
کمالوندی
Militer Suriah Bentrok dengan Militer AS di Qamishli
Berbagai sumber media mengkonfirmasi bentrokan antara pasukan Suriah dan militer Amerika Serikat di selatan kota Qamishli.
Krisis Suriah meletus sejak tahun 2011 seiring dengan serangan besar-besaran kelompok teroris dukungan Arab Saudi, Amerika Serikat dan sekutunya untuk mengubah konstelasi kawasan demi keuntungan rezim Zionis Israel.
Menurut laporan al-Mayadeen Kamis (6/10/2022), berbagai sumber media Suriah mengkonfirmasi operasi heliborne di Provinsi Hasakah dan bentrokan mereka dengan militer Suriah di selatan kota Qamishli dan menyatakan, selama bentrokan tersebut satu orang tewas dan dua lainnya terluka.
Berdasarkan laporan ini, bentrokan antara militer Suriah dan militer Amerika di selatan Qamishli setelah operasi heliborne pasukan koalisi Amerika di sebuah desa di sekitar Provinsi Hasakah di timur laut.
Kehadiran ilegal militer Amerika Serikat di wilayah timur dan timur laut Suriah selain merampok sumber minyak dan kekayaan Suriah, juga mengakibatkan instabilitas dan upaya kelompok teroris Daesh (ISIS) untuk melancarkan serangan terhadap pasukan pemerintah dan rakyat Suriah.
Diancam Rezim Zionis, Begini Reaksi Hizbullah
Wakil Hizbullah di Parlemen Lebanon mengatakan, jika Rezim Zionis Israel berusaha melakukan pengeboran minyak dan gas sebelum mencapai kesepakatan dengan Lebanon, maka Hizbullah akan menggunakan opsi militer.
Dikutip situs Al Araby Al Jadeed, Kamis (6/10/2022), Hussein Jashi mengumumkan, "Jika Lebanon dan Rezim Zionis tidak mencapai kata sepakat terkait penetapan garis batas laut, maka Israel tidak akan pernah punya kesempatan untuk melakukan pengeboran minyak dan gas di ladang Karish."
Menurutnya, Lebanon bukanlah negara lemah, sehingga Israel bisa seenaknya melakukan pengeboran minyak dan gas di wilayah-wilayah sengketa.
"Lebanon, angkatan bersenjata, rakyat dan kelompok perlawanannya sangat serius, dan tidak menginginkan perang, akan tetapi tidak akan pernah mundur dari haknya," tegas Jashi.
Ia menegaskan, "Situasi yang berkembang dalam negosiasi tidak langsung antara Lebaon dan Rezim Zionis, positif, dan penentangan Israel hanyalah manuver, karena ia tidak punya opsi lain selain mencapai kesepakatan."
Rencananya hari Kamis, Kabinet Keamanan Israel akan menggelar pertemuan untuk membahas usulan Amerika Serikat terkait penetapan garis batas laut Lebanon dan Rezim Zionis.
Mossad: Hizbullah Mungkin akan Melancarkan Serangan
Direktur Dinas Intelijen Rezim Zionis Israel, Mossad menanggapi kemungkinan gagalnya perundingan penetapan batas laut dengan Lebanon. Menurutnya, Hizbullah kemungkinan akan menyerang posisi-posisi Israel.
David Barnea, Jumat (7/10/2022) seperti dikutip Kanal 12 televisi Israel, mengatakan, "Sekjen Hizbullah terang-terangan menyatakan tidak akan memberikan kesempatakan kepada Israel untuk melakukan pengeboran minyak dan gas di Karish, jika kesepakatan tidak dicapai."
Ia menambahkan, ada kekhawatiran Hassan Nasrullah kemungkinan akan menepati janjinya, dan meski "simbolik" ia akan melancarkan serangan.
Sebelumnya Menteri Perang Israel, Benny Gantz memerintahkan pasukannya siaga perang untuk beberapa hari, pasalnya menurut klaim para pejabat Zionis, kemungkinan konfrontasi baru dengan Hizbullah, semakin menguat.
Menurut situs Axios, mengutip tiga pejabat Israel, perubahan draf kesepakatan terpenting yang dituntut Lebanon, terkait dengan pengakuan resmi jalur pelayaran laut sebagai perairan internasional.
Sementara Israel, mengklaim jalur ini merupakan manfaat keamanan utama baginya, dan stabilitas jalur ini dengan alasan-alasan keamanan, sangat penting bagi Zionis.
Mokhber: Iran dan Rusia Tidak Butuh Mata Uang Asing
Wakil pertama Presiden Iran mengatakan, Iran dan Rusia bisa menggunakan mata uang nasional masing-masing dalam transaksi perdagangan, tanpa mata uang asing.
Mohammad Mokhber, Kamis (6/10/2022) petang di sela Forum Ekonomi Laut Kaspia ke-2, menggelar pertemuan dengan para gubernur dan kepala daerah Rusia. Dalam pertemuan ini, Mokhber menilai kapasitas daerah-daerah Rusia, penting dan konstruktif untuk meningkatkan level kerja sama.
Ia menuturkan, laporan dari para kepala daerah Rusia, menunjukan bahwa pengembangan hubungan dagang dua negara, merupakan masalah yang mungkin dicapai.
Menurut Mokhber, Iran dan Rusia adalah dua negara sahabat dan tetangga. Keduanya dapat menggunakan mata uang nasional masing-masing dalam transaksi perdagangan, tanpa perlu pada mata uang asing. Dengan demikian permintaan akan mata uang nasional akan meningkat, sehingga nilainya semakin kuat.
Forum Ekonomi Laut Kaspia ke-2 diselenggarakan di Moskow, Rusia, dan diikuti oleh lima negara pesisir Laut Kaspia yaitu Iran, Rusia, Kazakhstan, Turkmenistan, dan Republik Azerbaijan.
Fatwa Media Sosial (2)
Dalam pesan yang disampaikannya kepada Malik al-Asytar, Imam Ali mengatakan:
ولا تعجلن الی تصدیق ساع فان الساعی غاش و ان تشبه بالناصحین
Janganlah engkau terburu-buru untuk membenarkan berita pemfitnah/pengadu domba sebab pengadu domba adalah pengkhianat dan penipu, meskipun ia berpenampilan sebagai pemberi nasihat (Nahj al-Balaghah, Faidh al-Islam, hal. 998, nomer 53).
