
کمالوندی
Yaman Menyimpan Naskah Al-Quran Tulisan Tangan Imam Ali
Naskah al-Quran dalam tulisan tangan Amirul Mukminin Ali as disimpan di perpustakaan Masjid Kabir Sanaa. Menurut laporan televisi al-Masirah hari Sabtu (23/04/2022), Ali al-Daulah, direktur perpustakaan Masjid Kabir Sanaa, ibu kota Yaman, menilai upaya melindungi naskah al-Quran di negara ini sebagai dokumen yang kredibel tentang hubungan rakyat Yaman dengan Imam Ali as.
Di perpustakaan Masjid Kabir Sanaa, beberapa manuskrip disimpan, tetapi mushaf ini adalah salah satu yang paling penting dan menonjol.
Al-Daulah menambahkan bahwa bagian-bagian dari halaman al-Quran diresapi dengan zat yang menurut para ahli, adalah darah syuhada.
Ali al-Daulah, direktur perpustakaan Masjid Kabir Sanaa mengatakan bahwa mushaf ini terdiri dari dua jilid, yang pertama dari awal hingga akhir Surah Kaf dan jilid kedua dari Surah Maryam hingga Surah al Hasyr.
“Mus’haf ini memiliki nilai sejarah di seluruh dunia Islam karena merupakan al-Quran tertua di dunia Islam dan Yaman, di mana dari awal hingga akhir ditulis dengan satu gaya penulisan,” kata Hammoud al-Ahnumi, seorang peneliti Islam dan anggota Asosiasi Ulama Yaman.
Sebelumnya, naskah asli mushaf ini disimpan di masjid Syahidain. Masjid Syahidain terkait dengan nama Qasim dan Abdurrahman, dua anak Ubaidullah bin Abbas, wakil Imam Ali as di Yaman yang gugur syahid di tangan pengikut Muawiyah bin Abi Sufyan.(spn/sl)
Masjid Imam Ali as di Yaman
Salah satu masjid kuno tertua dalam sejarah Yaman dan dalam sejarah Islam pada umumnya adalah Masjid Imam Ali ibn Abi Thalib as di kawasan lama Sanaa.
Menurut sejarawan, pembangunan masjid ini dimulai pada tahun kedelapan Hijriyah, yaitu dibangun dua tahun setelah pembangunan Masjid Jami' Sanaa.
Menarik untuk dicatat bahwa masjid itu dihiasi dengan tulisan Kufi (Hadde Kufi) yang dikaitkan dengan kota Kufah.
Masjid ini dikatakan telah didirikan pada periode awal Islam, diperkirakan pada tahun 633 Sementara tanggal pasti konstruksi tidak diketahui, renovasi tercatat paling awal terjadi di bawah Khalifah al-Alid I pada awal abad ke-8, menyiratkan kemungkinan tanggal konstruksi lebih awal. Masjid tersebut dilaporkan dibangun sebagian dari spolia dari Istana Ghumdan era Himyarite dan dari Gereja Kristen Axumite al-Qalis yang sebelumnya menempati situs tersebut. Masjid Agung adalah yang terbesar dan paling terkenal dari lebih dari seratus masjid di Kota Tua Sana'a.
Bangunan ini telah mengalami renovasi pada abad ke-8, abad ke-13, dan pada masa Ottoman. Sebuah temuan arkeologi penting adalah manuskrip Sana'a, ditemukan di sana selama restorasi pada tahun 1972. Saat ini, Masjid Agung Sana'a adalah bagian dari Situs Warisan Dunia UNESCO Kota Tua Sana'a.
Lokasi
Kota Sana'a adalah pusat militer kerajaan pra-Islam Sabeans dan merupakan pusat penting bagi Kerajaan Himyarite. Masjid, yang ditugaskan oleh Nabi Muhammad, yang menginstruksikan untuk pembangunannya di dalam taman gubernur Persia, dibangun di atas reruntuhan Istana Ghumdan Sheba, di antara dua wilayah Sana'a pada saat itu: al-Qati dan al-Sirar. Masjid Agung dibangun di dekat suq, yang sudah ada pada saat pembangunannya.
Di tahun-tahun berikutnya, perencanaan kota, perluasan dan orientasi sangat dipengaruhi oleh pembangunan Masjid Agung dan dua masjid lainnya di sisi utara kota.
Arsitektur
Masjid Agung dibangun dengan gaya batu loncatan, yang dihubungkan dengan batu Abyssinian Axumite kuno yang serupa. Langit-langit kayu, terbuat dari kayu lacunari, diukir dan dicat.
Halaman tengah berukuran 80 kali 60 meter (260 kaki × 200 kaki), dengan ruang sholat diatur dalam arah utara-selatan.Aula dengan tiga lorong yang disejajarkan di sepanjang arah timur-barat dibangun dengan bahan-bahan dari periode pra-Islam yang dibawa dari daerah lain. Di dalam halaman terdapat struktur kubah yang berasal dari abad ke-16. Ini adalah bangunan Ottoman yang menyerupai Ka'bah di Mekah, namun dikatakan bahwa keduanya tidak terhubung karena lapisan bahan berwarna yang bergantian, yang merupakan teknik ablaq, sebelum Islam di wilayah tersebut. Bangunan ini pertama kali berfungsi sebagai perbendaharaan masjid, dan kemudian sebagai tempat penyimpanan wakaf dan memiliki perpustakaan besar dan manuskrip kuno lainnya. Bangunan ini mungkin awalnya memiliki fitur air seperti kolam wudhu di bawahnya bagi mereka yang ingin bersuci ketika mengunjungi masjid.
Arcade batu interior dari atap datar masjid disarankan untuk menjadi fitur arsitektur Bizantium dari Kekaisaran Axumite. Ini dibuktikan dengan fakta bahwa Kekaisaran Axumite mendirikan katedral terbesarnya di dalam kota Sana'a dan sisa-sisa katedral ini, serta dari istana Gumdan dan tempat-tempat ibadah Kristen dan Yahudi, dimasukkan ke dalam Masjid Agung. Bukti lebih lanjut dari hubungan ini adalah sebuah prasasti dalam bahasa pra-Islam di wilayah tersebut, Sabaic, dalam dukungan lengkungan batu yang digunakan kembali menyiratkan bahwa itu terhubung dengan arsitektur Bizantium.
Menara barat, yang dibangun selama restorasi Ratu Arwa binti Ahmad, mirip dengan masjid-masjid pada periode yang sama yang dibangun di Kairo, karena hubungannya yang erat dengan dinasti Fatimiyah di Mesir.
Imam Husain As dan Makna Tsârallâh
Tsar di samping bermakna menuntut darah juga bermakna darah yang mengucur.
Sesuai dengan makna pertama, Imam Husain As disebut sebagai Tsârallâh karena merupakan wali Darah dan orang yang menuntut darahnya adalah Allah Swt.
Namun apabila Tsârallâh dimaknai sebagai darah Tuhan, berdasarkan beberapa dalil yang akan dijelaskan sebagai berikut, Imam Husain As disebut sebagai Tsârallâh:
Tsâr ditambakan pada kata Allah menjadi kata majemuk untuk menjelaskan bahwa darah ini adalah darah mulia; penambahan ini disebut sebagai penambahan yang memberikan kemuliaan (idhafa tasyrifiyyah)
Manusia sempurna yang pada tingkatan-tingkatan kesempurnaan sampai pada makam qurb farâidh akan menjadi Yadullâh, Lisânullâh dan Tsârullâh; artinya ia akan menjadi tangan Tuhan sedemikian sehingga apabila Tuhan hendak melakukan sebuah pekerjaan maka pekerjaan itu dilakukan melalui tangannya. Ia akan menjadi lisan Ilahi sedemikian sehingga apabila Allah Swt ingin bertutur kata maka dengan lisan orang tersebut Dia akan bertutur kata. Ia akan menjadi Tsârullâh (darah Tuhan) sedemikian sehingga apabila Allah Swt hendak memberikan kehidupan pada agamanya maka Dia akan menggunakan darah orang tersebut. Imam Husain As adalah Tsârullâh; karena darah yang tumpah dari imam telah menyebabkan kehidupan baru berhembus kepada agama.
Kami meyakini bahwa makna pertama meski merupakan makna yang benar namun makna kedua juga merupakan makna yang tepat atas penamaan ini dan bagi seorang ahli yang menelusuri kedalaman makna ini menempatkan makna ini sebagai prioritas dengan beberapa alasan.
Jawaban Detil:
Sehubungan dengan masalah ini pertama-tama harus dikatakan bahwa gelar ini disematkan untuk dua Imam Maksum As, Imam Ali As dan Imam Husain As. Dalam ziarah Imam Husain As kita membaca, “Assalamu ‘alaika Ya Tsârallâh wabna Tsârihi”[1] Salam padamu wahai Darah Tuhan dan anak darah Tuhan.
