan riwayat ini karena kandungannya berlaku didalam ahkam seperti yang telah kami jelaskan. (dari sanalah tidak bisa diambil kesimpulan bahwa nabi pernah lupa) [9]
Hadits ini adalah sahih seluruh perawinya tsiqah imamiah, dan kandungannya bertolak belakang dengan hadits sahih lain yang telah disebutkan diatas, karena riwayat ini menolak sedikitpun bahwa nabi pernah lupa dan melakukan sujud sahwi, adapun mengenai sifat nabi saww yang tak pernah lupa bahkan nabi saww mengetahui khabar langit dan bumi, sehingga tidak mungkin nabi bertanya kepada dzulyadain atau lainnya mengenai sesuatu yang nabi saww tidak ketahui dari lupanya. Riwayat tersebut disebutkan didalam riwayat sahih semisal riwayat dalam al-kâfi berikut ini :
عده من اصحابنا، عن احمدبن محمد عن علي بن حديد، عن سماعه بن مهران قال :کنت عند ابي عبدالله و عنده جماعه من مواليه، فقال: اعرفوا العقل و جنوده و الجهل و جنوده تهتدو…فقال ابوعبدالله: ان الله خلق العقل …ثم جعل للعقل خمسه و سبعين جندا فکان مما اعطي الله العقل من الخمسه و السبعين الجند الخير و جعل ضده الشر…والعلم و ضده الجهل و التسليم و ضده الشک و التذکر و ضده السهو و الحفظ و ضده النسيان…فلا تجتمع هذا الخصال کلها من اجناد العقل الا في نبي اووصي او مومن قد امتحن الله قلبه للايمان …
Dari “beberapa sahabat kami” dari Ahmad ibn Muhammad dari Ali ibn Hadid, dari Samâ’ah ibn Mihrân berkata : ketika aku bersama Abu Abdillah as dan disekitarnya sekumpulan para pengikutnya, Imam as bersabda : jelaskanlah oleh kalian mengenai akal dan tentaranya, kebodohan dan tentaranya pula anda akan memperoleh petunjuk…Abu Abdillah as bersabda : sesungguhnya Allah menciptakan akal… kemudian menjadikan akal tujuh puluh lima tentara, dan yang diberikan oleh Allah Swt dengan tujuh puluh lima tentara kebaikan dan menjadikan pula lawannya kejelekan, Ilmu lawannya Kebodohan, yakin (kepatuhan) lawannya keraguan, tadzakkur lawannya sahw (lupa), hapalan lawannya nisyân (lupa)… tidaklah terkumpul seluruh tentara akal (kebaikan) tersebut kepada seorangpun kecuali pada nabi, dan washinya atau mukmin yang telah Allah Swt uji mereka hatinya dengan keimanan…[10]
Hadits tersebut adalah sahih sanad, adapun iddat min ashhâbina (beberapa sahabat kami) pun muktabar ketsiqatannya mereka adalah Ali Ibn Ibrahim, Ali Ibn Muhammad Ibn abdillah, Ahmad Ibn Abdillah ibn Umayyah, Ali Ibn Hasan yang meriwayatkan dari Ahmad ibn Muhammad Albarqi.[11]
Isi dari hadits tersebut secara jelas menerangkan bahwa tazdzakur dan Hifz yang merupakan lawan dari lupa ada pada nabi dan washinya, sehingga tidak mungkin nabi memiliki sifat lupa (nisyân/sahw).
Dan masih banyak lagi hadits sahih lainnya yang menjelaskan hal yang serupa baik dengan manthuqnya atau mafhumnya yang menyatakan nabi tidak pernah lupa sedikitpun dan mengetahui urusan langit dan bumi.
Dan dari kedua belah kubu riwayat yang menyatakan nabi pernah lupa dan kubu lain yang menyebutkan nabi tak pernah lupa mengalami ta’ârudh, dan bagaimanakah kita menyelesaikan hal itu semua serta mencari jalan keluarnya?
Solusi permasalahan hadits yang muta’âridân (yang saling bertolak belakang)
Dari sanalah kita tidak bisa melihat riwayat hanya dari minhaj sanadi saja tetapi harus dilihat dari minhaj madhmûni, minhaj sanadi mengatakan kalau sanadnya sahih maka riwayat tersebut menjadi hujjah, sedangkan kita melihat diantara hadits secara sanad sahih terdapat madhmun (isi hadits) yang bertolak belakang seperti yang disebutkan diatas, oleh sebab itu mana yang harus kita pilih karena kedua-duanya hujjah menurut minhaj sanadi, tetapi kalau kita melihat minhaj Madhmûni, kita bisa melihat rujukan isi dan kandungannya yang bertolak belakang tadi dan mencari solusi lain dari pelajaran ushul fiqih.
Kalau kedua hadits tersebut sanad sahih, dan secara isi bertolak belakang maka hal itu terjadi ta’ârudh, atau didalam istilah Sayyid Syahid Baqir Shadrra “At-Tanâfi baina almadlûlain, wa lamma kâna ad-dalil hua al-ja’l fattanâfi almuhaqqiq littaârudh hua attanâfi baina al-ja’lain…”[12] bahkan ditambahkan didalamnya adalah taarudh diantara dua ja’l ( lisan dalil), yang mana didalam pembahasan kita kali ini adalah diantara dua kubu riwayat (dalil) diatas.
Disebutkan pula didalam ushul bahwa ta’ârudh diantara dua dalil tersebut ada yang mustaqir ada yang ghair mustaqir. Ta’ârudh gheir mustaqir adalah at-taârudh alladzi yumkinu ‘ilâjuhu bita’dîl dilâlah ahad ad-dalilain, wa ta’wîluha binahwin yansajim ma’a ad-dalîl al-âkhar[13] (ta’arudh yang mana dimungkinkan untuk dicarikan solusinya dengan mensinkronkan salah satu dalil dengan dalil lainnya, dan mentakwilkan yang sesuai dengan dalil lainnya. Sedangkan yang mustaqir tidak mungkin ditemukan solusi dengan cara mensinkronkan salah satu dalil dengan dalil lainnya. Ta’arudh gheir mustaqir bisa diambil solusi dengan cara al-jam’ al-‘urfi, maksudnya secara pandangan uruf bisa dicarikan solusinya baik itu dengan mencari salah satu dalil yang lebih dzahir (adzhar) dari yang dzahir, atau yang muqayyad dari yang muthlaq atau yang khas dari yang amm. Sedangkan kalau kita kembali lagi kedalam masalah kedua kubu dalil mengenai nabi pernah lupa atau tidak maka kita bisa meneliti bahwa kedua kubu hadits tersebut tidak bisa ditemukan dengan cara al-jam al-urfi, bahkan kedua kubu tersebut jelas-jelas masuk dalam kategori ta’arudh mustaqir. Lalu apa yang harus kita lakukan kalau memang hadits itu adalah ta’arudh mustaqir?
Didalam pembahasan Ushul dikatakan bahwa kalau mengalami ta’arudh mustaqir maka yang terjadi adalah tasâquth kila ad-dalilain (jatuh kedua dalil tersebut), tetapi dikatakan pula oleh Sayyid Shadr ra bahwa dengan adanya dalil yang khusus menunjukkan tarjîh (salah satu dalil maka tidak terjadi tasaqut kila ad-dalilain[14]. Riwayat khusus tersebut diantaranya:
إذا ورد عليكم حديثان مختلفان فاعرضوهما على كتاب الله، فما وافق كتاب الله فخذوه، وما خالف كتاب الله فردّوه، فإن لم تجدوهما في كتاب الله فاعرضوهما على أخبار العامة, فما وافق أخبارهم فذروه و ما خالف أخبارهم فخذوه.
Imam Shadiq as bersabda : JIkalau kalian menemukan dua hadits yang bertolak belakang maka rujuklah keduanya pada kitabullah, dan hadits yang sesuai dengan kitabullah maka ambillah, dan yang tidak sesuai maka tinggalkanlah, jikalau kalian tidak menemukan didalam kitabullah maka rujukalah keduanya pada hadits-hadits (mazhab) ‘ammah, yang sesuai dengan akhbar mereka maka tinggalkanlah yang tidak sesuai maka ambillah.[15]
Dari sanalah kita bisa merujuk kepada ayat alquran, sedangkan secara sarih Alquran banyak yang menerangkan ayat mengenai kemaksuman nabi, kalau kita mengambil makna ithlaq dari makna maksum yang meliputi juga maksum dari lupa dan salah. Tetapi kalaupun ayat-ayat tersebut mendapatkan permasalahan dengan ayat lainnya dan tidak bisa ditemukan kesimpulan akhir maka kita merujuk pada langkah kedua yaitu merujuk kepada hadits-hadits dari mazhab ammah, dan sudah dipastikan bahwa hadits yang menceritakan bahwa nabi saww pernah lupa sesuai dengan riwayat yang terdapat dalam mazhab Ammah, oleh sebab itulah maka kita mengambil riwayat yang tidak sesuai dengan mazhab tersebut yaitu riwayat yang menolak bahwa nabi pernah lupa, serta menjadikan riwayat yang sesuai dengan mazhab ammah adalah riwayat dalam kondisi taqiah. Kesimpulannya bahwa riwayat yang bisa kita pegang adalah riwayat yang mengatakan bahwa nabi sedikitpun tidak pernah lupa dan salah.
Adapun permasalahan ghulu yang dikatakan oleh Syeikh Shaduq maka hal itu tidak tepat, sebab hal itu tidak termasuk ghulu, dan juga banyak riwayat sahih yang menegaskan dalil mengenai ketiadaan lupa bagi nabi saww. Walaupun hukum ghulu seperti menganggap nabi tuhan atau imam maksum tuhan maka hal itu haram didalam mazhab syiah. Dan menafikan lupa dari rasul saww tidaklah termasuk kategori atau mishdaq dari ghulu seperti yang dikatakan banyak dari para ulama syiah sekalipun.
