
کمالوندی
Apa yang kita tanam pasti akan berbuah kemudian
Dahulu, Lukman al-Hakim adalah budak seseorang. Tuannya adalah seorang manusia yang baik dan termasuk orang yang meyakini Allah, akan tetapi sayangnya tuannya itu seorang yang lalai. Ketika malam hari, semua manusia pergi ke tempat tidurnya. Begitu juga dengan Lukman al-Hakim, namun kemudian dia bangun dari tidurnya untuk mengerjakan shalat malam. Lukman al-Hakim merasa heran kepada tuannya yang mengaku beriman kepada Allah namun tidak terlihat tanda-tanda hendak bangun untuk mengerjakan shalat malam. Lukman pun pergi dan berkata kepada tuannya. “Tuanku, bangunlah dari tidur, marilah kita sama-sama mengerjakan shalat malam. Karena kafilah orang-orang yang shalat tidak akan lalai dari pahala dan ganjaran Allah. Oleh karena itu, bangunlah wahai tuanku!”
Tuannya menjawab, “Saya masih ngantuk, biarkan saya tidur sesaat lagi, nanti saya akan bangun, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang.” Begitu pula ketika mendekati waktu subuh. Lukman pun membangunkan lagi. Dan tuannya menjawab lagi, “Tinggalkan saya, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang.” Akhirnya tuannya itu bangun setelah sinar matahari menyorot dirinya.
Lalu ia memberikan biji gandum kepada Lukman sambil berkata, “Pergilah ke ladang, dan tebarkanlah biji gandum ini di sana.” Lukman kemudian bermaksud memberi pelajaran kepada tuannya. Lukman pergi ke ladang namun ia tidak menanam biji gandum, tapi biji bulgur. Lalu dia pulang dan memberitahukan apa yang dilakukannya kepada tuannya. Mendengar itu tuannya berkata kepadanya, “Apakah engkau gila dengan apa yang kamu lakukan?”
Lukman menjawab, “Sesungguhnya Allah Maha Penyayang. Saya lihat gandum itu harganya mahal sementara bulgur harganya murah maka oleh karena itu saya berpikir untuk menanam bulgur, sementara nantinya kita akan menuai gandum, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang.”
Tuannya marah dan bertanya kepadanya, “Dari mana kamu belajar ini?” “Dari Tuan,” jawab Lukman tenang. “Karena Anda tidur sepanjang malam dan tidak bangun untuk mengerjakan shalat Subuh, sementara Anda mengatakan “Sesungguhnya Allah Maha Penyayang, dengan itu Anda berharap mendapat surga, keridhaan Allah dan bidadari Mahsyar pada Hari Kiamat,” lanjut Lukman.
Dengan demikian sebenarnya apa yang akan kita tanam dalam hidup ini akan berbuah kemudian.
Ketika Manusia Dicuci dari Dosa-dosanya
"Anggap saja kita ini baju berwarna putih.."
Aku senang jika temanku berbicara tentang kehidupan. Logika-logika berfikir dipaksa untuk memandang dari sudut yang berbeda olehnya, dan -anehnya- aku tidak bisa menolak jalan pikirnya.
Sore tadi kami seperti biasa bercerita tentang bagaimana memandang sesuatu itu pada tempatnya..
"Pada waktu lahir, kita ini seperti baju putih, bersih tanpa noda. Seiring bertambahnya usia, kita mulai terjebak pada kenikmatan dan godaan dunia.
Dunia ini sejatinya tempat yang kotor dan semakin kita tenggelam pada kenikmatannya, maka kotoran akan semakin melekat di jiwa kita. Tebalnya kotoran yang melekat sebanding dengan seberapa dalam dan lamanya kita bermain di lumpur itu.."
Ehm, analogi yang menarik. Teruskan, kataku dalam hati.
"Ada saat kita mengalani titik balik dalam hidup kita dan kita bertobat, mohon ampun. Karena Tuhan itu Maha penyayang, kita pasti diampuni.. " Katanya tersenyum. Aku terus mengikuti jalan ceritanya.
"Yang banyak orang lupa adalah bahwa Tuhan juga Maha adil. Jadi meskipun kita diampuni, kita harus melalui tahapan pencucian sesudah sekian lama berkubang di lumpur..." Ia menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan ceritanya.
"Nah, mesin cuci manusia dari dosa-dosanya ada 2, yang pertama ada di alam kehidupan. Tuhan mencuci dosa manusia melalui banyak peristiwa mulai sakit, sulit, miskin dan lain sebagainya.
Semakin tebal lumpurnya, maka proses menggosoknya semakin kuat dan lama. Kita pasti merasakan sakit dan perih.
Disinilah Tuhan selalu berfirman, "sabar dan syukuri.." Sabar itu berarti kita harus melewati prosesnya dan syukur itu adalah berterima-kasih karena sudah dicuci di dunia dengan ujian yang sebenarnya tidak ada artinya.."
"Pencucian di dunia sebenarnya tidak ada artinya.." Temanku melanjutkan. "Ketika baju kita masih kotor di dunia meski sudah dicuci sedemikian kuatnya, maka ada mesin cuci kedua, yaitu di alam kematian atau alam penantian atau kita kenal dengan nama alam barzakh.."
Tampak ia mulai resah..
"Di alam barzakh, kita "dicuci" dengan model seperti yang sering digambarkan dalam kitab-kitab, yaitu siksa sesuai dengan apa dosa yang pernah kita lakukan di dunia.
Banyak yang bilang, jika Tuhan Maha penyayang masak menyiksa ? Padahal inilah wujud kasih sayang Tuhan, bahwa kita melalui proses pencucian dosa. Tanpa itu bagaimana kita harus menghadapi timbangan di hari pengadilan nanti ?"
Tidak mampu kubayangkan apa yang terjadi di alam itu nanti, apalagi dengan semua maksiat yang pernah kulakukan.
"Proses pencucian di alam barzakh sangat dahsyat, karena itu bersyukurlah ketika kamu dicuci di dunia. Dan pada waktu kiamat, semua manusia dibangkitkan sesudah melalui proses panjang itu menghadap timbangan di hari pengadilan. Akan ditimbang lebih berat mana amal atau dosa kita di dunia?
Tetapi karena kita sudah melalui proses pencucian yang dahsyat itu, tentu kita harus lega bahwa dosa kita sudah jauh berkurang, tinggal berharap amal kita cukup untuk menyeimbangkannya.
Ketika ternyata dosa kita masih lebih berat dari amal kita meski sudah melalui proses-proses itu, yang kita harapkan adalah syafaat atau grasi dari para manusia suci yang sudah diturunkan ke dunia, dalam Islam ada Nabi Muhammad SAW.
Syafaat beliau adalah kerinduan yang besar bagi umatnya sesudah mengalami proses yang menakutkan..."
