کمالوندی

کمالوندی

Imam Ali al-Hadi as dengan Ziarah Jamiah Kabirah telah mengenalkan kepada umat Islam tentang budaya dan ajaran Islam. Dalam ziarah ini dijelaskan tentang tauhid dan wilayah yang sangat mendalam dan penjelasan tentang keutamaan manusia. Beliau juga menerangkan kedudukan sosial dan bimbingan Aimmah as serta penjelasan tentang keutamaan mereka sebagai keturunan suci Nabi Muhammad Saw.

Imam Hadi as lahir pada tanggal 15 Dzulhijjah tahun 212 Hijriah di desa Shariyya dekat kota Madinah al-Munawwarah. Kelahiran beliau menjadi penerang kegelapan akibat kebodohan dan kekafiran. Ayah beliau, Imam Muhammad Jawad as, memberikan nama Ali kepadanya supaya menghidupkan kembali peran ayahnya. Imam Hadi as dipanggil dengan berbagai julukan, antara lain al-Murtadha, al-Hadi, an-Naqi, al-Alim, al-Faqih, al-Mutaman, at-Thayyib.Namun julukan yang palingterkenaladalah al-Hadi dan an-Naqi.Beliau juga dipanggil dengan sebutan Abul Hasan. Pasca Imam Jawad as gugur syahid pada tahun 220, Imam Hadi as memegang amanah Imamah (kepemimpinan Ilahi atas umat manusia) menggantikan ayahnya.

Dalam riwayat hidup para Maksumin as terdapat berbagai perbedaan sesuai dengan kondisi di zamannya masing-masing. Di masa Imam Ali bin Abi Thalib, Imam Hasan dan Imam Husein as untuk menegakkan kebenaran Islam dan menghidupkan kembali agama suci ini, mereka berperang melalui jalur politik terbuka dan terkadang mengangkat senjata. Namun di periode kepemimpinan Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad dan Imam Jafar Shadiq as, kondisi telah berubah sehingga cara-cara tersebut tidak digunakan dan lebih berkonsentrasi melalui jalur dakwah dan penyebaran ajaran-ajaran Islam yang benar.

Periode Imam Musa Kazem, Imam Ali ar-Ridha, dan Imam Jawad as dibandingkan dengan masa tiga imam sebelumnya berbeda, karena perjuangan di masa ketiga imam ini lebih cenderung menggunakan jalur politik sesuai dengan kondisi di zaman itu. Imam Musa Kazem as dijebloskan ke dalam penjara oleh Harun al-Rashid, penguasa di masa itu. Sementara putra beliau, Imam Ali ar-Ridha as, dengan berat hati menerima Wali Ahd (putra mahkota) Makmun, anak Harun al-Rashid.

Imam Jawad as gugur syahid ketika masih berusia muda. Setelah itu, Imam Hadi as menggantikan keimamahan beliau. Periode kehidupan Imam Hadi as berada di masa pemerintahan tirani dan otoriter. Beliau berusaha menjelaskan ajaran Islam yang benar melalui berbagai cara seperti dialog, tulisan atau surat menyurat dan menjawab berbagai pertanyaan dan keraguan masyarakat. Selain itu, beliau juga mendidik para ahli hadist, perawi, dan mencetak murid-murid handal.

Salah satu langkah istimewa Imam Hadi as adalah memperluas lembaga-lembaga advokasi atau perwakilan. Beliau mengirimkan wakil-wakilnya ke berbagai penjuru dunia Islam untuk dapat berkoordinasi dengan para pengikut Ahlul Bait as yang tinggal di berbagai kota yang jauh. Pengiriman wakil-wakil tersebut juga bertujuan supaya ikatan antara beliau dan pengikutnya tidak terputus. Dengan cara ini, pesan-pesan beliau dengan cepat, mudah dan teratur akan sampai kepada pengikut Ahlul Bait as melalui jalur yang dipercaya.

Melalui perwakilannya,Imam Hadi as dapat menjawab pertanyaan dan permasalahan fiqih dan akidah kepada para pengikutnya sehingga dapat membimbing mereka kepada ajaran-ajaran suci Islam. Dengan demikian, lembaga-lembaga perwakilan tersebut sangat efektif dalam membantu tugas-tugas beliau.

Periode kepemimpinan Imam Hadi as mempunyai ciri khusus mengingat di masa beliau terdapat berbagai kecenderungan keyakinan dan ilmu yang muncul. Selain itu, faham-faham teologi menyimpang mulai menjangkiti masyarakat dan terjadi transformasi budaya. Meluasnya berbagai faham akidah memunculkan berbagai ide, pandangan dan keyakinan yang bermacam-macam sehingga budaya masyarakat mengalami kekacauan dan perpecahan. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh para penguasa zalim untuk menggapai ambisi-ambisi mereka.

Kewaspadaan Imam Hadi as dalam mengenali garis propaganda musuh dan perlawanan beliau, telah menggagalkan semua upaya busuk musuh. Beliau dalam periode kritis keimamahannya di mana dari sisi ilmu amat penting bagi dunia Islam, telah mengorganisir dan mengokohkan pondasi ajaran Ahlul Bait as sehingga di masa mendatang dapat menjawab kebutuhan pemikiran dan politik masyarakat Islam, khususnya para pengikut keluarga suci Nabi Muhammad Saw.

Salah satu pelajaran yang diberikan oleh Imam Hadi as kepada umat Islam adalah Ziarah Jamiah Kabirah yang sebenarnya merupakan penjelas tentang kedudukan manusia sempurna dan kesempurnaan manusia. Dalam ziarah ini dijelaskan tentang tauhid dan Wilayah yang mendalam serta keutamaan manusia. Ziarah Jamiah Kabirah merupakan ucapan Imam Hadi as dan sebagai jawaban atas tuntutan salah satu pengikutnya. Meski ziarah ini berupa perkataan dan ucapan namun pada dasarnya ziarah ini menjelaskan tentang kedudukan Imamah dalam Islam.

Imam Hadi as telah menjelaskan tentang kedudukan sosial dan bimbingan Aimmah as serta menerangkan keutamaan mereka dalam Ziarah Jamiah Kabirah. Beliau juga menolak pemikiran yang berlebihan tentang Imamah dari kelompok-kelompok sesat dan menyimpang, karena di masa kepemimpinan beliau terdapat kelompok-kelompok menyimpang yang disebut dengan kelompokGhullat (berlebih-lebihan). Kelompok ini mempunyai akidah yang salah dan tak berdasar. Mereka mengklaim sebagai pengikut Ahlul Bait as dan menilai kedudukan para Imam as dengan sangat berlebihan, bahkan mereka mengagungkan Maksumin as hingga pada derajat Tuhan.

Imam Hadi as berlepas tangan dengan kelompok Ghullat seperti yang dilakukan oleh ayahandanya. Beliau dengan keras memerangi kelompok menyimpang tersebut. Dalam Ziarah Jamiah Kabirah beliau bersaksi atas Keesaan Tuhan dan dengan tegas menafikan penyerupaan terhadap Zat suci-Nya. Imam Hadi as ketika menjelaskan kedudukan Aimmah as dan sekaligus menjawab pemikiran kelompok menyimpang tersebut, mengatakan, الْمُخْلِصِینَ فِی تَوْحِیدِ اللَّهِ وَ الْمُظْهِرِینَ لِأَمْرِ اللَّهِ وَ نَهْیِهِ (orang-orang mukhlis berada dalam Ketauhidan Allah Swt dan penjelas perintah dan larangan-Nya).

Ziarah Jamiah Kabirah mempunyai isi yang sangat berharga dan dapat memperkuat pemikiran serta mencegah penyimpangan masyarakat dari lampu penerang Maksumin as. Ziarah ini juga menjelaskan tentang kedudukan Aimmah as di muka bumi. Imam Hadi as mengemas penjelasannya tentang Aimmah as dengan berbagai penerangan yang menarik sehingga para peziarah dapat melihat perilaku mereka dari berbagai sudut yang berbeda dan menjadikannya sebagai tauladan dalam kehidupan.

Salah satu keistimewaan Ziarah Jamiah Kabirah adalah mengajari umat Islam tentang adab berbicara kepada para Imam as ketika berziarah. Ziarah ini dimulai dengan salam kepada para Imam as dan kemudian peziarah menyebutkan keutamaan dan sifat agung mereka. Dalam Ziarah Jamiah Kabirah juga disinggung tentang hubungan Maksumin as dan pendekatan mereka dalam menegakkan ajaran Islam. Penjelasan penting Imam Hadi as dalam Ziarah Jamiah Kabirah adalah kebenaran selalu bersama para Imam as dan tidak akan pernah terpisah dari mereka. Aimmah as adalah panduan petunjuk dan para saksi dalam agama.

Imam Hadi as dalam Ziarah Jamiah Kabirah mengenalkan kepada umat Islam bahwa Maksumin as adalah para pemberi petunjuk, lentera kegelapan, pemilik ilmu dan hikmah, pelindung masyarakat dan hujah-hujah Allah Swt di muka bumi. Mereka adalah pembimbing dan tanda untuk mengenal Tuhan serta pewaris nabi. Para Imam Maksum as adalah para penyeru kebenaran dan pemberi petunjuk ke jalan keridhaan Allah Swt.

Dalam Ziarah Jamiah Kabirah disebutkan bahwa Allah Swt menciptaan Aimmah as dalam bentuk cahaya dan mengutus mereka ke dunia sebagai anugerah bagi umat manusia. Keberadaan Maksumin as sangat berharga dan ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah Swt. Keberadaan mereka telah menyinari dunia dan menyelamatkan manusia dari jurang kebinasaan dan api neraka serta menunjukkan jalan kebahagiaan abadi bagi manusia.

Selasa, 20 November 2012 14:31

Manusia dan Fitrah Bertuhan

Salah satu hal yang selalu ada dalam diri manusia adalah kecenderungan untuk mencari Tuhan dan menyembahnya, karena dengan ibadah kepada Tuhan manusia sebenarnya berupaya meninggalkan wujud terbatasnya dan bergabung dengan hakikat yang tidak memiliki cacat, kekurangan, kefanaan dan keterbatasan.

William James, seorang filsuf Amerika dantokoh psikologi modern aliran pragmatisme, melakukan percobaan untuk mengukur jiwa manusia dari sisi kecenderungan spiritualitasnya. Hasil penelitian selama 40 tahun ini menunjukkan bahwa dalam wujud manusia terdapat serangkaian kecenderungan terhadap materi dan serangkaian kecenderungan yang lain tidak ada hubungannya dengan materi. Hal ini membuktikan adanya alam lain di mana rasa ini mengantarkan manusia ke alam lain itu. Inspirasi spiritual, fitrah untuk mencari Tuhan dan cinta akan kebaikan selalu ada dalam jiwa manusia, di mana mayoritas kecenderungan dan harapan manusia berasal dari luar alam materi.

Menurut James, jika kecenderungan manusia tidak dikembangkan dan diarahkan dengan benar maka manusia akan tersesat dan tentunya akan sangat merugikan baginya. Menyembah berhala, manusia dan materi lain serta ribuan penyembahan lainnya merupakan dampak dari penyimpangan terhadap kecenderungan suci manusia. Menurutnya, rasa ingin menyembah Tuhan yang biasanya diartikan sebagai rasa ingin beragama secara alami selalu ada dalam jiwa manusia.

Dalam kedalaman jiwa manusia terdapat kekuatan yang mendorong manusia untuk mencari Tuhan yang memberikan rasa aman dan ketenangan kepada manusia dan membantunya dalam menghadapi kesulitan serta menghilangkan segala bentuk kekhawatiran. Manusia ketika mengalami kebuntuan dan berbagai faktor materi tidak ada yang dapat membantunya maka secara alami akan mencari sumber kekuatan yang lebih besar yang mampu melepaskannya dari kebuntuan tersebut.

Dalam sejarah kehidupan manusia dan peninggalannya di berbagai gua dan gunung menunjukkan bahwa manusia sejak awal mempunyai rasa ingin mengabdi dan menyembah Tuhan. Mereka meyakini akan Keesaan Tuhan meski sebagian lainnya tergelincir ke dalam kebodohan sehingga mereka menyembah batu, kayu, matahari, binatang dan bahkan menyembah penguasa zalim.

AllamahMurtadha Mutahhari, seorang cendekiawan dan peneliti terkemuka Iran, mengatakan, studi terhadap peninggalan manusia di masa lampau menunjukkan bahwa penyembahan telah ada sejak manusia ada. Yang berbeda adalah bentuk ibadah dan siapa yang disembah. Para nabi diutus untuk membimbing fitrah manusia ke jalan yang benar. Allamah Mutahhari meyakini bahwa Anbiya diutus untuk mencegah manusia menyembah selain Tuhan Yang Maha Esa dan membimbing mereka kepada amal dan bentuk pengabdian yang terbaik.

Imam Ali as mengenai pengutusan Nabi Muhammad Saw, berkata, "Allah Swt mengutus Muhammad Saw untuk mengajak manusia meninggalkan penyembahan terhadap berhala dan kemudian menyembah Tuhan."

Max Muller, seorang teolog dan orientalis Jerman meyakini bahwa manusia sejak awal mengesakan Tuhan dan menyembah Tuhan yang sebenarnya dan penyembahan berhala, bulan, bintang dan lain sebagainya merupakan dampak dari penyimpangan selanjutnya.

Al-Quran menjelaskan bahwa sejarah penyembahan berhala terjadi sejak masa Nabi Nuh as, sebab pasca bencana badai di zaman itu semua orang musyrik dan penyembah berhala musnah dan setelah beberapa lama kemudian fitrah untuk menyembah Tuhan kembali diselewengkan oleh sebagian manusia dengan menyembah berhala dan benda-benda lainnya yang tidak ada manfaat bagi mereka, bahkan benda-benda tersebut dibuat oleh mereka sendiri.

Bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa manusia di masa lalu menyembah Tuhan dan bahkan percaya tentang hari kebangkitan. Orang yang meninggal dunia kemudian di kubur bersama barang-barang yang dicintainya karena diharapkan benda-benda itu menjadi bekal di dunia selanjutnya atau memumikan jasad manusia supaya tidak rusak merupakan salah satu bukti yang menunjukkan bahwa manusia di masa itu meyakini adanya kehidupan setelah kematian ini. Meski perbuatan itu salah dan penuh khurafat, namun hal itu menunjukkan kalau manusia di masa lalu meyakini adanya Sang Pencipta dan mengimani-Nya.

Agama-agama samawi menyebutkan bahwa wujud yang mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia serta wajib disembah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia adalah sumber rahmat, keagungan, kekuatan, kesempurnaan dan keindahan yang tidak ada habisnya, di mana beribadah kepada-Nya akan menyambungkan manusia kepada sumber abadi dan tanpa akhir ini. Selain itu, hubungan dengan Tuhan mengantarkan manusia kepada kebebasan sejati dan di dalam hatinya tidak ada ketergantungan kepada selain-Nya.

Agama Islam mengajarkan kepada manusia bahwa penyembahan kepada selain Tuhan Yang Esa tidak akan memuaskan jiwa manusia dan tidak dapat mengantarkannya kepada kesempurnaan spiritual, namun justru menyebabkan terpenjaranya manusia dalam ketergantungan materi. Penghambaan akan terwujud jika terhubung dengan Tuhan Yang Maha Bijaksana dan melalui jalan ini jiwa manusia akan meraih kebebasan dan ketenangan.

Sahlal-Tustari, seorang Sufi besar, mengatakan, "Aku membeli seorang budak dan membawanya ke rumah. Aku bertanya kepadanya, "Namamu siapa?" Budak itu menjawab, "Sebutan apa saja yang engkau panggil kepadaku." Aku berkata, "Apa yang kamu makan?" Sang budak menjawab, "Makanan apa saja yang engkau berikan kepadaku." Kemudian aku bertanya, "Pakaian apa yang kamu pakai?" Budak tersebut menjawab, "Pakaian apa saja yang engkau berikan kepadaku." Lalu aku bertanya lagi, "Apa yang kamu inginkan? Sang budak menjawab bahwa apa yang engkau berikan maka aku terima. Ketika mendengar semua jawaban budaknya itu, Sahl berkata, "Mendengar jawaban budakku, aku menangis dari malam hingga pagi dan memohon ampun serta bermunajat kepada Allah Swt. Kepada diriku aku mengatakan, jika budak ini mengabdikan dirinya sedemikian rupa kepadaku mengapa aku tidak melakukan hal yang sama kepada Tuhanku."

