کمالوندی

کمالوندی

Jumat, 20 Agustus 2021 23:37

Islamophobia di Barat (50)

 

Parlemen Denmark pada Mei 2018 menyetujui undang-undang yang melarang pemakaian burka dan niqab di tempat umum. Ratusan orang melakukan aksi protes di Denmark untuk menolak undang-undang tersebut.

Para pengunjuk rasa mengenakan niqab di Kopenhagen. Sekitar 1.300 warga Denmark dari kalangan Muslim dan non-Muslim turun ke jalan-jalan untuk memprotes larangan niqab dan menuduh pemerintah melanggar hak perempuan dalam masalah berpakaian.

Para pengunjuk rasa yang rata-rata mengenakan niqab atau burka, bergerak dari distrik sayap kiri, Norrebro ke kantor polisi Bellahoj di pinggiran ibukota. Di sana, mereka membentuk rantai manusia dan kemudian bergerak kembali ke Norrebro sebelum membubarkan diri.

Para demonstran meneriakkan slogan-slogan "Tidak ada tempat untuk orang-orang rasis di jalan kami" dan "Hidup saya, pilihan saya" selama aksi yang berlangsung tiga jam itu.

"Kita perlu mengirim sinyal kepada pemerintah bahwa kita tidak akan tunduk pada diskriminasi dan undang-undang yang secara khusus menargetkan minoritas agama," tegas Sabina (21 tahun), seorang mahasiswa yang mengenakan niqab kepada kantor berita Reuters, dan meminta agar nama lengkapnya tidak ditulis.

Sabina adalah satu dari sekitar 150-200 wanita Muslim di Denmark yang setiap hari mengenakan pakaian niqab atau burqa yang menutupi wajah atau seluruh tubuh. Warga Muslim berjumlah sekitar 5 persen dari 5,7 juta populasi Denmark.

Berdasarkan undang-undang tersebut, polisi dapat memerintahkan perempuan untuk melepas niqab mereka atau memerintahkan mereka meninggalkan tempat umum. Menteri Kehakiman Denmark, Soren Pape Poulsen mengatakan aparat keamanan akan mendenda mereka dan meminta mereka pulang. Denda dimulai dari 1.000 krone Denmark ($ 160) untuk pelanggaran pertama dan hingga 10.000 krone untuk yang keempat kalinya.

Terlepas dari bahasanya yang umum, undang-undang ini secara luas ditafsirkan sebagai diskriminasi terhadap Muslim Denmark serta melanggar hak perempuan untuk kebebasan berekspresi dan beragama. Para kritikus menganggap undang-undang itu sebagai alasan utama meningkatnya sentimen anti-imigran, mengingat sangat sedikit sekali jumlah wanita Muslim di Denmark yang benar-benar mengenakan penutup wajah.

"Jika maksud dari undang-undang ini adalah untuk melindungi hak-hak perempuan, ini jelas-jelas gagal," kata Fotis Filippou, Wakil Direktur Amnesty International untuk Eropa. "Sebaliknya, undang-undang ini mengkriminalisasi perempuan akan cara mereka berpakaian," tambahnya.

Aksi protes terhadap UU larangan burka dan niqab di Denmark.
Martin Henriksen, seorang anggota parlemen dari partai sayap kanan Rakyat Denmark – yang mengusulkan larangan itu – mengatakan ia sangat senang dengan kemajuan aturan tersebut. "Kami percaya ini adalah langkah penting bagi negara kami dan kami berharap ini akan mengilhami negara lain untuk melakukan hal yang sama. Itu tidak dapat disandingkan dengan budaya dan nilai-nilai Denmark," ujarnya.

Henriksen menjelaskan bahwa Partai Rakyat Denmark ingin melawan "Islam politik" dan "kelompok-kelompok fundamentalis."

Sikap ini menunjukkan bahwa aturan yang melarang penggunaan burqa sepenuhnya bermotif politik dan harus dipandang dalam konteks Islamophobia di Denmark. Sejauh ini belum ada laporan pelanggaran hukum, atau kejahatan dan aksi terorisme dengan mengenakan burka dan niqab, sehingga ia harus dilarang dengan alasan keamanan.

Di Austria, Prancis, dan Belgia juga ada larangan penggunaan burka dan niqab. Semua negara ini mengklaim bahwa larangan itu tidak menargetkan agama tertentu. Namun, mereka tidak melarang penggunaan penutup kepala, sorban Sikh, dan kippah Yahudi. Kontradiksi ini adalah contoh lain dari bentuk sentimen anti-Islam yang dijalankan di sejumlah negara Eropa.

Seorang wanita Muslim Denmark menjadi orang pertama yang didenda karena mengenakan niqab. Sara, sanita keturunan Turki ini, dijerat dengan hukum baru mengenai larangan penggunaan burka dan niqab di tempat umum. Dia didenda 1.000 krone karena menolak melepas cadarnya. Dia adalah anggota kelompok Kvinder I Dialog (Women In Dialogue) yang menentang larangan penggunaan burka dan niqab di Denmark.

"Saya harus menjadi diri saya sendiri dan bertindak berdasarkan apa yang saya yakini, atau saya harus berlutut di hadapan sesuatu yang saya anggap salah. Mandela dipenjara selama 27 tahun karena berperang melawan Apartheid. Tetapi ketika dia dibebaskan, dia menjadi Presiden Afrika Selatan," ujar Sara kepada wartawan Deutsche Welle.

Para pendukung larangan burka dan nikaq menganggap model pakaian seperti itu sebagai "simbol penindasan terhadap perempuan" dan tidak dapat diterima. Namun, para kritikus mengatakan penerapan aturan semacam itu selain melanggar hak individu, juga merupakan keputusan yang tidak perlu dan tidak proporsional.

Amnesty International menyebut aturan yang diloloskan oleh parlemen Denmark, sebagai perlakuan diskriminatif terhadap hak-hak perempuan. Para pendukung larangan ini bahkan tidak memiliki alasan, yang bisa memuaskan lembaga-lembaga yang lahir dari sistem liberal demokrasi Barat.

Fotis Filippou, Wakil Direktur Amnesty International untuk Eropa, mengatakan, "Semua wanita harus bebas berpakaian sesuka mereka dan mengenakan pakaian yang mengekspresikan identitas atau keyakinan mereka. Larangan ini akan berdampak sangat negatif pada wanita Muslim yang memilih untuk mengenakan niqab atau burka.

Semua aturan yang diterapkan di Eropa atas nama membela hak-hak perempuan, pada dasarnya mengejar satu tujuan yaitu meningkatkan pembatasan terhadap wanita Muslim di Eropa.


Gelombang kekerasan terhadap wanita berjilbab di negara-negara Barat meningkat di tengah kegiatan kampanye pembelaan hak-hak perempuan di seluruh dunia. Studi menunjukkan bahwa kekerasan ini diarahkan untuk menolak ajaran Islam yang menyerukan perdamaian dan keadilan.

Surat kabar Amerika, The Huffington Post melaporkan bahwa kubu anti-Islam menyembunyikan pemikiran mereka di balik klaim melindungi kaum perempuan. Mereka berpendapat bahwa Islam mendiskriminasikan antara wanita dan laki-laki. Mereka mengaku ingin menyelamatkan perempuan, tapi justru mengabaikan suara wanita Muslim yang ingin mengamalkan ajaran agamanya.

Amani al-Khatahtbeh, seorang remaja New Jersey dan pendiri majalah MuslimGirl.com dalam wawancaranya dengan The Huffington Post, menuturkan, "Islamophobia telah menjadi sebuah perang terhadap gender. Industri Islamophobia secara strategis menggunakan tubuh wanita Muslim untuk melanggengkan kebencian terhadap Islam, seperti dengan mengatakan bahwa wanita Muslim dipaksa berhijab. Dengan cara ini, mereka menyebarkan ideologi rasis terhadap negara-negara Muslim."

"Hasilnya adalah bahwa komunitas Muslim yang paling rentan adalah wanita yang mengenakan jilbab, mereka menjadi target yang lebih terpolarisasi dan serangan kebencian. Orang-orang fanatik anti-Muslim benar-benar mengubah [wanita Muslim] menjadi simbol dari semua yang mereka benci," jelasnya.

Menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh Institute for Social Policy and Understanding pada tahun 2017, wanita Muslim merasa lebih takut terhadap keselamatan dirinya daripada pria Muslim (47 persen vs 31 persen). Wanita Muslim menderita trauma emosional pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan pria Muslim (19 persen vs 9 persen). Jumlah wanita Muslim yang mendaftar untuk kursus membela diri, mungkin dua kali lipat lebih banyak daripada pria Muslim.

Pada 2017, Tell MAMA mencatat total 1.330 laporan. Dari laporan ini, 1.201 diverifikasi sebagai anti-Muslim atau Islamophobia dan terjadi di Inggris antara Januari dan Desember 2017. Data 2017 menunjukkan bahwa hampir 6 dari 10 korban kebencian anti-Muslim di jalanan adalah perempuan, dan 8 dari 10 pelaku adalah laki-laki.

Matthew Feldman, salah satu pendiri Centre for Fascist, Anti-Fascist and Post-Fascist Studies di Universitas Teesside yang menganalisis data Tell MAMA, mengatakan bahwa secara umum telah terjadi kekerasan terhadap Muslim, tapi jumlah korban lebih banyak wanita karena identitas mereka terlihat dari pakaiannya daripada laki-laki. 

Jumat, 20 Agustus 2021 23:37

Islamophobia di Barat (49)

 

Edisi kali ini menyoroti kemenangan timnas sepak bola Prancis pada Piala Dunia 2018 Rusia, di mana sepertiga pemainnya tercatat sebagai Muslim. Fakta ini menarik perhatian sejumlah media dan pengguna Twitter.

