
کمالوندی
Surat al-Zukhruf ayat 36-42
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ (36) وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ (37)
Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Quran), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. (43: 36)
Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. (43: 37)
Di pembahasan sebelumnya kita telah mengkaji bersama tentang mereka yang menjadikan hal-hal materi sebagai tolok ukur segala sesuatu dan mengejar kekayaan dan kemegahan duniawi, sementara orang mukmin sejati senantiasa berpikir tentang akhirat dan hatinya tidak terikat pada hal-hal duniawi.
Ayat ini menyatakan, di antara dampak merusak tenggelam dalam kemewahan materi dan sangat bergantung pada hal-hal duniawi adalah keterasingan manusia dengan Tuhan dan lalai terhadap-Nya. Akibat kelalaian ini, setan akan menguasainya dan membawanya ke manapun yang disukai setan. Ini adalah hasil alami dari melupakan Tuhan.
Dengan kata lain, hati manusia ditempati Tuhan atau setan. Melupakan Tuhan dan cinta duniawi serta tercemar beragam dosa membuat manusia dikuasai setan. Di kondisi seperti ini, setan menjadi teman manusia dan tidak ada tempat bagi Tuhan di hati manusia. Setan dan pemikiran setan dari sisi manapun menguasai manusia seperti ini dan mencegah mereka meniti jalan Ilahi.
Kapan pun orang-orang seperti ini ingin kembali ke jalan kebenaran, setan lansung menghalanginya dan mereka tidak mampu kembali ke jalan yang lurus. Setan menghiasai kesesatan di mata manusia seperti ini dan membuat mata serta telinga mereka buta dan tuli atas kebenaran. Orang seperti ini menyangka perbuatannya telah benar dan mereka telah mendapat petunjuk. Orang ini menilai orang lain keliru. Wajar jika perbuatan manusia sampai pada tahap ini, mereka tidak melihat kesalahan dirinya, sehingga berusaha untuk memperbaikinya.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Siapa pun yang berpaling dari Tuhan, meski ia seorang muslim yang bukan ahli shalat dan membaca al-Quran, sejatinya telah melupakan Tuhan dan membuka peluang bagi setan untuk menguasai dirinya.
2. Hati manusia bukan tempat yang kosong, itu adalah tempat Tuhan atau setan. Jika bukan Tuhan, maka yang menempatinya pasti setan.
3. Yang lebih buruk dari melakukan kesalahan adalah manusia yang tidak melihat kesalahan dirinya sendiri dan menganggap telah menempuh jalan yang benar.
حَتَّى إِذَا جَاءَنَا قَالَ يَا لَيْتَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ بُعْدَ الْمَشْرِقَيْنِ فَبِئْسَ الْقَرِينُ (38) وَلَنْ يَنْفَعَكُمُ الْيَوْمَ إِذْ ظَلَمْتُمْ أَنَّكُمْ فِي الْعَذَابِ مُشْتَرِكُونَ (39)
Sehingga apabila orang-orang yang berpaling itu datang kepada kami (di hari kiamat) dia berkata, “Aduhai, semoga (jarak) antaraku dan kamu seperti jarak antara masyrik dan maghrib, maka syaitan itu adalah sejahat-jahat teman (yang menyertai manusia).” (43: 38)
(Harapanmu itu) sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu di hari itu karena kamu telah menganiaya (dirimu sendiri). Sesungguhnya kamu bersekutu dalam azab itu. (43: 39)
Ayat ini mengisyaratkan nasib orang yang melalaikan Tuhan dan menyatakan, lalai terhadap Tuhan ini terus berlanjut sehingga manusia meninggal dan dibangkitkan di Hari Kiamat. Di sana mata kebenaran dibuka baginya, ia menyadari bahwa betapa setan telah menyesatkannya dan ia berharap andaikata ia menolak menjadi teman setan di dunia serta tidak menjadi sahabatnya. Ia berkata, andaikata antara diriku dan kamu (setan) terpisah seperti timur dan barat! Kamu adalah seburuk-buruknya teman! Kamu memperindah keburukan dan menunjukkan jalan sesat kepadaku serta mencegahku berjalan di jalan yang lurus.
Jelas harapan mereka untuk berpisah dari setan untuk selamanya berubah menjadi rasa putus asa dan penyesalan tidak ada gunanya. Nasib orang ini seperti setan, yakni mendapat azab di neraka dan mereka di sana juga menjadi teman sependeritaan seperti mereka menjadi teman di dunia. Benar Kiamat adalah cerminan dunia dan teman di dunia juga teman di akhirat.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Di dunia kita harus waspada dalam memilih teman, sehingga kita tidak menyesal kelak di Hari Kiamat.
2. Neraka bagi manusia dan setan dan ahli neraka serumah dengan setan.
3. Kezaliman bukan hanya kepada orang lain. Lalai terhadap Tuhan merupakan kezaliman terbesar pada diri sendiri, karena menyeret manusia pada kesesatan dan membawanya ke neraka di akhirat.
أَفَأَنْتَ تُسْمِعُ الصُّمَّ أَوْ تَهْدِي الْعُمْيَ وَمَنْ كَانَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (40) فَإِمَّا نَذْهَبَنَّ بِكَ فَإِنَّا مِنْهُمْ مُنْتَقِمُونَ (41) أَوْ نُرِيَنَّكَ الَّذِي وَعَدْنَاهُمْ فَإِنَّا عَلَيْهِمْ مُقْتَدِرُونَ (42)
Maka apakah kamu dapat menjadikan orang yang pekak bisa mendengar atau (dapatkah) kamu memberi petunjuk kepada orang yang buta (hatinya) dan kepada orang yang tetap dalam kesesatan yang nyata? (43: 40)
Sungguh, jika Kami mewafatkan kamu (sebelum kamu mencapai kemenangan) maka sesungguhnya Kami akan menyiksa mereka (di akhirat). (43: 41)
Atau Kami memperlihatkan kepadamu (azab) yang telah Kami ancamkan kepada mereka. Maka sesungguhnya Kami berkuasa atas mereka. (43: 42)
Ayat ini berbicara kepada Rasulullah Saw dan mengatakan, mereka yang menolak menyaksikan dan mendengar kebenaran, meski mata dan telinga zahir mereka sehat, namun mata dan telinga batinnya tertutup. Oleh karena itu, ucapannya tidak sampai ke telinga mereka atau menunjukkan kebenaran kepada mereka serta kamu tidak dapat menyelamatkan mereka dari kesesatan dan memberinya petunjuk.
Ada perbedaan antara mereka yang berpura-pura tidur dan orang yang benar-benar tiduk. Yang pertama tidak akan menunjukkan respon meski kamu memanggilnya, namun yang kedua akan bangun dengan beberapa panggilan.
Sebagian manusia yang sangat tenggelam dalam dosa, bahkan mereka benci saat mendengar naba Tuhan dan nabi-Nya. Mereka kebingungan saat menghadapi ajaran agama dan hal maknawi. Wajar jika orang seperti ini tidak menyisakan bagi dirinya jalan kembali dan petunjuk. Bahkan jika penyeru tersebut adalah para nabi yang memiliki metode terbaik dan tindakannya menjadi bukti terbaik kejujurannya.
Penentangan dan penolakan tehadap kebenaran seperti ini hanya menciptakan kemurkaan Tuhan di dunia dan akhirat, baik di zaman kehidupan Rasulullah atau setelah beliau meninggal. Bagaimana pun juga mereka tidak punya jalan untuk melarikan diri. Karena Tuhan menguasai dunia dan tidak ada yang dapat membebaskan diri dari kekuatan tak terbatas diri-Nya.
Dari tiga ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Jika tidak ada persiapan untuk menerima kebenaran, bahkan ucapan manusia paling suci, yakni para Nabi, juga tidak akan efektif.
2. Jika manusia dikuasai setan, hati dan ruhnya buta serta tuli dari mendengar dan melihat kebenaran.
3. Orang musyrik jangan mengira bahwa selama nabi hidup mereka tidak akan diazab, atau jika rasul meninggal, maka azab dihapus.
Surat al-Zukhruf ayat 29-35
بَلْ مَتَّعْتُ هَؤُلَاءِ وَآَبَاءَهُمْ حَتَّى جَاءَهُمُ الْحَقُّ وَرَسُولٌ مُبِينٌ (29) وَلَمَّا جَاءَهُمُ الْحَقُّ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ وَإِنَّا بِهِ كَافِرُونَ (30)
Tetapi Aku telah memberikan kenikmatan hidup kepada mereka dan bapak-bapak mereka sehingga datanglah kepada mereka kebenaran (Al Quran) dan seorang rasul yang memberi penjelasan. (43: 29)
Dan tatkala kebenaran (Al Quran) itu datang kepada mereka, mereka berkata, “Ini adalah sihir dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengingkarinya.” (30)
Sunnah Ilahi dalam menghadapi manusia adalah kesempurnaan hujjah dan dalil. Selama ajaran kebenaran belum sampai kepada masyarakat, maka Allah Swt tidak meminta pertanggung jawaban mereka dan juga tidak mengazabnya. Allah Swt mengutus seorang nabi di tengah umat Arab dan dari kalangan mereka sendiri, sehingga mereka memahami ucapannya dan menyadari kebenaran dari ucapannya tersebut.