Abu Ali al-Hussein Ibn Abdullah Ibn Sina, seorang dokter dan filsuf besar Iran meyakini bahwa rasa ingin mengabdikan diri kepada Tuhan harus mendorong manusia untuk mengenal Tuhan dan penciptanya terlebih dahulu. Ia mengatakan, "Manusia dalam kehidupannya harus mengenal Tuhan dan setelah mengenal-Nya ia akan memahami bahwa terdapat aturan yang adil dari Tuhan bagi kehidupan manusia. Selain itu, seorang hamba harus beribadah kepada Tuhan-nya dan ibadah itu diulang hingga manusia selalu ingat bahwa dirinya adalah seorang hamba yang mempunyai Tuhan. Ketika peringatan itu telah masuk ke dalam jiwa manusia dan iman terbentuk dalam dirinya maka iman itu akan menghalanginya untuk berbuat dosa."

Al-Quran dengan terang dan indah menjelaskan bahwa rasa penghambaan tidak terbatas pada manusia saja tetapi semua makhluk di dunia ini mengalaminya. Berbagai ayat al-Quran menjelaskan tentang ibadah makhluk selain manusia. Sebagai contohnya, dalam surat al-Isra ayat 44, Allah Swt berfirman,"Bertasbih kepada-Nyalangit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya. Dan tak adasuatu pun di antara semua makhluk melainkan bertasbih seraya memuji kepada-Nya tetapi kalian tidak mengertitasbih mereka(karena hal itu dilakukan bukan memakai bahasa kalian). Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun."

Dengan demikian tidak hanya manusia saja yang memiliki rasa pengabdian tetapi semua makhluk Tuhan di alam semesta ini. Meski demikian, terdapat berbedaan antara ibadah manusia dan ibadah makhluk lainnya. Manusia menyembah Tuhan dengan pengetahuan dan ihtiarnya. Manusia berdasarkan fitrahnya cenderung kepada kesempurnaan sehingga memahami keagungan dan keindahan Sang Pencipta kemudian menyembah-Nya dengan penuh antusias. Sementara makhluk lainnya tidak mempunyai pengetahuan seperti ini.

Amat disayangkan bahwa sebagian manusia tersesat dan menyembah makhluk lainnya bahkan menyembah setan dan menganggapnya sebagai wujud yang suci. Yang jelas rasa pengabdian dan penghambaan kepada Tuhan selalu ada dalam diri manusia dan tidak dapat diingkari. Will Durant, sejarawan terkenal Barat dalam bukunya yang berjudul "Sejarah Peradaban" menulis, tidak beragama adalah kasus langka dan sangat sedikit…agama adalah manifestasi yang mencakup manusia.

Ketika manusia memperhatikan kedalaman jiwanya maka ia akan melihat kebenaran dan mendengar panggilan yang mengajaknya menuju kepada Tuhan yang mempunyai kesempurnaan mutlak. Manusia ketika terhubung dengan Tuhan maka ia akan mendapat kesempurnaan dan cinta sejati.

Segelintir orang yang mengingkari fitrahnya untuk menyembah Tuhan pada dasarnya hanya dapat mengingkarinya secara lisan namun ketika mereka berhadapan dengan masalah besar dan menemui jalan buntu, mereka akan mencari sesuatu yang Maha Kuat dan mampu melindunginya serta membebaskannya dari masalah itu.

Kehidupan manusia berlalu dengan berbagai peristiwa dan fenomena. Akan tetapi, ada sebagian peristiwa yang tidak memudar seiring dengan berlalunya masa, bahkan semakin terang menyinari pemikiran dan pandangan umat manusia. Pada tahun 61 hijriah, sejarah mencatat sebuah peristiwa besar yang meski telah berabad-abad berlalu, namun masih menjadi inspirasi dalam transformasi politik dan sosial sepanjang masa. Kita sedang berbicara tentang kebangkitan epik Imam Husein as di padang Karbala.

Sebuah perjuangan epik yang tidak pernah usang termakan masa, bahkan semakin meluas menembus batas-batas geografi dan menjadi inspirasi untuk semua golongan. Di bulan Muharram ini, kita menyampaikan salam sejahtera kepada Imam Husein as dan para pahlawan Karbala. Salam kepada Imam Husein as yang telah menunjukkan pelajaran hidup yang kekal untuk umat manusia. Salam kepada Imam Husein as dan para sahabatnya yang setia, mereka yang telah mementaskan perjuangan heroik demi Islam.

Imam Husein as memulai gerakannya ketika budaya dan ajaran Islam yang murni sedang terancam penyimpangan. Imam Husein as menyaksikan bagaimana tujuan-tujuan yang diperjuangkan Rasulullah Saw terlupakan secara gradual, serta bagaimana pemerintahan Bani Umayah telah menguasai masyarakat dengan menggunakan uang maupun kekuatan.

Mengingat salah satu tugas dan tanggung jawab pemimpin dalam Islam adalah membimbing, Imam Husein as bangkit melawan penyimpangan untuk mengembalikan umat ke jalan kebenaran. Oleh karena itu beliau mengatakan, "Ketahuilah bahwa mereka (Bani Umayah) selalu bersama setan, meninggalkan perintah Allah Swt dan melakukan kefasadan secara terang-terangan. Mereka telah melanggar batasan Allah dan merampas harta milik masyarakat, mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah dan menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah Swt."

Ucapan Imam Husein as itu menunjukkan bahwa gerakan beliau adalah dalam rangka menghidupkan dan memperkokoh nilai-nilai agama dalam masyarakat. Menyikapi kerancuan dalam masyarakat, Imam Husein as berkata, "Ya Allah! Kau sendiri tahu bahwa apa yang telah kami tunjukkan bukan demi persaingan atau kekuasaan, tidak pula demi duniawi. Melainkan untuk tegaknya agama-Mu, demi mengislah persada bumi-Mu, demi menenteramkan hamba-hamba-Mu yang tertindas sehingga dapat mengamalkan kewajiban dan hukum-hukum agama-Mu."

Ucapan Imam Husein as telah menjelaskan runtuhnya spiritualitas dalam masyarakat Islam di masa itu. Di sisi lain, penimbunan kekayaan oleh para penguasa, perluasan bid'ah, terlupakannya wasiat Rasulullah, dan pengenyampingan Ahlul Bait Nabi as, semua faktor tersebut sedang menyeret masyarakat Islam kembali ke jurang kegelapan era jahiliyah. Pada era pemerintahan Bani Umayah, status kesukuan yang sangat ditentang oleh Rasulullah dihidupkan kembali. Masyarakat dengan cepat sedang membangkitkan budaya-budaya jahiliyah, yang telah dimusnahkan dengan risalah Islam yang disampaikan Rasulullah. Ajaran agama Islam benar-benar sedang terancam.

Sunnah dan agama ditafsirkan dengan penyimpangan, pemalsuan hadis dan berita-berita bohong meluas, bahkan tak jarang masyarakat meragukan nilai-nilai hakiki dalam agama Islam. Bani Umayah menyebarkan hadis-hadis palsu dari Rasulullah Saw dan para sahabat beliau, guna meyakinkan masyarakat bahwa mereka adalah pewaris hak kepemimpinan umat dari Nabi Muhammad Saw. Di sisi lain, kesombongan dan kerakusan Bani Umayah telah menciptakan jurang perekonomian masyarakat yang sangat dalam. Sedemikian rupa sehingga yang tampak dalam masyarakat Islam saat itu adalah makna sejati kekayaan dan kemiskinan. Dengan kata lain, tidak ada kelompok menengah dalam masyarakat. Kondisi tersebut mencapai puncaknya pada era pemerintahan Yazid bin Muawiyah.

Represi politik di era kekuasaan Bani Umayah sedemikian sadis sehingga tidak ada orang yang berani mengemukakan keberatan sedikit pun untuk menuntut haknya. Bahkan banyak tokoh masyarakat dan ulama yang memilih untuk bungkam. Mereka juga mengimbau Imam Husein as untuk berdamai.

Secara lahiriyah semua orang menunaikan shalat, berpuasa, dan melaksanakan haji, akan tetapi mengapa amalan ibadah tersebut tidak berdampak sedikit pun? Mengapa masyarakat tidak menunjukkan reaksi atas perkembangan sosial dan politik di sekitar mereka? Dengan kata lain, mereka telah menjauh dari hakikat agama. Kebodohan dan ketidakawasan masyarakat terhadap perkembangan politik-sosial, telah menyulitkan mereka untuk membedakan antara kebatilan dan kebenaran.

Di sisi lain, materialisme telah membutakan mata masyarakat sampai Imam Husein as mengatakan, "Kalian memperhatikan bagaimana janji-janji ilahi terlanggar, akan tetapi kalian tidak mengatakan sesuatu dan tidak pula merasa takut, sementara kalian mengeluh ketika terjadi pelanggaran terhadap perjanjian ayah-ayah kalian, akan tetapi kalian tidak peduli atas pelanggaran terhadap perjanjian Rasulullah Saw.")Tahiful Uqul halaman 237)

Lalu dalam kondisi sedemikian parah ini, apa yang dapat menyelamatkan agama dari cengkeraman kaum mufsidin? Imam Husein as menyaksikan kondisi tersebut beliau berpendapat bahwa harus dilakukan penyelamatan menyeluruh baik dari sisi spiritualitas, ideologi, politik maupun sosial masyarakat Islam. Sebuah gerakan berdimensi budaya dan kemasyarakatan saja tidak akan mampu menyelesaikan masalah yang sudah sedemikian kronis. Maka untuk masalah ini diperlukan langkah menyeluruh. Pertama adalah tidak mengakui pemerintahan Yazid (Bani Umayah) dan kedua adalah menebus aksi perlawanan tersebut.

Melalui kebangkitannya, Imam Husein as mengecam pemerintahan zalim dan menunjukkan sistem pemerintahan ilahi yang dipegang oleh seorang imam yang adil dan saleh. Beliau menjelaskan hukum Islam dan menukil hadis Rasulullah Saw, "Barang siapa yang melihat seorang penguasa zalim yang mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah Swt, dan dia diam tidak menunjukkan reaksi, maka Allah berhak menempatkan orang itu di posisi penguasa lalim (neraka)." (Tahiful Uqul halaman 505)

Imam Husein as menyadari fakta ini bahwa para penguasa zalim dan fasid mengklaim diri sebagai pihak yang paling berhak untuk memimpin umat dan berkuasa. Mereka berusaha menghidupkan kembali era jahiliyah jilid baru dengan sampul yang berbeda. Mereka mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah Swt dan begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu Imam Husein as dalam mengungkap tujuan mereka, beliau mengatakan: "Aku keluar untuk mengislah umat kakekku, aku ingin menegakkan amar makruf dan nahyu munkar dan bersikap sesuai sirah dan sunnah Rasulullah Saw."

Ketika Imam Husein as menegaskan bahwa filsafat gerakan beliau adalah islah umat dan dalam rangka menghidupkan kembali sirah dan sunnah Rasulullah Saw. Artinya, pesan Imam Husein as kepada masyarakat adalah "kalian telah menjauh dari sunnah Nabi Saw." Imam Husein mengetahui dengan baik bahwa penyimpangan tersebut mengancam pondasi Islam dan jika berlanjut, maka betapa banyak maarif Islam yang akan tersingkirkan dan pada akhirnya Islam hanya akan menjadi sampul.

Ketika orang seperti Yazid bin Muawiyah telah menunjukkan penentangannya terhadap agama di depan publik dengan memanfaatkan posisinya sebagai khalifah, maka tidak ada ruang lagi bagi Imam Husein untuk membiarkan hal ini berlanjut. Karena proses tersebut pada akhirnya akan menghanguskan seluruh jerih payah dan perjuangan Rasulullah Saw dalam menyampaikan risalah Islam.

Gerakan Imam Husein as pada hakikatnya adalah sebuah peringatan. Peringatan yang berlaku di setiap era dalam sejarah, bahwa setiap perjuangan umat Islam terinspirasi dari heroisme epik Imam Husein as dalam menunjukkan hakikat agama samawi ini. Oleh karena itu, dalam banyak analisa tentang kebangkitan Imam Husein as di padang Karbala disebutkan bahwa beliau telah menghidupkan kembali Islam.

Selasa, 20 November 2012 14:23

Revolusi Asyura dan Peran Perempuan

Asyura merupakan peristiwa agung yang terjadi pada tahun 61 Hijriyah atau 680 M di Padang Karbala, Irak. Tragedi itu menjadi epik paling mengharukan, sekaligus kejadian paling abadi dalam lembaran sejarah Islam. Hingga kini, Asyura memiliki dimensi individu maupun sosial yang layak untuk dikaji dari berbagai sisi. Peristiwa Asyura juga menjadi sumber inspirasi dari gerakan revolusi besar dalam sejarah Islam. Peran Asyura bagi kehidupan umat Islam tidak diragukan lagi banyak berutang budi kepada Imam Husein as dan pengikutnya yang menumpahkan darah mereka demi membela agama.

Ketika rencana keberangkatan Imam Husein as sampai ke telinga para wanita Bani Hasyim, mereka langsung menggelar sebuah pertemuan untuk mempelajari bentuk kontribusi yang bisa diberikan kepada sang pemimpin. Para wanita Bani Hasyim mengetahui bahwa Imam Husein as tidak akan kembali lagi ke kota Madinah dan mereka ingin meluapkan perasaannya dengan tangisan dan jeritan. Imam Husein as datang menemui mereka dan berkata, "Demi Allah, jangan kalian sebarkan berita ini karena akan melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya."

Mendengar itu, para wanita Bani Hasyim menjawab, "Bagaimana kami tidak menangis, hari ini sama seperti hari kepergian Rasulullah, hari kesyahidan Ali dan Fathimah, dan juga seperti hari kematian Ruqayyah, Zainab, dan Ummu Kultsum, putri-putri Nabi. Wahai Husein, demi Allah, jadikan kami sebagai tebusan jiwamu dan jauhkan dirimu dari kematian, wahai kekasih orang-orang baik yang telah hilang dari kami."

Ucapan Husein as tidak membuat para wanita Bani Hasyim merasa tenang, mereka lalu pergi ke hadapan Ummu Hani dan berkata, "Wahai Ummu Hani, engkau masih duduk di sini, sementara Husein dan keluarganya akan pergi?" Ummu Hani berbegas mendekati Imam. Menyaksikan itu, Imam Husein as berkata, "Wahai bibiku, mengapa engkau terlihat begitu gelisah?" Ummu Hani menjawab, "Bagaimana aku tidak gelisah saat mendengar pemelihara anak-anak yatim dan terlantar akan pergi dari hadapanku?"

Pada saat itu, Ummu Hani dalam keadaan menangis menyebutkan keutamaan-keutamaan Imam as, "Husein memiliki wajah bercahaya dan warga meminta hujan dari langit dengan berkat parasnya. Dia adalah pelipur lara anak-anak yatim dan pengayom mereka yang terlantar. Dia berasal dari keluarga Bani Hasyim dan mengorbankan dirinya untuk orang lain. Kaum lemah memperoleh nikmat dan keutamaan darinya, dia adalah pribadi yang dicintai oleh Rasulullah."

Setelah mendengar itu, Imam Husein berkata, "Wahai bibiku, engkau tidak perlu khawatir karena apa yang sudah ditetapkan pasti akan terjadi. Musuh tidak akan menang menghadapi putra dari seorang pahlawan di medan perang." Akhirnya, para wanita Bani Hasyim menyertai Imam Husein as karena mereka mengetahui bahwa Islam dan umat hanya bisa diselamatkan dengan pengorbanan beliau.

Sejarah Islam senantiasa mencatat partisipasi kaum perempuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Mereka memiliki peran besar untuk kemajuan masyarakat Islam sepanjang sejarah. Revolusi Karbala merupakan sebuah peristiwa penting dan eksklusif dalam sejarah Islam. Kebangkitan itu merupakan hasil dari perjuangan dan perlawanan kolektif antara kaum perempuan dan laki-laki pecinta Tuhan. Dengan kata lain, jika Islam dihidupkan kembali dengan kebangkitan Imam Husein, maka saham besar revolusi itu ada di tangan perempuan dan ini jarang ditemui dalam sejarah.

Laki-laki yang telah mengukir kisah heroik di Padang Karbala rata-rata adalah pribadi yang dibesarkan di pangkuan perempuan-perempuan berani, beriman, dan bertakwa. Mereka mempersembahkan para ksatria kepada masyarakat Islam. Partisipasi kaum pria di peristiwa agung itu harus dilihat sebagai bagian dari pengorbanan dan kearifan kaum perempuan. Kesabaran dan ketangguhan perempuan di kafilah Imam Husein termasuk di antara peran efektif mereka dalam mengobarkan api perjuangan dan melestarikan nilai-nilai Asyura. Peran itu sudah dimulai sebelum peristiwa Asyura dengan mendorong suami dan putra-putra mereka untuk bergabung dengan kafilah Imam Husein. Setelah itu, mereka juga melanjutkan perannya dengan menyebarkan pesan-pesan Asyura ke seluruh penjuru negeri Islam.

