کمالوندی

کمالوندی

 

Sejak kecil kita sering diajarkan doa Nabi

Musa as dalam Al-Qur’an yang berbunyi,

قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي – وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي – وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي –

يَفْقَهُوا قَوْلِي

Dia (Musa) berkata, “Ya Tuhan-ku,

lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah untukku

urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari

lidahku, agar mereka mengerti perkataanku.”

(QS.Thaha:25-28)

Doa yang sangat indah, khususnya disaat kita

harus berbicara dan menghadapi sesuatu. Namun

ada satu pertanyaan, tahukah kita apa arti

lapang dada? Apakah kita selama ini berdoa

tanpa tau maksud dari doa kita sendiri?

Pada awalnya, Nabi Musa diperintahkan oleh

Allah untuk mendatangi Fir’aun, Raja yang

terkenal sangat kejam. Tapi anehnya, Nabi

Musa tidak meminta bekal senjata, pasukan

ataupun bantuan disaat itu. Beliau hanya

berdoa dan meminta agar Allah Melapangkan

dadanya, Mempermudah urusannya dan

Melancarkan bicaranya.

Dari semua doa itu, yang pertama diminta

adalah lapang dada. Karena ini adalah bekal

yang paling penting untuk memikul tanggung

jawab dan menghadapi segala rintangan.

Khususnya ketika menyampaikan kebenaran.

Lapang dada adalah perpaduan antara ikhlas,

sabar dan tawakal. Apapun yang terjadi tidak

akan membuat hatinya sempit dan menyesal.

Jika kita perhatikan, Nabi Musa meminta

kepada Allah untuk dilapangkan dadanya.

Sementara Baginda Nabi Muhammad saw telah

diberi kelapangan dada sebelum beliau

meminta. Itulah kemuliaan Rasulullah diatas

nabi-nabi yang lain.

أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ

“Bukankah Kami telah Melapangkan dadamu

(Muhammad)?” (QS.as-Syarh:1)

Karena itu, kehidupan Rasulullah saw selalu

dipenuhi kesabaran ketika dihadapkan dengan

berbagai rintangan dan masalah. Bahkan dengan

lapang dada Rasulullah saw mendoakan umat

yang memusuhi dan memerangi beliau,

“Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku,

sesungguhnya mereka belum mengetahui”

 

Gambaran lapang dada yang dimiliki Rasulullah

juga terlihat ketika Fathu Mekah. Disaat

Rasulullah telah menguasai mekah, beliau

berhadapan dengan orang-orang yang memusuhi

bahkan berusaha membunuh beliau selama

bertahun-tahun.

Namun beliau tidak membalas perbuatan keji

mereka, dengan lapang dada Rasulullah saw

melepaskan dan membebaskan musuh-musuhnya.

Beliau bersabda,

“Pergilah, sungguh kalian adalah orang-orang

yang dibebaskan !”

 

Kemudian beliau membaca ayat yang dibaca oleh

Nabi Yusuf as ketika memaafkan saudara-

saudaranya,

قَالَ لاَ تَثْرَيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللّهُ لَكُمْ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

Dia (Yusuf ) berkata, “Pada hari ini tidak

ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan

Allah Mengampuni kamu. Dan Dia Maha Penyayang

di antara para penyayang.” (QS.Yusuf:92)

Semoga kita mendapatkan taufik untuk memiliki

hati yang lapang dalam menghadapi segala

masalah dalam hidup.

 

Al-Qur’an sering mengingatkan kita untuk berdzikir dan mengingat Allah swt. Bahkan bukan hanya mengingat sesekali saja tapi selalu mengingat-Nya sepanjang waktu. Seperti Firman Allah swt,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْراً كَثِيراً – وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلاً

“Wahai orang-orang yang beriman! Ingat-lah kepada Allah, dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” (QS.al-Ahzab:41)

Kita semua tau bahwa Allah adalah Sang Pencipta yang paling Mengetahui kebutuhan ciptaan-Nya. Dia tidak akan Memerintahkan sesuatu kecuali karena hamba-Nya sangat membutuhkan hal itu. Dan Dia tidak Membutuhkan apapun dari ibadah dan amalan kita.

Perintah untuk banyak berdzikir dan mengingat-Nya di pagi dan sore hari adalah isyarat agar kita selalu mengingat-Nya dalam kondisi apapun. Lalu apa manfaat dari selalu ingat Allah?

Dengan mengingat-Nya kita akan selalu dalam kondisi sadar. Sadar bahwa kita adalah seorang hamba, sadar bahwa kita begitu lemah, sadar bahwa segala sesuatu tak akan terjadi tanpa Kehendak-Nya. Maka dengan kesadaran itu hati kita akan merendah, khusyuk dan selalu tenang. Karena kita tidak bergantung kepada siapapun selain Allah swt.

Selain itu, dengan selalu mengingat Allah akan menjaga hubungan kita dengan lingkungan sekitar. Karena setiap kesalahan itu muncul karena kita sedang melupakan-Nya.

Tapi ingat, dzikir dan mengingat Allah bukan hanya kerja lisan saja. Makna dzikir yang sebenarnya adalah hadirnya hati yang selalu berhubungan dengan Allah swt. Allah swt Berfirman,

وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا

“Dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami Lalaikan dari mengingat Kami.” (QS.al-Kahf:28)

Dzikir dengan lisan tidak bisa menjadi jaminan. Karena dalam ayat ini Allah Menekankan bahwa yang berdzikir dan yang lalai adalah hati, bukan lisan. Seorang yang lisannya berdzikir belum tentu hatinya mengingat Allah swt. Bisa sa saja lisannya tidak bergerak tapi hatinya selalu sadar dan ingat kepada-Nya.

Lisan hanyalah pembantu agar hati dapat fokus untuk mengingat-Nya. Maka beruntunglah siapa yang sering mengingat Allah swt, karena Dia telah Berjanji dalam Firman-Nya,

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ

“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan Ingat kepadamu.” (QS.al-Baqarah:152)

Lalu siapa yang lebih beruntung dari seorang hamba yang selalu diingat oleh Tuannya. Apalagi disaat kesulitan di dunia, kesendirian di alam kubur dan ketakutan di Hari Kiamat. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu mengingat-Nya.

 

Salah satu sifat buruk manusia adalah suka menunda. “Nanti saja saya kerjakan, esok saja saya lakukan.” Padahal tidak seorang pun yang tau kapan waktunya habis. Tidak ada yang mengerti kapan ajalnya akan tiba. Tak menunggu datangnya penyakit atau umur yang tua. Sewaktu-waktu kematian bisa datang menjemputnya.

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَداً وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ

“Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (QS.Luqman:34)

Itulah kenapa sebenarnya kita tak punya waktu lagi untuk menunda amal baik. Belum tentu esok masih ada waktu, belum tentu nanti masih ada kesempatan.

Ingat, sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan hari ini akan diterima oleh Allah swt lalu akan kita dapatkan hasilnya.

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ

“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS.Al-Zalzalah:7)

Dan ingatlah ! Sebesar apapun yang akan kita berikan nanti (setelah kematian), tidak akan berarti sedikitpun.

