کمالوندی

کمالوندی

Minggu, 05 Juni 2022 16:45

Sayid Ali Tabatabai

 

Sayid Ali Tabataba'i ulama dan faqih terkenal di abad 13 Hijriah. Ia dilahirkan pada bulan Rabiul Awwal 1161 H di kota Kadhimiya, Irak.

Kakeknya adalah Abu al-Ma'ali Kabir dari Sadat (Sayid) Hasani Isfahan yang berhijrah ke Karbala dan memiliki jasa besar terhadap komunitas Syiah. Ibunya adalah saudari Allamah Vahid Behbahani dan mendapat didikan di keluarga yang terkenal keilmuan dan akhlaknya.

Di masa mudanya, Sayid Ali memulai pelajaran agamanya dan dalam waktu singkat kecerdasannya menarik perhatian Allamah Vahid Behbahani. Allamah yang termasuk paman dari Sayid Ali meminta anaknya Mohammad Ali Behbahani yang menjadi salah salah satu guru Hauzah untuk bertanggung jawab mendidik Sayid Ali dan mengajarinya pelajaran fiqih. Setelah beberapa waktu, pemuda yang rajin dan bertakwa ini menjadi yang terbaik dari teman-teman sekelasnya dan menghadiri pelajaran Allamah Vahid Behbahani, dan dalam waktu singkat, ia mencapai tingkat ijtihad.

Sayid Ali mengalami banyak kesulitan dan kepahitan dalam menuntut ilmu, tetapi dia tidak menyerah dan diriwayatkan bahwa dia sangat tertarik untuk memperoleh pengetahuan sehingga dia terus-menerus berdoa kepada Tuhan untuk kesuksesan dalam pendidikan. Para sesepuh percaya bahwa banyak kesuksesan Sayid Ali adalah hasil dari doanya yang tulus kepada Tuhan, karena ternyata masa studinya tidak cukup lama untuk mencapai peringkat setinggi itu dalam waktu yang singkat. Namun dengan segala kendala dan hambatan tersebut, beliau mencapai derajat yang tinggi dalam ilmu pengetahuan dan menjadi terkenal pada umumnya dan khususnya, dan ini adalah buah dari jerih payah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa.

Sayid Ali Tabatabai memiliki keahlian yang cukup dalam bidang fiqih, usul fiqih dan hadits, tetapi ia lebih mahir dalam ilmu usul daripada ilmu-ilmu lainnya. Namun, karena penulis buku Riyad, yang memiliki konten yurisprudensi, ia dikenal sebagai "Sahib Riyad" dan dengan demikian menjadi lebih dikenal sebagai ahli hukum (Faqih).

Sayid Ali Tabatabai, seperti ulama besar Islam lainnya, melakukan upaya besar untuk menjelaskan dan menyebarkan agama Islam dan memperkuatnya. Dia mempromosikan agama dengan sekuat tenaga dan menggunakan semua cara yang diperlukan dengan cara ini. Kegiatan terpentingnya di bidang ini adalah mendidik para ulama besar Islam. Di bawah komando gurunya, Vahid Behbahani, ia mengajar di Karbala dan mendidik para siswa secara ilmiah dan akhlak. Di hadapan ulama Syi'ah ini, dibesarkan banyak ilmuwan dan sesepuh yang terkenal dengan ilmu, kesempurnaan dan keutamaannya.

Di antara murid-muridnya adalah Syekh Abu Ali, penulis buku "Muntaha al-Maqal", Syekh Assadollah Dezfuli, penulis buku "Miqbas al-Anwar", Hojjatul Islam Rashti, Pendiri Masjid Sayid Isfahan, Javad bin Mohammad Hosseini Ameli, penulis buku “Miftah al-Karamah fi Sharh-i Qawaid al-Allamah” dan Mohammad Taqi Shahid Barghani Qazvini penulis buku “Al-Majalis”.

Sayid Ali Tabatabai selain mendidik para mubaligh, ahli hadis dan ahli fiqih, juga meninggalkan banyak karya tulis. Kitab karya terkenal Sayid Ali adalah Riyad al-Masail fi Bayan al-Ahkam bi al-Dalail, yang ringkasnya disebut Riyad al-Masail. Karya besar dan penting ini ditulis untuk menjelaskan kitab Mukhtasar al-Nafi', karya Muhaqqiq Awal. Kitab ini dalam bentuk buku lengkap fiqih argumentatif (Fiqih Istidlali) dan mencakup pendapat paraulama besar seperti Sheikh Tusi, Sheikh Saduq, Allamah Hilli, Syahid Awal, Syahid Tsani, Qadi Saiduddin, Kulaini, Mohammad Baqir Sabzewari, Tabarsi, Rawandi, Fadhil Meghdad, Fakh al-Muhaqqiqin, Moghadas Ardabeli dan ulama besar lainnya.

Sayid Ali di kitabnya ini pertama-tama mengajukan pertanyaan berkaitan hukum (fiqih) dan menjelaskan maksud dari materi dengan menyebutkan berbagai pendapat dan argumentasi. Ia dengan penjelasan yang natural dan sederhana tapi argumentatif dan kuat, mulai mengkritiknya dan kemudian untuk membuktikan fatwanya, ia bersandar pada argemuntasi syar'i. Gaya dan urutan penulisan kitab ini membuat pembaca tidak akan mudah lelah atau bosan. Oleh karena itu, selama bertahun-tahun, kitab ini menjadi kurikulum utama Hauzah Ilmuah dan saat ini termasuk kitab rujukan dan banyak diteliti oleh para ulama dan faqih. Urgensi kitab ini membuat Sayid Ali diberi gelar Sahib Riyad.

Karya penting lain Sayid Ali adalah kitab al-Risalah al-Bahiyyah. Buku ini ditulis untuk menolak ideologi dan pandangan Akhbari. Sayid Ali berjuang melawan ideologi radikal dan menyimpang yang muncul di tengah masyarakat Islam seperti Akhbari dengan ucapan, pelajaran dan karya tulisnya. Terkadang Sayid Ali juga tak segan-segan berdialog dan berdebat dengan pemilik berbagai ideologi dan menyadarkan mereka akan kesalahan pemikiran mereka.

Kitab al-Risalah al-Bahiyyah yang ditulis Sayid Ali untuk menghadapi ideologi semacam ini. Kaum Akhbari meyakini hanya dengan merujuk al-Quran dan Hadis dalam mempelajari hukum dan meyakini tafsir dan pemahaman al-Quran hanya dapat diraih melalui penjelasan para Imam Maksum. Oleh karena itu, sumber hukum menurut mereka hanya al-Quran dan Hadis. Berlebihan di pemikiran ini, dikenal dengan anti-akal yang kemudian membangkitkan penentangan dari ulama ushuli.

Ulama Ushuli meyakini bahwa di masa ghaib Imam Maksum as, upaya untuk mengupas dan memahami hukum agama harus melalui sumber lain termasuk akal yang sehat, dan dengan bantuan ushul dan kaidah, maka hukum agama dapat dikeluarkan dan dipahami. Proses ini disebut ijtihad yang ditentang oleh kelompok Akhbari. Sejumlah ulama besar Syiah seperti Allamah Majlisi, Shekh Hurr Amili dan Faiz Kashani termasuk ulama Akhbari moderat, di mana sisi moderatnya membuat mereka tidak masuk ke dalam kelompok yang berlebihan, bahkan mereka memberi jasa besar bagi dunia Syiah.

Sahib Riyad memiliki jasa besar di bidang sosial dan kemasyarakatan. Ia pada tahun 1217 H membangun tembok besar di sekeliling kota Karbala untuk bertahan menghadapi serbuan kaum Wahabi. Ia juga membentuk pasukan dan menempatkan kabilah Syiah yang memiliki fisik kuat dan spirit bertempur, di kota Karbala sehingga memiliki kemampuan untuk membela kota dari para penyerbu Wahabi.

Wahabi yang dikenal sebagai sebuah kelompok sesat dan menyimpang di antara umat Islam, menyebut kafir kelompok Muslim lainnya baik itu Syiah maupun Sunni. Mereka juga menganggap selain mereka sebagai kelompok di luar agama. Dengan pemikiran dan ideologi keliru dan di luar kemanusiaan ini, Wahabi melakukan kejahatan besar terhadap Muslimin. Contoh dari ideologi ini kini dapat disaksikan di teroris Daesh (ISIS).

Ulama Islam dari Sunni dan Syiah sejak awal kemunculan Wahabi melawan kelompok ini dan ideologinya dengan keras, namun mengingat ideologi non-Islam ini mendapat dukungan finansial dan politik besar-besaran dari musuh Islam, khususnya penjajah Barat, maka kelompok ini mampu mempertahankan eksistensinya sepanjang zaman dan memberi pukulan keras terhadap masyarakat Muslim. Salah satu kejahatan sadis Wahabi adalah menyerang Karbala tahun 1216 H di mana ribuan orang Syiah baik perempuan, pria dan anak-anak gugur syahid.

Ketika Sahib Riyad mencapai posisi marja Syiah, khumus dan zakat kaum Syiah diserahkan kepada beliau. Khumus dan zakat adalah kewajiban finansial yang ditetapkan Islam kepada umat Muslim, sehingga dengan ini urusan Muslimin dikelola dengan lebih baik. Sahib Riyad memanfaatkan dana ini untuk kemaslahan sosial dan hal-hal umum umat Islam. Dengan dana ini Sayid Ali juga membeli banyak rumah dan kebun serta diserahkan kepada mereka yang membutuhkan. Di antara pelayanan sosial beliau adalah membangun tempat-tempat keagamaan, memberbaiki dan mengembangkannya. Contoh nyata dari jasa ini adalah membangun Masjid Jami' Karbala. Masjid ini dibangun di dekat pasar besar Karbala dan di tahun 1220 H proses pembangunannya selesai.

Sahib Riyad memiliki akhlak dan sifat terpuji dan membuatkan unggul dari yang lain. Ulama zaman itu, menyebut Sayid Ali tak ada duanya dari sisi akhlak dan spiritual. Mereka juga banyak memujinya. Salah satu karakteristik akhlak beliau adalah teliti dalam menjaga hak manusia dan mendorong masyarakat untuk berbuat serupa. Diriwayatkan bahwa suatu hari Sayid Ali menolak untuk mengerjakan shalat berjamaah. Para jamaah kemudian mendatangi beliau dan bertanya mengenai alasannya.

