
کمالوندی
Surah Al-Hajj
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحيمِ
يا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظيمٌ َ
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu; sesungguhnya keguncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat).
Ayatullah Al-‘Uzhma Haji Syeikh Muhammad Fadhil Al-Lankarani
Kelahiran
Beliau dilahirkan pada tahun 1913 M. di kota suci Qom. Ayah beliau, Almarhum Ayatullah Fadhil al-Lankarani adalah salah seorang guru dan ulama besar di Hauzah Ilmiah Qom, dan ibu beliau adalah salah seorang keturunan Rasulullah saw yang agung yang dikenal dengan silsilah Mubarqi’.
Masa Belajar
Setelah menamatkan Sekolah Dasar, beliau menekuni ilmu-ilmu keislaman di Hauzah Ilmiah Qom dengan penuh antusias. Karena memiliki kecerdasan yang luar biasa, beliau berhasil menamatkan jenjang Mukadimah dan Sath Hauzah (satu jenjang sebelum memasuki Bahtsul Kharij) dalam jangka waktu 6 tahun, dan dalam usia 19 tahun beliau telah memasuki jenjang Bahtsul Kharij argumentatif dalam bidang Fiqih dan Ushul Fiqih yang diasuh oleh Ayatullah al-‘Uzhma Burujerdi ra. Karena usianya yang sedikit dan pemahamannya yang luar biasa, beliau mendapatkan perhatian khusus dari para mahasiswa dan guru beliau itu. Sahabat karib dan teman diskusi beliau selama masa belajar adalah putra pendiri Revolusi Islam Iran, Ayatullah Syahid Mushthafa Khomeini ra.
Para Guru
Selama 11 tahun beliau menekuni jenjang Bahtsul Kharij di bawah asuhan Ayatullah al-‘Uzhma Burujerdi dan selama 9 tahun di bawah asuhan Imam Khomeini ra. Beliau telah mengambil manfaat yang tak terhingga dari dua sumber ilmu-ilmu keislaman tersebut.
Selama beberapa tahun beliau pernah menghadiri kuliah filsafat dan tafsir yang dibimbing oleh Ayatullah Allamah Thabathabai ra. Dan beliau pun telah mampu memetik manfaat dari guru yang agung ini.
Kecerdasan yang luar biasa dan usaha beliau yang tak kenal lelah telah mengantarkan beliau menggapai gelar mujtahid pada usia 25 tahun. Dan kemujtahidan beliau ini telah mendapat pengesahan dari guru beliau, Ayatullah al-‘Uzhma Burujerdi.
Mengajar
Selama bertahun-tahun beliau memberikan kuliah di tingkat Sath kepada para mahasiswa yang tak sedikit jumlahnya, dan selama lebih dari 35 tahun beliau masih aktif memberikan kuliah di jenjang Bahtsul Kharij Fiqih dan Ushul Fiqih. Keistimewaan kuliah beliau sangat tersohor sehingga lebih dari 700 mahasiswa Hauzah Ilmiah Qom yang menghadirinya. Dalam beberapa tahun terakhir ini kuliah Bahtsul Kharij Fiqih beliau disiarkan melalui gelombang radio Suara Republik Islam, dan banyak orang, baik di dalam maupun di luar negeri yang mengikuti mata kuliah tersebut.
Kiprah Politik Melawan Rezim Pahlavi
Semenjak Imam Khomeini memulai kiprah politik melawan kezaliman, kebejatan dan pemerintahan diktator Pahlavi, beliau pun terjun ke dunia politik secara aktif. Beberapa kali beliau diintrogasi oleh oleh Badan Inteligensia pemerintahan Pahlavi dan dijebloskan ke dalam penjara. Akhirnya, beliau diasingkan di daerah Bandar Langgeh selama 4 bulan. Setelah itu beliau dipindahkan ke Yazd dan diasingkan di sana selama dua setengah tahun.
Marja’iyah
Setelah Imam Khomeini meninggal dunia, tidak sedikit masyarakat Muslim yang bertaklid kepada beliau, dan setelah Ayatullah al-‘Uzhma Araki wafat, beliau dipilih oleh Jami’ah Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qom sebagai marja’ pertama di antara sekian marja’ taklid dengan suara aklamasi dan diperkenalkan kepada umat Islam.
Dalil Fitrah
Argumen Fitrah
Mukadimah
Secara global, perlu diketahui bahwa maksud dari “argumen fitrah” yang diletakkan berdampingan dengan empirik dan rasio/akal, bukanlah fitrah aqliah, melainkan fitrah nurani. Oleh karena itu dalam argumen ini, kita tidak akan menjumpai pembahasan tentang premis minor (sughra), premis mayor (kubra) dan relasi antara minor-mayor (hadd-e wasath). Apa yang dijadikan sebagai landasan argumentasi di sini adalah inner vision (pengamatan internal) dan refleksi batin. Dengan demikian, pada pembagian di atas, tolok ukur pengklasifikasian terletak pada alat dan perangkat teologi. Artinya dalam argumen fitrah ini, kita akan menemukan ilmu sadar kita terhadap Tuhan melalui hati, perhatian dan refleksi internal, lalu melalui metode inilah kita akan membentuk makrifat tak sadar atau setengah sadar kita, terhadap Tuhan menjadi makrifat yang sadar dan aktual.
Sedangkan pada teori empirik, kita akan mengargumentasikan wujud Tuhan melalui penyaksian bias-bias fisikal dan materi (melalui proses penginderaan), juga dengan observasi dan mencermati keteraturan alam seperti pada teori keteraturan dan petunjuk (hidayah umum). Adapun pada argumen rasional, kita sama sekali tidak mempergunakan premis-premis eksperimental untuk mengaffirmasikan dan menegaskan eksistensi mutlak (wajibul wujud), melainkan hanya dengan bantuan akal yang dikolaborasikan dengan penerimaan terhadap prinsip keberadaan, seperti pada argumen wujub dan imkan (possibility), argumen illah (cause, sebab) dan ma’lul (effect, akibat) serta burhan shiddiqien.
Pembagian argumen berdasarkan asas kemanunggalan antara sâlik, maslak dan maqshad
Pada peristiwa terjadinya “sebuah gerak”, ada tiga asas yang menjadi poin perhatian yang perlu digaris bawahi, yaitu “mutaharrik (yang bergerak), masiir (jalan) dan hadaf (tujuan)”. Yang dimaksud dengan mutaharrik adalah pemikir yang berfikir dalam sebuah persoalan. Masir adalah metodologi atau wahana tafakkur dan kontemplasi. Sedangkan makshad adalah tujuan, yaitu konklusi dari pemikiran. Dari perspektif dan paradigma ini, dalil-dalil teologi dipilah menjadi beberapa bagian. Pada salah satu pembagiannya disepakati bahwa ketiga asas di atas saling terpisah satu dari yang lainnya. Pada bagian lainnya dikatakan bahwa mutaharrik dan masir adalah satu. Tetapi maksad terpisah dari keduanya. Dan pada bagian ketiga disepakati bahwa, masir dan maksad satu. Tetapi mutaharrik terpisah dari keduanya.[1]
Teori-teori semacam teori imkan, huduts (coming to be), gerak dan teori keteraturan, digolongkan dalam bagian pertama dimana pada tataran ini sâlik (pesalik), maslak (jalan suluk) dan makshad masing-masing terpisah satu dari yang lainnya.
Salah satu metode argumentasi atas wâjib al-wujud adalah ma’rifat nafs (pengenalan jiwa). Artinya bahwa manusia dapat menyadari keberadaan wâjib al-wujud melalui metode mutala’ah (pembelajaran) di dalam dirinya dan dalam perjalanan jiwanya. Lalu berargumentasi atas wâjib al-wujud dengan kontemplasi diri.[2] Dalam argumentasi semacam ini, pada hakikatnya metode dan cara yang dipergunakan adalah sama. Hanya saja tujuan terpisah dari keduanya.
Mulla Sadra memasukkan teori siddiqin pada bagian ketiga. Dikatakan bahwa maslak dan makshad adalah satu dan hanya para pesaliknyalah yang terpisah dari keduanya. Karena hal inilah sehingga dikatakan bahwa teori semacam ini merupakan teori yang paling mencakupi dan paling kuat di antara teori-teori lainnya.
Dalam kitab Asfar, ia mengatakan: “Teori yang paling kuat dan paling luas yang membahas tentang Tuhan adalah teori yang hadd-e wasath-nya (relasi antara premis minor dan premis mayor) mengakui ketiadaan sesuatu selain diri-Nya dimana pada akhirnya, metode identik dengan tujuan. Dan hal ini sebagaimana metodologi yang dpergunakan oleh para sadiqin, yaitu orang-orang yang berargumen dan bersaksi atas wajibul wujud dengan wajibul wujud”.[3]
Pertanyaan
Pada akhir wacana, ada baiknya kalau kita mencoba menjawab pertanyaan penting dalam masalah yang berkaitan dengan pembahasan di atas. Pertanyaan tersebut adalah, kenapa dan bagaimana sebagian dari filosof besar secara explisit menolak argumen atas wujud Tuhan. Sebagai contohnya Syaikh Ar-rais Abu ‘Ali Sina Ra dalam kitab Ta’liqat-nya, mengatakan: “Tidak ada teori yang bisa diargumentasikan atas wâjib al-wujud, dan Dia tidak bisa dikenali kecuali dari dirinya sendiri…”[4]
Untuk menjawab pertanyaan ini, dapat dikatakan bahwa, perolehan ilmu hushuli tentang Tuhan melalui metode rasional dan filosofis, bukan merupakan suatu hal yang tidak mungkin. Ibnu Sina pun mengungkapkan beberapa ulasan tentang Dzat Wajib. Oleh karena itu, harus dilihat paradigma apa yang menjadi alasan utama penafian teori pembuktikan wajib ini. Penafian teori tersebut mungkin muncul karena salah satu dari asumsi berikut:
1. Sebagian filosof, hanya mengungkapkan teori sebatas pengertiannya sebagai teori deduksi (a-priori reasoning,) sedangkan teori induksi (a posteriori reasoning) diistilahkan sebagai dalil dan bukan teori. Dari sini bisa jadi yang dimaksud oleh mereka -seperti Ibnu Sina yang menafikan adanya kemungkinan teori wujud wajib- adalah bahwa teori deduksi tidak bisa dijadikan sebagai statement untuk dzat wajib. Hal ini karena dalam teori deduksi -sebagaimana yang telah kami isyaratkan sebelumnya- ulasan yang dikemukakan di dalamnya adalah munculnya effect (akibat) lantaran causa (sebab). Sedangkan Dzat Wâjib, Dia sendirilah yang menjadi illatul-illal (the first cause) dan bukan merupakan effect dari sesuatu yang lain. Atas dasar ini, teori deduksi tidak sesuai untuk wajib al-wujud. Dan literatur dari penjelasan tersebut adalah kitab Syifa yang mengatakan: “Tuhan tidak bisa diteorikan. Karena Dia tidak mempunyai penyebab dan tidak ada deduktifikasi tentang Nya”.[5]
2. Apa yang kita capai dari ilmu husuli, hanyalah persepsi dan mafhumnya belaka. Sementara untuk memahami wujud visual dan personal hanya mungkin dilakukan dengan cara penyaksian (musyahada, intuisi). Atas dasar ini, bisa jadi maksud dari penafian teori dalam pembuktian wâjib al-wujud adalah bahwa kita sama sekali tidak akan pernah mampu memastikan wujud visual dan personal Tuhan dengan menggunakan teori. Konklusi yang bisa kita hasilkan dari teori-teori ini hanyalah persepsi universal dari semisal “wajib al-wujud”, “illatul-illal” dan semacamnya. Tetapi untuk mencapai wujud wajib itu sendiri harus dilakukan melalui perjalanan irfani, bukan perjalanan akal dan teori.
3. Konklusi dari analogi-analogi teori yang diargumentasikan dalam kaitannya dengan wujud wajib merupakan qadhiyah hamliyah (attributive proposition), dimana subyek-subyek mereka adalah eksistensi-eksistensi mumkin dan ma’lul. Seperti misalnya dalam teori imkan yang dari proposisi ini disimpulkan bahwa “mumkinat (benda-benda mumkin) mempunyai sebuah wajibul wujud”. Dan dalam teori iliyat (kausalitas, hubungan sebab-akibat) disimpulkan bahwa “eksistensi-eksistensi effect mempunyai ilatul-ilal (the first cause)”. Sementara proposisi dalam teori keteraturan mengatakan bahwa “Alam mempunyai pengatur”.
Dengan demikian, teori-teori tersebut –pada hakekatnya dan secara langsung- adalah membuktikan makhluk sebagai predikat bukan membuktikan wujud wajib. Dan bisa jadi, dari sinilah sebagian menginterpretasikan penafian teori atas wujud wajib tersebut sebagai berikut: “Secara esensial (dzati), Dzat Wâjib tidak bisa diargumentasikan dengan teori. Tetapi secara aksidental (‘aradhi) hal tersebut memungkinkan”.[6]
Klasifikasi
Pada bagian ini, kami telah mengulas tentang beberapa kategori, yang secara ringkas akan kami isyaratkan kembali dengan klasifikasi sebagai berikut, bahwa:
1. Selama masih ada keinginan bertuhan dalam diri manusia, maka wacana tentang Tuhan akan senantiasa ada dan senantiasa hidup. Dalam katagori ini tidak ada jalan untuk lapuk dan letih.
2. Makrifat dan theology, bukan hanya merupakan pondasi religi, melainkan juga merupakan pondasi makrifat yakini. Hal ini karena oleh apa yang disepakati oleh para filosof bahwa ”Yakin terhadap adanya ma’lul (akibat) tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya pengenalan terhadap ilal (sebab)”.
3. Yang dimaksud dengan “dalil” –dalam pembahasan kita- adalah metode mutlak, argumentasi yang hampir setara dengan makna hujjah. Atas dasar inilah teori-teori fitrah, sadiqin dan sebagainya semuanya berada dalam deskripsi ini.
4. Irfan mengatakan bahwa wujud Tuhan adalah badihi (jelas dan aksiomatis). Dan semua alam merupakan manifestasi, tajalli serta saksi yang haq dan benar. Dan setiap sesuatu –meskipun sangat kecil- merupakan penampakkan dan dalil atas Nya. Sehingga dari sini bisa dikatakan: banyaknya argumentasi dan metode pembuktian wujud Tuhan dalam pandangan irfan, equivalen dengan banyaknya jumlah makhluk Tuhan.
