کمالوندی

کمالوندی

 

Apabila memungkinkan dapatkah Anda membeberkan informasi seputar Bara bin ‘Azib? Apakah ia adalah seorang pecinta Ahlulbait as? Apakah ia menerima imamah Imam Ali as?
Jawaban Global

Bara bin ‘Azib al-Anshari (dari suku Aus) adalah salah seorang sahabat setia Rasulullah saw. Ia banyak turut serta dalam peperangan bersama Rasulullah saw. Ia menyatakan keikutsertaannya dengan Rasulullah saw dalam empat belas ghazwa (peperangan yang dipimpin oleh Rasulullah saw). Perang pertama yang diikutinya adalah perang Khandaq. Pada perang Badar, karena usianya yang masih belia, Rasulullah saw mengembalikannya dari medan perang bersama beberapa orang lainnya. Orang-orang berkata bahwa kota Rei berhasil ditaklukkan di tangannya pada tahun dua puluh empat Hijriah.[1]

Bara bin ‘Azib juga termasuk salah seorang sahabat khusus Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dan banyak menghabiskan waktu untuk melayani beliau.

Suatu hari, Imam Ali as bertanya kepadanya, "Bagaimana engkau mendapatkan agama ini?"

Ia berkata, "Sebelum saya menjadi pengikut Anda, saya adalah seorang Yahudi. Saya tidak memahami agama. Karena itu saya memandang enteng masalah ibadah. Namun tatkala saya menjadi pengikut Anda, maka hakikat iman lah yang kemudian bertahta dalam diri saya. Saya pun merasakan adanya nilai dan bobot ibadah dalam diri saya."[2]

Ia juga turut serta dalam pelbagai peperangan bersama Amirul Mukminin as.[3]

Tentang khilafah pasca Rasulullah saw, Bara bin ‘Azib berkata, "Tatkala mengetahui hasil pertemuan Saqifah, seolah-olah dunia telah hancur bagiku. Kulewati hariku dengan kesedihan dan nestapa, hingga malam tiba. Aku pergi ke masjid dan melihat Miqdad, Abu Dzar, Salman, Hudzaifah, Ammar Yasir, Ubadah bin Shamit, Zubair bin Awwam berkumpul di sudut masjid dan berbincang tentang masalah khilafah, kemudian aku pun bergabung dengan mereka."[4]

Dalam sebagian riwayat kita membaca bahwa Bara bin ‘Azib pada hari-hari ketika Imam Husain as terbunuh, memiliki rumah di Kufah namun menghindar untuk membantu Imam Husain as. Setelah beberapa lama, ia menyatakan kesedihan dan menyesali diri mengapa ia tidak menolong Imam Husain as.[5] Ia wafat di Kufah pada masa kekuasaan Mush'ab bin Zubair.[6]

Bagaimana pun terdapat beragam riwayat yang memuji dan mencelanya.

Sayid Muhsin Amin pengarang kitab A'yân al-Syiah, setelah menjelaskan biografi Bara bin ‘Azib, dan mengutip ucapan-ucapan yang memuji dan mencelanya berkata, "Pendeknya, perkara yang dihadapi oleh Bara bin ‘Azib adalah membingungkan dan ucapan yang benar bahwa ia adalah seorang yang berperilaku benar dan selamat." Wallahu A'lam. [IQuest]


[1]. Muhammad Ali Alimi Damegani, Paigambar wa Yârân, jil. 2, hal. 22, Intisyarat-e Bashirati, 1386 H; Ibnu Abdil Barr, Abu Umar Yusuf (436 H), al-Isti'âb fi Ma'rifat al-Shahâbah, jil. 1, hal. 155, Risetan Ali Muhammad al-Bajawi, Beirut, Dar al-Jail, Cetakan Pertama, 1412/1992.

[2]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 7, hal. 192, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H. Paigambar wa Yârân, jil. 2, hal. 23.

[3]. Ahmad bin Ali, Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H), al-Ishâbah fi Tamyizz al-Shahâba, jil. 1, hal. 410, Risetan Adil Ahmad dan Ali Muhamamd Mu'awwadh, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cetakan Pertama, 1415/1995.

[4]. Bihâr al-Anwâr, jil. 8, hal. 55.

[5]. Ibid, jil. 41, hal. 315.

[6]. Al-Isti'âb, hal. 155.
Jawaban Detil
Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban detil.

 

Mengapa Imam Ali dijuluki dengan Abu Turab? Darimanakah Imam Ali As mendapatkan julukan ini?
Jawaban Global

Nama-nama, gelar-gelar dan julukan-julukan Imam Ali sangatlah banyak dan disebutkan dalam literatur-literatur hadis. Salah satu julukan Imam Ali As adalah Abu Turab. Julukan ini disematkan oleh Rasulullah Saw tatkala melihat aba'a (semacam kain) Ali di masjid berlumuran tanah.[1]

Demikian juga dalam riwayat disebutkan, "Seseorang bertanya kepada Abdullah bin Abbas, "Mengapa Rasulullah Saw memberikan julukan Abu Turab kepada Ali As?" Ibnu Abbas menjawab, "Karena ia adalah pemilik tanah dan berada di atas tanah dan memangku posisi sebagai hujjatuLlah pasca Rasulullah Saw; lestari dan diamnya bumi karena keberadaannya."[2] [iQuest]

 [1]. Bihâr al-Anwâr, jil. 35, hal. 63 dan 64, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.

[2]. Ibid, jil. 35, hal. 51. Demikian juga untuk telaah lebih jauh, Ghadhanfar Laqâb Imâm ‘Ali As, Pertanyaan 10909 (Site: 1112).

 

Salam. Saya Azis (Pati _ Jateng). kepengen sekali mengetahui siapa sebenarnya Siti Hajar itu? dan dari manakah asalanya? karena tidak mungkin kalo orang Arab, atau seorang wanita Arab, memakai nama "Hajar" yang artinya adalah "Batu". lalu kalo bukan dari tanah Arab, lalu dari mana? Apakah benar dari Jawa? karena di Jawa, kata "Hajar" itu baru memiliki arti. terima kasih. Salam.


Salam. Saya Azis (Pati _ Jateng). kepengen sekali mengetahui siapa sebenarnya Siti Hajar itu? dan dari manakah asalanya? karena tidak mungkin kalo orang Arab, atau seorang wanita Arab, memakai nama "Hajar" yang artinya adalah "Batu". lalu kalo bukan dari tanah Arab, lalu dari mana? Apakah benar dari Jawa? karena di Jawa, kata "Hajar" itu baru memiliki arti. terima kasih. Salam.

 Jawaban Global

 Hajar seorang budak perempuan Mesir yang setelah melalui beberapa peristiwa dihadiahkan kepada Sarah. Hajar adalah pelayan Sarah. Kira-kira berdasarkan seluruh laporan sejarah, budak perempuan ini awalnya adalah penduduk Mesir.
 Dengan berlalunya beberapa tahun, Sarah tidak melahirkan seorang anak pun untuk Nabi Ibrahim oleh itu ia menghadiahkan Hajar kepada Nabi Ibrahim supaya ia memiliki anak darinya dan keturunannya tidak terputus.
 Setelah beberapa lama, Hajar melahirkan Nabi Ismail As. Kemudian setelah itu Sarah mencemburui mantan pelayannya itu dan pada akhirnya meminta Ibrahim untuk membawa Hajar ke tempat lain. Allah Swt juga memerintahkan kepada Nabi Ibrahim untuk membawanya ke Mekkah dan meninggalkannya di sebuah padang yang tandus dan kering, tanpa ilalang dan air. Nabi Ibrahim As melaksanakan perintah Allah Swt ini dengan kuatir, namun bukan hanya Hajar dan Ismail berhasil selamat dari kematian berkat mukjizat, bahkan kehadiran mereka di tanah suci itu menjadi cikal-bakal pembangunan kembali rumah Allah Swt di tempat itu.
 
 
Jawaban Detil

 Sebagian literatur mengutip sebuah kisah yang menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim As tatkala masuk ke negeri Mesir, istrinya Sarah diperkenalkan sebagai saudara Nabi Ibrahim dan raja Mesir yang memiliki niat buruk terhadap Sarah mendapatkan hukuman Allah dan kemudian diampuni. Raja itu, setelah melihat tanda-tanda kekuasaan Allah Swt, tidak lagi mengusik Sarah dan di samping menyerahkan hadiah-hadiah, ia juga menghadiahkan seorang budak perempuan (kaniz) kepada Sarah. Nama budak perempuan itu adalah Hajar

 

Al-Qur’an menyatatakan, “Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa.” (Qs. Yunus [10]:3); “Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa.” (Qs. Al-Furqan [25]:59); “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa.” (Qs. Al-Hud [11]:7) Ayat-ayat di atas dengan lugas dan tegas menyatakan bahwa Allah Swt menciptakan langit-langit dan bumi dalam masa enam hari. Namun menurut ayat-ayat lainnya, “Katakanlah, “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Dzat yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta alam.” (Qs. Al-Fushshilat [41]:9); “Dan Dia menciptakan di atas bumi itu gunung-gunung yang kokoh. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa, persis seperti kebutuhan orang-orang yang memohon.” (Qs. Fusshilat [41]:10) “Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, “Datang (dan berbentuklah) kamu dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang (dan berbentuk) dengan suka hati.” Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan (batu-batu meteor dari kejahatan setan). Demikianlah ketentuan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Fusshilat [41]:11-12) Sekarang mari kita kalkulasi dua (2) hari (untuk penciptaan bumi) + 4 hari (penciptaan pelbagai keberkahan) + 2 hari (untuk penciptaan tujuh petala langit) maka hasilnya akan menjadi 8 hari bukan 6 hari. Masalahnya dimana? Kok tidak ketemu hasilnya? Apakah masalahnya bersumber dari mukjizat Muhammad atau Matematika?

Jawaban Global

Allah Swt menggunakan terminologi “qaddara” (penentuan) terkait dengan hari. Sementara sehubungan dengan penciptan langit dan bumi, Allah Swt menggunakan terminologi khalqa (penciptaan); artinya empat hari pada ayat yang dimaksud adalah terkait dengan penentuan seluruh rezeki bukan penciptaannya.