Sayid Ali saat menjawab pertanyaan ini berkata, "Hari ini saya ragu terkait keadilanku. Oleh karena itu, aku tidak dapat menjadi imam shalat." Kemudian masyarakat bertanya, mengapa Anda meragukan keadilanmu sendiri? Sayid Ali berkata, putri guruku Vahid (istri Sayid Ali Tabatabi) berkata kepadaku sehingga aku kehilangan kontrol diriku dan aku berkata kepadanya, apa yang kamu katakan tentangku akan kembali kepadamu. Oleh karena itu, aku meragukan keadilanku. Dengan demikian aku tidak dapat menjadi imam shalat jamaah kalian.


Sahib Riyad tidak menjadi imam jamaah untuk beberapa waktu, sampai istrinya meridhainya dan memaafkannya. Berdasarkan hukum Islam, imam shalat jamaah harus memiliki syarat seperti baligh, berakal, dan adil. Adil adalah ia menjauhkan diri dari dosa dan kemungkaran (tidak fasiq). Di kisah ini terpendam keindahan akhlak mazhab Ahlul Bait as.

Akhirnya ulama besar Syiah, Sayid Ali Tabatabai setelah hidup penuh berkah selama 70 tahun, akhirnya memenuhi panggilan sang Pencipta tahun 1231 H di Karbala. Jenazah ulama besar ini dikebumikan di dekat makam Allamah Vahid Behbahani di serambi komplek Haram Imam Husein as.

"ولَن یَهْلِکَ عالِمٌ إلّا بَقِیَ مِن بَعدِهِ مَن یَعلَمُ عِلمَهُ أو ما شاءَ اللّه ُ"

"Seorang ulama (alim) tidak akan meninggal, kecuali setelahnya ada seseorang yang mengetahui ilmunya atau apa yang Tuhan kehendaki."

Minggu, 05 Juni 2022 16:44

Mirza Abolghasem Gilani (2)

 

Mirza Abolghasem Gilani atau dikenal dengan Mirza-ye Qomi penulis buku Qawanin al-Usul yang selama bertahun-tahun menjadi mata pelajaran utama hauzah ilmiah Syiah.

Mirza Qomi memiliki sifat-sifat dan akhlak mulia seperti berusaha keras dalam menuntut ilmu, sangat perhatian terhadap urusan umat muslim serta berani dalam menjelaskan kebenaran dan membelanya. Ilmu dan perilaku mulianya juga sangat berpengaruh dalam membimbing masyarakat dan pemerintah.

Salah satu karya penting Mirza Qomi adalah Ershade Nameh (Surat Bimbingan). Ulama besar Syiah ini dikenal sebagai sosok yang tak kenal lelah dalam memberi nasehat dan petunjuk serta amar makruf nahi munkar. Tanpa kenal takut kekuasaan dan dominasi para penguasa Qajar, beliau kerap memberi nasehat para raja dan memperingatkan supaya mereka tidak tenggelam dalam kezaliman dan bergelut dengan kekafiran dan penyimpangan agama. Ulama besar ini memiliku dua karya surat nasehat yang ditujukan kepada para penguasa Qajar yang sampai ke tangan kita saat ini. Salah satu surat tersebut ditulis ketika Mirza Qomi berusia 50 tahun dan ditujukan kepada Agha Mohammad Khan Qajar dan yang lain ditulis ketika ia berusia 80 tahun dan ditujukan kepada Fath Ali Shah Qajar. Kedua surat tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Ershad Nameh Mirza-e Qomi. Dan dicetak dengan nama ini.

Sepertinya surat pertama Ershad Nameh ditujukan kepada Agha Mohammad Khan Qajar, raja pertama dan pendiri Dinasti Qajar. Agha Mohammad Khan, seorang raja yang berhati dingin, meski ia memiliki kecenderungan terhadap agama, tapi mengingat kekurangan dan penyimpangan keyakinan serta tidak mendapat pendidikan yang benar terkait agama, ia menganggap dirinya layak untuk melakukan kezaliman.

Image Caption
Untuk membuat suratnya lebih efektif dan berpengaruh, di bagian pertama suratnya, Mirza Qomi menulis, "Surat ini bukan nasehat dari orang pintar kepada mereka yang bodoh, dan juga bukan untuk memberi petunjuk orang yang tersesat, tapi sekedar pembahasan dan musyawarah dua orang pintar, tanpa memandang dirinya seorang yang pintar atau marja."

Melalui retorikanya ini, marja Syiah ini sejatinya menghapus penentangan raja untuk menolak nasehat. Ia menyebutkan dirinya sebagai seorang hampa yang bersalah dihadapan Tuhan, dan ia serta raja adalah hamba yang memiliki kewajiban dihadapan Tuhan semesta alam. Ia kemudian mulai membahas masalah utama dengan mengingatkan dirinya tidak ada kesengajaan dalam menulis surat ini.

Setelah menulis pembukaan seperti ini, Mirza Qomi dengan berani dan transparan menyebutkan poin-poin sangat penting yang sejatinya dimaksudkan untuk menghilangkan kesesatan sang raja. Kesesatan yang mengijinkan benak raja untuk melakukan kezaliman dan despotisme.

Di antara kesalahan disengaja dan tidak disengaja raja muslim adalah ketika mendengar sebuah hadis yang menyebut raja adalah «ظل اللّه» (bayangan Tuhan), ia menganggap dirinya dapat melakukan apa saja dan tidak memiliki tanggung jawab dihadapan Tuhan dan makhluk Tuhan. Teks asli hadis yang diisyaratkan tersebut adalah Rasulullah Saw bersabda yang artinya, "Raja adalah bayangan Tuhan di bumi, di mana orang-orang yang tertindas berlindung kepadanya. Jika ia adil maka akan mendapat pahala dan terima kasih kepada orang-orang, tapi jika ia keluar dari keadilan, maka ia berdosa." Tapi masyarakat awam tidak mengetahui kelanjutan dari hadis tersebut dan hanya mendengar jumlah raja adalah bayangan Tuhan. Mirza Qomi di Ershad Namehnya menyebutkan makna sebenarnya dari jumlah "Bayangan Tuhan" supaya menyelamatkan pikiran raja dari penafsiran keliru dan memberi pelajaran kepada raja bahwa ia akan bertanggung jawab dihadapan Tuhan atas setiap perbuatannya.

Arti pertama dari raja bayangan Tuhan yang disebutkan Mirza Qomi adalah seperti ketika manusia berlindung di bawah rindangnya pohon saat matahari bersinar terik supaya aman dari suhu panas, karakter dan metode raja juga harus membuat hamba Tuhan berlindung kepadanya dari kezaliman. Arti kedua adalah mengingat bayangan setiap sesuatu memiliki kesamaan dengan pemilik bayangan meski tidak stabil, maka raja ketika sedang terpolusi dengan kepentingan fisik, harus menjadikan dirinya seperti Tuhan agar ia dapat disebut sebagai bayangan Tuhan. Dalam pengertian ketiga, Mirza mengatakan bahwa sebagaimana segala sesuatu dapat dipahami dari bayang-bayang segala sesuatu, raja harus bersikap dan bertindak sedemikian rupa sehingga keberadaan Tuhan Yang Maha Esa dan pencipta agama dapat dipahami darinya. Terakhir Mirza menjelaskan bahwa "Raja adalah manifestasi supremasi kebenaran dan hukum, maksud beliau adalah raja yang taat agama, adil dan penuh kasih sayang bukan setiap raja zalim, kejam dan tidak beragama.

Keyakinan keliru yang ada saat itu dan sumber banyak kezaliman ketika itu adalah keyakinan ini bahwa karena Tuhan membuat raja kuat, maka apa yang ia lakukan adalah benar, jika sebaliknya, maka Tuhan yang Maha Kuat tidak akan menjadikan orang tersebut sebagai raja. Mirza Qomi dengan penjelasan ilmiah dan rasional serta sederhana telah membatalkan pemahaman keliru ini. Ia menulis, “Jika seseorang mengatakan bahwa karena sebuah kerajaan ditakdirkan, maka perlu bahwa perbuatan raja juga ditentukan (oleh Tuhan) dan Tuhan senang dengan semua perbuatannya.” Saya mengatakan kepadanya bahwa karena itu Firaun juga tidak boleh disalahkan, karena kerajaannya juga ditakdirkan, dan ini jelas bertentangan dengan agama."

Surat kedua yang dikenal dengan Shad Nameh (Surat Kesenangan) dari Mirza Qomi ditujukan kepada Fath-Ali Shah Qajar. Di zaman itu, kaum sufi berusaha keras untuk memasuki istana dan menebar pengaruhnya serta menyeret raja ke kubunya. Salah satu penyair terkenal sufi seraya mengirim buku dan catatan kepada raja berusaha menarik perhatiannya kepada aliran ini. Fath-Ali Shah memberi risalah (buku) tersebut kepada Mirza Qomi. Kemudian raja ingin Mirza memeritahu kepadanya hal-hal yang benar dan salah di risalah tersebut, karena ia mengenal Mirza sebagai seorang ulama yang pintar dan bertakwa.

Mirza yang saat itu telah berusia lanjut dan karena merasa bertanggung jawab atas masuknya pengaruh sufi ke istana dengan bersungguh-sunggung membalas permintaan raja tersebut dalam sebuah surat.

Tasawuf muncul di komunitas Muslim di akhir abad kedua hijriyah dan ditolak para Imam Maksum dan para ulama saat itu, karena pemikiran dan akidahnya yang menyimpang dari prinsip dan keyakinan Islam. Salah satu keyakinan keliru kelompok ini adalah manusia ketika sampai di satu titik derajat khusus irfan, maka ia tidak lagi membutuhkan untuk melakukan kewajiban agama seperti shalat dan puasa, atau memperhatikan hal-hal haram atau halal yang pada akhirnya ia dibebaskan untuk melakukan segala bentuk kesalahan dan kemunkaran. Keyakinan kaum sufi ini membuat mereka secara praktis keluar dari lingkaran agama. Dengan demikian, ulama Syiah sangat sensitif untuk memberi pencerahan kepada masyarakat atas penyimpangan ini.

Dalam surat ini, Mirza Qomi telah secara eksplisit menulis kepada Shah bahwa Anda tidak mengetahui masalah mistik, filosofis, dan yurisprudensi yang sebenarnya dan dikhawatirkan bahwa bergaul dengan orang-orang ini akan mengalihkan Anda dari mazhab Ahlul Bait as yang asli. Mirza mendorong raja untuk mempelajari kitab Haq al-Yaqin dan Ain al-Hayat tulisan Allamah Majlisi untuk membangun keyakinan agama yang benar, dan menekankan bahwa para sufi harus mendiskusikan masalah tersebut dengan orang seperti saya yang fasih dalam masalah mistik dan filosofis. Dalam kelanjutan suratnya, ulama besar ini memperingatkan raja untuk berhati-hati dalam hal ini, karena penyimpangan raja juga dapat menyebabkan orang menyimpang dari agama.

