کمالوندی

کمالوندی

 

Mandi wajib merupakan syarat yang harus dilakukan oleh seorang muslim untuk mensucikan diri mereka dari hadas (najis) besar.

Dalam fikih Ahlul Bait atau Syiah, ada beberapa keadaan yang membuat seseorang berada dalam keadaan hadas besar, dan mengharuskannya mandi wajib sebelum melaksanakan salat atau ibadah lain yang mengharuskan kesucian, yakni:

Mandi Janabah


Mandi janabah ini wajib dilakukan dalam dua keadaaan;Pertama, ketika seorang laki-laki dan perempuan melakukan hubungan badan (intim), baik dengan ataupun tanpa ejakulasi. Atau dengan kata lain, terjadinya kontak klamin laki-laki dan perempuan sudah cukup menjadikan keduanya wajib melakukan mandi janabah sebelum melaksanakan salat.

Pertama, ketika seorang laki-laki dan perempuan melakukan hubungan badan (intim), baik dengan ataupun tanpa ejakulasi. Atau dengan kata lain, terjadinya kontak klamin laki-laki dan perempuan sudah cukup menjadikan keduanya wajib melakukan mandi janabah sebelum melaksanakan salat.

Kedua, ketika seseorang (laki-laki maupun perempuan) mengalami ejakulasi (pelepasan sperma) dengan cara apapun, baik dalam keadaan tidak sadar (tidur) ataupu sadar, seperti onani dan sebagainya.

Adapun ketika seseorang meragukan apakah cairan yang keluar dari kemaluan nya tersebut adalah sperma, maka bisa dipastikan dengan cara mengidentifikasikan beberapa keriteria ejakulasi seperti berikut; Adanya tekanan ketika keluar; Terasa syahwat (nikmat) ketika keluar; dan Tubuh terasa lemas ketika keluar.

Jika tidak bisa diidentifikasi melalui tiga kriteria di atas, maka tidak bisa dihukumi sebagai cairan sperma dan tidak wajib pula baginya mandi janabah.

Mandi Haidh


Mandi haidh ini wajib dilakukan ketika seorang wanita mendapat menstruasi atau datang bulan. Biasanya terjadi satu bulan sekali, atau ada pula yang dua bulan sekali.

Mandi Nifas


Mandi nifas ini wajib dilakukan oleh seorang wanita akibat keluarnya darah dari rahim setelah melahirkan dalam waktu 10 hari.

Mandi Istihadhah


Mandi istihadhah ini wajib dilakukan oleh seorang wanita ketika ada darah yang keluar dari rahim nya, dan itu bukan menstruasi (haidh) ataupun nifas.

Misalnya, nifas yang lebih dari kebiasaan (10 hari setelah melahirkan), atau menstruasi lebih dari biasanya, maka darah itulah yang disebut dengan darah istihadhah.

Darah istihadhah sendiri memiliki tiga macam;

Pertama, hanya sebercak darah atau flek, maka disebut sebagai istihadah kecil, dan tidak dihukumi wajib mandi. Dengan kata lain, cukup baginya wudhu saja untuk menjadi suci, serta dapat melaksanakan salat. Tentu dengan syarat harus mengganti kapas atau pembalut yang digunakan.

Kedua, apabila darahnya keluar banyak atau melumuri kapas atau pembalut, maka disebut sebagai istihadhah sedang. Dia wajib mandi satu kali saja dalam sehari, misalnya mandi wajib sebelum salat subuh, kemudian wudhu dan salat. Setelah itu, untuk melaksanakan salat Dzuhur, Ashar, Maghrib dan Isya, cukup dengan wudhu saja.

Ketiga, apabila darahnya mengalir terus dan tembus hingga ke celana, maka disebut dengan istihadhah besar. Dia wajib mandi tiga kali dalam sehari. Pertama, sebelum salat subuh. Kedua sebelum salat Dzuhur dan Ashar. Ketiga sebelum salat Maghrib dan Isya.

Mandi Jenazah


Mandi jenazah ini wajib bagi seorang muslim atau muslimah yang telah meninggal. Dengan kata lain, kita yang masih hidup diwajibkan memandikan mereka yang telah meninggal.

Mandi Menyentuh Mayat


Mandi menyentuh mayat ini wajib dilakukan ketika seseorang menyentuh jenazah yang tubuhnya sudah dalam kondisi dingin dan belum dimandikan.

Berbeda halnya ketika seseorang menyentuh jenazah tersebut saat masih dalam kondisi hangat, maka kita tidak wajib mandi. Begitupula saat menyentuh jenazah yang sudah dimandikan, maka tidak ada kewajiban mandi setelahnya.

Mandi Nazar


Mandi nazar ini wajib dilakukan apabila seseorang menyatakan sumpah dan berjanji akan mandi wajib apabila permohonannya, harapannya terkabulkan.

Misal seseorang mengucapkan “Wallahi, apabila anak saya sembuh dari penyakitnya maka saya akan mandi wajib”. Apabila anaknya tersebut benar-benar sembuh, maka dia wajib melaksanakan mandi yang disebut sebagai mandi nazar.

 

 
 

Selasa, 23 Agustus 2022 19:10

Alquran Bukan Kitab Hukum?

 

Ada dua kelompok ekstrim yang berpandangan terkait keabsahan Alquran sebagai sumber hukum-hukum Islam.

Kelompok pertama memandang, bahwa Alquran bukanlah sumber hukum karena dia merupakan kitab suci, kalam ilahi yang tidak memiliki hubungan langsung dengan amaliyah (tindakan) keseharian manusia. 

Sementara kelompok kedua memandang, bahwa Alquran bukan sumber hukum karena dia tidak berbeda dengan kitab-kitab pada umumnya, yang diciptakan oleh manusia.

Tentu saja kita menolak kedua pandangan tersebut. Kita justru berada di tengah, memandang bahwa Alquran adalah kita suci yang memiliki aspek transenden sekaligus memiliki aspek imanen.

Alquran tidak bisa disamakan dengan makhluk, namun di saat bersamaan ia juga merupakan kitab yang memang diturunkan khusus untuk manusia sebagai sebuah petunjuk atau peta jalan.

Alquran adalah kitab yang mampu menunjukkan kepada manusia cara mendekatkan dirinya kepada Allah Swt, mengajarkannya cara mengekspresikan kehambaan pada Dzat Maha Pencipta. Alquran juga merupakan kitab yang bisa menunjukkan kepada manusia rute menuju kebahagiaan dunia maupun akhirat.

Setiap manusia yang berakal sehat pasti membenarkan, jika ia sadar bahwa dirinya adalah entitas yang diciptakan atau akibat, maka pastilah ia memiliki sebab atau yang menciptakannya.

