
کمالوندی
Ayatullah Khamenei: Pilpres AS Tidak akan Ubah Kebijakan Iran !
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Uzma Sayid Ali Khamenei menyatakan bahwa kebijakan Republik Islam yang telah diperhitungkan tidak akan berubah seiring dengan terjadinya transisi kekuasaan di Amerika Serikat.
Ayatullah Khamenei dalam pidato memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw dan kelahiran Imam Ja'far Shadiq hari Selasa (3/11/2020) menyinggung kondisi politik AS menjelang penyelenggaraan pemilu presiden dengan mengatakan, "Presiden yang sekarang menjabat di AS menyebut pilpres kali ini sebagai yang pemilu paling curang, pada saat yang sama lawannya juga menuding Trump bermaksud melakukan penipuan masif,".
Rahbar menggambarkan situasi ini sebagai contoh dari wajah buruk demokrasi liberal di AS.
"Terlepas dari siapa yang akan berkuasa di Amerika Serikat, situasi saat ini menunjukkan degradasi dari moral hingga sosial yang parah di Amerika Serikat. Pada akhirnya berlanjutnya kondisi demikian akan mengarah pada kepunahan dan kehancuran," papar Ayatullah Khamenei.
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran menyebut faktor utama permusuhan Amerika Serikat terhadap Republik Islam disebabkan karena bangsa Iran tidak mau menerima dikte AS yang menindas dan menolak mengakui dominasi mereka.
"Permusuhan ini akan terus berlanjut dan satu-satunya cara untuk menyelesaikannya dengan membuat musuh putus asa, sehingga tidak lagi melanjutkan serangan terhadap rakyat dan pemerintah Iran," tegas Ayatullah Khamenei.
Di bagian lain pidatonya, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran juga menekankan urgensi Pekan Persatuan Islam dalam menangkal konspirasi musuh.
"Obat berbagai masalah getir dunia Islam seperti perang lima tahun di Yaman dan pemboman brutal terhadap rakyatnya oleh rezim Saudi, maupun penghinaan beberapa pemerintah yang mempermalukan Umat Islam dengan mengabaikan masalah Palestina berada dalam koridor persatuan Islam," jelas Rahbar.(
Perang Nagorno-Karabakh dalam Perspektif Rahbar
Berlanjutnya konflik bersenjata antara Armenia dan Republik Azerbaijan terkait kawasan Nagorno-Karabakh telah memicu kekhawatiran di tingkat regional.
Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Selasa (3/11/2020) di sebagian pidatonya bertepatan dengan peringatan kelahiran Rasulullah Saw (Maulid Nabi) dan Imam Jakfar Sadiq as, menyebut perang antara Armenia dan Republik Azerbaijan sebagai peristiwa pahit dan ancaman bagi keamanan kawasan.
Rahbar mengatakan, konfrontasi bersenjata ini harus secepatnya diakhiri; seluruh wilayah Republik Azerbaijan yang direbut Armenia harus dibebaskan dan dikembalikan kepada Baku.
Rahbar menekankan untuk menjaga keamanan Armenia di wilayahnya dan mematuhi perbatasan internasional oleh kedua pihak. “Teroris yang berdasarkan laporan terpercaya telah memasuki wilayah ini, tidak boleh mendekati perbatasan Iran dan jika mereka berani mendekat, pastinya akan dihadapi dengan tegas.”
Pidato Rahbar terkait konflik Karabakh menunjukkan sikap transparan dan rasional Republik Islam Iran terkait konflik tersebut yang berubah menjadi luka lama dan jika tidak dipikirkan cara untuk menyelesaikannya, akan berujung pada tensi lebih besar. Dari perspektif ini, ada dua poin yang patut dipikirkan: pertama, ancaman yang dikobarkan melalui perang akan mengancam kawasan dan kedua, mekanisme penyelesaian konflik dengan mempertahankan kedaulatan wilayah dan menjaga hak kedua pihak dalam koridor prinsip di hubungan luar negeri.
Dengan dasar ini, Republik Islam Iran sejak awal konfrontasi di wilayah Nagorno-Karabakh memulai upayanya untuk menyelesaikan konflik ini. Sebagai kelanjutan dari upaya tersebut, Sayid Abbas Araqchi, wakil khusus Iran untuk menyelesaikan konflik Karabakh, pekan lalu dalam kunjungannya ke Baku dan Yerevan dan kemudian kunjungannya ke Rusia dan Turki, memaparkan prakarsa Iran untuk menerapkan perdamaian di Karabakh.