Di bagian lain surat Mirza Qomi, dia memperingatkan Shah untuk menentang kelompok yang mencoba secara tidak adil menyebut raja "Ulil Amri" dan tidak mengizinkan hal seperti itu. Penafsiran "Ulil Amri" diambil dari ayat 59 Surat An-Nisa' di mana Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu." Beberapa ahli tafsir Sunni menganggap "ulil amri" berarti penguasa dan pemimpin. Namun, ulama Syi'ah, mengutip hadits otentik dari Imam Baqir as dan Imam Ja'far as, menganggap arti "ulil amri" dalam ayat ini sebagai Imam maksum dari keluarga Nabi (Saw). Mirza Qomi meminta raja untuk tidak membiarkannya disebut ulil amri, karena ini akan menyebabkan kerusakan di masyarakat dan keyakinan rakyat.

Imam Hadi (as) mengatakan: "Jika bukan karena keghaiban Qaim (Imam Mahdi) yang jujur, akan ada ulama yang akan menyeru (orang-orang) dan membawanya ke keberadaannya dan membela agamanya dengan argumen ilahi, dan membebaskan hamba-hamba Allah yang tak berdaya dari cengkeraman setan dan pengikutnya, maka tak diragukan lagi seluruh manusia akan keluar dari agama Tuhan. "

Mirza Qomi adalah salah satu ulama yang menyeru manusia kepada Tuhan dan membela agama kebenaran. Setelah delapan puluh tahun menjalani kehidupan yang keras dan penuh berkah pada tahun 1231 H, ia menerima panggilan Tuhan dan kembali ke sisi-Nya. Acara tasyi jenazah ulama besar ini dihadiri sejumlah besar orang Syi'ah dan akhirnya dimakamkan di kota Qom dan dekat Haram Sayidah Ma'sumah.

Minggu, 05 Juni 2022 16:42

Mirza Abolghasem Gilani

 

Mirza Abolghasem Gilani atau dikenal dengan Mirza-ye Qomi. Di zamannya, ia kenal sebagai ulama Syiah terpandai dan terbesar.

Metode dan padangannya untuk beberapa waktu mendominasi Hauzah Ilmiah Isfahan, Najaf, Mashad dan Tehran. Ia menulis kitab Qavanin yang selama bertahun-tahun menjadi salah satu mata pelajaran wajib di Hauzah Ilmiah Syiah.

Di Islam, ulama menempati posisi penting dan tinggi setelah Rasulullah Saw dan para Imam Maksum as. Terkait kedudukan ulama, Imam Shadiq as berkata, "Keutamaan ulama atas hamba seperti malam keempa belas di atas bintang-bintang yang lain dan menurut para ilmuwan, mereka adalah pewaris para nabi ilahi."

Jika kita melihat hadis dan riwayat serta ayat Alquran, kita menyaksikan derajat dan posisi seperti ini yakni pewaris nabi hanya milik ulama yang menggunakan ilmunya untuk melayani Tuhan dan membimbing masyarakat ke arah kebahagian abadi.

Mirza Abolghasem Gilani, yang dikenal sebagai Mirza-ye Qomi, lahir pada tahun 1739 M di Distrik Japelaq, Kabupaten Azna, Provinsi Lorestan, Iran. Ia dibesarkan di Japelaq. Ia juga dikenal sebagai Mirza-ye Qomi karena tempat tinggalnya di Qom.

Mirza Abolghasem Gilani, putra Mullah Mohsen (Mohammad Hassan), berasal dari Shaft, Provinsi Gilan. Ayahnya pergi dari Shaft ke Japelaq, di mana ia menikah dan Mirza Abolghasem lahir pada pertengahan abad kedua belas tahun 1151 H (1739 M). Ayah Mirza, Hassan ibn Nazar Ali Keikhi Rashti, adalah orang yang berbudi luhur dan menulis buku "Kas al-Sa'ilin" (Arab: السائلین, artinya: Piala Penanya) dengan gaya Kashkul. Ibu Mirza juga putri dari guru ayahnya Mirza Hedayatullah dan berasal dari keluarga ulama.

Mirza-ye Qomi untuk melanjutkan jenjang pendidikiannya di tahun 1174 H pergi ke Karbala dan belajar di Hauzah Ilimah Imam Husein as. Selama menempuh pendidikan di Karbala, ia belajar di bawah Ayatullah Wahid Behbahani, ulama terkenal di zaman itu. Dari ulama ini, Mirza-ye Qomi mendapat ijin ijtihad dan meriwayatkan hadis. Kemudian Mirza-ye Qomi kembali ke Iran dan tinggal di kota Qom. Selama di Qom untuk waktu yang singkat, Mirza-ye Qomi meraih kemajuan besar dan sedikit-demi sedikit keutamaan akhlak dan ketinggian ilmunya semakin terkenal di kalangan masyarakat dan menyebar ke berbagai kota lain.

Saat itu, dengan dukungan ulama dan guru besar hauzah ilmuah Iran dan Irak, Mirza Abolghasem Gilani dipercaya sebagai marja Syiah, dan kemudian ia dikenal dengan sebutan Mirza-ye Qomi. Selama di Qoma, Mirza aktif mengajar dan menulis buku, mengeluarkan fatwa dan berdakwa serta memimpin shalat Jumat di Masjid Jami' Qom. Berkat kerja keras Mirza-ye Qomi, kota Qom sedikit demi sedikit mulai maju di bidang keilmuan yang sebelumnya pernah hancur akibat serangan bangsa Afghanistan. Seiring dengan semakin maraknya Hauzah Ilmiah Qom, pusat keilmuan dan fikih di Iran pindah dari Isfahan ke Qom.

Mirza-ye Qomi sangat gigih dan berusaha keras dalam menimbal ilmu. Selama masa belajar, ia belajar dengan sungguh-sungguh dan bekerja keras. Ia memiliki jadwal bagi aktivitas hariannya dan tidak melalaikan belajar. Kecintaannya akan belajar sampai membuat dirinya mengurangi waktu tidur. Bahkan dikatakan bahwa dia meletakkan piring tembaga di atas lampu minyak yang dia gunakan untuk belajar, dan setiap kali dia tertidur, dia akan meletakkan tangannya di piring tembaga dan tidur, dan segera setelah itu berlalu, piring itu akan menjadi panas dan Mirza akan kepanasan dari tangannya, dia akan bangun dan melanjutkan studinya. Jumlah kerja keras Mirza dalam mencari ilmu ini mungkin tampak berlebihan bagi sebagian orang, namun bagi Mirza, karena keinginannya yang besar atas pengetahuan, kesenangan menuntut ilmu lebih tinggi dari kesenangan lainnya.

Mirza-ye Qomi mulai menulis sejak muda saat belajar di Khansar dan mulai menulis dan menyusun buku, namun sebagian besar karyanya ia tulis selama tinggal di Qom. Dia memiliki tulisan-tulisan yang berharga di sebagian besar ilmu-ilmu Islam seperti yurisprudensi, prinsip-prinsip, teologi, semantik, ilmu ma'ani dan bayan. Karya terpenting Mirza-ye Qomi adalah buku "Qawanin al-Usul" dalam bahasa Arab. Buku ini adalah kursus lengkap tentang ilmu usul fiqih. Ilmu usul fiqih adalah ilmu di mana metode yang benar untuk mencapai aturan syari'at dan dengan menggunakan dalil rasional.

Jilid pertama kitab Qawanin al-Usul berisi topik kata-kata (al-alfadh) dan volume kedua berisi topik rasional (aqli). Buku ini sudah lama menjadi buku ajar seminari-seminari Syi'ah. Selain menguasai berbagai ilmu keislaman, Mirza juga sangat berbakat dalam puisi dan kaligrafi, dan ia memiliki lebih dari lima ribu karya bait puisi dalam bahasa Persia dan Arab serta tulisan-tulisan indah dalam bahasa Arab dalam bentuk kaligrafi Naskhi dan Nastaliq.

Mirza-ye Qomi, selain sebagai tokoh ilmu fiqih, usul fiqih dan ilmu-ilmu agama lainnya, juga merupakan teladan yang terpuji dari para pengikut Ali bin Abi Thalib (as) dalam etika dan moral. Kerendahan hati, hidup sederhana, keberanian, disiplin dan ketekunan, bahasa yang baik dan jauh dari segala keburukan dan berlebihan, ketekunan dalam urusan umat Islam dan menyelesaikan masalah mereka adalah beberapa karakteristik yang tertanam dalam diri orang besar ini. Semua ini adalah cahaya matahari ketulusan yang bersinar di dadanya. Dunia besar ini memberikan perhatian khusus untuk memenuhi kebutuhan orang miskin dan membutuhkan, sehingga selama hidupnya ia mendedikasikan hartanya dengan cara ini.

Mirza-ye Qomi sezaman dengan dua raja Qajar bernama Agha Mohammad Khan dan Fath Ali Shah. Perlakuannya terhadap Fath Ali Shah Qajar sangat menarik dan instruktif. Ulama besar ini tidak memutuskan hubungan dengan raja dan terkadang terjadi pertemuan di antara mereka, namun hubungan ini tidak pernah membuat Mirza-ye Qomi mengundurkan diri dari tugasnya sebagai ulama. Mirza, yang bagaimanapun juga tidak meninggalkan amar makruf dan nahi munkar, berbicara kepada raja dalam bahasa petunjuk dan tidak ragu-ragu untuk memperingatkannya terlepas dari semua kekuatannya. Diriwayatkan bahwa dalam salah satu pertemuannya dengan Shah, di tengah percakapan, dia berbicara kepada Shah: O Shah! Perlakukan orang dengan adil karena saya takut saya akan dihukum oleh Tuhan karena pergaulan saya dengan Anda! Dan dalam pertemuan lain dia menyentuh janggut panjang raja dan berkata: "Wahai Shah! Jangan biarkan janggut ini terbakar dengan api neraka pada hari setelah kebangkitan!"