Perempuan-perempuan Karbala membuktikan bahwa tugas sosial tidak hanya milik kaum laki-laki. Setiap kali ada seruan untuk membela agama dan menegakkan kebenaran, maka setiap individu berkewajiban untuk memainkan perannya. Namun demikian, Islam tidak mewajibkan perempuan untuk hadir di medan tempur dan jihad. Di Padang Karbala, Imam Husein as bahkan melarang perempuan untuk terlibat di medan perang. Oleh karena itu, perempuan tidak ikut berperang di hari Asyura. Hanya dua perempuan yang memaksa pergi ke garis depan dan Imam Husein as mengembalikan mereka ke kemah. Peran utama kaum perempuan di Karbala adalah menyampaikan pesan kebangkitan itu kepada dunia.

Secara umum, peran perempuan dalam kebangkitan Karbala dapat dikaji dalam tiga bagian; partisipasi mereka sebelum hari Asyura, peran mereka pada hari Asyura, dan peran mereka sebagai pembawa pesan-pesan kebangkitan Imam Husein as kepada masyarakat. Istri Zuhair bin al-Qain, termasuk di antara perempuan yang mendorong suaminya untuk bergabung dengan kafilah Imam Husein as. Saat Imam Husein as meninggalkan Madinah, Zuhair bin al-Qain tak berpikir untuk menyertainya dan tidak pula tertarik ikut dalam rombongan cucu Nabi itu. Tapi di dalam hatinya ada sesuatu yang sangat mengganggu.

Ia terus memikirkan apa yang bakal dialami Imam Husein as setelah meninggalkan Madinah. Kegelisahan seakan tak mau melepaskan dirinya. Untuk itulah, ia memilih untuk membawa serta keluarga dan rombongannya meninggalkan Madinah. Setiap kali rombongan Imam berhenti di satu tempat, ia juga menghentikan langkah dan mendirikan kemah agak jauh dari posisi Imam Husein as. Ketika Imam dan rombongannya bergerak melanjutkan perjalanan, Zuhair pun melangkah mengikuti dari kejauhan. Mentari sudah sampai di ketinggian. Rombongan Imam berhenti. Zuhair sudah tiba terlebih dahulu di tempat itu. Kemah pun sudah ia dirikan. Imam bertanya kepada sahabat-sahabatnya, kemah siapakah itu? Mereka menjawab, kemah itu milik Zuhair bin al-Qain.

Imam Husein as lalu berkata, "Siapakah di antara kalian yang siap menyampaikan pesanku untuknya?" Salah seorang sahabat Imam menyatakan kesiapannya untuk melaksanakan tugas itu. Kepadanya Imam berkata, "Semoga Allah mengganjarmu dengan kebaikan. Sampaikan salamku kepada Zuhair dan katakan kepadanya, putra Fathimah memintanya untuk bergabung."

Menerima pesan itu, hati Zuhair terguncang. Ia harus segera mengakhiri keragu-raguan yang selama ini menghantuinya. Hanya ada dua pilihan, tetap hidup atau mengikuti Imam Husein. Zuhair tenggelam dalam pikiran. Mendadak, ia dikejutkan oleh suara istrinya yang menyuruhnya untuk memenuhi panggilan putra Fathimah. "Zuhair! Pergi dan temuilah Husein. Dengarkanlah apa yang hendak ia katakan. Jika kau tak puas dengan kata-katanya kembalilah," kata sang istri.

Kata-kata itu bagai petir yang menyambar hati Zuhair. Ia bangkit dan segera meninggalkan kemahnya untuk menemui Imam Husein as. Zuhair belum tiba di kemah cucu Nabi itu, ketika Husein sudah menantinya di luar. Saat keduanya bertemu, Imam Husein as memeluknya dengan erat seakan bertemu lagi dengan kawan dekat yang sekian lama tak dijumpainya. Tatap mata Husein menghangatkan wujud dan jiwa Zuhair. Kini ia telah memutuskan dan yakin dengan keputusannya untuk menyertai Husein, putra Fathimah

Zuhair kembali ke kemah dan menemui istrinya. Dia berkata, "Aku akan menyertai Husein. Aku merasakan cinta yang menyelimuti seluruh wujudku. Kau adalah istri yang selama ini selalu setia kepadaku. Aku memuji kesabaranmu. Tapi kini aku harus pergi dalam sebuah perjalanan yang penuh bahaya. Kupersilahkan kau untuk meninggalkanku." Sang istri terkejut mendengar penuturan suaminya dan menjawab, "Akulah yang menyuruhmu untuk menemui Husein dan mengikutinya. Sekarang, ketika kau memutuskan untuk memenuhi panggilan putra Fathimah, aku pun akan menyertaimu." Akhirnya Zuhair dan istrinya bergabung dengan rombongan Imam Husein as.

Karbala meskipun sebuah padang tandus dan tak bertuan, namun kisah heroik terlukis dengan darah suci di bumi itu. Di sanalah terpahat seluruh nilai-nilai luhur agama mulai dari akhlak, keimanan, dan kepemimpinan hingga shalat, amar makruf dan nahi munkar, kesabaran, cinta dan pengorbanan. Para pahlawan Asyura meski jumlah mereka sedikit, tapi mereka adalah paduan dari berbagai lapisan mulai dari bayi yang masih menyusui, anak-anak, remaja, pemuda, orang tua hingga pasangan suami istri. Mereka semua datang untuk membela kebenaran dan menegakkan ajaran agama di bawah kepemimpinan cucu baginda Nabi Saw, Imam Husein as.

Di tengah berbagai dimensi luas peristiwa Asyura, Sang Pencipta memberi ruang khusus kepada perempuan sehingga mereka bisa menampilkan seluruh potensinya dalam memikul tanggung jawab besar dengan cara terbaik dan mengajarkan orang lain bagaimana membela kebenaran. Di Padang Karbala, perempuan – meski harus kehilangan orang-orang yang mereka cintai – memainkan berbagai peran sebagai istri, ibu, dan kakak dengan bentuk terbaik. Mereka ingin kaum perempuan generasi mendatang mampu menolak perlakuan tidak adil melalui gerakan spiritualitas, resistensi, dan pengorbanan di berbagai bidang serta mempersembahkan ide-ide baru kepada dunia.

Para srikandi Karbala membuktikan kepada dunia bahwa mereka bertindak dengan penuh wawasan, pengetahuan, dan emosional. Hal ini berbeda dengan apa yang dituduhkan oleh para pembela hak-hak kaum perempuan, sebuah makhluk yang tidak realistis dan menutup diri dari problema sosial dan politik. Peristiwa Asyura merupakan sebuah kisah seorang srikandi yang selain tidak membutuhkan pengayom dan pelindung, tapi dia sendiri tampil sebagai pengayom dan penolong terbaik bagi para sahabat Imam Husein as. Mental seperti ini muncul dari iman, kearifan dan rasa tanggung jawab mereka.

Di Sahara Nainawa dalam pertempuran antara hak dan batil, kaum perempuan tampil untuk membela keluarga Nabi Saw dan melukiskan kisah heroik yang dikenang sepanjang masa. Beberapa ibu yang hadir di Karbala, dengan penuh cinta memakaikan pakaian perang kepada putra-putra mereka, lalu menyaksikan bagaimana putra mereka bertarung membela agama Allah Swt. Saat musuh melempar kepala-kelapa putra mereka yang telah dipenggal, ibu-ibu tersebut datang menyambut dan mengusap wajah anaknya yang bersimbah darah. Mereka menegaskan apa yang telah dikorbankan di jalan Allah Swt, tidak akan diambil kembali. Ucapan mereka membuat musuh takjub sekaligus ketakutan. Di antara perempuan yang gagah berani itu, ada tiga orang yang termasuk istri-istri sahabat Nabi Saw.

Amr bin Junadah al-Anshari, seorang pemuda dan gagah berani. Tak lama setelah ia melepas kepergian ayahnya, Junadah bin Kaab al-Anshari di Karbala, ia berniat menghibur dan menenangkan hati ibunya. Namun ibunya berkata, "Wahai putraku, bangkitlah dari sisiku dan pergi ke medan perang, berjihadlah melawan musuh-musuh putra Nabi dan bantulah Husein." Amr bangkit dan ingin bergegas ke medan tempur. Menyaksikan itu, Imam Husein as berkata, "Ayahnya baru saja gugur syahid. Kepergian pemuda itu mungkin akan membuat ibunya terpukul. Suruh dia kembali ke kemah."

Amr bin Junadah menjawab, "Ibukulah yang memerintahkan aku untuk bertempur bahkan dia sendiri yang memakaikan pakaian perang ini padaku. Kini, izinkanlah aku untuk mempersembahkan pengorbanan demimu, wahai putra Rasul." Amr maju bagai seorang kesatria. Sambil menari-narikan pedangnya, dia bersenandung, "Tuanku adalah Husein, sungguh dialah sebaik-baik pemimpin, Husein buah hati Rasul, dialah putra Ali dan Fathimah, Adakah seorang pemimpin yang seperti dia? Dengan wajah bagai mentari dan dahi bagai purnama?"

Tak lama, Amr roboh bersimbah darah setelah menunjukkan kesetiaannya kepada putra Fathimah as. Pasukan Kufah yang kesetanan memenggal kepala pemuda belia itu dan melemparkannya ke perkemahan Imam Husein as. Ibu Amr bin Junadah maju memungut dan mendekap kepala anaknya seraya berkata, "Selamat untukmu wahai buah hatiku." Tanpa diduga, sang ibu melemparkan kepala itu ke arah musuh dan berteriak, "Apa yang telah kupersembahkan di jalan Allah, tidak akan kuambil kembali." Wanita itupun maju ke medan tempur dengan bersenjatakan sebatang kayu sambil berkata, "Memang aku wanita tua yang lemah. Kekuatan dan kepintaranku telah lenyap sedang tubuhku juga semakin layu. Aku bersumpah untuk memukul kalian sekuat tenaga demi membela anak-anak Fathimah." Imam Husein mengembalikan Ibu Amr bin Junadah ke kemah. Sebab beliau tidak mengizinkan seorang wanita pun terjun ke medan tempur.

Musuh yang berjumlah ribuan orang mulai mempersempit gerakan pasukan Imam Husein as yang hanya 72 orang. Satu-satu sahabat Imam gugur syahid di medan tempur dan dari dalam barisan pasukan Imam Husein as, Abdullah bin Umair al-Kalbi yang dikenal pemberani, dan jawara di medan laga serta memiliki postur tubuh yang tinggi dan tegap datang menghadap Imam dan meminta izin untuk berduel. Imam mengizinkan dan berkata, "Dia adalah prajurit yang mahir di medan laga."

Setelah sekian lama bertarung di medan laga, Abdullah kembali ke kemah Imam Husein as. Kedatangan Abdullah disambut oleh istrinya yang lantas mendorongnya untuk kembali ke medan perang. Istrinya berkata, "Abdullah, kembalilah ke medan dan korbankanlah dirimu untuk manusia suci dan anak Rasul ini. Demi Allah tak akan kubiarkan engkau gugur sendirian. Aku akan bersamamu menyongsong syahadah."

Kepada Imam Husein as, Abdullah berkata, "Ya Abu Abdillah, perintahkanlah istriku supaya kembali ke kemah." Imam memerintahkan istri Abdullah untuk kembali dan mengatakan, "Allah membalas jasa baik kalian yang telah membela keluarga Nabi-Nya. Ummu Wahb, kembalilah ke kemah, sebab Allah tidak memerintahkan wanita untuk berperang."

Syimr bin Dzil Jausyan dan beberapa orang prajurit Kufah menyerang perkemahan Imam Husein as. Abdullah bin Umair al-Kalbi datang menghadang laju mereka. Dengan semangat tinggi dan jiwa kepahlawanan, sahabat Imam Husein as itu menari-narikan pedangnya. Beberapa orang roboh terkena sabetan pedang Abdullah yang menyambar-nyambar bagai petir. Namun tak lama kemudian, pedang Hani Shabiy al-Hadhrami berhasil memisahkan tangan kanan Abdullah dari badannya. Ketangkasan Ibnu Umair mulai mengendur. Mendadak sebuah sabetan pedang merobohkan sahabat Imam Husein itu. Abdullah gugur sebagai syahid.

Dengan tergopoh-gopoh, istri Abdullah datang dan memangku tubuh tak bernyawa itu sambil membersihkan darah yang membasahi wajahnya. Kepada suaminya, sang istri berkata, "Berbahagialah, karena engkau kini telah terbang ke surga sana. Aku berharap Tuhan juga memberiku tempat di surga bersamamu." Adegan itu disaksikan oleh Syimr. Dia segera memanggil budaknya dan memerintahkannya untuk menghabisi Ummu Wahb, istri Abdullah. Sang budak yang berhati batu itu melaksanakan perintah tuannya. Tanah Karbala kembali dibasahi oleh darah manusia suci, pembela keluarga Nabi. Pembantaian itu sekaligus menobatkan Ummu Wahb sebagai wanita pertama yang syahid dalam tragedi Karbala.

Spirit perjuangan dan pengorbanan perempuan di Padang Karbala merupakan pelajaran-pelajaran penting Asyura. Mereka mengetahui bahwa Imam Husein as adalah manifestasi dari kebenaran dan keadilan, sementara Yazid bin Muawiyah adalah simbol kebatilan. Kebatilan mungkin saja memiliki kekuatan dan memberangus para pengikut kebenaran, namun cita-cita para penegak dan pencari kebenaran tidak akan pernah padam. Kebenaran akan selalu hidup dan menang sepanjang sejarah. Srikandi-srikandi Karbala bangga bisa hadir membela Imam Husein as dan mempersembahkan pengorbanan tak berarti demi tegaknya kebenaran dan agama Allah Swt.

Asyura merupakan pancaran mata air yang akan terus mengalir menyirami setiap generasi umat manusia. Dalam revolusi agung ini, peran kaum perempuan yang dibarengi dengan pemahaman dan rasa tanggung jawab termasuk faktor-faktor penting keabadian peristiwa Asyura. Pemahaman agama yang baik dan kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi as termasuk di antara karakteristik perempuan-perempuan Padang Karbala. Mereka telah menafsirkan ungkapan-ungkapan cinta, pengorbanan, kesabaran, dan perlawanan dalam membela dan melindungi cucu baginda Rasul Saw, Imam Husein as.

Mereka adalah wanita-wanita pengukir sejarah, meskipun jiwa mereka dipenuhi oleh cinta dan kasih sayang kepada anak-anak dan suami, tapi mereka mampu mengalahkan perasaannya demi membela agama dan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kekasih Allah Swt. Menurut para skrikandi Karbala, tugas seorang Muslim adalah kearifan dalam beragama, pengenalan mendalam tentang Ahlul Bait as, dan cinta kepada mereka. Dalam surat ash-Shura ayat 23, Allah Swt berfirman, "Katakanlah, Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kecintaan dalam kekeluargaan."

Salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh para sahabat dan pembela Imam Husein as adalah makrifat dan spiritualitas yang menyatu dalam jiwa mereka. Mereka menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan kemanusiaan, fenomena yang jarang ada padanannya dalam sejarah. Pada malam kesepuluh bulan Muharram, Imam Husein as mengumpulkan semua anggota kafilah dan memberi mereka pilihan untuk pergi atau tetap tinggal bersama beliau. Imam berkata, "Wahai para sahabatku! Siapa saja yang tetap tinggal bersamaku dan berperang melawan musuh, maka ia akan terbunuh... Kalian bebas untuk mengambil keputusan. Kalian bisa pergi dan tidak ada seorang pun yang menahan kalian..." Air mata nampak membasahi wajah-wajah penuh kerinduan itu di tengah malam yang membisu.

Namun, para wanita yang hadir di Karbala meminta suami dan putra-putra mereka untuk selalu bersama Imam Husein as dan keluarganya. Ketika istri Junadah bin Kaab Al-ansari menyaksikan jumlah pasukan musuh, ia berkata, "Meski aku sudah tua dan lemah, tapi dengan pukulan keras, aku akan menghancurkan kalian dan membela putra Fathimah."

