
کمالوندی
Peringatan dalam Al-Quran: Lari dari Medan Perang
Lari dari Medan Perang
Allah Swt berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya." (QS. al-Anfal: 15-16)
Satu dari pengertian yang berkali-kali disampaikan dan termasuk perintah ilahi yang paling penting kepada umat Islam adalah perintah jihad dan berperang melawan musuh Islam. Perintah dan pengertian ini disebutkan berkali-kali dalam ayat-ayat al-Quran. Sebagai contoh disebutkan dalam ayat-ayat ini:
"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci." (QS. al-Baqarah: 216)
"Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang." (QS. al-Anfal: 65)
"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu." (QS. al-Baqarah: 190)
Ketiga ayat ini dan ayat-ayat al-Quran yang lain menyeru umat Islam untuk melakukan jihad, tapi pada ayat 15 dan 16 surat al-Anfal gaya penyampaikan dalam bentuk peringatan. Allah Swt dalam ayat 15 memperingatkan orang-orang yang beriman yang tengah berada di medan perang dan berhadap-hadapan dengan musuh agar tidak melarikan diri dari sana, sekalipun jumlah musuh sangat banyak.[1]
Sementara pada ayat 16 surat al-Anfal ada dua hal yang dikecualikan; berbelok sebagai taktik perang dan bergabung dengan pasukan yang lain, mereka yang lari dari medan pertempuran akan mendapat murka ilahi dan tempat kembalinya nanti adalah di neraka. Tidak hanya di akhirat, tapi di dunia ini mereka akan terhina dan tertekan. Itulah mengapa Imam Ridha as dalam sebuah ucapannya menjelaskan filosofi pengharaman lari dari medan perang bahwa perbuatan itu akan membuat musuh semakin berani terhadap Islam, umat Islam akan menjadi tawanan mereka dan akhirnya program yang telah dicanangkan para nabi dan imam tidak akan berhasil yang berujung pada tercerabutnya agama Allah.
Imam Ali as juga dalam petunjuknya menyinggung ayat ini bahwa takut akan jihad akan menciptakan penyimpangan dalam agama dan pelakunya layak dibakar di api neraka, bahkan menjadi sumber kefakiran di dunia, terhina dan ternistakan.
Sumber: Hoshdar-ha va Tahzir-haye Qorani, Hamid Reza Habibollahi, 1387 Hs, Markaz-e Pajuhesh-haye Seda va Sima.
[1] . Ayat 15 dari surat al-Anfal menyebutkan, "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)." Dengan mencermati kata Zahf yang aslinya bermakna bergerak menuju sesuatu ketika telah menjejakkan kaki di bumi dan di sini dipakai untuk gerakan pasukan yang banyak. Oleh karenanya, dari pentakbiran ini dipakai sebagai bentuk peringatan, sekalipun pasukan atau persenjataan musuh sangat banyak dan lebih dari pasukan Islam. (Mufradat ar-Raghib, hal 212 dan Tafsir Nemouneh, jilid 7 hal 111)
Koridor Persahabatan dalam Islam
Dalam pandangan Islam, mencintai masyarakat, Ahli Kitab dan orang lain harus berada di bawah cinta kepada Allah, sehingga cinta itu memiliki nilai. Cinta ilahi akan menjaga manusia tidak terjatuh dalam penyimpangan dan mampu mencegahnya dari penyakit sosial. Dari sini, Islam menekankan adanya niat ilahi dalam menjalin hubungan persahabatan dengan siapa saja. Imam Ali as berkata, “Persahabatan di jalan Allah akan melahirkan ukhuwah.”[1]
Langkah pertama dalam persahabatan ilahi adalah mengosongkan hati dari segala kebergantungan selain Allah. Manusia tidak dapat mencintai dua hal yang bertentangan dalam hatinya. Karena Allah Swt hanya menciptakan satu hati kepadanya. “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya...” (QS. al-Ahzab: 4)
Barangsiapa yang memiliki motivasi selain Allah dalam persahabatan dan kecenderungannya untuk melakukan perbuatan buruk, maka bagaimana ia dapat mencapai jalan ilahi dan menjadikan persahabatan di jalan Allah sebagai parameter segala persahabatan? Orang yang hatinya telah diarahkan pada hal-hal yang segera sirna dan kelezatan materi, bagaimana dapat menampung cinta ilahi yang tidak terbatas?
Manusia harus mengeluarkan cinta dan persahabatan selain Allah dari dalam hatinya dan pada saat yang sama cintanya kepada orang lain harus searah dengan cinta kepada Allah. Dengan ungkapan lain, manusia harus mencintai segala sesuatu karena Allah. Sekaitan dengan hal ini, al-Quran menyebutkan, “Katakanlah, ‘Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. at-Taubah: 24)
Al-Quran mengumpamakan lemahnya persahabatan dengan selain Allah dengan rumah laba-laba. “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah...” (QS. al-Ankabut: 41)
Allamah Thabathabai ketika menyinggung ayat ini menjelaskan apa yang menyebabkan persahabatan dan cinta selain Allah itu sangat lemah, “Rumah dibuat agar dapat melindungi pemiliknya dari lingkungan yang dingin dan panas. Ini yang tidak dimiliki oleh rumah laba-laba. Bila ada rumah yang tidak dapat menjaga pemiliknya dari hal-hal yang tidak diinginkan, maka itu tidak dapat disebut rumah. Mereka yang dijadikan wali oleh orang-orang Musyrik hanya wali atau persahabatan sekadar nama. Karena mereka tidak dapat memberikan manfaat dan tidak merugikan, begitu juga bukan pemiliki kematian dan kehidupan.”[2]
Persahabatan dengan selain Allah menjadi sebab bagi segala kerugian manusia. Hal itu membuat manusia menyesal di kemudian hari. Sesuai dengan pentakbiran al-Quran di Hari Kiamat, bersahabat dengan selain Allah akan membuat mereka begitu menyesali perbuatannya dan berharap tidak pernah bersahabat dengan mereka.
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Quran), kami adakan baginya setan (yang menyesatkan) maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. Sehingga apabila orang-orang yang berpaling itu datang kepada kami (di Hari Kiamat) dia berkata, “Aduhai, semoga (jarak) antaraku dan kamu seperti jarak antara timur dan barat, maka setan itu adalah sejahat-jahat teman (yang menyertai manusia).” (QS. az-Zukhruf: 36-38)
Mungkin saja para sahabat selain Allah itu memberikan rasa senang dan puas, tapi pada akhirnya akan menyesalinya dan memahami akan kesalahan yang dilakukannya. Di sisi lain, para sahabat ilahi memiliki masa depan yang cerah dan mendapat rahmat ilahi. Dalam sebuah riwayat dari Imam Zainul Abidin disebutkan:
“Ketika Allah selesai mengumpulkan awal dan akhir makhluk yang diciptakan-Nya terdengar suara berkata, ‘Di mana para sahabat Allah? Sekelompok manusia berdiri. Dikatakan kepada mereka, ‘Kalian memasuki surga tanpa dihisab.’ Para malaikat yang menyaksikan hal itu melihat mereka dan bertanya, ‘Kalian hendak ke mana?’ Dijawab, ‘Kami menuju surga tanpa dihisab’. Para malaikat kembali bertanya, ‘Kalian dari kelompok manusia yang mana?’ Mereka menjawab, “Kami para pecinta dan sahabat Allah.’ Ditanya kembali, ‘Apa yang telah kalian lakukan?’ Mereka menjawab, ‘Kami bersahabat di jalan Allah dan memusuhi di jalan Allah.’ Para malaikat mengatakan, ‘Sungguh baik balasan dari pelaku kebaikan!”[3]
Dengan demikian, bila mencermati ayat dan riwayat yang telah disebutkan, maka persahabatan hakiki dikhususkan pada persahabatan dan cinta kepada Allah dan pahala yang diberikan juga mencakup persahabatan yang seperti ini.
Sumber: Dousti va Doust Dashtan dar Quran va Rivayat, Mohammad Hemmati, Markaz Pezhouhesh-ha Eslami Seda Va Sima, Qom, 1392 Hs.
[1] . Ghural al-Hikam, hal 298, hadis 47.
[2] . Sayid Mohammad Bagher Mousabi Hamedani, Tarjomeh al-Mizah, jilid 16, hal 194.
[3] . Al-Kafi, jilid 2, hal 126, hadis 158.
Idul Fitri; Hari Kelahiran Kembali Manusia
Hari ini adalah hari yang sangat berbagia, pasalnya setelah berpuasa selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan, menahan lapar dan dahaga serta dosa, hari ini Allah Swt menjadikan hari raya bagi kaum mukminin. Hari Raya Idul Fitri, tak ubahnya hari kelahiran kembali manusia setelah dosa-dosanya terampuni.
Ya Allah! Sampaikan shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad berserta keluarganya dan tutupilah musibah kami di bulan ini serta jadikan Hari Idul Fitri sebagai Hari Raya yang penuh berkah serta tetapkanlah hari tersebut sebagai hari terbaik bagi kami. Ampunilah dosa-dosa kami di hari penuh berkah ini. Ya Allah! Jadikan hari ini sebagai hari raya dan kegembiraan bagi mukminin dan hari berkumpul bagi umat Muslim..Kami bertaubat kepada-Mu dari setiap dosa dan perbuatan buruk yang kami lakukan serta dari segala bentuk niat tak pantas yang memenuhi kalbu kami. Ya Allah! Jadikan hari ini sebagai hari penuh berkah bagi seluruh umat Mukmin dan berikan kami kesempatan untuk kembali kepada-Mu dan bertaubat atas segala dosa yang kami perbuat.
Hari raya Idul Fitri adalah hari terlahirnya kembali manusia dan mereka menjadi manusia baru. Hari perubahan dalam diri manusia, baik dari sisi kejiwaan, mental dan kehidupan sosial mereka. Manusia telah membakar jiwanya yang kotor di selama bulan Ramadhan dan kini muncul dengan ideologi dan jiwa yang baru. Nafas-nafas baru pun bermunculan setelah berpuasa selama satu bulan penuh di bulan suci dan penuh berkah Ramadhan.