Dikatakan bahwa Fath Ali Shah Qajar melakukan perjalanan ke kota Qom dan karena dia tidak memiliki istana dan tempat peristirahatan di Qom, dia pergi ke pemandian kota pada suatu pagi untuk mandi. Pada saat itu, pemandian Iran adalah perbendaharaan, artinya pemandian tersebut memiliki beberapa kolam air yang masing-masing digunakan untuk tahap pencucian. Ketika Fath Ali Shah memasuki perbendaharaan, dia memperhatikan bahwa ada orang lain di sudut perbendaharaan. Dia bertanya kepada teman-temannya, "Siapa orang ini?" Mereka menjawab bahwa dia adalah Mirza-ye Qomi, marja taklid Syi'ah yang agung. Raja pergi ke depan. Mirza sangat biasa. Shah berkata kepada Mirza: Apakah Anda mengenal saya? Saya Shah, Fath Ali Shah Qajar!! Mirza, yang menggunakan setiap kesempatan untuk membimbing orang-orang, memanfaatkan kesempatan itu dan berkata: Tidak, saya tidak tahu. Raja memiliki mahkota, takhta, kain halus, gaun kasmir dan ikat pinggang emas di pinggangnya. Tuan-tuan, Anda tidak memiliki semua ini. Anda sekarang adalah Fath Ali! Tapi saya Mirza-ye Qomi, karena semua modal saya ada pada saya: ilmu, pengetahuan, makrifat, tafsir, fiqih dan usul fiqih. Jadi saya Mirza-ye Qomi, marja taklid, tetapi Anda menjadi raja ketika memakai pakaian kebesaran dan berada di istana. Jika kita berdua dibiarkan di padang pasir seperti kita sekarang, saya tidak kehilangan apa-apa, tetapi Anda kehilangan segalanya, jadi berhati-hatilah. Dengan cara ini, Mirza Qomi ingin mengingatkan Fath Ali Shah bahwa apa yang berharga “ Itu adalah keberadaan manusia dan kesempurnaannya, bukan pakaian dan harta benda dan bahkan takhta kerajaan."

Seperti yang telah kami katakan, poin terpenting dalam karakter moral Mirza-ye Qomi adalah ketekunannya dalam menasehati dan membimbing dan menganjurkan kebaikan dan melarang kejahatan. Ulama saleh ini, tanpa rasa takut sedikit pun terhadap kekuasaan dan hegemoni raja-raja Qajar, menasihati dan memperingatkan mereka agar tidak melakukan penindasan dan pengembaraan di lembah kekafiran dan penyimpangan dari agama. Kami telah mendapatkan dua surat dari Mirza-ye Qomi dengan tema ini yang ditujukan kepada raja-raja Qajar, salah satunya tampaknya ditulis kepada Agha Mohammad Khan Qajar pada usia 50 tahun dan yang lainnya kepada Fath Ali Shah Qajar pada usia 80 tahun. Surat-surat ini, yang dikenal sebagai surat bimbingan Mirza-ye Qomi, diterbitkan dengan nama yang sama. Karena pentingnya isi surat instruksi, kami akan mendedikasikan program berikutnya untuk berkenalan dengan teks yang berharga ini.

Minggu, 05 Juni 2022 16:41

Syeikh Ja'far Kashif al-Ghita' (2)

 

Syeikh Ja'far Kashif al-Ghita' adalah seorang ulama sosial dan politik. Selain aktif di bidang ilmiah, ia juga memiliki perhatian serius terhadap urusan muslimin.

Ia bahkan memakai pakaian perang untuk keselamatan kaum Muslim dan menjaga nyawa serta kehormatan mereka. Beliau juga tidak enggan menjalin hubungan konstruktif dan efektif dengan para penguasa. Oleh karena itu, ia berulang kali berhasil mencegah terjadinya perang dan pertumpahan darah di antara penguasa Islam.

Salah satu langkah efektif Syeikh Ja'afr Kashif al-Ghita' dalam membela ajaran Syiah adalah ketika kaum Wahabi menyerang kota Najaf tahun 1215 H. Kaum Wahabi pengikut Mohammad bin Abdul Wahab meyakini bahwa banyak amalan umat mulism, baik Sunni maupun Syiah adalah syirik. Dengan ideologi rusak ini, mereka menyebut mayoritas muslim, khususnya Syiah sebagai kafir dan melalui interprestasi keliru dan sesuai dengan hawa nafsunya atas agama dan al-Quran, kaum Wahabi mulai membantai dan merampok muslimin.

Kaum Wahabi di tahun 1215 H menyerang Karbala dan Najaf. Selain merusak haram dan kubah makam Imam Husein as, mereka juga membantai ratusan pria dan wanita yang tengah berada di kompleks makam suci cucu Rasulullah Saw ini. Kemudian mereka merampok kota Karbala dan mereka membantai ribuan warta tak berdosa Karbala yang tidak menyadari serangan ini dengan dosa karena mereka Syiah.

Berita pembantaian ini sampai ke kota Najaf dan warga kota mulai khawatir dan ketakutan. Syeikh Ja'far Kashif al-Ghita' saat itu tinggal di Najaf dan mengajak warga membela kota. Syeikh Ja'far sendiri memakai pakaian perang dan mempersenjatai ulama, santri dan warga lainnya. Rumah Syeikh Ja'far saat itu menjadi gudang senjata dan tempat berkumpulnya para pejuang bersenjata.

Melalui arahan dan manajemen Syeikh Kashif al-Ghita', warga Syiah di kota Najaf melawan serbuan kaum Wahabi selama empat bulan. Pada akhirnya musuh gagal memasuki kota Najaf. Setelah peristiwa ini, Syeikh Kashif al-Ghita' menginstruksikan pembangunan tembok yang kuat dan tinggi di sekitar kota Najaf, sehingga kota beserta warganya akan tetap aman ketika kaum Wahabi menyerang.

Sensitifitas dan perhatian khusus marja besar Syiah ini untuk melindungi nyawa dan harta umat muslim dihadapan serangan dan agresi musuh, membuat penduduk Najaf dan sekitarnya merujuk ke rumah Syeikh saat ada peristiwa penting atau serangan musuh. Syeikh Kashif al-Ghita' menulis kitab Manhaj al-Rashad Liman Arada al-Sadad dalam melawan akidah sesat Wahabi dan mengkritik ideologi kelompok ini. Sepertinya ini tercatat sebagai kitab pertama yang melawan ideologi Wahabi.

Syeikh Ja'far Kashif al-Ghita' berkunjung ke Iran tahun 1222 H dan disambut warga serta ulama negara ini. Selama kunjungannya tersebut, Syeikh menggelar kuliah umum berisi wejangan dan pembahasan ilmiah di berbagai wilayah Iran. Ia berusaha keras menyebarkan ajaran Syiah dan menjawab setiap pertanyaan dan keraguan.

Syeikh Ja'far saat itu berada di puncak popularitasnya dan kuat dalam bidang agama serta politik bertemu dengan Fath-Ali Shah Qajar di Tehran. Di pertemuan tersebut, ia memberi hadiah Kitab Kashif al-Ghita kepada Shah Qajar. Kashif al-Ghita' merupakan karya terpenting Syeikh Ja'far yang membuatnya dijuluki Syeikh Kashif al-Ghita'. Saaa itu, Iran tengah terlibat perang dengan Rusia dan Syeikh Kashif al-Ghita yang sangat memperhatian upaya untuk menjaga persatuan umat Muslim, sebagai marja agama mengijinkan Fath-Ali Shah untuk mengumpulkan pasukan. Bahkan ia bersedia mengabulkan permintaan Fath-Ali Shah untuk mengeluarkan fatwa jihad.

Syekh sangat dihormati oleh pemerintah Iran dan Ottoman, dan dalam beberapa kasus pengaruh kata-katanya efektif dalam menyelesaikan perbedaan antara kedua negara. Pada tahun 1219 H, ketika tentara Iran pindah ke Baghdad untuk memulai perang, "Ali Pasha", penguasa Baghdad, meminta Syeikh Kashif al-Ghita' untuk mengunjungi komandan tentara Iran dan menghentikan perang. Syeikh Ja'far, yang menganggap usulan Ali Pasha menguntungkan kaum Muslim, melakukannya, dan sebagai hasil pertemuannya dengan komandan korps Iran, perang dihentikan dan tahanan Turki dan Arab dibebaskan. Pada tahun 1221 H, ketika perang kembali pecah antara kedua negara, Syeikh Ja'far menengahi antara penguasa Baghdad dan komandan tentara Iran, dan mampu mencegah perang dan pertumpahan darah di antara umat Islam untuk kedua kalinya.

Syeikh Ja'far Kashif al-Ghita' menghadiri Konferensi Islam di Yerusalem yang dihadiri oleh para ulama dari berbagai agama, dan atas permintaan para ulama Palestina, ia pergi ke mimbar di depan 50.000 orang setelah shalat Maghrib di tempat tinggi di mana dia telah memberikan pidatonya. Mimbarnya berlangsung lebih dari satu setengah jam. Pada pertemuan itu, dia sangat mempesona semua orang sehingga setelah mimbar ditutup, para hadirin menjadi makmum di shalat Isya. Dia menerima dan semua ulama dari empat agama menjadi makmumnya. Selama tinggal di Yerusalem, semua peserta konferensi selalu menjadi makmum di shalat lima waktu.

Ada banyak pelajaran dalam kehidupan para ulama besar Syiah yang dapat mengungkapkan rahasia kesuksesan mereka kepada kita sampai batas tertentu. Bagaimana manusia dapat menggunakan kemampuan dan bakat yang telah Tuhan Yang Maha Kuasa berikan dalam dirinya dengan cara yang terbaik, tidak terjebak oleh rutinitas sehari-hari, kegelapan dan tabir dunia, dan dengan demikian menguasai dirinya dan keberadaannya dari waktu ke waktu, sehingga keberadaannya menerima cahaya keabadian dan menerangi jalan kebahagiaan bagi para pencarinya.

Mereka yang duduk dengan sopan di kelas Kashif al-Ghita', dan mereka yang melihat dan mengenalnya setiap hari di jalan-jalan, pasar, masjid dan mimbar, dan menghormati kebesarannya, tidak hanya menilainya sebagai orang besar hanya karena derajat ilmunya dan kecerdasan politisinya, tetapi dia dianggap sebagai manusia ilahi yang tidak menyimpang dari jalan penghambaan kepada Tuhan.

Syekh Ja'far Kashif al-Ghita' adalah orang yang saleh, dermawan, rendah hati dan mujahid, dan dia peka dan rajin terhadap orang miskin dan memenuhi kebutuhan mereka. Dia berusaha dengan segala cara yang dia bisa untuk memenuhi kebutuhan orang miskin. Kadang-kadang, dalam pertemuan, dia secara pribadi akan berdiri dan mengumpulkan sumbangan uang tunai di jubahnya dan membagikannya di antara orang miskin dan membutuhkan. Dia sangat mementingkan shalat berjamaah dan mendorong orang untuk melakukannya.