Peristiwa Asyura merupakan sebuah peristiwa penting, dimana perempuan dan laki-laki sama-sama melakoni peran masing-masing dengan sempurna. Muslim patut berbangga diri karena Islam telah memberikan hak-hak kemanusiaan perempuan berdasarkan fitrah dan watak mereka, jauh sebelum munculnya mazhab-mazhab baru yang mendewakan hak asasi manusia. Dalam sejarah Islam, kita menemukan wanita-wanita dimana Rasul Saw telah berupaya maksimal untuk meningkatkan pengetahuan dan budaya mereka. Rasulullah Saw mendatangkan pengajar ke rumahnya dan kadang juga membawa beberapa wanita bersama putrinya untuk mengobati tentara Islam yang terluka di medan perang.

Parapengganti beliau juga berupaya maksimal untuk pendidikan dan pengajaran kaum perempuan. Kerja keras mereka telah melahirkan para wanita yang rela berkorban dan menjadi teladan di tengah masyarakat. Hasil dari jihad pendidikan itu dapat ditemukan di tengah wanita-wanita Padang Karbala. Beberapa wanita yang hadir di Karbala adalah putri Imam Ali bin Abi Thalib as seperti, Sayidah Zainab as, Ummu Kultsum, Fathimah, dan Safiyyah. Selain itu, putri-putri Imam Husein as yaitu, Fathimah, Sukainah, dan Ruqayyah, serta Rubab, istri Imam dan Atikah, istri Imam Hasan as juga hadir di sana.

Sayidah Zainab adalah putri tertua Imam Ali as dan Sayidah Fathimah as. Saat pertama kali Rasul Saw menggendong dan mencium Zainab, beliau berkata "Aku mewasiatkan kepada kalian semua agar memuliakan anak perempuan ini, karena ia sama seperti Sayidah Khadijah as." Sejarah menjadi bukti bahwa Sayidah Zainab as sama seperti Sayidah Khadijah yang menanggung banyak kesulitan demi memperjuangkan Islam. Dengan kesabaran dan pengorbanannya, ia mempersiapkan sarana demi pertumbuhan dan kesempurnaan agama ini. Sayidah Zainab as mengikuti perjalanan bersejarah Imam Husein as dari kota Madinah hingga Karbala dan bangkit menghadapi Yazid bin Muawiyah, penguasa zalim dan korup.

Pada malam Asyura setelah semua yakin bahwa perang melawan kebatilan akan pecah dan para sahabat Imam as satu demi satu menyatakan kesetiaan mereka, Sayidah Zainab as merasa lega dan menemui kakaknya sambil tersenyum. Imam Husein as berkata, "Hai saudariku! Sejak kita bergerak dari Madinah, aku sama sekali tidak melihat engkau tersenyum. Sekarang ada gerangan apa hingga engkau tampak gembira?" Sayidah Zainab as hanya menyinggung kesetiaan dan ketulusan para sahabat abangnya itu. Kemudian Imam as kembali berkata, "Wahai Saudariku! Ketahuilah bahwa orang-orang yang ada di sisiku, mereka adalah para sahabat dan pembela setiaku. Kakekku, Rasulullah telah memberi kabar kepadaku tentang kesetiaan dan kecintaan mereka."

Selain menyaksikan saudara-saudaranya gugur syahdi dalam membela Islam, Sayidah Zainab juga mengirim putra-putranya untuk membela Imam Husein as di medan perang. Pada hari Asyura, Sayidah Zainab as memakaikan pakaian baru kepada anak-anaknya, ‘Aun dan Muhammad. Beliau kemudian membersihkan tubuh anak-anaknya dari debu dan kotoran, lalu memberikan sepasang pedang kepada keduanya yang menunjukkan mereka siap untuk jihad. Kemudian beliau membawa keduanya ke hadapan Imam Husein as dan meminta izin agar Imam membolehkan keduanya pergi ke medan perang. Tapi Imam Husein as tidak mengizinkan keduanya pergi ke medan perang. Sayidah Zainab as memaksa beliau agar mengizinkan keduanya. Akhirnya, Imam Husein as mengizinkan mereka pergi ke medan tempur.

Kedua anak Sayidah Zainab as melangkah dengan tegar menuju medan tempur dan setelah bertarung dengan gagah berani, keduanya akhirnya gugur syahid. Imam Husein as mendekati jasad dua remaja itu dan memeluknya lalu menggendong keduanya ke perkemahan. Para perempuan yang ada keluar menyambut jasad anak-anak Sayidah Zainab as. Biasanya, setiap kali ada yang syahid dan dibawa kembali ke tenda, maka Sayidah Zainab as adalah yang pertama menjemputnya. Namun, kali ini beliau tidak terlihat menyongsong jasad kedua anaknya. Beliau tidak keluar dari kemahnya. Sayidah Zainab as tidak keluar khawatir air matanya menetes menyaksikan jasad dua anaknya dan tidak dapat menahan diri. Sayidah Zainab as tidak ingin pahala kedua anaknya berkurang dan di sisi lain, beliau juga tidak ingin Imam Husein as melihatnya dalam kondisi sedih dan merasa malu atau tidak dapat menjawab pandangan matanya. Itulah mengapa Sayidah Zainab as memilih untuk tetap tinggal di dalam kemahnya.

Pertempuran tak seimbang pecah pada sore hari Asyura. Mentari kesucian telah tercabik-cabik di antara jasad-jasad para syuhada Karbala. Luka besar semakin menyesakkan Zainab, namun ia tahu bahwa setelah kepergian Husein, ia harus berada di samping Imam Sajjad as dan memimpin kafilah Karbala. Sekarang, Zainab memikul tugas yang jauh lebih besar yaitu menjadi penyambung lisan Imam Husein as dan penyampai nilai-nilai suci yang diperjuangkan oleh para syuhada. Sayidah Zainab as di puncak kesulitan dan penderitaan setelah syahadah saudara dan orang-orang tercintanya masih tetap tegar dan derajat kesabaran, keberanian, dan tawakkalnya kepada Allah Swt didemonstrasikan dengan indah.

Di hadapan para pemimpin zalim dan haus darah Dinasti Umayyah, Sayidah Zainab as berdiri dan tanpa takut mengecam sikap mereka serta membela kebenaran Ahlul Bait Nabi Muhammad Saw. Beliau menilai Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya sebagai pemenang. Pidatonya yang lugas, fasih dan mematikan di istana Yazid begitu mempengaruhi hadirin yang membuat mereka kembali mengenang ayahnya Imam Ali as.

Sayidah Zainab as pernah mendengar dari ayahnya Imam Ali as bahwa "Manusia tidak akan pernah mampu mengenal hakikat iman tanpa memiliki tiga hal dalam dirinya; pengetahuan akan agama, kesabaran di tengah kesulitan dan pengelolaan yang baik urusan kehidupannya." Wanita mulia ini menerima tanggung jawab berat dan sulit, namun kesabarannya seperti permata yang menghiasi jiwanya.

Selasa, 20 November 2012 14:17

Allamah Thabathabai

Tidak ada seorangpun di dunia yang selalu hidup nyaman tanpa pernah menghadapi masalah dan kesulitan. Orang bijak mengatakan, jika dalam kehidupan engkau hanya meniru gaya hidup orang lain dan mengikuti apa yang dilakukan kebanyakan orang, maka tak akan ada sisi kehidupannya yang bisa dibanggakan. Sebagian pakar pendidikan meyakini bahwa setiap manusia punya karakter, bakat dan potensi khas dirinya yang harus ia aktualisasikan. Jarang ada orang yang mampu mengaktualisasikan potensi dan bakat alamiahnya dengan baik. Salah satu yang berhasil dalam hal ini adalah Allamah Sayid Mohammad Hossein Thabathabai. Beliau adalah ulama besar yang mampu melahirkan perubahan fundamental pada dunia pemikiran. Tak syak, Allamah layak masuk ke dalam jajaran ilmuan dan ulama Islam yang paling menonjol di dunia modern.

Allamah Sayid Mohammad Hossein Thabathabai adalah mufassir besar, filosof teras atas dan sufi yang arif. Beliau getol memarakkan dunia pemikiran filsafat dan irfan serta aktif dalam mengajar tafsir al-Quran. Selain menulis banyak buku, beliau juga mendidik murid-murid yang di kemudian hari menjadi tokoh dan ilmuan besar Islam seperti Ayatullah Murtadha Muthahhari yang membentengi Islam dari serangan pemikiran-pemikiran asing dan ateis.

Meski sudah banyak buku dan makalah yang ditulis untuk mengenalkan sosok ulama besar ini, namun belum ada yang bisa mengungkap kepribadian agung yang namanya akan selalu abadi di dunia pemikiran dan tafsir al-Quran ini.

Allamah Thabathabai terlahir dengan nama Mohammad Hossein di keluarga yang taat di kota Tabriz, barat laut Iran pada penghujung bulan Dzulhijjah tahun 1321 Hijriah bertepatan dengan tahun 1904 Masehi. Di Tabriz, keluarga Thabathabai dikenal sebagai keluarga terpandang dari keturunan Nabi Saw. Beliau adalah keturunan Sirajuddin Abdul Wahhab yang dikenal karena perannya yang berhasil menghentikan peperangan besar antara Iran dan pemerintahan Ottoman pada tahun 920 Hijriah.

Sejak usia lima tahun Sayid Mohammad Hossein Thabathabai sudah kehilangan kasih sayang ibundanya yang wafat meninggalkannya untuk selama-lamanya. Derita itu lengkap saat berusia sembilan tahun dengan wafatnya ayah beliau. Sejak itulah, Sayid Mohammad Hossein hanya hidup bersama adik lak-lakinya. Namun demikian, Allah Swt tak pernah membiarkan hamba-Nya hidup tanpa pengawasan. Perlindungan dan inayah Allah ibarat atap yang selalu menaungi hidupnya.

Mengenai masa-masa sulit itu, Allamah bercerita, "Sejak kanak-kanak, aku sudah merasakan derita menjadi anak yatim. Tapi Allah Swt berkenan memberikan anugerah-Nya kepada kami. Dia telah memudahkan urusan ekonomi untuk kami. Pengemban wasiat ayahku menjalankan wasiat beliau, mengasuh aku dan adikku dan memperlakukan kami dengan perlakuan akhlak Islam."

Allamah Thabathabai mengawali jenjang pendidikannya dengan belajar al-Quran, bahasa Persia dan pelajaran-pelajaran yang umumnya didapatkan anak-anak seusianya. Periode itu berlangsung selama enam tahun sebelum melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Mengenai jenjang pendidikan ini, beliau bercerita:

"Pada mulanya ketika masih belajar ilmu Sharaf, aku tidak bernafsu untuk melanjutkan sekolah. Karena itu semua yang diajarkan di kelas tidak bisa aku cerna dengan baik. Empat tahun berlalu begitu saja. Tapi Allah Swt menurunkan inayah-Nya kepadaku dan mengubah diri ini sehingga aku berubah menjadi orang yang tidak bisa lepas dari belajar dan selalu haus untuk memperoleh kesempurnaan. Sejak saat itu sampai proses pendidikanku berakhir yang kurang lebih berlangsung selama 17 tahun aku tak pernah merasa letih dan jenuh dari belajar, menelaah dan berpikir…

Kutinggalkan semua persahabatan dengan orang-orang yang bukan ahli ilmu. Akupun merasa cukup dengan makan, tidur dan kehidupan ala kadarnya, dan sisa waktu kugunakan untuk belajar. Sering aku lewatkan malam sampai pagi dengan belajar dan membaca, khususnya di musim panas. Setiap hari, pelajaran besok pagi sudah aku pelajari malam sebelumnya sehingga saat berada di kelas, aku sudah menguasai pelajaran yang disampaikan guru. Aku selalu berusaha memecahkan masalah pelajaran dengan cara apapun. Karena itu, di kelas, tak ada pertanyaan yang aku sampaikan kepada guru berkenaan dengan pelajaran."

Dengan keuletan dan ketekunan yang tiada tara, Sayid Mohammad Hossein Thabathabai mempelajari fiqih, ushul, filsafat dan ilmu kalam dengan berguru kepada para ulama di kota kelahirannya. Selain mengasah otak dengan tekun belajar, beliau juga berhasil menguasai seni tulis dan kaligrafi. Tahun 1925, Sayid Mohammad Hossein yang baru berusia 21 tahun sudah menguasai berbagai ilmu keislaman.

Melihat kecerdasan dan ketekunannya, Sayid Mohammad Hossein dianjurkan oleh guru-gurunya untuk melanjutkan pendidikan di kota Najaf. Di kota itu dia bisa berguru kepada para ulama besar di hauzah ilmiah Najaf. Di Najaf, beliau bertemu dengan sufi dan arif besar Ayatullah Sayid Ali Qadhi Thabathabai. Melihat pemuda yang haus ilmu itu, sang alim menasehatinya, untuk menyertakan tahdzibun nafs atau penyucian jiwa dalam proses belajar. Nasehat dan bimbingan ruhani Ayatullah Qadhi sangat membekas pada diri dan jiwa Sayid Mohammad Hossein. Di situlah, pemuda yang kelak menjadi ulama besar ini mulai meniti jalan suluk dan irfan.

Allamah Thabathabai berada di Najaf selama sebelas tahun. Selama itu, beliau berguru kepada para ulama untuk melengkapi pendidikannya di berbagai disiplin ilmu Islam. Dari sekian banyak guru, pengaruh Ayatollah Qadhi pada diri Allamah sangat besar. Mengenai gurunya ini, Allamah mengatakan, "Apa yang aku punya kudapatkan dari almarhum Qadhi."

Tahun 1935, Allamah Thabathabai kembali ke Iran karena masalah ekonomi yang melilit keluarganya di Tabriz. Beliau terpaksa meninggalkan Najaf dan kembali ke kampung halamannya untuk bertani di ladang peninggalan ayahnya. Semua itu dilakukan demi membantu perekonomian keluarga. Namun jauh dari dunia ilmu sangat menyiksa Allamah. Pada tahun 1946, beliau pergi ke kota Qom. Di kota inilah beliau menyewa sebuah kamar untuk diri dan keluarganya demi memulai satu periode kehidupan yang sangat sederhana. Meski hidup sulit, namun berada di lingkungan hauzah ilmiah Qom memberinya kesempatan emas untuk ikut memarakkan dunia keilmuan disana.

Allamah mencermati kekosongan yang ada di lingkungan hauzah ilmiah Qom dan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Muslim. Pada tahap berikutnya, beliau membuka kelas pengajaran filsafat dan tafsir al-Quran. Dua cabang ilmu itu sengaja beliau pilih karena panggilan tugas dan kewajiban yang dirasakannya. Berkat ketulusan dan keuletannya, beliau berhasil merampungkan karya besarnya di bidang tafsir al-Quran yaitu kitab tafsir al-Mizan. Sementara, dalam mengajar filsafat beliau mendapatkan kendala besar karena adanya penentangan dari sebagian kalangan akan materi pelajaran ini. Namun berkat kesopanan dirinya dan dukungan para ulama besar, satu persatu rintangan berhasil disingkirkan. Kelas-kelas pelajaran filsafat yang dibuka oleh Allamah menjadi pusat penempaan pemikiran. Kelas itulah yang mencetak para ilmuan pemikiran seperti Ayatullah Muthahhari. Di forum-forum filsafat itu, pemikiran filsafat Barat khususnya marxisme dan materialisme menjadi bahan kajian dan kritik.

Nama Allamah Thabathabai sebagai ilmuan dan filosof dikenal bukan hanya di Iran tapi juga di manca negara. Banyak pemikir Barat yang datang ke Iran untuk bertemu dan mengadakan dialog dengan ulama besar ini, di antaranya adalah Henry Corbin, cendekiawan besar asal Perancis.

Akhirnya pada tanggal 15 November 1981, rakyat Iran dan dunia keilmuan dikejutkan oleh berita duka wafatnya Allamah Sayid Mohammad Hossein Thabathabai. Prosesi pemakaman ulama, mufassir, filosof dan sufi besar ini dihadiri oleh ribuan orang termasuk para ulama dan cendekiawan hauzah dan universitas.

Sebagian orang tak ubahnya bagai pelita benderang yang menerangi dan memberi kehangatan bagi orang lain. Orang-orang seperti ini tak pernah mengenal kata lesu, bodoh, dan jumud. Mereka ibarat mentari yang memberi kehidupan dan menyuburkan bunga dan tanaman. Allamah Sayid Mohammad Hossein Thabathabai adalah salah satu figur yang menerangi umat manusia dengan cahaya keilmuan dan makrifatnya. Beliau bukan hanya filsuf dan mufassir besar dunia Islam, tapi juga memberi keteladanan kepada masyarakat dan umat lewat budi pekerti, perangai dan perbuatannya.

Hubungan Allamah dengan istri, anak-anak, masyarakat dan para ulama mengandung pelajaran yang sangat berharga. Beliau mementaskan kehidupan seorang insan mulia yang sebenarnya di depan umat.