5. Dalam filsafat dan kalam, interpretasi “Tuhan ada” disepakati merupakan sebuah intepretasi teoritis yang membutuhkan argumen dan teori. Argumen-argumen akal dalam kitab-kitab filsafat dan kalam tentang pembuktian wajib mempunyai tiga ragam pembahasan dalam formula yang berbeda:
a. Filosofi
b. Kalam
c. Alami.[7]
1. Metodologi yang dipergunakan oleh manusia untuk membuktikan wujud Tuhan ada tiga:
a. Metode kalbu atau fitrah,
b. Metode sensibel (material) atau metode tabi’at,
c. Metode akal atau metode argumen dan hikmat.[8]
2. Apa yang selama ini dikenal sebagai teori fitrah, pada hakikatnya bukan merupakan teori dalam istilah logika, melainkan salah satu dari metodologi theology yaitu metode kalbu, bukan metode akal. Atas dasar ini dalam bab theology, antara metode dan dalil dalam makna khas logika, terdapat korelasi umum dan khusus mutlak, yaitu setiap dalil merupakan metode. Tetapi setiap metode belum tentu merupakan dalil.
3. Dalam kitab-kitab filsafat, tolok ukur yang dipergunakan untuk mengaffirmasikan wujud Tuhan diletakkan pada metode-metode akal. Sedangkan metode-metode sensibility dan tabi’at juga ikut menjadi bahan pembahasan dari sisi bahwa minor akan membentuk mayor-nya akal. Seperti teori keteraturan serta teori hidayah dan petunjuk.
4. Sandaran para ahli kalam dalam affirmasi dan pembuktian wujud Tuhan adalah pada kejadian alam. Dan sebagiannya seperti Thusy (ra) selain bersandar pada kejadian alam juga bersandar pada possibility (kemungkinan). Dan dengan memperhatikan bahwa eksistensi-eksistensi alam bisa merupakan eksistensi essensial atau aksidensial, maka wujud Tuhan bisa diargumentasikan dalam empat keadaan: “Telah diketahui bahwa alam bisa muncul dalam bentuk esensi maupun aksidensi. Dan wujud Tuhan bisa diargumentasikan dengan setiap dari keduanya, baik melalui metode possibility ataupun metode hudust. Dengan demikian keseluruhannya menjadi empat cara”. [9]
5. Jumlah ikhtilaf dan kemajemukan teori, equivalen dengan jumlah kemajemukan dan ikhtilaf yang terdapat dalam hadd-wusta (middle-term) mereka. Oleh karena itu meskipun imkan, ma’luliyyat (ke-akibata-an) dan hudust saling melazimkan. Tetapi karena secara persepsi mereka berbeda antara satu dengan lainnya, maka teori-teori wujud dan imkan, ilah (sebab) dan ma’lul (akibat), masing-masing merupakan teori yang terpisah.
6. Literatur-literatur statement dan metodologi affirmasi wujud Tuhan terdapat dalam kitab-kitab filsafat dan kalam yang diantaranya adalah:
a. Argumen fitrah,
b. Argumen keteraturan,
c. Argumen hidayah dan petunjuk,[10]
d. Argumen gerak[11]
e. Argumen hudust nafs,[12]
f. Argumen wujub dan imkan,
g. Argumen sebab dan akibat,
h. Argumen atau burhan shiddiqin.
Tentu saja sebagian dari teori-teori tersebut di atas telah dibahas dalam berbagai wacana dan penjelasan. Seperti misalnya teori fitrah yang telah dipaparkan dengan cara-cara yang varian. Dimana sebagiannya berdasarkan pada asas intuisi dan ilmu hudhuri. Dan sepenggalnya lagi berasaskan pada ilmu husuli, yang hal ini akan dijelaskan lebih detail pada pembahasan fitrah. Sedangkan teori hudust, imkan dan siddiqin, juga telah disajikan dengan ulasan yang beragam. Misalnya -sebagaimana yang telah kami ungkapkan pada makalah-makalah sebelumnya- teori siddiqin telah dijelaskan dalam 19 ulasan. Yang keseluruhannya telah diungkapkan oleh marhum hakim rabbany Mirza Mahdi Mudarris Ashtiyany –Qudsallahu ruhuhul-‘alaa- dalam catatan kecilnya atas Sharh Mandzumah Hakim Sabzewary (ra).
8. Dengan memperhatikan berbagai uraian dari sebagian dalil-dalil affirmasi wujud Tuhan, bisa dikatakan bahwa telah ditemukan sekitar 34 penjelasan di dalam kitab-kitab filsafat dan kalam yang berkaitan dengan pembuktian wajibul wujud. Dimana pada pembahasan selanjutnya kami akan mencoba menelisik dan menganalisa sebagian dari dalil-dalil tersebut yang seiring dengan itu kami juga akan mengungkapkan berbagai ulasan yang berkaitan dengannya.
Argumen Fitrah
Apabila kita ingin meletakkan jenis gradasi logika dalam argumen-argumen pembuktian Tuhan, maka kita bisa mengedepankan argumen (burhân) fitri dari argumen-argumen lainnya. Hal ini karena sumber dan asas argumen ini adalah jiwa insane, yang dasarnya adalah ilmu hudhuri (knowledge by presence, presensi) dan jalannya muncul dari lubuk jiwa manusia. Dengan alasan inilah, maka argumen fitrah menduduki posisi lebih awal dari argumen-argumen lainnya. Tetapi, meskipun berdasarkan paradigma lainnya posisi argumen-argumen semacam burhân shiddiqien berada dalam barisan depan dari argumen-argumen lainnya, namun kami tetap akan mengedepankan pembahasan argumen fitrah hanya dengan mencukupkan pembahasan pada paradigma yang telah kami isyaratkan. Di sini kami akan melakukan analisa pembahasan yang sedikit lebih detail dalam kaitannya dengan tema berikut:
Beberapa Istilah tentang Fitrah
1. Fitriyât dalam ilmu Logika merupakan salah satu makna terminologi fitrah pada tema proposisi logika. Proposisi-proposisi fitri (fitriyât) merupakan sebuah proposisi yang meskipun keterbuktian predikat untuk subyek di dalamnya membutuhkan hadd-e wasath (middle term, relasi antara premis minor dan premis mayor), tetapi hadd-e wasath ini senantiasa hadir di dalam pikiran, dengan demikian proposisi ini termasuk dalam proposisi yakini (definitive) dan badihi (self-evident, gamblang dengan sendirinya). Oleh karena itu, para logikawan mengungkapkannya dengan interpretasi “Qadhaya qiyasâtuha ma’aha” yaitu “proposisi-proposisi yang analoginya senantiasa bersamanya”. Dalam tema teologi terkadang fitriyât berada dalam makna khas ini.
2. Kadangkala kata fitri berlaku untuk proposisi-proposisi primer (primitive statement). Yang dimaksud dengan proposisi-proposisi primer adalah sebuah proposisi dimana pada saat dzihn (pikiran) menggambarkan predikat dan subyeknya, maka pada saat itu pula ia membenarkannya. Ia tidak memerlukan pemikiran yang ruwet dalam menghukumi dan mengakuinya. sebagaimana yang terjadi dalam proposisi imtina’ tanaqudh (tertolaknya kontradiksi) yang mengatakan: “Ijtimâ’ wa irtifa’ naqidhâin (berkumpul dan terangkatnya dua kontradiksi secara bersamaan) adalah mustahil”.
3. Terkadang pula kata fitri dipergunakan dalam kaitannya dengan proposisi-proposisi akhlak, dimana dalam hubungannya dengan akal merupakan aktivitas yang actual. Seperti ketika kita mengatakan kalimat: “Bohong adalah perbuatan yang tercela”, maka kalimat tersebut merupakan sebuah proposisi fitri.
4. Kata fitri dalam sebagian hal, sinonim dengan kata “wijdân” (kata hati)”. Dalam terminologi ini, maksud dari fitrah adalah isyarat pada dasar dan sumber kemunculan hukum-hukum akhlak.
5. Kadangkala fitri sinonim dengan badihi (self-evident, gamblang dengan sendirinya), baik dalam institusi imajinasi maupun dalam batasan kejelasannya. Tentu saja apa yang sering dikatakan sebagai kejelasan badihi, biasanya yang dimaksud adalah badihiyât awwaliyah (badihi-badihi primer). Atas dasar inilah –sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya- kadangkala proposisi “Kontradiksi adalah mustahil”, biasa pula disebut sebagai fitri. Tetapi kita tidak menganggap materi sebagai fitri sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian logikawan yang memasukkannya dalam badihiyât dan yaqiniyât. Tetapi dalam institusi imajinasi, rasanya tak jarang imajinasi-imajinasi badihi seperti persepsi wujud (ada), 'adam (tiada),terkadang kita sifatkan sebagai fitri. Misalnya ketika kita mengatakan: “Pahaman sesuatu merupakan sebuah pahaman dimana setiap individu secara fitrah mampu memahaminya”.
6. Terkadang maksud dari fitri adalah makrifat dan ilmu hudhuri. Seperti ketika kita mengatakan: “Adalah merupakan sebuah hal yang fitri apabila setiap orang menyadari keberadaannya”. Yang dimaksud di sini adalah setiap orang menyadari keberadaannya dengan ilmu hudhuri yang dimilikinya.
7. Terminologi lain dari fitrah adalah apa yang diungkapkan dalam filsafat Descartes. Maksud fitriyah dalam filsafat ini adalah sebuah pahaman, dimana akal insan secara sendirinya mampu mencerapnya dengan jelas. Seperti pahaman ihwal Tuhan, gerak, kontinuitas dan nafs. Berdampingan dengan fitriyah ini, Descartes juga mengungkapkan dua kelompok lain untuk makna-makna dan pahaman-pahaman, yang ia namakan sebagai fiktif dan obyektif.[13]
8. Dalam filsafat Imanuel Kant, kata fitri terkadang juga dipergunakan dalam kaitannya dengan duabelas kategori-nya.[14]
9. Istilah lain dari fitri, dapat kita jumpai dalam istilah Psikologi. Para psikolog sepakat bahwa terdapat empat hasrat dan keinginan yang ada di dalam diri manusia, yang terkadang keempat hasrat ini berada di bawah pengaruh “hiss” (indra)”, dan mereka adalah:
a. Keinginan beragama
b. Keinginan untuk cantik/indah
c. Keinginan untuk berilmu
d. Keinginan berakhlak baik[15]
Kesimpulan:
Tujuan dari penggunaan kata fitrah dalam derivasinya ini adalah untuk kita katakan bahwa dalam semua obyek dapat kita lihat makna setara dan universal, yaitu bahwa fitri senantiasa dikatakan untuk sebuah persoalan yang muncul dari esensi dan hakikat insan dan bersumber dari dalam diri manusia. Sedangkan secara obyektif bukan merupakan sesuatu yang perlu dicari. Dalam kaitannya dengan teologi pun ketika kita mempergunakan kalimat fitri, biasanya maksud kita adalah bahwa: manusia dalam lubuk jiwa, hakikat serta esensinya mempunyai semacam makrifat dan pengenalan hudhuri (knowledge by presence, presensi)terhadap awal keberadaan serta Tuhan, dimana hal tersebut tidak dia temukan dari tempat lain, tidak juga dari seorang pengajar. Tentu saja dalam tafsir dan penjelasan tema ini, begitu banyak penjelasan yang telah dipaparkan oleh para pakar, yang kami akan singgung pada waktu dan tempatnya tersendiri.
Komparasi antara kata tabiat, naluri dan fitrah
Meskipun ketiga kata ini terkadang saling menggantikan antara satu dengan lainnya (sering dipandang sinonim), tetapi pada hakikatnya makna dari ketiga kata ini berbeda dari satu dengan yang lainnya:
1. Natural, alami atau tabiat:
Kata tab’ atau tabi’at, biasanya digunakan dalam kaitannya dengan eksistensi tak bernyawa. Dan apabila dipergunakan pada eksistensi bernyawa maka hal ini dikarenakan adanya keuniversalan antara eksistensi bernyawa dengan yang tak bernyawa. Para filsosof dalam salah satu pembagiannya telah membagi fa’il (pelaku/subyek) menjadi dua bagian yaitu: fa’il tabi’i (natural) dan fa’il iradi ( mempunyai kehendak). Yang dimaksud dengan fa’il tabi’i adalah eksistensi-eksistensi yang secara natural mempunyai kelayakan efek yang khas dan tertentu. Tetapi dia tidak mempunyai kehendak dalam dirinya sendiri untuk melahirkan pengaruh tersebut. Misalnya “api” apabila diperhadapkan dengan “panas” maka hal ini termasuk dalam fa’il tabi’i. Dan dalam kaitannya dengan manusia, ketika kita mengatakan: “sexsual desire (hasrat seksual)” merupakan sebuah hal yang wajar. Dan secara alami manusia mempunyai kelayakan atasnya”. Maka yang dimaksud di sinipun demikian juga yaitu bahwa manusia tidak mempunyai kemampuan sendiri untuk memunculkan keberadaan atau ketiadaan hasrat seksualnya. Meskipun dia mempunyai kekuasaan dalam mempergunakan dan memanfaatkannya.
2. Naluri (gharizah)
Kata ini lebih banyak dipergunakan dalam kaitannya dengan hewan selain manusia, dan sama sekali tidak dipergunakan pada in-organik dan tumbuhan. Tetapi kadangkala dipergunakan pula pada manusia. Meskipun hingga sekarang belum jelas substansinya. Tetapi -secara global- biasanya yang dimaksud dengan instink (gharizah, naluri) adalah sebuah keadaan setengah sadar yang ditemukan pada binatang, yang dipergunakan untuk menuntun mereka dalam menjalani kehidupan. Misalnya lebah yang membuat rumah dengan konstruksi dan arsitektur yang detail dan cermat, cara anak binatang menyusu dari induknya dan hal-hal semacamnya, kita namakan dengan instink.