Begitu juga di bidang penyebaran berita dan penggunaan jejaring sosial, kita harus hindari penyebaran rumor dan isu. Sebab, Al-Qur’an memerangi dan menentang keras hal-hal seperti itu, khususnya bila isu yang disebar rentan menimbulkan perpecahan, mengancam keamanan dan kenyamanan sosial dan psikologis masyarakat (Qs. al Ahzab: 60, 62, an Nisa 83)
Allah berfirman:
(Ingatlah) ketika kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar.
Dan mengapa kamu tidak berkata, ketika mendengarnya, “Tidak pantas bagi kita membicarakan ini. Mahasuci Engkau, ini adalah kebohongan yang besar.” Allah menasehati kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang beriman.
Dalam surat an-Nur ayat 15-17 tersebut, Allah melarang dan mengingatkan secara keras supaya kita menghindari penyebaran kebohongan dan berita hoax dan menilainya sebagai dosa besar. namun Al-Quran membolehkan bahkan menegaskan perihalkebolehan dan bahkan keharusan menentang orang zalim dan membongkar aib/kedoknya. Sebab dalam surat an-Nisa’ ayat 84, Allah menegaskan bahwa perkataan buruk dan cemoohan kepada orang lain adalah tindakan yang tidak terpuji namun diperbolehkan cibiran kepada orang yang zalim.Jadi, bila diizinkan untuk mencela kezaliman orang yang zalim maka tentu saja menjelaskan dan menyebarkan kelaliman orang yang lalim bukan hanya dibolehkan namun justru diwajibkan. Mengapa? karena Allah tidak akan pernah membiarkan kezaliman dan menganggapnya sebagai dosa besar, Oleh karena itu, menyebarkan dan mengekspos kejahatan orang zalim diperbolehkan bahkan diharuskan.
Allah Swt dalam beberapa ayat, di antaranya surat an-Nisa’ ayat 75 memprotes orang-orang mukmin dan mempertanyakan mengapa mereka tidak memerangi orang-orang zalim dan para tiran supaya mustadhafin (orang-orang lemah) terbebaskan dari cengkraman kejahatan dan kebiadaban mereka. dan pada hakikatnya, Allah menghendaki jihad dan perang dilakukan dalam rangka membebaskan orang yang teraniaya dan orang yang lemah, dan Dia ingin supaya masyarakat mengorbankan jiwanya sekalipun dijalan kemuliaan ini.Oleh karena itu, bi thariqin aula (secara lebih utama dan lebih prioritas serta lebih diizinkan) dapat dikatakan bahwa berteriak dan menentang orang orang yang zalim untuk membela orang yang terzalimi adalah hal yang wajib.
Jadi, memerangi kezaliman adalah jalan para nabi. Oleh karena itu, Nabi Musa saat menjelaskan syukur nikmat yang diperolehnya, beliau berbicara tentang pembelaan terhadap orang yang teraniaya dan mengatakan:
Dia (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, oleh karena nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, maka aku tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa –
(QS.al-Qashash, 17).
Maka, kecenderungan dan pemihakan serta penjilatan kepada orang yang zalim (baik penguasa maupun pengusaha atau pun tokoh yang buruk akhlak) di media sosial adalah hal yang tercela. Sebab, ketertarikan terhadap orang zalim termasuk dalam kategori perlindungan dan pembelaan kepada kezaliman yang Allah dalam surat Hud ayat 13 mengancamnya dengan siksaan neraka. Ancaman ini menunjukkan bahwa ketertarikan seperti ini dianggap sebagai dosa besar.
AyatullahSayed Ali Khamene’i mengemukakan masalah ghibah (menggunjing) saat membahas buktieksternalfikih media sosial. Dan beliau menyampaikan (berfatwa):
“Salah satu masalah yang harus kita perhatikan dan kita harus menyampaikan halini dan mereka harus kita ajarkan halini adalah hendaklah mereka memperhatikan bahwa hanya dengan asumsi bahwa kemaslahatan menuntut hal ini, yaitu mereka seenaknya dan sebebasnya menyampaikan berita dengan tangan mereka,pena mereka atau bloq/situs mereka.Tentu tidak demikian. Sebab,seluruh sarana modern sekarang terkena hukum ini. Yaitu membaca (tulisan)di blog/situs seperti membaca kertas, kitab dan surat dan seperti mendengarkan suatu kata. Praktik mendengarkan ghibah juga mencakup semua masalahini. Dengan kata lain,parameter ghibah juga bisa diterapkan di sini. Sebab, ghibah tidak mesti harus menggunakan telinga/pendengaran. Bisa saja ghibah terjadi dengan membaca suatu surat. Kami telah tegaskan masalah ini dalam pembahasan masalah istima’ (proses mendengarkan).
Penggunaan kamera juga demikian. Misalnya, andaikan ada seseorang melakukan suatu kesalahan lalu ada orang lain yang melihatnya dan kemudian ia merekamnya dan kemudian menyebarkannya di tempat lain maka ini tidak ada bedanya (sama dengan ghibah).” (Disampaikan pada Jalsah Dars Kharij Fikih, 7/10/89)
Fatwa Media Sosial (1)
Salah satu masalah akhir-akhir ini yang menyeruak ke permukaan adalah kajian fikih sosial. Perkembangan tehnologi yang begitu cepat tidak dapat dipungkiri telah memengaruhi secara signifikan gaya hidup dan model hubungan yang dibangun antara manusia. Hal ini di satu sisi membawa dampak positif karena jalinan komunikasi dan persahabatan antara pelbagai individu dan masyarakat manusia menjadi sangat mudah dan cair. Namun di sisi lain kemajuan sains ini bila tidak diimbangi dengan akhlak dan kesadaran religius yang memadai tentu akan membawa pengaruh negatif yang alih-alih mempersatukan manusia, ia justru menjadi biang keladi permusuhan dan percekcokan serta fitnah dan propaganda yang berakibat sampai pada perceraian, pembunuhan, penipuan, pemerasan dan lain-lain. Penyebaran berita palsu dan fitnah alias hoax, misalnya, menjadi tranding topic yang sangat merugikan individu maupun kelompok yang difitnah dan di-bullying. Di sinilah menjadi penting pembahasan tentang fikih sosial, utamanya menyangkut etika menggunakan medsos (FB, Twiter, BBM,Whatsap dan lain-lain). Lalu mengapa aktifitas di media sosial ini ini masuk dalam cakupan fikih?Karena tugas fikih adalah mengatur dan menentukan amalan mukallaf (seorang yang balig dan memenuhi syarat untuk menjalankan ketentuan syariat) terkait dengan hal-hal yang wajib, sunah,mubah, makruh, haram serta pembahasan-pembahasan yang bertalian dengannya.
