کمالوندی

کمالوندی

 

Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell menjelaskan bahwa konflik antara Rusia dan Ukraina harus berakhir di medan perang dan menyerukan penyelesaian militer untuk konflik saat ini.

"Perang saat ini hanya akan berakhir di medan perang. Kami telah memberikan tambahan € 500 juta bantuan UE ke Ukraina, dan pengiriman senjata akan dilakukan sesuai dengan kebutuhan Ukraina," tulis Borrell dalam pesan Twitter.

Borrell juga menyerukan peningkatan sanksi Uni Eropa terhadap Rusia, dengan fokus pada sektor energi.

Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell
Sikap militeristik kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa dalam menghadapi konflik militer skala besar saat ini di Ukraina, bertentangan dengan sikap Brussel yang tampaknya bersifat damai dalam konflik regional dan internasional.

Uni Eropa, setidaknya sejauh ini, selalu berkomitmen untuk perdamaian dan mengejar penyelesaian damai konflik regional dan internasional, dan telah menekankan perlunya pendekatan negosiasi dan solusi politik untuk masalah ini.

Namun, Borrell sekarang secara terbuka menyerukan kelanjutan perang saat ini di Ukraina antara militer Rusia dan milisi pro-Rusia di satu sisi dan tentara dan milisi Ukraina di sisi lain.

Ini masuk akal mengingat tumbuhnya keselarasan antara kedua sisi Atlantik sejak Presiden Demokrat Joe Biden menjabat pada Januari 2021.

Uni Eropa Cari Jalan Kurangi Ketergantungan dari Energi Rusia
Tidak seperti pendahulunya, mantan Presiden AS Donald Trump, yang mengambil pendekatan sepihak dan mengejar kebijakan yang memperluas hubungan transatlantik di berbagai dimensi politik, perdagangan, militer, dan keamanan, Biden memfokuskan upayanya pada reunifikasi Eropa dan Amerika dan meraih dukungan Brussel dalam berbagai masalah dan pemulihan front persatuan Barat melawan musuh dan saingan Washington.

Manifestasi dari konvergensi ini sekarang dapat dilihat dalam sikap bersatu dan tindakan koheren Amerika Serikat dan Uni Eropa terhadap Rusia dan meningkatnya tekanan pada Moskow dengan dalih perang Ukraina.

Operasi militer Rusia di Ukraina kini memberikan kesempatan berharga bagi Amerika Serikat dan sekutunya untuk memasuki fase perang proksi dengan Rusia dengan memberikan bantuan militer, senjata, dan intelijen besar-besaran ke Kiev. Amerika Serikat telah lama menyerukan runtuhnya Rusia dan bahkan disintegrasinya.

Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell menjelaskan bahwa konflik antara Rusia dan Ukraina harus berakhir di medan perang dan menyerukan penyelesaian militer untuk konflik saat ini.
Kekhawatiran Washington dan Brussel tentang pengerahan kembali rudal nuklir Rusia di dekat perbatasan barat Eropa dan tindakan Putin terhadap kebijakan dan tindakan Barat telah memberi keduanya kesempatan unik untuk mengurangi kekuatan Rusia.

Sementara sifat hubungan UE-Rusia secara fundamental berbeda dari sifat hubungan AS-Rusia, menari dengan genderang Amerika Serikat akan memiliki konsekuensi negatif bagi UE.

Dalam hal ini, sementara kepentingan Eropa terus mengimpor energi dari Rusia karena ketergantungannya sebesar 40% pada gas dan 25% pada minyak Rusia, namun kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa ingin memfokuskan sanksi anti-Rusia Uni Eropa terhadap impor energi dari Rusia.

Borrell mengumumkan pada hari Kamis (07/4) bahwa embargo minyak terhadap Rusia akan menjadi agenda pertemuan Dewan Urusan Luar Negeri Uni Eropa pada 11 April.

Sikap ini sepenuhnya sejalan dengan tindakan Washington dalam hal ini. Pada hari Jumat (08/4), Presiden AS Joe Biden menandatangani undang-undang yang disahkan oleh Kongres tentang penangguhan hubungan perdagangan dan larangan impor energi dari Rusia.

