کمالوندی

کمالوندی

Senin, 20 Desember 2021 16:04

Amalan Khusus Hari Arafah

 

1. Mandi
Tujuannya adalah agar ibadah kepada Allah, dimulai dengan bersih lahir dan batin.

2. Menziarahi Imam Husain a.s.
Disunahkan untuk berziarah kepada beliau pada hari ini dengan hadir di bawah kubah sucinya. Bagi yang tidak bisa hadir dapat digantikan hanya membaca doa ziarah Imam Husain a.s.

3. Membaca Doa Arafah dan Doa Imam Husain a.s.
Dilakukan di luar ruangan serta beratap langit. Mulailah dengan menyatakan dosa-dosanya di hadapan Allah serta dengan memohon ampunan dari-Nya.

4. Berpuasa
Di dalam riwayat Al-Kaf’ami disebutkan disunahkan untuk berpuasa pada hari ini jika tidak meletihkan pendoa untuk berdoa.

5. Salat Sunah
Melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Ashar dan melaksanakan salat Imam Ali bin Abu Thalib a.s.

Senin, 20 Desember 2021 16:04

Inilah Beberapa Fungsi Zikir

 

Kiai Wafiudin mengatakan, jangan diartikan sekadar seorang Muslim ini baru jadi orang sejak tubuh terbentuk sebagai janin. Juga jangan diartikan mulai menjadi orang setelah tubuh terlahir sebagai bayi atau sejak berbentuk janin di dalam kandungan.

“Jauh sebelum tubuh ini ada, kita sudah dicipta oleh Allah di alam lauhul mahfudz dengan wujud ruh, dan kita adalah makhluk-makhluk ruhaniah yang sedang dihadirkan di muka bumi. Jadi, kita ini ruh yang dihadirkan di dalam badan,” beber Kiai Wafiudin Sakam saat mengisi Istighotsah dan Doa Majelis Telkomsel Taqwa secara virtual beberapa waktu lalu.

Badan, lanjut kiai yang pernah berkiprah di Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) ini, fungsinya hanya sebagai cangkang, wadah, atau casing. Sementara ruh itu ada pusatnya, ada intinya.​​​​​​​

Pusatnya ruh, intinya ruh adalah qalbu. “Karena itu, qalbu sering disebut lubbun. Lubb artinya inti, jamak dari lubb adalah albab, dari situ munculah Ulil Albab,” sambungnya.

Hal yang lebih penting lagi dalam Surat Al-Anfal ayat 24 disebutkan, hubungan manusia dengan Allah melalui qalbu. Komunikasi manusia dengan Allah melalui qalbu. “Jadi untuk apa kita berdzikir, paling pertama, zikir itu untuk membersihkan qalbu,” ungkapnya.

​​​​​​​Segala sesuatu, sambung Kiai Wafiudin, ada pembersihnya, dan pembersih qalbu adalah dzikrullah. Jadi tujuan dzikir, tancapkan ke dalam qalbu untuk pembersihan dan menegasakan Laailaaha illallaah (Tiada Tuhan kecuali Allah).

Alasan kedua, kalau qalbu sudah dibersihkan dengan Laailaaha illallaah maka tersambunglah manusia itu dengan Allah. “Wushul, terhubung kepada Allah itu setelah qalbu-nya dibersihkan dengan zikir,” kata Kiai Wafi, sapaan akrabnya.

​​​​​​​Karena itu, Kiai Wafi menegaskan bahwa ketika dzikir jangan diartikan supaya jadi kebal, tidak mempan dibacok, tidak mempan ditembak, supaya bisa terbang.

“Zikir itu yang utama adalah bersihkan qalbu, sambungkan qalbu kepada Allah,” ulangnya.

Kiai Wafi melanjutkan, Allah swt dalam Al-Qur’an berpesan ‘Zikirkan Aku, ingatkan Aku, rasakan kehadiran-Ku, sadari keberadaan-Ku, Aku akan zikir kepada kalian (manusia).

“Masyaallah, kalau kita ingat Allah, Allah ingat kita. Allah bangun kesadaran tentang keberadaan Allah, Allah pun betul meyadari keberadaan kita, sehingga terjadi connectifty, wushul kata orang pesantren, ketersambungan,” terangnya.

“Kita aja punya handphone biar mahal kaya apa kalau nggak ada ketersambungannya, nggak ada connectifity-nya, mau teriak-teriak ‘Bagaimana tuh Telkomsel-nya nggak jalan itu nanti,” selorohnya.

Senin, 20 Desember 2021 16:01

Amal Baik sebagai Syarat Terkabulnya Doa

 

Setiap manusia akan mendapat balasan yang sesuai dengan amal yang diperbuat. Hal ini berdasarkan hakikat manusia yaitu majzi mendapat balasan atas pilihan-pilihan dalam hidupnya. Faman ya’mal mitsqala dzarratin khairan yarah, wa man ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarah, semua ada balasannya.

Amal baik ataupun buruk bisa jadi pembuka atau kunci bagi takdir seseorang. Siapa sangka amal baik adalah wasilah bagi terkabulnya doa. Dibalik lantunan rayuan dan munajat atas segala permasalahan hidup, terdapat wasilah atau tali ikatan yang memudahkan agar doa sampai kepada Allah SWT, wasilah tersebut dapat berupa amal-amal baik.

Allah mengungkapkan sifat baik manusia dalam surah Al-Lail ayat 5: “Maka siapa yang memberi dan bertakwa. Maka Kami sungguh akan memudahkan baginya segala kemudahan.” Dengan sikap suka tolong-menolong dan bertakwa terhadap Allah, manusia akan memperoleh kemudahan atas setiap usahanya dalam kebaikan serta mendapat balasan yang lebih baik.