Terkait dengan makna Tsarallâh terdapat dua kemungkinan:
Bermakna menuntut darah: Dalam kamus kata “al-tsâr” bermakna “al-thalab biddam” (menuntut darah). Atas dasar itu, Tsârallâh artinya seseorang yang walinya dan orang yang menutut darahnya adalah Tuhan.
Perlu kita ketahui bahwa seruan menuntut darah Husain As yaitu syiar “ya litsarat al-Husain” syiar kebangkitan Tawwabin dan juga pemberontakan Mukhtar.[2] Demikian juga syiar para malaikat yang berdiam di samping kuburannya hingga kemunculan Imam Zaman As,[3] dan juga syiar Imam Mahdi Ajf tatkala bangkit[4] dan syiar para sahabatnya yang rela untuk mati syahid bersamanya.[5]
Makna kata “Tsârallâh” yang telah dijelaskan adalah makna yang diterima sekelompok besar ulama Islam;[6] sesuai dengan makna ini, Tsârallah artinya orang yang menebus darahmu yang berharga (wahai Husain) adalah Allah Swt dan Dialah yang akan menebus darahmu; karena engkau tidak hanya dimiliki oleh satu keluarga sehingga kepala keluarga yang harus mengambilnya, dan juga bukan miliki suatu suku sehingga kepala suku yang harus menuntutnya. Engkau (Wahai Husain) adalah milik dunia kemanusiaan. Engkau miliki alam eksistensi dan Zat suci Allah Swt. Karena itu, orang yang harus menuntut darahmu adalah Allah Swt sendiri. Demikian juga, engkau adalah putra Ali bin Abi Thalib As yang gugur di jalan Allah dan Allah jugalah yang akan menuntut darahnya.
Tsârallâh bermakna darah Tuhan; Dari ucapan Allamah Majlisi Ra disimpulkan bahwa al-Tsâr bermakna darah dan menuntut darah.[7] Dan yang menyokong ucapannya adalah makna yang ditunjukkan dalam kitab Lisân al-‘Arab terkait dengan makna kata “al-tsar.”
Lisan al-‘Arab menyatakan, “al-tsar al-thalab biddam wa qila: al-dam nafsuhu” artinya bahwa kata al-tsar bermakna menuntut darah dan disebutkan bahwa darah itu sendiri.[8] Karena itu dapat dikatakan bahwa Husain adalah darah Tuhan namun apakah makna ini dapat diterima dan apakah Tuhan itu sosok jasmani yang memiliki darah serta apakah benar kita dapat mengilustrasikan Tuhan seperti ini?
Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa kata-kata seperti Yadullah dan lain sebagainya yang digunakan dalam kebudayaan Islam merupakan sebuah ungkapan kiasan atau majas;[9] misalnya disebutkan bahwa Ali As itu adalah Yadullah tentu bukan maksudnya ingin mengatakan bahwa Allah Swt itu benda dan seperti manusia memiliki tangan dan tangan-Nya adalah Imam Ali As. Maksud Yadullah di sini adalah bahwa Ali As adalah jelmaan kekuatan (qudrah) Ilahi. Atas dasar itu pembenar penyebutan gelar Tsârallâh atas Imam Husain As boleh jadi didasari oleh tiga kemungkinan berikut ini:
Idhafa “tsara” pada “Allah” adalah idhafah tasyrifiyah; artinya darah ini ditambahkan pada Allah Swt yang merupakan Entitas termulia sehingga darah tersebut memperoleh kemuliaan dan untuk diketahui bahwa darah ini adalah darah mulia; karena tumpah demi Allah Swt. Karena itu darah tersebut adalah milik Allah Swt sebagaimana redaksi ayat yang menyatakan, “hadzihi naqatullah”[10] naqah ditambahkan kepada Allah Swt atau pada redaksi “baitullah” dan “’inda baitika al-muharram”[11] kata “bait” ditambahkan pada Allah dan kata ganti orang pertama untuk memperoleh kemuliaan.[12]
Manusia sempurna yang pada tingkatan-tingkatan kesempurnaan sampai pada makam qurb farâidh[13] akan menjadi Yadullâh, Lisânullâh dan Tsârullâh; artinya ia akan menjadi tangan Tuhan sedemikian sehingga apabila Tuhan hendak melakukan sebuah pekerjaan maka pekerjaan itu dilakukan melalui tangannya. Ia akan menjadi lisan Ilahi sedemikian sehingga apabila Allah Swt ingin bertutur kata maka dengan lisan orang tersebut Dia akan bertutur kata. Ia akan menjadi Tsârullâh (darah Tuhan) sedemikian sehingga apabila Allah Swt hendak memberikan kehidupan pada agamanya maka Dia akan menggunakan darah orang tersebut. Imam Husain As adalah Tsârallâh; karena darah yang tumpah dari imam telah menyebabkan kehidupan baru berhembus kepada agama.
Bagaimanapun dalam teks-teks agama, gelar “Tsârallâh” dilekatkan untuk Imam Husain As. Kami yakin bahwa makna pertama meski merupakan makna yang benar namun makna kedua juga merupakan makna yang tepat atas penamaan ini dan bagi ahlinya yang menelusuri kedalaman makna ini menempatkan makna ini sebagai prioritas dengan beberapa alasan.
Dalam tinjauan ini, Imam Husain As adalah darah Allah Swt mengingat kucuran darah Imam Husain telah memberikan nafas dan kehidupan baru pada agama serta telah menjadi sebab nama Allah Swt hidup. Tuhan yang secara perlahan dilupakan dan dihapuskan. Ibadah kepada-Nya digantikan oleh adat dan tradisi jahiliyah.
Karena itu disebutkan bahwa Islam itu adalah “nabawi al-huduts wa husaini al-baqa” dan jelas bahwa manusia untuk tetap dapat melangsungkan hidupnya memerlukan darah dan mengalirnya darah dalam pori-pori adalah simbol hidup dan kehidupan. Tatkala darah tidak lagi mengalir dan berhenti bergerak maka manusia akan mati. Persis untuk kelestarian Islam juga darah harus mengalir dalam pori-pori dan berdasarkan hal tersebut apabila suatu hari darah ini terpisah dari rangka badan maka kematian sudah pasti baginya dan setelah itu apa yang tersisah hanyalah seonggok jasad tanpa ruh dan jiwa.[14] [iQuest]
[1]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 4, hal. 576. Redaksi doa ini disebutkan pada ziarah pertama bulan Rajab, pertengahan Rajab, Sya’ban dan ziarah Imam Husain As pada hari Arafat.
[2]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 45, hal. 333; Ali Karami, Dar Sug Amir Âzâdi – Guyâtarin Târikh-e Karbâla, hal. 385.
[3]. Empat ribu malaikat turun untuk membantu Imam Husain As dan mendapati Imam Husain As telah syahid, mereka menanti dan berlumuran tanah di tepi pusara Imam Husain As hingga Imam Mahdi Ajf muncul dan membantunya. Slogan mereka adalah “Ya Litsarati al-Husain.” Syaikh Shaduq As, Al-Âmâli, hal. 130, al-Majlis al-Sabi’ wa al-‘Isyrun; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 44, hal. 286.
[4]. Syaikh Abbas Qummi, Muntahâ al-Âmal, jil. 1, hal. 542; Demikian juga Imam Baqir As bersabda, “Wa al-qaim minna idza qama thalaba bitsarat al-Husain As.” Muhammad Baqir Majlisi, Bihar al-Anwar, jil. 44, hal. 218.
[5]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 308.
[6]. Ayatullah Makarim Syirazi berkata, “Tsar dalam bahasa Arab tidak pernah disebutkan bermakna darah namun bermakna harga darah. Dalam bahasa Arab darah padanannya adalah dam. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 4, hal. 229.
[7]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihara al-Anwar, jil. 98, hal. 151. Beliau dalam memberikan uraian redaksi kalimat, “Wa annaka tsâruLlâh fi al-Ardh” berkata:
«الثأر بالهمز، الدم و طلب الدم أي أنك أهل ثار الله و الذي يطلب الله بدمه من أعدائه أو هو الطالب بدمه و دماء أهل بيته بأمر الله في الرجعة»
[8]. Muhammad bin Mukarram Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, jil. 4, hal. 97.
[9]. Silahkan lihat, Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 4, hal. 229; Muhsin Qira’ati, Tafsir Nur, jil. 2, hal. 433.
[10]. “Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu.” (Qs. Hud [11]:64)
[11]. “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati.” (Qs. Ibrahim [14]:37)
[12]. Silahkan lihat Sayid Muhammad Husaini Syirazi, Taqrib al-Qur’an ila al-Adzhan, jil. 2, hal. 200.