Oleh karena itu, pembahasan tentang fikih sosial sangat perlu karena dengannya akan dijelaskan tanggung jawab sosial individu dan masyarakat terkait dengan batasan yang dibolehkan dan yang tidak boleh atau dilarang. Dengan demikian, para pelaku dan penggiat media sosial, apapun profesi mereka, hendaklah sensitif terhadap kegiatan medsos dan memperhatikan koridor hukum fikih dan syariat saat menerima, menyebarkan, dan menganalisa serta memahami suatu berita dan peristiwa sehingga mereka mampu–melalui fikih media sosial dan etika jejaring sosial–menggenali nilai dan anti nilai.
Di sini perlu ditegaskan bahwa dalamkajian bidang media sosial harus melibatkan ulama-ulama akhlak dan fukaha. Sebab, kajian di bidang ini terkait dengan fikih media sosial dan etika/akhlak media sosial. Meskipun di antara keduanya ada perbedaan pada dataran pemahaman namun secara prinsip antara fikih media sosial dan etika media sosial memiliki hubungan yang sangat erat.
Contoh Fikih Media Sosial
Meskipun alat-alat dan media-media yang digunakan hari ini telah banyak mengalami perubahan dibandingkan zaman-zaman sebelumnya, namun model komunikasi dan penyampaian informasi telah terjadi sejak zaman dahulu. Karena itu, dalam kajian fikih Islam ditemukan banyak pembahasan yang berhubungan dengan fikih media sosial da tema-tema yang terkait dengannya.
Tetapi yang penting, hendaklah masalah ini dihimpun dalam satu kitab fikih dengan tema/judul fikih media sosial dan selanjutnya, hendaklah dijelaskan juga–sesuai perkembangan alat dan sarana serta penemuan baru yang digunakan–ketentuan dan batasan pemakaian dan pemanfaatan sarana dan media yang diperbolehkan.
Pada masa lalu, telah dikemukakan masalah yang terkait dengan bagaimana menyikapi berita dan juga masalah dongeng palsu serta syair-syair picisan dan murahan yang penuh dengan kedustaan. Bahkkan dalam Al-Qur’an, kita bisa menemuukan hukum fikih yang bertalian dengan hal ini.
Sebagai contoh, Al-Qur’an telah menjelaskan bagaimana menyikapi dan mengelola berita yang disampaikan seseorang dan menegaskan perlunya tabayun dan penelitian terkait dengan kebenaran suatu berita. Dalam hal ini, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat: 6)
Oleh karena itu berdasarkan ayat tersebut, selama kita belum tahu kepastian kebenaran suatu berita atau peristiwa maka kita tidak boleh menyebarkannya atau mengeksposnya, apalagi kita mengambil keputusan berdasarkannya dan kehidupan kita pertaruhkan atasnya.
Ma’rifatullah Asas Kemanusiaan
Imam Ali as berkata: Pangkal agama ialah mengenal Allah.
Segala sesuatu memiliki titik awal dan dasar. Dari titik awal dan dasar inilah di atasnya sesuatu jika merupakan bangunan berdiri dengan tegak, kokoh dan berguna. Agama ibarat bangunan, pondasinya adalah marifatullah (mengenal Tuhan).
Seumpama buku, bukan seperti buku kasykul dalam membacanya tidaklah penting mulai dari tema yang mana. Tetapi seperti buku ilmiah, dalam menelaahnya harus dimulai dari bagian awal sebagai dasarnya. Agama memuat sejumlah pemikiran, keyakinan, etika dan undang-undang, pondasi utamanya adalah mengenal Tuhan.
Di atas pondasi inilah berdiri keyakinan pada dua dasar agama; kenabian dan kebangkitan (maad). Yakni, bila tauhid (marifatullah) sebagai dasar yang kukuh, dan alam keberadaan milik Allah yang menciptakan dan mengaturnya, di sana umat manusia dalam kehidupan individual dan sosialnya memerlukan petunjuk khusus (hidayah wahyu) melalui para utusan-Nya, dan mereka diantarkan pada alam lain yaitu, akhirat.
Di sana terdapat orang-orang yang melampaui batas terkait para nabi, seperti mengangkat nabi Isa di posisi ketuhanan. Pemikiran dan keyakinan yang menyimpang ini disebabkan dasar utama (tauhid dan marifatullah)nya tidak benar dan tidak capai. Mana mungkin orang yang mengenal keagungan Allah Yang Mahaesa dan bahwa ia bukan pemilik dirinya, mengakui sekutu Tuhan atau adanya tuhan kecil.
Keberagamaan yang benar, rasional dan logis bagi seseorang ialah dimulai dari bagian yang paling mendasar, yaitu tauhid dan marifatullah. Jika pondasi utama ini tak dibangun dalam dirinya, takkan tercapai bagian-bagian lainnya yang mendasar. Nabi Muhammad saw setelah diutus oleh Allah swt, pertama yang beliau sampaikan kepada umatnya ialah bahwa: tiada tuhan selain Allah.
Hamba Tuhan ataukah Budak Kepentingan?
Selain sebagai pangkal agama, marifatullah juga merupakan pondasi kemanusiaan. Apa yang kita sebut dengan “hak asasi manusia”, kemanusiaan mengharuskan kita berkasih sayang, menjaga perdamaian dan menjauhi pertikaian, membantu orang lemah, tidak menyakiti dan tidak merampas hak orang lain, bahkan berkorban dalam pengabdian kepada sesama. Semua ini memang begitu semestinya kita. Namun apa falsafah seseorang sampai ia mengorbankan kepentingan pribadi dan menanggung derita demi kepentingan orang lain?
Semua itu merupakan perkara-perkara spiritual yang bertentangan dengan perkara-perkara material dan kepentingan personal. Nah, pangkal spiritualitas itu adalah mengenal Tuhan. Kemanusiaan tak bisa lepas dari ma’rifat ini, atau ia jatuh dalam pemujaan kepentingan. Yakni, manusia kalau tidak menghamba kepada Tuhan, ia menjadi budak kepentingan duniawi. Tak ada pilihan yang ketiga baginya.