Tentu saja, sikap militeristik Josep Borrell mendapat reaksi keras dari Moskow. Para pejabat Rusia sangat menyadari bahwa pernyataan ini sebenarnya merupakan tanda kelanjutan dari aksi bersama Brussel dan Washington untuk mengintensifkan tekanan pada Moskow.

Mengutuk pernyataan Josep Borrell tentang krisis Ukraina, Ketua Duma Rusia Vyacheslav Volodin mengatakan bahwa siapa pun yang menginginkan krisis dan kekerasan berlanjut harus segera dipecat.

"NATO, bersama dengan Washington, tidak ingin Ukraina menjadi negara netral yang keluar dari pemihakan blok," kata Volodin.

 

Anggota-anggota parlemen Pakistan yang menjadi oposisi partai berkuasa di negara ini berhasil meloloskan mosi tidak percaya terhadap pemerintahan Perdana Menteri Imran Khan. Hal ini terjadi setelah perselisihan politik selama beberapa pekan.

Sidang parlemen dan pemungutan suara untuk mosi tidak percaya terhadap PM Pakistan dimulai pada hari Sabtu. Sidang ini sempat ditunda beberapa kali, dan akhirnya berlangsung pada Minggu (10/4/2022) pagi.

Perwakilan dari Front Gabungan Oposisi Pakistan, yang terdiri dari partai Liga Muslim Pakistan (Nawaz), Partai Rakyat, Jamiat Ulema-e-Pakistan (JUP), Balochistan Awami Party (BAP), The Jamhoori Wattan Party, dan  The National Awami Party memberikan suara mendukung untuk mosi tidak percaya terhadap PM Imran Khan.

Dalam pengambilan suara itu, 174 anggota parlemen memberikan suara mendukung mosi tidak percaya terhadap Imran Khan dan 110 lainnya memberikan suara menentang.

Mosi tidak percaya parlemen Pakistan terhadap Imran Khan, yang dia menilai sumber dari semua ini adalah konspirasi asing yang berpusat pada Amerika Serikat untuk merusak kebijakan independen pemerintah Islamabad, diperkirakan akan menimbulkan pergolakan politik dan bahkan akan menciptakan kerusuhan sosial dalam beberapa minggu dan bulan mendatang di Pakistan.

Menurut Imran Khan dan para pejabat senior Partai Tehreek-e-Insaf, pemerintahannya menjadi korban kesepakatan tidak tertulis antara oposisi dan Gedung Putih dan beberapa negara di kawasan dikarenakan mereka menentang ketamakan AS, termasuk tidak menyerahkan sejumlah pangkalan militer Pakistan ke Pentagon setelah pasukan AS meninggalkan Afghanistan serta kunjungan Imran Khan baru-baru ini ke Rusia di tengah perang di Ukraina.

Berbeda dengan periode-periode sebelumnya, dari tahun 2001-2018, Pakistan pada periode Imran Khan (2018-2022) bekerja sama secara hati-hati dengan AS dalam perang di Afghanistan dan berusaha mengambil posisi independen serta mempertimbangkan kepentingan nasional Pakistan ketika mengambil kebijakan.

Tidak seperti di masa lalu, para pejabat Pakistan bekerja sama erat dengan AS dalam perang Afghanistan, namun sekarang dan setelah Imran Khan berkuasa, dia tidak bersedia mengubah negaranya menjadi lingkungan bagi Gedung Putih untuk mengobarkan perang intelijen terhadap negara-negara regional dan negara-negara tetangga.

Tingginya kebencian AS terhadap Imran Khan terjadi setelah dia menolak permintaan Gedung Putih untuk menyerahkan sejumlah pangkalan militer Pakistan ke AS setelah penarikan pasukan negara ini dari Afghanistan.

Ketika sebagian agenda AS di kawasan tidak dilakukan oleh partai berkuasa di Pakistan seperti tahun-tahun sebelumnya oleh pemerintahan sebelum Imran Khan, Gedung Putih menyusun sebuah skenario untuk menggulingkan Imran Khan melalui bantuan partai-partai oposisi.

