
کمالوندی
Alavi: Musuh Gunakan Segala Sarana untuk Spionase terhadap Iran
Menteri Intelijen Republik Islam Iran mengatakan, pihak asing menggunakan segala sarana untuk melakukan spionase termasuk pemanfaatan internet.
Hujjatul Islam wal Muslimin Sayid Mahmoud Alavi dalam wawancara dengan jaringan 1 televisi Iran, Senin (24/8/2015) malam, menegaskan, setiap orang asing yang masuk ke Iran berada di bawah pengawasan petugas keamanan.
"Sekarang, dinas-dinas intelijen mengurangi penggunaan tindakan fisik, sebab mereka dapat mengumpulkan banyak informasi melalui cyber space. Oleh karena itu, mereka lebih sedikit mengirim mata-mata secara fisik," ujarnya.
Menurutnya, aparat keamanan Iran sepenuhnya memahami situasi. Ketika semua terlibat dalam keamanan, lanjut Alavi, maka akan tercipta keamanan dengan biaya rendah, dan peristiwa yang dianggap sebagai ancaman bagi masyarakat akan berubah menjadi peluang.
"Musuh telah mengerahkan semua kemampuannya untuk menarget Iran. Berbagai dinas intelijen sedang berusaha untuk merusak keamanan Iran, sebab bagi mereka sangat berat bahwa Iran sepenuhnya dalam kondisi aman sementara negara-negara tetangganya tidak aman," jelasnya.
Menurutnya, selama dua tahun terakhir gerakan-gerakan terorisme berusaha untuk menarget keamanan Iran, namun aparat keamanan negara ini dengan informasi lengkap, berhasil menggagalkan upaya gerakan tersebut.
Membaca Ulang Ancaman Serangan Israel ke Iran
Halusinasi serangan terhadap Republik Islam Iran memaksa para petinggi rezim Zionis Israel selama waktu perundingan nuklir antara Tehran dan Kelompok 5+1 dikoridor kesepakatan komprehensif mengakui bahwa mereka sekitar tiga tahun lalu berangan-angan menyerang Iran.
Menteri peperangan Israel kala itu, Ehud Barak membongkar hal ini dan mengungkapkan bahwa antara tahun 2010 dan 2012 dan di tiga isu Israel sepertinya bersiap menyerang instalasi nuklir Iran. Statemen Barak menunjukkan bahwa di tahun 2010, Israel berencana menyerang Iran, namun Gabi Ashkenazi, kepala staf militer gabungan Israel saat itu menentang rencana tersebut. Ia menagtakan, rencana seperti ini tidak dapat dilaksanakan.
Rencana serupa di tahun 2011 juga ditentang oleh Moshe Yaalon dan Yuval Steinitz serta kembali ditangguhkan. Adapun rencana serangan ke Iran yang sedianya dilancarkan pada tahun 2012, lagi-lagi gagal karena berbarengan dengan manuver gabungan militer AS-Israel, dengan dalih Tel Aviv tidak ingin menyeret Washington ke arah pertikaian. Dengan demikian secara praktis rencana serangan Israel ke Iran mangkrak dan didokumenkan.
Pasca perilisan statemen Ehud Barak di kanal dua televisi Israel, bermunculan nama-nama elit Israel yang menentang serangan ke Iran seperti Meir Dagan, ketua Mossad saat itu dan menteri senior seperti Dan Meridor dan Eli Yishai.
Kanal 10 televisi Israel pada April 2013 di acaranya mengakui bahwa perdana menteri Israel dalam sebuah instruksi praktisnya kepada Moshe Yaalon, menteri peperangan meminta militer untuk mempersiapkan diri atas kemungkinan perang di tahun tersebut. Terkait hal ini, Leon Panetta, menteri pertahanan AS saat itu bahkan telah memprediksikan tanggal serangan Israel ke Iran dan menandaskan, serangan tersebut mungkin dilancarkan atara musim semi dan panas tahun 2013. Namun saat itu, ketika Benyamin Netanyahu berkunjung ke AS untuk bertemu dengan Presiden Barack Obama, dikatakan bahwa prioritas utama pemerintah Amerika adalah mencegah segala bentuk tensi.
Setelah pertemuan tersebut, Obama diwawancarai televisi NBC dan menekankan bahwa Israel tidak memiliki agenda menyerang Republik Islam Iran. Sementara itu, Netanyahu di sidang kabinetnya yang juga dihadiri para jenderal militer rezim ilegal ini telah melarang jajarannya merilis statemen terkait agresi ke Iran.