Idul Fitri termasuk hari besar Islam dan banyak hadis serta riwayat yang membicarakan keutamaannya. Muslim yang berpuasa selama bulan Ramadhan menahan diri dari makan dan minum serta perbuatan mubah lainnya. Dan kini setelah lewat satu bulan, di hari pertama bulan Syawal mereka mengharapkan pahala dan balasan dari Allah Swt. Hari pertama bulan Syawal dinamakan Hari Raya Idul Fitri karena di hari ini, larangan makan dan minum dicabut serta orang mukmin diperbolehkan makan di siang hari serta membatalkan puasanya. Fitr dan futur berarti makan dan minum serta juga memiliki arti dimulainya makan dan minum. Oleh karena itu, setelah habis waktu siang dan waktu Maghrib tiba di bulan Ramadhan, orang yang berpuasa diperbolehkan iftar atau berbuka puasa.
Pagi hari di hari Raya Idul Fitri, kumandang tasbih dan pujian kepada Allah menggelegar dan wajah-wajah ceria memenuhi setiap kota. Kecil dan besar berdiri berbaris dengan rapi. Mereka mengangkat tangannya ke langit sambil melantungkan doa “Allahumma Ahlul Kibriyai wal Adzama, Wa Ahlul Judi wal Karama”. Saat itu, kalian akan merasakan kaki-kaki terpisah dari bumi dan melayang di suasana yang lain, suasana penuh ikhlas, penyerahan diri dan takwa. Perasaan ini adalah pahala satu bulan penuh puasa di bulan Ramadhan yang menjadi bagian orang mukmin sejati. Saat itu, jiwa manusia dipenuhi harapan bahwa sisa waktunya selama satu tahun tidak akan dipolusi oleh dosa.
Ketika kehidupan kita berubah menjadi sebuah kebiasaan, wajar bahwa kita tidak akan melampaui manifestasi kehidupan yang wajar dan kita akan berhenti pada titik serta waktu tertentu. Namun bulan Ramadhan dan Idul Fitri, dengan karakteristiknya yang istimewa, menyapu bersih perilaku dangkal dan kebiasaan sehari-hari serta mengeluarkannya dari batasan waktu.
Sejatinya tujuan dari ibadah selama satu bulan di bulan suci Ramadhan akan muncul setelah hari raya. Islam menghendaki kita membentuk manusia yang berperilaku di luar sisi fisik dan materi. Manusia yang memandang ibadah kepada Tuhan sebagai sarana untuk membantu dan mengabdi kepada sesamanya serta mereka yang membutuhkan. Dengan kata lain, arah dan perilaku manusia setelah hari Raya Idul Fitri adalah upaya serta perbuatan yang sesuai dengan perintah Tuhan serta ditujukan untuk membangun masyarakat lebih baik serta membantu kebutuhan mereka yang membutuhkan.
Dimensi eksistensi manusia seperti ini berbeda dengan manusia yang lalu. Ia hidup dengan pandangan yang lebih luas. Dengan ketaatan dan penghambaannya, ia memiliki sifat yang lebih lembut. Puasa telah memberi pelajaran kepadanya akan arti dari penderitaan. Ia akan bergerak dengan pandangan yang lebih terarah yang diperolehnya dari latihan Ilahi selama puasa. Oleh karena itu, komitmen dan stabilitasnya semakin meningkat dan kesabaran serta keseimbangannya maju dengan pesat.
Manusia seperti ini, melalui perubahan mendalam yang ia rasakan dalam dirinya, memiliki semagat untuk terbang ke arah puncak kesempurnaan. Di pagi hari Idul Fitri, ketika manusia mengeluarkan zakatnya dan mengingat Allah Swt serta menunaikan shalat ied, sejatinya ia telah berjanji untuk mengesampingkan masalah pribadi dan membebaskan jiwanya dari kungkungan egonya. Allah Swt di kisah Bal’am Baura (ulama yang condong kepada taghut) mengingatkan poin ini bahwa Kami menginginkan ia terbang ke langit, namun ternyata ia memilih bumi dan selamanya ia tenggelam dalam kemaksiatan. Di ayat 176 surat al-A’raf Allah berfirman yang artinya, “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah...”
Sejak awal Allah Swt memberikan kepada semua manusia nikmat untuk berkembang dan meniti kesempurnaan, namun manusia sendiri yang mengabaikan nikmat ini dengan perilaku dan amal perbuatannya. Dalam pandangan Imam Sadiq as, dosa seperti beban berat sehingga terbang (berkembang) akan sangat sulit dilakukan. Beliau bersabda, “Allah tidak akan memberikan nikmat kepada hamba-Nya, kemudian Ia cabut kembali, kecuali hamba tersebut melakukan dosa yang mengakibatkan nikmatnya dicabut.”
Oleh karena itu, Imam Ali as menyebut hari ketika seorang hamba tidak bermaksiat sebagai hari raya. Idul Fitri dari sisi ini juga memiliki urgensitas dan termasuk dalam hari-hari besar Ilahi (Syi’ar Ilahi). Allah berfirman di surat al-Hajj ayat 32 yang artinya, “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” Mengagungkan syi’ar Ilahi merupakan karakteristik hari raya Idul Fitri. Syiar takbir dan pujian serta penyucian Allah termasuk amal yang memberi warna khusus bagi hari besar ini.
Tugas utama seorang muslim adalah dengan berbagai cara menyampaikan seruan tauhid kepada dunia. Salah satu caranya melalui syi’ar-syi’ar agama. Rasulullah Saw bersabda, “Hiasilah hari raya kalian dengan takbir.” Di hadis lain disebutkan, “Hiasilah hari Idul Fitri dan Idul Adha dengan syiar La Ila Ha Illa Allah, takbir Allahu Akbar dan Subhana Allah.”
Rasulullah Saw sendiri melakukan hal ini. Ketika beliau keluar dari rumah di hari Idul Fitri hingga ke masjid, beliau melantunkan kalimat La Ila Ha Ila Allah dan Allahu Akbar dengan suara yang keras. Bahkan di antara khutbah dan sebelum serta sesudahnya, beliau kembali mengulang syiar tersebut. Imam Ridha as saat menjelaskan sebab takbir yang banyak di hari Idul Fitri mengatakan, “Takbir, takzim dan mengagungkan Allah Swt adalah bentuk rasa syukur atas hidayah dan nikmat Tuhan kepada manusia.”
Dewasa ini setiap negara Islam dengan budaya khususnya merayakan hari besar ini dengan semeriah mungkin. Pelaksanaan shalat ied sebagai ungkapan rasa syukur atas taufiq Ilahi, menyediakan beragam makanan khusus, berhias dan memakai wangi-wangian, membersihkan diri, saling silaturahmi dan suara gembira anak-anak ketika mendapatkan hadiah, merupakan karakteristik kolektif hari Raya Idul Fitri di negara-negara Islam. Kegembiraan dan optimisme akan pengampunan dosa serta rahmat kian mendekatkan hati-hati umat Muslim.
Ayatullah Javadi Amoli menyebut gerakan massal masyarakat dan berkumpulnya umat Muslim di hari Raya Idul Fitri sebagai manifestasi dari Ma’ad (Hari Akhir). Beliau berkata, “Mereka yang berpuasa di bulan suci Ramadhan dan diberi kesempatan untuk menjalankan kewajibannya, ada tiga kelompok yang kembali dan menerima pahala Ilahi. Oleh karena itu, malam dan siang hari Raya Idul Fitri juga disebut sebagai hari penerimaan hadiah.”
Mereka yang mendapat inayah untuk menjalankan kewajibannya di bulan Ramadhan dan menghidupkan malam-malam penuh berkah bulan ini mendapat hadiah yang dibawah para malaikat berupa kebebasan dari api neraka. Mereka yang mengerjakan kewajibat di bulan Ramadhan untuk meraih surga, maka pahala yang mereka terima dari malaikat rahmat adalah masuk ke surga. Sementara kelompok ketiga adalah mereka yang beribadah karena kecintaanya kepada Tuhan dan bersyukur kepada-Nya, maka pahala mereka langsung diberikan oleh Allah Swt berupa kecintaan kepada-Nya dan terbebas dari neraka.
Imam Baqir as di doa sebelum shalat Ied berkata, “Ya Allah! Setiap orang di hari ini bersiap dan mempersiapkan diri untuk menerima pahala, ampunan dan anugerah. Namun Ya Allah! Aku saat ini mempersiapkan diriku untuk semakin dekat dengan-Mu.”(
Shalat dan Munajat di Hari Raya Idul Fitri
Suatu hari Rasulullah Saw berkata kepada para sahabat; Berjalan-jalanlah di kebun surga! Sahabat bertanya; Apa itu taman surga? Beliau menjawab: acara zikir. Pergilah pagi dan petang serta berzikirlah kepada Allah. Mereka yang ingin mengetahui derajatnya di sisi Allah, akan melihat maqam dan kedudukan Allah pada dirinya. Karena Allah akan menempatkan seorang hamba pada satu kedudukan, sesuai dengan sikap hamba tersebut menempatkan Allah pada dirinya. Ketahuilah! Amal terbaik dan paling bersih di sisi Allah dan derajat tertinggi kalian serta paling baiknya sesuatu yang disinari mentari adalah zikir kepada Allah.
Salah satu manifestasi istimewa dan agung zikir kepada Allah adalah shalat Idul Fitri. Shalat yang membuka mata-mata manusia untuk menyaksikan nilai-nilai sejati dan lurus serta membantu manusia mendapatkan hakikat (kebenaran) dan keindahan abadi. Di shalat Idul Fitri, hamba mukmin tenggelam dalam keindahan Ilahi melalui munajat penuh keikhlasan mereka. Daya tarik ini sedemikian besar di dalam diri mereka, sampai-sampai saat melakukan kontak dengan Allah, ia merasa tenang dan gembira.
Shalat Ied dua rakaat dan di khutbahnya membahas nasib umat Islam dan berbagai peristiwa penting dunia islam. Shalat ini memiliki pesan spiritual, ketauhidan dan mengikuti Mohammad beserta Ahlul Baitnya dalam kehidupan. Di shalat Idul Fitri kita memohon kepada Allah untuk dimasukkan ke dalam kebaikan seperti yang dimiliki Nabi beserta keluarganya dan dijauhkan dari segala keburukan.