[1] Syeikh Shaduq, Man la Yahdhuruhu Al-Faqih, Jilid-1, hal. 359, bab Ahkam As-sahwi fi As-Shalat, Cet. Islami
[2] Idem, hadits ke-1031.
[3] An-Nahl:100
[4] Syeikh Mufid, Adam Sahw An-Nabi Saww, hal 22-23, Maktabah Syamilah
[5] Rijal An-Najâsyi, hal251, Khulashah Al-Hilli, hal.100
[6] Syarif Murtadha, Al-Masâil An-Nâshiriyyât, hal 236, cet. Râbithah as-tsaqafiah,
[7] Al-Kulaini, Al-Kâfi, jilid ke-6, hal.259, bab Man takallama fi As-Shalat, cetakan darul hadits.
[8] Al-Kulaini, Al-Kâfi, jilid ke-6, hal.284, bab Man takallama fi As-Shalat, cetakan darul hadits
[9] Syeikh Thûsi, Tahdzîb Al-Ahkâm, jilid ke-2, hal.351, bab Ahkam As-Sahwi, Cet. Dar Al-Kitab al-Islami
[10] Al-Kulaini, Al-Kâfi,jilid ke-1, hal.42, kitab al-‘ali wa al-jahli, cet. Dârulhadits
[11] Al-Hilli, Al-Kulâshah, hal.272 al-fâidah at-tsâlitsah.
[12] Sayyid Shadr, Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah ats-tsâlitsah, hal. 542, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi, 1430
[13] Idem, hal.452
[14] Sayyid Shadr, Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah ats-tsâniah, hal.462, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi, 1430
[15] Sayyid Shadr, Duruf fi Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah ats-tsâniah, hal.462, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi, 1430, yang mengutip hadits dari alwasail jilid ke 18, bab ke-9 dari bab sifat alqâdhi, hadits ke-29
Bagaimana hubungan Iman dan ketenangan hati dalam pandangan Al-Quran?
Bagaimana hubungan iman dan ketenangan hati dalam pandangan Al-Quran? Sebutkanlah surah dan ayat yang berkenaan dengan hal ini?
Jawaban Global
Iman secara leksikal bermakna kepercayaan sebagai lawan dari pendustaan (pengingkaran). Dan secara teknikal, iman berarti pengakuan dengan lisan, ketetapan dan kepercayaan dalam hati, dan beramal dengan tindakan anggota badan. Namun “ketenangan hati” secara bahasa bermakna ketenangan dalam hati setelah kebimbangan dan kekhawatiran.
Perbedaan Iman Dan Ketenangan Hati
Terkadang manusia mungkin saja dengan perantara argumen dan demonstrasi (burhan) menyakini sesuatu, dan dengan argumen ini dapat diterima secara rasional, namun tidak memberikan ketenangan di dalam benak kita. Tetapi jika hal itu memberikan keyakinan di dalam hati maka keyakinan ini akan menyebabkan ketenangan hati dan akan menetap di hatinya.
Berkenaan dengan ini terdapat sebuah riwayat seseorang bertanya kepada Imam Ridha As, “Apakah dahulu dalam hati Ibrahim As terdapat keraguan dan kebimbangan?” Imam Ridha As menjawab, “Tidak, melainkan Ibrahim As (dalam keadaan) yakin dan meminta kepada Allah swt agar ditambah keyakinannya.”
Jawaban Detil
Iman secara leksikal adalah kepercayaan lawan dari pendustaan (pengingkaran)[1]. Dan secara teknikal, iman berarti pengakuan dengan lisan, ketetapan dan kepercayaan dalam hati, dan beramal dengan tindakan anggota badan.[2] Namun “ketenangan hati” secara bahasa bermakna ketenangan di dalam hati setelah kebimbangan dan kekhawatiran.[3]
Perbedaan Iman dan Ketenangan Hati
Terkadang manusia mungkin saja dengan perantara argumen dan demonstrasi (burhan) menyakini sesuatu, dan dengan argumen ini dapat diterima secara rasional, namun tidak memberikan ketenangan di dalam hati kita. Tetapi jika hal itu memberikan keyakinan di dalam hati maka keyakinan ini akan menyebabkan ketenangan di dalam hati dan akan menetap di hatinya.
Dalam kondisi seperti ini tidak akan terdapat segala bentuk waswas dan keraguan yang muncul dalam benak, misalnya: kita semua yakin bahwa orang mati tidak dapat melakukan apa-apa dan hal ini dapat kita percayai dengan argumen dan dalil, namun hal itu tidak sampai ke dalam hati kita, oleh karena itu mungkin saja seseorang takut terhadap orang mati khususnya di malam hari. Akan tetapi ada orang orang yang pekerjaan mereka berhubungan dengan orang orang mati, mereka tidak akan memiliki ketakutan seperti ini.[4]
Oleh karena itu ketika seseorang telah sampai pada kedudukan (maqam) syuhud (penyaksian hakikat) maka hatinya akan tenang. Nabi Ibrahim As juga memiliki kesempurnaan dan kemurnian iman terkait dengan menghidupkan kembali orang orang yang sudah mati, dan tidak terdapat secercah keraguan di dalam hati, akan tetapi ia berharap sampai kepada ketenangan hati.
Berkenaan dengan ini terdapat sebuah riwayat seseorang bertanya kepada Imam Ridha As, “Apakah dahulu dalam hati Ibrahim As terdapat keraguan dan kebimbangan?” Imam Ridha As menjawab, “Tidak, melainkan Ibrahim As (dalam keadaan) yakin dan meminta kepada Allah Swt agar ditambah keyakinannya.”[5]
Sebagian riwayat menyebutkan bahwa Ibrahim As memiliki keraguan kalau demikian adanya kita juga boleh memiliki keraguan dan apabila kita tidak memiliki iman dan keyakinan maka tidak akan ada cela dan aib yang dapat ditujukan kepada kita.
Disebutkan dalam sebuah riwayat: “Seseorang mengirim surat ke Imam Musa Al-Kazim As dan mengatakan, saya dalam keadaan keraguan, sebagaimana Ibrahim As juga berkata kepada Allah Swt, “Perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati”. Saya juga menginginkan engkau memperlihatkan sesuatu kepadaku.” Imam As menjawab dengan menulis, “Sesungguhnya Ibrahim As adalah seorang beriman dan menginginkan kadar imannya bertambah, akan tetapi engkau dalam keadaan ragu dan tidak terdapat kebaikan keraguan pada manusia.”[6]
Oleh karena itu, manusia haruslah memiliki keimanan dan keyakinan dalam permasalahan prinsip-prinsip agama (ushuluddin), dan untuk mendapatkan keimanan dan keyakinan terdapat jalan-jalan argumentasi dan demonstrasi (burhan) yang tidak lagi menyisakan keraguan bagi manusia. Dan untuk menjawab pelbagai syubhat (kesamaran) yang dijumpainya ia dapat merujuk kepada ulama agama.
Allakulihal, dengan sedikit cermat dan pendalaman terhadap ayat Al-Quran maka hal itu akan menghantarkan kita sampai kepada hakikat ini bahwa yang dapat menghilangkan kecemasan-kecemasan ruh dan jiwa adalah penguatan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Adil, dan juga keimanan terhadap hari kiamat, surga dan neraka, amal-amal ibadah seperti shalat sehingga manusia dapat sampai kepada kedudukan ini.
Ketika seorang Mukmin telah merasakan bahwa Allah Swt telah memberikan rahmat-rahim dan melindunginya, maka tidak akan ada lagi ketakutan, kecemasan, kegelisahan di dalam hatinya, “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”.[7] Allah Swt pada ayat ini mengatakan: Jika kalian bersama Allah, semua kekuasaan bumi dan langit berada dalam kekuasaan ikhtiar kalian, dan Allah Swt mengetahui kebutuhan-kebutuhan dan kesusahan-kesusahanmu, dan mengetahui kegigihan, ketaatan, dan penghambaanmu.
Dengan bibit-bibit keimanan kepada Ilahi seperti ini bagaimana mungkin tidak muncul ketenangan hati dalam diri manusia? Tentu saja watak dan makrifat ini akan menutup perkara-perkara yang menimbulkan kecemasan dan kebimbangan ruh pada jiwa dan hati manusia.[iQuest]
[1]. Muhammad bin Mukaram Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, jil. 13, hal. 21, Dar Shadra, Beirut, Cetakan Ketiga, 1414 H.
[2]. Kulaini, Al-Kâfi, jil. 2, hal. 27, Hadis 1, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Teheran, 1365 S, Imam Shadiq As bersabda, “Iman adalah pengakuan dengan lisan, di ikat di dalam hati, dan beramal dengan keyakinan.” Untuk telaah lebih jauh ihwal makna iman dan perbedaannya dengan Islam dan ilmu silahkan lihat indeks “ Syarat-syarat Islam dan Iman,” Pertanyaan No. 1311 (Site: 1343) dan “Perbedaan Iman dan Ilmu, Pertanyaan No. 5382 (Site: 5651)
[3]. Husain bin Muhammad, Raghib Isfahani, Tarjamah wa Tahqiq Mufradât Alfaz Qurân, Khusrawi, Gulam Reza, Intisyarat Murtadhawi, Teheran, Cetakan Kedua, 1375 S.
.[4] Nasir Makarim Shirazi, Tafsir Nemune, jilid 2, hlm 304, terbitan Darul kitab Al Islamiyah, Tehran, cetakan pertama, 1374 HS.