Marja terkenal dan berpengaruh Syiah ini di saat darurat mengangkat senjata untuk menyelamatkan nyawa dan kehormatan umat Muslim, dan mengorganisir perlawanan serta berperang dengan gagah berani melawan musuh agama dan mazhab. Sementara di malam hari, ia menangis dan bergetar seluruh tubuhnya saat beribadah dihadapan Tuhannya. Kebiasaan Syeikh Ja'far adalah di awal malam ia menghitung pekerjaan dan amalannya (Muhasabah Nafsaniyah), ia memperhitungkan amalan dan perkataannya serta meminta ampunan kepada Tuhan akan kesalahannya. Ia meminta bantuan Tuhan untuk melakukan pekerjaan dan amalan lebih baik di hari berikutnya. Setelah tidur sejenak, ia memanfaatkan waktu sahar untuk beribadah dan bermunajat hingga pagi hari. Setelah waktu pagi tiba, ia mulai mempersiapkan jam pelajarannya dan menyelesaikan urusan masyarakat.

Syeikh Ja'far Kashif al-Ghita', meskipun ia menaruh minat yang serius dalam urusan sosial dan politik komunitas Muslim pada saat yang sama dengan karya ilmiah dan administrasi seminari dan kuliah dan komposisi, tidak mengabaikan rumah, keluarga dan mendidik anak-anaknya. Di hadapan ilmu dan akhlak bapak yang mulia ini, ketiga anaknya mencapai kedudukan ijtihad dan menjadi fuqaha dan mujtahid terkemuka atas nama zamannya. Syeikh Ja'far juga memiliki lima menantu laki-laki, yang semuanya adalah ahli hukum terkenal pada masanya. Diriwayatkan bahwa Syeikh Ja'far, saat bepergian ke Mekah, berdoa ketika memasuki Masjidil Haram: "Ya Tuhan, jangan tinggalkan keluargaku tanpa ahli hukum." Menarik bahwa keluarga Kashif al-Ghita' sejak saat itu hingga kini telah mengeluarkan banyak ulama besar dan ahli hukum, dan dikenal sebagai keluarga fuqaha dan ulama.

Syeikh Ja'far Kashif al-Ghita' setelah bertahun-tahun berjuang dan menyebarkan ajaran Ahlul Bait as serta melayani umat Islam, akhirnya pada bulan Rajab tahun 1228 H memenuhi panggilan sang pencipta dan bertemu dengan kekasihnya (Allah Swt). Jenazah beliau dikebumikan di kota Najaf di Hauzah Ilmiah yang ia dirikan. Meski tubuh suci ulama ini ditutupi tanah, tapi karyanya yang beredar di dunia Syiah tidak pernah tertutup debu atau dilupakan.

Minggu, 05 Juni 2022 16:40

Syeikh Ja'far Kashif al-Ghita'

 

Syeikh Ja'far Kashif al-Ghita' termasuk ulama besar dan marja Syiah di abad 13 H dan murid terkenal Allamah Wahid Behbahani dan Allamah Bahrul Ulum. Setelah meninggalnya sang guru (Allamah Bahrul Ulum), Syeikh Kashif al-Ghita' menggantikannya sebagai pemimpin dan marja Syiah.

Ja'far bin Khidr bin Yahya Janani Hilli Najafi, atau yang dikenal dengan Syeikh Ja'far Najafi dengan gelar Kashir al-Ghita', Syeikh Kabir dan Syeikh al-Masyayikh, termasuk ulama dan marja besar Syiah di abad ke-13 H.

Syeikh Ja'far Kashif al-Ghita' dilahirkan tahun 1154 H di kota Najaf, Irak. Nasab dan silsilahnya sampai kepada Malik al-Ashtar, sahabat setiap dan komandan kuat pasukan Imam Ali bin Abi Thalib as. Ayah beliau bernama Khidr dan termasuk ulama serta orang zuhud saat itu. Khidr bin Yahya warga kota Hilla dan pergi ke kota Najaf untuk belajar serta tinggal di kota ini.

Syeikh Ja'far juga dilahirkan di kota Najaf dan memulai pelajaran agamanya di Hauzah Ilmiah Karbala. Selanjutnya ia pergi ke kota Najaf dan belajar dari berbagai guru besar di Hauzah Najaf. Lambat laun, reputasi ilmu dan keutamaan Kashif al-Ghita' menyebar di seminari-seminari (Hauzah), dan para ulama dari berbagai agama dan sesepuh agama mereka mengakuinya sebagai ulama dan cendekiawan Syiah yang tak terbantahkan.

Dia melakukan perjalanan ke negara-negara Islam termasuk Hijaz, Iran dan Palestina dan pengikut Syiah di berbagai bagian negara Islam berkenalan dengan lautan pengetahuan dan kepribadiannya yang saleh dan efektif. Oleh karena itu, Kashif al-Ghita' praktis menjadi marja kaum Syi'ah di dunia. Luasnya pengaruh dan penerimaannya di kalangan masyarakat menyebabkan para penguasa negara-negara Islam memberinya tempat khusus.

Syeikh Ja'far Kashif al-Ghita memiliki banyak karya di bidang ilmu-ilmu agama seperti fikih dan ushul fikih. Karya terkenal beliau adalah "Kashf al-Ghita 'aan Mubhamat al-Syariah al-Gharra' ". Syeikh Ja'far dikenal dengan panggilan Kashif al-Ghita' juga karena karyanya ini.

Kitab Kashf al-Ghita' tercatat sebagai kitab terpenting Syiah di bidang akidah, fikih dan usul fikih, serta memiliki keistimewaan tersendiri. Kitab ini ditulis dalam tiga bidang, akidah, usul fikih dan bab-bab fikih, serta membuktikan kebenaran Syiah Itsna Asyariah. Pentingnya dan kelengkapan buku ini di kalangan ulama dan ahli hukum Syi'ah sedemikian rupa sehingga dikutip bahwa Syeikh Morteza Ansari, seorang ahli hukum terkenal dan tak tertandingi dari abad ketiga belas, mengatakan: "Jika ada yang tahu aturan dan prinsip-prinsip buku ini, menurutku dia adalah seorang mujtahid.”

Menariknya, Kashif al-Ghatta' menulis buku ini saat bepergian ke Iran, sementara dia tidak membawa buku lain selain buku "al-Qawaid" karya Allamah Hilli, dan ini menunjukkan sejauh mana ulama besar Syiah ini menguasai ilmu agama khususnya ilmu fikih. Dia sendiri telah mengklaim bahwa jika semua buku fikih berada di luar jangkauan saya, saya masih akan dapat menulis semua bab dan topik fikih dari awal hingga akhir. Keahlian ilmiah dan yurisprudensinya dikonfirmasi oleh para ahli hukum zaman itu dan setelahnya.

Salah satu aktivitas penting Syeikh Ja'far Kashif al-Ghita' adalah memperluas dan memperkokoh metodologi usuli dan melawan arus Akhbari di bidang fikih. Sebelumnya telah kami jelaskan bahwa di abad 11 H, konfrontasi antara kelompok usuli dan Akhbari sangat serius dan sedikit demi sedikit ideologi Akhbari menang atas ideologi Usuli. Namun sejak awal abad ke-13 dan dengan perjuangan Allamah Wahid Behbahani, ideologi Usuli mulai kuat. Ulama besar ini dengan mendidik murid mumpuni dan menulis karya besar, mampu memperkuat sendi-sendi pemikiran usuli dan salah satu muridnya, yakni Allamah Kashif al-Ghita mampu memainkan peran penting dalam memajukan tujuan gurunya tersebut.

Akhbari dan Usuli, dua arus pemikiran di bidang fikih Syiah, dan masing-masing memiliki metodologi berbeda untuk memahami hukum agama, tapi tidak memiliki perbedaan di bidang teologi dan akhlak. Di antara pendukung setiap pemikiran ini, terdapat nama ulama besar, cendikiawan dan arif besar, yang tanpa fanatisme bersedia mengemukakan pandangannya dan membelanya. Hal ini merupakan sumber penting bagi mazhab Syiah.

Tapi seperti ideologi lainnya, ada sejumlah pengikutnya yang memilih metode radikal dan kurang adil. Salah satu perbedaan terpenting antara kedua aliran ini adalah bahwa kaum Akhbari percaya bahwa sumber utama untuk menemukan perintah-perintah agama hanyalah hadits dan riwayat, dan dalam memahami riwayat, mereka menganggap zahir hadits saja sudah cukup dan menolak campur tangan akal, argumentasi dan kajian riwayat. Mereka menganggap seluruh hadis di empat kitab utama Syiah (Kutub Arbaah) seluruhnya sahih, dan bahkan meyakini untuk memahami al-Quran dibutuhkan adanya hadis di penafsirannya. Dengan demikan mereka mengharamkan ijtihad dan lemah dalam menjawab isu-isu baru.

Namun, kaum Usuli memiliki pandangan yang berbeda, mereka percaya bahwa sumber utama untuk menemukan ajaran agama adalah Al-Qur'an, hadits, akal, dan Ijma. Mereka percaya bahwa akal dengan sendirinya dapat menjadi sumber untuk menemukan ajaran agama, tapi akal yang sehat dan terdidik, asalkan digunakan dengan benar, yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan tertentu. Mereka telah memperkenalkan aturan yang disebut hubungan antara akal dan wahyu, yang menurutnya, apa pun yang ditentukan syariat, akal juga mengaturnya, dan apa pun yang ditentukan oleh akal, itu juga diterima oleh syariat. Selain itu, kaum usuli (fundamentalis) percaya bahwa akal memainkan peran penting dalam memahami hadis dan Al-Qur'an.

"Ijma" adalah salah satu dari empat sumber kaum usuli untuk menemukan ajaran agama, dan itu berarti bahwa jika tidak ada cukup bukti dan narasi Al-Qur'an tentang suatu masalah, ada cara lain untuk menemukan pendapat agama di kasus tersebut dan bahwa semua ulama harus mencapai satu pendapat tentang apa pendapat Imam (as) tentang masalah tertentu. Perbedaan ijma' antara Sunni dan Syi'ah adalah bahwa kaum Sunni dalam ijma' tidak memperhatikan penemuan pendapat Imam Maksum (as) dan percaya bahwa segala sesuatu yang dikatakan semua ulama karena itu adalah kesepakatan para ulama, maka itu benar, tetapi Syi'ah percaya bahwa ijma' (konsensus) para ulama hanya benar ketika didukung oleh pendapat Imam Maksum.

Dengan kata lain, ketika kita tidak memiliki ayat Al-Qur'an atau hadits yang jelas tentang suatu masalah, para ulama, dengan pengetahuan dan keahliannya  mereka yang lengkap tentang Al-Qur'an dan hadits, sampai pada kesimpulan bahwa pendapat para Imam maksum dalam hal ini adalah ini. Ketika semua ulama mencapai satu kesimpulan dalam kasus seperti itu dalam suatu periode, kesimpulan ini wajib sebagai perintah agama. Ulama Akhbari menentang akal dan ijma’ meskipun keduanya merupakan salah satu sumber fikih, tidak membolehkan ijtihad dan taqlid dari non-maksum.