Belum pernah kualami memandang hal itu dari sudut pandang yang berbeda. Hanya, aku - sekali lagi - tidak mampu membantah logika berfikirnya yang kuyakin berdasarkan petunjuk-petunjuk yang ada.
Ah, Tuhan.. semoga aku nanti dihukum dengan Kasih SayangMu dibanding dengan keadilanMu... Karena jika tidak ada kasih sayangMu dan yang ada hanya keadilanMu, habislah aku...
Sampai sekarang cerita itu membekas dalam pikiranku. Sampai sekarang..
Manifestasi Syukur
Dalam suatu hadits Amirul Mukminin Ali as bersabda: “Ketika sudut-sudut nikmat sampai kepadamu janganlah engkau memutuskannya dengan sedikit bersyukur” (Nahjul Balagah, Hikmah 13).
Dalam hikmah ini Amirul Mukminin menjelaskan bahwa syarat langgeng dan lestarinya nikmat Tuhan -baik itu nikmat maknawi maupun nikmat materi- adalah memperbanyak syukur kepada Allah Swt atas nikmat yang diberikan-Nya. Pandangan ini senada dengan firman Tuhan: “Jika kamu bersyukur niscaya Aku tambahkan padamu (nikmat-Ku), dan jika kamu kufur (tidak bersyukur), niscaya azab-Ku sangatlah pedih” (Al-Qur’an: Surah Ibrahim, ayat 7).
Berasaskan hal ini jelaslah bahwasanya salah satu penghalang turunnya rahmat dan nikmat Ilahi adalah kufraan nikmat (kebalikan dari syukur nikmat), yakni hamba tidak berterima kasih dan bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya. Namun disamping itu sebagaimana yang dijelaskan dalam berbagai riwayat, penghalang lain turunnya rahmat dan nikmat Tuhan adalah dosa dan maksiat yang dilakukan manusia. Imam Shadiq as berkata: Seorang mukmin melakukan dosa, dan karena dosanya itu maka ia tidak dapat bagian dari rezki (Bihar, jld 73, hal 349). Dalam do’a Kumail (Imam Ali as mengajarkan do’a kepada sahabatnya Kumail) terdapat ungkapan munajat seperti ini: “Ya Allah! Aku memohon ampun pada-Mu atas dosa-dosa yang mengubah nikmat-nikmat. Ya Allah! Aku memohon ampun pada-Mu atas dosa-dosa yang menahan terkabulnya do’a. Ya Allah! Aku memohon ampun pada-Mu atas dosa-dosa yang menurunkan bala dan bencana (Kutipan Do’a Kumail).
Tingkatan-tingkatan Syukur
Seorang hamba dalam merepleksikan syukurnya terhadap limpahan nikmat dari Tuhan, dapat dilakukannya dalam tiga bentuk:
1. Syukur Lisan:
Memuji Tuhan dan bertasbih dengan lidah. Apa saja bentuknya dan dalam keadaan apapun, dzikir memuji Tuhan dengan lidah disebut juga dzikir lisan. Membiasakan lidah mngucapkan syukur ketika mendapatkan nikmat atas nikmat-nikmat terdahulu merupakan kebiasaan terpuji dengan syarat muncul dari hati yang paling dalam dan bukan sekedar ucapan-ucapan bibir dan lidah saja.
2. Syukur Qalbu:
Memperhatikan nikmat-nikmat Ilahi dan memutuskan untuk melakukan syukur kepada Tuhan yang disebut dengan syukur qalbu dan pikiran. Adapun pikiran yang tidak memperhatikan pemberian-pemberian Tuhan dan melewatinya dengan lalai maka disebut qalbu dan pikiran yang kufur atas nikmat Tuhan. Syukur jenis ini lebih tinggi derajatnya dari syukur lisan, sebab dalam syukur ini manusia diajak untuk khusyu’ tentang keesaan dan kebesaran Tuhan.
3. Syukur Anggota Badan (Jawaarih)
Tingkatan ini biasa disebut syukur perbuatan, yakni anggota badan berbuat dan berprilaku sesuai dengan kehendak dan keinginan Tuhan. Seperti melihat apa yang dianjurkan-Nya, melihat alam sebagai tanda-tanda keagungan-Nya, melihat dan mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an, melihat Ka’bah, melihat wajah ulama Rabbani, melihat kedua orang tua dengan penuh cinta dan kasih, mendengar ibrah dan nasehat ulama, dll, semua ini termasuk syukur kepada Tuhan, begitu pula menahan pandangan untuk tidak melihat yang diharamkan Tuhan, menahan pendengaran, lisan, tangan, dan kaki dari yang diharamkan-Nya. Jadi seluruh anggota badan yang merupakan nikmat-nikmat Ilahi jikalau digunakan sesuai dengan hukum dan perintah agama maka termasuk syukur amali atau perbuatan, dan orang yang merepleksikannya termasuk orang-orang yang bersyukur kepada Allah Swt.
hakekat kalimat "Insya Allah"
Makna frase insya Allah adalah jika Allah menghendaki.
Seseorang yang mengucapkan kalimat ini meyakini bahwa terdapat iradah di atas iradahnya sendiri artinya, jika Ia tidak menghendaki sesuatu maka tidak ada sesuatu yang bisa terjadi.
Dalam sebagian perkara, kalimat “Insya Allah” merupakan bentuk mengambil berkah dan orang-orang selalu mengucapkan “Inysa Allah’ dan “Masya Allah”. Al-Quran berdasarkan ayat
«لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرامَ إِنْ شاءَ اللهُ آمِنِینَ»
“Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman” (Qs Al-Fath [48]: 27)
Pada ayat lain, Allah Swt berfirman:
«سَنُقْرِئُکَ فَلا تَنْسى إِلَّا ما شاءَ اللهُ»
“Maka tatkala mereka masuk ke (tempat) Yusuf, Yusuf merangkul ibu bapaknya dan berkata, “Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah kamu dalam keadaan aman.” (Qs Yusuf [12]: 99)
«سَنُقْرِئُکَ فَلا تَنْسى إِلَّا ما شاءَ اللهُ»
“Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa, kecuali kalau Allah menghendaki.” (Qs A’la [87]: 6)
Dalam perkara-perkara ini frase insya Allah dinyatakan sebagai bentuk tabarruk (mengambil berkah) dan menyinggung tentang keagungan dan kekuasaan Allah Swt. Atas dasar itu, di kalangan Arab bahkan pekerjaan yang telah selesai dilakukan sekalipun maka mereka menyandarkannya kepada kehendak dan iradah Allah Swt dengan berkata Hajajjtu insya Allah (Aku akan pergi haji insya Allah) dan “zurtu insya Allah” (Aku akan pergi berziarah insya Allah).[1]
Dalam riwayat dari Imam Shadiq As disebutkan bersbada “Awali hari kalian dengan berbuat kebaikan dan diktekan kepada malaikat yang mencatat amal kebaikan pada awal dan akhir hari sehingga insya allah apa-apa yang menimpa kalian di antara awal dan akhir hari akan mendapatkan pengampunan Ilahi.”[2]
Frase Insya Allah disebutkan dalam akhir hadis untuk bertabaruk/mengambil berkah dan tayamun atau untuk menghindari manusia dari kesombongan. []
CATATAN :
[1] Ja’fari, Ya’qub, Kautsar, jil. 5, hal. 30, tanpa tempat, tanpa tahun.