[5]. Abd Ali bin Jumah Arusi Huwaizi, Nur al-Tsaqalain, jil. 1, hal 330, terbitan Muasasah Al Tarikh Al Arabi, Bairut, cetakan pertama, 1412 H.
[6]. Ibid, jil.1, hal. 336.
[7]. (Qs. Ali Imran [3]: 139)
Dosa yang Menghapuskan Amal Saleh
Pada salah satu perjalanan umrah bulan Ramadhan, aku berjumpa dengan seorang koruptor besar. Ia sadar betul bahwa ia telah melakukan korupsi yang merugikan rakyat. Sambil lesehan di halaman Masjidil Haram, menunggu waktu buka, ia bertanya kepadaku, “Ustadz, betulkah hadis yang menyatakan bahwa orang yang kembali dari Umrah atau Haji kembali bersih seperti bayi yang baru dilahirkan dari perut ibunya?”
Aku menjawab: Betul.
“Betulkah hadis yang menyatakan bahwa barangsiapa melakukan Shalat Tarawih dan Puasa dengan iman dan ikhlas ia akan diampuni dari dosa-dosanya yang lalu dan yang kemudian.”
Aku menjawab: Betul.
“Alhamdulillah, Ustadz, betapa besarnya kasih sayang Allah. Saya berharap karena sekarang saya taraweh dan berpuasa sambil umrah, Tuhan akan memutihkan semua dosa saya. Pengadilan mungkin masih akan menuntut saya, tapi Tuhan sudah mengampuni. Itu yang penting bagi saya.”
Aku melaporkan percakapan ini verbatim. Aku hanya menyampaikan maknanya. Hal yang sama mungkin diyakini oleh banyak koruptor dalam hatinya; tapi ia tidak menyampaikannya pada orang lain. Mereka yakin bahwa semua kemaksiatan mereka, termasuk merampas hak rakyat atau berbuat zalim akan dibersihkan dengan ibadah-ibadah ritual seperti Shalat, puasa, haji dan umrah.
Tiba-tiba aku tersentak. Seperti sebuah epifani. Mungkin hadis-hadis seperti itulah yang membuat kita menjadi sangat mudah berbuat dosa. Sebarkan fitnah tentang orang yang kita benci karena iri hati. Sakiti hati orang dengan sumpah serapah kita. Atur pengadilan supaya kita bisa mengambil milik orang lain. Buat kerjasama dengan berbagai pihak untuk memperoleh keuntungan besar, walaupun menyengsarakan rakyat banyak. Lakukan “mark up” dalam anggaran dan “mark down” dalam pelaksanaan. Sesudah itu semua, setahun sekali kerjakan puasa dan taraweh, haji dan umrah. Anda kembali suci!
Enak betul, aku pikir. Koruptor bisa membersihkan uang kotornya dengan cara murah meriah; yakni, umrah di bulan Ramadhan bersama Ustadz yang menghapal puluhan hadis fadhilah atau hadis-hadis penghapus dosa. Tetangga yang menyebarkan gosip dapat mensucikan dirinya dengan shalat lima waktu dan setelah shalat membaca wirid tertentu. “Allah akan mengampuni dosa-dosanya walaupun banyaknya seperti buih di lautan”.
Aku terkejut. Aku juga bingung. Mungkinkah agama yang missi utama Nabinya adalah menyempurnakan kemuliaan akhlak memberikan peluang tindakan imoral dengan pembersihan ritual? Shalat tidak lagi menjadi kekuatan untuk mencegah kekejian dan kemungkaran. Shalat malah menjadi teknik pembenaran. Puasa bukan lagi latihan mengendalikan hawa nafsu. Puasa bahkan menjadi strategi sementara untuk mengerem nafsu sebelum meluncurkannya dengan kecepatan yang lebih tinggi.
Aku gelisah. Untungnya segera aku ketahui bahwa sandaran para pelaku dosa “laundering” hanyalah hadis-hadis, kebanyakan lemah. Al-Quran tidak pernah menyebut ritus tertentu sebagai penebusan dosa. Al-Quran menerangkan penghapusan dosa sebagai “pahala” dari perjuangan panjang menegakkan ketakwaan. Sebagai misal, “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalanKu, yang berperang dan diperangi pastilah akan Kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala…” (Ali Imran 195).
Selanjutnya Al-Quran bahkan menyebutkan perbuatan dosa yang dapat menghapuskan dan menghilangkan pahala amal saleh, termasuk sedekah dan haji. Perbuatan ini juga menyebabkan pelakunya dilaknat Allah di dunia dan di akhirat. Perbuatan itu ialah menyakiti manusia. “Janganlah kamu menghilangkan pahala sedekahkamu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti…” (Al-Baqarah 264); “Barangsiapa berniat melakukan haji di dalamnya maka janganlah ia berkata kotor, berbuat fasik, dan bertengkar pada waktu melakukan haji” (Al-Baqarah 197); “Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat dan menyediakan bagi mereka siksa yang menghinakan. Dan orang-orang yang menyakiti mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (Al-Ahzab 57-58).
Walhasil, bukan umrah bulan Ramadhan yang menghapuskan dosa korupsi, tapi korupsi itu menghapuskan semua pahala umrahnya. Bukan shalat yang menghilangkan dosa gosip, tapi dosa gosiplah yang menghilangkan pahala shalatnya. Bukan puasa yang menebus dosa perbuatan menyakiti hati, tapi perbuatan menyakiti itulah yang meniadakan semua pahala puasa.[]
KH DR Jalaluddin Rakhmat; Ketua Dewan Syura IJABI
Mengenal Pemimpin Mazhab Ja'fariyah
Imam Ja'far Shadiq adalah Imam Keenam dalam hierarki dua belas Imam Maksum. Panggilannya adalah Abu Abdillah dan gelarnya yang masyhur adalah as-Shadiq, al-Fadil dan at-Tahir. Imam Shadiq adalah putra Imam Baqir, Imam Kelima, dan ibunya adalah putri dari Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar.
Imam Ja'far Shadiq dibesarkan oleh datuknya, Imam Zainal Abidin di Madinah selama dua belas tahun dan dilanjutkan oleh lindungan kasih ayahandanya Imam Muhammad Baqir selama sembilan belas tahun.
Setelah syahadah ayahandanya pada tahun 114 H, Imam Ja'far Shadiq menjadi Imam Keenam menggantikan ayahandanya, dan misi suci Islam dan bimbingan ruhani dilimpahkan ke atas pundaknya dari Rasulullah Saw melalui suksesi para Imam sebelumnya.
Keadaan Politik
Masa Imâmah Imam Shadiq bertepatan dengan masa-masa revolusi dan bersejarah dalam sejarah Islam yang menyaksikan kejatuhan Dinasti Bani Umayyah dan kebangkitan Dinasti Bani Abbasiyah. Perang saudara dan gejolak politik menyebabkan terjadinya perombakan secara cepat dalam pemerintahan. Dengan demikian, Imam Shadiq menyaksikan raja-raja rezim yang berkuasa mulai dari Abdul Malik hingga penguasa Dinasti Bani Umayyah, Marwan al-Himar. Ia masih hidup hingga masa Abul Abbas as-Saffah dan Mansur dari Dinasti Bani Abbasiyah. Karena perebutan kekuasan politik antara dua kelompok, Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah maka gerakan Imam menjadi tidak terkontrol untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dan misi-misinya dalam menyampaikan Islam dan menyebarkan ajaran-ajaran Rasulullah Saw.
Pada masa-masa terakhir kekuasan Bani Umayyah, Dinasti mereka berada di ambang kejatuhan. Keadaan kacau-balau dan pemerintahan yang tak-terurus terjadi di seluruh negara-negara Islam. Bani Abbasiyah memanfaatkan kesempatan emas dari ketidakstabilan politik ini. Mereka mengklaim diri mereka sebagai "Penuntut Balas Bani Hasyim". Mereka berprentensi dengan dalih menuntut balas terhadap Bani Umayyah karena telah menumpahkan darah Imam Husain As.
Orang-orang awam yang sudah muak dan kesal dengan kekejaman Bani Umayyah dan secara diam-diam merindukan Ahlulbait Nabi Saw untuk berkuasa. Mereka menyadari bahwa jika kepemimpinan dikuasai oleh Ahlulbait, yang merupakan pewaris sah, wibawa Islam akan bertambah dan misi Nabi Saw yang asli dapat disebarkan. Bagaimanapun, sekelompok Bani Abbasiyah dengan diam-diam mengadakan kampanye untuk merebut kekuasaan dari tangan Bani Umayyah dengan dalih bahwa mereka merebutnya untuk diserahkan kepada Bani Hasyim. Sebenarnya, mereka sedang berkomplot untuk kepentingan mereka sendiri. Kemudian, orang-orang awam ini terkecoh dengan membantu mereka dan ketika Bani Abbasiyah berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah, mereka berbalik menentang Ahlulbait.
Keadaan Agama
Kejatuhan Bani Umayyah dan kebangkitan Bani Abbasiyah telah membentuk dua plot utama dalam drama sejarah Islam. Masa-masa kacau dan revolusioner ini terjadi ketika ajaran-ajaran moral Islam telah ditinggalkan dan ajaran-ajaran Nabi Saw dilupakan, sebuah keadaan anarki yang merajalela. Di tengah-tengah keadaan kacau seperti ini, Imam Ja'far Shadiq tampil ibarat mercusuar yang menyebarkan cahaya untuk menerangi samudra kegelapan dan gelimang dosa di sekelilingnya. Dunia cenderung terhadap pesona dan keutamaannya. Abu Salamah Khallal juga menawarkan mahkota khalifah kepadanya.
Akan tetapi, Imam melanjutkan tradisi temurun dari moyangnya menolak dengan tegas tawaran ini, dan lebih memilih untuk menyibukkan dirinya dengan penyebaran ilmu dan khidmat terhadap Islam.