Utusan khusus presiden Iran ini menyebut diakhirinya pendudukan wilayah Republik Azerbaijan sebagai unsur penting di prakarsa Iran dan menambahkan, menjaga hak kaum minoritas dan HAM merupakan prinsip lain dari prakarsa Iran untuk mengakhiri konflik Nagorno-Karabakh. Pendekatan regional dan partisipasi negara-negara berpengaruh di kawasan juga karakteristik lain dari prakarsa Iran.
Krisis Nagorno-Karabakh berubah menjadi perang yang dahsyat pada Februari 1988 dan berlangsung hingga Maret 1994. Meskipun sejak awal konflik Nagorno-Karabakh banyak aktor dari Eropa hingga Amerika Serikat memasuki krisis dan mempresentasikan rencana, tetapi rencana ini termasuk pembentukan kelompok kerja Minsk tidak membuahkan hasil.
Pengalaman menunjukkan bahwa Barat memiliki tujuan di kawasan dan juga dengan penuh motivasi menjaga kepentingannya melalui pengobaran krisis di hubungan negara-negara kawasan. Bentrokan antara Republik Azerbaijan dan Armenia juga tidak terkecuali dari kaidah ini dan berlanjutnya hal ini pastinya akan merugikan kepentingan nasional kedua pihak yang berkonflik serta negara-negara kawasan.
Pidato Rahbar terkait dampak perang Nagorno-Karabakh bagi keamanan kawasan sangat penting dari sisi ini. Sekaitan dengan ini, Sayid Abbas Mousavi, duta besar Iran di Baku di akun Twitternya menulis, menyusul arahan Rahbar terkait krisis saat ini di Nagorno-Karabakh, Deputi menlu Republik Azerbaijan, Khalaf Khalafov dalam sebuah kontak telepon menyatakan pujian pemerintah dan bangsa Azerbaijan atas pidato penting dan a
Palestina Siapkan Perlawanan Bersenjata terhadap Rezim Zionis
Sekretaris Jenderal Jihad Islam Palestina dan koordinator Front Aksi Islam Lebanon menekankan perlunya mengaktifkan perlawanan bersenjata menghadapi rezim Zionis.
Ziyad Al-Nakhalah, Sekretaris Jenderal Jihad Islam Palestina dalam pertemuan dengan Zuhair Al-Jaeed, koordinator Front Aksi Islam Lebanon di Beirut hari Senin (2/11/2020) mengatakan urgensi berlanjutnya perlawanan terhadap Israel.
Kedua pihak membahas mekanisme kerja sama antara gerakan Jihad Islam dan Front Aksi Islam untuk mendukung perjuangan rakyat Palestina, termasuk diaktifkannya kembali perlawanan bersenjata.
Sekretaris Jenderal Jihad Islam dan Koordinator Front Aksi Islam mengkaji perkembangan terbaru isu Palestina, termasuk kesepakatan abad, langkah beberapa negara Arab untuk menormalisasi hubungan dengan rezim Zionis dalam rangka melayani kepentingan Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu Zionis yang merugikan kepentingan bangsa Palestina.
Emir Qatar Tegaskan Dukungan terhadap Kemerdekaan Palestina
Emir Qatar kembali menyampaikan dukungan kuat negaranya terhadap kemerdekaan Palestina.
Televisi Al-Jazeera melaporkan, Emir Qatar, Tamim bin Hamad hari Selasa (3/11/2020) mengatakan bahwa Qatar menekankan dukungannya terhadap perjuangan Palestina, dan Baitul Maqdis sebagai ibu kotanya.
Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Lolwah Al-Khater mengungkapkan bahwa negaranya tidak akan menjalin hubungan diplomatik dengan rezim Zionis sampai masalah Palestina diselesaikan.
Menurut Al-Khater, normalisasi hubungan dengan Israel tidak bisa menjadi solusi masalah Palestina, sebab langkah ini justru menyebabkan kondisi bangsa Palestina sebagai bangsa yang tidak memiliki kewarganegaraan dan diduduki semakin terjepit.
Tidak lama setelah pengumuman kesepakatan normalisasi antara rezim Zionis dan UEA pada 13 Agustus, Presiden AS Donald Trump pada 11 September juga mengumumkan normalisasi hubungan antara Bahrain dan rezim Zionis.
Anggota Parlemen Irak Serukan Pengusiran Pasukan AS Segera
Perwakilan dari fraksi Sadiqun di parlemen Irak menyerukan penarikan pasukan AS dari negaranya yang sejalan dengan resolusi yang telah disahkan sebelumnya.