Allamah Sayid Mohammad Hossein Thabathabai, ulama yang saleh dan arif ini melewatkan setiap malam untuk beribadah dan bermunajat dengan Tuhannya sampai tiba waktu subuh. Di bulan Ramadhan, sejak terbenamnya matahari hingga waktu sahur beliau asyik beribadah. Mulutnya tak pernah berhenti berzikir dan perhatiannya selalu tertuju kepada Sang Khaliq.

Aktivitas keilmuan yang menyita banyak waktunya tak membuat ulama yang bersahaja dan tulus ini lupa akan tawasul kepada Nabi Saw dan Ahlul Bait AS. Menurut beliau, semua keberhasilan yang berhasil dicapainya adalah berkat bimbingan manusia-manusia suci itu dan tawasul kepada mereka. Ketika nama Nabi atau salah seorang maksum disebut, ekspresi wajah beliau menunjukkan rasa hormat kepada nama itu, terlebih kepada Imam Mahdi af. Beliau menyebut Nabi Saw dan Fatimah Zahra as sebagai manusia-manusia agung dengan kedudukan maknawi yang tak terbayangkan.

Putri Allamah Thabathabai saat menceritakan akhlak ayahnya mengatakan, "Beliau benar-benar mempraktekkan akhlak Nabi Saw di dalam rumah. Beliau tak pernah marah. Kami tak pernah mendengar suara beliau yang tinggi. Meski lemah lembut tapi beliau tegas. Ayah sangat memperhatikan shalat di awal waktu… Tak pernah beliau menolak memberi kepada orang yang memerlukan. Beliau sangat disiplin dan semua pekerjaan dilakukannya dengan rapi dan terprogram. Sebab, ayah meyakini bahwa tertib dan disiplin akan membantu meninggikan jiwa seseorang. Di rumah, beliau tidak melimpahkan pekerjaan pribadinya kepada orang lain. Meski sangat sibuk, setiap hari beliau selalu menyisihkan waktu satu jam di siang hari untuk bersama keluarga. Allamah sangat penyayang kepada anak-anaknya terutama kepada anak perempuan. Menurut beliau, anak perempuan adalah nikmat dan hadiah Ilahi yang sangat berharga. Di rumah, beliau membaca al-Quran dengan suara keras supaya anak-anak terbiasa mendengar bacaan wahyu Allah…"

Putri Allamah melanjutkan, "Ayah memperlakukan ibuku dengan penuh hormat dan kasih sayang. Seakan beliau selalu merindukan ibuku. Tak pernah aku melihat mereka bertengkar. Mereka berdua benar-benar seperti dua sahabat yang akrab. Mengenai ibuku, ayah mengatakan, ‘Tanpa dukungannya aku tak akan bisa menulis buku dan mengajar... Ketika aku sedang berpikir atau menulis, istriku tak pernah mengajakku berbicara agar tidak membuyarkan konsentrasiku. Untuk menghilangkan keletihanku, setiap jam dia mengetuk pintu kamarku dan membawakan secangkir teh untukku… Dialah yang membuatku berhasil. Dia benar-benar sahabatku… Setengah dari pahala setiap buku yang kutulis adalah miliknya."

Ketika istrinya jatuh sakit tahun 1965, Allamah tak mengizinkannya bangkit dari pembaringan untuk melakukan pekerjaan rumah. Putri Allamah bercerita, "27 hari sebelum wafatnya, ibuku jatuh sakit. Selama itu, ayah meliburkan semua kegiatannya untuk dengan setia menemani ibu dan merawatnya."

Salah satu sifat menonjol yang ada pada orang-orang saleh dan bertakwa adalah tawadhu dan rendah hati. Kerendahan hati Allamah nampak dari caranya berjalan dan pakaiannya yang sangat sederhana. Meski terkenal dan sangat dihormati oleh masyarakat tapi beliau tetap menempatkan diri seperti orang lain dan tak segan berdiri di antrian untuk membeli roti. Salah seorang murid beliau menceritakan, "30 tahun lamanya aku menyertai Allamah. Beliau sangat peduli dengan siapa saja yang menunjukkan minat belajar. Dengan semua santri, beliau sangat ramah sehingga masing-masing merasa sebagai orang yang paling dekat dengan beliau."

Budi pekerti dan perangainya yang luhur menarik hati semua orang. Allamah tak pernah merasa dirinya unggul di atas orang lain. Beliau bahkan tak pernah menyebut penemuan ilmiahnya sebagai hasil pemikirannya sendiri. Salah seorang murid beliau mengatakan, "Allamah menerangkan hasil penemuan ilmiahnya dengan bahasa yang sangat sederhana sehingga kami menyangkanya sebagai masalah yang biasa. Tapi setelah merujuk dan menelaah buku-buku di bidang ini kami baru sadar bahwa apa yang disampaikan Allamah ternyata buah pemikiran beliau sendiri."

Dalam mengajar dan berhubungan dengan murid-muridnya, Allamah tak pernah bersikap kasar. Kata-katanya selalu lembut. Beliau bahkan tak suka disebut ‘guru' oleh murid-muridnya. Dalam kaitan ini beliau mengatakan, "Aku tidak menyukai sebutan itu. Sebab kita berkumpul di sini untuk bersama-sama dan saling membantu memahami hakikat dan ilmu Islam."

Ayatullah Javadi Amoli, salah seorang ulama besar Iran dan murid Allamah Thabathabai yang menonjol menceritakan,"Tahun 1971, ketika hendak menunaikan ibadah haji, aku mendatangi Allamah untuk meminta restu. Kepada beliau aku meminta nasehat yang bisa menjadi bekal dalam perjalanan ini. Beliau menyebutkan ayat al-Quran, Fadzkuruunii adzkurkum, yaitu, ‘Ingatlah Aku maka Aku akan selalu mengingat kalian'. Lalu beliau berkata, ‘Jika Allah mengingat manusia, maka Dia akan membebaskannya dari kebodohan. Jika dia menghadapi kebuntuan Allah akan membukakan jalan baginya. Jika dia menemukan masalah dalam akhlak, Allah yang memiliki Asmaul Husna dan sifat-sifat yang mulia akan mengingatnya."

Salah seorang tokoh Marxisme yang masuk Islam setelah berdialog dengan Allamah Thabathabai mengatakan, "Allamah Thabathabai telah menjadikanku insan yang bertauhid. Kami berdialog selama delapan jam. Beliau telah membuat seorang komunis menjadi orang yang beragama dan seorang marxis menjadi insan yang bertauhid. Beliau mendengar berbagai kata hinaan dari orang kafir tapi tak terusik dan tak terbawa emosi."

Suatu hari seorang ulama di hauzah ilmiah Qom memuji kitab tafsir al-Mizan karya Allamah Thabathabai di depan beliau. Allamah melirik ulama itu dan mengatakan, "Jangan kau puji seperti itu. Aku takut pujianmu membuatku senang sehingga menghilangkan keikhlasan dan niat mendekatkan kepada Allah."

Salah seorang ulama menyodorkan makalah ilmiah kepada Allamah untuk mendapat koreksian beliau. Setelah menelaah makalah itu, Allamah berkata, "Mengapa kau menulis doa untuk dirimu sendiri ‘Ya Allah beri aku taufik memahami ayat-ayat Ilahi? Mengapa kau tidak menyertakan orang lain di jamuan Ilahi?"

Sejak lama, Allamah mempunyai hubungan yang erat dan akrab dengan Imam Khomeini. Beliau mendukung penuh gerakan revolusi Islam di Iran. Allamah tak pernah melalaikan masalah politik. Beliau merasa tersiksa dengan kondisi yang ada di masa sebelum revolusi dan sangat membenci rezim Pahlevi. Suatu ketika pemerintah AS mengundang Allamah untuk mengajar filsafat Timur di negara itu. Washington meminta Shah untuk menyampaikan undangan tersebut. Shah bahkan menjanjikan gelar doktor honorer untuk ulama ini. Namun Allamah dengan tegas menolak undangan AS dan menampik pemberian gelar doktoral dari Shah. Jawaban itu membuat istana berang, dan Allamahpun ditekan. Menghadapi tekanan, Allamah Thabathabai mengatakan, "Aku tak pernah takut menghadapi Shah dan tak akan pernah bersedia menerima pemberian gelar doktoral darinya."

Kelebihan lain yang ada pada diri Allamah adalah jiwa seninya yang menggelora dan tersalurkan lewat puisi. Beliau banyak meninggalkan karya-karya puisi diantaranya Mara Tanha Bord, Payam-e Nasim, dan Honar-e Eshq.

Ilmu merupakan bekal paling penting dalam kehidupan yang memberi manusia kekuatan dan kemampuan. Untuk memperoleh ilmu dan menyingkap tabir-tabir rahasia alam, para ilmuan telah menanggung jerih payah dan bekerja tanpa mengenal lelah.Allamah Sayid Mohammad Hossein Thabathabai adalah salah satu ilmuan pemikir yang telah bersusah payah dan menanggung banyak kesulitan dalam menimba ilmu dan mengembangkan pemikirannya.

Allamah Thabathabai sangat menghargai pemikiran, dan beliau juga suka berpikir. Beliau sendiri mengatakan, "Setiap hari aku menghabiskan masa enam jam sehari untuk makan, tidur dan ibadah. 18 jam sisanya kugunakan untuk berpikir. Terkadang di tengah berpikir aku terlelap tidur. Saat terjaga, kulanjutkan berpikir dari saat terlelap."

Islam menganjurkan umatnya untuk berpikir. Nabi Saw dalam sebuah hadis menyebutkan bahwa berpikir sesaat lebih utama dari ibadah selama tujuh puluh tahun. Al-Quran al-Karim dalam banyak ayat sucinya juga menyeru manusia untuk berpikir. Berpikir akan alam penciptaan akan menambah pengetahuan manusia dan membawanya menuju ke arah kesempurnaan maknawiyah.

Meski sangat mementingkan perenungan dan pemikiran, Allamah Thabathabai menyatakan bahwa berpikir saja tidak cukup membawa manusia kepada kesempurnaan dan kesejahteraan hakiki. Sebab, manusia harus terlebih dahulu mengikuti ajaran kitabullah dan Sunnah Nabi Saw. Allamah mengatakan, "Hikmah yang tidak mengajak kepada syariat bukan hikmah yang hakiki." Karena itu, beliau tidak menyukai orang yang secara lahirnya suci namun asing dari perenungan dan tidak pula orang yang logis dan gemar berargumentasi tapi tidak patuh kepada ajaran agama.

Menurut Allamah, agama dan akal selalu berjalan beriringan. Namun demikian, ketika pendekatan nalar tak mampu mengungkap masalah agama, hakikat ajaran agama harus diterima dengan lapang dada dan penuh kepasrahan. Sebab, agama datang dari Yang Maha Mengetahui dan Akal Yang Tak Terbatas. Kegemaran kepada masalah pemikiran mendorong Allamah Thabathabai untuk menyelami ilmu pemikiran khususnya filsafat. Filfasat mengajak manusia untuk menenungkan alam dan terbang di alam pemikiran.

Selain pakar filsafat Islam, Allamah Sayid Mohammad Hossein Thabathabai juga menguasai filsafat Barat dan mengenal dengan baik pemikiran para filsuf Barat. Menurutnya, filsafat adalah salah satu alat terbaik untuk memahami ayat-ayat al-Quran dan hadis dengan lebih baik. Karena itu, beliau meyakini bahwa filsafat sangat berhubungan dengan agama. Allamah bisa disebut sebagai filsuf Muslim pertama yang mengkomparasikan filsafat Islam dengan filsafat materialis. Sebab, sebelum beliau, jarang ditemukan filsuf yang menguasai filsafat Islam dan Barat sekaligus. Berkat usahanya, filsafat hidup kembali di dunia keilmuan. Bisa dikata bahwa Allamah adalah filsuf yang membuka lembaran baru dalam sejarah filsafat Islam.

Allamah Thabathabai meyakini bahwa antara agama dan filsafat Ilahiyah bukan hanya tak ada pertentangan tapi justeru ada hubungan yang tak terpisahkan antara keduanya. Beliau mengatakan, "Adalah kezaliman besar ketika orang memisahkan antara filsafat ilahi dan agama Ilahi… Adakah jalan untuk memperoleh pengetahuan kecuali dengan berargumentasi dan berdalil? Jika satu-satunya jalan menuju pengetahuan adalah dengan berargumentasi dan berdalil, bagaimana mungkin para nabi menyeru manusia kepada hal yang bertentangan dengan fitrah dan naluri mereka dan mengajak mereka untuk menerima apa saja tanpa dalil?" Allamah melanjutkan, "Yang benar adalah bahwa metode para nabi dalam mengajak manusia kepada kebenaran tidak terpisah dari argumentasi dan logika."

Menurut Allamah, pelajar agama mesti membekali diri dengan filsafat dan mantiq untuk membantunya memahami agama dengan baik. Salah seorang murid Allamah mengatakan, "Di sekolah agama ada kepercayaan umum bahwa seorang pelajar lebih baik mempelajari dengan hadis-hadis dari para maksumin terlebih dahulu sebelum belajar filsafat. Tapi Allamah berpandangan lain. Menurut beliau, hadis-hadis banyak mengandung masalah logika yang mendalam dan argumentasi filsafat. Bagaimana orang bisa memasuki lautan hadis yang luas dan dalam tanpa terlebih dahulu mempelajari filsafat dan mantiq yang mengasah otak dan akal manusia?"

Dapat dikata bahwa ada dua hal yang mendorong Allamah mementingkan filsafat. Pertama, karena filsafat membantu memahami hakikat agama dengan lebih baik, dan kedua, menjawab serangan kritik para pemikir materialis terhadap Islam. Mengenai hal ini, Allamah menceritakan, "Ketika tiba di kota Qom, kau melihat bahwa masyarakat kita perlu mengenal Islam dari sumber-sumber aslinya yang dengan masyarakat bisa membela ajaran agama. Karena itu, di lingkungan hauzah kita harus punya mata pelajaran yang membekali santri dan pelajar agama dengan kemampuan berargumentasi logis sehingga bisa membela hakikat ajaran agama dan menjawab kritik yang ada. Tak ada jalan untuk mewujudkannya kecuali dengan filsafat."

Allamah punya metode yang mendasar dalam mengajarkan filsafat. Salah satu karya besar beliau di bidang filsafat adalah buku "Ushul Falsafeh va Raveshe Realism'. Buku ini menjelaskan filsafat Islam secara singkat tapi padat. Selain memaparkan filsafat Islam, buku ini juga menjelaskan pandangan para pemikir besar Eropa. Buku tersebut diberi penjalasan secara panjang lebar oleh salah satu murid Allamah yang menonjol, yaitu Syahid Muthahhari. Penjelasan itu sekaligus membuat buku karya Allamah ini menjadi salah satu karya ilmiah besar.

Henry Corbin, pemikir dan filsuf Perancis tertarik memperdalam filsafat Timur setelah membaca ‘Hikmah al-Isyraq' karya Suhrawardi. Ketika mendengar tentang keberadaan ulama dan filsuf Islam bernama Allamah Thabathabai di Iran, Corbin datang ke Iran untuk menemui sang ulama. Dia menanyakan banyak hal kepada Allamah, khususnya tentang ajaran Islam. Lewat Henry Corbin, Allamah mengenalkan Islam ke dunia Barat. Dalam hal ini, beliau mengatakan, "Adalah kemurahan Allah yang telah mengenalkan ajaran Islam ke dunia lewat ilmuan ini." Yang dimaksud adalah Henry Corbin. Corbin dan timnya, menerbitkan majalah di Perancis yang mengenalkan Islam dan mazhab Syiah ke dunia Barat.

Suatu hari Allamah terlibat pembicaraan dengan Henry Corbin. Kepadanya beliau mengatakan, "Dalam ajaran Islam, seluruh tempat di dunia ini tanpa kecuali adalah tempat ibadah. Jika seseorang ingin melaksanakan shalat, berdoa atau bersujud dia bisa melakukannya di mana saja. Tapi dalam ajaran Kristen tidak demikian. Orang Kristen harus melakukan ibadah di tempat yang khusus dan di waktu yang khusus pula. Karena itu jika seorang penganut agama Kristen menghadapi kondisi spiritual yang mengajaknya untuk beribadah, misalnya di tengah malam, apa yang bisa dilakukannya? Dia harus menunggu hari Minggu ketika pintu gereja terbuka. Ini berarti terputusnya hubungan manusia dengan Tuhannya." Corbin membenarkan kata-kata Allamah dan mengatakan, "Kritik ini tepat. Alhamdulillah agama Islam telah menjaga hubungan antara manusia dengan Tuhannya kapanpun dan di manapun juga."