فَالْيَوْمَ لَا يُؤْخَذُ مِنكُمْ فِدْيَةٌ وَلَا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مَأْوَاكُمُ النَّارُ هِيَ مَوْلَاكُمْ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

“Maka pada hari ini tidak akan diterima tebusan dari kamu maupun dari orang-orang kafir. Tempat kamu di neraka. Itulah tempat berlindungmu, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS.Al-Hadid:15) 

Mahkamah akhirat tidak seperti pengadilan di dunia yang bisa main sogok atau menebus dengan harta. Sebesar apapun tebusan yang akan diberikan untuk meringankan adzab tidak akan diterima. Allah Berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ وَمَاتُواْ وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَن يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِم مِّلْءُ الأرْضِ ذَهَباً وَلَوِ افْتَدَى بِهِ أُوْلَـئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَمَا لَهُم مِّن نَّاصِرِينَ

“Sungguh, orang -orang yang kafir dan mati dalam kekafiran, tidak akan diterima (tebusan) dari seseorang di antara mereka sekalipun (berupa) emas sepenuh bumi, sekiranya dia hendak menebus diri dengannya. Mereka itulah orang- orang yang mendapat azab yang pedih dan tidak memperoleh penolong.” (QS.Ali Imran:91)

Bahkan Al-Qur’an pernah menceritakan bahwa para pendosa ingin menebus kesalahannya di dunia dengan anak, istri dan orang-orang yang dicintainya namun semua itu tidak akan merubah apapun jua.

يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِي مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ بِبَنِيهِ – وَصَاحِبَتِهِ وَأَخِيهِ – وَفَصِيلَتِهِ الَّتِي تُؤْويهِ – وَمَن فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً ثُمَّ يُنجِيهِ –

كَلَّا إِنَّهَا لَظَى – نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى

Pada hari itu, orang yang berdosa ingin sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari azab dengan anak-anaknya, dan istrinya dan saudaranya, dan keluarga yang melindunginya (di dunia), dan orang-orang di bumi seluruhnya, kemudian mengharapkan (tebusan) itu dapat menyelamatkannya.

Sama sekali tidak! Sungguh, neraka itu api yang bergejolak,yang mengelupaskan kulit kepala. (QS.Al-Ma’arij: 11-16)

Imam Ali bin Abi tholib pernah berkata,

“Hari ini waktunya beramal dan besok adalah hari perhitungan.”

Sayangnya, manusia sering lalai dan lupa. Seakan ia masih punya waktu yang panjang dan akan hidup selamanya. Dan disaat ajalnya sudah dekat, ia baru sadar dan merintih kepada tuhannya,

حَتَّى إِذَا جَاء أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ – للَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحاً فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِن وَرَائِهِم بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

Hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, “Ya Tuhan-ku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat berbuat kebajikan yang telah aku tinggalkan.” Sekali-kali tidak! Sungguh itu adalah dalih yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada barzakh sampai pada hari mereka dibangkitkan (QS.Al-Mukminun:99-100)

Tapi apa yang dapat dilakukan? Waktu beramal telah habis, pintu taubat telah tertutup. Sekarang adalah waktunya untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatan ditemani dengan tabungan amal yang selama ini ditabung. Mari perbanyak tabungan kita hari ini. Jangan tunda lagi karena hari ini waktunya beramal dan esok adalah waktu perhitungan.

Senin, 20 Desember 2021 16:27

Sadarlah, Kalian Tak Memiliki Apapun !

 

Sesuatu yang paling sering dilupakan manusia adalah bahwa sebenarnya ia tidak memiliki apapun. Bahkan manusia bergantung total dan selalu membutuhkan bantuan Allah swt. Bayangkan, untuk mengendalikan detak jantungnya saja ia tidak mampu?

Untuk menyadarkan kelalaian ini, Allah Berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنتُمُ الْفُقَرَاء إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

“Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu), Maha Terpuji.” (QS.Fathir:15)

Disaat Allah Memanggil manusia “Wahai manusia…”, bukan berarti Allah Membutuhkan mereka. Tapi sebenarnya manusia yang sangat membutuhkan bantuan-Nya. Panggilan ini adalah salah satu cara untuk menyadarkan mereka dari hayalan kesombongan dan bangga diri. Agar mereka segera sadar dengan kelemahan, kebodohan serta kebutuhannya kepada Sang Pemilik langit dan bumi.

Adapun pelajaran yang dapat kita ambil dari ayat ini adalah :

1. Semua makhluk secara keseluruhan butuh kepada Allah Yang Maha Kaya. “Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah.”

2. Seluruh keberadaan ini sebenarnya faqir (butuh kepada Allah), namun karena manusia itu mudah tergoda dan tertipu maka ayat ini ditujukan langsung kepada manusia. “Wahai manusia!..”

3. Memang segala sesuatu membutuhkan sebab dan perantara untuk dapat terjadi, namun semua sebab itu seluruhnya butuh kepada Allah swt. “Dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu).”

4. Sang Maha Kaya yang hakiki, yang sempurna dan tidak memerlukan apapun hanyalah Allah swt. “Dia-lah Yang Maha Kaya.”

5. Orang-orang kaya biasanya tidak disukai. Ia hidup dalam rasa takut karena banyak yang mengincar hartanya. Dan tak sedikit pula yang menyimpan iri dan dengki kepadanya. Namun tidak dengan Allah swt, Dia lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. “Dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya, Maha Terpuji.”

6. Allah Menjadikan Kekayaan-Nya untuk memenuhi kebutuhan ciptaan-Nya, karena itulah Dia selalu terpuji. “Dia-lah Yang Maha Kaya, Maha Terpuji.”

Semoga kita selalu sadar bahwa tidak ada daya dan upaya kecuali miliki Allah swt. Sehingga tidak ada lagi sifat sombong dan bangga diri, karena untuk bernafas pun kita masih bergantung kepada udara pemberian Allah swt.

Senin, 20 Desember 2021 16:25

Pintu yang Tak Pernah Tertutup

 

Sejauh apapun kita pergi, Allah masih tetap membuka jalan untuk kembali. Sebanyak apapun kesalahan yang kita perbuat, pintu taubat selalu menanti. Allah swt Berfirman,

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً ثُمَّ اهْتَدَى

“Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk.” (QS.Thaha:82)

Pelajaran yang dapat kita ambil dari ayat ini adalah :

1. Pintu taubat terbuka walaupun kepada orang yang telah diliputi murka Allah swt. “Barangsiapa ditimpa kemurkaan-Ku, maka sungguh, binasalah dia (81) Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat…”

2. Ketika manusia benar-benar kembali kepada Allah, maka ia akan memperoleh ampunan-Nya. Dan ampunan ini memiliki pengaruh yang sangat besar di sisi-Nya. “Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat…”

3. Taubat akan diterima dengan beberapa syarat :

♦ Kembali kepada Allah. “Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat”

♦ Iman. “beriman…”

♦ Amal Shaleh “dan berbuat kebajikan..”

♦ Hidayah. “kemudian tetap dalam petunjuk..”

 4. Menjadi seorang mukmin itu penting namun yang lebih penting adalah bertahan untuk selalu menjadi seorang yang beriman. “kemudian tetap dalam petunjuk…”

Semoga kita mendapatkan taufik untuk bertaubat serta tetap menjaga iman kita sampai Hari Pertemuan dengan Allah swt.

Senin, 20 Desember 2021 16:24

Bahaya Merasa Cukup dengan Ilmu

 

Kali ini kita akan mengkaji perintah Allah kepada

Baginda Nabi Muhammad saw yang berbunyi

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
Dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu

kepadaku” (QS.Thaha:114)

Ayat ini begitu singkat, padat dan mengandung

berbagai macam pesan berharga. Dan pelajaran yang

dapat kita ambil adalah :

1. Ayat ini mengajarkan kita untuk jangan berhenti

menambah pengetahuan. Al-Qur’an diawali dengan

Iqro’ (bacalah). Baca dan terus belajar. Jangan

pernah merasa cukup dengan ilmu yang kita miliki.