Doa shalat Ied menunjukkan ideologi kasih sayang dan bimbingan oleh Islam di dunia. Pesan ini yang diulang beberapa kali di setiap qunut dengan indah termanifestasi di shalat Idul Fitri. Di shalat ini, spiritual, inspirasi, jamaah shalat yang besar bersama-sama memanjatkan doa; “Ya Allah, wahai Pemilik kebesaran dan keagungan, wahai Pemilik kedermawanan dan jabarut, wahai Pemilik pengampunan dan kasih sayang, wahai Pemilik takwa dan maghfirah. Aku memohon kepada-Mu dengan hak hari ini, yang Kau jadikan hari besar bagi kaum muslimin, dan dengan keagungan dan kemuliaan Muhammad dan keluarganya, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan Keluarga Muhammad, masukkan aku pada setiap kebaikan yang Kau masukkan ke dalamnya Muhammad dan keluarganya, keluarkan aku dari setiap keburukan yang Kau keluarkan dariya Muhammad dan keluarganya. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu yang terbaik dari apa yang dimohon oleh hamba-hamba-Mu yang shaleh. Aku memohon perlindungan kepada-Mu dari segala apa yang perlindungannya dimohon oleh hamba-hamba-Mu yang shaleh.”
Di sebuah riwayat disebutkan, ketika hamba Tuhan memuji-Nya dengan penuh keagungan dan penghormatan, Allah berbangga di depan para malaikatnya dan berkata, “Inilah hamba-Ku yang sejati...Bukankah sebelumnya telah Aku katakan bahwa Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui?
Sementara itu, di budaya Islam, Ied semakin meriah dan agung, di mana kegembiraan di hari ini melampaui sekat-sekat individu dan berbaur dengan kegembiraan bersama serta berpengaruh pada nasib orang lain. Keagungan Idul Fitri termanifestasikan dengan pembayaran zakat dan shalat Ied. Zakat fitrah adalah hadiah yang diberikan seorang mukmin sebagai bukti ketaatan kepada Allah dan ungkapan syukur atas nikmat-Nya kepada orang-orang yang tidak mampu. Zakat memiliki arti tumbuh dan berkembang, kebaikan dan kesucian. Oleh karena itu, zakat seperti shalat, faktor yang memperkokoh jiwa, membersihkan ruh serta memperkokoh hubungan persaudaraan dengan sesama manusia.
Sejatinya, termasuk ajaran penting Idul Fitri adalah memperhatikan kerabat dan memperkokoh Muslim di komunitas Islam serta menjadikan Islam sebagai parameter. Shalat Idul Fitri yang digelar secara serentak di seluruh negara Islam merupakan simbol solidaritas dan persatuan Islam. Khususnya di kondisi saat ini, ketika negara-negara kuat dunia memerangi umat Islam dan menjadikan mereka sebagai target.
Kekuatan hegemoni dunia melalui media propagandanya setiap hari gencar berusaha merusak citra Islam dan menguasai berbagai bangsa. Di saat seperti ini, dunia Islam membutuhkan peluang tepat untuk menunjukkan keagungan dan kekuatan mereka. Saat shalat Idul Fitri, lautan manusia, baik pria maupun wanita dengan tekad bulat dan penuh keimanan, menunjukkan kekuatan sejati umat Muslim.
Kekuatan ini terbentuk dari bulan Ramadhan. Jamaah shalat dengan wajah serius dan tekad kokoh serta hati bersih menunjukkan penghambaan yang tulus di hadapan Tuhan Yang Esa dan menolak segala bentuk thagut serta hegemoni. Takbir jamaah shalat Idul Fitri juga menunjukkan semangat anti imperialis umat Muslim. Sejarah menyebutkan, ketika Imam Ridha as akan memimpin shalat Idul Fitri, keagungan dan kebesaran umat Islam inilah yang membuat Khalifah Makmun Abbasi ketakutan.
Shahid Muthahari menjelaskan makna indah dari shalat Idul Fitri yang dipimpin Imam Ridha as. Beliau menulis, Makmun yang memaksa Imam Ridha menerima jabatan putra mahkota juga memaksa beliau untuk memimpin shalat Idul Fitri. Imam Ridha menolak permintaan tersebut, namun Makmun memaksanya. Imam berkata, Aku bersedia memimpin shalat Idul Fitri, namun sesuai dengan tuntunan ayah serta kakek-kakekku, bukan seperti tuntunan kalian. Makmun dengan gembira menerima kesediaan Imam, karena ia kembali berhasil memaksa Imam Ridha untuk melakukan suatu pekerjaan di pemerintahannya.
Di hari Idul Fitri, Imam Ridha kepada orang-orang disekitarnya berkata, pakailah pakaian biasa, lepaskan sepatu dan sandal kalian, singsingkan lengan baju kalian serta ulangilah zikir yang aku ucapkan. Imam kemudian memakai imamah dan pakaian seperti yang dipakai Rasulullah. Tongkatnya pun dibawa seperti saat Rasulullah membawanya. Dengan kaki telanjang, Imam keluar dari rumah dan dengan suara yang menggelegar mulai mengucapkan takbir Idul Fitri.
«اللَّهُ اکبَرُ، اللَّهُ اکبَرُ، لا اله الاالله و اللَّهُ اکبَرُ، الله اکبرو لله الحمد، الحمدلله عَلى ما هَدانا، وَ لَهُ الشُّکرُ عَلى ما اوْلانا».
Telah bertahun-tahun masyarakat tidak mendengar zikir seperti ini. Masyarakat ketika menyaksikan kondisi Imam berubah dan air mata mengalir dari mata beliau, dengan spirit penuh mereka mengulangi zikir yang dilantunkan Imam Ridha. Makmun juga mengirim pada komandan militer dan pemimpin kabilah untuk menunaikan shalat Idul Fitri bersama Imam. Mereka sesuai dengan kebiasaan para khalifah, memakai pakaian yang indah dan mahal, menaiki kuda yang mahal serta menggantungkan pedang keemasan di pinggang.
Para pembesar ini menunggu kedatangan Imam dan akan mengiringi beliau dengan penuh kebesaran. Namun ketika mereka menyaksikan kesederhanaan dan kekhusyuaan Imam Ridha, tanpa disadari mereka turun dari kuda-kuda mereka. Di sejarah disebutkan, karena Imam dengan kaki telanjang berjalan menuju lokasi shalat Ied, maka para pembesar kerajaan ini sibuk mencari pisau untuk memotong sepatu mereka sehingga mengejar Imam dengan kaki telanjang pula. Sedikit demi sedikit suara takbir menggema di kota Marv.
Belum lagi iring-iringan jamaah shalat Ied keluar dari pintu kota, mata-mata kerajaan memberitahu Makmun bahwa jika kondisi ini dilanjutkan, maka Makmun tidak akan dapat melanjutkan kekuasaannya. Saat itulah Makmun memerintahkan prajuritnya menemui Imam Ridha as dan memulangkannya ke rumah.
Setelah menceritakan kisah tersebut, Shahid Muthahari menyebutkan poin bahwa ketika shalat dikerjakan sesuai dengan sirah dan tuntutan Nabi dan Ahlul Baitnya, maka ibadah tersebut keluar dari kondisi sia-sia serta akan memberikan pengaruhnya yang hakiki. Sejatinya shalat seperti itu adalah penghancur musuh dan dampaknya terlihat nyata dalam mencerabut kefasadan dan dosa di tengah masyarakat.
Di sebagian riwayat, awal Syawal mengingatkan peristiwa dihancurkannya kaum Aad. Kaum ini memilih jalan kesesatan ketimbang taat kepada Allah serta bersikeras menyekutukan Allah. Oleh karena itu, kemudian Allah memusnahkan kaum ini. Di zaman kita hidup saat ini, otoriterisme sejumlah kelompok kecil telah melukai dunia dan di sebagian dunia Islam, rakyat Palestina, Yaman, Bahrain, Irak dan...menjadi korban ketamakan mereka.
Hari ini menunjukkan terealisasinya janji Allah dan mereka yang mengacaukan dunia akan nasibnya akan berakhir buruk. Yang penting di sini adalah umat Muslim menjauhi syaitan dengan solidaritas dan persatuan maknawi serta mereka benar-benar bersatu.(
Keadilan dalam Perspektif Imam Ali
Tanggal 13 Rajab, umat Islam di berbagai penjuru dunia memperingati kelahiran manusia besar. Di Iran, hari ini dirayakan sebagai "Hari Ayah". Bertepatan dengan 13 Rajab, tepatnya 23 tahun sebelum hijrah, lahir seorang bayi agung dari keluarga Abu Thalib bernama Ali. Beliau adalah Imam, pewaris kenabian; suami perempuan terbaik di dunia, Sayidah Fatimah; menantu Rasulullah Saw, dan ayah para Imam maksum.
Beberapa hari menjelang kelahirannya, sang ibu, Sayidah Fatimah binti Asad melakukan tawaf dan memanjatkan doa kehadirat Allah swt. Pandangan matanya tertuju ke langit, dan dengan penuh khusyuk beliau bermunajat, "Ya Allah, sesungguhnya aku beriman kepada-Mu dan kepada semua yang datang dari sisi-Mu, yaitu para Rasul dan kitab-kitab yang mereka bawa. Sesungguhnya aku membenarkan seruan kakekku Ibrahim Al-Khalil as. Dialah yang membangun kembali Kabah yang mulia ini. Maka demi orang yang telah membangun Kabah ini, dan demi janin yang ada dalam kandunganku ini, aku memohon pada-Mu; mudahkanlah kelahirannya."
Tidak lama setelah itu, terjadilah peristiwa yang sangat menakjubkan, pertanda bahwa Allah swt telah mengabulkan doanya. Di saat itu, dinding Kabah terbelah sehingga Fatimah binti Asad bisa masuk ke dalamnya, setelah itu tertutup kembali. Peristiwa yang sangat aneh dan menakjubkan itu membuat semua orang heran menyaksikannya.
