
کمالوندی
Perbuatan Dosa, Penyebab Terputusnya Hubungan Hamba dan Tuhannya
Berdasarkan hadis dan riwayat dari Aimmah, dapat ditegaskan bahwa dosa termasuk salah satu faktor yang dapat menyebabkan terputusnya hubungan antara kita dengan Allah Swt, dan melenyapkan restu (taufiq) Allah, serta menghilangkan berbagai nikmat dan karunia-Nya yang hendak diberikan kepada kita.
Kenyataan seperti ini diungkapkan oleh pelbagai hadis dengan gaya ungkapnya yang bermacam-macam. Antara lain dari Imam Jafar Shadiq a.s.: “Jika seseorang melakukan kesalahan, maka akan muncul satu titik hitam di hatinya, dan jika dia taubat, maka akan hilang satu titik hitam itu. Tetapi jika kesalahannya bertambah, maka titik itu pun akan bertambah, sampai titik-titik itu mengalahkan hatinya. Dan setelah itu dia tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan.” (Ushul AI-Kafi, 3/373)
Dalam hadis yang lain beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya Allah SWT mewahyukan kepada Daud, ‘Ada satu hal dari tujuh puluh macam sanksi yang akan Kuperbuat kepada seorang hamba yang tidak mengamalkan ilmunya, yaitu akan Kucabut dari hatinya kenikmatan untuk berzikir kepada-Ku.” (Dar Al-Salam, 3/200)
Ada seseorang yang datang kepada Amirul Mukminin Ali a.s. sambil mengatakan: “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku telah mengharamkan salat malam kepada diriku.” Lalu beliau menjawabnya: “Sesungguhnya kamu adalah orang yang telah terkekang oleh dosa-dosamu.” (Ilal AI-Syara’i, 2/51)
Imam Jafar Shadiq a.s. dalam hal ini mengatakan: “Sesungguhnya seseorang yang melakukan suatu dosa akan dihalangi untuk melakukan salat malam. Dan sesungguhnya perbuatan buruknya akan lebih cepat menggeroroti dirinya daripada pisau yang menyayat daging.” (Ushul Al-Kafi, 3/374)
Seseorang yang melakukan salat di tengah malam dan jauh dari jangkauan penglihatan manusia, sehingga akan jauh dari perbuatan riya. Di samping itu, untuk melakukan salat ini, seseorang harus melawan cuaca yang dingin, rasa kantuk yang menyerang, serta mengabaikan keperluan untuk beristirahat. Tidak ada dorongan yang lain baginya untuk melaksanakan salat ini kecuali untuk bermunajat dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa Syaikh Shaduq meriwayatkan dari Imam Jafar a.s. yang mengatakan: “Ketika turun ayat ‘Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal (QS. Ali Imran: 135-136).’
lblis mendaki gunung yang disebut Tsur di Makkah, kemudian berteriak dengan suara yang sangat keras memanggil bala tentaranya, lalu mereka berkumpul semuanya di situ. Kemudian mereka mengatakan: ‘Wahai tuan kami, mengapa engkau mengundang kami ke sini?’
Iblis menjawab: ‘Turun ayat ini, lalu siapa yang bisa mendampingi ayat tersebut?’ Maka berdirilah salah satu setan sambil mengatakan, ‘Aku yang akan mendampinginya, aku akan begini dan begitu.’ Iblis menjawab: ‘Engkau belum pas mendampinginya.’ Lalu berdirilah yang lain dan mengatakan seperti itu pula, dan Iblis pun menjawabnya: ‘Engkau belum pas mendampingi ayat itu.’ Maka berkata Al-Waswas Al-Khannas, ‘Aku akan mendampinginya.’ lblis mengatakan: ‘Dengan apa?’ Dia menjawab: ‘Aku akan memberikan janji dan angan-angan kepada manusia sampai mereka mau melakukan suatu kesalahan. Dan bila mereka telah terperosok ke dalam kesalahan, maka aku akan membuat mereka lupa untuk melakukan istighfar.’ Maka berkata lblis kepadanya: ‘Engkau yang paling cocok mendampingi ayat tersebut.’ Lalu dia ditugaskan untuk mengawal ayat ini sampai hari kiamat nanti.” (Amali AI-Shaduq, hal. 465)
Dari hadis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dosa dijadikan oleh setan sebagai satu media untuk menjerumuskan manusia kepada kesengsaraan dan menjauhkannya dari rahmat Allah Swt setelah itu.
Bahagia dan Ceria dalam Gaya Hidup Islami (Part 2)
Setelah kita membaca dan mengkaji dampak positif kebahagiaan dalam kehidupan kemarin yaitu kebahagiaan menjadi sebab seseorang merasakan kenikmatan-kenikmatan Ilahi , sekarang kita akan membahas dampak yang lainnya.