2. Dalam ayat Al-Qur’an dan riwayat dari Nabi

menekankan mengenai pentingnya ilmu serta peran

para ulama’. Dan Al-Qur’an juga menyebutkan

kedudukan tinggi yang diraih oleh para ulama yang

mengamalkan ilmunya.

Rasulullah saw bersabda,

“Siapa yang ingin sukses didunia maka raihlah dengan

ilmu.

Siapa yang ingin sukses di akhirat maka raihlah

dengan ilmu.

Siapa yang ingin sukses di keduanya maka raihlah

dengan ilmu.”

3. Ilmu itu tak terbatas dan begitu luas. Sehingga

tidak ada seorang pun yang layak mengatakan “’ilmuku

sudah cukup”. Setiap hari harus ada pengetahuan dan

ilmu yang bertambah, apapun pengetahuan tersebut.

4. Rasulullah saw telah diberikan oleh Allah segala

macam ilmu yang begitu luas. Ilmu yang telah lalu dan

yang akan datang hingga hari kiamat.

وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَ.يْكَ عَظِيمًا
“Dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum

kamu ketahui[6]. Karunia Allah yang dilimpahkan

kepadamu itu sangat besar.” (QS.An-Nisa’:113)

Namun beliau tetap diperintahkan untuk selalu berdoa

untuk menambah ilmu pengetahuan.

Jika Rasul yang telah memiliki semua ilmu masih

diperintahkan untuk menambah ilmu. Lalu siapakah

kita? Alangkah sombongnya orang yang mengatakan

“aku sudah pandai, ilmuku sudah cukup” karena orang

semacam ini secara tidak langsung mengatakan bahwa

“aku lebih dari Rasulullah saw” karena Rasul saja ingin

menambah ilmu sementara dia sudah merasa

mengetahui segalanya.

5. Ayat ( اقْرَأْ ) di di pembukaan Al-Qur’an dan ( رَبِّ

زِدْنِي عِلْمًا ) ini menunjukkan bahwa Islam selalu

mengajak kita untuk terus menimba ilmu. Apapun ilmu

itu tanpa membeda-bedakan antara satu ilmu dengan

yang lainnya.

Apapun ilmunya, pelajari ! Tidak harus ilmu agama

(walaupun itu menjadi prioritas), tapi pelajari semua

ilmu. Mulai dari sains, teknologi dan sebagainya.

Karena Al-Qur’an mengatakan “bacalah semua ilmu

akan tetapi tetap bismi robbik.”

Pelajari semua ilmu tapi tetaplah dijalan Tuhanmu.

Pelajari ilmu yang dapat menjadikan kemakmuran di

bumi Allah, menambah ketentraman dan kedamaian

diantara manusia.

Rasulullah saw bersabda, “Apabila satu hari aku tidak

menambah ilmu maka bagiku hari itu adalah hari yang

paling sial”

Maka jangan ada lagi rasa sombong dan merasa

cukup. Jangan seperti kaum yahudi di zaman

Rasulullah yang perkataan mereka direkam dalam

Al-Qur’an

و قَالُوا قُلُوبُنَا غُلْفٌ
Dan mereka berkata, “Hati kami tertutup.” (QS.al-

Baqarah:88)

Mereka merasa cukup dengan apa yang mereka miliki.

Seakan ingin berkata, “hati kami telah penuh dengan

ilmu, tidak perlu lagi dari engkau wahai Muhammad”

Maka cobalah mendengar pendapat yang lain. Cobalah

membuka hati dengan pengetahuan yang baru. Karena

seorang mukmin adalah mereka yang menampung

semua ilmu dan memilih yang terbaik darinya.

Semoga kita termasuk orang-orang yang terus merasa

haus dengan ilmu pengetahuan dan tidak pernah

merasa cukup dengan ilmu yang kita miliki.

Senin, 20 Desember 2021 16:23

Ibadah karena terbiasa, atau karena Tuhan?

 

Nilai ibadah ada pada niat dan ketulusan pelakunya, yang mana amal ibadah itu dilakukan untuk mencari keridhaan Tuhan. Pelaku ibadah ini adalah hamba tertinggi di mata Tuhan.

Imam Ali as berkata bahwa hamba Allah ada tiga macam: hamba yang bagaikan budak, bagai pedagang, dan hamba yang bebas. Hamba yang seperti budak, menyembah Tuhan karena takut siksaan-Nya; hamba yang bagai pedagang, menyembah karena mengharap ganjaran dan balasan yang menguntungkannya; hamba yang bebas menyembah Tuhan karena Tuhan layak dan patut disembah.

Tidak ada salahnya jika kita menghamba seperti budak atau pedagang. Namun jika kita telusuri, menghamba sebagai orang yang bebas adalah makna hakiki penghambaan. Sedangkan hamba-hamba yang seperti budak atau pedagang, meskipun tak menutup kemungkinan ibadah mereka benar dan diterima, mereka tidak sepenuhnya beribadah. Karena mereka tidak beribadah sepenuhnya untuk mengharap keridhaan Allah swt semata, akan tetapi karena faktor-faktor yang non-Ilahi lainnya.

Faktor-faktor non-Ilahi tersebut yang dapat kita lihat dengan mudah, seperti yang telah disinggung, misalnya: takut api neraka, mengharapkan surga, dan lain sebagainya.

Sedangkan ada faktor-faktor lain yang cukup susah dilihat, yaitu faktor “kebiasaan”. Lihatlah contoh berikut ini:

Seseorang mulanya menekuni shalat berjama’ah di awal waktu. Ia benar-benar menikmati nilai spiritual dalam amal ibadah tersebut. Setiap kali ia menemukan halangan untuk shalat berjamaah di awal waktu, ia selalu berusaha menerjang halangan tersebut untuk tetap bisa shalat seperti biasanya. Lambat laun, ia mulai kehilangan arti amal ibadah yang ia lakukan. Sedikit demi sedikit, ia kurang bisa memaknai shalat jamaa’ah di awal waktu; namun ritual tersebut terus dijalankan. Suatu saat, ia berhalangan untuk melakukan “kebiasaan” tersebut, ia mulai gelisah seakan bakal ada masalah yang sangat besar jika sekalipun ia meninggalkan kebiasaannya. Ia bergegas menuju shalat berjamaah di awal waktu. Ia tidak bisa meninggalkannya.

Jika ingin dinilai, benar secara fisik amal perbuatannya, yakni shalat jamaah di awal waktu, benar dan sah, dan bahkan itu lah yang dianjurkan oleh Islam. Namun dari sisi psikis, ia menderita kegelisahan. Kegelisahan yang dihasilkan oleh hilangnya arti perbuatan yang terbiasa dilakukannya, entah apapun itu faktornya. Ia gelisah jika amal itu tidak sempat dilakukan sekali saja. Jika ternyata suatu saat amal itu tertinggalkan dengan tidak sengaja, begitu dahsyat ia merasa berdosa. Namun perlu diingat, kegelisahan yang ia rasakan tidak berkaitan dengan Tuhan, namun berkaitan dengan dirinya sendiri, dosa terhadap dirinya sendiri.