Abbas bin Abu Thalib yang turut menyaksikan kejadian tersebut langsung pulang ke rumah untuk mengabarkan kejadian tersebut kepada keluarga dan kerabatnya, lalu kembali menuju Ka'bah bersama beberapa orang wanita untuk membantu kelahiran janin Fatimah itu. Namun, mereka hanya mampu mengelilingi luar Kabah, tanpa bisa masuk ke dalamnya. Seluruh penduduk kota Mekah tetap dalam kebingungan sambil menanti Fatimah keluar. Empat hari kemudian, barulah Fatimah keluar dari dalam Kabah sambil menimang putranya yang baru saja lahir. Orang-orang bertanya-tanya tentang nama bayi mulia itu, Fatimah menjawab, "Namanya adalah Ali."
Semenjak kecil, Ali tumbuh dalam naungan pengajaran dan didikan Nubuwah di dalam rumah Nabi Muhammad Saw. Di salah satu khutbahnya yang terhimpun dalam Nahjul Balaghah, Ali pernah menuturkan, "Ketika aku masih kecil, Rasulullah Saw membaringkanku di tempat tidurnya, mendekapku dengan penuh kasih-sayang, dan mengunyahkan makanan untuk disuapkan ke mulutku."
Sejak masa kanak-kanak, Imam Ali tidak pernah lepas dari pendidikan manusia agung Rasulullah saw. Imam Ali mengisahkan, "Aku senantiasa mengikuti Rasulullah saw bak seorang anak unta yang masih menyusu selalu menyertai ibunya. Setiap hari Rasulullah saw selalu menyempurnakan perangaiku dan memintaku untuk mengikutinya. Setiap tahun aku selalu menyaksikan beliau pergi ke goa Hira’, sementara tidak seorang pun mengetahui kepergian beliau. Ketika itu, tidak ada satu rumah pun yang menyatukan seorang pun di dalam Islam selain Rasulullah, Khadijah, dan yang ketiga adalah aku sendiri. Kusaksikan cahaya wahyu dan risalah ilahi. Di sana kucium semerbak kenabian dari rumah kudus itu."
Salah satu karakteristik terpenting Imam Ali adalah komitmennya menegakkan keadilan dan membela orang-orang yang tertindas. Mengenai keutamaan Imam Ali Ibnu Abbas berkata,"Tidak ada pemimpin yang semulia Ali. Ia tidak berani berbohong, bahkan untuk kemaslahatan sekalipun demi meraih kekhilafahan maupun menarik simpati para penentangnya."
Seorang pemikir kristen Lebanon, George Jordac menjelaskan keutamaan Imam Ali, dalam bukunya The Voice of Human Justice menulis, "Di alam ini setiap lautan memiliki gelombang yang mengguncang. Namun aku tidak mengenal samudera yang terhampar luas dan agung sebagaimana samudera keutamaan Ali. Tidak ada yang tidak terguncang kecuali dua jenis manusia; orang yang terzalimi, dan orang yang takut kepada Allah di kegelapan malam.”
Menurut Imam Ali, keadilan adalah prinsip yang harus berdiri tegak di alam semesta. Beliau menegaskan, tidak ada yang menyamai keadilan, karena prinsip itulah yang menyebabkan kota-kota menjadi makmur. Menurut Imam Ali, keadilan bukan memperindah iman, tapi bagian dari prinsip keimanan sendiri. Di mata Imam Ali, kinerja terpenting pemerintahan adalah menciptakan keadilan. Poros upaya hal tersebut adalah terpenuhinya hak orang-orang yang terzalimi. Dalam pemerintahan Imam Ali, keadilan bukan hanya slogan belaka, tapi sebuah program praktis yang membumi. Dengan kata lain, keadilan adalah inti politik Imam Ali.
. Dalam pandangan Imam Ali, kezaliman dan ketidakadilan menghalangi manusia mencapai kesempurnaan.
Imam Ali mengubah sistem pemikiran dan budaya publik serta mereformasi struktur pemerintahan dan para pejabatnya dalam rangka mewujudkan keadilan di tengah masyarakat. Beliau menghidupkan kembali nilai-nilai agama dan menghilangkan jurang sosial dan diskriminasi. Untuk menghilangkan diskriminasi, Ali menerapkan persamaan di berbagai bidang. Kepada para hakim, Imam Ali berkata, "Kalian berlaku adillah dalam memutuskan sebuah perkara. Perlakukan setiap orang sama di hadapan hukum, sehingga orang-orang terdekatmu tidak rakus dan musuh kalian tidak putus asa terhadap keadilanmu."
Dalam instruksinya kepada para petugas pajak, Imam Ali berkata, "Bersikaplah adil dan penuh pertimbangan. Kalian adalah para bendahara negara, wakil rakyat dan duta pemerintahan. Sepak terjang kalian jangan sampai seperti binatang buas yang memangsa apa saja. Karena rakyat adalah manusia juga seperti kalian, tidak ada bedanya apakah ia muslim ataupun non muslim."
Walaupun Imam Ali memimpin pemerintahan Islam yang terbentang luas, namun dari sisi individu dan sosial ia tidak meyakini keistimewaan bagi dirinya sendiri. Beliau hidup seperti rakyat jelata. Imam Ali memulai kepemimpinannya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan di tengah masyarakat. Beliau pun berupaya sekuat tenaga untuk menghidupkan hak-hak manusia. kepada pegawainya beliau menginstruksikan untuk menciptakan iklim bebas di tengah masyarakat, mendengar pandangan mereka dan menyiapkan sarana untuk mewujudkan hak-haknya.
Imam Ali dalam surat yang disampaikan kepada Malik Ashtar berpesan, "Wahai Malik, pergunakan sebagian waktumu khusus untuk melayani orang-orang yang membutuhkanmu. Sediakan waktu untuk pekerjaan mereka dan duduklah pada pertemuan-pertemuan umum. Bersikaplah tawadhu dalam pertemuan itu. Jauhkanlah pengawalmu dari mereka, sehingga rakyat dengan bebas dan tanpa kekhawatiran sedikitpun berbicara denganmu."
Dalam pandangan Imam Ali, memberangus kezaliman adalah hak seluruh bangsa di dunia, dan pemimpin adalah orang yang harus mengupayakan hilangnya kezaliman dalam pemerintahannya.Terkait hal ini, Imam Ali menilai orang yang memimpin masyarakat adalah orang yang bisa mewujudkan keadilan dan memerangi segala bentuk ketidakadilan.(
Sayidah Zainab as; Perempuan Pemberani
“Ketika bulan Muharram tiba, kami biasa mengikuti majelis duka dan menggambarkan di benak bagaimana bila kami hadir di peristiwa Karbala. Seandainya kami berada di sisi Imam Husein as dan bertempur melawan para pezalim. Kini saat kami mengikuti berita regional dan dunia Islam, waktu itu pula kami merasa tiba waktunya. Kondisinya sama dan makam suci Sayidah Zainab as dalam kondisi bahaya.
Sekalipun tidak hidup dalam periode Imam Husein as, tapi kini kami menyaksikan segala bentuk kezaliman, penindasan, peperangan, kemunafikan dan penyimpangan. Lalu bagaimana kami dapat memahami kondisi ini? Oleh karenanya, kami memutuskan untuk bangkit membela kebenaran. Pembelaan ini tidak terbatas hanya pada satu makam suci, tapi pembelaan terhadap kemanusiaan dan kebebasan. Hal yang telah dibangun oleh Imam Husein dan Sayidah Zainab as dalam sejarah kemanusiaan.”
Ucapan sebelumnya berasal dari seorang syuhada pembela makam suci Ahlul Bait as dan pendukung makam suci Sayidah Zainab as. Perempuan agung yang telah melewati satu periode sejarah dengan metode dan gaya hidupnya. Kemampuannya melihat kondisi zamannya yang penuh dengan kezaliman memaksanya bangkit melawan semua itu. Sayidah Zainab as dengan bijak terlibat langsung dengan kebangkitan Imam Husein as dan tegar menghadapi kezaliman.
Partisipasi Sayidah Zainab as dalam kebangkitan ini untuk mencegah Yazid dan para pengikutnya menghitamkan sejarah kemanusiaan. Kini para pemuda pencari kebenaran dan keadilan bangkit mempersiapkan dirinya dengan menapaki nilai-nilai yang ditorehkan perempuan agung ini. Karena setiap harinya mereka menyaksikan para pemuda dari Lebanon, Irak, Suriah, Afghanistan dan Iran yang mereguk cawan syahadah membela Ahlul Bait di Suriah. Banyak dari mereka yang mengorbankan nyawanya saat berperang melawan teroris Takfiri di sana.
Posisi perempuan dalam agama-agama memiliki pengaruh besar dalam akidah, perilaku sosial, tradisi dan budaya di sekitarnya. Islam yang memuliakan perempuan pada hakikatnya melindungi pribadinya baik secara alami maupun dalam hukum. Kesetaraan perempuan dan pria sebagai manusia dalam Islam menunjukkan keduanya merupakan bagian tak terpisahkan dari sebuah masyarakat dan pelengkap manusia. Keberadaan perempuan dan pria menjadi jaminan keselamatan masyarakat dan pelindung nilai-nilainya. Setiap dari keduanya memiliki tanggung jawab sendiri-sendiri dalam sebuah masyarakat dan ini menunjukkan derajat pribadi perempuan dan kesamaannya dengan pria.
Ini merupakan keniscayaan sosial bahwa perempuan memahami tanggung jawab sosialnya dan melaksanakan peran utamanya di tengah masyarakat. Perempuan muslim harus memainkan peran aktif dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya lalu melaksanakan peran hakikinya. Dalam hal ini, Sayidah Zainab as merupakan contoh perempuan teladan dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya.
Sayidah Zainab as merupakan perempuan pemberani yang menjadi pengawal dan penyampai pesan Asyura sepeninggal Imam Husein as. Beliau meninggal dunia saat melakukan perjalanan menuju Syam bersama suaminya Abdullah bin Jakfar. Kemudian jasad beliau dikebumikan di tempat tersebut. Sayidah Zainab as berhasil mencerahkan jalan yang diperjuangkan kakeknya Rasulullah Saw. Beliau mewarisi semangat melawan kezaliman dari ibunya, Fathimah dan ayahnya Imam Ali as. Kefasihannya mampu mengungkap kebenaran dan membongkar kezaliman.