2. Kebahagiaan Menyebabkan Badan Sehat Serta Psikologi Tenang
Rasa senang dan bahagia mampu menjaga kita dari serangan stress dan gangguan psikologi. Selain itu juga bahagia mampu menjaga kesehatan psikologi kita. Namun manfaatnya bukan hanya dirasakan oleh psikologi saja akan tetapi dirasakan juga oleh badan dan jasmani kita.
Imam Ali bin Abi Thalib ra pernah berkata;
السرور یبسط النفس و یثیر النشاط
“Rasa bahagia itu meluaskan ruh dan benih keceriaan.”
Pada kenyataannya maksud dari kata meluaskan ruh adalah menambahkan potensi manusia untuk berhadapan dengan kesulitan-kesulitan yang terjadi dalam kehidupan yang mana menyebabkan seorang manusia ketika berhadapan dengan kesulitan, ia mampu menghadapinya dengan sikap positif dan tidak akan menyerah dalam menghadapi kesulitan-kesulitan tersebut.
Bahagia dan Ceria dalam Gaya Hidup Islami (Part 1)
Bahagia merupakan sebuah keadaan positif yang muncul pada diri manusia dan berlawanan dengan rasa sedih dan risau. Selain itu juga bahagia bisa dipredikatkan pada seseorang yang mana menjadi orang tersebut sedang berbahagia.
Dampak Positif Bahagia dan Ceria dalam Kehidupan
1. Kebahagiaan menjadi sebab seseorang merasakan kenikmatan-kenikmatan Ilahi
Siapa saja yang lebih banyak mendapatkan rasa bahagia dalam kehdiupannya maka ia akan merasakan dengan perasaan mendalam terhadap nikmat-nikmat Ilahi dan dengan mudahnya ia tidak akan cepat masuk dalam keadaan rasa sedih dan risau.
Selain itu karena ia sendiri merasa bahagia maka ia mampu memberikan pengaruh pada orang-orang di sekitarnya. Kemudian ia selalu percaya pada Kekuatan Tanpa Batas Ilahi dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan.
Kebalikan dari keadaan ini yakni mereka yang tidak merasakan kebahagiaan akan selalu berpikir dengan rasa sakit, kesulitan-kesulitan yang komplit dalam kehidupannya. Dan biasanya ketika dalam keadaan yang biasa pun yakni tidak adanya rasa sakit dan kesulitan kemungkinan ia akan kehilangan kenikmatan-kenikmatan yang ada. Dan dengan merusak keadaan maka bisa jadi harapan akan masa depan pun terganti dengan rasa keputus asa-an.
Cakupan Kemaksuman Para Nabi
Pada tulisan sebelumnya telah dibahas satu sisi dari cakupan kemaksuman para nabi. Yaitu telah disebutkan bahwa mereka tidak melakukan kesalahan maupun dosa baik dengan sengaja atupun tidak.
Telah disinggung juga sedikit tentang pendapat Fakhr Razi berkaitan dengan bolehnya para nabi melakukan dosa sebelum masa kenabian. Tentu saja ini juga berkaitan dengan batasan ishmah dari sisi lainnya.
Untuk lebih jelasnya, di sini akan dimuat pernyataan lainnya yang menyebutkan pendapat tersebut dengan lebih gamblang:
“Mereka juga berbeda pendapat tentang waktu wajibnya ishmah tersebut. Sebagian mereka berpendapat: semenjak lahir sampai wafat. Dan kebanyakan mereka meyakini bahwa: ishmah tersebut hanya berlaku pada masa kenabian, adapun sebelumnya, maka tidak wajib. Dan ini adalah pendapat kebanyakan pengikut mazhab kita (Asyari)” semoga Allah merahmati mereka.”[1]
Dalam catatan ini Fakhr Razi tidak mengatakan semua kalangan Asyari berpendapat demikian akan tetapi hanya mengatakan kebanyakan mereka saja.
Berseberangan dengan pendapat di atas, mazhab Imamiah berkeyakinan bahwa para nabi semenjak lahir sampai wafat mesti maksum. Dalam kitab al-Lawami’ disebutkan:
“Dan pengikut mazhab Imamiah berpendapat: sesungguhnya mereka semua (para nabi dan rasul) maksum dari segala jenis dosa baik dosa besar maupun kecil, sengaja atau tidak, tersalah maupun secara takwil dan sebelum kenabian maupun pada masa kenabian. Hal ini adalah kebenaran yang terang benderang.[2]”
Di dalam kitab lainnya; Ashl al-Syiah, secara khusus disebutkan bahwa nabi Muhammad SAWW maksum semenjak lahir hingga wafatnya:
“Syiah Imamiah berkeyakinan bahwa seluruh nabi yang disebutkan oleh al-Quran merupakan utusan Allah SWT dan hamba-hamba yang dimuliakan, diutus untuk mengajak manusia menuju kebenaran. Dan bahwa Muahammad SAWW adalah penutup para nabi serta penghulu para rasul, maksum dari melakukan salah dan dosa, ia tidak melakukan maksiat selama hidupnya serta tidak melakukan selain apa-apa yang diridhai oleh Allah SWT sampai ajal menjemputnya.[3]”
Dari beberapa catatan di atas dapat dipahami bahwa, berbeda dengan mazhab Asyari yang meyakini bahwa para nabi boleh melakukan kesalahan dan dosa sebelum kenabian, mazhab Syiah meyakini bahwa para nabi terkhusus Rasulullah SAWW maksum semenjak lahir sampai wafat.