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadist tentang tiga orang yang terjebak dalam gua. Suatu ketika ada tiga laki-laki yang sedang berjalan-jalan. Karena cuaca tetiba hujan, ketiganya memutuskan untuk berteduh di sebuah gua. Tak disangka, longsor datang dan batu-batu berhamburan menutup mulut gua yang mengakibatkan ketiga pemuda tersebut tak bisa keluar. Di gua yang gelap, tak ada yang bisa mereka lakukan kecuali berdoa.

Setiap mereka berdoa dengan menceritakan amal baik masing-masing yang pernah dilakukan dengan ikhlas. Lelaki pertama berdoa “Ya Allah, bukakanlah pintu gua ini, saya ingin keluar dari gua ini. Saya adalah penggembala kambing, setiap hari saya memerah susu dan hasil perahan tersebut saya berikan kepada kedua orang tua saya dan anak-anak saya yang masih kecil. Susu tersebut saya berikan kepada orangtua saya terlebih dahulu sebelum anak-anak saya. Wahai Allah, saya melakukan semua itu karenaMu, ikhlas, saya mengerti pahala memuliakan orangtua. Jika Engkau berkenan, bukakanlah pintu gua ini” Setelah doa, gua tersebut perlahan terbuka sedikit. Tapi, mereka masih belum bisa keluar.

Kemudian, lelaki kedua bergantian berdoa “Ya Allah saya pernah jatuh cinta pada anak paman saya. Namun, ia memberikan syarat uang seratus dinar ketika saya dekati dan mengajaknya berhubungan badan. Saya pun berusaha mendapatkan uang tersebut. Setelah memberikan uang seratus dinar, kami masuk ke dalam kamar untuk melakukan perbuatan itu. Tetiba gadis itu bertanya “Apakah kamu tidak takut kepada Allah?” Seketika saya tersadar dan membatalkan niat tersebut. Ya Allah, saya merelakan uang seratus dinar demi mengingatMu. Jika apa yang saya lakukan Engkau meridhaiNya, Wahai Allah tolong bukakan batu di mulut gua ini.” Tak lama kemudian batu tersebut semakin bergeser.

Akhirnya, lelaki ketiga giliran berdoa “Ya Allah, saya punya banyak pegawai. Suatu ketika saya pernah terlewat menggaji satu orang pegawai. Saat itu, pegawai-pegawai saya semuanya pulang kampung. Uang itu pun saya simpan. Karena menganggur, uangnya saya belikan sapi untuk sebuah peternakan. Peternakan itu berkembang pesat. Di lain waktu pegawai itu datang untuk mengambil gajinya yang belum saya bayar, saya pun memberikan peternakan sapi itu kepadanya. Jika apa yang saya lakukan Engkau ridhai, tolong bukakan pintu gua di depanku ini.” Seketika batu di depan mulut gua bergeser dan ketiga pemuda itu dapat keluar dari gua dengan selamat.

Cerita di atas merupakan salah satu contoh dari terkabulnya doa karena wasilah amal baik. Keikhlasan ketiganya dalam berbuat telah menggerakkan Allah untuk mengabulkan doanya. Sebetulnya, tanpa menyebut amal-amal baik yang pernah kita perbuat pun Allah sudah tahu. Namun, alangkah baiknya kita tetap berdoa dan meminta apa yang menjadi kesulitan dalam hidup.

Lantas, bagaimana jika sudah melakukan amal-amal baik namun doa kita tetap belum dikabulkan? Sebagai hamba dan manusia alangkah baiknya tetap berprasangka baik. Allah akan mengabulkan semua doa hambaNya, namun dalam pengabulan doa ada sebuah pertimbangan yang tentu tidak bisa kita pahami. Nabi Zakaria AS yang meminta dihadirkan seorang anak. Diusianya yang kesembilan puluh Allah baru mengabulkan doanya. Beliau tidak putus asa dan terus berdoa. Bahkan, setingkat nabi yang dimuliakan, doanya baru dikabulkan setelah waktu yang lama.

Masihkah kita marah sebab doa belum terkabulkan? Seberapa banyak amal kebaikan yang dengan ikhlas telah kita lakukan? Maka, lakukan kebaikan sebanyak-banyaknya, siapa sangka justru amal tersebut yang menjadi penolong saat kesulitan dan menjadi wasilah terkabulnya doa.

 

Pada beberapa tulisan sebelumnya telah disebutkan berbagai batasan serta cakupan ishmah para nabi teristimewa Nabi Muhammad SAWW.

Dalam berbagai tulisan tersebut telah disebutkan bahwa mazhab Syiah adalah golongan yang meyakini ishmah maksimal; yang berarti bahwa mazhab ini mengimani bahwa para nabi maksum atau terpelihara dari lupa, tidak melakukan kesalahan maupun dosa baik besar dan kecil disengaja maupun tidak semenjak lahir sampai wafat.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa mazhab Syiah menempatkan Nabi Muhammad SAWW serta para nabi dan rasul AS lainnya dalam posisi yang sangat mulia dan agung.

Dengan karakter seperti ini maka para nabi layak untuk diikuti dan diteladani dalam segala aspek kehidupannya. Jika tidak maka mengikuti serta meneladani mereka masih jadi tanda tanya sebab mungkin saja apa yang mereka lakukan justru merupakan perbuatan yang salah.