Setelah kemenangan Prancis pada Piala Dunia 2018 Rusia dan mengingat kontribusi pemain Muslim dan imigran dalam kemenangan ini, akhirnya banyak pengguna Twitter menekankan perlunya mengakhiri kebijakan xenofobia dan Islamophobia di negara itu.

Paul Pogba, salah satu pencetak gol timas Prancis di laga final, dan enam rekan satu timnya adalah Muslim. Hampir 80 persen dari pemain timnas Prancis di Piala Dunia 2018 merupakan anak-anak imigran dan sepertiga dari mereka beragama Islam. Imigran membentuk sepuluh persen dari total populasi Prancis.

Setelah Prancis membawa pulang trofi Piala Dunia, banyak pengguna Twitter berpendapat bahwa pemerintah Paris harus mengakhiri pendekatan standar ganda terhadap warga imigran dan Muslim.

Seorang pengguna Twitter menulis, "Terlepas dari semua undang-undang anti-Islam yang diadopsi Prancis, tidak boleh dilupakan bahwa orang-orang Muslim-lah yang membantu Prancis memenangkan Piala Dunia."

Menurut pengguna lain, orang-orang Afrika dan Muslim mempersembahkan kemenangan untuk Prancis dan sekarang Paris harus memberi mereka keadilan.

Pengguna lain menyebut kebijakan anti-asing dan anti-Muslim yang diadopsi Prancis sebagai memalukan, karena orang-orang Muslim dan Afrika berkontribusi atas kemenangan Prancis pada Piala Dunia 2018.

Prancis memiliki populasi Muslim terbesar di Eropa. Lembaga-lembaga resmi Prancis memperkirakan jumlah Muslim di negara itu mencapai enam juta orang. Namun, Muslim Prancis menghadapi semua bentuk diskriminasi, pembatasan, dan serangan bermotif rasial.

Prancis memelopori gerakan anti-Islam di Eropa dengan melarang pelajar Muslimah mengenakan jilbab di sekolah-sekolah pada pertengahan 1990-an. Larangan ini tidak terbatas pada penggunaan jilbab di sekolah, tapi kehadiran perempuan dan wanita berjilbab juga dibatasi di banyak ruang publik di Prancis.

Tindakan pemerintah Paris membatasi warga Muslim didasari pada tuntutan kelompok sayap kanan dan anti-Islam. Gerakan-gerakan pro-Zionis juga sangat mendukung pembatasan itu.

Paul Pogba dan rekan-rekannya di Piala Dunia 2018 Rusia.
Saat ini komunitas Yahudi Eropa memiliki jumlah terbesar di Perancis. Zionis dan rezim Zionis memiliki lobi berpengaruh di pemerintah Prancis. Banyak pejabat politik, intelijen, dan keamanan Prancis memiliki ikatan dengan Yahudi karena garis keturunan atau alasan lain.

Mereka selalu berusaha mencari dukungan pemerintah Paris dengan membesar-besarkan isu anti-Semitisme dan menutupi kejahatan rezim Zionis di wilayah Palestina pendudukan.

Prancis menghadapi beberapa serangan terorisme dalam beberapa tahun terakhir. Tindakan ini berakar pada perlakuan diskriminatif pemerintah Prancis terhadap warga Muslim serta dukungan negara itu kepada kelompok-kelompok takfiri dan teroris di Suriah, Irak, dan Libya.  

Realitas kehidupan di Barat menunjukkan bahwa kontribusi umat Islam secara umum baik mereka yang tinggal di Prancis, Jerman atau Inggris, berguna dan positif. Warga Turki memainkan peran penting dalam membangun Jerman pasca Perang Dunia II. Pada saat yang sama, kaum Muslim di Afrika Utara berimigrasi ke Prancis selama era kolonialisme dan tetap setia pada negara dan Konstitusi Prancis meskipun menghadapi diskriminasi dan perlakuan buruk.

Kebijakan anti-Islam dan pelanggaran hak-hak sipil Muslim, menyebabkan sebagian pemuda merasa tidak nyaman. Prancis yang mengaku mendukung kebebasan berekspresi, telah membantai jutaan Muslim di Afrika Utara selama abad ke-19 dan 20 Masehi. Bahkan sampai berakhirnya Perang Dunia II, Prancis melanjutkan praktik kolonialisme di Afrika Utara.

Namun, pemerintah Paris memandang pemicu tindakan teroris di Prancis adalah ekstremisme Islam dan al-Quran dalam mendukung kekerasan, tanpa melihat sejarah perlakuan buruk Prancis terhadap Muslim Afrika khususnya Aljazair, dan konsekuensi mendukung kelompok teroris takfiri seperti Daesh di Suriah.

Prancis kemudian melakukan kampanye anti-Muslim dan Islamophobia serta menjustifikasi pengekangan terhadap warga Muslim meskipun itu melanggar hukum kebebasan beragama yang dijamin oleh Konstitusi Prancis dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Kampanye ini hanya akan menyebabkan komunitas Muslim termarginalkan.

Orang-orang Muslim yang sekarang menjadi pemain timnas Prancis, bekerja keras tanpa menikmati dukungan khusus dan mereka berhasil tampil sebagai pemain profesional di dunia dan diundang ke timnas. Mereka menganggap kemenangan dalam Piala Dunia sebagai kehormatan besar bagi diri mereka sendiri dan Prancis.

Muslimah Prancis memprotes larangan penggunaan jilbab.
Para pemain Muslim ini bangga dengan Prancis. Sama seperti orang tua mereka yang berperang untuk Prancis pada Perang Dunia I dan II. Beberapa tahun yang lalu, kuburan sejumlah tentara Muslim Prancis yang terbunuh selama Perang Dunia I dan II dirusak oleh kelompok anti-Islam dan Zionis.

Mereka menghancurkan batu nisan makam tentara Muslim dan menuliskan gambar salib di atasnya. Presiden Prancis waktu itu, Nicolas Sarkozy mengatakan batu nisan yang telah dirusak itu milik tentara Muslim Prancis, dan menyebut tindakan tersebut sebagai noktah hitam dalam sejarah Prancis.

Lalu, apakah serangan ke masjid-masjid, ancaman membunuh wanita berjilbab, serangan terhadap pelajar Muslimah, dan penyampaian pidato kebencian terhadap warga Muslim, bukankah ini noktah hitam bagi Prancis, negara yang mengklaim dirinya sebagai tanah lahirnya kebebasan berekspresi dan demokrasi. Tindakan memelopori pembatasan terhadap umat Islam di Eropa, bukankah sebuah aib bagi pemerintah Prancis?

Salah satu penggunan Twitter, Shahab Esfandiyari dalam sebuah pesan menulis, "Prancis yang terhormat, selamat atas kemenangan Piala Dunia. 80 persen dari tim Anda adalah imigran Afrika. Jadi, tolong akhiri rasisme dan heterofobia di Prancis. 50 persen dari tim Anda adalah Muslim. Tolong akhiri Islamophobia di Prancis. Mereka memberi Anda Piala Dunia kedua. Tolong berikan mereka keadilan."

Diharapkan bahwa dengan kemenangan yang telah dipersembahkan orang-orang Muslim kepada timnas Prancis, gelombang Islamophobia akan dihentikan selamanya di negara itu dan membuka mata dunia tentang kebohongan-kebohongan yang dibuat untuk menyudutkan Islam.

Jumat, 20 Agustus 2021 23:36

Islamophobia di Barat (48)

 

Senat Prancis dalam sebuah laporan tentang ancaman terorisme, menyatakan keprihatinan atas penyebaran Salafisme. Laporan ini merekomendasikan mobilisasi lembaga-lembaga pemerintah dan menyiapkan kerangka hukum untuk melawan Salafisme secara efektif di Prancis.

Komite Investigasi Senat memeriksa kesiapan badan-badan pemerintah untuk melawan ancaman baru terorisme pasca bubarnya kelompok teroris Daesh. Komite menyetujui penguatan beberapa badan pemerintah dan memperkirakan bahwa badan-badan tersebut tidak cukup untuk melawan ancaman baru terorisme.

Komite Investigasi Senat menyesalkan bahwa tidak adanya keberanian pemerintah telah menyebabkan suburnya paham Salafisme di masyarakat Prancis. Pengawasan lembaga keamanan terhadap orang-orang yang berafiliasi dengan kelompok Salafi, tidak mampu mencegah tindakan terorisme yang melibatkan mereka.

Masyarakat Muslim tercatat sebagai komunitas agama terbesar kedua di Prancis dengan jumlah sekitar 5 juta orang dan memiliki 2.500 masjid dan tempat ibadah. Sejak pertengahan dekade 1990-an, masyarakat Muslim Prancis menghadapi berbagai pembatasan dalam menjalankan agamanya termasuk larangan penggunaan jilbab bagi pelajar Muslimah di sekolah.

Dengan maraknya aksi teror di Prancis dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Muslim di negara itu selalu dikaitkan dengan setiap aksi terorisme. Setiap serangan teror di Prancis selalu diikuti dengan gelombang kekerasan dan tuduhan miring terhadap warga Muslim di media-media Prancis.

Padahal, tindakan keji itu dilakukan sekelompok kecil orang yang mengaku dirinya Muslim, tapi keliru dalam menafsirkan ajaran Islam. Namun, pemerintah Prancis dan Barat selalu menggunakan diksi terorisme Islam. Jika serangan terorisme dilakukan seorang Yahudi, Kristen, atau Budha, mereka tidak akan mencapnya sebagai terorisme Yahudi atau terorisme Kristen dan atau terorisme Budha. Padahal, tindakan terorisme yang dilakukan orang Yahudi, Kristen, Budha, atau Hindu, tidak sedikit kasusnya di dunia.

Kejahatan rezim Zionis terhadap warga Palestina.
Tiada hari bagi orang Zionis – yang menyebut dirinya Yahudi – tanpa menumpahkan darah warga Palestina. Di Amerika, setiap hari ada laporan tentang kejahatan yang dilakukan oleh orang yang menyebut dirinya sebagai Kristen. Di Myanmar, warga Muslim Rohingya disiksa dan dibunuh dengan cara yang paling keji oleh orang-orang Budha. Di Kashmir, banyak Muslim meninggal dunia di tangan warga Hindu.