3. Fitrah
Kata ini sangat jarang dipergunakan pada selain manusia. Aspek-aspek fitri ini, merupakan aspek yang berhadapan dengan instink dan jiwa manusia. Dan posisinya berada dalam esensi manusia. Instink dan fitrah, keduanya biasa dipergunakan pada manusia. Hanya saja, instink dipergunakan dalam batasan materi dan hewani. Sedangkan fitrah, dipergunakan pada masalah-masalah trans-hewani, hasrat serta keinginan-keinginan yang lebih tinggi dan lebih suci. Persamaan antara fitrah, instink dan tabi’at adalah bahwa ketiganya merupakan masalah takwini yang berbaur dengan penciptaan eksistensi. Perbedaannya adalah tabi’at lebih luas dari kedua lainnya apabila dilihat dari obyek penggunaannya. Karena instink dan fitrah sama sekali tidak bisa dipergunakan dalam in-organik dan tumbuhan. Sedangkan tabi’at tidak demikian. Dapat dikatakan bahwa kekhususan instink terletak pada penggunannya yang berada pada batasan dimensi kehidupan materi hewan. Sedangkan fitrah, dipergunakan khusus pada manusia dengan dimensi-dimensi kehidupan mukaddas dan mulianya.[16]
Terjaganya Fitrah dari Kesalahan dan Khianat
Uraian ketiga dalam penjelasan filosofis argumen fitrah adalah bahwa fitrah mencintai kesempurnaan murni dan sahabat kinasih yang tanpa batas. Dari satu pihak, fitrah bukanlah penghianat dan pelanggar, dan apa yang dikatakan olehnya tidak akan pernah meleset, benar dan pasti ada. Dengan demikian, kesempurnaan murni dan tanpa batas (Tuhan) itu ada.
Untuk menyempurnakan penjelasan ini, selain kelaziman adanya cinta dan hasrat kepada Tuhan dalam diri semua manusia harus disempurnakan, terproteksi dan terhindarnya fitrah dari khianat serta ke-ismat(suci)-annya dari kesalahan pun harus dibuktikan. Untuk membuktikan kesucian fitrah ini sebagian memanfaatkan analogi dengan mengatakan bahwa: fitrah dalam diri manusia adalah sebagaimana instink yang terdapat pada binatang dan tumbuhan. Tidak sebagaimana adanya rasa haus ketika tidak ada air, lapar ketika tidak ada makanan dan sakit apabila tidak ada obat. Fitrah adalah pencari kesempurnaan dan keinginan bertuhan dalam diri manusia juga merupakan petunjuk terhadap adanya kesempurnaan mutlak dan kesempurnaan tanpa batas tersebut. Tetapi harus diperhatikan bahwa analogi di atas hanya sebagaimana istiqrâ’ naqis ghairi mu’allal, sama sekali tidak meyakinkan dan dalam Filsafat serta ilmu akal hal tersebut tidak bisa dijadikan sandaran.
Beberapa Poin Penting
1. Dalam semua pembahasan rasional tentang fitrah, terdapat poin-poin penting yang layak untuk dicermati yaitu affirmasi wujud Tuhan sama sekali bukan dengan makna wusul (penyatuan) kepada Nya. Hal ini karena yang dibicarakan dalam penalaran (istidhlâl, reasoning) ini adalah pemahaman dan keberakalan. Bukan masalah perolehan dan kehadiran (hudhur). Oleh karena itu, ketiadaan wusul kepada esensi tak terbatas, sama sekali bukan berarti menunjukkan ketiadaan husul (pencapaian) Nya.
2. Pada sebagian kitab setelah penjelasan argumen filosofis, seperti teori imkan (possibility, kemungkinan) atau illah (sebab), telah dikatakan bahwa dalil ini merupakan dalil yang fitri dan badihi (gamblang dengan sendirinya). Harus diperhatikan bahwa maksud dari kefitrian dalam masalah ini adalah apa yang dikatakan sebagai terminologi logika “fitrah” sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya, yaitu merupakan sebuah proposisi yang membutuhkan dalil. Tetapi hadd-e wasath (middle-term) analoginya sama sekali tidak akan pernah tersembunyi dari pikiran (proposisi yang analoginya berada bersamanya).
3. Apabila yang kita maksud dari fitrah adalah fitrah hati, dan bukannya fitrah rasio, berarti interpretasi dari “argumen fitrah” tidak akan benar. Dan sebagai penggantinya kita harus mempergunakan “metode fitrah”.
Ingkar Fitrah
Kami akan menutup pembahasan ini dengan mengungkapkan sekelumit tentang ingkar fitrah. Meskipun pembicaraan kami sebelumnya berkisar pada pembahasan fitrah teologi. Tetapi secara logis pengingkaran universal akan meniscayakan pada terjadinya pengingkaran partikular pula. Dari sini kami akan mencoba melihat apakah kita mempunyai jawaban di hadapan para pengingkar fitrah dalam makna universalnya ataukah tidak.
Dalam kategori ini pembicaraan bisa dibataskan pada dua lingkup: salah satunya adalah pertanyaan tentang “apakah fitrah itu ada?” Dan satunya lagi adalah pertanyaan tentang “apakah fitrah itu?”. Dengan ungkapan lain, kadangkala perbincangan berkisar pada fitrah (dalam tema “keberadaannya”) dan terkadang pada quiditasnya. (dalam tema “esensinya”)
Ingkar fitrah pun tak jarang muncul dalam makna bahwa sesuatu yang bernama “fitrah” sama sekali tidak ada dalam diri manusia, dan kadangkala dalam makna bahwa quiditas fitrah itu sendiri yang in-konsisten dan tidak jelas bagi kita. Ketika pembicaraan telah berkisar pada wujud fitrah, maka kita harus mengetahui dengan pasti apa maksud dari fitrah. Apakah maksud kita adalah “wijdân (kata hati)”? Dengan demikian berarti kita harus melihat wijdân itu apa? Ataukah maksud kita tentang fitrah adalah “ruh dan jiwa”? Atau maksud kita adalah “ilmu hudhuri”? Pada kali inipun kita harus memperhatikan kategori hasrat dan ilmu –keduanya- dan kemudian bertanya apakah yang dimaksud dengan ke-eksistensi-an dan ketidak-eksistensi-an fitrah adalah keberadaan “hasrat-hasrat fitri” ataukah keberadaan “pencerapan fitri? Perbincangan dalam setiap bab dari tema-tema di atas menuntut pada keluasan waktu. Tetapi terdapat satu poin yang harus diketahui secara global, yaitu bahwa prinsip keberadaan seperangkat hasrat, persepsi fitri dan karunia Tuhan di dalam diri manusia adalah suatu hal yang tidak bisa dipungkiri. Dan ini merupakan sebuah permasalahan yang akan menjadi jelas dengan ilmu hudhuri kita, sehingga dari sini pula tidak akan membawa kepada kesalahan. Tentu saja bisa jadi akan muncul pertanyaan: Bagaimana kita bisa mengetahui ilmu hudhuri orang lain. Dan bagaimana kita bisa yakin bahwa orang lain pun sebagaimana kita mempunyai seperangkat hasrat dan pencerapan? Tentu saja sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya, ilmu hudhuri senantiasa akan menciptakan keyakinan hanya untuk orang yang alim. Tetapi kita pun bisa menetapkan argumen adanya fitrah (hasrat dan pencerapan) dalam diri orang lain dengan menyaksikan efek dan perilaku dari selain kita, dan dengan bantuan penalaran yang logis. Sebagaimana ilmu-ilmu eksperimen yang memperoleh kaidah universalnya melalui observasi yang cermat, penyaksian terus-menerus dan dengan metode raf’ (eliminasi) dan wadh’ (disposisi)[17]
Filsafat-filsafat dan maktab-maktab semacam filsafat Hegel, bertolak pada prinsipnya sendiri tidak bersedia menerima fitrah sebagai sebuah hal yang konstan dan tak berubah. Berhadapan dengan pendapat ini kita akan menjatuh-leburkan prinsip dialektik mereka. Dengan demikian prinsip berfikir mereka akan rusak dengan sendirinya.
Pada bab esensi fitrah pun, banyak pertanyaan manusia yang bisa diselesaikan dengan ilmu hudhuri. Misalnya setiap individu bisa memahami hasrat fitrinya seperti: hasrat pada kebaikan dan mencari hakikat. Atau pada katagori pemahaman dan pencerapan, dengan melewatkan informasi-informasi hudhuri yang ada dalam diri, lalu meletakkan mereka (hasrat pada kebaikan, pencarian hakekat, dan ...) dalam titik perhatian. Jangan Anda mengatakan bahwa perhatian semacam ini secara lazim akan membentuk ilmu hudhuri menjadi ilmu hushuli, kemudian substansi keyakinan akan menjadi sirna darinya. Tidak senantiasa demikian, bahwa perhatian terhadap ilmu hudhuri dengan sendirinya akan merupakan sebuah pengetahuan husuli, melainkan informasi-informasi hudhuri bisa diletakkan sebagai titik perhatian dan inti hudhuri kemudian menetapkan hukum untuk masalah tersebut dimana seratus persen sesuai dengan realitas dan hakekat, dan sama sekali tidak akan tercabut dari keyakinan terhadapnya. Sebagaimana dalam proposisi dan hukum-hukum logika dikatakan bahwa: analogi hukum kita adalah bahwa insan adalah universal.
Sebagian mengatakan: quiditas fitrah manusia harus dilihat dari cermin historisnya dan mereka inilah manusia-manusia yang riil yaitu yang telah membentuk sejarah. Sedangkan mereka yang berada dalam pencarian fitrah dan pengenalan quiditas manusia hanyalah hendak mencongkel panggung sejarah. Dan mereka yang mencari apa yang tidak bisa didapatkan berarti akan berjalan tanpa tujuan sehingga akibatnya orang-orang yang mereka perkenalkan adalah insan simbolik dan bukan realistik.
Dengan ringkas kami akan mengatakan bahwa: perbedaan antara ada dan apa, demikian juga perbedaan antara tidak seharusnya dan tidak ada, kondisinya sebagaimana sebuah lobang yang tidak akan pernah penuh. Dan meletakkan tidak seharusnya pada tempat tidak ada merupakan sebuah kesalahan yang fatal. Demikian pula tidak layak menyetarakan antara ada dengan harus. Dan bukankah ini termasuk kerancuan –sebagaimana yang diungkapkan oleh para logikawan dalam bab mughâlathah (fuzzy logic)- antara mâ-bil-’aradh (aksidensi) dengan mâ-bil-dzat (dzati, esensi) ?
Jika ketidaksucian merupakan esensi sejarah itu sendiri dan bukan aksidensi-nya, apakah ini berarti bahwa ketidaksucian adalah quiditas insan lalu dzat dan fitrah akan membentuknya? Ketika kita mengatakan: “Yang jelek dan yang buruk harus dikenali secara formal dari dalam diri manusia. Dan dalam pengenalan manusia harus disepakati pula adanya peran untuk mereka, dan manusia harus didefinisikan sedemikian rupa hingga ketidaksucian tersebut merupakan suatu hal yang wajar dan abadi untuknya, dan bukannya sebagai sebuah masalah yang bisa berkarat dan tak layak diperhatikan”. Apakah kita sadar bahwa ternyata kita telah mencampur adukkan antara tema “keberadaan sesuatu” dengan tema “esensi sesuatu”? Bukankah telah dikatakan dalam logika bahwa bisa jadi sebuah predikat merupakan dâimul wujud (wujud yang senantiasa ada) bagi subyeknya, tetapi tidak bersifat dzati dan esensial? Apabila kita ingin meletakkan definisi hakikat insan dan “esensinya” dengan “keberadaan”, sebagaimana yang direfleksikan oleh sejarah, apakah hal ini benar-benar memungkinkan? Apakah dalam definisi seperti ini tidak akan terdapat kontradiksi? Apakah ini bukan apa yang dikeluarkan dalam discourse para Eksistensialist semacam Sartre dan Heidegger? Apakah klaim ini tidak meniscayakan pada ingkar fitrah? Tentang apa yang kita katakan bahwa “panggung historis merupakan panggung alami yang tidak terkontaminasi oleh campur tangan dan kesalahan faktor-faktor lain”, dari mana datangnya? Apakah klaim ini bukan didasarkan pada kaidah yang keliru semisal “al qasru la-yadum” (peristiwa non-alami tidak mungkin berlangsung terus-menerus) dan “mayoritas peristiwa non-alami adalah mustahil”?[18]
Kita juga jangan mengesampingkan satu poin berikut bahwa para arif dalam anthropologi menyepakati bahwa seluruh apa yang dimiliki dunia merupakan pintu untuk kejadian-kejadian non-alami, dengan berdasarkan pada asas ini, dari mana bisa dikatakan bahwa panggung historis merupakan sebuah panggung alami?
Kesimpulan dari perbincangan kita adalah bahwa kita sama sekali tidak akan pernah mampu menemukan metode (jalan) sempurna untuk pengenalan fitrah dan esensi insan hanya dengan memperhatikan sejarah, meskipun sejarah telah menunjukkan kepada kita “latar belakang manusia”. Tetapi hal ini sama sekali tidak pernah menguak tabir tentang “apa manusia itu”. Di sinilah untuk kesekian kalinya kita harus memaksakan diri untuk mengetahui peran penting pengenalan hudhuri dalam pengenalan insan, dan memperdengarkan kepedulian refleksi internal dan makrifat internal dalam pembentukan human science dari pandangan Islam.[wisdoms4all.com]
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Sebagian dari Sâhib Nadzar (pemikir otoritatif) sepakat bahwa tiga pembagian ini merupakan pembagian yang dangkal dan eksternal saja, karena berdasarkan kebersatuan (antara aql, âqil dan ma’qul) pemikir (mutafakkir) tidak akan pernah terpisah dari pikirannya (tafakkur), oleh karena itu pembagian ini tidak bisa dengan mudah diadaptasikan dalam semua persoalan; Ayatullah Jawadi Amuli dalam 10 makalah tentang Mabda’ dan Ma’ad.
[2] .Yang dimaksud di sini adalah pengenalan husuli (ilmu yang dicapai melalui pe???) dan bukan penyaksian hudhuri dan perolehan wijdâni.
[3] .Asfar, J. 6, hal. 13.
[4] .Hal. 70, Pengenalan Filsafat, Muhammad Taqi Misbah Yazdi, jilid 2, hal. 329.
[5] . Syifa, hal. 348, Pasal 4, Makalah ke delapan.
[6] . آmuzesy-e Falsafah, J. 2, hal. 332.
