
کمالوندی
AS tidak Punya Kemampuan Lawan Kekuatan Drone Iran
Seorang anggota parlemen Iran mengatakan kemampuan drone Republik Islam telah memperluas front perlawanan dan tidak dapat dikenai sanksi.
Hal itu disampaikan Mohammad Reza Mirtajodini dalam menanggapi sanksi Departemen Keuangan AS untuk mencegah pengembangan teknologi drone Iran.
"Hal seperti itu bertentangan dengan hukum internasional dan ketentuan Piagam PBB, dan merupakan intervensi terang-terangan dalam urusan internal Republik Islam," ujarnya kepada media parlemen Iran, Icana.ir, Minggu (31/10/2021).
Mirtajodini menjelaskan setiap negara dapat menggunakan kemampuan militer yang sah untuk membela wilayahnya berdasarkan aturan internasional. Oleh karena itu, AS tidak dapat mengabaikan hak ini secara sepihak.
Legislator Iran ini menegaskan AS tidak punya kemampuan untuk melawan kekuatan drone Republik Islam dan hal ini terbukti di seluruh front perlawanan.
Jumat lalu, empat individu dan dua perusahaan Iran dimasukkan dalam daftar sanksi AS. Mereka dituduh mendukung program drone Iran dan menjadi ancaman terhadap kepentingan AS.
Kunjungan Mencurigakan Menteri Perang Israel ke Singapura
Menteri Perang rezim Zionis Israel baru saja mengakhiri lawatan rahasia, dan mencurigakan selama tiga hari ke Singapura.
Nahum Barnea, pengamat politik Israel, Minggu (31/10/2021) seperti dikutip surat kabar Yedioth Ahronoth menulis, "Benny Gantz hari Kamis lalu melakukan kunjungan rahasia dan mencurigakan selama tiga hari ke Singapura, dan sekarang sudah kembali ke Israel."
Media-media Israel mengatakan bahwa Benny Gantz menolak untuk memberikan keterangan terkait tujuan lawatan tiga harinya ke Singapura itu.
Menurut media Israel, Singapura adalah negara kedua terbesar importir senjata buatan Israel, dan menjalin hubungan terbuka dengan Tel Aviv. Semua Menteri Perang Israel pernah berkunjung ke Singapura kecuali Naftali Bennett.
Itay Bluementhal, wartawan stasiun televisi Israel, KAN 11 mengabarkan, Benny Gantz melakukan sebuah lawatan rahasia. Dalam lawatan itu, ia bertemu dengan beberapa pejabat keamanan untuk membicarakan peningkatan hubungan serta kerja sama.
Menurut Bluementhal, ia tidak diperbolehkan menyebut negara tujuan lawatan Menteri Perang Israel tersebut.
Israel Gelar Latihan untuk Hadapi Perang Skala Besar
Rezim Zionis memulai latihan militer dengan melibatkan ribuan personel untuk mensimulasikan serangan serentak ke beberapa front.
Dikutip dari laman Arab 48, latihan ini dimulai pada Minggu (31/10/2021) pagi dan akan berakhir pada Kamis depan. Kegiatan ini diikuti oleh Kementerian Keamanan Dalam Negeri Israel dan beberapa kementerian lain.
Rezim Zionis mensimulasikan perang skala besar dari beberapa front yang bersamaan dengan meningkatnya ketegangan di kota-kota di wilayah pendudukan tahun 1948.
Latihan ini bertujuan untuk mempersiapkan skenario di mana Israel harus berurusan dengan pertempuran di berbagai front, termasuk dari dalam.
Ribuan tentara rezim Zionis dan pasukan keamanan dilibatkan dalam latihan tersebut. Mereka juga menguji cara-cara untuk melawan rudal presisi yang mengancam pabrik bahan berbahaya di daerah Haifa.
Selama hampir satu dekade lalu, rezim Zionis telah memaksakan beberapa perang di Gaza, tetapi semua petualangan ini berakhir dengan kekalahan di pihak Israel. (
Jawaban Iran atas Klaim HAM Menlu Swedia
Hak Asasi Manusia (HAM) sebuah wacana khusus seperti isu dan tujuan komunitas internasional lainnya telah kehilangan arti dan wacana sejatinya akibat pengaruh dualisme Barat.