Kejahatan tersebut tidak pernah dianggap sebagai terorisme Yahudi atau Kristen, Budha, dan Hindu. Tapi jika ada orang yang mengaku dirinya Muslim dan melakukan tindakan terorisme, aksi ini langsung dikaitkan dengan Islam dan melabelinya sebagai terorisme Islam.

Tidak ada kata lain untuk menyebut pendekatan Barat ini kecuali upaya menyebarkan Islamophobia dan sentimen anti-Islam serta tindakan untuk membatasi warga Muslim menjalani ajaran agamanya.

Padahal menurut prinsip-prinsip liberalisme, setiap manusia bebas dalam memilih dan mempraktikkan keyakinannya. Namun, pemerintah Barat mencitrakan Islam sebagai ancaman sehingga memiliki alasan untuk mengekang warga Muslim menjalani hidup berdasarkan prinsip kebebasan yang diyakini Barat.

Mengenai kegiatan kelompok Salafi termasuk aksi terornya, perlu dicatat bahwa gerakan Salafi-Wahabi merupakan buah dari kebijakan pemerintah Prancis dan beberapa negara Barat di Eropa serta beberapa negara Muslim di wilayah Asia Barat.

Interpretasi keliru terhadap ajaran Islam selalu ditemukan di sepanjang sejarah Islam, tapi gerakan ini tidak pernah menemukan kesempatan seperti sekarang ini di mana mampu menyulut perang dan merusak keamanan beberapa negara Muslim di kawasan. Mereka bahkan memperluas tindakan terorismenya sampai ke wilayah Eropa.

Lembaga-lembaga penelitian, pakar politik, dan media di Barat percaya bahwa Al Qaeda dan Taliban di Afghanistan serta Daesh di Irak dan Suriah, terbentuk dan memperoleh kekuatan karena kebijakan Amerika Serikat dan beberapa negara Barat.

Pemerintah Barat – demi memajukan agendanya – memicu krisis di negara-negara Muslim dengan memberikan dukungan politik, finansial, dan militer kepada kelompok Salafi-Wahabi yang beroperasi di negara-negara Muslim. Sumber pemikiran dan pendanaan utama kelompok ini berasal dari para penguasa Wahabi di Arab Saudi.

Arab Saudi adalah sekutu dekat Prancis dan Amerika serta negara-negara Eropa, yang mengaku memperjuangkan tegaknya demokrasi dan memerangi terorisme. Paris memberikan dukungan kepada Riyadh dalam menyulut perang di Suriah dan Irak.

Pemerintah Paris membiarkan ribuan pemuda Muslim Prancis berangkat ke Suriah dan Irak untuk bertempur. Mereka merupakan orang-orang yang belajar di masjid-masjid dan lembaga-lembaga yang berada di bawah asuhan ulama Wahabi di Prancis dan negara-negara lain Eropa.

Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman (kiri) dan Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Sepertiga anggota Daesh di Suriah adalah warga negara Eropa, termasuk Prancis. Jadi mustahil sejumlah besar warga Eropa ini bisa pergi ke Irak dan Suriah tanpa sepengetahuan lembaga keamanan dan intelijen mereka.

Kekhawatiran Senat Prancis mengenai aktivitas gerakan Salafi di negara itu juga mengacu pada warga negara Eropa yang pernah pergi ke Irak dan Suriah. Senat Prancis menyatakan keprihatinan atas keberadaan orang-orang yang mereka sebut Salafi, tetapi para senator sama sekali tidak berbicara tentang pentingnya meninjau ulang hubungan Prancis dengan Saudi, negara yang menjadi sumber ekstremisme di kawasan.

Saat ini pemerintah Paris dengan menjual senjatanya kepada Riyadh, sejatinya telah terlibat langsung dalam pembantaian rakyat Yaman, yang dilakukan oleh militer Saudi dan Uni Emirat Arab.

Padahal, 75 persen orang Prancis dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga YouGov, mendesak pemerintah untuk menghentikan ekspor senjata ke negara-negara agresor Yaman termasuk Arab Saudi. 69 persen responden menyerukan peran yang lebih besar parlemen Prancis dalam mengontrol penjualan senjata ke luar negeri.

Tuntutan itu mendorong para legislator Prancis dan bahkan Sebastien Nadot – sekutu presiden Prancis – membuka penyelidikan tentang legalitas penjualan senjata ke Saudi Cs yang terlibat dalam perang Yaman.

Senat Prancis jika benar-benar prihatin dengan ancaman teroris Salafi di Prancis, maka pertama-tama mereka harus meninjau ulang hubungan negara itu dengan Saudi dan menghentikan penjualan senjata ke Riyadh. Namun, kecil kemungkinan para senator Prancis akan mengambil langkah semacam ini.

Prancis dan pemerintah Eropa lainnya mengadopsi kebijakan standar ganda dalam memerangi terorisme, dan selama ada standar ganda, maka ancaman terorisme akan tetap ada.

Jumat, 20 Agustus 2021 23:36

Islamophobia di Barat (47)

 

Politisi anti-Islam dari Belanda, Geert Wilders menentang keanggotaan Turki di Uni Eropa. Setelah Recep Tayyip Erdogan memenangi pemilu presiden Turki, Wilders dalam sebuah pesan video menyatakan Uni Eropa tidak akan pernah menerima keanggotaan Turki.

Ketua Partai Kebebasan (PVV) – partai terbesar kedua di parlemen Belanda – dalam pesannya kepada rakyat Turki mengatakan, "Lupakanlah keanggotaan di Uni Eropa, kalian bukan orang Eropa dan tidak akan pernah menjadi anggota Uni Eropa. Seluruh nilai-nilai seperti kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia yang dibela Eropa, tidak dapat disandingkan dengan dengan Islam."

Geert Wilders dikenal anti-Islam dan anti-imigran di Belanda. Dia menyerukan pembatasan terhadap kegiatan sosial warga Muslim dan penghapusan simbol-simbol agama Islam termasuk masjid di Belanda dan seluruh Eropa. Sebelumnya dia pernah menyerukan agar al-Quran dilarang dan menyebut Islam sebagai keyakinan totalitarian.

Wilders menjustifikasi penghinaan terhadap sakralitas Islam sebagai kebebasan berekspresi. Ia mulai dikenal luas di dunia setelah memproduksi sebuah film pendek anti-Islam yang berjudul "Fitna" pada tahun 2008.

Turki telah mengajukan permohonan keanggotaan di Uni Eropa sejak sekitar enam dekade lalu. Organisasi itu menerima permohonan Turki pada 2005. Namun keanggotaan ini membutuhkan proses panjang.

Negara pemohon harus menyelaraskan kondisi politik, ekonomi, peradilan, sosial, dan budayanya dengan Uni Eropa. Untuk dapat memperoleh keanggotaan penuh, Turki harus memenuhi 35 bab negosiasi yang harus disetujui oleh semua negara anggota Uni Eropa.

Negara pemohon harus menegosiasikan satu per satu isi bab tersebut dengan Uni Eropa serta melakukan reformasi dan langkah-langkah untuk menyesuaikan dirinya dengan ketentuan blok Eropa.

Namun, syarat keanggotaan Turki di Uni Eropa dan kondisi perundingan dengan Ankara, benar-benar berbeda dengan para kandidat lain yang ingin menjadi anggota. Perbedaan perlakuan ini disebabkan oleh keengganan beberapa negara kunci blok Eropa seperti Prancis, Jerman, Austria, dan Belanda, untuk menerima kehadiran Turki.


 

Permohonan Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa diterima karena beberapa pertimbangan politik dan ekonomi. Misalnya, Uni Eropa pada 2005 secara bersamaan dengan Turki, juga menerima permohonan keanggotaan dari Kroasia. Kroasia bergabung dengan Uni Eropa setelah tujuh tahun negosiasi pada 2013.

Tetapi, negosiasi Eropa dengan Turki belum mengalami kemajuan walaupun satu bab dari 35 bab syarat keanggotaan. Ada banyak alasan untuk menolak kehadiran Turki di Uni Eropa. Salah satu alasan paling penting adalah populasi Turki yang mayoritas beragama Islam. Para penentang Turki selalu beralasan bahwa Uni Eropa adalah sebuah komunitas Kristen dan tidak ada ruang untuk negara Muslim Turki.

Mantan Presiden Prancis, Valerie Giscard d’Estaing pernah menyatakan bahwa Turki bukanlah negara Eropa dan bergabungnya Turki ke Uni Eropa akan menjadi akhir dari Eropa.

Lalu, mengapa ia menganggap masuknya Turki ke Uni Eropa sebagai akhir dari organisasi itu? Apakah ini sebuah pandangan pribadi? Ungkapan yang pendek ini memiliki makna yang sangat dalam, tapi tidak susah untuk mencari tafsirnya.

Tafsir ungkapan mantan presiden Prancis ini bisa dibaca dari kalimat terkenal yang diucapkan oleh mantan Kanselir Jerman, Helmut Kohl bahwa Uni Eropa adalah Christian Club.

Mantan Presiden Prancis, Nicholas Sarkozy dan Kanselir Jerman Angela Merkel, termasuk di antara politisi yang menentang keras bergabungnya Turki ke dalam Uni Eropa. Mereka mendukung Turki untuk memperoleh “priviledged partnership” dibandingkan dengan “full membership.” Tetapi, Ankara menolak status kemitraan istimewa ini.

Sementara itu, negara-negara seperti Spanyol dan Polandia serta Partai Sosial-Kristen Jerman, menyerukan agar ajaran Kristen dapat diterima sebagai inti dari identitas Eropa. Namun, permintaan ini bertentangan dengan pandangan para perancang proyek integrasi Eropa. Proyek integrasi Eropa melampaui masalah ras, etnis, dan agama.