Secara khusus, Arab Saudi, sebagai sekutu regional AS, juga menganggap kehadiran Imran Khan di arena kekuasaan politik Pakistan bertentangan dengan kepentingannya, oleh karena itu, Riyadh terdorong untuk membantu sekutu tradisionalnya di Pakistan guna menyingkirkan Imran Khan.

Para pakar meyakini bahwa setelah pencopotan Imran Khan, akan dilakukan pembalikan dalam beberapa kebijakan sebelumnya pada periode Imran Khan yaitu perluasan hubungan dengan AS dan Arab Saudi secara politik, mengambil jarak dari Rusia, mengubah pendekatan dalam interaksi dengan Taliban dan bahkan dengan negara-negara tentangga.

Mengingat pecahnya protes oleh pendukung Imran Khan di berbagai kota di Pakistan terhadap campur tangan asing dalam mosi tidak percaya terhadapnya, kemungkinan negara itu akan menghadapi kerusuhan sipil dalam beberapa minggu dan bulan mendatang, terutama karena Imran Khan memiliki kesempatan satu tahun lagi hingga penyelenggaran pemilu parlemen untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik dan mengungkap serta mengekspos peran agen asing dalam pencopotan pemerintahannya. 

 

Anggota-anggota parlemen Pakistan yang menjadi oposisi partai berkuasa di negara ini berhasil meloloskan mosi tidak percaya terhadap pemerintahan Perdana Menteri Imran Khan. Hal ini terjadi setelah perselisihan politik selama beberapa pekan.

Sidang parlemen dan pemungutan suara untuk mosi tidak percaya terhadap PM Pakistan dimulai pada hari Sabtu. Sidang ini sempat ditunda beberapa kali, dan akhirnya berlangsung pada Minggu (10/4/2022) pagi.

Perwakilan dari Front Gabungan Oposisi Pakistan, yang terdiri dari partai Liga Muslim Pakistan (Nawaz), Partai Rakyat, Jamiat Ulema-e-Pakistan (JUP), Balochistan Awami Party (BAP), The Jamhoori Wattan Party, dan  The National Awami Party memberikan suara mendukung untuk mosi tidak percaya terhadap PM Imran Khan.

Dalam pengambilan suara itu, 174 anggota parlemen memberikan suara mendukung mosi tidak percaya terhadap Imran Khan dan 110 lainnya memberikan suara menentang.

Mosi tidak percaya parlemen Pakistan terhadap Imran Khan, yang dia menilai sumber dari semua ini adalah konspirasi asing yang berpusat pada Amerika Serikat untuk merusak kebijakan independen pemerintah Islamabad, diperkirakan akan menimbulkan pergolakan politik dan bahkan akan menciptakan kerusuhan sosial dalam beberapa minggu dan bulan mendatang di Pakistan.

Menurut Imran Khan dan para pejabat senior Partai Tehreek-e-Insaf, pemerintahannya menjadi korban kesepakatan tidak tertulis antara oposisi dan Gedung Putih dan beberapa negara di kawasan dikarenakan mereka menentang ketamakan AS, termasuk tidak menyerahkan sejumlah pangkalan militer Pakistan ke Pentagon setelah pasukan AS meninggalkan Afghanistan serta kunjungan Imran Khan baru-baru ini ke Rusia di tengah perang di Ukraina.

Berbeda dengan periode-periode sebelumnya, dari tahun 2001-2018, Pakistan pada periode Imran Khan (2018-2022) bekerja sama secara hati-hati dengan AS dalam perang di Afghanistan dan berusaha mengambil posisi independen serta mempertimbangkan kepentingan nasional Pakistan ketika mengambil kebijakan.

Tidak seperti di masa lalu, para pejabat Pakistan bekerja sama erat dengan AS dalam perang Afghanistan, namun sekarang dan setelah Imran Khan berkuasa, dia tidak bersedia mengubah negaranya menjadi lingkungan bagi Gedung Putih untuk mengobarkan perang intelijen terhadap negara-negara regional dan negara-negara tetangga.

Tingginya kebencian AS terhadap Imran Khan terjadi setelah dia menolak permintaan Gedung Putih untuk menyerahkan sejumlah pangkalan militer Pakistan ke AS setelah penarikan pasukan negara ini dari Afghanistan.