Sepanjang hidupnya, Sayidah Zainab as dipanggil dengan banyak sebutan seperti Aqilah Bani Hasyim, Umm al-Mashaib, Arifah, Amilah, Zahidah, Bakiyah dan Shiddiqah Shugra. Sementara dari sisi keilmuwan beliau sempat mengajari tafsir al-Quran para perempuan muslim selama ayahnya tinggal di Kufah. Begitu juga selama Imam Zainal Abidin as sakit, beliau menjadi rujukan masyarakat dalam masalah syariat. Sejatinya, salah satu keutamaan beliau adalah ketinggian derajat keilmuwannya.
Sayidah Zainab as selama hidupnya dikenal sebagai cendekiawan, orator dan wakil khusus Imam Husein as dalam menjelaskan hukum halal dan haram. Pesan Asyura yang dibawa beliau telah disampaikan kepada seluruh perempuan muslim. Tidak hanya menyampaikan, tapi beliau menjelaskan dengan seksama dan detil risalah Imam Husein as. Selama hidupnya, Sayidah Zainab as menjadi pendukung para pejuang Islam dan senantiasa melakukan upaya-upaya sosial guna mendidik para calon pejuang Islam disertai dengan sikap menjaga kehormatan diri dan agama.
Keberanian merupakan satu karakter kuat yang ada dalam diri Sayidah Zainab as. Beliau begitu tegar saat menghadapi musuh dan bangkit melawan kezaliman dengan segala apa yang dimilikinya, bahkan nyawanya sekalipun. Itulah mengapa beliau juga dipanggil dengan sebutan ”Singa Bani Hasyim”. Karena beliau dengan gagah berani meneriaki musuh dan mencela perbuatan mereka tanpa takut sedikitpun. Pedang yang masih mengalirkan darah tidak dapat menakutinya.
Zainab tidak menghiraukan kekuasaan Ibnu Ziyad, Gubernur Kufah saat memasuki ruangannya dan lebih memilih duduk di sudut ruangan. Tanpa memperhatikan pertanyaan yang diajukan Ibnu Ziyad, beliau menyebutnya sebagai orang fasik dan fajir. Beliau berkata, “Segala puji kepada Allah yang memuliakan kami dengan kenabian Muhammad Saw dan mensucikan kami dari kotoran. Sesungguhnya yang fasik bakal terungkap, para pelaku keburukan adalah pembohong dan ia bukan dari kami.”
Begitu pula ketika mendengar umpatan Yazid, Sayidah Zainab as kembali menunjukkan keberaniannya. Beliau mengatakan, “Saya melihatmu sangat kecil untuk menjadi lawan bicaraku. Tapi saya tidak dapat menolak kenyataan bahwa masyarakat telah melenceng dari kebenaran dan memberikanmu kekuasaan. Dengan kekuasaan ini, engkau mendapat kesempatan untuk menggugursyahidkan putra Nabi Allah Saw. Begitu juga engkau berkesempatan menjadikan keluarganya sebagai tawanan dan mendudukkannya di majelis ini.”
Ayatullah Sayid Ali Khamenei, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran menilai pribadi Sayidah Zainab as sangat agung dan tepat dalam melakukan manajemen krisis. Beliau berkata, “Nilai dan keagungan Sayidah Zainab as dikarenakan sikap dan gerakan agung kemanusiaan yang dilakukan berdasarkan kewajiban ilahi. Perbuatan dan bentuk gerakannya yang memberikan keagungan kepada pribadinya. Beliau bukan perempuan yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, bahkan Sayidah Zainab as telah mencapai puncak keimuwan.
Ketika krisis tengah mencapai puncaknya, dimana orang terkuatpun tidak memahami apa yang harus dilakukan, Sayidah Zainab as memahami apa yang harus dilakukan. Beliau mendukung Imamnya dan mempersiapkan dirinya untuk syahid. Pasca kesyahidan Imam Husein as, ketika dunia dipenuhi kezaliman dan jiwa manusia dalam kegelapan, perempuan agung ini bak cahaya yang bersinar terang. Sayidah Zainab as telah sampai pada derajat, dimana hanya manusia-manusia agung dalam sejarah kemanusiaan, yakni para nabi, yang telah sampai ke sana.”(
Sirah Kebudayaan Imam Musa Kadzim as
Imam Musa Kadzim as dijuluki dengan Abdus Saleh atau Hamba Saleh, karena kezuhudan dan ibadahnya. Beliau juga dijuluki Kadzim karena kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi kesulitan masa, karena kadzim berarti orang yang meredam amarahnya. Imam Musa Kadzim as, gugur syahid pada tanggal 25 Rajab 183 Hijriah.
Dalam sejarah disebutkan, masa kepemimpinan Imam Musa Kadzim as, adalah masa tersulit dalam kehidupan politik, sosial dan budaya Islam. Dua orang terkuat dari Bani Abbasiah, bernama Mansur dan Harun, serta dua orang paling keji bernama Mahdi dan Harun, berkuasa pada era tersebut. Kala itu, pembunuhan dan pembantaian terjadi berulangkali di wilayah kekuasaan Bani Abbasiah dan banyak gerakan pemberontakan rakyat yang ditumpas.
Di sisi lain, penaklukan wilayah-wilayah baru dan rampasan perang yang melimpah, semakin menambah kekuatan dan kekokohan Bani Abbasiah. Pada saat yang sama, gerakan pemikiran dan keyakinan juga berkembang. Sehingga setiap hari muncul keyakinan baru dalam busana budaya dan mazhab yang masuk dalam masyarakat. Kemunculan keyakinan itu diterima dan bahkan didukung oleh pemerintah Bani Abbasiah.
Syair, seni, fiqih, hadis dan bahkan kezuhudan dan ketakwaan semuanya melayani para penguasa. Suasana yang mencekik juga tidak memungkinan hubungan langsung imam dengan masyarakat di berbagai belahan wilayah Islam. Pada era itu, hanya satu hal yang menjaga Islam tetap pada jalurnya, yaitu kebijaksanaan dan manajemen serta upaya tiada henti Imam Musa Kadzim as.
Dalam kondisi itu, Imam Musa Kadzim as melanjutkan program-program ayahnya Imam Jafar Sadiq as. Guna mencegah penyusupan ateisme serta untuk menjaga tuntutan pemikiran dan ideologi masyarakat, beliau memusatkan upaya-upaya beliau di sektor budaya. Beliau menyampaikan hukum dan maarif Islam di berbagai bidang melalui para sahabat dan murid pilihan.
Ibn Hajar Haitami, seorang ilmuwan dan ahli hadis terkemuka Ahlussunnah dalam kitab “Al-Sawaiq al-Muhriqah” menulis, “[Imam] Musa Kadzim, dia adalah pewaris [Imam] Jafar Sadiq dalam ilmu, makrifat, kesempurnaan dan keutamaan. Dia dijuluki Kadzim karena ketabahannya yang besar. Beliau juga dijuluki dengan Bab al-Hawaij yakni pintu semua hajat. Imam Musa Kadzim as, adalah manusia yang paling penghamba dalam masyarakatnya. Pada masanya, tidak ada yang dapat menandinginya dalam hal makrifat kepada Allah Swt, ilmu pengetahuan dan kedermawanan.”
Amr makruf dan nahyu munkar, adalah dua program penting Islam dan termasuk dalam furuuddin. Al-Quran dan para imam maksum as telah menekankan tentang tugas langit ini. Dua kewajiban itu bukan hanya ada dalam agama Islam, melainkan juga salah satu program pembimbingan terpenting di seluruh agama samawi lainnya. Imam Musa Kadzim as dalam aktivitas budayanya sangat menekankan masalah amr makruf dan nahyu munkar untuk membimbing umat Islam.
Kisah Bishr bin Harits Hafi, adalah contoh nyata dari cara Imam Musa Kadzim as bertabligh. Bishr bin Harits menjalani hidupnya dengan bergelimang dosa dan shahwat. Pada suatu hari, Imam Musa Kadzim as melintasi gang tempat tinggal Bishr, dan ketika beliau tepat berada di depan rumah Bishr, secara kebetulan pintu rumah itu terbuka dan salah satu pembantunya keluar rumah. Imam Musa Kadzim as bertanya kepada pembantu itu, “Apakah tuanmu seorang yang bebas atau hamba?” Sang pembantu itu menjawab: “Bebas”. Imam menggelengkan kepala dan berkata, “Memang seperti yang kau katakan. Karena jika dia adalah hamba maka dia akan beramal dengan kondisi penghambaan dan menaati Tuhannya.”
Setelah mengucapkan itu, Imam Musa Kadzim as melanjutkan perjalanannya. Bishr yang menyaksikan percakapan pembantunya dengan Imam, segera bergegas keluar tanpa sandal dan berlari mengejar Imam. Dia berkata, “Wahai tuanku! Ulangilah padaku apa yang kau katakan kepada perempuan ini.” Kemudian Imam Musa Kadzim as mengulangi ucapannya. Seketika secercah cahaya bersinar dalam hati Bishr dan ia menyesali perilakunya. Dia kemudian mencium tangan Imam Musa Kadzim dan mengusapkan tanah pada pipinya. Diiringi isak tangis dia berkata, “Iya, aku adalah hamba... iya aku adalah hamba.”
Imam telah melaksanakan tugasnya dalam amr makruf dan nahyu munkar dengan baik. Dengan ucapan pendek, beliau telah menyadarkan Bishr dan membalikan hatinya sedemikian rupa sehingga dia bertaubat dan menghabiskan sisa umurnya dalam ketaatan.
Para khalifah Bani Abbasiah menisbatkan diri mereka dengan Rasulullah Saw, untuk melegitimasi kekuasaan mereka dan juga untuk menyusupkan pengaruh spiritualitas dalam masyarakat. Mereka yang berasal dari keturunan paman Rasulullah yaitu Abbas bin Abdul Muthalib, memanfaatkan secara maksimal kekerabatan dengan Nabi Muhammad dan mengklaim diri sebagai khalifah. Mereka juga mengklaim bahwa para imam maksum as, dari keturunan Sayidah Fatimah as, dan mengingat setiap orang dinisbatkan kepada kakek ayah, maka para imam maksum as tersebut bukan putra dan keturunan Rasulullah Saw.