Allamah Thabathabai dalam filsafat sosial dan politik Islam punya pandangan yang menarik. Mengenai pemerintahan yang kejam dan despotik, beliau mengatakan, "Rezim kekuasaan yang bobrok melahirkan kekacauan dan kebejatan di tengah masyarakat manusia. Orang yang baik akan terpaksa harus terjun ke tengah medan untuk memperbaiki kondisi dan menyingkirkan rezim penguasa itu. Dan ini adalah misi para nabi dan wali yang paling suci dan penting. Fakta inilah yang bisa dilihat dari sejarah kehidupan manusia-manusia agung itu."

Allamah meyakini bahwa keadilan sosial dan interaksi yang sehat antara manusia serta penghormatan kepada martabat manusia hanya bisa terwujud di bawah naungan hukum Ilahi. Terkait masa kegaiban Imam Maksum Allamah beliau meyakini kepemimpinan Islami seorang fakih sebagai satu keharusan. Masalah ini dikupas oleh beliau dalam bukunya berjudul ‘Risalah al-Wilayah'.

Salah satu kelebihan yang ada pada diri Allamah Thabathabai adalah penguasaannya atas berbagai bidang ilmu. Ketekunan dalam belajar telah membawanya menjadi salah satu ulama dan tokoh besar. Selain filsafat Islam dan Barat, beliau juga menguasai pendapat berbagai mazhab dan agama lain. dalam diskusi dengan para tokoh berbagai mazhab dan agama Allamah selalu menguasai medan pembicaraan. Beliau bahkan cukup piawai dalam menafsirkan teks-teks rujukan utama agama-agama dan mazhab-mazhab lain.

Salah seorang murid Allamah menceritakan, "Selain kedalaman ilmunya terkait agama dan budaya Islam, ada satu hal yang sangat mengagumkan bagiku pada diri Allamah Thabathabai, yaitu kelapangan hati beliau untuk mendengar semua pendapat. Beliau dengan seksama mendengarkan perkataan orang. Allamah sangat peduli dengan ilmu. Mungkin pengalaman yang kami dapatkan bersama beliau tak bisa ditemukan di tempat lain. Bersama beliau kami mempelajari terjemahan Injil, Upanishad Hindu, Sutta Budha dan Tao Te Ching. Beliau menafsirkan kitab-kitab itu sedemikian mendalam seakan ikut terlibat dalam penulisannya."

Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Nabi Saw bersabda, "Tuntutlah ilmu walaupun sampai di negeri Cina." Penyebutan negeri Cina adalah untuk menunjukkan tempat terjauh yang mesti didatangi untuk mengejar ilmu. Artinya, lewat hadis ini Nabi Saw mendorong umatnya untuk menimba ilmu dengan menanggung segala kesulitan dan kesusahan. Allamah setiap hari selalu memperkaya diri dengan ilmu lewat penelaahannya pada pemikiran agama-agama lain. Beliau menguasai ajaran agama-agama Asia Timur. Beliau meyakini bahwa kebenaran yang murni ada pada al-Quran. Meski demikian, agama-agama yang lain pun juga tak kosong dari kebenaran dan hakikat. Karena itu beliau menghormati ajaran agama-agama lain.

Kecintaannya yang luar biasa kepada kitab suci al-Quran telah mendorong ulama besar ini untuk menulis kitab tafsir al-Mizan, sebuah kitab tafsir yang sangat mendalam. Metode penulisannya adalah menafsirkan ayat dengan bantuan ayat lain. Faker Meibadi, salah satu murid Allamah menyebut metode khas tafsir ini sebagai keistimewaan al-Mizan seraya mengatakan, "Tafsir al-Mizan ditulis dengan metode al-Quran dengan al-Quran, metode yang mengikuti cara para Imam Maksum as menafsirkan kitab suci ini. Dengan cara ini Allamah menghidupkan kembali metode penafsiran para Imam di zaman ini."

Meski menggunakan metode menafsirkan ayat dengan ayat lain, tapi Allamah juga tidak melupakan hadis-hadis dari Nabi dan Ahli Bait dalam al-Mizan. Mengenai metode Ahli Bait dalam menafsirkan al-Quran, Allamah mengatakan, "Meskipun al-Quran menegaskan bahwa Nabi Saw dan Ahli Bait as adalah penjelas dan penafsir makna dan kandungan al-Quran, tapi metode yang mereka gunakan adalah menafsirkan al-Quran dengan al-Quran dan inilah yang diajarkan al-Quran sendiri. Dari banyak riwayat dapat kita fahami bahwa dalam menafsirkan al-Quran Nabi dan Ahlul Bait hanya menggunakan ayat-ayat al-Quran saja."

Allamah dalam tafsir al-Mizan membahas banyak hal terkait masalah-masalah kontemporer dan ideologi-ideologi masa kini secara mendalam. Beliau menyebut berbagai kritik yang datang dari Timur dan Barat terhadap Islam lalu menjawabnya dengan sempurna. Singkatnya, tafsir al-Mizan adalah kitab tafsir yang menjadikan al-Quran sebagai poros bahasan dan landasan dalam menafsirkan ayat-ayat Ilahi. Kitab ini juga menyebutkan berbagai pandangan dan pemikiran yang ada lalu menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah.

Syahid Muthahhari terkait kitab al-Mizan mengatakan, "Dalam menulis tafsirnya, Allamah Thabathabai mendapat inayah dan ilham dari Allah."

Allamah sendiri menjelaskan, "Ada satu fakta dalam Al-Quran yang tidak terbantahkan yaitu bahwa setiap kali seorang manusia masuk ke dalam naungan kepasrahan dan wilayah Ilahi dia akan semakin mendekat ke lembah kesucian dan keagungan. Saat itu pintu-pintu langit akan terbuka baginya dan dia akan mampu melihat hakikat di balik ayat-ayat Allah dan nur Ilahi yang tak bisa disaksikan oleh orang lain."

Kitab tafsir ini juga membahas masalah akhlak dan irfan secara mendalam. Dengan ungkapan-ungkapan yang singkat tapi padat, Allamah mengajak pembaca kepada penyucian diri dan liqaullah. Al-Mizan membahas pula masalah sastra dan tata bahasa Arab dengan detil. Tak heran jika pembaca tak merasa bahwa penulisnya adalah seorang berkebangsaan Iran, bukan penulis Arab.

Selain tafsir al-Mizan, Allamah Thabathabai juga meninggalkan banyak tulisan berbobot lainnya. Diantaranya adalah Bidayatul Hikmah. Buku ini mengajarkan dasar-dasar filsafat. Bidayatul Hikmah menjadi buku panduan pelajaran filsafat di hauzah ilmiah dan perguruan tinggi di Iran. Setelah buku ini, santri atau mahasiswa bisa melanjutkan pendidikan filsafat dengan mempelajari Nihayatul Hikmah yang juga ditulis oleh Allamah. Kitab kedua ini membahas filsafat lebih mendalam dari kitab Bidayatul Hikmah.

Allamah juga menulis buku ushul fiqih yaitu Hasyiyah atau catatan untuk kitab Kifayatul Ushul. Buku beliau yang lain adalah ‘Shie dar Islam' yang sudah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, ‘Kholase-ye Taalim-e Islam' dan ‘Ravabet-e Ejtemai'e Islam'. dalam upaya mengenalkan agama Islam secara singkat beliau menulis buku Amuzesh'e Din yang mengulas apa saja yang berhubungan dengan Islam dan hal-hal yang paling mendasar dalam agama ini. Ada pula buku-buku lainnya yang membahas tentang teologi seperti Rasail Tauhidiyah terdiri atas 26 risalah yang membahas tentang ketuhanan, sifat Allah dan perbuatan Allah. Allamah juga meninggalkan menulis kumpulan puisi yang ditulisnya dalam bahas Persia. Selain itu beliau juga menulis buku tentang sejarah biografi Nabi Saw berjudul Sunan al-Nabi dan buku akhlak berjudul Lubbul Lubab yang merupakan kumpulan materi pelajaran akhlak beliau.

Allamah Thabathabai adalah sosok ulama yang menguasai ilmu fikih, ushul, matematika dan astronomi secara mendalam. Beliau belajar matematika dari ulama Najaf bernama Sayid Abul Qasim Khonsari yang dikenal sebagai pakar matematika di zaman itu. Dalam tata bahasa dan sastra Arab, Allamah punya kepandaian yang luar biasa. Selain itu, beliau juga tergolong sebagai arsitek Islam yang ulung. Sejumlah bangunan dan gedung dibuat dengan rancangan beliau. Ketika tiba di kota Qom, Allamah masuk ke madrasah Hujjatiyah. Pengurus Hujjatiyah berencana melakukan perluasan sekolah agama tersebut yang saat itu tergolong kecil dengan bangunannya yang sangat sederhana. Menurut rencana Hujjatiyah akan diperluas dengan sejumlah kamar, kelas, perpustakaan dan masjid.

Banyak insinyur dan arsitek dari Tehran dan sejumlah kota lainnya yang mengajukan rancangan bangunan. Tak ada satupun yang menarik hati pengurus madrasah. Akhirnya, Allamah Thabathabai membuat denah bangunan dengan rancangannya. Melihat denah dan rancangan bangunan itu, pengurus Hujjatiyah menyatakan setuju. Akhirnya, Madrasah atau pusat sekolah agama itupun di bangun berdasarkan rancangan Allamah Thabathabai. Beliau pula yang menjadi pengawas pembangunannya.

Ayatullah Javadi Amoli, salah seorang murid Allamah yang paling menonjol mengatakan, "Allamah Thabathabai memiliki ruh dan spiritualitas yang sangat tinggi. Ketika masuk ke pembahasan tentang Allah, nampak sekali beliau tenggelam dalam suasana spiritual yang mengagumkan." Apa yang dikatakan oleh Ayatollah Javadi diakui oleh banyak ulama. Mereka mengagumi keadaan spiritual Allamah Thabathabai yang sangat istimewa. Dalam hal irfan, beliau sangat menguasai kitab al-Futuhat al-Makkiyah karya Ibnu Arabi.

Tentang Allamah Thabathabai, Ayatullah al-Udzma Khamenei mengatakan, "Paras maknawiyah Allamah Thabathabai menampilkan gambaran seorang manusia berbobot dengan iman kuat dan irfan hakiki yang diiringi dengan ilmu yang luas dan mendalam. Kombinasi semua itu pada diri Allamah membuktikan bahwa Islam bisa menggabungkan antara gelora cinta yang dalam dengan logika yang kuat pada diri seorang ulama."(

Selasa, 20 November 2012 14:10

Sair Suluk Asyura: Penjelasan Taawun

Pada pertemuan sebelumnya telah saya jelaskan bahwa kebangkitan Imam Husein as berporos pada dua pokok, pertama adalah tidak menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran yang tercermin dalam perjalanan Imam Husein dari Madinah menuju Mekkah. Kedua adalah amar makruf dan nahi munkar, yang tercermin dalam gerakan Imam Husein as dari Madinah menuju Kufah.

 

Perlunya Tolong-Menolong

Guna memperjelas pembahasan maka saya akan menjelaskan bahwa manusia memiliki dua dimensi, dimensi materi dan maknawi. Tidak ada keraguan dalam hal ini. Dalam dimensi materi, manusia tidak dapat memenuhi urusan materinya tanpa bantuan orang lain. Dalam dimensi maknawi, masalah yang sama juga mengemuka, yakni dalam perjalanan maknawi, manusia juga memerlukan bantuan dan kerjasama sesama, dengan kata lain dia tidak akan mampu menempuhnya sendirian. Dengan ungkapan yang lebih mudah, baik di sisi materi maupun maknawi, manusia tidak mandiri.

Karena manusia tidak mandiri dan tidak dapat mengatur urusannya sendiri, oleh karena itu manusia memerlukan i'aanah (pertolongan). Baik dalam sisi materi maupun maknawi, mausia memerlukan bantuan orang lain. Di sinilah masalah i'aanah itu mengemuka.

Di sini kita harus melihat apakah dalam agama Allah, apakah segala i'aanah dan taawun di sisi materi maupun maknawi dapat dilakukan? Apakah segala bentuk bantuan dan pertolongan diterima oleh agama? Sebagai contoh, ketika kita melihat seseorang yang sangat membutuhkan dan kita ingin membantunya, apakah kita boleh—nauzubillah—mencuri dan memberikan kepada orang itu? Sama seperti orang yang mencuri dan memberikannya kepada seorang fakir.

Imam Jakfar Sadiq as mempermasalahkan aksi seperti itu, mereka mengatakan bahwa ‘ini berarti Anda tidak memahami ayat al-Quran karena disebutkan:

 

مَن جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ‌ أَمْثَالِهَا ۖوَمَن جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰإِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa

perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (QS 6:160)

 

Katakanlah saya mencuri sekali dan berbuat kebaikan sekali. Dengan demikian hanya satu pahala dari 10 pahala yang hilang, sembilan pahala lainnya tetap ada. Namun Imam Jakfar Sadiq as menjawab bahwa Allah Swt hanya menerima kebaikan dari orang-orang yang bertakwa. (Biharul Anwar jilid 47 hal, 23)

Lalu muncul pertanyaan bahwa apakah menurut pandangan Allah Swt, segala bentuk taawun dan i'aanah (bantuan dan pertolongan) itu diterima atau tidak? Apa yang ada dalam ayat taawun adalah bahwa bantuan itu bukan dalam segala bentuknya karena dalam islam masalah ini memiliki aturan dan persyaratan.

Selasa, 20 November 2012 14:08

Imam Baqir, Sang Pencerah Umat

Hari ketujuh bulan Zulhijjah bertepatan dengan hari syahidnya Imam Muhammad Baqir as, cucu Rasulullah Saw. Imam Baqir seperti para Imam Ahlul Bait as lainnya merupakan pribadi agung dan sama seperti imam lainnya yang menjadi teladan seluruh manusia. Beliau mendapat gelar Baqirul Ulum, 'pengungkap dan penyebar ilmu'. Gelar tersebut membuktikan kedalaman ilmu dan pengetahuan beliau, karena Imam Baqir memahami dengan baik seluk beluk keilmuan dan keruwetannya. Rahasia-rahasia setiap ilmu pun dipahami dengan baik oleh Imam Baqir.

Imam Muhammad Baqir as mereguk cawan syahadah pada hari ketujuh Zulhijjah tahun 114 H di usia ke 57 tahun. Keberadaan beliau di tengah umat sebagai mentari yang menyinari seluruh umat manusia rupanya membuat penguasa Bani Umayyah tak tahan. Mereka pun berusaha keras membunuh imam umat Islam ini. Akhirnya impian mereka tercapai dan umat kehilangan seorang pemimpin dan pencerah yang senantiasa memberikan bimbingan kepada mereka. Pada kesempatan kali ini kami akan mengajak anda untuk menyimak sejarah kehidupan ilmiah dan akhlak mulia beliau.

Imam Muhammad Baqir, seperti juga para imam lainnya, adalah seorang manusia yang sempurna dan terpelihara dari segenap aib dan kekurangan serta memiliki semua kesempurnaan insani. Pernyataan tersebut bukan hanya diyakini oleh para pecinta Ahlulbait, melainkan juga oleh para penentangnya. Syaikh Mufid mengenai Imam menulis sebagai berikut. "Imam Baqir Abu Ja'far Muhammad bin Ali bin Husain, di antara saudara-saudaranya, merupakan pengganti ayahnya, Ali bin Husain, washi serta imam setelah sang ayah. Dari segi ilmu, zuhud, serta qiyadah 'kepemimpinan' ia lebih mulia daripada saudara-saudaranya.

Di kalangan masyarakat umum dan khusus, ia lebih populer, terkenal, dan lebih berwibawa. Apa yang tampak dari ilmu agama, sunnah, tafsir al-Quran, sirah, serta adab kehidupan Imam tidaklah tampak pada diri anak-anak Hasan dan Husain lainnya. Sisa-sisa sahabat, para pembesar dari tabi'in, dan ulama fikih meriwayatkan persoalan agama dari Imam Baqir. Imam Baqir populer dengan keutamaan ilmu sehingga berbagai macam syair dikumandangkan untuk menyifati keutamaannya itu. Abu Fida' mengenai Imam mengatakan, "Muhammad bin Ali bin Husain Abu Ja'far Baqir adalah tabi'in yang sangat mulia dari segi ilmu, amal, dan qiyadah.