Syeikh Ja'far, yang merupakan salah satu peserta pendidikan sekolah usuli di hadapan Allamah Wahid Behbahani, memiliki kehadiran yang kuat dan efektif dalam proses ini. Pada saat itu, wakil dan sesepuh kelompok Akhbari, Syekh Mohammad bin Abdul Nabi Neyshabouri, yang dikenal sebagai Mirza Mohammad Akhbari, yang sangat menentang kaum fundamentalis, yaitu pendukung akal dan penalaran, dan dalam oposisinya tidak segan-segan menggunakan kesalahan, fitnah atau penghinaan terhadap ulama. Jika Syekh Mohammad berhasil membuat orang pesimis tentang metode usulitidak  dan ijtihad, maka ijtihad, dengan kata lain, menggunakan akal dalam memahami agama dan aturan-aturan agama, akan berkembang untuk waktu yang lama dan membuka jalan bagi pemahaman yang dangkal dan penyimpangan terhadap agama.

Syeikh Ja'far Kashif al-Ghita' melakukan yang terbaik untuk menghadapi arus ini dan Syeikh Muhammad Akhbari. Dia menulis sebuah buku berjudul "Kashf al-Ghita' tentang kekurangan Mirza Muhammad" di mana dia menyerang ide-ide tak berdasar Mirza Mohammad Akhbari dan mengklarifikasi kekurangannya kepada semua orang. Mirza Mohammad merasa terancam tinggal di Irak dan datang ke Iran untuk menggunakan dukungan Fath-Ali Shah, tetapi Kashif al-Ghita' menulis buku yang menolak ideologi Mirza Mohammad Akhbari kepada Fath-Ali Shah agar Mirza Mohammad Akhbari tidak menemukan pangkalahnnya di Iran.

Hal ini menyebabkan Fath-Ali Shah menarik dukungannya. Syekh Ja'far menulis karya-karya lain yang menolak keyakinan Akhbariun dan melakukan banyak upaya dalam ceramah dan diskusi dan secara praktis untuk menginformasikan orang-orang dan ulama tentang metode ijtihad dan berkahnya, serta kekurangan dan aib dari mengabaikan akal dan nalar dalam memahami agama, yang sangat efektif melemahkan aliran Akhbari dan menyebarkan metode ushuli (fundamentalisme).

Syeikh Ja'far Kashif al-Ghita' seorang ulama sosial dan politik yang selain aktif di bidang ilmiah, juga sangat memperhatikan urusan orang muslim. Ia bahkan memakai pakaian perang untuk keselamatan kaum Muslim dan menjaga nyawa serta kehormatan mereka. Beliau juga tidak enggan menjalin hubungan konstruktif dan efektif dengan para penguasa. Oleh karena itu, ia berulang kali berhasil mencegah terjadinya perang dan pertumpahan darah di antara penguasa Islam.

Minggu, 05 Juni 2022 16:39

Allamah Bahrul Ulum

 

Mempelajari sejarah dan kehidupan para wali Allah yang hatinya hidup dan mencari kebenaran tak ubahnya seperti berjalan-jalan di taman surgawi dan membuat jiwa manusia merasa bahagia.

Tokoh-tokoh besar yang sama seperti ini, manusia dengan beragam kecenderungan dan insting serta hidup di muka bumi, dan meraih pengalaman dengan seluruh kesulitan dan penderitaan hidup di dunia. Namun demikian mereka tidak terjebak di hari-hari, jam dan tahun yang terus berulang dan membosankan di bumi. Mereka berhasil membawa dirinya ke tujuan sebenarnya dan menyinari jalan kebahagiaan dan petujung bagi seluruh pencari kebenaran.

Sebelumnya kami telah mambahas kehidupan dan karya Allamah Wahid Behbahani, salah satu ulama besar Syiah di abad ke-12 Hijriah. Kali ini kami akan menyajikan sejarah kehidupan salah satu murid beliau, yakni Allamah Bahrul Ulum yang memegang panji marjaiyah dan ketua Hauzah Ilmiah di kota Najaf setelah gurunya.

Sayid Mohammad Mahdi Taba'tabai Najafi atau yang dikenal dengan Allamah Bahrul Ulum adalah seorang pakar fikih dan hadis, serta arif besar Syiah. Beliau dilahirkan di hari Idul Fitri pada tahun 1155 H di kota Karbala, Irak. Ayah dan kakeknya juga seorang ulama besar saat itu dan termasuk cucu Majlisi Pertama. Sayid Mohammad Mahdi di masa remaja belajar dari guru besar Hauzah Ilmiah Najaf dan menyelesaikan pendidikan dasarnya di kota tersebut di bawah bimbingan ayahnya, Sayid Murtadha Taba'tabai Boroujerdi dan Sheikh Yusuf Bahrani, salah satu ulama besar saat itu. Setelah mengecap pendidikan yang cukup di bawah bimbingan para guru tersebut, ia kemudian kembali ke Karbala untuk belajar di bawah bimbingan Allamah Wahid Behbahani yang saat itu menjadi marja Syiah.

Sayid Mohammad Mahdi setelah belajar di Hauzah Ilmiah Najaf dan Karbala, tahun 1186 H pergi ke kota Mashad, Iran dan selama tujuh tahun belajar dan melakukan tazkiyah nafs di Haram Imam Ridha as. Selama kurun waktu tersebut, selain mengikuti pelajaran hauzah, Allamah Bahrul Ulum juga belajar filsafat kepada Mirza Mohammad Mahdi Khurasani (Sheikh Rabi').

Suatu hari Mirza Khorasani yang takjub dengan kecerdasan muridnya ini kepada Sayid Mohammad Mahdi berkata, "Sesungguhnya kamu adalah lautan ilmu (Bahrul Ulum)." Sejak saat itu, Sayid Mohammad Mahdi dikenal dengan sebutan Bahrul Ulum. Gelar yang tetap disematkan kepada beliau hingga akhir hayatnya dan setelahnya, keluarga ulama ini juga dikenal dengan gelar ini.

Allamah Bahrul Ulum selama belajar di Mashad mencapai derajat master di bidang ilmu fikih, hadis, filsafat dan seluruh ilmu yang marak di zaman tersebut. Ia mendapat perhatian khusus dari para ulama dan gurunya. Oleh karena itu, Allamah Wahid Behbahani, marja Syiah saat itu yang berada di akhir umurnya, meminta Allamah Bahrul Ulum untuk kembali ke kota Najaf dan mengambil alih tanggung jawab sebagai ketua Hauzah Ilmiah di kota tersebut dan juga marja baru Syiah.

Hal ini karena Allamah Behbahani yang usianya sudah sepuh dan kondisi fisiknya yang terus melemah merasa tanggung jawab besar ini harus diserahkan kepada sosok yang layak dan mampu. Dengan demikian, Allamah Bahrul Ulum yang saat itu usianya belum menginjak 40 tahun memikul tanggung jawab besar sebagai pemimpin Muslimin dan pembimbing mereka. Selain sibuk dengan urusan mengajar dan menulis buku, Allamah Bahrul Ulum juga tak melupakan urusan orang-orang miskin dan yang membutuhkan. Beliau juga menyelesaikan kesulitan dan masalah yang dihadapi masyarakat saat itu.

Allama Bahrul Ulum, untuk dapat mengatasi berbagai tantangan dan masalah sosial umat Islam dan untuk menertibkan hauzah ilmiah (seminari), mengundang ulama dan ahli hukum terkemuka sezamannya, dan dalam inisiatif yang bisa diterapkan, membagi pekerjaan di antara mereka. Pembagian kerja yang sistematis ini tidak umum di antara para ulama sebelumnya. Hal ini membuat menjalankan konstituen dan menanggapi masyarakat lebih cepat dan lebih mudah.

Sayid Mohammad Mahdi Taba'tabai atau Allamah Bahrul Ulum
Ia mengangkat Sheikh Ja'far Kashif al-Ghita sebagai penanggung jawab fatwa, mengangkat Shekh Hussein Najafi sebagai imam salat berjamaah di Najaf, menyerahkan urusan peradilan dan litigasi kepada Sheikh Muhyyiddin, dan mengangkat Sayid Mohammad Javad Ameli untuk menulis dan menyusun fikih (dan karya terbesarnya adalah penyusunan kitab fikih Miftah al-Karamah).

Sementara Allamah sendiri lebih memperhatikan administrasi seminari Najaf dan urusan pendidikan dan ilmiahnya. Oleh karena itu, selama kepemimpinan beliau, hauzah ilmiah Najaf semakin kuat. Banyak ulama dan ilmuwan dilatih dan dididik di hadapan Allamah Bahrul Ulum. Di antara mereka ada nama besar seperti Sheikh Jafar Kashif al-Ghita, Sayid Mohammad Javad Ameli (penulis Miftah al-Karamah) dan Sheikh Mohammad Taqi Isfahani.

Allamah Bahrul Ulum memiliki berbagai karya di bidang ilmu-ilmu keislaman dan di antara karya terpenting beliau adalah Masabih al-Ahkam, buku penting di bidang ilmu fikih khusus bab ibadah dan muamalah, al-Durrah al-Najafiyah dan Mishkah al-Huda. Selain di bidang ilmu fikih dan teologi, Allamah Bahrul Umum juga memiliki karya di bidang ilmu lain seperti sejarah Islam, ilmu rijal, syair dan sastra.

Allamah juga mahir di bidang puisi dan sastra, serta ia juga meninggalkan karya dalam bentuk puisi di fikih, usul fikih dan ilmu rijal. Kecakapannya yang mampu menyusun pembahasan rumit fikih dan usul dalam bentuk puisi, menunjukkan bahwa Allamah selain memiliki ketajaman di bidang puisi, juga menguasai penuh ilmu-ilmu di bidang ini. Karya Allamah ini bukan saja membuat siswa lebih mudah mempelajari pembahasan yang rumit dan berat, bahkan membuat pembahasan ini lebih lama diingat.

Salah satu kisah instruktif tentang kehidupan Sayid Bahrul Ulum adalah perjalanan yang dilakukan ulama berpandangan jauh ini pada tahun 1193 H ke tanah wahyu, Hijaz. Di Hijaz, dia merahasiakan mazhabnya, Syi'ah, sehingga dia bisa berdiskusi dan mengkritik ilmu pengetahuan dari kedengkian dan pikiran sempit. Orang-orang biasa dan tokoh-tokoh ilmiah menyambut kehadiran ulama besar ini, dan ketika Allamah melihat kondisi untuk diskusi dan bimbingan orang-orang, dia tinggal di Hijaz selama dua tahun.

