کمالوندی

کمالوندی

Jumat, 15 Mei 2020 14:08

Filosofi Hukum dalam Islam (17)

 

Pandangan dunia tauhid mengajarkan kepada kita untuk selalu memikirkan tujuan-tujuan transenden dan menghindari pandangan yang dangkal. Ini adalah indikator penting yang harus menjadi parameter dalam menyusun program kehidupan kita, khususnya hal-hal yang menyangkut perbuatan ibadah.

Dalam urusan ibadah, kita harus berusaha mencapai Dzat yang kita sembah dan kedekatan khusus dengan-Nya. Allah Swt berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (Al-Inshiqaq, ayat 6)

Jelas bahwa untuk mencapai tujuan yang tinggi, manusia membutuhkan tekad yang kuat dan kerja keras. Tentu mereka tidak memiliki posisi yang sejajar dalam masalah ini dan tekad setiap orang berbeda-beda.

Di jalan penghambaan Tuhan, sebagian orang hanya puas dengan ibadah lahiriyah dan sebatas melaksanakan kewajiban, namun sebagian yang lain juga menaruh perhatian pada aspek batiniyah ibadah dan melalui cara ini, mereka berusaha mencapai derajat yang paling tinggi dan kedekatan dengan Tuhan.

Atas dasar ini, tingkatan berpuasa dapat dibagi menjadi tiga tahap: Pertama, puasa yang dilakukan oleh orang awam dan hanya menghindari larangan lahiriyah yang bisa membatalkan puasa seperti, meninggalkan makan dan minum serta tidak berhubungan badan.

Imam Ali as mengenai golongan ini berkata, “Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali rasa lapar dan dahaga.”

Tidak diragukan lagi bahwa tujuan Tuhan mewajibkan ibadah adalah supaya manusia tidak hanya merasa cukup pada aspek lahiriyah, tetapi tujuan utamanya adalah memperhatikan roh dan kualitas ibadah. Allah Swt berfirman, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adh-Dhariyat, ayat 56)

Pada ayat lain, Allah berfirman, “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Al-Mulk, ayat 2)


Allah Swt tidak berfirman bahwa siapa yang paling banyak beramal (kuantitas), tetapi berkata bahwa Aku ingin menguji kalian siapa yang paling baik amalnya (kualitas). Salah satu cara efektif untuk meningkatkan kualitas ibadah adalah memahami dengan baik filosofi dan hakikat penghambaan Tuhan, yang biasanya luput dari perhatian orang-orang awam.

Imam Ali as berkata, “Ibadah yang tidak disertai dengan pengetahuan dan makrifat, maka tidak ada kebaikan di dalamnnya.” (Kitab Tuhaf al-Uqul, hal 204)

Namun, jangan salah mengambil kesimpulan sehingga meninggalkan kewajiban syar’i dengan alasan Tuhan menginginkan kualitas ibadah dari manusia. Di sini, kita diminta untuk berusaha meningkatkan kualitas ibadah secara terus-menerus.

Kedua, orang-orang yang berpuasa yang tidak hanya merasa puas dengan mengerjakan lahiriyah ibadah, tetapi mereka juga berusaha untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan untuk orang yang berpuasa.

Rasulullah Saw dalam khutbah Sya’baniah yang disampaikan untuk menyambut bulan Ramadhan, menyebut beberapa tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh orang yang berpuasa.

Rasulullah dalam khutbahnya berkata, “Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu, kelaparan dan kehausan di hari kiamat. Bersedekahlah kepada kaum fakir dan miskin, muliakanlah orang-orang tuamu, kasihanilah anak-anak kecil, dan sambunglah tali persaudaraanmu.

Jagalah lisanmu. Tahan pandanganmu dari yang tidak halal kami memandangnya dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kami mendengarnya. Kasihanilah anak-anak yatim orang lain, seperti menyayangi anak-anak yatim kalian.

Bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah kedua tanganmu untuk memanjatkan do’a dalam setiap waktu shalat, karena itu adalah waktu yang paling utama, di saat Allah memandang hamba-Nya dengan penuh rahmat. Dia menjawab mereka ketika mereka memanggil-Nya dan mengabulkan ketika mereka berdoa kepada-Nya.

Wahai Manusia! Sesungguhnya jiwa-jiwa kalian tergadaikan dengan amal perbuatan kalian, maka tebuslah dengan istighfar. Tulang punggung kalian berat karena dosa, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujud…”

Ketiga, puasa hati yaitu selain memenuhi kewajiban lahiriyah puasa dan meninggalkan larangannya, manusia juga memenuhi hatinya dengan iman kepada Allah Swt dan menenangkan hatinya dengan berzikir kepada-Nya.

Mereka membersihkan hatinya dari segala bentuk syirik dan pemikiran kotor. Hati mereka adalah manifestasi dari kesucian, keutamaan, serta nilai-nilai luhur akhlak dan kemanusiaan. Hati yang bersih ini akan diterima oleh Tuhan dan mendapat perhatian khusus dari-Nya.

Imam Ali as berkata, “Barang siapa yang membersihkan hatinya, Allah akan memandangnya dengan kasih sayang.”


Nabi Musa as dikenal dengan munajat irfani dan dialog-dialognya dengan Tuhan. Pada suatu hari, ia bertanya kepada Allah Swt, “Wahai Tuhanku, siapakah orang yang akan Engkau lindungi pada hari ketika tidak ada lagi tempat berlindung kecuali perlindungan-Mu?” Tuhan berfirman kepadanya, “Orang-orang yang bersih hatinya.”

Oleh karena itu Rasulullah Saw dalam khutbah Sya’baniyah berkata, “Maka mintalah kepada Allah Rabbmu di hari-hari tersebut dengan niat yang tulus dan hati yang suci. Semoga Allah membimbingmu dalam menjalankan puasa-Nya dan membaca kitab suci-Nya.”

Orang-orang yang berpuasa dengan hati yang suci, berarti mereka telah memperhatikan aspek lahiriyah dan batiniyah puasa sekaligus. Mereka tidak hanya menjaga anggota badannya dari perbuatan dosa, tetapi tidak pernah memikirkan dosa dan memanfaatkan momentum Ramadhan dengan maksimal sehingga dengan bekal takwa, mempererat kedekatannya dengan Allah Swt.

Tingkatan puasa yang ketiga ini disebut sebagai puasa khawasul khawas yaitu puasa yang dilakukan oleh orang-orang khusus dan para ‘arif.

Jumat, 15 Mei 2020 14:07

Filosofi Hukum dalam Islam (16)

 

Puasa jamak dilakukan di antara seluruh agama langit, kaum dan bangsa-bangsa, bahkan di kalangan para penyembah berhala, tetapi tidak diragukan bahwa puasa dalam Islam memiliki kelebihan tersendiri dalam dimensi kuantitas dan kualitas, sehingga membuatnya berbeda dari yang dilakukan di luar Islam.

Sebelumnya, kita telah mengingatkan bahwa puasa jamak dilakukan di antara seluruh agama langit, kaum dan bangsa-bangsa, bahkan di kalangan para penyembah berhala, tetapi tidak diragukan bahwa puasa dalam Islam memiliki kelebihan tersendiri dalam dimensi kuantitas dan kualitas, sehingga membuatnya berbeda dari yang dilakukan di luar Islam. Untuk mengetahui lebih lanjut dari posisi ini, akan dikutip sejumlah hadis. Allah Swt untuk menunjukkan keagungan puasa di sisi-Nya berfirman, "Puasa untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberi pahalanya." (Al-Kafi: 6/63/4)

Bulan suci Ramadhan
Perlu diperhatikan bahwa Allah tidak pernah menyampaikan ungkapan seperti ini terkait ibadah yang lain. Dalam menganalisa masalah ini akan dibeberkan dua pandangan; pertama, semua ungkapan seperti shalat, khususnya shalat berjamaah dan jumat, atau ibadah haji memiliki tampilan lahiriah, di mana hama bernama riya bisa saja mempengaruhinya, sehingga merusak keikhlasan dan bahkan bercampur kesyirikan. Tetapi dalam puasa, munculnya kemungkinan seperti ini sangat kecil, karena tidak ada penampakan lahiriahnya. Dalam ibadah puasa prosentase keikhlasan dalam melaksanakannya sangat kuat. Karena Allah hanya menerima perbuatan yang didasari keikhlasan, Allah menisbatkan puasa kepada diri-Nya.