Perwakilan dari fraksi Sadiqun dalam sebuah pernyataan hari Selasa (3/11/2020) mengatakan bahwa resolusi parlemen Irak tentang penarikan pasukan AS mengharuskan pemerintah segera melaksanakan ketentuan tentang pengusiran pasukan AS dari negara tersebut yang menjadi prioritas tim perunding Irak dengan AS.
Anggota parlemen Irak juga mengkritik Amerika Serikat karena terus melanggar kedaulatan teritorial Irak, dan tidak adanya pertanggungjawaban mereka dalam masalah dukungan terhadap milisi teroris Daesh.
Hingga kini, Pasukan AS masih berada di beberapa pangkalan militer di berbagai wilayah Irak.
Rakyat Irak telah berulangkali menyatakan penentangan mereka terhadap kehadiran pasukan AS di negara itu, dan parlemen Irak telah mengeluarkan resolusi yang menekankan perlunya pengusiran pasukan asing dari negaranya.
Palestina Umumkan Darurat Corona Selama 30 Hari
Pemerintah Otoritas Palestina mengumumkan keadaan darurat selama 30 hari di wilayah Palestina sejak 3 November 2020 untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Menteri Kesehatan Palestina, Dr. Mai al-Kaila pada Selasa (3/11/2020) malam mengatakan selama 24 jam terakhir, 633 warga Palestina terinfeksi virus Corona, 8 di antaranya meninggal dunia.
"Jumlah pasien yang sembuh dari Covid-19 mencapai 88 persen, sementara kondisi 11 persen dari pasien yang terinfeksi masih kritis," tambahnya.
Kementerian Kesehatan Palestina menyatakan bahwa 67.184 warga Palestina telah terinfeksi virus Corona, di mana 573 pasien meninggal dunia dan 12.979 melakukan karantina mandiri.
Koalisi Pimpinan Amerika Culik 10 Warga Sipil Suriah
Koalisi internasional pimpinan AS dan tentara bayaran yang berafiliasi dengan mereka, telah menculik 10 warga sipil di desa-desa di kota Deir Ezzor dan Hasakah.
Kantor berita resmi Suriah (SANA) melaporkan, pasukan AS dengan dukungan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) melakukan serangan ke daerah al-Sabha di timur Deir Ezzor dan menculik tujuh warga sipil Suriah.
Di Hasakah, sekelompok milisi SDF mendatangi sejumlah rumah dan menculik tiga pemuda dari daerah Tal Tamer di bagian utara kota tersebut.
Penduduk di timur dan timur laut Suriah berulang kali memprotes kehadiran ilegal pasukan Amerika dan milisi afiliasinya di Suriah. Mereka meminta tentara Suriah kembali ke wilayah tersebut dan mendesak penarikan pasukan AS.
Trump Umumkan Normalisasi Hubungan Israel-Sudan
Presiden Amerika Serikat, Jumat (23/10/2020) secara resmi mengumumkan kesediaan Sudan untuk menormalisasi hubungannya dengan rezim Zionis Israel.
Fars News (23/10) melaporkan, pemerintah Gedung Putih, Jumat (23/10) mengumumkan, Presiden Donald Trump secara resmi mengabarkan kesepakatan Israel dan Sudan untuk menormalisasi hubungannya.
Gedung Putih menganggap bergabungnya negara Arab lain dalam “Kesepakatan Ibrahim” sebagai langkah besar dan penting menuju perdamaian di Timur Tengah.
Trump juga yakin Arab Saudi akan segera menyusul, dan lima negara Arab lainnya sudah mengajukan permohonan untuk menormalisasi hubungan dengan Israel.
Kantor berita Reuters mengabarkan, hari Jumat (23/10) Presiden Amerika, Perdana Menteri Israel, Perdana Menteri Sudan, dan Ketua Dewan Militer Sudan, melakukan pembicaraan segiempat terkait normalisasi hubungan Khartoum dan Tel Aviv.
Dalam pernyataan bersama, ketiganya menyepakati dijalinnya hubungan ekonomi, dan perdagangan antara Sudan dan Israel, yang untuk sementara dipusatkan pada sektor pertanian.
Di sisi lain Amerika akan melakukan sejumlah langkah untuk mengakui kedaulatan Sudan, dan menjalin kerja sama dengan sekutu Washington lainnya untuk mengurangi utang Sudan.