Namun demikian mayoritas umat, ketika kebenaran mendatangi mereka, mayoritas dari mereka menentangnya. Tak hanya menolak kebenaran, mereka malah menyebut nabi tersebut sebagai penyihir dan menolak beriman kepadanya. Meski demikian, Allah tidak mencabut nikmat materi dari mereka dan memberi mereka kesempatan, mungkin mereka menyadari kesalahannya.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Apa yang datang dari Tuhan, sepenuhnya kebenaran. Jika manusia menetapkan hukum dan undang-undang yang bertentangan dengan ajaran Ilahi, maka sepenuhnya batil, meski hukum tersebut diikuti mayoritas masyarakat.
2. Seseorang yang memiliki nikmat kekayaan besar bukan alasan kebenaran mereka. Apalagi jika hal tersebut sebagai kesempatan dan ujian Tuhan bagi masyarakat.
3. Ketika manusia menyadari kebenaran maka hujjah telah sempurna bagi dirinya dan segala bentuk alasan untuk lari dari kebenaran adalah tanda kekufuran dan menolak kebenaran.
وَقَالُوا لَوْلَا نُزِّلَ هَذَا الْقُرْءانُ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ (31) أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ (32)
Dan mereka berkata, “Mengapa Al Quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?” (43: 31)
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (43: 32)
Ayat ini mengisyaratkan alasan musyrik Mekkah yang mengatakan, jika seharusnya ada seorang nabi yang diutus dari kalangan kami, maka ia harus sari salah satu pemuka kota Mekah atau kabilah, bukan seorang anak yatim yang dibesarkan oleh kakeknya dan tidak memiliki kekayaan duniawi.
Mereka menganggap seorang nabi tidak berbeda dengan pemimpin kabilah yang harus dipegang oleh sosok yang kuat, memiliki kekayaan besar dan posisi tinggi di tengah masyarakat. Selain itu, seluruh anggota kabilah harus tunduk terhadap perintahnya. Padahal seorang yang layak mencapai derajat kenabian adalah mereka yang telah mencapai kesempurnaan manusiawi, suci, benar perilakunya dan jujur; mereka yang memiliki karakteristik seperti pengetahuan, martabat dan keberanian serta menyadari penderitaan orang tertindas, sepanjang sejarah para nabi adalah orang-orang seperti ini.
Kelanjutan ayat ini menyatakan, “Memangnya wewenang kenabian berada di tangan manusia, sehingga apa yang mereka inginkan, lantas Tuhan memberi kenabian dan jika ada yang menentangnya maka Tuhan tidak memberikan posisi ini kepadanya? Allah Swt Maha Mengetahui segala hal batin hamba-Nya dan Ia lebih mengetahui dari yang lain siapa yang layak atas tanggung jawab ini dan siapa yang tidak layak.”
Di urusan duniawi, perbedaan yang tampak di antara masyarakat seluruhnya berdasarkan hikmah. Sejatinya jika seluruh dari sisi kecerdasan, potensi dan kemampuan fisik serta mental berada di level yang sama, maka sistem dan aturan sosial bakal hancur. Allah Swt menciptakan manusia berbeda dari sisi kemampuan berpikir dan fisik, sehingga siapa saja yang berminat dan mampu melakukan sesuatu hal, ia akan melayani yang lain dan orang lain pun memberi bantuan atas hal-hal yang dibutuhkannya. Karena mengelola kehidupan dan menjalaninya tidak mungkin dilakukan tanpa saling membantu.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Di mata kebanyakan manusia, kebesaran dan keagungan dinilai berdasarkan kekayaan, kekuatan dan popularitas. Padahal menurut Tuhan, tolok ukur ini tidak berharga.
2. Nikmat materi dan maknawi tanda rahmat Ilahi terhadap manusia dan keduanya anugerah Tuhan. Ketika mata pencaharian manusia dibagi berdasarkan hikmah Ilahi, lantas bagaimana dengan kenabian yang merupakan hal-hal maknawi diserahkan kepada mereka (manusia)?
3. Keberadaan dan keselamatan masyarakat tergantung pada kerja sama timbal balik anggotanya dan memanfaatkan kemampuan beragam pemikiran serta fiksi para anggotanya. Dengan demikian perbedaan fisik dan berpikir anggota sosial dimaksudkan untuk menciptakan spirit saling membantu dan memenuhi kebutuhan yang lain. Bukan untuk berbangga dan melecehkan yang lain.
وَلَوْلَا أَنْ يَكُونَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً لَجَعَلْنَا لِمَنْ يَكْفُرُ بِالرَّحْمَنِ لِبُيُوتِهِمْ سُقُفًا مِنْ فَضَّةٍ وَمَعَارِجَ عَلَيْهَا يَظْهَرُونَ (33) وَلِبُيُوتِهِمْ أَبْوَابًا وَسُرُرًا عَلَيْهَا يَتَّكِئُونَ (34) وَزُخْرُفًا وَإِنْ كُلُّ ذَلِكَ لَمَّا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةُ عِنْدَ رَبِّكَ لِلْمُتَّقِينَ (35)
Dan sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah loteng-loteng perak bagi rumah mereka dan (juga) tangga-tangga (perak) yang mereka menaikinya. (43: 33)
Dan (Kami buatkan pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah mereka dan (begitu pula) dipan-dipan yang mereka bertelekan atasnya. (43: 34)
Dan (Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan (dari emas untuk mereka). Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat itu di sisi Tuhanmu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (43: 35)
Emas dan perak serta perhiasan yang membuat manusia terpesona dan kemudian berlomba-lomba mengejarnya, tidak bernilai di sisi Tuhan. Jika kepemilikan orang kafir atas beragam nikmat materi tidak akan membuat orang yang cinta dunia condong kepada kekufuran, maka Tuhan akan menjadikan peralatan rumah orang kafir dari emas dan perak. Rumah dengan atap perak, bertingkat dan memiliki tangga, istana megah dengan berbagai pintu serta tempat duduk indah. Selain itu, Allah telah menyediakan bagi mereka beragam alat dan perhiasan dengan lukisan indah sehingga kehidupan materi mereka sempurna dari sisi manapun.
Jika Tuhan melakukan hal ini, maka itu supaya mereka sibuk dengan hal-hal buruk materi dan mengakhiri kehidupan fananya serta semua orang harus menyadari bahwa tolok ukur nilai dan kepribadian manusia bukan perhiasan dan bermegah-megahan di kehidupan duniawi.
Dari tiga ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Manusia awam akalnya seperti matanya, jika menyaksikan kehidupan orang kafir penuh kenikmatan dan bermegah-megahan, mereka menyangka jalan orang kafir tersebut benar dan mereka mengikutinya.
2. Nilai manusia terletak pada dirinya sendiri, bukan rumah, mobil dan perhiasan duniawi. Dengan kata lain, nilai setiap orang adalah kesempurnaan moral dan kemanusiaan, bukan hal-hal zahir dan diluar.
3. Jika di dunia kita bertakwa dan berbuat benar, maka kelak di Kiamat Tuhan akan membalasnya. Lebih baik dari yang dimiliki orang kaya di dunia, di akhirat kita akan memiliki hal yang lebih baik dan tidak dapat disamakan dengan di dunia.
Surat al-Zukhruf ayat 23-28
وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (23)
Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (43: 23)
Di pertemuan sebelumnya telah dijelaskan bahwa alasan musyrikin Mekah menyembah berhala dan mensyirikkan Tuhan adalah taklid kepada leluhur. Ayat ini kepada Nabi Muhammad Saw mengatakan, “Apa yang dikatakan musyrikin Mekah tidak hanya terbatas kepadamu, para nabi sebelum Kamu ketika menghadapi umatnya yang syirik dan menyembah berhala, kaum tersebut tidak ingin berpikir dan merenungkan tindakan mereka, malah berkata, Kami ingin mengikuti jejak leluhur kami dan tidak akan meninggalkan ajaran mereka.”
Poin penting yang diisyaratkan ayat ini adalah peran pemimpin dan tetua kaum dan orang kaya serta congkak dalam melawan para nabi. Para pemimpin penentang nabi mayoritasnya adalah penguasan dan orang kaya serta sombong yang mendapat posisi di tengah masyarakat karena kekuasaan, kekayaan dan ketenarannya. Sementara masyarakat mengikuti mereka karena takut atau rakus. Orang-orang ini menyadari bahwa kekuasaan dan hegemoni mereka di tengah masyarakat akan hilang dengan diutusnya para nabi serta orang-orang yang mereka tindas akan bebas.
Saat ini di dunia, para pemegang kekuasaan dan kekayaan, melalui beragam sarana media dan propaganda yang mereka miliki, aktif menipu masyarakat. Padahal mayoritas kerusakan dan kejahatan di dunia muncul dari orang zalim ini. Jika ada yang bergerak melawan keinginan dan kepentingan mereka, maka orang tersebut ditumpas sehingga jalannya dapat dicegah.
Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Ajaran dan pemikiran serta peradaban kaum terdahulu jangan sampai menghalangi cara berpikir generasi sekarang. Tapi ajaran serta ideologi tersebut harus ditinjau ulang. Apalagi jika mereka tersesat dan taklid buta kepada mereka membuat kita menderita.
2. Sebuah masyarakat membutuhkan sosok yang pintar dan bijak, yang menyadari setiap bahaya dan memperingatkan masyarakatnya. Meski mayoritas masyarakat tidak mengindahkan mereka atau bahkan menentangnya.
3. Kekayaan dan kekuasaan jika tidak dikontrol akan membuat manusia menyimpang. Oleh karena itu, pemilik kekuasaan dan kekayaan serta mereka yang terkenal dan memiliki kedudukan di tengah masyarakat, bangkit menentang pengikut kebenaran.
قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آَبَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ (24) فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ (25)
(Rasul itu) berkata, “Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (43: 24)
Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu. (43: 25)
Saat menjawab mereka yang mengatakan, Kami mempertahankan dan hanya mengikuti ajaran leluhur kami, para nabi berkata, jika kami membawa ajaran yang lebih baik dari ajaran leluhur kalian, dan memberikan kalian kebahagiaan dan keselamatan, kalian tetap menolaknya? Apakah kalian tidak ingin kebahagiaan? Oleh karena itu, kalian harus menerima ajaran yang lebih terjamin membawa kalian kepada kebahagiaan.
Namun kebodohan, keras kepala dan fanatisme buta mereka membuatnya bersikeras mengikuti ajaran leluruh, tanpa bersedia mengkaji dan memikirkan usulan para Rasul Ilahi dan berkata, “Jangan khawatir kami tidak akan beriman kepadamu. Oleh karena itu, jangan repot-repot kalian menasihati kami dan jangan kamu siksa kami dengan ucapanmu.”
Uniknya para nabi meski menyadari kebenaran mereka dan yakin atas kebatilan ajaran orang musyrik tidak berkata kepada mereka, mengapa kalian berjalan di atas kebatilan dan menolak jalan kebenaran kami? Tapi para nabi ini sebagai sosok yang netral berkata, mari kita bandingkan ajaran kami dengan ajaran kalian, lihatlah dan mana yang menurut kalian lebih dekat kepada kebenaran dan petunjuk, kemudian pilihlah jalan kalian.
Metode al-Quran ini mengajarkan kita cara untuk berdiskusi dan berdialog dengan orang-orang keras kepala dan congkak serta menunjukkan bahwa orang beriman ketika berdialog dengan orang kafir harus adil dan menjaga sopan santun. Mereka harus berbicara dengan argumentasi dan rasional ketimbang menyebut pihak lain batil dan salah. Mereka meminta pihak seberang untuk berpikir dan memilih yang benar.
Ayat selanjutnya mengatakan, sikap congkak dan menentang kebenaran ini membuat kaum tersebut menentang dan menyimpang serta kemurkaan Ilahi turun kepada mereka. Al-Quran di berbagai ayat yang lain mengisyaratkan nasib umat seperti ini, misalnya sejumlah dari mereka dihancurkan dengan badai topan, sebagian lain dengan gempa bumi dan sebagian lainnya hancur dengan angin kencang dan petir.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Salah satu metode untuk mengenalkan Islam dan mengajak masyarakat memeluk agama samawi ini adalah membandingkan ajaran Islam dengan agama serta aliran lainnya. Perbandingan dengan didasarkan pada akal.
2. Dalam memilih jalan kehidupan, kita harus mendahulukan akal dan wahyu dari pada ajaran leluhur.
3. Segala bentuk fanatisme yang tidak tepat akan berujung pada penentangan dan sikap keras kepala, membuat manusia kehilangan kekuatan nalar dan mencegahnya sampai pada kebenaran.
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ (26) إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ (27) وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (28)
Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, (43: 26)
tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” (43: 27)
Dan (lbrahim as) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu. (43: 28)
Ayat ini secara singkat mengisyaratkan kisah Nabi Ibrahim as, dan al-Quran kepada kaum musyrik Mekah mengatakan, kalian yang mengakui Ibrahim sebagai leluhur besar, jika kalian tetap ingin mengikuti ajaran leluhur, lantas mengata kalian tidak mengikuti ajaran Ibrahim?
Ibrahim yang menyaksikan orang yang telah membesarkan dirinya, Azar serta kaumnya mengikuti jalan syirik, ia menghindari ajaran kaum tersebut dan menyatakan, Aku hanya menyembah penciptaku, Tuhan Yang Maha Esa. Aku berharap Ia membimbingku ke jalan kebenaran dan Aku yakin Ia tidak akan meninggalkanku sendirian.
Ibrahim berusaha keras membuat ajaranTauhid tetap eksis selamanya di dunia. Oleh karena itu, perjuangannya melawan kesyirikan dan penyembahan berhala serta seruannya kepada Tauhid sebuah sunnah yang ditinggalkan Ibrahim. Para nabi setelahnya juga meneruskan jalan ini dan membuatnya semakin kokoh.
Dari tiga ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Ketergantungan etnis dan kabilah jangan sampai meninggalkan dampak negatif bagi pemilihan akidah dan jalan kehidupan bagi kita, sehingga kita mampu mengenal kebenaran dan mengikutinya.
2. Akal menyatakan bahwa Tuhan yang menciptakan manusia tidak akan meninggalkannya, tapi mempersiapkan petunjuk melalui akal dan wahyu.
3. Usahakan kita meninggalkan warisan dan jalan kebenaran dengan menciptakan sunnah yang baik dan terpuji di keluarga dan masyarakat.
Surat al-Zukhruf ayat 23-28
وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (23)
Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (43: 23)
Di pertemuan sebelumnya telah dijelaskan bahwa alasan musyrikin Mekah menyembah berhala dan mensyirikkan Tuhan adalah taklid kepada leluhur. Ayat ini kepada Nabi Muhammad Saw mengatakan, “Apa yang dikatakan musyrikin Mekah tidak hanya terbatas kepadamu, para nabi sebelum Kamu ketika menghadapi umatnya yang syirik dan menyembah berhala, kaum tersebut tidak ingin berpikir dan merenungkan tindakan mereka, malah berkata, Kami ingin mengikuti jejak leluhur kami dan tidak akan meninggalkan ajaran mereka.”
Poin penting yang diisyaratkan ayat ini adalah peran pemimpin dan tetua kaum dan orang kaya serta congkak dalam melawan para nabi. Para pemimpin penentang nabi mayoritasnya adalah penguasan dan orang kaya serta sombong yang mendapat posisi di tengah masyarakat karena kekuasaan, kekayaan dan ketenarannya. Sementara masyarakat mengikuti mereka karena takut atau rakus. Orang-orang ini menyadari bahwa kekuasaan dan hegemoni mereka di tengah masyarakat akan hilang dengan diutusnya para nabi serta orang-orang yang mereka tindas akan bebas.
Saat ini di dunia, para pemegang kekuasaan dan kekayaan, melalui beragam sarana media dan propaganda yang mereka miliki, aktif menipu masyarakat. Padahal mayoritas kerusakan dan kejahatan di dunia muncul dari orang zalim ini. Jika ada yang bergerak melawan keinginan dan kepentingan mereka, maka orang tersebut ditumpas sehingga jalannya dapat dicegah.
Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Ajaran dan pemikiran serta peradaban kaum terdahulu jangan sampai menghalangi cara berpikir generasi sekarang. Tapi ajaran serta ideologi tersebut harus ditinjau ulang. Apalagi jika mereka tersesat dan taklid buta kepada mereka membuat kita menderita.
2. Sebuah masyarakat membutuhkan sosok yang pintar dan bijak, yang menyadari setiap bahaya dan memperingatkan masyarakatnya. Meski mayoritas masyarakat tidak mengindahkan mereka atau bahkan menentangnya.
3. Kekayaan dan kekuasaan jika tidak dikontrol akan membuat manusia menyimpang. Oleh karena itu, pemilik kekuasaan dan kekayaan serta mereka yang terkenal dan memiliki kedudukan di tengah masyarakat, bangkit menentang pengikut kebenaran.
قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آَبَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ (24) فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ (25)
(Rasul itu) berkata, “Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (43: 24)
Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu. (43: 25)
Saat menjawab mereka yang mengatakan, Kami mempertahankan dan hanya mengikuti ajaran leluhur kami, para nabi berkata, jika kami membawa ajaran yang lebih baik dari ajaran leluhur kalian, dan memberikan kalian kebahagiaan dan keselamatan, kalian tetap menolaknya? Apakah kalian tidak ingin kebahagiaan? Oleh karena itu, kalian harus menerima ajaran yang lebih terjamin membawa kalian kepada kebahagiaan.
Namun kebodohan, keras kepala dan fanatisme buta mereka membuatnya bersikeras mengikuti ajaran leluruh, tanpa bersedia mengkaji dan memikirkan usulan para Rasul Ilahi dan berkata, “Jangan khawatir kami tidak akan beriman kepadamu. Oleh karena itu, jangan repot-repot kalian menasihati kami dan jangan kamu siksa kami dengan ucapanmu.”
Uniknya para nabi meski menyadari kebenaran mereka dan yakin atas kebatilan ajaran orang musyrik tidak berkata kepada mereka, mengapa kalian berjalan di atas kebatilan dan menolak jalan kebenaran kami? Tapi para nabi ini sebagai sosok yang netral berkata, mari kita bandingkan ajaran kami dengan ajaran kalian, lihatlah dan mana yang menurut kalian lebih dekat kepada kebenaran dan petunjuk, kemudian pilihlah jalan kalian.
Metode al-Quran ini mengajarkan kita cara untuk berdiskusi dan berdialog dengan orang-orang keras kepala dan congkak serta menunjukkan bahwa orang beriman ketika berdialog dengan orang kafir harus adil dan menjaga sopan santun. Mereka harus berbicara dengan argumentasi dan rasional ketimbang menyebut pihak lain batil dan salah. Mereka meminta pihak seberang untuk berpikir dan memilih yang benar.