Dengan cara seperti itu, mereka berupaya mengelabuhi opini masyarakat awam. Oleh karena itu, Imam Musa Kadzim as melawan makar mereka dengan bersandarkan pada ayat-ayat al-Quran. Debat beliau dengan Harun al-Rashid, termasuk di antara upaya beliau dalam menjelaskan posisi Ahlul Bait as serta kebenaran dan keutamaan mereka dalam masalah kepemimpinan umat.
Pada suatu hari, Harun al-Rashid bertanya kepada Imam, “Bagaimana Anda mengklaim sebagai putra Rasulullah padahal Anda adalah putra Ali as?” Imam Musa Kadzim menjawabnya dengan membacakan ayat 84 dan 85 surat al-An’am, di mana Allah Swt berfirman:
“...dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang shaleh.”
Kemudian Imam berkata, “Di antara yang disebutkan dari keturunan Ibrahim, hanya Nabi Isa yang dinisbatkan kepada ibunya. Padahal dia tidak memiliki ayah dan masuk dalam nasab para nabi melalui ibunya. Oleh karena itu, kami juga dinisbatkan sebagai keturunan Rasulullah Saw melalui ibunda kami Fatimah az-Zahra (as).”
Menerima jawaban logis Imam, Harun al-Rashid meminta penjelasan lebih lanjut. Kemudian Imam menceritakan peristiwa Mubahalah, di mana Allah Swt dalam ayat 61 surat Al-Imran, berfirman kepada Rasulullah Saw:
“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” Mendengar jawaban tersebut, Harun al-Rashid merasa telah mendapatkan jawaban dan memuji Imam.
Al-Quran adalah anugerah terbesar Allah Swt untuk kebahagiaan abadi umat manusia. Peran penting kitab samawi ini dalam pertumbuhan dan penyampaian manusia pada kesempurnaan sangat jelas. Al-Quran sebagai mukjizat terbesar Rasulullah Saw telah mampu mengubah masyarakat Arab di berbagai bidang sosial, politik dan budaya. Peristiwa ini, khususnya perubahan mendalam di sektor budaya sama seperti penghembusan nyawa baru pada tubuh umat manusia yang telah setengah mati.
Dalam hadits Tsaqalain yang terkenal, Rasulullah Saw telah menekankan kebersamaan itrah dan Ahlul Bait Nabi. Dan Rasulullah Saw telah berjanji bahwa barang siapa yang berpegang teguh pada keduanya maka mereka tidak akan pernah tersesat.
Imam Musa Kadzim as sebagai seorang pembimbing umat, juga sangat menekankan pentingnya al-Quran sebagai sumber hidayah. Bukan hanya menyeru masyarakat untuk membaca dan mengamalkan ayat-ayat al-Quran, melainkan beliau juga terdepan dalam memberikan contoh. Syeikh Mufid dalam kitab Irshad menulis, “Imam Kadzim (as) adalah manusia paling faqih di masanya, dan paling penghapal al-Quran di masanya, serta paling indah dalam berqiraah dalam masyarakat.”
Perhatian Imam Musa Kadzima as terhadap posisi al-Quran tidak hanya terbatas pada dimensi individualnya. Beliau menjelaskan dan menafsirkan al-Quran. Dengan berbagai cara, beliau berusaha meningkatkan pemahaman dan makrifat masyarakat Islam.
Suatu ketika beliau ditanya tentang ayat 19 surat al-Rum yang menyebutkan bahwa bumi akan dihidupkan setelah kematiannya. Beliau menjawab, “Hidupnya bumi bukan dengan hujan, melainkan Allah Swt akan membangkitan manusia-manusia akan menghidupkan keadilan dan bumi akan hidup kembali dengan hidupnya keadilan serta penegakan hukum-hukum Allah Swt di muka bumi lebih bermanfaat dari hujan 40 hari.”
Ufuk Kebahagiaan dalam Risalah Hakiki Muhammad Saw
Pada hari-hari sebelum tanggal 27 Rajab, Muhammad Saw selalu ke gua Hira dan terkadang keberadaan beliau di goa tersebut hingga berhari-hari. Kepada istrinya yang setia Khadijah sa, beliau selalu mengungkapkan kerinduan kepadanya dan berkata, “Kau tahu cinta dan keterikatanku padamu; akan tetapi dalam beberapa hari terakhir ini secara menakjubkan aku ingin tidak ada sesuatu hal lain ada dalam hatiku kecuali mengingat Tuhan Pencipta Semesta.”
Pada akhirnya, malam penuh misteri itu tiba. Sinar rembulan secara perlahan menerangi puncak gunung dan lembahnya di bagian selatan. Mendadak semua tempat dilanda kesunyian penuh misteri. Muhammad Saw menghabiskan malam-malam dengan terjaga. Tidak ada suara pada kegelapan malam itu, akan tetapi kesunyian malam itu sangat berbeda.
Seketika terpancar cahaya dari langit yang menerangi ufuk pandangan Muhammad Saw. Beliau merasakan getaran hebat pada batin dan jasmaninya. Seakan jiwa lembut Muhammad Saw, memiliki kapasitas besar. Setelah itu muncul sosok agung di hadapan Muhammad Saw. Penampilannya penuh wibawa dan bersahaja. Ke mana pun Muhammad menatap, sosok itu selalu ada di hadapannya.
Dia adalah Jibril, sang malaikat penyampai wahyu. Jibril menghampiri Muhammad Saw dan berkata; “Wahai Muhammad, bacalah.” Muhammad Saw menatap tajam. Beliau menyaksikan tulisan di hadapannya. Kemudian terdengar kembali suara, “Bacalah dengan nama Tuhanmu.” Dengan suara bergetar, Muhammad Saw berkata, “Apa yang harus aku baca? Aku tidak dapat membaca.” Dan malaikat itu berkata; “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Seluruh wujud Muhammad Saw terbalut kecintaan samawi dan kemudian beliau mengikuti bacaan sang malaikat itu. “Wahai Muhammad, kau adalah Rasulullah,” demikian suara berwibawa itu kembali terdengar dan menggetarkan jiwa Muhammad Saw.
Apa yang didengar Muhammad Saw? Itu bukan mimpi, karena itu semua sepenuhnya nyata. Adalah kehendak Allah Swt untuk berfirman kepada hamba-Nya dan Muhammad Saw adalah termasuk di antara segelintir hamba Allah Swt yang layak menerima wahyu. Muhammad Saw selalu memikirkan jalan membebaskan masyarakat dari kesesatan dan penyimpangan; dan sekarang beliau harus memikul tugas besar itu.
Apa yang dirasakan Muhammad Saw sungguh tidak dapat terbayangkan. Rasa panas menyelimuti sekujur tubuh beliau. Pundak beliau bergetar. Beliau ingin bangkit namun tidak mampu. Seketika beliau meletakkan dahi ke tanah dan tanpa sadar beliau menangis. Pada malam penuh misteri itu, yaitu malam 27 Rajab, Muhammad Saw diangkat sebagai Nabi.
Semua Rasulullah, diutus Allah Swt untuk membimbing umat manusia dari kegelapan, kebodohan dan keragu-raguan, menuju cahaya ilmu dan makrifat. Meski demikian, masing-masing mereka menggunakan cara yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi di masanya.
Masalah penting dalam pengaruh dan perluasan agama Islam, berkaitan dengan keutamaan dalam kepribadian dan juga pesan Rasulullah Saw. Ayat-ayat al-Quran memuat maarif yang sangat edukatif dan bernilai. Maarif al-Quran, membuka jalan bagi penerimaan logika dan menghapus seluruh keraguan dan keambiguan dalam benak umat manusia. Kini, kriteria itu pula yang mengundang keinginan dan perhatian para pencari Islam.
Rasulullah Saw telah menyampaikan pesan-pesan beliau bersama logika dan argumentasi, juga dengan bahasa yang fasih dan indah. Beliau menyampaikan seruan penghambaan kepada Allah Yang Maha Esa dengan sangat indah. Allah Swt yang menciptakan langit, bumi dan alam semesta. Rasulullah Saw berulangkali menyebutkan tanda-tanda wujud Allah Swt dan mengarahkan manusia pada wujud Sang Pencipta.
Berbagai konsep seperti pencarian kebenaran, perwujudan keadilan, hubungan sehat dan manusiawi yang terkandung dalam pesan-pesan luhur Nabi Muhammad Saw, menjawab tuntutan alami dan fitrah manusia. Hati dan jiwa kembali tersegarkan dengan seruan tersebut serta menuntun mereka menuju kehidupan bahagia. Jelas bahwa jika maarif Islam tidak memiliki kriteria dan keutamaan tersebut, maka tidak akan ada dukungan dalam dakwah. Namun pada kenyataannya, apa yang disampaikan Rasulullah Saw diterima hati dan akal masyarakat.
Masalah penting dalam agama Islam, yang sangat ditekankan dan menjadi tujuan luhur dakwah Rasulullah Saw adalah pengajaran dan pembimbingan. Mendorong masyarakat dan upaya untuk memperluas ilmu pengetahuan dan makrifat, di samping bimbingan jiwa dan batin. Allah dalam al-Quran dalam ayat 2 surat al-Jum’ah, berfirman: Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
Dengan demikian, Rasulullah Saw ditugaskan untuk membaca ayat-ayat al-Quran untuk membersihkan jiwa masyarakat dari debu-debu syirik dan keyakinan batil, serta menghiasinya dengan akhlak mulia. Sebagaimana yang dalam hadits Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” Oleh karena itu, salah satu tujuan terpenting pengutusan Rasulullah Saw, sebagaimana yang disebutkan al-Quran adalah penyucian dan pembimbingan masyarakat dalam rangka mengaktifkan dan mengembangkan potensi besar manusia. Dalam proses pembimbingan tersebut, hubungan antara manusia dan Allah Swt dalam masyarakat Islam juga akan terislahkan.
Rasulullah Saw adalah teladan bukan hanya dalam ucapan melainkan juga dalam amal perilaku. Rasulullah Saw lebih menekankan dirinya untuk melaksanakan ajaran agama Islam lebih dari orang lain. Akhlak yang mulia dan perilaku yang terpuji dan penuh kasih sayang beliau, menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk mengikuti seruan Rasulullah. Oleh karena itu, akhlak mulia Rasulullah Saw yang menarik perhatian masyarakat jahil Arab dan membimbing mereka ke jalan Allah Swt.