Pandangan kedua yang dapat disampaikan dalam masalah ini bahwa tidak ada perbuatan ibadah lain seperti puasa di mana manusia menunjukkan tahapan penghambaannya dengan menjaga semua keharusan dan ketidakharusa di sisi Allah. Seorang yang berpuasa akan melaksanakan apa saja yang diperintahkan Allah tanpa ada yang kurang. Karenanya dapat dikatakan bahwa bulan suci Ramadhan adalah bulan di mana manusia melatih dirinya melakukan ibadah dan penghambaan kepada Allah. Bahkan mungkin juga dengan alasan ini, Allah menisbatkan puasa kepada dirinya dan berfirman, "Dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus." (QS. Yasin: 61) 

Berpuasa yang seperti ini dengan meletakkan kepala pada penghambaan ilahi mendapat pujian para malaikat, khususnya ketika mereka menyaksikan ada sekelompok manusia yang bermaksiat dan keluar dari lingkaran penghambaan kepada Allah.

Rasulullah Saw dalam hal ini bersabda, "Tidak ada orang berpuasa yang melewati sekelompok orang yang menyepelekan kesucian bulan Ramadhan, yang sedang menyantap makanan, kecuali seluruh anggota badannya mengucapkan tasbih dan malaikat mengucapkan salam kepadanya. Salam mereka adalah memohon ampunan di sisi Allah." (Tsawab al-A'mal, 1/7701/75)

Dalam suasana yang begitu membangkitkan semangat dan penuh harapan, bagian spiritual, yang memiliki warna dan aroma surgawi, menemukan semua pencitraan khusus dan menunjukkan tahapan penghambaan manusia dalam seluruh perilaku manusia yang berpuasa yang dilakukan dengan keikhlasan dan tanpa dibuat-buat atau riya.

Berdasarkan cara pandang ini, Imam Shadiq as berkata, "Orang yang berpuasa, tidurnya terhitung ibadah, diammnya termasuk tasbih dan perbuatannya diterima serta doanya akan dikabulkan." (Al-Faqih: 2/76/1783)

Persiapan berbuka puasa
Dalam sistem alam dan syariat ilahi, setiap perbuatan baik layak mendapat pahala dan Allah yang Maha Pengasih terkadang memberikan pahala kepada manusia lebih dari apa yang dilakukan dan kelayakannya berdasarkan keutaman dan kedermawanan-Nya. Rasulullah Saw yang merupakan perwujudan dari rahmat Allah yang tak terbatas, bersabda, "Siapa pun yang berpuasa suatu hari dengan cinta dan motivasi ilahi, jika ia diberi emas sebanyak seluruh (tambang) bumi, ia tidak akan menerima pahalanya secara penuh dan hanya di hari  perhitungan (dan kiamat) dia akan menerima hadiah penuhnya." (Ma'ani al-Akhbar, 91/409)

Manifestasi lain dari janji-janji pasti Allah kepada orang beriman yang telah melakukan amal saleh adalah memasuki surga yang dijanjikan dan kekal. Surga di mana kita hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang semua dimensi kuantitatif dan kualitatifnya, dan setiap manusia ingin memasukinya di akhirat dan cita-cita ini terkait orang yang berpuasa akan menjadi kenyataan.

Dalam hal ini Imam Shadiq as berkata, "Manusia yang berpuasa sehari karena menginginkan pahala dari Allah, dengan sebab itu, Allah akan memasukannya ke surga." (Al-Kafi, 5/63/4)

Meskipun memberikan pahala dari Allah kepada manusia memotivasi, mengilhami dan menghibur mereka, tetapi sekelompok manusia yang berpikir mendalam yang memiliki tujuan dan cita-cita besar, motivasi mereka melampaui penyembahan surga dan semua daya tariknya, dan tujuan utama mereka adalah untuk mendapatkan keridhaan ilahi. Yaitu, mereka tidak menyembah Tuhan dengan keserakahan surga dan sifat-sifatnya yang unik dan langgeng, juga tidak melaksanakan aturan penghambaan di hadapan Allah karena takut akan neraka dan api yang menyala-nyala, tetapi semua perhatian mereka adalah untuk mencapai posisi tinggi dari keridhaan Allah. Posisi agung yang ideal bagi semua orang suci ilahi yang istimewa.

Sekaitan dengan hal ini, al-Quran mengatakan, "Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar." (QS. Al-Taubah: 72)


Oleh karena itu, dengan pandangan yang tinggi ini, kita harus mencoba untuk memberikan tujuan dari semua tindakan ibadah kita, terutama di bulan suci Ramadhan, yang merupakan bulan Allah, didedikasikan kepada-Nya, seperti puasa, ibadah di malam hari, membaca doa dan bermunajat, membaca al-Quran dan bertadabur dan seluruh perilaku dan ucapan kita harus mendapat keridhaan Allah. Bila kita berhasil mencapainya, menurut al-Quran kita sampai pada kemenangan, kesuksesan dan keberhasilan besar.

Jumat, 15 Mei 2020 14:06

Filosofi Hukum dalam Islam (15)

 

Hari ini tanggal 15 Ramadhan bertepatan dengan hari kelahiran salah satu cucu Rasulullah Saw, Imam Hasan Mujtaba as, akan manyajikan topik mengenai puasa yang memiliki sejarah panjang dan bukan hanya khusus untuk umat Islam, tapi juga sudah ada sejak umat terdahulu.

Allah Swt berfirman di surah al-Baqara ayat 183 yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

Ayat ini juga menunjukkan bahwa puasa juga termasuk ibadah agama besar Ilahi lainnya. Dengan mempelajari Taurat dan Injil yang ada juga disebutkan ibadah puasa telah diwajibkan di antara umat Yahudi dan Nasrani serta umat-umat lainnya.

Di Taurat disebutkan, Ketika saya datang ke gunung, di mana saya diberi lauh (tablet batu), yaitu lauh perjanjian yang Allah buat dengan kalian, saya tinggal di gunung selama empat puluh hari dan empat puluh malam, tidak makan atau minum air.

Selain itu juga disebutkan, Kebanyakan orang Yahudi berpuasa pada saat mereka ingin menunjukkan ketidakberdayaan mereka kepada Allah untuk mengakui dosa-dosa mereka. Dan dengan bertaubat mereka meraih keridhaan Allah Swt.

Puasa setahun sekali telah menjadi tradisi di antara umat Yahudi. Ada juga puasa harian dan wakut singkat untuk memperingati bencana Jerusalem serta kasus serupa.

Selain dari ajaran Yahudi, puasa juga menjadi tradisi di kaum Nasrani. "Ketika Isa diperintahkan Tuhan pergi ke padang belantara dan iblis meminta supaya dapat mengujinya...Kemudian ia berpuasa selama 40 hari. (Injil Matta, bab 4) Hawariyun , setelah Nabi Isa, juga berpuasa. Seperti disebutkan di Injil:"Mereka mengatakan bahwa bagaimana murid Yahya senantiasa berpuasa, namun murid dan pegikutmu makan dan minum?...Tapi akan datang suatu hari mereka juga berpuasa." (Injil, Bab 5)

Hal ini juga patut dicatat bahwa meski puasa seperti yang dijelaskan oleh al-Quran juga ada di umat sebelum Islam dan juga sebuah kewajiban, namun tidak ada kesamaan di tata caranya mengingat kondisi geografi dan waktu. Dapat dikatakan bahwa etika puasa di Islam tidak dapat disamakan dengan agama Samawi yang lain dan etika ini khusus untuk agama Islam. Misalnya di antara pengikut agama sebelumnya berpuasa terbatas pada menghindari memakan daging atau susu atau tidak makan dan minum secara total. Al-Quran juga menyebutkan kisah puasa Nabi Zakaria dan Sayidah Maryam (puasa tidak berbicara).

Kita juga mengetahui bahwa pengikut agama sebelumnya dan di antara kaum di berbegai belahan dunia seperti Mesir dan Yunani serta Romawi kuno, puasa juga marak dan bahkan penyembah berhala pun juga meyakini puasa serta saat ini mereka tetap menjalankan puasa menurut keyakinannya. Dengan demikian puasa dan berpuasa sebuah ibadah yang ada di seluruh agama Ilahi dan bahkan agama non Ilahi. Namun pertanyaannya adalah apa filosofi puasa dan berpuasa?