[2] Al-Kāfi, jil. 2, hal. 142, Tehran, Islamiyah, cet. 2, 1362 S.
«افتتحوا نهارکم بخیر و أملوا على حفظتکم فی اوله و فی آخره خیرا یغفر لکم ما بین ذلک ان شاء الله
Realitas di Balik Lupa dan Mengingat Allah
Di kalangan masyarakat secara umum, dosa dipahami terbagi atas dua, yaitu dosa besar dan dosa kecil. Dalam hal ini, penting mengetahui apa tolak ukur dalam menentukan besar dan kecilnya sebuah dosa.
Sebagian orang mengatakan bahwa keduanya adalah perkara relatif. Jika salah satunya lebih diperhatikan itu adalah dosa besar, sementara yang kurang diperhatikan adalah dosa kecil. Tetapi apabila merujuk pada arti bahasanya, dosa besar adalah setiap dosa yang menurut pandangan Islam besar dan sangat diperhatikan. Besarnya perhatian bisa diketahui bahwa dalam al-Quran dosa tersebut tidak cukup hanya dengan larangan, akan tetapi disertai dengan adanya ancaman siksa neraka. Dosa itu antara lain bunuh diri, zina, makna harta riba, dan sebagainya.
Oleh karena itu, terdapat hadis-hadis diriwayatkan oleh Imam Ja’far Shadiq yang berbunyi,”Dosa besar adalah dosa-dosa yang Allah menetapkan atasnnya siksa neraka.” Terdapat pula riwayat, menyebutkan ada tujuh dosa besar, namun sebagian besar menyebutkan ada dua puluh, ada pula menyebutkan tujuh puluh. Ini merupakan hal yang tidak bertentangan, dengannya hal ini relevan mengenai adanya dosa besar tingkat pertama, dosa besar tingkat kedua, dan semuanya tergolong jenis dosa besar.
Akan tetapi, poin penting yang harus diperhatikan di sini ialah, adanya dosa kecil diartikan sebagai dosa yang apabila kita mengulang-ulanginya. Sebagaimana Sayyid Said Husain Husaini menjelaskan bahwa, bila dosa kecil terus dilakukan, itu merupakan bentuk ketidakpedulian, kesombongan, dan kesewenang-wenangan, kepada Allah SWT. Karena sesuai al-Quran dan berbagai riwayat disebutkan bahwa dosa kecil bisa berubah menjadi dosa besar:
Pertama, ketika selalu mengulangi perbuatan dosa kecil, Imam Ja’far Shadiq berkata, “Tidak ada dosa kecil yang disertai dengan terus-menerus mengulanginya.”.
Kedua, ketika sebuah dosa dianggap kecil dan diremehkan, Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata, “Dosa yang paling berat adalah dosa yang diremehkan oleh pelakunya.”
Ketiga, ketika dosa dilakukan secara sewenang-wenang, sombong, dan durhaka di hadapan Allah SW. Seperti yang tergambar dalam QS. Al-Naziat ayat 37 “Adapun orang yang melampaui batas dan lebih megutamakan kehidupan dunia sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya.”
Keempat, ketika dosa dilakukan oleh orang orang yang memiliki kedudukan khusus di masyarakat. Kesalahan dan dosa mereka tidak dianggap sama dengan orang lain. Al-Quran mengungkapkan soal ini sehubungan dengan istri-istri Nabi SAW dalam surah al-Ahzab ayat 30 “Apabila kalian melakukan perbuatan buruk, kalian akan mendapatkan siksanya dua kali lipat.”
Kelima, bila seseorang senang dan bahagia melakukan dosa, bahkan merasa bangga atas hal itu, Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang berbuat dosa dan ia malah tertawa, ia akan masuk neraka dalam keadaan menangis.”
Keenam, ketika seseorang menganggap bahwa Allah tidak segera menyiksanya, mengira hal itu menunjukkan keridhaa-Nya atas dosa yang dia lakukan, menganggap bahwa ia selamat dari siksaan, dan dirinya adalah orang yang dicintai Allah. Sebagaimana al-Quran surah al-Mujadilah ayat 8 digambarkan tentang perkataan sebagian para pendosa yang congkak: “Mereka mengatakan kepada diri mereka sendiri: Mengapa Allah tidak menyiksa kita? Kemudian al-Quran menegaskan: Cukuplah bagi mereka neraka Jahannam.”
Maka dari itu, mengetahui sebab perubahan dosa kecil yang menjadi sebuah dosa besar, sebagaimana point-point di atas, kemudian menjadi alarm agar terhindar dari perbuatan tersebut. Sebagai manusia yang ingin mendekatkan diri dan mengharap kasih sayang Tuhan, kita harus waspada jangan sampai baik secara sadar maupun tidak sadar, telah menumpuk banyak dosa. Berat sebuah dosa tidak sama dengan beratnya alasan untuk melakukannya. Pendosa yang tahu bahwa dosanya kebanyakan, lazimnya segera bertobat. Akan tetapi bencana zaman mulai datang, begitu manusia menyepelekan dosa dan melakukan pembenaran akan dosa-dosanya. Ia tidak hanya menutup pintu tobat, bahkan menjadikan manusia lebih mantap dan lebih berani berbuat dosa. Oleh karena itu, kaum muslim yang sadar senantiasa merenungkan kembali dosa-dosa, amal perbuatan, dan melakukan introspeksi diri agar tidak menjadi golongan orang-orang yang dimurkai-Nya.
Berdoalah dengan Rendah Hati
Sa’ad bin Waqqas adalah sahabat Nabi saw. Ia berusia
panjang sepeninggal Nabi. Pada hari-hari terakhir
hidupnya, ia buta dan tinggal di Makkah. Ia sering
didatangi orang yang meminta berkah. Tidak semua orang
ia berkati. Tapi orang yang diberkati selalu berhasil
memperoleh hajatnya atau menyelesaikan urusannya.
Abdullah bin Sa’ad meriwayatkan kepada kita: “Aku
mengunjungi dia. Ia selalu baik padaku dan selalu
mendoakan aku. Karena aku anak yang selalu ingin tahu,
aku bertanya kepadanya: Doa Tuan untuk orang lain
tampaknya selalu diijabah. Mengapa Tuan tidak berdoa
agar disembuhkan dari kebutaan Tuan? Orang tua itu
menjawab: Pasrah kepada kehendak Allah jauh lebih baik
dari kenikmatan karena bisa melihat.”