Dengan demikian boleh jadi inti persoalan akan dapat terjawab dengan tuntas. Karena masalahnya muncul karena kita menempatkan hari-hari penentuan hari sejajar dan sederetan dengan penciptaan. Kalau tidak demikian maka inti persoalan akan dapat terselesaikan.

Jawaban Detil

Pertama-tama untuk menjawab pertanyaan Anda, pantas kiranya apabila kita melayangkan perhatian kita pada ayat-ayat yang menjadi obyek bahasan:

“Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘arasy (Dia mengatur seluruh alam semesta).” (Qs. Al-A’raf [7]:54)

“Katakanlah, “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Dzat yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya?” (Qs. Al-Fushshilat [41]:9)

“Dan Dia menciptakan di atas bumi itu gunung-gunung yang kokoh. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa, persis seperti kebutuhan orang-orang yang memohon.” (Qs. Al-Fusshilat [41]:10) “Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan (batu-batu meteor dari kejahatan setan). Demikianlah ketentuan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Fusshilat [41]:11-12)

 

Hari dalam Pandangan al-Qur’an

Yang dimaksud dengan hari (yaum) pada ayat yang menjadi obyek bahasan adalah penggalan dari masa bukan hari dalam artian umum dan yang galib terlintas dalam benak kita. Karena hari dalam pandangan kita sebagai penghuni bumi adalah satuan gerakan planet bumi yang berputar mengelilingi dirinya yang satu kali putarannya disebut sebagai satu hari. Atau dengan kata lain, kita menyebutnya sebagai sehari dan semalam. Penyebutan hari bagi sepenggalan waktu sangat umum digunakan. Di antaranya adalah firman Allah Swt yang menyatakan, “Kami mempergilirkan hari-hari di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)” (Qs. Ali Imran [3]:140) Dan juga berfirman, “Lantas apakah mereka tidak menunggu-nunggu hari-hari yang sama dengan kejadian dan balasan (yang menimpa) orang-orang yang telah terdahulu sebelum mereka.” (Qs. Yunus [10]:102) Dan semisalnya yang menyebut hari sebagai satu penggalan dari masa.[1]

Namun harap diperhatikan bahwa kendati hari bermakna sedemikian namun persoalannya tidak akan selesai begitu saja. Karena itu kita harus menjawab pertanyaan ini.

 

Penentuan Rezeki Bumi dalam masa Empat Hari

Pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimana ayat-ayat di atas (surah al-Fusshilat) menyebutkan penciptaan bumi dalam masa dua hari, gunung-gunung, pelbagai keberkahan, makanan dalam empat hari dan sebagai ikutan ayat-ayat ini, penciptaan bumi juga terjadi dalam masa dua hari yang secara keseluruhan totalnya menjadi delapan hari?

Sementara banyak ayat dalam al-Qur’an menyebutkan penciptaan tujuh petala langit dan bumi secara keseluruhan terjadi dalam tempo enam hari atau dengan ungkapan lain terjadi selama enam masa.[2]

Para penafsir al-Qur’an mengemukakan beberapa jalan dalam menjawab pertanyaan ini:

Jalan pertama yang masyhur dan dikenal banyak orang adalah bahwa redaksi ayat yang menyebutkan “arba’at ayyam” (empat hari) maksudnya adalah sempurnanya empat hari. Hal itu terjadi sebagaimana berikut, pada dua hari pertama dari empat hari ini bumi diciptakan. Pada dua hari kedua, pelbagai tipologi bumi lainnya di tambah penciptaan tujuh petala langit selama dua hari yang total keseluruhannya menjadi enam hari (enam masa).

Contoh ungkapan seperti ini terdapat pada bahasa Arab dan Persia yang sebagai contoh disebutkan bahwa, “Dari tempat ini ke Mekkah memakan jarak selama sepuluh hari, hingga Madinah selama lima belas hari. Artinya terdapat jarak lima hari antara Mekkah dan Madinah. Dan sepuluh hari jarak dari sini ke Mekkah. Namun apabila ayat-ayat tidak menyebutkan penciptaan terjadi selama enam hari maka penafsiran seperti ini tidak dapat diterima. Mengingat ayat-ayat al-Qur’an menafsirkan sebagian ayat lainnya dan menjadi indikasi bagi yang lainnya, maka penafsiran di atas dapat diterima dengan baik.

Jalan lainnya yang disokong oleh sebagian kecil penafsir: Arba’at ayyam (empat hari) tidak berhubungan dengan awal penciptaan melainkan tengah menyinggung empat musim setiap tahunnya yang menjadi sumber munculnya rezeki dan pengembangan bahan-bahan makanan manusia dan hewan.[3]

Jalan ketiga, terkait dengan rezeki maka yang digunakan adalah redaksi “qaddara.” Sementara sehubungan dengan penciptaan langit dan bumi digunakan redaksi “khalaqa.” Artinya empat hari ini adalah penentuan rezeki-rezeki bukan penciptaannya. Dengan penjelasan ini boleh jadi persoalan utamanya sudah terjawab dengan tuntas; karena persoalan yang dapat dilontarakan di sini adalah manakala hari-hari penentuan rezeki kita dudukan sejajar dengan penciptaannya (sebagaimana yang telah lakukan oleh Pengguna Yang Budiman). Selain itu, inti persoalan telah terjawab dengan tuntas.

Dengan memperhatikan beberapa hal yang telah disebutkan di atas, “Hari-hari yang disebutkan pada ayat-ayat ini bertautan dengan penciptaan langit-langit dan bumi adalah empat hari. Dua hari untuk penciptaan bumi dan dua hari untuk menegakkan tujuh petala langit, setelah itu sebelumnya berupa asap. Namun hari-hari setelah kejadian penciptaan bumi dan tujuh petala langit adalah hari-hari penentuan (rezeki) bukan penciptaan rezeki. Dan apa yang dinyatakan dalam firman Allah Swt secara berulang adalah bahwa Allah Swt menciptakan tujuh petala langit dan bumi dalam masa enam hari, bukan kumpulan penciptaan dan penentuan rezeki. Karena itu yang benar bahwa zharf (adverb of time, keterangan waktu) hanyalah qaid untuk kalimat berikutnya sehingga tidak lagi memerlukan pembuangan (hadzf) dan juga tidak perlu dipandang sebagai kalimat taqdiri (perkiraan). Dan yang dimaksud dengan penentuan rezeki-rezeki bumi adalah (pembagian rezeki) pada empat musim dalam setahun.”[4]

Dengan demikian, tidak terdapat masalah pada mukjizat Rasulullah Saw juga pada ilmu Matematika! Masalahnya adalah terletak pada kita yang tanpa memiliki keahlian dan tanpa merujuk kepada ahlinya kita telah memberikan penilaian atasnya. [IQuest]

 

[1]. Nasir Makarim Syirazi, Tarjemeh Qur’ân (Makarim), Dar al-Qur’an al-Karim, (Daftar Muthala’at Tarikh wa Ma’arif Islami), Qum, Cetakan Kedua, 1373 S.

 

[2]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 17, hal. 362 dan 363, Daftar Intisyarat-e Islami, Jami’at al-Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qum, Qum, Cetakan Kelima, 1417 H.  

[3]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 20, hal. 225.  

[4]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 17, hal. 363 dan 364.

 

Disebutkan bahwa para imam adalah Asma'ul Husna (Nama Allah yang Mulia) mereka adalah lidah Allah, Wajah Allah, Mata Allah, Pinggang Allah, merekalah tangan Allah yang serba bisa. (Al Kafi jilid 1 hal 113). Apakah makna dari penyebutan asma al-husna ini terkait dengan para Imam Maksum As?
Jawaban Global
Riwayat seperti ini sejatinya tengah menyinggung sebuah masalah yang penjelasan dan ulasannya harus dikaji pada Filsafat Hikmah (Hikmah Muta'âliyah) dan irfan teoritis (irfân nazhari). Namun demikian kami akan menyebutkan dua poin penting sebagai berikut:

Manusia sempurna (insan kamil) adalah manifestasi teragung (tajalli a'zham) atau penampakan tersempurna (mazhar atam) Tuhan di muka bumi: Berdasarkan pandangan Filsafat Hikmah dan irfan teoritis seluruh alam adalah manifestasi dan penampakan Hak. Tiada satu pun entitas yang ada di alam semesta yang bukan merupakan manifestasi Hak (Tuhan). Poin penting dalam hal ini bahwa di antara seluruh entitas yang merupakan penampakan-penampakan relatif dan nisbi Allah Swt dan sebagian dari entitas tersebut merupakan penampakan nama-nama Ilahi, terdapat manusia sempurna (insan kamil) yang merupakan penampakan inklusif dan menyeluruh Tuhan di muka bumi. Dapat dikatakan bahwa yang menjadi lokus tajalli dan manifestasi seluruh nama dan sifat Hak Swt itu adalah manusia sempurna (insan kamil) yang merupakan manifestasi teragung dan penampakan terparipurna Hak Swt di alam semesta.[1]
Insan kamil adalah khalifah Allah Swt: Salah satu atribut yang terjalin antara Tuhan dan manusia dalam pandangan para arif adalah bahwa insan kamil itu adalah khalifah Allah Swt. Menjadi khalifah Allah Swt yang diangkat sendiri oleh Allah Swt hanya dapat terwujud manakala sifat-sifat Allah Swt memanifestasi dalam dirinya sehingga Allah Swt mengatur alam semesta dengan perantara mereka.[2] Dalam hal ini kami persilahkan Anda untuk menelaah beberapa jawaban, jawaban No. 1984 (Obyek Khalifatullah); 2085 (Manusia dan Makam Khilafah Ilahi) dan 7884 (Hakikat Muhammadiyah).

