
کمالوندی
Surat Yasin ayat 81-83.
أَوَلَيْسَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يَخْلُقَ مِثْلَهُمْ بَلَى وَهُوَ الْخَلَّاقُ الْعَلِيمُ (81)
Dan tidaklah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu? Benar, Dia berkuasa. Dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui. (36: 81)
Shahab al-Din Suhrawardi
Shahab al-Din Suhrawardi adalah seorang filsuf dan arif terkemuka, sekaligus pendiri mazhab iluminasi dalam filsafat Islam. Ia dilahirkan di Suhraward, sebuah desa yang terletak dekat Zanjan, Iran. Nama lengkapnya, Abu Al-Futuh Shahāb ad-Dīn Siddiqi Yahya ibn Habash ibn Amirak as-Suhrawardī. Tapi kemudian, lebih dikenal dengan sebutan Syeikh Isyraq, dan setelah meninggal disebut sebagai Syeikh Maqtul.
Sebagian sejarawan menyebut nama filsuf Iran ini dengan nama Umar.Tapi para peneliti meyakini bahwa nama Umar yang dimaksud bukan Syeikh Isyraq, tapi Abu Hafs Umar Suhrawardi, seorang arif besar abad ketujuh Hijriah. Beliau adalah penulis buku Awarif Al-Maarif, yang kemudian dikenal dengan sebutan sebagai pendiri tariqat Suhrawardi.
Para ahli sejarah berbeda pandangan mengenai tahun kelahiran Syeikh Isyraq. Tapi kelahirannya diperkirakan antara tahun 545 Hq atau 1150 Masehi, hingga tahun 550 Hq, atau 1155 Masehi. Sebagian sarjana seperti Hossein Nasr dan Henry Corbin menyebutkan tahun kelahiran Syeikh Isyraq, yaitu tahun 549 Hq atau 1154 Masehi.
Secara umum kehidupan Sheikh Isyraq yang relatif singkat terbagi dalam tiga kategori. Pertama, periode ketika ia berada di Suhraward, yang merupakan sekuel dari masa kecil di tanah kelahirannya. Para ahli sejarah tidak banyak mengetahui jejak kehidupan masa kecil Suhrawardi.
Selama ini yang dibahas para sejarawan mengenai masa kecil Suhrawardi seputar perhatiannya mempelajari dasar-dasar ilmu pengetahuan umum dan agama sejak di Suhraward. Selain itu, Suhrawardi belajar di bawah asuhan Sheikh Abd al-Rahman. Sejak masih belia, ia sudah menunjukkan kecerdasan dibandingkan teman-teman seusianya ketika menuntut ilmu di masa itu.
Kemudian, Suhrawardi meninggalkan tanah kelahirannya menuju Maragha untuk belajar hikmah kepada Sheikh Majd al-Din al-Jili. Periode ini disebut para sejarawan sebagai fase kedua kehidupan Suhrawardi. Ketika itu, ia menulis kitab berjudul “Al-Tanqihat fi Usul Al-Fiqh” atas permintaan teman, sekaligus muridnya. Sheikh Majd Al-Din Jili adalah penulis kitab “Al-Lam’ fi al-Syikl al-Rabi’ “ yang dikenal sebagai salah seorang tokoh ilmu kalam dan hikmah. Beliau juga merupakan salah seorang guru Fakh Al-Din Al-Razi, ahli tafsir abad keenam Hq, atau abad 12 dan 13 Masehi.
Ketika di Maragha, Suhrawardi pernah belajar bersama dengan Fakh Al-Din Al-Razi di bawah asuhan Sheikh Majd Al-Din Jili. Fakh Al-Din Al-Razi bersedih ketika mendengar kabar Suhrawardi meninggal dunia. Sewaktu mengambil buku Talwihat karya Suhrawardi, ia menetaskan air mata mengenang sahabat yang pernah menimba ilmu bersamanya.
Di tahun 574 Hq, Suhrawardi meninggalkan Maragha menuju Isfahan untuk menuntut ilmu dari ulama lain. Di Isfahan, ia berguru kepada Zahir Al-Din Al-Farisi, dan mempelajari kitab Al-Basair Al-Nasiriyah karya Umar bin Sahlan Sawi. Di Isfahanlah, Suhrawardi mengenal pemikiran Ibnu Sina. Para sejarawan mengungkapkan selama di Isfahan, Suhrawardi menulis kitab Risalah al-Thair, dan Bustan Al-Qulub.
Selanjutnya, Suhrawardi meneruskan perjalanan yang membawanya meninggalkan Isfahan setelah dua atau tiga tahun tinggal di kota penting Iran itu. Ia dikenal sebagai orang yang sangat menyukai traveling. Dalam perjalanan itu pulalah, Suhrawardi bertemu dengan para ulama dan arif, kemudian ia belajar kepada mereka.
Selama beberapa waktu, Suhrawardi bertemu dengan para sufi, dan ia pun sibuk dengan penyucian diri melalui berbagai wirid dan amalan tasawuf. Ketika itu, Suhrawardi menjalani kehidupannya dengan sangat ketat. Saat itu, ia meyakini latihan penyucian diri atau Riyadhah, sebagai jalan yang harus dilalui oleh pesuluk.
Shams al-Din al-Shahrazuri mengidentifikasi periode ini sebagai usaha Suhrawardi untuk memperoleh bimbingan spiritual. Selain itu, Suhrawardi sangat antusias untuk mengenal beragam mazhab pemikiran yang berkembang di masa itu. Ketika mengunjungi Anatolia, dia bertemu sejumlah guru sufi dan filsuf terkemuka. Salah satunya adalah filsuf paripatetik terkemuka bernama Fakhr al-Din al-Mardini.