Kisah dari khazanah Islam di atas dikutip oleh dokter
Larry Dossey, sebelum ia mengutip perkembangan
penelitian tentang efek doa bagi kesembuhan. Ia
menyebut doa sebagai “the healing words”, kata-kata
yang menyembuhkan. Berbagai penelitian kedokteran
tentang efek doa dilaporkan Dossey dalam bukunya
Healing Words: The Power of Prayer and the Practice of
Medicine.
Tapi tidak setiap doa mujarab. Psikolog LeShan
memperkirakan hanya sekitar 20 persen saja sembuh
karena doa. George Bernard Shaw, pujangga Inggris,
melihat tumpukan kursi roda dan penyangga kaki di
Lourdes. Seperti Anda ketahui, Notre Dame de Lourdes
adalah kota kecil di Haute Pyrennees, Perancis yang
dikunjungi ribuan orang setiap tahun. Mereka datang ke
kota itu untuk memperoleh kesembuhan dari penyakitnya.
Menurut Shaw, Lourdes bukan kota yang menunjukkan kuasa
Allah, tapi kota yang menghujat Allah. Mengapa di situ
tidak ada tumpukan satu kaki kayu, kaca mata, dan wig?
Artinya, Tuhan tidak dapat menyembuhkan orang yang
pincang, penderita myopia atau hiperopia –rabun jauh
atau rabun dekat- dan orang-orang botak. Artinya, ada
penyakit yang tidak mampu disembuhkan Tuhan. Kota itu
menghujat Tuhan, kata Shaw.
Baik Shaw maupun LeShan keliru. Doa bukan panacea yang
menyembuhkan segala penyakit. Bandingkan dengan
penicillin. Penicillin sangat mujarab untuk sakit
tenggorokan, tapi tidak ada gunanya untuk mengobati
tuberkulosis. Sekiranya penicillin digunakan untuk
semua infeksi, paling tinggi ia hanya efektif sekitar
20 persen saja.
Mungkin Anda berkata, jangan bandingkan penicillin
dengan karya Tuhan. Bukankah doa berhubungan dengan
Yang Mahakuasa? Mestinya Tuhan dapat menyembuhkan semua
penyakit? Doa bukan hanya melibatkan kekuasaan Tuhan
yang menerima doa. Doa juga menyangkut sifat-sifat
makhluk yang berdoa. Bisa jadi doa tidak dijawab bukan
karena Tuhan tidak berkuasa, tapi karena pendoa tidak
benar dalam berdoa. Hasil doa adalah akibat dari
interaksi Khaliq dengan makhluk. Doa gagal bukan karena
doanya, tapi karena pendoanya, not of prayer but of the
pray-er .
Bisa jadi juga doa tidak dikabulkan karena ada
kebijakan ilahi di dalamnya. Tentara Amerika berdoa
ketika menyerbu Iraq, dan tentara Iraq berdoa ketika
menahan serangan Amerika. Jika Tuhan mengabulkan
keduanya, apa yang akan terjadi? Ada lima orang calon
Presiden. Semuanya berdoa ingin menang dalam pemilu.
Pernah milyaran orang berdoa ingin dipanjangkan umurnya
pada ranjang kematiaannya. Bayangkan kalau semua doa
itu diijabah? Dunia ini pasti kacau balau. Bumi akan
penuh sesak, karena tidak satu pun orang mati. Kalau
doa semua yang sakit dikabulkan, seluruh rumah sakit
tutup dan ilmu kedokteran bangkrut.
C.S Lewis, novelis dari Irlandia, menulis, “Jika Tuhan
mengabulkan semua doaku yang tolol sepanjang hidupku,
aku tidak tahu di mana aku sekarang?” Kenangkan doa-doa
kita dahulu. Sekarang kita tahu betapa bijaknya Tuhan,
karena Dia tidak menjawab semua doa kita. Guru saya,
dosen Unpad, pernah ditolak sebagai pegawai yang
dikirim ke Australia untuk training selama tiga bulan.
Ia meradang karena doanya pada waktu salat malam tidak
diterima Tuhan. Almarhum Guru saya itu memang tidak
jadi ke Australia, karena Tuhan kemudian mengirimkannya
ke Amerika. Sekiranya waktu itu doanya dikabulkan, ia
tidak akan menjadi guru besar di Unpad. Mungkin ia
hanya pensiunan pegawai RRI seperti kawan-kawannya yang
berhasil ke Australia.
Karena itu berdoalah dengan rendah hati, seperti yang
kita ucapkan dalam doa hajat: Tuhanku, jangan
Kautinggalkan aku di sini dengan dosa kecuali
Kauampuni, dengan aib kecuali Kaututupi, dengan rezeki
kecuali Kauluaskan, dengan penyakit kecuali
Kausembuhkan. Dan penuhi keperluanku itu jika ia
mendatangkan kebaikan kepadaku dan memperoleh ridoMu!.
Tobat
“Sesungguhnya Allah lebih bahagia dengan taubatnya
seorang hamba daripada seseorang yang datang ke suatu
tempat yang gersang. Ia membawa unta tunggangannya. Di
atas untanya itu ada makanan dan minumannya. Ia
beristirahat meletakkan kepalanya dan tertidur lelap.
Ketika ia bangun, untanya hilang.
Ia berusaha mencarinya, sampai ia sangat kepanasan dan
kehausan. Ia berkata: ‘Aku akan kembali ke tempatku
semula. Aku akan tidur sampai mati’. Ia kembali lagi
dan tidur lelap. Kemudian ia bangkit, mengangkat
kepalanya. Tiba-tiba ia melihat untanya itu kembali
lagi kepadanya. Di atasnya masih utuh perbekalan,
makanan dan minumannya. Sesungguhnya Allah lebih senang
dengan tobatnya seorang mukmin ketimbang orang ini
ketika melihat unta dan perbekalannya kembali
kepadanya.” (Kanz al-‘Ummal, hadis 10161).
Dengan kalimat-kalimat inilah Nabi SAW mengambarkan
taubat. Tawbat dalam bahasa Arab berarti “kembali”.
Dalam Al-Qur’an, salah satu nama Allah ialah ‘Al-
Tawwab”, yang banyak bertaubat atau yang banyak
kembali. Maka Adam menerima dari Tuhan-nya kalimat dan
ia bertaubat dengannya. Sesungguhnya Allah Al-Tawwab
dan Maha Pengasih (Al-Baqarah: 37). Kata yang sama
digunakan untuk menunjukkan orang yang bertaubat kepada
Allah: Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan
dirinya (Al-Baqarah: 222). Jadi, manusia bertaubat
kepada Tuhan, dan Tuhan pun bertaubat kepada manusia.
Tanpa merujuk kepada makna asalnya, yakni kembali, kita
akan kesulitan memahami doa ini: wa tub ‘alaina innaka
anta al-tawwab al-rahim (dan bertaubatlah kepada kami,
sesungguhnya Engkau Yang Banyak Bertaubat dan Yang Maha
Pengasih).