Ayat selanjutnya mengatakan, sikap congkak dan menentang kebenaran ini membuat kaum tersebut menentang dan menyimpang serta kemurkaan Ilahi turun kepada mereka. Al-Quran di berbagai ayat yang lain mengisyaratkan nasib umat seperti ini, misalnya sejumlah dari mereka dihancurkan dengan badai topan, sebagian lain dengan gempa bumi dan sebagian lainnya hancur dengan angin kencang dan petir.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Salah satu metode untuk mengenalkan Islam dan mengajak masyarakat memeluk agama samawi ini adalah membandingkan ajaran Islam dengan agama serta aliran lainnya. Perbandingan dengan didasarkan pada akal.
2. Dalam memilih jalan kehidupan, kita harus mendahulukan akal dan wahyu dari pada ajaran leluhur.
3. Segala bentuk fanatisme yang tidak tepat akan berujung pada penentangan dan sikap keras kepala, membuat manusia kehilangan kekuatan nalar dan mencegahnya sampai pada kebenaran.
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ (26) إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ (27) وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (28)
Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, (43: 26)
tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” (43: 27)
Dan (lbrahim as) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu. (43: 28)
Ayat ini secara singkat mengisyaratkan kisah Nabi Ibrahim as, dan al-Quran kepada kaum musyrik Mekah mengatakan, kalian yang mengakui Ibrahim sebagai leluhur besar, jika kalian tetap ingin mengikuti ajaran leluhur, lantas mengata kalian tidak mengikuti ajaran Ibrahim?
Ibrahim yang menyaksikan orang yang telah membesarkan dirinya, Azar serta kaumnya mengikuti jalan syirik, ia menghindari ajaran kaum tersebut dan menyatakan, Aku hanya menyembah penciptaku, Tuhan Yang Maha Esa. Aku berharap Ia membimbingku ke jalan kebenaran dan Aku yakin Ia tidak akan meninggalkanku sendirian.
Ibrahim berusaha keras membuat ajaranTauhid tetap eksis selamanya di dunia. Oleh karena itu, perjuangannya melawan kesyirikan dan penyembahan berhala serta seruannya kepada Tauhid sebuah sunnah yang ditinggalkan Ibrahim. Para nabi setelahnya juga meneruskan jalan ini dan membuatnya semakin kokoh.
Dari tiga ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Ketergantungan etnis dan kabilah jangan sampai meninggalkan dampak negatif bagi pemilihan akidah dan jalan kehidupan bagi kita, sehingga kita mampu mengenal kebenaran dan mengikutinya.
2. Akal menyatakan bahwa Tuhan yang menciptakan manusia tidak akan meninggalkannya, tapi mempersiapkan petunjuk melalui akal dan wahyu.
3. Usahakan kita meninggalkan warisan dan jalan kebenaran dengan menciptakan sunnah yang baik dan terpuji di keluarga dan masyarakat.
Surat al-Zukhruf ayat 16-22
أَمِ اتَّخَذَ مِمَّا يَخْلُقُ بَنَاتٍ وَأَصْفَاكُمْ بِالْبَنِينَ (16) وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِمَا ضَرَبَ لِلرَّحْمَنِ مَثَلًا ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (17) أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ (18)
Patutkah Dia mengambil anak perempuan dari yang diciptakan-Nya dan Dia mengkhususkan buat kamu anak laki-laki. (43: 16)
Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha Pemurah; jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih. (43: 17)
Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran. (43: 18)
Ayat ini mengisyaratkan keyakinan dan hal-hak khurafat di mayoritas kaum dan umat manusia sepanjang sejarah, di mana menurut keyakinan ini laki-laki lebih unggul dari perempuan dan mereka menganggap anak perempuan sebagai hal memalukan. Oleh karena itu, ayat ini menyatakan, bagaimana kalian menganggap anak laki-laki lebih unggul dari anak perempuan serta ketika anak laki-laki lahir, kalian gembira dan sebaliknya ketika yang lahir adalah anak perempuan, wajah kalian gelap dan sedih?
Lebih buruknya kalian menisbatkan anak laki-laki kepada diri kalian dan membanggakannya. Sementara kalian menisbatkan anak perempuan kepada Tuhan bahwa Ia menciptakan anak perempuan dan kalian mengatakan tidak menghendakinya. Kalian menganggap anak laki-laki dari kalian karena mereka menjadi tangan kanan kalian di perdagangan dan penyambung keturunan, serta menjadi kekuatan kalian saat perang, tapi anak perempuan yang tinggal di rumah dan besar sebagai hiasan serta lemah saat terjadi pertengkaran, kalian nisbatkan kepada Tuhan?
Jelas bahwa anak perempuan dan laki-laki keduanya ciptaan Tuhan dan keniscayaan keberadaan serta eksistensi manusia adalah adanya dua jenis ini. Di sisi Tuhan, salah satu di antaranya tidak unggul dari yang lain. Perempuan dan laki-laki masing-masing memiliki peran tersendiri dan memiliki karekteristik fisik dan mental yang berbeda. Salah satu perbedaannya adalah perempuan lebih unggul di bidang perasaan dan emosi di ucapan serta perilaku. Sejatinya mengingat peran vital perempuan di kehidupan, yakni peran ibu, Tuhan menetapkan karakteristik ini pada mereka dan dalam hal ini, mereka dikecualikan untuk hadir di medan perang.
Dari tiga ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Membedakan anak perempuan dan laki-laki memiliki akar di pemikiran khurafat dan keliru yang ditolak keras oleh al-Quran.
2. Cinta perhiasan bagi seorang anak perempuan dan wanita adalah hal wajar dan dapat diterima.
3. Medan keras pertempuran bukan tempat perempuan, karena hal ini tidak selaras dengan tabiat dan kondisi mereka.
وَجَعَلُوا الْمَلَائِكَةَ الَّذِينَ هُمْ عِبَادُ الرَّحْمَنِ إِنَاثًا أَشَهِدُوا خَلْقَهُمْ سَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ وَيُسْأَلُونَ (19) وَقَالُوا لَوْ شَاءَ الرَّحْمَنُ مَا عَبَدْنَاهُمْ مَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ (20)
Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaika-malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggung-jawaban. (43: 19)
Dan mereka berkata, “Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat).” Mereka tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka. (43: 20)
Salah satu pemikiran keliru dan tahayul orang musyrik adalah mereka menganggap malaikat anak perempuan Tuhan dan mereka sangat menekankan keyakinan tahayulnya ini seakan-akan mereka menyaksikan sendiri pencitaan malaikat dan bahwa Tuhan melahirkan anak perempuan!
Lebih buruk lagi, mereka menyembah malaikat dan meyakini malaikat terlibat serta berpartisipasi dalam merencanakan urusan duniawi. Padahal keyakinan seperti ini muncul dari tebakan dan perkiraan tanpa dasar serta tidak ada pembenaran dari ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, al-Quran mengatakan, klaim tak berdasar dan keliru mereka ini akan dipertanyakan di hari Kiamat, diinterogasi serta mereka tidak memiliki jawaban.
Dari dua ayat tadi terdapat empat poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Malaikat makhluk Tuhan, bukan anak-Nya. Malaikat berbeda dengan manusia, mereka tidak memiliki gender.
2. Penyembahan terhadap makhluk Tuhan baik itu malaikat atau manusia seperti Nabi Isa as, akan dipertanyakan di hari Kiamat.
3. Jangan mengira bahwa apa yang kita katakan dan apa yang keluar dari mulut kita akan terhapus. Tapi apa yang kita katakan tercatat dan suatu hari kita harus bertanggung jawab atas perkataan dan klaim kita.
4. Jangan menjustifikasi perilaku keliru kita dengan menisbatkannya kepada Tuhan. Karena Ia yang telah mengirim kitab suci, nabi dan petunjuk bagi umat manusia, tidak pernah meminta kita untuk menempuh jalan keliru.
أَمْ آَتَيْنَاهُمْ كِتَابًا مِنْ قَبْلِهِ فَهُمْ بِهِ مُسْتَمْسِكُونَ (21) بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ (22)
Atau adakah Kami memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum Al Quran, lalu mereka berpegang dengan kitab itu? (43: 21)
Bahkan mereka berkata, “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (43: 22)
Melanjutkan ayat sebelumnya tentang keyakinan tahayul orang musyrik, ayat kali ini mengisyaratkan akar dari keyakinan tersebut dan mengatakan, “Mereka tidak menyandarkan keyakinan tahayulnya kepada ajaran nabi dan kitab samawi, karena tidak ada nabi yang mengajarkan keyakinan tahuyul seperti ini kepada masyarakat. Tapi mereka mengikuti keyakinan tayahul para pendahulu mereka. Leluhur mereka yang bodoh telah menisbatkan hal-hal tak masuk akal dan aneh kepada Tuhan.”
Dengan kata lain, keyakinan khurafat dan tahayul ini tidak memiliki bukti sains dan pengetahuan serta akal, dan juga tidak ada argumentasi riwayat serta ayat dari kitab samawi yang dibawa para nabi terdahulu. Ini hanya taklid buta kepada kakek dan leluhur terdahulu sehingga keyakinan ini diterima di tengah masyarakat. Padahal tidak ada manusia yang berakal yang menetapkan pemikiran dan keyakinannya berdasarkan taklid, apalagi taklid orang bodoh kepada orang bodoh lainnya.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Ideologi dan keyakinan harus didasarkan pada akal atau wahyu. Apa yang tidak selaras dengan akal dan wahyu adalah syirik dan khurafat meski hal tersebut diakui oleh adat istiadat dan budaya sebuah masyarakat.