Australia Keluar dari Koalisi Maritim AS di Teluk Persia
Stasiun televisi ABC News mengabarkan, Australia pertengahan tahun 2021 akan keluar dari koalisi maritim pimpinan Amerika Serikat yang sedang berpatroli di Selat Hormuz, Teluk Persia.
Alalam (24/10/2020) melaporkan, Menteri Pertahanan Australia, Linda Reynolds, Jumat (23/10) malam mengumumkan, Australia mulai sekarang tidak akan mengirim lagi armada kapal lautnya ke Timur tengah.
Dengan demikian, kapal perang terakhir Angkatan Laut Australlia, HMAS Toowoomba yang saat ini tengah berada di Timur Tengah, bulan Juni 2021 akan kembali ke Australia.
Keputusan baru Australia ini dapat dimaknai sebagai berakhirnya kehadiran pasukan negara itu dalam operasi maritim di Timur Tengah yang sudah berlangsung selama 30 tahun untuk memerangi terorisme, dan perompak laut.
Menhan Australia menjelaskan, prioritas-prioritas pemerintah Australia sudah berubah.
Ia menegaskan, pasukan Australia akan menurunkan tingkat kehadirannya di perairan Timur Tengah, dan akan lebih banyak ditempatkan di perairan Asia Pasifik.
Upaya Akhiri Perang Azerbaijan-Armenia Gagal
Upaya telah banyak dilakukan untuk mengakhiri perang antara Azerbaijan dan Armenia, namun perang yang disebabkan oleh masalah Nagorno-Karabakh ini berlanjut dan telah menimbulkan korban nyawa dan materi dari kedua belah pihak.
Nagorno-Karabakh yang disengketakan secara resmi adalah bagian Azerbaijan, namun penduduknya didominasi oleh etnis Armenia. Konflik yang terjadi sekarang adalah yang terburuk dalam beberapa dekade, dan kedua kubu menyalahkan satu sama lain.
Pertempuran baru pecah hanya sehari setelah perundingan di Washington untuk menghentikan pertikaian antara Azerbaijan dan Armenia di Nagorno-Karabakh.
Menurut Kementerian Pertahanan Azerbaijan, pertempuran di dalam dan sekitar Nagorno-Karabakh, wilayah Azerbaijan yang dihuni dan dikontrol etnik Armenia.
Pejabat lokal menuduh pasukan Azerbaijan menyerang gedung-gedung di Stepanakert, kota terbesar di wilayah itu. Namun tuduhan itu dibantah pemerintah Baku.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo telah bertemu secara terpisah dengan Menlu Azerbaijan dan Armenia pada Jumat, 23 Oktober 2020 dalam upaya baru untuk mengakhiri hampir sebulan pertumpahan darah.
Sementara itu, Presiden Rusia Vladimir Putin menduga konflik itu telah menewaskan 5.000 orang. Pelanggaran terhadap dua gencatan senjata yang ditengahi Rusia telah mengurangi kemungkinan berakhirnya pertempuran yang terjadi sejak pada 27 September 2020 di Nagorno-Karabakh.
Sementara itu, peran Turki, sekutu utama Azerbaijan, juga menimbulkan masalah lain karena orang-orang Armenia membenci negara Turki modern karena penolakannya untuk mengakui pembantaian orang-orang Armenia pada era Kekaisaran Ottoman sebagai genosida.
Sementara itu, Presiden Republik Islam Iran Hassan Rouhani memperingatkan bahwa pertempuran dua negara tetangganya, Azerbaijan dan Armenia, bisa meningkat menjadi perang regional yang lebih luas.
Rouhani pada hari Rabu (7/10/2020) mengungkapkan bahwa dia berharap untuk dapat "memulihkan stabilitas" di kawasan setelah beberapa hari perang hebat antara Azerbaijan dan Armenia di Nagorno-Karabakh.
"Kita harus penuh perhatian (agar) perang antara Armenia dan Azerbaijan tidak menjadi perang regional. Perdamaian adalah dasar dari kerja kami dan kami berharap dapat memulihkan stabilitas kawasan dengan cara damai," kata Presiden Rouhani, Rabu (7/10/2020).
Presiden Rouhani juga menyinggung adanya mortir dan roket yang mendarat di desa-desa di Iran, tepat di seberang perbatasan utara dengan Armenia dan Azerbaijan. Dia menegaskan, peluru dan rudal yang secara tidak sengaja mendarat di tanah Iran "sama sekali tidak dapat diterima".