Di fase terakhir ayat 183 Surah al-Baqara yang sebelumnya telah kami sebutkan, dan setelah Allah berfirman Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu...disebutkan alasan terpenting kewajiban puasa yakni supaya kamu bertakwa.

Meski ada banyak alasan untuk efek spiritual dan pendidikan dari puasa dalam teks dan riwayat Islam, namun al-Quran sangat menekankan efek takwa dari yang lainnya. Hal ini karena, jika takwa Ilahi telah tertanam pada seseorang, seluruh nilai moral  dan manusiawi akan termanifestasi di manusia seperti ini dan mereka akan terhindar dari mereka.

Untuk memahami seberapa penting posisi dan peran menentukan takwa, kita cukup memahami bahwa di al-Quran kalimat takwa disebutkan sebanyak 17 kali. Pertanyaan pertama yang muncul adalah, apa arti takwa? Takwa adalah kekuatan spiritual yang muncul dari pergulatan terus-menerus dengan hawa nafsu dan godaan setan. Kondisi ini membuat spiritual semakin kuat dan terlindungi.

Rasulullah Saw bersabda, "Siapa saja yang menjadikan takwa sebagai kondisi hariannya, maka ia mendapat kebaikan dunia dan akhirat." Imam Ali berkata, "Takwa kunci kebaikan dan cadangan hari Kiamat, faktor kebebasan dari segala bentuk perbudakan dan juga faktor keselamatan dari kehancuran."

Oleh karena itu, takwa memainkan peran penting di seluruh perilaku dan sikap individu serta masyarakat di seluruh bidang. Melalui takwa, para wali Allah meraih derajat tinggi malakuti.

Imam Ali as berkata,"Takwa Ilahi membuat para Wali Allah berada di bawah lindungan Tuhan serta mencegah mereka melanggar larangan-Nya dan hati mereka takut melanggar perintah-Nya."

Allah Swt di Surah Yunus ayat 62-64 berfirman, "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar."

Mengingat ajaran ini akan jelas bahwa mengapa Tuhan menyebutkan takwa sebagai salah satu alasan terpenting dan filosofi kewajiban puasa. Yakni supaya kita mampu meraih derajat tinggi seperti wali Allah melalui rahmat Ilahi ini.

Jumat, 15 Mei 2020 14:05

Filosofi Hukum dalam Islam (14)

Shalat dalam budaya Islam memiliki kedudukan khusus dan jika pelaksanaannya disertai dengan makrifat dan kecintaan, maka ia berperan penting dalam membersihkan jiwa dan mengembangkan nilai-nilai Ilahi dan kemanusiaan dalam diri seseorang.

Namun menurut ayat dan riwayat, dapat dipahami bahwa shalat malam (tahajud) sangat penting dan memiliki kedudukan istimewa di mata Tuhan.

Secara umum, kata “malam” selain sebagai salah satu tanda-tanda dari kebesaran Allah Swt, juga menjadi saksi atas  peristiwa penting dan menentukan dalam sejarah umat manusia seperti, turunnya al-Quran, isra’ mi’raj, dan hijrah Rasulullah Saw. Ini juga dapat menjadi indikasi atas rahasia dan misteri yang dimiliki malam.

 

Al-Quran dalam berbagai ayat mengangkat tema shalat malam dan dari ayat-ayat tersebut serta penjelasan Ahlul Bait, dapat dipahami bahwa shalat malam diwajibkan atas Rasulullah Saw.

“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra, ayat 79)

Dari ayat ini jelas bahwa jika manusia ingin memiliki kedudukan yang tinggi dan terpuji di sisi Allah Swt, maka ia harus bangkit di tengah malam ketika semua orang tertidur, untuk mengerjakan shalat tahajud dan bermunajat kepada Tuhan.

Rasulullah Saw bersabda, “Malaikat Jibril selalu mewasiatkan kepadaku agar mengerjakan shalat malam, sampai aku mengira bahwa manusia terbaik umatku adalah mereka yang tidak tidur di malam hari.”

Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw bersabda, “Rahmat Allah atas orang yang bangun di tengah malam dan bermunajat dengan Tuhan-nya. Allah akan terus memancarkan cahaya-Nya di hati hamba seperti itu. Dia berfirman kepada para malaikat, “Lihatlah hamba-Ku ini yang berkhalwat dengan-Ku di tengah malam ketika ahli batil sibuk mengikuti hawa nafsu dan melupakan-Ku. Aku jadikan kalian sebagai saksi bahwa Aku telah mengampuninya.”


Imam Ali as dikenal luas sebagai sosok yang selalu menghidupkan malamnya dengan ibadah, bermunajat kepada Allah Swt di semua malam, dan ia menjadi inspirasi bagi orang-orang yang meniti jalan penghambaan dan sairus suluk.

Dalam mensifati orang-orang yang menghidupkan malamnya, Imam Ali as berkata, “Di malam hari, mereka berdiri sambil membaca bagian-bagian dari al-Quran dan membacanya dengan cara yang terukur lagi baik, menciptakan darinya rasa sedih bagi diri mereka sendiri, yang dengan itu mereka mencari pengobatan bagi sakit mereka.

Apabila mereka menemukan suatu ayat yang menimbulkan gairah (untuk surga), mereka mengikutinya dengan ingin sekali mendapatkannya dan roh mereka fokus kepadanya dengan penuh gairah, dan mereka merasa seakan-akan (surga) itu berada di hadapannya.

Dan bila mereka menemukan ayat yang mengandung ketakutan (kepada neraka), mereka membungkukkan telinga hatinya kepadanya, dan meresa seakan-akan bunyi neraka dan jeritannya mencapai telinga mereka. Mereka membungkukkan diri dari punggung mereka, bersujud pada dahinya, telapak tangan mereka, lutut mereka dan jari-jari kaki mereka, dan memohon kepada Allah Yang Maha Mulia untuk keselamatan mereka.

Di siang hari, mereka tabah, terpelajar, bijak dan takwa. Takut (kepada Allah) telah membuat mereka kurus seperti anak panah. Apabila seseorang melihat mereka, dia akan percaya bahwa mereka sakit, walaupun mereka tidak sakit, dan dia akan mengatakan bahwa mereka telah menjadi gila. (Nahjul Balaghah, khutbah 192)

Kalimat terakhir ini menegaskan bahwa kedekatan dengan Allah Swt tidak boleh menjadikan seseorang mengisolasi diri dari masyarakat, sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Islam tidak mengenal rahbaniyat dan mengasingkan diri dari masyarakat.” Sabda lain berkata, “Rahbaniyat umatku adalah berjihad di jalan Allah Swt.”


Atas dasar prinsip inilah, Imam Ali as berkata, “Pada siang hari, mereka tabah, terpelajar, bijak dan takwa…” Pada kesempatan lain, beliau berkata, “Manusia yang beriman dan bertakwa, mereka adalah singa di siang hari dan abid di waktu malam.”

Keteladanan praktis Rasulullah Saw dan Imam Ali dalam menghidupkan malam telah menjadi inspirasi bagi para ulama dan auliya Ilahi. Mereka bermunajat di kegelapan malam, berkeluh kesah, dan bersimpuh di hadapan Tuhan. Namun di siang hari, mereka aktif di tengah masyarakat dan berjihad dengan penuh semangat.

Rasulullah Saw telah menunjukkan peran dan kedudukan shalat malam kepada Imam Ali as dengan bersabda, “Hendaklah engkau mendirikan shalat malam.” Kalimat ini diulangi sampai tiga atau empat kali.

Kajian kali ini kita akhiri dengan mengutip firman Allah Swt yang berbunyi, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman (surga) dan mata air-mata air, sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar. Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adh-Dhariyat, ayat 15-19)

Jumat, 15 Mei 2020 14:04

Filosofi Hukum dalam Islam (13)

 

Salah satu tujuan politik Islam adalah menciptakan ikatan dan hubungan di antara hati dan pemikiran berlandaskan akidah dan iman sehingga umat Islam dengan cara ini dapat menjadi sebuah komunitas kokoh dan kuat di hadapan musuh.

