
کمالوندی
Syeikh Jamaluddin Hasan bin Yusuf bin Mutahhar al-Hili
Syeikh Jamaluddin Hasan bin Yusuf bin Mutahhar al-Hili, yang dikenal dengan Allamah Hilli adalah seorang ahli hukum (faqih) dan teolog Syiah pada abad kedelapan Hijriyah. Ia telah menulis lebih dari 120 buku di berbagai bidang ilmu agama dan beberapa karyanya menjadi buku diktat hauzah ilmiah.
Allamah Hilli termasuk salah satu orang jenius pada masanya dan selalu berusaha menjelaskan akidah Syiah berdasarkan prinsip-prinsip rasional. Dia memainkan peran penting dalam menyebarkan mazhab Syiah dan mempromosikan ajaran Ahlul Bait as. Dia dianggap sebagai pelestari mazhab Syiah.
Dia telah mendidik 500 mujtahid dan ilmuwan, melakukan sejumlah debat ilmiah dengan para ulama Sunni, menulis banyak buku untuk menjelaskan prinsip-prinsip akidah Syiah, dan menjawab sanggahan orang-orang di luar Syiah dengan argumentasi yang logis.
Allamah Hilli lahir pada malam 29 Ramadhan tahun 648 H di tengah keluarga yang agamis. Ibunya berasal dari keluarga terpelajar dan terpandang serta saudara perempuan dari Muhaqqiq al-Hilli, sementara ayahnya adalah seorang ilmuwan dan faqih di kota al-Hillah, Irak. Allamah Hilli menghabiskan masa kecilnya di bawah asuhan kedua orang tuanya dan di bawah pengawasan ulama yang juga pamannya, Muhaqqiq al-Hilli.
Dalam tempo singkat, ia mulai belajar dari para guru besar berkat kecerdasan dan ketekunannya. Dia mempelajari berbagai ilmu yang berkembang pada masa itu dari para guru besar dan telah menguasai banyak disiplin ilmu pengetahuan di masa mudanya.
Masa kecil Jamaluddin Hasan jatuh bersamaan dengan invasi brutal Mongol ke wilayah Islam. Iran dilanda api perang Mongol, sementara masyarakat Irak terpaksa meninggalkan kota-kota dan melarikan diri ke padang pasir karena takut serangan Mongol. Masyarakat Syiah Irak, Najaf, dan Kazimain berlindung di kompleks makam suci para imam maksum.
Akibat serangan ini, kota Baghdad yang merupakan pusat kebudayaan Islam dan keilmuan Syiah telah hancur. Tentu saja para ulama tidak tinggal diam dalam menghadapi bahaya yang dihadapi oleh kaum Muslim. Kalangan ulama bekerja keras untuk menghentikan pertumpahan darah dan bernegosiasi dengan para komandan dan penguasa Mongol.
Berkat upaya dan kearifan para fuqaha Syiah, termasuk ayah dari Allamah Hilli yaitu Syeikh Yusuf bin Mutahhar, keamanan kembali pulih di kota-kota dan secara perlahan kota al-Hillah berubah menjadi tempat berlindung bagi para ulama dan ilmuwan.
Masa kecil Allamah Hilli diwarnai dengan peristiwa sulit seperti itu, tetapi kondisi ini tidak menghalanginya untuk menimba ilmu. Dia mulai belajar mengaji dan mempelajari ilmu-ilmu dasar dari ayah serta pamannya, Muhaqqiq al-Hilli. Dia kemudian diterima oleh para guru besar terutama Khajeh Nashiruddin Thusi, untuk mempelajari ilmu fikih, teologi, logika, dan filsafat.
Allamah Hilli mencapai derajat ijtihad sebelum menginjak usia baligh. Ini semua karena kecerdasan dan ketekunannya dalam mempelajari ilmu dan memperdalam spiritualitas. Ia juga mendapatkan banyak keutamaan sehingga orang-orang di lingkungannya memanggilnya "Jamaluddin" yang berarti keindahan agama.
Pada usia 28 tahun, Allamah Hilli dipercaya untuk menjadi pemimpin mazhab Syiah Imamiyah, padahal waktu itu 400 mujtahid tinggal di kota al-Hillah. Hal ini menunjukkan betapa tinggi posisi dan kedudukan intelektual Allamah Hilli. Secara perlahan, kepintaran dan keutamaan Allamah Hilli mulai dikenal di dunia Islam. Sultan Mohammad Khodabandeh dari penguasa Dinasti Ilkhanat, yang dikenal baik dan sangat menghormati ulama, mengundang Allamah Hilli untuk datang ke Iran.
Sultan Mohammad memiliki ibu Kristen dan ia sendiri memeluk agama Budha, tetapi akhirnya masuk Islam selama pergaulannya dengan Muslim dan memilih mazhab Syafi'i. Pasca kedatangan Allamah Hilli di Iran, Sultan Mohammad sangat tertarik pada ilmu dan seni. Dia menyelenggarakan beberapa sesi debat untuk bertukar pandangan dan kritik di antara para ulama.
Di salah satu sesi debat ini, Allamah Hilli tampil di hadapan ulama dari mazhab-mazhab lain dan membuktikan kebenaran imamah Imam Ali as dan mazhab Syiah, di mana para ulama lain tidak mampu menyanggahnya. Perdebatan ini menyebabkan Sultan Mohammad Khodabandeh pindah ke mazhab Syiah.
Keputusan Sultan merupakan sebuah peristiwa penting dalam sejarah Syiah, karena pada masa pemerintahannya, Syiah menjadi mazhab resmi di seluruh Iran untuk pertama kalinya, dan dia adalah Sultan pertama yang menyebarkan Syiah Imamiyah secara besar-besaran. Selama periode ini, para ulama Syiah menemukan kesempatan emas untuk menyebarkan ajaran Ahlul Bait as.
Allamah Hilli melakukan banyak upaya untuk mendekatkan mazhab-mazhab Islam. Kebesaran jiwanya menyebabkan diskusi tentang perbedaan mazhab selalu berlangsung dalam suasana damai dan hangat. Di madrasah-madrasah yang didirikannya, para ulama dari berbagai mazhab mengajar secara berdampingan meskipun ada perbedaan pandangan dari segi akidah.
Meskipun Allamah Hilli secara tegas dan terbuka membela akidah Syiah, ia tetap memperoleh pujian dari para ulama mazhab lain. Misalnya, Ibnu Hajar al-'Asqalani, salah satu ulama Syafi'i dan hadits, menyebut Allamah Hilli sebagai tanda kebenaran dalam kecerdasan dan memuji sikap baiknya terhadap Ibnu Taimiyah, salah satu ulama garis keras Sunni.
Ibnu Taimiyah adalah seorang yang memiliki pemikiran ekstrem dan takfiri. Banyak ulama Islam baik Syiah maupun Sunni, menganggap akidahnya sesat dan ia sendiri telah keluar dari agama. Allamah Hilli menulis buku Minhaj al-Karamah untuk membuktikan kepemimpinan Ahlul Bait as, dan Ibnu Taimiyah juga menulis buku sanggahannya atas dasar sikap keras kepala.
Ketika Allamah Hilli melihat buku Ibnu Taimiyah, yang penuh dengan sikap tidak sopan dan cacian, ia melantunkan sebuah puisi dan mengirimkannya kepada Ibnu Taimiyah. Allamah Hilli berkata, "Jika engkau tahu apa yang diketahui oleh orang lain, engkau akan bersahabat dengan ilmuwan, tetapi engkau menjadikan kebodohan sebagai gayamu dan engkau berkata, 'Siapa pun yang bergerak melawan hawa nafsuku, ia bukanlah ilmuwan!'"
Perlu diketahui bahwa pemikiran ekstrem dan eklektik Ibnu Taimiyah yang diprotes oleh ulama Sunni dan Syiah, kemudian disebarkan oleh Muhammad ibn Abdul Wahab, pendiri sekte Wahabi. Saat ini pemikiran takfiri dari beberapa kelompok teroris seperti Daesh, bersumber dari sekte Wahabi.
Allamah Hilli, terlepas dari semua kerja kerasnya di bidang budaya, mengajar dan menulis buku-buku berharga, tidak lupa mendekatkan diri kepada Allah Swt dan meningkatkan derajat spiritualnya. Dia dianggap sebagai orang yang paling zuhud dan bertakwa, dia memerintahkan semua shalat dan puasanya dilakukan ulang setelah wafatnya meskipun ia tidak pernah meninggalkan shalat dan puasa. Meskipun telah menunaikan haji, dia mewasiatkan seseorang untuk menunaikan haji atas namanya.
Ulama besar Syiah ini dengan meneladani Imam Ali as, telah membuka banyak kebun, membuat saluran air dengan tangannya, dan kemudian mewakafkan itu semua kepada masyarakat. Tidak ada seorang pun yang meragukan kecintaannya kepada Rasulullah Saw dan Ahlul Bait. Ia selalu mewasiatkan orang lain untuk mencintai Ahlul Bait dan menerima kepemimpinan mereka.
Allamah Hilli berkata, "Bukti terbesar kecintaan kepada Ahlul Bait adalah menaati dan menerima kekhalifahan dan kepemimpinan mereka serta bangkit dengan cara yang telah ditetapkan oleh mereka… Saya mewasiatkan kecintaan dan kasih sayang kepada putra-putri Fatimah az-Zahra as, karena mereka adalah pemberi syafaat kita pada hari ketika harta dan anak-anak tidak akan bermanfaat bagi kita… Ya Allah! Bangkitkanlah kami atas kecintaan kepada Ahlul Bait dan jadikan kami termasuk orang-orang yang telah menunaikan hak kakek mereka, Rasulullah dan keturunannya."
Sepeninggal Sultan Mohammad Khodabandeh, Allamah Hilli kembali ke kampung halamannya di Hillah. Di sana, ia melanjutkan studi, mengajar, dan menulis buku-buku hingga akhir hayatnya. Ulama besar ini meninggal dunia pada bulan Muharram tahun 726 H di kota Hillah. Ia dimakamkan di kota Najaf di dekat makam Imam Ali as.
Muhammad ibn Makki
Kali ini, kita akan berkenalan dengan salah satu ulama besar di bidang fikih dan hadis teologi Syiah. Dia adalah tokoh besar dari wilayah Jabal ‘Amil, Lebanon, yang menjadi tempat rujukan dan pengibar panji-panji syariat.
Muhammad ibn Makki yang dijuluki Syamsuddin, adalah salah satu ulama abad kedelapan Hijriyah. Ia dikenal sebagai Syahid Awwal atau Syeikh Syahid karena gugur dibunuh oleh para pendendam. Muhammad ibn Makki lahir pada tahun 734 H di Jabal ‘Amil. Ini adalah daerah pegunungan yang indah di Lebanon, dan meski ukurannya kecil, ia menjadi tanah kelahiran bagi banyak ulama.
Konon, lebih dari 70 mujtahid pernah hadir dalam sebuah acara di Jabal ‘Amil dalam waktu bersamaan. Hal ini menunjukkan banyaknya jumlah ulama Syiah yang bermukim di Jabal ‘Amil waktu itu.
Muhammad ibn Makki lahir di bumi para ulama dan di tengah keluarga, di mana para anggotanya merupakan ulama dan pecinta ilmu. Dia menetap di tanah kelahirannya sampai usia 16 tahun. Ia belajar pendidikan dasar dan lanjutan dari ayahnya serta para ulama Jabal ‘Amil. Dia kemudian hijrah ke kota al-Hillah, Irak untuk melanjutkan studinya kepada para ulama besar, dan hanya satu tahun setelah tinggal di Hillah, Muhammad ibn Makki berhasil memperoleh gelar ijtihad pada usia 17 tahun.
Dia menetap di Hillah selama 5 tahun. Selama di sana, ketekunan dan kecerdasannya dipuji oleh para guru besar kota tersebut, seperti Fakhrul Muhaqiqin Hilli, putra Allamah Hilli. Sampai-sampai Fakhrul Muhaqiqin menyebut Syahid Awwal yang masih berusia 17 tahun, sebagai imam (pemimpin), allamah besar, ilmuwan dunia yang paling mulia.
Ilustrasi pelajar agama di Hauzah Ilmiah.
Syahid Awwal kembali ke kampung halamannya di Jazzin, Jabal ‘Amil pada usia 21 tahun dan dalam tempo singkat, ia mendirikan hauzah ilmiah besar dan berhasil mendidik banyak pelajar. Selain mengajar dan menulis banyak buku, ia juga menjawab persoalan seputar agama, akidah, dan masalah sosial masyarakat.
Selain ulama andalan mazhab Syiah, Muhammad ibn Makki juga menguasai literatur-literatur mazhab Sunni sedemikian rupa sehingga orang-orang Sunni juga merujuk kepadanya dalam urusan ibadah dan persoalan agama mereka. Ulama besar ini mengeluarkan fatwa sesuai dengan mazhab mereka dan memecahkan persoalan mereka.
Sebagian orang menganggap Syahid Awwal sebagai ulama Syafi’i, karena ia sangat menguasai literatur mazhab Sunni dan mengeluarkan fatwa-fatwa agama sesuai dengan mazhab Sunni.
Syahid Awwal melakukan perjalanan ke banyak daerah, termasuk Damaskus, Mesir, Palestina, Mekah, dan Madinah, untuk bertemu para ulama besar dan memperoleh ilmu dari mereka. Kota-kota inilah yang menjadi pusat rujukan ilmu pengetahuan Dunia Islam saat itu.