[7] Mula ‘Abdur-razaq Lahijy mengatakan: “Ada tiga metode terkenal dalam pembuktian wujud wajib yaitu: metode mutakalimah, metode hukama alami dan metode hukama ilahy (Filosof), Shawariqul-ilham, hal. 494,495.
[8] Murtadha Muthahari, Ushul Falsafah dan Rawaz-e Realism, J. 5, hal. 34.
[9] H. Nasiruddin Tusy, At-talkhisulMuhassil (terkenal dengan “Kritikan Muhassil”, hal. 242.
[10] Marhum Ustadz Mutahhari berpendapat bahwa teori hidayah berbeda dengan teori keberaturan. Beliau mengungkapkan perbedaan keduanya dengan mengatakan bahwa teori keteraturan menunjukkan pada illat fa’ili (an actual cause) sementara teori hidayah merupakan manifestasi dari illat gha-I (a final cause); Ushul Falsafah wa Rawaz-e Realism, J. 5, hal. 48-49.
[11]Teori gerak mempunyai warna dan paradigma alami, dan dia bisa diuraikan dalam bentuk dan manifestasi yang berfariasi. Teori gerak dalam pembuktian wujud Tuhan bisa dipergunakan dalam bentuknya sebagai an actual cause dan juga sebagai a final cause, yaitu relefan dan merupakan ma’shuq akhirnya eksistensi-eksistensi. Dari sini dikatakan bahwa teori gerak dalam pembuktian Tuhan berperan sebagai Ghayatul ghayah dan muntahal-ghayah. Hal ini sesuai dan seufuk dengan apa yang dikatakan oleh Shahid Muthahari (ra) sebagai teori hidayah dan petunjuk dalam esensial alam materi atau pada keseluruhan makhluk.
[12] Argumen hudust nafs (terjadinya nafs) dikemukakan oleh hukama alam dan teori hudust jism (terjadinya jism) dikemukakan oleh mutakallimin. Atas dasar ini kita mengungkapkan keduanya secara berbeda. Meskipun pada hakikatnya hanyalah merupakan satu argumen; Mulla Sadra; Asfar; J. 6, hal. 44-47.
[13] Muhammad ‘Ali Furugy, “Seir Hikmat dar Eurupa”, J. 1, bag. Descartes.
[14] Murthadha Muthahari, Syarh Mabsuth-e Mandzumah, J. 3, hal 273; Levin dkk, Falsafah Ya Pazyuhesh Hakekat’ terjemahan Jalaluddin Mujtabawi, hal. 287; Murthadha Muthahari, Fitrat, hal. 35.
[15] Syahid Murthadha Muthahari, Hiss-e Hallâqiyyat va Nu آvari; Fitrat, hal. 49-56.
[16] Dikatakan bahwa salah satu perbedaan antara fitrah dan instink adalah bahwa fitrah merupakan “Sesuatu yang lebih sadar dari instink, yaitu “apa yang diketahui oleh manusia, dia akan mampu mengetahui bahwa dia mengetahui”. Maksudnya manusia mempunyai seperangkat fitriyât dan dia mengetahui bahwa dia memiliki fitriyât seperti ini”
Jika maksud dari kelebihsadaran fitrah atas instink adalah sebagaimana yang dimaksud di atas, maka tidak akan ada perbedaan antara fitrah dan instink di dalam diri manusia. Karena manusia sebagaimana dia menyadari keberadaan fitrahnya dia juga menyadari keberadaan instinknya. Misalnya kita semua menyadari adanya instink seksual dalam diri kita sebagaimana kita mengetahui adanya fitrah untuk menjadi lebih cantik atau menjadi lebih berilmu. Dari sisi yang lain bisa jadi dalam sebagian kasus, kesadaran terhadap keberadaan instink bisa lebih tinggi dari kesadaran terhadap keberadaan fitriyât. Sebagai contohnya mayoritas manusia mempunyai ilmu tentang adanya instink seksual dalam dirinya. Tetapi dia tidak mempunyai ilmu dan kesadaran terhadap adanya wujud fitrah pengenalan Tuhan dalam dirinya. Dengan demikian, bisa diambil kesimpulan bahwa perbedaan antara fitrah dan instink tidak bisa dipaparkan dalam lingkup “antara ilmu dengan ilmu”. Melainkan perbedaan keduanya ini harus disandarkan pada ilmu dan kesadaran yang terkandung pada keduanya (yaitu dalam fitrah dan instink); Fitrat, hal. 23.
[17] Dalam bab ini tentu saja pembahasan tentang theology banyak penjelasan yang telah dipaparkan yang untuk saat ini kami tidak berada dalam kesempatan untuk membahasnya.
[18] .Inti dari kaidah ini adalah bahwa faktor-faktor dan peristiwa-peristiwa non alami (kompulsife) tidak bisa berlaku untuk selamanya. Demikian juga sebuah kasus dan peristiwa non alami tidak akan bisa memasukkan mayoritas insan sebuah komunitas dan esensi ke dalamnya. Misalnya “keberadaan enam jari” merupakan sebuah kasus kompulsif dan tidak alami untuk manusia. Dari sini selain tidak akan bisa berlanjut untuk selamanya dalam individu manusia, hal ini tidak bisa pula dimasukkan ke dalam mayoritas manusia, dengan cara bahwa “keberadaan lima jari” yang merupakan kasus alami dan normal diletakkan sebagai kasus yang minoritas. Dengan pengandaian bahwa kaidah tersebut benar dalam pandangan kaidah akal, pengaplikasiannya di dunia aktual dan penegasan obyek dan kasus untuknya merupakan suatu hal yang bisa dibantah. Diagnosa terhadap apakah “kompulsif” merupakan sesuatu yang mayoritas ataukah minoritas hanya akan mungkin dilakukan ketika kita mengetahui jumlah seluruh obyek dan individu sebuah komunitas pada masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang dan ini merupakan hal yang tidak mungkin kita lakukan. Apabila misalnya kita melihat bahwa mayoritas manusia pada era kita adalah “para pembohong”, apakah berarti kita bisa mengatakan bahwa “kebohongan” merupakan sebuah kasus mayoritas untuk manusia sehingga kita nisbatkan sebagai sebuah kasus alami dan fitri? Perkataan ini tidak bersandar kecuali dengan kaidah yang keliru tadi oleh karena itu perkataan itu sendiripun keliru dan batal.
Filsafat Empirisme
Berbeda dengan pertemuan yang kemarin, saat membahas Rasionalisme Cartesian dengan titik tumpu pengetahuan berdasarkan rasio yang memang menempel secara alami maka kita akan menemukan perbedaan tajam dengan aliran yang satu ini, yaitu Empirisme. Aliran ini menegaskan bahwa pengetahuan manusia berdasakan pengalaman. Atau meminjam kata-kata John Locke, salah satu dedengkotnya…”Manusia itu ibarat tabula rasa yang nantinya akan diwarnai oleh keadaan eksternalnya…”.
Awal muasal dari timbulnya aliran ini bermula dari penolakan mereka atas dominasi logika Cartesian di daratan Eropa saat itu. Di samping itu, gelora Renaissance di daratan Eropa menginspirasi Dataran Britania Raya sampai ada istilah sendiri yaitu Enlightment. Beberapa tokoh yang cukup dikenal antara lain John Locke, David Hume, dan George Berkeley, Francis Bacon.
Metode Empirisme
Bagi John Locke, berpikir deduksi relatif lebih rendah kedudukannya apabila dibandingkan dengan pengalaman indera dalam pengembangan pengetahuan. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa semua fenomena dari pikiran kita yang disebut ide berasal dari pengamatan atau refleksi. Inilah tesis dasar dari empirisme. Dengan tesis inilah, Locke mempergunakannya sebagai titik tolak dalam ia menjelaskan perkembangan pikiran manusia.
Selain John Locke, Bacon juga berkesimpulan bahwa penalaran hanya berupa putusan-putusan yang terdiri dari kata-kata yang menyatakan pengertian tertentu. Sehingga bilamana pengertian itu kurang jelas maka hanyalah dihasilkan suatu abstraksi yang tidak mungkin bagi kita untuk membangun pengetahuan di atasnya. Bacon beranggapan bahwa untuk mendapatkan kebenaran maka akal budi bertitik pangkal pada pengamatan inderawi yang khusus lalu berkembang kepada kesimpulan umum. Pemikiran Bacon yang demikian ini, kemudian melahirkan metode berpikir induksi.
Dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Dua hal dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitas.
Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal kualami kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar pengalaman itu tidak dapat disimpulkan, bahwa ada substansi tetap yang misalnya disebut kertas, yang memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada realitas kertas, diterima oleh Hume. Namun dari kesan itu mengapa muncul gagasan kertas, dan bukan yang lainnya? Bagi Hume, "aku" tidak lain hanyalah "a bundle or collection of perceptions (= kesadaran tertentu)".
Kausalitas. Jika gejala tertentu diikuti oleh gejala lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas, kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberi kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab-akibat. Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari "probable" (berpeluang) sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita. Hukum alam adalah hukum alam. Jika kita bicara tentang "hukum alam" atau "sebab-akibat", sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan kita saja.
Penutup
Penalaran yang dilakukan dengan mengkaji teori-teori dalam memahami permasalahan fakta hanya bisa sampai pada perumusan hipotesis. Penalaran hanya memberi jawaban sementara, bukan kesimpulan akhir. Oleh sebab itu agar sampai kepada kesimpulan akhir, empirisme diperlukan untuk menguji berbagai kemungkinan jawaban dalam hipotesis. Untuk menguji jawaban-jawaban yang ada, ilmuwan harus masuk ke alam nyata. Fakta-fakta atau bukti-bukti yang relevan dengan obyek permasalahan harus dikumpulkan, disusun dan dianalisis.
Namun demikian peranan empirisme bukan saja hanya berkaitan dengan tugas pencarian bukti-bukti atau yang lebih dikenal dengan pengumpulan data. Tetapi, sejak awal pengkajian masalah sebenarnya kerja empirisme sudah terlibat. Pengalaman-pengalaman ilmuwan yang berkaitan dengan obyek permasalahan sudah diperlukan dalam memberi analisis terhadap fakta permasalahan. Mekanisme ini merupakan sisi lain dari empirisme dalam metode ilmiah. Jadi empirisme tidak saja hanya diperlukan dalam pengumpulan data, tetapi sudah dimulai sejak awal perumusan masalah.
by Das' Haryo
Matinya Filsafat Marx
Matinya Idealisme Marx
Tesis Tentang Feuerbach: Kematian Idealisme dan Akhir Materialisme Bojak serta Humanisme Marx Antara Naskah-Naskah Paris 1854 dan Ideologi Jerman, suatu karya Marx yang sohor dan monumental serta menentukan perkembangan pemikirannya selanjutnya, yaitu Tesis Tentang Feuerbach, secara spektakular muncul. (Gidden 1986: 25). Dalam karya ini Marx, dengan ‘ketajaman ilmiah’ dan ‘sikap yang rigorus dan antusias’ mengritik L. Feuerbach mengafirmasikan sikap dan ketetapan hati untuk berpegang pada materialisme. Idealisme Hegel, yang didaulat berjalan dengan kaki terbalik, digantikan dengan kaki tegak menyerbu langit. Perpisahan idealisme dengan materialisme menjadi tuntas atau definitif.
Demikianlah perdebatan hangat dan serius dalam Klub Doktor, dimana Marx sebagai anggota, - sikap “antara” Feurbach, tokoh sohor Hegelian Muda dari faksi Hegelian Kiri, sebagai ‘materialisme bojak’ sarat dengan keraguan-raguan, - kendatipun berorientasi antropologik, empiris dan anti-religius - secara meyakinkan disudahi Marx. Buku ini sekaligus merupakan lonceng kematian bagi idealisme Hegel dan juga satu pukulan telak terhadap sikap semi mistik Feuerbach. Dengan buku ini Marx juga mendeklarsikan kemenangan mutlak bagi materialisme yang telah diangkat Feurbach sebelumnya dalam bentuk materialisme bojak ke singgasana manusia. Naskah Naskah Paris didalamnya Tesis Tentang Feurbbach termaktub kepedulian Marx terhadap manusia dan ketakziman terhadap nilai-nilai humanitas tereksplisitaskan.
Buku ini adalah suatu maklumat filosofis yang menentukan bagi perkembangan pemikiran Marx sampai masa tua, sekaligus menjadi wacana Marxisme. Dalam buku tersebut Marx menampilkan hasil pergulatannya yang intens tentang materialisme yang telah dimulai semenjak disertasi doktoralnya tentang materialisme dan Demokritos, dan sikap kritis terhadap Feurbach. Sikap kritis Marx ini selanjutnya diwariskan kepada generasi pertama teori kritis Marxisme, Karl Korsch dan George Luckack, kepada generasi kedua, Mazhab Frankfurt Adorno dan Hoikheimer, dan kepada generasi ketiga dengan teori komunikasi Jurgen Habermas pada abad XX. (Pembagian generasi teori kritis ini berasal dari saya sendiri, yang berbeda dari kategorisasi lazim, yaitu hanya dua generasi seperti yang lazim digunakan dalam literatur Marxist. Pen. ).
Adapun sikap tegas dan korektif Marx yang tertuang dalam Tesis Tentang Feuerbach, antara lain: Pertama-tama, pendekatan Feurbach didaulat bersifat a-historis. Marx menuduh Feuerbach masih terjebak dalam sifat mistik Hegelian, dan masih menempatkan manusia sebagai sesuatu yang abstrak yang mendahului masyarakat. Kekeliruan lainnya, terlihat dalam cara gegabah dan kontroversial Feuerbach, bahwa ia tidak hanya menurunkan manusia menjadi orang saleh, akan tetapi gagal melihat bahwa rasa saleh itu sendiri merupakan produk sosial, dan bahwa manusia abstrak yang menjadi pusat analisisnya masih tergolong dalam satu bentuk masyarakat tertentu. Materialsime Feurbach juga masih tetap berada pada tataran doktrinal filsafat, yang menganggap perangkat gagasan merupakan kontemplasi kenyataan materil, sebagai yang terkuduskan dan determinan terhadap kegiatan manusia.