Umat Islam akan berdiri melawan semua konspirasi luas musuh, dan dengan menggagalkan semua skenario mereka, ia membuka paluang terwujudnya cita-cita luhur Ilahi dan kemanusiaan. 
 
Dengan visi semacam inilah shalat Jumat sebagai simbol agung masyarakat Islami dalam budaya politiknya, menempati kedudukan khusus di dalam Al Quran dan ajaran Nabi Muhammad Saw, serta keluarga sucinya. Terkait hal ini Al Quran mengatakan, 
 
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Surat Al Jumu’ah ayat 9)
 
Poin pertama ayat ini menjelaskan keterkaitan shalat Jumat dan iman kepada Allah Swt, dan orang-orang yang memiliki keimanan secara sadar, setelah mendengar seruan untuk melaksanakan shalat Jumat, atas perintah Allah Swt bukan saja bergerak menyambut seruan tersebut, bahkan bersegera untuk menunjunkkan penghambaannya dalam aksi nyata. 
 
Pasalnya mereka menganggap shalat sebagai manifestasi mengingat Tuhan, dan ketika seseorang bersiap bermunajat kepada Allah Swt mereka akan meninggalkan semua aktivitas perdagangan agar tidak sampai lalai mengingat Tuhannya.
 
Poin penting lainnya yang menarik adalah di akhir ayat disebutkan, Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Karena aktivitas perdagangan yang diwarnai spiritualitas Ilahi dan lebih kekal, tidak diragukan nilainya tidak bisa dibandingkan dengan aktivitas perdagangan yang murni materi. 
 
Saat manusia tidak memiliki kekhawatiran yang dangkal bahwa dunia lebih utama dari akhirat, ia akan bersikap dengan kesadaran dan pemikiran yang tajam. Al Quran memuji orang-orang berpikiran jauh ini dan mengatakan, 
 
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (Surat An Nur ayat 37)
 
Di akhir ayat ini dijelaskan bahwa shalat Jum'at menentukan nasib abadi manusia di Hari Kiamat.
 
shalat Jum'at
 
Imam Jafar Shadiq as mengutip Rasulullah Saw bersabda, dan hari Jumat bertepatan dengan hari penghitungan dimana Allah Swt mengumpulkan semua manusia yang sudah dibangkitkan, dan tidak ada seorang berimanpun yang berangkat shalat Jum'at dengan berjalan kaki kecuali setelah berakhir shalat Jum'at, Allah Swt mempermudah rasa takut akan hari kiamat, dan hari Jum'at adalah hari besar di mana laki-laki dan perempuan beriman mendapatkan rahmat Ilahi. (Mustadrak jilid 6, hlmn 41)
  
Dalam riwayat lain Nabi Muhammad Saw bersabda, kedekatan manusia kepada Tuhan pada hari kiamat setara dengan tingkat keikutsertaannya dalam shalat Jumat. (Kanzul Umal, 21047)
 
Shalat Jumat sedemikian penting sampai Allah Swt mewajibkannya atas orang-orang yang tidak memiliki halangan serius, dan Rasulullah Saw bersabda, barangsiapa selama hidupnya, dan setelah kematianku hingga hari kiamat, meninggalkan shalat Jumat atas dasar pengingkaran dan meremehkannya, Allah Swt tidak akan pernah membereskan urusan kehidupannya, dan tidak memberkahinya, selain itu waspadalah shalat dan haji serta sedekahnya tidak akan terlalu bernilai. Kecuali ia bertobat, sampai Allah Swt menerimanya dan memandangnya dengan pandangan rahmat. (Mustadrak jilid 6, hlmn 11)
 
Salah satu adab penting shalat Jumat, adalah pelaksanaannya oleh seorang Imam Jum'at yang adil, artinya ia menjadi teladan nilai-nilai Ilahi, akhlak dan kemanusiaan. Seorang Imam Jum'at harus bersih dari segala dosa dan keburukan, ia sama sekali tidak boleh memiliki kecenderungan pada kekuasaan dan kekayaan.
 
Imam Jafar Shadiq as bersabda, shalat Jum'at harus dilakukan oleh seorang imam yang adil dan bertakwa. (Mustadrak jilid 6, hlm 14)
 
Salah satu kewajiban Imam Jum'at adalah menyampaikan dua khutbah yang pada keduanya setelah memuji Allah Swt, dan menyampaikan salam kepada Nabi Muhammad Saw beserta keluarga sucinya, ia harus mengajak masyarakat kepada ketakwaan dan menjalankan aturan Ilahi, serta berhias diri dengan keutamaan akhlak dan kemuliaan manusia. 
 
Setelah itu ia menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia Islam, dan mengungkap kebusukan penguasa lalim, serta menjadi penyampai suara bangsa-bangsa tertindas yang karena kejahatan, ketidakadilan dan perang, serta perampokan terhadap mereka, tidak mampu menyuarakan protes dan menuntut keadilan.
 
Poin penting lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam shalat Jum'at, di khutbah pertama, Imam Jum'at harus membacakan Surat Jumuah yang diawali dengan tasbih dan penjelasan risalah Nabi Muhammad Saw, kemudian menjelaskan persekongkolan sebagian kaum Yahudi yang tidak pernah menjalankan satupun kewajibannya, lalu menafikan klaim-klaim tak berdasar orang-orang yang mengira dirinya wali Allah namun dalam amal tidak mampu membuktikan klaimnya, dan sangat takut mati, pada akhirnya Al Quran menjelaskan ada dua kelompok Muslim. 
 
Kelompok pertama menyambut seruan Ilahi, dan melaksanakan shalat Jum'at, dan kelompok lainnya dikarenakan ketergantungan pada dunia, dan sifat oportunisnya, saat menyaksikan rombongan pedagang, langsung meninggalkan shalat Jum'at ketika Nabi Muhammad Saw masih menyampaikan khutbah, dan mereka dikecam oleh Allah Swt.
 
Imam Jum'at pada khutbah kedua harus membaca Surat Al Munafiqun yang menjelaskan orang-orang yang secara lahir tampak Muslim, dan Allah Swt membantah keimanan mereka, karena mereka merupakan musuh Islam yang paling berbahaya, mereka mengulurkan tangan persahabatan kepada kaum penjajah, dan dengan nafsu kekuasaannya hanya berpikir untuk melindungi kepentingan pribadi yang kotor dan anti-kemanusiaan. 

Jumat, 15 Mei 2020 14:04

Filosofi Hukum dalam Islam (12)

 

Salah satu tujuan dan kebijakan strategis Islam adalah memperkuat dan memperdalam hubungan, mendekatkan hati dan menerapkan kesatuan pemikiaran serta tindakan dan menciptakan kovergensi di antara seluruh umat manusia, khususnya komunitas Islam.

Untuk merealisasikan nilai dan cita-cita besar yang menentukan ini, Islam memanfaatkan berbagai mekanisme dan di antaranya adalah menggelar shalat berjamaah di masjid di mana melalui ritual ini, umat muslim setiap hari berkumpul dan bersatu dalam sebuah saf shalat (barisan) dan selain menunaikan shalat berjamaah, mereka juga membahas berbagai kebutuhan primer dan vital di seluruh bidang baik ideologi, akhlak, budaya, politik, ekonomi dan militer.

Salah satu metode efektif untuk menanam dan membudayakan shalat berjamaah adalah memanfaatkan sarana persuasif dan menumbuhkan harapan. Rasulullah Saw melalui sarana wahyu sekuat tenaga berusaha menjaga persatuan umat Muslim dan di salah satu sabdanya berkata, "Sadarlah siapa saja yang berbondong-bondong ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah maka setiap langkahnya akan dihitung dengan 70 ribu kebaikan dan pahalahnya di catat di amal perbuatannya. Selain itu, 70 ribu dosanya akan dihapus. Oleh karena itu, tingkat spritualitasnya akan ditingkatkan. Tak hanya itu, 70 ribu malaikat ditugaskan untuk menemuinya di alam kubur dan menemaninya serta meminta ampunan baginya kepada Tuhan hingga hari kiamat ."