Sangat menerik untuk dikaji bagaimana kemudian Alusi menafsirkan ayat ke 21 dari surat al-Ahzab, dalam kitabnya Ruh al-Maani:

“Sekalipun ayat di atas ditujukan untuk mengikuti Nabi SAWW dalam urusan perang berkaitan dengan keteguhan dan hal lainnya, namun pada saat yang sama ia merupakan perintah umum untuk mengikuti semua perbuatan nabi. Kecuali jika diketahui perbuatan tersebut khusus untuk Nabi SAWW seperti menikahi lebih dari empat orang perempuan. Ibn Majah dan Ibn Abi Hatim mengeluarkan riwayat dari Hafsh bin Ashim, ia berkata: aku berkata kepada Abdullah bin Umar RA: aku melihatmu tidak melakukan shalat sunnah qabliah dan ba’diah dalam perjalanan. Ia menjwab: wahai anak saudaraku aku telah bersama dengan Rasulullah SAWW demikian dan demikian dan aku tidak melihatnya shalat sunnah qabliah dan ba’diah padahal Allah SWT berfirman: لَقَدْ كانَ لَكُمْ في رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ[1] (Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagimu). Abdurrazzaq dalam kitabnya al-Mushannif, memuat riwayat dari Qatadah, ia berkata: Uamar bin Khattab berkeinginan untuk melarang memakai “habarah” (pakian terbuat dari katun dan terkenal pembuatannya di Yaman) lalu seorang laki-laki berkata: bukankah engkau telah melihat Rasullullah memakainya? Umar menjawab: Ya. Laki-laki itu berkata: bukankah Allah SWt berfirman: لَقَدْ كانَ لَكُمْ في رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ[2] (Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagimu)? Lalu umar RA mengurungkat pelarangan tersebut.[3]

Dari penjelasan yang dipaparkan oleh Alusi di atas, dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad SAWW merupakan uswah atau teladan dalam segala perbuatannya; dan lebih dari itu semua tindakannya merupakan barometer bagi segala tindakan umat sebagaimana terkonfirmasi dalam hadits yang disebutkan dalam paparan tersebut.

Oleh karena itu ishmah merupakan suatu kemestian jika tidak maka konsekUensinya adalah, perintah Allah untuk menjadikan Nabi SAWW sebagai uswah dalam segala hal, pada kasus-kasus tertentu sama dengan perintah untuk melakukan kesalahan dan dosa.

Hal ini mengingat bahwa jika Nabi SAWW tidak maksum maka mungkin saja perbuatan yang kita teladani justru perbuatan salah dan khilaf yang dilakukan oleh beliau dengan sengaja maupun tidak, baik dosa besar maupun kecil dan sebelum kenabian maupun setelah kenabian.  

[1] Al-Ahzab/ 21

[2] Al-Ahzab/ 21

[3] Alusi, Syihabuddin Sayyid Mahmud, Ruh al-Maani, jil: 11, hal: 223, cet: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, beirut, 1999 M/ 1420 M, pertama.

Senin, 20 Desember 2021 15:58

Cara Menghadirkan Hati Saat Ibadah

 

Harus diketahui bahwa ibadah secara menyeluruh merupakan pujian maqam suci Rububiyah dan secara berjenjang semuanya merujuk pada pujian Zat. Atau pujian Asma dan Sifat atau Tajalli baik itu Tanzih, Taqdis atau Tamjid, dan tidak ada ibadah hakiki yang kosong dari satu dari derajat pujian kepada Allah ini. Dengan demikian, tahapan pertama kehadiran hati dalam ibadah adalah kehadiran ibadah dalam ibadah secara global. Upaya menghadirkan hati dalam tahapan ini hanya akan mudah bagi orang yang berusaha memahamkan hatinya bahwa ibadah adalah pujian kepada yang disembah. Sejak ia memulai ibadahnya hingga akhir secara global hatinya harus memikirkan makna ini dan memuji Allah yang disembah. Ia harus memahamkan hal itu dan menghadirkannya, sekalipun ia tidak mengetahui bagaimana dan dengan apa memuji Zat Allah. Apakah ibadah ini adalah pujian Zat, Asma atau selainnya, Taqdisi atau Tahmidi. Sama seperti penyair yang memuji seseorang kemudian memahamkannya kepada anak kecil bahwa ini merupakan pujian untuk seseorang, tapi ia tidak mengetahui bagaimana dan dengan apa memuji orang itu. Secara global ia mengetahui pujian, sekalipun tidak mengetahui detilnya.

Sama dengan anak SD yang mendengar pujian yang diucapkan tentang makrifat Muhammadi, tentang penyingkapan sempurna beliau dan tentang wahyu yang diturunkan kepada hati beliau. Sekalipun anak itu tidak mengetahui isi pujian yang disampaikan, bagaimana dan dengan apa mereka melakukan pujian, tapi pada tahapan pertama kesempurnaan ibadah adalah hadirnya hati mereka saat melakukan ibadah, dimana kita melakukan pujian kepada Haq. Melakukan pujian seperti yang difirmankan-Nya dan orang-orang khusus senantiasa menyenandungkannya.

Pujian yang disampaikan bila dilakukan dengan lisan para wali Allah akan lebih baik. Karena segala kotoran bohong dan nifaq menjadi hilang. Karena dalam ibadah, khususnya dalam shalat, ada pujian-pujian yang termasuk doa yang tidak dapat diucapkan selain para wali Allah yang sempurna dan orang-orang terpilih. Seperti “Wajjahtu Wajhiya Lilladzi Fathara as-Samawati wa al-Ardh…Aku mengarahkan wajahku kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi”, “Alhamdulillah…Segala puji bagi Allah” dan “Iyyaka Na’budu…Hanya kepada-Mu kami menyembah.”