Proyek integrasi ini – yang dikenalkan pasca Perang Dunia II – bertujuan untuk menghapus semua perselisihan dan permusuhan serta membawa negara lebih dekat bersama dan meningkatkan hubungan mereka. Tetapi apa yang terjadi di Eropa sekarang adalah justru memperkuat sekat-sekat identitas, etnis, dan agama, dan membatasi masalah integrasi hanya pada isu ekonomi dan perdagangan. Jika ini yang dikejar, tentu ia telah melenceng dari ide para perancang integrasi Eropa.

Setelah Perang Dunia II, para perancang proyek integrasi Eropa membentuk Komunitas Batubara dan Baja Eropa, dan melalui pasar bersama ini, mereka berharap tercipta integrasi di sektor-sektor lain, mengurangi konflik internal Eropa secara drastis, dan memenuhi kepentingan negara-negara Eropa melalui kerja sama dan konvergensi di semua bidang.

Protes terhadap perilaku rasis dan Islamophobia di Inggris.
Proses integrasi di Eropa telah berjalan sebaliknya seiring dengan bangkitnya partai-partai ekstrem kanan dan anti-Islam. Jika 10 tahun lalu, masalah kebijakan luar negeri dan keamanan kolektif menjadi salah satu perdebatan penting dalam proses integrasi Eropa, maka saat ini perdebatan utama Eropa terfokus pada masalah identitas, budaya, dan sosial.

Ini terjadi setelah partai-partai ekstrem kanan dan anti-Islam bangkit di beberapa negara Eropa. Partai Kebebasan (PVV) pimpinan Geert Wilders bahkan menjadi partai terbesar kedua di parlemen Belanda. Salah satu isu perdebatan di bidang sosial adalah mengenai cara-cara menghalau pengungsi dan imigran.

Dengan perkembangan ini, aksesi Turki ke Uni Eropa menjadi jauh lebih sulit daripada sebelumnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, menyusul kebijakan yang diambil oleh Presiden Erdogan, telah muncul banyak ketegangan antara Ankara dan Eropa. Beberapa negara Eropa seperti Jerman dan Belanda, bahkan tidak mengizinkan partai AKP melakukan kampanye terkait amandemen konstitusi di tengah imigran Turki.

Penentangan Wilders dan para politisi kanan ekstrem dan anti-Islam terhadap keanggotaan Turki di Uni Eropa, telah melampaui perseteruan politik antara pemerintah Eropa dan Ankara. Oposisi ini sekarang berakar pada Islamophobia.

Mereka sama sekali tidak mau menerima Turki Islami dengan penduduk 85 juta Muslim di Uni Eropa. Alasan mereka menolak keanggotaan Turki adalah karena interpretasi keliru para politisi Barat tentang Islam. Mereka menganggap Islam sebagai paham radikalisme.

Padahal, keyakinan dan pandangan kubu ekstrem kanan dan anti-Islam di Eropa seperti Geert Wilders, sama sekali tidak sesuai dengan ajaran agama Kristen dan bahkan dengan paham liberal demokrasi di Barat.

Eropa sangat terpukul dengan kebangkitan partai-partai kanan ekstrem dan rasis pada dekade 1930-an. Eropa masih syok jika mengingat pengalaman pahit kebangkitan Nazi di Jerman dan Fasis di Italia pada dekade 1930-an. Proyek integrasi Eropa dirancang untuk mencegah terulangnya tragedi Perang Dunia II, namun semuanya berbalik sekarang. 

Jumat, 20 Agustus 2021 23:35

Islamophobia di Barat (46)

 

Mahkamah Agung Amerika Serikat memperkuat larangan warga dari beberapa negara Muslim masuk ke wilayah AS. Larangan ini diberlakukan Presiden Donald Trump sejak awal dia menjabat tahun 2017.

Pada 27 Januari 2017, Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang melarang masuk warga dari tujuh negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Larangan itu bertujuan untuk "melindungi bangsa dari penyusupan teroris asing ke Amerika Serikat."

Tujuh negara Muslim yang warganya dilarang masuk AS adalah Iran, Irak, Suriah, Sudan, Libya, Somalia, dan Yaman.

Perintah kontroversial ini memicu gelombang protes dan kritik terhadap presiden AS. Ini adalah tindakan pertama Trump mengobarkan Islamophobia dan menunjukkan sentimennya terhadap Muslim.

Para jaksa dari beberapa negara bagian AS menilai keputusan Trump dilatari oleh fanatisme dan sentimen anti-Islam serta bertentangan dengan Konstitusi AS. Karena banyaknya gugatan, Pengadilan Tinggi AS menangguhkan pelaksanaan perintah eksekutif Trump sehingga semua gugatan dapat diproses oleh pengadilan.

Trump kemudian merevisi perintahnya dan melarang warga dari lima negara Muslim (Iran, Suriah, Libya, Somalia, dan Yaman) memasuki Amerika, dan menambahkan nama Korea Utara dan Venezuela dalam daftar larangan.

Dengan perubahan itu, Trump telah meredam kritikan terhadap perilaku anti-Islam yang diadopsinya, sekaligus meningkatkan tekanan terhadap Korea Utara dan Venezuela karena membangkang kepada AS.

Para hakim Mahkamah Agung AS – mayoritas mereka dari kubu konservatif – mengukuhkan perintah eksekutif Trump, yang melarang perjalanan bagi warga dari lima negara Muslim ditambah Korea Utara dan Venezuela ke Amerika. Dalam putusan tersebut, lima hakim agung mendukung dan empat hakim agung menolak.


Moustafa Bayoumi, profesor bahasa Inggris dan penulis buku "This Muslim American Life: Dispatches from the War on Terror" menuturkan, "Ada banyak alasan untuk khawatir bahwa Mahkamah Agung AS akan memutuskan mendukung Trump."

Momentum awal penentangan terhadap larangan telah melemah setelah berbulan-bulan pertempuran hukum. "Saya khawatir bahwa kita semua akan lelah oleh pemerintahan tanpa belas kasihan ini. Sementara itu, pemerintahan Trump menempatkan masalah xenophobia dan Islamophobia bersama-sama di jalur yang berbahaya," kata Bayoumi.

Perlu dicatat bahwa warga Arab Saudi tidak dimasukkan dalam daftar larangan berkunjung ke AS. Padahal 15 dari 19 pelaku serangan 11 September adalah warga negara Saudi. Namun, warga Saudi secara bebas dapat berkunjung ke negara tersebut. Pengecualian ini menunjukkan bahwa ada motivasi yang lebih besar daripada isu keamanan dalam larangan imigrasi Trump.

Surat kabar The New York Times dalam sebuah laporan mengenai perintah eksekutif Trump pada 26 Juni 2018 menulis bahwa ini adalah sebuah trik yang sudah diperhitungkan oleh presiden AS yang haus perang untuk menebarkan ketakutan di tengah rakyat Amerika dan menyebarkan aroma xenophobia di negara itu.

Menurut media tersebut, perintah baru Trump melarang warga dari beberapa negara lain memasuki AS, akan menimbulkan pertanyaan penting di benak setiap orang, 'Apakah keputusan ini benar-benar membuat Amerika lebih aman?' Seperti yang disimpulkan dari pendapat orang-orang Amerika, jawaban untuk pertanyaan ini adalah 'tidak'."

Larangan ini menargetkan negara-negara yang tidak melanggar atau bahkan tidak mempermasalahkan standar screening untuk memasuki wilayah AS.

The New York Times menambahkan perintah eksekutif Trump benar-benar anti-Islam dan dimasukkannya dua negara (Korea Utara dan Venezuela) ke dalam daftar tersebut, hanya untuk mengelabui opini publik dan membenarkan putusan para hakim agung yang menyetujui larangan imigrasi presiden.

Adapun Korea Utara, jumlah warga negara itu yang memasuki Amerika setiap tahunnya tidak mencapai puluhan. Dalam kasus Venezuela, larangan tersebut hanya berlaku untuk para pejabat pemerintah Maduro (musuh bebuyutan Trump) dan anggota keluarga mereka.

Yang lebih penting, sama sekali tidak ada warga dari negara-negara terlarang itu yang melakukan serangan mematikan terhadap AS dalam dua dekade terakhir.

Presiden Donald Trump.
Trump juga telah memberlakukan screening yang sangat ketat untuk orang-orang yang akan masuk ke Amerika. Sistem pemeriksaan dan penyaringan AS untuk penerbitan visa adalah sistem yang paling sempurna dan paling akurat dari jenisnya di dunia. Dengan penyaringan yang ketat ini, maka risiko ancaman dan serangan teroris oleh turis asing di negara itu, secara drastis berkurang.

Mengenai pemikiran dan kepribadian anti-Islam Trump, The New York Times menulis, "Trump pada dasarnya adalah seorang presiden yang selalu dan tanpa malu-malu menunjukkan permusuhan lamanya terhadap para pengikut sebuah agama besar. Trump bahkan membuktikan sentimennya ini dalam bentuk tindakan. Contohnya adalah larangan warga negara Muslim untuk memasuki Amerika atau permusuhannya yang luar biasa terhadap para imigran."

Setelah Trump berkuasa, aktivitas kelompok-kelompok radikal kanan termasuk kelompok anti-Islam di Amerika meningkat.

Southern Poverty Law Center (SPLC), sebuah lembaga yang mengawasi penegakan hak-hak sipil di AS, dalam sebuah laporannya menyatakan bahwa pada 2017 yang bertepatan dengan tahun pertama kepresidenan Donald Trump, jumlah kelompok anti-Islam di Amerika meningkat dari 101 menjadi 114 kelompok.