Tokoh hebat ini juga menulis banyak karya yang berpengaruh besar. Buku “Dzikra al-Syiah fi Ahkam al-Syari 'ah” merupakan salah satu karyanya tentang hukum bersuci dan shalat yang diterbitkan di Iran pada tahun 1271 H. Karya lain dari ulama besar ini adalah “al-Durus al-Syar'iyah fi Fiqh al-Imamiyah” yang memuat banyak tema-tema yurisprudensi. Sayangnya, ia gugur syahid sebelum menyelesaikan penulisan buku penting ini.
Syahid Awwal memiliki banyak buku lain tentang tema haji, puasa, shalat, serta tentang masalah teologis dan prinsip-prinsip akidah. Para ulama lain telah menuliskan syarah untuk buku-buku tersebut karena tema-temanya yang penting. Dia juga menulis risalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan umat.
Karya yang paling terkenal dari Syahid Awwal adalah kitab “al-Lum'ah al-Dimasyqiyah” yang memuat pelajaran fikih seputar hukum-hukum praktis Islam. Mengenai alasan penulisan buku ini, ia berkata, “Saya menulis buku ini untuk memenuhi permintaan seseorang yang taat beragama.”
Pada tahun 766 H, Sultan Ali bin Mu'ayyid memimpin pemerintahan Sarbadar di Khurasan. Dia adalah penguasa Syiah, dan menaruh ketertarikan besar pada Syahid Awwal dan berulang kali mengundangnya ke Khurasan untuk membimbing masyarakat. Karena beberapa alasan, Syahid Awwal tidak dapat memenuhi undangan itu. Sebagai gantinya, ia menulis dan mengirimkan kepadanya sebuah buku, “al-Lum'ah al-Dimasyqiyah.”
Syahid Awwal juga memainkan peran efektif dalam membimbing umat Islam dan menjadi pelindung mazhab Syiah. Ia tidak diam menghadapi bid'ah dan penyimpangan serta berusaha menjaga kebenaran agama hingga akhir hayatnya.
Sebagai contoh, di masa hidup Syahid Awwal, seseorang bernama Mohammad Yalushi – awalnya salah satu murid dari ulama besar ini – terjebak dalam godaan hawa nafsu dan mengaku dirinya sebagai nabi. Ia mulai menyesatkan masyarakat dari agama dan ketika fitnahnya semakin menjadi-jadi, Syahid Awwal mengeluarkan fatwa eksekusi terhadap Yaloushi dan mendorong pemerintah Damaskus untuk melawan Yalushi.
Akhirnya pecah perang, Yalushi dan sekelompok pengikutnya terbunuh. Akar fitnah dan penyimpangan telah punah, tetapi para pendendam dari sekte Yalushi menunggu kesempatan untuk membalas dendam. Dengan memfitnah dan mencela Syahid Awwal, mereka memaksa 70 anggota sebuah suku yang membencinya, untuk bersaksi di hadapan hakim bahwa akidah Syahid Awwal telah menyimpang.
Fitnah ini menyebabkan Syahid Awwal dijebloskan ke penjara selama setahun di Benteng Damaskus. Dia menolak tuduhan tersebut, tetapi para pendendam dan penghasut terus berusaha untuk menyingkirkan ulama besar ini. Mereka berhasil memprovokasi masyarakat yang tidak mengenalnya, untuk memberikan kesaksian yang memberatkan Syahid Awwal. Mereka pun bersaksi di hadapan hakim.
Di sisi lain, para pendukung Syahid Awwal sangat khawatir dan memprotes penahanan mujahid besar ini. Hakim Damaskus pun ingin mengakhiri perkara ini secepat mungkin. Dia menggelar sidang dan menjatuhkan vonis eksekusi terhadap Syahid Awwal, meskipun ia menolak semua tuduhan dan fitnah. Dengan demikian, Muhammad ibn Makki dipenggal dengan pedang pada 9 Jumadil Awal tahun 786 H pada usia 52 tahun di Benteng Damaskus.
Namun, para penghasut tetap tidak puas dan melempari batu jasad ulama ini setelah dieksekusi, kemudian mereka membakarnya. Tindakan tidak manusiawi ini dilakukan oleh mereka yang mengaku dirinya Muslim. Dengan fitnah dan hasutan, mereka menuduh ulama terbesar pada masa itu telah keluar dari agama Rasulullah Saw.
Syahid Awwal bukanlah ulama Syiah pertama yang menjadi martir. Alasan penamaannya sebagai Syahid Awwal lantaran ia merupakan salah satu tokoh ulama terkemuka dan belum pernah ada kejadian seperti itu sebelumnya, di mana seorang ulama dibunuh dengan cara yang paling tragis.
Syahid Awwal meninggalkan empat orang anak, semuanya adalah tokoh dan ulama serta penerus jalan ayahnya. Ketiga putranya merupakan ulama hadis dan faqih terkenal pada masanya. Istri dan putri satu-satunya adalah wanita salehah dan alim, yang menjadi tempat rujukan wanita Muslim untuk belajar agama. Syahid Awwal juga telah mendidik banyak murid yang kelak menjadi ulama besar.
Kali ini, kita akan berkenalan dengan salah satu ulama besar di bidang fikih dan hadis teologi Syiah. Dia adalah tokoh besar dari wilayah Jabal ‘Amil, Lebanon, yang menjadi tempat rujukan dan pengibar panji-panji syariat.
Muhammad ibn Makki yang dijuluki Syamsuddin, adalah salah satu ulama abad kedelapan Hijriyah. Ia dikenal sebagai Syahid Awwal atau Syeikh Syahid karena gugur dibunuh oleh para pendendam. Muhammad ibn Makki lahir pada tahun 734 H di Jabal ‘Amil. Ini adalah daerah pegunungan yang indah di Lebanon, dan meski ukurannya kecil, ia menjadi tanah kelahiran bagi banyak ulama.
Konon, lebih dari 70 mujtahid pernah hadir dalam sebuah acara di Jabal ‘Amil dalam waktu bersamaan. Hal ini menunjukkan banyaknya jumlah ulama Syiah yang bermukim di Jabal ‘Amil waktu itu.
Muhammad ibn Makki lahir di bumi para ulama dan di tengah keluarga, di mana para anggotanya merupakan ulama dan pecinta ilmu. Dia menetap di tanah kelahirannya sampai usia 16 tahun. Ia belajar pendidikan dasar dan lanjutan dari ayahnya serta para ulama Jabal ‘Amil. Dia kemudian hijrah ke kota al-Hillah, Irak untuk melanjutkan studinya kepada para ulama besar, dan hanya satu tahun setelah tinggal di Hillah, Muhammad ibn Makki berhasil memperoleh gelar ijtihad pada usia 17 tahun.
Dia menetap di Hillah selama 5 tahun. Selama di sana, ketekunan dan kecerdasannya dipuji oleh para guru besar kota tersebut, seperti Fakhrul Muhaqiqin Hilli, putra Allamah Hilli. Sampai-sampai Fakhrul Muhaqiqin menyebut Syahid Awwal yang masih berusia 17 tahun, sebagai imam (pemimpin), allamah besar, ilmuwan dunia yang paling mulia.
Ilustrasi pelajar agama di Hauzah Ilmiah.
Syahid Awwal kembali ke kampung halamannya di Jazzin, Jabal ‘Amil pada usia 21 tahun dan dalam tempo singkat, ia mendirikan hauzah ilmiah besar dan berhasil mendidik banyak pelajar. Selain mengajar dan menulis banyak buku, ia juga menjawab persoalan seputar agama, akidah, dan masalah sosial masyarakat.
Selain ulama andalan mazhab Syiah, Muhammad ibn Makki juga menguasai literatur-literatur mazhab Sunni sedemikian rupa sehingga orang-orang Sunni juga merujuk kepadanya dalam urusan ibadah dan persoalan agama mereka. Ulama besar ini mengeluarkan fatwa sesuai dengan mazhab mereka dan memecahkan persoalan mereka.
Sebagian orang menganggap Syahid Awwal sebagai ulama Syafi’i, karena ia sangat menguasai literatur mazhab Sunni dan mengeluarkan fatwa-fatwa agama sesuai dengan mazhab Sunni.
Syahid Awwal melakukan perjalanan ke banyak daerah, termasuk Damaskus, Mesir, Palestina, Mekah, dan Madinah, untuk bertemu para ulama besar dan memperoleh ilmu dari mereka. Kota-kota inilah yang menjadi pusat rujukan ilmu pengetahuan Dunia Islam saat itu.
Tokoh hebat ini juga menulis banyak karya yang berpengaruh besar. Buku “Dzikra al-Syiah fi Ahkam al-Syari 'ah” merupakan salah satu karyanya tentang hukum bersuci dan shalat yang diterbitkan di Iran pada tahun 1271 H. Karya lain dari ulama besar ini adalah “al-Durus al-Syar'iyah fi Fiqh al-Imamiyah” yang memuat banyak tema-tema yurisprudensi. Sayangnya, ia gugur syahid sebelum menyelesaikan penulisan buku penting ini.
Syahid Awwal memiliki banyak buku lain tentang tema haji, puasa, shalat, serta tentang masalah teologis dan prinsip-prinsip akidah. Para ulama lain telah menuliskan syarah untuk buku-buku tersebut karena tema-temanya yang penting. Dia juga menulis risalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan umat.
Karya yang paling terkenal dari Syahid Awwal adalah kitab “al-Lum'ah al-Dimasyqiyah” yang memuat pelajaran fikih seputar hukum-hukum praktis Islam. Mengenai alasan penulisan buku ini, ia berkata, “Saya menulis buku ini untuk memenuhi permintaan seseorang yang taat beragama.”
Pada tahun 766 H, Sultan Ali bin Mu'ayyid memimpin pemerintahan Sarbadar di Khurasan. Dia adalah penguasa Syiah, dan menaruh ketertarikan besar pada Syahid Awwal dan berulang kali mengundangnya ke Khurasan untuk membimbing masyarakat. Karena beberapa alasan, Syahid Awwal tidak dapat memenuhi undangan itu. Sebagai gantinya, ia menulis dan mengirimkan kepadanya sebuah buku, “al-Lum'ah al-Dimasyqiyah.”
Syahid Awwal juga memainkan peran efektif dalam membimbing umat Islam dan menjadi pelindung mazhab Syiah. Ia tidak diam menghadapi bid'ah dan penyimpangan serta berusaha menjaga kebenaran agama hingga akhir hayatnya.
Sebagai contoh, di masa hidup Syahid Awwal, seseorang bernama Mohammad Yalushi – awalnya salah satu murid dari ulama besar ini – terjebak dalam godaan hawa nafsu dan mengaku dirinya sebagai nabi. Ia mulai menyesatkan masyarakat dari agama dan ketika fitnahnya semakin menjadi-jadi, Syahid Awwal mengeluarkan fatwa eksekusi terhadap Yaloushi dan mendorong pemerintah Damaskus untuk melawan Yalushi.
Akhirnya pecah perang, Yalushi dan sekelompok pengikutnya terbunuh. Akar fitnah dan penyimpangan telah punah, tetapi para pendendam dari sekte Yalushi menunggu kesempatan untuk membalas dendam. Dengan memfitnah dan mencela Syahid Awwal, mereka memaksa 70 anggota sebuah suku yang membencinya, untuk bersaksi di hadapan hakim bahwa akidah Syahid Awwal telah menyimpang.
Fitnah ini menyebabkan Syahid Awwal dijebloskan ke penjara selama setahun di Benteng Damaskus. Dia menolak tuduhan tersebut, tetapi para pendendam dan penghasut terus berusaha untuk menyingkirkan ulama besar ini. Mereka berhasil memprovokasi masyarakat yang tidak mengenalnya, untuk memberikan kesaksian yang memberatkan Syahid Awwal. Mereka pun bersaksi di hadapan hakim.
Di sisi lain, para pendukung Syahid Awwal sangat khawatir dan memprotes penahanan mujahid besar ini. Hakim Damaskus pun ingin mengakhiri perkara ini secepat mungkin. Dia menggelar sidang dan menjatuhkan vonis eksekusi terhadap Syahid Awwal, meskipun ia menolak semua tuduhan dan fitnah. Dengan demikian, Muhammad ibn Makki dipenggal dengan pedang pada 9 Jumadil Awal tahun 786 H pada usia 52 tahun di Benteng Damaskus.
Namun, para penghasut tetap tidak puas dan melempari batu jasad ulama ini setelah dieksekusi, kemudian mereka membakarnya. Tindakan tidak manusiawi ini dilakukan oleh mereka yang mengaku dirinya Muslim. Dengan fitnah dan hasutan, mereka menuduh ulama terbesar pada masa itu telah keluar dari agama Rasulullah Saw.
Syahid Awwal bukanlah ulama Syiah pertama yang menjadi martir. Alasan penamaannya sebagai Syahid Awwal lantaran ia merupakan salah satu tokoh ulama terkemuka dan belum pernah ada kejadian seperti itu sebelumnya, di mana seorang ulama dibunuh dengan cara yang paling tragis.
Syahid Awwal meninggalkan empat orang anak, semuanya adalah tokoh dan ulama serta penerus jalan ayahnya. Ketiga putranya merupakan ulama hadis dan faqih terkenal pada masanya. Istri dan putri satu-satunya adalah wanita salehah dan alim, yang menjadi tempat rujukan wanita Muslim untuk belajar agama. Syahid Awwal juga telah mendidik banyak murid yang kelak menjadi ulama besar.
Allamah Sayid Haidar Amoli.
Allamah Sayid Haidar Amoli Amuli adalah seorang arif besar Syiah, mufasir al-Quran, pakar hadis, dan faqih terkenal yang hidup pada abad kedelapan Hijriyah. Dia adalah salah satu faqih dan teolog pertama yang membangun ikatan yang dalam antara Syiah dan Sufisme.