Ajaran-ajaran Imam Ja'far As
Kecakapan Imam Ja'far dalam seluruh cabang ilmu pengetahuan diakui oleh seluruh dunia Islam, yang menarik pelajar-pelajar dari berbagai penjuru, dekat dan jauh, datang kepadanya sehingga murid-murid Imam Ja'far mencapai sekitar empat ribu. Para 'ulama dan fuqaha dalam bidang hukum banyak menukil hadis-hadis dari Imam Ja'far Shadiq. Murid-muridnya mengadakan kompilasi ratusan kitab dalam berbagai disiplin ilmu dan sastra. Selain ilmu fiqh, hadis, tafsir, dan sebagainya, Imam juga mengajarkan matematika dan kimia kepada beberapa orang muridnya. Jabir bin Hayyan Tusi, seorang ilmuwan matematika ternama, merupakan salah seorang murid Imam yang dapat mengambil manfaat dari ilmu dan bimbingan Imam dan mampu menulis empat ratus kitab dalam subjek yang beragam.
Kenyataan ini adalah sebuah fakta sejarah yang tidak dapat diingkari kebenarannya sehingga seluruh ulama-ulama besar Islam berhutang budi atas kehadiran Ahlulbait yang merupakan mata-air ilmu dan pelajaran.
Allamah Sibli menulis dalam kitabnya, Sirâtun 'Nu'man: "Abu Hanifah beberapa lama hadir (menuntut ilmu, penj.) di hadapan Imam Ja'far Shadiq, mendapatkan penelitian berharga darinya dalam bidang ilmu fiqh dan hadis. Kedua mazhab – Sunni dan Syiah – meyakini bahwa sumber ilmu Abu Hanifah kebanyakan bersumber dari pergaulannya bersama Imam Ja'far Shadiq."
Imam mempersembahkan seluruh hidupnya semata untuk menyebarkan ajaran agama dan mendakwahkan ajaran-ajaran Nabi Saw dan tidak pernah bermaksud untuk berkuasa. Karena keluasan ilmunya dan kebaikan ajarannya, orang-orang berkumpul di sekelilingnya, memberikan penghormatan dan perhatian kepadanya. Karena takut popularitas Imam Ja'far semakin luas, hasud dan dengki menguasai diri penguasa Abbasiyah Mansur Dawaniqi sehingga memutuskan untuk mengenyahkannya.
Allamah Tabataba'i menulis:
Imam Ja'far bin Muhammad, putra Imam Kelima, lahir pada tahun 83 H/ 702 M. Ia syahid pada tahun 148 H/ 765 M. Menurut sumber-sumber Syiah, diracun melalui intrik Khalifah Abbasiyah Mansur. Setelah syahadah ayahnya, Imam Ja'far menjabat Imam melalui perintah Allah Swt dan keputusan para Imam sebelumnya.
Selama masa Imâmah Imam Keenam, kesempatan dan iklim yang lebih bersahabat datang kepadanya untuk lebih leluasa menyebarkan ajaran-ajaran agama. Kesempatan ini muncul sebagai akibat pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah Islam, khususnya bangkitnya Muswaddah yang menggoyang khalifah Bani Umayyah, perang berdarah terjadi yang akhirnya menuntun kepada kejatuhan dan pengasingan Bani Umayyah. Kesempatan emas ini juga adalah hasil dari pembukaan lahan yang dilakukan oleh Imam Kelima yang telah dipersiapkan sebelumnya selama masa imâmahnya yang mencakup dua puluh tahun melalui tabligh ajaran-ajaran asli Islam dan ilmu Ahlulbait Nabi As.
Imam Shadiq mengambil kesempatan emas ini untuk mendakwahkan ilmu agama hingga akhir masa Imâmahnya, seiring dengan masa-masa akhir kekuasaan Bani Umayyah dan awal kemunculan Bani Abbasiyah. Imam mengajar banyak ulama dalam berbagai bidang disiplin ilmu dan ilmu periwayatan, seperti Zurarah bin A'yan, Muhammad bin Muslim, Mu'minut Taq, Hisyam bin Hakam, Aban bin Taghlib, Hisyam bin Salim, Huraiz, Hisyam Kalbi an-Nassabah dan Jabir bin Hayyan (Ahli Kimia). Bahkan beberapa ulama Sunni ternama seperti: Sufyan ats-Tsauri, Abu Hanifah, pendiri Mazhab Fiqh Hanafi, al-Qadi as-Sukuni, al-Qadi Abul Bakhtari, dan yang lainnya, mendapatkan kehormatan untuk menjadi murid-murid Imam Ja'far. Disebutkan bahwa kelas-kelas dan tahapan-tahapan instruksinya menghasilkan ribuan ulama hadis dan ilmu-ilmu lainnya. Jumlah hadis-hadis yang bersumber dari Imam Kelima dan Keenam lebih banyak dibandingkan dengan hadis-hadis yang bersumber dari Nabi Saw dan para Imam yang lain.
Akan tetapi, pada akhir hayatnya, Imam dikenai pencekalan secara ketat oleh Khalifah Abbasiyah, Mansur, yang memerintahkan seperti penyiksaan dan pembunuhan berdarah dingin terhadap keturunan Nabi Saw yang merupakan penganut Syiah sehingga perbuatannya melebihi kekejaman dan kebiadaban Bani Umayyah. Atas perintah Mansur, mereka ditangkap secara berkelompok, beberapa dilemparkan ke penjara gelap dan pengap kemudian disiksa hingga mati, sementara yang lainnya dipancung atau dikubur hidup-hidup di bawah tanah atau di antara dinding-dinding bangunan, dan dinding dibangun di atas mereka.
Hisyam, Khalifah Umayyah, memerintahkan agar Imam Keenam ditangkap dan dibawa ke Damaskus. Kemudian, Imam ditangkap oleh Saffah, Khalifah Abbasiyah, dan dibawa ke Irak. Akhirnya, Mansur menangkap Imam dan membawanya ke Samarra di mana Imam disekap, diperlakukan secara kasar dan beberapa kali berusaha untuk membunuh Imam. Kemudian, Imam diperbolehkan untuk kembali ke Madinah di mana Imam menghabiskan sisa-sisa umurnya dalam persembunyian, hingga ia diracun dan syahid melalui intrik licik Mansur.
Setelah mendengar syahadah Imam, Mansur menulis surat kepada gubernur Madinah yang memerintahkan sang gubernur untuk pergi melayat ke rumah Imam dengan dalih menyampaikan ucapan bela-sungkawa kepada keluarganya, untuk mencari wasiat Imam dan membacakannya. Siapa pun yang dipilih oleh Imam sebagai pewaris dan penggantinya harus dipancung di tempat. Tentu saja, maksud Mansur ini adalah untuk mengakhiri seluruh masalah Imâmah dan hasrat-hasrat Syiah. Ketika gubernur Madinah mengikuti perintah Makmun, untuk membaca wasiat terakhir, dia melihat bahwa Imam, alih-alih memilih satu orang, ia telah memilih empat orang sebagai pelaksana wasiat terakhirnya; khalifah sendiri, gubernur Madinah, 'Abdullah Aftah, putra sulung Imam, dan Musa, putra bungsu Imam. Dengan cara seperti ini, siasat licik Mansur dapat dipatahkan. (Shiite Islam)
Syahadah
Pada tanggal 25 Syawal 148 H. Imam syahid karena diracun oleh Gubernur Madinah atas perintah Mansur. Shalat jenazah dilakukan oleh putra Imam, Musa Kazhim, Imam Ketujuh, dan jasadnya dikebumikan di pemakaman Jannatul Baqi Madinah. Salam padamu Wahai Aba Abdillah…..
Imam Ridho di Mata Syi`ah dan Sunnah
Nama lengkapnya adalah Ali bin Musa bin Ja`far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Tholib . Lahir di Madinah al-Munawarah (tahuh 148 H), meninggal (tahun 203 H) dan dikuburkan di kota Thus (Masyhad) Iran. Menurut Syiah Imamiyah, beliau adalah Imam yang ke delapan dari Ahlul Bayt Rasulullah saw.
Secara nasab, beliau adalalah keturunan Rasulullah saw. Hal itu ditegaskan pula oleh Al-Hakim An-Naisaburi As-Syafi`I; “Salah satu kebesaran nasab Ali bin Musa Ar-ridlo adalah beliau keturunan sebaik-baik manusia Muhammad al-Mustofa saw. Ini adalah pandangan Ahlussunnah waljama`ah dan ijmak para ulama Hijaj. Barangsiapa menolak pendapat ini, maka berarti telah menolak al-Kitab dan as-Sunnah, memerangi kebenaran dan melakukan permusuhan terhadap pemimpin dua pemuda penghuni surga (Hasan dan Husain) serta keturunananya hingga hari kiamat” . Penegasan ini seakan jawaban terhadap aliran-aliran yang memusuhi Ahlul Bayt Nabi saw yang berusaha memisahkan mereka dari garis keturunan Rasulullah saw sepanjang sejarah.