Lembaga tersebut juga mencatat bahwa jumlah kelompok radikal kanan di Amerika meningkat 20 persen selama tiga tahun terakhir. Pada 2017, 954 kelompok radikal kanan melakukan aktivitas di negara itu dan jumlah mereka tumbuh 4 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Peningkatan kebencian anti-Muslim dipicu oleh retorika rasis Trump, termasuk janji kampanyenya untuk melarang Muslim memasuki Amerika. Dalam 10 hari pertama setelah pemilihannya, SPLC mendokumentasikan 867 insiden yang berhubungan dengan bias, termasuk lebih dari 300 yang menargetkan imigran atau Muslim. (

Jumat, 20 Agustus 2021 23:35

Islamophobia di Barat (45)

 

Edisi kali ini akan menyoroti tentang kondisi Muslim Inggris setahun setelah serangan mobil terhadap kerumunan jamaah shalat di sebuah masjid di kota London.

Setahun setelah serangan teroris rasis Inggris terhadap Muslim di London, Dewan Muslim Inggris menyatakan dalam sebuah rilis bahwa tidak ada tindakan yang diambil dalam perang melawan kejahatan rasial dan juga perang melawan Islamophobia di Inggris.

"Dibandingkan dengan tahun 2016, jumlah serangan terhadap Muslim dan pusat-pusat kegiatan umat Islam di Inggris meningkat dua kali lipat," tambahnya.

Dewan Muslim Inggris dalam keterangannya, mengutip statemen Perdana Menteri Inggris Theresa May, yang mengatakan ekstremisme, termasuk Islamophobia telah dipaksakan di negara ini. Pemerintah akan mengalokasikan anggaran untuk melindungi tempat-tempat ibadah, tetapi setahun setelah serangan itu, perang melawan kebencian dan Islamophobia di Inggris, belum ada kemajuan.

Menurut Dewan, fenomena Islamophobia di Inggris sudah sangat meresahkan. Masjid-masjid di kota Manchester dan Leeds diserang sejak seorang pria, Darren Osborne melakukan serangan teror di dekat Masjid Finsbury Park di London. Surat gelap disebarkan untuk menghasut orang-orang menyerang Muslim di kota-kota Inggris dan bubuk putih yang mencurigakan dikirim ke sejumlah rumah warga Muslim.

Darren Osborne, seorang anggota kelompok supremasi kulit putih dan ekstremis sayap kanan, mencoba menabrakkan mobil vannya ke arah orang-orang yang sedang melakukan pawai peringatan Hari Quds Sedunia di London, tetapi ia terlambat datang ke lokasi acara karena kemacetan. Akhirnya ia mengalihkan serangannya ke Pusat Kesejahteraan Muslim Finsbury Park di utara London.

Dia menabrakkan mobil vannya ke arah kerumunan Muslim yang baru selesai melaksanakan shalat di pusat tersebut. Serangan itu menewaskan Makram Ali (51 tahun) dan menciderai 12 lainnya.

Satu tahun setelah kejadian itu, Dewan Muslim Inggris mengatakan bahwa pemerintah tidak mengambil tindakan yang tepat untuk mengurangi kejahatan kebencian dan meluasnya Islamophobia.


Massoud Shajara, ketua Komisi Hak Asasi Manusia Islam London, mengatakan Islamophobia telah menjadi bagian dari realitas yang mengkhawatirkan di masyarakat Inggris. Menurutnya, media dan para politisi berperan dalam meningkatkan sentimen anti-Muslim.

"Mereka menjadikan Islamophobia sebagai alat dan menghubungkan undang-undang anti-terorisme kepada Islam dan Muslim untuk melegitimasi Islamophobia dan membuatnya mengakar. Meningkatnya sentimen anti-Muslim dan kebangkitan kanan ekstrem sekarang telah mengancam seluruh masyarakat Eropa," ujarnya.

Lebih dari 50 anggota parlemen Inggris, tokoh agama, aktivis politik, dan serikat dagang di Inggris dalam sebuah surat terbuka, memperingatkan bahwa kebangkitan sayap kanan ekstrem dapat menimbulkan sebuah ancaman bagi masyarakat multikultural Inggris.

Surat tersebut menyoroti tentang protes berdarah setelah pendiri kelompok sayap kanan anti-Islam, Liga Pertahanan Inggris (EDL), Tommy Robinson dijatuhi hukuman 13 bulan penjara karena menghina pengadilan.

"Protes-protes berdarah yang dilakukan oleh kubu ekstrem untuk menuntut pembebasan Robinson, telah menimbulkan pertanyaan serius bagi mereka yang menghargai keberagaman masyarakat kita," tambahnya.

Sebuah koalisi dari para tokoh Inggris, juga menuduh Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah mendorong kebangkitan kelompok sayap kanan, dan ia memainkan peran penting dalam melindungi kaum rasis sayap kanan.

"Di mana pun dukungan untuk sayap kanan meningkat, maka rasisme dan kekerasan juga akan tumbuh. Mari bersama-sama kita melindungi masyarakat multikultural kita dari penyebaran kebencian dan perselisihan," seru surat tersebut.

Salah satu kebanggaan masyarakat Eropa adalah gerakan menuju multikulturalisme dan integrasi di antara berbagai etnis dan agama. Salah satu tujuan utama proyek integrasi Eropa dan pembentukan Uni Eropa adalah untuk menciptakan masyarakat multikultural dan menciptakan istilah baru kewarganegaraan Eropa, bukan warga Inggris, Prancis, Jerman, atau Polandia.

Konstitusi Uni Eropa yang dirancang untuk menciptakan integrasi Eropa, ditolak oleh rakyat Belanda dan Prancis dalam sebuah referendum. Meski demikian, para pemimpin Eropa tetap menekankan tekadnya untuk membentuk sebuah masyarakat multikultural, karena negara-negara Eropa harus bergerak menuju konvergensi. Landasan stabilitas dan keamanan Eropa juga berdiri di atas konsep masyarakat multikultural.

Negara-negara Eropa bertetangga dengan negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Laut Mediterania adalah pemisah antara Eropa dengan benua Afrika dan Asia Barat. Benua Afrika dan Asia Barat merupakan daerah koloni bagi negara-negara kolonial Eropa sebelum pecahnya Perang Dunia II.


Banyak dari warga Afrika dan Asia Barat kemudian bermigrasi ke negara-negara Eropa selama periode kolonialisme. Migrasi ini berlanjut setelah banyak dari negara-negara terjajah memperoleh kemerdekaan. Pemerintah Eropa menyambut kehadiran mereka di negaranya, mengingat kebutuhan Eropa akan tenaga kerja yang murah dan muda.

Namun, bentuk dan model migrasi ke Eropa telah berubah setelah berakhirnya Perang Dingin dan munculnya krisis, serta perang saudara di Afrika, Asia Barat, dan Asia Selatan. Jika sebelumnya migrasi bertujuan untuk bekerja dan belajar di Eropa, maka sekarang muncul gelombang pencari suaka dengan maksud memperbaiki hidupnya atau lari dari konflik.

Para pengungsi ini rata-rata berasal dari negara-negara Muslim di Afrika, Asia Barat, dan Asia Selatan. Fenomena ini kemudian memicu sentimen anti-imigran dan anti-Muslim di Eropa.

Di tengah kebangkitan ekstrimisme sayap kanan dan munculnya gerakan anti-imigran dan anti-Muslim di Eropa, partai-partai kanan dan kiri tradisional di benua tersebut bergabung dengan partai-partai ekstremis dan rasis demi mempertahankan basis massanya.

Masalah Brexit juga erat kaitannya dengan isu imigran dan rencana penerapan pembatasan ketat bagi pengungsi yang ingin ke Inggris. Pemerintah mantan Perdana Menteri David Cameron meminta Uni Eropa memberikan konsesi khusus untuk membatasi aliran imigran ke Eropa.

Cameron tidak menyangka bahwa mayoritas orang Inggris akan memilih untuk keluar dari Uni Eropa. Ia menggelar referendum Brexit dan ternyata rakyat Inggris benar-benar memutuskan keluar dari Uni Eropa.

Kubu kanan ekstrem sekarang memiliki pengaruh besar di hampir semua negara Eropa. Mereka kini berkuasa di Italia, Austria, Hongaria, Polandia, dan Republik Ceko. Di Jerman, sayap kanan ekstrem, Partai Alternatif untuk Jerman (AfD) tercatat sebagai partai oposisi terbesar di Bundestag.

Dalam kondisi seperti ini, pemerintah dan media-media Barat justru menyebarkan sentimen anti-imigran dan anti-Islam di tengah masyarakat. Dengan kebijakan ini, mereka ingin mengurangi partisipasi warga Muslim di tengah masyarakat Eropa, memarginalkan mereka, dan mencegah masuknya imigran ke Eropa, terutama Muslim.

Beberapa negara Eropa secara terbuka menyatakan bahwa mereka menolak menerima warga Muslim dalam skema kuota imigran, yang diputuskan oleh Uni Eropa. 

Jumat, 20 Agustus 2021 23:34

Islamophobia di Barat (44)

 

Geert Wilders, politisi anti-Islam dari Belanda, melakukan kampanye besar-besaran untuk memicu gelombang anti-Islam di Eropa. Pemimpin partai garis keras Belanda ini di akun Twitter-nya pada 13 Juni 2018 menulis, "Pusat Penanggulangan Terorisme menyetujui pelaksanaan kontes kartun Muhammad di parlemen. Jadi, kita akan melaksanakannya."

"Pusat Penanggulangan Terorisme Belanda telah memberikan lampu hijau untuk pelaksanaan kontes tersebut dan perlombaan kemungkinan akan diadakan pada akhir tahun 2018," tambahnya. Politisi eksrem ini mengklaim kontes seperti ini menunjukkan kebebasan berekspresi di Belanda.

Kartunis Amerika, Bosch Fawstin – pemenang lomba karikatur Nabi Muhammad Saw di Texas pada Mei 2015 – rencananya akan menjadi juri untuk kontes di Belanda.