Selain menguasai filsafat, Al-Mardini juga mempelajari berbagai displin ilmu seperti bahasa dan kedokteran. Ia menjadi guru terakhir Suhrawardi sebelum dieksekusi mati. Di bidang hikmah, Fakhr al-Din al-Mardini adalah murid Hakim Hamedani. Sedangkan di bidang kedokteran, ia berguru kepada Tilmidz Baghdadi. Hingga tahun 578 Hq Suhrawardi berada di Mardini dan melanjutkan persahabatannya dengan Fakh Al-Din Al-Mardini hingga tahun 578 Hq. Kemudian, Suhrawardi melanjutkan perjalanannya menuju Suriah hingga tiba di Aleppo di tahun 579 Hq.
Periode kedua kehidupan Suhrawardi berakhir dengan tibanya Suhrawardi di Aleppo. Masuknya Suhrawardi di Aleppo sebagai fase baru kehidupannya, sekaligus akhir perjalanan hidupnya. Ketika itu, ia berusia sekitar 30 tahun. Ia menulis buku Al-Masyari’ wa Al-Mutharahah. Selanjutnya di tahun 582 Hq, Suhrawardi menyelesaikan penulisan karya terpentingnya di bidang filsafat berjudul Hikmah Al-Isyraq.
Penulisan buku ini menyebabkan Suhrawardi terkenal hingga istana Seljuk. Ia pun hidup di lingkaran sumbu kekuasaan. Ketika itu ia menulis kitab yang dipersembahkan kepada Rokn Al-Din Sulaiman berjudul “Parto Nameh” dam buku lainnya berjudul Alwah Imadi yang dipersembahkan untuk Imad Al-Din Abu Bakar.
Di tahap ketiga yang merupakan periode akhir kehidupannya di Aleppo, Suhrawardi memasuki madrasah Halawiyah, kemudian memasuki madrasah Nuriyah. Di sana ia berdiskusi dan berdebat dengan fuqaha mazhab Hanbali. Tampaknya, Suhrawardi memiliki keunggulan dari mereka. Akhirnya, ia menjadi bahan pembicaraan di kota itu. Bahkan Malek Zahir, putra Salah Al-Din Al-Ayubi memanggilnya dan meminta Suhrawardi menjadi penasehat utama dirinya.
Kecerdasan dan luasnya pengetahuan serta kedalaman ilmu Suhrawardi menimbulkan permusuhan dari sebagian kalangan fuqaha. Lalu mereka menggelar pertemuan untuk mengadili Suhrawardi, karena pemikirannya yang mereka pandang sesat. Mereka meminta Malek Zahir menghukum mati Suhrawardi karena dianggap sesat. Tapi putra Salah Al-Din Al-Ayubi itu menolaknya.
Kemudian, fuqaha Aleppo menulis surat disertai tanda tangan mereka yang dikirimkan kepada Salah Al-Din Al-Ayubi. Ketika itu, Salah Al-Din Al-Ayubi baru saja merebut Suriah dari tangan pasukan Kristen. Untuk mempertahankan kredibilitasnya sebagai penguasa Islam di hadapan para ulama fiqih, akhirnya Salah Al-Din Al-Ayubi menerima permohonan mereka dan memerintahkan Malek Zahir membunuh Suhrawardi. Dengan berat hati, Malek Zahir mematuhi perintah ayahnya. Pada tahun 587 Hq, Suhrawardi dijebloskan ke penjara. Menurut Ibnu Syadad, pada hari Jumat akhir Dzulhijah 587 Hq, setelah shalat, tubuh Sheikh Suhrawardi yang tidak bernafas dikeluarkan dari penjara.
Fungsi dan Peran Masjid (1)
Masjid al-Haram, Mekah
Masjid dalam kultur dan pemikiran Islam dianggap sebagai sebuah tempat dan bangunan yang suci. Masjid berfungsi sebagai tempat menuju Allah Swt dan membuat keputusan-keputusan yang berhubungan dengan politik, pergerakan dan bahkan urusan militer. Masjid merupakan warisan budaya, seni, dan peradaban Islam, dan juga basis persatuan umat dalam mengatur urusan sosial dan kerjasama di antara mereka. Ia adalah rumah Allah (Baitullah) dan tempat penghambaan di hadapan-Nya.
Dengan memperhatikan kedudukan masjid di Dunia Islam dan perannya di era sekarang, kami ingin menelisik kembali fungsi-fungsi masjid seperti disebutkan dalam al-Quran, riwayat, serta sirah Nabi Muhammad Saw, dan para imam maksum.
Sejarah umat manusia sarat dengan budaya penghambaan dan kegiatan ibadah kepada Tuhan. Meski ditemukan ragam bentuk ibadah di tengah berbagai kelompok masyarakat, namun mereka membawa spirit yang sama yaitu; membangun interaksi dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta dan pemilik kekuatan mutlak. Agama Islam – sebagai agama terakhir dan yang paling sempurna – menawarkan ritual dan kegiatan ibadah yang khas sebagai media keintiman dengan Allah Swt.
Masjid al-Haram, Mekah
Di antara ritual suci itu, shalat memiliki kedudukan yang sangat istimewa dan dapat disebut sebagai menifestasi penghambaan dan kepasrahan mutlak seorang hamba kepada Sang Khalik. Di semua agama samawi dan bahkan di kebanyakan aliran kepercayaan bumi, sebuah tempat ditetapkan sebagai situs suci untuk pelaksanaan amal ibadah dan ritual-ritual khusus.
Kehadiran tempat khusus itu sangat penting untuk pelaksanaan ritual keagamaan dan bahkan para penyembah berhala juga punya sebuah tempat untuk menggelar seluruh acara keagamaan termasuk penyembahan, nazar, berkurban, doa, dan lain sebagainya, dan tradisi itu masih berlaku sampai sekarang. Umat Kristen punya Gereja sebagai tempat ibadah, kaum Yahudi punya Sinagoq (Kanisah), dan demikian juga dengan Zoroaster yang memiliki Kuil Api.