«هذِهِ ناقَةُ اللَّهِ» الإضافة إلى الله تشريفية، كإضافة مكة إلى الله يقال: «بيت الله»، و إضافة دم الحسين (ع) إلى الله، يقال: «ثار الله»
[13]. Apa yang mendekatkan manusia kepada Allah Swt, apakah itu melalui nawâfil yang bermakna hal-hal yang mendekatkan hamba kepada Tuhan dan Allah Swt tidak mewajibkan hal tersebut, melainkan mereka sendiri yang mewajibkan diri mereka untuk taqarrub kepada Allah. Atau melalui farâidh yang bermakna hal-hal yang diwajibkan Allah Swt kepada para hamba dan para hamba juga menunaikannya dalam memenuhi perintah Allah Swt.
[14]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Qasim Turkhan, Negâresy Irfâni, Falsafi wa Kalâmi be Syakhshiyat-e wa Qiyâm Imam Husain As, hal. 91-104, Intisyarat-e Cilgeragh, Cetakan Pertama, 1388 S. Disebutkan bahwa seluruh literatur yang diberikan bersumber dari software-software Sentral Riset for Islamic Studies Nur.
Peringati Yaumul Quds, Massa Gelar Demo di Semarang
Lagu Indonesia Raya berkumandang membuka aksi demo besar di Bundaran Air Mancur Pahlawan yang dilanjutkan longmarch menuju kompleks kantor gubernur Jawa Tengah, pusat kota Semarang.
Sekitar seribuan pendemo yang terdiri dari anak-anak kecil, orang tua dan muda itu datang dari berbagai pelosok daerah di Jawa Tengah. Dengan penuh semangat terhadap pembelaan Palestina mereka mengibarkan bendera Merah Putih, Palestina, Yaman dan sebagian lagi membawa poster-poster dukungan kepada bangsa tertindas di dunia.
Berbagai bentuk tulisan kecaman terhadap arogansi AS, Saudi Arabia, Inggris dan zionis menambah militansi dan kobaran api semangat para pendemo tanpa mempedulikan sengatan panas siang kota Semarang pada Selasa, 26 April 2022 itu.
Pantauan Islam Times.org' target='_blank'>Islam Times di lapangan, demo dengan tema "al-Quds Poros Global Perlawanan" yang diakhiri sekitar pukul 16:00 itu berjalan tertib dan damai berkat kerjasama yang baik dan terukur antara tim koordinator dengan pihak kepolisian setempat.
Usai Lagu Indonesia Raya, aksi demo damai yang dimulai pukul 14:00 itu dilanjutkan dengan berbagai orasi dari para pimpinan aksi. Yel-yel semangat sebagai dukungan terus mengalir selama tiga jam yang diteriakkan secara serentak oleh massa pendemo mengikuti seruan komando dari atas mobil komando massa.
Sebagai bentuk dukungan dan solidaritas terhadap bangsa Palestina, Yaman dan bangsa-bangsa tertindas di dunia, Solidaritas Muslim Indonesia untuk al-Quds (SMIQ) sebagai koordinator demo, menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Mengutuk keras seluruh kebiadaban yang dilancarkan rezim kolonial zionis terhadap rakyat Palestina yang tidak bersenjata, termasuk di Bulan Suci Ramadan ini, mulai dari menculik dan menganiaya anak-anak, kaum perempuan, dan para manula yang sebagian besarnya berakibat fatal, menginjak-injak hak beribadah warga Palestina, menodai kesucian tempat ibadah umat Islam, dan lain-lain.
2. Menolak semua bentuk normalisasi dengan Rezim Kolonial dan Ilegal Zionis “Israel” sebagaimana yang telah dilakukan sejumlah elit diktator dan otoriter di Asia Barat dan Afrika Utara seraya terus berusaha mengingatkan mereka pada fakta bahwa kompromi apa pun dengan dengan pihak penjajah, sama artinya dengan mendukung dan melegalkan penjajahan sekaligus menempatkan dunia dan kemanusiaan dalam situasi yang sangat berbahaya.
3. Mendukung opsi satu negara, yaitu Negara Palestina Merdeka dengan bentuk negara yang diserahkan sepenuhnya pada kehendak Rakyat Palestina melalui Referendum, tanpa campur tangan pihak mana pun, terlebih dari Rezim Arogan AS dan sekutunya.
4. Mengutuk keras agresi brutal Rezim Monarki Saudi ke Yaman sejak 2015 silam serta pelanggaran pasukan koalisi agresor Pimpinan Monarki Saudi terhadap perjanjian gencatan senjata dengan terus melancarkan sejumlah serangan mematikan yang menarget warga sipil dan infrastruktur sosial Yaman.
5. Mengutuk keras aksi provokatif dan vulgar berupa pembakaran Kitab Suci Al-Quran oleh seorang Pimpinan Ekstrimis Swedia dengan penjagaan Pihak Keamanan Swedia dan dukungan Rezim Islamofobi Swedia, yang akan memperpanjang daftar dosa-dosa politik dan keagamaan barat terhadap umat Islam pada khususnya dan umat manusia pada umumnya.
6. Mengutuk keras standar ganda yang diterapkan media-media Barat yang begitu histeris dan jor-joran bila kepentingan mereka terusik seperti dalam kasus operasi militer Rusia ke Ukraina, namun bungkam, mengecilkan, bias, tidak berimbang, dan manipulatif dalam memberitakan tragedi kemanusiaan (yang justru diciptakan dan didalangi rezim arogan AS dan sekutunya) di Palestina, Suriah, Yaman, Irak, Afghanistan, dan lain-lain.
7. Mendesak Pemerintah RI Pimpinan Bapak Joko Widodo yang kami percaya berkarakter patriotik, konstitusional, bermartabat, dan amanah, agar lebih lantang dan kongkrit dalam menyuarakan pembelaannya terhadap bangsa terjajah dan tertindas Palestina dan Yaman di level Internasional maupun Nasional.
Aksi unjuk rasa damai itu ditutup dengan pembacaan doa Wahdah (persatuan) sambil bergandengan tangan, dan diakhiri dengan lantunan lagu Padamu Negeri secara bersama-sama. Massa kemudian membubarkan diri dengan tertib dan kembali ke daerahnya masing-masing di pelosok-pelosok Jawa Tengah.
Sementara itu, pada hari yang sama demo besar-besaran juga digelar di berbagai wilayah tanah air menuntut pembebasan Palestina dan mengutuk penjajahan Saudi Arabia atas Yaman. Di Surabaya dan Jakarta mereka melakukan aksi demo di depan Kedubes Amerika dan Saudi.
Demo Yaumul Quds adalah demonstrasi untuk mengingatkan kita semua akan isu kemusiaan Palestina yang tercabik-cabik oleh zionis. Para demonstran menentang hegemoni, arogansi dan dukungan Amerika, Inggris, Saudi Arabia terhadap zionis israel di tanah pendudukan.
Para demonstran menentang kezholiman yang diprakarsai bapak Revolusi Islam Imam Khomeini sejak 40 tahun terakhir dan disambut dan bergema di seluruh dunia. [MT]
Keutamaan-keutamaan Imam Ali a.s. Tidak Akan Pernah Dapat Tertutupi
Membicarakan perihal sosok Amirul Mukminin Ali a.s. bukanlah sesuatu yang mudah. Jika kita mengatakan jalan yang lurus itu lebih halus daripada sehelai rambut dan lebih tajam daripada sebilah pedang, maka kita harus mengatakan bahwa contoh dari hal itu ialah pembicaraan mengenai Amirul Mukminin Ali a.s. Banyak sekali buku yang telah ditulis mengenai Amirul Mukminin, dan banyak sekali syair yang telah dikatakan tentang beliau. Baik musuh maupun teman, Muslim maupun non-Muslim telah memberikan kesaksian akan hak-hak Imam Ali a.s.
George Jordac misalnya, ia telah menulis sebuah buku tentang Amirul Mukminin dengan judul Ali dan Suara Keadilan Kemanusiaan. Di dalam bukunya itu, dengan rinci dan menarik. George Jordac berbicara mengenai ilmu dan perjalanan hidup Imam Ali a.s. Buku ini sedemikian bagusnya sehingga seolah-olah merupakan sebuah ensiklopedia. Demikian juga buku yang telah ditulis oleh Abbas Mahmud al-Akkad dengan judul Kejeniusan Imam Ali. Begitu juga Ahmad Taimur telah menulis buku tentang Imam Ali dengan judul Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya Thaha dan Taufik al-Fakiki. Semua buku ini ditulis bukan oleh orang Syiah.