Pada kenyataannya, ada suatu hubungan resiprokal antara kesadaran dan praxis manusia. Feurbach seperti halnya dengan semua ahli filsafat materialis terdahulu memperlakukan kenyataan materil sebagai sesuatu yang menentukan kegiatan manusia, dan tidak menganalisa modifikasi dunia obyektif dengan subyeknya, yaitu dengan kegiatan manusia. Dengan kata lain, Marx juga membuat titik persoalan yang sangat krusial. Dikatakan bahwa doktrin materialistis Feurbach tidak memiliki kapabilitas untuk menangani fakta. Kegiatan revolusioner adalah hasil dari tindakan tindakan manusia yang dilakukan dengan sadar sesuai dengan yang dikehendakinya. Feuerbach sebaliknya menggambarkan dunia ini dalam kaitan pengaruh sejarah kenyataan materi dan gagasan gagasan. Akan tetapi ia lupa bahwa keadaan diubah oleh manusia. Dengan istilah keadaan yang diubah tersebut Marx menganologikannya dengan “sang pendidik harus dididik”. Di sini Marx maju selangkah dan meninggalkan Feurbach denga filsfat antropologinya. Namun demikian harus diakui, demikian Marx, Feurbach berhasil menggeserkan filsafat Hegel tidak lain adalah agama yang diseludupkan ke pikiran dan dikembangkan oleh pikiran dan sama saja harus dikutuk seperti halnya dengan suatu bentuk dan cara lain dari adanya keterasingan. Akan tetapi dengan bertindak demikian, Feuerbach mengemukakan suatu materialisme bojak, atau meminjam Gidden menyebutnya sebagai materiallisme tafakur atau materialisme pasif. Ia juga berkontemplasi cemerlang terutama dalam mengabaikan penekanan dialektika Hegel yang berkutat diseputar roh, manusia abstrak dan dari hal yang negatif sebagai prinsip penggerak dan pencipta. (Gidden, 1986 : 26).
Dalam Hakekat Agama Kristen, Feuerbach menempatkan materialisme kembali ke atas tahta. Alam adalah dasar yang diatasnya manusia adalah hasil dari alam. Tidak ada yang ada di luar alam dan manusia, dan mahluk halus yang tercipta oleh fantasi agama adalah pencerminan fantastik dari hakikat manusia. Marx terpengaruh oleh Feuerbach. Pemikiran materialisme yang telah dirintis oleh Feuerbach selanjutnya dituangkan dalam Keluarga Suci dan Ideologi Jerman. David Strauss dalam Kehidupan Jesus, terbit pada tahun 1835, mengatakan bahwa terjadinya mitos di dalam kitab kitab Injil kemudian diserang oleh Bruno Bauer dengan pembuktian bahwa seluruh seri cerita penyebaran agama nasrani adalah hasil rekaan penulisnya sendiri. Pertentangan antara keduanya berlangsung dengan berkedokkan filsafat, berupa perjuangan antara kesadaran dan perjuangan, antara kesadaran dan zat. Masalah apakah cerita-cerita mujizat di dalam kitab Injil terjadi lewat penciptaan mitos di bawah lapisan tak sadar di tengah-tengah masyarakat. Stirner, nabi anarkisme zaman itu. Bakunin telah mengambil banyak pemikiran mitosisasi Strauss selanjutnya dibakukan dalam upaya untuk menutupi mitosisasi dan historisasi dengan egonya yang berdaulat.
(Engels , 2000: 18-19).
Filsafat oleh Marx digeserkan ke tataran praxis, yaitu suatu aktivitas sadar manusia sebagai mahluk sosial. Sebagai bagian dari alam manusia merealisasikan diri melalui kerja. Filsatat materialisme yang lahir dari kandungan pemikiran Hegel dan yang menampatkan manusia sebagai yang abstrak, dan filsafat materialisme Feuerbach yang masih berkutat pada tataran agamawi, oleh Marx digeserkan mejadi dasar pemahaman realitas dan manusia. Diawali dengan rasa geram terhadap materialisme bojak Feurbach, Marx mendeklrasikan suatu maklumat kematian filsafat sebagai wacana kontemplasi dan selanjutya tertasbihkan sebagai wacana praxis. Demikianlah idealisme digantikan oleh materialisme merupakan titik tolak pemahaman tentang manusia dalam fitrahnya sebagai mahluk kesadaran di tengah-tengah alam. Pendirian materialisme Marx secara lugas tertuang dalam Tesis Tentang Feuerbach. Sebagai derivat idealisme, materialisme Feuerbach yang masih diselimuti oleh dupa mistik secara radikal oleh Marx ditransplantasikan ke daratan materialisme. Dengan materialisme filsafat bukan lagi dipahami sebagai medan ekspresi, sebagai wacana pertarungan ide dan epistemologi ilmu pengetahuan, akan tetapi secara radikan dan mendasar berubah menjadi saran emansipasi manusia.
Emansipatoris Marx secara telak mengakhiri filsafat idealisme Hegel dengan suatu proklamasi afirmatif visisoner filsafat materialisme pada frasa XI Tesis Tentang Feuerbach mengatakan bahwa: “para filsuf selama ini sibuk dalam penafsiran dunia dengan berbagai cara pada hal yang terpenting adalah bagaimana mengubah dunia”, adalah proklamasi paling akbar dan dahsyat dalam sejarah pemikiran dan filsafat.
Untuk lebih memahami akar materialisme dan praxis Marx, yang menyemangati semangat manusia Promotheusan, yaitu yang mendudukkan manusia sebagai penentu
sekaligus arsitek dunia dan dirinya secara otonom terlepas dari dominasi dan hegemoni Tuhan, yang telah menjadi obsesi Marx semenjak awal. Suatu paparan
tentang Tesis Tentang Feurbach barangkali berguna untuk memahami konsep materialisme dan humanisme Marx. .
Thesis Tentang Feuerbach *)
I
Kekurangan utama dari semua materialisme yang ada sampai sekarang (termasuk materialisme Feuerbach) adalah bahwa obyek, kenyataan, apa yang kita tangkap melalui panca indra, hanya dapat dipahami dalam bentuk obyek atau kontemplasi ; tetapi bukan sebagai aktivitas pancaindra manusia, sebagai praktis, bukan sebagai yang subjektif, bertentangan dengan materialisme, dikembangkan oleh idealisme, tetapi hanya secara abstrak, karena bertentangan dengan materialisme, sisi aktif dikembangkan secara abstrak oleh idealisme, tentu saja tidak mengetahui akan aktivitas pancaindra yang nyata sedemikian itu. Feuerbach membutuhkan benda-benda kepanca-indraan, yang benar-benar dibedakan dari benda-benda pikiran, tetapi ia tidak mengartikan aktvitas manusia itu sendiri sebagai aktivitas obyektif. Oleh karena itu, dalam Hakikat Agama Kristen, dia memandang sikap teoritik sebagai satu-satunya sikap manusia yang sejati, sedangkan praktek digambarkan sebagai, dan ditetapkan hanya dalam bentuk penampakannya yang bersifat kejahudian dan kotor. Karena itu dia tidak menangkap arti penting aktivitas ‘revolusioner’, aktivitas
‘kritis-praktis’.
II
Pertanyaan apakah pikiran manusia dapat menangkap kebenaran obyektif bisa ditangkap bukanlah soal pertanyaan teoritis melainkan suatu pertanyaan praktikal. Manusia harus membuktikan kebenaran itu, yaitu realitas dan kekuatan, kesegian pemikirannya dalam praktis. Perdebatan mengenai kenyataan atau non-realitas pemikiran yang terasing dari praktik adalah pertanyaan skolastiksemata-mata.
III
Doktrin materialis mengenai perubahan (lingkungan) manusia dan pendidikan melupakan bahwa lingkungan diubah oleh manusia dan bahwa pendidik harus dididik. Doktrin ini membagi masyarakat kedalam dua bagian, dimana salah satu lebih tinggi dalam masyarakat. Seiring dengan perubahan lingkungan dapat dikomprehended dan aktivitas manusia atau perubahan diri dapat dimengerti dan secara rasional dipahami hanya diketahui sebagai praktis revolusioner.
IV
Feuerbach bertolak dari kenyataan pengasingan diri relgius, dari duplikasi dunia kepada dalam suatu dunia rteligius dan dunia sekuler. Pekerjaannya berupa melebur dunia religius kedalam basis sekulernya. Tetapi kenyataannya bahwa basis sekuler mengangkat dirinya sendiri di atas dirinya sendiri dan menetapkan bagi dirinya suatu ranah independen dalam kekaburan dapat dijelaskan hanya melalui perpecahan dan kontradiskisi diri dari basis sekuler. Karena itu yang tersebut belakangan itu sendiri dulu harus dipahami dalam kontradiksinya dan kemudian, dengan ditiadakannya kontradiksi itu, direvolusionerkan dalam praktek. Dengan begitu, misalnya, sekali keluarga duniawi itu ditemukan sebagai rahasia dari keluarga suci, maka yang disebutkan lebih dahulu tersebut harus dikritik dalam teori serta direvolusionerkan dalam praktek.
V
Feuerbach tidak puas dengan pemikiran abstrak, berpaling kepada kontemplasi kepanca-indraan, tetapi dia tidak menganggap kepanca-indraan sebagai aktivitas praktis, aktivitas pancaindra manusia.
VI
Feuerbach melebur hakikat keagamaan kedalam hakikat manusia. Tetapi hakikat manusia bukanlah abstraksi yang terdapat pada masing masing individu terpisah . Dalam kenyataannya ia adalah keseluruhan dari relasi-relasi sosial. Oleh karena itu, Feuerbach yang tidak ingin memasuki kritik lebih dalam terhadap hakikat yang nyata itu terpaksa:
1). Mengabstraksikan dari proses sejarah dan menetapkan sentimen keagamaan sebagai sesuatu yang dengan sendirinya dan mengandaikan perorangan manusia abstrak, yang terisolir.
2). Karena itu, baginya hakikat kemanusiaan bisa dimengerti hanya sebagai jenis sebagai suatu keumuman intern bisu yang hanya dengan wajar mempersatukan perorangan yang banyak itu.
VII
Oleh karenanya, Feuerbach tidak melihat bahwa ‘sentimen sentimen’ religius itu sendiri adalah suatu produk sosial, dan bahwa individu abstrak yang dianalisinya adalah milik dari bentuk khusus masyarakat.
VIII
Segenap kehidupan sosial pada hakikatnya adalah praktis. Segala misteri yang mengarahkan teori ke dalam mistikisme menemukan solusi rasional mereka dalam praktik manusia dan secara menyesatkan membawa teori kepada mistik menemukan pemecahannya yang rasional dalam praktek manusia dan dalam pemahaman praktek itu.
IX
Titik tertinggi yang dicapai oleh materialisme kontemplatif, yaitu materialisme yang tidak memahami kepanca-indraan sebagai aktivitas praktis, adalah kontemplasi individu dan masyarakat sipil.
X
Pandangan materialisme lama adalah masyarakat sipil, sementara pandangan materialisme baru adalah masyarakat manusia, atau umat manusia yang bermasyarakat.
XI
Para ahli filsafat hanya menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; akan tetapi yang terpenting adalah mengubahnya. Catatan*) Saya terjemahkan dari buku Kamenka Eugene, The Portable Karl Marx. Penguin Books
Sumber
Gidden,
Anthony, Kapitalisme dan Teori Sosial. Suatu analisis kaya tulis Marx, Durkheim
dan Max Weber. Penerbit Universitas Indonesia (UI Press) Salemba,
1986.
Kamenka, Eugene. The Portable Marx. Penguin Books. 1983
Engels,
Frederich. Feuerbach dan Akhir Filsafat Jerman. Penerbit : Teplok Press,
2203.
Sumber: http://meontology.blogdrive.com
Akar sejarah Filsafat Barat
Yang dibahas disini terutama filsafat Barat, karena misalnya filsafat India dan filsafat Cina lebih bersifat mengajar bagaimana manusia mencapai "keselamatan" ("moksa"), atau bagaimana manusia harus bertindak supaya diperoleh keseimbangan antara dunia dan akhirat. Tak dapat diungkiri didalamnya juga ada unsur akal, tetapi bukan produk dari refleksi yang sifatnya kritis rasional.
Ada empat periode besar dalam filsafat Barat:
(A). Zaman Yunani (600 sM - 400 M)
(B). Zaman Patristik dan Skolastik (300 M - 1500 M)
(C). Zaman Modern (1500 M - 1800 M)
(D). Zaman sekarang (setelah 1800 M).
Patut dicatat bahwa tiap zaman memiliki ciri dan nuansa refleksi yang berbeda. Dalam zaman Yunani diletakkan sendi-sendi pertama rasionalitas Barat. Zaman Patristik dan Skolastik ditandai oleh usaha yang gigih untuk mencari keselarasan antara iman dan akal, karena iman di hati, dan akal ada di otak. Tidak cukuplah sikap credo quia absurdum = "aku percaya justru karena tidak masuk akal" Tertulianus, 160-223 M. Dalam Zaman Modern direfleksikan berbagai hal tentang rasio, manusia dan dunia. Jejak pergumulan itu terdapat dalam aliran-aliran filsafat dewasa ini.
1 Zaman Yunani
Is not the good good because it contains the idea of the good? Plato
1.1 Filsafat pra-sokrates ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala sesuatu ("arche" = ). Tidakkah di balik keanekaragaman realitas di alam semesta itu hanya ada satu azas? Thales mengusulkan: air, Anaximandros: yang tak terbatas, Empedokles: api-udara-tanah-air. Herakleitos mengajar bahwa segala sesuatu mengalir ("panta rei" = selalu berubah), sedang Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru sama sekali tak berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan: bagaimana yang satu itu muncul dalam bentuk yang banyak, dan bagaimana yang banyak itu sebenarnya hanya satu? Pythagoras (580-500 sM) dikenal oleh sekolah yang didirikannya untuk merenungkan hal itu. Democritus (460-370 sM) dikenal oleh konsepnya tentang atom sebagai basis untuk menerangkannya juga. Zeno (lahir 490 sM) berhasil mengembangkan metode reductio ad absurdum untuk meraih kesimpulan yang benar.
1.2 Puncak zaman Yunani dicapai pada pemikiran filsafati Sokrates (470-399 sM), Plato (428-348 sM) dan Aristoteles (384-322 sM).
1.2.1 Sokrates menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat. Bertolak dari pengalaman konkrit, melalui dialog seseorang diajak Sokrates (sebagai sang bidan) untuk "melahirkan" pengetahuan akan kebenaran yang dikandung dalam batin orang itu. Dengan demikian Sokrates meletakkan dasar bagi pendekatan deduktif. -- Pemikiran Sokrates dibukukan oleh Plato, muridnya.
