
کمالوندی
Manifestasi Al-Quran dalam Kebangkitan Imam Husein (5)
Banyak dimensi dari kepingan perjalanan Imam Husein dari Madinah ke Karbala yang bisa dipetik sebagai pelajaran berharga. Perilaku Imam Husein mencerminkan nilai-nilai luhur Al-Quran. Beliau adalah teladan keutamaan, kemuliaan dan kepahlawanan.
Ketika dihina orang lain, beliau tidak membalasnya, tapi justru membantu memenuhi kebutuhan mereka yang dicatat dalam sejarah Islam. Suatu hari seorang laki-laki asal Syam yang menyimpan dendam dan permusuhan terhadap Imam Husein karena terpengaruhi propaganda keji Muawiyah terhadap Ahlul Bait Nabi, tiba di Madinah.
Ketika bertemu dengan Imam Husein, dia langsung menghina dan melontarkan kata-kata tidak sopan dan hinaan. Imam Husein menatapnya dengan penuh kasih sayang dan berkata, "Jika kau meminta bantuan dari kami, kami akan membantumu. Jika kau menginginkan sesuatu, kami akan memberikannya padamu, dan jika kau menginginkan bimbingan dan hidayah, kami akan membimbingmu."
Diperlakukan dengan sangat baik oleh Imam Husein, lelaki itu merasa malu dan mengubah sikapnya, serta meminta maaf kepada beliau. Menyaksikan penyesalan orang itu, Imam Husein berkata, "Tidak ada celaan dan hardikan untukmu, semoga Allah Swt mengampunimu, karena Dia-lah Yang Maha Pengasih." Perilaku mulia Imam Husein ini menunjukkan ketinggian akhlaknya yang tidak bisa dilepaskan dari al-Quran sebagai pedoman Imam Husein.
Di manapun dan dalam keadaan apapun, Imam Husein berupaya menjalankan nilai-nilai al-Quran dan menyampaikan kepada orang lain, bahkan nasihat tersebut juga disampaikan kepada musuhnya sekalipun.
Manifestasi terindah dari akhlak mulia Imam Husein terlihat dalam perilaku beliau memperlakukan musuh dalam perjalanan menuju padang Karbala. Ketika itu, rombongan Imam Husein as dalam perjalanan menuju Kufah berpapasan dengan pasukan yang dipimpin Hur bin Yazid Ar-Riyahi.
Pasukan Hur diperintahkan untuk mencegat Imam Husein as beserta rombongannya dan menahan mereka di sebuah wilayah yang kering tanpa air. Namun pasukan Hur sendiri juga kehabisan bekal air. Imam Husein memerintahkan para sahabat dan keluarga beliau untuk berbagi air dengan pasukan Hur.
Seorang tentara dari pasukan Hur yang tiba paling akhir, sedemikian haus dan lemas tubuhnya hingga tidak mampu turun dari kuda untuk meminum air. Imam Husein menyaksikan hal itu dan beliau sendiri yang memberikan air ke mulut tentara itu.
Tetapi ironisnya kemudian pada hari Asyura, mereka bertindak sebaliknya tidak mengizinkan bayi Imam Husein yang baru berusia enam bulan untuk minum air. Tidak hanya itu, mereka juga melesatkan anak panah ke leher bayi yang sedang berada di tangan ayahnya di hari Asyura.
Salah satu masalah penting yang ditegaskan oleh beliau adalah takwa. Al-Quran surat at-Talaq ayat 2 menegaskan, "…barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar,".
Ketika dihadang pasukan Hur, Imam Husain mengajak mereka untuk menunaikan shalat berjamaah. Selesai mengerjakan salat Ashar, Imam Husein berkhutbah di depan penduduk Kufah.
Setelah mengucapkan pujian kepada Allah Swt dan shalawat atas Rasul-Nya, beliau bersabda, "Wahai manusia! Jika kalian mengedepankan takwa kepada Allah Swt dan jika mengerti siapakah yang layak memegang hak (untuk memimpin umat),"
Imam Husein melanjutkan nasihatnya, "…dan (ketahuilah) bahwa kami, Ahlulbait Nabi Muhammad Saw, adalah orang lebih layak memimpin kalian daripada mereka yang mengaku layak tetapi sebenarnya tidak memiliki kelayakan dan mereka yang telah menggerakkan kezaliman dan rasa permusuhan (terhadap kami),"
Imam Husein menambahkan, "Jika kalian tidak mengerti hal ini dan hanya memahami kebencian kepada kami, tidak mengetahui hak kami, dan kata-kata kalian sekarang sudah tidak seperti yang kalian katakan dalam surat-surat kalian yang telah datang menyerbuku bersama para utusan kalian, maka aku akan pergi meninggalkan kalian."
Kemudian Imam Husein membacakan ayat al-Quran surat Fath ayat 10 yang berbunyi, "..orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar."
Ayat ini diturunkan setelah terjadi perdamaian Hudaibiyah yang dilakukan antara Rasulullah saw dan kaum Musyrik Mekah pada bulan Dzulkaidah tahun keenam Hijriyah. Perjanjian ini ditandatangani di daerah Hudaibiyah pada tahun ke-6 H.
Peristiwa tersebut direkam dalam Surah Al-Fath. Ketika itu Rasulullah saw dan kaum muslimin bermaksud pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji, tapi pihak musyrik Quraisy menahan mereka. Oleh karena itu, Rasulullah Saw mengirim utusan kepada Quraisy untuk berunding.
Sebelum terjadi perjanjian ini, Rasulullah Saw mengambil janji setia dari orang-orang Mukmin yang disebut Baiat Ridwan yang dijelaskan dalam surat Al-Fath ayat 18 yang berbunyi, " Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)."
Orang-orang Kufah menulis surat kepada Imam Husein supaya datang, tapi mereka mengingkari janjinya sendiri. Alih-alih menolong Imam Husein, mereka justru memeranginya. Pelanggaran dan pengkhianatan yang mereka lakukan terhadap Imam Husein pada akhirnya merugikan mereka sendiri.
Selain melakukan dosa besar karena telah berkhianat, mereka membantu musuh. Oleh karena itu mereka tidak akan mendapatkan karunia ilahi sebagaimana diberikan kepada para pendukung perjuangan Imam Husein.
Manifestasi Al-Quran dalam Kebangkitan Imam Husein (4)
Imam Husein dan rombongan meninggalkan kota Madinah pada tanggal 28 Rajab 60 Hijriyah lalu bergerak menuju Mekah, dan tiba di Karbala pada 2 Muharam 61 Hijriyah. Dalam perjalanan, Imam Husein senantiasa menyampaikan pencerahan kepada masyarakat di setiap daerah yang dilaluinya.
Sebagai Ahlul Bait, Imam Husein mewarisi keutamaan akhlak mulia Rasulullah Saw. Sama seperti kakeknya, beliau tidak akan berdiam diri menghadapi penyimpangan yang terjadi di tengah masyarakat.
Imam Husein tanpa kenal lelah dan berani terus-menerus memberikan penyadaran kepada masyarakat, terutama kepada para pemimpin agama dan tokoh masyarakat di berbagai tempat yang ditemuinya dari Mekah menuju Karbala.
Di salah satu pesannya yang disampaikan kepada masyarakat, Imam Husein berkata, "Sadarlah! Ketika suatu kaum telah mentaati setan dan meninggalkan ketaatan terhadap Allah swt, melakukan kerusakan secara terang-terangan dan menghentikan hukum Allah, menjadikan Baitul Mal sebagai kas pribadi dan menghalalkan yang telah diharamkan oleh Allah, maka aku datang untuk mengubah keadaan ini !"
Tindakan yang dilakukan Imam Husein senantiasa berpijak dari Al-Quran, termasuk seruan dari surat Al-Fusilat ayat 30 yang disitir ketika menyampaikan nasehatnya, "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu".