Imam Ali telah mendorong umat untuk mencari ilmu, dan menjadikannya sebagai pelita bagi mereka. Beliau telah menguasai pengetahuan dan menjelaskan jalan yang lurus kepada manusia sehingga jalan yang lurus itu benar-benar menjadi jelas bagi mereka. Dia juga telah menetapkan ajaran-ajaran yang dibentengi dengan kebenaran dan kebaikan.
Imam Ali a.s. telah meniti jalan khusus di dalam pengetahuannya. Dia mengangkat derajat ilmu dan orang berilmu. Karena, dia tahu betul bahwa kemanusiaan dapat bangkit dengan perantaraan keduanya, dan dengan keduanya pula manusia mampu memanfaatkan hidup dalam bentuk yang paling utama.
Pandangan Imam Ali a.s. tentang kebenaran merupakan pandangan irfani dan kemanusiaan, yang membawa manusia kepada kebahagiaan dan kenyamanan. Karena, kebenaran adalah sesuatu yang lebih berhak untuk diikuti. Dengan kebenaran, hukum dan masyarakat dapat berpadu dalam satu kemaslahatan; dengan kebenaran, manusia dapat mengetahui kemanusiaannya; dan dengan kebenaran, keadilan sosial dapat menyebar dari dan kepada masyarakat.
Penulis kitab al-Manaqib telah menukil dari Zamakhsyari di dalam kitabnya al-Mustashqa mengenai putusan seorang hakim. Penulis kitab al-Manaqib itu menceritakan, Amirul Mukminin Ali a.s. melihat seorang pemuda yang sedang menangis, lalu dia pun menanyakan apa sebabnya. Pemuda itu menjawab: “Ayah saya telah bepergian dengan mereka, namun tatkala mereka kembali ayah saya belum juga kembali, sementara ayah saya mempunyai harta yang banyak. Lalu saya mengadukan mereka kepada hakim, namun hakim justru memvonis saya.”
Mendengar itu, Imam Ali a.s. menyelidiki kejadian yang sesungguhnya. Dia melakukan sesuatu yang berbeda dengan hakim tadi di dalam menetapkan hukumnya. Imam Ali a.s. mencari bukti-bukti, namun dia tidak dapat memintanya dari pemuda itu. Seorang hakim harus mempunyai cara-cara tertentu untuk bisa mengumpulkan bukti-bukti dan menyelidiki perkara, untuk kemudian menjatuhkan putusan. Imam Ali a.s. telah menggunakan satu cara dalam mengungkap perkara ini.
Imam Ali a.s. memanggil salah seorang dari mereka dan menanyainya tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan perjalanan mereka dan orang yang terbunuh bersama mereka. Kemudian Imam Ali mengucapkan takbir, dan demikian juga orang yang bersamanya. Ucapan takbir itu diucapkannya dengan suara yang keras sehingga terdengar oleh para tertuduh lainnya, namun para tertuduh lainnya itu tidak menghadiri pembicaraan temannya yang sedang diperiksa, sehingga mereka mengira bahwa temannya itu telah mengakui kejahatannya.
Kemudian Amirul Mukminin a.s. memerintahkan supaya dia dibawa ke penjara. Selanjutnya Amirul Mukminin a.s. memanggil seorang lagi dari mereka, dan manakala orang itu masuk, dengan tiba-tiba Amirul Mukminin a.s. berkata: “Kamu mengira saya tidak tahu apa yang telah kamu perbuat?”
Maka orang itu pun mengakui perbuatannya. Setelah itu Imam Ali a.s. memanggil semuanya, dan mereka semua pun mengakui perbuatan mereka.
Diriwayatkan bahwa Imam Ali lah yang pertama-tama memisahkan para saksi di dalam Islam, dan dialah yang pertama kali mencatat kesaksian yang diberikan para saksi.
Syaikh Ash-Shaduq telah meriwayatkan dari Said bin Tharif, dari Asbag yang menceritakan ada seorang laki-laki datang kepada Amirul Mukminin a.s. dan berkata: “Wahai Amirul Mukminin, saya telah berzina. Oleh karena itu sucikanlah saya.”
Imam Ali a.s. pun berkata kepada kaum: “Apakah salah seorang di antara kamu jika melakukan dosa ini dia tidak mampu menutupi dirinya sebagaimana Allah menutupinya?”
Laki-laki itu berkata lagi: “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya saya telah berzina, maka sucikanlah saya.” Imam Ali a.s. bertanya kepada laki-laki itu: “Apa yang mendorongmu untuk mengatakan itu?” Laki-laki itu menjawab: “Mencari kesucian” Imam Ali a.s. berkata: “Kesucian mana yang lebih utama daripada tobat?”
Asy’ats menanyakan tentang tidak diberlakukannya hukuman atas laki-laki itu oleh Imam Ali a.s. Imam Ali a.s. menjawab: “Jika terdapat saksi maka tidak ada hak bagi imam untuk mengampuni. Namun, jika seseorang mengakui sendiri bahwa dia telah melakukan sesuatu, maka jika imam ingin mengampuninya dia dapat mengampuninya, maka jika dia ingin menjatuhkan hukuman padanya maka dia pun dapat melakukannya.”
Para sejarawan terpercaya telah menulis kata-kata yang sering diucapkan oleh Umar bin Khattab tentang Imam Ali, yaitu: “Ali telah memutuskan hukum bagi kita.” Bunyi perkataan ini dapat dijumpai di dalam kitab ash-Shawa’iq al-Muhriqah, karya Ibn Hajar asy-Syafi’i, halaman 78; atau juga di dalam kitab ar-Riyadh an-Nadharah, jilid 2, halaman 198.
Begitu juga perkataan Umar bin Khattab yang berbunyi: “Saya akan berada di dalam kesulitan jika tidak ada Abu Hasan.” Kata-kata ini dapat dijumpai di dalam kitab al-Isti’ab, karya Ibn Abdilbar, jilid 2, halaman 484. Demikian juga di dalam kitab Dakha’ir al-‘Uqba, karya ath-Thabari asy-Syafi’i, halaman 82.
Di dalam kitab al-Isti’ab disebutkan bahwa Siti Aisyah telah berkata tentang Ali: “Sesungguhnya dia adalah orang yang paling mengetahui sunah Nabi Saw.” Ketika Aisyah ditanya tentang Ali, Aisyah berkata: “Dia itu sebaik-baiknya manusia, dan tidaklah ragu kepadanya kecuali orang kafir.” Kata-kata ini pun dapat dijumpai di dalam kitab Kifayah ath-Thalib, al-Kanji asy-Syafi’i, halaman 119; Yanabi’ al-Mawaddah, karya al-Qanduzi al-Hanafi, halaman 246.
Ketika cendekiawan umat, Abdullah bin Abbas salah seorang tempat rujukan besar Islam ditanya tentang ilmu yang dimilikinya dibandingkan dengan ilmu Ali bin Abi Thalib, dia menjawab: “Tidak ubahnya seperti setetes air hujan dibandingkan lautan yang luas.”
Adapun kesaksian Rasulullah Saw yang telah menyertai, mendidik, dan membesarkannya, merupakan sebaik-baiknya kesaksian. Dari al-Kanji asy-Syafi’i di dalam kitabnya, al-Kifayah, halaman 98; dari Ibn Hajar di dalam kitabnya, ash-Shawa’iq al-Muhriqah, halaman 73; dari Khawarizmi al-Hanafi di dalam kitabnya, al-Manaqib, juz 7, halaman 40; dari Khatib al-Bagdadi di dalam banyak kitab; dan dari banyak sumber rujukan lainnya disebutkan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda, “Saya adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya.”
Dari Syeikh Sulaiman al-Qanduzi al-Hanafi di dalam kitabnya, Yanabi’ al-Mawaddah, halaman 254, disebutkan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda: “Ali adalah pintu ilmuku, dan penjelas bagi apa yang aku diutus dengannya kepada umatku sepeninggalku.”
Alquran al-Karim berkata dalam surat al-Baqarah: 189: “Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya.” Dan, Ali adalah pintu ilmu Rasulullah Saw.
*Disarikan dari buku karya Ayatullah Husain Mazhahiri – Jihad Melawan Hawa Nafsu
Kontroversi Akal dan Kalbu dalam Pembentukan Pengetahuan Manusia: Sebuah Refleksi Kritis (7)
“Semua benda material bergerak menuju ke-ada-an immaterial dengan bantuan daya-daya yang juga immaterial. Pada puncaknya, daya-daya immaterial juga bergerak mendekat ke arah Maha Penggerak Utama, yaitu Tuhan.”
Akan tetapi, Mulla Shadra mengajukan berbagai dalil untuk mendukung teori gerakan substansialnya. Selain empat aksiden yang sudah disebutkan sebelumnya,[1] Mulla Shadra membuktikan bahwa substansi juga mengalami pergerakan walaupun hakikatnya tetaplah sama.