Ulama dan arif besar ini, terlepas dari semua kapasitas dan pengaruhnya di bidang irfan Syiah, tetapi ia tidak begitu dikenal oleh masyarakat umum dan bahkan oleh para pemikir. Namun, Henry Corbin, seorang filsuf Muslim Prancis, dan Profesor Osman Yahya – keduanya merupakan dosen di Universitas Sorbonne Prancis – telah menerbitkan sejumlah karya milik Allamah Sayid Haidar Amoli selama beberapa dekade terakhir. Langkah ini membuat komunitas ilmiah dan akademis dunia mengenal pemikiran dan kepribadian Sayid Haidar Amoli.
Allamah Sayid Haidar Amoli lahir pada tahun 720 H di kota Amol, Provinsi Mazandaran, Iran. Selama masa mudanya, Sayid Haidar Amoli mempelajari ilmu-ilmu formal pada masanya dengan baik, dan karena ketertarikannya pada ilmu irfan Syiah Imamiyah, dia mulai serius mempelajari dasar-dasar ilmu irfan di samping pendidikan formalnya.
Sayid Haidar Amoli kemudian hijrah ke kota Khurasan dan Isfahan – pusat penting ilmu pengetahuan pada masa itu – untuk menyempurnakan jenjang pendidikannya. Lima tahun kemudian, pada usia 25 tahun ia kembali ke kampung halamannya sebagai seorang alim yang terkenal. Kemasyhuran Sayid Haidar Amoli di bidang ilmu dan akhlak terdengar sampai ke istana penguasa Thabaristan. Raja mengundang ilmuwan muda ini ke istana dan mengangkatnya sebagai menteri.
Masa itu, Sayid Haidar Amoli telah mencapai derajat yang tinggi di bidang ilmu pengetahuan dan akhlak, di samping status sosialnya yang sangat dihormati dan memiliki kehidupan yang sejahtera. Saat sedang di puncak kemapanan dan kesejahteraan, ia menyadari bahwa kehidupan yang seperti itu tidaklah berguna dan sebuah guncangan batin muncul dalam dirinya.
Sayid Haidar Amoli meninggalkan semua yang dimilikinya, termasuk tanah air, jabatan, kekayaan, dan keluarga. Dia hanya membawa bekal seperlunya dan kemudian pergi menziarahi Baitullah, makam suci para imam Ahlul Bait as, dan tempat-tempat suci lainnya di Irak, Palestina, Mekkah, dan Madinah. Inilah awal dari petualangan spiritual dan kehidupan baru Sayid Haidar Amoli.
Sayid Haidar Amoli kembali ke Irak pada usia 30 tahun setelah mengunjungi Baitullah, makam Nabi Saw, dan makam-makam para imam Ahlul Bait as. Di Irak, dia kembali belajar kepada para ulama besar seperti, Fakhr al-Muhaqiqin – putra Allamah Hilli – dan Maulana Nasir al-Din Kashani Hilli, dan mendapat perhatian khusus darinya.
Dia telah menguasai dasar-dasar irfan Islam sejak remaja dan sekarang mulai mempraktikkan dalam kehidupannya dan menjalani tahapan sairus suluk menuju kepada Allah Swt. Pintu ilmu hakikat terbuka baginya satu demi satu karena keikhlasan dan niat yang suci untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan, di samping tekad yang kuat untuk meninggalkan segala sesuatu yang membuatnya melupakan Tuhan.
Sayid Haidar Amoli selain menguasai ilmu fiqih, tafsir, dan pengetahuan Ahlul Bait, juga merupakan seorang pesuluk dan arif. Ulama besar ini yakin bahwa sufisme murni – yang terlepas dari distorsi dan dua kutub ekstrem; ifrath (berlebih-lebihan) dan tafrith (meremehkan) – masih satu paham dengan Syiah murni yaitu sunnah dan sirah Rasulullah Saw dan Ahlul Bait as. Syiah murni adalah sufi, dan sufi yang sejati adalah Syiah, meskipun secara lahiriyah tidak demikian.
Sayid Haidar Amoli menulis sejumlah buku dengan tujuan mengawinkan sufisme dan Syiah. Dia telah melakukan kajian dan penelitian yang luas tentang kedua topik ini. Ketika keyakinannya tentang kedekatan tasawuf dan Syiah tersebar luas, para tokoh Syiah di Irak sangat menentangnya, tetapi Sayid Haidar Amoli berkata kepada mereka, “Saya mengetahui sesuatu yang tidak kalian ketahui dan masih ada yang lebih alim di atas setiap orang alim.”
Irfan adalah salah satu cabang ilmu keislaman yang berbasis pada ajaran al-Quran dan Ahlul Bait. Secara istilah, irfan mengacu pada sebuah pengetahuan khusus yang diperoleh melalui syuhud (penyaksian) meta-indra dan meta-akal. Karena syuhud semacam ini biasanya membutuhkan latihan khusus, maka kegiatan mempraktikkan sairus suluk juga disebut ilmu irfan. Jadi, seorang arif sejati adalah orang yang menjalankan latihan khusus dan memperoleh pengetahuan intuitif dan syuhud tentang Tuhan, sifat-sifat, dan perilaku-Nya.
Sayid Haidar Amoli menentang keras sikap ifrath dan tafrith yang diperlihatkan oleh sebagian sufi, dan ia menjelaskan prinsip-prinsip irfan Islam yang otentik dengan memanfaatkan ajaran Ahlul Bait.
Dia menghubungkan prinsip ilmu irfan dengan wilayah (kepemimpinan), di mana irfan yang menolak kepemimpinan Ahlul Bait Rasulullah berarti bukan irfan dan tasawuf sejati. Sayid Haidar Amoli menganggap jalan hidayah masyarakat akan terjamin dengan berpegang pada syariat dan kepemimpinan Ahlul Bait. Dia secara eksplisit menjelaskan bahwa wilayah adalah inti dari kenabian dan kepemimpinan Ahlul Bait diperlukan untuk mempertahankan eksistensi dan tali penghubung semua makhluk di alam semesta dengan Tuhan.
Sayid Haidar Amoli menulis beberapa buku untuk mencapai tujuan besarnya. Kitab Jami’ al-Asrar merupakan referensi terpenting untuk mengetahui pemikiran Sayid Haidar Amoli tentang ikatan kaum sufi dengan mazhab Syiah Imamiyah. Dalam karyanya ini, ia menjelaskan pendapatnya tentang topik yang sangat penting yaitu “Khatm al-Wilayah” dan mengkritik pemikiran Ibnu Arabi, sufi besar Dunia Islam.
Kajian tentang konsep Khatm al-Wilayah memiliki tempat khusus dalam ilmu irfan Islam. Artinya, dengan berakhirnya periode kenabian, wilayah yang merupakan inti sari dari nubuwah tidak berakhir, tetapi di setiap zaman dan waktu, seorang imam maksum – sebagai khalifah Rasulullah – harus selalu hadir di tengah umat sebagai perantara rahmat Ilahi.
Dengan kata lain, meskipun pintu kenabian dan risalah telah berakhir dengan wafatnya Rasulullah Saw – sebagai nabi terakhir, – namun pintu wilayah dan kepemimpinan Ahlul Bait as masih terbuka.
Sayid Haidar Amoli dalam karya-karyanya menjelaskan bahwa setelah berakhirnya periode kenabian, era kepemimpinan melalui 12 imam maksum dari Ahlul Bait Nabi as telah dimulai. Imam ke-12 yaitu Imam Mahdi as adalah penutup para wali dan tidak ada pintu hidayah, kesempurnaan, dan kebahagiaan kecuali melalui perantaraan Khatam al-Auliya. Inilah salah satu topik penting yang membedakan antara tasawuf dan irfan Syiah dari tasawuf di kalangan Sunni.
Makam Sayid Haidar Amoli di kota Amol, Iran.
Sebagian peneliti meyakini bahwa Ibnu Arabi juga sependapat dengan Sayid Haidar Amoli mengenai masalah tersebut, namun ia menyembunyikan akidahnya karena kondisi sosial dan politik waktu itu, dan tidak mengutarakan pendapatnya secara eksplisit.
Upaya Sayid Haidar Amoli untuk merumuskan prinsip-prinsip ilmu irfan Syiah telah membuahkan hasil, dan pemikiran serta tulisannya terutama buku Jami’ al-Asrar dan Manba’ al-Anwar telah menjadi rujukan yang kredibel bagi mereka yang tertarik dengan irfan Islam dari zaman dulu dan bahkan sampai sekarang.
Dia mampu menjelaskan secara terbuka apa yang tidak disampaikan oleh Ibnu Arabi karena tuntutan kondisi, dan berhasil merangkul banyak ulama Syiah untuk mendukung pandangannya tentang konsep irfan Syiah.
Tidak ada catatan pasti tentang tahun-tahun terakhir dari kehidupan Sayid Haidar Amoli dan waktu wafatnya. Dikatakan bahwa di akhir hayatnya, Sayid Haidar Amoli memilih mensucikan jiwanya dan menjalani hidup terasing. Sepertinya ia meninggal dunia setelah tahun 792 H dan tempat pemakamannya tidak diketahui pasti. Sebagian percaya bahwa ia dimakamkan di Hillah, Irak, dan sebagian yang lain berkata kuburannya berada di kampung halamannya kota Amol, Iran.
Ali bin Hassan Karaki
Ali bin Hassan Karaki yang lebih dikenal dengan Muhaqiq Tsani atau Muhaqiq Karaki, termasuk ulama Jabal Amil, Lebanon yang datang ke Iran atas undangan Shah Ismail Safavi, dan berperan besar dalam penyebaran Syiah di negara ini.
Ia mendidik sejumlah murid yang kelak menjadi ulama besar, dan banyak fakih serta cendekiawan abad ke-10 Hijriah Qamariyah yang merupakan muridnya.
Muhaqiq Karaki dikenal sebagai ulama besar dan fakih abad ke-10 Hq. Ia dilahirkan pada tahun 865 Hq di desa Karak, Jabal Amil, Lebanon. Ayahnya merupakan tokoh Syiah di Lebanon, dan ia memberikan nama Ali kepada anaknya untuk mengambil berkah dari Imam Ali bin Abi Thalib as.
Jabal Amil termasuk wilayah yang dianggap sakral, salah satunya karena di sana terdapat banyak makam para nabi, waliullah, dan tokoh agama seperti Yusha bin Nun, wasi Nabi Musa as, dan Nabi Yehezkiel, serta tempat-tempat yang pernah dilewati Nabi Isa as.
Penyebaran Syiah di Jabal Amil, kembali ke pertengahan awal abad pertama Hijriah Qamariyah, yaitu saat tokoh-tokoh besar Islam semacam Salman Farsi, Ammar Yasir, dan Abu Dzar Ghiffari menyebarkan Islam hakiki di wilayah itu.
Diperkirakan kehadiran Abu Dzar di Jabal Amil di masa pengasingannya, lebih dari sahabat Imam Ali as lainnya, menjadi faktor determinan penyebaran Syiah di wilayah tersebut.
Di antara pengikut Syiah asal Jabal Amil terdapat sejumlah banyak ulama saleh yang menerangi Dunia Syiah dengan cahayanya. Syeikh Hurr Amili dalam kitab “Amal Al Amil fi Ulama Jabal Amil”mencatat 100 nama cendekiawan Syiah asal Jabal Amil dan menambahkan puluhan lainnya.
Hauzah Ilmiah Jabal Amil termasuk di antara hauzah yang paling berpengaruh dalam menghidupkan ajaran Ahlul Bait as. Era paling aktif dalam sejarah Hauzah Ilmiah Jabal Amil adalah pada abad 8-11 Hq.
Di masa ini, cendekiawan dan fakih besar semacam Syahid Awal, Syahid Tasni, dan Muhaqiq Karaki lahir dari Hauzah Jabal Amil. Sejumlah ulama besar Jabal Amil datang ke Iran dan berperan aktif menyebarkan Syiah di negara ini. Muhaqiq Karaki salah satunya.
ilustrasi pepustakaan
Muhaqiq Tsani atau Muhaqiq Karaki, di masa kecilnya tumbuh di tengah keluarga ulama. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, ia masuk Hauzah Ilmiah Karak, dan belajar kepada ulama besar desa tersebut.
Karak meski sebuah desa, tapi memiliki sebuah hauzah ilmiah kaya yang didatangi para pelajar agama dari berbagai wilayah Lebanon lainnya. Muhaqiq Karaki setelah menimba ilmua di Jabal Amil, berangkat ke Damaskus, Suriah, Baitul Maqdis, Palestina, Mesir dan Irak.
Muhaqiq Karaki di masa remaja melakukan penelitian secara serius seputar masalah fikih dan hadis, sehingga dijuluki Muhaqiq Tsani.
Ia dianggap sebagai peneliti fikih Ahlul Bait as paling unggul setelah Muhaqiq Hilli. Muhaqiq Karaki menulis 71 buku, yang paling terkenal dan paling berharga adalah buku berjudul “Syarh Kitab Qawaid Allamah Hilli” yang lebih dikenal dengan “Jami Al Maqashid fi Syarh Al Qawaid”.
Muhaqiq Tsani juga dijuluki “Shahib Jami Al Maqashid” karena buku ini. Dari sisi tata bahasa, makna, teknik penulisan dan kandungannya, buku tersebut termasuk buku fikih Syiah paling baik.