اَمْ خُلِقُوْا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ اَمْ هُمُ الْخٰلِقُوْنَ ۗ 

“Apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS. At-Tur 52: Ayat 35)

Bagi yang berakal sehat, dua pertanyaan pada ayat tersebut tentu keliru, sebab manusia itu adalah makhluk yang membutuhkan sebab.

Manusia adalah mumkinul wujud, ia bisa ada dan bisa pula tidak ada. Dengan kata lain keberadaanya bergantung pada pemberi ada. Mustahil ia ada (mewujud) dengan dirinya sendiri, karena seperti kaidah logis filosofis, “Yang tidak memiliki mustahil memberi”.

Allah lah yang memberikan manusia wujud sehingga menjadi ada. Dia lah yang menyediakan berbagai fasilitas kepada manusia, berbagai karunia kehidupan baginya.

Sampai disini, maka paling tida ada dua kelaziman yang mucul: Pertama, manusia sebagai ciptaan akan terdorong untuk mengenali siapa penciptanya. Kedua, manusia akan mencari tahu bagiamana cara berterimakasih kepada penciptanya.

Untuk bisa berterimakasih kepada Allah Swt, maka manusia harus mengetahui apa yang diinginkan Allah dari nya, mendengarkan kata-kata Nya. Karena syukur itu adalah melakukan perbuatan yang diinginkan oleh Sang Pemberi.

Dalam kehidupan manusia dengan manusia misalnya, jika ada yang memberikan kita sajadah, maka sebagai bentuk terimakasih, kita akan menggunakan sajadah itu sesuai dengan keinginan si pemberi, yaitu agar digunakan untuk salat.

Kita pasti akan disalahkan atau kita dianggap tidak bersyukur, apabila kita menggunakan sajadah tersebut tidak sebagaimana mestinya, misal menggunakannya untuk lap kaki.

Mungkin saja masih ada orang yang ingin berdalih, bahwa setiap pemberian yang telah diberikan itu telah berpindah hak, dan yang menerima bebas memperlakukan pemberian tersebut?

Jika jawaban itu mucul, maka setiap orang berakal tetap akan menyalahkan pandangan demikian, karena setiap orang berakal akan menilai bahwa pemberian harus disyukuri dengan cara melakukan apa yang sesuai dengan keinginan sang pemberi.

Begitu juga dalam konteks wujud atau kehidupan yang diberikan oleh Allah Swt kepada manusia.

Kita yang diberikan berbagai fasilitas dan karunia dari Allah, maka akal sehat kita akan mengatakan wajib bagi kita berterimakasih.

Cara berterimakasih itu tidak bisa semau kita, tidak bisa sesuka hati kita, tapi kita harus bertanya kepada Nya, atau membaca apa yang Dia pesankan kepada kita agar kita menjadi hamba yang benar-benar bersyukur.

Di Sinilah Peran Alquran

Allah Swt telah mengirim Alquran melalui utusan-Nya, Rasulallah Saw. Di dalam Alquran termuat banyak petunjuk, salah satunya adalah tentang bagaiamana cara manusia bersyukur kepada Allah Swt. Inilah yang disebut dengan amalan fiqih atau syariat.

Apa yang harus kita lakukan dan apa yang harus kita tinggalkan. Apa yang selayaknya kita lakukan dan apa yang selayaknya kita tinggalkan. Semua itu bisa kita dapatkan dengan menelaah Firman Allah di dalam Alquran.

Uniknya, ternyata di dalam Alquran, ayat-ayat tentang hukum seringkali disandingkan dengan keimanan.

وَا عْلَمُوْۤا اَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَاَ نَّ لِلّٰهِ خُمُسَهٗ وَ لِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَا لْيَتٰمٰى وَا لْمَسٰكِيْنِ وَا بْنِ السَّبِيْلِ ۙ اِنْ كُنْتُمْ اٰمَنْتُمْ بِا للّٰهِ وَمَاۤ اَنْزَلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَا نِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعٰنِ ۗ وَا للّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

“Dan ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil, (demikian) jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Anfal 8: Ayat 41)

Ada hubungan yang sangat erat antara keimanan dengan melaksanakan hukum yang telah ditentukan.

Di ayat lain Allah Swt berfirman, 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah 1: Ayat 183)

Di samping itu, ternyata menjalankan perintah Allah, mematuhi aturan dan ketentuan-Nya adalah untuk sepenuhnya kebaikan manusia itu sendiri, bukan untuk Allah Swt.

Hal tersebut sebagaimana tergambarkan pada firman Allah,

وَلِلّٰهِ عَلَى النَّا سِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَا عَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِ نَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ

“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS. Ali ‘Imran 3: Ayat 97)

Apakah Allah membutuhkan ibadah haji yang kita lakukan? jawabannya adalah tidak, Allah Swt tidak membutuhkan apa pun dari kita!

Selanjutnya, Alquran juga menyebutkan bahwa aturan, perintah dan larangan Allah Swt itu memiliki makna filosofisnya. Allah tidak serta merta melarang dan membolehkan manusia melakukan suatu tindakan tanpa alasan yang baik.

Semua ketetapan Allah, tentu saja hadir untuk kemaslahatan manusia. Setiap perbuatan yang Allah perintahkan, tidak lain karena di dalamnya ada kebermanfaatan. Begitu juga sebaliknya ketika Allah melarang, disana ada kerugian.

Coba simak ayat tentang larangan meminum “khomar” dan melakukan “judi”. Dua hal itu akan mendatangkan kerugian yang sangat besar bagi manusia.

Di ayat yang lain Allah pun mengatakan bahwa dua tindakan itu adalah ajakan setan,

اِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاۤءَ فِى الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ وَعَنِ الصَّلٰوةِ فَهَلْ اَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ

“Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?” (QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 91)

Ayat Alquran adalah petunjuk bagi kehidupan manusia. Ia bukan sekedar bacaan yang perlu dibaca dan mendapatkan pahala, namun tidak behubungan dengan kehidupan.

Sehingga ada yang berpandangan bahwa Alquran bukan kitab hukum, melainkan hanya firman-firman Allah yang tinggi dan agung.

Namun di saat yang saat yang sama kita juga menolak bahwa Alquran adalah kitab yang dapat dipahami dengan mudah oleh setiap orang, dan setiap orang bisa mengamalkan ajaran Alquran sesuai dengan pemahamannya.

Tentu tidaklah demikian. Di antara kedua pandangan itu perlu dijelaskan bahwa benar bahwa Alquran merupakan kalam (perkataan) Allah yang suci, namun ia tetap bisa dipahami oleh manusia.

Alquran adalah kalamun arabiyyun mubin (dia adalah kata-kata yang berasal dari bahasa Arab yang jelas), namun karena dia diturunkan untuk manusia di segala waktu dan ruang, di setiap zaman dan generasi, maka Alquran memuat nilai-nilai global-universal.