Namun, meyakini bahwa nabi boleh melakukan kesalahan dan dosa sebelum kenabian memiliki konsekuensi tertutupnya jalan pembuktian kenabian.
Sebab, jika sebelum kenabian ada kemungkinan para rasul melakukan kebohongan, lupa, kesalah dan dosa, maka bagaimana kita bisa mempercayai mereka setelah kenabian? Karena mungkin saja pengakuan mereka di awal kenabian dianggap sebagai kebohongan atau kesalahan. Dan selama ada kemungkinan ini maka kita tidak akan pernah sampai kepada keyakinan akan kenabian mereka.
Dengan begitu, tujuan Allah dalam mengutus para nabi (manusia mendapat hidayah dengan mengikuti mereka), tidak akan tercapai. Oleh karena itu, kemaksuman mereka sebelum kenabian adalah suatu kemestian.
Di samping itu, masa lalu yang kelam tentu saja akan berpengaruh terhadap dakwah para rasul, karena akan dijadikan alasan para pengingkarnya untuk menolak ajarannya. Hal ini akan sangat berbeda, jika para nabi memiliki latar belakang yang bersih tanpa noda. Sebab dengan begitu tidak ada sedikitpun celah dan alasan bagi ummatnya untuk tidak mengikuti ajaran mereka.
Coba kita bayangkan seandainya nabi Muhammad SAWW sebelum kenabian pernah melakukan kebohongan, lantas kira-kira bagaimana reaksi penduduk Makkah terhdap dakwah beliau yang pertama?
Dan bandingkan dengan nabi yang memiliki latar belakang terpercaya dengan menyandang gelar “amin”, tentu saja reaksi mereka akan berbeda.
Oleh karena itu mari memilih salah satu dari dua keyakinan di atas dengan konsekuensinya masing-masing.
[1] Fakhr al-Razi, Fakhruddin al-Razi, Ishmat al-Anbiya, hal: 40, cet: Maktabah al-Tsaqafah al-Diniah, Qaira.
[2] Al-Sayuri al-Hilli, Jamaluddin Miqdad bin Abdullah, al-Lawami’ al-Ilahiyah Fi al-Mabahits al-Kalamiah, hal: 171, cet: Tabriz Iran, 1394 H.
[3] Kasyif al-Ghitha, Muahmmad al-Husain, Ashl al-Syiah wa Ushuluha, hal: 143, cet: Dar al-Adwa.
Ruh, Hati dan Akal
Manusia adalah makhluk bereksistensi. Ia ada sebagai bagian dari yang hadir di alam realitas. Sebagai bagian tersebut, ia ada secara bersamaan dengan entitas-entitas alam yang lain: langit, bumi, tumbuhan hewan dan sebagainya. Namun cara bereksistensi manusia amatlah khas. Pusat keunikan eksistensi manusia adalah kesadaran bahwa dirinya eksis. Karena kesadaran inilah yang menjadikan manusia tak sekedar menyadari dirinya yang eksis tapi lebih dari itu ia dapat bertanya ‘mengapa ia mesti eksis?’.
Eksistensi manusia dengan kesadarannya tak dibiarkan begitu saja terlewat, terlebih dalam momen-momen tertentu, manusia mesti bertanya akan eksistensinya. Dan di dalam pertanyaan itu ia pun bertanya apa itu eksistensi. Namun sebelum pertanyaan itu muncul, eksistensinya telah mendahuluinya. Eksistensi harus terlebih dahulu ‘eksis’ sehingga ia menjadi bahan pertanyaan, dan itu berarti seragam jawaban akan eksistensi tak akan mengubah eksistensi itu sendiri. ‘Bertanya’ dengan begitu bukan soal eksis atau tidak, melainkan lebih menegaskan kebutuhan manusia akan makna, makna akan eksistensinya.