Menurutnya, aksiden serupa dengan penumpang pesawat terbang yang tidak berperan aktif dalam menempuh jarak. Jarak penerbangan sesungguhnya ditempuh oleh badan pesawat, sementara aksiden bergerak dengan perantara gerakan pesawat yang tak lain adalah substansinya.
Dengan demikian, semua hal di alam material bergerak menuju suatu penyempurnaan. Dan karena setiap gerakan membutuhkan daya penggerak, maka Mulla Shadra menyimpulkan bahwa alam material senantiasa membutuhkan pada daya penggerak yang non-material.[2]
Dengan dasar itu, Mulla Shadra kemudian menunjukkan bahwa semua benda material bergerak menuju ke-ada-an immaterial dengan bantuan daya-daya yang juga immaterial. Pada puncaknya, daya-daya immaterial juga bergerak mendekat ke arah Maha Penggerak Utama, yaitu Tuhan.
Dalam filsafat Mulla Shadra, lebih tepat bila kita berbicara mengenai realitas material dalam bahasa peristiwa dan kejadian ketimbang sistem yang ajek dan statis. Alam raya berada dalam gerakan yang konstan dan berubah dalam setiap waktu. Dalam kerangka itu, maujud yang sedianya dipersepsi sebagai terkurung dalam ruang dan waktu tertentu, harus dipandang sebagai senantiasa bersiap-siap menjadi sesuatu yang lain.
Bagi Mulla Shadra, sarana yang memungkinkan skala rendah alam material mendaki puncak-puncak ketinggian alam immaterial ialah akal beserta berbagai tingkatan perwujudannya.
Seperti telah disebutkan, akal mengalami penyempurnaan terus-menerus. Mula-mula ia sebagai sekadar kesiapan untuk memahami dan mencerap; lalu berkembang menjadi kemampuan, kegiatan, kebiasaan, kemurnian dan demikian seterusnya sampai ia menjadi mata air sumber kesempurnaan manusia sebagaimana diisyaratkan oleh hadis yang menegaskan berbagai sifat baik sebagai anak buah dan prajurit akal.
Fungsi akal sebagai sarana manusia melepaskan diri dari materialitas dan potensialitas menuju imaterialitas dan aktualitas telah dibuktikan di karya-karya filosofis Mulla Sadra. Ada banyak bukti rasional yang menunjukkan bahwa akal yang berkutub ganda (kutub materi dan kutub ruhani) mendukung fungsi tersebut.
Fungsi yang demikian itu oleh sebagian filosof dan urafa dikaitkan dengan kedudukan wilayah imajinal (alam al-khayal) yang dirancang untuk menghubungkan alam yang lebih rendah, alam yang tumbuh dan binasa (al-kawn wal fasad), dengan tingkatan-tingkatan realitas di alam-alam yang lebih tinggi.
Peran utama alam imajinal itu sebetulnya ialah menjadi model atau tiruan yang bisa memperantarai (mediate) citra-citra fisik dan citra-citra abstrak dalam realitas.
Objek material tidak bisa langsung berhubungan dengan alam akal, karena ketakmampuannya keluar dari kubangan ruang dan waktu. Maka itu, diperlukan kekuatan imajinasi untuk menarik image (citra) atau yang disebut oleh al-Suhrawardi dengan raga imajinal (al-jism al-khayaly).
Dalam konteks itu, imajinasi bertugas menjadi penghubung indra dan akal. Namun begitu, penting untuk diingat bahwa sesaat setelah kita mencapai tahap pemikiran rasional, imajinasi perlu kita tinggalkan. Karena, pada saat itu, ia malah akan menjadi penghalang ketimbang penolong.
Satu hal yang pasti, imajinasi akan mengotori pikiran kita dengan pelbagai citra material yang sudah tak lagi kita perlukan pada tahap selanjutnya. Imajinasi ibarat bekal untuk menaiki puncak gunung yang mesti dibuang bila tak lagi mendukung tercapainya tujuan, apalagi bila dikhawatirkan membebani sang pendaki. Tak ada lagi manfaat bergelantungan di anak-anak tangga bila kita sudah sampai ke lantai atas, di mana banyak tugas lain menunggu untuk dituntaskan.
Di lantai atas, imajinasi tidak lagi mendukung kerja akal – untuk tidak menyebutnya menghalangi dan membebani. Karena, seperti juga syahwat yang berperan menstimulasi indera untuk menangkap objek-objek luar, imajinasi juga hanya berperan merajut berbagai citra dan menyerahkannya pada kekuatan akal untuk ditahkik dan dibawa serta menuju ke alam-alam yang lebih tinggi, bila dirasa ada manfaat untuk itu.
Bersambung
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Empat kategori aksiden tersebut antara lain: kuantitas (kamm); kualitas (kayf); posisi (wadh’) dan tempat (‘ayn).
[2] Mulla Shadra, Mafatih al-Ghayb, Mu’assasa-e Muthala’at va Tahqiqat Farhang, 1363 Tahun Iran, pada pengantar Muhammad Khajawi,hal. 517-523.
Baca selanjutnya: https://ganaislamika.com/kontroversi-akal-dan-kalbu-dalam-pembentukan-pengetahuan-manusia-sebuah-refleksi-kritis-7/
Kontroversi Akal dan Kalbu dalam Pembentukan Pengetahuan Manusia: Sebuah Refleksi Kritis (6)
“Cahaya memiliki sifat kecahayaan yang sama dan identik. Perbedaan antara cahaya matahari dan cahaya lampu pada hakikatnya terletak pada efek pencahayaan keduanya. Menurut teori tasykik, wujud itu pun demikian. Dari segi kewujudannya, semua yang maujud itu identik. Tetapi, dari segi intensitas, prioritas, ketinggian, dan terutama sekali kemampuan efeknya, maujud itu berbeda-beda.”
Kaidah Kedua
Meski diungkapkan dengan aneka rumusan, para filosof dan urafa secara umum menyepakati kaidah kebertingkatan realitas. Ragam dan tingkatan realitas tidak hanya mengikuti garis vertikal (thuly) melainkan juga garis horisontal (‘aradhy) yang berlapis ganda: zhahir (lahir) dan bathin (batin).
Tiap-tiap ragam dan tingkatan yang berlapis ganda itu mempunyai sifat dan hukum yang berbeda-beda. Tetapi, sesuai dengan kaidah pertama, ada hukum-hukum abstrak dan sederhana yang mencakup seluruh ragam dan tingkatan.
Misalnya, hukum wujud. Ia berada pada segenap lapis ragam dan tingkatan realitas. Demikian pula halnya dengan sifat hidup, cahaya, dan pengetahuan. Begitulah kira-kira pengertian kaidah yang disebut oleh Mulla Shadra dengan tasykik al-wujud (gradasi wujud). Kaidah gradasi wujud ini menunjukkan kesempurnaan dan kemencakupan wujud, yang tak lain adalah watak-dasar realitas itu sendiri.
Teorti tasykik dapat disederhanakan dengan melihat pada contoh cahaya, yang memang sering dipakai oleh kalangan filosof Muslim untuk menggambarkan sifat wujud yang ‘terang dan menerangi’.
Cahaya adalah suatu fakta yang beragam selaras dengan spektrum frekuensi dan intensitasnya. Cahaya monokromatis dengan panjang gelombang 400 per seribu-juta meter dengan intensitas 10 watt tiap meter perseginya, yang terlihat secara subjektif oleh mata dan persepsi manusia sebagai cahaya ungu dengan terang sedang, berbeda dengan cahaya multiwarna atau polikromatis yang terdiri atas banyak frekuensi yang memancar dari matahari dengan intensitas yang berbeda-beda sesuai dengan jarak-tempuhnya. Dan masih tak berhingga tingkat cahaya dengan tak berhingga kemungkinan frekuensi dan tak berhingga kemungkinan intensitas lainnya.
Namun, di balik semua keragaman intensitas dan frekuensi itu, cahaya memiliki sifat kecahayaan yang sama dan identik. Perbedaan antara cahaya matahari dan cahaya lampu pada hakikatnya terletak pada efek pencahayaan keduanya.
Menurut teori tasykik, wujud itu pun demikian. Dari segi kewujudannya, semua yang maujud itu identik. Tetapi, dari segi intensitas, prioritas, ketinggian, dan terutama sekali kemampuan efeknya, maujud itu berbeda-beda.
Wujud Allah jelas paling utama (asyraf), kuat (aqwa), tinggi dan “efektif” dibandingkan dengan segala sesuatu yang ada. Demikian pula wujud manusia dibandingkan dengan binatang, dan seterusnya.