Imam Husein di bagian lain nasihatnya yang disampaikan secara bijak kepada masyarakat, mengungkapkan masalah kehormatan dan maknanya yang tinggi dalam diri seorang mukmin.
Beliau berkata, "Sadarlah, mereka yang memberiku dua pilihan, pedang dan kehinaan! Kami memilih syahid, bukan kehinaan. Sebab Allah swt dan Rasul-Nya menghendaki demikian."
Di hari Asyura, Imam Husein tetap memberikan nasihat dan bimbingan kepada musuh sekalipun. Setiap baris nasihatnya mengandung makna yang sangat dalam.
Jika dikaji lebih dalam, perkataan ini disampaikan ketika Imam Husein sudah tahu usianya tidak akan lama, dan beliau akan mencapai kesyahidan.Tapi pernyataan ini disampaikan sebagai pelajaran penting bagi umat Islam tentang betapa berharganya kehormatan manusia, meski harus ditebus dengan nyawa sekalipun. Seruan Imam Husein ini sepanjang sejarah menjadi inspirasi tidak hanya untuk umat Islam, tapi juga bagi pejuang penegak keadilan di seluruh penjuru dunia.
Dalam perjalanan menuju kota Kufah dari kota Mekah, Imam Husein bertemu dengan penyair terkenal bernama Farazdaq. Imam Husein kepada Farazdaq menggambarkan kondisi yang terjadi saat itu.
Imam Husein berkata, “Wahai Farazdaq, kelompok ini telah menyingkirkan ketaatan kepada Allah Swt dan mengikuti setan. Mereka melakukan kerusakan di bumi Allah, meninggalkan ajaran-ajaran ilahi, menenggak minuman keras, merampas hak kaum tertindas dan miskin. Untuk itu, aku sudah sepantasnya bangkit membela agama dan kemulian, serta melakukan jihad di jalan Allah Swt.”
Gerakan Asyura yang dikibarkan Imam Husein demi menjaga dan menyebarkan ajaran agama Allah dari ulah musuh yang hendak memadamkan cahaya ilahi. Sebagaimana disinggung dalam al-Quran surat as-Saff ayat 8, Allah swt berfirman, "Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya".
Di ayat ini, Allah swt berfirman bahwa cahaya-Nya itu tidak akan padam, tapi justru dengan berlalunya waktu semakin benderang. Oleh karena itulah, Nabi Muhammad Saw bersabda, "Sesungguhnya kesyahidan Imam Husein menjadi api yang berkobar di hati orang-orang mukmin yang tidak akan pernah padam".
Dalam perang Badar yang terjadi di bulan Ramadhan tahun kedua Hijriyah, Allah swt mengirimkan sebanyak 3.000 malaikat untuk membantu Rasulullah Saw. Demikian juga, ketika Imam Husein meninggalkan Madinah menuju Karbala didampingi oleh para malaikat untuk membantu beliau.
Tapi Imam Husein mengucapkan terima kasih kepada mereka dan mengutip ayat al-Quran surat Nisa ayat 78 yang berbunyi," Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh…"
Ketika keimanan terhunjam kuat di dalam dada, maka kekhawatiran dan ketakutan akan sirna. Kekuatan iman menjadi benteng paling kuat menghadapi berbagai rintangan yang menghadang.
Contoh terbaik dari kekuatan Iman adalah keyakinan Imam Husein yang tidak khawatir dan takut sedikitpun menghadapi ancaman dan rintangan yang menghalanginya dalam perjalanan menuju Karbala hingga beliau syahid bersama anggota keluarga dan pengikutnya.
Imam Husein menyandarkan seluruh hidupnya kepada Allah swt. Oleh karena itu, tidak ada sedikitpun kekhawatiran menyongsong datangnya kematian. Keyakinan kuat imam Husein mengenai kematian ini berpijak dari ayat al-Quran surat al-Nisa ayat 142 yang berbunyi, "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan,".
Sebaliknya Imam Husein memberikan nasihat kepada orang-orang yang ragu untuk memilih jalan kebenaran dan tidak membiarkan diri mereka diliputi keraguan.
Surat An-Nisa ayat 143 menjelaskan, "Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir), maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya,".
Imam Husein telah menggambarkan hakekat kebenaran yang dibawanya dengan indah. Hakekat yang digambarkan Imam Husein adalah melawan kezaliman dan menyuarakan keadilan meski nyawa harus dipertaruhkan. Karbala menjadi bukti perlawanan puncak Ahlul Bait Rasulullah Saw terhadap kezaliman, sekaligus menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan.
Manifestasi Al-Quran dalam Kebangkitan Imam Husein (3)
Imam Husein sebagai pemimpin umat Islam dan hujah Allah swt di muka bumi menjadikan kehidupannya sebagai pelayan masyarakat, terutama orang-orang yang membutuhkan dan ditindas. Selain itu, beliau juga berjuang untuk menjalankan nilai-nilai al-Quran.
Salah satu prinsip gerakan Qurani Imam Husein yang diperjuangkan dari awal hingga kesyahidannya adalah amar makruf dan Nahi Munkar. Pada saat meninggalkan kota Mekah dan Madinah itu, Imam Husein menulis sebuah surat wasiat kepada saudaranya, Muhammad al-Hanafiyah.
Dalam surat itu, Imam Husein menulis, "Ini adalah surat wasiat Husein bin Ali kepada saudaranya Muhammad al-Hanafiyah. Husein bersumpah tidak ada yang disembah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba- dan utusan-Nya yang diangkat dengan kebenaran. Sesungguhnya surga dan neraka adalah benar adanya dan begitu juga dengan kiamat. Allah akan membangkitkan semua manusia dari alam kubur."
Setelah mengumumkan isi pemikiran dan keyakinannya, Imam Husein kemudian menjelaskan tentang tujuan perjalanannya itu. Beliau menulis, "Sesungguhnya aku tidak bangkit karena egois dan mengikuti hawa nafsu. Tidak juga untuk melakukan kerusakan. Aku melakukan ini demi memperbaiki urusan umat kakekku,".
Imam Husein melanjutkan penjelasannya, "Aku ingin menjalankan Amar Makruf dan Nahi Munkar. Aku bergerak sesuai dengan teladan dari perilaku kakekku, Rasulullah Saw, dan ayahku, Ali bin Abi Thalib. Barang siapa yang menerima kebenaran yang aku bawa, berarti ia lebih layak mendapat kebenaran. Sementara siapa saja yang menolakku, maka aku akan bersabar, sehingga Allah memutuskan antara aku dan umat ini. Karena Allah adalah hakim yang terbaik."
Imam Husein telah menjelaskan motivasi dan tujuan utama kebangkitannya yaitu, melawan kerusakan yang tersebar secara luas di tengah umat Islam dan menentang perilaku anti-kemanusiaan yang dipertontonkan oleh pemerintah Yazid.
Gerakan yang dilakukan Imam Husein berpijak pada al-Quran, salah satunya adalah surat Ali-Imran ayat 104, yang menjelaskan, "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung."
Dalam berbagai keadaan Imam Husein senantiasa mengingatkan masyarakat dan menyadarkan mereka mengenai pesan-pesan Al-Quran termasuk prinsip Amar Makruf dan Nahi Munkar.
Ketika berada di tengah perjalanan ke Kufah, Imam Husein mengutip sebuah hadis dari Rasulullah Saw. Beliau mengatakan, "Wahai manusia! Sesungguhnya Rasulullah Saw telah bersabda? Barangsiapa yang menyaksikan seorang penguasa yang jahat, menghalalkan yang diharamkan Allah, melanggar perjanjian Allah, melawan Sunnah Rasulullah Saw dan bersikap zalim kepada hamba-hamba Allah, tapi ia tidak mengubahnya baik dengan perbuatan atau ucapan, maka Allah berhak memasukkannya ke tempat yang seharusnya."