Islam – sebagai agama Allah Swt yang terakhir dan paling sempurna – menjadikan masjid sebagai tempat untuk ibadah dan kegiatan keagamaan kaum Muslim. Masjid adalah tempat/bagungan untuk sujud dan ketundukan di hadapan Allah Swt. Shalat merupakan ibadah terpenting yang mendapat banyak penekankan dalam Islam dan salah satu gerakannya adalah bersujud sebagai bentuk ketundukan seorang hamba.
Sujud adalah meletakkan dahi ke tanah dan menunjukkan puncak kerendahan diri seorang hamba di hadapan keagungan Sang Pencipta. Semua makhluk hidup bersujud di hadapan keagungan Allah Swt. Ayat 49 surat an-Nahl berkata, "Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan (juga) para malaikat, sedang mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri."
Sujud merupakan manifestasi penghambaan dan ia memiliki kedudukan khusus di antara semua ibadah dan bahkan di antara gerakan-gerakan lain shalat. Oleh karena itu, masjid adalah tempat untuk sujud dan ibadah, dan sebenarnya merupakan tempat untuk mengingat Allah Swt. Dalam budaya agama, masjid dikenal sebagai Baitullah atau Rumah Allah.
Semua yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah Swt. Namun, Dia menamakan masjid – secara lahiriyah hanya sebuah bangunan biasa – sebagai Baitullah sehingga dengan penisbatan ini, manusia bisa memahami dengan lebih baik tentang pentingnya situs suci itu, dan kemudian berkumpul di sana untuk memperoleh rahmat Ilahi. Oleh sebab itu, manusia akan merasa lebih dekat dengan Tuhan saat mereka berada di masjid atau tempat ibadah.
Kedudukan semua masjid tentu saja tidak sama, dan sebagian masjid memiliki posisi yang istimewa dan tinggi. Dalam riwayat disebutkan masjid yang paling utama adalah Masjidil Haram, dan kemudian Masjid Nabawi, dan selanjutnya Masjid al-Aqsha, Masjid Kufah, dan kemudian Masjid Jami' (Masjid Agung) di setiap kota dan kemudian masjid di lingkungan sekitar dan masjid di kompleks pasar. Masjidil Haram memiliki keutamaan yang luar biasa di mana kaum Muslim dalam shalatnya wajib memalingkan wajahnya ke arah Masjidil Haram dan Ka'bah.
Masjid al-Haram, Mekah
Shalat di Masjidil Haram akan diganjar pahala seribu kali shalat di masjid-masjid lain. Rasulullah Saw bersabda, "Shalat seorang hamba di rumahnya akan dihitung satu pahala shalat, di masjid lingkungannya akan diganjar 25 pahala shalat, di Masjid Jami' dengan 500 pahala shalat, di Masjid al-Aqsha dengan 50.000 pahala, dan di masjidku (Masjid Nabawi) dengan 50.000 pahala, dan di Masjidil Haram dengan 100.000 pahala shalat." (Kanzul Ummal, jilid 7)
Berkenaan dengan keutamaan Masjidil Haram, Imam Muhammad al-Baqir as juga berkata, "Barang siapa yang menunaikan shalat fardhu di Masjidil Haram, Allah akan menerima semua shalat yang diwajibkan atasnya sejak memasuki usia baligh dan juga shalat-shalat yang ditunaikan hingga akhir hayatnya." (Wasail al-Shia, jidil 3)
Di samping bangunan-bangunan kebanggan umat Islam itu, masjid-masjid lain juga menyimpan keutamaan sendiri. Sebuah hadis Qudsi berkata, "Allah berfirman bahwa rumah-rumah-Ku di bumi adalah masjid yang menyinari penduduk langit, sama seperti bintang-bintang yang menyinari penduduk bumi. Alangkah beruntung mereka yang menjadikan masjid sebagai rumahnya. Alangkah beruntung seorang hamba yang mengambil wudhu di rumahnya dan kemudian mengunjungi-Ku di rumah-Ku. Ketauhilah bahwa pemilik rumah wajib memuliakan tamunya dan berlaku baik kepadanya. Berilah berita gembira kepada orang-orang yang mendatangi masjid di tengah malam dengan cahaya yang bersinar pada hari kiamat." (Wasail al-Shia, jidil 1)
Pada bagian ini, kami akan memperkenalkan masjid-masjid penting di dunia termasuk Masjidil Haram sebagai masjid yang paling utama. Bangunan yang terletak di kota Makkah ini merupakan masjid yang paling kuno dan paling terkenal dalam sejarah Islam. Ia dinamakan Masjidil Haram karena berada di tanah haram, di mana sejumlah perbuatan dilarang dilakukan di wilayah itu seperti berburu, mengangkat senjata, mematahkan tumbuhan dan seterusnya.
Masjidil Haram merupakan tujuan utama dalam pelaksanaan ibadah haji dan ia sangat dimuliakan oleh umat Islam. Dalam banyak riwayat disebutkan seluruh penjuru bumi dipenuhi air pada masa awal penciptaan, dan daratan pertama yang muncul di permukaan tanah adalah tempat bangunan Ka'bah dan dari tempat inilah Allah memperluas daratan dan dengan demikian, Makkah disebut sebagai Ummul Qura (ibu, tempat berasalnya negeri-negeri). Dalam al-Quran, surat al-Imran ayat 96, Allah Swt berfirman, "Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia."