Tidak mudah bagi setiap orang dalam kondisi mengangkat tangan saat takbiratul ihram, sujud dan selainnya, dimana penjelasannya akan datang Insya Allah. Tidak mudah bagi setiap orang mengucapkan doa yang berasal dari para Imam Maksum as. Berdoa dengan doa-doa itu seperti sebagian penggalan dari doa mulia Kumail.

Sekaitan dengan hal ini, Sheikh Kamil dan Arif, Shahabadi, jiwaku menjadi tebusannya berkata, “Pada maqamat ini, bagus bila seseorang berdoa dengan lisannya doa-doa yang berasal dari para Imam Maksum as.” Terlebih lagi dalam membaca atau mengamalkan shalat dengan tujuan memuji Allah dengan doa yang diwariskan para Imam Maksum as tentang Allah dan Rasul Allah. Sebagai contoh, sangat bagus bagi kita yang intinya belum tertapis dan belum memisahkan diri dari kecenderungan selain Allah untuk membaca sebagian ungkapan yang akan datang Insya Allah.

Pada tahapan kedua dari kehadiran hati adalah kehadiran hati secara terperinci. Seorang yang beribadah harus menghadirkan hatinya dalam seluruh ibadah dan ia harus mengetahui bagaimana menyifati Allah dan bagaimana bermunajat. Setiap dari keduanya ini memiliki tahapan lagi dan sangat berbeda tergantung maqam hati dan makrifat orang yang beribadah.

Perlu diketahui bahwa penguasaan secara detil akan seluruh rahasia ibadah dan kualitas pujian hanya mungkin dimiliki oleh orang-orang terpilih yang telah sempurna lewat wahyu ilahi. Di sini, kami hanya menjelaskan secara global tahapan-tahapannya.

Ada sebagian manusia yang hanya mengetahui bentuk luar dari shalat dan ibadah yang lain, tapi memahami pengertian umum dari zikir, doa dan bacaan al-Quran. Kehadiran hati mereka hanya terjadi pada waktu mengucapkan al-Quran dan memahami artinya. Pada waktu itulah hati mereka hadir untuk bermunajat dengan Allah.

Hal penting bagi kelompok ini adalah tidak membatasi hakikat dengan makna umum yang dipahami itu. Jangan beranggapan bahwa tidak ada hakikat lain dari bentuk ibadah yang dilakukannya. Selain anggapan ini bertentangan dengan akal dan teks, keyakinan yang semacam ini sangat merugikan manusia. Karena itu akan membuat manusia merasa puas dan berhenti. Hal itu akan mencegahnya meraih kesempurnaan ilmu dan amal.

Satu kelebihan besar setan adalah mampu membuat manusia merasa senang dengan apa yang dimilikinya lalu mulai memandang negatif akan seluruh hakikat, ilmu dan makrifat. Hasilnya mereka menjadi terasing.

Kelompok lain adalah mereka yang memahami hakikat ibadah, zikir dan bacaan menjadikan akal sebagai tempat rujukan semua pujian kepada Allah Swt atau argumentasi rasional, hakikat Shirat Mustaqim dan hakikat makna surat Tauhid sebagai prinsip pengetahun dengan perbedaan lewat pemikiran dan akal.

Kelompok ini saat menghadirkan hatinya dalam ibadah, mereka memahami secara terperinci dan hatinya hadir saat mengingat hakikat dan pujian ini. Mereka memahami apa yang dikatakan dan bagaimana memuji Haq.

Sementara kelompok yang lain lagi mereka memahami hakikat dengan pemikiran dan akal menyampaikan hakikat itu ke pena akal dan lembaran hati, sehingga hati mereka mengenal hakikat itu dan mengimaninya. Karena derajat iman dari hati sangat berbeda dengan pemahaman akal. Banyak hal yang dimengerti akal manusia, bahkan mengajukan argumentasinya, tapi tidak sampai pada derajat iman dari hati dimana kesempurnaannya adalah percaya. Pada waktu itu hatinya tidak bersama dengan akalnya.

Sama seperti kita semua meyakini orang yang mati tidak dapat bergerak dan tidak bisa merugikan kita. Bahkan bila semua orang mati dikumpulkan, mereka tetap tidak dapat mengganggu kita sekalipun sekecil lalat. Hal itu dikarenakan kita meyakininya secara rasional tapi tidak sampai ke lembaran hati. Di sini hati dan akal dalam masalah ini tidak berbarengan. Biasanya akal yang paling menguasai badan manusia dan biasanya manusia takut akan orang mati, khususnya di kegelapan malam dan saat sendiri. Padahal akalnya mengatakan gelapnya malam tidak berpengaruh apa-apa, begitu juga kesendirian, sementara telah diketahui orang mati tidak bisa mengganggu apa-apa. Di sini, manusia meninggalkan akalnya dan berjalan dengan ilusi, tapi bila ia dikumpulkan dengan orang mati untuk beberapa waktu, ketakutan di malam hari ternyata dapat dilaluinya hingga siang. Apa yang dilakukannya ini pada dasarnya membawa apa yang diyakini pada akalnya sampai ke hatinya. Hukum akal yang ada telah menggabungkan hati dan akal, sehingga perlahan-lahan sampai ke derajat percaya. Hatinya sudah tidak pernah takut lagi dan melakukan hal itu dengan penuh keberanian.