Jika ia dibuat secara terperinci atau spesifik, maka bisa jadi Alquran hanya berlaku pada masa tertentu dan tidak relevan lagi untuk masa-masa yang akan datang.

Sampai disini, maka perlu figur-figur manusia mulia yang mampu memahami dan menafsirkan Alquran, sehingga nilai-nilai universal itu memiliki konteksnya di setiap zaman.

Ada sosok Rasulallah Saw yang menjabarkan Alquran, menghubungkan ayat-ayatnya sehingga menjadi lebih spesifik, membuahkan hukum lewat hadis-hadis, kemudian ada para Imam Ahlul Bait, para ulama dan seterusnya.

Sekali lagi, universalitas Alquran tak membuatnya menjadi sebuah kitab yang tidak bisa dipahami, justru karena dia adalah sumber hukum yang relevan untuk setiap zaman, maka Allah jadikan Alquran memuat nilai-nilai universal itu.

Madzhab Ahlul Bait meyakini, bahwa ayat-ayat Alquran itu tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk kemudian langsung bisa dipahami oleh masyarakat umum. Melainkan kepada manusia-manusia yang memiliki ilmu dan kapasitas tertentu, seperti para Imam Ma’sumin (manusia suci).

250 tahun lamanya, para Imam dari keturunan Rasulallah mengawal Alquran, memetik hukum-hukum Allah darinya, kemudian menyampaikannya kepada manusia biasa.

Madzhab Ahlul Bait pun menolak apabila dikatakan bahwa penafsiran Alquran yang universal itu tidak mungkin bisa dipahami karena pasti akan memunculkan pemaknaan yang relatif, belum tentu benar, dan tidak ada kewajiban mengamalkan hukum yang disandarkan darinya.

Mengapa kita menolak? Sebab Alquran sendiri yang memerintahkan manusia untuk berpegang teguh padanya, menjadikannya sebagai petunjuk. Hadits Nabi pun memerintahkan hal serupa.

Jadi kesimpulannya, Alquran sebagai kitab suci, memang tidak seluruhnya mengandung hukum-hukum Allah, tapi paling tidak sebagiannya mengandung hal itu, di samping memuat hal-hal yang berkaitan dengan penciptaan, fenomena alam, sosial kemasyarakatan, kematian dan sebagainya.

Kebenaran bahwa Alquran tidak sepenuhnya memuat ayat-ayat tentang hukum tidak bisa menjadi dasar kita untuk menolaknya sebagai sumber hukum. Tapi kita bisa mengatakan bahwa Alquran adalah kita yang sebagiannya mengandung hukum-hukum Islam yang wajib kita lakukan ataupun yang harus kita tinggalkan.

Pada saat yang sama kita juga menolak anggapan bahwa Alquran adalah kitab suci yang mudah dipahami. Tidak sembarang orang bisa memahami Alquran, dibutuhkan ilmu, kebahasaan, kaidah-kaidah, juga kesucian diri.

Saya ingin mencontohkan sikap dua ulama kita yang terkenal, yakni Syahid Murtadha Muthahari dan Allamah Husei Thabathbai.

Dalam bukunya berjudul Jilbab atau Hijab. Syahid Muthahari mengupas tentang hukum menggunakan jibab bagi perempuan berdasarkan ayat-ayat Alquran dan hadits, tetapi tetap saja ia menggarisbawahi bahwa dirinya bukanlah ahli fiqih atau hukum, sehingga apa yang ia simpulkan tidak wajib diikuti sebagai suatu fatwa.

Ia hanya menegaskan bahwa itu merupakan suatu kajian dan renungan pribadinya tentang ayat serta hadits berkenaan dengan hijab bagi perempuan.

Begitu juga dengan Allamah Husein Thabathbai. Ulama yang menulis tafsir mizan, yang mendalami Alquran dengan metode yang benar dan komprehensif, saat berbicara tentang ayat-ayat hukum, maka ia selalu menggarisbawahi bahwa ia tidak sedang membuat fatwa.

Ini menunjukkan bahwa ayat-ayat hukum dalam Alquran itu di satu sisi bisa dipahami karena harus diamalkan, namun pada saat yang sama, tidak sesederhana seperti apa yang dipahami oleh masyarakat awam.

Jadi kesimpulannya, Alquran adalah sumber pertama dan utama hukum-hukum Allah Swt. Dari Alquran kita ditunjukkan tentang apa yang harus kita lakukan maupun apa yang harus kita tinggalkan.

Hal itu selaras dengan apa yang digambarkan beberapa ayat Alquran sendiri, Alquran mempredikatkan dirinya sebagai hudan lil muttaqin (petunjuk bagi orang-orang bertaqwa), kadang ia juga menyebut dirinya sebagai hudan li an-nas (petunjuk bagi umat manusia), atau dengan kata yang identik, Alquran menjelaskan dirinya sebagai nur (cahaya), siraj (pelita), busyra (kabar gembira) yang kesemuanya memiliki keterkaitan dengan makna petunjuk.

Selasa, 23 Agustus 2022 19:09

Memahami Arti Qana’ah yang Sesungguhnya

 

Banyak orang menganggap bahwa hidup apa adanya, tanpa harus berusaha keras mendapatkan sesuatu yang lebih dari apa yang dimilikinya adalah sifat qana’ah.

Tak jarang, mereka yang memahami qana’ah seperti itu kehilangan gairah untuk mengais rezeki. Bahkan, mereka tidak lagi memetingkan urusan kehidupan dunia.

Tentu saja, itu bukanlah makna qana’ah yang benar. Qana’ah sesungguhnya adalah suatu sikap cukup atau mencukupkan dalam konteks konsumtif.

Dengan kata lain, seseorang yang memiliki sikap qana’ah tidak akan berlebihan, misalnya dalam hal makanan, pakaian maupun kendaraan. Ia akan cukup dengan sesuatu berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan.

Namun dalam konteks usaha atau produksi, tidak berlaku qana’ah. Justru seseorang dianjurkan untuk terus giat berusaha dan memperkaya diri. Sehingga dengan kekayaan tersebut ia bisa menunaikan kewajiban-kewajibannya yang lain, seperti zakat, khumus dan sedekah.

Dengan demikian, seseorang tersebut akan mendapatkan pahala berlipat ganda dari Allah Swt, karena kemampuannya berbagi pada sesama, khususnya kepada mereka yang membutuhkan pertolongan.

Sumber: Channel Youtube Dana Mustadhafin
Ceramah Ustad Abdullah Beik di Salam Jumat DM

Selasa, 23 Agustus 2022 19:08

Warisan Suami dan Anak-Anak

 

TANYA:
Assalamualaikum Seorang perempuan meninggal dunia meninggalkan suami dan anak-anak, 1 laki dan 3 perempuan. Bagaimana pembagian warisnya?