Perjuangan Imam Husein untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan terwujudnya nilai-nilai agama Allah, dan menciptakan pemerintahan Islam serta menghancurkan kezaliman. Tujuan gerakan beliau adalah meneruskan jalan Nabi Muhammad Saw dan para Nabi yang lain.
Sebagai Ahlul Bait Rasulullah Saw, nilai-nilai perjuangan Imam Husein senantiasa berpijak pada al-Quran. Ketika Imam Husein dan rombongan meninggalkan kota Madinah pada tanggal 28 Rajab 60 Hijriyah atau bertepatan dengan tanggal 7 Mei 680 Masehi, beliau membacakan ayat 21 surat al-Qasas.
Ayat tersebut mengisahkan tentang perjalanan Musa bin Imran ke Mesir dan persiapannya untuk berperang melawan Firaun. Allah Swt berfirman, "Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdoa, "Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu." Ayat ini dijadikan dasar oleh Imam Husein untuk melawan Yazid bin Muawiyah.
Imam Husein tiba di Mekah pada tanggal 3 Sya'ban dan tinggal di rumah Abbas bin Abdul Muthalib. Ketika sampai di kota suci itu, beliau membacakan ayat 22 surat al-Qasas yang berbunyi, "Dan tatkala ia menghadap ke arah negeri Madyan, ia berdoa (lagi), ?Mudah-mudahan Tuhanku memimpinku ke jalan yang benar."
Tujuan Imam Husein membacakan kedua ayat tersebut adalah untuk menunjukkan keterasingannya di tengah umat Islam, sebab mayoritas penduduk Madinah tidak mengindahkan peringatan berulangkali yang beliau sampaikan kepada mereka tentang kepemimpinan lalim Yazid, dan mereka membiarkan beliau sendiri terjebak dalam berbagai peristiwa.
Imam Husein meninggalkan kota kelahirannya dan berlindung di sebuah tempat lain demi mewujudkan cita-cita yang mulia. Beliau datang ke Mekah untuk sebuah tujuan besar dan tidak akan terealisasi tanpa petunjuk dan pertolongan dari Allah swt.
Menurut Tarikh al-Tabari, Imam Husein setelah tiba di Mekah, menulis sebuah surat kepada para pemimpin Basrah ,dan mengatakan, "Saya mengajak kalian untuk mengikuti kitab Ilahi dan sunnah Rasulullah Saw. Sebab, bid'ah dan penyimpangan agama kembali hidup. Jika kalian mendengar pesan ini dan menerimanya, saya akan membimbing kalian ke jalan kebahagiaan." Dalam surat itu, mereka juga diharapkan tidak lalai terhadap kondisi yang terjadi di tengah masyarakat.
Kebangkitan melawan kelaliman merupakan salah satu tugas para Nabi dan aulia Allah swt yang ditegaskan dalam al-Quran, sebagaimana dilakukan oleh Nabi Musa yang bangkit menghadapi Firaun. Al-Quran surat Taha dengan baik merekam peristiwa yang penuh pelajaran ini. Surat Taha ayat 24 menjelaskan, "Pergilah kepada Fir'aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas".
Berdasarkan ayat ini, salah satu alasan mengapa Imam Husein bangkit melawan Yazid karena penguasa bani Umayah ini sudah melampaui batas. Selain tidak menjalankan ajaran Islam, bahkan menunjukkan penentangan terhadap hukum Islam seperti minuman keras, Yazid juga berlaku zalim kepada rakyatnya.
Peristiwa Asyura dengan segenap penderitaan dan dukanya memberikan pelajaran penting mengenai perjuangan Imam Husein bersama keluarga dan pengikut setianya tentang konsekuensi sebagai Muslim sejati yang menerima al-Quran sebagai sumber ajaran agamanya, juga Rasulullah dan Ahlul Baitnya sebagai pedoman menjalankan nilai-nilai Qurani.
Manifestasi Al-Quran dalam Kebangkitan Imam Husein (2)
Kebangkitan Imam Husein menunjukkan nilai pengorbanan, keberanian, kecintaan, serta seruan keadilan dan kebenaran. Sejarah mencatat, bagaimana pengorbanan Imam Husein memperjuangkan kebenaran, meskipun musuh berupaya untuk membungkamnya.
Semua nilai yang diperjuangkan Imam Husein tersebut berakar dari al-Quran. Oleh karena itu, dalam ziarah Asyura kita membaca, "Asyhadu anaka tali likitabillah,". Aku bersaksi denganmu Husein, yang melantunkan kitab Allah.
Al-Quran sangat menekankan masalah ilmu dan akal, serta sebaliknya menentang kebodohan dan kelalaian manusia. Mengenai masalah ini, Imam Husein mengatakan bahwa kelalaian dan ketidaksadaran adalah penyakit terburuk manusia dan juga masyarakat. Dari sanalah lahir berbagai bentuk penyimpangan pemikiran dan perilaku manusia.
Ketidaksadaran dan lalai adalah akar dari seluruh kekacauan perilaku baik di tingkat individu maupun sosial. Sebab, orang yang tidak sadar sedang tidak perduli terhadap keadaan yang terjadi, bahkan terhadap dirinya sendiri, kecuali hal-hal fisik yang kelihatan dari luar saja.
Mengenai masalah ini, Al-Quran surat Al-Araf ayat 179 menegaskan, "Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang tidak sadar dan lalai,".
Masyarakat yang lalai akan merasa tidak membutuhkan ilmu dan pengetahuan, bahkan tidak perlu diingatkan maupun disadarkan. Oleh karena itu, mereka tidak melangkahkan kakinya di jalan menuju kebenaran.
Kebangkitan Iman Husein untuk menyadarkan umat Islam, terutama masyarakat Irak yang tenggelam dalam kelalaian. Imam Husein menyalakan obor nilai-nilai al-Quran yang disampaikan kepada masyarakat untuk membangkitkan kesadaran mereka mengenai ajaran sejati Islam yang telah diselewengkan oleh dinasti Umayah.
Di salah satu pidatonya, Imam Husein menyitir surat al-Anam ayat 157, "Sesungguhnya telah datang kepada kamu keterangan yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat. Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling daripadanya? Kelak Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksa yang buruk, disebabkan mereka selalu berpaling,".
Perilaku Ahlul Bait senantiasa bersandar kepada Al-Quran. Demikian juga dengan Imam Husein. Selain menbacanya, bahkan menjelang kesyahidannya ketika dikepung pasukan musuh, Imam Husein juga mengamalkan nilai-nilai agung dalam al-Quran dan mengajarkannya kepada yang lain.
Dalam masalah kepemimpinan umat Islam, Imam Husein memandang pemimpin sangat berpenting dalam sebuah masyarakat, bangsa dan negara. Salah satu syarat pertama dan paling utama dari pemimpin dalam pandangan Imam Husein adalah keimanan dan pengamalan nilai-nilai ilahi.
Pandangan tersebut sesuai dengan al-Quran surat An-Nisa ayat 105 yang berbunyi, "Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat,".
Persyaratan lain dari seorang pemimpin adalah merakyat dan mengarahkan masyarakat, terutama pejabat negara untuk mematuhi aturan ilahi. Berbagai ayat dalam al-Quran menjelaskan mengenai masalah ketaatan kepada aturan Allah swt, termasuk dalam masalah pemerintahan dan penolakan terhadap aturan selain itu.
Imam Husein berulangkali menyatakan bahwa Yazid tidak memiliki persyaratan untuk memimpin umat Islam. Bahkan, ia tidak memperhatikan masalah Islam dari sisi luarnya sekalipun, seperti minuman keras yang diharamkan dalam Islam, tidak pernah diperhatikan oleh Yazid.
Meskipun mengklaim sebagai pemimpin Islam, tapi Yazid secara terbuka minum-minuman keras. Tidak hanya, berbagai perbuatan lain yang dilarang dalam Islam dilakukan oleh Yazid.
Sepak terjang Yazid menyebabkan tersebarkan kerusakan di tubuh umat Islam ketika itu. Sebab mereka tidak mengamalkan al-Quran dan sebaliknya menjauh dari kitab suci ilahi tersebut.