“Allah bertaubat kepadanya” berarti Dia kembali
kepadanya dengan ampunan, atau kembali kepadanya dengan
anugerah-Nya, dan menerima taubatnya serta
memaafkannya. Karena itulah Allah itu Al-Tawwab. Pada
kata taubat ada makna “kembali”-hamba kembali dari
dosanya dan Tuhan kembali dengan rahmat dan ampunan-
Nya.” (Mu’jam al-Fazh al-Qur’an Karim 1:162).
Ketika seorang hamba berbuat dosa, ia meninggalkan
Tuhan. Tuhan pun meninggalkan dia juga. Seperti
didendangkan Bimbo: “Aku dekat Engkat dekat. Aku jauh
Engkau jauh”. Walaupun, berdasarkan hadis di atas,
kalimat yang benar ialah “aku dekat Engkau lebih dekat
lagi, aku jauh Engkau lebih jauh lagi”. Dalam salah
satu hadis Qudsi yang masyhur, Tuhan berfirman: “Jika
kamu datang kepadaku dengan merangkak, Aku akan
menyongsongmu sambil berjalan. Jika kamu datang
kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan menyambutmu sambil
berlari, karena kasih-Nya yang tidak terbatas.
Betapapun besar dosa yang dilakukan seorang manusia,
Tuhan akan selalu menerima hamba-Nya yang kembali
kepada-Nya.
Dahulu, dua ulama besar dari zaman tabi’in berbincang
tentang dosa dan ampunan. Hasan Al-Bashri berkata,
“Jika aku melihat dosa-dosa manusia, aku heran kalau
masih ada orang yang bisa masuk surga.” Ali Zainal
‘Abidin menukas, “Jika aku melihat kasih sayang Tuhan,
aku heran kalau masih ada manusia yang masuk neraka.”
Memang benar, keadilan Tuhan sangat menakutkan.
Bukankah Nabi SAW bersabda bahwa tidak akan masuk surga
orang yang mempunyai perasaan takabbur walaupun sebesar
debu saja? Siapakah di antara kita yang tidak ditimpa
kepongahan dalam kadar yang bermacam-macam? Tetapi
kasih sayang Tuhan meliputi segala sesuatu yang
mengalahkannya. Ridha Tuhan mengalahkan murka-Nya.
Karena itu, dalam Al-Qur’an, Allah meletakkan “Yang
Maha Keras dalam Menyiksa”sebagai salah satu nama-Nya
setelah nama-nama yang mengungkapkan kasih sayang-Nya:
Penghapus Dosa, Penerima Taubat, Yang Maha Keras dalam
Menyiksa (Ghafir: 3)
Dalam hadis berikut ini, Nabi SAW menegaskan hadis di
atas. “Sesungguhnya Allah lebih senang menerima taubat
hamba-Nya daripada seorang perempuan mandul ketika
memperoleh anak, daripada seorang yang sesat ketika
menemukan jalan, daripada seorang yang haus ketika
menemukan minuman” (Kanz al-‘Ummal, 10165).
Apakah Taubat itu? Para sufi melihat perjalanan hidup
ini sebagai perjalanan menuju Tuhan. Mereka menyebut
dirinya salik atau sair (sayr), yang sedang bepergian.
Sepanjang perjalanan itu, ia akan menemui stasiun-
stasiun, atau maqam, manzil. Maqam yang pertama adalah
taubat. Kaena itulah, hampir setiap pengantar tasawuf
membahas pengertian taubat, syarat-syarat taubat, dan
dari apa kita harus bertaubat.
Ketika menjelaskan ayat, “siapa yang tidak bertaubat,
mereka termasuk orang yang zalim” (Al-Hujurat 11), Al-
Tilmisani menulis, “Taubat menurut bahasa artinya
“kembali”. Ketika Anda berkata “taba ‘ala atsarih”,
yang Anda maksud adalah kembali ke tempat semula. Di
sini maksudnya, kembali dari menentang Tuhan kepada
mengikuti-Nya. Seorang yang bertaubat kembali dari
jalan yang dimurkai dan jalan yang sesat ke jalan
orang-orang yang diberi nikmat” (Syarh Manazil al-
Sairin: 61).
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa taubat terdiri dari
tiga unsur: ilmu, keadaan, dan perbuatan. Ilmu
melahirkan keadaan, dan keadaan melahirkan perbuatan.
Ilmu ialah kesadaran akan bahaya dosa yang pernah
dilakukan dan kesadaran akan jatuhnya tirai yang
menghalangi seseorang dengan kekasihnya. Bila ia tahu
Tuhan telah meninggalkannya, ia akan merasakan
kepedihan hati. Ia kehilangan kekasihnya. Hatinya
dipenuhi penyesalan. Inilah keadaan psikologis atau
spiritual, yang tumbuh dari kesadaran akan dosa.
Setelah hatinya dipenuhi penyesalan, ia segera
meninggalkan dosanya pada waktu kini dan bertekad tidak
akan melakukannya pada waktu yang akan datang (Ihya’
‘Ulum al-Din, Kitab al-Tawbah). Al-Ghazali boleh jadi
merujuk pada ucapan Imam Ali bin Abi Thalib kw.,
“Taubat ditegakkan di atas empat fondasi: penyesalan
dalam hati, permohonan ampunan dalam lidah, perbuatan
dalam anggota (badan), dan tekad untuk tidak mengulangi
dosa (Bihar al-Anwar, 78:81). Rasulullah SAW bersabda:
“Penyesalan itu taubat.” (Kanz al-‘Ummal, 10301).
Dari sini para sufi merumuskan tiga syarat taubat:
penyesalan, meninggalkan maksiat, dan tekad untuk tidak
mengulanginya. Tidak sempurna taubat tanpa memenuhi
syarat-syarat ini. Penyesalan adalah suasana psikologis
yang dirasakan seorang hamba sahaya yang bertaubat.
Bayangkanlah keadaan ketika seorang budak melarikan
diri dari tuannya.
Ia tertangkap. Kuduknya diseret dan tubuhnya
dilemparkan ke hadapan tuannya. Ia tersungkur dalam
keadaan lemah, hina dan tidak berdaya. Ia jatuh di
hadapan tuannya yang berkuasa dan siap menjatuhkan
hukuman yang berat baginya. Ia merintih memohon
ampunan. Ia berjanji untuk tidak berbuat hal yang sama.
Seperti itulah, seorang yang bertaubat di hadapan
Tuhan-nya.