Wilders dikenal karena sikap-sikapnya yang selalu menyerang agama Islam. Dia menyerukan pembatasan kegiatan sosial warga Muslim dan penghapusan simbol-simbol Islam, termasuk masjid di Belanda dan negara-negara Eropa lainnya. Wilders sebelumnya menyerukan larangan al-Quran di Belanda.

Ketua Partai Kebebasan (PVV) – partai terbesar kedua di Parlemen Belanda – melakukan pelecehan terhadap kesucian Islam dengan kedok kebebasan berekspresi. Dia mulai dikenal di dunia pada tahun 2008 dengan memproduksi film anti-Islam yang disebut Fitna.

Film berdurasi 15 menit ini terdiri dari dua bagian, di mana tidak ada narasi verbal, dan film hanya menggabungkan potongan-potongan video dari berbagai film televisi atau kliping koran.

Film Fitna menggambarkan kaum Muslim sebagai pengobar kekerasan. Di bagian pertama, ayat-ayat al-Quran ditayangkan dan segera setelah itu, disusul dengan adegan memilukan seperti serangan 11 September, eksekusi wanita Afghanistan oleh Taliban, pemboman Madrid, pemenggalan kepala, dan banyak lagi. Bagian kedua film menyoroti kehidupan warga Muslim di Eropa.

Produksi dan penayangan film ini disambut dengan gelombang protes dan kritikan dari umat Islam dan para penyeru kebebasan di dunia.


Harry de Winter, seorang produser Yahudi di televisi Belanda, memprotes penayangan film Fitna. Dalam artikelnya di surat kabar de Volkskrant, ia menulis, "Jika Wilders berbicara tentang orang Yahudi seperti apa yang dia katakan tentang orang Muslim, dengan kata lain, jika dia menganjurkan kanisah itu harus ditutup dan para rabi dideportasi, maka seluruh negara akan bangkit sebagai pembalasan atas tindakan anti-Semit.

Tetapi di Belanda dan banyak negara Eropa lainnya, pemerintah Eropa dan kelompok anti-Islam, menjustifikasi penghinaan Wilders terhadap al-Quran dan kesucian Islam dalam konteks kebebasan berekspresi."

Sebaliknya, pemerintah Barat – yang mengaku menghormati kebebasan berekspresi – mencap warga Muslim yang memprotes penghinaan terhadap agamanya sebagai ekstremis dan pengobar kekerasan.

Para pemimpin Barat mengaitkan aksi teroris – yang mengaku dirinya Muslim – dengan ajaran Islam dan al-Quran, sampai-sampai sejumlah politisi, seniman, dan tokoh Prancis menyerukan penghapusan beberapa bagian dari ayat-ayat al-Quran.

Pemerintah Barat berulang kali berbicara tentang Islam moderat dalam menyikapi gerakan anti-Islam di wilayah mereka. Jika maksud mereka dari Islam moderat adalah memerangi organisasi-organisasi yang membunuh atas nama agama dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, moral, hati nurani, dan Islam, maka setiap orang yang berakal sehat, tidak akan menentang kampanye semacam ini.

Pemerintah Barat sengaja menargetkan Islam dan kaum Muslim, serta mencoba menghubungkan setiap tindakan teroris dengan agama Islam. Tetapi kebijakan ini merusak norma-norma hidup damai dan kerukunan, yang ingin dibangun lewat program integrasi Eropa.

Kebangkitan dan pertumbuhan partai sayap kanan ekstrem seperti Partai Kebebasan di Belanda, telah menimbulkan bahaya dan ancaman serius bagi masyarakat Barat dan seluruh umat manusia.

Tindakan teror atas nama apa pun dan oleh siapa pun, tetap harus disebut teror dan terkutuk. Untuk itu, istilah terorisme perlu didefinisikan secara fair dan benar. Maraknya kegiatan teroris oleh orang-orang Kristen dalam beberapa tahun terakhir, tidak mengarah pada diskusi tentang istilah "Kristen moderat."

Gerakan Islamophobia dan rasis berkembang di Inggris dalam beberapa tahun terakhir.
Kekerasan dan terorisme yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina – terlepas dari semua resolusi yang diadopsi oleh PBB dan dikecam oleh publik dunia – belum mampu memunculkan istilah "Yahudi moderat."

Pada dasarnya, Barat sedang melancarkan perang lunak melawan Islam dengan membenarkan penghinaan kesucian Islam dalam konteks kebebasan berekspresi dan membatasi kaum Muslim dari menjalankan ajaran agamanya, dengan dalih melawan ekstremisme dan mempromosikan Islam moderat.

Munculnya partai sayap kanan dan anti-Islam di Eropa serta upaya untuk menghapus simbol-simbol Islam di benua itu, membuktikan sebuah fakta bahwa gerakan anti-Islam juga sedang berkembang di tengah partai-partai kanan moderat Eropa.

Dewan Muslim Inggris dalam sebuah surat terbuka kepada partai konservatif negara itu, meminta mereka untuk membentuk sebuah komite independen untuk menyelidiki gerakan Islamophobia di internal partai. Dewan mengungkapkan bahwa kasus-kasus Islamophobia di internal Partai Konservatif Inggris telah menjadi sebuah pemandangan rutin.

"Kami mendesak Presiden Partai Konservatif, Brandon Lewis untuk memastikan bahwa kaum rasis dan fanatik, tidak memiliki tempat di Partai Konservatif," kata surat tersebut.

Dewan Muslim Inggris meminta Partai Konservatif untuk meluncurkan penyelidikan independen, mempublikasikan daftar insiden, melembagakan program pendidikan, dan membuat komitmen publik untuk menghapus kefanatikan.

Lord Sheikh, anggota Parlemen Inggris, juga menulis surat terbuka kepada Perdana Menteri Theresa May, yang menyerukan penyelidikan independen terhadap sikap anti-Islam di kalangan anggota Partai Konservatif.

"Sebagai Perdana Menteri Inggris, saya mendorong Anda untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesegera mungkin dan melakukan penyelidikan independen. Kita perlu menyelidiki kasus-kasus perilaku Islamophobia dan bertindak sesegera mungkin," tulisnya.

Studi yang dilakukan di tengah masyarakat Eropa menunjukkan bahwa pemikiran anti-Islam sedang berkembang di Eropa. Hal ini dipicu oleh kebijakan anti-Islam yang diadopsi oleh para pemimpin Eropa, serta citra negatif tentang Islam dan Muslim yang disajikan oleh media-media Barat. Salah satu buktinya adalah meningkatnya serangan rasis dan gangguan terhadap warga Muslim di sebagian besar negara Eropa. 

Jumat, 20 Agustus 2021 23:33

Islamophobia di Barat (43)

 

Parlemen Denmark pada Juni 2018 melarang perempuan Muslim mengenakan pakaian yang menutupi seluruh wajah, termasuk cadar, niqab atau burqa di tempat-tempat umum.

Sebanyak 75 anggota parlemen Denmark menyetujui undang-undang larangan cadar, 50 suara menolak, dan 74 abstain. Dengan demikian, Denmark bergabung dengan Prancis, Belanda, Austria, Jerman, dan Belgia, yang sudah lebih dulu mengadopsi undang-undang serupa.

Orang-orang yang melanggar aturan ini untuk pertama kalinya didenda 1.000 krona (US$ 156) dan pelanggaran berulang dapat mengakibatkan denda hingga 10.000 krona (US$ 1.600) atau kurungan enam bulan penjara.

Amnesty International menganggap undang-undang seperti itu melanggar hak-hak perempuan. Organisasi itu menyatakan, "Semua wanita dapat memilih pakaian dengan segala model yang mereka inginkan, di mana mencerminkan kepercayaan dan identitas mereka."

Penggunaan cadar, niqab atau burqa telah menjadi sebuah isu hangat dan kontroversi di seluruh Eropa. Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa pada 2017 menyetujui pelarangan cadar di tempat umum di Belgia.

Prancis adalah negara Eropa pertama yang melarang penggunaan cadar di tempat-tempat umum melalui undang-undang yang disahkan pada 2011. Sementara itu, Pengadilan Tinggi Spanyol pada tahun 2013 mencabut larangan pemakaian cadar di tempat umum.

Perbedaan sikap mengenai pakaian perempuan Muslim ini menunjukkan bahwa pembatasan tertentu terhadap wanita Muslim adalah sepenuhnya politis serta tidak memiliki dasar hukum dan keamanan.

Mereka menganggap cadar melanggar norma-norma dan nilai-nilai yang dianut oleh pemerintahan Barat. Sebagian menganggap cadar bisa menimbulkan masalah keamanan. Padahal, belum ada laporan tentang tindakan terorisme dan kekerasan yang melibatkan perempuan bercadar di negara-negara Eropa.


Untuk menjustifikasi perlakuan diskriminatif ini, kelompok anti-Islam di Denmark dan negara-negara Eropa lainnya, mengklaim larangan pemakaian cadar tidak hanya berlaku untuk perempuan Muslim, tetapi aturan itu bersifat umum yang mencakup siapa pun yang menggunakan penutup wajah.

Namun, undang-undang ini dikenal di kalangan politisi dan media sebagai aturan yang melarang cadar, niqab atau burqa Muslim. Sebenarnya, semua pembatasan itu bertujuan untuk mendorong masyarakat Muslim meninggalkan pakaian Islami dan mempersempit ruang mereka dalam menjalankan ajaran agamanya.

Sejauh ini juga tidak ada laporan yang menyebutkan bahwa seorang wanita non-Muslim telah diinterogasi oleh polisi karena menutupi wajahnya dan mengenakan penutup wajah atau alasan lain.

Di negara-negara Eropa, ada upaya yang sistematis untuk melecehkan dan menghina simbol-simbol suci agama Islam. Jilbab sebagai identitas perempuan Muslim, telah menjadi sasaran serangan masif dan pembatasan di negara-negara Barat karena tuduhan yang tidak berdasar.