Di antara ulama Syiah terdapat sebuah keyakinan jika seorang Mujtahid telah memahami tiga kitab yaitu Jami Al Maqashid, Wasail Al Syiah, dan Jawahir, maka untuk mengeluarkan dalil, menetapkan hukum dan menulis kitab fikih, ia tidak memerlukan kitab lain.
Ulama besar Jabal Amil ini setelah berhasil memahami dengan baik pemikiran fikih Ahlu Sunnah dengan baik di Mesir selama beberapa tahun, lalu meninggalkan negara itu.
Di masa itu kemasyhuran Muhaqiq Karaki tersebar di wilayah Muslim lain. Di Najaf, Muhaqiq Karaki aktif mengajar sampai seorang utusan keluarga kerajaan Iran mendatanginya dan membawa pesan Shah Ismail Safavi yang memintanya menyebarkan Syiah di Iran.
kitab karya Muhaqiq Karaki, Jami Al Maqashid
Ketika penguasa Kekhalifahan Utsmaniyah mempersempit ruang gerak pengikut Syiah di Irak dan Syam, Muhaqiq Karaki menganggap kondisi ini sebagai kesempatan yang dapat membawa para pengikut Syiah ke puncak kejayaan dan mengenalkan budaya Syiah kepada masyarakat.
Keputusan sangat penting dan sensitif ini dinilai dapat mengubah jalan hidup Muhaqiq Karaki dan para pengikut Syiah, oleh karena itu ia menerima permintaan Shah Iran tersebut, dan pada tahun 916 Hq dalam Perang Herat, ia memenuhi undangan Shah Ismail Safavi.
Saat itu usianya sekitar 50 tahun, namun berjuang sekuat tenaga menyebarkan Syiah di tengah kondisi yang sangat sensitif di Dinasti Safawiyah. Safawiyah adalah dinasti kerajaan Iran yang berkuasa dari tahun 907 hingga 1135 Hq. Mereka mengumumkan Syiah sebagai mazhab resmi kerajaan Iran, dan bertahan hingga lebih dari dua abad.
Mempelajari kehidupan para ulama besar Syiah di era Safawiyah menunjukkan adanya kerja sama ulama dengan kerajaan. Ulama bahkan menerima beberapa pos penting di kerajaan seperti posisi Syeikh Al Islam, dengan satu alasan yaitu menyebarkan dan memperkuat agama serta hukum Islam.
Muhaqiq Karaki datang ke Iran tidak lama setelah Syiah ditetapkan sebagai mazhab resmi negara ini. Di sisi lain karena selama bertahun-tahun hidup di bawah aturan ketat yang membatasi mereka, pengikut Syiah Iran tidak terlalu memahami hukum agama, maka kelangkaan fakih Syiah dan kitab-kitab hukum praktis Islam sangat dirasakan saat itu.
Muhaqiq Karaki pada tahun 916 Hq dapat dikatakan telah meletakkan fondasi mazhab Syiah di Iran. Akan tetapi karena kesibukan Shah Ismail, dan ketidakpeduliannya pada masalah kebudayaan, Muhaqiq Karaki melepaskan jabatan yang diberikan kepadanya pada tahun 929 Hq. Ia meninggalkan Iran dan kembali memulai aktivitas mengajar di Hauzah Ilmiah Najaf.
Muhaqiq Tsani sibuk mengajar di Najaf selama enam tahun, dan mendidik para pelajar agama serta orang-orang yang dahaga akan ilmu Ahlul Bait as. Setelah meninggalnya Shah Ismail, Shah Tahmaseb Safavi kembali mengundang Muhaqiq Karaki untuk datang ke Iran.
Pada tahun 935 Hq, Muhaqiq Tsani untuk kedua kalinya datang ke Iran, dan mendapat lebih banyak fasilitas di banding sebelumnya. Shah Tahmaseb sangat menghormati kepribadian dan keluhuran ilmu Muhaqiq Karaki. Ia mengatakan, Anda lebih layak mengurus pemerintahan daripada saya, karena Anda wakil Imam Mahdi as, sementara saya adalah salah satu dari penguasa Anda.
Shah Tahmaseb memberikan posisi Syeikh Al Islam, yang merupakan posisi tertinggi di bidang agama kepada Muhaqiq Tsani dan memberi kesempatan kepadanya untuk mengurus masyarakat.
Muhaqiq Karaki memanfaatkan kesempatan berharga ini untuk meluruskan sejumlah penyimpangan di kerajaan dan menyebarkan Syiah serta memperkokoh fondasinya di lingkungan kerajaan Dinasti Safawiyah. Pengaruh Muhaqiq Tsani terhadap Shah Tahmaseb sedemikian besar sampai Raja Iran itu bertobat dan memilih gaya hidup baru.
Di antara langkah yang dilakukan Muhaqiq Karaki di Iran adalah memperkuat hauzah ilmiah dan memenuhi kebutuhan materi serta maknawinya.
Ia juga meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang marak di bidang tasawuf. Atas fatwa Muhaqiq Karaki, pemerintah Safavi menutup tempat-tempat yang dianggap melanggar syariat Islam. Ia juga menghidupkan Shalat Jumat dan shalat jamaah di Iran.
Muhaqiq Karaki memerintahkan agar ruhani (ulama) dikirim ke seluruh kota dan desa Iran untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan agama masyarakat.
Untuk menghidupkan sisi lahiriah Syiah dan ajaran Ahlul Bait as di masyarakat, ia sangat bekerja keras, termasuk mengembalikan kalimat “Asyhadu anna Aliyan Waliullah” dan “Hayya Alaa Khoiril Amal” pada azan dan iqamah shalat selama 56 tahun sampai akhirnya ditinggalkan kembali pada era Toghrul-Beg Seljuk.
Satu lagi poin unggul dampak kehadiran Muhaqiq Karaki di Iran adalah terjunnya ulama besar Syiah ini ke arena politik dan sosial. Ia percaya pengelolaan negara dan urusan masyarakat harus berlandaskan aturan agama dan dipimpin seorang fakih Jamiu Syara’it.
Pandangan ini tidak lain adalah konsep Wilayatul Fakih yang diyakini oleh banyak ulama Syiah. Pada pembahasan berikutnya akan diulas pandangan Muhaqiq Karaki tentang konsep Islam progresif.
Mohaghegh Karaki
Salah satu isu yang diangkat dalam pemikiran Mohaghegh Karaki mengenai masuknya dunia religius yang agung di ranah politik dan sosial.
Ia percaya bahwa penyelenggaraan negara dan urusan rakyat harus berdasarkan agama dan berada di bawah kepemimpinan ulama otoritatif dan kredibel. Pandangannya tentang masalah ini mengusung teori Wilayah Fakih yang juga diyakini oleh banyak sarjana Syiah.
Di masa kehidupannya, Mohagheh Karaki menjadi perhatian banyak kalangan, termasuk penguasa saat itu. Shah Tahmasb Safavi begitu terpesona oleh kepribadian dan posisi intelektualismenya, sehingga dia pernah berkata, "Anda berhak lebih dari saya untuk mengatur dan mengelola urusan negara. Sebab Anda adalah wakil Imam dan saya salah seorang pejabat Anda,".
Shah Tahmasb memberinya posisi Sheikh al-Islam, yang dianggap sebagai posisi religius tertinggi dalam urusan negara,". Mohaghegh Karki memanfaatkan sepenuhnya kesempatan ini untuk mereformasi urusan umat Islam dan menjalankan tugas dengan kemampuan terbaiknya.
Mohaghegh Karaki yang juga dikenal sebagao Mohaghegh Thani memulai pembahasan tentang Wilayah Fakih dengan masalah Imamah. Ia menganggap imamah sama pentingnya dengan Nubuwah dan menganggapnya sebagai salah satu prinsip agama.
Mohaghegh Thani berkata, "Dalil yang sama mengenai kebutuhan orang terhadap Nabi juga berlaku mengenai Imam. Orang selalu membutuhkan kepemimpinan dan bimbingan yang kuat di setiap zaman, karena selalu ada dorongan untuk menciptakan kejahatan."
Mengenai penolakan terhadap pemisahan politik dari agama, ia menjelaskan, “Tidak bisa dikatakan bahwa rakyat membutuhkan pemerintahan, penguasa dan pemimpin hanya dalam urusan dunia, atau pemerintahan hanyalah berhubungan dengan urusan duniawi saja. Sebab, urusan agama juga termasuk dalam sistem kehidupan dan dunia umat. Misalnya, meski pemberhentian dan pelantikan hakim adalah urusan agama, tapi juga bagian dari urusan duniawi rakyat,".
Karki menganggap tujuan kebangkitan para Nabi untuk menjadi pedoman umat di akhirat dan di dunia ini. Ia meyakini ibadah berkaitan dengan akhirat dan juga dunia. Oleh karena itu, hanya mereka yang diberi wewenang oleh Nabi Muhammad Saw untuk bertanggung jawab atas pelaksanaan aturan agama, dan siapa pun selain mereka yang memegang posisi ini adalah seorang tiran.
Selain masalah Nubuwah dan Imamah, Mohaghegh Karaki juga menjelaskan urgensi pemerintahan yang ketiga terkait dengan ketidakhadiran Imam al-Zaman. Dalam risalah shalat Jum'atnya, ia membahas tentang teori Wilayah Faqih dan mengungkapkannya dengan hadits dan argumentasi logis.
Ulama terkemuka Syiah ini mengungkapkan, "Para sahabat kami setuju bahwa ahli hukum Syiah yang adil dengan kondisi yang komprehensif (dengan syarat) dari fatwa - dan yang disebut mujtahid - pada saat tidak ada Imam, maka secara umum memiliki izin menjadi wakil para Imam. Oleh karena itu, kewajiban bagi masyarakat untuk menaati putusan yang dikeluarkan olehnya,".
Mohaghegh Karaki mengutip sebuah hadits yang dikenal di kalangan ulama sebagai "penerimaan Umar ibn Hanzalah", yang memandang ulama dengan persyaratan khusus yang ditetapkan oleh para Imam Maksum sebagai penerus Imam dengan wewenang yang sama.
Beberapa ulama percaya bahwa faqih harus diperkenalkan secara khusus dan oleh Imam Mahdi. Selama periode keghaiban kecilnya, Imam Zaman menunjuk empat orang sebagai wakil khususnya. Tetapi sebagian ulama terkemuka lainnya yang bertumpu pada riwayat yang dipandang kuat percaya selama Imam Zaman tidak ada, faqih dianggap sebagai wakil Imam, meskipun secara khusus nama orang tersebut tidak diumumkan oleh Imam.
Oleh karena itu, setiap faqih yang memiliki persyaratan khusus seperti keadilan dan ijtihad serta beberapa kemampuan manajerial dan kepribadiannya dianggap sebagai wakil Imam dan memiliki otoritas pemerintahan yang sama dengan Imam, dan umat Islam wajib mematuhinya.
Karaki meyakini bahwa seorang ahli hukum yang memiliki kewenangan untuk mewakili Imam Zaman pada saat ghaib harus memiliki ciri dan syarat khusus. Menurutnya, iman adalah salah satu syarat seorang faqih.
Keadilan adalah syarat lain dari Faqih. Kondisi lainnya adalah pengetahuan tentang Al-Quran dan Sunnah sampai dia bisa memahami aturan dengan mengacu pada keduanya. Berbagai syarat lain telah disebutkan dalam hal ilmu pengetahuan hingga tingkatan ijtihad.
Mohaghegh Karaki mengatakan bahwa faqih secara hukum diizinkan untuk menegakkan ketentuan ajaran Islam dan memberikan fatwa kepada umat. Menurut Karaki, dalam urusan keuangan pemerintahan Islam, zakat dan khumus serta kharaj merupakan ketentuan syariah yang harus dibayarkan kepada Faqih oleh muqalid. Ia juga menyatakan dalam Risalah Kharajiah bahwa hal-hal yang berkaitan dengan kharaj (pajak) telah dipercayakan kepada faqih selama masa keghaiban Imam Zaman.
Dalam masalah khumus yang merupakan kewajiban finansial bagi umat Islam, Mohaghegh Karaki mengungkapkan bahwa di masa keghaiban Imam, faqih dapat bertanggung jawab untuk mendistribusikan khumus di antara orang-orang yang berhak sebagai wakil Imam. Menurutnya, menyelesaikan masalah agama masyarakat dan menjawab pertanyaan mereka berdasarkan sumber agama juga merupakan salah satu tugas utama faqih.
Dalam pembahasan sholat Jum'at, Karaki juga memandang kehadiran Imam atau wakilnya sebagai syarat untuk melaksanakannya. Ia menentang argumen pihak yang menentang shalat Jumat di masa keghaiban Imam Zaman, seperti Sayyid Murtadhaa dan Ibn Idris Hali.
Para penentang berpendapat bahwa salah satu syarat shalat Jum'at adalah kehadiran Imam atau seseorang yang secara pribadi ditunjuk oleh Imam untuk melaksanakan sholat Jum'at. Oleh karena itu, menunaikan shalat Jumat pada saat keghaiban Imam Zaman dikecualikan. Oleh karena itu, ketika salat Jumat dilaksanakan tanpa kehadiran Imam Zman, maka shalat dhuhur tetap harus ditunaikan umat Islam.
Jika Imam Zaman hadir dan shalat Jum'at ditunaikan, maka shalat Dhuhur akan dilepaskan dari kewajiban umat di hari Jumat. Karaki menentang pendapat kelompok Faqih ini. Ia meyakini bahwa sejak Faqih diangkat oleh Imam Zaman pada umumnya, maka ia bisa menunaikan shalat Jumat.