Hakikat taubat itu dengan indah digambarkan dalam doa
Ali bin Abi Thalib berikut ini:
Aku datang kini menghadap-Mu, ya Ilahi
dengan segala kekuranganku
dengan segala kedurhakaanku
seraya menyampaikan pengakuan dan penyesalanku
dengan hati yang hancur luluh
memohon ampun dan berserah diri
dengan rendah hati mengakui segala kenistaanku
Karena segala cacatku ini
tiada aku dapatkan tempat melarikan diri
tiada tempat berlindung untuk menyerahkan urusanku
selain pada kehendak-Mu
untuk menerima pengakuan kesalahanku
dan memasukkan aku pada keluasan kasih-Mu
Ya Allah,
terimalah pengakuanku
kasihanilah beratnya kepedihan
lepaskan aku dari kekuatan belengguku
Ya Rabbi, kasihanilah kelemahan tubuhku
kelembutan kulitku
dan kerapuhan tulangku
Cara Bertaubat. Cara bertaubat bergantung pada jenis
dosa yang dilakukan. Ada dua macam dosa: dosa kepada
Allah dan dosa kepada makhluk-Nya. Bertaubat dari dosa
kepada Allah dapat dilakukan dengan memohonkan ampunan
kepada-Nya langsung atau melakukan berbagai amal yang
menurut syariat dapat menghapuskan dosa itu. Nabi SAW
bersabda: “Apabila dosa seorang hamba sangat banyak dan
amal-amalnya tidak cukup untuk menebusnya, Allah
memberikan padanya berbagai kesusahan sebagai penghapus
dosa-dosanya”(HR Ahmad). “Di antara dosa-dosa, ada dosa
yang tidak dapat dihapus, kecuali dengan kesulitan
mencari nafkah” (HR Ath-Thabrani). Bertaubat dari dosa
kepada sesama manusia hanya bisa dilakukan setelah
mengembalikan hak-hak mereka yang sudah dirampas.
Berkenaan dengan dosa kezaliman, Al-Ghazali mengatakan
bahwa kezaliman menggabungkan kedua dosa; dosa kepada
Tuhan karena Ia melarang kita berbuat zalim, dan dosa
kepada manusia karena kita mengambil haknya dengan
paksa. Kepada Tuhan ia dapat memohonkan ampunan dengan
merintih dan menangisi kesalahan-kesalahannya, serta
berjanji untuk tidak mengulanginya. Kepada manusia, ia
harus menghentikan perbuatan zalimnya dan mengembalikan
hak yang telah dirampasnya. Jika yang diambil itu
hartanya, ia harus mengembalikan harta itu. Jika yang
dihancurkan itu kehormatannya, ia harus merehabilitasi
kehormatan itu. Tanpa pengembalian hak, Tuhan tidak
akan mengampuni dosa-dosanya.
Pada suatu hari, Imam Ali bin Abi Thalib kw. menemukan
seseorang sedang membaca istighfar. Ia berkata,
“Sesungguhnya istighfar itu hanya terjadi setelah
memenuhi enam hal. Pertama, penyesalan terhadap
perbuatan yang telah dilakukan. Kedua, bertekad untuk
tidak mengulangi perbuatan itu selama-lamanya. Ketiga,
mengembalikan hak-hak makhluk yang telah dirampas.
Keempat, menunaikan segala kewajiban yang telah
dilalaikannya. Kelima, berusaha untuk menghilangkan
daging dalam tubuh, yang tumbuh dari makanan yang
haram. Ia menghilangkan daging-daging itu dengan
kesedihannya, sehingga tumbuh daging yang baru.
Keeanam, membiasakan kepada tubuh sakitnya menjalankan
ketaatan sebagaimana sebelumnya telah menikmati
manisnya kemaksiatan. Setelah keenam perbuatan itu,
barulah ia boleh berkata, “Astaghfirullah”.
Fungsi dan Manfaat Shalat
SHALAT, secara harfiah, berarti doa. Dalam konteks ini, yang dimaksud shalat adalah doa yang disampaikan dengan tata cara—syarat dan rukun—yang khas dalam bentuk bacaan-bacaan dan gerakan-gerakan tertentu. Dalam bahasa syariah, inilah yang disebut dengan ash-shalawât al-qâ’imah (shalat-shalat yang didirikan), terdiri atas shalat wajib 5 waktu dan berbagai shalat sunnah. Kata “shalat” juga memiliki akar kata yang sama dan memiliki hubungan makna dengan kata “shi-lah”, yang bermakna “hubungan”. (Contohnya, “shilah al-rahim” bermakna “silaturahmi” atau “hubungan kasih-sayang”.) Dalam kaitannya dengan kata “shilah” ini, shalat bermakna medium hubungan manusia dengan Allah Swt. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa “shalat adalah mi‘râj-nya orang-orang beriman”. Dengan kata lain, sebagaimana Rasulullah bertemu dengan Allah Swt. ketika ber-mi‘râj, orang beriman (dapat) bertemu dengan-Nya melalui shalat.
Meski ada riwayat yang menyatakan bahwa Allah mewahyukan tentang shalat pada saat Rasulullah ber-mi‘râj, banyak riwayat yang menunjukkan bahwa Rasul—bersama Siti Khadijah dan Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib—telah melakukan shalat, bahkan sebelum beliau melakukan dakwah terang-terangan. Tak kurang pula indikasi dalam Al-Quran dan hadis, serta pandangan para ulama dan sufi—sebagiannya dikutip dalam buku ini—bahwa kewajiban shalat telah dilakukan oleh para rasul sebelum Muhammad Saw. Para peneliti Bibel—antara lain Thomas McElwain—malah merasa yakin telah menemukan ayat-ayat dalam kitab suci orang-orang Nasrani ini petunjuk-petunjuk gerakan yang mirip dengan tata cara shalat orang Muslim. Jadi, meski tak harus sepenuhnya sama, tampaknya tata cara shalat sudah dikenal sebelum datangnya Islam.
Al-Quran memberikan tempat utama kepada ibadah shalat ini. Demikian pula Rasulullah Saw. Dalam Al-Quran tersebut tak kurang dari 234 ayat mengenai shalat. Di antaranya, sebuah ayat yang mengisahkan orang-orang yang dijebloskan ke dalam Saqar—suatu lembah di Neraka Jahanam:
(Kepada mereka ditanyakan): “Apakah yang memasuk-kan kamu ke dalam Saqar?” (Mereka menjawab): “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS Al-Muddatstsir [74]: 42-43)
Sementara itu, dengan tegas Rasulullah menyatakan, “Tak ada pembeda antara orang Mukmin dan orang kafir kecuali shalat.” Di kesempatan lain disabdakannya pula, “Shalat adalah pilar agama,” dan “Yang paling awal diperhitungkan dari seorang hamba pada Hari Kiamat adalah shalat. Jika baik shalatnya, baiklah seluruh amalnya yang selebihnya. Jika buruk shalatnya, buruk pulalah seluruh amalnya yang selebihnya.”
Di dalam Al-Quran, shalat disebutkan dengan berbagai fungsi shalat.
Pertama, shalat adalah pencegah dari perbuatan buruk. “Sesungguhnya, shalat (yang benar—HB)mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS Al-‘Ankabût [29]: 45). Perbuatan keji adalah semua perkataan dan perbuatan yang mengotori kehormatan dan kesucian diri, sementara yang mungkar adalah apa saja yang ditolak oleh syariat.