Masa paling sulit dalam dakwah Rasulullah Saw, adalah pengubahan dan penghapusan keyakinan kaum Arab dan musyrikin. Mereka kebanyakan adalah orang-orang fanatik. Untuk berhasil dalam misi dakwahnya, Rasulullah Saw sangat menekankan beberapa poin penting. Beliau tetap menjaga kehormatan dan kemuliaan setiap manusia bahkan orang-orang paling fanatik sekali pun. Beliau berupaya untuk menciptakan situasi tenang dan jauh dari gejolak, dalam menyampaikan pesan risalah. Rasulullah Saw menghindari mencemooh orang-orang jahil dan bahkan beliau tidak mengolok mereka jika terpaksa berdebat. Pada kesempatan berbeda, beliau berusaha mengajak mereka berdialog kembali. Dalam menyampaikan pesan kebenaran, biasanya Rasulullah Saw memulai dari titik yang juga diterima oleh pihak lawan. Cara tersebut digunakan Rasulullah Saw khususnya dalam menghadapi para pemeluk agama samawi.
Rasulullah Saw selalu menyesuaikan dakwah beliau dengan kapasitas dan kemampuan penalaran audien. Beliau juga berinteraksi dengan seluruh usia. Terkadang dengan senyum manis dan juga tatapan tajam, Rasulullah Saw mempersiapkan hati pihak seberang untuk menerima pesan dakwah beliau.
Sekarang, di masa-masa penuh kesulitan dan bencana ini, kita menyaksikan pembantaian umat Islam oleh para manusia era Jahiliyah. Dan pada peringatan Bi’tsah Rasulullah Saw ini, mari kita semua merujuk pada ajaran Islam hakiki, damai dan penyegar jiwa-jiwa manusia.
Mengenal Karakteristik Unggul Imam Husein as
Kota Madinah pada 3 Sya’ban tahun 4 Hijriah menjadi tuan rumah kelahiran anak dari keluarga Nabi. Keluarga yang kerap disebut Rasulullah sebagai Ahlul Bait Nabi pasca turunnya ayat Tathir. Nabi pun senantiasa mengucapkan salam kepada keluarga ini. Di hari yang berbahagia tersebut, Nabi berdiri di samping pintu rumah Fatimah. Beliau menunggu terbitnya cahaya Husein as. Ketika dunia diterangi cahaya suci Husein, nabi kemudian berkata, Asma’ bawa kesini anakku! Asma’ menjawab, Ya Rasulullah! Aku belum membersihkan bayi ini dan menyiapkannya. Dengan penuh keheranan Nabi bertanya, Kamu membersihkannya? Asma’ kemudian memandang Nabi dan akhirnya ia memahami pertanyaan beliau. Asma’ pun membawa Husein kepada Rasulullah. Nabi kemudian merangkul cucunya, menciumnya dan secara perlahan berbicara kepadanya.
Husein adalah kecintaan Rasulullah. Ia akan tenang ketika dalam pelukan Nabi dan hati Rasulullah akan gembira saat bertemu dengan Husein. Masa kecil Husein dilalui dengan kenangan manis bersama kakek tercintanya, Rasulullah. Terkadang pundak Rasulullah menjadi tempat duduk Husein dan terkadang tangan beliau menggandeng sang cucu kesana kemari. Semua orang menyaksikan ciuman Rasulullah ke wajah Husein. Nabi berbicara dengan Husein menggunakan bahasa anak-anak serta sangat menyayanginya.
Terkait kasih sayangnya yang besar terhadap Husein, Nabi dengan transparan menjelaskan, “Kasih sayang yang Aku limpahkan kepada Husein, lebih besar lagi dari apa yang kalian saksikan.” Sabda Nabi ini telah mengarahkan manusia pada hakikat bahwa kasih sayang yang dilimpahkan Rasulullah kepada anak kecil ini, bukan sekedar kecintaan keturunan dan keluarga, namun sebuah kecintaan Ilahi. Telah jelas bahwa Nabi bukan manusia biasa. Menurut al-Quran, seluruh perilaku dan ucapan Nabi bukan bersumber dari pribadi dan hawa nafsu, seperti yang dijelaskan dalam Surat An-Najm ayat 3-4 yang artinya, “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Oleh karena itu, Allah Swt berfirman dalam Surat al-Ahzab ayat 21 yang artinya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” Kecintaan besar Rasulullah Saw kepada Husein banyak dimuat di berbagai kitab, bahkan kitab-kitab dari Ahlu Sunnah pun banyak menukilnya.
Di antaranya adalah sebuah riwayat yang menyebutkan, sekelompok orang bersama Rasulullah pergi bertamu, Nabi pun berjalan di depan dan mendahului kelompok ini. Di tengah jalan, Nabi bertemu dengan Husein. Nabi ingin memeluk Husein, namun cucunya tersebut lari kesana kemari. Nabi menyaksikan tingkah laku cucunya dan kemudian mengejarnya. Ketika berhasil memegang Husein, Rasul kemudian memeluk dan menciumnya. Selanjutkan Nabi menghadap kepada masyarakat dan bersabda, “Husein dariku dan Aku dari Husein. Siapa saja yang mencintai Husein, maka Allah akan mencintainya.” (Hadis ini diriwayatkan dari Musnad Ahmad jilid 4, Sunan Ibnu Majah jilid 1 dan Manaqib Ibn Sharashub jilid 3)
Imam Husein memiliki karakteristik unggul di berbagai dimensi. Imam bahkan unggul dari manusia lain di seluruh kesempurnaan, keutamaan dan ibadah. Imam Husein memiliki ibadah dan penghambaan khusus, karena sejak masih berada di kandungan ibunya, Fatimah as hingga kepala beliau dipenggal oleh jahiliyah Umawiyah, Imam Husein senantiasa sibuk dengan memuji dan bertasbih kepada Allah Swt serta bacaan al-Quran terus terdengar dari mulut suci beliau. Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad, putra beliau menceritakan tentang ibadah sang ayah dan bersabda, “Ayahku, Husein bin Ali bin Abi Thalib menghabiskan waktu malamnya dengan ruku’, sujud dan berdoa kepada Allah Swt. Setiap malam, ayahku banyak mengerjakan shalat.”
Imam Husein adalah penjaga ajaran agama dan sunnah Rasulullah. Beliau dengan gigih memajukan tujuan dan misi suci Islam. Salah satu karakteristik Imam Husein adalah cinta kebebasan dan membenci kezaliman. Beliau adalah pahlawan yang tidak pernah bersedia berdampingan dengan kezaliman dan depotisme. Beliau dikenal sebagai peletak metode kebebasan dan nilai-nilai kemanusiaan, di mana seluruh pencinta kebebasan dan anti kezaliman serta pejuang di jalan keadilan harus mengambil teladan darinya.
Sikap anti kezaliman dan keberanian Imam Husein tercermin nyata ketika dipaksa untuk berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah yang jelas-jelas fasid dan melakukan dosa secara terang-terangan. Beliau bersabda, “Husein tidak akan tunduk pada kehinaan...”Menghormati kepribadian seseorang merupakan karakteristik unggul lain Imam Husein. Dalam hal ini Imam akan berbuat sedemikian hati-hati dalam menegur kesalahan orang lain sehingga orang tersebut tidak akan merasa malu akan kesalahannya tersebut.
Diriwayatkan bahwa Imam Husein menyaksikan seseorang melakukan kesalahan dalam berwudhu dan orang tersebut membutuhkan bimbingan wudhu yang benar. Namun karena takut membuat malu orang tersebut, Imam akhirnya memikirkan cara yang lebih baik supaya tidak menyinggung orang ini. Imam Husein kemudian mengajak saudaranya, Imam Hasan as untuk berlomba wudhu dan meminta orang tersebut sebagai wasit. Dengan demikian Imam telah memberikan pelajaran wudhu yang benar secara tidak langsung kepada orang ini.
Akhirnya orang tersebut memahami kesalahannya dan mendapat pelajaran wudhu yang benar. Orang tersebut berkata kepada kedua cucu Rasulullah, “Kalian berdua telah wudhu dengan benar, dalam hal ini Aku yang keliru dan tidak memahami kewajibanku dengan benar. Kalian berdua dengan tepat telah memberi pelajaran kepadaku bagaimana wudhu yang benar.”
Imam Husein juga terkenal sangat menghormati hak-hak orang lain. Diceritakan seorang bernama Abdurrahman telah mengajari surat al-Fatihah kepada salah satu anaknya, kemudian Imam memberinya hadiah seribu dinar dan seribu pakaian serta berbagai hadiah lainnya. Orang tersebut sangat takjub dengan pemberian Imam. Imam Husein yang menyaksikan kondisinya, lantas berkata, “Semua hadiah ini tidak berarti dengan apa yang telah kamu lakukan.”
Karakteristik lain Imam Husein as adalah kelembutan beliau kepada orang lain dan suka bersahabat, khususnya kepada mereka tertimpa kemurungan dan kesedihan dalam mengarungi kehidupan yang pasang surut ini, atau mereka menghadapi kesulitan besar dan menemui jalan buntu. Diceritakan Imam Husein pergi mengunjungi Usamah bin Zaid. Sesampainya di rumah Usamah, Imam menyaksikannya dalam kondisi murung dan sedih. Imam kemudian bertanya kepada Usamah apa yang menyebabkannya terlihat begitu sedih. Usama pun kemudian mengungkapkan kesedihannya dihadapan Imam Husein.
Usamah berkata, “Aku memikul hak orang lain di pundakku. Aku berhutang kepada orang lain dan Aku berharap selama masih hidup mampu mengembalikan hutang tersebut. Aku tidak ingin mati dengan membawa beban hutang.” Setelah mendengar penuturan Usamah, Imam Husein langsung memerintahkan untuk melunasi hutang Usamah. Saat itulah, Usamah dengan hati lapang meninggalkan dunia yang fana ini.