Sejumlah negara Eropa termasuk Swedia, Prancis, Inggris dan Kanada yang mengklaim sebagai pembela HAM di dunia, memilih kebijakan yang selaras dengan Amerika Serikat dan di bidang ini, mereka memilih pendekatan diskriminatif dan tidak adil. Statemen terbaru menlu Swedia termasuk sikap dualisme tersebut.
Sekretaris Staf HAM Mahkamah Agung Iran, Kazem Gharibabadi, saat merespon statemen ini dan klaim terbaru menlu Swedia yang dirilis di sidang parlemen negara ini dengan sikap bias dan berbeda dari fakta soal HAM di Iran, menulis di akun Twitternya, "Saya ingin menarik perhatian Menteri Luar Negeri Swedia pada pernyataan 19 Oktober oleh beberapa pakar independen dan Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia, berjudul "Kepatuhan Swedia yang Berlebihan terhadap Sanksi AS Telah Mempengaruhi Kesehatan Rakyat Iran."
Sejumlah pakar dan pelapor khusus PBB bidang HAM baru-baru ini di sebuah laporan seraya mengisyaratkan kesulitan yang dialami sejumlah rumah sakit di Iran untuk mengakses obat-obatan dan peralatan medis yang dibutuhkan akibat sanksi Amerika, menekankan, "Sanksi ini menghalangi HAM rumah sakit tersebut, khususnya hak kesehatan dan keselamatan."
Laporan tersebut secara khusus menyebutkan keputusan perusahaan farmasi Swedia untuk membatalkan pengiriman perban medisnya ke Iran karena sanksi AS. Perban ini digunakan untuk merawat pasien Epidermolisis Bulosa ( EB ) (kondisi kulit yang langka). Satu-satunya produsen perban jenis ini adalah perusahaan Swedia yang sebelumnya telah menghentikan ekspor produknya ke Iran karena sanksi. Keputusan perusahaan farmasi ini dan pemerintah Swedia untuk bekerja sama dengan sanksi AS melanggar kewajiban internasional untuk memastikan penerapan hak asasi manusia.
Mencegah akses orang ke peralatan medis adalah pelanggaran kebebasan manusia untuk menikmati hak atas kesehatan, dan jika itu menyebabkan lebih banyak penderitaan, itu sama sekali tidak manusiawi, bahkan jika tidak disengaja. Ini hanya beberapa contoh dari berbagai kasus yang mempengaruhi kehidupan ribuan orang, termasuk anak-anak. Dan alasan utamanya adalah sanksi terhadap negara tujuan dan ketakutan akan dihukum oleh Amerika Serikat. Orang-orang Eropa telah menggunakan penjualan obat-obatan sebagai alat politik dengan dalih yang sama, tetapi sebenarnya mendukung Amerika Serikat untuk memberikan tekanan maksimum pada Iran.
Parsa Ja'fari, pakar politik di memonya dengan tema "Dualisme menjijikkan HAM Erppa terhadap Republik Islam Iran" menulis, "HAM termasuk pembahasan yang jika tidak dipolitisasi, dualisme, dijadikan alat, dan sikap bias, akan mampu memulihkan kehidupan seseorang. Namun di dunia kontemporer, kita tidak menyaksikan pendekatan seperti inidan kekuatan besar dunia khususnya Eropa serta sekutunya menjadikan isu HAM sebagai alat dan membuat posisi isu ini semakin terpuruk."
Negara-negara Eropa termasuk Swedia merupakan penjual senjata pembantai massal kimia kepada Saddam Hussein, mantan diktator dan penjahat Irak. Swedia yang menjadi eksportir utama senjata di dunia selama beberapa tahun terakhir menjual senjata canggih dan peralatan militer kepada Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) yang dimanfaatkan di perang Yaman untuk membantai perempuan dan anak-anak serta menghancurkan berbagai kota di negara Arab miskin ini.