Hidup pada masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai "sophis" ("yang bijaksana dan berapengetahuan"), Sokrates lebih berminat pada masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Seperti diungkapkan oleh Cicero kemudian, Sokrates "menurunkan filsafat dari langit, mengantarkannya ke kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah". Karena itu dia didakwa "memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda" dan dibawa ke pengadilan kota Athena. Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang menyatakan ia bersalah. Ia sesungguhnya dapat menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan kota Athena, namun setia pada hati nuraninya ia memilih meminum racun cemara di hadapan banyak orang untuk mengakhiri hidupnya.
1.2.2 Plato menyumbangkan ajaran tentang "idea". Menurut Plato, hanya idea-lah realitas sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang kekal. Dalam wawasan Plato, pada awal mula ada idea-kuda, nun disana di dunia idea. Dunia idea mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis, dan keberadaannya terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-kuda itu muncul semua kuda yang kasat-mata. Karena itu keberadaan bunga, pohon, burung, ... bisa berubah dan berakhir, tetapi idea bunga, pohon, burung, ... kekal adanya. Itulah sebabnya yang Satu dapat menjadi yang Banyak.
Plato ada pada pendapat, bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan, dalam diri) seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah diketahuinya dari dunia idea, -- konon sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea dan karenanya lalu memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya.
Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Itu persoalan ada ("being") dan mengada (menjadi, "becoming").
1.2.3 Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya. Dia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea-kuda adalah konsep yang dibentuk manusia sesudah melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea ada dalam benda-benda.
Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea-bawaan.
Aristoteles menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar, dibuat konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji keabsahan cara berfikir. Logika dibentuk dari kata logikoz, dan logoz berarti sesuatu yang diutarakan. Daripadanya logika berarti pertimbangan pikiran atau akal yang dinyatakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.
Dalam metode empiris-induktif pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai sebagai basis untuk berabstraksi menyusun pernyataan yang berlaku universal.
Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan yang sempurna. Itu berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak dualisme tentang manusia dan memilih "hylemorfisme": apa saja yang dijumpai di dunia secara terpadu merupakan pengejawantahan material ("hyle") sana-sini dari bentuk ("morphe") yang sama. Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan ("dynamis", Latin: "potentia") untuk pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam setiap individu dengan cara berbeda-beda. Maka ada banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama. Pertentangan Herakleitos dan Parmendides diatasi dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala yang "tetap" dan yang "berubah".
Dalam konteks ini dapat dimengerti bila Aristoteles ada pada pandangan bahwa wanita adalah "pria yang belum lengkap". Dalam reproduksi, wanita bersifat pasif dan reseptif, sedang pria aktif dan produktif. Semua sifat yang aktual ada pada anak potensial terkumpul lengkap dalam sperma pria. Wanita adalah "ladang", yang menerima dan menumbuhkan benih, sementara pria adalah "yang menanam". Dalam bahasa filsafat Aristoteles, pria menyediakan "bentuk", sedang wanita menyumbangkan "substansi".
Dalam makluk hidup (tumbuhan, binatang, manusia), bentuk diberi nama "jiwa" ("psyche", Latin: anima). Tetapi jiwa pada manusia memiliki sifat istimewa: berkat jiwanya, manusia dapat "mengamati" dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup "mengerti" dunia dalam dirinya. Jiwa manusia dilengkapi dengan "nous" (Latin: "ratio" atau "intellectus") yang membuat manusia mampu mengucapkan dan menerima "logoz". Itu membuat manusia memiliki bahasa.
Pemikiran Aristoteles merupakan hartakarun umat manusia yang berbudaya. Pengaruhnya terasa sampai kini, -- itu berkat kekuatan sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya, dan cara kerjanya yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data. Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan rasional-deduktif tersebut diatas.
Aristoteles adalah guru Iskandar Agung, raja yang berhasil membangun kekaisaran dalam wilayah yang sangat besar dari Yunani-Mesir sampai ke India-Himalaya. Dengan itu, Helenisme (Hellas = Yunani) menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan pemikiran filsafati dan kebudayaan di wilayah Timur Tengah juga. -- (Catatan kecil saja dari FSP: Maka jangan terkejut jika pandangan berat-sebelah tentang pria-wanita sangat dominan sampai kini. Legitimasi filsafati agaknya telah diberikan oleh Arsitoteles atas praktek yanh umum di dalam masyarakat Timur Tengah, Eropa abad pertengahan dan dimana saja. Gereja Katolik pun selama berabad-abad mengikuti pendirian yang sama, sekalipun landasan biblisnya sama sekali tidak ada. Yesus, sebagaimana tampak dalam Injil, memiliki pandangan yang sama sekali tidak berat-sebelah tentang gender.)
Aristoteles menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh untuk mempelajari realitas. Studi tentang logika atau pengetahuan tentang penalaran, berperan sebagai organon ("alat") untuk sampai kepada pengetahuan yang lebih mendalam, untuk selanjutnya diolah dalam theoria yang membawa kepada praxis. Aristoteles mengawali, atau sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong, kelahiran banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Ada benang merah yang nyata, antara sumbangan pemikiran dalam Physica (yang ditulisnya), dengan Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan Opticks (dari Newton), serta Experiments on Electricity (oleh Franklin), Chemistry (dari Lavoisier), Geology (ditulis oleh Lyell), dan The Origin of Species (hasil pemikiran Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para pemikir itu dalam situasi dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing.
1.3 Zaman Yunani pasca-aristoteles ditandai oleh tiga aliran pemikiran filsafat, yaitu Stoisisme, Epikurisme dan Neo-platonisme. Stoisisme (Zeno, 333-262 sM) terkenal karena etikanya: manusia berbahagia jika ia bertindak rasional. Epikurisme (Epikuros, 341-270 sM) juga terkenal dalam etika: "kita harus memiliki kesenangan, tetapi kesenangan tidak boleh memiliki kita".
Neo-platonisme (Plotinos, 205-270 M). Idea kebaikan (idea tertinggi dalam Plato) disebut oleh Plotinos to en = "to hen", yang esa, "the one". Yang esa adalah awal, yang pertama, yang paling baik, paling tinggi, dan yang kekal. Yang esa tidak dapat dikenal oleh manusia karena tidak dapat dibandingkan atau disamakan dengan apa pun juga. Yang esa adalah pusat daya, -- seluruh realitas berasal dari pusat itu lewat proses pancaran (emanasi), bagai matahari yang memancarkan sinarnya. Kendati proses emanasi, yang esa tak berkurang atau terpengaruh sama sekali.
Dari to en mengalir nouz = "nous", budi, akal, bahkan roh (?). "Nous" merupakan "bayang-bayang" dari "to hen". Dari "nous" mengalir ynch = "psykhe", jiwa, yang merupakan perbatasan "nous" dengan mh ou = "me on", materi, yang merupakan kemungkinan atau potensi bagi keberadaan suatu bentuk, yang pada manusia adalah tubuh. "Psykhe" merupakan penghubung antara "nous" yang terang, yang berlawanan dengan materi yang gelap, yang rohani berlawanan dengan yang jasmani. -- Menurut neo-platonisme, perlawanan itu merupakan penyimpangan dari kebenaran. Untuk mencapai kebenaran, manusia harus kembali kepada "to hen", dan itulah tujuan hidup manusia. "To hen" kiranya identik dengan konsep "Sang Sangkan Paraning Dumadi" dalam tradisi Jawa.
Kesatuan mistis dengan "to hen" merupakan kebenaran sejati. Manusia harus berkontemplasi untuk mengatasi hal-hal yang inderawi, yang merupakan penghambat besar bagi pembebasannya dari hidup dalam dimensi materi yang bersifat gelap (dan berakhir kepada kematian) menuju kepada hidup dalam dimensi roh yang membawa kepada terang (serta awal dari kekekalan).
Jejak pemikiran neoplatonisme dapat diamati dalam pengalaman mistik, yaitu pengalaman menyatu dengan Tuhan atau "jiwa kosmik". Banyak agama menekankan keterpisahan antara Tuhan dan Ciptaan, tetapi para ahli mistik tidak menemui pemisahan seperti itu. Mereka jutru mengalami rasa "penyatuan dengan Tuhan". Ketika penyatuan itu terjadi, ahli mistik merasa dia "kehilangan dirinya", dia lenyap ke dalam diri Tuhan atau hilang dalam diri Tuhan, sebagaimana setitik atau sepercik air kehilangan dirinya ketika telah menyatu dalam samudera raya.
Tetapi pengalaman mistik itu tidak selalu datang sendiri. Ahli mistik harus mencari jalan "pencucian dan pencerahan" untuk bisa bertemu dengan Tuhan, melalui hidup sederhana dan berbagai teknik meditasi. Kecenderungan mistik tu diketemukan dalam semua agama besar di dunia. Dalam "agama" Jawa dikenallah konsep "manunggaling kawula lan Gusti", yang jejaknya dalam sastra suluk Jawa digali dan diungkapkan bagi generasi masa kini dalam konteks filsafat dan pandangan keagamaan oleh Zoetmulder. (Zoetmulder SJ almarhum adalah Guru Besar di Fakultas Sastra UGM).
2 Zaman Patristik (Para Bapa Gereja)
Pemikiran filsafati para Bapa Gereja Katolik mengandung unsur neo-platonisme. Para Bapa Gereja berusaha keras untuk menyoroti pokok-pokok iman kristiani dari sudut pengertian dan akalbudi, memberinya infrastruktur rasional, dan dengan cara itu membuat pembelaan yang nalar atas aneka serangan. Pada dasarnya Allah menjadi pokok bahasan utama. Hakekat manusia Yesus Kristus dan manusia pada umumnya dijelaskan berdasarkan pembahasan tentang Allah. Ditegaskan, terutama oleh Agustinus (354-430 M) bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran tanpa terang ("lumens") dari Allah. Meskipun demikian dalam diri manusia sudah tertanam benih kebenaran (yang adalah pantulan Allah sendiri). Benih itu memungkinkannya menguak kebenaran. Sebagai ciptaan, manusia merupakan jejak Allah yang istimewa = "imago Dei" (citra Allah), dalam arti itu manusia sungguh memantulkan siapa Allah itu dengan cara lebih jelas dari pada segala ciptaan lainnya.
"Tuhan, engkau lebih tinggi daripada yang paling tinggi dalam diriku, dan lebih dalam daripada yang paling dalam dalam batinku" -- itu ungkapan Agustinus tentang pengalaman manusia mengenai transendensi dan imanensi Allah dalam satu rumusan. Dalam zaman ini pokok-pokok iman Kristiani dinyatakan dalam syahadat iman rasuli (teks "Aku Percaya" yang panjang). Didalamnya dituangkan rumusan ketat pokok-pokok iman, termasuk tentang trinitas -- tentu saja dalam katagori pemikiran filsafati pada waktu itu dan dengan bahan dari Alkitab.
Agustinus menerima penafsiran metaforis atau figuratif atas kitab Kejadian, yang menyatakan bahwa alam semesta dicipta creatio ex nihilo dalam 6 hari, dan pada hari ketujuh Allah beristirahat, sesudah melihat semua itu baik adanya. "Allah tidak ingin mengajarkan kepada manusia hal-hal yang tidak relevan bagi keselamatan mereka". Penciptaan bukanlah suatu peristiwa dalam waktu, namun waktu diciptakan bersama dengan dunia. Penciptaan adalah tindakan tanpa-dimensi-waktu yang melaluinya waktu menjadi ada, dan tindakan kontinu yang melaluinya Allah memelihara dunia. Istilah ex nihilo tidak berarti bahwa tiada itu merupakan semacam materi, seperti patung dibuat dari perunggu, namun hanya berarti "tidak terjadi dari sesuatu yang sudah ada". Hakikat alam ciptaan ialah menerima seluruh Adanya dari yang lain, yaitu Sang Khalik. Alam ciptaan adalah ketergantungan dunia kepada Tuhan.
Disini tidak disinggung persoalan, apakah penciptaan itu terjadi dalam waktu, atau terjadi pada suatu ketika atau sudah ada sejak zaman kelanggengan. Para ahli filsafat pada umumnya sependapat bahwa a priori kita tidak dapat memastikan mana yang terjadi. -- Menciptakan, sebagai tindakan aktif, dipandang dari sudut Tuhan, merupakan cetusan kehendakNya yang bersifat langgeng, karena segala sesuatu dalam Tuhan adalah langgeng. Tetapi dipandang dari sudut ciptaan, secara pasif, ketergantungan dari Tuhan, terciptanya itu dapat terjadi dalam arus waktu, atau di luarnya, sejak zaman kelanggengan. Jadi kelirulah jika dibayangkan bahwa Tuhan suatu ketika menciptakan alam dunia lalu mengundurkan Diri. Andaikata Tuhan seolah-olah beristirahat, maka buah ciptaan runtuh kembali ke nihilum, ke ketiadaan. Dunia terus menerus tergantung pada Tuhan (creatio dan sekaligus conservatio).
Ketika ditanya mengenai apa yang dilakukan Allah sebelum menciptakan dunia, Agustinus menjawab tidak ada artinya bertanya mengenai itu, karena tidak ada waktu sebelum penciptaan tersebut.
3 Zaman Skolastik
Saya membagi zaman skolastik dalam 2 tahapan (1) zaman skolastik timur, yang diwarnai situasi dalam komunitas Islam di Timur Tengah, abad 8 s/d 12 M, dan (2) zaman skolastik barat, abad 12 s/d 15 M, yang diwarnai oleh perkembangan di Eropa (termasuk jazirah Spanyol).
Secara sederhana, dalam zaman Patristik, "filsafat teologi", dengan tanda dapat dibaca sebagai "identik dengan", "sama sebangun dengan", "praktis tidak berbeda dengan". Sementara dalam periode skolastik timur, terdapat berbagai interpretasi atas simbul dalam rumusan "filsafat teologi", dalam periode skolastik barat tidak ada keraguan tentang makna simbul dalam rumusan "filsafat teologi".