Seorang hamba yang sepenuhnya beribadah untuk Tuhan, kegelisahan dan penderitaan jiwa yang ia rasakan dikarenakan perasaannya di hadapan Tuhan, bukan di hadapan dirinya sendiri dan kebiasaannya.

Dengan demikian, dalam contoh di atas, orang tersebut bukan termasuk orang yang menghamba hanya untuk Allah semata (kecuali jika ia tidak kehilangan makna ibadahnya). Namun “diri” nya yang telah menjadi faktor non-Ilahi yang ikut campur dalam ibadahnya.

“Kebiasaan” ini hanyalah satu dari sekian banyak faktor lain yang mungkin dapat ikut serta dalam niat kita beribadah. Kita dapat merenungi faktor-faktor lain tersebut, mengenalinya, dan menyikapi dengan benar. Oleh karena hal ini Islam begitu mementingkan “tafakur”, yakni berhening, merenung, berfikir; bukan hanya memfokuskan diri pada ritual-ritual amal ibadah. Sebagaimana hadits yang berbunyi: “Berfikir sesaat (bertafakur) lebih baik dari beribadah satu tahun.”

Senin, 20 Desember 2021 16:22

Mengapa Al-Qur’an mewajibkan puasa?

 

Di dalam al-Quran, penjelasan mengenai hukum puasa Ramadhan terangkum dalam beberapa ayat dalam surah al-Baqarah, adapun ayat-ayat dalam surah lainnya semata menjelaskan mengenai pembagian puasa yang telah disyariatkan dalam Islam.

Ayat-ayat yang menunjukkan akan puasa Ramadhan seluruhnya terdapat dalam surah al-Baqarah, setidaknya ada tiga ayat yang berbicara mengenai ibadah agung ini yang letaknya saling berdampingan. Dalam tulisan singkat ini, kami mencoba menyoroti ketiga ayat tersebut:

Ayat pertama:

یا ایها الذین آمنوا کتب علیکم الصیام کما کتب علی الذین من قبلکم لعلکم تتقون

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 183)

Menurut pandangan para ahli tafsir dan ululmul qur’an, ayat-ayat yang permulaannya menggunakan frasa “Wahai orang-orang yang beriman” diturunkan di kota Madinah dan surahnya dikatagorikan sebagai surah Madaniah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kewajiban puasa —sebagaimana kewajiban zakat dan berjihad—disyariatkan pada tahun kedua Hijriah.

Ayat di atas dengan jelas menyampaikan kepada kaum beriman akan kewajiban lain yang harus mereka tunaikan yang termaksud salah satu ibadah terpenting dalam agama Islam, kewajiban tersebut tidak lain ialah puasa di bulan Ramadhan. Ayat ini diawali dengan seruan “Wahai orang-orang yang beriman” yang bertujuan melunakkan hati kaum muslimin sehingga mereka dengan mudah dapat menerima syariat baru tersebut. Dalam hal ini Imam Jakfar as-Shadiq as mengatakan bahwa indahnya seruan ini telah menghilangkan kesukaran dalam menjalankan perintah puasa.

Selanjutnya ayat di atas menyebutkan bahwa ibadah puasa bukan hanya diwajibkan bagi umat masa ini, akan tetapi ia juga telah diwajibkan bagi umat-umat terdahulu, hal ini disampaikan salahsatunya juga dalam rangka menghilangkan kesukaran dalam hati kaum muslimin dalam melaksanakan ibadah puasa,

Berdasarkan penelitian, terbukti bahwa ritual puasa telah ada dalam tradisi umat-umat terdahulu bahkan pada umat penyembah berhala sekalipun, mereka melakukan puasa guna mendekatkan diri kepada berhala-berhala, dan hingga saat ini pun, ritual tersebut masih dapat kita saksikan dalam ritual orang-orang Hindu yang melakukan puasa pada waktu-waktu tertentu.

Ritual puasa juga terdapat dalam syariat umat Yahudi, Nashrani dan Shabiin, hal ini dapat kita saksikan dan Injil yang ada saat ini yang mendeskripsikan puasa sebagai amalan yang terpuji seraya mengabarkan akan puasa yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Isa as. Adapun dalam al-Quran, kita dapat temukan ayat yang menceritakan akan nadzar sayyidah Maryam yang dilakukannya dengan berpuasa.“Jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”.” (Q.S. Maryam: 26)

Tentunya puasa yang dilakukan Maryam as adalah berdiam diri atau puasa dari berbicara dengan orang lain, dimana amalan ini merupakan salah satu dari bentuk puasa. Adapun puasa yang dilakukan oleh nabi Musa dan Isa as adalah puasa sebagaimana yang umumnya difahami, yaitu menahan dari dari makan, minum dan sesuatu yang membatalkan.

Di akhir ayat, dengan isyarah pendek Allah Swt menjelaskan falsafah disyariatkannya puasa, yaitu guna meraih ketakwaan. Yaitu dengan menahan dari dari sebagain kenikmatan jasmani demi melaksanakan perintah Ilahi, seorang telah melatih dirinya untuk munundukkan hawa nafsunya. Latihan ini dilakukan selama satu bulan sehingga berpotensi menumbuhkan ketakwaan dalam dirinya yang akan menjadikannya mampu dengan mudah meninggalkan perbuatan dosa, memakan dan melanggar hak orang lain kendati perbuatan itu sejalan dengan kepentingannya. Dengannya ia memiliki power guna mengotrol hawa nafsunya sehingga tunduk di bawah kendalinya dan bergerak sesuai perintah Allah Swt

Ayat kedua:

«ایاما معدودات فمن کان منکم مریضا او علی سفر فعده من ایام اخر و علی الذین یطیقونه فدیه طعام مسکین فمن تطوع خیرا فهو خیر له و ان تصوموا خیر لکم ان کنتم تعلمون.

“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 184)

Setelah menjelaskan mengenai hukum dan falsafah puasa, pada bagian selanjutnya, Allah Swt menyampaikan beberapa aturan ibadah puasa yang dengannya dapat meringankan beban umat dalam menjalankan ibadah tersebut, di antaranya ialah:

1. Puasa yang diwajiban bagi kaum muslimin bukanlah puasa sepanjang tahun, akan tetapi puasa itu hanya diwajibkan dalam beberapa hari.

2. Puasa tidak diwajibkan bagi mereka yang sakit atau dalam perjalanan (musafir), bagi mereka yang berhalangan, hendaknya mengqadha puasa mereka pada hari-hari lainnya di luar bulan Ramadhan.

3. Bagi mereka yang tidak mampu melakukan puasa, baik mereka yang sakit, orang tua, ibu hamil dan menyusui, maka mereka tidak lagi diwajibkan berpuasa, dan sebagai gantinya mereka harus membayar fidyah atau kafarah. Kadar satu fidyah ialah memberi makan seorang fakir miskin hingga ia merasa kenyang untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan, namun jika seorang hendak membayar fidyah lebih dari kadar yang ditentukan, maka akan menjadi lebih baik.

Pada bagian akhir ayat, Allah kembali mengingatkan bahwa ibadah puasa banyak mengandung manfaat dan kebaikan bagi manusia, sehingga seandainya seorang mengetahuinya, maka ia tidak akan meninggalkan atau merasa berat melakukannya, bahkan sebaliknya ia akan menjalankannya dengan antusias dan penuh ketulusan.

Ayat ketiga:

شهر رمضان الذی انزل فیه القرآن هدی للناس و بینات من الهدی و الفرقان فمن شهد منکم الشهر فلیصمه و من کان مریضا او علی سفر فعده من ایام اخر یدید الله بکم الیسر و لا یرید بکم العسر و لتکلموا العده و لتکبرو الله علی ما هدکم و لعلکم تشکرون.