Atas dasar kaidah tersebut, para filosof memaparkan bentangan gerak penyempurnaan menaik dan menurun. Yang “di atas” memberdayakan kemampuan “yang di bawah”, yang “di bawah” menyambut karunia “yang di atas” dan begitulah seterusnya. Adalah salah bila kita menganggap realitas, khususnya yang berada dalam naungan alam material, sebagai substansi yang stabil dan konstan.
Mulla Shadra menyebut ke-ada-an itu dengan kaidah al-harakah al-jauwhariyyah (gerakan substansial). Dengan ungkapan itu, Mulla Shadra melangkah lebih maju dibanding dengan para pendahulunya yang beranggapan bahwa gerak hanya terjadi pada empat kategori aksiden: kuantitas (kamm); kualitas (kayf); posisi (wadh’) dan tempat (‘ayn).
Gerak kuantitatif terjadi melalui perubahan jumlah dan volume; gerak kualitatif terjadi melalu perubahan warna, rasa, bau, atau kualitas-kualitas material lainnya; gerak tempat terjadi melalui perpindahan benda dari satu titik ke titik lain; gerak posisi terjadi melalui perubahan saat demi saat pada bagian-bagian objek dalam kaitannya dengan lingkungan sekitarnya.
Menurut pandangan para pendahulu Mulla Shadra, substansi adalah wadah terjadinya perubahan aksidental tersebut yang bersifat stabil, tak berubah dan konstan.
Dengan kata lain, hakikat substansi tak berubah, dan yang mengalami perubahan hanyalah empat aksiden tersebut. Hal itu disebabkan oleh fakta bahwa bila substansi berubah, maka manusia itu pun akan mengalami perubahan.
Saat ditanya oleh Bahmanyar mengenai apa sebab substansi tidak berubah, Ibn Sina menjawab bahwa “bila substansi berubah maka sosok Ibn Sina saat ditanya akan berbeda dengan sosok Ibn Sina saat menjawab.”
Bersambung…
Baca selanjutnya: https://ganaislamika.com/kontroversi-akal-dan-kalbu-dalam-pembentukan-pengetahuan-manusia-sebuah-refleksi-kritis-6/
Kontroversi Akal dan Kalbu dalam Pembentukan Pengetahuan Manusia: Sebuah Refleksi Kritis (5)
Fikr adalah kerja akal yang paling menakjubkan. Aktivitas fikr memang mirip dengan kegiatan tarkib (penggabungan atau komposisi), hanya saja ia jauh lebih kaya dan berhasil-guna. Fikr jauh lebih mendasar dan menukik ketimbang gubahan-gubahan puitis dan imajinatif yang sering dangkal dan kusut.
Makna Keberpikiran
Pikiran dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Arab fikr. Kata kerja fikr ialah fakara yang dalam bahasa Indonesia berarti merenung, mencerap, menangkap makna, menimbang dan sebagainya.
Dengan demikian, keberpikiran mestinya menyangkut proses, perihal, atau kegiatan berpikir yang dalam bahasa Inggris lazim dipadankan dengan thinking, reflection, atau contemplation.
Menurut Murtadha Muthahhari, fikr adalah kerja akal yang paling menakjubkan. Dalam menjelaskan cara kerja dan definisi fikr ini, Muthahhari menyusun lima tahap berikut: [1]
1. Menerima kesan dari luar.
Pada tahap ini, benak (dzihn) berhubungan dengan objek-objek alam luar melalui panca indera yang tersimpan dalam locus mental. Pada tahap itu, benak kita laksana kamera yang memantulkan gambar-gambar pada film.
Bayangkan, bila Anda baru pertama kali mengunjungi kota Surabaya, lalu saat berjalan-jalan mengitari kota itu, benak Anda akan merekam berbagai gambar atau kesan. Pada kegiatan itu, benak kita hanya bersifat menerima (qabul atau receptive) atau mencerap.
2. Setelah menerima “folder” gambar atau kesan, benak juga dapat menampakkannya kembali secara jelas. Kegiatan kedua itu disebut dengan mengingat (recall atau tadzakkur).
Kumpulan gambar itu kait-mengait satu dengan lainnya, sehingga ketika salah-satunya kita “tarik” lagi ke layar benak kita, ia akan membawa serta berbagai ikutan dan kaitannya. Benak kita memang seperti serangkaian gerbong kereta api. Manakala lokomotifnya kita tarik, maka gerbong-gerbong di belakangnya pun akan ikut terdorong ke depan.
Singkatnya, sampai pada tahap ini, selain mencerap berbagai objek, benak kita juga melakukan penyusunan dan organisasi, sedemikian rupa hingga bila satu objek kita tarik dan kita ingat, maka rangkaian objek dalam akan tertampakkan keluar secara otomatis. Itulah yang disebut oleh sebagian psikolog dengan asosiasi ide (tada’i atau association of ideas).[2]
3. Kegiatan ketiga adalah tajzi’ah (pembagian atau klasifikasi) dan tarkib (penggabungan atau komposisi). Sebagian logikawan juga menyebut tajzi’ah dengan tahlil (penguraian atau analisis)
Pada tahap ini, benak kita mula-mula mengurai, memilah dan “mengupas” satu gambaran. Di alam luar tak ada uraian dan pemilahan, lantaran benda tampil sebagai satuan yang utuh. Penguraian suatu gambaran dapat terjadi dengan dua cara;
Pertama, dengan menguraikan dan memisahkannya menjadi beberapa gambaran. Umpamanya, kita mengurai kuda menjadi kepala, kaki, perut dan bagian-bagian lain secara terpisah dari keseluruhan tubuhnya.
Kedua, dengan menguraikan suatu gambaran menjadi beberapa makna dan konsep. Umpamanya, kita menguraikan seorang Bambang menjadi substansi yang berkembang, substansi yang berjalan, bertinggi berat 167/48, berkehendak, berakal dan lain sebagainya. Padahal, Bambang yang objektif, yang berada di alam luar, tidak dapat dipisahkan dari ciri-ciri tersebut.
Bukan itu saja, benak kita pun bisa menggabungkan bagian-bagian gambaran dan makna dari satu objek yang utuh dengan bagian-bagian gambaran dan makna objek lain. Umpamanya, setelah memisahkan dan memilah bagian-bagian kuda menjadi kaki, kepala dan perut, kemudian benak kita menggabungkan keplaanya dengan perut dan kaki Bambang.
Para filosof berupaya mengurai dan menyusun objek luar untuk menjadi makna atau beberapa makna, sedangkan penyair, umpamanya, mengurai dan menyusun kesan atau ungkapan dalam bait-bait yang puitis.
4. Kegiatan keempat adalah tajrid (abstraksi) dan ta’mim (generalisasi).
Dalam, kegiatan itu, benak kita berupaya memisahkan gambaran yang tertangkap oleh panca indra dari ciri-ciri individual dan partikularnya. Umpamanya, benak kita mengamati jajaran semangka yang berjumlah sembilan buah. Dari amatan itu, benak kita dapat menarik dan mengabstraksikan ‘angka 9’ dari ‘jajaran semangka’ itu, hingga hadir bayangan angka 9 yang terpisah dari jajaran semangka.
Abstraksi berada di atas ta’mim (generalisasi) yang berupaya membentuk gambaran kully (universal) dari suatu objek juz’y (partikular) yang diamatinya melalui panca indra.
Umpamanya, saat melihat sosok Bambang, Basuki, Cipto dan sebagainya, benak kita dapat menarik suatu pengertian umum dari ketiga sosok itu sehingga muncullah pengertian ‘manusia’ atau ‘makhluk berakal’. Jelas bahwa pengertian ‘manusia’ tak teramati oleh panca indra, melainkan terbentuk oleh beberapa amatan khusus dan objektif pada sosok Bambang, Basuki, dan Cipto.
Pada keempat kegiatan tersebut, benak kita selalu melakukan intervensi, baik dengan pengurangan ataupun penambahan, pada hasil amatan (data) indrawi dan empiris kita.
5. Kerja pikiran kelima adalah tafakkur (perenungan atau penalaran) dan istidlal (pembuktian dan argumentasi).
Pada tahap ini, benak kita menghubung-hubungkan serangkaian ma‘lum (data) untuk mengungkap dan mengetahui majhul (objek yang belum atau akan diketahui).
Pada hakikatnya, fikr atau tafakkur ialah sejenis perkawinan dan pengembangbiakkan data. Dengan ungkapan lain, tafakkur adalah sejenis ‘penanaman modal intelektual untuk menghasilkan keuntungan dan menambahkan keuntungan itu pada modal dasar.’
Aktivitas fikr memang mirip dengan kegiatan ketiga (tarkib), hanya saja ia jauh lebih kaya dan berhasil-guna. Fikr jauh lebih mendasar dan menukik ketimbang gubahan-gubahan puitis dan imajinatif yang sering dangkal dan kusut.