Dalam Alquran surat Ibrahim 24-26, Allah swt berfirman:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُها ثابِتٌ وَ فَرْعُها فِي السَّماءِ تُؤْتي أُكُلَها كُلَّ حينٍ بِإِذْنِ رَبِّها وَ يَضْرِبُ اللهُ الْأَمْثالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
وَ مَثَلُ كَلِمَةٍ خَبيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْأَرْضِ ما لَها مِنْ قَرارٍ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya…
Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.
Perumpamaan yang pertama dalam ayat-ayat tersebut, ialah mengenai orang-orang yang ber-“pohon marifatullah”, tumbuh di bumi jiwa mereka. Bercabang darinya keyakinan pada kenabian, kepemimpinan ilahiah dan para penunjuk jalan Tuhan; serta keadilan yang mendasari tegaknya alam ini. Juga keyakinan bahwa pahala orang-orang saleh takkan sirna dan orang-orang jahat akan dihukum. Buah-buahnya adalah kemuliaan, ketakwaan, kebajikan, pengabdian dan pengorbanan, kerelaan, ketenangan dan kebahagiaan.
Perumpamaan yang kedua, kita dapati di sana orang-orang yang berlaku atas nama bela bangsa atau kepercayaan sosial, dalam pengaruh doktrin-doktrin tertentu. Bukan tidak mungkin di jalan itu mereka sampai mengorbankan nyawa. Akan tetapi bila berkesempatan untuk berfikir dan evaluasi diri, mereka tak dapat menemukan alasan logis atas apa yang mereka perbuat.
Marifatullah adalah logika yang benar dan kokoh bagi kemanusiaan. Selain sebagai dasar kemanusiaan, marifatullah adalah sumber pembeda manusia dari binatang. Hanya marifatullah yang dapat menggantikan budak diri dan kepentingannya.
Allah berfirman:
اَللهُ وَلِيُّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا يُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ وَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا أَوْلِيَآؤُهُمُ الطَّاغُوْتُ يُخْرِجُوْنَهُم مِّنَ النُّوْرِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ
Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman).Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung mereka adalah tagut yang mengeluarkan mereka dari cahaya (iman) kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS: al-Baqarah 257)
Referensi:
Hikmatha wa Andaruzha/Syahid Mutahari
Mereka yang Tidak Peduli Nasib Sesama
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ أَصْبَحَ لاَ يَهْتَمُّ بِأُمُورِ الْمُسْلِمِينَ فَلَيْسَ بِمُسْلِمٍ
“Siapa saja yang ketika bangun pagi dia tidak memperhatikan nasib kaum Muslimin, dia bukan Muslim.”
(Al-Kafi, Jilid 2 halaman 164; Bihar Al-Anwar, Jilid 71 halaman 120)
Kemiskinan dan kezaliman adalah fenomena yang merajalela di muka bumi. Sungguh sangat memprihatinkan manakala kita menemukan fakta bahwa masih sangat banyak di antara saudara sesama manusia, para anak cucu Adam ini, yang hidup dalam kemiskinan, kelaparan, dan penderitaan. Lihatlah di sekitar kita. Orang-orang miskin, tertindas, dan terpinggirkan masih sangat banyak. Dan sungguh sangat disayangkan bahwa sebagian besar mereka adalah saudara-saudara seiman kita.
Jika perhatian itu kita arahkan kepada kawasan yang lebih luas lagi, keprihatinan kita akan semakin besar. Fenomena kemiskinan, kelaparan, dan penderitaan itu juga akan kita jumpai, bahkan itu terjadi dalam skala yang jauh lebih besar dan lebih menyakitkan. Dan sebagian dari orang-orang miskin dan tertindas di berbagai belahan dunia itu juga beragama Islam. (Baca: Angan-angan Duniawi yang Membuat Kita Terpuruk)
Tengoklah Palestina, misalnya. Mayoritas bangsa Palestina adalah saudara seiman kita. Penderitaan mereka berlipat-lipat jauh lebih besar dibandingkan dengan penderitaan yang mendera saudara-saudara sebangsa kita.
Puluhan tahun lamanya jutaan warga Palestina terlunta-lunta menjadi pengungsi dan hidup dalam kemiskinan. Mereka yang tinggal di kawasan pendudukan tak pernah merasakan ketenangan dalam hidupnya. Hari ini bisa makan, entah dengan esok lusa. Jika sanak keluarga bepergian ke luar rumah (ayah yang pergi bekerja atau anak-anak yang pergi ke sekolah), tak pernah ada jaminan bahwa mereka akan kembali pulang ke rumah dengan selamat. Bahkan, tinggal di rumah pun bukan merupakan jaminan. Setiap saat, rumah mereka bisa saja menjadi sasaran serangan roket serdadu Zionis Israel. Ketika Trump secara sepihak menyatakan Al-Quds sebagai ibu kota Israel dan Kedutaan Amerika pun sudah resmi pindah ke sana, warga Gaza pun melancarkan aksi protes keras. Akan tetapi, aksi itu dihadapi moncong senjata. Ratusan nyawa saudara-sudara kita pun melayang sebagai syuhada.
Di banyak tempat lain di dunia, yaitu di Irak dan Suriah, situasinya juga tidak lebih baik dibandingkan dengan kawasan Palestina. Sudah bertahun-tahun lamanya warga Irak dan Suriah dicekam oleh keganasan teroris ISIS dan berbagai kelompok jihad palsu lainnya (yang notabene adalah buatan Amerika). Keganasan kelompok-kelompok radikal ini juga membuat bulu kuduk semua orang merinding. Yaman juga sama. Pasukan Saudi yang berkoalisi dengan negara-negara monarki Arab-Teluk, Amerika, Barat, dan Zionis, dalam beberapa tahun terakhir ini telah meluluhlantakkan negeri yang semula damai itu. (Baca: Dua Kisah Bapak Tua, Putera dan Kudanya)
Ada sebagian pihak yang berpendapat bahwa Palestina, Irak, Suriah, dan Yaman adalah masalah kemanusiaan, bukan masalah agama. Pendapat ini memang benar jika maksud dari pernyataan ini adalah bahwa akar masalah di empat tempat tersebut bukanlah konflik agama. Dalam hal Palestina, misalnya, pembelaan kita bukanlah karena semata-mata mereka adalah orang Islam, dan musuh mereka adalah orang yang beragama Yahudi. Pembelaan kita terhadap mereka memang berangkat dari isu-isu kemanusiaan, keadilan, dan perlawanan terhadap imperialisme. Akan tetapi, keyakinan inipun ujung-ujungnya menyentuh masalah-masalah agama. Sebabnya adalah, semua aliran dalam Islam sepakat bahwa perlawanan terhadap kezaliman dan penegakan keadilan termasuk salah satu ajaran penting agama Islam yang tercantum dalam ayat-ayat Al-Quran. Di antara ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang kewajiban kaum Muslimin untuk menegakkan keadilan adalah:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang-orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi/teladan karena Allah (dalam urusan keadilan ini), meskipun (keadilan itu harus kalian tegakkan) atas diri kalian sendiri, atau terhadap orang tua, serta kaum kerabat kalian.” (QS. An-Nisa: 135)
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)
Islam adalah agama yang komprehensif. Setiap dimensi kehidupan ini mendapatkan perhatian dalam Islam. Semuanya menjadi parameter dan ujian, sampai sejauh mana keimanan dan keislaman kita. Permasalahan keadilan sosial dan kemanusiaan juga menjadi parameter keimanan kita. Siapapun yang tidak mempedulikannya, diancam akan dikeluarkan dari barisan Islam.