Kini statemen Ehud Barak, mantan menteri peperangan Israel terkait rencana gagal Tel Aviv menyerang Iran telah membangkitkan kemarahan para pemimpin rezim Zionis. Sejumlah elit politik mengungkapkan bahwa sepertinya Barak ingin memperkokoh posisi politiknya dengan merilis statemen seperti ini, namun terlepas dari motif dalam masalah ini dan reaksi internal di rezim Zionis, statemen ini memuat sejumlah poin yang patut untuk direnungkan.
Poin pertama adalah rezim Zionis sumber peperangan dan ancaman terhadap negara-negara kawasan. Kedua, Israel dengan menghidupkan kembali iklim perang syaraf dan ancaman agresi militer terhadap Iran berupaya merusak proses pelaksanaan kesepakatan nuklir melalui strategi usangnya dengan memelihara iklim peperangan dan ancaman.
Poin lain adalah mengingat propagada politik, harus diakui akan realita ini bahwa petinggi rezim Zionis menyadari bahwa kedunguan seperti ini memerlukan pengorbanan besar dan sulit untuk ditebus nantinya. Namun dengan sikapnya yang mengumbar statemen miring berbau ancaman agresi ke Iran, mereka berusaha memanfaatkan iklim politik dan melakukan pemerasan.
Menanti Intervensi OPEC Kendalikan Harga Minyak
Pasar minyak dunia kembali menghadapi penurunan harga secara signifikan dan tren ini menciptakan kekhawatiran bagi para produsen. Jika tren penurunan terus berlanjut, dorongan investasi untuk mempertahankan produksi secara praktis akan hilang.
Menurut laporan Sputniknews dari Washington, harga minyak Amerika Serikat jatuh di bawah 40 dolar untuk pertama kalinya sejak krisis finansial pada tahun 2009. Sejumlah prediksi bahkan menyebut bahwa jika faktor-faktor fundamental penurunan tetap mendominasi pasar minyak, maka harga juga bisa menyentuh angka 20 sampai 15 dolar per barel. Untuk itu perlu dipikirkan cara demi masa depan pasar energi dunia.
Minyak membanjiri pasar dunia dari berbagai kanal dan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), merupakan salah satu kanal itu. Para pakar percaya bahwa OPEC dengan produksi 31,5 juta barel per hari, telah menyumbang 40 persen dari kebutuhan minyak dunia dan organisasi ini dapat mengatur jumlah penawaran.
Menteri Perminyakan Iran Bijan Namdar Zanganeh mengatakan pelaksanaan sidang luar biasa OPEC mungkin akan berdampak untuk mengerem penurunan harga minyak. Berbicara kepada para wartawan di Tehran pada Ahad (23/8/2015), Zanganeh menuturkan Iran mendukung pelaksanaan pertemuan itu dan tidak akan menentangnya.
Arab Saudi sebagai salah satu produsen utama di OPEC, menolak mengurangi produksinya untuk menciptakan keseimbangan antara penawaran dan permintaan di pasar. Saat ini, Saudi dengan kapasitas maksimal memompa sekitar 10 juta barel per hari dan mengirim lebih dari 7 juta barel minyaknya ke pasar dunia dengan harga rendah.
Meski demikian, Saudi tidak mampu sendirian untuk membuat harga minyak terjun bebas. Amerika Serikat juga berperan dalam mendorong anjloknya harga pada 2014. Pasokan minyak di pasar melimpah setelah AS meningkatkan produksi Oil Shale dan melepas cadangan minyaknya.
Saat ini, tren peningkatan permintaan untuk membeli minyak di AS dan negara-negara kekuatan ekonomi baru seperti, Cina dan India turun dalam 10 tahun terakhir. Kondisi ini mendorong anjloknya harga minyak sekitar 60 persen.
Hasil perundingan nuklir Iran dan pencabutan sanksi pasca penerapan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), juga telah memunculkan gejolak di pasar minyak dalam beberapa bulan terakhir. Perjanjian nuklir memungkinkan Iran untuk menaikkan ekspor minyaknya.
Mengingat ada faktor-faktor yang tidak bisa diprediksi, maka tren penurunan harga minyak akan menjadi sebuah shock berat, yang bisa menuju ke arah krisis dan paling tidak ekonomi yang mengandalkan penjualan minyak akan merasakan sebuah krisis yang riil.