Ketika sebagian agenda AS di kawasan tidak dilakukan oleh partai berkuasa di Pakistan seperti tahun-tahun sebelumnya oleh pemerintahan sebelum Imran Khan, Gedung Putih menyusun sebuah skenario untuk menggulingkan Imran Khan melalui bantuan partai-partai oposisi.

Secara khusus, Arab Saudi, sebagai sekutu regional AS, juga menganggap kehadiran Imran Khan di arena kekuasaan politik Pakistan bertentangan dengan kepentingannya, oleh karena itu, Riyadh terdorong untuk membantu sekutu tradisionalnya di Pakistan guna menyingkirkan Imran Khan.

Para pakar meyakini bahwa setelah pencopotan Imran Khan, akan dilakukan pembalikan dalam beberapa kebijakan sebelumnya pada periode Imran Khan yaitu perluasan hubungan dengan AS dan Arab Saudi secara politik, mengambil jarak dari Rusia, mengubah pendekatan dalam interaksi dengan Taliban dan bahkan dengan negara-negara tentangga.

Mengingat pecahnya protes oleh pendukung Imran Khan di berbagai kota di Pakistan terhadap campur tangan asing dalam mosi tidak percaya terhadapnya, kemungkinan negara itu akan menghadapi kerusuhan sipil dalam beberapa minggu dan bulan mendatang, terutama karena Imran Khan memiliki kesempatan satu tahun lagi hingga penyelenggaran pemilu parlemen untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik dan mengungkap serta mengekspos peran agen asing dalam pencopotan pemerintahannya. 

 

Seorang jurnalis Amerika Serikat mengulas statemen terbaru Presiden Ukraina Volodymyr Zelenksy terkait keinginan mengubah negaranya menjadi "Israel Baru".

Katie Halper, Sabtu (9/4/2022) seperti dikutip situs The Hill menyoroti pernyataan Zelensky terkait keinginannya mengubah Ukraina menjadi seperti Rezim Zionis.
 
Minggu lalu Presiden Ukraina mengaku ingin mencontoh model Rezim Zionis, ia tidak ingin mengubah negaranya seperti Swiss yang netral, tapi ingin menjadikan Ukraina negara yang sepenuhnya militer.
 
"Tidak akan mengejutkan ketika tentara dan pasukan garda nasional kami berada di seluruh instansi, toko-toko dan bioskop, dan seluruh warga memegang senjata. Saya yakin masalah keamanan dalam 10 tahun ke depan akan menjadi prioritas utama kami," paparnya.
 
Menanggapi statemen ini, Katie Halper mengatakan, "Yang menarik dari pernyataan ini adalah, kita bisa memahami mengapa Zelensky berkata harus militer, namun anehnya apakah budaya mempersenjatai yang ekstrem ini sudah terbentuk, atau ia sedang memprediksi akan terbentuk."
 
Ia menambahkan, "Membayangkan orang-orang bersenjata berjalan di pasar-pasar swalayan dan bioskop, adalah metode yang aneh untuk menggambarkan pesan yang ingin disampaikan Zelensky."
 
"Menurut saya, Zelensky ingin menyampaikan pesan kepada Amerika Serikat dan Israel, bahwa Ukraina bisa jadi sekutu yang efektif. Ia juga menyampaikan pesan ini dengan jelas bahwa ia tidak akan mundur dari sikapnya sekarang," pungkas Halper. 

 

Ribuan pendukung Partai Tehreek-e-Insaf (PTI) berdemonstrasi di berbagai kota Pakistan untuk menunjukkan solidaritasnya terhadap Imran Khan yang digulingkan dari jabatan perdana menteri dan mengutuk plot asing dalam pembubaran pemerintah di negara Asia selatan ini.

Intervensi AS untuk menggulingkan Imran Khan dari jabatan perdana menteri dengan bantuan partai-partai oposisi Pakistan telah menjerumuskan negara ini ke dalam krisis politik yang serius.