Kelima kegiatan benak itu pada dasarnya dilakukan melalui sarana akal. Pada kelima tahap itu pula panca indra kita berperan memproyeksikan objek-objek fisikal-indrawi pada benak kita, agar perenungan dan pembuktian kita sepenuhnya bersandar pada realitas objektif, dan bukan ilusi atau halusinasi. Para filosof berkeyakinan bahwa penalaran dan pembuktian dapat mendedah hukum-hukum universal yang melambari hakikat dan kodrat alam ciptaan.
Mengingat tingginya kedudukan akal dalam Islam, sebagian filosof Muslim cenderung menyebut tahap pertama dan kedua ihsas (pengindraan atau persepsi), dan puncaknya yakni tahap kelima barulah disebut sebagai ta’aqqul (penggunaan akal dan inteleksi).
Jadi, ada tiga tahap tindak mengetahui manusia yang dilakukan oleh tiga daya berbeda: pertama dan kedua adalah daya indrawi; ketiga dan keempat adalah daya khayal atau imajinasi; dan kelima adalah akal. Itulah pula mengapa imajinasi (atau alam imajinal) menduduki tempat penting sebagai barzah (jalan tembus) menuju ke alam intelektual.
Akan tetapi, pada kenyataannya, semua tindak mengetahui terjadi berkat cahaya akal yang berjenjang-jenjang dalam diri manusia. Jenjang-jenjang akal telah menjadi bahasan panjang dalam filsafat al-Farabi dan Ibn Sina. Al-Farabi memaparkan sepuluh peringkat akal, sesuai dengan proses emanasi eksistensial.[3]
Masing-masing peringkat akal berperan sesuai dengan kemampuannya. Ada yang menyiapkan (al-‘aql bil-malakah atau al-‘aql hayularu), membimbing (akal sehat atau habitus), mewadahi dan mengisi (al-‘aql al-mustafad) dan menyatukannya dengan akal aktif (al-‘aql al-fa’al) dan akal suci (al-‘aql al-qudsi) dan demikian seterusnya.
Tingkatan-tingkatan akal tergantung pada dasar pembagiannya. Adakalnya tingkatan-tingkatan akal dibagi berdasarkan pada penciptaan manusia, adakalanya berdasarkan pada emanasi Ilahi, dan adakalanya berdasarkan pada sifat objek pengetahuannya dan sebagainya.
Para filosof membeda-bedakan perspektif itu untuk menunjukkan gradasi eksistensi dan keberagaman realitas, yang celakanya sering menimbulkan kerancuan dalam memahami maksud uraian mereka.[4]
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Murtadha Muthahhari, Al-Mantiq, Beirut: Dar Al-Tayyar al-Jadid, 1413/1993, hal. 102.
[2] Lebih lanjut, lihat Muhammad Baqir al-Shadr, Our Philosphy, terj. Shams C. Inati, Tehran: Ansariyan Publicatios, 1987, hal. 39-60, dan bab V mengenai Pengetahuan.
[3] Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, polity Press, Inggris, 1999, bab V Ontologi.
[4] Majid Fakhry, A Short introduction to Islamic Philosophy, Theology, and Mysticism, One World, Oxford, 1997, hal. 41-44.
Baca selanjutnya: https://ganaislamika.com/kontroversi-akal-dan-kalbu-dalam-pembentukan-pengetahuan-manusia-sebuah-refleksi-kritis-5/
Kontroversi Akal dan Kalbu dalam Pembentukan Pengetahuan Manusia: Sebuah Refleksi Kritis (4)
Dalam sebuah hadis, Nabi mengibaratkan akal sebagai sebuah kerajaan yang memiliki berbagai pasukan. Selain menunjukkan kebesaran dan signifikansi kedudukan akal, ungkapan “kerajaan akal” itu agaknya juga untuk menunjukkan besarnya ranah (domain) akal dalam kehidupan manusia.
Gambar ilustrasi. Sumber: es.fanpop.com
Yang juga dikaitkan dengan akal adalah sifat-sifat positif lain yang ada hubungannya dengan nama ilahi Cahaya, seperti kehidupan, pengetahuan, hasrat, dan kekuasaan. Dalam kenyataannya, Cahaya adalah salah satu nama dari Zat Tuhan, maka ia menunjukkan perangai Ilahiah yang sesungguhnya.
Seperti matahari yang bersinar karena ia matahari, Tuhan bercahaya sebab Dia adalah Tuhan. Cahaya-Nya sendiri merupakan Zat-Nya, sementara perwujudannya adalah eksistensi, kosmos, “segala sesuatu selain Tuhan.” Maka segala sesuatu yang bercahaya dengan cahaya yang murni dan tak tercela mencerminkan seluruh nama Ilahi.[1]
Dalam sebuah hadis, Nabi mengibaratkan akal sebagai sebuah kerajaan yang memiliki berbagai pasukan. Selain menunjukkan kebesaran dan signifikansi kedudukan akal, ungkapan “kerajaan akal” itu agaknya juga untuk menunjukkan besarnya wilayah kekuasaan akal dalam kehidupan manusia.
Bila kita tilik secara jeli akan kita temukan sebagian dari prajurit akal berkaitan dengan kekuatan kalbu yang oleh Murtadha Muthahhari disebut sebagai memancarkan kehangatan dan gerak.[2]
Dalam hadis itu, Nabi menyebut kebaikan sebagai perdana materi kerajaan akal. Sedang harapan, hasrat, rasa syukur, belas-kasih, kehalusan, ketenangan, kesabaran, cinta, kelembutan adalah prajurit-prajurit dalam kerajaan tersebut. Demikian pula tentunya dengan kebenaran, pengetahuan, pemahaman, ingatan, upaya mengingat, upaya keadilan (keseimbangan rasional), ketajaman (lawan ketumpulan).[3]
Dalam hadis lain, Nabi menujukkan bahwa akal melahirkan “hilm”, yaitu pertimbangan matang sebagai lawan dari reaksi spontan. Dari hilm ini tumbuh petunjuk yang benar (rusyd). Dari petunjuk yang benar timbul pantangan atau kehati-hatian (abstention). Dari pantangan timbul pengendalian diri. Dari pengendalian diri timbul rasa malu. Dari ras malu tercipta ketakutan. Dari ketakutan muncul amal baik. Dari amal baik bersemi kebencian pada kejahatan. Dan dari kebencian pada kejahatan akan ada kepatuhan pada nasihat yang baik.[4]
Para sufi seperti an-Nasafi menunjukkan bahwa interplay akal dan kalbu dalam Al-Qur’an itu memperlihatkan bahwa keduanya bersumber pada satu realitas yang sama, yaitu ruh.[5] Tulis an-Nasafi:
Ruh manusia disebut dengan beberapa nama sesuai dengan berbagai hubungan dan sudut pandangnya: [6]
Dalam kaitan dengan kenyataan bahwa ia dapat meningkat atau berkurang atau berubah dari satu keadaan ke keadaan lain maka ia disebut “kalbu” [qalb].
Dalam kaitan dengan kenyataan bahwa ia hidup dan memberikan kehidupan pada badan ia dinamakan “ruh”.
Dalam kaitan dengan kenyaatan bahwa ia mengenal dirinya sendiri dan yang lain, ia dinamakan “akal”.
Dalam kaitan dengan kenyataan bahwa ia benar-benar sederhana dan tidak dapat dibagi menjadi bagian-bagian, ia dinamakan “ruh Perintah”.
Dalam kaitan dengan kenyataan bahwa ia berasal dari dunia yang lebih tinggi dan dari jenis yang sama dengan para malaikat, ia dinamakan “ruh malakuti”.
Dalam kaitan dengan kenyataan bahwa ia terpisah, mandiri, suci, dan disucikan, ia dinamakan “ruh suci”.
Kedudukan akal sebagai sarana manusia qua manusia dalam mencapai puncak kesempurnaan membuat para filosof Muslim memakai istilah itu dalam menggambarkan proses berlangsungnya emanasi dan penciptaan kosmik. Para filosof Muslim mengibaratkan penciptaan sebagaimana tindak berpikir manusia, karena kekudusan kedua tindakan tersebut.
Oleh sebab itu, dalam teori emanasi Ibn Sina, pancaran Tuhan yang pertama adalah “Akal Pertama”, mengacu kepada berbagai hadis yang menyatakan bahwa akal adalah ciptaan pertama Tuhan yang juga merupakan esensi manusia sebagai mikrokosmos atau replika (khalifah) Tuhan di alam ciptaan.[7]
Selain itu, penggunaan akal dalam teori emanasi juga untuk menunjukkan tingkat kebergantungan makhluk sebagai “objek pikiran” kepada Subjek Pemikir, yang tak lain adalah Tuhan itu sendiri.