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Q.S. al-Baqarah: 185)

Ayat ini memberikan batasan bahwa beberapa hari yang diwajibkan puasa adalah hari-hari pada bulan Ramadhan, bulan yang mulia dan penuh berkah karena di bulan ini lah kitab suci al-Quran telah diturunkan, kitab yang menjadi sumber hidayah bagi seluruh umat manusia. Dengannya, manusia dapat berjalan di jalan yang lurus hingga mampu menggapai hakikat dan kebahagiaan. Sungguh bulan ini memiliki banyak keutamaan yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan lainnya.

Di akhir ayat ini, Allah Swt kembali menegaskan bahwa disyariatkannya puasa bukanlah untuk memberatkan manusia, namun dikarenakan manfaat besar yang terkandung di dalamnnya, sesunguhnya Allah menginginkan kemudahan bagi mereka. Oleh karenanya ada tiga hal yang hendaknya dilakukan seorang mukmin:

1. Hendaknya ia menyempurnakan hari-hari Ramadhan dengan puasa, namun jika ia sakit atau dalam perjalanan, maka hendaknya ia berbuka dan mengqadha puasanya di hari-hari lain.

2. Dikarenakan petunjuk yang telah diberikan Allah Swt kepadanya, maka hendaknya seorang mukmin mengumandangkan takbir kepada-Nya.

Kemungkinan yang dimaksud takbir di sini adalah takbir yang diucapkan saat shalat Iedul Fitri atau saat shalat sunnah yang dilakukan setelah shalat-shalat wajib di hari raya tersebut.

3. Seorang mukmin hendaknya selalu bersyukur kepada Allah Swt atas segala nikmat yang telah dianugerahkan kepadanya, khususnya nikmat disyariatkannya puasa Ramadhan yang sarat dengan kemuliaan dan keagungan.

Senin, 20 Desember 2021 16:21

Bersyukur kepada Allah swt

 

Menyatakan syukur dengan perbuatan merupakan syukur sempurna dan yang terbaik dalam menyatakan syukur kepada Allah Swt. Syukur seperti ini merupakan hasil dari dua tingkatan syukur yang terbetik dalam hati dan terucap dalam lisan. Dengan kata lain, tatkala manusia, dengan perantara hatinya memahami kenikmatan sebuah anugerah dan menyatakannya dengan lisan maka ia telah bersyukur kepada sang Pemberi Nikmat. Tentu saja sudah pada tempatnya dan selayaknya apabila ia juga menampakan rasa syukur itu pada tataran perbuatan. Karena itu, orang yang benar-benar bersyukur akan menggunakan segala nikmat Ilahi untuk memperoleh keridhaan dan tujuan Sang Pemberi nikmat (Mun’im) serta senantiasa tahu dengan baik bagaimana menggunakan segala nikmat itu supaya tidak tergolong sebagai orang-orang yang mengkufuri nikmat-nikmat Allah Swt.
Imam Shadiq As bersabda, “Mensyukuri nikmat dilakukan dengan menjauhi perbuatan-perbuatan haram dan keseluruhan rasa bersyukur itu tatkala seseorang berkata, “Segala puji bagi Allah Swt Tuhan seru sekalian alam.”[1]
Secara pasti maksud dari ucapan “Alhamdulillah” bukanlah semata-mata lipstik dan penghias bibir saja melainkan bersumber dari kedalaman hati dan lubuk jiwa. Alangkah banyaknya orang yang menyatakan syukur kepada Allah dengan lisan namun kufur dalam perbuatan. Karena itu, tatkala Allah Swt berfirman: “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Qs. Saba [34]:13) sejatinya tengah menyoroti dan menekankan pernyataan syukur dengan perbuatan.[2]
Apa pun yang diupayakan dan diusahakan manusia untuk menunaikan syukur secara sempurna pada hakikatnya ia tidak akan mampu melakukan hal itu. Karena itu, bagian syukur yang terbaik adalah mengakui secara totalitas atas ketidakmampuan dan ketidakberdayaan dalam menunaikan kesyukuran dan membenarkan bahwa taufik untuk bersyukur itu sendiri merupakan salah satu nikmat Ilahi.[3]
Adapun syukur yang dinyatakan dengan perbuatan memiliki beberapa contoh yang akan dijelaskan sebagai berikut sebagai contoh dengan bersandar pada beberapa riwayat:
 
Sujud syukur, melaksanakan salat syukur dan berbuat baik merupakan beberapa contoh dari syukur yang dinyatakan dengan perbuatan.
[4]
Diriwayatkan bahwa “Tatkala Rasulullah Saw mengalami kegembiraan atau bahkan kerisauan maka Rasulullah Saw melakukan sujud untuk menyatakan syukur kepada Allah Swt.”
[5]
Memaafkan dan melupakan (kesalahan) sebagai bentuk kesyukuran atas kemenangan melawan musuh. Tindakan memaafkan seperti ini merupakan salah satu contoh bentuk syukur yang dinyatakan dalam perbuatan sebagaimana Amirul Mukminin Ali As bersabda, “Tatkala engkau mengalahkan musuhmu maka jadikanlah maaf sebagai tanda syukurmu atas kemenangan ini.”
[6]
Menginfakkan sebagian harta di jalan Allah Swt merupakan salah satu contoh dari pernyataan syukur dengan perbuatan. Imam Ali As bersabda, “Sebaik-baik syukur atas nikmat-nikmat yang diperoleh adalah menginfakkanya.”
[7]
Ibadah dan bermunajat di hadapan Allah Swt juga merupakan salah satu cara untuk menyatakan syukur kepada Allah Swt dengan perbuatan sebagaimana yang dituturkan oleh Imam Ali As bahwa ibadah dengan motivasi syukur dinyatakan sebagai ibadahnya orang-orang merdeka dan sebaik-baik amalan.”
[8]
Mengajarkan ilmu kepada orang lain dan beramal atasnya; syukur atas nikmat ilmu yang dianugerahkan Allah Swt kepada alam semesta. Amirul Mukminin Ali As dalam hal ini bersabda, “Pernyataan syukur seorang alim atas ilmu yang diperoleh adalah mengamalkannya dan mengajarkannya kepada orang lain.”
[9]
 
Pernyataan syukur yang dilakukan oleh para hamba itu berbeda-beda sesuai dengan kedudukan dan stratanya sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ali As dalam sebuah hadis singkat, “Pernyataan syukur kepada Tuhanmu adalah senantiasa engkau memuji-Nya, syukur kepada atasan kalian adalah engkau senantisa berlaku jujur, syukur kepada sesama adalah menunaikan persaudaraan dengan baik, syukur kepada bawahan adalah tidak mempersulitnya.”[10]
 