Demikianlah kondisi semua hakikat agama dan masalah keyakinan argumentatif dimana derajat pengetahuan rasionalnya berbeda dengan derajat iman dan percaya. Selama seorang pencari kebenaran dan hakikat tidak melakukan latihan secara teoritis dan praktis dan menyempurnakan takwanya baik dalam bentuk perilaku atau hati, maka ia tidak akan sampai pada derajat ini. Ia tidak dapat menjadi pemilik hati. Derajat pertama hati yang merupakan anugerah ilahi tidak akan dapat diraihnya. Ia tidak akan pernah menggunakan pakaian iman. Bahkan sesuai dengan hadis “As-Shalatu Mi’raj al-Mukmin… Shalat mikraj seorang mukmin” dan hadis “As-Shalatu Qurbanu Kulli Taqiyin… Shalat wasilah mendekati Allah bagi setiap orang bertakwa.”, kemungkinan maknanya selama manusia belum sampai  ke derajat iman dan takwa, maka shalatnya bukan mikraj dan wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Itu berarti ia belum memulai untuk melakukan sair dan suluk kepada Allah dan belum penghuni rumah jiwa.

 

Jika kita berkaca pada diri Rasulullah Saw., maka pantulan cahaya yang tersorot ke diri kita ialah kesempurnaan akhlaknya. Saking sempurnanya, Allah mencatatkan pujian untuknya di dalam Al-Quran, yang termaktub di dalam surah al-Qalam ayat empat. Hampir setiap manusia sudah mafhum akan keagungan budi pekerti ayah dari Sayyidah Fathimah az-Zahra itu.

Maka, di sini penulis hendak mengumpulkan beberapa ayat al-Quran yang membicarakan keagungannya, yang bisa kita jadikan sebagai motivasi untuk selalu berada di jalan kebaikan ala Rasulullah Saw. Di antara keistimewaannya yang tercatat di dalam al-Quran ialah sebagai berikut.

1. Panutan yang Baik

Di dalam surah Al-Ahzab ayat 21, Allah Swt berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

 “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”

Dari ayat di atas dapat kita pahami, bahwa Nabi Muhammad adalah panutan bagi setiap manusia. Lebih-lebih kepada mereka yang yang bertakwa di hadapan Allah Swt. Dan hendakanya, bagi mereka yang mendambakan kebahagiaan dunia-akhirat sudah selayaknya mengikuti jejak langkahnya.

* Rahmat (kasih-sayang) bagi Alam Semesta

Sebagaimana rahmat Allah tak terbatas bagi setiap makhluk-Nya, pun dengan kasih-sayangnya Nabi Saw. Bahwa, salah satu tujuan diutusnya, ialah menyebarkan pesan cinta-kasih kepada semua manusia tanpa terkecuali, sehingga misi dakwah yang ia ampu dari Allah Swt dapat diterima dengan mudah oleh orang-orang kala itu, yang telah menjadikan berhala sebagai obyek sesembahannya.

Karenanya, Allah Swt., mengabadikan kasih sayangnya nabi Muhammad tersebut di dalam salah satu ayat di dalam al-Quran.

 وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

 “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107).

* Merakyat

Sebagai seorang pemimpin di tengah umat, maka salah satu hal yang harus memiliki ialah jiwa merakyat dan membaur dengan siapa saja di tengah masyarakat. Di sisi lain, hal itu juga menafikan sifat keakuan (egois) yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Karena, penting bagi bagi seorang pemimpin menghapus sekat-sekat yang dapat membentengi dirinya dengan rakyatnya. Hal itu pulalah yang dilakukan oleh Nabi Saw. Meski ia dinobatkan sebagai paling mulianya manusia, ia tak memanfaatkan itu untuk menjaga jarak atau bahkan berbuat semena-mena terhadap orang lain. Ia tetap memosisikan diri, sebagaimana manusia biasa.

Menyoroti hal itu, Allah berfirman  di dalam kitab-Nya sebagai berikut.

لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

“Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah: 128).

Di atas adalah pemaparan tentang beberapa keistimewaan pada diri Rasulullah Saw. Dengan melihat keistimewaannya di atas, maka rasa-rasanya mustahil apabila sosok Nabi—yang  merupakan perwakilan Allah di muka bumi ini—melakukan  hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam dan akal sehat. Wallahu a’lam bi as-shawab.

Senin, 20 Desember 2021 15:57

Keberkahan Kalung Fatimah Zahra

 

Suatu hari, Nabi Saw sedang duduk di masjid. Seorang Arab Badui masuk dan berkata, "Wahai Rasulullah! Saya lapar. saya tidak punya pakaian yang sesuai. Saya tidak punya uang dan saya berhutang. Tolong saya!" Nabi Saw berkata kepada Bilal, "Bawa pria ini ke rumah Fathimah dan beri tahu putriku bahwa ayahmu telah mengirimnya."

Bilal datang dan menceritakan kisah itu kepada Sayidah Fathimah as. Ia membuka kalungnya yang merupakan hadiah, dan memberikannya kepada Bilal lalu berkata, "Berikan kalung ini kepada ayah saya untuk menyelesaikan masalah." Bilal kembali dan menyerahkan amanat tersebut Nabi. Rasulullah Saw berkata, "Siapa pun yang membeli kalung ini saya akan menjamin surga baginya."