Imam Husein dengan kebangkitannya datang untuk memberikan petunjuk kepada masyarakat supaya beriman kepada Allah swt dan menjalankan aturan-Nya. Seluruh pijakan perjalanan Imam Husein dalam perjuangannya bertumpu pada Al-Quran. Oleh karena itu, sejak awal kebangkitan Imam Husein dari tanah suci Mekah dan Madinah ke Karbala semata-mata karena mencari keridhaan Allah dan menunaikan perintah al-Quran.
Ketika Imam Husein siap untuk menghadapi Yazid, Muhammad bin Hanafiah datang menemui beliau. Setelah memberikan hormat kepada suadaranya, Muhammad bin Hanafiah menyampaikan maksudnya supaya Imam Husein mengurungkan niat untuk berperang menghadapi Yazid.
Tapi permohonan tersebut dijawab dengan baik oleh Imam Husein. Beliau berkata, "Saudaraku, walau aku tidak mendapatkan satu tempat pun di dunia ini, tapi akan tetap akan melawan Yazid bin Muawiyah,"
Kemudian, Imam Husein menulis surat wasiat yang menjelaskan dengan baik mengenai tujuannya datang ke Karbala. Di akhir wasiatnya, sebelum berangkat ke Karbala, Imam Husein mengutip al-Quran surat Hud ayat 88 yang berbunyi, "… dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali,".
Imam Husein bersama keluarga dan pengikutnya syahid di Karbala dibantai oleh pasukan Yazid. Dilihat sepintas, Imam Husein tampak kalah secara fisik. Tapi hari ini, kita melihat fakta sebaliknya.
Nama Imam Husein dan perjuangannya tetap abadi, sedangkan Yazid hilang ditelan sejarah, dan namanya masuk dalam jajaran orang-orang lalim yang dikecam sepanjang sejarah. Sebagaimana janji al-Quran kebenaran akan tegak dan kebatilan akan binasa.
Manifestasi Al-Quran dalam Kebangkitan Imam Husein (1)
Peristiwa Karbala merupakan salah satu revolusi unik yang sulit dicarikan bandingannya dalam sejarah. Meskipun harus ditebus dengan kesyahidan beliau dan keluarga serta pengikutnya, tapi perjuangan Imam Husein berhasil membongkar kebohongan propaganda rezim lalim yang berlindung di balik nama Islam.
Salah satu parameter untuk menilai benar atau tidaknya perjuangan Imam Husein adalah al-Quran sebagai sumber ajaran Islam. Al-Quran dan Ahlul Bait merupakan dua manifestasi dari sebuah hakikat. Satu sisi menunjukkan rahmat, dan kecintaan Allah swt. Di sisi lain, menunjukkan hidayat Allah swt kepada umat manusia.
Imam Husein adalah salah satu manifestasi dari manusia unggul tersebut yang memiliki hubungan cinta dengan Sang Pencipta, dan yang kehidupannya terikat dengan al-Quran. Imam Husein mendapat bimbingan langsung Rasulullah Saw, Sayidah Fatimah dan Imam Ali bin Abi Thalib.
Sejak usia dini beliau telah mengenal dan mempelajari al-Quran. Rasulullah Saw dalam hadis terkenal Tsaqalain, menyebut Ahlul Bait-nya dan al-Quran saling terikat dan bersabda: "Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian dua pusaka : kitab Allah (al-Quran) dan itrahku (Ahlul Bait) dan keduanya tidak akan berpisah sampai menemuiku di telaga surga."
Mengingat Ahlul Bait memiliki hubungan yang sedemikian kuat dengan al-Quran, maka tafsir al-Quran juga harus dicari dalam ucapan dan amal mereka, karena khazanah kemuliaan dan keutamaan al-Quran tersimpan dalam wujud mereka.
Di kalangan para Imam dan Aulia Allah, Imam Husein merupakan manifestasi dari harga diri, kebebasan, kepemimpinan, jihad dan kesyahidan. Nilai-nilai tersebut dijalankan Imam Husein dengan bersandar kepada Al Quran dan contoh terbaik orang yang menjalankan Al-Quran, yaitu Rasulullah Saw.
Meskipun masih kecil ketika itu, Imam Husein selama enam tahun hidup bersama Rasulullah Saw dan mendapatkan bimbingan langsung dari beliau.
Tidak hanya itu, ayahnya, Imam Ali adalah murid sekaligus sahabat paling setia Rasulullah Saw. dan Ibunya, Sayidah Fatimah adalah puteri Rasulullah saw. Kehadiran orang-orang besar yang tidak pernah terpisah dari Al-Quran ini di sekitar Imam Husein membimbing jalan hidup beliau.
Imam Husein memahami dengan baik al-Quran yang menjadi samudera keagungan ilmu dan pengetahuan, sekaligus petunjuk kehidupan umat manusia.
Mengenai masalah ini, Imam Husein berkata, "Kitab ilahi terdiri dari empat isi: teks, rumus dan simbol, anugerah dan hakikat. Teks kalimat untuk masyarakat umum. Rumus dan simbol untuk hamba Allah khusus. Anugerah kelembutan untuk aulia Allah. Sedangkat hakikat untuk para Nabi,".
Puncak dari kebangkitan Imam Husein adalah peristiwa Asyura yang terjadi pada 61 Hijriah. Peristiwa besar tersebut menjadi perhatian besar para ulama dan pemikir besar dunia. Berbagai karya telah dihasilkan. Tidak hanya buku, tapi juga karya seni dengan media yang beraneka ragam.
Dari sekian banyak analisis mengenai perjuangan Imam Husein di Karbala, salah satunya menyoroti masalah hubungan al-Quran dengan perjuangan Imam Husein.
Perjalanan hidup Imam Husein berhubungan erat dengan al-Quran sehingga pada detik-detik akhir hidupnya di padang gersang Karbala, beliau tetap memberikan nasehat dengan ayat-ayat al-Quran. Bahkan, beliau menunjukkan kepada pasukan Yazid tentang akibat yang akan mereka alami dengan membacakan ayat-ayat ilahi.
Setelah kematian Muawiyah, Imam Husein ditekan oleh penguasa Madinah untuk berbaiat kepada Yazid. Di hadapan tekanan tersebut dan dalam menjawab tuntutan penguasa Madinah, Imam Husein menyebut dirinya dan Ahlul Bait sebagai khazanah risalah dan imamah, serta menyebut Yazid sebagai orang yang fasiq. Kemudian kepada penguasa Madinah, Imam Husein as berkata, "Dia adalah orang yang fasiq, lalu bagaimana mungkin aku berbaiat kepadanya?"
Menghadapi tekanan penguasa Madinah, Imam Husein kemudian berkata, "Aku dari keluarga suci sebagaimana Allah telah menurunkan ayat tentang mereka kepada Rasulnya: Sesungguhnya Allah berkehendak melenyapkan dosa dari kalian, wahai Ahlul Bait dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya." (al-Ahzab ayat 33)
Imam Husein tetap menghadapi tekanan dari penguasa Madinah dan akhirnya beliau bersama rombongan keluarganya keluar dari Madinah menuju Mekkah selain untuk menunaikan haji juga untuk menghindari bahaya.
Ketika itu Imam Husein membacakan ayat 21 surat al-Qasas: "Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu." Doa inilah yang dibaca Nabi Musa ketika terbebas dari cengkeraman Firaun.
Setibanya di Mekah, Imam Husein kembali mengucapkan doa yang juga diucapkan oleh Nabi Musa dan disebutkan dalam al-Quran: Dan tatkala ia menghadap kejurusan negeri Mad-yan ia berdoa (lagi): "Semoga Tuhanku membimbingku ke jalan yang benar".