Nah dengan memperhatikan dua poin di atas makna riwayat yang menyebutkan bahwa para Imam Maksum As merupakan nama-nama indah Tuhan (asmâ al-husnâ) akan menjadi jelas; karena makna riwayat ini adalah bahwa para Imam Maksum As merupakan sebaik-baik manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan serta khalifah-Nya serta atas dasar itu mereka dapat mengatur alam semesta berdasarkan izin Allah Swt yang diberikan kepada mereka.
Karena itu, yang dimaksud dengan lisan Allah Swt (Lisânullâh) adalah bahwa Allah Swt menyampaikan kehendak-kehendak-Nya melalui para Imam Maksum As dan apa yang disampaikan oleh para Imam Maksum As adalah firman Allah Swt. Adapun yang dimaksud dengan tangan Allah Swt (Yadullâh) adalah bahwa Allah Swt melakukan perbuatan-perbuatan-Nya melalui jalur para Imam Maksum As. Demikian juga makna mata Allah Swt ('Ainullâh) dimana Allah Swt menaruh perhatian kepada manusia dengan perantara para Imam Suci As.
Dan terakhir, makna wajah Allah Swt (Wajhullâh)[3] dan sisi Allah (Janbullâh) juga dapat dipahami dan dipersepsi dengan memperhatikan makam khilafah Ilahi para Imam Suci As. [iQuest]

[1]. Silahkan lihat, Yadullah Yazdanpanah, Mabâni wa Ushûl 'Irfân Nazhari, hal. 591, Muassasah Amuzesy wa Pazyuhesy Imam Khomeini, Qum, Cetakan Ketiga, 1391 H.
[2]. Ibid, hal. 602.
[3]. Terkait dengan Wajah Tuhan (Wajhullâh) silahkan lihat jawaban 8680.

 
Taqiyah adalah sejenis taktik yang dilakukan untuk menjaga kekuatan manusia dan tidak menyia-nyiakan energi dan tenaga orang beriman dalam menghadapi urusan-urusan sepele dan tidak penting. Atas dasar itu, sebelum merupakan urusan agama, taqiyah adalah metode rasional dan logis bagi seluruh manusia yang berjuang menghadapi musuh yang kuat. Metode ini digunakan oleh setiap pejuang semenjak dulu hingga kini.
 
  Taqiyah adalah sejenis taktik yang dilakukan untuk menjaga kekuatan manusia dan tidak menyia-nyiakan energi dan tenaga orang beriman dalam menghadapi urusan-urusan sepele dan tidak penting.
 Atas dasar itu, sebelum merupakan urusan agama, taqiyah adalah metode rasional dan logis bagi seluruh manusia yang berjuang menghadapi musuh yang kuat. Metode ini digunakan oleh setiap pejuang semenjak dulu hingga kini.
 Berdasarkan kondisi dan situasi yang beragam, taqiyah terkadang hukumnya wajib dan terkadang haram dan terkadang mubah. Taqiyah wajib, apabila seseorang menghadapi kondisi dimana jiwanya terancam namun imbalannya tidak setara dengan pengorbanan jiwa. Namun tatkala kondisi mengarah pada tersebarnya kebatilan dan kesesatan banyak orang, kezaliman dan kejahatan maka taqiyah haram dan terlarang hukumnya.
 Kaum munafik adalah sekelompok orang yang tidak meyakini Tuhan dan hari akhirat dalam dirinya, namun secara lahir menampakkan dirinya sebagai seorang Muslim dan beriman, sementara definisi taqiyah persis bertolak belakang dengan munafik ini.
 Menerima kezaliman terjadi tatkala seseorang karena takut dan gentar sehingga memilih diam dan tidak menampakkan keyakinannya. Sementara taqiyah tidak bermakna lemah atau takut dan mendukung status quo, melainkan digunakan sebagai sebuah media jitu untuk mengusung perjuangan melawan para tiran dan despot.
 Dalam urusan amar makruf dan nahi mungkar tentu saja harus digunakan perhitungan yang tepat, tadbir, pikiran dan logika. Ulama yang mengenal situasi sosial masyarakat dengan baik berkata bahwa rahasia punahnya Khawarij disebabkan oleh masalah ini. Mereka dalam urusan amar makruf dan nahi mungkar mereka mengingkari logika. Kaum Khawarij berpandangan bahwa taqiyah sebagai taktik tidak diperlukan dalam masalah amar makrif dan nahi mungkar.
 

 

 Jawaban Detil

             Sebelum menjawab inti pertanyaan kiranya kita perlu menyinggung makna leksikal dan teknikal taqiyah berikut dalil-dalilnya.
             Taqiyah secara leksikal bermakna menghindari dan menjauhi kerugian yang bakalan menimpa. Secara teknikal adalah bermakna mengungkapkan kedamaian dan perdamaian meski pada batinnya berbeda dengan apa yang diungkapkan.
Taqiyah merupakan sebuah tema yang memiliki akar pada al-Qur’an dan Sunnah. Taqiyah adalah sebuah amalan yang sesuai dengan tugas mukallaf dan hukum sekunder meski berseberangan dengan hukum primer.
 Pada hakikatnya taqiyah termasuk perbuatan menyembunyikan dan memiliki tujuan-tujuan suci di antaranya:
 Untuk menjaga kekuataan orang-orang beriman dari kebinasaan di tangan orang-orang kafir.
 Untuk menjaga kemampuan orang-orang beriman untuk kondisi-kondisi khusus dan menentukan.
 Menjaga rahasia dan khittah serta agenda-agenda supaya tidak jatuh di tangan musuh.

 Al-Qur’an menyatakan rela terhadap praktik taqiyah Ammar bin Yasir di hadapan orang-orang musyrikin, kemudian Ammar untuk menyelamatkan dirinya secara lahir berkata-kata sejalan dengan kaum Musyrikin. Setelah melakukan hal ini, Ammar bin Yasir mengungkapkan kesedihannya sehingga sebuah ayat turun yang menjelaskan keridhaan Tuhan atas perbuatan Ammar bin Yasir.[1]
 Imam Baqir As bersabda, “Taqiyah adalah salah satu agenda keagamaanku dan datuk-datukku. Barang siapa yang tidak melakukan praktik taqiyah maka ia tidak beriman.”[2]
 Imam Shadiq As bersabda, “Ayahku senantiasa mengingatkan bahwa tiada yang membuat mataku berbinar selain taqiyah. Karena taqiyah adala tameng orang-orang beriman dan media untuk menjaga (keselamatan) orang beriman.”[3]
             Taqiyah merupakan salah satu jenis taktik untuk menjaga kekuatan manusia dan supaya tidak membuang-buang energi orang beriman dalam hal-hal yang remeh dan tidak terlalu penting. Karena akal tidak akan pernah merestui orang-orang yang berjihad (mujahid) dengan jumlah minim dan secara terang-terangan memperkenalkan diri mereka sehingga dapat dengan mudah diidentifikasi dan dikenali oleh musuh-musuh.
 Atas dasar ini, taqiyah sebelum ia menjadi bagian dari  Islam ia merupakan sebuah metode rasional dan logis bagi setiap manusia yang sedang berperang dengan musuh yang kuat. Hal ini berlaku semenjak dahulu hingga sekarang.[4]
             Dengan memperhatikan uraian di atas, pertanyaan Anda akan dijawab secara berurutan sebagai berikut:
 Berdasarkan kondisi dan situasi yang beragam, taqiyah terkadang hukumnya wajib, terkadang haram dan terkadang mubah. Taqiyah wajib kondisinya ketika seseorang menghadapi kondisi dimana jiwanya terancam namun imbalannya tidak setara dengan pengorbanan jiwa. Namun tatkala kondisi mengarah pada tersebarnya kebatilan dan kesesatan banyak orang, kezaliman dan kejahatan maka taqiyah haram dan terlarang hukumnya.

 Dalam sejarah pelbagai perlawanan mazhab, sosial dan politik terkadang terjadi dimana para pembela sejati apabila ingin menunjukkan perlawanan secara terang-terangan maka  baik diri mereka atau pun mazhabnya akan binasa atau paling tidak berada pada kondisi bahaya seperti dalam kasus para Syiah Imam Ali As pada masa pemerintahan rampasan Bani Umayyah.
Dalam kondisi seperti ini, jalan benar dan rasional adalah supaya ia tidak membuang-buang tenagannya dan untuk memajukan tujuan-tujuan sucinya ia melakukan perlawanan secara tidak langsung atau sembunyi-sembunyi.
Pada hakikatnya taqiyah tergolong sebagai perubahan bentuk gerakan perlawanan bagi mazhab seperti ini. Para pengikutnya dalam detik-detik perlawanan dan perjuiangan seperti ini dapat menyelamatkan mereka dari kehancuran dan kebinasaan. Dengan strategis seperti ini, kelanjutan perlawanannya akan meraih kemenangan. Bagi orang-orang yang memandang batil taqiyah tidak jelas bagaimana sikap mereka menghadapi kondisi seperti ini? Apakah kehancuran merupakan suatu hal yang baik atau kelanjutan perlawanan dalam bentuk yang benar dan logis? Jalan kedua adalah taqiyah dan jalan pertama tentu tidak ada orang yang menganjurkannya.[5]
 Dari satu sisi, kita menyaksikan pada masa ketika di Iran terjadi penggrebekan di mana-mana, Imam Khomeini mengingatkan bahwa sekarang bukan masanya taqiyah:
“Terkadang taqiyah itu haram. Kondisi ketika seseorang melihat agama Allah Swt sedang dalam bahaya maka ia tidak boleh ber-taqiyah. Dalam kondisi seperti ini ia harus berbuat sesuatu apa pun yang akan terjadi. Taqiyah dalam urusan furu’ bukan dalam urusan ushul. Taqiyah dilakukan untuk menjaga agama. Manakala agama berada dalam bahaya maka tidak dibolehkan taqiyah. Tidak diperbolehkan untuk diam.”[6]
 Singkatnya taqiyah yang dilakukan untuk kemaslahatan sebuah urusan agama atau duniawi sifatnya penting; atas dasar itu terkadang taqiyah dan menyembunyikan fakta maka kemaslahatan yang lebih penting akan sirna atau kerusakan yang lebih besar akan timbul maka menurut hukum akal dan syariat tidak diperkenankan melakukan taqiyah.
 