3.1. Periode skolastik timur
Abad ke-5 s/d abad ke-9 Eropa penuh kericuhan oleh perpindahan suku-suku bangsa dari utara. Pemikiran filsafati praktis tidak ada. Sebaliknya di Timur Tengah. Sejak hadirnya agama Islam dan munculnya peradaban baru yang bercorak Islam, ada perhatian besar kepada karya-karya filsuf Yunani. Itu bukan tanpa alasan. Pada awal abad 8 krisis kepemimpinan melanda Timur Tengah; amanat Nabi seperti terancam untuk menjadi pudar dan dalam situasi tak menentu itu dikalangan pada mukmin muncullah deretan panjang ahli pikir yang ingin berbuat sesuatu, berpangkal pada penggunaan akal dan azas-azas rasional, dan menyelamatkan Islam.
(1) Mashab Mu'tazila (725 - 850 - 1025 M) meminjam konsep-konsep pemikiran Yunani dan melihat akal sebagai pendukung iman. Pengakuan akal sebagai sumber pengetahuan (selain sumber wahyu) mendorong penelitian tentang manusia (kodrat, martabat dan tabiatnya). Mengikuti etika Aristoteles, karena akal membuat manusia mampu membedakan baik dan buruk, maka berbuat baik adalah wajib. Pemimpin harus mewajibkan umatnya berbuat baik, masing-masing warga menjauhkan diri dari perbuatan tercela. Daripadanya dijabarkan hubungan antar-manusia dan antar-bangsa, dan hak azasi (kemauan bebas) manusia. Pandangan ini cocok dengan Al Qur'an (Surah 3 ayat 110): "amr bil-a'ruf wa'l nahy an'al-munkar".
Mashab Mu'tazila ada pada pendapat bahwa Al Qur'an tercipta, artinya "dirumuskan oleh manusia, dengan latar belakang tempat dan zaman yang khusus". Maka para Mu'tazila membaca Al Qur'an dengan kacamata rasionalis.
(2) Mashab falsafah pertama (830 - 1037 M), berhaluan neoplatonis dan aristoteles. Kata "falsafah" dipakai untuk mengartikan filsafat hellenis dalam kosakata bahasa Arab, ahli fikirnya disebut "faylasuf" ("falasifa - jamak). Empat tokol besar : al-Kindi (800-870 M), al-Razi (865 - 925 M), al-Farabi (872 - 950 M) dan Ibn-Sina (980 - 1037 M). Menggumuli masalah klasik "perbedaan antara dhat dan wujud" ("distinctio realis inter essentiam et existentiam"). Mereka ada pada pendapat, bahwa akal adalah pendamping iman. Al-Razi menolak ijazu'l Qur'an. Tulis al-Razi: "Tuhan memberi kepada manusia akal sebagai anugerah terbesar. Dengan akal kita mengetahui segala apa yang bermanfaat bagi kita dan yang dapat memperbaiki hidup kita. Berkat akal itu kita mengetahui hal yang tersembunyi dan apa yang akan terjadi. Dengan akal kita mengenal Tuhan, ilmu tertinggi bagi manusia. Akal itu menghakimi segala-galanya, dan tidak boleh dihakimi oleh sesuatu yang lain. Kelakuan kita harus ditentukan oleh akal semata-mata".
(3) Mashab pemikiran ketiga disebut pula Kalam Ashari, berpusat di Bagdad, dan bercorak atomisme (yang dicetuskan pertama kali oleh Democritus, 370 sM), dan bergumul dengan soal sebab-musabab, kebebasan manusia, dan keesaan Tuhan. Para tokohnya: al-Ash'ari (873-935 M), al-Baqillani (?-1035), dan al-Ghazali (1065-1111 M).
Pandangan yang bercorak atomistis berpangkal pada pendapat bahwa peristiwa alam dan perbuatan manusia tidak lain daripada kesempatan atau tanda penciptaan langsung dari Tuhan. Daya alami serta hubungan wajib sebab-akibat dalam penciptaan itu tidak ada. Segala sesuatu terjadi oleh campur tangan al-Khaliq, "tiada yang tersembunyi daripadaNya seberat dharahpun" (Al-Qur'an Surat 34 ayat 3). Tiap kejadian terdiri atas deretan terputus-putus atom-atom, tanpa ada hubungan kausal. "Kami menyangkal bahwa makan dan minum menyebabkan kenyang". Yang ada hanya monokausalitas mutlak illahi. Apabila tampak sesuatu akibat dari suatu tindakan, maka itu hanya semu, karena Allah menghendaki hal itu. Tuhan mahakuasa dan mendalangi setiap kegiatan insani. Manusia tidak memiliki kehendak bebas, yang bebas itu hanya semua saja. Manusia hanya boneka atau wayang dalam pergelaran semalam suntuk. "Bila manusia bertindak baik, itulah ditentukan Allah sesuai rahmatNya; bila dia berbuat jahat itu dikehendaki Allah sesuai keadilanNya".
Dalam "Al-Tahafut al-filasifah" al-Ghazali membuat sistematisasi atas filsafat dalam 20 dalil dan membuat kajian dan bantahan yang keras atas tiap-tiap dalil itu. Empat dari 20 dalil diberi nilai kufurat. Ilmu sebagai pengetahuan sesuatu melalui sebab-sebabnya dimungkiri; seluruh pengetahuan ilmiah adalah sia-sia. Secara singkat "al-aql laysa lahu fi'l-shar' majal" -- untuk akal tiada tempat dalam agama.
(4) Jauh dari pusat khilafat Abbasiyah di Timur Tengah, di kawasan yang dikenal sebagi Maghrib al-Aqsa (Barat jauh: Afrika barat laut, jazirah Andalusia, yaitu Spanyol sekarang) berkembanglah pusat Islam dalam kesenian, ilmu pengetahuan dan filsafat. Ibn Bajjah (1100-1138 M), Ibn Tufail (? - 1185), dan Ibn Rushd ("Averroes") (1126-1198 M) merupakan 3 filsuf utama dalam perioda Filsafat Kedua (1100 - 1195 M) ini.
Ciri para filsuf ini pada umumnya menolak haluan anti-rasional Al Ghazali. Ibn Bajjah menegaskan adalah tugas seorang filsuf untuk meningkatkan martabat hidupnya dengan merenungkan kenyataan rohani sampai akhir hayat. Akal adalah hal yang paling berharga yang dikaruniakan Tuhan kepada abdiNya yang setia.
Ibn Tufayl terkenal oleh buku roman filsafi yang berjudul Risalat HAYY IBN YAQZAN fi asrar al -himah al-mashiriyyah.
Ibn Rushd dikenal oleh 3 kelompok karyanya: tafsir atas Aristoteles, karangan polemis (tentang karya-karya filsafat di kawasan timur) dan karangan apologetis (yang membela Islam dari ancaman dari dalam). Tahafut al-tahafut merupakan serangan frontal atas al-Tahafut al-filasifah al-Ghazali. Menolak pandangan al-Ghazali, ditegaskannya bahwa ilmu secara esensial adalah pengetahuan sesuatu berdasarkan sebabnya. Kita menanggapi hubungan sebab-akibat dengan pancaindera, dan memahaminya sebagai nyata dengan akal. Dengan akibat atau setiap perubahan diciptakan secara langsung oleh iradat ilahi tanpa pengantaraan sebab tercipta (wasa'ith), seluruh dunia dimerosotkan menjadi kaos dan irasional, tanpa tata-tertib, tanpa nizam atau inayah. Itu bertentangan dengan akal sehat dan menentang wahyu Qur'an, yang melukiskan dunia sebagai karya teratur Allah yang maha bijaksana.
Karya apologetisnya (2 buku yang ditulis pada tahun 1179 M) juga membela hak hidup filsafat dalam Islam, baik sebagai ilmu otonom, maupun sebagai ilmu bantu dalam teologi. Rushd melihat filsafat sebagai "sahabat al-shari'at w'ahat al-ruzdat", teman teologi ibarat saudari sesusuan. Filsafat diwajibkan oleh al-Qur'an, agar manusia dapat memuji karya Tuhan di dunia ini (antara lain Surah 3 ayat 188, Surah 6 ayat 78, Surah 7 ayat 184, Surah 59 ayat 2, dan Surah 88 ayat 17) . Bila studi hukum (fiqh) tidak disertai studi filsafat, fiqh membuat budi sempit dan memalsukan agama.
Pengaruh Ibn Rushd sang filsuf dari Cordova itu terhadap alam pikiran Islam selanjutnya mungkin tidak seberapa, dia bahkan dikatakan hanya mewariskan "sekeranjang buku seberat sosok mayatnya". Tetapi naskahnya populer di Eropa, khususnya di lingkungan kampus Universitas Paris, dan menyebar dari sana. Dengan karyanya, Aristoteles yang dijuluki "Sang Filsuf" diperkenalkan mutiara pemikirannya oleh Ibn Rushd yang oleh karena itu mendapat julukan "Sang Komentator". Sebagai akibatnya, obor perenungan filsafati Yunani, seperti diarak melalui Timur Tengah ke Barat Jauh oleh para filsuf muslim (yang sering hidup menderita), dan dengan itu diestafetkan kepada para filsuf Eropa (Barat) dan ke seluruh dunia. Itulah sumbangan berharga para filsuf muslim dalam khazanah perenungan tak kunjung henti manusia dalam menemukan jati diri dan realitas di sekelilingnya.
3.2 Perioda skolastik Barat
Awal abad 13 ditandai dengan 3 hal penting: (1) berdirinya universitas-universitas, (2) munculnya ordo-ordo kebiaraan baru (Fransiskan dan Dominikan), dan (3) diketemukannya filsafat Yunani, melalui komentar Ibn Rushd, yang dipelajari dan dikritik dan diteliti dengan cermat oleh Thomas Aquinas (1225 - 1274 M). Tema filsafat perioda ini adalah hubungan akal budi dan iman, adanya dan hakekat Tuhan, antropologi, etika dan politik.
Otonomi filsafat yang bertumpu pada akal, yang merupakan salah satu kodrat manusia, dipertahankan. Menurut Thomas Aquinas, akal memampukan manusia mengenali kebenaran dalam kawasannya yang alamiah. Sebaliknya teologi memerlukan wahyu adikodrati. Berkat wahyu adikodrati itu teologi dapat mencapai kebenaran yang bersifat misteri dalam arti ketat (misalnya misteri tentang trinitas, inkarnasi, sakramen). Karena itu teologi memerlukan iman, karena hanya dapat dijelaskan dan diterima dalam iman. Dengan iman yang merupakan sikap penerimaan total manusia atas wibawa Allah, manusia mampu mencapai pengetahuan yang mengatasi akal. Meski misteri ini mengatasi akal, ia tidak bertentangan dengan akal. Meski akal tidak dapat menemukan (menguak) misteri, akal dapat meratakan jalan menuju misteri ("prae-ambulum fidei").
Dengan ini Thomas Aquinas menegaskan adanya dua pengetahuan yang tidak perlu bertentangan, atau dipertentangkan, tetapi berdiri sendiri berdampingan: pengetahuan alamiah (yang berpangkal pada akal budi) dan pengetahuan iman (yang bersumber pada kitab suci dan tradisi keagamaan). Adalah Wihelm Dilthey (1839-1911) yang akhirnya membedakan dengan tegas "Geisteswissenschaften" = "human sciences" dari "Naturwisensshaften" = "natural sciences", sementara Max Weber membedakan "erklaeren" sebagai ciri-ciri ilmu alam dari "verstehen" yang merupakan ciri khas ilmu-ilmu kemanusiaan.
Batasan Definisi dan Qadhiyah
Hudud dan Ta'rifat
Kita sepakat bahwa masih banyak hal yang belum kita ketahui (majhul). Dan sesuai dengan fitrah, kita selalu ingin dan mencari tahu tentang hal-hal yang masih majhul.
Pertemuan lalu telah dibahas bahwa manusia memiliki ilmu dan pengetahuan (ma'lûm), baik tashawwuri ataupun tashdiqi. Majhul (jahil) sebagai anonim dari ma'lûm (ilmu), juga terbagi menjadi dua majhul tashawwuri dan majhul tashdiqi. Untuk mengetahui hal-hal majhul tashawwuri, kita membutuhkan ma'lûm tashaswwuri. (Lihat definisi berpikir. Pencarian majhul tashawwur dinamakan "had" atau "ta'rif".
Had/ta'rif adalah sebuah jawaban dan keterangan yang didahului pertanyaan "Apa?".
Saat menghadapi sesuatu yang belum kita ketahui (majhul), kita akan segara bertanya "apa itu?". Artinya, kita bertanya tentang esensi dan hakikat sesuatu itu. Jawaban dan keterangan yang diberikan adalah had (definisi) dari sesuatu itu.
Oleh karena itu, dalam disiplin ilmu, mendefinisikan suatu materi yang akan dibahas penting sekali sebelum membahas lebih lanjut masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Perdebatan tentang sesuatu materi akan menjadi sia-sia kalau definisinya belum jelas dan disepakati. Ilmu mantiq bertugas menunjukkan cara membuat had atau definisi yang benar.
Macam-Macam Definisi (Ta'rif)
Setiap definisi bergantung pada kulli yang digunakan. Ada lima kulli yang digunakan untuk mendefinisikan majhul tashawwuri (biasa disebut "kulliyat khamsah"). Lima kulli itu adalah: [1] Nau' (spesies), [2] jins (genius), [3] fashl (diferentia), [4] 'aradh 'aam (common accidens) dan [5] 'aradh khas (proper accidens). Pembahasan tentang kulliyat khamsah ini secara detail termasuk pembahasan filsafat, bukan pembahasan mantiq.
- 1. Had Tâm, adalah definisi yang menggunakan jins dan fashl untuk menjelaskan bagian-bagian dari esensi yang majhul. Misal: Apakah manusia itu? Jawabannya adalah "Hewan yang berpikir (natiq)". "Hewan" adalah jins manusia, dan "berpikir" adalah fashl manusia. Keduanya merupakan bagian dari esensi manusia.
- 2. Had Nâqish, adalah definisi yang menggunakan jins saja. Misal: "Manusia adalah hewan". Hewan adalah salah satu dari esensi manusia.
- 3. Rasam Tâm, adalah definisi yang mengunakan 'ardh khas. Misal: "Manusia adalah wujud yang berjalan, tegak lurus dan dapat tertawa". "Maujud yang berjalan", "tegak lurus" dan "tertawa" bukan bagian dari esensi manusia, tetapi hanya bagian yang eksiden.
- Rasam Nâqish, adalah definisi yang menggunakan 'ardh 'âm, misalnya, "Manusia adalah wujud yang berjalan".