Sementara itu, majalah Perancis, Charlie Hebdo – yang terkenal di dunia karena menghina sakralitas agama Islam – menyamakan seorang mahasiswa Muslim yang terpilih sebagai ketua Persatuan Nasional Mahasiswa di Universitas Sorbonne Paris sebagai monyet.

Majalah tersebut menerbitkan karikatur provokatif yang menggambarkan Maryam Pougetoux sebagai monyet yang mengenakan jilbab dengan judul “Mereka memilih saya untuk mengepalai UNEF” (Persatuan Mahasiswa Nasional Prancis).

Sebelum majalah Charlie Hebdo, menteri dalam negeri dan menteri kesetaraan gender Prancis mengkritik pakaian Islami yang dikenakan Pougetoux. Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerard Collomb menyebut penampilan Pougetoux adalah provokasi dan mengejutkan.

Menteri Kesetaraan Gender Prancis, Marlene Schiappa mengatakan bahwa itu adalah bentuk promosi Islam politik, dan serikat mahasiswa UNEF harus memberi tahu kami nilai-nilai apa yang ingin dipromosikan oleh Pougetoux secara jelas dan koheren.

Maryam Pougetoux dalam wawancaranya dengan situs media, BuzzFeed menjelaskan tentang alasan memilih pakaian seperti itu. Ia menuturkan, "Ini keyakinanku dan (jilbabku) tidak memiliki fungsi politik."

Dalam menanggapi pernyataan menteri dalam negeri Prancis, Pougetoux mengatakan, "Menteri dalam negeri menyebut penampilanku mengejutkan hanya karena karena aku memakai pakaian Islami dan ketua UNEF. Dalam pandangan dia, ini bentuk promosi Islam. Ini keyakinan saya dan kerudung saya tidak memiliki fungsi politik."

"Semua tahu bahwa penampilan saya bukan karena alasan politik, (penampilan) ini adalah keyakinan saya dan saya nyaman dengannya. Saya tidak bekerja untuk mempromosikan agama di Prancis. Setiap orang punya keyakinan masing-masing, tetapi mengapa saya harus selalu menjelaskan tentang pilihan saya ini, tentu ini tidak benar."

"Saya seorang warga negara Prancis, saya belajar di Prancis, di institusi sekuler dan publik, kerudung saya tidak ada hubungannya dengan itu. Saya memakainya atas dasar pilihan dan keyakinan agama, tetapi dalam konteks menghormati hukum, menghormati orang lain, sehingga sejak saat itu, perdebatan seharusnya tidak muncul," tegasnya.

Pougetoux adalah salah satu dari puluhan ribu perempuan Muslim di Prancis dan di banyak negara Eropa, yang mendapat pelecehan dan harus selalu memberikan penjelasan atas model pakaian yang dipilihnya. Itupun terjadi di negara-negara yang mengaku menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan keyakinan.

Di negara-negara Barat terutama di Eropa, semua simbol yang mewakili kaum Muslim dan tempat-tempat umat Islam, ditentang. Para pengikut berbagai agama dan sekte tinggal di negara-negara Barat dengan pakaian, penampilan, tradisi, dan kultur yang berbeda dengan nilai-nilai yang dianut Barat, seperti Sikh India atau Yahudi.

Setiap orang yang melihat komunitas tersebut, pasti mengetahui tentang agama dan keyakinan mereka, tetapi mereka tidak dibatasi dalam menjalankan praktik agamanya di masyarakat Barat. Sementara warga Muslim secara sistematis harus tunduk pada pembatasan atau menerima pelecehan dan gangguan.

Di Swiss, misalnya, mereka mengesahkan undang-undang yang melarang umat Islam membangun masjid dengan menara. Pembangunan masjid di negara-negara Barat telah menghadapi banyak pembatasan selama beberapa tahun terakhir.

Banyak warga Muslim di Eropa menunaikan shalat berjamaah di tempat parkir atau di ruang terbuka. Tentu saja, shalat di ruang terbuka juga mendapat penentangan dari kelompok sayap kanan dan kubu anti-Islam di Eropa, terutama Prancis. 

Jumat, 20 Agustus 2021 23:33

Islamophobia di Barat (42)

 

Seorang pakar hak asasi manusia PBB dalam safarinya ke Prancis, menyatakan keprihatinan atas dampak undang-undang baru anti-terorisme Prancis terhadap hak-hak dasar masyarakat Muslim.

Pelapor Khusus PBB untuk Perlindungan HAM, Fionnuala Ni Aolain mengatakan ia prihatin bahwa undang-undang keamanan baru yang lebih ketat yang diberlakukan November 2018 akan memicu kekhawatiran dan melemahkan warga Muslim.

Ni Aolain menuturkan dia sangat prihatin bahwa undang-undang ini dapat secara tidak proporsional mempengaruhi, menstigmatisasi, dan semakin memarginalkan warga negara yang beragama Islam.

Ni Aolain, yang mengunjungi Prancis dari 14-23 Mei 2018 atas undangan pemerintah, mengakui tantangan keamanan serius dan berkelanjutan yang sedang dihadapi Prancis. Dia menekankan pentingnya memberikan rasa aman bagi semua warga negara, namun ia menggarisbawahi bahwa ini harus dilakukan sejalan dengan komitmen Prancis untuk menegakkan hak-hak dasar dan kebebasan.

"Jelas bahwa masyarakat Muslim Prancis telah menjadi komunitas yang tunduk pada tindakan luar biasa baik selama penerapan keadaan darurat dan hukum baru di samping langkah-langkah anti-terorisme lainnya," kata Ni Aolain seraya menyoroti kasus penutupan masjid-masjid, yang merampas kebebasan beragama warga Muslim.

"Sangat memprihatinkan bahwa masyarakat minoritas Muslim sedang diasosiasikan sebagai 'komunitas tersangka' melalui penerapan berkelanjutan dan luas dari undang-undang anti-terorisme," ungkapnya.

"Tidak ada keraguan bahwa negara dapat secara sah terlibat dalam menerapkan pembatasan untuk menjaga ketertiban umum, tetapi titik kritis akan muncul ketika tindakan anti-terorisme membawa dampak yang mendalam, berkelanjutan, dan berpotensi tidak proporsional terhadap hak asasi manusia dan kebebasan sipil," jelas pejabat PBB ini.

Pernyataan Ni Aolain bukanlah hal baru, ini adalah sebuah realitas yang berlaku di masyarakat Prancis dan pola pandang sebagian besar para pemimpin Eropa terhadap Muslim. Bagi pemerintah dan layanan keamanan negara-negara Eropa, orang Muslim dicurigai sebagai teroris kecuali jika terbukti sebaliknya.

Fionnuala Ni Aolain.
Prancis memiliki minoritas Muslim terbesar di Eropa. Itulah sebabnya ada lebih banyak pembatasan terhadap Muslim. Prancis menjadi pelopor dalam memberlakukan banyak pembatasan pada masyarakat Muslim Eropa.

Pasca serangan teroris 11 Septemper di AS serta serangan teroris tahun 2004 dan 2005 di London dan Madrid, negara-negara Eropa telah memberlakukan undang-undang anti-terorisme baru.

Undang-undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada polisi dan dinas-dinas keamanan di Eropa untuk menangkap dan menahan orang-orang yang dicurigai sebagai teroris. Aturan ini sangat mempengaruhi kehidupan kaum Muslim di Eropa dibanding komunitas lainnya. Sebagian besar dari orang yang menjalani penahanan jangka panjang tanpa proses peradilan adalah individu Muslim.

Pada dasarnya, undang-undang anti-terorisme ini telah memperkuat sentimen anti-Muslim dan gerakan Islamophobia di Eropa. UU ini juga menjadi senjata bagi kelompok ekstrem kanan, anti-imigran, dan rasis untuk menyerang warga Muslim.

Perancis menyaksikan banyak serangan teroris dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah Paris menyatakan keadaan darurat selama dua tahun. Polisi dan dinas-dinas keamanan diberikan kewenangan khusus untuk menangkap dan menahan tersangka dalam situasi darurat.

Setelah keadaan darurat berakhir pada November 2018, hak istimewa ini kemudian ditetapkan sebagai kewenangan parmanen polisi dan dinas keamanan Prancis di bawah undang-undang anti-terorisme baru. Mereka sekarang berhak untuk menindak orang-orang yang dicurigai sebagai teroris.

Kewenangan khusus ini telah menciptakan ketakutan bagi sebagian besar warga Muslim Prancis. Sebab, mereka sekarang secara permanen dicurigai sebagai teroris dan dalam setiap insiden, mereka harus bisa membuktikan kalau dirinya tidak bersalah.


Setelah kemenangan partai sayap kanan dan anti-imigran di banyak negara Eropa, kondisi bagi warga Muslim dan imigran menjadi semakin sulit. Komunitas Muslim sekarang menghadapi serangan masif dari kelompok sayap kanan dan anti-imigran.

Partai-partai kanan dan kiri-tengah Eropa, juga bersekutu dengan kubu sayap kanan ekstrem atau memilih diam dalam menyikapi gelombang Islamophobia, karena mereka tidak ingin kehilangan basis massanya.

Negara-negara Eropa menghadapi masalah ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan yang kompleks. Kubu kanan ekstrem menyalahkan warga Muslim dan imigran atas situasi ini. Menurut mereka, solusi atas masalah ini adalah melarang warga Muslim mengamalkan ajaran agamanya atau mengusir mereka dari Eropa.

Pencitraan media-media Barat tentang Islam seringkali negatif dan dikesankan mendukung gerakan teroris atau membawa petaka bagi orang lain. Salah satu tujuan mereka adalah mengesankan Islam sebagai agama pendukung kekerasan dan ekstremisme.

Propaganda media Barat menyebabkan meningkatnya serangan terhadap warga Muslim di sebagian besar negara Eropa selama beberapa tahun terakhir. Dalam banyak kasus, warga Muslim mengirim anak-anak mereka ke sekolah dengan rasa takut dan khawatir, karena mereka akan menjadi sasaran bully, penghinaan, dan serangan rasis.