Mazhab Ahlulbait memberikan penekanan terhadap keadilan dan pembelaan terhadap orang-orang tertindas, lebih dari yang ditunjukkan oleh saudara-saudara kita Ahlu Sunnah. Imam Ali as dikenal karena keadilannya. Imam Husein as juga gugur syahid saat beliau dan keluarganya sedang berjuang menegakkan keadilan. Dan jangan lupa, dalam mazhab Ahlulbait, keadilan (‘adalah) adalah salah satu pilar keimanan. Sebagai aktivis mazhab Ahlulbait, tugas kitalah untuk mempertebal pemahaman terkait masalah ini, serta menyebarkannya di kalangan masyarakat kita.[OS]
(Dikutip dari rubrik Tuntunan, Buletin Al-Wilayah edisi 24, Agustus 2018, Dzulqadah 1439H)
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ أَصْبَحَ لاَ يَهْتَمُّ بِأُمُورِ الْمُسْلِمِينَ فَلَيْسَ بِمُسْلِمٍ
“Siapa saja yang ketika bangun pagi dia tidak memperhatikan nasib kaum Muslimin, dia bukan Muslim.”
(Al-Kafi, Jilid 2 halaman 164; Bihar Al-Anwar, Jilid 71 halaman 120)
Kemiskinan dan kezaliman adalah fenomena yang merajalela di muka bumi. Sungguh sangat memprihatinkan manakala kita menemukan fakta bahwa masih sangat banyak di antara saudara sesama manusia, para anak cucu Adam ini, yang hidup dalam kemiskinan, kelaparan, dan penderitaan. Lihatlah di sekitar kita. Orang-orang miskin, tertindas, dan terpinggirkan masih sangat banyak. Dan sungguh sangat disayangkan bahwa sebagian besar mereka adalah saudara-saudara seiman kita.
Jika perhatian itu kita arahkan kepada kawasan yang lebih luas lagi, keprihatinan kita akan semakin besar. Fenomena kemiskinan, kelaparan, dan penderitaan itu juga akan kita jumpai, bahkan itu terjadi dalam skala yang jauh lebih besar dan lebih menyakitkan. Dan sebagian dari orang-orang miskin dan tertindas di berbagai belahan dunia itu juga beragama Islam. (Baca: Angan-angan Duniawi yang Membuat Kita Terpuruk)
Tengoklah Palestina, misalnya. Mayoritas bangsa Palestina adalah saudara seiman kita. Penderitaan mereka berlipat-lipat jauh lebih besar dibandingkan dengan penderitaan yang mendera saudara-saudara sebangsa kita.
Puluhan tahun lamanya jutaan warga Palestina terlunta-lunta menjadi pengungsi dan hidup dalam kemiskinan. Mereka yang tinggal di kawasan pendudukan tak pernah merasakan ketenangan dalam hidupnya. Hari ini bisa makan, entah dengan esok lusa. Jika sanak keluarga bepergian ke luar rumah (ayah yang pergi bekerja atau anak-anak yang pergi ke sekolah), tak pernah ada jaminan bahwa mereka akan kembali pulang ke rumah dengan selamat. Bahkan, tinggal di rumah pun bukan merupakan jaminan. Setiap saat, rumah mereka bisa saja menjadi sasaran serangan roket serdadu Zionis Israel. Ketika Trump secara sepihak menyatakan Al-Quds sebagai ibu kota Israel dan Kedutaan Amerika pun sudah resmi pindah ke sana, warga Gaza pun melancarkan aksi protes keras. Akan tetapi, aksi itu dihadapi moncong senjata. Ratusan nyawa saudara-sudara kita pun melayang sebagai syuhada.
Di banyak tempat lain di dunia, yaitu di Irak dan Suriah, situasinya juga tidak lebih baik dibandingkan dengan kawasan Palestina. Sudah bertahun-tahun lamanya warga Irak dan Suriah dicekam oleh keganasan teroris ISIS dan berbagai kelompok jihad palsu lainnya (yang notabene adalah buatan Amerika). Keganasan kelompok-kelompok radikal ini juga membuat bulu kuduk semua orang merinding. Yaman juga sama. Pasukan Saudi yang berkoalisi dengan negara-negara monarki Arab-Teluk, Amerika, Barat, dan Zionis, dalam beberapa tahun terakhir ini telah meluluhlantakkan negeri yang semula damai itu. (Baca: Dua Kisah Bapak Tua, Putera dan Kudanya)
Ada sebagian pihak yang berpendapat bahwa Palestina, Irak, Suriah, dan Yaman adalah masalah kemanusiaan, bukan masalah agama. Pendapat ini memang benar jika maksud dari pernyataan ini adalah bahwa akar masalah di empat tempat tersebut bukanlah konflik agama. Dalam hal Palestina, misalnya, pembelaan kita bukanlah karena semata-mata mereka adalah orang Islam, dan musuh mereka adalah orang yang beragama Yahudi. Pembelaan kita terhadap mereka memang berangkat dari isu-isu kemanusiaan, keadilan, dan perlawanan terhadap imperialisme. Akan tetapi, keyakinan inipun ujung-ujungnya menyentuh masalah-masalah agama. Sebabnya adalah, semua aliran dalam Islam sepakat bahwa perlawanan terhadap kezaliman dan penegakan keadilan termasuk salah satu ajaran penting agama Islam yang tercantum dalam ayat-ayat Al-Quran. Di antara ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang kewajiban kaum Muslimin untuk menegakkan keadilan adalah:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang-orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi/teladan karena Allah (dalam urusan keadilan ini), meskipun (keadilan itu harus kalian tegakkan) atas diri kalian sendiri, atau terhadap orang tua, serta kaum kerabat kalian.” (QS. An-Nisa: 135)
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)
Islam adalah agama yang komprehensif. Setiap dimensi kehidupan ini mendapatkan perhatian dalam Islam. Semuanya menjadi parameter dan ujian, sampai sejauh mana keimanan dan keislaman kita. Permasalahan keadilan sosial dan kemanusiaan juga menjadi parameter keimanan kita. Siapapun yang tidak mempedulikannya, diancam akan dikeluarkan dari barisan Islam.