Sikap dualisme dan bias ini semakin nyata bagi opini publik. Ada pertanyaan di benak bangsa Iran, apa dukungan dan alasan Eropa berbicara mengenai HAM dan meratifikasi resolusi HAM. Fakta ini mengindikasikan bahwa klaim HAM oleh Eropa merupakan bagian dari makar politik Barat.
Menlu AS: Kami Berkomitmen Kuat untuk Melawan Drone Iran
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat mengatakan, Washington telah menyanksi empat warga, dan dua perusahaan Iran, karena memiliki hubungan dengan aktivitas pesawat tanpa awak negara ini.
Antony Blinken, Sabtu (30/10/2021) di akun Twitternya menulis, "Kami berkomitmen kuat untuk melawan segala bentuk ancaman Iran termasuk drone, dan semua orang yang mendukungnya."
Menurut Blinken, AS akan menggunakan semua sarana termasuk sanksi, untuk mencegah dan menghancurkan jaringan pasokan bahan baku, serta teknologi terkait drone ke Iran, dan menargetkan insitusi-insitusi Iran yang terlibat dalam pengembangan teknologi ini.
Departemen Keuangan AS pada hari Jumat menjatuhkan sanksi terhadap empat warga Iran, dan dua perusahaan negara ini. Menurut Depkeu AS, keempat warga Iran, dan dua perusahaan yang disanksi itu terlibat dalam pengembangan industri drone Iran.
Al-Nujaba Curigai Rencana Penarikan AS dari Irak
Sekjen Gerakan al-Nujaba Irak mengatakan pasukan Amerika Serikat kembali didatangkan ke Irak menggunakan pesawat Mesir.
Syeikh Akram al-Kaabi menyatakan dalam sebuah rilis bahwa rezim jahat AS tidak berkomitmen dengan jadwal penarikan dari Irak pada akhir Desember 2021 dan dengan sombong tetap menentang kehendak jutaan rakyat Irak untuk mengusir seluruh pasukan asing.
"Ada informasi yang menyebutkan upaya AS untuk masuk ke Irak lewat jalur-jalur yang tidak sah," ujarnya seperti dikutip Mehrnews dari situs resmi al-Nujaba, Sabtu (30/10/2021).
Syeikh al-Kaabi menjelaskan bahwa baru-baru ini sebagian pasukan AS dikirim ke Irak lewat jalur tersebut. Sejumlah besar pasukan tiba di Baghdad dari Washington menggunakan pesawat Mesir dan di bawah pengawasan pemerintah Irak.
"Sebagian dari tentaranya yang kalah juga dipindahkan ke Irak dari Afghanistan," ungkapnya.
Menurut sekjen al-Nujaba, situasi saat ini mencerminkan kegagalan pembicaraan politik dengan AS dan tidak terwujudnya keinginan bangsa Irak untuk memulihkan kedaulatan nasional.
"Pasukan pendudukan selain menjarah kekayaan Irak dan menyebarkan perilaku korup, juga tidak pernah berhenti mengintervensi dan menghasut. Tidak diragukan lagi bahwa mereka hanya bisa dihentikan lewat perlawanan," tegasnya.
Menurut kesepakatan yang dicapai antara Perdana Menteri Mustafa al-Kadhimi dan Presiden Joe Biden, pasukan tempur AS akan ditarik dari Irak pada akhir Desember 2021. Pasukan yang bertugas melatih tentara Irak akan tetap dipertahankan di negara itu.
Komandan Al Hashd al Shaabi: AS Tidak Serius Tumpas Daesh di Irak
Komandan Al Hashd Al Shaabi menilai Amerika Serikat tidak serius dalam menumpas Daesh di saat banyak negara dunia bekerja sama untuk memerangi kelompok teroris itu.
Saberin News melaporkan, Abdullah al-Zayadi, Komandan Brigade ke-41 Al-Hashd al-Shaabi Irak yang berbasis di provinsi Salah al-Din dalam sebuah pidato hari Sabtu (30/10/2021) mengatakan, "Semua operasi yang dilakukan terhadap Daesh di negara ini adalah tanggapan terhadap serangan kelompok teroris."