Oleh karena itu, menurut Mohaghegh Karaki, faqih tidak hanya hadir untuk memberikan fatwa di kalangan masyarakat, tetapi juga melaksanakan shalat Jum'at adalah dalam kewenangannya. Sebab mereka memiliki memenang yang telah diberikan Imam Zaman sebagai wali pada umumnya.
Beliau sepenuhnya mendukung penyelenggaraan shalat Jumat di massa keghaiban Imam Mahdi dan meminta pertanggungjawaban ahli hukum untuk melaksanakannya. Masalah ini yang kurang diperhatikan oleh banyak ahli hukum sebelum dan sesudahnya, dan Karki secara eksplisit dan dengan bukti kuat mendukungnya.
Akhirnya, Mohaghegh Thani kembali ke Najaf Ashraf pada usia ke-70 tahun dengan meninggalkan pengaruh besar di dunia Syiah. Tetapi setelah beberapa hari kehadirannya di Irak, muncul berita menyakitkan tentang kesyahidannya.
Beliau gugur diracun oleh para penentangnya. Jenazah ulama terkemuka ini dimakamkan dengan rasa hormat yang khusus di kompleks makam Imam Ali di Najaf.
Konfrontasi serius pemikiran Syiah dengan pemikiran filsafat Barat
Salah satu karakteristik Abad ke-11 Hijriah Qamariyah adalah konfrontasi serius pemikiran Syiah dengan pemikiran filsafat Barat.
Oleh karena itu beberapa ulama besar Syiah terjun menghadapi pemikiran-pemikiran filsafat ini, dan berhasil membangun fondasi pemikiran filsafat Syiah dengan metode, dan sumber-sumbernya yang khas. Dalam hal ini Mir Damad memberikan kontribusi yang cukup besar dalam membangun pemikiran filsafat Syiah dan Dunia Islam.
Sejarah Syiah dan kehidupan para ulamanya di masa keghaiban Imam Mahdi af, merupakan sejarah yang sarat dengan pasang surut, namun dalam sejarah yang penuh peristiwa itu, ajaran Syiah berhasil mempertahankan keasliannya sebagai ajaran yang independen dan hidup di hadapan serbuan berbagai pemikiran. Kemampuan ini bagi sebuah ajaran yang selama berabad-abad dimusuhi oleh para penguasa Muslim, dan non-Muslim, lahir berkat tiang-tiang pemikiran Syiah yaitu Imamah dan Wilayah.
Mir Damad adalah seorang ulama Syiah Abad-11 Hijriah Qamariyah, masa yang penuh gejolak pemikiran itu. Ia seorang filsuf, teolog, fakih, dan penyair Syiah unggul di masa Dinasti Safawiah di Iran. Mir Damad merupakan ahli di bidang ilmu-ilmu Islam terutama fikih, tafsir Al Quran, dan hadis, dan ia memiliki pandangan mandiri dalam ilmu-ilmu ini. Akan tetapi keahlian yang lebih menonjol dalam dirinya sebagai ilmuwan adalah hikmah dan filsafat.
Ia adalah hakim terbesar di era Safavi yang kemunculannya di bidang pemikiran Isfahan, berhasil “mengguncang” filsafat. Oleh karena itu ia dikenal sebagai Guru Ketiga. Sebelumnya Aristoteles disebut sebagai Guru Pertama, kemudian Al Farabi, sebagai Guru Kedua. Mir Damad percaya aliran-aliran pemikiran terdahulu sangat sederhana dan pemula sekali, oleh karena itu ia berusaha menggabungkan sumber filsafat Yunani dengan visi Irfani, dan dengan menggunakan ajaran akidah Syiah, ia menyuguhkan sistem filsafat Islam yang dinamainya sendiri sebagai “Hikmah Yamani”.
Mir Mohammad Bagher Astarabadi yang lebih dikenal dengan Mir Damad termasuk tokoh penting dalam aliran filsafat Isfahan. Karya monumentalnya di bidang filsafat adalah Al Qabasat, dan murid terbaiknya adalah Mulla Sadra. Mir Mohammad lahir pada tahun 969 Hijriah Qamariyah. Ayahnya Sayid Mohamad Hossein Astarabadi, dan ibunya adalah putri dari Mohaghegh Karaki atau yang lebih dikenal sebagai Mohaghegh Sani.
Oleh karena itu sejak kanak-kanak Mir Damad sudah mendapatkan pendidikan dari ayah dan ibu yang unggul serta bertakwa, di sebuah keluarga berilmu. Mir Mohammad setelah menempuh pendidikan dasar berangkat ke kota Mashhad, dan di sana ia belajar kepada sejumlah guru terkemuka di Hauzah Ilmiah. Kemudian dengan maksud meraih cita-cita lebih tinggi dalam ilmu dan penelitian, ia menghabiskan waktu bertahun-tahun di kota Qazvin, Herat dan Isfahan yang kala itu ketiganya merupakan pusat ilmu penting di Iran.
Guru-guru terpenting Mir Damad di antaranya adalah Sayid Ali Mousavi Amoli, Abdolali Amoli yang merupakan pamannya, dan Syeikh Ezzoddin Hossein Amoli, ayah dari Syeikh Bahai. Sepertinya perjalanan Mir Damad ke Qazvin, Herat dan Mashhad mengikuti gurunya Syeikh Ezzoddin yang karena faktor politik dan sosial, beberapa kali berpindah-pindah tempat tinggal.
Mir Damad
Syeikh Bahai putra Syeikh Ezzoddin merupakan teman dekat Mir Damad, banyak cerita yang mengisahkan kedekatan mereka berdua. Di antara cerita itu, dalam sebuah perjalanan kedua ulama besar ini pergi bersama Syah Abbas. Syeikh Bahai bertubuh langsing, dan menunggangi sebuah kuda ramping, dan berada paling depan dari semuanya. Sebaliknya Mir Damad memiliki tubuh tinggi besar, yang meski berusaha keras, namun kudanya tidak bisa berjalan lebih cepat. Syah Abbas yang menyaksikan hal ini kemudian ingin menguji kedekatan atau kecemburuan dua sahabat tersebut.
Setelah itu ia mendekati Mir Damad, dan dengan tersenyum menunjuk kepada Syeikh Bahai dan berkata, “Mir, lihatlah Syeikh Bahai tidak punya sopan santun, tanpa memperhatikan kita, pergi lebih cepat.” Mir Damad menjawab, “Bukan begitu, Syeikh Bahai adalah ilmuwan besar, dan kudanya karena mengetahui ditunggangi oleh orang semacam itu, bergairah dan bergerak lebih cepat.”
Lalu Syah Abbas memacu kudanya sampai mendekati Syeikh Bahai dan berkata kepadanya, “Sejauh yang saya lihat, para pemikir tidak terlalu banyak makan, tapi Mir Damad karena begitu rakus pada makanan, sampai badanya gemuk seperti itu.” Syeikh Bahai menjawab, “Bukan begitu, Mir Damad hanya rakus melahap ilmu, dan badannya yang gemuk itu tidak ada hubungannya dengan rakus makan. Kuda Mir Damad lelah dan berjalan lambat karena ditunggangi oleh orang mulia yang bahkan gunung pun tak sanggup menahan beratnya ilmu pengetahuan yang dimiliki orang itu.”
Masa-masa menempuh ilmu yang dijalani Mir Damad di Herat di bawah pengajaran Syeikh Ezzoddin Hossein adalah masa-masa yang kaya ilmu pengetahuan. Di akhir masa pembelajaran itu, Mir Damad kemudian dikenal sebagai seorang ulama unggul, dan ahli di bidang filsafat, fikih dan hadis. Setelah Syah Tahmaseb meninggal dunia, dan Syah Esmail Kedua naik tahta, kondisi bagi para ulama Syiah bertambah sulit, dan di masa ini para ulama berusaha menjauh dari pusat kekuasaan yaitu Qazvin.
Oleh karena itu Mir Damad dan Syeikh Bahai berpindah tempat dari Qzvin ke Isfahan, dan sibuk mengajar di sana. Hingga ketika kekuasaan sampai ke tangan Syah Abbas, dan menjadikan Isfahan sebagai pusat kekuasaan. Karena Syah Abbas sangat menyukai ilmu pengetahuan, para ulama Syiah kembali merasakan kebebasan dan keamanan, selain itu ilmu pengetahuan juga mengalami pertumbuhan cepat di masa ini. Isfahan di masa Syah Esmail memiliki banyak sekolah bagus, dan pelajar agama bekerja keras menuntut ilmu, dan ajaran Islam. Mir Damad mengajar filsafat di Madrasah Khoja Isfahan, dan Syeikh Bahai mengajar tafsir, fikih dan hadis di madrasah yang sama.
Mir Damad di masa hidupnya mendidik banyak murid, di antaranya yang kelak menjadi orang besar adalah Mulla Sadra, Abdolrazaq Lahiji, Mulla Mohammad Feiz Kashani, dan Mohaghegh Khansari. Mir Damad sendiri yang memilih murid, dan sebelum menerima mereka sebagai murid, Mir Damad akan menguji dan mewawancarai mereka. Orang-orang yang dianggap layak belajar hikmah akan diterimanya menjadi murid. Hakim bijaksana ini percaya bahwa hikmah jika berada di tangan orang-orang yang tidak bisa memahami dengan benar, maka akan menyebabkan kesesatan pada mereka, dan orang lain.
Salah satu murid terhebat Mir Damad adalah Sadr Al Motaalihin yang lebih dikenal sebagai Mulla Sadra, filsuf paling berpengaruh di era Safavi dan pencetus Hikmah Mutaaliyah. Hakim besar ini menganggap akal saja tidak akan cukup menjadi alat untuk mencapai hakikat hikmah, ia percaya wahyu Ilahi dan penyingkapan-penyingkapan Irfani harus menjadi sumber asli dan terpercaya bagi filsafat. Hikmah Mutaaliyah dalam tiga abad terakhir merupakan ajaran filsafat paling menonjol di Dunia Islam, dan menjadi perhatian para filsuf Barat.
Mir Damad menghasilkan lebih dari 50 karya besar dan berharga, yang kebanyakan ditulis tangan oleh dirinya sendiri. Karya terbesar Mir Damad di antaranya adalah Al Qabasat, Taqdisaat, Jazwaat, dan Sadruhul Muntaha. Buku Al Qabasat membahas tentang penciptaan alam semesta, buku Taqdisaat membahas Hikmah Ilahi, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan serta kerancuan tentang Tauhid, dan Keesaan Tuhan.
Jazwaat mencakup pendapat Mir Damad tentang filsafat, dan buku Sadruhul Muntaha adalah kitab tafsir Al Quran. Mir Damad juga menulis buku lain yang diberi judul “Al Rawasyih Al Samawiah” yang menjelaskan hadis, riwayat dan perkataan Imam Maksum as. Hakim besar ini juga menulis syair dengan tema-tema Irfani dan falsafi.
Mir Damad selain keunggulannya dalam teori, dalam akhlak dan sifat baik termasuk yang terdepan. Ia menganggap upaya manusia menjalankan perintah agama, dan mematuhi adab perjalanan spiritual atau suluk, sebagai penjamin kebahagiaan dan kesempurnaan manusia, dan ia sangat menaruh perhatian besar padanya. Ia sangat cinta membaca Al Quran, setiap malam ia membaca setengah Al Quran.
Ia juga sangat menekankan hal-hal mustahab termasuk shalat nafilah, tidak meninggalkan munajat kepada Allah Swt di malam hari, dan ia banyak berzikir, menyucikan diri. Ia makan dan tidur secukupnya, hanya sebagai upaya memulihkan tenaga untuk kembali menjalankan ibadah, meneliti, dan mengajar, tidak pernah menjadikan tidur dan makan untuk bersenang-senang dan mencari kenikmatan.
Kita sering menemukan nama tokoh-tokoh semacam Al Farabi, Ibnu Sina, Suhrawardi, Mulla Sadra dan yang lainnya di buku-buku sejarah filsafat, namun kita tidak pernah melihat nama Mir Damad. Kita akan terkejut karena orang yang telah mendidik murid semacam Mulla Sadra, dan menulis ratusan buku serta makalah ilmiah, namun sangat sedikit ditulis tentang pemikirannya.
Salah satu alasan mengapa sedikit sekali yang menulis tentang pemikiran Mir Damad adalah karena tingkat kedalaman dan kerumitan pemikirannya tentang filsafat yang tinggi, sehingga sulit untuk mengulasnya. Mir Damad percaya pemikiran luhur filsafat tidak boleh diberikan kepada orang bodoh yang tidak memiliki batin yang bersih, perasaan yang lurus, tekad yang kuat, dan kecerdasan yang memadai, karena orang-orang semacam ini ketika belajar hikmah yang melampaui pemahamannya, tidak diragukan akan menuju kesesatan, dan membawa orang lain ke dalam kesesatan.
Filsuf terkemuka Prancis, Henry Corbin menyebut alasan sulitnya penulisan karya-karya Mir Damad adalah upayanya menghindari pengkafiran dan pengejaran musuh yang di kemudian hari menyebabkan muridnya Mulla Sadra diasingkan.
Mir Damad
Mir Damad (Mir Mohammad Bagher Astarabadi) adalah seorang ulama Syiah Abad-11 Hijriah Qamariyah, masa yang penuh gejolak pemikiran itu. Ia seorang filsuf, teolog, fakih, dan penyair Syiah unggul di masa Dinasti Safawiah di Iran. Ia juga dikenal sebagai Guru Ketiga.