Meskipun riwayat ini menunjukkan betapa pentingnya shalat jamaah, namun angka dan nominal yang digunakan di dalamnya memiliki beberapa keterbatasan. Tapi riwayat lain dari Rasulullah Saw menunjukkan tidak adanya batasan pahala shalat berjamaah. Rasul bersabda, "Setelah shalat Dhuhur, malaikat Jibril bersama 70 ribu malaikat lainnya datang kepadaku dan berkata, Wahai Muhammad! Allah Swt mengirim salam kepadamu dan berfirman, Aku memberimu dua hadiah yang tidak kuberikan kepada nabi sebelummu. Rasul bertanya, Wahai Jibril, ada dua hadiah tersebut? Jibril menjawab: shalat lima waktu dan shalat berjamaah..."

"...Kemudian Rasul bertanya, apa pahala bagi shalat berjamaah? Jibril menjawab, Wahai Muhammad! Jika makmum satu orang, maka pahalanya sama seperti 150 shalat dan jika dua orang pahalanya 600 shalat. Semakin banyak jumlahnya maka pahalanya juga semakin besar. Jika jumlahnya lebih dari sepuluh orang jika laut langit dan bumi digabungkan dan seluruh pohon menjadi pensil serta seluruh jin, manusia dan malaikat menjadi penulisnya, maka mereka tetap tidak mampu menulis pahala shalat berjamaah."

Shalat berjamaah selain mendekatkan hati dan memperkuat hubungan manusia serta akhlak serta menumbuhkan spirit saling membantu di tengah masyarakat, juga memiliki dampak besar di hari Kiamat. Di hari ketika barisan manusia saleh dan baik dipisahkan dari barisan pendosa serta kriminal, mereka dapat dikenali melalui wajah-wajah mereka.

Rasul bersabda, "Sekelompok orang dibangkitkan di hari Kiamat di mana wajah mereka bersinar terang seperti bintang. Saat itu, malaikat bertanya, apa yang kalian lakukan di dunia sehingga wajah kalian bersinar terang? Mereka menjawah, "Ketika suara azan terdengar, kami langsung berbodong-bondong menunaikan shalat berjamaah dan kami mengedepankan shalat berjamaah dari hal-hal yang lain." Saat itu, sekelompok orang lainnya memasuki padang Mahsyar dan wajah mereka bersinar seperti bulan. Malaikat kembali bertanya kepada mereka alasan wajah bereka bersinar terang. Mereka menjawab bahwa kami mempersiapkan diri jauh sebelum shalat berjamaah digelar dan menuju masjid. Kemudian datang kelompok ketiga di hari Kiamat dengan wajah terang benderang seperti matahari. Malaikat bertanya kepada mereka alasan wajah mereka yang bersinar terang. Mereka menjawab, kami sebelum azan dikumandangkan telah berada di masjid untuk menunaikan shalat berjamaah."

Seluruh para nabi untuk memberi hidayah dan menarik manusia, terkadang memicu motivasi dengan memberi kabar gembira sehingga mereka terbebas dari kegelapan dan penyimpangan. Ketika putus asa dari memberi petunjuk mereka, maka para nabi memberi peringatan kepada manusia. Rasul yang menjadi manifestasi dari rahmat bagi dunia, juga mengikuti metode para nabi sebelumnya supaya membuat masjid menjadi pusat persatuan dan solidaritas umat Muslim, mendorong umat muslim aktif di shalat berjamaah dan ketika menyadari sejumlah muslim malas dan lalai, Rasul memperingatkan mereka dengan bersabda, "Ucapkan salam kepada umat Yahudi dan Nasrani, dan jangan ucapkan salam kepada Yahudi umatku. Sahabat bertanya, Wahai Rasulullah! Siapa Yahudi umatmu? Rasul menjawab, mereka yang mendengar suara azan, namun tidak menghadiri shalat berjamaah."

Pertanyaannya, mengapa Rasul menggunakan retorika seperti ini bagi mereka yang tidak menghadiri shalat berjamaah, padahal ia adalah manifestasi kesopanan dan akhlak mulia di setiap perilaku dan ucapan? Mungkin dapat dikatakan bahwa mengingat shalat berjamaah adalah simbol persatuan dan konvergensi umat Islam. Alasan lainnya adalah shalat berjamaah sebuah ritual ibadah dan spiritual bagi umat Muslim. Dan akhirnya, pelanggaran nyata terhadap perintah ilahi dan instruksi Nabi (SAW) dan para pemimpin yang dipilih ada di hadapan Allah, yang sangat menekankan pada sholat berjamaah.

Mari kita memohon kepada Allah Swt supaya kita diberi taufik dan hidayah untuk menunaikan shalat berjamaah dan menunjukkan lebih besar persatuan kita dihadapan musuh internal dan asing dunia Islam.

Untuk merealisasikan nilai dan cita-cita besar yang menentukan ini, Islam memanfaatkan berbagai mekanisme dan di antaranya adalah menggelar shalat berjamaah di masjid di mana melalui ritual ini, umat muslim setiap hari berkumpul dan bersatu dalam sebuah saf shalat (barisan) dan selain menunaikan shalat berjamaah, mereka juga membahas berbagai kebutuhan primer dan vital di seluruh bidang baik ideologi, akhlak, budaya, politik, ekonomi dan militer.

Salah satu metode efektif untuk menanam dan membudayakan shalat berjamaah adalah memanfaatkan sarana persuasif dan menumbuhkan harapan. Rasulullah Saw melalui sarana wahyu sekuat tenaga berusaha menjaga persatuan umat Muslim dan di salah satu sabdanya berkata, "Sadarlah siapa saja yang berbondong-bondong ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah maka setiap langkahnya akan dihitung dengan 70 ribu kebaikan dan pahalahnya di catat di amal perbuatannya. Selain itu, 70 ribu dosanya akan dihapus. Oleh karena itu, tingkat spritualitasnya akan ditingkatkan. Tak hanya itu, 70 ribu malaikat ditugaskan untuk menemuinya di alam kubur dan menemaninya serta meminta ampunan baginya kepada Tuhan hingga hari kiamat ."

Meskipun riwayat ini menunjukkan betapa pentingnya shalat jamaah, namun angka dan nominal yang digunakan di dalamnya memiliki beberapa keterbatasan. Tapi riwayat lain dari Rasulullah Saw menunjukkan tidak adanya batasan pahala shalat berjamaah. Rasul bersabda, "Setelah shalat Dhuhur, malaikat Jibril bersama 70 ribu malaikat lainnya datang kepadaku dan berkata, Wahai Muhammad! Allah Swt mengirim salam kepadamu dan berfirman, Aku memberimu dua hadiah yang tidak kuberikan kepada nabi sebelummu. Rasul bertanya, Wahai Jibril, ada dua hadiah tersebut? Jibril menjawab: shalat lima waktu dan shalat berjamaah..."

"...Kemudian Rasul bertanya, apa pahala bagi shalat berjamaah? Jibril menjawab, Wahai Muhammad! Jika makmum satu orang, maka pahalanya sama seperti 150 shalat dan jika dua orang pahalanya 600 shalat. Semakin banyak jumlahnya maka pahalanya juga semakin besar. Jika jumlahnya lebih dari sepuluh orang jika laut langit dan bumi digabungkan dan seluruh pohon menjadi pensil serta seluruh jin, manusia dan malaikat menjadi penulisnya, maka mereka tetap tidak mampu menulis pahala shalat berjamaah."

Shalat berjamaah selain mendekatkan hati dan memperkuat hubungan manusia serta akhlak serta menumbuhkan spirit saling membantu di tengah masyarakat, juga memiliki dampak besar di hari Kiamat. Di hari ketika barisan manusia saleh dan baik dipisahkan dari barisan pendosa serta kriminal, mereka dapat dikenali melalui wajah-wajah mereka.

Rasul bersabda, "Sekelompok orang dibangkitkan di hari Kiamat di mana wajah mereka bersinar terang seperti bintang. Saat itu, malaikat bertanya, apa yang kalian lakukan di dunia sehingga wajah kalian bersinar terang? Mereka menjawah, "Ketika suara azan terdengar, kami langsung berbodong-bondong menunaikan shalat berjamaah dan kami mengedepankan shalat berjamaah dari hal-hal yang lain." Saat itu, sekelompok orang lainnya memasuki padang Mahsyar dan wajah mereka bersinar seperti bulan. Malaikat kembali bertanya kepada mereka alasan wajah bereka bersinar terang. Mereka menjawab bahwa kami mempersiapkan diri jauh sebelum shalat berjamaah digelar dan menuju masjid. Kemudian datang kelompok ketiga di hari Kiamat dengan wajah terang benderang seperti matahari. Malaikat bertanya kepada mereka alasan wajah mereka yang bersinar terang. Mereka menjawab, kami sebelum azan dikumandangkan telah berada di masjid untuk menunaikan shalat berjamaah."