Ammar Yasir membelinya dan membawa orang miskin tersebut ke rumahnya. Ia memberikan pakaian dan makanan kepadanya dan menggandakan jumlah pinjaman. Lalu Ammar memanggil budaknya dan berkata, "Kau bawa kalung ini ke rumah Fathimah Zahra as dan katakan itu sebagai hadiah. Saya juga menghadiahkanmu kepada Fathimah." Budak itu membawa dan memberikan kalung itu kepada Fathimah as dan berkata, "Ammar juga telah menghadiahkan aku kepadamu." Mendengar itu, Sayidah Fathimah as membebaskan budak itu di jalan Allah.

Budak itu kemudian berkata, "Aku terkejut!" Kalung yang indah dan penuh berkah! Ia mengenyangkan orang yang lapar. Memakaikan baju bagi yang tidak punya. Membayar pinjaman orang yang berutang. Membebaskan budak dan pada akhirnya kembali kepada pemiliknya."

Senin, 20 Desember 2021 15:55

Benarkah Nabi Muhammad SAW Pernah Sesat?

 

Setelah sederet pembahasan mengenai Ishmah atau kemaksuman para nabi dan khususnya Nabi Muhammad saw yang telah kita kaji bersama dalam tulisan-tulisan sebelumnya, sekarang kita mulai beralih pada kajian mengenai beberapa keterangan yang secara zahir menunjukkan hal yang berseberangan dengan konsep Ishmah itu sendiri.

Artinya dalam hal ini terdapat beberapa penjelasan dalam literatur Islam baik Al-Quran maupun hadis sendiri yang menggambarkan sosok para nabi -khususnya yang menjadi topik kita adalah sosok Nabi Muhammad saw- yang seolah bertolak belakang dengan konsep Ishmah yang ada. Dan sebagai imbasnya adalah memunculkan pertanyaan bagi kita sendiri mengenai kebenaran yang ada terkait kedua jenis literatur tersebut.

Oleh sebab itu sangat penting untuk mengkajinya dan mempelajari maksud yang dikandung dari literatur-literatur tersebut, seperti yang sudah kita lakukan pada beberapa di antaranya pada pembahasan-pembahasan yang lalu. Sebab dengan inilah kita akan mengenal kebenaran mengenai sosok agung nabi kita sendiri.

Pada kesempatan kali ini penulis akan membawakan kajian tentang sebuah ayat yang dinilai secara zahir menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw pernah mengalami kesesatan atau kebingungan dan tidak mengetahui tujuan. Ayatnya adalah sebagai berikut:

وَوَجَدَكَ ضَاۤلًّا فَهَدٰىۖ

Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. (Ad-Dhuha: 7)

Dalam ayat di atas, Allah swt secara langsung berbicara kepada Nabi Muhammad saw, bahwasannya Dia mendapati nabi dalam keadaan yang tersesat (Dhalla secara bahasa bermakna tersesat atau menyimpang), sementara dalam terjemahan di atas dimaknai dengan “yang bingung” sebagai konsekuensi dari tersesat atau menyimpang dari jalan. Kemudian setelah itu Allah swt memberikannya petunjuk.

Dari gambaran di atas secara zahir hal ini menunjukkan bahwa dulunya nabi adalah orang yang tidak berada pada jalur yang dikehendaki Allah swt, artinya waliyadzu billah beliau berada dalam penyimpangan, ketika menyimpangan berarti melakukan kesalahan dan berbuat dosa. Dan hal ini bertolak belakang dengan apa yang telah kita bahas dalam kajian-kajian sebelumnya bahwa beliau saw terjauh dari kesalahan dan dosa seutuhnya.

Terkait hal ini, Imam Fakhru Razi dalam tafsirnya mula-mula menjelaskan bahwa sebagian orang memahami dari ayat di atas menunjukkan pada sosok nabi yang dulunya adalah seorang yang kafir yang berada di tengah kaum yang tersesat, kemudian dihidayahi oleh Allah swt ke dalam tauhid.

Namun kemudian penulis tafsir Al-kabir ini juga menyebutkan bahwa sekelompok ulama lainnya memiliki pandangan lain terhadap ayat ini dan mereka sepakat bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah kufur atau jadi seorang yang kafir terhadap Allah swt walau sesaat. Bahkan Mu’tazilah menganggap hal ini adalah mustahil secara logis, adapun menurut kelompoknya hal ini tidaklah mustahil secara logis, sebab bisa saja seorang yang sekarang ini kafir kemudian dikaruniai keimanan oleh Allah dan kemudian dimuliakan dengan kenabian (menjadi nabi). Namun menurutnya hal tersebut meskipun mungkin terjadi akan tetapi dalil (wahyu) menunjukkan bahwa hal yang mungkin tersebut tidak terjadi, sebagaimana firman-Nya:

مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوٰىۚ

kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak (pula) keliru. (An-Najm: 2)

Dengan ini ia menafikan bahwa maksud dari Dhall pada ayat tadi sebagai penyimpangan atau kesesatan.