Lebih mendasar lagi, dengan kemampuannya bertanya, berarti ada suatu dalam diri manusia yang membuatnya sanggup bertanya, yang mau tidak mau ia pun haruslah eksis sebagai suatu yang bertanya. Semua ini terlihat membentuk suatu lingkaran eksistensial dimana yang eksis bertanya tentang eksistensi. Teramat jelas bahwa tubuh manusia bukanlah entitas yang mempertanyakan makna eksistensi. Tubuh dan seluruh entitas material hanya mengalami fenomena-fenomena empiris tanpa bertanya akan apa yang dialaminya. Tubuh material praktis tunduk pada hukum-hukum alam, berjalan sesuai ritme kausalitas yang menggerakkan dirinya. Tubuh tak pernah memiliki cara untuk bereksistensi kecuali ada sebagaimana adanya.
Geliat Ruh Menggerakkan Hati Manusia
Manusia pada akhirnya tak puas dengan eksistensi tubuhnya dan aspek-aspek material yang dijalaninya setiap hari. Lalu manusia bertanya, ‘siapa dirinya, siapa aku’. Filsafat lalu hadir mencari jawaban, dan Rasio adalah basis untuk mencari jawaban tersebut. Rasio-lah yang selama ini dianggap sebagai energi bagi manusia untuk mengkonsepsi segala realitas. Rasio sebagai alat untuk mengkonsepsi memang menghadirkan suatu kenyataan yang khas pada manusia, manusia mengerti mengapa alam ini memunculkan fenomena-fenomena, terjadi itu dan ini. Rasio ini kemudian mengambil bentuk disiplin keilmuan bernama sains.
Rasio sains ini memang memberi warna bagi wawasan manusia akan alam, tapi tetap saja ia terkait dengan sesuatu yang di luar rasio itu sendiri. Rasio ini diandaikan begitu saja, dijadikan alat untuk mengkonsepsi dan bahkan untuk memanfaatkan potensi-potensi di alam guna memenuhi hasrat dan kebutuhan hidup manusia. Namun rasio sebagai dirinya yang eksis, dan bahkan mengapa ia dapat bekerja sedemikian rupa: mengkonsepsi, menganalisa, mengimajinasikan, dan sekian aktivitas rasional. Kekuatan apa yang ada pada rasio sehingga menjadikannya demikian?
Jika rasio menjadi titik tolak untuk menjawab fenomena alam, bagaimana ia sendiri dapat menjawab siapa dirinya? Filsafat lalu menempatkannya sebagai ranah ‘transendental’ yang hanya bisa diandaikan dan diterima adanya tanpa sanggup dikuliti dan dianalisa.
Kaum sufi, lalu melihat ada sesuatu yang belum terjawab, yakni hakikat diri. Hakikat diri ini tak mungkin lagi dijangkau oleh rasio, meskipun fenomena rasional berkontribusi memberi jalan bagi kesadaran akan yang ‘transenden’. Berarti dunia ini baik lahir maupun batin, tak berdiri sendiri sebagai entitas yang mengalami fenomena-fenomena. Ada yang menggerakkannya, mengarahkannya untuk sampai pada potensi-potensi yang dimilikinya.
Tesis al Quran Tentang Ruh, Hati dan Akal
Al Quran mengajukan satu tesis penting, bahwa manusia terlahir di dunia ini dengan bersendikan Ruh, ‘wa alqoyna fihi min ruhii’. Ada ruh yang meliputi diri manusia. Dan ruh itu sendiri tanpa tanpa identitas apapun kecuali ia adalah ‘perintah tuhan’, ‘qulil ruhi min amri robbi’. Karenanya, ruh adalah ‘energi’ Tuhan yang bekerja menurut perintahNya. Secara semantik, al Quran tak pernah menyebut ‘akal’ sebagai subyek/pelaku kegiatan-kegiatan konsepsi. Melainkan akal diletakkan sebagai bentuk kerja (predikat) pada hati,…’lahum qulubun ya’qiluna biha’,.. ‘afala ta’qilun’.
Maka ruh adalah energi pada hati untuk bergerak memaksimalkan potensi akalnya. Jika ruh adalah perintahNya, dan segenap realitas adalah iluminasi dan semburat cahaya wujudNya, maka apa yang menjadi tugas bagi ruh tiada lain agar segala realitas bersedia tunduk padaNya. Sehingga tujuan hakiki dari seluruh bangunan konseptual manusia melalui hati-pikiran/akalnya adalah ketundukan akan Hakikat dzatNya. Maka alam dijadikanNya sebagai ‘ayat’ yakni ‘tanda’, sebagai tanda eksistensi alam hanya gambaran belaka untuk membawa hati-pikiran kembali pada subyek hakiki yang ditandainya, Tuhan. Dan jika, hati tak berupaya melampaui alam dan bahkan terjebak di dalamnya, maka tiada yang dituju kecuali hanya kegelapan belaka. Maka, nafs yang menghendaki keburukan, dalam kerangka ini adalah suatu stagnasi berpikir manusia.