 Kaum munafik adalah sekelompok orang yang tidak meyakini Tuhan dan hari akhirat dalam dirinya, namun secara lahir menampakkan dirinya sebagai seorang Muslim dan beriman.[7]

 Sementara dalam definisi taqiyah persis bertolak belakang dengan masalah ini, karena seseorang yang melakukan taqiyah dalam hatinya ia adalah seorang yang benar-benar Mukmin dan beriman. Bahkan dengan dalil iman kepada Tuhan ini ia melakukan taqiyah demi menjaga kemaslahatan dan tujuan mulia sehingga ia harus menyembunyikan fakta dalam hatinya.
 
 Sehubungan dengan menerima kezaliman dan keterhinaan (yang disebutkan dalam pertanyaan dilakukan karena harus bertaqiyah) juga harus dikatakan:

 Menerima kezaliman dan kehinaan terjadi tatkala seseorang disebabkan karena takut dan gentar sehingga harus menyembunyikan keyakinannya. Sementara taqiyah bukanlah bermakna lemah, takut dan memelihara status quo, melainkan pada umumnya sebuah media jitu yang digunakan dalam mengusung perjuangan melawan para tiran dan penguasa zalim.
 Kalau sekiranya menyingkap rahasia-rahasia musuh tidak dapat dilakukan selain dengan bertaqiyah maka taqiyah mutlak diperlukan. Demikian juga sekiranya pukulan yang mengejutkan musuh tidak dapat diraih kecuali dengan taqiyah maka taqiyah harus dilakukan. Taqiyah dilakukan dengan menyembunyikan rencana dan  strategi dalam menghadapi musuh.[8]
 Karena itu kami tegaskan bahwa pertama: taqiyah tidak terbatas pada ketakutan dan menanggung penderitaan; kedua, apabila karena takut maka tentu saja bukan karena takut itu sendiri boleh jadi karena bahaya yang mengancam jiwa dan harta orang Mukmin lainnya dan terkadang kemungkinan bahaya itu mengarah pada dunia Islam; misalnya takut akan timbul perpecahan di antara kaum Muslimin; benar taqiyah bukan juga karenas adanya bahya yang mengancam harta dan jiwa seseorang dan hal ini bermakna menghindar supaya tidak menderita dan mati; karena prinsip pertama bagi manusia adalah menjaga keselamatannya[9] dan tidak menjatuhkan dirinya dalam kebinasaan.[10]
 
 Adapun batasan taqiyah dan masalah amar makruf dan nahi mungkar kami mengajak Anda untuk mencermati penjelasan Syahid Muthahhari sebagai berikut:

 Dalam urusan amar makruf dan nahi mungkar tentu saja harus digunakan perhitungan yang tepat, tadbir, pikiran dan logika. Ulama, yang mengenal situasi sosial masyarakat dengan baik, berkata bahwa rahasia punahnya Khawarij disebabkan oleh masalah ini. (akan tetapi apa yang menerut mereka mungkar atau makruf kebanyakan tidak sejalan dengan kebanaran). Mereka dalam urusan amar makruf dan nahi mungkar mengingkari logika. Mereka mendatangi seorang penguasa zalim, selagi menghunus pedang, mereka yakin bahwa ucapan sekecil apa pun tidak akan berpengaruh namun toh mereka tetap sampaikan. Sang penguasa zalim pada saat itu juga langsung melenyapkannya. Mereka tidak mengenal namanya taktik, logika dan strategi dalam perbuatannya. Mereka berpandangan bahwa taqiyah sebagai taktik tidak diperlukan dalam masalah amar makrif dan nahi mungkar. Logika yang kita miliki menuntut intervensi akal dan pemikiran untung-rugi. Apabila Anda melihat keuntungannya lebih besar daripada kerugiannya maka silahkan lakukan. Kaum Khawarij menolak cara berpikir seperti ini. Mereka menyatakan tidak demikian. Kita harus beramar makruf dan nahi mungkar apa pun yang terjadi. Salah satu sebab terbesar punahnya kaum Khawarij karena beranggapan bahwa logika tidak memiliki tempat dalam urusan dan perbuatan mereka khususnya dalam masalah amar makruf dan nahi mungkar sementara dalam urusan ini logika harus digunakan.[11] [iQuest]


 

--------------------------------------------------------------------------------

[1]. “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (Qs. Al-Nahl [16]:106)

[2]. Wasâil al-Syiah, jil. 16, hal. 210.

[3]. Al-Kâfi, jil. 2, hal. 220, Hadis 14.

[4]. Diadaptasi dari Pertanyaan No. 1779 (Site: 2132)

[5] Diadaptasi dari Jawaban No. 3022 (Site: 4099)

[6] Shahifah Imam Khomeini, jil. 8, hal. 11, Muassasah Tanzhim wa Nasyr Atsar Imam Khomeini, Tehran, Cetakan Keempat, 1386 S.

[7] Diadaptasi dari Jawaban No. 5286 (Site: 5875)

[8] Makarim Syirazi, Nasir, Tafsir Nemuneh, jld. 20, hal. 89, Intisyarat Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, 1374 S.

[9] "Dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam jurang kebinasaan." (Qs. al-Baqarah [2]:195)  

[10] Diadaptasi dari Jawaban No. 1779 (Site: 2132)

[11] Syahid Muthahari, Majmua’ Atsar, jil. 21, hal. 92, SoftwareNur

 

Selasa, 21 Desember 2021 16:28

Siapakah ayah Ibrahim yang sebenarnya?

 

Siapakah ayah Ibrahim yang sebenarnya? Apakah ayahnya adalah penyembah berhala? Apakah setiap nabi itu harus dari keturunan yang suci?
Jawaban Global

Pertanyaan ini dapat dibagi menjadi dua bagian:

1. Tentang ayah nabi Ibrahim As.

2. Tentang ayah seluruh nabi.

Sehubungan dengan persoalan pertama terdapat dua pandangan:

1. Sebagian ulama Ahlusunnah berkeyakinan bahwa ayah nabi Ibrahim As adalah penyembah berhala dan namanya adalah Azar.

2. Sebagian ulama Ahlusunnah lainnya dan seluruh kaum Syiah berkeyakinan bahwa ayah, ibu dan seluruh kakek-nenek para nabi yang di antaranya adalah Nabi Ibrahim As sama sekali tidak ada yang musyrik dan tidak pernah menyembah berhala. Bahkan mereka semua adalah muwahhid (meng-esakan Tuhan) dan menyembah Allah Swt. Adapun nama ayah Nabi Ibrahim As adalah Tarikh.

Terdapat empat ayat dalam Al-Qur'an yang menyebutkan kata "ab" terkait dengan Azar namun yang maksudnya adalah bukan ayah, melainkan paman Nabi Ibrahim As. Berdasarkan berbagai riwayat yang dinukil dari Rasulullah Saw bahwa seluruh kakek-nenek beliau Saw sampai kepada nabi Adam As adalah orang-orang yang muwahhid (bertauhid). Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda: "Aku senantiasa berpindah-pindah dari sulbi-sulbi yang suci kepada rahim-rahim yang suci". Sesuai dengan nukilan hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa ayah Nabi Ibrahim As tidak mungkin seorang yang musyrik. Karena itu, kata "ab" pada ayat tersebut bukan bermakna ayah, tetapi bermakna paman atau ayah isteri atau lainnya. Terdapat pada ayat lainnya bahwa kata "ab" dimaksudkan sebagai makna kakek, paman dan ayah hakiki. Karena itu, jika dikatakan bahwa Azar yang dalam al-Qur'an diungkapkan dengan redaksi "ab", maka maksudnya adalah paman Nabi Ibrahim As. Sesuai dengan kamus istilah al-Qur'an bahwa makna tersebut mempunyai landasan yang kuat. Dalam riwayat-riwayat Syiah dijelaskan bahwa ayah hakiki Nabi Ibrahim As itu bernama Tarikh, kitab Taurat pun mengokohkan pandangan ini. Adapun apakah setiap nabi itu harus dari keturunan yang suci? Terdapat riwayat yang dinukil dari Rasulullah Saw bahwa "Tidak seorang pun dari seluruh ayah dan ibuku (datuk-datuk) itu pernah menyentuh perbuatan keji (zina). Riwayat ini juga meliputi seluruh kakek-nenek beliau Saw. Mengingat bahwa tolok ukur kesucian ayah-ibu seluruh nabi itu sama, maka berdasarkan kaidah "tanqihu al-manâth" (memutuskan suatu hukum berdasarkan kesamaan tolok ukur), hukum ini dapat meliputi seluruh para nabi.

Jawaban Detil

Pertanyaan ini dapat dibagi menjadi dua bagian:

1. Tentang ayah nabi Ibrahim As.

2. Tentang ayah seluruh nabi.

Sehubungan dengan persoalan pertama terdapat dua pandangan:

1. Sebagian ulama Ahlusunnah berkeyakinan bahwa ayah nabi Ibrahim As adalah penyembah berhala dan namanya adalah Azar.

2. Sebagian ulama Ahlusunnah lainnya dan seluruh kaum Syiah berkeyakinan bahwa ayah, ibu dan seluruh kakek-nenek para nabi dan di antaranya adalah Nabi Ibrahim As, sama sekali tidak ada yang musyrik dan tidak pernah menyembah berhala. Bahkan mereka semua adalah orang-orang yang muwahhid (meng-esakan Tuhan) dan menyembah Allah Swt. Adapun nama ayah Nabi Ibrahim As adalah Tarikh.

Boleh jadi sumber perbedaan ini adalah ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur'an. Karena dalam al-Qur'an terdapat ayat yang menggunakan kata "ab"

untuk seseorang yang bernama Azar yang biasanya (tanpa indikasi) digunakan sebagai makna ayah. Dengan itu, maka ayat-ayat tersebut harus dikaji terlebih dahulu, kemudian setelah meneliti dan memecahkannya barulah kami akan menjawab pertanyaan Anda.

Terdapat empat ayat di dalam Al-Qur'an yang menggunakan kata "ab" sekaitan dengan Azar :

1. "Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk ayahnya (pamannya Azar), tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu (agar ia tertarik kepada keimanan). Akan tetapi tatkala telah jelas bagi Ibrahim, bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun." (Qs. Al-Taubah [9]: 114).