Mazhab Ahlulbait memberikan penekanan terhadap keadilan dan pembelaan terhadap orang-orang tertindas, lebih dari yang ditunjukkan oleh saudara-saudara kita Ahlu Sunnah. Imam Ali as dikenal karena keadilannya. Imam Husein as juga gugur syahid saat beliau dan keluarganya sedang berjuang menegakkan keadilan. Dan jangan lupa, dalam mazhab Ahlulbait, keadilan (‘adalah) adalah salah satu pilar keimanan. Sebagai aktivis mazhab Ahlulbait, tugas kitalah untuk mempertebal pemahaman terkait masalah ini, serta menyebarkannya di kalangan masyarakat kita.[OS]
(Dikutip dari rubrik Tuntunan, Buletin Al-Wilayah edisi 24, Agustus 2018, Dzulqadah 1439H)
(Dikutip dari rubrik Tuntunan, Buletin Al-Wilayah edisi 24, Agustus 2018, Dzulqadah 1439H)
Mengenal Secara Ringkas Istilah Mujtahid, Muhtath dan Muqallid
Di dalam ajaran Islam, setiap tindakan manusia tidak lepas dari sebuah hukum yang mengikatnya. Hukum tersebut dikenal sebagai fikih atau syariat. Tindakan manusia bisa dihukumi halal atau haram, dikategiorikan wajib atau sunnah, semua hukum itu bersumber atas petunjuk Al-Quran, Sunnah Nabi SAW dan Ahlulbait Nabi AS.
Pada praktiknya, tidak setiap orang memiliki kapasitas dan keilmuan dalam memahami petunjuk Al-Quran, Sunnah Nabi dan Ahlulbait, sehingga mereka mampu menentukan hukum suatu tindakan. Oleh karenanya, dalam fikih ada tiga kategori orang yang melakukan tindakan;
Pertama Mujtahid. Mereka adalah orang-orang yang secara individu memiliki kapasitas dan keilmuan yang mumpuni dalam memahami Al-Quran, Sunnah Nabi dan Ahlulbait. Oleh karena itu, mereka dapat berijtihad atau mengidentifikasi (sendiri) hukum suatu tindakan berdasarkan sumber utama tersebut. Mereka juga dapat mengeluarkan fatwa yang bisa dijadikan rujukan oleh para pengikutnya.
Kedua Muhtath. Mereka adalah orang-orang yang tidak dapat berijtihad, namun juga tidak mengikuti fatwa dari seorang Mujtahid tertentu. Mereka adalah orang-orang yang mengedepankan prinsip kehati-hatian (ihtiyath) dalam menentukan atau memilih hukum suatu tindakan yang difatwakan oleh para Mujtahid.
Misalnya, ketika ia dihadapkan atas dua fatwa yang saling bertentangan, seperti hukum merokok, ada yang menghalalkan, namun ada pula yang mengharamkan, maka seorang Muhtad akan memilih untuk tidak melakukan tindakan tersebut, karena fatwa itu lebih aman dan bisa menyelamatkannya.
Di sisi lain, seorang Muhtath juga akan memilih amalan yang lebih rumit apabila dihadapkan atas dua fatwa yang berbeda terhadap suatu tindakan. Misalnya dalam hal membasuh saat berwudhu, ada yang berfatwa membasuh minimal dua kali, ada pula yang menyebutnya minimal tiga kali, maka seorang Muhtath harus mengkitu fatwa yang tiga kali, sebab dengan begitu, ia dianggap telah melaksanakan pula fatwa yang mudah, yaitu minimal dua kali.
Di samping itu juga, misalnya, ketika seorang Muhtath dihadapkan atas dua fatwa berbeda terkait salat, yang satu mengharuskannya salat Dzuhur dua rakaat (qashar) karena sudah memenuhi ketentuan sebagai musafir, sementara fatwa yang lain mewajibkannya untuk tetap melaksanakan salat empat rakaat (tamam) karena belum memenuhi kategori sebagai musafir, maka seorang Muhtath wajib melaksanakan kedua fatwa tersebut, dengan melakukan dua kali salat Dzuhur, qashar (ringkas) dan tamam (sempurna). Contoh ini juga berlaku dalam hal puasa.
Ketiga Muqallid. Mereka adalah orang-orang yang menyandarkan ketentuan hukum suatu tindakan berdasarkan fatwa seorang Mujtahid tertentu, oleh karena itu amalan mereka disebut pula sebagai amalan taqlid.
Dalam madzhab Ahlulbait, taqlid adalah suatu keniscayaan apabila seseorang tidak memiliki kapasitas menjadi seorang Mujtahid dan tidak pula memiliki kemampuan menjadi seorang Muhtath. Karena setiap amalan akan dipertanggung jawabkan, maka tindakan amalan tersebut harus memiliki dasar, apakah dasarnya itu adalah ijtihad, ihtiyath, ataupun taqlid.
Seorang Muqallid tidak wajib memahami dasar atau argumentasi atas setiap fatwa yang dikeluarkan oleh Marja’ Taqlid yang diikutinya, namun seorang Muqallid wajib memiliki argumentasi, mengapa mereka harus bertaqlid.
Alquran Bukan Kitab Hukum?
Ada dua kelompok ekstrim yang berpandangan terkait keabsahan Alquran sebagai sumber hukum-hukum Islam.
Kelompok pertama memandang, bahwa Alquran bukanlah sumber hukum karena dia merupakan kitab suci, kalam ilahi yang tidak memiliki hubungan langsung dengan amaliyah (tindakan) keseharian manusia.
Sementara kelompok kedua memandang, bahwa Alquran bukan sumber hukum karena dia tidak berbeda dengan kitab-kitab pada umumnya, yang diciptakan oleh manusia.