Para pendukung Partai Tehreek-e-Insaf dan Imran Khan turun ke jalan pada Minggu (10/4/2022) malam di Islamabad, Karachi, Peshawar, Lahore dan kota-kota kecil dan besar lainnya di Pakistan untuk memprotes penggulingan Imran Khan dari jabatan perdana menteri dan intervensi AS terhadap urusan internal Pakistan.

Ribuan orang berjalan kaki, pawai motor dan mobil untuk mendukung Imran Khan terjadi di berbagai wilayah Pakistan, dan menyatakan tidak akan pernah menerima pemerintah yang dipaksakan dari luar negeri.

Sebelumnya, Imran Khan meminta para pendukungnya untuk turun ke jalan sehari sebelum sesi resmi parlemen Pakistan yang memberikan mosi tidak percaya kepada Perdana Menteri.

Pemilihan Perdana Menteri Pakistan yang baru dijadwalkan akan dilakukan pada hari Senin dengan kehadiran dua kandidat utama dari faksi-faksi yang berkuasa dan oposisi, termasuk Shahbaz Sharif dan Shah Mahmood Qureshi.

Laporan menunjukkan bahwa partai Imran Khan telah memutuskan untuk mengundurkan diri secara massal dari Parlemen Nasional Pakistan. Namun, Shah Mahmood Qureshi, wakil ketua partai Tehreek-e-Insaf, mengatakan bahwa keputusan akhir tentang pengunduran diri massal belum dibuat. 

Imran Khan di akun Twitternya baru-baru ini mengucapkan berterima kasih kepada para pendukungnya karena menghadiri demonstrasi "Perlawanan untuk Kebebasan" dan memprotes rencana yang didukung AS untuk menggulingkan pemerintah Pakistan.

Dia mengklaim bahwa Pakistan tidak akan pernah menerima pemerintahan masa depan, baik di dalam maupun di luar, yang dia sebut sebagai pemerintah yang dipaksakan dari luar.

Selasa, 12 April 2022 10:38

Kadyrov: Pasukan Rusia akan Duduki Kiev

 

Kepala pemerintahan Republik Chechnya, Rusia mengatakan, tidak diragukan pasukan Rusia akan menduduki ibu kota Ukraina, Kiev.

Dikutip Reuters, Ramzan Kadyrov, Senin (11/4/2022) menuturkan, "Pasukan Rusia bukan saja akan menyerang pelabuhan Mariupol yang terkepung, bahkan ibu kota Ukraina, Kiev, dan kota-kota lain."
 
Ia menambahkan, "Luhansk dan Donetsk pada tahap pertama akan kami bebaskan, kemudian Kiev, dan seluruh kota lain."
 
Ramzan Kadyrov yang menganggap dirinya "prajurit infanteri" Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan, "Tidak diragukan ibu kota Ukraina, Kiev akan diduduki oleh pasukan Rusia."
 
"Saya pastikan kepada Anda, kami tidak akan mundur walau selangkah," pungkas Presiden Republik Chehcnya itu.

 

Presiden Ukraina mengaku dirinya sudah tidak berminat lagi pada diplomasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara, NATO yang menurutnya hanya akan menyebabkan hancurnya Ukraina.

Volodymyr Zelensky, Senin (11/4/2022) mengatakan bahwa dirinya sudah tidak berminat lagi pada diplomasi NATO, padahal sejak awal operasi militer Rusia, ia selalu mendesak NATO untuk mengambil sikap lebih tegas terhadap Moskow, dan meminta bergabung dengan aliansi militer itu.
 
Dalam wawancara dengan dengan CBS News, Zelensky menuturkan, "Ketika Anda bekerja dalam diplomasi, tidak ada hasil apa pun. Semuanya sangat birokratis. Oleh karena itu cara berbicara saya dengan mereka sepenuhnya bisa dibenarkan. Saya tidak punya lagi jiwa untuk diberikan. Saya sudah tidak merasa lagi, saya tidak berminat lagi pada diplomasi mereka yang hanya menghancurkan negara saya."
 
Seperti dikutip situs The Hill, Presiden Ukraina sebelumnya saat usulannya untuk membuka zona larangan terbang ditolak NATO mengatakan, "Meski tahu bahwa serangan dan korban baru tidak bisa dihindarkan, NATO sengaja memutuskan untuk tidak menutup zona udara Ukraina."
 