Nama aslinya adalah Ali, dan Ar-Ridlo adalah nama panggilannya. Sebagian Ahlussunnah menduga bahwa orang pertama yang memberi gelar Ar-Rdlo adalah Kholifah Abbasiyah. Hal itu terjadi pada tahun 201 H, tatkala beliau rela diangkat sebagai putra mahkota Khilafah Abbasiyah. Berbeda dengan Ahmad bin Muhammad bin Abi Nashr al-Bizinthi yang menukil dari Imam al-Jawad as, bahwa dugaan tersebut dianggap tidak beralsan. Ibnu Abi Nashr al-Bizinhti pernah bertanya kepada Imam al-Jawad as: Ada sekelompok kaum yang menduga bahwa ayahmu diberi gelar Ar-ridlo oleh al-Makmun (kholifah Abbasiyah) karena menerima jabatan sebagai putra mahkota. Imam Jawad as menjawab: “Sungguh, demi Allah mereka telah berbohong. Allahlah yang memberinya gelar Ar-ridlo, sebab beliau adalah kekasih Allah di langit dan kekasih Rasul-Nya serta para Imam setelahnya di muka bumi”. Lalu aku bertanya: Tidakkah masing-masing dari ayah-ayahmu terdahulu adalah kekasih-kekasih Allah, Rasul dan para Imam as? Beliau menjawab: “Benar”. Lalu kenapa hanya Ayahmu yang mendapat gelar Ar-Ridlo? Imam al-Jawad as menjawab: “…sebab para penentang dari musuhnya telah ridlo kepadanya, sebagaimana para kekasih dan pendukungnya…”
Pendapat ini diperkuat pula oleh sebagian tokoh Ahlussunnah, seperti al-Juwaini as-Syafi`I dan Abdurrahman al-Jami al-Hanaf. Di antara mereka ada yang sempat menyusun syair sebagai berikut:
Imam Ali pemilik nasab tinggi nan agung
Penghulu para `Ajam dan pemimpin para Arab
Sungguh ridlo sang Pencipta Alam kepadanya
Dan karenanya dia diberi gelar Ar-Ridlo.
Imam Ridho as di Zaman Harun Ar-Rasyid
Imam Ridlo menggantikan posisi ayahnya sebagai imam pada tahun 183 H, tepat pada saat beliau berusia 35. Yaitu setelah ayahnya, Imam al-Kazdim, meninggal di dalam penjara Harun Ar-Rasyid. Dalam kepemimpinan, beliau as sezaman dengan Kholifah Harun Ar-Rasyid dan kedua putranya, Al-Amin dan Al-Makmun. Sepuluh tahun berada di bawah kekuasaan Harun Ar-Rasyid, lima tahun di bawah pemerintahan Al-Amin dan lima tahun berikutnya di bawah pemerintahan Al-Makmun.
Setelah ayahnya Syahid, secara tegas dan terang-terangan beliau as menyatakan diri sebagai Imam, pemimpin umat, menggantikan ayahnya. Tanpa ragu dan takut, hal tersebut terus beliau dengungkan. Padahal secara politik, masyarakat di zaman pemerintahan Harun Ar-Rasyid berada dalam tekanan, sehingga nyaris tidak seorangpun bisa lepas dari hukumannya. Sikap berani dan tegas ini, membuat para sahabat dan kawan dekat khawatir akan keselamata beliau as. Sebab, hampir tidak ada beda antara kekuasaan Abbasiyah dan Umaiyah dalam visi dan misi. Hanya metode dan strategi yang membedakannya. Mereka sama-sama berusaha menyingkirkan peran Ahlul Bayt dari umat. Tapi Umaiyah lebih cenderung brutal dan sadis, sedang Abbasiyah lebih lembut, tapi licik dan agama sebagai bentengnya.
Shofwan bin Yahya menceritakan; setelah ayahnya syahid, secara lantang dan tegas Imam Ridlo berbicara yang membuat kami khawatir akan keselamatan jiwanya. Kami katakan kepadanya: “Sungguh engkau telah menampakkan sesuatu yang sangat besar dan kami khawatir atas keselamatanmu dari penguasa zalim (Harun) ini. Dengan tenang Imam Ridho menjawab: “Apapun yang dia inginkan, silahkan dia berusaha. Sungguh tiada jalan baginya untuk mencelakai diriku”. Beliau menngatakan: “Sesungguhnya yang membawa aku melakukan ini adalah sabda Rasulullah saw; “Andaikata Abu Jahal bisa memotong sehelai rambut dari kepalaku, maka saksikanlah oleh kalian bahwa aku pasti bukanlah nabi”. Dan kemudian beliau menegaskan kembali; “Andaikata Harun bisa memotong sehelai rambut dari kepalaku, maka saksikanlah oleh kalian bahwa aku pasti bukanlah Imam”.
Apa yang dipredeksikan Imam, benar-benar terjadi. Selama berkuasa, Harun Ar-Rasyid tidak pernah bisa menyentuh kehidupan Imam sama sekali. Berbagai gejolak politik telah menyibukkan Harun Ar-Rasyid, sehingga kesempatan untuk mengancam Imam pun tidak ada. Di Iran Timur telah terjadi pemberontakan besar-besaran yang akhirnya memaksa Harun Ar-Rasyid pergi memimpin pasukan sendiri menuju Khurasan. Di tengah perjalanan, Harun Ar-rasyid terkena penyakit dan kemudian meninggal di daerah Thus pada tahun 193 H. Dengan demikian, Imam terbebas dari kekejaman Harun Rasyid dan aman dari pembunuhan.
Imam di Zaman Al-Amin
Setelah kematian Harun, terjadi perebutan kekuasaan antara Al-Amin dan Al-Makmun yang mengakibatkan gejolak besar. Sebelum meninggal, Harun Arrasyid telah menunjuk Al-Amin sebagai kholifah, menggantikan posisinya. Harun Ar-Rasyid telah membuat perjanjian dan kesepakatan-kesepakatan dengan Al-Amin. Di antaranya; setelah kekuasaan Al-Amin berakhir, maka kekuasaan harus diberikan sepenuhnya kepada Al-Makmun dan diangkat sebagai kholifah. Dan di saat Al-Amin berkuasa, hendaknya pemerintahan wilayah Khurasan diserahkan kepada Al-Makmun. Namun setelah kematian Harun, Al-Amin justru mengisolasi Makmun dari jabatan putra mahkota dan mencalonkan putranya sendiri, Musa.
Pergolakan akhirnya tidak bisa dihindarkan. Perang dahsyat dan berdarah di antara dua saudara tidak bisa dihentikan. Sehingga pada tahun 198 H, Al-Amin terbunuh dan jabatan khilafah diambil alih sepenuhnya oleh Al-Makmun.
Di saat terjadi perebutan kekuasaan, Imam Ridlo as justru memanfaatkan kondisi ini untuk membina, menggembleng dan mendidik para pengikutnya agar tetap kuat dan solid. Beliau tidak ingin masuk dalam percaturan politik praktis penguasa yang justru akan melemahkan posisi beliau di tengah umat dan memecah soliditas para pengikutnya. Dan inilah strategi seorang Imam yang layak dikaji lebih jauh.
Imam di Zaman Al-Makmun
Di antara sekian Kholifah Abbasiyah, yang paling berbobot dan berilmu adalah Al-Makmun. Menguasai berbagai bidang ilmu, terutama agama, fikih dan kalam (theologi). Sering terlibat dalam berbagai pertemuan dan kajian ilmiah dengan para ulama. Namun di balik ini semua, Makmun juga dikenal sebagai orang yang cerdik, licik, banyak makar dan tipu muslihat. Kemampuannya dalam menguasai ilmu modern menjadi modal terbesar dalam menjalankan arah politiknya. Meskipun telah terjadi pemberontakan di beberapa daerah, namun kekuasaan Al-Makmun tetap kuat. Pendekatan persuasive terhadap para tokoh dan ulama secara intensif dilakukan, syiar agama terus didengungkan guna memperkokoh kekuasaannya. Bahkan tak jarang Makmun mengundang para ulama dari berbagai madhab ke pusat kerajaan untuk berdialog.
Ad-Dumairi As-Syafi`I mengatakan: “Tidak seorang pun dari Bani Abbas yang lebih alim daripada Makmun…menguasai ilmu, cerdas dan pandai berpolitik”
Ibnu Nadim: “Sungguh dia adalah penguasa Abbasiyah yang paling menguasai fikih dan ilmu thiologi”
As-Suyuthi As-Syafi`i: “Dia adalah sebaik-baik pemimpin Bani Abbas, tegas, tegar, berilmu, cerdas, berwibawa dan pemberani..”
Imam Ali bin Abi Tolib pernah mempredeksi tentang kejadian gaib, beliau mengatakan: “Celaka bagi umat ini dari para pemimpinnya! Mereka adalah pohon terkutuk yang disebutkan Tuhanmu, yang pertama berwarna hiaju dan yang terakhir adalah berlesung pipit, berikutnya urusan umat mahamma ini akan dikuasai oleh orang-orang, yang pertma….dan yang ketujuh adalah yang paling alim di antara mereka…"
Meskipun menguasai ilmu agama dan fikih, namun Al-Makmun seakan merasa tidak terikat dengan Islam sama sekali. Kedekatan Al-Makmun dengan Al-Qodli Yahya bin Aktam, seorang manusian rendah, adalah bukti nyata akan kefasikan dan kemunafikannya. Di tengah masyarakat, Yahya dikenal sebagai orang yang paling jahat, bahkan pena pun malu untuk menceritakannya. Orang seperti ini dijadikan Makmun sebagai sahabat karibnya, baik di dalam masjid, di kamar mandi bahkan di kebun sekali pun. Lebih daripada itu, orang seperti ini diangkatnya sebagai Hakim Agung bagi umat Islam dan dijadikan tempat rujukan dalam urusan penting pemerintahan.
Tidak dipungkiri bahwa pada masa kekuasaan Makmun, secara lahiriyah, ilmu dan pengetahuan semakin berkembang. Banyak ulama di undang ke pusat pemerintahan dan didorong untuk melakukan penelitian dan kajian. Hal itu dilakukan sebagai langkah mulus untuk mencari simpati dan dukungan.