Al-Ziyadi menyerukan ruang operasi bersama dengan semua badan keamanan untuk bertukar informasi guna memerangi Daesh,
"Tapi apa yang disebut koalisi anti-Daesh yang dipimpin AS tidak memberikan informasi kepada pasukan Irak dan tidak bekerja sama dalam hal ini," ujarnya.
Pernyataan itu muncul saat teroris Daesh melakukan dua operasi berdarah di provinsi Diyala Irak pekan lalu. Hampir 40 warga sipil Irak tewas dan terluka dalam serangan itu.
Terlepas dari kekalahan kelompok teroris Daesh di Irak, tapi sisa-sisa kelompok teroris ini masih ada dan melancarkan serangan sporadis di negara itu
Turki Lanjutkan Agresi Militer di Utara Irak
Kementerian Pertahanan Turki mengumumkan bahwa dua anggota Partai Buruk Kurdistan Turki (PKK) tewas dalam operasi militer yang dilancarkan pasukan Turki di wilayah utara Irak.
Menurut Kantor Berita Anadolu hari Sabtu (30/10/2021) melaporkan, kementerian pertahanan Turki menyatakan dua anggota PKK tewas dalam operasi yang dilancarkan tentara Turki di utara Irak.
Serangan militer Turki terhadap posisi PKK di utara Irak terjadi pada saat para pejabat Baghdad berulang kali mengutuk serangan itu, dan menyebutnya sebagai aksi pendudukan.
PKK telah memerangi pemerintah Turki sejak 1984 dan Pemerintah Turki menetapkan PKK sebagai kelompok teroris.(
Mencermati Kunjungan Bagheri Kani ke Moskow
Deputi menlu Iran bidang politik, Ali Bagheri Kani Jumat (29/10/2021) bertemu dengan sejawatnya dari Rusia, Sergei Ryabkov di Moskow.
Ali Bagheri Kani berkunjung ke Moskow usai bertemu dengan Enrique Mora, deputi bidang politik Ketua Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa dan koordinator Komisi Bersama JCPOA. Usai pertemuan ini, Bagheri Kani di akun Twitternya menulis, "Di pertemuan positif dan menjanjikan dengan Sergei Ryabkov, deputi menlu Rusia, transformasi terbaru kembali dikaji dan kami membicarakan perundingan untuk mencabut sanksi ilegal dan zalim."
Iran dan Rusia juga menyatakan bahwa akan terus melanjutkan lobinya di berbagai level guna memperkuat sikap bersama.
Sebagian perundingan Bagheri Kani di Rusia dalam koridor penyamaan visi terkait perundingan pencabutan sanksi Iran yang rencananya akan digelar di Wina. Berdasarkan kesepakatan Iran dengan negara-negara anggota Kelompok 4+1, rencananya akan digelar perundingan bilateral dengan setiap anggota terkait pencabutan sanksi anti-Iran.
Di perudingan tersebut, Iran meminta Eropa dan Amerika untuk kembali menjalankan komitmennya di JCPOA dalam koridor resolusi 2231 Dewan Keamanan yang merupakan solusi paling rasional untuk mempertahankan kesepakatan nuklir. Dengan demikian dialog baru hanya akan sukses jika berujung pada pencabutan seluruh sanksi dan implementasi seluruh komitmen oleh kedua pihak.
Di perundingan deputi bidang politik menlu Iran dan petinggi Rusia dibicarakan hubungan bilateral dan peningkatan kerja sama di berbagai bidang untuk menjamin kepentingan kedua pihak serta isu-isu yang diminati keduanya. Dari sudut pandang ini, kunjungan Bagheri Kani ke Rusia merupakan peluang untuk memperkokoh hubungan Iran dan Rusia serta penekanan terhadap pemanfaatan beragam peluang yang ada di bidang kerja sama strategis kedua negara.
Vladimir Sazhin, asisten peneliti di RAS Institute of Oriental Studies Rusia terkait hal ini mengatakan, Moskow tidak diragukan lagi ada dalam daftar mitra prioritas Iran, dan kedua negara akan terus bermitra berdasarkan status yang ada.