Imam Jakfar Shadiq as berkata, "Tempat yang paling dicintai di bumi adalah Makkah. Di sisi Allah, tidak ada tanah yang lebih dicintai dari tanah Makkah, tidak ada batu yang lebih dicintai dari batu Makkah, tidak ada pohon yang lebih dicintai dari pohon-pohon di Makkah, tidak ada gunung yang lebih dicintai dari gunung-gunung di Makkah, dan tidak ada air yang lebih dicintai dari air di sana." Seorang 'arif besar Islam, Muhyiddin ibn Arabi mengenai Makkah berkata, "Tiada ada seorang nabi dan wali pun yang tidak terikat dengan rumah dan kota haram itu. Jadi dapat dipastikan bahwa rumah itu akan menjadi lokasi munculnya wali Allah dan juru selamat."
Masjid al-Haram, Mekah
Menurut sejumlah riwayat, Nabi Adam as merupakan nabi yang pertama kali mendirikan Ka'bah. Setelah bangunan suci itu rusak, Nabi Ibrahim as bersama anaknya, Ismail as kembali membagun Baitullah. Ketika Nabi Muhammad Saw berusia sekitar 35 tahun atau sebelum kenabiannya, kaum Quraisy membangun Ka'bah karena telah rusak akibat banjir di Makkah. Sejak masa itu sampai sekarang, Ka'bah dan Masjidil Haram sudah beberapa kali mengalami renovasi dan pemugaran.
Saat ini, Masjidil Haram sedang mengalami renovasi besar-besaran dan ditargetkan akan memiliki empat lantai untuk para jamaah haji dan umrah. Dengan renovasi baru ini, Masjidil Haram akan memiliki kapasitas hingga 114 ribu jamaah per jam untuk ditampung dalam masjid. Namun, pembangunan menara-menara megah dan mall-mall di sekitar Masjidil Haram telah merusak nuansa sakralitas bangunan suci ini.
Hamas Minta PBB Tolak Draf Resolusi Anti Palestina Usulan AS
Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas), meminta PBB untuk menolak draf resolusi anti-Hamas yang diajukan Amerika Serikat.
Hamas dalam sebuah surat kepada ketua Majelis Umum PBB dan negara-negara anggota, menyerukan upaya lembaga dunia ini untuk menolak usulan AS dan jika disahkan, ini akan menjadi resolusi pertama yang berisi kecaman terhadap Hamas dan perlawanan Palestina.
Hamas, seperti dilansir IRNA, Minggu (2/12/2018) meminta langkah serius PBB terhadap tindakan AS yang mewakili posisi Israel dan sebuah dukungan material dan moral kepada rezim Zionis untuk melanjutkan serangan terhadap rakyat Palestina.
Gerakan Hamas meminta anggota PBB untuk menggagalkan tindakan bermusuhan AS, dan mendukung legitimasi internasional dan hak sah bangsa-bangsa untuk membela diri serta melawan penjajah.
AS mengancam tidak akan memainkan peran apapun dalam perundingan kompromi antara Palestina dan Israel jika draf resolusi usulannya tidak diratifikasi.
Pemerintah AS telah menyeru anggota PBB untuk mendukung draf resolusi anti-Hamas dan kelompok-kelompok perlawanan Palestina.
Sementara itu, Kepala Biro Politik Hamas Ismail Haniyeh telah menghubungi para pemimpin dan menlu negara-negara sahabat agar menolak upaya AS di PBB.
Lebih dari 100 Ribu Santri Asing Belajar di MIU Iran
Deputi Riset Al Mustafa International University (MIU) Qum, Ali Reza Biniaz mengatakan saat ini lebih dari 100 ribu pelajar agama dari 136 negara dunia belajar di lembaga ini.
"50 ribu alumni MIU di Iran telah kembali ke negara mereka masing-masing," ujarnya seperti dikutip kantor berita ISNA, Senin (3/1/2018).
Biniaz menuturkan bahwa MIU telah mendirikan 91 lembaga ilmiah dan pusat riset di sejumlah negara dunia dan di antara kegiatan mereka adalah menerbitkan majalah, jurnal ilmiah dan buletin dalam berbagai bahasa.
"MIU telah mencetak 3.788 buku selama 10 tahun terakhir dan 1.729 dari jumlah itu sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa," tambahnya.
Al Mustafa International University adalah sebuah lembaga ilmiah yang fokus pada pendidikan agama dengan misi menyebarkan ilmu agama dan mendidik para pelajar non-Iran.
Sekilas Kondisi Muslim Sunni di Iran
Mayoritas penduduk Muslim di Republik Islam Iran bermazhab Syiah, namun kehidupan dan kerukunan umat Islam di negara ini selalu terjaga.
Mereka hidup rukun, saling mencintai dan mengasihi meskipun berbeda mazhab dalam Islam. Mereka bebas dalam menjalankan keyakinan dan kepercayaan masing-masing.
Mereka juga bekerja sama untuk membangun negara. Bank Ansar adalah cabang pertama dari contoh perbankan Islam (Syariah) yang berada di bawah pengawasan langsung oleh ulama Syiah dan Sunni di Republik Islam Iran.
Ratusan Ulama Sunni Iran Menziarahi Makam Imam Ridha as
Ribuan cendekiawan dan ulama Ahlussunnah wal Jamaah di Republik Islam Iran menziarahi makam Imam Ali Ridha as, Cicit Rasulullah Saw generasi kedepalan di kota Mashhad.
Ziarah yang dilakukan pada pada hari Senin, 5 November 2018 itu untuk menandai berakhirnya bulan Shafar. Mereka berjalan kaki dari Bundaran Syuhada Mashhad menuju komplek makam Imam Ridha as.
Manifestasi Al-Quran dalam Kebangkitan Imam Husein (1)
Peristiwa Karbala merupakan salah satu revolusi unik yang sulit dicarikan bandingannya dalam sejarah. Meskipun harus ditebus dengan kesyahidan beliau dan keluarga serta pengikutnya, tapi perjuangan Imam Husein berhasil membongkar kebohongan propaganda rezim lalim yang berlindung di balik nama Islam.