2. Hati-hati jangan sampai kita menyebarkan sunnah dan adat keliru di tengah masyarakat dengan alasan menjaga warisan leluhur.
3. Segala bentuk fanatisme etnis, nasional dan bahasa yang berujung pada taklid buta dan perilaku tak masuk akal, ditolak oleh al-Quran.
Surat al-Zukhruf ayat 11-15
وَالَّذِي نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً بِقَدَرٍ فَأَنْشَرْنَا بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا كَذَلِكَ تُخْرَجُونَ (11) وَالَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنَ الْفُلْكِ وَالْأَنْعَامِ مَا تَرْكَبُونَ (12)
Dan Yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur). (43: 11)
Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi. (43: 12)
Ayat sebelumnya menyinggung tanda-tanda Tauhid di alam semesta, dan di ayat ini dijelaskan bahwa hidupnya bumi, tumbuhan, dan manusia tergantung pada hujan, jika di suatu tempat tidak turun hujan, maka kekeringan akan membuat manusia kelaparan, dan kehausan.
Pertanyaannya adalah, apakah cahaya matahari yang menyinari laut, dan samudra, serta menguapnya air laut, dilakukan oleh manusia, dan apakah manusia ikut terlibat dalam proses turunnya hujan ? begitu juga apakah awan, dan tiupan angin yang menggerakan awan ke arah tanah-tanah yang tandus, adalah pekerjaan manusia ?
Tanah-tanah kering, dan tandus yang menyembunyikan benih-benih tumbuhan di dalam dirinya, seiring dengan turunnya hujan mulai bergerak, dan berbagai jenis tumbuhan mulai tumbuh. Pertumbuhan tanaman, mekarnya beraneka warna bunga, dan lahan pertanian subur, adalah karena turunnya hujan. Sebagaimana tanah-tanah tandus hidup lagi karena hujan, manusia juga akan dihidupkan lagi setelah mati. Turunnya hujan, dan menghidupkan tanah yang mati adalah bukti ilmu, dan kekuasaan Tuhan, dan tidak ada keraguan apapun tentang hari kiamat, dan dihidupkannya kembali semua yang mati. Kenyatannya, ini adalah contoh kebangkitan manusia yang dijelaskan Al Quran.
Selanjutnya ayat di atas membahas tentang hidup berpasangan. Semua makhluk hidup patuh pada hukum berpasangan, dan untuk melanjutkan generasi, mereka tergantung pada hidup berpasangan, tidak mungkin melanggarnya kecuali atas kehendak Tuhan.
Di ayat ini juga disinggung tentang tunggangan-tunggangan yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk melalui jalan darat maupun laut, dan ini kenyataannya adalah kemurahan dan kasih sayang Tuhan kepada umat manusia.
Sejak dahulu kala manusia sudah menggunakan laut sebagai jalur pelayaran kapal-kapalnya untuk mengangkut barang, dan memindahkan manusia. Hal yang menarik adalah, kapal-kapal dengan kemegahan, dan bobotnya yang berat, mematuhi hukum fisika di air, sehingga tidak tenggelam. Tidak diragukan, aturan dan hukum ini tidak diciptakan kecuali oleh Tuhan.
Di masa kini, berbagai tunggangan khususnya alat transportasi cepat seperti mobil, kereta cepat, dan pesawat telah memperluas aktivitas manusia, dan telah mengubah kehidupannya. Semua ini adalah bentuk kemurahan Tuhan, karena semua alat transportasi cepat ini mematuhi hukum Tuhan dalam gerak.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Sistem penciptaan mematuhi hukum yang jelas. Tuhan telah menetapkan hukum itu bagi setiap sesuatu.
2. Tuhan melakukan pekerjaan berdasarkan hukum sebab-akibat, sebagaimana hujan menjadi sebab hidupnya tanah, dan semua yang hidup di dalamnya.
3. Berbagai industri yang diciptakan manusia mengikuti hukum yang dibuat Tuhan di dunia. Manusia hanya menemukan hukum itu, dan memanfaatkannya.
لِتَسْتَوُوا عَلَى ظُهُورِهِ ثُمَّ تَذْكُرُوا نِعْمَةَ رَبِّكُمْ إِذَا اسْتَوَيْتُمْ عَلَيْهِ وَتَقُولُوا سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ (13) وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ (14)
Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya; dan supaya kamu mengucapkan, “Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, (43: 13)
dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.” (43: 14)
Dalam ayat ini dijelaskan, kapanpun manusia menunggangi tunggangannya, baik itu yang diproduksi mesin, dan buatan manusia semacam kapal, pesawat, mobil, dan kereta, ataupun tunggangan alami seperti kuda, unta, dan bagal, jangan lupa bahwa Tuhanlah yang menjinakkan tunggangan ini untuk manusia.
Tuhan juga menjinakkan sebagian binatang lain untuk manusia, meskipun mereka lebih kuat dari manusia, dan secara alami tidak mungkin bisa dijinakkan. Jika tidak ada kemurahan Tuhan, manusia tidak akan memiliki kemampuan untuk menjinakkan binatang-binatang ini. Oleh karena itu manusia harus bersyukur, dan berterimakasih kepada Tuhan.
Di akhir ayat, disinggung kembalinya manusia kepada Tuhan. Jangan sampai bersikap angkuh saat menunggangi tunggangannya, dan tenggelam dalam kenikmatan dunia. Manusia harus selalu mengingat Tuhan dalam setiap keadaan, karena kebanyakan dari mereka menjadikan kendaraan sebagai alat untuk mencari keunggulan diri, dan sombong kepada orang lain.
Kita harus selalu ingat bahwa menunggangi tunggangan yang memindahkan kita dari satu tempat ke tempat lain adalah pemindahan yang besar, yaitu dari dunia ke akhirat. Pasalnya, pada akhirnya kita akan kembali kepada Allah Swt.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Dalam menikmati nikmat-nikmat materi, kita tidak boleh lupa pada Tuhan, dan selalu mensyukuri nikmat-Nya. Hal yang tepat jika kita menyempurnakan syukur kita atas nikmat-nikmat Ilahi dengan selalu bertasbih, dan mensucikan Allah Swt.
2. Di hadapan Tuhan kita tunjukkan kelemahan, dan ketidakmampuan kita. Ini merupakan contoh syukur, bukannya malah sombong, dan menganggap diri lebih baik dari orang lain.
3. Ketika melakukan perjalanan di dunia, kita senantiasa mengingat akhirat yang dimulai dengan kematian.
وَجَعَلُوا لَهُ مِنْ عِبَادِهِ جُزْءًا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَكَفُورٌ مُبِينٌ (15)
Dan mereka menjadikan sebahagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bahagian daripada-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah). (43: 15)
Setelah dijelaskan sebelumnya tentang contoh-contoh Tauhid dalam penciptaan, dan ketuhanan, ayat ini mengecam syirik yang dilakukan sebagian manusia, dan menuturkan, bagaimana mungkin sebagian orang musyrik mengira para malaikat adalah putra-putra Tuhan, dan anak-anak yang lain adalah bagian dari orang tuanya ?
Tuhan bukan materi sehingga bisa dibagi, atau memiliki kemungkinan terpisah serta keterpisahan bagian-bagiannya. Para malaikat juga layaknya makhluk yang lain, adalah ciptaan Tuhan. Mereka bekerja mengatur alam semesta, bukan bagian dari Tuhan atau anak-Nya.
Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Sepanjang sejarah banyak khurafat tentang Tuhan, dan hubungan dengan makhluk-Nya, dan semuanya lahir dari ketidaktahuan manusia atau disingkirkannya ajaran para nabi.
2. Para malaikat adalah makhluk Tuhan, dan patuh pada perintah-Nya, bukan anak Tuhan yang berasal dari jenisnya.
3. Kepercayaan-kepercayaan menyimpang, khurafat, dan syirik menjauhkan kita dari Tuhan, dan menyimpangkan dari jalan kebenaran, dan membuat kita mengingkari nikmat-nikmat-Nya.
Surat al-Zukhruf ayat 1-10
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
حم (1) وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ (2) إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (3) وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ (4)
Haa Miim. (43: 1)
Demi Kitab (Al Quran) yang menerangkan. (43: 2)
Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). (43: 3)
Dan sesungguhnya Al Quran itu dalam induk Al Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah. (43: 4)
Surat Az Zukhruf adalah surat ke-43 Al Quran, dan memiliki 89 ayat. Surat ini seperti surat-surat lain yang turun di Mekah, membahas masalah-masalah akidah seperti penciptaan, hari akhir, dan kenabian.
Tujuh surat Al Quran diawali dengan huruf Muqathaah, “Haa Miim”, dan Surat Az Zukhruf adalah salah satunya. Seperti surat-surat lainnya, Surat Az Zukhruf setelah huruf ini, berbicara tentang Al Quran, dan tujuan penurunannya untuk menghidayahi umat manusia.
Di surat ini setelah huruf Muqathaah, Allah Swt bersumpah demi Al Quran. Hakikat Al Quran terang benderang, dan mencerahkan, serta menerangi jalan hidayah, dan kebahagiaan.