Tentu saja kita menolak kedua pandangan tersebut. Kita justru berada di tengah, memandang bahwa Alquran adalah kita suci yang memiliki aspek transenden sekaligus memiliki aspek imanen.
Alquran tidak bisa disamakan dengan makhluk, namun di saat bersamaan ia juga merupakan kitab yang memang diturunkan khusus untuk manusia sebagai sebuah petunjuk atau peta jalan.
Alquran adalah kitab yang mampu menunjukkan kepada manusia cara mendekatkan dirinya kepada Allah Swt, mengajarkannya cara mengekspresikan kehambaan pada Dzat Maha Pencipta. Alquran juga merupakan kitab yang bisa menunjukkan kepada manusia rute menuju kebahagiaan dunia maupun akhirat.
Setiap manusia yang berakal sehat pasti membenarkan, jika ia sadar bahwa dirinya adalah entitas yang diciptakan atau akibat, maka pastilah ia memiliki sebab atau yang menciptakannya.
اَمْ خُلِقُوْا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ اَمْ هُمُ الْخٰلِقُوْنَ ۗ
“Apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS. At-Tur 52: Ayat 35)
Bagi yang berakal sehat, dua pertanyaan pada ayat tersebut tentu keliru, sebab manusia itu adalah makhluk yang membutuhkan sebab.
Manusia adalah mumkinul wujud, ia bisa ada dan bisa pula tidak ada. Dengan kata lain keberadaanya bergantung pada pemberi ada. Mustahil ia ada (mewujud) dengan dirinya sendiri, karena seperti kaidah logis filosofis, “Yang tidak memiliki mustahil memberi”.
Allah lah yang memberikan manusia wujud sehingga menjadi ada. Dia lah yang menyediakan berbagai fasilitas kepada manusia, berbagai karunia kehidupan baginya.
Sampai disini, maka paling tida ada dua kelaziman yang mucul: Pertama, manusia sebagai ciptaan akan terdorong untuk mengenali siapa penciptanya. Kedua, manusia akan mencari tahu bagiamana cara berterimakasih kepada penciptanya.
Untuk bisa berterimakasih kepada Allah Swt, maka manusia harus mengetahui apa yang diinginkan Allah dari nya, mendengarkan kata-kata Nya. Karena syukur itu adalah melakukan perbuatan yang diinginkan oleh Sang Pemberi.
Dalam kehidupan manusia dengan manusia misalnya, jika ada yang memberikan kita sajadah, maka sebagai bentuk terimakasih, kita akan menggunakan sajadah itu sesuai dengan keinginan si pemberi, yaitu agar digunakan untuk salat.
Kita pasti akan disalahkan atau kita dianggap tidak bersyukur, apabila kita menggunakan sajadah tersebut tidak sebagaimana mestinya, misal menggunakannya untuk lap kaki.
Mungkin saja masih ada orang yang ingin berdalih, bahwa setiap pemberian yang telah diberikan itu telah berpindah hak, dan yang menerima bebas memperlakukan pemberian tersebut?
Jika jawaban itu mucul, maka setiap orang berakal tetap akan menyalahkan pandangan demikian, karena setiap orang berakal akan menilai bahwa pemberian harus disyukuri dengan cara melakukan apa yang sesuai dengan keinginan sang pemberi.
Begitu juga dalam konteks wujud atau kehidupan yang diberikan oleh Allah Swt kepada manusia.
Kita yang diberikan berbagai fasilitas dan karunia dari Allah, maka akal sehat kita akan mengatakan wajib bagi kita berterimakasih.
Cara berterimakasih itu tidak bisa semau kita, tidak bisa sesuka hati kita, tapi kita harus bertanya kepada Nya, atau membaca apa yang Dia pesankan kepada kita agar kita menjadi hamba yang benar-benar bersyukur.
Di Sinilah Peran Alquran
Allah Swt telah mengirim Alquran melalui utusan-Nya, Rasulallah Saw. Di dalam Alquran termuat banyak petunjuk, salah satunya adalah tentang bagaiamana cara manusia bersyukur kepada Allah Swt. Inilah yang disebut dengan amalan fiqih atau syariat.
Apa yang harus kita lakukan dan apa yang harus kita tinggalkan. Apa yang selayaknya kita lakukan dan apa yang selayaknya kita tinggalkan. Semua itu bisa kita dapatkan dengan menelaah Firman Allah di dalam Alquran.
Uniknya, ternyata di dalam Alquran, ayat-ayat tentang hukum seringkali disandingkan dengan keimanan.
وَا عْلَمُوْۤا اَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَاَ نَّ لِلّٰهِ خُمُسَهٗ وَ لِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَا لْيَتٰمٰى وَا لْمَسٰكِيْنِ وَا بْنِ السَّبِيْلِ ۙ اِنْ كُنْتُمْ اٰمَنْتُمْ بِا للّٰهِ وَمَاۤ اَنْزَلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَا نِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعٰنِ ۗ وَا للّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Dan ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil, (demikian) jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Anfal 8: Ayat 41)
Ada hubungan yang sangat erat antara keimanan dengan melaksanakan hukum yang telah ditentukan.
Di ayat lain Allah Swt berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah 1: Ayat 183)
Di samping itu, ternyata menjalankan perintah Allah, mematuhi aturan dan ketentuan-Nya adalah untuk sepenuhnya kebaikan manusia itu sendiri, bukan untuk Allah Swt.
Hal tersebut sebagaimana tergambarkan pada firman Allah,
وَلِلّٰهِ عَلَى النَّا سِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَا عَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِ نَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS. Ali ‘Imran 3: Ayat 97)
Apakah Allah membutuhkan ibadah haji yang kita lakukan? jawabannya adalah tidak, Allah Swt tidak membutuhkan apa pun dari kita!
Selanjutnya, Alquran juga menyebutkan bahwa aturan, perintah dan larangan Allah Swt itu memiliki makna filosofisnya. Allah tidak serta merta melarang dan membolehkan manusia melakukan suatu tindakan tanpa alasan yang baik.
Semua ketetapan Allah, tentu saja hadir untuk kemaslahatan manusia. Setiap perbuatan yang Allah perintahkan, tidak lain karena di dalamnya ada kebermanfaatan. Begitu juga sebaliknya ketika Allah melarang, disana ada kerugian.