Pembacaan ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa Imam Husein di masanya sama seperti Nabi Musa, sendirian dan menghadapi ancaman dari pemerintah zalim, juga menunjukkan puncak ketidakpedulian umat Islam saat itu dalam mendukung Ahlul Bait Nabi.
Imam Husein yang tidak dapat menerima kezaliman dan kesewenang-wenangan Yazid serta pendistorsian hukum dan sunnah Islam oleh manusia fasiq itu, memutuskan untuk menyadarkan para pemimpin kabilah Arab. Beliau di Mekkah menulis dua surat untuk warga Basrah dan Kufah.
Kepada warga Basrah beliau menulis, "Sesungguhnya Rasulllah Saw telah diutus untuk kalian dengan al-Quran dan aku menyeru kalian kepada al-Quran dan sunnah Rasul Saw karena mereka telah menyimpangkan sunnah dan menghidupkan kembali bid'ah! Jika kalian mengikutiku, maka aku akan membimbing kalian ke jalan kebahagiaan dan kebebasan."
Kepada warga Kufah, Imam Husein menulis, "... bukan pemimpin kecuali jika seseorang yang mengamalkan kitab Allah Swt (al-Quran), menegakkan keadilan, menjadikan kebenaran sebagai pilar hukum masyarakat dan menjaga dirinya tetap berada di jalan lurus Allah Swt."
Imam Husein datang ke Karbala menentang Yazid yang lalim, tidak lain dari perjuangannya untuk menegakkan nilai-nilai al-Quran.
Ampunan dan Kebesaran
“... Aku telah meremehkan perintah maulaku; bila beliau mempertanyakanku, aku tidak berhak untuk protes. Meski Hasan bin Ali adalah seorang pemaaf, namun aku harus menyiapkan diri untuk dihukum. Karena dengan demikian, bertahan menghadapi hukuman maulaku, akan terasa lebih ringan...namun...namun..."
Demikianlah apa yang terlintas dalam pikiran budak Imam Hasan dan seketika itu juga Imam Hasan memanggilnya. Sang budak dengan langkah pelan-pelan menuju pada Imam Hasan as. Dia berpikir bagaimana caranya meminta maaf kepada maulanya. Begitu berhadap-hadapan dengan beliau, sang budak terpikir:
“Maulaku adalah orang yang akrab dengan al-Quran. Maka aku akan meminta bantuan al-Quran untuk menyelamatkan diriku.”
Saat itu juga terlintas dalam pikirannya untuk mengatakan, “Wal Kazdiminal Ghaizha.”
Imam Hasan tersenyum dan berkata, “Aku telah menekan kemarahanku.”
Sang budak tahu bahwa jalan keluarnya terlah terjawab. Dengan lebih tenang dia berkata, “Wal ‘Afina ‘Aninnas.”
Imam Hasan berkata, “Aku telah mengabaikan kesalahanmu.”
Sang budak merasa dirinya berhasil dan bergumam, “Aku akan melepaskan peluruku yang terakhir, seraya berkata, “Wallahu Yuhibbul Muhsinin.” (QS. Ali Imran: 134)
Kali ini Imam Hasan berkata, “Aku membebaskanmu di jalan Allah, agar aku termasuk orang-orang yang berbuat baik.”
Tidak Membalas Keburukan dengan Keburukan
Salah satu dari budak Imam Hasan as sangat buruk akhlaknya. Namun Imam Hasan senantiasa memperlakukannya dengan baik dalam upaya dia bisa menjadi baik dan menyesali perilaku buruknya.
Imam Hasan memiliki seekor kambing di rumahnya. Dengan berjalannya waktu beliau menyayangi kambing itu. Suatu hari beliau tahu bahwa kaki kambing itu patah. Hatinya trenyuh melihat kambing itu dan bertanya kepada budaknya, “Mengapa kaki kambing ini jadi begini?”
Sang budak menjawab, “Aku yang mematahkannya.”
Dengan takjub Imam Hasan as berkata, “Mengapa engkau menzaliminya?”
Dengan nada congkak budak itu menjawab, “Karena aku ingin menyakitimu.”
Imam Hasan as sejenak berpikir dan berkata, “Ringkasi barang-barangmu dan pergilah dari rumah ini, dari saat ini engkau bebas.”
Budak itu terkejut dan berkata, “Mengapa Anda bebaskan aku?!”
Imam Hasan as berkata, “Agar aku menjawab perbuatan burukmu dengan perbuatan baik.”
Budak itu menundukkan kepalanya dan terdiam, sepertinya dia benar-benar malu.
Semua Kasih Sayang Ini?!
Seorang lelaki mendengar banyak cerita tentang kasih sayang dan kedermawanan Imam Hasan as. Namun dia ragu untuk menyelesaikan masalahnya, apakah harus pergi menemui Imam Hasan ataukah tidak. Pada akhirnya dia mengambil keputusan untuk mendatangi beliau.
Imam saat itu sedang duduk di masjid dan lelaki ini masuk mendekatinya. Imam tahu bahwa lelaki ini punya satu keperluan. Oleh karena itu beliau tersenyum padanya dengan penuh kasih sayang seraya berkata, “Hai lelaki! aku berpikir engkau ada masalah?” sebelum lelaki itu menjawab, Imam Hasan berkata, “Bersabarlah sedikit, aku akan menyelesaikan masalahmu.”
Imam Hasan memerintahkan kepada salah satu sahabatnya, “Berikanlah uang supaya dia bisa menyelesaikan masalahnya!”
Sabahat beliau memberikan uang kepada lelaki yang membutuhkan itu dan menyenangkan hatinya. Lelaki yang membutuhkan itu tidak percaya bahwa masalahnya bisa terselesaikan secepat ini. Dia menghadap kepada Imam Hasan dan berkata, “Wahai Putra Rasulullah! Aku merasa takjub bahkan Anda tidak menanyakan apa masalahku. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana aku harus menyampaikan masalahku kepada Anda!”
Imam Hasan as berkata, “Ksatria yakni membantu seseorang yang membutuhkan sebelum orang tersebut menyampaikan masalahnya. Perbuatan seperti ini mencegah jatuhnya harga diri seorang mukmin dan tidak mengalirkan keringat malu di dahinya.”
Lelaki itu tidak tahu apa yang harus dikatakannya untuk menjawab kasih sayang Imam Hasan. Butir-butir keringat memenuhi dahinya; namun keringat ini bukan keringat malu.
Memenuhi Hajat Seorang Mukmin
Begitu seorang lelaki menyampaikan masalahnya kepada Imam Hasan as, beliau langsung memakai sepatunya dan pergi menyelesaikan masalahnya. Di pertengahan jalan, mereka menyaksikan Imam Husein as sedang mengerjakan salat. Imam Hasan berkata kepada lelaki tersebut, “Mengapa engkau tidak mendatangi saudaraku untuk menyelesaikan masalahmu?”
Lelaki itu menjawab, “Beliau sedang sibuk salat dan ibadah, dan saya tidak ingin mengganggu beliau.”
Imam Hasan as berkata, “Sepertinya masalahmu harus selesai melalui bantuanku. Bagaimanapun juga, bila Husein mendapatkan taufik ini, memenuhi hajatmu baginya lebih besar dari satu bulan menjalani i’tikaf.” (Emi Nur Hayati)
Imam Husein, Simbol Keberanian dan Pengorbanan
Pada 3 Sya'ban tahun keempat Hijriah, rumah Ali as dan Fatimah as diterangi cahaya dan hati Rasulullah Saw diliputi kegembiraan dan kesenangan. Pada hari itu, Husein bin Ali as dilahirkan ke dunia untuk melanjutkan jalan yang sudah dirintis oleh kakeknya.
Sebuah hadis Qudsi berkata, "Ketika Husein lahir, Allah berfirman kepada Rasulullah, 'Selamat atas kelahiran di mana shalawat dan rahmat-Ku menyertainya, selamat atas engkau dan seluruh kaum Muslim karena hari besar ini, hari ketika Husein dilahirkan dan ia membawa bersamanya kebebasan, kecintaan, dan pengorbanan.'"