JAWAB:
Alaikumussalam warahmatullah
Seperempat bagian dari harta peninggalan merupakan hak suami, sisanya dibagi menjadi 5 bagian, 2 bagian untuk anak laki-laki dan masing-masing anak perempuan mendapatkan satu bagian.
Sebagai contoh jika harta warisan yang ditinggalkan Rp. 15.000.000,- maka suami mendapatkan Rp. 3.750.000,- sisanya yakni Rp. 11.250.000 dibagi 5 menjadi yaitu Rp. 2.250.000
2 bagian yakni Rp. 4.500.000,- untuk anak laki
Masing-masing anak perempuan mendapatkan satu bagian yakni Rp. 2.250.000,-

 

TANYA: Salam Ustad. Sebulan yang lalu anak saya keguguran di dalam kandungan saat usia 7 bulan. Apakah janin tersebut wajib diakikahkan oleh orang tuanya? Terimakasih Ustad.

JAWAB: Alaikumussalam. Akikah hukumnya sunnah bagi orang tua yang dikaruniakan anak dan lahir dalam keadaan hidup.

 

Jurnalis Palestina, Shatha Hanaysha, sedang bersama Shireen Abu Aqla (kadang ditulis Abu Akleh) ketika mereka diserang oleh sniper Israel, di Jenin, Tepi Barat. Dalam tulisan ini, dia menggambarkan menit-menitu saat terbunuhnya Shireen, dan kenangannya atas Shireen, jurnalis yang sangat dikaguminya dan membuatnya sejak kecil bercita-cita untuk menjadi jurnalis juga. [Kisah ini disampaikan  Shatha Hanaysha kepada penulis Shatha Hammad and Huthifa Fayyad.]

**

Shireen Abu Aqla (kiri), Shatha Hanaysha (kanan)
Sebelum saya pergi tidur tadi malam, saya terpaku pada ponsel saya memantau berita tentang tentara Israel yang meningkatkan pasukan di dekat pos pemeriksaan Jalame, di luar Jenin, sebuah kota Palestina di Tepi Barat yang diduduki.

Saya tahu ini berarti kemungkinan akan terjadi serangan di kamp pengungsi, seperti yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Saya meninggalkan ponsel saya dalam mode umum sehingga peringatan apa pun akan masuk, dan memutuskan untuk tidur beberapa jam agar siap di pagi hari.

Dan tepat sebelum pukul enam pagi, saya menerima telepon.

“Ada penggerebekan di kamp, apakah kamu ingin meliputnya?” rekan saya Mujahed al-Saadi bertanya.

”Tentu saja,” jawab saya. Saya bersiap-siap dan menuju Jenin dari rumah saya di kota Qabatya, 10 menit perjalanan dengan mobil.

Ketika saya tiba di dekat “Bundaran Kembali”, sebuah monumen besar di kota yang mengarah ke kamp, saya mengenakan helm pers dan pelindung tubuh, seperti yang dilakukan para jurnalis lain yang bersama saya.

Di luar kamp, ​​Jenin terlihat tenang. Pagi itu terlihat normal, orang-orang berjalan dan mengemudi untuk bekerja dengan damai.

“Tidak ada yang perlu ditakuti,” seorang pejalan kaki yang datang dari kamp memberi tahu kami saat kami mengenakan rompi. “Hampir tidak ada yang terjadi di sana, tenang.”

Pasukan Israel telah menyerbu kamp dan mengepung rumah Abdallah al-Hosari, yang telah mereka bunuh pada 1 Maret, untuk menangkap saudaranya.

Sebelum kami berjalan kaki menuju kamp untuk meliput serangan dan baku tembak berikutnya antara pasukan Israel dan pejuang Palestina, kami berhenti untuk menunggu wartawan Al Jazeera.

Kejadian Chaos

Beberapa saat kemudian, Shireen Abu Aqla tiba dengan krunya. Inilah jurnalis gaya liputannya saya tiru sejak kecil, dari nada suara hingga gerakan tangan, dan saya bermimpi melakukan apa yang selalu dia lakukan dengan sangat baik. Itulah dia, Shireen, akan menjalankan peliputan yang sama dengan saya.

Shireen sedang bersiap meliput, beberapa menit sebelum ia ditembak Israel
“Selamat pagi,” sapa Shireen, saat dia, saya sendiri, dua reporter lagi, dan dua juru kamera bersiap-siap.

Saya merasakan aura aneh di sekelilingnya saat itu. Saya tidak dapat menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang saya rasakan. Dia seolah ‘melayang’. Dia bahagia.

Kami membuat diri kami terlihat oleh tentara yang ditempatkan ratusan meter dari kami. Kami tetap diam selama sekitar 10 menit untuk memastikan para tentara tahu bahwa kami ada di sana sebagai jurnalis.

Ketika tidak ada tembakan peringatan ke arah kami, kami bergerak menanjak menuju kamp.

Entah dari mana, kami mendengar suara tembakan pertama.

Saya berbalik dan melihat rekan saya Ali al-Sammoudi tergeletak di tanah. Sebuah peluru mengenai punggungnya tetapi lukanya tidak serius dan dia berhasil menjauh dari lokasi.

Selanjutnya kekacauan terjadi. Rekan saya Mujahed melompati pagar kecil di dekatnya untuk menjauh dari peluru.

“Kemarilah!” serunya padaku dan Shireen, tapi kami berada di seberang jalan dan tidak bisa mengambil risiko untuk menyeberang.

“Al-Sammoudi terkena!” teriak Shireen, berdiri tepat di belakangku, saat kami berdua berdiri dengan punggung menghadap dinding untuk berlindung.

Saat itulah, peluru lain menembus kepala Shireen, dan dia jatuh ke tanah tepat di sebelah saya.

Saya memanggil namanya tapi dia tidak bergerak. Ketika saya mencoba mengulurkan tangan untuk menjangkaunya, peluru lain ditembakkan, dan saya harus tetap bersembunyi di balik pohon.

Pohon itu menyelamatkan hidup saya, karena itu adalah satu-satunya yang menghalangi pandangan tentara terhadap saya.

“Mundur, mundur!” teriak rekan-rekan saya, saat peluru beterbangan setiap kali saya mencoba memeriksa denyut nadi Shireen.

Entah dari mana, seorang penduduk kamp berhasil mencapai kami dengan mobil dari gang yang jauh dari jangkauan tentara Israel. Dia dengan cepat menarikku dan tubuh Shireen dan mengantar kami ke rumah sakit.


Mereka Bertujuan untuk Membunuh

Saya masih shock.

Apa yang terjadi adalah upaya yang disengaja untuk membunuh kami. Siapa pun yang menembak kami, bertujuan untuk membunuh. Dan adalah penembak jitu Israel yang menembak ke arah kami. Kami tidak terjebak dalam baku tembak dengan pejuang Palestina seperti yang diklaim tentara Israel.