Salah satu parameter untuk menilai benar atau tidaknya perjuangan Imam Husein adalah al-Quran sebagai sumber ajaran Islam. Al-Quran dan Ahlul Bait merupakan dua manifestasi dari sebuah hakikat. Satu sisi menunjukkan rahmat, dan kecintaan Allah swt. Di sisi lain, menunjukkan hidayat Allah swt kepada umat manusia.
Imam Husein adalah salah satu manifestasi dari manusia unggul tersebut yang memiliki hubungan cinta dengan Sang Pencipta, dan yang kehidupannya terikat dengan al-Quran. Imam Husein mendapat bimbingan langsung Rasulullah Saw, Sayidah Fatimah dan Imam Ali bin Abi Thalib.
Tulisan al-Quran yang dinisbatkan pada Imam Husein as
Sejak usia dini beliau telah mengenal dan mempelajari al-Quran. Rasulullah Saw dalam hadis terkenal Tsaqalain, menyebut Ahlul Bait-nya dan al-Quran saling terikat dan bersabda: "Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian dua pusaka : kitab Allah (al-Quran) dan itrahku (Ahlul Bait) dan keduanya tidak akan berpisah sampai menemuiku di telaga surga."
Mengingat Ahlul Bait memiliki hubungan yang sedemikian kuat dengan al-Quran, maka tafsir al-Quran juga harus dicari dalam ucapan dan amal mereka, karena khazanah kemuliaan dan keutamaan al-Quran tersimpan dalam wujud mereka.
Di kalangan para Imam dan Aulia Allah, Imam Husein merupakan manifestasi dari harga diri, kebebasan, kepemimpinan, jihad dan kesyahidan. Nilai-nilai tersebut dijalankan Imam Husein dengan bersandar kepada Al Quran dan contoh terbaik orang yang menjalankan Al-Quran, yaitu Rasulullah Saw.
Meskipun masih kecil ketika itu, Imam Husein selama enam tahun hidup bersama Rasulullah Saw dan mendapatkan bimbingan langsung dari beliau.
Tidak hanya itu, ayahnya, Imam Ali adalah murid sekaligus sahabat paling setia Rasulullah Saw. dan Ibunya, Sayidah Fatimah adalah puteri Rasulullah saw. Kehadiran orang-orang besar yang tidak pernah terpisah dari Al-Quran ini di sekitar Imam Husein membimbing jalan hidup beliau.
Imam Husein memahami dengan baik al-Quran yang menjadi samudera keagungan ilmu dan pengetahuan, sekaligus petunjuk kehidupan umat manusia.
Mengenai masalah ini, Imam Husein berkata, "Kitab ilahi terdiri dari empat isi: teks, rumus dan simbol, anugerah dan hakikat. Teks kalimat untuk masyarakat umum. Rumus dan simbol untuk hamba Allah khusus. Anugerah kelembutan untuk aulia Allah. Sedangkat hakikat untuk para Nabi,".
Puncak dari kebangkitan Imam Husein adalah peristiwa Asyura yang terjadi pada 61 Hijriah. Peristiwa besar tersebut menjadi perhatian besar para ulama dan pemikir besar dunia. Berbagai karya telah dihasilkan. Tidak hanya buku, tapi juga karya seni dengan media yang beraneka ragam.
Dari sekian banyak analisis mengenai perjuangan Imam Husein di Karbala, salah satunya menyoroti masalah hubungan al-Quran dengan perjuangan Imam Husein.
Tulisan al-Quran yang dinisbatkan pada Imam Husein as
Perjalanan hidup Imam Husein berhubungan erat dengan al-Quran sehingga pada detik-detik akhir hidupnya di padang gersang Karbala, beliau tetap memberikan nasehat dengan ayat-ayat al-Quran. Bahkan, beliau menunjukkan kepada pasukan Yazid tentang akibat yang akan mereka alami dengan membacakan ayat-ayat ilahi.
Setelah kematian Muawiyah, Imam Husein ditekan oleh penguasa Madinah untuk berbaiat kepada Yazid. Di hadapan tekanan tersebut dan dalam menjawab tuntutan penguasa Madinah, Imam Husein menyebut dirinya dan Ahlul Bait sebagai khazanah risalah dan imamah, serta menyebut Yazid sebagai orang yang fasiq. Kemudian kepada penguasa Madinah, Imam Husein as berkata, "Dia adalah orang yang fasiq, lalu bagaimana mungkin aku berbaiat kepadanya?"
Menghadapi tekanan penguasa Madinah, Imam Husein kemudian berkata, "Aku dari keluarga suci sebagaimana Allah telah menurunkan ayat tentang mereka kepada Rasulnya: Sesungguhnya Allah berkehendak melenyapkan dosa dari kalian, wahai Ahlul Bait dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya." (al-Ahzab ayat 33)
Imam Husein tetap menghadapi tekanan dari penguasa Madinah dan akhirnya beliau bersama rombongan keluarganya keluar dari Madinah menuju Mekkah selain untuk menunaikan haji juga untuk menghindari bahaya.
Ketika itu Imam Husein membacakan ayat 21 surat al-Qasas: "Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu." Doa inilah yang dibaca Nabi Musa ketika terbebas dari cengkeraman Firaun.
Setibanya di Mekah, Imam Husein kembali mengucapkan doa yang juga diucapkan oleh Nabi Musa dan disebutkan dalam al-Quran: Dan tatkala ia menghadap kejurusan negeri Mad-yan ia berdoa (lagi): "Semoga Tuhanku membimbingku ke jalan yang benar".