Makmun juga berusaha menarik hati para pecinta Ahlul Bait dan pengikut Imam Ridho as dengan berbagai tindakan. Misalnya, dia berbicara bahwa Ali adalah orang yang layak menjadi kholifah Nabi saw. Bahkan secara resmi dia mengeluarkan maklumat yang mengutuk tindakan Muawiyah dan mencaci-maki perbuatannya. Mengembalikan Fadak kepada Alawiyin dan bersikap simpatik terhadap mereka.. Semua ini dilakukan sebagai upaya membersihkan diri dari warisan kejahatan yang diterima dari para leluhur sebelumnya.
Rekayasa di Balik Jabatan Putra Mahkota
Meskipun Makmun sudah berkuasa dan bahaya Al-Amin, saudaranya, telah dilenyapkan, akan tetapi pengikut Al-Amin masih belum bisa menerimanya. Mereka menilai bahwa pemerintah yang berkuasa dianggap tidak berpihak kepada mereka. Di sisi lain, perlawanan Alawiyin telah menjadi ancaman serius bagi pemerintahan Al-makmun. Sebab, pada tahun 199 H, Muhammad bin Ibrahim, salah satu tokoh Alawiyin yang disegani, telah bangkit dan membantu Abu Saraya melakukan perlawanan. Perselisihan antara Al-Amin dan Makmun dalam perebutan kekuasan, dimanfatkan oleh para pemberontak untuk memperluas gerakan. Akibatnya, kekacauan terjadi di mana-mana, di Hijaj, Irak dan tempat-tempat lain. Bahkan diperkirakan, orang-orang Iran juga akan bangkit membantu kelompok Alawiyin, karena meraka meyakini bahwa hak syar`I kepemimpinan berada di tangan Ahlul Bayt. Dan ini adalah ancaman tersendiri bagi kekuasaan Al-Makmun.
Melihat situasi seperti ini, Makmun merasa lumpuh dan tidak akan bisa mengusai keadaan. Untuk antisipasi, langkah setrategis dan praktis harus segera diambil. Di mata Makmun, tokoh utama yang bisa meredam kelompok Alawiyin adalah Imam Ridho as. Di samping sebagai ulama yang disegani, beliau juga keturunan Nabi yang sangt dicintai semua orang. Akhirnya, surat pernyataan Makmun untuk meletakkan jabatan khilafah dan rencana menyerahkannya kepada Imam Ridho as segera di layangkan ke Madinah. Diharapkan langkah antisipatif ini dapat meredam emosi kelompok Alawiyin dan orang-orang Iran yang setia kepada Ahlu Bayt as. Namun, dengan tegas Imam Ridho as menolaknya. Dalam surat yang kedua, Makmun menulis: ..”ketika kamu menolak permohonanku yang pertama, maka kini kamu harus menerima jabatan sebagai putra mahkotaku”. Permohonan yang kedua ini pun ditolak oleh Imam Rho as.
Tidak ada jalan lain bagi Makmun selain memaksa Imam Ridho as. Akhirnya, dari Madinah beliau didatangkan ke Marwa (pusat pemerintahan) untuk melakukan pertemuan khusus. Dalam pertemuan terbatas ini, hadir pula Fadl bin Sahal Dzirriyasatain. Makmun berkata: “Pendapatku tidak berubah, khilafah dan urusan kaum muslimin aku serahkan kepadamu”. Pendirian Imam pun tidak berobah, beliau tetap menolak.
Ketika, Makmun mengulangi permohonannya yang ke sekian kalinya dan Imam as tetap menolak, maka dengan tegas Makmun mengatakan: “Umar bin Khottob telah menentukan khalifah sesudahnya dengan membentuk dewan syura yang anggotanya terdirti dari enam orang, salah satunya adalah kakekmu, Ali bin Abi Talib. Umar mengeluarkan perintah agar membunuh setiap orang yang melawannya. Sekarang, tidak ada jalan lain bagimu kecuali menerima apa yang aku inginkan. Sebab, tidak ada jalan dan alternative lain yang bisa aku temukan”
Di bawah ancaman, Imam terpaksa menerima jabatan tersebut, dengan syarat. Dalam jawabannya, Imam as berkata: “Aku siap menerima jabatan sebagai putra mahkota dengan syarat; aku tidak akan mengeluarkan perintah dan tidak mengelaurkan larangan, tidak mengelaurakan fatwa, tidak mengelaurakan keputusan, tidak melakukan pemecatan atau mengangkat seseorang, tidak mengubah orang dan atau menggantinya”. Makmun menyetujui persyaratan ini.
Ini adalah taktik dan rekayasa politik yang sangat matang. Jabatan penting ditawarkan, tanpa perduli dampak negative di internal Bani Abbasiyah. Kalau bukan karena perhitungan matang dengan keuntungan politik yang besar, maka langkah ini sulit dilakukan olah Makmun. Resiko perpecahan di internal Abbasiyah adalah taruhannya. Sulit dipercaya, orang yang membunuh saudaranya sendiri untuk merebut kekuasaan dan hidup dalam kezaliman, tiba-tiba berubah darstis menjadi agamis, zuhud dan menjauhi kekuasaan. Oleh sebab itu, wajar jika Imam Ridho menolak tawaran tersebut karena di dalamnya terselubung makar, tipu muslihat dan konspirasi.
Bukti bahwa langkah tersebut adalah makar, dapat dilihat dari pernyataan Al-Makmun sendiri yang termuat dalam surat yang disampaikan kepada Hamid bin Mahram salah satu pejabat tinggi kerajaan:
“….pria ini bersembunyi dan jauh dari kita. Dia berdakwah untuk dirinya sendiri. Kita angkat sebagai putra mahkota karena kita menginginkan agar dia berdakwah untuk kepentingan kita, mengakui kerajaan dan kekhilafahan kita. Dengan demikian, maka para pengagumnya akan memahami bahwa apa yang diklaimnya sebagai miliknya adalah kosong. Khilafah adalah khusus milik kita dan tiada bagian apapun untuknya. Kita khawatir, apabila kita biarkan dalam posisinya yang semestinya, akan terjadi gejolak di dalam negeri yang kita tidak akan mampu menghadapinya. Jika itu terjadi, akan ada kondisi yang membuat kita lumpuh untuk menghadapinya…”.
Muhammad bin Arafah bertanya kepada Imam: “Wahai putra Rasulullah, apa alasan kamu menerima jabatan putra mahkota? Imam menjawab: “Karena alasan yang sama seperti alasan yang mendorong kakekku, Ali, bergabung dalam dewan syura”.
Yasir, salah seorang pembentu Imam, bercerita; Setelah penyerahan jabatan putra mahkota, dia mengunjungi Imam ke rumahnya. Yasir menemukan Imam dalam keadaan mengangkat tangan ke langit, dan berkata:
“Tuhanku, sungguh Engkau mengetahui bahwa aku menerimanya karena terpaksa, maka jangan Engkau siksa aku sebagaimana Engkau tidka menyiksa hamba-Mu dan Nabi-Mu, Yusuf, ketika menerima kekuasan Mesir”
Imam pernah menegur salah satu sahabat khususnya karena terlihat bergembira atas penerimaan Imam sebagai putra mahkota: “Kamu jangan bergembira, masalah ini tidak akan pernah selesai, dan keadaannya tidak akan pernah tetap seperti ini”.
Jalan Pintas yang Harus Diambil Makmun
Segala macam cara telah dilakukan Makmun untuk meredam gerakan Imam Ridlo dan pengikut-pengikutnya, namun tidak memberikan hasil. Dari sisi lain, Bani Abbas yang lain terus mengkritik dan mengolok-olok sepak terjang Makmun karena memberikan posisi jabatan putra mahkota kepada Imam Ali Ridlo as. Itu artinya, masa depan mereka terancam. Tidak ada pilihan bagi Makmun, kecuali mengakhiri hidup sang Imam. Akhirnya, racun yang maha dahsyat ditaburkan dalam makanan dan diberikan kepada Imam yang mengakibatkan kesyahidannya.
Dengan cara ini, Makmun merasa aman dan terbebas dari ancaman. Dengan senang dan bangga, dia menulis surat kepada Bani Abbas: “Kalian telah mengkritik aku karena menyerahkan jabatan putra mahkota kepada Ali bin Musa Ar-Ridlo. Ketahuilah bahwa kini ia telah mati. Dengan demikian, kalian harus tunduk dan patuh kepadaku".
Komentar Seputar Penyerahan Jabatan Putra Mahkota?
Secara umum, pandangan tentang penyerahan jabatan putra mahkota oleh Makmun kepada Imam Ali Ar-Ridho as, dapat disimpulkan dalam tiga katagori:
1- Makmun menyerahkan jabatan putra mahkota secara jujur dan tulus, tanpa tendensi politik, makar maupun rekayasa.