Mengingat kombinasi dari komponen-komponen ini, kunjungan Bagheri Kani ke Moskow seetlah perundingan Brussels, sangat penting karena dua alasan:
Pertama, peran bersama Iran dan Rusia sebagai dua negara independen dan kuat serta berpengaruh terhada transformasi regional. Level hubungan ini sejatinya indikasi konvergensi dan multilateralisme di interaksi regional.
Kedua, kerja sama Iran dan Rusia bersifat strategis. Iran kini bergabung dengan Organisasi Kerja Sama Ekonomi (ECO) dan Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) serta memiliki kapasitas untuk memperkuat hubungan regional dan multilateral.
Saat ini yang membuat hubungan Iran dan Rusia semakin penting adalah pendekatan kedua negara untuk memperkuat hubungan multilateral dan jangka panjang. Strategi bersama Iran dan Rusia adalah memperkokoh dan mengembangkan multilateralisme dalam melawan unilateralisme Barat.
Kazem Jalali, dubes Iran di Rusia terkait kapasitas kerja sama kedua negara mengatakan, level hubungan dan sektor kerja sama saat ini antara Iran dan Rusia lebih tinggi dari beberapa dekade lalu. Selain itu, kerja sama kedua pihak semakin dalam dan bermakna, serta banyak kapasitas kedua negara yang ada dan harus ditindaklanjuti dalam bentuk program komprehensif kerja sama.
Level hubungan ini mengharuskan kedua pihak senantiasa berhubungan dan melakukan lobi untuk memanfaatkan seluruh kapasitas politik-ekonomi serta konvergensi keamanan dalam menghadapi ancaman bersama.
Urgensitas kunjungan deputi bidang politik menlu Iran ke Moskow dan harapan kedua pihak atas perundingan dan lobi strategis juga harus dikaji dalam koridor tujuan ini.
Jenderal AS Tuding Biden Sembunyikan Penyebab Jatuhnya Afghanistan ke Taliban
Inspektur Jenderal AS Urusan Rekonstruksi Afghanistan (SIGAR) menuduh pemerintah Biden menyembunyikan informasi tentang jatuhnya pemerintah Ashraf Ghani.
Kepala SIGAR,John Sopko hari Jumat (29/2021) mengatakan bahwa Departemen Pertahanan dan Departemen Luar Negeri AS menyembunyikan informasi dari publik mengenai memprediksi jatuhnya pemerintah Afghanistan ke tangan Taliban.
Sopko menambahkan bahwa Pentagon, atas permintaan pemerintah Afghanistan, membatasi pemberian informasi kepada publik mengenai operasi pasukan keamanan Afghanistan di tahun 2015.
SOPCO meminta Pentagon dan Departemen Luar Negeri AS merilis semua informasi terkait perkembangan terakhir di Afghanistan.
Sopko mencatat bahwa informasi itu juga akan membantu Kongres dan publik AS menilai apakah Amerika Serikat harus mengakhiri misinya di Afghanistan lebih cepat ataukah tidak.
SEbelumnya, The Wall Street Journal melaporkan bahwa sejumlah lembaga di Amerika Serikat telah mulai menyelidiki bagaimana pemerintahan Joe Biden mengelola penarikan AS dari Afghanistan.
Pada hari Minggu, 15 Agustus, pemerintah Presiden Afghanistan jatuh ke tangan Taliban dan Ashraf Ghani yang menjabat sebagai presiden Afghanistan ketika itu melarikan diri.
Banyak tokoh dan orang Afganistan mengaitkan situasi mengerikan saat ini di Afganistan dengan kebijakan AS yang gagal di Afganistan.
Amerika Serikat dan sekutunya menarik diri dari Afghanistan setelah 20 tahun kehadiran militernya yang gagal, dan tidak menghasilkan apa-apa selain penyebaran terorisme, perang, kekerasan, ketidakstabilan dan ketidakamanan, serta pembunuhan puluhan ribu orang.(