Coba simak ayat tentang larangan meminum “khomar” dan melakukan “judi”. Dua hal itu akan mendatangkan kerugian yang sangat besar bagi manusia.
Di ayat yang lain Allah pun mengatakan bahwa dua tindakan itu adalah ajakan setan,
اِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاۤءَ فِى الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ وَعَنِ الصَّلٰوةِ فَهَلْ اَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ
“Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?” (QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 91)
Ayat Alquran adalah petunjuk bagi kehidupan manusia. Ia bukan sekedar bacaan yang perlu dibaca dan mendapatkan pahala, namun tidak behubungan dengan kehidupan.
Sehingga ada yang berpandangan bahwa Alquran bukan kitab hukum, melainkan hanya firman-firman Allah yang tinggi dan agung.
Namun di saat yang saat yang sama kita juga menolak bahwa Alquran adalah kitab yang dapat dipahami dengan mudah oleh setiap orang, dan setiap orang bisa mengamalkan ajaran Alquran sesuai dengan pemahamannya.
Tentu tidaklah demikian. Di antara kedua pandangan itu perlu dijelaskan bahwa benar bahwa Alquran merupakan kalam (perkataan) Allah yang suci, namun ia tetap bisa dipahami oleh manusia.
Alquran adalah kalamun arabiyyun mubin (dia adalah kata-kata yang berasal dari bahasa Arab yang jelas), namun karena dia diturunkan untuk manusia di segala waktu dan ruang, di setiap zaman dan generasi, maka Alquran memuat nilai-nilai global-universal.
Jika ia dibuat secara terperinci atau spesifik, maka bisa jadi Alquran hanya berlaku pada masa tertentu dan tidak relevan lagi untuk masa-masa yang akan datang.
Sampai disini, maka perlu figur-figur manusia mulia yang mampu memahami dan menafsirkan Alquran, sehingga nilai-nilai universal itu memiliki konteksnya di setiap zaman.
Ada sosok Rasulallah Saw yang menjabarkan Alquran, menghubungkan ayat-ayatnya sehingga menjadi lebih spesifik, membuahkan hukum lewat hadis-hadis, kemudian ada para Imam Ahlul Bait, para ulama dan seterusnya.
Sekali lagi, universalitas Alquran tak membuatnya menjadi sebuah kitab yang tidak bisa dipahami, justru karena dia adalah sumber hukum yang relevan untuk setiap zaman, maka Allah jadikan Alquran memuat nilai-nilai universal itu.
Madzhab Ahlul Bait meyakini, bahwa ayat-ayat Alquran itu tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk kemudian langsung bisa dipahami oleh masyarakat umum. Melainkan kepada manusia-manusia yang memiliki ilmu dan kapasitas tertentu, seperti para Imam Ma’sumin (manusia suci).
250 tahun lamanya, para Imam dari keturunan Rasulallah mengawal Alquran, memetik hukum-hukum Allah darinya, kemudian menyampaikannya kepada manusia biasa.
Madzhab Ahlul Bait pun menolak apabila dikatakan bahwa penafsiran Alquran yang universal itu tidak mungkin bisa dipahami karena pasti akan memunculkan pemaknaan yang relatif, belum tentu benar, dan tidak ada kewajiban mengamalkan hukum yang disandarkan darinya.
Mengapa kita menolak? Sebab Alquran sendiri yang memerintahkan manusia untuk berpegang teguh padanya, menjadikannya sebagai petunjuk. Hadits Nabi pun memerintahkan hal serupa.
Jadi kesimpulannya, Alquran sebagai kitab suci, memang tidak seluruhnya mengandung hukum-hukum Allah, tapi paling tidak sebagiannya mengandung hal itu, di samping memuat hal-hal yang berkaitan dengan penciptaan, fenomena alam, sosial kemasyarakatan, kematian dan sebagainya.
Kebenaran bahwa Alquran tidak sepenuhnya memuat ayat-ayat tentang hukum tidak bisa menjadi dasar kita untuk menolaknya sebagai sumber hukum. Tapi kita bisa mengatakan bahwa Alquran adalah kita yang sebagiannya mengandung hukum-hukum Islam yang wajib kita lakukan ataupun yang harus kita tinggalkan.
Pada saat yang sama kita juga menolak anggapan bahwa Alquran adalah kitab suci yang mudah dipahami. Tidak sembarang orang bisa memahami Alquran, dibutuhkan ilmu, kebahasaan, kaidah-kaidah, juga kesucian diri.
Saya ingin mencontohkan sikap dua ulama kita yang terkenal, yakni Syahid Murtadha Muthahari dan Allamah Husei Thabathbai.
Dalam bukunya berjudul Jilbab atau Hijab. Syahid Muthahari mengupas tentang hukum menggunakan jibab bagi perempuan berdasarkan ayat-ayat Alquran dan hadits, tetapi tetap saja ia menggarisbawahi bahwa dirinya bukanlah ahli fiqih atau hukum, sehingga apa yang ia simpulkan tidak wajib diikuti sebagai suatu fatwa.
Ia hanya menegaskan bahwa itu merupakan suatu kajian dan renungan pribadinya tentang ayat serta hadits berkenaan dengan hijab bagi perempuan.
Begitu juga dengan Allamah Husein Thabathbai. Ulama yang menulis tafsir mizan, yang mendalami Alquran dengan metode yang benar dan komprehensif, saat berbicara tentang ayat-ayat hukum, maka ia selalu menggarisbawahi bahwa ia tidak sedang membuat fatwa.
Ini menunjukkan bahwa ayat-ayat hukum dalam Alquran itu di satu sisi bisa dipahami karena harus diamalkan, namun pada saat yang sama, tidak sesederhana seperti apa yang dipahami oleh masyarakat awam.
Jadi kesimpulannya, Alquran adalah sumber pertama dan utama hukum-hukum Allah Swt. Dari Alquran kita ditunjukkan tentang apa yang harus kita lakukan maupun apa yang harus kita tinggalkan.
Hal itu selaras dengan apa yang digambarkan beberapa ayat Alquran sendiri, Alquran mempredikatkan dirinya sebagai hudan lil muttaqin (petunjuk bagi orang-orang bertaqwa), kadang ia juga menyebut dirinya sebagai hudan li an-nas (petunjuk bagi umat manusia), atau dengan kata yang identik, Alquran menjelaskan dirinya sebagai nur (cahaya), siraj (pelita), busyra (kabar gembira) yang kesemuanya memiliki keterkaitan dengan makna petunjuk.