Pada Maret 2022, Zelensky memprotes NATO, ia berkata "Karena kelemahan Anda, karena tidak bersatunya Anda, satu-satunya yang bisa dilakukan NATO adalah mengirim 50 ton solar ke Ukraina, apakah ini persatuan yang Anda bangun ?."

Selasa, 12 April 2022 10:37

NATO Gelar Latihan Perang Dekat Rusia

 

Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mengadakan latihan perang di Makedonia Utara untuk meningkatkan kesiapan tempurnya.

Menurut Reuters, NATO mengadakan manuver militer pada Senin (11/4/2022) di pangkalan Krivolak di Makedonia Utara dengan partisipasi sekitar 1.100 tentara.

Bekas Republik Yugoslavia ini menjadi anggota ke-30 NATO pada April 2020, yang mengakhiri proses panjang penamaan negara ini dengan nama baru Makedonia Utara..

Tentara dan tank ikut serta dalam latihan yang mencakup latihan penargetan dan operasi helikopter.

Penilaian kesiapan tempur NATO dilakukan sejak 3 hingga 11 April 2022.

Sejak Rusia melaporkan operasi militer ke Ukraina, NATO telah meningkatkan jumlah pasukan yang ditempatkan di wilayah timurnya, dan Lituania serta negara-negara Baltik lainnya menyerukan lebih banyak pasukan.

Serangan itu juga mendorong Finlandia dan Swedia mempertimbangkan bergabung dengan NATO.

Swedia memiliki perbatasan 1.300 kilometer dengan Rusia.

 

Sebuah media Amerika Serikat mengatakan bahwa Rusia sampai saat ini masih berada dalam posisi menang di perang Ukraina.

Menurut media Amerika Serikat itu, Moskow juga sedang meraih kemenangan dalam perang ekonomi yang dilancarkan Barat terhadap dirinya.
 
Dalam artikel yang ditulis Ryan Heath di situs Politico, Senin (11/4/2022) disebutkan, Rusia sedang meraih kemenangan dalam operasi militer khususnya di Ukraina.
 
"Jika Anda pikir Rusia gagal dalam invasinya di Ukraina, maka pertimbangkan hal ini, keuntungan setiap bulan dari ekspor gas Rusia naik tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya," tulis Heath. 
 
Ia menambahkan, "Marine Le Pen, memimpin blok politik yang bersimpati pada Rusia, dan sedang meraih kemenangan dalam pemilu presiden Prancis. Hari ini para pemimpin Barat kembali akan masuk ke Moskow untuk mendorong Presiden Vladimir Putin menyelesaikan krisis Ukraina."
 
Sebelumnya Ketua Pusat Kendali Pertahanan Nasional Rusia mengatakan, sejak dimulainya operasi militer di Ukraina, Moskow sudah mengirim sekitar 11.000 ton bantuan kemanusiaan ke negara itu.

 

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran mengatakan, perusakan dan perampasan rumah-rumah rakyat Palestina adalah kelanjutan dari kebijakan rasis Apartheid.

Saeed Khatibzadeh, Sabtu (19/2/2022) menekankan dukungan atas rakyat Palestina, dan menuntut penghentian perusakan rumah serta perampasan tanah warga Palestina yang merupakan kelanjutan kebijakan Apartheid yang dilakukan rezim Zionis.

Jubir Kemenlu Iran juga mengecam aksi rasis rezim Zionis yang mengusir paksa warga Palestina di wilayah Sheikh Jarrah, dari rumah-rumah mereka, dan mengumumkan solidaritas atas rakyat Palestina sebagai pemilik asli dan sah tanah Palestina.

Ia juga meminta masyarakat dunia dan organisasi-organisasi internasional untuk menjalankan komitmen hukum, dan kemanusiaan mereka dalam masalah Palestina.

Rezim Zionis dengan dukungan Amerika Serikat, dan tanpa mengindahkan Resolusi 2334 Dewan Keamanan PBB yang dikeluarkan pada Desember 2016, dan memerintahkan penghentian pembangunan distrik Zionis, terus melakukan kejahatan terhadap rakyat Palestina.