Qadhiyyah (Proposisi)
Sebagaimana yang telah kita ketahui, tashdiqi adalah penilaian dan penghukuman atas sesuatu dengan sesuatu yang lain (seperti: gunung itu indah; manusia itu bukan kera dan lain sebagainya). Atas dasar itu, tashdiq berkaitan dengan dua hal: maudhu' dan mahmul ("gunung" sebagai maudhu' dan "indah" sebagai mahmul). Gabungan dari dua sesuatu itu disebut qadhiyyah (proposisi).
Macam-macam Qadhiyyah.
Setiap qadhiyyah terdiri dari tiga unsur: 1) mawdhu', 2) mahmul dan 3) rabithah (hubungan antara mawdhu' dan mahmul). Berdasarkan masing-masing unsur itu, qadhiyyah dibagi menjadi beberapa bagian.
Berdasarkan rabithah-nya, qadhiyyah dibagi menjadi dua: hamliyyah (proposisi kategoris) dan syarthiyyah (proposisi hipotesis).
Qadhiyyah hamliyyah adalah qadhiyyah yang terdiri dari mawdhu', mahmul dan rabithah.
Lebih jelasnya, ketika kita membayangkan sesuatu, lalu kita menilai atau menetapkan atasnya sesuatu yang lain, maka sesuatu yang pertama disebut mawdhu' dan sesuatu yang kedua dinamakan mahmul dan yang menyatukan antara keduanya adalah rabithah. Misalnya: "gunung itu indah". "Gunung" adalah mawdhu', "indah" adalah mahmul dan "itu" adalah rabithah (Qadhiyyah hamliyyah, proposisi kategorik)
Terkadang kita menafikan mahmul dari mawdhu'. Misalnya, "gunung itu tidak indah". Yang pertama disebut qadhiyyah hamliyyah mujabah (afirmatif) dan yang kedua disebut qadhiyyah hamliyyah salibah (negatif).
Qadhiyyah syarthiyyah terbentuk dari dua qadhiyyah hamliyah yang dihubungkan dengan huruf syarat seperti, "jika" dan "setiap kali".
Contoh: jika Tuhan itu banyak, maka bumi akan hancur. "Tuhan itu banyak" adalah qadhiyyah hamliyah; demikian pula "bumi akan hancur" sebuah qadhiyyah hamliyah. Kemudian keduanya dihubungkan dengan kata "jika". Qadhiyyah yang pertama (dalam contoh, Tuhan itu banyak) disebut muqaddam dan qadhiyyah yang kedua (dalam contoh, bumi akan hancur) disebut tali.
Qadhiyyah syarthiyyah dibagi menjadi dua: muttasilah dan munfasilah. Qadhiyyah syarthiyyah yang menggabungkan antara dua qadhiyyah seperti contoh di atas disebut muttasilah, yang maksudnya bahwa adanya "keseiringan" dan "kebersamaan" antara dua qadhiyyah. Tetapi qadhiyyah syarthiyyah yang menunjukkan adanya perbedaan dan keterpisahan antara dua qadhiyyah disebut munfasilah, seperti, Bila angka itu genap, maka ia bukan ganjil. Antara angka genap dan angka ganjil tidak mungkin kumpul.
Definisi Mantiq
Definisi dan Urgensi Mantiq (Logika)
Mantiq adalah alat atau dasar yang penggunaannya akan menjaga kesalahan dalam berpikir.
Lebih jelasnya, Mantiq adalah sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berpikir, sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari cara berpikir salah. Manusia sebagai makhluk yang berpikir tidak akan lepas dari berpikir. Namun, saat berpikir, manusia seringkali dipengaruhi oleh berbagai tendensi, emosi, subyektifitas dan lainnya sehingga ia tidak dapat berpikir jernih, logis dan obyektif. Mantiq merupakan upaya agar seseorang dapat berpikir dengan cara yang benar, tidak keliru.
Sebelum kita pelajari masalah-masalah mantiq, ada baiknya kita mengetahui apa yang dimaksud dengan "berpikir".
Berpikir adalah proses pengungkapan sesuatu yang misteri (majhul atau belum diketahui) dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam benak kita (dzihn) sehingga yang majhul itu menjadi ma'lûm (diketahui).
Faktor-Faktor Kesalahan Berpikir
- Hal-hal yang dijadikan dasar (premis) tidak benar.
- Susunan atau form yang menyusun premis tidak sesuai dengan kaidah mantiq yang benar.
Argumentasi (proses berpikir) dalam alam pikiran manusia bagaikan sebuah bangunan. Suatu bangunan akan terbentuk sempurna jika tersusun dari bahan-bahan dan konstruksi bangunan yang sesuai dengan teori-teori yang benar. Apabila salah satu dari dua unsur itu tidak terpenuhi, maka bangunan tersebut tidak akan terbentuk dengan baik dan sempurna.
Sebagai misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2] setiap manusia bertindak zalim; maka [3] Socrates bertindak zalim". Argumentasi semacam ini benar dari segi susunan dan formnya. Tetapi, salah satu premisnya salah yaitu premis yang berbunyi "Setiap manusia bertindak zalim", maka konklusinya tidak tepat. Atau misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2] Socrates adalah seorang ilmuwan", maka "[3] manusia adalah ilmuwan". Dua premis ini benar tetapi susunan atau formnya tidak benar, maka konklusinya tidak benar. (Dalam pembahasan qiyas nanti akan dijelaskan susunan argumentasi yang benar, pen).
Ilmu dan Idrak
Dua kata di atas, Ilmu dan Idrak, mempunyai makna yang sama (sinonim). Dalam ilmu mantiq, kedua kata ini menjadi bahasan yang paling penting karena membahas aspek terpenting dalam pikiran manusia, yakni ilmu. Oleh karena itu, makna ilmu sendiri perlu diperjelas. Para ahli mantiq (mantiqiyyin) mendefinisikan ilmu sebagai berikut:
Ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang ada dalam benak (akal).
Benak atau pikiran kita tidak lepas dari dua kondisi yang kontradiktif, yaitu ilmu dan jahil (ketidak tahuan). Pada saat keluar rumah, kita menyaksikan sebuah bangunan yang megah dan indah, dan pada saat yang sama pula tertanam dalam benak gambaran bangunan itu. Kondisi ini disebut "ilmu". Sebaliknya, sebelum menyaksikan bangunan tersebut, dalam benak kita tidak ada gambaran itu. Kondisi ini disebut "jahil".
Pada kondisi ilmu, benak atau akal kita terkadang hanya [1] menghimpun gambaran dari sesuatu saja (bangunan, dalam misal). Terkadang kita tidak hanya menghimpun tetapi juga [2] memberikan penilaian atau hukum (judgement). (Misalnya, bangunan itu indah dan megah). Kondisi ilmu yang pertama disebut tashawwur dan yang kedua disebut tashdiq.
Jadi tashawwur hanya gambaran akan sesuatu dalam benak. Sedangkan tashdiq adalah penilaian atau penetapan dengan dua ketetapan: "ya" atau "tidak/bukan". Misalnya, "air itu dingin", atau "air itu tidak dingin"; "manusia itu berakal", atau "manusia itu bukan binatang" dan lain sebagainya.
Kesimpulan, ilmu dibagi menjadi dua; tashawwuri dan tashdiqi.
Dharuri dan Nadzari
Ilmu tashawwuri dan ilmu tashdiqi mempunyai dua macam: dharuri dan nadzari. Dharuri adalah ilmu yang tidak membutuhkan pemikiran lagi (aksiomatis). Nadzari adalah ilmu yang membutuhkan pemikiran.
Lebih jelasnya, dharuri (sering juga disebut badihi) adalah ilmu dan pengetahuan yang dengan sendirinya bisa diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan perantaraan ilmu yang lain. Jadi Ilmu tashawwuri dharuri adalah gambaran dalam benak yang dipahami tanpa sebuah proses pemikiran. Contoh: 2 x 2 = 4; 15 x 15 = 225 atau berkumpulnya dua hal yang kontradiktif adalah mustahil (tidak mungkin terjadi) adalah hal yang dharuri. Sedangkan nadzari dapat diketahui melalui sebuah proses pemikiran atau melalui pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya. (Lihat kembali definisi berpikir). Jadi ilmu tashawwuri nadzari adalah gambaran yang ada dalam benak yang dipahami melalui proses pemikiran. Contoh: bumi itu bulat adalah hal yang nadzari.
Kulli dan Juz'i
Pembahasan tentang kulli (general) dan juz'i (parsial) secara esensial sangat erat kaitannya dengan tashawwur dan juga secara aksidental berkaitan dengan tashdiq.
Kulli adalah tashawwur (gambaran benak) yang dapat diterapkan (berlaku) pada beberapa benda di luar.
Misalnya: gambaran tentang manusia dapat diterapkan (berlaku) pada banyak orang; Budi, Novel, Yani dan lainnya.
Juz'i adalah tashawwur yang dapat diterapkan (berlaku) hanya pada satu benda saja.
Misalnya: gambaran tentang Budi hanya untuk seorang yang bernama Budi saja.
Manusia dalam berkomunikasi tentang kehidupan sehari-hari menggunakan tashawwur-thasawwur yang juz'i. Misalnya: Saya kemarin ke Jakarta; Adik saya sudah mulai masuk sekolah; Bapak saya sudah pensiun dan sebagainya. Namun, yang dipakai oleh manusia dalam kajian-kajian keilmuan adalah tashawwur-thasawwur kulli, yang sifatnya universal. Seperti: 2 x 2 = 4; Orang yang beriman adalah orang bertanggung jawab atas segala perbuatannya; Setiap akibat pasti mempunyai sebab dan lain sebagainya.
Dalam ilmu mantiq kita akan sering menggunakan kulli (gambaran-gambaran yang universal), dan jarang bersangkutan dengan juz'i.
Nisab Arba'ah
Dalam benak kita terdapat banyak tashawwur yang bersifat kulli dan setiap yang kulli mempunyai realita (afrad) lebih dari satu. (Lihat definisi kulli ). Kemudian antara tashawwur kulli yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan (relasi). Ahli mantiq menyebut bentuk hubungan itu sebagai "Nisab Arba'ah". Mereka menyebutkan bahwa ada empat kategori relasi: [1] Tabâyun (diferensi), [2] Tasâwi (ekuivalensi), [3] Umum wa khusus Mutlaq (implikasi) dan [4] Umum wa Khusus Minwajhin (asosiasi).
1. Tabâyunadalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya tidak bisa diterapkan pada seluruh afrad tashawwur kulli yang lain. Dengan kata lain, afrad kulli yang satu tidak mungkin sama dan bersatu dengan afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur batu. Kedua tashawwur ini sangatlah berbeda dan afradnya tidak mungkin sama. Setiap manusia pasti bukan batu dan setiap batu pasti bukan manusia.
2. Tasâwi adalah dua tashawwur kulli yang keduanya bisa diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwurt berpikir. Artinya setiap manusia dapat berpikir dan setiap yang berpikir adalah manusia.
3. Umum wa khusus mutlak adalah dua tashawwur kulli yang satu dapat diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain dan tidak sebaliknya. Misal: tashawwur hewan dan tashawwur manusia. Setiap manusia adalah hewan dan tidak setiap hewan adalah manusia. Afrad tashawwur hewan lebih umum dan lebih luas sehingga mencakup semua afrad tashawwur manusia.
4. Umum wa khusus min wajhin adalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya dapat diterapkan pada sebagian afrad kulli yang lain dan sebagian lagi tidak bisa diterapkan. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur putih. Kedua tashawwur kulli ini bersatu pada seorang manusia yang putih, tetapi terkadang keduanya berpisah seperti pada orang yang hitam dan pada kapur tulis yang putih.
Ghadir Adalah Prinsip Utama Kelanjutan Risalah Islam
Ghadir sebagai salah satu hari raya besar umat Islam, merupakan salah satu program penting Rasulullah Saw, untuk kelanggengan, kemuliaan, kejayaan Islam dan al-Quran.
Pentingnya hari ini harus ditelusuri kembali pada hari Ghadirdi masa Rasulullah Saw. Peringatan eid ini telah dilakukan oleh Imam Sadiq as dan Imam Ridho as. Bahkan Imam Ali as sendiri juga memperingati eid tersebut.
Rahasia di balik pentingnya peringatan Ghadir, jelas terletak pada kesempunaan agama dan nikmat dari Allah Swt di bawah naungan berlanjutnya risalah Rasulullah yang emban oleh para imam maksum.
Rasulullah Saw mewajibkan umat Islam untuk megucapkan selamat kepada wali (Imam Ali as) dan berbaiat kepadanya. Rasulullah Saw berbahagia atas nikmat wilayah dan bersabda:
الحمدلله الذی فضلنا علی جمیع العالمین
Ayat al-Quran juga telah dengan jelas menyebutkan bahwa hari ini (Eid Ghadir) adalah hari disempurnakannya agama Islam dan nikmat Allah Swt.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Bahkan Tareq bin Syahab yang seorang Kristen dalam sebuah acara dengan khalifah Umat bin Khattab dalam hal ini mengatakan, "Jika ayat tersebut (al-Maidah, 2) diturunkan untuk kami, maka pada hari tersebut, kami akan memperingatinya sebagai eid."
Tidak ada orang yang keberatan mendengar ucapan Tareq bahkan khalifah Umat sendiri tidak mengatakan apapun. (IRIB Indonesia/MZ)
Ghadir Harus Menjadi Sumber Persatuan Islam
Ketua Dewan Tinggi Propinsi Iran, Mehdi Chamran menyatakan, "Eid Ghadir harus menjadi sumber persatuan, kesatuan dan kekompakan bagi seluruh umat Islam."
IRNA (3/11) melaporkan, Chamran mengatakan, "Islam pada hari ini telah sempurna dengan kepemimpinan Imam Ali as dan Allah Swt telah menyempurnakan risalah Rasulullah Saw pada hari ini."
Chamran di bagian lain pernyataannya, Chamran mengatakan, "Musuh, setelah tidak mampu menciptakan perpecahan geografis di Iran, mereka sekarang berusaha menciptakan perpecahan di sektor budaya banga Iran.
Chamran optimis, "Ghadir dapat menjadi titik persatuan dan solidaritas dalam masyarakat Muslim Iran dan di seluruh dunia.(IRIB Indonesia/MZ)