Kedua, shalat adalah sumber petunjuk. Rasulullah bersabda, “Shalat adalah sumber cahaya.” Barang siapa yang memeliharanya, ia akan mendapatkan cahaya dan petunjuk. Dan barang siapa yang tidak memeliharanya, maka tiada cahaya atau petunjuk baginya.
Ketiga, shalat adalah sarana kita meminta pertolongan dari Allah Swt. “Mintalah pertolongan dengan sabar (dalam sebagian tafsir, sabar diartikan sebagai puasa dan shalat)” (QS Al-Baqarah [2]: 45).
Keempat, shalat adalah pelipur jiwa. Allah Swt. berfirman, “… dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku” (QS Thâ Hâ [20]: 13-14). “Dan bukankah dengan mengingat-Ku, hati menjadi tenteram?” (QS Al-Ra‘d [13]: 28). Diriwayatkan bahwa setiap kali Rasul mengalami kesedihan atau kegundahan, beliau akan memerintahkan kepada Bilal, “Senangkan kami, wahai Bilal.” Maksud beliau, hendaklah Bilal mengumandangkan iqamah agar Rasul dan para sahabatnya dapat melakukan shalat setelah itu. Pada kesempatan lain, beliau menyatakan, “Dijadikan bagiku shalat sebagai penyejuk-jiwaku.”
Kelima, selain mendatangkan kebahagiaan, shalat yang dilakukan secara teratur akan dapat melahirkan kreativitas. Psikologi mutakhir—yang biasa disebut sebagai psikologi positif—telah menunjukkan besarnya pengaruh ketenangan terhadap kreativitas. Mihaly Csikszentmihalyi, ahli psikologi ini, memperkenalkan suatu keadaan dalam diri manusia yang disebutnya sebagai “flow”. Bukan saja “flow” adalah sumber kebahagiaan, ia sekaligus adalah sumber kreativitas. Shalat yang khusyuk menghasilkan kondisi “flow”dalam diri pelakunya.
Keenam, berdasar penemuan-penemuan mutakhir yang menyatakan bahwa kesehatan tubuh dan penyakit sebenarnya berasal dari penyakit jiwa, dan bahwa banyak penyakit tubuh sesungguhnya dapat disembuhkan melalui ketenangan jiwa, maka shalat dapat dilihat sebagai sarana kesehatan tubuh juga. Dan, sehubungan dengan ini, telah banyak dilakukan penelitian untuk melihat manfaat mengerjakan shalat secara teratur bagi kesehatan tubuh.
Dapat disimpulkan dari berbagai manfaat shalat tersebut di atas bahwa sesungguhnya shalat—di samping fungsi utamanya sebagai sarana beribadah kepada-Nya, mengembangkan keimanan kepada suatu Zat Mahakuasa dan Maha Penyayang yang kepada-Nya kita dapat mempertautkan kecintaan dan keimanan, serta memperhalus akhlak—adalah fasilitas yang dianugerahkan-Nya kepada kita untuk meningkatkan kualitas hidup kita sehari-hari. Banyak orang bersusah payah mencari jalan dalam mencapai hal ini dengan mengembangkan berbagai bentuk meditasi transendental, hipnosis, mencari konsultasi psikologis dan medis, bahkan lari kepada obat-obat penenang atau, kalau tidak, mesti hidup dalam kebingungan serta tekanan stres dan depresi. Padahal, sebagai Muslim, kita telah diajari teknik-teknik foul proof yang datang dari Dia Yang Mahatahu. Masihkah, setelah ini, kita akan menyia-nyiakan shalat dengan tidak menjalankannya?
Dari sini, marilah kita lanjutkan pembicaraan kita tentang shalat dan berbagai seluk-beluknya itu, bi ‘aunil-Lâhi Ta‘âlâ.
Inilah Alasan Doa Kita Tidak Sampai ke Langit
Manusia adalah makhluk yang lemah. Ketika ia mempunyai sebuah hajat dan keinginan yang belum tercapai, selain berusaha ia juga akan berdoa. Bisa jadi antara manusia dan doa itu tidak bisa dipisahkan.
Jika Anda berdoa namun tidak mendapatkan hasil maka Anda harus tahu bahwa mungkin doa Anda terhalang oleh dosa-dosa. Karena salah satu pengaruh dosa bagi manusia adalah dosa-dosa menghalangi doa-doa manusia untuk sampai ke langit.
Salah satu doa yang sering dipanjatkan oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib kwz berbunyi, “Allahummaghfirlii ad-dzunubal lati tahbiasu ad-dua”
Yang artinya, “Ya Allah! Ampunilah aku dari dosa-dosa yang bisa menghalangi dosa!”
Selain itu sang pintu kota ilmu pun berkata, “Dosa menghalangi ijabah doa”.
Para pembaca yang budiman maka dari itu mungkin ketika kita hendak berdoa maka sebelum berdoa bacalah istighfar terlebih dahulu dengan berharap semoga Allah swt mengampuni setiap dosa-dosa kita terutama dosa yang bisa menghalangi doa untuk sampai ke langit.
Selain itu janganlah juga menganggap remeh dosa-dosa kecil. Karena dosa kecil jika dikumpulkan maka ia akan membesar dan mengalahkan gunung. Sehingga dosa-dosa tersebut bisa menghalangi doa-doa kita untuk sampai ke langit.
Arafah; Peluang Emas untuk Bertobat
Allah Swt Maha Penyayang dan Pengampun, serta rahmat-Nya senantiasa menyelimuti seluruh makhluk, tapi harus kita sadari bahwa rahmat ilahi di sejumlah waktu dan tempat lebih besar serta pengampunan dosa lebih mudah.
Salah satu waktu tersebut adalah Hari Arafah. Bagi mereka yang mencari rahmat ilahi, Hari Arafah merupakan peluang yang sangat baik sehingga mereka mampu meraih keridhaan Tuhan serta bertobat atas dosa-dosanya.
Salah satu karakteristik orang mukmin adalah senantiasa ingin mendekatkan dirinya dengan Tuhan serta setiap langkahnya demi meraih keridhaan-Nya. Seperti disebutkan di berbagai riwayat yang menganjurkan tobat atau doa, serta dari sisi lain tempat atau waktu khusus yang disebutkan bagi terkabulnya doa atau tobat, juga dijelaskan waktu atau tempat istimewa untuk meraih keridhaan Tuhan di mana orang mukmin dapat mendekatkan dirinya kepada Tuhan.
Arafah lokasi yang tepat bagi kita untuk memikirkan filosifi penciptaan dan posisi kita di alam semesta dan memahami esensi sejati kita. Hari kesembilan bulan Dzulhijjah adalah hari Arafah, hari ketika para peziarah Baitullah berbondong-bondong menuju padang Arafah untuk menunjukkan penghambaan dan menitikkan air mata, bermunajat kepada Allah Swt. Arafah merupakan tempat terbaik yang pernah dijadikan tempat pemberhentian pada Wali Allah.