Tidak ada pertempuran saat itu. Lokasi kejadian berada di area yang relatif terbuka, jauh dari kamp dimana pejuang Palestina tidak dapat bertindak karena mereka akan dirugikan jika bergerak di sana.

Jenis tembakan adalah indikasi lain. Pejuang Palestina biasanya menggunakan senapan semi-otomatis yang menyemprotkan peluru secara terus menerus. Peluru ini berbeda. Mereka sporadis dan tepat. Mereka hanya menembak ketika salah satu dari kami bergerak. Satu peluru pada satu waktu.

Saat itu saya tidak tahu, bagaimana akhir nasib saya hari itu, tetapi selama beberapa saat, saya telah bersiap untuk mati. Jenin telah berada di bawah serangan intensif Israel dalam beberapa bulan terakhir. Setiap kali saya meliput serangan itu, saya merasa akan dibunuh.

Israel tidak membedakan antara tua dan muda, pria dan wanita, jurnalis sipil dan kombatan. Setiap orang adalah sasaran.

Kenangan Atas Shireen


Di rumah sakit kami semua kaget. Jurnalis, petugas medis, dan warga Jenin.

Seperti banyak reporter lainnya, saya sangat terpukul. Setiap kali saya meletakkan telepon saya untuk memfilmkan, lengan saya lemah. Saya ingin melakukan pekerjaan saya dan mendokumentasikan adegan itu, tetapi saya juga ingin menghormati Shireen di saat terakhir.

Saya ingat diri saya sebagai seorang anak menonton dia menyampaikan liputannya di TV selama Intifadah Kedua.

Saya berusia sekitar tujuh tahun saat itu, dan sejak itu saya tahu persis apa yang saya inginkan ketika saya dewasa: saya ingin menjadi seperti Shireen.

Saya ingat ketika orang tua dan kakek-nenek saya akan duduk-duduk di ruang tamu dan berkata: “Shatha, ayo, beri kami laporan gaya Shireen.”

Ketika saya mengatakan ini padanya, dan bahwa dia adalah idola saya, dalam pertemuan pertama kami beberapa tahun yang lalu, dia tersenyum dan bercanda dengan saya.

Dia rendah hati pada saya, baik hati, dan manis.

Dia datang ke Jenin beberapa minggu yang lalu setelah bertahun-tahun tidak melapor dari kota ini. Saya pergi untuk menyambutnya, tidak menyangka dia akan mengenali saya, karena pastilah dia telah bertemu sangat banyak jurnalis muda lainnya.

“Bagaimana kabarmu Shatha?” katanya saat melihat saya, mengingat nama saya, membuat saya terkejut sekaligus senang.

Kisah-kisah seperti inilah yang mungkin akan diingat sebagian besar dari kita, saat tubuhnya dibawa berkeliling Jenin untuk dikenang.

Kami akhirnya tiba di biara kecil di kota dan lonceng gereja mulai berbunyi untuk Shireen, yang berasal dari keluarga Kristen dari Betlehem.

Di sekitar jenazah Shireen, kami semua berdiri sebagai Muslim dan Kristen, mendengarkan doa Imam dalam diam.

Ketika saya melihat sekeliling, saya melihat beberapa kamera sedang merekam. Di belakang masing-masing adalah seorang jurnalis Palestina yang terisak-isak, mengetahui bahwa Shireen tidak akan pernah berada di ujung lensa itu lagi.

Sebagai warga Palestina dan jurnalis, kehilangan kami tak terlukiskan. Tapi sekarang, lebih dari sebelumnya, pekerjaan kami menjadi semakin penting. Untuk mendokumentasikan kejahatan rezim pendudukan ini, untuk nilai jurnalistik kita, untuk kebenaran, dan untuk Shireen.

 

Kisah Murad Ghazi al-Abbasi

Pada pagi hari Jumat, 3 Juni 2022, seorang pria Palestina, Murad Ghazi al-Abbasi, memeluk orang tua, istri dan enam anaknya di rumahnya di kota Silwan, selatan Masjid Al-Aqsa.  

Kemudian, Al-Abbasi (42 tahun) melangkahkan kaki, meninggalkan rumah dan keluarganya, menuju Ramallah, Tepi Barat. Dia tidak tahu, kapan bisa kembali lagi ke rumahnya, karena statusnya sekarang sudah “dideportasi secara permanen” oleh rezim Zionis.  Selama rezim Zionis berdiri, diperkirakan dia tidak akan bisa lagi menjejakkan kaki ke Jerusalem.

Palestinian man Murad Al-Abbasi says goodbye to his family after he was permanently deported by the Israeli occupation from his hometown, Jerusalem. pic.twitter.com/SJ0q5tZQ1k

— AHMED.ALI.Q (@aaali6090) June 3, 2022
 

Inilah salah satu strategi pembersihan etnis yang dilakukan oleh Rezim Zionis di Jerusalem. Zionis ingin menjadikan keseluruhan wilayah Jerusalem sebagai wilayah khusus Yahudi-Zionis dan melalukan berbagai upaya pengusiran warga Palestina yang saat ini masih mendiami Jerusalem timur.

Al-Abbasi lahir, belajar dan bekerja di Silwan, sebuah area di Jerusalem. Abbasi tidak memiliki “kartu biru” atau KTP untuk orang Jerusalem karena ketika terjadi pendudukan Jerusalem pada perang 1967, dia terlewat dalam sensus yang dilakukan oleh Israel. Sebagian orang-orang Jerusalem diberi KTP khusus oleh Israel, sedangkan Al-Abbasi tidak kebagian.

Pada tahun 2001 Al-Abbasi menikahi seorang gadis Jerusalem (yang memiliki KTP) sehingga ia bisa mengajukan permintaan “penyatuan” ke Kementerian Dalam Negeri Israel (dalam hal ini, status Israel adalah “occupation forces” atau “kekuatan pendudukan” alias “penjajah” di kawasan Jerusalem timur).

Peta Palestina – Jerusalem
“Penyatuan” adalah prosedur untuk menyatukan keluarga Palestina melalui dokumen resmi, di mana salah satu pasangan berasal dari Tepi Barat atau Jalur Gaza, dan yang lainnya berasal dari Jerusalem atau kawasan pendudukan lainnya. Dengan cara, mereka mendapatkan dokumen sehingga bisa masuk ke Jerusalem.  Tanpa ada dokumen resmi, Israel melarang warga Palestina masuk ke Jerusalem.

Pada tahun 2015, setelah 15 tahun menikah, Al-Abbasi dapat menerima perlakuan “penyatuan”, dan setiap tahun ia pergi ke gedung Kementerian Dalam Negeri di lingkungan Wadi Al-Joz di Jerusalem untuk memperbaruinya. Sebelum itu, ia biasa mendapatkan izin masuk dan izin tinggal secara berkala, karena statusnya sebagai pegawai di Rumah Sakit Al-Makassed, di daerah Al-Tur, Jerusalem.