Hari ini, para pecinta Ahlul Bait as di seluruh dunia bersuka cita atas kelahiran Husein as, karena mereka memperoleh pelajaran berharga dari kehidupan, pemikiran, dan kebangkitannya; sebuah kehidupan yang sarat dengan makrifat dan kesempurnaan.
Nilai hakiki setiap insan bergantung pada ilmu pengetahuan, kesempurnaan, keutamaan, dan sifat-sifat moral. Manusia memiliki perbedaan satu sama lain dari segi fisik, tapi perbedaan ini tidak membuat mereka lebih utama dari yang lain. Hal yang membuat mereka istimewa adalah ilmu, keutamaan, dan akhlak mulia, dan Husein as memiliki semua sifat ini secara utuh.
Imam Husein as
Imam Husein adalah salah satu insan teladan dalam sejarah umat manusia. Pengorbanan luar biasa, ketahanan, tawakkal, tekad yang kuat, kesabaran, dan keberaniannya di Karbala, hanya memperlihatkan sebagian dari kepribadian mulia Husein dan sifat-sifat ini membuat semua hati bergerak ke arahnya.
Faktanya, sifat berani dan tangguh tidak akan muncul pada setiap individu, kecuali ia juga menyandang sifat-sifat moral lainnya secara utuh. Sosok seperti ini harus memiliki kesempurnaan iman, makrifat, keyakinan, dan tawakkal sehingga dapat menjadi salah satu dari menifestasi kebesaran Tuhan.
Banyak tokoh besar telah lahir dari rahim sejarah dan masing-masing dari ketokohan mereka dikenal karena keberanian, kepahlawanan, kezuhudan, pemaaf, dan siap berkorban. Akan tetapi, kebesaran dan keutamaan kemanusiaan yang dimiliki oleh Imam Husein as benar-benar sulit ditemukan padanannya dalam sejarah.
Setelah Imam Husein as gugur syahid, Bani Umayyah melaknat Husein dan ayahnya, Imam Ali bin Abi Thalib di mimbar-mimbar selama 60 tahun atas tuduhan melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Meski demikian, tidak satu orang pun dari penguasa mampu merusak nama harum mereka sebagai teladan ketakwaan dan kemuliaan.
Mengenai kepribadian luhur Imam Husein as, seorang ulama Sunni Lebanon, Syeikh Abdullah al-'Alayili berkata, "Apa yang ada dalam riwayat dan sejarah Husein di tangan kami, kami menemukan bahwa Husein memiliki kesempurnaan takwa yang diteladani dari kakeknya dan ia adalah teladan sempurna dari sosok Rasulullah dari segala sisi. Dalam jihad, ia mengayunkan pedang dengan penuh pengorbanan dan tidak ada pekerjaan yang mencegahnya untuk melakukan tugas lain."
Bagi para reformis dan pemuka agama, yakin akan tujuan merupakan faktor penentu untuk mencapai kemajuan. Pemimpin yang yakin akan tujuannya akan melangkah dengan optimis untuk meraih tujuan, ia tidak akan goyah dan keyakinan ini membuatnya kuat. Seperti yang disinggung dalam surat al-Anfal ayat 2, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhan-lah mereka bertawakkal."
Rasulullah Saw – dengan keimanan dan keyakinan yang kuat – baik ketika menang atau pun ketika kalah secara lahiriyah, dengan penuh optimis dan yakin memajukan agenda-agendanya untuk meraih tujuan. Imam Husein as juga sama seperti kakeknya, dalam hal keimanan kepada tujuan dari kebangkitannya. Imam menilai satu-satunya cara untuk menyelamatkan Islam dan masyarakat Muslim adalah melawan skenario jahat Bani Umayyah dan tidak berbaiat dengan Yazid bin Mu'awiyah.
Oleh karena itu, Imam Husein as secara jujur dan tegas mengumumkan penentangannya terhadap kepemimpinan Yazid. Beliau tidak hanya mempelajari pelajaran iman dan keteguhan dalam agama dari kakek dan ayahnya, tapi dengan memikul beban ujian duniawi, telah mengantarkan dirinya ke puncak ifran dan makrifat Ilahi. Ia laksana gunung yang menjulang tinggi, kokoh dan tidak pernah goyah.
Imam Husein telah mencapai sebuah tahapan dari irfan dan makrifatullah sehingga peristiwa segetir apapun akan tampak indah di matanya. Menariknya, Sayidah Zainab as (saudari Imam Husein) juga menyaksikan keindahan yang sama. Ketika Gubernur Kufah, Ubaidillah bin Ziyad berkata kepadanya, "Lihatlah bagaimana perlakuan Tuhan terhadap saudaramu." Zainab menjawab, "Aku tidak melihat sesuatu kecuali keindahan."
Di mata Ahlul Bait, peristiwa Karbala meskipun perbuatan keji tentara Bani Umayyah, tetap terlihat indah karena kebesaran dan puncak kesabaran yang diperlihatkan oleh Imam Husein dalam menghadapi ujian.
Keberanian adalah salah satu sifat mulia kemanusiaan. Sebuah bangsa yang orang-orangnya tidak memiliki keberanian mental dan moral, maka dengan mudah akan ditaklukkan oleh musuh. Bahkan, kelangsungan hidup suatu negara, martabat dan wibawanya bergantung pada tingkat keberanian yang dimiliki oleh rakyatnya.
Seorang ulama besar Sunni, Ibn Abi al-Hadid ketika berbicara tentang keberanian Imam Husein as, menuturkan bahwa dalam hal keberanian, siapa sosok lain yang sama seperti Husein bin Ali as di Padang Karbala. Kami tidak menemukan seseorang di mana masyarakat telah menyerbunya dan ia telah terpisah dengan saudara, keluarga, dan sahabatnya, tetapi dengan keberanian bak singa, ia mematahkan pasukan berkuda. Apa yang anda pikirkan tentang sosok yang tidak tunduk pada kehinaan dan tidak berbaiat kepada mereka hingga gugur syahid.
Percaya diri adalah salah satu sifat utama manusia sukses. Para pemuka agama, semuanya telah mencapai puncak dari karakteristik ini, dan Imam Husein as sebagai pencetus Revolusi Asyura, memiliki karakteristik ini dalam bentuk yang sempurna. Kepercayaan dirinya sedemikian rupa sehingga kondisi apapun tidak merusak keputusan dan tekadnya, tetapi justru membuat Imam lebih tegas dalam mencapai tujuannya.
Di hari Asyura, Imam Husein as – saat kematian sudah di depan mata – tetap tidak gentar dan ia berdiri tegak di hadapan pasukan Umar ibn Sa'ad dan menyampaikan pesan kepada mereka. Beliau berkata, "Tidak, aku bersumpah demi Tuhan, aku tidak akan tunduk pada kehinaan dan tidak akan lari seperti para budak." Imam begitu teguh dalam membela tujuan dan keyakinannya, dan bahkan kondisi apapun tidak menghalangi dia untuk mencapai tujuannya.
Kedermawanan dan kemurahan hati Imam Husein as telah menjadi sebuah pepatah. Banyak ulama mengungkapkan fakta ini bahwa tidak ada yang bisa menandingi Imam Hasan dan Husein dalam kedermawanan dan kemurahan hati.
Dikisahkan bahwa suatu hari, Imam Husein as sedang shalat di rumahnya, seorang Arab Badui yang terjerat kemiskinan, tiba di kota Madinah dan mendatangi rumah beliau. Ia mengetuk pintu rumah sambil berkata, "Hari ini seseorang yang berharap kepadamu dan mengetuk pintu rumahmu, tidak akan berputus asa. Engkau adalah orang dermawan dan tambang kedermawanan. Wahai orang yang ayahnya adalah penghancur kezaliman!"