Pada abad ke-11, filsafat Islam mengambil lompatan yang signifikan, dan beberapa pemikir besar Syiah memfokuskan aktivitas mereka pada kebijaksanaan dan filsafat. Ada beberapa alasan mengapa para cendekiawan Muslim masuk ke Lembah Filsafat. Salah satu alasan ini tergantung pada sifat ilmu filsafat. Filsafat berarti berpikir tentang masalah paling umum dan mendasar yang kita hadapi dalam hidup dan di dunia.
Filsafat muncul ketika kita mengajukan pertanyaan mendasar tentang diri kita sendiri dan dunia. Pertanyaan seperti: Di mana kita sebelum lahir dan apa yang terjadi pada kita setelah kematian? Apa itu kecantikan? Apakah hidup kita dijalankan oleh orang atau kekuatan lain? Apakah dunia membutuhkan pencipta? Apa itu Tuhan? Apakah tujuan hidup? Apa itu kebahagiaan sejati? Dan puluhan pertanyaan seperti ini. Para filsuf mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan mengandalkan akal. Tetapi dengan sedikit perhatian kita melihat bahwa inilah pertanyaan-pertanyaan dasar yang juga coba dijawab oleh agama-agama ilahi.
Di antara berbagai agama, agama Islam, khususnya mazhab Syi'ah, lebih sejalan dengan ilmu filsafat karena pandangannya yang besar mengenai akal. Sifat pemikiran Islam, khususnya pemikiran Syi'ah, sesuai dengan rasionalitas, dan teks-teks agama penting Islam, termasuk Al-Qur'an dan hadits para maksumin, menekankan penggunaan akal yang benar dan ketaatan pada aturan rasional.
Dalam ajaran Islam, akal beserta wahyu merupakan otoritas dan petunjuk yang diberikan Allah kepada manusia untuk menemukan jalan petunjuk. Nahj al-Balaghah penuh dengan khutbah mistik dan filosofis Amirulmukminin Ali as dan riwayat para Imam lainnya, terutama Imam Baqir as, Imam Sadiq as dan perdebatan Imam Ridha as juga sarat dengan argumentasi rasional dan filosofis. Dengan demikian, hakikat pemikiran Syi'ah tidak pernah sepi dari pemikiran filosofis.
Dari sisi lain, saat itu ulama Syah juga menghadapi fenomena baru yang lain, menghadapi budaya Barat. Di era Safawi, bangsa Eropa banyak tinggal di Iran dengan berbagai alasan mulai dari pialang, wisatawan, pedagang dan bahkan dokter untuk menyebarkan agama Kristen. Sejarah mencatat bahwa pemerintah Eropa mengirim misionaris ke Iran untuk mengubah agama rakyat negara ini. Mereka berupaya mengubah keyakinan masyarakat dan mencitrakan bahwa Islam tidak benar dengan menyebarkan keraguan dan syubhat melalui buku-buku dan acara tabligh.
Di kondisi seperti ini, tugas ulama adalah membela agama secara rasional. Pembelaan dan penjelasan akan keyakinan agama sebelumnya diemban oleh para ulama dalam bentuk Ilmu Teologi. Ilmu Teologi menggunakan dua sumber, akal dan nakli (al-Quran dan hadis), dan memiliki metode khusus. Namun seperti yang disadari para filosof Syiah, metode falsafi lebih baik dari teologi untuk menjawab syubhat ini dan membela agama. Dengan demikian mereka semakin cenderung untuk menggali ilmu ini.
Di kalangan filosof Muslim, ulama seperti Farabi, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Khajeh Nasir al-Din Tusi, Shahab al-Din Suhrawardi, Mir Damad, dan Mullah Sadra memiliki gaya dan sistem filsafatnya sendiri. Sementara itu, ada banyak kesamaan antara sistem filsafat Ibnu Sina, Mir Damad dan Mulla Sadra. Tampaknya Mir Damad melanjutkan gerakan yang dimulai oleh Ibnu Sina dan diakhiri oleh Sadr al-Muta'allehin. Masing-masing orang bijak besar ini telah menciptakan titik balik dalam proses pemikiran Muslim.
Ibnu Sina adalah pengikut kuat Aristoteles dan filsafatnya, "filsafat Mashaa". Aristoteles, filsuf terbesar dari sekolah Yunani, percaya bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar ini, manusia cukup menggunakan kecerdasannya dengan benar. Dengan mencoba merumuskan hukum-hukum berpikir yang benar (logika), ia berusaha mencegah manusia dari membuat kesalahan dalam berpikir, sehingga cahaya akal dapat memperjelas kebenaran.
Ibnu Sina sepenuhnya berkomitmen pada prinsip-prinsip filsafat Aristoteles, tetapi dia percaya bahwa akal dan agama tidak bertentangan satu sama lain, dan apa pun yang dihukumi akal, agama akan menerimanya. Dan di sisi lain, semua aturan agama, jika dipahami dengan benar, pasti disetujui oleh akal. Oleh karena itu, ia mencoba menerapkan filosofi Aristoteles pada prinsip dan keyakinan agama. Namun terlepas dari upaya Ibnu Sina untuk menyelaraskan filsafat dan agama, ia tidak terlalu berhasil di mata para kritikus.
Gagasan dan pemikiran Ibnu Sina sangat suci bagi para filosof setelahnya, dan untuk waktu yang lama tidak ada orang bijak yang berani mengkritik atau menolak gagasannya. Shahab al-Din Suhrawardi, yang dikenal sebagai Syekh Ishraq, salah satu orang bijak abad keenam Hijriah, adalah orang bijak Muslim pertama yang secara serius mengkritik teori-teori Ibnu Sina. Meskipun Syeikh Ishraq telah menerima banyak prinsip filsafat rasionalis Mashaa, dia percaya bahwa akal saja tidak cukup untuk menemukan seluruh kebenaran. Dia percaya bahwa manusia memiliki cara lain untuk mengetahui dan itu adalah pengalaman mistik. Dengan cara ini, ia mendirikan sistem filsafat Islam lain yang disebut "Filsafat Pencerahan" di mana mistisisme memiliki tempat khusus dalam menjawab masalah utama filsafat.
Mir Damad percaya bahwa Ibn Sina dan Suhrawardi, meskipun telah melakukan upaya yang terpuji, tidak berhasil menyesuaikan sistem filosofi mereka dengan Islam dan Syi'ah. Alasan untuk ini adalah kurangnya penguasaan yang memadai atas sumber-sumber agama dan metode mereka sesuai dengan akal dan syariah. Sebaliknya, Mir Damad telah menggunakan kehadiran para ahli hadits dan narasi terbesar selama bertahun-tahun, dan hidupnya dipenuhi dengan angin inspirasi dari kata-kata Maksum.
Orang bijak yang bijaksana ini, ketika masih remaja, diizinkan untuk meriwayatkan dari banyak ulama pada waktu itu dan mendominasi dan mengelilingi banyak sumber penting dari narasi Syi'ah. Ia juga sangat ahli dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an. Keunggulan ini membuat Mirdamad cukup berhasil dalam penerapan agama dan filsafat di atas para pendahulunya.
Mir Damad sebenarnya adalah pendiri filsafat mazhab Isfahan. Para pemikir besar yang telah terdidik dalam bidang pemikiran ini, selain sangat menyukai Al-Qur'an dan tafsirnya, juga sangat mengenal riwayat-riwayat para Imam (as). Mir Damad memainkan peran yang sangat penting dalam membangun filsafat Syi'ah berdasarkan hadits dan ajaran Islam. Dia menyelaraskan kosmologi Ibnu Sinai dengan Imamologi Syi'ah dan mendasarkan dasar ontologisnya pada keberadaan suci empat belas maksum.
Mir Damad mengkritik keras suasana intelektual seminari Isfahan dan mempersiapkan para pemikir untuk menerima sistem filosofis baru dan, lebih lengkapnya, sebuah revolusi filosofis. Dengan keyakinan yang tak tertandingi, ia menyebut ide-ide filosofis di hadapannya sebagai "kebodohan filosofis" dan menganggap kebijaksanaan dan filosofinya sebagai langkah besar dalam mereformasi dan mempromosikan filsafat Islam.
Tentu saja, orang bijak yang bijaksana ini, terlepas dari sikapnya terhadap masa lalu, tidak memasuki lembah ekstremisme fanatik, dan setelah mengkritik sekolah-sekolah sebelum dia, baik Islam maupun Yunani, dia menggunakan beberapa elemen dan metode yang berguna. Karena itu, ia sama sekali tidak menolak filsafat Yunani dan bahkan menganggap beberapa unsurnya berasal dari kebijaksanaan para nabi. Terlepas dari kritiknya terhadap jalan pemikiran filosofis sebelumnya, Mir Damad telah berperilaku sedemikian rupa sehingga orang lain mengenalinya sebagai kritikus yang adil dan brilian.
Mir Damad percaya bahwa kebijaksanaan sejati adalah kebijaksanaan yang diturunkan kepada umat manusia oleh Pencipta manusia dan melalui para nabi. Filsuf besar ini menyebut judul aliran filsafatnya "Kebijaksanaan Yamani" dan menyatakan dalam tulisannya bahwa "Kebijaksanaan Yamani" adalah kebijaksanaan dan rasionalitas yang sama yang telah terbentuk sepanjang sejarah di dunia Islam. Yuman adalah alegori dari bagian kanan atau timur lembah dari mana Nabi Musa mendengar pesan Tuhan.
Dalam pengertian ini, timur adalah sumber cahaya ilahi dan titik yang berlawanan dengan barat. Dia percaya bahwa kebijaksanaan (filsafat) ini mencakup metode dan teori benar dan salah yang perlu dikritik dan ditambah untuk mendekati kebijaksanaan Yuman yang dibawa oleh para nabi. Mir Damad menganggap dirinya sebagai kritikus dan pembaharu yang sama yang mampu membebaskan kebijaksanaan Yamani dari kesalahan dan kesalahpahaman dan membawanya ke posisi yang layak. Setelah dia, muridnya yang bijak "Hakim Mullah Sadra" mampu mengambil langkah besar dalam menegakkan filsafat Islam dengan membangun kebijaksanaan transenden, sehingga setelah tiga ratus tahun, beberapa filsuf Barat terbesar, termasuk "Henry Corben" duduk mendengarkan pelajarannya.
Mir Damad jatuh sakit parah pada 1040 H ketika dia dalam perjalanan ke Karbala dan Najaf untuk mengunjungi para Imam Maksum as, dan meninggal di dekat Najaf ketika dia berusia tujuh puluh tahun. Tubuh sucinya dengan hormat dibawa ke Najaf Ashraf dan dimakamkan di ambang pintu kompleks suci makam Imam Ali (as). Dengan demikian, buku kehidupan seorang bijak terkemuka dan besar di dunia Islam ditutup dan daun emas dan bercahaya ditambahkan ke sejarah mulia ulama. Semoga arwahnya bersama para auliya Allah.
Sadr al-Din Muhammad ibn Ibrahim Shirazi
Sadr al-Din Muhammad ibn Ibrahim Shirazi, filosof besar, mistikus dan komentator Syiah pada abad kesepuluh dan kesebelas dan pendiri aliran filsafat "Al-Hikmah Al-Muta’aliyah" sebagai aliran filsafat terpenting ketiga di dunia Islam.
Sadr al-Din Muhammad lahir pada tahun 979 H di kota Shiraz. Shiraz telah menjadi tempat kelahiran banyak tokoh besar ilmu pengetahuan dan budaya Iran. Ayahnya adalah orang terkenal di negeri itu yang tidak memiliki banyak anak meskipun kaya. Dia berdoa kepada Tuhan agar jika dia memiliki anak, dia akan mencurahkan sebagian dari kekayaannya untuk menyebarkan pengetahuan dan merawat orang miskin. Doanya terkabul dan dia menamai putra tunggalnya dengan nama Nabi Khatam (SAW), Muhammad. Muhammad menghabiskan pendidikan dasarnya di rumah ayahnya di bawah bimbingan guru privat, dan sejak awal pembelajarannya, kecerdasan dan kejeniusannya yang kaya diungkapkan kepada para guru.
Sadr al-Din Mohammad pergi ke Qazvin bersama keluarganya setelah pendidikan dasar. Qazvin pada waktu itu adalah ibu kota Safawi dan pusat ilmu pengetahuan, dan ulama besar seperti Syekh Baha'i dan Mirdamad mengajar di sana. Sadr al-Din Muhammad melanjutkan pendidikannya dengan para profesor tersebut dan mencapai tingkat ijtihad. Karena kondisi politik dan sosial, setelah beberapa saat Syekh Baha'i dan Mirdamad dan ulama besar lainnya bermigrasi dari Qazvin ke Isfahan.
Mulla Sadra yang awalnya masih muda, menemani mereka menikmati kehadiran orang-orang hebat tersebut. Dengan hadirnya para ulama tersebut, Isfahan menjadi pusat ilmiah terpenting Iran, yang menjadi tempat berkumpul dan belajar serta berdiskusi para ulama besar dari seluruh dunia Islam. Ketertarikan Shah Abbas Safawi pada sains dan pengetahuan dan rasa hormat yang dimilikinya terhadap ulama telah menyebabkan ulama Syiah, tidak seperti negara-negara Islam lainnya, memiliki keamanan dan perdamaian yang dapat diterima di Iran dan menyediakan landasan bagi pertumbuhan ilmiah Syiah.
Mulla Sadra duduk sebagai profesor penuh dan unik di sekolah-sekolah teologi Isfahan. Setelah beberapa saat, ia ditolak dan diejek oleh ulama lain karena pandangannya yang berbeda tentang masalah yurisprudensi dan filosofis, dan dituduh bid'ah dalam agama. Mulla Sadra, melihat bahwa dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin mengungkapkan fakta ilmiah, maka ia pergi ke Qom. Kota Qom selalu dianggap oleh para ulama Syi'ah karena menjadi tempat pemujaan putri Imam Musa bin Ja'far (as), Sayidah Fatimah Maksumah (as).