2. "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya (pamannya) Azar: "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat bahwa kamu dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata." (Qs. Al-An'am [6]: 74)

3. "Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya (pamannya: Azar) dan kaumnya: "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah." (Qs. Al-Zukhruf [43]: 26)

4. "Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya (pamannya): "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari (siksaan) Allah." Qs. Al-Mumtahanah [60]:

 

Pada ayat pertama, Allah Swt telah menjelaskan bahwa ayah (paman) Ibrahim sebagai musuhnya dimana beliau berlepas diri darinya. Dan pada ayat yang kedua Ibrahim mengatakan bahwa Azar berada dalam kesesatan yang nyata. Dan pada ayat yang ketiga Ibrahim As berkata bahwa beliau berlepas tangan dan tidak bertanggung jawab atas apa yang ia sembah. Adapun pada ayat yang keempat Ibrahim As berkata kepada Azar (berjanji kepadanya) bahwa beliau akan memintakan ampunan kepada Allah untuknya. Tetapi dengan memperhatikan ayat pertama yang menjelaskan bahwa Allah Swt berfirman: "Maka tatkala telah jelas bagi Ibrahim, bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya."

 

Maksud dari kata "Ab"

Berdasarkan tanda-tanda dan beberapa bukti yang akan kami jelaskan di bawah ini, menjadi jelaslah bahwa yang dimaksudkan dengan kata "Ab" pada ayat-ayat tersebut adalah paman Ibrahim As .

Berdasarkan berbagai riwayat yang datang dari Rasulullah Saw yang dinukil baik oleh mazhab Sunni maupun Syiah bahwa seluruh kakek-nenek beliau Saw sampai kepada Nabi Adam As adalah orang-orang yang muwahhid (bertauhid).[1] Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda: "Aku senantiasa berpindah-pindah dari sulbi-sulbi orang-orang yang suci kepada rahim-rahim wanita-wanita yang suci".[2] Dalam hadis yang lain Nabi Saw bersabda: "Allah senantiasa memindahkanku dari sulbi-sulbi orang-orang yang suci kepada rahim-rahim para wanita suci hingga akhirnya Dia mengeluarkanku di alam duniamu ini, dan sama sekali aku tidak tersentuh oleh kotoran-kotoran jahiliyah".[3]

Sudah jelas bahwa ketika Rasulullah Saw adalah keturunan Nabi Ismail dan Ibrahim As, maka secara otomatis bahwa ayah Ibrahim As merupakan kakek Rasulullah Saw yang sesuai dengan hadis di atas tidak mungkin termasuk orang-orang yang musyrik. Dengan demikian bahwa kata "ab" di dalam ayat tersebut tidak mungkin diartikan dengan ayah. Tetapi bermakna lain sebagaimana makna yang biasa digunakan oleh orang-orang Arab, yaitu bemakna paman atau ayah isteri. Dalam al-Qur'an, Allah Swt menyebutkan Nabi Ismail yang merupakan paman Nabi Ya'qub As, sebagai ayahnya. Allah Swt berfirman: "Apakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) kematiannya, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang akan kamu sembah nanti sepeninggalanku?". Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk penuh kepada-Nya." (QS. Al-Baqarah [2]: 133)

Dalam ayat tersebut kata "ab" diartikan sebagai kakek, paman dan ayah yang sesungguhnya. Karena itu, jika dikatakan bahwa Azar yang dalam al-Qur'an diungkapkan dengan kata "Ab", maka maksudnya adalah paman Ibrahim As. Dan sesuai dengan kamus istilah al-Qur'an hal itu mempunyai dalil yang kuat.

Sesungguhnya ayah Ibrahim yang hakiki adalah orang lain dan bukan Azar. Tetapi Al-Qur'an tidak menjelaskan namanya. Dalam riwayat-riwayat Syiah namanya adalah Tarikh. Kitab Taurat pun mengokohkan pandangan ini.[4] Ummu Salamah, isteri Rasulullah Saw berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda: "Adnan adalah Ad putera Udud bin Ilyasa' bin Humaisa' bin Salaman bin Nabat bin Haml bin Qaidar bin Ismail bin Ibrahim As bin Tarikh bin Takhur bin Sarukh bin Ar'awa' bin Faligh bin 'Abir dan dia adalah Hud As bin Syalikh bin Arfakhsyad bin Sam bin Nuh As bin Lamak bin Matusylakh bin Akhnukh, dia adalah Idris bin Yarid bin Mahlail bin Qainan bin Anusy bin Syits bin Adam As; bapak manusia.[5] Karena itu, ayah Ibrahim adalah Tarikh, sedangkan Azar adalah pamannya.[6]

Tidak diragukan bahwa kaum musyrikin dan para penyembah berhala adalah merupakan musuh-musuh Allah Swt dan bagi setiap Muslim diwajibkan berlepas diri dari semua musuh Allah tersebut, bukan malah berlemah lembut dan menaruh simpati kepada mereka. Dengan itu kita saksikan, ketika telah jelas bahwa paman Ibrahim As; Azar adalah merupakan musuh Allah, beliau segera menyatakan berlepas diri dan tidak bertanggung jawab atas sikap dan perbuatannya itu. Allah Swt di dalam Al-Qur'an -dengan menukil ucapan Ibrahim- berfirman: "Maka ketika telah jelas baginya bahwa dia (Azar, pamannya) adalah musuh Allah, maka ia tidak bertanggung jawab terhadapnya." (Qs. Al-Taubah [9]: 114)

 

Apakah setiap nabi harus dari keturunan yang suci?

Al-Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsur - terkait dengan ayat yang "wa laqad ja'akum Rasulun min anfusikum,"[7]- menyatakan: "Abu Na'im dalam kitabnya Dalâil meriwatkan sebuah hadis dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Tidak seorang pun dari semua ayah dan ibuku pernah menyentuh perbuatan keji (zina), dan Allah Swt senantiasa memindahkanku dari sulbi ayah-ayah yang suci kepada rahim-rahim para ibu yang suci pula. Dan di mana saja ayah-ayah tersebut mempunyai anak-anak, maka aku dipindahkan ke sulbi seorang anak yang lebih suci dan lebih baik dari anak-anak lainnya.[8]

Riwayat ini juga meliputi seluruh kakek-nenek Nabi Saw. Mengingat bahwa tolok ukur kesucian ayah-ibu seluruh nabi itu sama, maka berdasarkan kaidah "Tanqihu al-Manâth" (menetapkan suatu hukum berdasarkan kesamaan tolok ukur), hukum ini dapat meliputi seluruh para nabi.

Kesimpulannya adalah bahwa berdasarkan banyak ayat dan riwayat yang bermacam-macam, baik melalui jalur Sunni maupun Syiah, demikian juga berdasarkan akal dan ijma' dapat dipahami bahwa kedua orang tua (ayah ibu) nabi Ibrahim As adalah termasuk orang-orang yang muwahhid (meng-esakan Tuhan) dan orang-orang yang suci.

Dengan itu maka keyakinan kami, bukan hanya kaum Syiah bahkan banyak dari kaum Sunni meyakini bahwa ayah dan ibu semua nabi dan nabi Ibrahim As hingga Nabi Adam As, sama sekali tidak pernah ternodai oleh syirik. Mereka adalah orang-orang yang muwahhid dan orang-orang yang suci dari perbuatan zina dan melahirkan keturunan dengan cara pernikahan secara syar'i.[IQuest]


[1]. .Alusi, Sayyid Mahmud, Ruh al-Ma'âni fi Tafsiri al-Qur'ân, Ali Abdul Bari Athiyyah, jil. 7, hal. 388, Dar al-Kutub Al-'Ilmiyah, Cet. Beirut, 1415 H. Cet. 1; Andalusi, Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf, bin Hayyan, al-Bahrul al-Muhith fi al-Tafsir, jil. 8, hal. 439 Al-Bahru Al-Muhith, Situs Tafsir, http://www.altafsir.com (Al-Maktabah Al-Syamilah); Razi, Abu Abdillah Fakhruddin Muhammad bin Umar, Mafâtih al-Ghaib, jil. 6, hal. 337, Daru Ihya Al-Turats Al-Arabi, Beirut, 1430 H, Cet. III; Ibnu Adil, Tafsir Al-Lubab, jil. 7, hal. 9, Situs Al-Tafsir, http://www.altafsir.com (Al-Maktabah Al-Syamilah).

[2] .Alusi, Sayyid Mahmud, Ruh al-Ma'âni fi Tafsiri al-Qur'ân, jil. 7, hal. 388; Andalusi: Abu Hayyan Muhammad bin yusuf, a-Bahr al-Muhith fi al-Tafsir, jil. 8, hal. 439; Razi, Abu Abdillah Fakhruddin, Muhammad bin Umar, Mafâtih al-Ghaib, jil. 6, hal. 337; Ibnu Adil, Tafsir Al-Lubâb, jil. 7, hal. 9 dan .....(Yang menarik adalah bahwa Alusi kurang begitu memperhatikan ucapan Fakhru Al-Razi yang mengatakan bahwa ucapan ini khusus Syiah).

[3] . Riwayat ini banyak dinukil oleh para mufassir baik Syiah maupun Sunni, seperti al-Thabarsi dalam kitabnya Tafsir Majma'u al-Bayân, Neisyaburi di dalam kitab tafsir Gharâibu al-Qur'ân, Fakhru Al-Razi di dalam kitab tafsir Al-Kabir dan Alusi di dalam kitab tafsir Ruh al-Ma'âni fi Tafsiri al-Qur'ân..

[4] .Baihaqi, Dalâil al-Nubuwwah, jil. 1, hal. 103, Situs Jami'u al-Ahadits, http://www.alsunnah.com (Al-Maktabu Al-Syamilah).

[5] .Thabarsi, Fadhl bin Hasan, I'lâmi al Warâ bi A'lami al-Hudâ, hal. 6.

[6].Kulaini, Raudhat al-Kâfi, Terj. Kamerei, jil. 2, hal. 327, Cet. Darul Al-Kutub Al-Islamiyah, Tehran, th. 1365 Sy.