Seluruh para nabi untuk memberi hidayah dan menarik manusia, terkadang memicu motivasi dengan memberi kabar gembira sehingga mereka terbebas dari kegelapan dan penyimpangan. Ketika putus asa dari memberi petunjuk mereka, maka para nabi memberi peringatan kepada manusia. Rasul yang menjadi manifestasi dari rahmat bagi dunia, juga mengikuti metode para nabi sebelumnya supaya membuat masjid menjadi pusat persatuan dan solidaritas umat Muslim, mendorong umat muslim aktif di shalat berjamaah dan ketika menyadari sejumlah muslim malas dan lalai, Rasul memperingatkan mereka dengan bersabda, "Ucapkan salam kepada umat Yahudi dan Nasrani, dan jangan ucapkan salam kepada Yahudi umatku. Sahabat bertanya, Wahai Rasulullah! Siapa Yahudi umatmu? Rasul menjawab, mereka yang mendengar suara azan, namun tidak menghadiri shalat berjamaah."

Pertanyaannya, mengapa Rasul menggunakan retorika seperti ini bagi mereka yang tidak menghadiri shalat berjamaah, padahal ia adalah manifestasi kesopanan dan akhlak mulia di setiap perilaku dan ucapan? Mungkin dapat dikatakan bahwa mengingat shalat berjamaah adalah simbol persatuan dan konvergensi umat Islam. Alasan lainnya adalah shalat berjamaah sebuah ritual ibadah dan spiritual bagi umat Muslim. Dan akhirnya, pelanggaran nyata terhadap perintah ilahi dan instruksi Nabi (SAW) dan para pemimpin yang dipilih ada di hadapan Allah, yang sangat menekankan pada sholat berjamaah.

Mari kita memohon kepada Allah Swt supaya kita diberi taufik dan hidayah untuk menunaikan shalat berjamaah dan menunjukkan lebih besar persatuan kita dihadapan musuh internal dan asing dunia Islam.

Jumat, 15 Mei 2020 14:03

Filosofi Hukum dalam Islam (11)

 

Salah satu kajian penting di semua aspek kehidupan adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang bisa merusak nilai sebuah perbuatan. Dalam masalah ibadah, ia perlu mendapat perhatian serius khususnya perkara shalat yang punya peran sentral dalam Islam, sehingga amalan ini tidak rusak oleh faktor-faktor lain.

Allah Swt menyebutkan beberapa faktor yang bisa merusak ibadah melalui surat al-Ma’un yaitu:

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”

Menurut ayat ini, ketidakpedulian terhadap fakir-miskin dan orang yang membutuhkan, tidak memiliki kasih sayang, tidak punya pengetahuan tentang esensi shalat, dan bersikap riya’ – yang semuanya bersumber dari pengingkaran terhadap agama – adalah faktor-faktor yang merusak martabat orang yang shalat sehingga Allah Swt menghardiknya.

Kita harus tahu bahwa Islam tidak mengabulkan setiap shalat. Ayat tersebut mengandung pesan bahwa perilaku individual dan sosial orang-orang yang shalat harus kita jadikan sebagai parameter sehingga kita tahu mana ahli shalat sejati dan orang yang berpura-pura shalat, yang menjadikan shalat sebagai alat pencitraan.

Imam Jakfar Shadiq as dalam sebuah ucapannya menyingkap esensi dari orang-orang tersebut dengan berkata, “Janganlah kalian tertipu dengan shalat dan puasa sebagian orang, karena bagi mereka, shalat dan puasa hanya sebuah kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan. Jadi untuk (mengetahui hakikat mereka), mereka perlu diuji dengan tingkat komitmennya pada kejujuran dan amanah.”

Ahli shalat yang masih memelihara sifat-sifat tercela, biasanya tidak peduli dengan shalat dan dengan pandangan yang dangkal, mereka meremehkan shalatnya, yang tentu saja mengundang kemarahan Tuhan.


Imam Muhammad al-Baqir as berkata, “Janganlah meremehkan shalat kalian, karena Rasulullah Saw saat akan menjemput maut bersabda, ‘Barang siapa yang meremehkan shalatnya, maka ia bukanlah dari aku.’”

Poin yang sangat penting dari sabda ini bahwa sirah dan keteladanan yang diberikan Rasulullah Saw adalah jangan pernah meremehkan shalat, dan orang-orang semacam itu mungkin tidak layak disebut Muslim, karena shalat adalah kewajiban agama dan jalur komunikasi yang paling penting antara seorang hamba dan Tuhannya. Untuk itu, shalat harus mendapat perhatian khusus dari manusia. Orang yang shalat pada dasarnya sedang membangun hubungan dan bercengkrama dengan Tuhan.

Imam Shadiq as dalam sebuah wasiat menjelang kesyahidannya, menganggap bukan sebagai pengikutnya orang-orang yang meremehkan shalat. Di detik-detik terakhir ini, imam memanggil seluruh anggota keluarga dan orang-orang dekatnya, kemudian berkata kepada mereka, “Syafaat kami tidak akan sampai kepada orang yang meremehkan shalatnya.”

Jadi, salah satu faktor perusak pahala shalat adalah meremehkan shalat itu sendiri. Sebagian orang mungkin bertanya, apa tujuan dari ibadah yang dikerjakan secara riya’ dan penuh kemunafikan? Yaitu mereka yang berpura-pura shalat dan tidak memegang teguh nilai-nilai moral seperti, kejujuran dan amanah.

Al-Quran menjawab pertanyaan tersebut dengan berkata, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa, ayat 142)

Perlu dipahami bahwa salah satu peran konstruktif shalat adalah menjauhkan manusia dari perbuatan dosa dan memberikannya keterjagaan dari dosa.

Allah Swt memerintahkan Rasulullah dengan berfirman, “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut, ayat 45)


Namun, syaitan telah membangkang dari perintah Ilahi sejak awal penciptaan manusia, ia bersikap takabbur dan akhirnya diusir dari sisi Allah Swt. Syaitan telah menjadi musuh besar bagi orang-orang yang shalat dan selalu berusaha menggoda mereka serta memperlemah tekad, dan menjerumuskan mereka ke dalam dosa.

Jika ini terjadi, maka shalat telah kehilangan fungsinya sebagai pencegah manusia dari perbuatan dosa. Dosa merupakan sebuah penyakit kronis bagi ahli shalat, yang akan menjauhkan mereka dari Allah.

Rasulullah Saw bersabda, “Shalat menghitamkan wajah syaitan.” Mengenai dampak buruk dosa, beliau berkata, “Barang siapa yang shalatnya tidak mencegah ia dari dosa dan keburukan, maka ia telah jauh dari (rahmat) Ilahi.”

Di samping meremehkan shalat dan berbuat dosa, ada faktor lain yang bisa membuat shalat tidak sempurna yaitu tanggungan kewajiban mal (harta) yang belum ditunaikan seperti khumus dan zakat atau haqqullah.

Faktor lain yang merusak shalat adalah hak-hak orang lain yang belum dipenuhi. Ahli shalat harus berkomitmen untuk menunaikan kewajiban tersebut, terutama hak-hak yang menyangkut dengan orang lain atau haqqunnas.

Rasulullah Saw bersabda, “Allah berfirman kepadaku, ‘Wahai penyambung silsilah para nabi dan pemberi peringatan, berilah peringatan kepada manusia bahwa selama mereka masih terlilit hak kepada hamba-Ku yang lain, maka jangan pernah mendatangi rumah-Ku. Karena meskipun ia sedang shalat di hadapan-Ku, Aku akan menjauhkannya dari rahmat-Ku, kecuali ia mengembalikan hak itu kepada pemiliknya.” 

Jumat, 15 Mei 2020 14:01

Filosofi Hukum dalam Islam (10)

 

Pada kesempatan ini akan dibahas seputar pengaruh dan manfaat shalat bagi yang melaksanakannya.