Prediksi bahwa harga minyak bisa menyentuh angka kurang dari 30 dolar per barel, mungkin untuk saat ini dianggap tidak rasional, tapi bagaimana pun juga OPEC perlu meninjau kembali kebijakan produksinya dalam kondisi sekarang. Berdasarkan sejumlah data, kerugian akibat jatuhnya harga minyak bagi negara-negara anggota Dewan Kerjasama Teluk Persia (P-GCC) mencapai lebih dari 300 miliar dolar dalam satu tahun terakhir. Saudi mengalami kerugian sekitar 150 miliar dolar, di mana penurunan itu membawa dampak negatif pada anggaran negara tersebut.
Pasar minyak mengalami banyak pasang surut sepanjang sejarah dan mungkin sudah tiba waktunya untuk meninjau ulang peran emas hitam ini dalam ekonomi negara-negara produsen minyak dan menawarkannya sebagai sebuah produk strategis ekonomi.
Titik Terang untuk JCPOA di Kongres AS
Dalam beberapa hari terakhir, terjadi perdebatan sengit di Kongres Amerika Serikat terkait kesimpulan perundingan nuklir antara Iran dan Kelompok 5+1 atau yang disebut dengan Rencana Aksi Bersama Komprehensif (JCPOA).
Fenomena tersebut memaksa jubir Gedung Putih, Senin (24/8/2015) menjelaskan fakta-fakta yang tidak menyenangkan bagi Gedung Putih. Josh Earnest dalam konferensi persnya mengakui bahwa untuk menyelaraskan kembali masyarakat internasional untuk memberlakukan sanksi anti-Iran—hanya karena Kongres AS menolak JCPOA—adalah hal yang tidak mungkin dan penuh tantangan.
Menyinggung dukungan luas para tokoh dan ilmuwan—para pakar, insinyur dan politisi—serta para penasehat militer dan keamanan pemerintah periode sebelumnya dan juga dukungan dari masyarakat internasional, Earnest mengutip pernyataan mantan menteri keuangan era pemerintahan George W. Bush.
“Penolakan kesepakatan hasil upaya lima negara yang ada telah ada di depan mata masyarakat internasional dan tuntutan untuk menyelaraskan kembali negara-negara tersebut atau bahkan sekutu kita untuk memulai perundingan dengan tujuan mencapai kesepakatan yang lebih baik; tidak lebih dari sekedar kenaifan dan mimpi,” katanya.
Iran dan Kelompok 5+1 pada 14 Juli lalu, di akhir perundingan intens di Wina, Austria, mencapai kesimpulan perundingan nuklir yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade.
Sekarang jumlah senator Amerika Serikat yang menyetujui kesepakatan semakin meningkat. Setelah pemimpin minoritas Demokrat di Senat Amerika Serikat, Harry Reid, Senator Debbie Stabenow, juga kini mendukung kesepakatan nuklir dengan Iran.
Dapat dikatakan bahwa suara para pendukung JCPOA sekarang lebih lantang. Press TV juga dalam laporan terbarunya menyebutkan bahwa lebih dari 50 tokoh Kristen melayangkan surat kepada para anggota Kongres AS dan menyatakan “Ingatlah kalian atas rasionalitas [Nabi] Isa al-Masih dan setujuilah kesepakatan nuklir dengan Iran.
Para pejabat Amerika Serikat dengan baik memahami bahwa era pemaksaan politik unilateral telah berakhir sejak lama dan politik ini tidak efektif lagi. Juga bahwa tidak perlu lagi untuk menghindari kenyataan kesepakatan nuklir dengan Iran dengan melabelnya dengan status “baik atau buruk.”
Kenyataannya adalah bahwa Iran tidak pernah dan tidak akan mengacu persenjataan nuklir, karena Republik Islam tidak meyakini jenis senjata tersebut. Dengan kata lain, di kancah politik, kesepakatan tersebut menurut Barat adalah untuk memusnahkan ancaman yang tidak pernah dan tidak akan pernah tercipta. Tuduhan itu dapat dipahami sebagai bagian dari strategi Amerika Serikat untuk mengisolasi namun gagal. Dan demi membesar-besarkan pentingnya kesepakatan tersebut, para pejabat Amerika Serikat terus melontarkan klaim bohong bahwa Iran mencoba menggapai senjata nuklir dan menjadi ancaman bagi kawasan dan dunia.(
Afghanistan Desak Pakistan Penuhi Tuntutannya
Pemerintah Persatuan Nasional Afghanistan menyerukan langkah praktis Pakistan untuk memenuhi tuntutan-tuntutannya.