Imam Husein as mempersingkat shalatnya agar dapat memenuhi apa yang diinginkan orang itu. Ketika selesai shalat dan keluar melihat orang tersebut, Imam langsung memahami orang itu tidak punya apa-apa dan sangat miskin. Imam mendekatinya dan berkata, “Tetaplah di sini hingga aku kembali.”
Imam Husein as kemudian bertanya kepada pelayannya, “Berapa uang yang tersisa di tanganmu untuk pengeluaran sehari-hari kita?” Pelayan beliau menjawab, "Tinggal 200 dirham dan engkau telah berkata agar uang ini dibagikan kepada para kerabat.” Imam Husein berkata, “Bawa uang itu kepadaku! Karena ada seseorang di depan pintu yang lebih membutuhkannya.”
Pelayan kemudian pergi dan kembali ke hadapan Imam sambil membawa uang tersebut. Setelah menerimanya, Imam Husein as pergi ke depan pintu dan memberikan uang itu kepada orang miskin yang berdiri di sana. Imam berkata, “Ambillah uang ini dan terimalah permintaan maafku. Aku tidak punya uang lebih dari ini untuk diberikan kepadamu.”
Orang miskin itu menerima uang tersebut dan pergi dari rumah Imam. Ia tampak begitu gembira.
Mimpi Yang Telah ditafsirkan
Sayidah Fathimah termenung dan sedih...seandainya saja mimpinya tidak diceritakan kepada ayahnya...supaya...namun apa faedahnya? Memangnya bisa menahan qadha dan qadar ilahi? Memangnya manusia bahkan Rasulullah pun bisa mengubah Sunnah Ilahi?
Mimpi yang dialami Sayidah Fathimah dan ditafsirkan oleh Rasulullah Saw berakhir dengan sebuah kenyataan pahit yang harus diterima dan tidak ada jalan lain.
Sayidah Fathimah bermimpi memegang sebuah Quran dan membacanya, namun tiba-tiba Quran itu jatuh dari tangannya dan menghilang. Setelah bangun dari tidur, beliau sangat khawatir dan tidak tahu apa makna mimpinya. Beliau merasa bahwa makna mimpinya buruk. Keesokan harinya beliau menemui ayahnya dan menceritakan mimpinya. Rasulullah Saw berkata, “Cahaya mataku! Quran yang ada di tanganmu itu adalah aku. Ketahuilah bahwa sebentar lagi aku akan menghilang dari pandangan.”
Ucapan ayah ini benar-benar pahit dan Sayidah fathimah tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Beliau tidak tahu apa yang akan terjadi sepeninggal ayahnya dan yang terpenting adalah bagaimana beliau harus bersabar menghadapi musibah besar ini. Beliau tidak tahu harus bagaimana, karena sebelumnya tidak terpikirkan bahwa suatu hari akan kehilangan ayahnya.
Detik-Detik Perpisahan
Hari itu kondisi rumah Sayidah Fathimah lain daripada yang lain. Duka dan kesedihan telah meliputinya. Seakan-akan kejadian pahit akan mendatanginya.
Sayidah Fathimah memanggil Asma’ binti ‘Umais [istri Ja’far Thayyar, saudara Imam Ali]. Setelah menyampaikan pesannya, Sayidah Fathimah berkata, “Hai Asma’! Ini adalah detik-detik perpisahan.”
Sayidah Fathimah dalam kondisi berbaring di bawah. Kemudian menutupkan selimutnya ke wajahnya dan berkata, “Setelah beberapa detik panggillah aku! Bila aku tidak menjawab, ketahuilah bahwa aku telah pergi kepada ayahku...”
‘Asma bersedih dan duduk di samping putri Rasulullah Saw. Hatinya penuh kesedihan dan menangis sambil mengingat musibah yang menimpa putri Rasulullah Saw. Dia tidak percaya bahwa putri Rasulullah Saw dalam jarak waktu yang sangat pendek dari kematian ayahnya, sesegera ini menuju kepada ayahnya dan bertambahlah kesedihan umat Islam. Namun setelah beberapa detik sebagaimana yang dipesankan Sayidah Fathimah, Asma’ memanggil beliau. Tapi beliau tidak menjawabnya. Asma’ memanggil yang kedua kalinya. Tapi kali ini juga tidak mendapatkan jawaban. Begitu selimut itu disingkap dari wajahnya, Asma’ tahu bahwa Sayidah Fathimah telah meninggal dunia. Asma’ memeluk tubuh Sayidah Fathimah dan menciumnya, seraya berkata, “Fathimah sayang! Sampaikan salamku pada ayahmu!”
Asma’ dalam kondisi menangis dan penuh kesedihan keluar dari rumah mencari Hasan dan Husein. Kedua manusia mulia ini begitu menyaksikan Asma menangis dan sedih, bertanya, “Asma’ bagaimana keadaan ibu kami?!”
Asma’ tidak bisa menjawab. Keduanya paham bahwa telah terjadi kejadian tidak menyenangkan. Mereka menuju pada ibunya. Husein melihat ibunya sedang membujur menghadap kiblat. Begitu dia menggoyangnya, dia paham bahwa ibunya telah meninggal dunia. kesedihan telah menyelimuti hatinya, dia menghadap kepada saudaranya yang lebih besar Hasan dan berkata, “Saudaraku! Semoga Allah memberi kesabaran padamu! Ibu kita telah meninggal dunia.”
Hasan memeluk ibunya dan berkata, “Ibuku! Sebelum ruh dikeluarkan dari tubuhku, berbicaralah denganku...!”
Husein mencium kaki ibunya dan berkata, “Ibuku! Aku adalah anakmu. Sebelum hatiku robek, berbicaralah denganku...!”
Asma’ berkata, “Sayangku! Anak-anak Rasulullah! Pergilah dan beritahu ayahmu akan kematian istrinya!”
Keduanya keluar dari rumah. Di jalan keduanya menangis keras-keras dan berkata, “Ya Muhammad! Ya Muhammad! Sekarang musibah kematianmu menjadi baru bagi kami. Hari ini kami kehilangan ibu kami...”
Imam Ali as berada di masjid dan mendengar suara tangisa anak-anaknya. Hasan dan Husein menemui ayahnya dan mengucapkan belasungkawa padanya. Imam Ali pingsan mendengar kabar ini. Kemudian wajanya diperciki air dan siuman. Dengan hati yang hancur beliau berkata, “Fathimah sayang! Ketika engkau masih hidup, aku selalu menenangkan hatimu atas musibah kematian Rasulullah. Sekarang, setelah kematianmu, dari siapa aku harus mendapatkan ketenangan?”
Muharam, Bulan Pengorbanan dan Cinta
Bulan Muharam telah tiba. Di bulan ini, hati orang-orang Mukmin di dunia berduka. Spanduk hitam dengan tulisan Husein menempel di masjid dan huseiniyah berbagai kota di Iran dan negara lain. Suasana duka bergema di mana-mana.
Berbagai acara duka peringatan kesyahidan Imam Husein dimulai tanggal satu hingga 10 Muharam. Semua ini menunjukkan kecintaan umat Islam kepada Imam Husein dan Ahlul Bait Nabi Muhamamd Saw.
Memasuki bulan Muharam, banyak pelajaran penting yang bisa dipetik sejak awal tentang perjuangan dan pengorbanan orang-orang yang mengabdikan dirinya untuk agama Islam. Selain Imam Husein, banyak figur lain seperti Abul Fadl Abbas dalam peristiwa Asyura yang menunjukkan pengorbanannya dalam berjuang membela agama ilahi.
Di masjid dan Huseiniyah, orang-orang berkumpul untuk memperingati perjuangan Imam Husein dan pengikutnya. Kedatangan Imam Husein bersama keluarga dan pengikutnya ke Karbala dari Madinah untuk menjemput kesyahidan hingga kini masih terus dikenang dan diambil pelajaran darinya.