Salah satu tanda terperting dari pengaruh shalat pada manusia adalah penolakan atas seluruh sesembahan palsu dan fiktif, dan semua bentuk pemaksaan, penindasan serta kemunafikan yang masing-masing dengan cara tertentu menjauhkan manusia dari jalan yang lurus yaitu penghambaan kepada Allah Swt, dan menyanderanya. 
 
Imam Ridha as mengatakan, falsafah shalat yaitu hanya Allah Swt sajalah yang kita sembah, dan kita terhindar dari semua bentuk kesyirikan dan penyembahan berhala, hanya di hadapan Pencipta Semesta sajalah kita menunjukkan kelemahan dan memohon, jangan sampai kita melupakan Pencipta kita, dan kebisingan dunia beserta semua daya tarik dan gemerlapnya membuat kita lalai serta membangkang. 
 
Oleh karena itu para pelaksana shalat yang sebenarnya hidup dengan memegang teguh keyakinan kepada Tuhan, dan berporos pada-Nya, mereka selalu mengingat Tuhan dan menjalankan semua yang diperintahkan-Nya.
 
Sehubungan dengan hal ini Al Quran mengatakan, dirikanlah shalat agar kita selalu ingat. Maksudnya adalah ingat dalam ucapan, hati dan amal di seluruh segi kehidupan. 
 
Dengan pandangan semacam ini, para pelaksana shalat hakiki dalam makna yang sebenarnya, terbebas dari belenggu semua kekuatan rapuh kekayaan materi, popularitas, hawa nafsu, dan bisikan setan, serta keluar sebagai pemenang. 
 
Sebagaimana dikatakan oleh Iqbal Lahore, siapapun yang telah mengikat janji dengan Tuhan dan hanya menjadi hamba-Nya semata, tidak akan pernah tunduk pada sesembahan lain selain Tuhan Maha Esa, dan meraih kebebasannya. 
 
Oleh karena itu manusia-manusia yang melaksanakan shalat dengan pandangan Tauhid akan sampai pada puncaknya di mana tidak ada tujuan lain selain Tuhan. Sebagaimana dalam ayat 6 Surat Al Inshiqaq, Allah Swt berfirman,  
 
يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ
 
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” 

Imam Ali bin Abi Thalib as yang berhasil mencerap puncak maknawi ini dengan seluruh wujudnya, terkait orang-orang mukmin pelaksana shalat yang sebenarnya mengatakan, para malaikat mengajak mereka berbicara. Melimpahkan ketenangan Ilahi kepada mereka. Membukakan pintu-pintu alam malakut untuk mereka. Kedudukan kasih sayang tak terhingga Tuhan terhampar untuk mereka, Tuhan memperhatikan kedudukan dan derajat mereka yang dicapai berkat penghambaannya, dan menerima amal serta memuji kedudukan mereka. Saat mereka melantunkan nama Tuhan, mereka mencium semerbak magfirah dan ampunan-Nya. (Khutbah 220, Nahj Al Balaghah)
 
Orang-orang yang dekat dengan Allah Swt yakin bahwa mereka sedang berusaha menuju pada keabadian, mereka selalu berusaha mendekat ke pusaran keagungan Ilahi sehingga tidak ada lagi batas antara dimensi maknawi dan malakuti antara dirinya dengan Tuhan.
 
Dalam Munajat Syabaniah, lantunan para mukmin arif yang hakiki digambarkan sebagai berikut, Ya Allah, berikanlah kepada kami kesempurnaan terpisah dari seluruh ketergantungan untuk meraih kedekatan pada-Mu, dan arahkanlah pandangan hati kami kepada-Mu, sehingga semua tirai penghalang tersingkap, dan kami mencapai mata air keagungan-Mu, dan jiwa kami terbang mendekati pusara kemegahan kesucian-Mu. 
 
Ya Allah jadikanlah aku bagian dari orang-orang yang Engkau panggil dan langsung menjawab, dan jadikanlah aku bagian dari orang-orang yang saat mendapat perhatian khusus dari-Mu, ia menjadi gila karena keagungan dan kebesaran-Mu.
 
Perlu diperhatikan bahwa para pecinta alam malakut yang mendekati Tuhan melalui shalat, dan munajat irfani, cara pandang, orientasi dan tujuan mereka berbeda dari berbagai sisi dengan orang-orang yang asing dengan alam malakut. 
 
Imam Ali as di kitab Nahj Balaghah berkata, ahli dunia menganggap penting fisiknya, dan kematian jasmani sungguh besar di mata mereka, namun mereka sama sekali tidak memperhatikan kematian jiwa, dan tidak menghargainya. 
 
Imam Ali menambahkan, jika kematian sudah ditakdirkan, dan atas kehendak Ilahi tidak diketahui kapan datangnya, ruh mereka dikarenakan kecintaan yang dalam pada keagungan Ilahi dan takut atas balasan-Nya, dalam satu kedipan mata akan sirna dari tubuh. (Khutbah 191, Nahj Al Balaghah) 
 
Perbedaan lain antara para pesuluk jalan Ilahi dengan yang lainnya adalah cita-cita dan harapannya lebih kental warna Ilahi, dan semua upaya mereka dikerahkan supaya tidak tertinggal dalam hal nilai-nilai maknawi dan kemanusiaan.
 
Amirul Mukminin as dalam Doa Kumail mengatakan, Tuhanku tambahlah kekuatan dan kemampuanku, kokohkanlah hatiku dengan tekad dan kehendak baja, dan berikanlah kemampuan kepadaku untuk memahami keagungan-Mu, dan taufik yang tak pernah habis sehingga aku termasuk orang-orang yang terdepan dalam mengejar-Mu. 
 
Dan termasuk orang-orang yang paling cepat mendekat ke haribaan-Mu, dan bergerak ke arah-Mu dengan segenap kebahagiaan sebagaimana para pecinta-Mu, dan seperti orang-orang ikhlas yang mendekat kepada-Mu, takut kepada-Mu seperti orang-orang yang yakin, masukkan aku ke dalam golongan orang-orang Mukmin di dekat-Mu.
 
Shalat dan permohonan manusia pelaksana shalat yang hakiki, akan membentuk pribadi unik yang dapat menjadi teladan bagi orang lain di semua bidang, dan memainkan peran efektif dalam membangun budaya shalat. 

 

 

Peringatan Hari Nakba ke-72 digelar di kondisi pemerintah Amerika Serikat mengumumkan secara resmi rencana rasis Kesepakatan Abad dan nilai Palestina di kebijalan luar negeri sejumlah negara Arab mulai menurun.

Mei 1948 adalah salah satu bulan paling pahit dalam sejarah Palestina. 14 Mei 1948 Rezim Zionis palsu secara resmi didirikan di tanah Palestina. 15 Mei 1948, satu hari setelah pembentukan Israel, terjadi salah satu kejahatan terbesar rezim Zionis terhadap Palestina. Pada hari ini, lebih dari 800.000 dari 1,4 juta warga Palestina diusir secara paksa dari tanah dan rumah mereka.

Image Caption
Dengan kata lain, di hari ini sekitar 60 persen populasi Palestina secara paksa diusir dari tanah air mereka. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Nakba mengingatkan dua memori sangat buruk di benak bangsa Palestina dan opini publik. Pertama adalah pembentukan rezim Zionis pada 14 Mei 1948 dan kedua pengusiran lebih dari 800 ribu warga Palestina dari tanah air mereka pada 15 Mei 1948. Kini jumlah pengungsi Palestina mencapai enam juta orang.

Orang-orang Palestina menyebut peringatan pengusiran ratusan ribu warga Palestina dari tanah air mereka "hari Nakba" atau "hari kesengsaraan atau bencana." Warga Palestina merayakan 15 Mei setiap tahun sebagai hari simbolis pengusiran paksa, penghancuran tatanan sosial dan budaya mereka oleh Israel, dan setiap tahun pada 15 Mei, mereka menggelar aksi demo untuk menunjukkan sifat pendudukan dan kriminalitas Israel. "Nakba" adalah kata Arab yang berarti "musibah" dan rezim Israel adalah musibah yang menimpa tanah bersejarah Palestina, dan kedalaman malapetaka ini meningkat dari hari ke hari.

Sama seperti pembentukan Amerika Serikat dimulai dengan imigrasi Eropa dan pembantaian warga pribumi, rezim Zionis Israel juga dibentuk dengan pembantaian terhadap umat Muslim dan penduduk asli yakni warga Palestina. Ketika warga Palestina memperingati 14 Mei sebagai hari Nakba, Israel memperingatinya sebagai hari ulang tahunnya (HUT).