Javid Faisal, wakil juru bicara Ketua Eksekutif Pemerintah Persatuan Nasional Afghanistan mengatakan, meski perujukan kasus Afghanistan ke PBB merupakan sebuah opsi, namun pemerintah Mohammad Ashraf Ghani, Presiden Afghanistan menyerukan langkah praktis pemerintah Pakistan. Demikian dilaporkan radio IRIB berbahasa Pashtu, Selasa (25/8/2015).
Sebelumnya, Ghani mengatakan, jika Pakistan melanjutkn intervensinya terhadap Afghanistan maka Kabul akan mengadukan tindakan Islamabad itu kepada Dewan Keamaman PBB.
Senada dengan hal itu, Nurul Haq Ulomi, Menteri Dalam Negeri Afghanistan mengatakan, pemerintah Kabul akan mengadukan intervensi Pakistan terhadap urusan internal Afghanistan kepada Dewan Keamaman PBB.
Ia menambahkan, militer Pakistan secara terang-terangan dan langsung memiliki peran dalam menciptakan instabilitas di Afghanistan. Oleh karena itu, Kabul akan mengadukan serangan militer Pakisan ke Afghanistan kepada Dewan Keamanan PBB.
Ketegangan antara Afghanistan dan Pakistan telah menimbulkan kekhawatiran luas, bahkan sejumlah pakar meyakini bahwa Pakistan ingin mengesankan kondisi Afghanistan tidak aman melalui dukungannya kepada kelompok-kelompok teroris.
AS akan Tambah Jumlah Jet Tempurnya di Eropa
Amerika Serikat berusaha menempatkan pesawat-pesawat tempurnya di Eropa dengan dalaih melindungi kawasan ini.
Menurut Reuters, AS berencana untuk menambah jumlah jet-jet tempurnya di Eropa dalam kerangka melaksanakan rencana pembelaan terhadap negara-negara Eropa dan dengan dalih memperkuat sistem rudal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dalam menghadapi Rusia.
Namun para pejabat AS dan Inggris belum memberikan informasi mengenai tanggal dan di mana pesawat-pesawat itu akan ditempatkan.
Berdasarkan laporan ini, Kementerian Pertahanan AS pada Senin (24/8/2015) mengabarkan penerbangan jet tempur F-22 di zona udara negara-negara Barat dalam kerangka agenda pertahanan Eropa.
AS Sambut Kesepakatan Korsel-Korut
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat menyambut kesepakatan antara Korea Selatan dan Korea Utara untuk mengakhiri ketegangan di Semenanjung Korea.
John Kirby dalam pernyataan terbarunya, menyingung kesepakatan antara Korsel dan Korut untuk mengakhiri ketegangan di kawasan.
Ia mengatakan, Washington tidak menganggap langkah Seoul yang menerima kesepakatan dengan Pyongyang sebagai penarikan mundur, namun AS menegaskan dukungan aliansi dengan Korsel dan terciptanya perdamaian dan keamanan di kawasan.
Kirby menambahkan, AS mengapresiasi Park Geun-hye, Presiden Korsel untuk menciptakan stabilitas di Semenanjung Korea.
Jubir Kemlu AS lebih lanjut menyinggung krisis di Ukraia, dan mengatakan, Washington menyambut pertemuan Angela Merkel, Kanselir Jerman, Francois Hollande, Presiden Perancis dan Petro Poroshenko, Presiden Ukraina di Berlin.
Kirby juga menekankan komitmen terhadap pelaksanaan penuh perjanjian Minsk untuk menyelesaikan krisis Ukraina.
Ribuan Staf UNRWA Protes Kebijakan Badan Ini
Staf dan pegawai Badan Bantuan dan Kerja PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) menggelar demonstrasi memprotes kebijakan badan ini terhadap warga Palestina.
Menurut IRNA, ribuan staf UNRWA menggelar unjuk rasa di Jalur Gaza pada Senin (24/8/2015) untuk memprotes defisit keuangan badan ini. Mereka menyerukan pelaksanaan keadilan terkait para pengungsi Palestina.