Salah satu karakteristik unggul lain Imam Husein adalah infak secara ikhlas baik itu infak secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, kepada orang yang tak dikenal atau tidak. Malam hari Imam Husein tak segan-segan memanggul bahan makanan dan kebutuhan hidup bagi mereka yang membutuhkan dan anak-anak yatim serta meletakkannya di depan pintu rumah mereka.
Oleh karena itu, di hari Asyura, terlihat bekas-bekas di pundak beliau yang menunjukkan bahwa beliau sering memanggul barang berat. Ketika Imam Sajjad ditanya sebab dari bekas-bekas tersebut, beliau berkata, “Itu adalah bekas dari memanggul sedekah dan hadiah secara sembunyi-sembunyi yang dipikul ayahku pada malam hari dan diberikan kepada anak yatim serta orang-orang miskin.”
Abul Fadhl, Teladan Pengorbanan dan Sifat Ksatria
Tanggal 4 Sya’ban adalah hari kelahiran Abul Fadhl Abbas, putra Ali bin Abi Talib. Abul Fadhl memiliki raut muka yang tampan dan didukung pula dengan akhlaknya yang mulia. Baik luar maupun dalam, Abul Fadhl adalah sosok penuh daya tarik dan menonjol. Sisi luarnya merupakan cermin dari batinnya. Wajahnya yang gemilang bak bulan yang bersinar terang. Di antara keturunan Bani Hasyim, Abul Fadhl seperti bulan yang terang, sehingga dijuluki Qomar Bani Hasyim.
Hari ke empat bulan Sya'ban tahun 26 Hijriah, kota Madinah seakan-akan mendapat pancaran cahaya ilahi dengan kelahiran Abbas putra Ali bin Abi Talib as. Bayi yang baru lahir ini dikemudian hari akan tercatat dalam sejarah berkat keberanian dan pengorbanannya yang tinggi bagi kejayaan Islam serta nilai-nilai kemanusiaan. Bukan hanya umat Islam yang bangga dengan Abbas bin Ali bin Abi Talib, orang-orang kafir pun merasa bangga terhadap putra Ali yang satu ini.
Ketika berita kelahiran Abbas disampaikan kepada Ali bin Abi Talib, beliau bergegas pulang ke rumah dan dengan hangat memeluk sang bayi. Wajah bayi yang baru melihat dunia ini mendapat hujanan ciuman dari sang ayah. Dengan khidmat Imam Ali mengumandangkan azan di telinga kanan anaknya dan iqomah di telinga kirinya. Kemudian Imam Ali memberikan infak kepada mereka yang membutuhkan demi keberkahan anaknya.
Sang ayah menyaksikan cahaya ilahi dalam wajah anaknya khususnya sifat ksatria dan gagah berani dengan jelas terpancar dari tubuh bayi tersebut. Oleh karena itulah Imam Ali memberikan nama bayi ini Abbas yang artinya singa. Di kemudian hari bayi ini cemerlang hidupnya dan tidak pernah menyerah pada kezaliman khususnya di saat kezaliman memenuhi kehidupan manusia. Imam Ali dengan teliti mendidik dan membesarkan Abbas dengan membekalinya keimanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Imam Ali memperlakukan Abbas serupa dengan anak-anaknya yang lain dan beliau tidak pilih kasih dalam mendidik anaknya.
Abul Fadhl juga mendapat kesempatan untuk menimba ilmu dan nilai-nilai kemanusiaan dari dua penghulu pemuda surga, Imam Hasan dan Husein, cucu Rasulullah Saw dan sekaligus saudara seayahnya. Kedekatan Abul Fadhl dengan cucu Rasulullah khususnya Imam Husein membuat dirinya banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat mulia Abu Abdillah, Husein bin Ali bin Abi Talib.
Imam Husein yang melihat dengan jelas sifat-sifat mulia yang dimiliki Abul Fadhl membuat beliau sangat menyayangi saudaranya ini. Kedekatannya dengan cucu Rasulullah membuat Abul Fadhl mencapai tingkat kesempurnaan relijius dan menjadikannya manusia saleh. Upaya tak kenal lelah Abul Fadhl membela sesamanya dan pengorbanannya demi mensukseskan cita-citanya telah membuat umat manusia tercengang dan namanya bersinar terang sepanjang sejarah.
Abul Fadhl selama 14 tahun berada di bawah didikan langsung ayahnya, Ali bin Abi Talib as, bahkan disebutkan pula remaja keturunan manusia suci ini kerap turut andil di peperangan selama ayahnya menjadi khalifah umat Islam. Bahkan para sejarawan berlomba menceritakan kepahlawanan serta keberanian remaja ini di perang Siffin. Ketika pasukan Muawiyah memblokade sumber air dan pasukan Imam Ali mulai kekurangan suplai air minum, Imam Ali memerintahkan pasukannya untuk mendobrak penjagaan musuh terhadap sumber air. Di antara pasukan tersebut terlihat Abbas kecil bersama saudaranya Imam Husein yang berlomba menghalau pasukan musuh dan merebut sumber air.
Abul Fadhl tidak hanya terkenal karena keberaniannya di medan perang. Pemuda Ahlul Bait ini juga dikenal memiliki ideologi khusus di proses politik yang tengah berlangsung di tengah masyarakat sehingga beliau dengan jelas memahami antara kekafiran dan kemunafikan. Di kepribadian beliau terkumpul berbagai sifat mulia, kehidupan sederhana, ibadah dan ketinggian ilmu.
Keberanian, pengorbanan dan sifat ksatria tercermin kental dalam sosok Abul Fadhl, putra Ali bin Abi Talib. Sifat-sifat tersebut membuat namanya abadi dan menjulang tinggi. Dengan mengibarkan nilai-nilai kemanusiaan, moral, kebenaran dan keadilan, Abul Fadhl telah melakukan perombakan besar-besaran ideologi dan moral masyarakat. Sejarah memiliki tokoh-tokoh pemicu perubahan cukup banyak. Namun sosok Abul Fadhl memiliki keunikan tersendiri dalam melakukan perubahan di tengah masyarakat. Apa yang dilakukan oleh putra Ali ini bersumber dari keikhlasan dan kecintaan. Oleh karena itu, perjuangannya untuk mencapai keadilan, kebenaran dan keimanan dibarengi dengan kesabaran.
Mengenai keutamaan Abbas, Imam Jakfar Shadiq as berkata, "Pamanku Abbas bin Ali memiliki pandangan yang tajam dan iman yang tebal. Ia senantiasa berada di samping Abu Abdillah Husein dan berjuang bersamanya. Abul Fadhl berhasil lulus dalam ujian dan meneguk cawan syahadah." Adapun terkait kedudukan Abbas bin Ali, Imam Jakfar as berkata," Segala puji bagi Allah Swt dan para malaikat-Nya. Salam sejahtera bagi para nabi dan orang-orang saleh. Salam bagi seluruh syuhada dan orang-orang yang jujur. Salam sejahtera bagi Abbas bin Ali bin Abi Thalib."
Pada kesempatan lain, Imam Shadiq as menjelaskan tentang keberanian dan pengorbanan Abbas bin Ali, dan berkata, "Aku bersaksi bahwa engkau (Abbas bin Ali) telah melaksanakan tugas amar ma'ruf dengan sempurna, dan engkau telah menjalankan hal itu dengan seluruh kemampuanmu. Aku bersaksi bahwa engkau tidak pernah membiarkan rasa lemah, takut, dan ragu-ragu menguasai dirimu, dan engkau memilih jalanmu hanya berdasarkan kesadaran dan pandangan hati. Engkau mengikuti jejak orang-orang saleh dan para nabi."
Keberanian dan pengorbanan Abbas ini lahir dari makrifat dan pengetahuannya tentang agama dan cita-cita Ilahi. Kematangan pengetahuan itu membuat beliau rela berkorban di jalan Allah Swt. Abbas belajar dari ayahnya bahwa hidup harus memiliki tujuan. Karena itu alangkah mulianya jika hidup manusia dibaktikan di jalan Ilahi dalam menyebarkan dan meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan dan memerangi kemungkaran dan ketidakadilan.
Keimanan dan ketakwaan merupakan kunci kemenangan para tokoh dalam menghadapi musuh-musuh Allah Swt. Abbas telah menghiasi diri dengan sifat tersebut dan sejak kecil membangun hubungan mesra dengan Sang Pencipta. Gairah iman dan takwa beliau selalu berkobar di sepanjang masa hidupnya, sehingga prilaku dan tindakan beliau senantiasa dihiasi dengan akhlak mulia. Dari segi keilmuan dan spiritualnya, Abbas bin Ali dikenal sebagai tokoh yang amat bertakwa, berperilaku saleh dan menjadi kepercayaan masyarakat. Siapapun yang mengenalnya niscaya mengakui beliau sebagai seorang yang bijak dan mulia. Sikapnya yang terbuka dan ramah membuat siapapun tertarik kepada beliau.
Mengingat keilmuannya yang tinggi, Abbas selalu menjadi rujukan masyarakat dan tumpuan mereka dalam mendiskusikan berbagai masalah. Ia juga dikenal memiliki pengetahuan agama yang mendalam, baik di bidang fiqih maupun akidah. Abul Fadhl atau Abbas bin Ali dijuluki pula sebagai Babul Hawaij (Seseorang yang memenuhi keinginan dan keperluan orang lain) lantaran kebiasaan beliau yang selalu membantu dan menolong orang yang memerlukan.
Sikap rela berkorban adalah karakter utama kepribadian Abbas bin Ali. Pengorbanan agungnya itu ia pentaskan dengan begitu indahnya di medan Karbala. Hingga masa-masa akhir hidupnya, ia masih menjadi penolong setia Imam Husein as. Sampai-sampai tiap kali nama Imam Husein as disebut dalam mengenang peristiwa Asyura, maka nama Abul Fadhl pun akan terucap pula. Abbas bin Ali adalah pembawa panji pasukan Imam Husein as dalam peristiwa kebangkitan Karbala.
Imam Jakfar as meriwayatkan dari Nabi yang bersabda, “Sifat ksatria umatku memiliki sepuluh tanda, jujur, suka memenuhi janji, melaksanakan amanat, tidak berbohong, menyantuni anak yatim, mengeluarkan infak dari rejeki yang ia terima, suka berbuat baik, senang menerima tamu, baik hati serta memiliki rasa malu.”