Tingkatan Ruh
Ruh sebagai eksistensi perintahNya adalah suci, sebagaimana ia menggambarkan Kesucian dzat Tuhan. Namun dalam proses emanasinya di alam ruh mengambil bentuk-bentuk yang bertingkat-tingkat, sesuai dengan kadar penciptaan. Pada benda-benda mati, ruh hanya berfungsi sebagai potensi gerak perubahan aksidental. Yang bertujuan untuk mengubah satu bentuk ke bentuk yang lain, hingga mencapai batas akhir eksistensinya yakni kehancuran.
Pada hewan dan binatang, ruh bekerja sebagai semata hasrat untuk memenuhi kehidupan (survivalitas). Ia bekerja memberi energi untuk menghasrati sesuatu, menjadi ‘insting’ kehidupan alami dalam pelbagai rupa, insting mencari makan, insting bertahan hidup, melindungi diri dan menghindari bahaya.
Sementara pada manusia, semua ruh yang dikandung oleh benda dan hewan ada padanya. Manusia memiliki jasad yang terus bergerak menuju kehancurannya. Namun ia juga memiliki ruh ‘instingtif’ sebagai hewan sehingga memiliki hasrat-hasrat bertahan hidup. Namun lebih dari itu ia memiliki ruh akal yang mampu berpikir, menganalisa yang dengannya menjadikan manusia sanggup membangun relasi kebudayaan dan peradaban. Namun ruh tertinggi bagi manusia adalah potensinya untuk mengenal dirinya sebagai hamba yang bersaksi akan Tuhannya. Ruh azali dan primordial yang mengakui dzatNya, dan tunduk akan kuasaNya dengan kesadaran penuh.
Kemaksuman Nabi Saw menurut Pandangan Imam Al-Qastallani
Kami telah mengulas di dalam deretan tulisan sebelumnya, mulai dari makna kemaksuman hingga dalil-dalil yang mendukung akan kemaksuman yang dinisbahkan kepada Nabi Saw, dan di tulisan kali ini penulis hendak memperlihatkan kepada para pembaca tentang bukti lain yang mengisyaratkan akan kemaksuman Nabi Saw., dan para nabi lainnya.
Sebagai penegasan dari beberapa dari tulisan sebelumnya, penulis mencoba menghadirkan sebuah bukti akan kemaksuman sosok nabi, yang dikutip dari ulama kesohor Sunni, Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Qastallani. Di dalam salah satu karyanya yang cukup familiar di antara akademisi-Muslim, Al-Muwwahib Al-Ladunniyah, ia menuturkan pernyataan sebagai berikut.
“Nabi Muhammad Saw terjaga (maksum) dari dosa-dosa besar dan kecil, baik karena sengaja maupun lupa, begitu pula dengan para nabi lainnya.”
Dengan memandang dan mengkaji tugas nabi di tengah manusia, sebagaimana yang telah diulas di dalam tulisan sebelumnya, maka selayaknya ia menyandang gelar maksum. Akal sehat akan menolak, jika seorang nabi terjerembab di dalam lubang dosa dan kesalahan. Sebab, jika hal itu terjadi pada diri nabi, tentu ia tidak akan mungkin menamatkan tugasnya dengan sempurna.
Jika diri seorang nabi dipenuhi kesalahan dan dosa, yang alih-alih ia menuntun umatnya ke jalan yang lurus, justru—boleh jadi—malah menyesatkan mereka (umatnya). Na’udzubillah min Dzalik.
Sosok Nabi Bersih dari Segala Hal yang Membuat Orang Menjauh
Tujuan utama pengutusan para nabi ialah menggiring manusia untuk berjalan pada jalan yang ditetapkan oleh Allah swt, yaitu jalan kebenaran dan kesempurnaan bagi manusia itu sendiri.
Di sini Allah swt sebagai sang pencipta yang maha bijaksana juga Dzat yang paling mengenal manusia, ketika mengutus para nabi yang berasal dari mereka (manusia) serta ditugaskan dengan tanggung jawab berat membawa manusia pada tujuan asli penciptaannya, maka tentunya langkah ini sesuai dengan hikmah dan kebijaksanaan Allah swt.
Artinya dari sisi Allah swt sebagai pemberi hidayah, Dia telah memberikan semua syarat atau perangkat yang dibutuhkan untuk supaya manusia mendapat hidayah-Nya. Allah swt berfirman:
رُسُلًا مُّبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ لِئَلَّا يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّٰهِ حُجَّةٌ ۢ بَعْدَ الرُّسُلِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَزِيْزًا حَكِيْمًا
Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (An-Nisa: 165)
Dan di dalam persoalan kenabian, Ishmah atau kemaksuman merupakan mukadimah wajib untuk terwujudnya tujuan dari pengutusan itu sendiri. Para nabi selain sebagai seorang yang memperoleh wahyu dari Allah swt, di sisi yang lain juga harus merupakan sosok yang dapat diterima atau dipercaya oleh masyarakat berdasarkan akal sehat dan nurani (fitrah) yang bersih. Sebab dengan itulah Hujjah Allah swt menjadi sempurna dan tidak ada lagi alasan bagi manusia untuk mengelak seperti yang disebutkan pada ayat di atas.