Abu Fida' mengenai Imam Baqir menulis, "Abu Ja'far Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, ayahnya adalah Zainal Abidin dan kakeknya adalah Husain yang syahid di Karbala. Dia dinamakan baqir karena menyingkapkan ilmu dan menyimpulkan hukum. Dia adalah seorang lelaki yang ahli zikir, khusyuk, serta penyabar yang berasal dari keturunan Nabi saw. Nasabnya tinggi dan mulia. Dia mengetahui hal-hal yang membahayakan dan menghindari permusuhan serta jidal atau 'perdebatan'.

Ahmad bin Hajar Haitsami mengenai Imam menuliskan, "Abu Ja'far Muhammad Baqir adalah pewaris ilmu, ibadah, dan zuhud Ali bin Husain. Dinamakan Baqir sebab dia mampu menyingkap hakikat ilmu dan menguaknya. Dia mengungkapkan simpanan-simpanan pengetahuan, hakikat hukum, serta hikmah yang dapat diterima oleh semua, kecuali orang-orang yang buta batinnya dan rusak akidahnya. Oleh karena itulah, dia dinamakan dengan 'pengungkap dan penyebar ilmu'.

Hatinya bercahaya. Ilmu dan amalnya bersih. Jiwanya suci. Penciptaannya indah dan tampan. Usianya dibelanjakan dalam ketaatan kepada allah. Akhlak dan cara hidupnya, dalam maqom irfan, tidak terjangkau untuk disifati sementara, dalam sair suluk, serta pengetahuan, dia banyak menyampaikan pandangan yang memerlukan waktu panjang untuk menyebutkannya."

Imam Muhammad Baqir, dari segi ibadah, zikir, doa, munajat, serta rasa takut kepada Allah, seperti juga ayahnya, Zainal Abidin, berada di martabah yang sangat tinggi sehingga begitu menonjol di tengah masyarakat pada zamannya. Di antara kemuliaan Imam, kami akan menyebutkan sebagian darinya.

Imam Ja'far Shadiq mengatakan, "Ayahku begitu banyak berzikir. Ketika berjalan atau makan, bahkan ketika berbicara dengan orang, dia tidak melupakan zikir atau mengingat Allah. Zikir Lailaha illa Allah senantiasa disebutkan oleh lisannya. Adakalanya dia mengumpulkan kami dan memerintahkan agar kami berzikir hingga terbitnya matahari. Imam juga memerintahkan kepada orang-orang yang mampu membaca al-Quran agar membacanya."

Imam Ja'far Shadiq mengatakan, "Ayahku di pertengahan malam berada dalam keadaan menangis dan bermunajat. Dia berkata, "Ya Allah! Engkau memerintahkanku sementara aku tidak patuh dan engkau melarangku sedangkan aku tidak menjauhinya. Kini, hambamu ini berada di sisimu tetapi tidak memohonkan ampunan."

Aflah, salah seorang budak Imam Muhammad Baqir, berkata, "Aku pergi ke haji bersama Imam. Ketika tiba di Masjidil Haram, Imam menangis hingga suara tangisnya begitu kencang. Aku berkata, "Ayah dan ibuku kukorbankan untukmu! Masyarakat sedang memandangi Anda. Alangkah baik kalau tuan menangis agak pelan!" Imam berkata, "Celaka kamu wahai Aflah! Bagaimana mungkin aku tidak menangis? Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepadaku sehingga nanti pada hari kiamat, aku tergolong orang yang berbahagia dan sukses." Aflah berkata, "Selanjutnya Imam bertawaf dan setelah itu, shalat di maqam Ibrahim. Ketika Imam mengangkat kepala dari sujud, tempat sujudnya basah lantaran banyak menangis."

Imam Ja'far Shadiq berkata, "Aku, pada setiap malam, menghamparkan tempat tidur ayahku dan menanti agar beliau beristirahat di tempat pembaringannya. Kemudian aku pergi ke pembaringanku sendiri. Pada suatu malam, aku menghamparkan tempat pembaringannya dan menantikannya. Namun, beliau tidak datang. Setelah semua orang terlelap tidur, aku mencari ayahku di masjid. Aku melihatnya sedang bersujud. Aku mendengar suara rintihannya yang berkata, "Mahasuci engkau Ya Allah! Tuhanku yang sesungguhnya. Aku bersujud kepada-Mu, wahai Tuhanku, sebagai ibadah dan ketertundukan hati! Sesungguhnya amalku lemah, maka lipat gandakanlah untukku, ya Allah! Jauhkanlah dariku siksaan-Mu pada hari Engkau memutus hamba-hamba-Mu dan terimalah tobatku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Pengasih."

Imam Ja'far Shadiq mengatakan, "Apabila sedih atau khawatir karena sesuatu, ayahku memanggil wanita dan anak anak lalu berdoa sementara mereka diminta untuk mengatakan, amin.

Aban bin Maimun Qadah berkata, "Abu Ja'far berkata kepadaku, "Bacalah al-Quran!" Aku berkata, "Dari mana?" Imam berkata, "Surah kesembilan." Aku ingin menemukan surah itu. Imam berkata lagi, "Bacalah dari surah Yunus!" Ketika aku tiba pada ayat, Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalam," Imam mengatakan, "Cukup! Rasulullah saw bersabda, "Aku heran bila aku membaca al-Quran, rambutku kemudian tidak memutih."

Imam Baqir as selama 18 tahun keimamahannya menggunakan kesempatan tersebut untuk membimbing umat. Selama 18 tahun Imam mengerahkan upayanya untuk memperkuat sendi-sendi ideologi dan pemikiran masyarakat. Selain itu, sejarah kehidupan beliau penuh dengan teladan bagi umat. Keagungan dan kepiawian Imam Baqir as diakui oleh seluruh umat, bahkan ulama Sunni pun mengakuinya. Beliau selama hidupnya menjadi rujukan umat untuk menyelesaikan segala kesulitan mereka.

Kehidupan Imam Baqir as bertepatan dengan kondisi umat Islam yang tak stabil akibat maraknya gesekan antar aliran dan ideologi. Redamnya friksi politik pasca tragedi Asyura di tahun 61 Hijriah dan kegagalan berbagai gerakan politik memaksa para ulama meninggalkan arena politik dan lebih memilih terjun ke bidang keilmuan. Kondisi ini membuat kajian keilmuan semakin marak dan peran Imam Baqir as di saat ini kian nyata dalam mencerahkan pemikiran umat

Mukaddimah ini cukup bagi saya untuk menyampaikan maksud. Dari sekian banyak ucapan Imam Husein as kepada banyak orang, termasuk Muawiyah, tentang kebangkitan dan gerakan Imam Husein as serta surat dan khutbah-khutbah beliau, juga surat wasiat yang ditulis Imam, dapat disimpulkan dua poin yang akan saya jelaskan secara terperinci dalam pertemuan mendatang.

Pertama adalah bahwa manusia tidak boleh menolong (taawun) dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Perhatikan ketika Muawiyah berbicara dengan Imam Husein as, beliau mengatakan ‘kau berbohong, pujianmu terhadap Yazid semuanya bohong. Aku tidak akan mengakui orang seperti dia. Mengapa? Karena mengakuinya berarti menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Dalam menjawab Walid, penegasan Imam Husein bahwa beliau tidak akan berbaiat berarti beliau tidak akan mengakuinya.

Kedua adalah masalah amar makruf dan nahyu munkar. Terkadang Anda menyatakan saya tidak mengakui ini—yang berarti poin pertama—akan tetapi Anda bukan hanya tidak mengakuinya melainkan Anda juga akan mencegahnya semampu Anda (yang berarti amar makruf dan nahyu munkar).

Maka kebangkitan Imam Husein as mengandung dua masalah penting dan dua tujuan esensial, yang semuanya demi terjaganya Islam, karena Imam mengatakan bahwa sunnah telah mati, adapun cara ini dan akhir dari gerakan ini (langkah Muawiyah dan Yazid) berarti bahwa dengan berlalunya masa, Islam akan berakhir.

وعَلَی الإسلاَمِ السَلام

Imam Husein as adalah orang yang memperhitungkan masa depan dan beliau tahu bahwa langkah Muawiyah dan Yazid pada akhirnya akan menghancurkan Islam dan tidak akan tersisa darinya. Oleh karena itu, beliau menyatakan tidak akan mengakui langkah tersebut dan beliau akan mencegah serta melawannya semampu beliau.

Dengan demikian jika kedua tujuan tersebut kita gabungkan dalam satu istilah fiqih, maka tujuan pertama adalah tidak memberikan pertolongan dalam perbuatan dosa dan permusuhan, adapun yang kedua adalah amar makruf dan nahyu munkar. Pertama tidak berbaiat dan kedua bangkit melawan.

Adapun topik pembahasan kita adalah tidak menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan, yang masalah ini dengan sendirinya adalah sebuah pembahasan independen karena dari sisi pembinaan jiwa masalah ini memiliki dimensi amal yang kuat. Sebagian topik yang akan kita bahas memiliki pengaruh dan peran amal yang besar dan sebagian topik lain peran amalnya jauh lebih besar. Pembahasan taawun (menolong) ini termasuk di antara yang memiliki peran amal yang kuat, tentu sisi ilmiahnya juga ada, akan tetapi pengaruh praktisnya lebih besar. Yakni manusia dalam hidupnya, dalam empat lingkungan hidupnya yaitu lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan kerja dan lingkungan persahabatan, praktis akan berpapasan dengan pembahasan ini. Oleh karena itu, kami katakan bahwa masalah ini memiliki peran pembinaan jiwa dalam dimensi praktis yang sangat kuat. Di dalamnya terdapat berbagai masalah syar'i.

 

Keutamaan Surat Maidah dan Ayat Taawun

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ‌ وَالتَّقْوَىٰ ۖوَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚوَاتَّقُوا اللَّـهَ ۖإِنَّ اللَّـهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

 

Di antara ayat-ayat al-Quran, ayat kedua dari surat al-Maidah yang telah saya kemukakan di awal pembahasan ini mengandung poin-poin penting yang perlu saya kemukakan lebih cepat sehingga mencegah munculnya pertanyaan, bahwa di antara surat-surat dalam al-Quran, surat panjang terakhir yang diwahyukan kepada Rasulullah Saw mendekati hari akhir hayat beliau adalah surat al-Maidah.

Para mufasir menyepakati masalah ini dan tidak ada yang berselisih pendapat. Oleh karena itu, semua mufasir menyatakan bahwa seluruh hukum yang ada dalam surat ini

ناسخةٌ غَیرُ مَنسُوخَة

Yang berarti bahwa hukum dalam surat ini me-naskh hukum di surat lain, akan tetapi hukum dalam surat al-Maidah itu sendiri tidak dimansukh. Maka seluruh hukum dalam ayat ini pasti dan jika ada orang yang mengingkari hukum tersebut pada hakikatnya telah merusak pokok dalam Islam.

Salah satu pokok Sunnah Islam yaitu taawun terdapat dalam ayat;

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ‌ وَالتَّقْوَىٰ ۖوَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚوَاتَّقُوا اللَّـهَ ۖإِنَّ اللَّـهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

 

Ini adalah penjelasan yang dikemukakan oleh Allamah Thabathabai dalam kitabnya Tafsir al-Mizan (jilid 5, halaman 163). Agar Anda tahu bahwa tidak ada keraguan dari segi ilmiah tentang taawun.

Sebelumnya telah kita bahas bersama bahwa surat al-Maidah termasuk surat panjang terakhir yang diwahyukan kepada Rasulullah Saw sebelum beliau wafat. Pada pertemuan kita kali ini, saya akan menyinggung dua riwayat, pertama riwayat dari Rasulullah Saw dan kedua dari Imam Ali as, kemudian baru saya akan memasuki pembahasan.

Dalam khutbah haji Wada yaitu pada bulan Dzulhijjah, Rasulullah bersabda:

إِنَّ سُورَةَ المَائِدَةِ مِن آخِرِ القُرآنِ نُزُولاً فَأحلُوا حَلاَلَهاَ وَحَرَّمُوا حَرَامَهَا

Sesungguhnya surat al-Maidah adalah surat terakhir al-Quran yang diwahyukan (kepada Nabi), maka halalkanlah apa yang dihalalkan (di dalamnya) dan haramkanlah apa yang diharamkan.

Yang berarti semua hukum halal dan haram dalam surat ini berlaku hingga hari kiamat dan tidak dapat berubah.

Riwayat berikutnya adalah dari Imam Ali as;

کَنَا مِن آخِرِ مَا نُزِلَ عَلَیهِ سُورَةُ المَائِدَة فَنَسَخَت مَا قَبلَهَا وَلاَ یَنسِخُهَا شَیئٌ

Yakni hukum-hukum yang ada dalam surat al-Maidah akan men-naskh hukum-hukum yang ada di ayat lain, akan tetapi hukum yang ada di surat tersebut tidak dapat di-naskh. Oleh karena itu, saya kemukakan bahwa jika ada orang yang ingin mengubah hukum-hukum dalam surat al-Maidah, maka sesungguhnya dia telah merusak Islam.

Dengan demikian kita sampai pada konklusi bahwa ayat tersebut di atas merupakan sebuah pokok sekaligus sunnah Islam dalam hubungan sosial. Karena telah kita jelaskan pula bahwa dari sisi materi maupun maknawi, manusia memerlukan pertolongan (pertolongan) dan juga menolong orang lain.

Akan tetapi pembahasan utamanya adalah mekanisme menolong dan meminta pertolongan tersebut. Yakni, saya yang memerlukan pertolongan orang lain dari sisi kehidupan materi, bagaimana orang lain tersebut dapat bekerjama dengan saya di bidang ini? Begitu juga di sisi maknawi, saya memerlukan pertolongan orang lain, akan tetapi bagaimana orang tersebut akan menolong saya? Dengan demikian, taawun adalah sebuah prinsip dan sunnah dalam Islam yang memainkan peran penting dalam hubungan sosial baik dari sisi materi maupun maknawi.

Salah satu kriteria lain dari ayat taawun dalam surat al-Maidah adalah pada saat yang sama ayat ini mengandung anjuran penekanan dan juga penafian. Sebuah peraturan yang lengkap adalah yang mengandung penekanan dan juga penafian. Manusia dalam kehidupannya dan untuk hidup, dia memerlukan taawun dan jika peraturan taawun itu lengkap, maka harus mengandung ketentuan tentang apa saja yang termasuk taawun dan apa saja yang tidak. Menolong harus bersifat konstruktif bukan destruktif.

Jika kita melihat pada ayat ini, maka kita akan temukan bahwa ketentuan yang telah ditetapkan Allah Swt itu sudah lengkap, karena selain mengandung penekanan atau anjuran, juga menyebutkan penafian atau larangan.

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ‌ وَالتَّقْوَى

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.

Itu adalah sisi penekanannya. Adapun sisi penafiannya adalah:

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

Pada pertemuan selanjutnya kita akan bahas sisi penekan dari ayat tersebut, kemudian sisi penafiannya. Kita akan bahas satu per satu kata dalam ayat tersebut.

Selasa, 20 November 2012 13:55

Usia Maksumin Ketika Menikah

Sekaitan dengan pentingnya pernikahan dalam Islam, banyak ayat dan riwayat yang membicarakan masalah ini. Allah Swt dalam surat Rum ayat 21 berfirman, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."

Namun sebagian pemuda dengan pelbagai alasan berusaha mengakhirkan sunnah Nabi ini dengan menunda-nunda masa pernikahannya. Sementara perilaku Maksumin as menunjukkan para pemimpin agama kita lebih cepat menikah dari para pemuda saat ini. Berikut ini usia Maksumin as ketika menikah:

 

1. Nabi Muhammad Saw

Usia saat menikah: 25 tahun

Nama istri: Sayidah Khadijah as.

Banyak yang mengenal Sayidah Khadijah as lewat kekayaannya. Tapi perlu diketahui bahwa banyak yang berusaha meminangnya, tapi beliau menolaknya. Seakan-akan hatinya telah tertambat pada seseorang yang menjadi kepercayaan Allah. Sayidah Khadijah as mengatakan, "Suatu hari saya melihat seorang cendekiawan Yahudi berkata kepada saya bahwa pemuda yang bekerja denganmu memiliki tanda-tanda kenabian."

Tentu saja Sayidah Khadijah berhak terpikat oleh pemuda bernama Muhammad Saw. Karena ia merupakan orang yang paling dipercaya dan jujur di masa itu. Oleh karenanya, beliau mengutus saudara perempuannya untuk meminang pemuda itu. Nabi Muhammad Saw menjawab bahwa saya harus meminta izin dari pamanku yang telah membesarkan diriku. Ini merupakan akhlak Nabi Muhammad Saw. Ketika dipinang, Nabi mengatakan bahwa ia tidak memiliki kekayaan selain pakaian yang dimilikinya dan yang dapat diberikan kepada Sayidah Khadijah adalah kehidupan yang sederhana. Sayidah mendengar itu mengatakan bahwa yang saya dengan tentangmu dari orang-orang adalah kebersihan hatimu. Saya tahu apa yang engkau miliki, bahkan saya mengetahui juga hal-hal yang tidak diketahui orang lain.