Di antara yang mendukung pandangan ini adalah At-Tobari dan Ibnu Astir serta lainnya: “Sesungguhnya, makmun melihat Bani Abbas dan Bani Ali secara keseluruhan,namun tidak menemukan seseorang yang lebih baik, lebih bertakwa dan lebih alim daripada Imam Ar-Ridho”. Abu al-Faraj al-Isfahani: “Selama Makmun berperang melawan saudaranya Al-Amin, dia telah bersumpah kepada Allah untuk memindahkan kekhilafahn ini kepada keluarga Abu talib yang terbaik, sementara Ali Ar-Ridho adalah yang terbaik dari kelompok Alawiyin… Suyuthi As-Syafi`I: Makmun melakukan hal itu karena kecintaannya yang berlebihan, hingga dikatakan: dia hendak melepaskan dirinya dan menyerahkan jabatan khilafah kepada (Ali Ar-Ridho)”. Ibnu Toq-toqi mengatakan: “Makmun berpikir tentang masa depan khilafah setelah dia wafat. Dia ingin agar khilafah berada di tangan orang yang layak untuk menghapus dosanya. Dia melihat di kalangan Bani Abbas dan bani Ali, namun tidak menemukan orang yang lebih baik dan lebih bertakwa serta lebih Alim daripada Ali Ar-Ridho”
2 - Makmun tidak jujur dalam menyerahkan jabtan, tapi ada tujuan tertentu. Dan di antara yang berpendapat seperti ini adalah:
Dr Ali Sami Bassyar: “Makmun paham betul bahaya dakwah yang dilakukan kelompok Ismailiyah, maka dia berusaha menghabisinya. Sementara Imam Abdullah Arrodi telah melakukan aktifitasnya secara luas. Oleh sebab itu, Makmun mendekati Ali Ar-Ridho dan dibai`at untuk dijadikan sebagai putra mahkota)Dr Kamil Mustafa As-Syaibi: “Makmun menjadikan Ali Ar-Ridho sebagai putra mahkota adalah langkah untuk meredam gejolak para pendukung saudaranya yang melawan Bani Abbas dari”
3- Pada awalnya penyerahan jabatan itu dilakukan secara jujur dan tulus. Namun dalam perjalanannya, Makmun berubah arah dan membunuh Imam Ridho. Hal itu dijelaskan oleh Al-Khonaji al-Isfahani al-Hanafi: “Sebagian berpendapat bahwa Makmun adalah orang alim yang ingin mengembalikan khilafah dari Abbasiyah kepada putra-putra Ali, bukan karena makar atau rekayasa atau tendensi politik lain. Hal itu dilakukan semata-mata menyampaikan amanat kepada ahlinya. Sayangnya, setelah Ali Ar-Ridho memegang jabatan, Bani Abbas tidak senang, lalu mereka keluar dari pemerintahan. Mereka menuduh bahwa Makmun adalah anak zina…. Ketika Makmun melihat kondisi yang kacau balau ini, dia lebih memilih kekuasaan dunia fana dan meracuni Imam Ridho”. Wallahu A`lam bisshowab
Mengenal Imam Ali Zainal Abidin
Imam Ali bin Husein a.s. yang lebih dikenal dengan julukan as-sajjad dan zauinal abidin dilahirkan di Madinah pada tanggal 15 Jumadil Ula 38 H. atau 5 Sya’ban 38 H. Dan pada tanggal 12 atau 25 Muharam 95 H. ia diracun oleh Hisyam bin Abdul Malik dan meneguk cawan syahadah pada usia 56 tahun. Ia dikuburkan di Baqi’, Madinah.
Ibu Imam Ali As-Sajjad adalah Ghazalah yang berasal dari kota Sanad atau Sajistan. Dan ia juga dikenal dengan nama Salafah atau Salamah. Akan tetapi, sebagian sumber sejarah menyatakan bahwa namanya adalah Shahr-banuweh, Shah-zanan, Shahr-naz, Jahan-Banuweh dan Khuleh.
Imam Ali Zainal Abidin a.s. hidup pada masa paling kritis yang pernah dialami oleh Ahlul Bayt a.s. Ia hidup sezaman dengan memuncaknya penyelewengan setelah Rasulullah SAWW wafat.
Imam Ali Zainal Abidin a.s. dilahirkan tiga tahun sebelum syahadah Imam Ali a.s. Ketika ia lahir, kakeknya sedang sibuk menghadapi perang Jamal. Setelah itu ia selalu menemani ayah tercintanya dalam setiap pergolakan negara.
Imam Sajjad a.s. memainkan peran yang sangat menentukan dalam menggalangkan kekuatan masyarakat untuk membenci Bani Umaiyah dan memberontak melawan mereka. Setiap kali mendapatkan kesempatan untuk itu, ia tidak pernah membuang-buang kesempatan. Dengan penuh hati-hati, ia selalu mengawasi semua program pemerintahan masa itu. Untuk mengenalkan masyarakat (dengan segala problema yang terjadi di masyarakat) ia memilih metode doa. Di dalam doa-doanya ia mengungkapkan dan menafsirkan segala problema yang sedang menimpa masyarakat kala itu. Shahifah Sajjadiah yang dikenal dengan Zabur Ahlul Bayt a.s. adalah sebuah peninggalan berharga dunia Islam yang sangat mendapat perhatian seluruh ulama setelah Al Quran dan Nahjul Balaghah.
Salah satu peninggalan berharga Imam Sajjad a.s. lainnya adalah buku kecil yang berisi masalah-masalah pendidikan dan etika. Peninggalan ini dikenal dengan nama Risalatul Huquq. Dalam buku kecil ini yang memuat lima puluh satu hak, ia menerangkan tugas-tugas manusia, baik di hadapan Tuhannya, dirinya dan orang lain.
b. Imam Sajjad a.s. dan Pemerintahan yang Berkuasa Saat itu
Imam Sajjad a.s. mengakui bahwa tanpa adanya dukungan masyarakat umum, kekuasaan tidak akan dapat banyak membantu dalam merombak kehidupan masyarakat Islam kala itu. Masyarakat umum juga harus tahu tujuan-tujuan negara, percaya penuh kepada teori-teorinya berkenaan pemerintahan dan membelanya lahir dan batin. Imam Sajjad a.s. merasa harus menjelaskan semua itu kepada mereka sehingga mereka tetap tegar dalam menghadapi setiap gejolak yang terjadi.
Akan tetapi, ia tidak memiliki semua itu, dan karena ketidaktahuan mereka ia pernah mengeluh: “Ya Allah, dalam setiap problema yang terjadi aku telah melihat kelemahanku, aku telah menyadari ketidakmampuanku untuk mencari bantuan masyarakat dalam menghadapi orang-orang yang memerangiku, dan kuakui kesendirianku dalam menghadapi banyaknya orang yang memusuhiku”.
Secara global dapat dikatakan bahwa situasi sosial masyarakat yang dialami oleh setiap imam ma’shum a.s. pasti membatasi ruang gerak politiknya.
Dengan adanya segala bentuk teror yang dijalankan oleh para musuh Islam demi menjauhkan mereka dari lingkaran pemerintahan, para imam ma’shum a.s. telah menjalankan segala tugas mereka dengan baik dalam menjaga risalah Islam dari terjerumus ke dalam jurang penyelewengan dari nilai-nilai murninya. Setiap kali mereka melihat penyelewengan beranjak makin parah, mereka selalu sigap mengambil sebuah solusi yang jitu.
c. Kepedulian Imam Sajjad a.s. terhadap Fakir dan Miskin
Salah satu khidmat besar kepada masyarakat yang pernah dilakukan oleh Imam Ali Zainal Abidin a.s. adalah kepeduliannya terhadap anak yatim, fakir dan miskin serta hamba sahaya. Diriwayatkan bahwa ia membiayai kehidupan seratus keluarga miskin. Sebagian penduduk Madinah selalu menerima bahan pangan pada malam hari dan mereka pergunakan untuk menjalankan kehidupan mereka. Akan tetapi, mereka tidak tahu bahan pangan tersebut berasal dari mana. Setelah Imam Sajjad a.s. meninggal dunia, baru mereka mengetahui siapa yang memberi bahan pangan kepada mereka setiap malam.
Imam Ali Zainal Abidin a.s. setiap malam memikul goni-goni yang penuh dengan bahan pangan dan roti lalu ia membagikannya kepada para fakir dan miskin seraya berbisik kepada dirinya: “Bersedekah secara diam-diam akan memadamkan api murka Allah”. Setelah ia meninggal dunia, penduduk Madinah berkata: “kami telah kehilangan sedekah secara diam-diam, karena Ali bin Husein telah meninggal dunia”.
Di sepanjang tahun karena seringnya ia memikul bahan-bahan pangan, bahunya mengapal. Ketika ia dimandikan, bahunya yang mengapal itu menarik perhatian khalayak ramai.
Ali bin Thawus dalam kitab Iqbaalul A’maal ketika menjelaskan amalan-amalan bulan Ramadhan berkata: “Ali bin Husein a.s. di malam terakhir bulan Ramadhan membebaskan dua puluh orang budak seraya berkata: “Aku ingin Allah melihatku membebaskan budak-budakku sehingga Ia akan membebaskanku dari api neraka kelak di hari kebangkitan “.
Ia tidak pernah menahan budak lebih dari satu tahun. Ketika ia membawa seorang budak ke rumahnya di awal atau pertengahan tahun, ia pasti membebaskannya pada malam hari raya Idul Fitri. Ia sering membeli budak-budak berkulit hitam. Ketika musim haji tiba, ia membawa mereka bersamanya ke padang Arafah. Setelah itu, ia membebaskan mereka di tanah padang Masy’ar dan membekali mereka dengan hadiah uang. Dengan demikian, sangat banyak budak-budak di kota Madinah yang telah dibebaskan oleh Imam Sajjad a.s. Dan setelah bebas, mereka tidak memutuskan hubungan spiritual dengannya.
Pada kesempatan ini, kami akan mengajak para pembaca yang budiman untuk menelaah hadis-hadis yang pernah diucapkannya selama ia hidup.
1. Jiwa yang mulia
“Barang siapa memiliki jiwa yang mulia, maka dunia akan hina dalam pandangannya”.
2. Dunia bukan tolak ukur nilai
“Sangat berbahaya bagi seseorang ketika ia tidak melihat dunia sebagai suatu bahaya bagi dirinya”.
3. Menghindari berkata bohong
“Jauhilah berkata bohong, baik untuk hal sepele maupun untuk hal yang besar, baik serius maupun bergurau. Karena seseorang jika ia telah berani berbohong untuk hal-hal kecil, ia akan berani untuk berbohong untuk hal yang besar”.