Salah satu peluang terbaik di hari ini adalah mengenal Tuhan. Di salah satu hadis dari Rasulullah disebutkan bahwa siapa yang mengenal dirinya sendiri maka ia mengenal Tuhannya. Menurut hadis ini, mengenal Tuhan hanya dapat diraih dengan mengenal diri sendiri. Para ulama Syiah sangat mementingkan hadis ini dan mereka mengatakan, isi hadis ini dari kitab samawi dan sejumlah ayat al-Quran menjelaskan arti dari hadis ini.
Peluang lain di hari ini adalah peluang untuk bertobat dari dosa-dosa, sebuah peluang yang tidak dapat diulang di hari-hari yang lain. Tobat sangat dibutuhkan seorang hamba. Di hari istimewa ini Tuhan menerima berbagai tobat, cukup manusia bertekad meninggalkan dosa dan menyesal perbuatannya, saat itu mereka akan tenggelam ke dalam lautan rahmat ilahi.
Peluang penting lain di Hari Arafah adalah berdoa dan munajat. Arafah disebut hari munajat karena amal terbaik di hari ini adalah memanjatkan doa kepada Ilahi. Sedemikian pentingnya doa di hari ini, sehingga para Imam Maksum as menganjurkan jika puasa sunnah di hari ini menyebabkan tubuh lemah dan tidak memungkinkan untuk berdoa, maka lebih baik ditinggalkan sehingga setiap orang bisa lebih khusyu berdoa dan bermunajat. Anjuran ini menunjukkan urgensi dan kedudukan khusus doa serta munajat.
Doa adalah wasilah atau instrumen bagi makhluk untuk mendekatkan diri kepada Penciptanya. Doa memberikan ketenangan batin kepada manusia. Karena dalam doa perhatian manusia hanya ditujukan kepada Tuhan dan mengabaikan selain-Nya.
Pada kenyataannya, dengan doa manusia melatih dirinya dalam penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menghindari syirik, serta mewujudkan Tauhid yang merupakan syarat awal seseorang menjadi Muslim.
Doa adalah hadiah Ilahi yang dianugerahkan kepada manusia. Sungguh indah ketika berdoa di Hari Arafah, kita lebih dahulu mendoakan orang lain sebelum kita sendiri. Imam Shadiq as terkait dampak luar biasa lebih dulu mendoakan orang lain berkata, barangsiapa yang mendoakan saudaranya, malaikat berseru dari langit, Hai hamba Tuhan 200 ribu kali lipat dari apa yang engkau inginkan akan menjadi milikmu.
Malaikat yang lain dari langit ketiga berseru, Hai hamba Tuhan 300 ribu kali lipat dari apa yang engkau inginkan akan menjadi milikmu. Malaikat yang lain dari langit keempat berseru, Hai hamba Tuhan 400 ribu kali lipat dari apa yang engkau inginkan akan menjadi milikmu, begitu seterusnya hingga malaikat dari langit ketujuh.
Lantunan doa di hari Arafah berkumandang hingga membuat setan sedih atas penghambaan manusia kepada Tuhan. Para jemaah haji di hari ini, membersihkan jiwanya di samudera rahmat dan kasih sayang Ilahi sehingga mereka seperti bayi-bayi yang baru lahir, suci dari segala kekotoran duniawi. Di riwayat di sebutkan, mereka yang telah kehilangan kesempatan di malam lailatul qadar dan bulan Ramadhan untuk mendapatkan ampunan Tuhan, maka selayaknya ia memanfaatkan hari Arafah untuk meminta ampunan Ilahi. Hari ini, tangan-tangan hamba Ilahi memiliki satu kesamaan yakni mereka sama-sama memohon rahmat dan ampunan Ilahi.
Pentingnya doa di Hari Arafah sedemikian tingginya sehingga Nabi Muhammad Saw yang kerap melaksanakan shalat Zuhur dan Asar dengan jeda waktu, di Hari Arafah melaksanakan kedua shalat itu tanpa jeda sehingga tersedia waktu yang lebih banyak untuk berdoa dan bermunajat.
Salah satu doa yang paling indah dan mengandung makna yang dalam dan dibaca di Hari Arafah adalah Munajat Imam Husein as. Imam Husein as di dalam doa penuh makna itu, menjelaskan Tauhid dengan kalimat-kalimat luhur dan indah. Semangat irfan dan makrifat mencapai puncaknya di setiap baris doa ini.
Imam Husein as di dalam doanya menjelaskan salah satu sisi dari nikmat tanpa akhir Tuhan untuk manusia di seluruh kehidupannya. Salah satu di antaranya, Imam Husein as mengatakan bahwa kasih sayang dan kesabaran seorang ibu adalah percikan kasih sayang Tuhan.
Setelah itu Imam Husein as menjelaskan tentang pentingnya bersyukur atas segala nikmat Ilahi dan menganggap dirinya tidak mampu bersyukur bahkan satu kalipun. Setiap baris doa ini adalah pintu dari cinta dan kasih sayang Tuhan yang dibuka bagi manusia. Makna terdalam doa ini menunjukkan bahwa Imam Husein as dengan seluruh wujudnya mencintai Allah Swt dan beliau merasakan kehadiran Tuhan di seluruh wujudnya.
Di salah satu bagian doanya, Imam Husein as bermunajat, Ya Tuhanku Engkaulah yang memberikan nikmat, Engkaulah yang berbuat baik, Engkaulah yang bersikap baik, Engkaulah yang memuliakan, Engkaulah yang membuatku mampu, Engkaulah yang memberikan kemuliaan, Engkaulah menyempurnakan rahmat-Mu, Engkaulah yang memberi rizki, Engkaulah yang bertindak atas kemuliaan-Mu.
Engkaulah yang menjauhkanku dari dosa, Engkaulah yang menutup dosa-dosa, Engkaulah yang mengampuni dosa-dosa, Engkaulah yang menerima kekurangan, Engkaulah yang mencegahku berbuat dosa, Engkaulah yang memberikan kemuliaan, Engkaulah yang mendukung, Engkaulah yang meneguhkan sikapku, Engkaulah yang memberi kesempatan, Engkaulah yang memberi kesehatan, Engkaulah berderma, Maha Agung Engkau Tuhanku, segala puji selamanya bagi-Mu.
Akan tetapi aku, Wahai Tuhanku, mengakui seluruh kesalahanku, maka ampunilah aku. Akulah yang berbuat dosa, akulah yang berbuat salah, akulah yang berbuat bodoh, akulah yang berjanji, aku pula yang tidak menepatinya, akulah yang melanggar janji, akulah yang berikrar atas kejahatanku sendiri. Aku mengakui seluruh nikmat yang Engkau berikan kepadaku, aku mengakui semua dosa-dosaku dan tidak akan mengulanginya, maka ampunilah aku.