Oleh sebab itu penerimaan dan kepercayaan manusia yang sesuai dengan akal sehat dan nuraninya adalah satu hal yang wajib ada dalam pribadi setiap nabi, tak terkecuali nabi Muhammad saw sang penghulu dari para nabi dan rasul. Dan inilah peran Ishmah, yaitu memberikan ketenangan dalam diri seorang manusia bahwa nabi yang diikutinya tidak akan pernah salah atau keliru dalam segala hal.
Dalam hal ini Syekh Nashiruddin At-Thusi menyebutkan dalam kitabnya Tajridul I’tiqad yang dinukil oleh Allamah Al-Hilli dalam kitab Kasyful Murad, bahwa Ishmah wajib ada dalam pribadi nabi sehingga dengan itu muncul kepercayaan dari masyarakat (penerimaan) kemudian dengan itu maka terwujudlah tujuan dari pengutusan nabi (bi’tsah).
Kemudian selanjutnya ia juga menjelaskan bahwa bukan hanya sebatas itu sebab adanya kewajiban mengikutinya, maka sosoknya juga haruslah yang memiliki kesempurnaan akal, kecerdasan serta pemikiran dan tidak ada kelengahan pada dirinya sedikitpun atau hal-hal yang membuat orang merasa jijik dan berpaling darinya seperti kehinaan pada garis ayah atau ibu (tidak terhormat nasabnya), juga kasar tutur katanya, cacat dan lain sebagainya.[1]
Semua itu akan berimbas pada kualitas penerimaan masyarakat terhadap sosok nabi. Apabila dari sisi-sisi tersebut terdapat celah bagi manusia untuk beralasan (tidak mengikuti nabi) di hadapan Allah swt, maka hal ini akan menjadi bukti bahwa Hujjah-Nya bagi manusia belum sempurna. Dan ini tentunya jauh dan mustahil bagi Dzat Allah swt yang maha sempurna dan bijaksana.
[1] Al-Hilli, Jamaluddin Al-Hasan bin Yusuf bin Ali bin Al-Muthahar, Kasyful Murad fi Syarhi Tajridil I’tiqad, hal: 326 – 327, Al-A’lami Lil Mathbuat, Beirut.
Hukum Asuransi dalam Islam
Asuransi atau pertanggungan adalah sejenis perjanjian dan ikrar antara dua orang baik ia sebagai pribadi (personal) atau mewakili lembaga (korporate) yang mana seorang atau lembaga penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.
Asuransi memiliki ragam jenis yang dalam pandangan Islam, seluruh bagiannya adalah sah dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur dalam syari
Dalam fikih, kita berhadapan hal-hal yang memiliki bentuk perjanjian asuransi, di antaranya adalah dhimân jarirah[1] yaitu sebuah perjanjian yang dulu disepakati pada masa jahiliyah dan kemudian diakui (diterima) secara resmi oleh Islam.
Pada hakikatnya akad dhimân jarirah adalah sejenis asuransi atau pertanggungan. Namun pada satu dimensi, masing-masing pihak, dalam beberapa kondisi tertentu, menanggung kerugian satu sama lain dan sebagai imbalan dari perjanjian ini, dalam beberapa kondisi tertentu, masing-masing mewarisi dari yang lain.[2]
Pada masa kini yaitu masa industri, terjadinya pelbagai kecelakaan, peristiwa, bahaya dan kerisauan dalam aktivitas-aktivitas niaga, pekerjaan dan lain sebagainya, dengan memperhatikan pelbagai aturan dan hukum Islam, pelbagai jenis kekuatiran ini harus dihilangkan dan terkadang disebabkan oleh kebakaran toko atau rumah, tenggelamnya kapal niaga yang berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi manusia. Karena itu, dengan membuat program tertentu seluruh kerugian yang diderita harus diberikan kompensasi.
Definisi Asuransi
Asuransi atau pertanggungan adalah sejenis perjanjian dan ikrar antara dua orang baik ia sebagai pribadi (personal) atau mewakili lembaga (korporate) yang mana seorang atau lembaga penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.