CATATAN:
[1] Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, al-Kāfi, Riset dan edit oleh, Ghaffari, Ali Akbar & Akhundi, Muhammad, jil. 2, hal. 95, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, Cetakan Keempat, 1407 H.
«شُكْرُ النِّعْمَةِ  اجْتِنَابُ الْمَحَارِمِ‏، وَ تَمَامُ الشُّكْرِ قَوْلُ الرَّجُلِ: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ»
[2] Qarasyi, Sayid Ali Akbar, Qāmus Qur’ān, jil. 4, hal. 63, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, Cetakan Keenam, 1371 S.
[3] Gulistane, Sayid ‘Alauddin Muhammad, Minhāj al-Yaqin (Syarh Nāme Imām Shādiq As be Syia’ayān,  Surat Imam Shadiq kepada Kaum Syiah), Riset dan edit oleh Shahfi, Mujtaba, Shadrai Khui, Ali, hal. 54, Dar al-Hadits, Qum, Cetakan Pertama, 1429 H.
[4] Ibid.
[5] Allamah Hilli, Hasan bin Yusuf, Nahj al-Haq wa Kasyf al-Shidq, hal. 432, Dar al-Kitab al-Lubnani, Beirut, Cetakan Pertama, 1982 M.
[6] Hurr Amili, Muhammad bin Hasan, Wasāil al-Syi’ah, jil. 12, hal. 171, Muassasah Alu al-Bait As, Qum, Cetakan Pertama, 1409 H.
«اِذا قَدَرْتَ عَلى عَدُوِّكَ فَاجْعَلِ الْعَفْوَ عَنْهُ شُكْراً لِلْقُدْرَةِ عَلَيْهِ»
[7] Tamimi Amadi, Abdul-Wahid bin Muhammad, Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalim, Riset dan edit oleh Rajai, Sayid Mahdi, hal. 195, Dar al-Kitab al-Islami, Qum, Cetakan Kedua, 1410 H.
«اَحْسَنُ شُكْرِ النِّعَمِ اَلانعامُ بِها»
[8] Ibnu Syu’bah al-Harrani, Hasan bin Ali, Tuhaf al-‘Uqul ‘an Āli al-Rasul (Shallallahu ‘alaihi wa Alihi wa al-Salam), Riset dan edit oleh, Ghaffari, Ali Akbar, hal. 246, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Kedua, 1404 H.
.«اِنَّ قَوْمَاً عَبَدوُهُ شُكْرَاً فَتِلْكَ عِبادَةُ الاحْرارِ  وَ هِيَ أَفْضَلُ الْعِبَادَةِ.»

[9] Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalim, hal. 407.

Senin, 20 Desember 2021 16:19

Keutamaan Solat Awal Waktu

 

Sholat adalah salah satu dari rukun-rukun islam yang sangat ditekankan kepada seluruh ummat islam untuk menjalankannya bahkan anjuran dari nabi besar Muhammad saw untuk tidak meninggalkannya, karena seluruh perbuatan baik dan buruk tergantung pada yang satu ini.

Sholat adalah salah satu dari rukun-rukun islam yang sangat ditekankan kepada seluruh ummat islam untuk menjalankannya bahkan anjuran dari nabi besar Muhammad saw untuk tidak meninggalkannya, karena seluruh perbuatan baik dan buruk tergantung pada yang satu ini. Jika sholat kita baik maka seluruh perbuatan kita juga akan baik, karena sholat yang kita lakukan setiap hari sebanyak lima waktu itu subuh, dzuhur, asar, magrib dan isya akan mencegah kita dari perbuatan jelek, namun sebaliknya jika kita mendirikan sholat dan masih juga melakukan hal yang tidak terpuji maka kita harus kembali pada diri kita masing-masing dan mengkoreksi kembali apakah sholat yang kita dirikan itu benar-benar sudah memenuhi syarat atau ketika kita mendirikannya, benak dan pikiran kita masih dikuasai atau diganggu oleh pikiran-pikiran selain Allah. Itu semua perlu juga kita perhatikan.

Sholat di awal waktu dalam pandangan Alquran
Allah swt berfirman: Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa [152]. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. [1]
[152] Shalat wusthaa ialah shalat yang di tengah-tengah dan yang paling utama. ada yang berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan Shalat wusthaa ialah shalat Ashar. menurut kebanyakan ahli hadits, ayat Ini menekankan agar semua shalat itu dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Dan ada yang mengatakan bahwa sholat wusthaa itu adalah sholat dzuhur.
Imam Shadiq as bersabda:
امتحنوا شيعتنا عند مواقيت الصلاة كيف محافظتهم عليها [2]
Ujilah syiah kami ketika datang waktu sholat, bagaimana mereka menjaga waktu sholat.
Allah swt juga berfirman: “Celaka bagi orang-orang yang mendirikan sholat, yang mana mereka mendirikannya secara lalai.[3] Berkenaan dengan ayat ini, Imam Shadiq as ditanya, beliau menjawab: “Yang dimaksud dengan ayat ini adalah orang yang melalaikan sholatnya, dan ia tidak mendirikannya di awal waktu tanpa ada halangan (uzur).[4]

Keutamaan sholat di awal waktu dalam pandangan riwayat
Imam Bagir as bersabda:
اعلم ان اول الوقت ابدا افضل فتعجل الخيرابدا ما استطعت
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya awal waktu itu adalah sebuah keutamaan, oleh karena itu laksanakanlah secepatnya pekerjaan baikmu selagi kamu mampu,.”[5]
Imam Shodiq as bersabda:
لفضل الوقت الاول على الاخير خير من ولده وماله
“Sesungguhnya keutamaan yang ada di awal waktu dibandingkan akhirnya lebih baik bagi seorang mukmin dari anak-anaknya dan hartanya.”[6]
Beliau juga dalam haditsnya yang lain bersabda:
فضل الوقت الاول على الاخير كفضل الآخرة على النيا
“Keutamaan awal waktu atas akhirnya sebagaimana keutamaan akherat terhadap dunia.”[7]
Imam Musa bin Jakfar as bersabda:
“Sholat-sholat wajib yang dilaksanakan pada awal waktu, dan syarat-syaratnya dijaga, hal ini lebih wangi dari bunga melati yang baru dipetik dari tangkainya, dari sisi kesucian, keharuman dan kesegaran. Dengan demikian maka berbahagialah bagi kalian yang melaksanakan perintah shalat di awal waktu.”[8]
Imam Shadiq as bersabda:
“Seorang yang mengaku dirinya haq (Syiah) dapat diketahui dengan tiga perkara, tiga perkara itu adalah: 1. Dengan penolongnya, siapakah mereka. 2. Dengan sholatnya, bagaimana dan kapan ia melaksanakannya. 3. Jika ia memiliki kekayaan, ia akan teliti dimana dan kapan akan ia keluarkan.[9]


Sholat di awal waktu cermin kesuksesan ruhani
Diantara salah satu rahasia penting sholat di awal waktu adalah keteraturan hidup dengan tolak ukur agama dan tidak lalai kepada tuhan. Adapun orang yang mendirikan sholat, namun tidak terikat dengan awal waktu, dasar tolak ukur hidup mereka adalah ditentukan oleh permasalahan selain tuhan, dan ketika masuk waktu sholat, mereka mendirikannya, namun terkadang di awal waktu, pertengahan dan atau diakhirnya, permasalahan ini sudah sangat merendahkan dan meremehkan sholat itu sendiri sebagai tiang dan pondasi agama bahkan merupakan rukun islam bagi setiap muslim, dan dengan demikian seseorang akan merasa bahwa setiap permasalahan duniawi yang datang, akan lebih ia dahulukan ketimbang mengerjakan sholat, seperti contoh: Di tengah pekerjaan, makanan sudah dihidangkan, dikarenakan teman atau tamu yang bertandang kerumah dan lain sebagainya dari permasalahan dunia yang menyebabkan kita lalai dan tidak mengerjakannya di awal waktu. Hal semacam ini adalah sebuah kejangkaan dan tidak komitmen terhadap urusan agama.