Hadis-hadis otentik telah diriwayatkan tentang kehormatan dan posisi Sayidah Maksumah (a)s yang menurutnya putri tercinta dari Imam ketujuh (as) ini memiliki posisi tertinggi dalam ilmu pengetahuan dan kesalehan setelah Imam Ridha as dan akan menjadi pendoa syafaat kaum Syi'ah di dunia di Hari Kiamat. Meskipun Mullah Sadra ditinggalkan di antara para ulama Qom, dia tidak meninggalkan komplek suci Sayidah Maksumah as dan di sebuah desa di kota ini, dia berlindung di sudut untuk membangun dirinya dan berperilaku dalam bayang-bayang berkah dari saudara perempuan tercinta Imam kedelapan (as).
Mulla Sadra tinggal di desa Kahak selama 7 tahun dan menurut riwayat lain selama 15 tahun. Cendekiawan hebat ini, yang telah menjauhkan diri dari sekolah dan seminari, mengajar dan menulis, juga mengubah penolakan dan kesepian menjadi kesempatan yang tak tergantikan untuk perbaikan diri dan selama tahap kesempurnaan. Selama periode ini, Mulla Sadra terlibat dalam ibadah dan perjuangan duniawi. Pemurnian jiwa dan melalui otoritas mistik, filsuf jenius Shirazi menjadi mistikus yang lengkap. Dia sekarang melihat dengan mata jiwanya apa yang telah dia pelajari dari kebenaran alam semesta dengan kekuatan kecerdasannya.
Mulla Sadra berutang pencapaian posisi tinggi dalam sains dan mistisisme atas munajat dan permohonan yang tulus kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan terkait hal ini ia menulis, ...Akhirnya, karena panjangnya perjuangan dan banyaknya latihan, cahaya ilahi bersinar di dalam jiwaku dan hatiku tersulut oleh nyala api intuisi. Cahaya Malakooti diberikan kepadanya dan rahasia Jabrut diungkapkan kepadanya, dan setelah itu saya menemukan rahasia yang tidak saya ketahui di masa lalu, dan rahasia ditemukan untuk saya yang belum saya temukan melalui bukti, dan semua misteri Allah dan kebenaran riba dengan bantuan akal.Dan saya memahami argumen, saya menemukannya lebih jelas dengan intuisi dan visibilitas. Di sinilah pikiran saya menjadi tenang dan angin kebenaran bertiup di atasnya, pagi dan sore dan malam dan siang, dan itu datang begitu dekat dengan kebenaran sehingga selalu duduk bersamanya dalam doa."
Rumah Mulla Sadra di desa Kahak Qom
Setelah masa isolasi, periode ketiga kehidupan Mulla Sadra dimulai. Orang bijak yang bijaksana ini, setelah lama memperbaiki diri, mulai menulis buku Asfar sebagai karyanya yang paling penting. Dengan menulis buku ini, Mulla Sadra memperkenalkan sistem filosofis baru yang kemudian dikenal sebagai "kebijaksanaan transenden" dan telah menjadi sistem filosofis terkuat dan terpopuler di dunia Islam sejak saat itu. Dua karakteristik kebijaksanaan transenden adalah pendekatan mistiknya dan kesesuaian akal dan wahyu dalam sistem filosofis ini. Sebelum Mulla Sadra, para filosof besar lainnya seperti Ibnu Sina, Suhrawardi dan Mirdamad telah mencoba menghadirkan sistem filsafat yang sesuai dengan sistem agama Islam. Karena didasarkan pada keyakinan bahwa agama tidak bertentangan dengan akal, dan oleh karena itu temuan akal sehat harus sesuai dengan apa yang telah sampai kepada manusia melalui wahyu. Masing-masing orang bijak ini mencapai kesuksesan dan mengambil langkah menuju tujuan ini, tetapi tujuan penting ini dicapai oleh Mulla Sadra, dan sistem filosofis yang dia bangun tetap tak tertandingi selama tiga ratus tahun terakhir.
Mulla Sadra dalam Hikmah Mutaaliyah menjelaskan dan membenarkan masalah filsafat dengan menggunakan metode akal, narasi (ilmu-ilmu pewahyuan) dan penemuan mistik dan intuisi. Kebijaksanaan transenden mengacu pada pengetahuan dan pengetahuan yang mengandung rahasia dan kebenaran yang diambil dari khazanah kebijaksanaan ilahi, yang pemahamannya di luar akal. Orang bijak ini, selain filsafat-filsafat sebelumnya, telah memberikan perhatian khusus kepada Al-Qur'an, hadits, teologi dan tasawuf sebagai sumber kebijaksanaan transenden, dan metodenya adalah kombinasi dari pengetahuan Al-Qur'an, mistik dan rasional. Sadr al-Mutallahin dalam karya tulis filosofisnya yang paling penting disebut; "Kebijaksanaan transenden dalam empat perjalanan intelektual" telah menjelaskan dengan baik prinsip dan dasar sistem filosofis ini.
Sekitar tahun 1040 H, Mulla Sadra kembali ke Shiraz. Tampaknya penguasa Persia telah mengundangnya ke Shiraz untuk menjalankan sekolah besar. Mulla Sadra juga mengajar filsafat, tafsir dan hadits di Shiraz dan membesarkan murid-muridnya. Kali ini, seperti periode pertama tinggalnya di Shiraz, ia berada di bawah tekanan fitnah dan fitnah sesama ilmuwan, tetapi saat ini, Sadr al-Muta'allehin adalah seorang bijak yang lengkap dan terkenal dan memutuskan untuk menahan tekanan mereka. dan memperkenalkan serta mendirikan sekolahnya.
Dia bukan lagi seorang ilmuwan muda tetapi seorang mistikus lengkap dan mistikus yang tidak dapat dengan mudah dihilangkan dari bidang studi dan perdebatan oleh para simpatisan. Dengan cara ini, Mullah Sadra mampu memperkuat fondasi kebijaksanaan transenden dan melatih siswa, yang masing-masing membantu memperdalam dan memajukan sekolah ini. Mullah Mohsen Fayz Kashani dan Fayyaz Lahiji adalah murid terbesarnya.
Mulla Sadra telah meninggalkan lebih dari lima puluh karya tertulis dalam ingatannya.Karyanya yang paling penting dan terkenal disebut Asfar, yang telah kami sebutkan sebelumnya. Selain banyak karya filosofis, ulama besar ini juga telah menulis buku-buku tentang tafsir Al-Qur'an dan penjelasan prinsip-prinsip yang memadai. Selain menulis buku, ia telah berjasa besar bagi kemajuan ilmu dan pengetahuan di dunia Syi'ah dengan mendidik para ulama terkenal. Mulla Sadra meninggalkan enam anak, yang masing-masing telah mendapatkan cukup banyak manfaat dari ilmu-ilmu keislaman dan dianggap sebagai salah satu pemikir terkemuka pada masanya.
Hakim Mulla Sadra menunaikan haji tujuh kali selama 71 tahun hidupnya. Perjalanan haji dianggap sebagai perjalanan yang sulit bahkan hari ini, meskipun fasilitas transportasi dan komunikasi canggih. Tentu saja, 300 tahun yang lalu, ketika para peziarah melakukan perjalanan ke padang pasir dalam bentuk karavan dengan kuda dan unta, perjalanan ini memiliki kesulitan tersendiri. Namun Mulla Sadra, menurut nasehat dan tradisi para pemuka agama, telah melakukan perjalanan seperti itu sebanyak tujuh kali dengan berjalan kaki. Perjalanan ketujuhnya ke Ka'bah terjadi pada usia tujuh puluh satu tahun, dan selama perjalanan inilah masa hidupnya yang diberkati berakhir dan dia meninggalkan dunia material. Jenazah filosof dan mistikus besar Syi'ah ini dipindahkan ke kota Najaf dan dimakamkan di "serambi para ulama", yaitu di sisi kiri halaman tempat suci Imam Ali (as), Imam Syi'ah pertama.
Bersama Imam Husein as; Asyura, Simbol Kebenaran dan Kebatilan (10)
Siang hari Asyura. Paruh kedua siang hari dan langit berwarna merah darah. Hari ini, hari kesepuluh bulan Muharram atau Asyura. 1382 tahun berlalu dari peristiwa Asyura tahun 61 H. Dunia memanas dan sakit. Ini tahun kedua pecinta Husein tidak menggelar acara duka di masjid karena menjaga protokol kesehatan. Masyarakat dihimbau untuk tidak berkumpul.
Masyarakat menggelar acara duka Husein di lapangan dan tempat terbuka. Para pecinta Husein dengan mengenakan masker mulai berduka, memukul dada dan menangis. Jalan-jalan diwarnai kain hitam dan jalan-jalan terdengar suara khutbah tentang Imam Husein dan Sayidah Zainab. Para Maddah melantunkan syair dan puisi mereka di jalan-jalan dan sambil mengendarai unta. Seakan-akan saat ini Husein menjadi korban kebodohan dan kezaliman zamannya.
Hari ini, hari Asyura. Siang hari yang panas pun tiba dan langit berwarna merah darah. Imam Husein as, cucu tercinta Rasul dan penghulu pemuda surga dikepung musuh. Untuk terakhir kalinya, Imam mengucapkan salam perpisahan dengan keluarganya. Ia mengambil anaknya yang masih bayi dan mengangkatnya sehingga hujjah terpenuhi bagi semua orang bahwa saya di jalan ini bahkan membawa anak bayiku. Tapi musuh menjawabnya dengan panah yang mengenai tenggorokan bayi kecil ini. Dengan sangat sedih Imam melemparkan darah bayinya tersebut ke langit dan memohon Allah menerima kurban ini.
Saat-saat yang sulit berlalu, namun Imam yang semakin dekat dengan kesyahidan, wajahnya semakin tenggelam dan keberadaannya penuh dengan kecintaan kepada Tuhan. Ia berperang seakan-akan Singa Allah, Ali bin Abi Thalib yang sedang berperang. Ia menunaikan shalat terakhir di bawah hujan panah dan kini para sahabatnya telah gugur. Ia sendirian di tengah medan perang. Tiba-tiba Zur’ah bin Syarik memukul mam dari sisi kiri dan mengenai pundak beliau. Imam kehilangan keseimbangan dan turun dari kudanya dengan luka yang parah. Tapi keagungannya membuat musuh tidak berani datang membunuhnya. Tidak ada yang berani memotong kepala cucu tercinta Rasulullah ini.
Selanjutnya orang yang berhati batu dan sadis mengayunkan pedangnya ke kepala Imam Husein as. Pedang tersebut mengoyak penutup kepala Imam dan mengenai kepala mulia beliau. Darah mengalir dari kepala suci ini. Namun uniknya saat itu, Imam dengan hati penuh harap dan cinta akan pertemuan dengan Allah, mulai bermunajat, “Ya Allah! Aku ridha dengan keridhaan-Mu dan aku menerima segala urusan yang Kamu tentukan.”
Umar bin Saad, komandan pasukan Yazid berteriak, “Celaka kalian ! Turunlah kalian dari kuda dan selesaikan urusan Husein !
Sinan bin Anas turun dari kudanya dan pergi ke atas kepala Imam. Kemudian ia menurunkan pedangnya ke tenggorokan Imam dan berkata, “Aku bersumpah akan memisahkan kepala dari badanmu, meski aku tahu kamu anak Rasul dan ayah serta ibumu adalah orang terbaik di muka bumi.”
Langit semakin kelam dan gelap. Kebenaran berada di ujung tombak. Husein dengan bibir kering melantunkan ayat al-Quran dan epik besar Asyura mencapai puncaknya.
Di antara semua peristiwa sejarah, peristiwa Asyura semakin terlihat setiap hari dan telah menambah umur panjang kebesaran peristiwa Asyura dan membuatnya lebih sejahtera sejauh orang-orang saat ini merasa dan menjadi milik Imam Husein as dan filosofi epik Hosseini yang mereka ambil. Sungguh, unsur apa yang ada dalam peristiwa Asyura yang menyinari kegelapan sejarah dan semakin banyak hati yang memperhatikannya setiap hari?
Dari sudut pandang para pakar, adegan menyakitkan Asyura dan tindakan keji yang dilakukan terhadap Imam dan keluarganya bukanlah hasil dari pikiran yang sehat dan terarah. Darah murni keluarga Nabi Saw yang mengalir di pasir gurun Karbala tidak seperti aliran air biasa. Darah itu adalah darah orang yang paling baik dan paling mulia yang telah berulang kali dipesankan oleh Nabi Saw. "Orang seperti itu tidak akan pernah berada di jalan yang salah dan pembunuhnya benar.”
Karakter besar ini telah menghiasi lembaran sejarah dengan kebebasan, tuntutan kebenaran dan akhlak utama yang indah. Ketika terbuka peluang untuk meraih harta benda dan kekayaan duniawi, serta Husein mampu menyelamatkan dirinya dari kematian, namun ia tidak melakukannya. Imam Husein as bangkit melawan arus kebatilan berdasarkan seruan al-Quran yang meminta manusia berjihad dengan harta dan nyawanya di jalan Tuhan. Tanpa rasa takut akan kekuatan musuh, dan berbeda dengan arus yang marak di zaman itu, Husein mengambil langkahnya sendiri. Ia menyeru masyarakat kepada penyembahan Yang Esa dan kebahagiaan serta mengingatkan masyarakat yang lalai. “Apakah kalian tidak menyaksikan kebenaran tidak dijalankan dan kebatilan tidak dicegah ?”