Setelah itu ia membawakan beberapa kemungkinan yang menjadi maksud dari lafal tersebut, diantaranya adalah riwayat dari Ibnu Abbas yang memaknainya dengan bahwa nabi sebelumnya tidak memiliki ilmu tentang hukum syar’i.[1]

Sementara itu, Syekh Makarim Syirazi berbicara mengenai ayat yang sama, pertama-tama ia menjelaskan bahwa lafal tersebut berkaitan dengan risalah dan kenabian, dimana sebelumnya hal tersebut tidak ada pada diri Nabi Muhammad saw kemudian Allah swt memberikan karunia itu. Sehingga yang dinafikan dari sosok nabi (Dhall) pada ayat tadi bukanlah keimanan sehingga disebut kafir sebagaimana pada penjelasan Fakhru Razi, melainkan yang dinafikan di sini adalah ilmu atau ma’rifah nabi terhadap hakikat kenabian dan risalah hukuk-hukum Islam.[2]

Kesimpulannya berdasarkan penafsiran di atas, ayat ketujuh surat Ad-Dhuha ini tidak berbicara mengenai kondisi Nabi Muhammad saw yang berada dalam kesesatan karena tidak adanya iman dalam dirinya, melainkan kondisi beliau yang belum memperoleh ilmu tentang kenabian dan risalah yang akan didakwahkan olehnya. Sehingga melihat ayat tadi dengan kaca mata ini tidak bertentangan dengan konsep Ishmah yang ada pada ayat-ayat lainnya seperti yang sudah dibahas.

Selain itu hal ini justru semakin menegaskan nilai dari tauhid amali (praktis) bahwa sesungguhnya hanya Allah swt -lah satu-satunya Dzat pemberi hidayah. Adapun selain-Nya adalah seluruhnya membutuhkan pada hidayah-Nya termasuk para nabi dan khususnya dalam kasus di atas adalah Nabi Muhammad saw.

[1] Fakhru Razi, Muhammad Ar-Razi Fakhruddin, Tafsir Al-Kabir,  jil: 31, hal: 216-217 , cet: Darul Fikr, Beirut.

[2] As-Syirazi, Nashir Makarim, Al-Amtsal, jil: 29, hal: 308-309, cet: Al-A’laami, Beirut.

 

Pada makalah kali ini kita akan membaca sebuah kisah nyata dari sejarah Islam akan sifat Itsar atau dermawan dan juga rela berkorban dari salah satu sahabat setia Nabi saw yaitu sayidina Ali bin Abi Thalib kwj bersama keluarganya.

Diriwayatkan dari hadits Abu Huarairah bahwa suatu ketika datang kepada Baginda Nabi Muhammad saw seseorang yang sedang kelaparan. Kemudian Rasulullah saw mengutus seseorang untuk ke rumah para istri nabi. Namun sayangnya mereka berkata bahwa “Kita tidak mempunyai makanan kecuali air.”

Kemudian baginda Nabi bertanya pada para sahabat, “Siapa yang bisa menjamu orang ini untuk malam ini?”

“Wahai Rasulullah! Aku yang akan menjamunya.” Jawab Ali bin Abi Thalib.

Setelah itu Sayidina Ali berkata kepada istri tercintanya Sayidah Fathimah as.

“Wahai Putri Rasulullah! Apakah kamu punya makanan?”

Sayidah Fathimah pun menjawab, “Kita tidak punya makanan lagi kecuali makanan untuk anak-anak”

Akan tetapi Sayidina Ali dan Sayidah Fathimah as lebih mengutamakan tamu tersebut.

Sayidina Ali pun berkata, “Wahai Putri Rasulullah! Tidurkan anak-anak dan matikanlah lampu!”

Ketika subuh hari tiba, Sayidina Ali bin Abi Thalib kwj pun menceritakan kejadian semalam kepada Rasulullah saw dan ayat al-Quran pun turun.

Ini adalah bukti bahwa Rasulullah saw dan keluarga beliau mengajarkan pada kita untuk mendahulukan kebutuhan orang lain dibanding kebutuhan kita. Bisa dikatakan bahwa sifat ini adalah itsar atau rela berkorban. Sifat ini hanya dimiliki mereka yang benar-benar ikhlas dan mempunyai keimanan yang tinggi. Semoga kita bisa mendapatkan predikat seperti ini.

 

AIquran dan hadis-hadis berkali-kali memuliakan dan mengagungkan putri Rasulullah saw ini. Beliau adalah mentari yang bersinar dari Dunia Islam yang menerima risalah Islam, melaksanakan prinsip-prinsip dan tujuan transenden Islam, serta melakukan jihad yang terbaik di jalan Allah Swt. Sekarang, kita akan membahas kelanjutan penjelasan ringkas mengenai agungnya kedudukan beliau dalam Alquran Karim

Berbagai ayat telah diturunkan sebagai pemuliaan terhadap keluarga Nabi sehingga mereka tidak lagi butuh pada pujian dan sanjungan orang yang gemar memuji serta menyanjung, dan Fathimah Zahra as berada di barisan terdepannya mereka. Di antara banyak ayat yang turun untuk pribadi agung Fathimah Zahra a.s, berikut sementara kami cukupkan tiga ayat:

1. Ayat Mawaddah

Katakanlah, “Aku tidak meminta kepadamu suatu upah pun atas seruanku ini kecuali kecintaan kalian kepada keluarga dekatku. Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” [QS. al-Syura: 23]

Allah Swt dalam Alquran telah mewajibkan kepada seluruh kaum muslim untuk mencintai Ahlulbait a.s. Kebanyakan para perawi berpendapat bahwa yang dimaksud dari al-Qurba dalam ayat ini adalah Ali a.s, Fathimah a.s, Hasan dan Husain a.s. dan bahwa melakukan perbuatan baik di sini dalam arti mencintai mereka (Ahlulbait a.s.). Dalil dari pernyataan ini adalah hadis-hadis berikut ini.