Adapun orang yang terikat -dengan urusan agama- mereka mendirikan sholat di awal waktu. Tolak ukur kehidupan mereka, mereka susun sesuai dengan tolak ukur yang sudah ditentukan oleh Ilahi. Dalam artian bahwa setiap pekerjaan telah disusun sedemikian rupa sehingga ketika datang waktu sholat, mereka tidak disibukkan dengan pekerjaan yang lain selain ibadah sholat. Dan perhatikanlah jika menjanjikan sasuatu jangan mendekati waktu sholat, dan jika hendak menyantap makan siang atau malam, hendaknya tidak pada waktu sholat, dan jika hendak mengundang tamu atau berpergian untuk tamasya, hendaknya disusun sesuai dengan waktu sholat. Dengan demikian ia telah menunjukkan bahwa untuknya agama dan sholat adalah segala-galanya. Permasalahan inilah yang memiliki pengaruh yang sangat dalam untuk membentuk jiwa seorang insan menuju kesempurnaan.


Sholat di awal waktu adalah rumus untuk dapat menguasai jiwa, hawa nafsu dan pikiran serta menentang keinginan syahwat, karena dengan cara mengatur waktu dan janji yang kuat, seorang manusia seiring dengan berjalannya waktu dapat menemukan dan berhadapan dengan berbagai ragam hawa nafsu. Ketika keragaman seperti makan, istirahat, rekreasi dan pekerjaan menghadang, yang mana seseorang berkeinginan untuk melakukannya, namun dikarenakan waktu sholat telah tiba, hal itu dikesampingkan demi beribadah kepada Tuhannya (sholat), hal yang demikianlah yang disebut dengan tegarnya jiwa dan kuatnya iman.
Seorang yang ingin mendirikan sholatnya di awal waktu, tentu telah mengatur jadwal kehidupannya, misalnya: untuk dapat sukses melaksanakan sholat subuh di awal waktu, dia akan tidur lebih awal dan meninggalkan sebagian menu(kegiatan) yang menyebabkan ia begadang malam, karena hal itu bertentangan dengan keterjagaan di awal waktu. Di lain hal kita mengetahui bahwa bangun diwaktu(azan) subuh itu memiliki banyak barakah dari sisi kejiwaan dan bahkan dari sisi materi.


Nah yang terpenting sekarang adalah kita harus mementingkan peranan sholat dalam diri kita, dan mulailah sejak saat ini mengambilnya sebagai rancangan yang mau tidak mau harus kita mulai dan kita kerjakan walaupun terkadang sering kali dalam memulainya kita ketinggalan untuk mengerjakan sholat itu di awal waktu, namun secepatnya kita mendirikannya. Bukan sebaliknya kemudian kita menaruhnya di akhir waktu, sehingga dengan cara ini, secara perlahan hal tersebut akan menjadi adat bagi kita untuk menjalankannya secara mudah dan tidak merasa beban. Dan ketika itulah sholat seseorang akan berbentur dengan keharuman dan kesucain yang luar biasa.


Dan Jika Tidak Sampai Laknatlah Aku
Almarhum Alamah Thabatabai dan Ayatullah Bahjat menukil dari almarhum Qadhi ra, ketika itu beliau berkata: “Kalau saja seorang yang mendirikan sholat wajibnya pada awal waktu dan ia tidak sampai pada jenjang yang tinggi (dari sisi keruhaniannya), maka laknatlah aku!.”(dalam naskah lain beliau berkata: “ …maka ludahilah wajahku!”).
Awal waktu adalah rahasia yang sangat agung, karena firman allah swt yang berbunyi “ حافظوا على الصلوات Peliharalah segala sholatmu…”, adalah salah satu poros dan sebagai pusat, dan selain itu juga terdapat firman Allah yang lain yang berbunyi “ واقيموا الصلاة Dan dirikanlah sholat…”, seorang insan yang mementingkan dan mengikat dirinya untuk mendirikan sholat di awal waktu, pada dasarnya itu adalah baik, dan memiliki pengaruh yang sangat besar dan positif untuk dirinya, walau tanpa dihadiri dengan sepenuh hati.[10]


Dari mana engkau dapatkan kedudukan ini
Mullah Mahdi Naroki yang sangat melatih dirinya dengan sifat-sifat baik seperti wara, kesucian, kesehatan, ketakwaan dan lain-lainnya, sehingga dengan itu semua beliau berhasil dapat melihat dengan mata akherat, berkata: “Pada hari raya, saya pergi berziarah ke tempat pemakaman, dan saya berdiri ke sebuah makam dan kepadanya saya katakan: “Adakah hadiah yang dapat engaku berikan padaku di hari raya ini?”.


Malam harinya ketika saya beranjak tidur, dalam mimpi, saya melihat seseorang yang wajahnya indah dan bercahaya datang menghampiriku, dan berkata: “Datanglah esok hari ke makamku, akan aku berikan sesuatu kepadamu sebagai hadiah di hari raya”. Keesokan harinya aku datang kepemakaman yang diisyaratkan oleh mimpiku itu. Sesampainya aku di sana, tiba-tiba tersingkaplah alam barzah untukku. Ketika itu tampaklah sebuah taman yang indah dan sangat menakjubkan, di dalamnya ada sebuah pintu dan pepohonan yang sebelumnya tidak pernah seorang pun melihatnya, tapi aku dapat temukan di sana. Di tengahnya terdapat sebuah istana yang sangat megah berdiri kokoh. Kemudian saya diajak memasuki ke ruangan dalam istana, ketika aku masuk, aku melihat seseorang yang duduk penuh dengan keagungan di atas singgasana yang bertahtakan intan permata. Kepadanya aku katakan: “Dari golongan manakah engkau?. Ia menjawab: “Aku dari golongan orang-orang yang beribadah. Kemudian aku tanyakan kembali: “Dari manakah engkau dapatkan kedudukan ini?. Ia berkata: “Pekerjaan yang sehat, dan sholat berjamaah diawal waktu.[11]


Perjalanan Ahlul Bait as dalam Sholat di Awal Waktu
1. Sholat Awal Waktu pada Perang Shiffiin (Shofain)
Dalam cuaca panas peperangan Shiffin, ketika imam Ali as sedang sibuk-sibuknya berperang, Ibnu Abbas ra melihat beliau yang sedang berada di tengah dua barisan perang itu, secara tiba-tiba menegadahkan wajahnya ke arah matahari, ia bertanya: “Wahai imam, Ya Amirul Mukminin, untuk apa hal itu engkau lakukan?. Beliau menjawab: “Aku melihatnya karena ingin memastikan apakah sudah masuk waktu sholat dzuhur, sehingga kita mendirikannya?. Kemudian Ibnu Abbas berkata: “Apakah sekarang ini saatnya untuk mendirikan sholat?. Peperangan telah menghalangi kita untuk mendirikan sholat, imam menjawab: “Untuk apa kita berperang melawan mereka?, Bukankah kita berperang dengan mereka supaya kita dapat mendirikan sholat?, hanya karena sholat kita berperang melawan mereka. Setelah itu perawi berkata: “Imam Ali sama sekali tidak pernah meninggalkan sholat malamnya walaupun pada malam “Lailatul Harrir” [12] (Lailatul Harrir adalah sebuah malam yang sangat genting dimana pasukan Imam Ali dan Muawiah (laknat Allah kepadanya) meneruskan perang mereka sampai pagi.)