Pembacaan ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa Imam Husein di masanya sama seperti Nabi Musa, sendirian dan menghadapi ancaman dari pemerintah zalim, juga menunjukkan puncak ketidakpedulian umat Islam saat itu dalam mendukung Ahlul Bait Nabi.
Imam Husein yang tidak dapat menerima kezaliman dan kesewenang-wenangan Yazid serta pendistorsian hukum dan sunnah Islam oleh manusia fasiq itu, memutuskan untuk menyadarkan para pemimpin kabilah Arab. Beliau di Mekkah menulis dua surat untuk warga Basrah dan Kufah.
Tulisan al-Quran yang dinisbatkan pada Imam Husein as
Kepada warga Basrah beliau menulis, "Sesungguhnya Rasulllah Saw telah diutus untuk kalian dengan al-Quran dan aku menyeru kalian kepada al-Quran dan sunnah Rasul Saw karena mereka telah menyimpangkan sunnah dan menghidupkan kembali bid'ah! Jika kalian mengikutiku, maka aku akan membimbing kalian ke jalan kebahagiaan dan kebebasan."
Kepada warga Kufah, Imam Husein menulis, "... bukan pemimpin kecuali jika seseorang yang mengamalkan kitab Allah Swt (al-Quran), menegakkan keadilan, menjadikan kebenaran sebagai pilar hukum masyarakat dan menjaga dirinya tetap berada di jalan lurus Allah Swt."
Imam Husein datang ke Karbala menentang Yazid yang lalim, tidak lain dari perjuangannya untuk menegakkan nilai-nilai al-Quran.
Imam Husein, Simbol Keberanian dan Pengorbanan
Pada 3 Sya'ban tahun keempat Hijriah, rumah Ali as dan Fatimah as diterangi cahaya dan hati Rasulullah Saw diliputi kegembiraan dan kesenangan. Pada hari itu, Husein bin Ali as dilahirkan ke dunia untuk melanjutkan jalan yang sudah dirintis oleh kakeknya.
Sebuah hadis Qudsi berkata, "Ketika Husein lahir, Allah berfirman kepada Rasulullah, 'Selamat atas kelahiran di mana shalawat dan rahmat-Ku menyertainya, selamat atas engkau dan seluruh kaum Muslim karena hari besar ini, hari ketika Husein dilahirkan dan ia membawa bersamanya kebebasan, kecintaan, dan pengorbanan.'"
Hari ini, para pecinta Ahlul Bait as di seluruh dunia bersuka cita atas kelahiran Husein as, karena mereka memperoleh pelajaran berharga dari kehidupan, pemikiran, dan kebangkitannya; sebuah kehidupan yang sarat dengan makrifat dan kesempurnaan.
Nilai hakiki setiap insan bergantung pada ilmu pengetahuan, kesempurnaan, keutamaan, dan sifat-sifat moral. Manusia memiliki perbedaan satu sama lain dari segi fisik, tapi perbedaan ini tidak membuat mereka lebih utama dari yang lain. Hal yang membuat mereka istimewa adalah ilmu, keutamaan, dan akhlak mulia, dan Husein as memiliki semua sifat ini secara utuh.
Imam Husein as
Imam Husein adalah salah satu insan teladan dalam sejarah umat manusia. Pengorbanan luar biasa, ketahanan, tawakkal, tekad yang kuat, kesabaran, dan keberaniannya di Karbala, hanya memperlihatkan sebagian dari kepribadian mulia Husein dan sifat-sifat ini membuat semua hati bergerak ke arahnya.
Faktanya, sifat berani dan tangguh tidak akan muncul pada setiap individu, kecuali ia juga menyandang sifat-sifat moral lainnya secara utuh. Sosok seperti ini harus memiliki kesempurnaan iman, makrifat, keyakinan, dan tawakkal sehingga dapat menjadi salah satu dari menifestasi kebesaran Tuhan.
Banyak tokoh besar telah lahir dari rahim sejarah dan masing-masing dari ketokohan mereka dikenal karena keberanian, kepahlawanan, kezuhudan, pemaaf, dan siap berkorban. Akan tetapi, kebesaran dan keutamaan kemanusiaan yang dimiliki oleh Imam Husein as benar-benar sulit ditemukan padanannya dalam sejarah.
Setelah Imam Husein as gugur syahid, Bani Umayyah melaknat Husein dan ayahnya, Imam Ali bin Abi Thalib di mimbar-mimbar selama 60 tahun atas tuduhan melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Meski demikian, tidak satu orang pun dari penguasa mampu merusak nama harum mereka sebagai teladan ketakwaan dan kemuliaan.
Mengenai kepribadian luhur Imam Husein as, seorang ulama Sunni Lebanon, Syeikh Abdullah al-'Alayili berkata, "Apa yang ada dalam riwayat dan sejarah Husein di tangan kami, kami menemukan bahwa Husein memiliki kesempurnaan takwa yang diteladani dari kakeknya dan ia adalah teladan sempurna dari sosok Rasulullah dari segala sisi. Dalam jihad, ia mengayunkan pedang dengan penuh pengorbanan dan tidak ada pekerjaan yang mencegahnya untuk melakukan tugas lain."
Bagi para reformis dan pemuka agama, yakin akan tujuan merupakan faktor penentu untuk mencapai kemajuan. Pemimpin yang yakin akan tujuannya akan melangkah dengan optimis untuk meraih tujuan, ia tidak akan goyah dan keyakinan ini membuatnya kuat. Seperti yang disinggung dalam surat al-Anfal ayat 2, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhan-lah mereka bertawakkal."