4. Sahabat tidak baik
“Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang pembohong, karena ia akan mendekatkan kepadamu suatu yang jauh dan menjauhkan dalam pandanganmu sesuatu yang dekat. Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang fasik, karena ia akan memperjual-belikanmu dengan sesuap nasi atau lebih sedikit dari itu. Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang kikir, karena ia akan meninggalkanmu ketika engkau merasa membutuhkan bantuannya. Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang tolol, karena –menurut kata hatinya– ia ingin membantumu, akan tetapi malahan ia melakukan sesuatu yang membahayakanmu. Hati-hatilah, jangan kau bersahabat dengan orang memutus tali silaturahmi, karena aku melihatnya terlaknat di dalam kitab Allah”.
5. Jangan berbicara kecuali diperlukan
“Sesungguhnya pengetahuan dan kesempurnaan agama seorang muslim (dapat dilihat ketika) ia meninggalkan setiap ucapan yang tidak penting, jarang berdebat, sabar dan berakhlak yang terpuji”.
6. Introspeksi diri dan mengingat hari kiamat
“Wahai anak Adam, kebaikan akan selalu bersamamu selama engkau memiliki penasihat dari dalam dirimu, mengintrospeksi diri, rasa takut (kepada Allah) menjadi syiarmu dan bertindak hati-hati menjadi bagian dari hidupmu. Wahai anak Adam, engkau akan mati, dibangkitkan dan disidang di hadapan Allah azza wa jalla. Oleh karena itu, persiapkanlah jawaban untuk-Nya”.
7. Hasil doa
“Seorang mukmin ketika berdoa akan mendapatkan salah satu dari tiga hal ini: doa itu akan disimpan untuknya di akhirat, dikabulkan saat itu juga atau satu bala` yang akan menimpanya dijauhkan darinya”.
8. Faktor-faktor keselamatan
“Tiga hal yang dapat menyelamatkan seorang mukmin: menutup mulut untuk tidak mengghibah orang lain, menyibukkan diri dengan segala sesuatu yang bermanfaat bagi akhirat dan dunianya, dan banyak menangis karena mengenang kesalahan-kesalahannya”.
9. Rindu surga
“Barang siapa yang rindu kepada surga, ia akan bergegas mengerjakan kebajikan dan mengekang hawa nafsunya, dan barang siapa yang takut siksa neraka, ia akan bergegas untuk bertaubat kepada Allah dari dosa-dosanya dan tidak mengerjakan kembali hal-hal yang haram”.
10. Pahala melihat
“Seorang mukmin yang melihat wajah saudara seimannya karena ia mencintainya adalah ibadah”.
11. Harga diri dan doa
“Sesuatu yang paling disukai oleh Allah setelah mengenal-Nya adalah menjaga perut dan kemaluan, dan sesuatu yang paling dicintainya adalah doa seorang hamba kepada-Nya”.
12. Menerima permintaan maaf orang lain
“Jika seseorang mencelamu dari sebelah kananmu, lalu ia berpindah mencela dari samping kirimu, kemudian ia meminta maaf kepadamu, maka terimalah permintaan maafnya”.
13. Hak Allah atas hamba-Nya
“Hak Allah yang paling besar adalah hendaknya engkau menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan selain-Nya. Jika engkau telah melaksanakannya dengan penuh ikhlas, Dia telah berjanji kepada diri-Nya untuk mencukupi segala urusan dunia dan akhiratmu serta menjaga segala yang kau cintai”.
14. Hak ayah atas anak
“Hak seorang ayah adalah hendaknya engkau tahu bahwa ia adalah asal-muasalmu dan engkau adalah cabangnya (baca : keturunannya). Jika ia tidak ada, niscaya engkau pun tidak akan pernah ada. Oleh karena itu, jika engkau melihat dalam dirimu sesuatu yang membuatmu bahagia, ketahuilah bahwa ayahmu adalah asal nikmat tersebut, bersyukurlah kepada Allah dan berterima kasihlah kepada ayahmu karena itu”.
15. Taat kepada Allah adalah segalanya
“Dahulukanlah menaati Allah dan orang-orang yang diwajibkan oleh-Nya untuk menaati mereka atas segala urusan”.
16. Hak ibu atas anak
“Hak ibumu adalah hendaknya engkau tahu bahwa ia telah:
- mengandungmu,
- memberimu makan dari buah hatinya ketika tidak seorang pun siap untuk melakukan hal itu, dan
- menjagamu dengan telinga, mata, tangan, kaki, rambut, kulit dan seluruh anggota badannya.
Ia melakukan itu semua dengan penuh bahagia, gembira, dan rela menanggung segala derita dan susah-payah yang ada di dalamnya sehingga engkau lahir di dunia. Ia rela engkau kenyang meskipun ia sendiri kelaparan, engkau berpakaian meskipun ia sendiri telanjang, engkau tidak kehausan meskipun ia sendiri menahan dahaga, dan engkau bernaung meskipun ia sendiri kepanasan. Ia rela menyediakan kehidupan berlimpah nikmat bagimu dengan segala kesusahan yang dideritanya dan menidurkanmu meskipun ia harus berjaga sepanjang malam. Perutnya adalah tempat wujudmu, buiannya adalah tempatmu bermanja-manja, susunya adalah penebus dahagamu, dan jiwanya adalah tempat kamu berlindung. Ia rela menahan panas dan dinginnya dunia demi kamu dan untukmu. Dengan demikian, bersyukurlah kepadanya atas semua itu, dan engkau tidak akan dapat melakukan itu kecuali dengan pertolongan dan taufik dari Allah”.
17. Anjuran mencari ilmu
“Jika seluruh manusia mengetahui keistimewaan yang tersembunyi di balik mencari ilmu, niscaya mereka akan mencarinya meskipun dengan mencurahkan darah dan menantang ombak”.
18. Nilai duduk bersama orang-orang saleh
“Duduk bersama orang-orang saleh akan mengajak kepada kebajikan dan tata krama ulama dapat menambah akal”.
19. Dosa penghambat doa
“Dosa-dosa yang menghambat terkabulnya doa adalah jeleknya niat, kotornya hati, bersikap munafik terhadap saudara seiman, tidak yakin dengan diterimanya doa, mengakhirkan shalat wajib hingga waktunya habis, tidak mendekatkan diri kepada Allah dengan perbuatan baik dan sedekah, mencela dan mempergunakan kata-kata yang tidak senonoh dalam ucapan”.
20. Lebih mementingkan yang fana
“Sangatlah aneh seseorang yang beramal untuk dunia yang fana ini dan tidak memperdulikan dunia yang kekal”.
21. Akibat menuduh
“Barang siapa yang menuduh orang lain dengan aib yang dimilikinya, maka ia akan dituduh dengan aib yang tidak pernah dimilikinya”.
22. Dunia adalah perantara, bukan tujuan
“Para wali Allah tidak pernah melelahkan diri di dunia untuk kepentingan dunia. Akan tetapi, mereka melakukan itu untuk kepentingan akhirat”.
23. Aku berlindung kepada Allah!
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari tamak, kemarahan, kedengkian, … dan kebejatan memimpin atas orang-orang yang berada di bawah wilayah kami”.
24. Menjauhlah dari mereka!
“Hati-hatilah, jangan bersahabat dengan orang-orang yang berlumuran maksiat, jangan membantu orang-orang zalim, dan jangan mendekati orang-orang fasik. Hati-hatilah akan fitnah mereka dan menjauhlah dari mereka”.
25. Akibat menentang wali Allah
“Ketahuilah bahwa barang siapa yang menentang wali-wali Allah, memeluk selain agama-Nya dan ingin pendapatnya selalu diikuti, bukan perintah wali-Nya, maka ia akan masuk ke dalam neraka yang membara”.
26. Takut dan malulah!
“Takutlah kepada Allah karena kekuasaan-Nya atas dirimu dan malulah kepada-Nya karena ia dekat darimu”.
27. Buah terbaik
“Setiap sesuatu memiliki buah, dan buah untuk telinga adalah ucapan yang baik”.
28. Faedah diam
“Tidak mengganggu orang lain dapat dilakukan dengan meninggalkan ucapan yang tidak senonoh. Cegahlah ucapanmu dengan diam, karena setiap ucapan memiliki intonasi beraneka ragam yang membahayakan. Oleh karena itu, waspadalah terhadap orang yang tolol”.
29. Jujur dan menepati janji
“Kunci yang terbaik bagi setiap urusan adalah kejujuran, dan amalan penutup yang terbaik baginya adalah menepati janji”.
30. Ghibah
“Jauhilah hibah, karena ghibah adalah makanan anjing neraka”.
31. Si mulia dan si hina
“Orang yang mulia akan bahagia dengan derma yang diberikannya dan orang yang hina akan berbangga dengan hartanya”
32. Pahala berbuat baik
“Barang siapa yang memberi pakaian kepada seorang mukmin, maka Allah akan memberikan kepadanya pakaian dari surga”.
33. Akhlak seorang mukmin
“Di antara akhlak seorang mukmin adalah ia akan berinfak sesuai dengan kadar kemiskinannya, memperbanyak (infak) sesuai kekayaan yang dimilikinya, memahami orang lain dan mengucapkan salam terlebih dahulu kepadanya”.
34. Tentang afiat
“Sesungguhnya aku tidak suka seseorang selalu nyaman hidup di dunia dan tidak pernah ditimpa satu musibah pun”.
35. Pahala dan azab yang paling cepat tiba
“Pahala kebaikan yang paling cepat diberikan adalah berbuat kebajikan dan azab yang paling cepat tiba adalah bertindak lalim”.
36. Doa adalah pencegah bala`
“Sesungguhnya doa dapat mencegah bala` meskipun bala` itu sudah ditentukan dengan pasti, dan doa dapat mencegah bala`, baik yang sudah turun maupun belum turun”.