Slogan yang mereka suarakan di antaranya; "akhirilah ketidakadilan ini" dan "tindak lanjuti hak-hak pengungsi."
Para pengunjuk rasa memulai aksinya dari markas UNRWA dan bergerak menuju Kantor Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO).
Menurut mereka, pengurangan jumlah siswa Palestina, cuti tanpa gaji bagi para staf UNRWA dan penundaan tahun ajaran baru sekolah-sekolah di Gaza disebabkan defisit anggaran badan ini, merupakan alasan mereka untuk menyelenggarakan demonstrasi.
Senin kemarin adalah hari pembukaan sekolah-sekolah di Gaza, namun sebelumnya sekolah-sekolah ini diperkirakan akan tetap libur dan lebih dari 220.000 siswa Palestina tidak dapat melanjutkan belajar mereka.
Dalam laporan UNRWA terkait penundaan pembukaan sekolah-sekolah di Gaza, disebutkan bahwa badan ini memerlukan bantuan 367 juta dolar untuk melaksanakan agenda daruratnya, namun sekarang hanya 31 persen dari anggaran yang terpenuhi.
Beberapa waktu lalu, UNRWA mengabarkan defisit anggaran sebesar 101 juta dolar. Oleh karena itu, badan ini berencana menunda dimulainya ajaran baru di lima wilayah termasuk di Jalur Gaza, Tepi Barat, Yordania, Lebanon dan Suriah.
Keputusan tersebut akan menyebabkan setengah juta siswa Palestina tidak dapat bersekolah di 700 sekolah milik UNRWA yang tersebar di wilayah dan negara-negara tersebut.
Dukungan AS untuk Boko Haram di Afrika
Presiden Nigeria Muhammadu Buhari mengatakan Amerika Serikat mendukung kelompok Boko Haram di Nigeria.
Dia menyampaikan hal itu pada acara wisuda para taruna Akademi Militer Nigeria, Ahad (9/8/2015), seperti dilansir AFP.
Presiden Buhari menuding Washington memberi dukungan kepada Boko Haram dan meminta kementerian pertahanan negaranya untuk mempersiapkan kondisi yang diperlukan bagi swasembada senjata Nigeria.
“Amerika menolak menjual senjata kepada Nigeria dan dengan begitu, mereka memperkuat militan Boko Haram,” ujarnya. Dia meminta kementerian pertahanan mengambil langkah-langkah efektif untuk memutus ketergantungan persenjataan Nigeria.
Buhari beberapa waktu lalu, mengunjungi Washington dengan harapan memperoleh bantuan serta dukungan finansial dan militer dari Amerika untuk memerangi militan Boko Haram. Namun, para pejabat Washington menolak memberikan senjata dan segala bentuk bantuan militer.
AS sejak enam tahun lalu hingga sekarang menolak penjualan senjata ke Nigeria dan menyebut penolakan itu karena pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah Abuja.
Buhari menepis tudingan tersebut dan menandaskan, tuduhan pelanggaran HAM yang belum terbukti telah menghalangi Nigeria untuk memperoleh senjata-senjata strategis dan tepat guna meneruskan perang anti-Boko Haram.
Menurut sejumlah pengamat, para pejabat Amerika meski selalu melontarkan slogan perang anti-terorisme, tapi pada prakteknya mereka menolak terlibat dengan bermacam alasan.
Buhari setelah pulang dari Amerika kembali menegaskan bahwa perang menumpas habis Boko Haram akan terus berlanjut dengan mengandalkan kemampuan militer Nigeria dan negara-negara kawasan.
Menurut para pengamat, setelah Amerika menolak kerjasama dalam memerangi militan Boko Haram, Nigeria sepertinya ingin memacu produksi senjata di dalam negeri untuk memperkuat pasukannya.
“Nigeria harus mencapai mekanisme yang diperlukan untuk bisa memproduksi alat utama sistem persenjataan dan logistik militer. Untuk itu, negara harus memproduksi senjata nasional untuk mengurangi ketergantungan pada senjata asing,” ujar Presiden Buhari.
Dia menilai ketergantungan Nigeria kepada negara lain dalam mempersenjatai tentaranya sebagai hal yang tidak dapat diterima. Dia menegaskan, “Kita harus mengembangkan mekanisme yang kredibel untuk mencapai swasembada di bidang produksi alat utama sistem persenjataan dan perlengkapan canggih militer.”