 

2. Imam Ali as

Usia saat menikah: 25 tahun

Nama istri: Sayidah Fathimah Zahra as.

Sebagaimana ibunya, banyak yang berusaha meminang Sayidah Fathimah as, termasuk Abu Bakar dan Umar (Khalifah pertama dan kedua). Nabi Muhammad Saw saat itu berkata kepada keduanya bahwa Allah yang menentukan pernikahan Fathimah as dan saya sedang menanti perintah Allah. Abdurrahman bin Auf, salah satu orang terkaya Arab juga berusaha meminang putri Rasulullah. Kepada Nabi, Abdurrahman bin Auf berkata bahwa dirinya siap memberikan mahar yang banyak kepada Sayidah Fathimah as. Nabi Muhammad Saw tidak senang dengan perilaku Abdurrahman bin Auf dan berkata, "Apakah engkau ingin memaksakan pernikahan kepadaku dengan uang?"

Setelah Nabi Muhammad Saw menolak pinangan Abu Bakar dan Umar, keduanya pergi menemui Ali as. Waktu itu Imam Ali as tengah berada di kebun kurma milik seorang warga Anshar. Ketika berhasil menemuinya, mereka berbicara tentang penolakan Nabi Muhammad Saw. Setelah itu keduanya mengusulkan bahwa menurut keduanya, Rasulullah pasti akan menerima permintaanmu meminang anak perempuan.

Imam Ali as kemudian mengganti bajunya dan dengan penampilan yang bersih, beliau menemui Rasulullah Saw. Tapi beliau menyampaikan keinginannya meminang Sayidah Fathimah as dengan rasa malu. Mendengar permintaan itu, Rasulullah Saw sangat senang dan berkata, "Tunggulah sebentar. Saya akan menanyakan pendapat Fathimah as."

Ketika Rasulullah Saw bertanya kepada Fathimah as tentang pinangan Ali, anak pamannya. Fathimah menundukkan kepalanya dan memilih diam. Nabi kemudian mengatakan bahwa diam adalah tanda kerelaan. Setelah itu Nabi Saw kembali menemui Ali as dan bertanya, "Apa yang engkau miliki untuk menikah?" Imam Ali as dengan jujur mengatakan bahwa seluruh kekayaan saya hanya sebilah pedang, onta dan pakaian perang. Nabi kemudian mengatakan bahwa onta untuk bekerja dan pedang untuk berjihad. "Sekarang juallah pakaian perangmu dan siapkan untuk mahar," pinta Nabi.

Imam Ali as menjual baju perangnya seharga 480 dirham dan semuanya diberikan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai mahar pernikahannya.

 

3. Imam Hasan as

Usia saat menikah: 18 tahun

Nama istri: Ummu Abdillah.

Imam Hasan as dipanggil dengan sebutan Sibth Akbar, karena ia punya banyak kemiripan dengan Nabi Muhammad Saw. Mungkin ini juga satu sebab banyak orang tua yang menginginkan Imam Hasan as meminang anak perempuannya. Imam Ali as bertanya kepada Imam Hasan as, "Apakah ada perempuan yang engkau sukai?"

Imam Hasan as dengan sopan dan penghormatan mengatakan bahwa apa yang engkau pilih, aku juga pasti menyukainya.

Imam Ali as kemudian mengirim beberapa perempuan Muhajirin dan Anshar untuk meminang Ummu Abdillah. Setelah mendapat jawaban positif, beliau menyelenggarakan acara pernikahan untuk anaknya. Di acara pernikahan anaknya, Imam Ali as berdoa kepada Allah Swt agar memberi anak-anak kepada Imam Hasan as dan istrinya yang dapat berkorban untuk agama. Doa beliau terkabulkan. Karena Abdullah, anak mereka ikut hadir di Karbala dan mereguk cawan syahadah di sana.

 

4. Imam Husein as

Usia saat menikah: 30 tahun

Nama istri: Shahr Banu

Tidak ada sumber sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan mengenai apakah sebelum menikah dengan Shahr Banu, Imam Husein as pernah menikah atau tidak.

Shar Banu merupakan putri Yazdgerd III, keturunan terakhir Dinasti Sassanid. Sebelum Iran dikuasai oleh Muslimin, Shahr Banu di suatu malam sempat bermimpi bahwa Nabi Muhammad Saw memasuki istana Madain bersama Imam Husein as dan duduk di dekatnya. Nabi Saw memperkenalkan Imam Husein as kepada Shahr Banu dan berkata, "Wahai putri Raja Ajam! Saya menjadikanmu sebagai tunangan Husein."

Malam berikutnya ia masih bermimpi. Tapi kali ini yang ada dalam mimpinya adalah Sayidah Fathimah as. Ia melihat Sayidah Fathimah memasuki istana dan berbicara kepadanya, "Wahai putriku! Bila engkau ingin menjadi istri anakku Husein, maka engkau harus memeluk Islam."

Shahr Banu di masa itu menerima semua prinsip-prinsip Islam. Beberapa waktu berlalu, Shahr Banu menjadi tawanan pasukan Muslim ketika berhasil mengalahkan sejumlah kota Iran. Shahr Banu kemudian dibawa dari Iran ke Madinah, sebagai ibukota pemerintahan Islam waktu itu. Ketika tiba, Imam Ali as membebaskannya dan setelah itu beliau menikah dengan Imam Husein as. Shahr Banu mendapat kebanggaan sebagai ibu dari Imam Ali Zainal Abidin as.

Sekaitan dengan pernikahan ini, Imam Ali as berkata kepada Imam Husein, "Engkau harus menjaga dan melindungi istrimu, Shahr Banu dengan baik. Berbuat baiklah kepadanya. Karena tidak lama lagi, ia akan memberikan seorang anak kepadamu yang menjadi penduduk bumi paling baik."

 

5. Imam Sajjad as

Usia saat menikah: 19 tahun

Nama istri: Fathimah binti Imam Hasan as

Satu-satunya istri yang dinikahi Imam Sajjad as lewat nikah daim adalah Fathimah bin Imam Hasan as. Ketika Imam Sajjad as tumbuh besar, Imam Husein as berkata kepadanya, "Apakah engkau ingin aku pilihkan perempuan terbaik? Dia adalah Fathimah, anak dari kakakku."

Imam Sajjad as yang waktu berusia sekitar 19 tahun menjawab, "Siapa yang lebih baik dari anak pamanku. Karena ia memberi aroma pamanku, Imam Hasan as."

Fathimah setelah syahadah ayahnya dibesarkan oleh Imam Husein as. Oleh karenanya, ia memiliki derajat tersendiri. Suatu waktu Imam Shadiq as berbicara tentang Fathimah, anak Imam Hasan as, "Ia seorang perempuan jujur dan tidak ada perempuan yang menyamainya dalam keutamaan."

Dalam acara pinangan Fathimah, bibi mereka Sayidah Zainab as juga ikut hadir. Fathimah dalam peristiwa Karbala ikut bersama suaminya, Imam Sajjad as dan anak mereka Imam Baqir as yang waktu itu berusia 5 tahun juga bersama mereka.

 

6. Imam Baqir as

Usia saat menikah: 25 tahun

Nama istri: Fathimah

Populasi Bani Hasyim di kota Madinah semakin bertambah dan banyak gadis-gadis dari keluarga Bani Hasyim dan Alawi sangat berharap dapat menjadi istri Imam Muhammad Baqir as. Tapi Imam Sajjad as memilihkan Ummu Farwah yang nama lainnya adalah Fathimah menjadi istri anaknya, Imam Baqir as.

Sekalipun Ummu Farwah waktu itu masih dalam usia remaja, tapi telah menunjukkan sikap yang matang dengan kesempurnaan akhlak. Ketika ia berbicara, maka yang terlihat adalah ketenangan dan penguasaan diri yang baik. Ia sangat tenang tapi tegas.

Sekaitan dengan kepribadian Ummu Farwah, cukuplah apa yang disampaikan Imam Shadiq as tentang ibunya. Beliau berkata, "Ibuku adalah perempuan beriman, takwa dan senantiasa berbuat baik. Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik."

 

7. Imam Shadiq as

Usia saat menikah: 43 tahun

Nama istri: Hamidah Khatun

Ada poin penting yang perlu diketahui bahwa tidak ada informasi dari buku-buku sejarah tentang pernikahan Imam Shadiq as sebelum berusia 43 tahun.

Hamidah Khatun, istri Imam Shadiq as berasal dari Andalusia dan hasil dari pernikahan ini adalah Imam Kazhim as. Hamidah Khatun mendapat penghormatan di antara perempuan Alawi dan setelah menikah dengan Imam Shadiq as ilmu, makrifat dan kesempurnaannya semakin bertambah. Hal itu dengan mudah dicapainya karena hidup bersama keluarga suci.

Keilmuan dan ketakwaan Hamidah Khatun tumbuh sedemikian cepatnya dan ia banyak mengetahui masalah-masalah keislaman. Itulah mengapa Imam Shadiq as berkata kepadanya agar mengajarkan hukum dan ajaran Islam kepada perempuan muslim.

Sekaitan dengan kepribadian istrinya, Imam Shadiq as berkata, "Hamidah seperti emas murni dan terbebas dari segala yang tidak murni. Para malaikat senantiasa menjaganya, sehingga Allah Swt memberikan kemuliaan kepadaku dan hujjah setelahku."

Hamidah adalah seorang perempuan pintar dan perawi yang dipercayai. Ia terkadang meriwayatkan ucapan Imam Shadiq as.

 

8. Imam Kazhim as

Usia saat menikah: 20 tahun

Nama istri: Najmah

Najmah adalah istri Imam Kazhim as dan berasal dari Andalusia. Hamidah, ibu Imam Khazim as terlebih dahulu mengenalnya dan ibunya pula yang memilihkan Najmah sebagai istri anaknya, Imam Kazhim.

Sebelum menikah, Najmah biasa pergi ke rumah Imam Shadiq as dan belajar agama Islam kepada Hamidah. Najmah merupakan perempuan terbaik dari sisi pemikiran dan keberagamaan. Najmah sangat menghormati Hamidah dan di hadapan Hamidah, ia begitu menjaga akhlaknya.

Hamidah berkata, "Ketika Najmah datang ke rumah kami, saya sempat bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad Saw dan beliau berkata kepadaku, ‘Hamidah! Berikan Najmah kepada anakmu Musa dan jadikan ia sebagai istrinya. Karena sesungguhnya setelah itu akan lahir orang terbaik di atas bumi.' Saya kemudian melaksanakan perintah ini dan meminang Najmah menjadi istri Kazhim, anakku."

Najmah adalah seorang yang bertakwa, memiliki keutamaan akhlak dan perempuan yang berjiwa besar.

 

9. Imam Ridha as

Usia saat menikah: 25 tahun

Nama istri: Khizran

Poin penting yang patut mendapat perhatian adalah tidak ada sumber sejarah terpercaya yang menyebutkan apakah Imam Ridha as sebelum menikah dengan Khizran pernah menikah atau tidak.

Khizran berasal dari daerah Naubah, sebuah kota di selatan Mesir. Imam Ridha as mendeskripsikan istrinya seperti ini, "Istriku Khizran seorang perempuan suci. Ia adalah perempuan yang dipersiapkan oleh Allah dalam kesucian yang tiada bandingnya. Ia adalah perempuan yang akan membawaku kepada cita-citaku dan memberiku seorang anak bernama Jawad."

Ayatullah Qarahi memiliki keyakinan bahwa lahirnya seorang anak yang baik tidak saja ayahnya harus baik, tapi ibu juga sangat berpengaruh. Oleh karenanya, dalam memilih istri jangan hanya melihat wajahnya saja, tapi juga harus memperhatikan perilakunya. Karena anak yang baik lahir dari seorang ayah dan ibu yang baik.

 

10. Imam Jawad as

Usia saat menikah: 20 tahun

Nama istri: Samanah

Imam Jawad as untuk pertama kalinya pada usia 9 tahun dipaksa menikah oleh Makmun, Khalifah Abbasiah dengan anaknya Ummul Fadhl dan pada usia 20 tahun beliau menikah dengan Samanah. Ummul Fadhl sendiri adalah seorang perempuan mandul.

Beberapa tahun setelah itu Imam Jawad as memiliki seorang pelayan terhormat dan suci bernama Samanah yang berasal dari Maroko. Ia adalah cucu dari Ammar Yasir. Imam Jawad as menikah dengannya dan darinya beliau mendapat anak bernama Imam Hadi as. Menurut data sejarah, Ummul Fadhl pada akhirnya diperintah oleh Mu'tashim, Khalifah Abbasiah waktu itu untuk meracuni Imam Jawad as dan beliau gugur syahid.

 

11. Imam Hadi as

Usia saat menikah: 20 tahun

Nama istri: Susan

Susan seorang perempuan terhormat dan ilmuwan. Ia berasal dari daerah Naubah, sebuah kota di selatan Mesir. Sudah menjadi takdirnya ia dibawa ke Madinah dan di sana ia menjadi istri Imam Hadi as. Ketika mereka membawanya kepada Imam Hadi as dan menjadi istrinya, Imam Hadi as berkata tentang istrinya, "Susan telah disucikan dari segala penyakit, kekurangan, keburukan dan ketidaksucian."

Imam Hadi as kepada istrinya berkata, "Allah segera menganugerahkan hujjah-Nya kepada makhluk-Nya dan seluruh dunia akan dipenuhi dengan keadilan setelah sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman."

Susan juga dipanggil sebagai nenek Imam Mahdi af.

 

12. Imam Hasan Askari as

Usia saat menikah: 22 tahun

Nama istri: Narjis Khatun

Narjis Khatun atau Nargis Khatun adalah anak raja seperti Shahr Banu, istri Imam Husein as. Sebagaimana yang ditulis oleh ahli-ahli sejarah, rencananya ia telah dijodohkan dengan sepupunya. Acara pernikahan telah dipersiapkan dan para tamu sudah banyak yang datang. Ketika itu acara belum dimulai, tiba-tiba terjadi gempa bumi dan pelaminan roboh dan hancur. Keponakan raja yang seharusnya menjadi menantu raja jatuh dari pelaminan dan pingsan. Kejadian ini terulang lagi. Orang-orang yang hadir menasihati raja agar tidak melanjutkan acara ini. Karena menurut mereka kejadian aneh ini petanda kemurkaan Allah dan akhir dari agama Kristen. Rajapun menerima usulan itu. Rencana pernikahan akhirnya dibatalkan.

Narjis Khatun sendiri mengatakan:

"Setelah kejadian itu, di malam hari saya tertidur dan bermimpi Nabi Isa as, Syam'un dan Hawariyun hadir di istana. Mereka menyiapkan sebuah pelaminan dari cahaya tepat di tempat pelaminan sepupuku. Tiba-tiba ada seorang yang memasuki acara itu dan cahayanya memenuhi seluruh istana. Mereka bertanya, ‘Siapa itu?'

Dijawab, ‘Itu adalah Muhammad bin Abdullah Saw, Nabi terakhir dan menantunya, Ali bin Abi Thalib as.'

Setelah itu saya melihat ada orang-orang penuh wibawa yang menghormati Nabi Isa as. Nabi Muhammad Saw kemudian maju dan berkata kepada Nabi Isa as, ‘Kami datang untuk meminang Melika (Narjis Khatun), yang merupakan keturunan penggantimu Syam'un untuk anakku Hasan Askari.'

Nabi Isa as memandng Syam'un dan berkata, ‘Kebahagiaan telah berpihak padamu. Satukan keturunanmu dengan keturunan Muhammad.'

Syam'un menerima pinangan itu dengan gembira.

Setelah mendapat persetujuan Syam'un, Nabi Muhammad Saw membacakan khutbah nikah dan menikahkan aku dengan Imam Hasan Askari as."

Ketika Narjis Khatun bersama sejumlah perempuan Roma tertawan oleh pasukan Islam dalam perang antara pasukan Romawi dan Islam, beliau menanti siapa yang akan mendatanginya. Suatu hari, saat para tawanan dibawa ke Baghdad dengan kapal, wakil Imam Hadi as pergi ke sana dan membelinya. Kemudian dengan penuh penghormatan Narjis Khatun dibebaskannya. Setelah itu keluarga Imam Hadi as meminangnya. Narjis Khatun dengan gembira menerima pinangan itu dan dengan demikian, mimpinya menjadi kenyataan.