Penguasaannya terhadap yurisprudensi Sunni dan perilaku serta perbuatan Islamnya membuatnya begitu populer di kalangan penduduk negeri itu, terutama para ulama, sehingga sejumlah besar orang dan ulama datang menemuinya setiap hari dan mengambil manfaat darinya. Menarik untuk dicatat bahwa para pengikut masing-masing agama Islam menganggap Bahrul Ulum sebagai pengikut agama mereka, dan kelasnya di bidang teologi didirikan sesuai dengan ideologi empat mazhab (Mazhab Arbaah).

Allamah Bahrul Ulum mengungkapkan mazhabnya di akhir masa tinggalnya di Mekah. Ketika berita Allamah menjadi pengikut Syi'ah menyebar di Hijaz, beberapa fanatik agama lain berdebat dengannya, tetapi Allamah, dengan lautan pengetahuannya, mengatasi semua kontroversi dan mampu menarik banyak orang pencari kebenaran ke Islam yang sebenarnya, bahkan Imam Jum'at Mekah, seorang ulama Sunni masuk Syi'ah pada usia delapan puluh tahun.

Selama tinggal di Mekah, Bahrul Ulum melakukan tindakan berharga lainnya, termasuk menentukan lokasi haji yang tepat, dan mengidentifikasi tempat ihram yang dikenal sebagai miqat, serta tempat-tempat penting lainnya yang penting untuk keabsahan haji. Allamah juga mengambil langkah yang mampu mengubah paving dan lantai Masjidil Haram sedemikian rupa sehingga menurut fikih Syi'ah, sujud pada mereka adalah benar.

Allamah Bahrul Ulum, karena derajat keilmuan dan spiritualnya, ketakwaan, dan derajat irfannya, sangat dihormati oleh para ulama Syi'ah sampai-sampai posisinya dalam kesucian perbuatan dianggap mendekati posisi ismah (terjaga dari dosa). Ketaatannya pada moralitas Islam dan perilaku kenabiannya tidak membuat terpesona hati kaum Syi'ah, tetapi telah memikat pengikut agama lain dan bahkan orang Yahudi dan Kristen yang akrab dengan mereka. Bahrul Ulum telah menggabungkan ilmu dan praktek serta menggambarkan manifestasi dari kehidupan Muhammad yang indah yang selamanya bisa menjadi teladan murni bagi manusia.

Banyak cerita tentang kepedulian Sayid Bahrul Ulum terhadap orang miskin. Seperti leluhurnya Amir al-Mu'minin Ali (as), ia biasa berjalan di kegelapan malam Najaf dengan sekantong makanan di pundaknya dan menaruh sejumlah uang dan makanan di rumah setiap orang miskin. Suatu malam dia memanggil salah satu muridnya yang terkemuka dan menegurnya dengan keras karena tidak tahu bagaimana keadaan tetangganya yang malang. Allamah memberi tahu siswa itu bahwa tetanggamu  yang malang menidurkan anak-anaknya dalam kondisi lapar malam ini dan kamu tidak merawat mereka!

Murid itu meminta maaf dan malu dan berkata bahwa saya tidak mengetahui kondisinya dan Allamah berkata: "Jelas bahwa kamu tidak sadar, karena jika kamu makan malam dengan sepengetahuan orang miskin itu dan tidak memperhatikannya, kamu telah menjadi kafir, tetapi yang membuat saya khawatir dan kesal adalah mengapa kamu tidak tahu tentang saudara Muslimmu? "Anda harus mencari saudara-saudara seagamamu dan menemukannya." Allamah memberikan siswa nampan penuh makanan dan uang dan meminta dia untuk pergi ke rumah saudara yang beriman dan makan malam bersama dan melunasi hutang tetangga.

Allamah yang serius melakukan pembersihan jiwa (tazkiyah nafs) dengan serius, juga mendidik murid-muridnya melakukan hal serupa. Guru besar hauzah ilmiah Najaf ini senantiasa mendorong siswanya untuk mengerjakan shalat malam. Bahkan ada satu cerita, Allamah meliburkan kelasnya karena mendengar para muridnya mengabaikan ibadah shalat malam. Allamah kepada muridnya berkata, mengaka aku tidak mendengar tangisan dan rintihan kalian di tengah malam saat menunaikan shalat malam ? Saat muridnya mendengar ucapan gurunya tersebut, mereka tergerak hatinya dan mulai mengerjakan shalat malam. Ketika Allamah menyaksikan perubahan moral di setiap muridnya, maka ia kemudian melanjutkan kelasnya.

Di akhir usianya, Allamah sempat menderita sakit dan tidak mampu melanjutkan pengajarannya dan ia fokus di rumah dan menulis. Akhirnya pada 24 Dzulhijjah atau Rajab tahun 1212 H, ulama besar dan pejuang ini menghembuskan nafas terakhirnya. Setalah proses tasyi' jenazah dan shalat mayit terhadap ulama besar ini, akhirnya Allamah Bahrul Ulum disemayamkan di sisi makam Sheikh Tusi di kota Najaf.

Minggu, 05 Juni 2022 16:38

Allamah Mohammad Baqir Vahid Behbahani

 

Setelah meninggalnya Allamah Majlesi, pemerintah Safawi mulai menurun dan seiring dengan serangan bangsa Afghanistan ke Iran serta direbutnya ibu kota dinasti ini, yakni Isfahan, era pemerintahan Dinasti Safawi di Iran yang berlangsung hampir 200 tahun berakhir.

Mulai dari tumbangnya Dinasti Safawi hingga naiknya Nader Shah serta munculnya Dinasti Afshariyah, berlangsung selama 13 tahun. Selama tenggat waktu tersebut, Iran mengalami gajolak politik dan sosial karena kehilangan pemerintahan pusat dan invasi asing. Ketenangan yang dialami para ulama di era Safawi akhirnya hancur dan peluang tepat untuk mengajar dan melakukan riset juga musnah. Di kondisi seperti ini, Allamah Vahid Behbahani bangkit di medan ilmu dan fiqih serta meski beragam kesulitan yang ada, beliau mengambil alih bendera Ahlul Bait as dan berjuang dengan gigih.

Allamah Mohammad Baqir Vahid Behbahani adalah cucu dari Allamah Majlesi pertama dan lahir di Isfahan tahun 1117 H. Saat itu, Isfahan secara bertahap kehilangan posisinya sebagai pusat ilmu. Mohammad Baqir bersama keluarganya pindah ke Behbahan. Sebagian meyakini Mohammad Akmal Isfahani, ayah Allamah Behbahani pindah ke Behbahan untuk memerangi aliran Akhbariyah yang saat itu marak di kota Behbahan. Sementara sebagian lainnya meyakini ia pindah ke Behbahan karena kondisi rusuh sosial dan politik di kota Isfahan saat itu, karena saat itu kota Behbahan relatif tenang bagi para ulama.

Mohammad Baqir tumbuh di bawah bimbingan ayahnya dan menyelesaikan pendidikannya di kota Behbahan. Ia dikenal oleh warga dan ulama setempat dengan ketinggian ilmu dan keutamaan akhlaknya. Ia tinggal di kota Behbahan selama 30 tahun dan berusaha keras menyelesaikan pertikaian dan perbedaan di antara warga.

Allamah Behbahani yang mumpuni di sebagain besar ilmu-ilmu keislaman, meninggalkan banyak inovasi baru di bidang fiqih dan usul fiqih serta membangun pijakan dan ufuk baru di bidang ilmu-ilmu Syiah. Inovasi Allamah Vahid Behbahani tidak terbatas di usul fiqih saja, tapi di berbagai ilmu Islam lainnya seperti teologi, rijal (cabang ilmu hadis), hadis.

Mengingat pembahasan fiqih dan usul fiqih banyak penggunaannya oleh para ulama, merupakan kajian lain yang menjadi fokus Allamah Bebahani serta beliau banyak memberi inovasi di cabang ilmu ini serta menciptakan banyak perubahan di dalamnya. Selain itu, Allamah Behbahani juga memiliki banyak inovasi di ilmu rijal dan dirayah hadis.

Di era Allamah Vahid Behbahani, ilmu usul fiqih yang menjadi pijakan di ijtihad mengalami kemunduran dan kurang mendapat perhatian dari ulama serta cendikiawan. Allamah Behbahani bangkit membela dan mendukung cabang ilmu ini dan membangun dari awal ilmu usul fiqih serta menghidupkannya kembali. Usul fiqih adalah ilmu yang membahas kaidah dan prinsip istinbat hukum syar'i yang digunakan para mujtahid.

Oleh karena itu, usul fiqih adalah ilmu alat di mana seorang faqih (ulama fiqih) memanfaatkannya untuk mengistinbat hukum far'i (furu') dari sumber utama yakni al-Quran, sunnah, ijma' dan akal.

Allamah Vahid Behbahani menciptakan kebangkita di mana hasilnya adalah produksi puluhan faqih dan pakar usul di berbagai hauzah ilmiah. Guru Allamah Behbahani, yakni Sayid Sadruddin Razavi Qommi mengatakan, "Di zaman kami tidak ada seorang pun pakar usul fiqih". Namun dalam waktu singkat setelah guru besar ini, dan berkat upaya Allamah Behbahani, terjadi perubahan besar di bidang usul fiqih dan para murid beliau membuat kajian cabang ilmu ini semakin maju.

Allamah Vahid Behbahani dikenal getol melawan aliran Akhbari. Kaum akhbari adalah sekelompok ulama yang meyakini untuk memahami ajaran agama hanya cukup bersandar pada zahir riwayat dan hadis. Mereka meyakini empat kitab utama Syiah seluruhnya sahih dan menganggap siapa saja dapat merujuk pada hadis-hadis di sumber utama empat kitab ini untuk memahami hukum agamanya dan tidak membutuhkan untuk taqlid kepada mujtahid.

Faktanya kelompok Akhbari tidak membolehkan ijtihad dan taqlid kepada seorang mujtahid. Sementara kaum Usuli meyakini bahwa untuk menentukan kebenaran dan keabsahan sebuah hukum agama (syariat), diperlukan keahlian dan spesialiassi ilmiah yang cukup dan seseorang yang menguasai dengan cukup sumber agama dan pemanfaatan metodologi teliti ilimiah dan aqli yang dapat mengistinbatkan hukum agama di berbagai kasus.