Audiens kitab ini awalnya adalah bangsa Arab, dan Al Quran ditulis dalam bahasa Arab. Pada saat yang sama, Al Quran tidak dikhususkan untuk bangsa Arab saja, kandungannya dipahami seluruh manusia. Allah Swt yang menurunkan kitab ini meminta seluruh umat manusia untuk merenungkan ayat-ayat kitab ini, dan memikirkan ajaran-ajaran luhurnya, serta mengimaninya dengan pengetahuan, dan kesadaran. Jelas bahwa setelah beriman kepada kitab ini, ajaran-ajaran konstruktif, dan solutifnya harus diamalkan.
Berbeda dari tuduhan sejumlah pihak bahwa Al Quran adalah perkataan seorang manusia bernama Muhammad, Al Quran adalah firman Tuhan, dan hakikatnya terjaga di sisi Allah Swt di Ummul Kitab atau Lauhul Mahfudz. Al Quran adalah kitab yang berasaskan ilmu, dan hikmah Ilahi, dan menjadi rujukan seluruh kitab langit. Seluruh hakikat alam, sebab-sebab kebahagiaan, dan kesengsaraan umat manusia, segala sesuatu yang dibutuhkan untuk kebijaksanaan, dan kesempurnaan, dijelaskan dalam kitab ini, dan ia terjaga dari segala bentuk campur tangan, perubahan, dan penyimpangan.
Dari empat ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Al Quran memiliki kesucian yang sedemikian tinggi hingga Allah Saw bersumpah demi kitab ini.
2. Memilih jalan Tuhan harus melalui usaha berpikir, dan perenungan, bukan taklid.
3. Pesan seluruh nabi, dan kandungan semua kitab langit adalah satu, karena turun dari satu sumber yang sama yaitu Allah Swt.
أَفَنَضْرِبُ عَنْكُمُ الذِّكْرَ صَفْحًا أَنْ كُنْتُمْ قَوْمًا مُسْرِفِينَ (5) وَكَمْ أَرْسَلْنَا مِنْ نَبِيٍّ فِي الْأَوَّلِينَ (6) وَمَا يَأْتِيهِمْ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ (7) فَأَهْلَكْنَا أَشَدَّ مِنْهُمْ بَطْشًا وَمَضَى مَثَلُ الْأَوَّلِينَ (8)
Maka apakah Kami akan berhenti menurunkan Al Quran kepadamu, karena kamu adalah kaum yang melampaui batas? (43: 5)
Berapa banyaknya nabi-nabi yang telah Kami utus kepada umat-umat yang terdahulu. (43: 6)
Dan tiada seorang nabipun datang kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya. (43: 7)
Maka telah Kami binasakan orang-orang yang lebih besar kekuatannya dari mereka itu (musyrikin Mekah) dan telah terdahulu (tersebut dalam Al Quran) perumpamaan umat-umat masa dahulu. (43: 8)
Salah satu sunnatullah yang terjadi di sepanjang sejarah adalah pengutusan para nabi, dan kitab langit untuk menghidayahi umat manusia. Akan tetapi sekelompok masyarakat, dan penguasa selalu menentang mereka, dan berusaha menjatuhkan harga diri para nabi dengan melakukan pengkhianatan, dan penghinaan. Terkadang mereka membuat penentangan-penentangan ini sedemikian besar, dan menggunakan segala cara untuk mencegah tersebarnya ajaran para nabi. Mereka bahkan melancarkan perang, dan konflik, dan membunuh nabi-nabi, dan para pengikutnya.
Allah Swt tidak menunda risalah para nabi, dan tidak membiarkan masyarakat karena perilaku zalim mereka. Dampak dari perilaku buruk para penentang itu adalah kebinasaan, dan kehancuran, dan rekam jejak mereka menjadi pelajaran.
Dari empat ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Para pemuka agama tidak boleh melalaikan tugasnya dalam menyampaikan pesan kebenaran hanya karena adanya sejumlah hambatan.
2. Orang beriman tidak boleh lemah, dan goyah di jalannya, karena olok-olok, dan hinaan para penentang, karena para nabi selalu menjadi objek olok-olok sekelompok orang kafir, namun orang-orang besar itu tetap tegar, dan terus melanjutkan jalannya.
3. Hukuman Tuhan tidak hanya terbatas di hari akhirat saja, karena Allah Swt membinasakan sejumlah kaum kuat yang memilih jalan ekstrem, dan di luar batas, di dunia ini.
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيزُ الْعَلِيمُ (9) الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ مَهْدًا وَجَعَلَ لَكُمْ فِيهَا سُبُلًا لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (10)
Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab, “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (43: 9)
Yang menjadikan bumi untuk kamu sebagai tempat menetap dan Dia membuat jalan-jalan di atas bumi untuk kamu supaya kamu mendapat petunjuk. (43: 10)
Ayat ini menyinggung risalah para nabi untuk membangunkan fitrah manusia, dan mengarahkan perhatiannya pada Penciptanya. Dalam ayat ini Allah Swt berfirman, orang-orang musyrik yang menyembah berhala jika ditanya, siapa Penciptamu, mereka akan mengakui Allah Swt yang menciptakan langit dan bumi.
Kebanyakan manusia lalai dari sumber keberadaan, dan akhir dunia karena urusan hidup sehari-hari. Mereka terlalu sibuk memikirkan urusan makan, minum, dan kenikmatan hidup, dan untuk mencapai semua ini mereka bekerja keras mengumpulkan kekayaan. Padahal semua itu bukan tujuan hakiki hidup, dan manusia jika sudah mencapai kenikmatan materi, tidak akan pernah puas, dan tidak merasa bahagia.
Para nabi datang untuk memberi peringatan kepada manusia untuk tidak lalai atas apa yang sudah ia kerjakan, dan tidak melupakan Tuhan dalam gegap gempitanya kehidupan. Tuhan yang menciptakan mereka, dan menganugerahkan berbagai nikmat kepadanya. Tuhan yang menjadikan bumi sebagai tempat lahir, dan tempat yang nyaman bagi manusia. Kita harus memperhatikan poin penting ini bahwa bumi meski memiliki beberapa gerakan, namun karena patuh pada hukum gravitasi, dan beberapa faktor lain, tetap tenang sehingga para penghuninya selalu merasa nyaman.
Nikmat lain yang diberikan Tuhan kepada manusia adalah jalan-jalan di muka bumi sehingga mereka tidak tersesat, dan sampai ke tujuan. Hampir seluruh permukaan bumi diliputi kerutan, dan ditutupi oleh pegunungan besar serta kecil, dan bukit-bukit. Hal yang menarik, di antara jajaran pegunungan tinggi dunia, biasanya terdapat irisan-irisan yang memungkinkan manusia menemukan jalannya. Ini merupakan salah satu kemurahan Tuhan untuk manusia.
Maka dari itu hanya Allah Swt yang memberikan seluruh nikmat ini kepada umat manusia, dan Dialah Pencipta, dan Pengatur alam semesta, Dia layak untuk disembah. Kenyataannya, manusia dengan cara menyembah, dan mentaati Tuhan, selain mendapatkan kenikmatan dunia, juga dijamin masuk surga.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Mengenal Tuhan adalah hal fitrah, namun manusia perlu diingatkan, dan perhatian agar tidak lalai terhadap Tuhan.
2. Memperhatikan nikmat-nikmat Ilahi dalam hidup adalah cara terbaik untuk mencegah kelalaian, dan mengikis karat dari hati, dan jiwanya.
3. Tuhan yang menciptakan langit, dan bumi, da memenuhi semua kebutuhan manusia di muka bumi, juga menyediakan fasilitas hidayah untuk manusia sehingga ia mencapai kebahagiaan di dunia, dan akhirat.
Surat al-Syura ayat 48-53
فَإِنْ أَعْرَضُوا فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا إِنْ عَلَيْكَ إِلَّا الْبَلَاغُ وَإِنَّا إِذَا أَذَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً فَرِحَ بِهَا وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ كَفُورٌ (48)
Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Sesungguhnya apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami dia bergembira ria karena rahmat itu. Dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena sesungguhnya manusia itu amat ingkar (kepada nikmat). (42: 48)
Salah satu karakteristik yang dimiliki para Nabi ilahi adalah kecintaan dan kasih sayangnya terhadap umat manusia yang menyebabkan mereka bersedih ketika sebagian orang tidak mau beriman. Padahal, mereka sudah mengerahkan segenap dayanya dalam berdakwah.
Di ayat ini, Allah swt menyampaikan kepada para Nabi-Nya bahwa sebesar apapun upaya yang telah dikerahkan, pada akhirnya ada saja orang yang memprotes dan tidak mau menerima dakwahmu. Engkau tidak memiliki tanggung jawab terhadap apa yang mereka lakukan. Sebab pesan ilahi telah disampaikan kepada mereka. Allah tidak menghendaki hamba-Nya beriman dengan paksaan, oleh karena itu, engkau diutus untuk mengajak mereka menerima kebenaran. Allah swt menghendaki manusia beriman dengan kehendaknya sendiri. Sebab keimanan demikianlah yang berharga.
Kelanjutan ayat ini menjelaskan adanya sebagian orang menentang dakwah para Nabi, bahkan mereka juga menentang Tuhan Yang Maha Kuasa. Padahal Allah swt telah menganugerahkan karunia yang begitu besar kepada manusia.
Sebagian orang menolak kebenaran yang dibawa para Nabi karena merasa dirinya tidak membutuhkan dakwah tersebut, dan berbangga dengan apa yang telah dimilikinya selama ini. Bahkan kesombongan tersebut menyebabkan mereka melupakan Allah swt yang telah menciptakan dirinya sendiri dan semua yang dimilikinya. Sebagian juga tidak mau bertaubat ketika ditimpa musibah yang seharusnya menyadarkan mereka dari kelalaian selama ini.
Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Tanggung jawab para pemimpin dan pemuka agama adalah menyampaikan dakwah ilahi, bukan memaksa orang lain menerima kebenaran yang dibawanya.
2. Sebagian manusia cenderung sombong dan lalai ketika dianegarahi karunia.
3. Kesulitan dalam kehidupan disebabkan oleh perbuatan manusia sendiri, dan Allah swt tidak menghendaki kesulitan bagi mereka.
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ (49) أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ (50)
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. (42: 49)
atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (42: 50)
Melanjutkan ayat sebelumnya tentang nikmat dan rahmat di alam semesta ini yang datang dari Allah swt, ayat ini menjelaskan tentang luasnya kekuasaan Allah swt dari bumi hingga langit dan segala suatu yang ada di alam semesta ini. Allah swt terus mencipta, bukan pencinta yang statis dan membiarkan alam begitu saja. Kemudian ayat ini menjelaskan tentang salah satu karunia Allah, yaitu memiliki keturunan.
Pada dasarnya, ayah dan ibu bukanlah pencipta anak-anak, tapi mereka adalah perantara saja yang juga diciptakan oleh Allah swt. Oleh karena itu, pada hakikatnya, Allah swt yang menciptakan anak laki-laki maupun perempuan.
Berdasarkan ayat ini, anak laki-laki maupun perempuan sama-sama anugerah Allah swt. Dalam pandangan al-Quran kedudukan keduanya setara. Sedangkan orang yang tidak diberi keturunan juga atas kehendak Allah sesuai dengan hikmah-Nya. Allah swt mengetahui dan menguasai seluruh alam semesta ini dengan segenap kekuasaanya yang tiada batas.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Anak laki-laki manupun perempuan sama-sama anugerah Allah swt. Oleh karena itu, setiap ayah dan ibu harus memperhatikan keduanya secara adil dan tidak membeda-bedakannya.
2. Allah swt senantiasa dalam keadaan mencipta dan setiap bayi yang lahir di seluruh penjuru dunia ini merupakan contoh dari ciptaan-Nya.
3. Jika kita beriman terhadap ilmu dan kekuasaan Allah swt, maka bertawakalah kepada-Nya mengenai berbagai masalah, termasuk apakah kita akan dikarunia keturunan ataukah tidak setelah berikhtar; ataupun tentang anak, apakah laki-laki ataukah perempuan. Sebab, semua itu ada hikmah-Nya yang belum kita ketahui.
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ (51)
Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (42: 51)
Surat Ash-Shura diawali dengan pembahasan tentang wahyu yang disampaikan kepada para Nabi dan berakhir dengan masalah yang sama. Pada bagian awal disebutkan, manusia tidak bisa secara langsung berhubungan dengan Allah swt, sebab Allah swt bukan materi, sehingga bisa berbicara seperti dengan manusia melalui mulut dan telinga untuk mendengar. Tapi Allah swt menyampaikan wahyunya melalui tiga jalan.
Pertama memberikan ilham di hati para Nabi-Nya yang akan mereka sampaikan kepada masyarakat. Kedua, Allah swt menciptakan gelombang suara yang hanya bisa ditangkap oleh orang-orang terpilih sebagai utusan-Nya, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Musa as. Ketiga melalui malaikat Jibril yang menyampaikan wahyu dari Allah swt kepada Nabi-Nya.
Wahyu yang disampaikan Allah swt dengan berbagai cara ini diterima dengan penuh keyakinan oleh para Nabi-Nya. Kemudian, para Nabi menyampaikan dakwah kepada masyarakat bersama mukjizatnya yang tidak bisa dilakukan oleh orang biasa, sehingga masyarakat yakin akan ajaran yang dibawanya.
Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Allah swt menyampaikan wahyu kepada utusan-Nya dengan berbagai cara termasuk melalui malaikat, sehingga bisa diterima oleh para Nabi untuk kemudian disampaikan kepada masyarakat sebagai petunjuk menuju jalan kebenaran.
2. Allah swt memilih orang yang menjadi utusan-Nya dengan ilmu dan hikmah-Nya.
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (52) صِرَاطِ اللَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ أَلَا إِلَى اللَّهِ تَصِيرُ الْأُمُورُ (53)
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (42: 52)
(Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan. (42: 53)
Ayat di penghujung surat Ash-Shura mengenai wahyu yang diturunkan Allah swt kepada para Nabi-Nya. Allah swt berfirman kepada Rasulullah Saw bahwa al-Quran diturunkan sebagaimana wahyu yang disampaikan kepada para Nabi sebelumnya yang berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia. Al-Quran menjadi cahaya yang menerangi kehidupan masyarakat. Sebagaimana dalam surat al-Anfal ayat 24 tentang pentingnya memenuhi seruan Allah swt dan Rasul-Nya demi kehidupan manusia sendiri.
Ayat ini mengungkapkan bahwa al-Quran bukan hanya cahaya yang menerangi para Nabi utusan-Nya saja, tapi juga sebagai petunjuk menuju jalan yang lurus untuk umat manusia. Mengenai jalan yang lurus ini mengapa harus datang dari Allah swt, sebab hanya Allah swt yang paling mengetahui jalan kebenaran dan tempat kembalinya segala urusan. Bukankah tidak ada jalan yang lebih baik dari jalan yang ditunjukkan oleh Allah swt melalui para utusan-Nya sendiri ?
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Para Nabi juga membutuhkan hidayah ilahi supaya bisa membimbing masyarakat, dan sumber petunjuk tersebut bukan berasal dari mereka, tapi dari Allah swt.
2. Ajaran Al-Quran sebagai sumber petunjuk kehidupan individu dan masyarakat. Sebab syarat memerima dan mengamalkan aturan ilahi bukan hanya membaca kitab sucinya saja, tapi memahami makna isinya, merenungkan dan mengamalkannya.
3. Al-Quran saja tidak cukup, karena manusia membutuhkan seorang pembimbing supaya bisa menjalankan ajaran tersebut di tengah masyarakat sekaligus menjadi teladannya.
Surat al-Syura ayat 44-47
وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ وَلِيٍّ مِنْ بَعْدِهِ وَتَرَى الظَّالِمِينَ لَمَّا رَأَوُا الْعَذَابَ يَقُولُونَ هَلْ إِلَى مَرَدٍّ مِنْ سَبِيلٍ (44)
Dan siapa yang disesatkan Allah maka tidak ada baginya seorang pemimpinpun sesudah itu. Dan kamu akan melihat orang-orang yang zalim ketika mereka melihat azab berkata, “Adakah kiranya jalan untuk kembali (ke dunia)?” (42: 44)
Salah satu sunatullah adalah anugerah akal dan wahyu sebagai pembimbing manusia untuk menentukan jalan kebenaran dan kesesatan. Sehingga kemudian tidak ada alasan lagi bagi manusia untuk menyangkal tidak mengetahui jalan kebenaran ataupun kesesatan dalam kehidupannya.
Orang yang telah menemukan jalan kebenaran, tapi tidak mengamalkannya, maka ia telah tersesat dan akan dipertanggungjawabkan di hadapan pengadilan ilahi di akhirat nanti. Dengan demikian, kebenaran dan kesesatan manusia adalah ikhtiar dan bukan sebuah paksaan yang ditentukan oleh perbuatannya masing-masing. Adakalanya manusia melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan cahaya hidayah ilahi dianugerahkan dalam dirinya.
Pada hari Kiamat kelak, hakikat kebenaran akan terkuak. Ketika itu penyesalan tiada gunanya dan permohonan ampunan kepada Allah swt tidak bermanfaat sama sekali karena batas waktu yang diberikan telah berakhir. Sebagaimana orang yang sudah tua tidak bisa mengembalikan masa mudanya, atau masa muda ke masa kanak-kanak dan balita, akhirat juga tidak bisa mengembalikan manusia ke dunia.
Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kesesatan tidak mengenal permulaan dengan menjadikan Allah swt sebagai penyebab awal kesesatan tersebut. Sebab manusia diberi bekal akal dan wahyu untuk mengenali kebenaran dan kesesatan.
2. Orang-orang yang lalim dan tersesat tidak berdaya di hadapan kekuatan Allah swt dan tidak akan ada yang bisa menyelamatkannya di akhirat kelak. Oleh karena itu, kita harus bertawakal dan bergantung kepada Allah Yang Maha Kuasa.
وَتَرَاهُمْ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا خَاشِعِينَ مِنَ الذُّلِّ يَنْظُرُونَ مِنْ طَرْفٍ خَفِيٍّ وَقَالَ الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلَا إِنَّ الظَّالِمِينَ فِي عَذَابٍ مُقِيمٍ (45) وَمَا كَانَ لَهُمْ مِنْ أَوْلِيَاءَ يَنْصُرُونَهُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ سَبِيلٍ (46)
Dan kamu akan melihat mereka dihadapkan ke neraka dalam keadaan tunduk karena (merasa) hina, mereka melihat dengan pandangan yang lesu. Dan orang-orang yang beriman berkata, “Sesungguhnya orang-orang yang merugi ialah orang-orang yang kehilangan diri mereka sendiri dan (kehilangan) keluarga mereka pada hari kiamat. Ingatlah, sesungguhnya orang-orang yang zalim itu berada dalam azab yang kekal.” (42: 45)
Dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung-pelindung yang dapat menolong mereka selain Allah. Dan siapa yang disesatkan Allah maka tidaklah ada baginya satu jalanpun (untuk mendapat petunjuk). (42: 46)
Ayat ini menjelaskan tentang kondisi orang-orang lalim dan tersesat yang berada di puncak ketakutan di hari Kiamat kelak. Orang-orang yang melakukan kezaliman di dunia kepada orang lain akan mendapatkan balasannya yang setimpal di akhirat nanti. Mereka tidak kuasa untuk mengangkat kepalanya saking terhina dan takut menyaksikan api neraka yang berkobar.