Tapi, tiba-tiba, tahun 2017, izin Abbasi dibekukan selama 8 bulan karena ia menyukai (menekan tombol LIKE) pada gambar seorang martir (syuhada) Palestina di Facebook.  Izin masuknya ke Jerusalem tidak diaktifkan lagi sampai ia mengajukan surat permintaan maaf untuk itu.

Al Abbasi kemudian berulang kali diperas oleh polisi dan intelijen Israel, dan ia hidup dalam ketakutan, karena sewaktu-waktu bisa ditangkap karena dokumennya yang bermasalah. Akhirnya, tahun 2021, dia ditangkap di gerbang Masjid Al-Aqsa, lalu diinterogasi berkali-kali. Abbasi meminta bantuan organisasi hak asasi manusia dan menyewa pengacara untuk pengurusan izin tinggalnya. Namun akhirnya, bulan Mei 2022, secara resmi “pemerintah” Israel menyatakan mendeportasi Al Abbasi. Juni 2022, Al Abbasi harus pergi, bila tidak, ia akan dipenjara.

Strategi Deportasi oleh Zionis

Strategi deportasi dilakukan oleh Zionis terhadap para tokoh dan aktivis dalam komunitas politik dan sosial Palestina tak lama setelah pendudukan tahun 1967. Namun praktik yang melanggar HAM tersebut terus berlanjut hingga kini, karena kurangnya upaya internasional untuk mencegah praktik semacam itu.

Sebelum berdirinya Otoritas Palestina, deportasi dilakukan rezim Zionis Yordania, Lebanon, Suriah dan beberapa tempat lain. Menyusul pecahnya gerakan Intifada Pertama, Israel meningkatkan deportasi para aktivis dan pemimpinnya.

Deportasi ini mencapai puncaknya pada Desember 1992 di mana 418 aktivis dari Hamas dan Jihad Islam dideportasi ke Lebanon Selatan sebagai balasan atas operasi militer mereka.  Tahun 1992 itu pula, untuk pertama kalinya ada keinginan internasional mewajibkan pemerintah Israel untuk mengembalikan orang-orang buangan ke tempat tinggal asalnya, dalam bentuk resolusi PBB 799, dimana beberapa orang dikembalikan  ke rumah dan yang lainnya ke penjara Israel.

Resolusi PBB mengurangi tindakan deportasi oleh Israel. Akan tetapi, menyusul pecahnya Intifada Kedua pada September 2000, deportasi dilakukan lebih gencar lagi.  Pada Mei 2002, ketika Israel meluncurkan “Operasi Perisai Pertahanan,” 39 militan Palestina berlindung dalam Gereja Kelahiran Yesus di Betlehem, lalu mereka diasingkan ke Jalur Gaza dan ke beberapa negara Eropa. Sejak saat itu, tak seorang pun dari mereka yang diizinkan pulang.  Di antaranya, Abdullah Awad, meninggal di pengasingan, dan pemerintah Israel tidak mengizinkan jenazahnya dikuburkan di kampung halamannya.

Dengan semakin gencarnya serangan terhadap Jerusalem timur secara umum dan masjid  Al Aqsa secara khusus, oleh Israel, setelah terbentuknya pemerintah nasionalis dan ekstrimis Israel yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu, strategi deportasi semakin digencarkan juga.

Puluhan orang Palestina dilarang memasuki masjid Al Aqsa atau kota Jerusalem untuk jangka waktu yang berbeda-beda. Langkah Israel ini dilakukan dengan sistematis dan jelas ditujukan untuk mematahkan keinginan dan semangat warga Jerusalem, serta untuk mendorong mereka putus asa dan keluar dari kelompok perjuangan.

Kebijakan deportasi ini juga berlaku bagi tahanan Palestina yang ditahan di penjara Israel.  Sejumlah tahanan Palestina sempat melakukan mogok makan sebagai protes atas penahanan administrative (penahanan tanpa melalui prosedur pengadilan) yang jelas bertentangan dengan norma-norma internasional dan konvensi internasional. Mereka kemudian dideportasi ke Jalur Gaza.

Korban lain dari strategi deportasi Israel adalah para anggota dewan legislatif Palestina terpilih dari Jerusalem, yaitu Mohammed Abu Teir, Mohammed Totah dan Ahmed Atton, serta mantan Menteri Urusan Yerusalem, Khaled Abu Arafa.  Meskipun para anggota dewan legislatif Palestina telah dipilih dengan prosedur demokratis dalam pemilihan Januari 2006, yang  disetujui oleh AS dan Israel, namun mereka kehilangan status kependudukan mereka di Jerusalem.

Melalui strategi deportasi ini, Israel berupaya mengosongkan Jerusalem timur (termasuk kawasan Al Aqsa) agar masjid Al Aqsa jatuh ke dalam kekuasaan mereka secara penuh. Israel memberlakukan hukuman kolektif, pengusiran, dan deportasi keluarga para martir, aktivis, dan politisi. Tindakan Israel ini secara terang-terangan melanggar Pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat. Seharusnya, komunitas internasional meminta sesi darurat Dewan Keamanan PBB untuk membahas apa yang dilakukan Israel di Jerusalem, yaitu hukuman kolektif, penghancuran rumah, deportasi, pengusiran dan pemindahan terhadap warga Palestina.

“Jiwa Saya Tetap di Jerusalem”

Sejak awal tahun 2022,  Al Jazeera Net telah mendokumentasikan deportasi 8 warga Palestina dari kota Jerusalem, yang terakhir adalah Murad al-Absi. Sementara itu, sumber organisasi hak asasi manusia melaporkan bahwa Kementerian Dalam Negeri Israel telah mencabut hak tinggal di Jerusalem dari setidaknya 14.500 warga Palestina, dengan berbagai dalih, sejak pendudukan seluruh kota pada tahun 1967.

Deportasi yang dilakukan terhadap Al-Abbasi membuatnya kehilangan pekerjaan, hidup tanpa rumah dan keluarga, di Ramallah. Padahal, ia adalah satu-satunya pencari nafkah untuk keluarganya di Jerusalem. Keluarganya tidak bisa ikut ke Ramallah karena takut rezim Zionis akan menarik dokumen kependudukan mereka di Jerusalem.

Menjelang kepergiannya, Al Abbasi mengatakan, “Saya tidak akan kehilangan harapan, tidak peduli apapun yang mereka lakukan, saya akan kembali pada akhirnya;  karena akar saya ada di sini, yang pergi hanyalah tubuh saya, tapi jiwa saya akan tetap di Jerusalem.”

 

Mahkamah Tinggi Israel telah memutuskan bahwa wilayah Palestina Masafer Yatta, yang terletak di bagian selatan perbukitan Hebron, akan sepenuhnya diperuntukkan bagi militer Israel dan selanjutnya lebih dari 1.000 penduduk Palestina yang tinggal di wilayah itu akan diusir.