Peristiwa Asyura mewakili perjuangan antara benar dan salah sepanjang sejarah. Benar berarti segala sesuatu yang sesuai dengan kenyataan yang ada. Artinya, subjek yang kuat dan stabil di mana kepalsuan tidak mungkin terjadi. Dalam ayat-ayat Al-Qur'an, esensi suci Tuhan adalah realitas terbesar yang tidak dapat disangkal dan dunia yang diciptakan oleh Tuhan didasarkan pada standar kebenaran. Dalam ayat 62 Surah Al-Hajj, dinyatakan: “(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar."
Oleh karena itu, dasar dari kerja alam semesta adalah aturan hukum dalam semua komponennya. Itulah sebabnya mereka mengatakan bahwa yang benar itu asli dan yang batil itu tidak stabil. Al-Qur'an mencontohkan kepalsuan seperti buih di atas air, yang bisa dihancurkan. Dalam ayat 17 Surah Ar-Ra'd, Ia mengatakan: "Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” Oleh karena itu, siapa saja yang mengikuti jalan kebenaran maka ia akan bahagia dan selamat, dan sebaliknya seluruh kegagalan dan kesengsaraan milik mereka yang memiliki kebatilan.
Ahlul Bait nabi di samping al-Quran seperti bendara dan simbol-simbol adalah poros kebenaran dan bertanggung jawab memberi petunjuk umat. Kapan pun kebenaran keluar dari relnya, mereka akan mengembalikannya di tempat yang semestinya dan menjahui kebatilan. Dengan demikian di badai peristiwa yang ada, hanya dengan berlindung kepada Ahlul Bait nabi kita akan selamat dan tetap berada di jalan kebenaran.
Imam Ali as di khutbanya di Nahjul Balaghah mengatakan, “Kemana kalian pergi dan menghadap arah mana? Bendera kebenaran berkibar dan indikasinya nyata. Meski cahaya petunjuk bersinar, kalian tetap tersesat, kemana kalian pergi dan mengapa kebingungan, sementara ahlul bait nabi berada di tengah kalian ? Mereka adalah pemimpin kebenaran dan bendera agama serta bahasa yang benar dan jujur. Tempatkan mereka di tempat terbaik seperti yang dianjurkan al-Quran (di hati dan kalbu yang bersih) dan datangilah sumber air mereka untuk memenuhi dahaga kalian.”
Ketika Imam Husein as mengangkat panji-panji kebenaran dan kebajikan dan semua kebajikan dan keutamaan manusia; Umayyah dan tentara Yazid yang keras hati dan haus darah menorehkan kejahatan yang menunjukkan pencemaran spiritualitas dan moralitas kelompok batil, dan menunjukkan akhir dari kesombongan dan orang kafir. Hari ini, kelompok beberapa ratus ribu orang pasukan Yazid bukan hanya bukan nama dan tanda-tanda mereka hilang, tetapi dalam sejarah, mereka dikenal karena kekejaman, kesadisan, dan kebiadaban mereka. Kini, hanya nama Husein bin Ali as dan beberapa sahabatnya yang menggugah hati, dan para pencari kebenaran menjadikan jalan dan petunjuk Husein dalam menghadapi kebatilan, sehingga mereka tidak akan tersesat di jalan yang berlika-liku ini.
Demikianlah gugurnya cucu tercinta Rasulullah Saw di hari Asyura menciptakan semangat dan epik di jiwa manusia serta menghancurkan perasaan terpenjara dan kehinaan yang menguasai masyarakat, dan memberi kehormatan kepada umat manusia. Dengan demikian, keagungan dan kebangkitan manusia dapat disaksikan di setiap tahap dari kebangkitan Husein as. Hurr bin Yazid Riyahi merupakan orang pertama yang menyadari kebenaran kebangkitan Husein dan memisahkan diri dari kelompok batil serta bergabung dengan kafilah kebenaran. Kemudian kesadaran ini terus berlanjut.
Bersama Imam Husein as; Hari Tasu’a (9)
Sudah beberapa hari di tenda-tenda kafilah Husein tidak ada tanda air, karena sejak hari ketujuh, Umar bin Saad menutup air bagi mereka.
Hari ini, hari kesembilan bulan Muharram dan dikenal dengan Hari Tasu’a. Imam Shadiq as berkata, “Tasu’a adalah hari di mana Husein dan pengikutnya dikepung di Padang Karbala, dan pasukan Syam mengelilinginya serta mencegahnya bergerak. Dan anak Marjanah (Ibnu Ziyad) dan Umar bin Saad di hari itu sangat gembira karena memiliki pasukan besar dan Husein serta pengikutnya lemah. Mereka yakin bahwa Husein tidak lagi memiliki penolong dan rakyat Irak tidak akan menolongnya.”
Sudah beberapa hari tidak ada air di tenda kafilah Husein, karena sejak hari ketujuh, Umar bin Saad menutup air bagi mereka. Anak-anak kehausan. Tekanan ini dimaksudkan supaya Husein terpaksa berbaiat kepada Yazid, khalifah yang tak layak dan fasiq, yang memberi kesesatan dan kesengsaraan kepada rakyat. Husein tidak pernah bersedia menerima baiat ini dan mengatakan, “Mati dengan hormat lebih baik dari hidup penuh kehinaan.”
Shimr ibn Dhi 'l-Jawshan dengan empat ribu pasukan bergabung dengan pasukan Umar bin Saad, dan memberikan surat Ibnu Ziyad kepada Umar. Di surat tersebut, kekejaman Yazid tidak lagi disembunyikan. Ia menulis, “Umar ! Aku tidak mengirimmu untuk berdamai dengan Husein. Kini ketika suratku tiba, jika Husein mengabaikan usulan kami, maka seranglah dia. Bunuh dia beserta pengikutnya. Setelah kamu bunuh, mutilasi mereka. Setelah kamu bunuh Husein dan pengikutnya, injak-injaklah tubuh mereka dengan kuda. Aku tahu bahwa setelah mati, mengirim kuda untuk menginjak-injak tubuh mereka tidak ada manfaatnya, tapi karena sudah terlanjur keluar dari mulutku, maka harus kamu lakukan dan jika kamu memperhatikan ucapanku ini, maka kamu terhormat disisiku.”
Menyusul surat ini, pergerakan pasukan Umar bin Saad di Padang Karbala meningkat drastis. Mereka karena tidak berhasil membuat Husein menyerah, maka mereka siap berperang. Imam Husein as mengirim saudaranya, Abbas kepada mereka. Ketika menyadari keinginan perang mereka, Imam kembali mengirim Abbas kepada mereka dan berkata, “Saudaraku, minta waktu satu malam kepada mereka. Allah mengetahui bahwa aku sangat mencintai shalat, membaca al-Quran, doa dan istighfar.”
Shimr dari kabilah Bani Kilab dan memiliki hubungan famili dengan ibu Abbas, saudara Imam Husein as. Ia mengirim surat pengampunan dan jaminan keamanan kepada Abbas dan saudaranya, sehingga mereka terpisah dari pasukan kebenaran. Abbas, sang pembawa bendera epik Karbala dan legenda keberanian dan kebijaksanaan serta sangat cinta kepada Husein, kepada Shimr berkata, “Aku tidak akan berpisah dari Husein! Sungguh celaka kamu! Celaka kamu dan persetan dengan surat jaminan keamananmu ! Semoga Allah melaknat kalian dan surat jaminanmu ! Kami aman, tapi anak putri Rasulullah tidak.”
Mentari di hari kesembilan bulan Muharram (Tasu’a) bersinar dan kemudian kegelapan malam tiba. Imam Husein as mendatangi sahabatnya untuk menyempurnakan hujjahnya bagi mereka. Setelah memuji Tuhan, Imam berkata, “Sadarilah bahwa aku mengijinkan kalian untuk pergi; Pergilah kalian dan aku lepas baiat dari pundak kalian dan aku tidak memiliki perjanjian denganmu tentang diriku sendiri. Kini malam telah tiba dan dapat menutupi diri kalian; Gunakan kegelapan malam untuk melarikan diri dan berpencarlah kalian.”
72 pahlawan pasukan Husein as yang memiliki pengetahuan dan kebaikan khusus, sangat mencintai Imam dan menunjukkan kesetiaan dan pengorbanan di jalan Imam.
Ketika Imam kembali ke tenda, dihadapan pandangan khawatir Sayidah Zainab berkata, “Aku bersumpah, aku menguji mereka dan aku menemukan mereka sebagai lelaki yang menjadikan dadanya sebagai perisai, seakan-akan mereka menyaksikan kematian di pelupuk mata dan kematian di jalanku seperti bayi yang menyusu.”
Hubungan menakjubkan pengikut Imam Husein dengan beliua yang ditulis dengan tinta emas di sejarah adalah hasil dari sikap konsisten terhadap janji dan pakta ilahi serta iman mereka terhadap pilihan jalan dan tujuannya. Memenuhi dan konsisten dengan janji indikasi keagungan ruh dan hal ini meningkatkan kelezatan hidup sejati manusia. Konsisten dengan janji adalah bawaan murni dan berharga di epik Huseini. Bawaan yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan lalai akan hal ini akan membuat kejatuhan manusia.
Allah Swt di ayat ke-23 dan 24 Surah al-Ahzab menyebutkan salah satu indikasi iman adalah komitmen dengan janji dan pakta. Allah berfirman yang artinya, “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya), supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Imam Husein as membaca ayat ini di hari Asyura saat menyebutkan sifat para sahabat dan pengikutnya.
Kepastian dan keyakinan yang teguh pada janji dan imbalan ilahi juga merupakan hak istimewa para sahabat Imam Husein as. Mereka yakin bahwa mereka telah mengambil langkah menuju kemakmuran dan keselamatan, dan bahwa posisi tinggi menanti mereka. "Kepastian" disebut sebagai rukun iman dan sebagai ciri utama para sahabat Imam Husein as dalam insiden Karbala dan mengabadikan penciptaan epik ini. Apa yang ada di gurun Karbala juga di medan perang lainnya, tetapi unsur kepastian dalam diri para sahabat Husein membuat semua orang menyaksikan semua keindahan dan pengorbanan diri di Karbala ini.
Pada hari Asyura, Amr ibn Khalid berkata kepada dirinya sendiri selama pertempuran: "Hai jiwa, pindah ke Yang Maha Penyayang, beri Anda kabar baik kemudahan dan kehidupan yang mudah, pada hari itu (kebangkitan) Anda akan dibalas dengan kebaikan."
Di antara pengikut Imam, Sayidina Abbas terkenal dengan sifat pengorbanan dan kesetiaannya. Orang-orang ketika hari Tasu’a tiba, mereka teringat keagungan dan sifat ksatria Abbas. Sosok yang terdidik dengan keberanian di bawah pendidikan ayahnya dan unggul di bidang kebaikan dan sifat mulia. Di Karbala, ia pembawa bendera pasukan Husein. Di pasukan ini, ia bertugas mengawal dan melindungi saudaranya, penjaga tenda dan sandaran pasukan Husein. Ia juga bertanggung jawab menjaga keamanan dan kesejahteraan keluarga Ahlul Bait as. Selama Abbas hidup, wanita dan anak-anak di tenda akan merasa aman, karena musuh ketika melihat Abbas mereka ketakutan serta tidak berani mendekati tenda kafilah Husein.
Sayidina Abbas terlepas dari hubungan persaudaraan, meyakini Imam Husein as sebagai pemimpin dan imamnya, dan dengan iman terhadap kebenaran jalan dan tujuan Imam, ia tidak pernah lalai menyertai junjungannya ini dan membelanya. Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei terkait kesetiaan Sayidina Abbas mengatakan, “Kesetiaan Abul Fadh Abbas semakin terkuak di kasus ini, di Furat dan sikapnya yang tidak bersedia meminum air meski air Furat ada didepannya...Seperti diriwayatkan bahwa saat ini dan di detik-detik terakhir, anak-anak kecil, anak perempuan serta penghuni tenda Husein sangat kehausan...Rasa dahaga ini memaksa mereka meminta air kepada Imam Husein dan Abbas..Imam dan Abbas pergi ke sungai Furat untuk mengambil air. Kedua saudara pemberani ini saling melindungi dan berperang.....
“....Satu sisi Imam yang mendekati usia 60 tahun, tapi dari sisi keberanian dan kekuatan, ia sangat terkenal. Dan yang lainnya, seorang pemuda 30 tahun lebih, Abul Fadhl Abbas dengan karakteristik yang dikenal semua orang. Kedua saudara ini saling melindungi dan menyerang pasukan musuh serta membongkar blokade musuh untuk pergi ke sungai Furat dan mengambil air. Di kondisi seperti ini, Abbas semakin dekat dengan air dan sampai ke pantai. Seperti disebutkan diriwayat, Abbas memenuhi tempat air untuk anak-anak dan wanita di tenda Husein. Di sana pasti tidak ada yang mencela jika ia meminum seteguk air, karena ini adalah haknya dan ia sangat kehausan juga. Tapi di kondisi, Abbas menunjukkan kesetiaannya. Abbas ketika mengambil air, saat matanya memandang air, ia memikirkan saudaranya Husein yang tengah kehausan, ia ingat bibir kering Husein, mungkin ia ingat teriakan kehausan anak perempuan dan anak-anak lain di tenda, mungkin juga ia teringat tangisan kehausan Ali Asghar (anak Imam Husein yang baru berusia enam bulan), dan hatinya tidak ingin meminum air. Ia menumpahkan air di tangannya. Saat itulah tragedi terjadi pada Abbas hingga guhur syahid.”