Ganjaran paling keras yang mereka terima ketika orang-orang mukmin berkata, "Kalian yang merasa menjadi pemilik kekuasaan dan kekayaan lihatlah kerugian besar yang kalian alami? kerugian yang menyebabkan semua upaya kalian sia-sia belaka dan hari ini hadir di sini dengan tangan kosong. Bukan hanya kalian saja, tapi orang-orang yang mengikuti kalian akan mengalami kerugian besar. Sebab mereka mengira berada di sampingmu akan selamat dan bahagia. Tapi kini mereka justru menderita dan terhina, karena kekuasaan yang dijadikan sandarannya tidak berguna sama sekali".
Oleh karena itu, kerugian besar apalagi yang lebih tinggi dari kehilangan anak dan istri serta keluarga karena mengikuti jalan kesesatan?
Kelanjutan ayat menekankan mengenai akibat dari perbuatan lalim selama di dunia yang akan mendapatkan balasan di akhirat kelak. Azab kekal yang akan diterima di akhirat, dan tidak ada seorangpun yang akan bisa menyelamatkannya.
Mereka yang memutuskan hubungan dengan para Nabi dan aulia Allah swt akan menghadapi azab seorang diri di akhirat kelak tanpa ada yang menolongnya.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kehinaan dan kemuliaan akan terkuak di hari kiamat kelak. Betapa banyak orang yang di dunia ini terlihat hidup mulia, tapi di hari kiamat akan terhina. Sebaliknya, orang-orang yang dunia ini terhina, tapi akan hidup mulai di akhirat nanti.
2. Kerugian terbesar bagi manusia adalah kehilangan umurnya, yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
3. Keimanan sebagai sumber kemuliaan Mukmin di dunia dan akhirat, sekaligus akan menyelamatkannya di akhirat nanti.
اسْتَجِيبُوا لِرَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا مَرَدَّ لَهُ مِنَ اللَّهِ مَا لَكُمْ مِنْ مَلْجَأٍ يَوْمَئِذٍ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَكِيرٍ (47)
Patuhilah seruan Tuhanmu sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak kedatangannya. Kamu tidak memperoleh tempat berlindung pada hari itu dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu). (42: 47)
Sepanjang sejarah, para Nabi dan Rasul diutus oleh Allah swt untuk membimbing manusia menuju jalan kebenaran. Ayat ini adalah ajakan dari para Nabi dan Rasul kepada umat manusia, temasuk orang-orang Kafir dan lalim supaya mempersiapkan diri untuk menempuh perjalanan ke alam akhirat yang tidak ada jalan pulang ke dunia. Bekal menuju perjalanan ini adalah amal salih selama di dunia dan memohon ampunan dari Allah swt serta menunaikan segala perintah-Nya.
Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Ketaatan terhadap aturan Allah swt menjadi penyebab kebahagiaan di dunia dan akhirat, serta penyelamat kita di akhirat kelak.
2. Sebelum kehilangan setiap kesempatan dan fasilitas yang kita miliki selama di dunia, kita harus memikirkan usia dan perjalanan menuju alam akhirat yang harus dipersiapkan bekalnya, sebab setelah perjalanan ini tidak ada jalan kembali ke dunia.
Surat al-Syura ayat 40-43
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ (40)
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. (42: 40)
Di penghujung pembahasan sebelumnya telah dikupas mengenai membela diri terhadap penyerangan, yang bermakna bahwa orang-orang Mukmin tidak bisa berdiam diri menghadapi kelaliman, dan jika diperlukan meminta pertolongan kepada kepada orang lain supaya terlepas dari penindasan yang menimpanya.
Melanjutkan penjelasan tersebut, ayat ini mengungkapkan bahwa balasan harus sesuai dengan keadilan, sehingga tidak berlebihan dan melewati batas. Masalah ini juga ditegaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 194.
Dalam surat Ashura ayat 40 ini dijelaskan adanya hal yang lebih utama dari balasan terhadap sebuah kejahatan, yaitu berbuat baik dan memaafkannya. Jika orang yang melakukan kejahatan menyesali perbuatannya dan memohon maaf, maka sebaiknya kita memaafkannya. Di ayat ini juga ditegaskan bahwa Allah swt tidak menyukai orang-orang yang berbuat zalim.
Tentu saja, maksud ayat ini mengenai pentingnya memaafkan, bukan berarti Allah swt membela pelaku kejahatan, tapi masalah dendam yang harus dihilangkan dan terwujudnya perdamaian di tengah masyarakat.
Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Pembalasan bagi orang yang berbuat kejahatan kepada orang lain berada di tangan orang yang dizaliminya. Ia bisa membalas perbuatan jahat yang dilakukan kepadanya, ataukah memaafkannya. Jika balasan akan diberlakukan harus sesuai dengan prinsip keadilan dan tidak melewati batas.
2. Agama Islam menganjurkan untuk memaafkan orang yang telah berbuat salah, meskipun memiliki kekuatan untuk membalasnya. Sebab, orang memaafkan akan mendapatkan pahala yang besar dari Allah swt.
وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِ فَأُولَئِكَ مَا عَلَيْهِمْ مِنْ سَبِيلٍ (41) إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (42)
Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu dosapun terhadap mereka. (42: 41)
Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih. (42: 42)
Melanjutkan ayat sebelumnya mengenai pembalasan terhadap perbuatan jahat, di ayat ini kembali ditegaskan tentang pentingnya memaafkan perbuatan jahat orang lain lain dari pihak yang dizalimi dengan keinginan sendiri, bukan tekanan orang lain. Sebab, ia memiliki hak untuk mewujudkan haknya membalas kejahatan yang dilakukan terhadap dirinya, bahkan ketika ia tidak mampu membalasnya bisa meminta bantuan orang lain. Tapi tentu saja hal ini harus dilakukan sesuai prinsip keadilan dan tidak melebihi batas.
Pihak yang dianiaya, ketika melakukan pembalasan sesuai haknya tidak boleh dicela, karena ia berhak melakukan tindakan tersebut. Masyarakat harus mencela orang yang tidak menunaikan haknya dan berbuat lalim kepada orang lain.
Sebagaimana orang yang tidak berhak diberi keistimewaan dari orang lain, tentu saja akan menimbulkan sikap sombong dan merasa bisa berbuat apa saja di tengah masyarakat, karena tidak mematuhi aturan yang berlaku. Merekalah yang layak dicela dan harus dihukum di dunia, dan di akhirat kelak akan mendapatkan ganjaran hukuman setimpal dari Allah swt.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Orang yang tertindas berhak meminta pertolongan dari orang lain, dan masyarakat juga harus menolongnya meraih haknya.
2. Melanggar hak orang lain, siapa pun itu, tidak dibenarkan dan dapat ditindaklanjuti dan dihukum.
3. Pembangkangan dan pelanggaran atas batasan ilahi dan hukum sosial yang akan merusak masyarakat harus diungkap dan dipertanyakan oleh masyarakat.
وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ (43)
Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan. (42: 43)
Ayat ini kembali menegaskan pentingnya memaafkan orang yang bersalah dan berbuat jahat kepada kita. Tapi masyarakat tidak boleh menekan orang yang menjadi korban supaya memberikan maaf, sebab hal itu harus muncul dari dalam dirinya sendiri, bukan tekanan.
Memaafkan orang lain merupakan perbuatan yang sulit dan membutuhkan jiwa yang besar untuk melakukannya. Bersabar dan memaafkan merupakan perbuatan yang luhur dan mulia. Sebab melepaskan hawa nafsu dengan memaafkan orang lain tidak bisa dilakukan oleh setiap orang dan tidak mudah. Tapi orang-orang yang berjiwa besar akan melakukannya dan tidak menuntut haknya sendiri.
Secara umum di ayat ini ada dua tipe orang dalam menyikapi perbuatan salah dan jahat orang lain, yaitu pembalasan dan memafkan. Tentu saja hal ini dipengaruhi oleh kondisi tiap orang yang berbeda-beda, sesuai dengan kualitas spiritualnya masing-masing.
Mungkin saja orang berbuat lalim menyesali perbuatannya, tapi mungkin juga tidak. Sebaliknya, orang yang teraniaya juga bisa memaafkan, maupun tetap menuntut haknya. Bebeberapa ayat ini menjelaskan bagaimana kondisi spiritualitas setiap orang mempengaruhi keputusan sebuah hukum.
Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Anjuran akhlak al-Quran adalah bersabar dan memafkan orang lain. Sebab hak untuk membalas tetap ada berdasarkan aturan hukum.
2. Sabar dan memaafkan merupakan sifat mulia manusia yang dipuji Allah swt.
3. Islam adalah agama yang komprehensif dengan mengakui hak orang yang tertindas dan dianiaya untuk membalas, tapi juga menganjurkan untuk memaafkan orang lain.