Rasulullah Saw – dengan keimanan dan keyakinan yang kuat – baik ketika menang atau pun ketika kalah secara lahiriyah, dengan penuh optimis dan yakin memajukan agenda-agendanya untuk meraih tujuan. Imam Husein as juga sama seperti kakeknya, dalam hal keimanan kepada tujuan dari kebangkitannya. Imam menilai satu-satunya cara untuk menyelamatkan Islam dan masyarakat Muslim adalah melawan skenario jahat Bani Umayyah dan tidak berbaiat dengan Yazid bin Mu'awiyah.
Imam Husein as
Oleh karena itu, Imam Husein as secara jujur dan tegas mengumumkan penentangannya terhadap kepemimpinan Yazid. Beliau tidak hanya mempelajari pelajaran iman dan keteguhan dalam agama dari kakek dan ayahnya, tapi dengan memikul beban ujian duniawi, telah mengantarkan dirinya ke puncak ifran dan makrifat Ilahi. Ia laksana gunung yang menjulang tinggi, kokoh dan tidak pernah goyah.
Imam Husein telah mencapai sebuah tahapan dari irfan dan makrifatullah sehingga peristiwa segetir apapun akan tampak indah di matanya. Menariknya, Sayidah Zainab as (saudari Imam Husein) juga menyaksikan keindahan yang sama. Ketika Gubernur Kufah, Ubaidillah bin Ziyad berkata kepadanya, "Lihatlah bagaimana perlakuan Tuhan terhadap saudaramu." Zainab menjawab, "Aku tidak melihat sesuatu kecuali keindahan."
Di mata Ahlul Bait, peristiwa Karbala meskipun perbuatan keji tentara Bani Umayyah, tetap terlihat indah karena kebesaran dan puncak kesabaran yang diperlihatkan oleh Imam Husein dalam menghadapi ujian.
Keberanian adalah salah satu sifat mulia kemanusiaan. Sebuah bangsa yang orang-orangnya tidak memiliki keberanian mental dan moral, maka dengan mudah akan ditaklukkan oleh musuh. Bahkan, kelangsungan hidup suatu negara, martabat dan wibawanya bergantung pada tingkat keberanian yang dimiliki oleh rakyatnya.
Seorang ulama besar Sunni, Ibn Abi al-Hadid ketika berbicara tentang keberanian Imam Husein as, menuturkan bahwa dalam hal keberanian, siapa sosok lain yang sama seperti Husein bin Ali as di Padang Karbala. Kami tidak menemukan seseorang di mana masyarakat telah menyerbunya dan ia telah terpisah dengan saudara, keluarga, dan sahabatnya, tetapi dengan keberanian bak singa, ia mematahkan pasukan berkuda. Apa yang anda pikirkan tentang sosok yang tidak tunduk pada kehinaan dan tidak berbaiat kepada mereka hingga gugur syahid.
Percaya diri adalah salah satu sifat utama manusia sukses. Para pemuka agama, semuanya telah mencapai puncak dari karakteristik ini, dan Imam Husein as sebagai pencetus Revolusi Asyura, memiliki karakteristik ini dalam bentuk yang sempurna. Kepercayaan dirinya sedemikian rupa sehingga kondisi apapun tidak merusak keputusan dan tekadnya, tetapi justru membuat Imam lebih tegas dalam mencapai tujuannya.
Di hari Asyura, Imam Husein as – saat kematian sudah di depan mata – tetap tidak gentar dan ia berdiri tegak di hadapan pasukan Umar ibn Sa'ad dan menyampaikan pesan kepada mereka. Beliau berkata, "Tidak, aku bersumpah demi Tuhan, aku tidak akan tunduk pada kehinaan dan tidak akan lari seperti para budak." Imam begitu teguh dalam membela tujuan dan keyakinannya, dan bahkan kondisi apapun tidak menghalangi dia untuk mencapai tujuannya.
Kedermawanan dan kemurahan hati Imam Husein as telah menjadi sebuah pepatah. Banyak ulama mengungkapkan fakta ini bahwa tidak ada yang bisa menandingi Imam Hasan dan Husein dalam kedermawanan dan kemurahan hati.
Makam suci Imam Husein as
Dikisahkan bahwa suatu hari, Imam Husein as sedang shalat di rumahnya, seorang Arab Badui yang terjerat kemiskinan, tiba di kota Madinah dan mendatangi rumah beliau. Ia mengetuk pintu rumah sambil berkata, "Hari ini seseorang yang berharap kepadamu dan mengetuk pintu rumahmu, tidak akan berputus asa. Engkau adalah orang dermawan dan tambang kedermawanan. Wahai orang yang ayahnya adalah penghancur kezaliman!"
Imam Husein as mempersingkat shalatnya agar dapat memenuhi apa yang diinginkan orang itu. Ketika selesai shalat dan keluar melihat orang tersebut, Imam langsung memahami orang itu tidak punya apa-apa dan sangat miskin. Imam mendekatinya dan berkata, “Tetaplah di sini hingga aku kembali.”
Imam Husein as kemudian bertanya kepada pelayannya, “Berapa uang yang tersisa di tanganmu untuk pengeluaran sehari-hari kita?” Pelayan beliau menjawab, "Tinggal 200 dirham dan engkau telah berkata agar uang ini dibagikan kepada para kerabat.” Imam Husein berkata, “Bawa uang itu kepadaku! Karena ada seseorang di depan pintu yang lebih membutuhkannya.”
Pelayan kemudian pergi dan kembali ke hadapan Imam sambil membawa uang tersebut. Setelah menerimanya, Imam Husein as pergi ke depan pintu dan memberikan uang itu kepada orang miskin yang berdiri di sana. Imam berkata, “Ambillah uang ini dan terimalah permintaan maafku. Aku tidak punya uang lebih dari ini untuk diberikan kepadamu.”
Orang miskin itu menerima uang tersebut dan pergi dari rumah Imam. Ia tampak begitu gembira.