2. Sholat Terakhir Imam Husain as
Siang hari dari sepuluh Muharram yang dikenal dengan hari Asyura, keadaan yang begitu menyengat karena teriknya matahari, dan cuaca yang panas dengan peperangan yang tidak seimbang sedang terjadi di tanah Karbala, salah seorang dari pembela Sayyidus Syuhada Imam Husain as bernama Abu Tsamamah Asshoidi kepada Imam berkata: “Wahai Aba Abdillah (Lakqab panggilan Imam Husain as), jiwaku aku korbankan untukmu, saya lihat para musuhmu ini sudah dekat denganmu, aku bersumpah demi Allah sungguh engkau tidak akan terbunuh, kecuali dengan seizin Allah aku kobankan dulu nyawaku, namun aku akan senang sekali menemui Tuhanku dalam keadaan aku telah menjalankan tugasku yaitu mendirikan sholat yang sekarang ini sudah saatnya melakukankan sholat dzuhur.


Seketika Imam Sayyidus Syuhada menengadahkan wajah suci beliau kearah langit dan melihat matahari (yang sudah condong) kemudian bersabda: “Engkau ingat akan sholat!, Semoga Allah swt menjadikan engkau termasuk orang-orang yang selalu ingat akan mendirikan sholat. Ya sekarang ini saatnya mendirikan sholat di awal waktu, mintalah dari mereka waktu sesaat untuk mengangkat senjata sehingga kita dapat mendirikan sholat. Seketika itu seorang yang terlaknat bernama Hashin bin Tamim berkata: “Sholat yang kalian dirikan tidak akan diterima., Kemudian perkataan itu dijawab oleh Habib bin Madzohir, dikatakan padanya: “Wahai peminum arak, kau pikir sholat yang didirikan oleh keluarga rasulullah saww tidak diterima Allah swt, sedangkan sholat yang kau dirikan diterima!, jangan kira begitu”.
Kemudian Imam Husain as mendirikan Sholat Khauf bersama segelintir para pembela beliau yang tersisa.[13]


Perjalanan Imam Khomaini dalam mendirikan sholat di awal waktu
Dalam sebuah media penerbitan yang menukil perkataan salah seorang dari putra Imam yang menceritakan bahwa: “Hari pertama kali Muhammad Reza Syah pergi, saat itu kami berada di kota Novel Losyatu. Hampir tiga atau empat ratus wartawan berkumpul mengelilingi rumah Imam, sebuah ranjang kecil disiapkan, dan Imam berdiri di atasnya. Seluruh kamera yang ada aktif mengontrol seluruh ruangan. Dan sesuai perjanjian setiap orang dari mereka melontarkan satu pertanyaan, setelah dua tiga pertanyaan, tiba-tiba suara azan terdengar, tanpa ada aba-aba Imam langsung meningalkan ruangan dan berkata: “Saat fadhilahnya (waktu yang diutamakan) melaksanakan sholat dzuhur”. Semua orang yang hadir merasa heran dan takjub karena Imam meninggalkan ruangan begitu saja. Kemudian ada seseorang yang memohon kepada beliau untuk sedikit bersabar sampai minimalnya empat atau lima pertanyaan yang akan disampaikan beberapa wartawan, kemudian Imam dengan marahnya berkata: “Tidak bisa sama sekali” dan pergi meninggalkan ruangan.[14]


Imam Khomaini ra sampai akhir hayatnya, selalu merasa khawatir untuk tidak dapat menjalankan sholatnya di awal waktu, walaupun ketika beliau dirawat di rumah sakit. Dinukil dari Syekh Ansori ketika datang menjenguk beliau yang sedang dirawat, berkata: “Apakah engkau hendak mendirikan sholat?, kemudian beliau menggerakkan tangannya dan kami pun sadar bahwa beliau sedang beribadah sholat.[15]


Semua yang aku miliki dari menjalankan sholat di awal waktu
Hujjatul Islam Haji Hasyimi Nejad berkata: “Tempo lalu ada orang tua yang datang ke sebuah masjid bernama Loleh Zar pada bulan Ramadhan, ia termasuk seorang yang sukses di zaman itu, dan sebelum azan dikumandangkan ia selalu hadir di dalam masjid.
Kepadanya aku katakan: “Haji Fulan, saya lihat engkau termasuk orang yang sangat sukses, karena setiap hari saya datang ke masjid ini, pasti engkau lebih dahulu datang dariku dan mengambil tempat di salah satu bagian masjid. Ia menjawab: “Sebenarnya, semua yang aku miliki ini, karena sholat yang aku dirikan di awal waktu. Kemudian setelah itu ia meneruskan perkataannya: “Pada masa mudaku, aku pergi ke Masyhad dan aku berjumpa dengan Almarhum Haji Syekh Hasan Ali Bagceh-i, aku katakan padanya: “Aku memiliki tiga keinginan, dan aku ingin Allah memberikan ketiganya di masa mudaku, bisakah engkau mengajarkan sesuatu sehingga aku dapat mencapai semua keinginanku tadi.


Kemudian beliau bertanya, “Apa yang engkau inginkan; , aku katakan padanya: “Aku ingin di masa mudaku, aku bisa mengamalkan ibadah haji, karena ibadah haji di masa muda memiliki kelezatan tersendiri”.
Lalu ia berkata: “Sholatlah di awal waktu dan berjamaah”.
Dan kembali aku katakan: “Keinginanku yang kedua adalah aku ingin Tuhan memberikanku istri yang baik dan sholehah”.
Beliau pun menjawab: “Sholatlah di awal waktu dan berjamaah”.
Keinginanku yang terakhir aku katakan: “Aku ingin Allah memberikanku sebuah pekerjaan yang terhormat”.
Kemudian beliau menjawab sama seperti jawaban yang pertama dan kedua: “Sholatlah di awal waktu dan berjamaah”.
Setelah itu aku mulai jalankan amalan yang diajarkan Syekh itu kepadaku, dan dalam jangka waktu tiga tahun, Allah memberikan aku jalan untuk dapat menjalankan ibadah haji, dan mendapatkan istri yang mukminah dan sholehah dan memebrikan padaku sebuah pekerjaan yang mulia.[16]
[]


Referensi
(1) Surah Albaqarah ayat 238.
(2) Biharul Anwar jilid 80 hal: 23, dinukil dari kitab Qurbul isnad.
(3) Surah almaaun ayat 3-4.
(4) Biharul Anwar jilid 80 hal: 6.
(5) Idem dinukil dari kitab Asrar
(6) Idem hal: 12, dari kitab Qurbul Isnad.
(7) Idem dari kitab Tsawabul ‘Amaal.
(8) Idem hal: 18-20, dinukil dari kitab Tsawabul ‘Amaal dan Almahasin
(9) Idem.
(10) Dar Mahzare Digaran, hal, 99.
(11) Qeseha-e Namaz, hal: 92
(12) Biharul Anwar, jilid 80 hal: 23 dinukil dari Irsyadul Qulub, Dailami.
(13) Nafsul Mahmum, hal: 164.
(14) Simo-e Farzonegan, hal: 159.
(15) Dostonho-e Namaz, hal: 87. kemudian dikatakan bahwa Imam Khomaini setelah itu berkata: “Panggil perempuan-perempuan itu, ada sesuatu yang ingin aku katakan pada mereka”. Ketika mereka datang, beliau berkata: “Jalan, jalan yang sangat sulit dan meletihkan, kemudian beliau mengulangi perkataan beliau dan berkata: “janganlah kalian berbuat dosa”.
(16) Idem.