Media dan pemerintah Barat memandang Muslim dengan rasa curiga dan negatif. Padahal, komunitas Muslim Eropa merupakan bagian integral dari masyarakat Eropa. Benua Eropa berdekatan dengan benua Afrika dan Asia, tempat sebagian besar Muslim dunia tinggal. Eropa tidak dapat memagari perbatasannya secara permanen untuk mencegah warga Muslim memasuki Eropa. Selain itu, populasi Muslim Eropa juga terus tumbuh.

Berdasarkan sebuah riset, warga Muslim akan membentuk 8 persen dari populasi Eropa pada tahun 2030. Populasi Muslim di Eropa akan mencapai 44 juta jiwa dan di Amerika Serikat 5 juta jiwa.

Jika pemerintah – dengan kebijakan diskriminatifnya – ingin merusak kehidupan rukun antara Muslim dan warga Eropa lainnya, maka mereka telah merusak pondasi masyarakat Eropa berdasarkan norma-norma kemanusiaan dan pengakuan hak-hak alami dan sipil untuk semua manusia, terlepas dari latar belakang ras, bahasa, dan agama mereka.

Jumat, 20 Agustus 2021 23:32

Islamophobia di Barat (41)

 

Jilbab dalam Islam memiliki kedudukan khusus. Ia merupakan salah satu simbol penting yang membedakan antara masyarakat Muslim dan non-Muslim serta antara perempuan Muslim dan non-Muslim.

Panduan khusus mengenai jilbab dapat ditemukan di al-Quran, hadis Rasulullah Saw, dan ucapan para imam maksum. Mayoritas Muslim juga berusaha mengamalkan ajaran tersebut.

Kubu anti-Islam di Barat – dengan alasan kebebasan dan pembebasan perempuan – menciptakan pembatasan bagi masyarakat Muslim di negara-negara Barat. Kebijakan pemerintah Barat telah mendorong kelompok anti-Islam untuk menyerang dan menyakiti wanita Muslim.

Prancis – tempat lahirnya kebebasan berekspresi di Barat – adalah salah satu negara yang memolopori larangan jilbab bagi wanita Muslim. Pelajar putri Muslim Prancis menjadi korban pertama undang-undang larangan jilbab. Mereka dilarang memakai jilbab di sekolah-sekolah atas keputusan pemerintah Prancis yang juga disetujui oleh parlemen.

Berdasarkan UU tersebut, masyarakat dilarang memakai simbol-simbol yang menunjukkan identitas agama tertentu. Padahal, pemilihan jenis pakaian adalah bagian dari hak asasi setiap individu dan warga negara. Model kebebasan berekspresi seperti ini mengundang tanda tanya, karena pengikut sebuah agama tidak dapat memilih pakaian berdasarkan ajaran agamanya.

Perempuan Muslim memilih jilbab atas dasar keyakinannya dan bukan karena tekanan atau paksaan. Pemerintah dan lembaga peradilan Prancis – dengan berbagai alasan – berusaha memaksa perempuan Muslim untuk menanggalkan jilbabnya dan menetapkan denda untuk mereka yang menolaknya, seakan perempuan Muslim telah melakukan tindak kriminal.

Sebuah pengadilan di kota Toulouse, Prancis, menjatuhkan vonis enam bulan penjara terhadap seorang wanita Muslim yang menolak permintaan polisi untuk melepaskan cadarnya. Kejahatan wanita tersebut adalah menutup wajahnya di muka umum.

Prancis berada di garda terdepan dalam memberlakukan larangan untuk wanita Muslim. Pembatasan dan larangan ini menjalar ke negara-negara lain Eropa, dan hampir di semua negara Eropa disahkan aturan yang melarang wanita Muslim mengenakan jilbab di tempat umum dan sekolah-sekolah.

Larangan memakai cadar juga berlaku di Austria.
Dalam sebuah kasus terbaru, pengadilan di kota Berlin melarang kehadiran seorang guru berjilbab di sekolah dasar. Berdasarkan undang-undang netralitas di Berlin, pengadilan menganggap aktivitas guru berjilbab di sekolah dasar, melanggar hukum dan menyimpulkan bahwa undang-undang netralitas tidak melanggar Konstitusi Jerman.

Pengadilan Berlin juga menolak permohonan yang diajukan oleh wanita Muslim dan berdasarkan undang-undang netralitas, ia tidak bisa mengenakan jilbab saat mengajar di sekolah. Undang-undang netralitas melarang pekerja/pegawai untuk mengenakan simbol-simbol agama.

Putusan pengadilan Berlin mendapat penentangan dari dalam Jerman. Senator kota Berlin dari Partai Hijau, Dirk Behrendt memprotes undang-undang tersebut dan berjanji akan mengubah undang-undang netralitas.

"Undang-undang netralitas Berlin tidak dapat menjadi acuan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Federal. Larangan publik terhadap orang-orang yang ingin menggunakan simbol-simbol agama adalah diskriminatif," tegasnya.

Juru bicara partai kiri di Bundestag Jerman, Christine Buchholz mengatakan, "Wanita Muslim diperlakukan diskriminatif di bursa kerja. Dengan putusan itu, para hakim telah mengirim sebuah sinyal rahasia kepada masyarakat bahwa mereka tidak selaras dengan tantangan yang dihadapi kota-kota seperti Berlin."

"Masalahnya di Jerman bukan tentang menara, jilbab, atau muazin, tetapi tentang rasisme terhadap minoritas agama," ungkapnya.

Pada tahun 2017, seorang guru Muslimah berhasil mendapat ganti rugi 8.680 euro dari Kementerian Pendidikan di kota Berlin. Ia menuturkan bahwa dirinya dilarang mengajar di sekolah karena memakai jilbab dan mendapat perlakukan diskriminatif.

Ini menunjukkan bahwa ada perbedaan penafsiran dari sebuah undang-undang di Jerman, dan menjadi bukti atas pengaruh kubu anti-Islam di lembaga pemerintah dan peradilan.

Pembatasan untuk wanita Muslim di Eropa dimulai seiring dengan meningkatnya sentimen anti-Muslim di Barat. Fenomena ini tidak ada hubungannya dengan masalah kebebasan berekspresi dan pembebasan wanita dari "pengekangan" atau melanggar undang-undang sekuler di Prancis.

Jilbab merupakan ajaran agama Islam dan wanita Muslim mematuhinya dengan kesadaran penuh. Islam – sama seperti agama lain – memiliki seperangkat aturan dan kewajiban untuk membangun masyarakat berdasarkan ajaran Allah Swt dan nilai-nilai moral. Allah telah mengutus para nabi untuk membimbing manusia ke arah kebaikan.

Jadi, ajaran sebuah agama tidak bisa dituding menyebarkan ekstremisme dan kekerasan serta melanggar kebebasan, karena ia bertentangan dengan pemikiran liberal yang dianut Barat.


Para pemimpin Barat tidak dapat memberlakukan pembatasan terhadap warga Muslim bahkan berdasarkan pemikiran liberal. Sebab, menjalani hidup berdasarkan landasan ideologi dan pemikiran adalah bagian dari kebebasan individu yang diakui oleh prinsip-prinsip liberalisme sendiri.

Namun, kubu anti-Islam di Barat berusaha memperkenalkan warga Muslim sebagai sumber ketidakamanan dan ancaman terorisme di Barat. Dengan alasan ini, mereka menerapkan pembatasan terhadap warga Muslim. Dengan alasan yang sama, kubu sayap kanan ekstrem dan rasis melancarkan serangan rasis dan pelecehan terhadap warga Muslim khususnya perempuan.

Dalam sebuah kasus rasial, seorang wanita Muslim di Jerman mendapat serangan karena mengenakan jilbab. Seorang wanita Muslim di wilayah Spandau di Berlin menjadi korban serangan. Seorang pria di halte bus bertannya kepadanya tentang alasannya memakai jilbab. Wanita ini menjawab bahwa sebagai seorang Muslim ia suka mengenakan jilbab. Pria tersebut kemudian menampar wanita Muslim itu.

Pada April 2018, dua ekstremis Jerman menyerang seorang wanita Muslim dan temannya di Berlin, dan membiarkan anjingnya untuk menyerang wanita tersebut. Di bulan yang sama, seorang pria di kota Osnabruck menarik paksa jilbab yang dikenakan oleh gadis 11 tahun.

Serangan terhadap masjid-masjid di Jerman juga mendapat sorotan luas dari komunitas Muslim di negara itu. Dalam hal ini, Ketua Dewan Muslim Jerman, Aiman Mazyek mengatakan, "Kita setiap hari menyaksikan kebencian terhadap Muslim di dunia maya dan hampir setiap minggu menerima surat ancaman tentang pemusnahan kaum Muslim. Kami selalu memperingatkan bahwa serangan fisik terjadi setelah serangan verbal."

Ketua Badan Anti Diskriminasi Jerman, Bernard Frank memperingatkan tentang intoleransi bergama di masyarakat Jerman. Dalam wawancaranya dengan surat kabar Tagesspiegel, Bernard Frank mengatakan, "Insiden seperti itu memalukan. Kita tidak dapat membiarkan serangan anti-agama apakah itu terhadap Yahudi atau Muslim. Bahkan ketika orang-orang sedang mencari pekerjaan, bekerja di stadion olahraga atau di sekolah, mereka tidak boleh disingkirkan hanya karena simbol-simbol agama, tapi sayangnya kita menyaksikan kejadian seperti itu."

Salah satu kebanggaan negara-negara Barat adalah upayanya untuk membangun masyarakat multikulturalisme dan kebebasan beragama, tetapi kubu anti-Islam di Barat telah merusak prinsip-prinsip hidup damai dan toleransi antar-berbagai pengikut agama.