Keputusan Pengadilan Israel, tanggal 4 Mei 2022 tersebut, tidak terlalu mengejutkan. Pendudukan militer Israel bukan hanya terdiri dari tentara dan senjata, namun gabungan dari struktur politik, militer, ekonomi dan sistem hukum yang rumit. Semua itu didedikasikan untuk perluasan pemukiman Yahudi ilegal dan pengusiran orang-orang Palestina secara berangsur-angsur, maupun secara cepat.

Itulah sebabnya, orang Palestina mengatakan bahwa Nakba, atau Bencana – dimana terjadi pembersihan etnis Palestina pada tahun 1948 dan pendirian negara Israel di atas bekas reruntuhannya – adalah sebuah proyek yang berkelanjutan dan belum selesai. Demikianlahyang terjadi, pembersihan etnis masih terus berlanjut hingga kini. Pembersihan etnis warga Palestina dari Yerusalem Timur, siksaan tak berkesudahan terhadap orang-orang Badui Palestina di Naqab dan, sekarang di Masafer Yatta, semua merupakan bukti dari kenyataan itu.

Namun, Masafer Yatta sangat unik. Dalam kasus Yerusalem Timur yang diduduki, misalnya, Israel telah membuat klaim yang keliru dan ahistoris bahwa Yerusalem adalah ibu kota abadi dan tak terbagi, untuk orang-orang Yahudi. Ini menggabungkan narasi yang tidak berdasar dengan aksi militer di lapangan, diikuti oleh proses sistematis yang bertujuan untuk meningkatkan populasi Yahudi dan mengusir penduduk asli kota itu. Gagasan seperti ‘Yerusalem Raya’ dengan struktur hukum dan politik, seperti Gagasan Utama Yerusalem 2000, semuanya telah berkontribusi untuk mengubah mayoritas Palestina mutlak di Yerusalem menjadi minoritas yang menyusut. Pada kasus pembersihan etnis di Naqab, tujuan serupa Israel telah dimulai sejak tahun 1948, dan sekali lagi pada tahun 1951. Proses pembersihan etnis penduduk asli tersebut terus berlangsung hingga hari ini.

Meskipun Masafer Yatta adalah bagian dari desain kolonial yang sama, keunikannya berasal dari fakta bahwa ia terletak di Area C Tepi Barat yang diduduki. [Area C adalah area di bawah administratif Israel, meliputi 60% wilayah Tepi Barat]. Pada Juli 2020, Israel tampaknya memutuskan untuk menunda rencana perampasan hampir 40% Tepi Barat, mungkin karena takut akan pemberontakan Palestina dan menghindari kecaman dunia internasional. Namun, gagasan itu dalam praktiknya terus berlanjut.

Terlebih lagi, pencaplokan wilayah Tepi Barat secara keseluruhan akan membawa konsekuensi bahwa Israel harus bertanggung jawab atas kesejahteraan seluruh komunitas Palestina di wilayah tersebut. Sebagai entitas pemukim-kolonial (settler colonial), Israel hanya menginginkan tanah Palestina, bukan warganya. Dalam perhitungan Tel Aviv, pencaplokan tanpa pengusiran penduduk dapat menyebabkan mimpi buruk demografis; dengan demikian, Israel perlu merumuskan kembali rencana pencaplokannya.

Meskipun Israel diduga menunda aneksasi secara de jure, namun kenyataannya aneksasi dalam bentuk de facto terus berlanjut, sehingga hanya sedikit memunculkan perhatian media internasional. Keputusan Pengadilan Israel mengenai Masafer Yatta, yang sudah dimulai dengan pengusiran keluarga Najjar pada 11 Mei, merupakan langkah penting menuju aneksasi Area C. Jika Israel dapat menggusur penduduk dua belas desa, dengan populasi lebih dari 1.000 warga Palestina, tanpa halangan, diprediksi akan lebih banyak pengusiran seperti itu, tidak hanya di selatan Hebron, tetapi di seluruh wilayah Palestina yang diduduki.

Penduduk desa Palestina Masafer Yatta dan perwakilan hukum mereka tahu betul bahwa tidak ada ‘keadilan’ nyata yang dapat diperoleh dari sistem pengadilan Israel. Namun, mereka terus memperjuangkan ‘perang hukum’, dengan harapan bahwa kombinasi faktor-faktor, termasuk solidaritas di Palestina dan tekanan dari luar, pada akhirnya dapat menekan Israel untuk menunda penghancuran yang direncanakan dan Yudaisasi di seluruh wilayah.

Namun tampaknya, upaya Palestina yang telah berlangsung sejak 1997 itu gagal. Keputusan Mahkamah Tinggi Israel didasarkan pada gagasan yang salah dan benar-benar aneh. Hanya karena orang-orang Palestina di daerah itu tidak dapat menunjukkan bukti bahwa mereka telah menempati wilayah tersebut sebelum tahun 1980 ketika pemerintah Israel memutuskan untuk mengubahnya menjadi ‘Zona Tembak 918’, maka mereka tidak berhak ada di situ.

Sayangnya, pembelaan Palestina sebagian didasarkan pada dokumen dari era Yordania dan catatan resmi PBB yang melaporkan serangan Israel di beberapa desa Masafer Yatta pada tahun 1966. Pemerintah Yordania, yang mengelola Tepi Barat hingga tahun 1967, memberi kompensasi kepada beberapa penduduk untuk hilangnya rumah batu mereka – bukan tenda – hewan dan harta benda lainnya yang dihancurkan oleh militer Israel.

Orang-orang Palestina mencoba menggunakan bukti ini untuk menunjukkan bahwa mereka telah ada, bukan sebagai orang nomaden tetapi sebagai komunitas yang berakar. Ini tidak cukup meyakinkan bagi pengadilan Israel, yang mendukung argumen militer atas hak-hak penduduk asli. Tentu saja, sekali lagi, pengadilan penjajah tentu saja akan memenangkan kepentingan mereka, bukan kepentingan pihak terjajah.

Zona tembak Israel meliputi 18% dari total luas wilayah Tepi Barat. Ini adalah salah satu taktik yang digunakan oleh pemerintah Israel untuk mengajukan klaim hukum atas tanah Palestina dan, akhirnya, beberapa tahun kemudian, juga mengklaim kepemilikan yang sah. Banyak dari zona tembak ini ada di Area C, dan digunakan sebagai salah satu metode Israel yang bertujuan untuk secara resmi mengambil alih tanah Palestina dengan dukungan pengadilan Israel.

Sekarang militer Israel telah berhasil memperoleh Masafer Yatta – sebuah wilayah yang membentang 32 hingga 56 km persegi – berdasarkan alasan yang sangat lemah, sehingga akan menjadi lebih mudah untuk memastikan pembersihan etnis dari banyak komunitas serupa di berbagai wilayah Palestina yang diduduki.