Ibnu Abbas meriwayatkan: “Ketika ayat ini turun, mereka bertanya kepada Rasulullah saw, ‘Siapakah keluarga dekatmu, yang mencintai mereka wajib atas kami itu?’ Rasulullah saw bersabda, ‘Ali a.s., Fathimah a.s., Hasan a.s., dan Husain a.s.’” [Hilyah al-Awliya, jil. 3, hal. 201]

Fakhrurrazi (salah satu ulama terkemuka Ahlusunnah) sangat memuliakan Ahlulbait a.s. dan berdasarkan ketelitiannya dia berkata:

“Jika masalah ini sudah terbukti –permasalahan mengenai ayat ini khusus kepada Ahlulbait- maka dengan demikian kita harus lebih menghormati mereka. Adapun dalilnya adalah sebagai berikut: Pertama, kata “illa al-mawaddata fi al-qurba” (kecuali kecintaan kalian kepada keluarga dekatku) karena keluarga Muhammad adalah mereka yang urusan Rasulullah saw kembali kepada mereka. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan “ali” (keluarga dekat) adalah orang-orang yang urusan mereka lebih banyak dan lebih sempurna berhubungan dengan Rasulullah saw dan tidak diragukan lagi hubungan Fathimah a.s., Ali a.s., Hasan a.s., dan Husain a.s. dengan Rasulullah saw sangatlah erat daripada semua orang lainnya. Hal ini sangatlah jelas sampai-sampai dianggap sebagai hadis yang mutawatir. Oleh karena itu, kata “ali” (keluarga dekat) Nabi adalah mereka ini.

Kedua, sangat meyakinkan bahwa Rasulullah saw sangat mencintai Fathimah a.s. Beliau bersabda, “Fathimah adalah bagian dari diriku. Barang siapa menyakitinya, sungguh dia telah menyakitiku,” secara mutawatir telah terbukti bahwa Rasulullah saw sangat mencintai Ali, Hasan, dan Husain. Oleh karena itu, diwajibkan bagi seluruh kaum muslim untuk berlaku demikian, dengan berdalil pada ayat-ayat berikut,

1. Ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk. [QS. al-A’raf: 158]

2. Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut. [QS. al-Nur: 63]

3. Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutil aku, niscaya Allah akan mengasihimu.” [QS. Ali Imran: 31]

4. Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah saw itu terdapat suri teladan ya baik bagimu. [QS. al-Ahzab: 21]

Ketiga, berdoa untuk Ahlulbait a.s. mempunyai derajat yang sangat tinggi. Oleh karena itu, tasyahud salat diakhiri dengan berdoa untuk mereka, dan bagi orang yang salat wajib membaca, “Ya Allah! Sampaikanlah salawat pada Muhammad dan keluarga Muhammad.” [Tafsir Fakhrurrazi, penjelasan ayat Mawaddah pada surah al-Syura, jil.7, hal. 391]

2. Ayat Abrar

Ayat Abrar adalah ayat-ayat yang berbicara mengenai keutamaan keluarga suci Rasulullah saw dan Fathimah Zahra a.s. pun adalah bagian pokok dari keluarga tersebut. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang telah dicampur dengan air kafur (yang semerbak mewangi), yang berasal dari mata air (di dalam surga) yang darinya hamba-hamba Allah minum, (dan) mereka dapat mengalirkannya dari manapun mereka kehendaki. Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.”

Seluruh ahli tafsir meyakini bahwa surah al-Insan ini diturunkan mengenai Ahlulbait a.s. dan sebab turunnya ayat itu adalah bahwa Imam Hasan a.s. yang jatuh sakit dan kakeknya Rasulullah saw datang beserta para sahabatnya untuk menjenguk mereka. Ketika itu, beliau memberi saran kepada Imam Ali a.s. untuk berpuasa nazar selama tiga hari. Imam Ali a.s. pun bernazar bahwa jika Allah Swt menyembuhkan anak-anaknya, maka dia akan berpuasa selama tiga hari, yang juga diikuti oleh Fathimah Zahra a.s. beserta Fidhdhah pembantunya dan ketika Imam Hasan a.s. sembuh, mereka semuanya pun berpuasa.

3. Ayat Tathhir

Sebagian ayat-ayat yang turun mengenai hak Ahlulbait as adalah ayat Tathhir. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, hai Ahlulbait dan menyucikan kamu sesuci sucinya.” [QS. al-Ahzab: 33]

Ayat ini turun mengenai Ahlulbait a.s., yaitu lima orang Ahlul Kisa dan para ahli tafsir telah bersepakat mengenai masalah ini. Mereka mengatakan bahwa ayat di atas turun berkenaan dengan Rasulullah saw, Imam Ali a.s., yang disebut sebagai diri Rasulullah saw sendiri, demikian pula Fathimah a.s. penghulu perempuan seluruh alam, dan kedua putranya Hasan dan Husain a.s.

Ummu Salamah berkata, ayat ini turun di rumah saya. Fathimah a.s., Ali a.s., Hasan a.s. dan Husain a.s. juga berada di dalam rumah, Rasulullah saw mengenakan sebuah jubah, lalu beliau menghamparkannya di atas mereka dan bersabda, “Ya Allah! Mereka inilah Ahlulbaitku, maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci sucinya.”

Ummu Salamah berkata, “Apakah aku juga (boleh masuk) bersama kalian, wahai Rasulullah saw?” Dan jubah itu pun diangkat supaya dia masuk ke dalamnya, tetapi Rasulullah saw menarik jubah itu dari tangannya dan berkata, “Sesungguhnya engkau berada dalam kebaikan.” [Mustadrak al-Hakim, jil. 2, hal. 16]

Rasulullah saw berusaha untuk menunjukkan bahwa maksud ayat ini dikhususkan hanya kepada Ahlulbait a.s. saja.