Para pengamat sudah sering memberikan peringatan tentang dukungan kekuatan-kekuatan besar, termasuk Amerika kepada kelompok teroris terutama di Afrika dengan tujuan memanfaatkan posisi dan kekayaan benua itu.
Meski Boko Haram tampaknya terus melakukan operasi teror di Nigeria dan beberapa negara tetangga, namun perang dan penumpasan kelompok tersebut masih menjadi agenda utama negara-negara di kawasan.
Saat ini, pasukan multinasional yang terdiri dari tentara Nigeria, Chad, Kamerun, Niger dan Benin sedang melakukan operasi besar-besaran untuk menumpas Boko Haram. Kerjasama regional dan kebijakan mengandalkan kemampuan pasukan negara-negara setempat sepertinya lebih efektif ketimbang berharap pada uluran tangan asing.
Myanmar dan Perundingan Damai
Perundingan damai antara pemerintah Myanmar dan kelompok sparatis etnis berujung pada kesepakatan untuk menggelar perundingan lebih banyak lagi. Wakul pemerintah Myanmar dan separatis etnis di perundingan terbarunya sepakat akhir bulan Agustus menggelar perundingan lebih intensif guna mencapai kesepahaman terkait gencatan senjata.
Kedua pihak juga sepakat terkait draf kesepakatan gencatan senjata, kecuali poin seruan kepada seluruh kelompok bersenjata, guna menandatangani isi kesepakatan.
Kesepakatan ini tercapai setelah sembilan putaran perundingan damai di kota Yangon antara pemerintah dan sebuah delegasi khusus dari kelompok separatis etnis. Pemerintah Myanmar dan kelompok bersenjata minoritas terpenting akhir Maret 2015 mencapai kata sepakat terkait draf kesepakatan perdamaian yang disebut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sangat bersejarah.
Utusan pemerintah dan kelompok separatis etnis di perundingan terbarunya sepakat menghapus friksi yang tersisa terkait gencatan senjata termasuk undangan kepada saksi dalam negeri dan internasional untuk mengawasi kesepakatan serta melanjutkan perundingan mereka. Bagaimana pun juga optimis akan penandatanganan kesepakatan ini di waktu dekat.
Media lokal Myanmar menyebut kelompok Karen National Union (KNU), Partai Progresif Nasional Karenni (KNPP) dan Partai Negara Baru Mon (MNSP) sebagai kelompok bersenjata yang berseria menandatangani kesepakatan damai dengan pemerintah negara ini.
Kelompok Karen National Union (KNU) tercatat sebagai kelompok bersenjata anti pemerintah terbesar dan telah terlibat kontak senjata dengan pemerintah selama 50 tahun. Hingga kini ada tiga kelompok bersenjata yang telah berdamai dengan pemerintah. Ketiganya adalah Negara Bagian Shan-Utara (SSA-N), Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar (MNDAA) dan sebuah kelompok militan lainnya.
Berdasarkan program pemerintah Myanmar, proses perdamaian mencakup tiga tahap. Pertama, gencatan senjata dan menjalin kanal komunikasi serta lawatan ke daerah masing-masing tanpa membawa senjata. Kedua, menggelar perundingan dan penerapan pajak bagi pembangunan daerah di bidang pendidikan, kesehatan dan komunikasi. Ketiga, penandatanganan kesepakatan damai permanen dengan dihadiri anggota parlemen dan partai politik.
Pemerintah Myanmar berusaha menjadikan kesepakatan damai dengan kelompok etnis bersenjata sebagai konsesi penting dan strategis dalam menghadapi pemilu mendatang yang bakal digelar 8 November. Masyarakat internasional menilai pemilu kali ini sebagai ujian demokrasi bagi pemimpin Myanmar.
Pemerintah Myanmar saat ini menghadapi beragam kendala baik instabilitas akibat serangan berbagai milisi bersenjata etnis, banjir dan harapan publik bagi kebebasan politik. Krisis Muslim Rohingya juga menjadi isu penting dan aksi brutal etnis Budha radikal terhadap kaum minoritas tertindas ini kian mencoreng wajah Myanmar di mata dunia. Oleh karena itu, rakyat Myanmar dan elit kawasan serta internasional mengharapkan pemerintah negara ini demi mengakhiri krisis instabilitas di Myanmar memperhatikan secara serius kondisi Muslim Rohingya serta para partai politik pun di slogan kampanye pemilu juga mengusung program untuk menyelesaikan krisis ini.