An-Nasafi menjabarkan hubungan alam semesta (makrokosmos) dan alam kecil (mikrokosmos atau manusia) sebagai berikut:
“Dalam mikrokosmos, akal adalah khalifah Allah. Seluruh makrokosmos adalah domain Allah, sementara seluruh mikrokosmos adalah domain khalifah Allah. Ketika akal duduk sebagai khalifah, ia diseru sebagai berikut, ‘Wahai akal, kenalilah dirimu, sifat-sifat dan tindakan-tindakanmu sendiri agar engkau mengenali-Ku, sifat-sifat dan tindakan-tindakan-Ku’”[8]
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat Sachiko Murata, The Tao of Islam, Bandung: Mizan 1996, Hal. 315.
[2] Murtadha Muthahhari, Bis Guftor, Qum: Intisyarat Shadra, 1409/1988, bagian Akal dan Hati.
[3] Al-Kulayni, Ushul min Al-Kafi, Teheran: Maktabah Al-Islamiyyah, 1388, jilid I, hal. 30-34. Bandingkan juga dengan Muhammad Baqir Al-Majlisi, Bihar Al-Anwar, Mu’assasah Al-Wafa’, jilid I, hal. 109-111 dan 158-159.
[4] Ibid.
[5] Sachiko Murata, Op. Cit., hal. 315-316.
[6] Aziz Ad-Din An-Nasafi, Kasyf Al-Haqaiq, hal. 72-73, dikutip ulang dari Sachiko Murata, op. cit, hal. 307.
[7] Sachiko Murata, op. cit., hal. 73-74.
[8] Ibid, hal. 74.
Baca selanjutnya: https://ganaislamika.com/kontroversi-akal-dan-kalbu-dalam-pembentukan-pengetahuan-manusia-sebuah-refleksi-kritis-4/
Kontroversi Akal dan Kalbu dalam Pembentukan Pengetahuan Manusia: Sebuah Refleksi Kritis (3)
Menurut sumber-sumber Islam, akal adalah wahana untuk mengungkap apa yang tersembunyi dan menguak apa yang tidak diketahui. Cahaya (nur), tidak dapat dipisahkan dari akal. Sebab, seperti halnya akal, cahaya adalah sesuatu yang menghapuskan kegelapan dan ketidakjelasan.
Dinamika Akal dan Kalbu
Sebagai salah satu rujukan filsafat Islam, Alquran menyediakan beragam keterangan mengenai akal yang mengikuti kaidah kemanunggalan alam abstrak di atas.[1] Alquran dan teks-teks keislaman lainnya menunjukkan bahwa istilah yang tampak oleh kita sebagai berbeda makna sejatinya memiliki pengertian yang sama.
Istilah akal dan kalbu (qalb), misalnya. Banyak orang menduga bahwa akal dan kalbu itu punya makna yang berbeda. Bahkan, tidak jarang kita mendengar klaim yang mengatakan bahwa Allah bertempat di kalbu orang yang beriman, sedang setan bertempat di akal.
Sinisme terhadap akal juga sering muncul di kalangan sejumlah kalangan yang mengklaim bahwa penggunaan akal dapat mengurangi atau bahkan merusak kepekaan dan kekukuhan iman. Padahal, mengikuti logika Alquran, seiring dengan kaidah di atas, akal merupakan hasil kerja kalbu. Buktinya, tidak sekalipun Alquran menggunakan akal dalam bentuk kata benda (‘aql).
Istilah akal selalu muncul dalam bentuk kata kerja (aqala, ya’qilun dan seterusnya), sehingga sangat mungkin bahwa akal itu tak lain dari kerja kalbu manusia. Dalam QS. al-Hajj: 46, Alquran mengaitkan keberakalan sebagai fungsi kalbu. Dalam QS. al-An‘am: 25 dan al-A‘raf: 179 Alquran mengatakan kerja faqaha (memahami sesuatu secara terinci) sebagai fungsi kalbu. Dalam surah Muhammad: 24, Allah menyebut kata kerja tadabbara (mempertimbangkan akibat) sebagai fungsi kalbu.[2]
Alquran menyebut begitu banyak kerja akal. Dalam QS. Yunus: 42, umpamanya, Alquran menempatkan akal sebagai sarana untuk mendengar dan yang tidak berakal sebagai tuli. Tindak mendengar dan ketulian ini tentunya tidak melulu bersifata fisikal, melainkan juga bersifat non-fisikal.
Dalam QS. al-Ankabut: 35, Allah menyebutkan bahwa alam adalah tanda bagi orang-orang yang berakal. Dalam QS. Ar-Rum: 24, Alquran menyebutkan bahwa fenomena alam seperti terjadinya kilat, turunnya hujan dari langit dan menyuburnya bumi dengan air sebagai tanda-tanda-tanda “bagi mereka yang mempergunakan akal.”
Makna tanda (ayat) dalam kedua ayat tersebut jelas merujuk kepada bukti atau dalil, yang hanya memang bisa dihasilkan melalui proses penalaran atau keberpikiran logis. [3]
Tak ayal lagi, maksud ‘aql dalam banyak ayat Alquran adalah kegiatan yang bermula pada pembuktian logis dan konklusif. Dalam QS. az-Zumar: 18, Allah menyatakan bahwa orang-orang yang mendapat petunjuk adalah orang-orang yang berakal.
Pada ayat sebelumnya, Alquran menunjukkan ciri orang yang berakal itu sebagai orang-orang yang “sungguh-sungguh menyimak perkataan dan mengikuti apa yang terbaik dari semuanya.” Penalaran logis, secara teori, juga hendak mengantarkan orang agar bisa mencapai perkataan (baca: proposisi) yang benar secara material dan formal.[4]
Hadis-hadis Nabi juga menunjukkan bahwa kerja-kerja akal dilakukan oleh kalbu. Khomeini dalam buku al-Arba’un Haditsan mengutip ucapan Imam Ali ra “sadarkan kalbumu dengan tafakur…” sebagai pengantar untuk membahas masalah tafakur.[5]
Dalam suatu hadis yang masyhur, Nabi bersabda: “al-‘ilm nur, yaqdzifuhu Allah ‘ala qalbi man yasya’ min ‘ibadih (Ilmu itu cahaya yang dipancarkan oleh Allah pada kalbu hamba yang dikehendaki-Nya).”
Dalam kedua teks tersebut, tampak bagaimana proses rasional seperti tafakur dan ilmu dikaitkan dengan fakultas jiwa yang disebut dengan kalbu.
Menurut sember-sumber Islam, akal adalah wahana untuk mengungkap apa yang tersembunyi dan menguak apa yang tidak diketahui. Cahaya (nur), seperti ditunjukkan oleh hadis di atas, tidak dapat dipisahkan dari akal. Sebab, seperti halnya akal, cahaya adalah sesuatu yang menghapuskan kegelapan dan ketidakjelasan.
Maka itu, misalnya, Akal Pertama sering digambarkan sebagai kutub yang bersinar dalam alam ciptaan. Dan kutub itulah yang dikenal dengan “Nafas Sang Maha Pengasih”. Dengan demikian, akal adalah realitas yang punya tingkat-tingkat perwujudan yang berbeda-beda, yang tiap-tiap perwujudannya memainkan peran baiknya masing-masing.[6]
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Imam Khomeini, 40 Hadis, Bandung: Mizan, 1995, hal. 128-129.
[2] Mengenai masalah al-Quran sebagai sumber perenungan filosofis lihat Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, London: Kegan Paul International in association with Islamic Publications for The Institute of Ismaili Studies, 1993, hal. 1-13. Buku lain yang membahas soal serupa ialah suntingan S.H. Nasr dan O. Leaman, History of Islamic Philosphy, Bag. I, London: Routledge, 1996, hal. 27.
[3] Sayyid Haydar Amuli, Inner Secrets of The Path, terj. Assadullah al-Dhaakir Yate, Element Books bekerja sama dengan Zahra Publications, 1989, hal 5-8, 42-45, dan 47.
[4] Mulla Hadi Sabzerwari, Syahr Manzhumah, Bag. Logika, Nasyr-e nab, Qum, 1418 H., pada catatan kaki yang diberikan oleh Hasan Hasan Zadeh Amuli, hal. 60.
[5] Imam Khomeini, Op. cit., hal. 185.
[6] Untuk lebih jauh mengenai tingkat-tingkat perwujudan akal, rujuk William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge, State University of New York Press, Albany, hal. 159-170.
Baca selanjutnya: https://ganaislamika.com/kontroversi-akal-dan-kalbu-dalam-pembentukan-pengetahuan-manusia-sebuah-refleksi-kritis-3/