Dalam asuransi terdapat dua pihak yang bertransaksi. Ada pihak tertanggung (insured) dan ada pihak penanggung (insure). Bayaran yang diserahkan oleh pihak tertanggung kepada pihak penanggung disebut sebagai polis atau premi.[3]
Asuransi terdiri dari beragam jenis; seperti asuransi umur, asuransi kesehatan dan pengobatan, asuransi kecelakaan, asuransi pengangguran dan asuransi pihak ketiga. Dan tidak terdapat perbedaan hukum dalam pelbagai bentuk asuransi ini.[4]
Hukum Syariat Asuransi
Para Marja Agung Taklid dalam hal ini berkata, “Meski asuransi merupakan sebuah perjanjian mandiri namun dapat diimplementasikan dalam bentuk perjanjian-perjanjian lainnya seperti sulh (rekonsiliasi). Perjanjian ini termasuk sebagai akad lâzim (mengikat) dan tidak dapat dibatalkan kecuali dengan kerelaan dua belah pihak.[5]
Seluruh bagian asuransi ini sah apabila syarat-syaratnya dijalankan[6] termasuk asuransi usia atau asuransi barang-barang niaga atau asuransi bangunan atau asuransi kapal, asuransi pesawat atau asuransi pegawai negeri atau yayasan, atau asuransi warga kota dan warga desa.[7]
Syarat-syarat Asuransi
Dalam asuransi di samping syarat-syarat yang mengemuka pada akad-akad lainnya seperti syarat baligh, berakal, ikhtiar dan selainnya, terdapat syarat-syarat standar lainnya sebagaimana berikut:
Menentukan obyek-obyek yang diasuransikan; artinya siapa atau apa yang dijadikan sebagai obyek asuransi. Menentukan pihak yang bertransaksi dalam perjanjian asuransi apakah mewakili pribadi, lembaga atau pemerintah. Menentukan premi yang harus dibayar. Menentukan cicilan premi dan waktu pembayarannya. Menentukan masa asuransi. Menentukan pelbagai kecelakaan yang menimbulkan kerugian seperti kebakaran, tenggelam, pencurian, kematian atau sakit. Namun seluruh hal yang diperkirakan dapat menimbulkan kerugian dijadikan sebagai hal-hal yang menimbulkan kerugian.[8]
Akad atau perjanjian asuransi dapat dilaksanakan dalam beberapa bentuk:
Pertama: Pihak tertanggung (insured) berkata: Menjadi tugas saya untuk menyerahkan premi pada masa dan waktu yang disepakati dan sebagai imbalannya Anda siap menanggung kerugian yang ditimbulkan dari toko saya misalnya disebabkan oleh kebakaran atau pencurian dan pihak penanggung (insure) menerima perjanjian ini.
Kedua: Pihak penanggung berkata menjadi tugas saya untuk menyerahkan kompensasi atas kerugian yang terjadi pada yayasan Anda misalnya ditimbulkan dari kebakaran atau pencurian dan sebagai imbalannya Anda harus menyerahkan premi yang telah disepakati.
Patut untuk dicermati bahwa kedua poin yang telah disebutkan harus jelas bagi kedua belah pihak.[9][iQuest]
Catatan Kaki:
[1]. Dhimân jarirah adalah transaksi yang dibuat di antara dua orang dengan ketentuan bahwa apabila salah satu pihak pihak melakukan sebuah pelanggaran tanpa sengaja maka pihak yang lainnya harus memberikan kompensasi.
[2]. Silahkan lihat, Murtadha Muthahhari, Fiqh wa Huqûq (Majmu’e Atsar) jil. 20, hal. 383, Qum, Iran, Cetakan Pertama, Tanpa Tahun.
[3]. Sayid Mahmud Hasyimi, Farhangg-e Fiqh Muthâbiq Madzhab Ahlubait As, jil. 2, hal. 213, Muassasah Dairat al-Maarif Fiqh Islami, Qum, Cetakan Pertama, 1426 H.
[4]. Sayid Ruhullah Khomeini, Terjemahan edisi Persia oleh Ali Islami, Tahrir al-Wasilah, jil. 4, hal. 449, Daftar Intisyarat-e Islami, Qum, Cetakan 21, 1425 H.
[5]. Taudhih al-Masâil (Muhassyâ – Imâm Khomeini), jil. 2, hal. 893.
[6]. Akan tetapi dengan syarat memenehui aturan syariat lainnya dan ketentuan yang berlaku di suatu negara.
[7]. Ibid, hal. 792, Masalah 2866.
[8]. Ibid, hal. 792.
[9]. Ibid, hal. 792, Masalah 2865.
Membalas Keburukan Dengan Kebaikan
Kisah ini ditemukan pada kisah pribadi kehidupan Imam Hasan as. Budak Imam Hasan memiliki sikap yang sangat buruk akhlaknya. Namun Imam Hasan senantiasa memperlakukannya dengan baik dalam upaya dia bisa menjadi baik dan menyesali perilaku buruknya.
Imam Hasan memiliki seekor kambing di rumahnya. Dengan berjalannya waktu beliau menyayangi kambing itu. Suatu hari beliau tahu bahwa kaki kambing itu patah. Hatinya terenyuh melihat kambing itu dan bertanya kepada budaknya, “Mengapa kaki kambing ini jadi begini?”