Pertanyaan terpentinh di sini adalah selama 72 tahun lalu, apa musibah lain yang diberikan Israel kepada warga Palestina? Realitanya adalah meski 14 Mei atau 15 Mei ditetapkan sebagai hari Nakba, namun ada hari dan tahun-tahun beragam di sejarah kejahatan Israel terhadap bangsa Palestina. Tahun 1948 dapat disebut sebagai tahun terburuk bagi bangsa Palestina.

Selama pendudukan Palestina pada tahun 1948, rezim Zionis juga menghancurkan sekitar 531 kota dan desa Palestina, melakukan pembantaian dan membantai lebih dari 15.000 warga Palestina. Hari-hari intifada pertama dan kedua, meskipun hari-hari perlawanan rakyat Palestina terhadap kejahatan rezim Zionis, ribuan orang Palestina mati syahid, terluka atau terlantar selama hari-hari ini.

Meski demikian sepertinya selama empat tahun terakhir, tercatat empat hari Nakba bagi rakyat Palestina. Hari pertama adalah 21 Januari 2017, hari resmi kedatangan Donald Trump di Gedung Putih. Meskipun semua presiden AS telah berjanji untuk membela rezim Zionis, Donald Trump tanpa ragu adalah presiden Amerika Serikat yang paling rasis, yang secara terbuka dan terang-terangan menekankan dukungannya untuk Israel dan kepentingan rezim palsu ini.

Hari kedua adalah 6 Desember 2017, hari ketika Donald Trump mengumumkan tindakan ilegal bahwa ia menganggap Yerusalem sebagai ibukota Israel dan akan memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Hari ketiga adalah 14 Mei 2018. Pemerintah AS, atas perintah Donald Trump dan di hadapan Ivanka Trump, putri presiden, secara resmi memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem pada 14 Mei 2018, untuk menjadikan 14 Mei sebagai hari paling pahit dalam sejarah Palestina.

Image Caption
Faktanya, orang-orang Palestina menggelar demonstrasi besar pada 15 Mei 2018, pada hari tragedi itu, ketika Amerika Serikat secara ilegal memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem hanya sehari sebelumnya, pada 14 Mei. Karena itu, Hanan Ashrawi, anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), menyebut pembukaan Kedutaan Besar AS di Yerusalem sebagai hari kesengsaraan baru bagi Palestina, yang terjadi dalam bayang-bayang kesunyian internasional.

Hari keempat adalah 28 Januari 2020, hari Presiden AS Donald Trump secara resmi meluncurkan rencana rasis Kesepakatan Abad di hadapan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan duta besar dari tiga negara Arab yaitu Bahrain, Uni Emirat Arab dan Oman.

Jika pada 15 Mei 1948, rezim Zionis secara paksa mengusir sekitar 800.000 warga Palestina, maka Donald Trump pada 28 Januari 2020 melalui kesepakatan abad dan secara tidak langsung mengusir sekitar 6 juta warga Palestina, mencabut hak kepulangan enam juta pengungsi Palestina, karena melalui rencana ini, ia telah mencabut hak kepulangan enam juta pengungsi Palestina ke tanah air mereka serta pengungsi ini tidak diberi hak untuk kembali.

Peringatan ke-72 Hari Nakba datang ketika tiga acara besar menarik perhatian. Peristiwa pertama adalah rencana kesepakatan abad ini, banyak bagian yang telah dilaksanakan, dan dijadwalkan mulai 1 Juli, kabinet Israel di bawah dukungan langsung pemerintah AS akan menerapkan aneksasi bagian-bagian Tepi Barat ke wilayah-wilayah pendudukan supaya geografi Paletina semakin kecil dari sebelumnya.

Insiden kedua adalah pecahnya kabinet yang belum pernah terjadi sebelumnya di Palestina pendudukan (Israel). Setelah setahun mengalami kebuntuan politik, Netanyahu dan Benny Gantz, pemimpin Partai Biru dan Putih, akhirnya setuju untuk membentuk kabinet yang komprehensif untuk mengatasi krisis politik. Situasi ini menunjukkan terutama bahwa meskipun dukungan komprehensif Barat, terutama Amerika Serikat, untuk rezim Zionis, perpecahan internal rezim ini dan tantangannya meningkat dari hari ke hari.

Peristiwa ketiga adalah penurunan nilai Palestina dan kekacauan dalam kebijakan luar negeri beberapa negara Arab, terutama Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Tidak diragukan lagi, Donald Trump dan Benjamin Netanyahu tidak mungkin mampu meresmikan rencana rasis kesepakatan abad ini tanpa dukungan dari negara-negara Arab.

Negara-negara Arab tidak hanya mengurangi pertahanan Palestina dalam kebijakan luar negerinya, tetapi juga secara resmi bergerak ke arah normalisasi hubungan dengan rezim kriminal ini untuk mendukung kejahatan rezim terhadap Palestina.

"Tentu saja dukungan dari beberapa negara anggota Dewan Kerjasama Teluk Persia (PGCC) yakni Bahrain, Uni Emirat Arab dan Oman, untuk pengungkapan rencana perdamaian yang disebut 'Perjanjian Abad'," yang diresmika Presiden AS Donald Trump 28 Januari sebuah langkah lain dalam deklarasi normalisasi formal atau semi formal mengenai hubungan dengan Israel," tulis Professor Dr. Jassim Younis Al-Hariri, seorang analis Teluk Persia.

Mengingat perstiwa ini, sepertinya kejahatan rezim Zionis Israel terhadap bangsa Palestina hingga Hari Nakba 2021 akan meningkat dan akan terbantuk babak baru konfrontasi Muqawama Palestina dan Israel.

 

Sayidina Ali bin Abi Thalib KW manusia mulia yang istimewa sejak kelahiran hingga akhir hayatnya. Beliau dilahirkan di Kabah dan syahid pada tanggal 21 Ramadhan ketika sedang menunaikan shalat Shubuh.

Beberapa ayat turun mengenai sejumlah orang terpilih termasuk Sayidina Ali seperti surat Ali Imran ayat 61 tentang Mubahalah. Tidak heran jika para ulama terkemuka di Nusantara seperti KH Wahid Hasyim memberikan ijazah wirid Li Khamsatun yang biasa di Jawa disebut sebagai aji-aji limo, atau lima pusaka.

 Wirid tersebut hingga kini masih dikumandangkan di surau dan masjid untuk bertawasul kepada lima manusia mulia, yaitu: Al-Mustafa (Nabi Muhammad Saw), Al-Murtadha (Sayidina Ali bin Abi Thalib) wa abnahuma (Sayidina Hassan dan Sayidina Husein) wa Fatimah (Siti Fatimah)

Dari kelima orang ini, Sayidina Ali menempati posisi penting sebagai menantu dari Rasulullah Saw, dan suami Siti Fatimah, juga ayah dari Sayidina Hassan dan Husein. Beliau memiliki ikatan yang begitu kuat dengan pembawa risalah Islam, Nabi Muhammad Saw.

Sayidina Ali syahid dibunuh oleh seorang Khawarij bernama Ibnu Muljam, tapi nama besarnya tetap lestari hingga kini. Wirid tolak bala, Li khamsatun mengabadikannya dalam tradisi Islam Nusantara.

 

Alquran

Keadilan Sosial dalam Al-Qur’an dan Pemerintahan yang Berorientasi Keadilan
Keadilan Sosial dalam Al-Qur’an dan Pemerintahan yang Berorientasi Keadilan
Terwujudnya cita-cita keadilan telah menjadi salah satu keinginan terpenting semua manusia reformis dan orang-orang merdeka dalam sejarah (termasuk para nabi). Revolusi Islam Iran juga dilakukan…

Nahjolbalaghe

Imam Ali dan Hak Asasi Manusia dalam Nahjul Balâghah, Tinjauan Tafsir Al-Qurân
Imam Ali dan Hak Asasi Manusia dalam Nahjul Balâghah, Tinjauan Tafsir Al-Qurân
Naskah pengantar pada seminar Internasional “imam ali dan hak asasi manusia Dalam Nahjul Balagah”, Citywalk 5th floor. Jakarta 30 Juni 2009, IMAM ALI DAN HAK…