[7]. "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (Qs. Al-Taubah [9]: 128)

 
Mengapa Allah Swt menggunakan kata ganti laki-laki (dhamir) untuk diri-Nya dalam al-Qur’an? Dan mengapa kata ganti laki-laki ini bersifat general bahkan terhadap kata ganti perempuan?
Jawaban Global

Sebab mengapa Allah Swt al-Qur’an menggunakan kata ganti orang ketiga laki-laki untuk diri-Nya adalah lantaran al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan penggunaan kata ganti laki-laki (dhamir, pronomina) bagi Allah Swt telah sesuai dengan kaidah dan sastra bahasa Arab. Karena Allah Swt bukan muannats (feminim) hakiki dan juga bukan mudzakkar (maskulin) hakiki dan juga tidak menggunakan penggunaan qiyâsi (mengikuti kaidah tertentu) dan simâi muannats majâzi (figuratif). Karena itu, berdasarkan kaidah bahasa Arab yang harus digunakan untuk Zat Allah Swt adalah kata ganti-kata ganti dalam bentuk maskulin figuratif (mudzakkar majâzi). Di samping itu, tanda-tanda literal maskulin dan feminin bukan sebagai penjelas kedudukan dan derajat yang mengandung nilai (value).

 

Jawaban Detil

Bahasa al-Qur’an adalah bahasa Arab. Bahasa Arab berbeda dengan bahasa-bahasa lainnya menggunakan dua jenis kata ganti dan pronomina (dhamir) orang ketiga laki-laki (mudzakkar) dan kata ganti orang ketiga perempuan (muannats). Suatu hal yang natural bahwa setiap buku atau kitab yang ingin ditulis menggunakan bahasa ini, kendati ia merupakan kitab Ilahi, maka ia harus mengikuti kaidah-kaidah bahasa tersebut dan gramatikanya.

Bahasa Arab, karena tidak memiliki kata ganti orang ketiga waria (khuntsa), sebagian hal yang tidak memiliki jenis kelamin dinyatakan dengan kata ganti orang ketiga laki-laki (dhamir mudzakkar). Namun, yang semisal dengan masalah ini, juga terdapat dalam bahasa-bahasa yang lain, seperti bahasa Prancis. Dengan bersandar pada poin ini dapat diambil kesimpulan bahwa pernyataan kata ganti orang ketiga laki-laki, sama sekali tidak ada kaitannya dengan sifat kelaki-lakian.

Pada kenyataannya, dapat dikatakan bahwa al-Qur’an tidak didominasi oleh pandangan patriarkial yang berkembang pada budaya zamannya, melainkan sebuah tipologi bahasa yang mengkondisikan pembicaranya supaya memperhatikan dan mematuhi hal tersebut. Karena itu, al-Qur’an,  dengan alasan diturunkan dan diwahyukan dalam bahasa Arab, bertutur kata dengan wacana ini dan menggunakan pronomina-pronomina dan redaksi maskulin (mudzakkar) yang selaras dan sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.

Dengan kata lain, dari satu sisi, dalam bahasa Arab, nomina-nomina (asmâ) dan verba-verba (af’âl) (selain verba kata ganti orang pertama tunggal [mutakkalim wahdah] dan kata ganti orang pertama jamak [mutakallim ma’a al-ghair]) memiliki dua jenis: laki-laki atau maskulin (mudzakkar) dan perempuan atau feminin (muannats). Maskulin dan feminin ini terbagi lagi menjadi hakiki dan majâzi (figuratif). Seluruh entitas yang memiliki alat kelamin pria dan wanita adalah maskulin dan feminin hakiki (mudzakkar dan muannats hakiki). Selainnya adalah figuratif (majâzi).

Maskulin hakiki seperti “rajul” (pria) dan “jamal” (unta jantan). Feminin hakiki seperti “imraat” (wanita) dan “naqah” (unta betina). Maskulin figuratif (mudzakkar majazi) seperti “qalâm” (pena) dan “jidâr” (dinding). Feminin figuratif (muannats majazi) seperti “dâr” (rumah) dan “ghurfah” (kamar). Penggunaan muannats majazi dalam hal-hal seperti nama-nama kota, anggota badan yang berpasangan memiliki kaidah dan dalam hal-hal lainnya tidak mengikut kaidah tertentu (qiyâsi) dan bersifat simâiSimâi artinya bahwa yang menjadi kriteria adalah semata-mata mendengar orang-orang yang berbahasa Arab dan harus diperhatikan orang-orang Arab menggunakannya dalam bidang apa. Apabila hal tersebut bukan termasuk muannats hakiki dan muannats majâzi dan juga bukan mudzakkar hakiki maka tentulah ia merupakan mudzakkar majâzi.[1]

Dari sisi lain, karena Allah Swt tidak melahirkan juga tidak dilahirkan. Demikian juga tiada yang menyerupainya[2] dan juga bukan termasuk hal-hal yang terkait dengan penggunaan qiyâsi (mengikuti kaidah tertentu) dan simai muannats majâzi. Karena itu, berdasarkan kaidah bahasa Arab yang harus digunakan untuk Zat Allah Swt adalah kata ganti-kata ganti, nama-nama dan sifat-sifat dalam bentuk mudzakkar majâzi (maskulin figuratif).

Poin ini juga harus mendapat perhatian bahwa tanda-tanda literal muannats dan mudzakkar tidak mengandung nilai tertentu dan tidak menunjukkan tanda dan dalil atas kemuliaan dan kedudukan seseorang. Karena itu, apabila tanda-tanda literal mudzakkar, menunjukkan kemuliaan dan kedudukan tertentu seseorang, dan memiliki nilai tertentu, maka untuk selain manusia dan sebagian makhluk rendah seperti setan dan iblis... tidak boleh menggunakan kata kerja-kata kerja atau nomina-nomina atau pronomina-pronomina dan seterusnya yang memuat tanda-tanda literal mudzakkar.

Demikian juga, apabila tanda-tanda literal muannats merupakan dalil dan tanda kekurangan dan minus nilai maka entitas-entitas yang sarat nilai seperti matahari (syams), bumi (ardh), kaum pria (al-Rijal), air (ma’) dan sebagainya dan sebaik-baik perbuatan dan kedudukan seperti sembahyang (shalat), zakat, surga (jannat) tidak akan dinyatakan dalam bentuk literal muannats.

[1]Sharf Sâdeh, hal. 28 dan 145.

[2]Lam yalid wa lam yulad (Qs. Al-Ikhlas [114]:3). Laisa kamitsli syai (Qs. Al-Syura [42]:11)  

[3]. Silahkan lihat, Zan dar Âine Jalâl wa Jamâl, Jawadi Amuli, hal. 78.

 
Apa tafsir dari ayat “Segungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya)” (Qs. Thaaha [20] : 15)
Jawaban Global
Salah satu dari nama-nama kiamat adalah  al-Sâ’ah (masa, waktu), yang disebutkan Al-Quran sebanyak 43 kali.[1] Salah satunya ialah dalam surah Thaha ayat 15 yang berbunyi: “Segungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan.” Al-Sâ’ah yang disebutkan pada ayat ini adalah kiamat.
Banyak dari para ulama tafsir dengan mengambil sanad riwayat dari Imam Shadiq As,[2] mereka mengatakan: kata-kata “Aku merahasiakan (waktunya)” ialah jenis mubâlaghah (hiperbol), maksudnya ialah “Waktu terjadinya hari kiamat sangat tersembunyi dan rahasia sekali sedemikian sehingga hal itu pun disembunyikan pula dari diriku (dari nabi Musa As).”[3]
Oleh itu makna dari ayat ini ialah: “Wahai Musa! hari kiamat pasti akan datang, adapun Aku merahasiakan tentang kedatangannya, dan Aku tidak akan mengatakannya kepada seorangpun walau kepada para nabi sekalipun, sehingga Aku dapat melihat siapa yang beriman dan mempersiapkan diri dengan terjadinya kiamat, dan juga siapa yang tidak beriman dan tidak mempersiapkan dirinya, dan masing-masing akan mendapatkan balasannya.”[4]
Dengan kata lain, sebab tersembunyinya hari kiamat adalah Allah ingin memisahkan dan mengenal antara orang-orang yang ikhlas dan orang-orang selainnya, lalu akan memberikan balasan kepada orang yang telah berusaha menjadi hamba yang baik.[5]
Dari sisi lain di karenakan waktu tepatnya masih belum di ketahui dan kemungkinan bisa terjadi setiap saat, kesimpulannya adalah kita harus selalu mempersiapkan diri.[6] [iQuest]
 

[1]. Shadeqi Tehrani, Muhammad, Al-Furqân fi Tafsir Al-Qur’ân, jil. 12, hal. 75.
[2]. Majlisi, Muhammad Baqir, Bihâal-Anwâr, jil. 13, hal. 89.
[3]. Qumi, Ali bin Ibrahim, Tafsir Qummi, jil. 2, hal. 60; Thabarsi, Majma’ al-Bayân, jil. 7, hal. 11; Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 13, hal. 170; Banu e Esfahani, Sayedeh Nusrat Amin, Makhzan al-Irfân dar Tafsir Quran, jil. 8, hal. 162.
[4]. Muhammad Jawad Najafi Khumaini,Tafsir Âsân, jil. 11, hal. 283.
[5]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Al-Mizân fi Tafsir Al-Qur’ân, jil. 11, hal. 283.
[6]Tafsir Nemune, jil. 13, hal. 171.

 

Mengapa ayat-ayat al-Quran lebih didominasi dengan ayat-ayat maskulin? Mengapa kebanyakan penyampaian-penyampaian al-Quran lebih banyak bercorak maskulin seperti: Âmanû (orang-orang yang beriman), kâfarû (orang-orang yang kafir), Qâla (ia berkata), ya’lamun (mereka mengetahui), alladzî (yang) dan alladzîna (orang-orang yang)?