Sang budak menjawab, “Aku yang mematahkannya.”
Dengan takjub Imam Hasan as berkata, “Mengapa engkau menzaliminya?”
Dengan nada congkak budak itu menjawab, “Karena aku ingin menyakitimu.”
Imam Hasan as sejenak berpikir dan berkata, “Ringkasi barang-barangmu dan pergilah dari rumah ini, dari saat ini engkau bebas.”
Budak itu terkejut dan berkata, “Mengapa Anda membebaskan aku?!”
Imam Hasan as berkata, “Agar aku membalas perbuatan burukmu dengan perbuatan baik.”
Budak itu menundukkan kepalanya dan terdiam, dia benar-benar malu.
Nabi Muhammad SAWW Sebagai Teladan dan Kemestian Ishmah
Pada beberapa tulisan sebelumnya telah disebutkan berbagai batasan serta cakupan ishmah para nabi teristimewa Nabi Muhammad SAWW.
Dalam berbagai tulisan tersebut telah disebutkan bahwa mazhab Syiah adalah golongan yang meyakini ishmah maksimal; yang berarti bahwa mazhab ini mengimani bahwa para nabi maksum atau terpelihara dari lupa, tidak melakukan kesalahan maupun dosa baik besar dan kecil disengaja maupun tidak semenjak lahir sampai wafat.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa mazhab Syiah menempatkan Nabi Muhammad SAWW serta para nabi dan rasul AS lainnya dalam posisi yang sangat mulia dan agung.
Dengan karakter seperti ini maka para nabi layak untuk diikuti dan diteladani dalam segala aspek kehidupannya. Jika tidak maka mengikuti serta meneladani mereka masih jadi tanda tanya sebab mungkin saja apa yang mereka lakukan justru merupakan perbuatan yang salah.
Sangat menerik untuk dikaji bagaimana kemudian Alusi menafsirkan ayat ke 21 dari surat al-Ahzab, dalam kitabnya Ruh al-Maani:
“Sekalipun ayat di atas ditujukan untuk mengikuti Nabi SAWW dalam urusan perang berkaitan dengan keteguhan dan hal lainnya, namun pada saat yang sama ia merupakan perintah umum untuk mengikuti semua perbuatan nabi. Kecuali jika diketahui perbuatan tersebut khusus untuk Nabi SAWW seperti menikahi lebih dari empat orang perempuan. Ibn Majah dan Ibn Abi Hatim mengeluarkan riwayat dari Hafsh bin Ashim, ia berkata: aku berkata kepada Abdullah bin Umar RA: aku melihatmu tidak melakukan shalat sunnah qabliah dan ba’diah dalam perjalanan. Ia menjwab: wahai anak saudaraku aku telah bersama dengan Rasulullah SAWW demikian dan demikian dan aku tidak melihatnya shalat sunnah qabliah dan ba’diah padahal Allah SWT berfirman: لَقَدْ كانَ لَكُمْ في رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ[1] (Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagimu). Abdurrazzaq dalam kitabnya al-Mushannif, memuat riwayat dari Qatadah, ia berkata: Uamar bin Khattab berkeinginan untuk melarang memakai “habarah” (pakian terbuat dari katun dan terkenal pembuatannya di Yaman) lalu seorang laki-laki berkata: bukankah engkau telah melihat Rasullullah memakainya? Umar menjawab: Ya. Laki-laki itu berkata: bukankah Allah SWt berfirman: لَقَدْ كانَ لَكُمْ في رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ[2] (Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagimu)? Lalu umar RA mengurungkat pelarangan tersebut.[3]
Dari penjelasan yang dipaparkan oleh Alusi di atas, dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad SAWW merupakan uswah atau teladan dalam segala perbuatannya; dan lebih dari itu semua tindakannya merupakan barometer bagi segala tindakan umat sebagaimana terkonfirmasi dalam hadits yang disebutkan dalam paparan tersebut.
Oleh karena itu ishmah merupakan suatu kemestian jika tidak maka konsekUensinya adalah, perintah Allah untuk menjadikan Nabi SAWW sebagai uswah dalam segala hal, pada kasus-kasus tertentu sama dengan perintah untuk melakukan kesalahan dan dosa.
Hal ini mengingat bahwa jika Nabi SAWW tidak maksum maka mungkin saja perbuatan yang kita teladani justru perbuatan salah dan khilaf yang dilakukan oleh beliau dengan sengaja maupun tidak, baik dosa besar maupun kecil dan sebelum kenabian maupun setelah kenabian.
[1] Al-Ahzab/ 21
[2] Al-Ahzab/ 21
[3] Alusi, Syihabuddin Sayyid Mahmud, Ruh al-Maani, jil: 11, hal: 223, cet: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, beirut, 1999 M/ 1420 M, pertama.