Sementara diskusi dan liputan media tentang skema aneksasi Israel di Tepi Barat dan Lembah Yordan sebagian besar telah mereda, Israel sekarang sedang mempersiapkan skema pencaplokan bertahap. Alih-alih mencaplok 40% Tepi Barat sekaligus, Israel kini mencaplok lahan dan wilayah yang lebih kecil, seperti Masafer Yatta, secara terpisah.

Tel Aviv pada akhirnya akan menghubungkan semua wilayah yang dirampas ini melalui jalan bypass khusus Yahudi ke infrastruktur permukiman Yahudi yang lebih besar di Tepi Barat. Strategi alternatif ini tidak hanya memungkinkan Israel untuk menghindari kritik internasional, tetapi juga akan memungkinkan Israel untuk akhirnya merampas tanah Palestina sambil secara bertahap mengusir warga Palestina, agar ketidakseimbangan demografis tidak terjadi [agar jumlah penduduk Palestina tidak semakin banyak dibanding jumlah kaum Yahudi].

Apa yang terjadi di Masafer Yatta bukan hanya skema pembersihan etnis terbesar yang dilakukan oleh Israel sejak tahun 1967, tetapi langkah tersebut harus dianggap sebagai langkah awal bagi skema yang jauh lebih besar yaitu perampasan tanah ilegal, pembersihan etnis dan pencaplokan massal resmi. Israel tidak boleh berhasil di Masafer Yatta, karena jika berhasil, pada dasarnya, skema pencaplokan massal, akan menjadi kenyataan dalam waktu singkat. []

Seorang tentara Israel mengejar seorang aktivis perdamaian Palestina yang berusaha membuka jalan yang ditutup oleh pemerintah Israel yang melintas dekat pemukiman Yahudi Mezbi Yair, Masafer Yatta,

 

Sayid Hassan Nasrallah, Sekjen Hizbullah Lebanon hari Senin (22/08/2022) malam dalam pidatonya mengatakan, "Kemenangan Perlawanan tahun 2000 telah mengakhiri proyek Israel Raya.

Menurut laporan IRNA, Sayid Hassan Nasrallah, yang berbicara pada upacara penutupan peringatan 40 tahun berdirinya Hizbullah, yang disebut festival Arbaun Rabi'an, menambahkan, "Ada hubungan yang mendalam antara aktivitas Perlawanan sebelum 1982 dan setelahnya, sehingga kemenangan tahun 2000 mengakhiri proyek Israel Raya dan berhasil mengalahkan pasukan yang belum terkalahkan."

"Anggota Hizbullah mengikuti jalan Imam Khomeini ra dan perilakunya, dan menganggapnya sebagai inspirasi terbesar Hizbullah di era saat ini," kata Sayid Hassan Nasrallah.

Menurut Sekjen Hizbullah, "Pencapaian terakhir Perlawanan dalam perang 2006 adalah masuknya Perlawanan untuk memulihkan hak minyak dan gas Lebanon. Pembebasan sisa wilayah Lebanon yang diduduki adalah tanggung jawab nasional."

"Bagaimanapun, kemenangan tahun 2006 adalah salah satu pencapaian terpenting Perlawanan dalam perjalanan panjangnya. Perang ini mengubah aturan konflik dengan musuh Zionis," ungkapnya.

Sayid Hassan Nasrallah menambahkan, salah satu tugas kami di masa depan adalah menciptakan perimbangan pencegahan untuk melindungi tanah, rakyat, dan kekayaan Lebanon.

"Ancaman Israel mengenai demarkasi perbatasan maritim tidak ada artinya. Keputusan dan pendekatan kami jelas dan kami menantikan hari-hari mendatang untuk bertindak atas apa yang diperlukan," jelas Sayid Hassan Nasrallah.

Tidak Ada Kata Mundur untuk Masalah Palestina

Sekaitan dengan masalah Palestina, Sekjen Hizlbullah mengatakan, "Masalah Palestina adalah bagian dari agama, budaya, reputasi, dan kehormatan bangsa ini, dan tidak ada ruang untuk membiarkan, bersikap netral, dan mundur darinya."

"Sumber strategi kami terhadap masalah Palestina adalah mengandalkan revolusi rakyat Palestina dan menentang kompromi dan normalisasi," tegasnya.

Suriah Dasar Poros Perlawanan

Dalam masalah Suriah, Sayid Hassan Nasrallah mengatakan, "Suriah adalah basis dari Poros Perlawanan, front keberlanjutan dan penentangan untuk menyerah pada syarat yang ditetapkan Zionis Israel."

Nasrallah menambahkan, "Kami bersama Suriah dalam perang dunia terhadap Suriah dan berpartisipasi di dalamnya."

Sekaitan dengan masalah isu kembalinya para pengungsi Suriah ke negaranya, Sayid Hassan Nasrallah mengatakan, "Sejauh ini, tekanan politik AS menyebabkan tidak ada kemajuan dalam masalah ini."

 

Ketua Klub Tawanan Palestina mengkonfirmasi partisipasi seluruh faksi Palestina di aksi mogok makan nasional di penjara-penjara rezim Zionis.

Seperti dilaporkan al-Mayadeen, Ketua Klub Tawanan Palestina, Qadoura Fares mengatakan, untuk pertama kalinya selama beberapa tahun terakhir, para tawanan Palestina dari seluruh faksi berencana berpartisipasi di acara mogok makan nasional dan tak terbatas.

"Organisasi-organisasi penjara rezim Zionis tidak siap melawan aksi protes tawanan Palestina," ujar Fares.

Bersamaan dengan dimulainya aksi mogok makan dan protes umum tawanan, ratusan orang dari keluarga tawanan Palestina berkumpul di depan gedung Bulan Sabit di Jalur Gaza.

Berita alinnya menyebutkan, Khalil Awawdeh masih terus melanjutkan aksi mogok makannya sampai kebebasan penuh, meski penangkapannya ditangguhkan sementara.

Tawanan Palestina ini hari Selasa (23/8/2022) memasuki hari ke-164 di aksi mogok makan. Kondisi fisiknya saat ini berbahaya dan setiap saat ini mungkin akan syahid.

Khalil Awawdeh ditahan sejak 27 Desember 2021 dan berstatus tahanan sementara. Sampai saat ini, Zionis telah tiga kali memperpanjang masa penahanan Awawdeh.

Baru-baru ini, menyusul serangan tiga hari rezim Zionis ke Jalur Gaza yang menewaskan 49 warga Palestina, diterapkan gencatan senjata dengan mediasi Mesir. Sementara itu, Israel berjanji membebaskan Awawdeh dan Bassam al-Saadi, salah satu pemimpin Jihad Islam, tapi penolakan pengadilan Israel untuk membebaskan Awawdeh menunjukkan bahwa rezim ini tidak pernah mematuhi janjinya.