Jawaban Global

  1. Kita dapat menetapkan khitab-khitab (penyampaian-penyampaian) al-Quran itu maskulin ketika ruh yang mendominasi lafaz-lafaz dan khitab-khitab itu bersandar pada jenis kelamin dan fokus pada pria. Dari berbagai ayat al-Quran dapat dipahami bahwa wacana yang mendominasi al-Quran itu banyak yang terfokus pada manusia (bukan jenis kelamin) seperti pada (Qs. Fathir [35]:15), (al-Nahl [16]: 97), (Ali Imran [3]:5). Dengan dalil ini dapat kita katakan bahwa pandangan dan tujuan al-Quran terhadap jinsiyyah (jenis kelamin) hanyalah untuk memberikan hidayah, baik kepada kaum lelaki maupun kaum wanita (Qs.. al-Baqarah [2]: 128).
  2. Kelebihan khusus bahasa, sastra dan budaya Arab (sebagai bahasa teks al-Quran) adalah:
  3. a) Ketika dalam suatu tema jumlah mudzakkar (maskulin) lebih banyak, maka lafaz yang digunakan adalah dalam bentuk mudzakkar (maskulin) seperti pada ayat tathhir (Qs. al-Ahzab: 33).
  4. b) Untuk tujuan menjaga kehormatan dan pakaian wanita sehingga dalam penggunaan lafaz mu’annats (feminim) pun jumlahnya lebih sedikit seperti ayat yang berkaitan dengan masalah perkawinan (Qs. al-Nur [24]: 33).
  5. c) Berdasarkan kaidah sastra Arab, pada beberapa tempat, dengan memerhatikan qarinah-qarinah kalâmi (indikasi-indikasi ucapan) atau hâli (keadaan, sikap), dapat disimpulkan bahwa dengan mengetengahkan lafaz mudzakkar, maka wanita pun sudah termasuk di dalam kandungan ungkapan tersebut. Akan tetapi, tidak pernah terjadi sebaliknya. Dengan demikian, maka dengan menghadirkan lafaz wanita (mu’annats), maka kaum lelaki akan dianggap keluar dari objek bahasan. Misalnya bahasan yang terdapat pada ayat 204-206 surah al-Baqarah (2) dan pada ayat 31 surah al-Isra’ (17).
  6. Sebagian dari sastra Arab—sehubungan dengan mudzakkar (maskulin) yang disampaikan oleh al-Quran, misalnya ketika menjelaskan hukum-hukum fiqih, tugas-tugas dan hak-hak laki-laki—terkadang saham aturan-aturan untuk kaum laki-laki dalam bahasan tersebut lebih dominan dibandingkan dengan saham wanita. Hal itu nampak kita saksikan pada pembahasan tentang hukum-hukum jihad, kiat-kiat mencari pasangan hidup (Qs. an-Nisa [4]: 19) Mayoritas para pembesar dan penguasa di dalam ayat-ayat al-Quran adalah kaum laki-laki (seperti para nabi, para pemimpin kekafiran dan lain-lain).
  7. Banyak sekali ayat al-Quran yang penyampaiannya itu ditujukan kepada masyarakat umum dan di sini lafaz-lafaz mudzakkar tidak menekankan pada jenis tertentu. Misalnya juga lafaz mudzakkar yang digunakan sehubungan dengan lafaz “tuhan” atau malaikat. Pada lafaz tersebut tidak memberikan pahaman untuk mudzakkar ataupun mu’annats. Misalnya, pada Surah al-Isra (17): 36, al-Qashash (28): 71, al-A’raf(7): 29, Fushshilat (41): 30, an-Nisa (4): 56 dan at-Thalaq (65): 2.
  8. Mengingat bahwa kaum Adam itu lebih banyak memikul berbagai macam tanggung jawab, karena itu mereka banyak disebutkan di dalam al-Quran. Misalnya seperti khitab yang ditujukan kepada mereka dengan redaksi: “Jagalah dirimu dan keluargamu dari sentuhan api neraka” (Qs. at-Tahrim [66]: 6).
  9. Sebagian ayat ketika mengisahkan berbagai peristiwa yang berkaitan dengan sebagian kaum lelaki, demi menjaga kesesuaian lafaz-lafaznya dengan orang-orang yang merupakan sebab turunnya ayat tersebut, menggunakan lafaz-lafaz mudzakkar. Misalnya kisah yang terdapat pada ayat wilayah yang berkaitan dengan Imam Ali as dan pada semua lafaz yang dituangkan dalam bentuk mudzakkar (Qs. al-Maidah [5]: 55).
  10. Sebagian ayat al-Quran menggunakan kedua-duanya, lafaz-lafaz mudzakkar dan juga mu’annats (Qs. al-Ahzab [33]: 35); (Qs. al-Nisa [34]: 32). Karena mengulang-ulang lafaz-lafaz dan dhamir mu’annats beberapa kali di sebelah lafaz-lafaz mudzakkar, akan membuat susunan kalam itu tidak seimbang dan tidak serasi dan hal itu juga akan menjadikan ayat itu panjang serta akan merusak balaghah dan kefasihannya.

 

‘Ala kulli hal, dalam pemikiran wahyu Ilahi, yang menjadi tolok ukur dan kelebihan adalah “takwa” dan bukan masalah jinsiyyah (jenis kelamin; mudzakkar atau mu’annats).

Jawaban Detil

Pendahuluan

  1. Dapat kita ketahui bahwa ungkapan umum al-Quran atau setiap tulisan dan ucapan itu sifatnya “mudzakkar” ketika ruh dan kondisi umum yang menguasai hal itu adalah kehadiran dan penampilan jenis kelamin (jinsiyyat). Demikianlah dapat kita saksikan bahwa si pembicara lebih memerhatikan penampilan kemampuan dan kelebihan laki-laki atau perempuan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan meneliti isi kandungan dan tujuan-tujuan ayat-ayat al-Quran. Al-Quran, ketika menekankan jenis kelamin tertentu, pasti dibalik itu memiliki hikmah dan tujuan. Berikut ini akan kitabahas.

Dengan mengkaji dan memerhatikan ayat-ayat di bawah ini, akan kita temukan bahwa hukum umum yang mendominasi ayat-ayat al-Quran adalah lebih dari sekedar jenis kelamin. Ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut:

Hai manusia, sesungguhnya kalian fakir di hadapan Allah. Sedang Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.[1] Barangsiapa yang melakukan amal saleh, baik laki- laki maupun perempuan dan dia beriman, maka sesungguhnya Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.[2] Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satu pun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula )di langit.[3] Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik- baiknya.[4]

  1. Pada dasarnya tujuan para nabi, kitab-kitab yang diturunkan dari langit dan al-Quran al-Karim adalah untuk kemajuan dan kesempurnaan manusia. Karena itu, persoalan jenis kelamin tidak dijadikan sebagai pokok pembahasan. Tetapi yang menjadi perhatian manusia adalah malapetaka dan petunjuk.

Dengan ungkapan lain, yang menjadi lawan manusia adalah satu maujud berbahaya yang bernama setan. Setan dengan pakaian kecongkakannya yang ia tunjukkan ketika ia diuji untuk sujud kepada Adam dan membakar hangus ibadah yang ia lakukan selama enam ribu tahun, dengan kemarahan semacam ini apa yang akan ia lakukan kepada kita?! Setan tidak menghendaki jiwa ataupun tanah dari kita. Setan hanyalah ingin menghancurkan keimanan dan kehormatan kita.[5]

Dengan demikian, usaha al-Quran adalah menyadarkan dan memberikan petunjuk, baik kepada laki-laki ataupun perempuan.[6]

Sebab dan hikmah kelelakian (mudzakkar) ungkapan-ungkapan al-Quran:

  1. Keistimewaan bahasa, kebudayaan, peradaban dan tradisi bangsa Arab:

Banyak ditemukan ayat-ayat al-Quran yang menguatkan bahwa al-Quran itu bahasa Arab. Karena itu, seluruh karakter ucapannya harus ditafsirkan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan kebudayan Arab. Pada selain itu (jika tidak sesuai dengan kaidah di atas) kita belum bisa memanfaatkan “pemahaman dan cita rasa ‘urf yang sesuai”![7]

Sebagian kelebihan dan keistimewaan bahasa Arab adalah sebagai berikut.

1-1. Apabila dalam satu susunan ayat, bilangan laki-laki lebih banyak dari perempuan, maka penyampaian lafaz-lafaz yang harus digunakan adalah dengan memerhatikan sisi mayoritasnya.

Contoh: Pada ayat tathhir yang menjelaskan tentang kesucian dan kebersihan keluarga Nabi Saw, karena di dalamnya mencakup seorang perempuan, yaitu Sayidah Fathimah al-Zahra As, dan empat orang lelaki, maka jumlah dan kata-kata ganti yang digunakan bersifat mudzakkar. Hal itu untuk menjaga bilangan yang lebih banyak mudzakkar-nya: "Wa Yuthahhirakum." [8]

2-1. Dalam budaya masa lalu dan telah mengakar, merupakan sebuah tradisi—karena ghirah dan demi menjaga kehormatan—mereka tidak mau menjelaskan pekerjaan para wanita mereka walaupun sekedar ucapan. Sehingga dapat kita saksikan bahwa sebagian masyarakat ketika memanggil atau mengucapkan sesuatu kepada istri-istri mereka di hadapan selain keluarga muhrimnya, mereka berbicara dengan menggunakan bentuk kiasan seperti: “Ibunya Hasan”, “Mereka”, “Keluarga” dan lain-lain. Hal semacam ini pun terdapat di dalam ungkapan-ungkapan al-Quran dengan maksud menjaga kehormatan para wanita mereka dan menghindari untuk menyebutkan nama mereka secara langsung. Sebagaimana budaya Arab, maka dzauq (lisan) al-Quran pun sangat memerhatikan metode semacam ini.

Misalnya: Walaupun sebenarnya perkawinan itu merupakan keinginan bersama antara pemuda dan pemudi, namun al-Quran—ketika menasihati orang-orang yang memperoleh kesulitan materi sehingga tidak dapat menikah—menujukan ucapannya kepada para pemuda. Allah Swt berfirman: "Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya."[9]

Padahal banyak ditemukan anak-anak perempuan yang tidak berumah tangga dikarenakan tidak adanya kemampuan (dari sisi finansial), namun al-Quran menggunakan lafaz mudzakkar. Hal itu dilakukan untuk menjaga kehormatan pribadi para pemudi.