Salah satu tradisi Asyura yang melekat dalam peringatan dan diwariskan secara turun-temurun bukan hanya di bulan suci Muharam adalah budaya memberi atau nazri. Di bulan Muharam, terutama tanggal 1 hingga 10 Muharam, tradisi nazri tersebut sangat jelas terlihat dalam bentuk pemberian makanan dan minuman, teh, susu dan lainnya.
Selain itu, di berbagai tempat di Iran misalnya, ada tempat air yang disediakan untuk siapa saja yang membutuhkan. Tradisi ini mengingatkan kita terhadap perjuangan Imam Husein bersama keluarga dan pengikutnya yang kehausan dan berada dalam kepungan pasukan musuh. Oleh karena itu, ada kebiasaan di kalangan sebagian orang yang meminum air sambil mengucapkan salam kepada Imam Husein.
Muharamul Haram adalah sebutan untuk awal bulan Muharam. Penamaan ini untuk menunjukkan posisi penting bulan Muharam. Di bulan ini, meskipun perang diharamkan, tapi terjadi pembantaian yang dilakukan pasukan yang mengaku muslim, tapi justru membunuh cucu Nabi Muhammad Saw dan keluarga serta pengikutnya.
Meskipun menorehkan duka, tapi banyak pelajaran penting yang bisa dipetik. Prinsip utama yang bisa diambil dari perjuangan Imam Husein di Karbala yang diperingati sejak awal Muharam berkaitan dengan nilai keikhlasan dan ketulusan berjuang demi mendapatkan ridha Allah swt bukan karena kepentingan pribadi maupun keluaga dan kelompok. Nilai tersebut ditunjukkan dengan jelas oleh Imam Husein.
Ulama akhlak terkemuka, Sheikh Mirza Malik Tabrizi dalam bukunya "Al-Muraqabah" mengingatkan pentingnya keikhlasan dan ketulusan dalam berjuang.
Sheikh Tabrizi menulis, "Para pencinta Rasulullah Saw sebaiknya menyiapkan hatinya sejak awal Muharam dengan diisi suasana duka dan menghindari sebagian kelezatan yang halal sekalipun, terutama tanggal sembilan dan sepuluh Muharam. Dianjurkan juga membaca ziarah Asyura sejak awal Muharam,". Semua ini dilakukan untuk menyiapkan diri menerima pelajaran penting dari perjuangan Imam Husein.
Peristiwa duka yang telah berlalu lebih dari 1000 tahun ini, hingga kini telah menguras tetesan air mata jutaan orang yang senantiasa memperingati perjuangan dan pengorbanan Imam Husein. Lebih dari itu, peristiwa ini juga memberikan inspirasi bagi banyak orang dan dari berbagai bangsa dunia untuk melawan kezaliman dan mewujudkan keadilan.
Salah satunya adalah kemenangan Revolusi Islam Iran yang mengambil inspirasi dari kebangkitan Asura Imam Husein. Upaya Imam Khomeini menggandengkan masalah Revolusi Islam dengan Revolusi Asyura dilakukan dalam dua tahap.
Pertama, di hari-hari Muharam pada tahun 1342 HS ketika para penceramah agama berbicara di setiap huseiniyah dalam acara pembacaan maqtal, karavan duka dan kidung duka.
Kedua, pada Muharram tahun 1357 HS, terutama ketika Imam Khomeini ra secara jelas menyatakan, "Bulan Muharam harus diperingati dan masyarakat menyelenggarakan acara Asyura."
Imam Khomeini menyebut bulan Muharam sebagai bulan kemenangan darah atas pedang, dan terjadinya perubahan besar dalam bentuk proses kebangkitan dengan spirit perjuangan Imam Husein.
Pemimpin India, Mahatma Gandhi belajar dari Husain tentang bagaimana kaum tertindas bisa bangkit menjadi pemenang, tanpa kekerasan. Karena itu, Asyura menjadi salah satu inspirasi utama dalam Islam, yang melampaui agama tapi nilai-nilai luhur kemanusiaan dan keadilan. Imam Husein menampikan dirinya berjuang tanpa pamrih dan berkorban hingg syahid melawan penguasa lalim, Yazid.
Ketika segelintir Muslim mengkritik tindakan Imam Husein dan mengecam peringatan Asyura, Charles Dickens, seorang penulis dan kritikus sosial asal Inggris justru membelanya dengan mengatakan: “Jika Husein berjuang hanya untuk memuaskan keinginan dunianya saja… maka saya tidak mengerti mengapa saudari, istri, dan anak-anak menemaninya. Maka pasti ada sebuah alasan kuat, yakni dia berjuangan semata demi kemurnian Islam.” Oleh karena itu, Husein bin Ali bukan hanya sosok yang dapat menyatukan dua mazhab ahlusunah dan Syiah, bahkan lebih dari itu: menyatukan seluruh umat manusia.
Seorang penulis Kristen berkebangsaan Suriah, Antoine Bara, menghabiskan waktu selama enam tahun untuk melakukan penelitian tentang Imam Husein. Sekitar empat tahun dihabiskan untuk mempelajari berbagai macam referensi, dan dua tahun sisanya digunakan untuk menyusun buku yang berjudul Imam Hussein In Christian Ideology.
Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam 17 bahasa dan telah dicetak lebih dari 20 kali. Ketika ditanya tentang penyusunan buku tersebut, apakah itu murni riset atau keinginan khusus belaka, Bara menjelaskan, “Kedua-duanya. Pada awalnya, menulis buku bertujuan ilmiah akan tetapi ketika saya semakin menyelami lebih dalam dan lebih luas tentang topik sejarah ini, tumbuh sebuah perasaan kebesaran Husein pada diri saya. Manusia ini telah mengorbankan dirinya untuk agama, prinsip-prinsip, dan menyelamatkan Muslim dari penyimpangan dari Islam guna memastikan berlanjutnya pesan dan penyampaiannya dari satu generasi ke generasi lain."
Ketika orang-orang dari belahan dunia mengapresiasi buku tersebut dan ingin menerjemahkannya, Antoine Bara langsung menyetujui dan tidak mengambil keuntungan darinya. Ia mengatakan, “Saya tidak menulis buku itu demi mencari keuantungan, tapi karena keyakinan saya kepada Sayyidina Husein,".
Antoine Bara juga menegaskan bahwa Imam Husein bukan hanya milik Muslim saja, tapi juga milik seluruh dunia. Bara mengatakan bahwa Sayyidina Husein adalah “hati nurani agama”.
Seorang penganut agama Kristen seperti Bara begitu terpengaruh oleh Imam Husein karena pengorbanan dan cinta yang tulus Imam Husein dalam perjuangannya demi umat manusia. Dua nilai ini: pengorbaan dan cinta melampaui sekat agama, karena yang diperjuangan Imam Husein adalah kemanusiaan.
Kuat dan Mandiri, Bangsa Iran tidak akan Tunduk pada Musuh
Wakil Komandan Korps Garda Revolusi Islam Iran (Pasdaran), Brigadir Jenderal Hossein Salami mengatakan bangsa Iran adalah kuat dan mandiri, dan mereka tidak akan tunduk di hadapan kekuatan mana pun.
"Sejarah 40 tahun Revolusi Islam membuktikan bahwa bangsa Iran telah mengalahkan musuh di berbagai peristiwa dan mempertahankan kemandiriannya," ujarnya dalam kunjungan ke kota Mehdishahr, Provinsi Semnan pada hari Sabtu (15/9/2018) seperti dikutip media ISNA.
Brigjen Salami menuturkan opsi serangan terhadap Iran sudah dikesampingkan, karena situasi politik AS tidak mendukung perang dan negara mana pun juga tidak akan bergabung dengan Washington.
Namun, lanjutnya, Iran tetap mengawasi perilaku militer Amerika.
Mengacu pada serangan rudal Pasdaran ke basis kelompok teroris di Kurdistan Irak pekan lalu, Brigjen Salami menandaskan jika musuh ingin menyakiti Iran, Republik Islam akan memberikan pukulan yang tegas dan mematikan.