Ampunan dan Kebesaran
“... Aku telah meremehkan perintah maulaku; bila beliau mempertanyakanku, aku tidak berhak untuk protes. Meski Hasan bin Ali adalah seorang pemaaf, namun aku harus menyiapkan diri untuk dihukum. Karena dengan demikian, bertahan menghadapi hukuman maulaku, akan terasa lebih ringan...namun...namun..."
Demikianlah apa yang terlintas dalam pikiran budak Imam Hasan dan seketika itu juga Imam Hasan memanggilnya. Sang budak dengan langkah pelan-pelan menuju pada Imam Hasan as. Dia berpikir bagaimana caranya meminta maaf kepada maulanya. Begitu berhadap-hadapan dengan beliau, sang budak terpikir:
“Maulaku adalah orang yang akrab dengan al-Quran. Maka aku akan meminta bantuan al-Quran untuk menyelamatkan diriku.”
Saat itu juga terlintas dalam pikirannya untuk mengatakan, “Wal Kazdiminal Ghaizha.”
Imam Hasan tersenyum dan berkata, “Aku telah menekan kemarahanku.”
Sang budak tahu bahwa jalan keluarnya terlah terjawab. Dengan lebih tenang dia berkata, “Wal ‘Afina ‘Aninnas.”
Imam Hasan berkata, “Aku telah mengabaikan kesalahanmu.”
Sang budak merasa dirinya berhasil dan bergumam, “Aku akan melepaskan peluruku yang terakhir, seraya berkata, “Wallahu Yuhibbul Muhsinin.” (QS. Ali Imran: 134)
Kali ini Imam Hasan berkata, “Aku membebaskanmu di jalan Allah, agar aku termasuk orang-orang yang berbuat baik.”
Tidak Membalas Keburukan dengan Keburukan
Salah satu dari budak Imam Hasan as sangat buruk akhlaknya. Namun Imam Hasan senantiasa memperlakukannya dengan baik dalam upaya dia bisa menjadi baik dan menyesali perilaku buruknya.
Imam Hasan memiliki seekor kambing di rumahnya. Dengan berjalannya waktu beliau menyayangi kambing itu. Suatu hari beliau tahu bahwa kaki kambing itu patah. Hatinya trenyuh melihat kambing itu dan bertanya kepada budaknya, “Mengapa kaki kambing ini jadi begini?”
Sang budak menjawab, “Aku yang mematahkannya.”
Dengan takjub Imam Hasan as berkata, “Mengapa engkau menzaliminya?”
Dengan nada congkak budak itu menjawab, “Karena aku ingin menyakitimu.”
Imam Hasan as sejenak berpikir dan berkata, “Ringkasi barang-barangmu dan pergilah dari rumah ini, dari saat ini engkau bebas.”
Budak itu terkejut dan berkata, “Mengapa Anda bebaskan aku?!”
Imam Hasan as berkata, “Agar aku menjawab perbuatan burukmu dengan perbuatan baik.”
Budak itu menundukkan kepalanya dan terdiam, sepertinya dia benar-benar malu.
Semua Kasih Sayang Ini?!
Seorang lelaki mendengar banyak cerita tentang kasih sayang dan kedermawanan Imam Hasan as. Namun dia ragu untuk menyelesaikan masalahnya, apakah harus pergi menemui Imam Hasan ataukah tidak. Pada akhirnya dia mengambil keputusan untuk mendatangi beliau.
Imam saat itu sedang duduk di masjid dan lelaki ini masuk mendekatinya. Imam tahu bahwa lelaki ini punya satu keperluan. Oleh karena itu beliau tersenyum padanya dengan penuh kasih sayang seraya berkata, “Hai lelaki! aku berpikir engkau ada masalah?” sebelum lelaki itu menjawab, Imam Hasan berkata, “Bersabarlah sedikit, aku akan menyelesaikan masalahmu.”
Imam Hasan memerintahkan kepada salah satu sahabatnya, “Berikanlah uang supaya dia bisa menyelesaikan masalahnya!”
Sabahat beliau memberikan uang kepada lelaki yang membutuhkan itu dan menyenangkan hatinya. Lelaki yang membutuhkan itu tidak percaya bahwa masalahnya bisa terselesaikan secepat ini. Dia menghadap kepada Imam Hasan dan berkata, “Wahai Putra Rasulullah! Aku merasa takjub bahkan Anda tidak menanyakan apa masalahku. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana aku harus menyampaikan masalahku kepada Anda!”
Imam Hasan as berkata, “Ksatria yakni membantu seseorang yang membutuhkan sebelum orang tersebut menyampaikan masalahnya. Perbuatan seperti ini mencegah jatuhnya harga diri seorang mukmin dan tidak mengalirkan keringat malu di dahinya.”
Lelaki itu tidak tahu apa yang harus dikatakannya untuk menjawab kasih sayang Imam Hasan. Butir-butir keringat memenuhi dahinya; namun keringat ini bukan keringat malu.
Memenuhi Hajat Seorang Mukmin
Begitu seorang lelaki menyampaikan masalahnya kepada Imam Hasan as, beliau langsung memakai sepatunya dan pergi menyelesaikan masalahnya. Di pertengahan jalan, mereka menyaksikan Imam Husein as sedang mengerjakan salat. Imam Hasan berkata kepada lelaki tersebut, “Mengapa engkau tidak mendatangi saudaraku untuk menyelesaikan masalahmu?”
Lelaki itu menjawab, “Beliau sedang sibuk salat dan ibadah, dan saya tidak ingin mengganggu beliau.”
Imam Hasan as berkata, “Sepertinya masalahmu harus selesai melalui bantuanku. Bagaimanapun juga, bila Husein mendapatkan taufik ini, memenuhi hajatmu baginya lebih besar dari satu bulan menjalani i’tikaf.” (