3-1. Sifat fanatik yang mendominasi kalangan lelaki (khususnya pada masa itu) terhadap jenis kelaminnya sebegitu kuat dari sejak dulu dan bahkan hingga sekarang, sehingga jika di tengah-tengah perkumpulan antara laki-laki dan perempuan ucapan ditujukan kepada kaum perempuan, maka kaum lelaki menganggap bahwa mereka tidak termasuk dalam ucapan tersebut. Namun ketika ucapan ditujukan kepada golongan pria, maka ucapan itu mencakup golongan wanita pula, dan mereka sendiri mengakui bahwa hal itu mencakup diri mereka! (Hal ini dapat Anda kaji dalam ilmu pengetahuan yang membahas tentang tingkah laku perempuan). Misalnya, ketika ucapan ditujukan pada sebuah masyarakat yang tenggelam pada alam dunia dan materi yang ungkapan-ungkapan mereka menyebabkan orang menjadi heran, maka ucapan-ucapan tersebut ditujukan kepada laki-laki dan bukan kepada perempuan. Padahal keinginan duniawi itu ada pada kedua pribadi. Bahkan bisa jadi sifat materialisme dalam diri para wanita itu lebih dominan. Hal itu disebabkan jika digunakan dengan lafaz-lafaz yang sesuai pada wanita, maka kaum lelaki menganggap diri mereka terjauhkan dari celaan-celaan! Di antaranya firman Allah dalam al-Quran ayat 204-206 surah al-Baqarah. Allah berfirman: “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu,…”

Atau ketika al-Quran ingin mencela perbuatan keji seperti membunuh anak kandungnya sendiri disebabkan takut hidup miskin, hal tersebut ditujukan kepada kaum pria.[10] Tentunya selain hikmah dan sebab budaya, terdapat sebab-sebab lain yang mendominasi peradaban kelaki-lakian al-Quran.

  1. Adanya hukum-hukum khusus berkaitan dengan kaum pria menuntut bahwa hanya dengan menggunakan lafaz-lafaz yang sifatnya mudzakkar sehingga sama sekali tidak mencakup wanita. Misalnya perintah-perintah khusus untuk kaum pria dalam tata cara membina keluarga[11] dan hukum-hukum yang berkaitan dengan talak yang dilakukan oleh laki-laki[12] dan hukum-hukum jihad yang khusus untuk kaum pria.[13]
  2. Topik dan kepribadian laki-laki banyak dibahas di dalam sebagian besar ayat al-Quran.[14] Tentunya di tempat yang dicantumkan nama peran perempuan tetap digunakan dengan memakai lafaz-lafaz perempuan (mu’annats) seperti peristiwa yang terjadi berkaitan dengan Sayidah Maryam as.[15] Sebagian besar dari ayat-ayat membahas khusus tentang para nabi as dan mereka juga dari kalangan laki-laki, seperti yang tercantum dalam beberapa surah seperti al-Najm (53): 3-4; al-Shaff: 6; al-Isra (17): 101; Saba (34): 10. Begitu juga dengan raja-raja yang kafir dari kalangan lelaki seperti Firaun, Namrud, Ashabul Fil dan lain-lain, atau ayat yang turun berkenaan dengan para tokoh dan pribadi-pribadi yang telah meninggal dan dengan tujuan menjaga keserasian ayat dengan sebab-sebab turunnya ayat, maka itu semua menggunakan lafaz-lafaz mudzakkar. Misalnya seperti ayat wilayah yang turun berkaitan dengan pemberian cincin yang dilakukan oleh Imam Ali bin Abi Thalib as. Allah Swt berfirman:"Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan salat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk (kepada Allah).”[16]
  3. Dalam sebagian besar ayat al-Quran walaupun kata ganti dan lafaz-lafaznya “mudzakkar” atau bahkan “muannats”, namun terkadang ucapan itu ditujukan kepada masyarakat dan lafaz itu tidak memiliki jenis kelamin. Hal ini persis seperti kata ganti mudzakkar yang dipakai pada Allah Swt tanpa harus dipahami bahwa Zat Yang Mahasuci adalah mudzakkar seperti contoh:

- Perintah al-Quran adalah bahwa tiada seorang pun yang berhak mengikuti para tokoh atau akidah-akidah tertentu dengan mata dan telinga tertutup dan tanpa ilmu pengetahuan tentangnya baik laki-laki atau pun perempuan! Namun ketika menyampaikannya dengan menggunakan lafaz mudzakkar tanpa ada jenis mudzakkar-nya, Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya…”[17]

- Begitu pula dalam beberapa ayat (manusia) telah diperintahkan untuk menimbang pada tanda-tanda (ciptaan) Allah Swt.[18]

- Dan dalam beberapa ayat (kita) diharuskan mengambil sebuah pondasi prinsip akidah yang benar dan memilih perantara untuk sampai pada Allah Swt.[19]

- Begitu pula dalam beberapa ayat yang menjelaskan tentang siksaan orang-orang ahli neraka tidak melihat pada jenis laki-laki ataupun perempuan.[20]

- Dan akhirnya dalam sebagian besar dari ayat-ayat al-Quran yang menyinggung tentang kematian, perhitungan (hisab) amal perbuatan, para malaikat, kenikmatan-kenikmatan, para penduduk surga, para penduduk neraka dan lain-lain sama sekali tidak dibatasi dengan jenis kelamin. Dengan ungkapan lain bahwa lafaz mudzakkar atau muannats sudah tidak lagi memiliki pemahaman laki ataupun perempuan, tetapi mencakup keduanya. (Sebagaimana yang kita ungkapkan dengan lafaz masyarakat), seperti pada ayat-ayat dalam beberapa surah al-Quran: al-Infithar (82): 19-12; al-An’am (6): 61; as-Sajdah (32): 11; al-Zumar (39): 42; al-Nahl (16): 50; Ali Imran (3): 133; Al-Thalaq (65): 2.

  1. Karena kaum lelaki memiliki pertanggungjawaban keluarga, sosial, ekonomi, koordinasi dan lain sebagainya, karena itu ucapan ditujukan kepada mereka; seperti: “Hai orang- orang (kaum lelaki) yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”[21]

Poin yang perlu diperhatikan adalah sebuah pertanyaan: mengapa pada ayat-ayat yang disebutkan di dalamnya para lelaki (kata ganti mudzakkar) dan tidak disebutkan batasan jenis kelamin dan sifatnya umum, disebutkan pula kaum perempuan (kata ganti muannats) di sisi kaum laki-laki (kata ganti mudzakkar)? Berkaitan dengan pertanyaan tersebut akan kami jawab pada poin keenam.

  1. Pengulangan nama perempuan di sisi lelaki—pada tempat yang lafaz mudzakkar mencakup keduanya—dapat menyebabkan perpanjangan kata atau ucapan dan dapat merusak kefasihan dan seni bahasa al-Quran.

Penjelasannya adalah bahwa:

Pada sebagian besar ayat al-Quran telah disinggung pula nama-nama perempuan di sisi laki-laki, misalnya seperti ayat: "Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki- laki dan perempuan yang mukmin,…” (Qs. Al-Ahzab [33]:35)

Atau ayat: “Bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita pun ada bahagian dari apa yang mereka usahakan,…” (Qs. Al-Nisa [4]:32)

 

Nah, sekarang jika mesti terjadi dan dibahas pengulangan berkali-kali pada ayat-ayat lain dari sisi ini antara “perempuan-lelaki”, “lelaki-perempuan”, lelaki mukmin-perempuan mukminah demi tujuan keindahan atau pengetahuan kata dan hiasan-hiasan bahasa, maka hal ini sangat merusak kefasihannya dan dengan memperpanjang cara bicara dapat membuka ruang untuk mencela al-Quran.

Di akhir pembahasan ada satu poin yang kami anggap penting untuk diketahui, yaitu jika dibayangkan bahwa pengulangan-pengulangan yang banyak dari nama perempuan akan melazimkan sebuah penghormatan kepada kepribadian mereka dan ketiadaan pengulangan akan menyebabkan penghinaan, maka harus kita beritahu bahwa cara pengambilan sikap al-Quran tentang perempuan adalah merujuk pada ayat-ayat yang menjelaskan kedudukan perempuan dan juga menjelaskan kepentingannya dalam keluarga dan masyarakat dan peran teladan yang mereka miliki. Ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut:

Surah ar-Rum (30): 21; al-Baqarah (2): 228; Ali Imran (3): 36; al-Tahrim (66): 10-11; al-Hujuraat (39): 13; al-Baqarah (2): 187, dan jangan kita lupakan bahwa tolok ukur keutamaan adalah sifat “takwa” bukan pada kelaki-lakian (mudzakkar) atau keperempuanan (muannats).[]

 

[1]. Qs. Fathir (35): 15.

[2]. Qs. al-Nahl (16): 97.

[3]. Qs. Ali Imran (3): 5.

[4]. Qs. al-Tin (95): 4.

[5].  Abdullah Jawadi Amuli, Tausiyeh hâ va pursesh hâ, Penerbit Maarif, hal. 22.

[6]. Qs. Al-Baqarah (2): 128.

[7]. Qs. Yusuf (12): 2; Qs. Fushshilat (41): 3; Qs. al-Zumar (39): 28; Qs. as-Syu’ara (42): 193-195.

[8]. Qs. al-Ahzab (33): 33.

[9]. Qs. al-Nur (24): 33.

[10]. Qs. al-Isra (17): 31.

[11]. Qs. al-Nisa (4): 19.

[12]. Qs. al-Nisa (4): 20-21.

[13]. Qs. at-Taubah (9): 122.

[14]. Qs. an-Naml (27): 40.

[15]. Qs. at-Tahrim (66): 10.

[16]. Qs. al-Maidah (5): 55.

[17]. Qs. al-Isra (17): 36.

[18]. Qs. al-Qashash (28): 71; Qs. al-A’raf (7): 29.

[19]. Qs. al-Maidah (5): 35; Qs. Ali Imran (3): 85; Qs. Fushshilat (41): 30.

[20]. Qs. an-Nisa (4): 56.

[21]. Qs. al-Tahrim (66): 6.