Adapun mereka yang tidak memiliki spesialisasi ini harus merujuk kepada pakar dan spesialis. Masalah merujuk orang yang tidak memiliki spesialisasi kepada pakar sebuah kaidah rasional yang diterima di antara orang berakal. Usuli meyakini bahwa kaidah ini juga berlaku di bidang penentuan hukum agama.

Akhbari meyakini seluruh hadis di kutub arbaah (empat kitab rujukan utama Syiah) seluruhnya sahih, yakni apa yang dicantumkan dan diriwayatkan di kitab tersebut benar bersumber dari para maksum, dan siapa saja dapat merujuk secara langsung ke riwayat ini untuk memahami hukum agama. Sementara kaum Usuli meyakini bahwa pertama, seluruh hadis yang sampai kepada kita tidak seluruhnya sahih, tetapi validitas hadis dapat diukur dengan ketelitian khusus, termasuk memeriksa rangkaian perawi hadits tertentu. Selain itu, mereka meyakini kecenderungan terhadap zahir untuk memahami hadis akan menciptakan kekeliruan pada pemahaman agama, dan untuk memahami hadis sahih diperlukan seseorang yang memiliki keahlian ilmiah.

Setelah bertahun-tahun perjuangan ilmiah Allamah Behbahani melawan perkembangan aliran Akhbariyah, akhirnya perkembangan pemikiran ini berhasil dibendung. Allamah pada tahun 1159 H bersama keluarga dan familinya hijrah ke kota Najaf, Irak. Saat itu, beliau tidak menemukan guru yang dapat menambah pengetahuannya di kota Najaf. Akhirnya Allamah pergi ke kota Karbala. Di Karbala, pengaruh pemikiran Akhbariyah juga marak seperti di kota Behbahan.

Allamah menghadiri ceramah dan pelajaran ulama Akhbariyah serta mengkaji dari dekat pemikiran dan argumentasi mereka. Saat itu, Allamah meminta Sheikh Yusuf Bahrani, ulama besar Akbari untuk menyerahkan kelasnya selama tiga hari kepadanya. Sheikh Yusuf, sosok saleh dan berakhlak mulia, menerima permintaan tersebut. Allamah Behbahani selama tiga hari tersebut mengkritik ideologi Akhbari dan membuktikan kebenaran metodologi ijtihad. Pada akhirnya dua pertiga murid Sheikh Yusuf keluar dari Akhbariyah dan condong kepada metodologi usuli.

Salah satu keindahan sejarah ulama Syi'ah terlihat dalam sikap dan tindakan Allamah Vahid Behbahani dan Syekh Yusuf Bahrani, yang mewakili dua pemikiran yang berlawanan pada masanya. Terlepas dari kenyataan bahwa masing-masing ulama besar ini adalah salah satu ulama besar pada masanya dan memiliki banyak murid dan pengikut di antara orang-orang, tetapi karena pendidikan agama yang benar dan kesehatan jiwa, mereka menganggap diri mereka wajib mengikuti kebenaran.

Untuk itu, Sheikh Yusuf dengan mudah memberikan mimbar dan pelajarannya kepada ulama besar yang menjadi lawannya, dan ketika melihat keutamaan dan keilmuan Allamah Behbahani serta mendengar kekuatan argumentasinya, ia membuka jalan bagi orang-orang untuk berpindah ke aliran Usuli. Jika Sheikh Yusuf tidak memiliki jiwa yang sehat dan menghasut para pengikutnya, yang tidak sedikit, melawan pemikiran Usuli, maka konflik antara kaum Usuli dan Akhbari akan memasuki fase berbahaya.

Allamah Behbahani, selain sangat menentang pemikiran Akhbari, juga memiliki kritik yang tepat dan konstruktif terhadap ulama Usuli. Ia juga sangat memahami bidang pemikirannya yang diterima, pemikiran Usuli atau ijtihad dalam agama, dan sadar akan bahaya yang mengancam ijtihad yang benar. Sama seperti dia dengan tajam mengkritik Akhbari, dia juga berurusan dengan kemungkinan penyimpangan di antara kaum Usuli. Hubungannya dengan Saheb al-Madarek (Sayyid Muhammad ibn Ali Mousavi Ameli, 946-1009 H), yang adalah seorang Usuli dan ahli hukum, sangat terkenal. Oleh karena itu, Allamah Behbahani dengan sengaja berusaha mencegah ekstremisme dalam pemikiran Syi'ah dan mencapai kesuksesan besar.

Meskipun pemikiran akhbari, yang merupakan semacam kedangkalan ekstrim tentang hadits dan tidak mampu menjawab dalam masalah agama, namun keberadaan arus ini dan bentrokan intelektual antara mereka dan kaum Usuli, yaitu para pengikut ijtihad, telah menjadi berkah besar untuk Syiah. Kompilasi kumpulan besar narasi seperti "Wasa'il al-Shi'ah" dan "Bihar al-Anwar", kompilasi interpretasi narasi Al-Qur'an seperti interpretasi "Noor al-Thaqalin" dan interpretasi "Al -Burhan fi Tafsir al-Quran" ditulis pada masa dominasi pemikiran Akhbari. Juga, perdebatan dan diskusi antara kedua kelompok ini membantu memperdalam dan memperluas perdebatan yurisprudensi dan Usuli.

Usia Allamah Behbahani mencapai 90 tahun dan di akhir usianya, kelemahan menguasainya dan dia meninggalkan pengajaran dan diskusi dan hanya mengajarkan Syaharah Lum'ah. Dia menyebut Allama Bahr al-Ulum sebagai siswa terkemuka di Najaf Ashraf dan memintanya untuk mengatur pelajaran dan diskusi untuk mengurus urusan Syiah. Ulama besar Syiah ini meninggal di Karbala pada 29 Syawal 205 H setelah perjuangan seumur hidup dan dimakamkan di serambi Imam Husein (AS) di kaki para syuhada. Meski jasadnya disemayamkan seperti jenazah lainnya, tapi nama besarnya bersinar dan sejajar dengan nama tokoh besar. Cahaya yang dia bawa sampai kini masih membimbing para ulama dan pencari kebenaran.

Minggu, 05 Juni 2022 16:34

Surat At-Tur 41-49

 

Surat At-Tur 41-49

أَمْ عِنْدَهُمُ الْغَيْبُ فَهُمْ يَكْتُبُونَ (41) أَمْ يُرِيدُونَ كَيْدًا فَالَّذِينَ كَفَرُوا هُمُ الْمَكِيدُونَ (42) أَمْ لَهُمْ إِلَهٌ غَيْرُ اللَّهِ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ (43)

Apakah ada pada sisi mereka pengetahuan tentang yang gaib lalu mereka menuliskannya? (52: 41)

Ataukah mereka hendak melakukan tipu daya? Maka orang-orang yang kafir itu merekalah yang kena tipu daya. (52: 42)

Ataukah mereka mempunyai tuhan selain Allah. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (52: 43)

Di pembahasan sebelumnya, Tuhan mempertanyakan para penentang Rasulullah Saw, apa dasar kalian melontarkan tuduhan seperti ini kepada utusan-Nya. Ayat ini melanjutkan pertanyaan tersebut dan mengatakan, Apakah para penentang mengklaim bahwa diri mereka berhubungan dengan alam ghaib dan secara langsung menerima wahyu ilahi, serta tidak membutuhkan firman Tuhan yang disampaikan oleh Rasulullah kepada mereka ?

Atau mereka tengah melakukan konspirasi dan rencana untuk meneror Rasulullah, sementara mereka harus mengetahui bahwa mereka sendiri tunduk kepada kehendak Tuhan dan rencana mereka akan merugikan mereka sendiri. Mereka jika bersandar pada kekuatan palsu yang mereka anggap sebagai sekutu Tuhan, maka ketahuilah bahwa  bahwa mereka tidak dapat mendukung dan membantu mereka melawan kekuatan Tuhan.

Dari tiga ayat tadi terdapat tiga poin berharga yang dapat dipetik:

1. Salah satu metode dakwah dan membimbing para pengingkar adalah melontarkan sejumlah pertanyaan untuk membangunkan mereka dan memaksanya untuk berpikir.

2. Siapa saja selain para nabi dan wali Allah memiliki hubungan dengan hal-hal ghaib, maka klaimnya tidak memiliki landasan logika dan ilmiah, serta kata-katanya batil.

3. Tuhan mendukung orang yang beriman dan konsisten, serta jika diperlukan akan menggagalkan konspirasi musuh melawan mereka.

وَإِنْ يَرَوْا كِسْفًا مِنَ السَّمَاءِ سَاقِطًا يَقُولُوا سَحَابٌ مَرْكُومٌ (44) فَذَرْهُمْ حَتَّى يُلَاقُوا يَوْمَهُمُ الَّذِي فِيهِ يُصْعَقُونَ (45) يَوْمَ لَا يُغْنِي عَنْهُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ (46)

Jika mereka melihat sebagian dari langit gugur, mereka akan mengatakan: "Itu adalah awan yang bertindih-tindih". (52: 44)

Maka biarkanlah mereka hingga mereka menemui hari (yang dijanjikan kepada) mereka yang pada hari itu mereka dibinasakan, (52: 45)

(yaitu) hari ketika tidak berguna bagi mereka sedikitpun tipu daya mereka dan mereka tidak ditolong. (52: 46)

Ayat ini menyinggung puncak keras kepala orang kafir dan mengatakan, jika azab Allah turun berupa batu dari langit, mereka akan mengingkarinya dan berkata: Ini adalah awan-awan di langit yang telah mengembun dan kemudian jatuh. Mereka bukan saja mengingkari kebenaran spiritual, bahkan kebenaran fisik dan apa yang mereka saksikan dengan mata juga mendistorsinya sehingga mereka dapat lari dari beriman kepada Tuhan.

Oleh karena itu, ayat ini kepada Rasulullah berkata, tinggalkan orang-orang seperti ini; Mereka bukannya tertidur yang harus kamu bangunkan. Mereka berpura-pura tertidur dan seberapa besar usahamu untuk membangunkan mereka, merekat idak akan terbangun. Hanya kematian dan kehancuran yang akan membangunkan mereka, tapi saat itu tidak ada lagi gunanya bagi mereka. Selain itu, rencana mereka untuk mengalahkan kebenaran dan menghancurkan agama Tuhan gagal dan tidak akan lagi menjadi penyelamat bagi mereka.

Dari tiga ayat tadi terdapat tiga poin berharga yang dapat dipetik:

1. Keras kepala juga akan membuat mata manusia buta melihat hakikat materi, apalagi hakikat maknawi yang harus dilihat melalui hati dan diterima. Para prinsipnya keras kepala manusia mendorongnya menganalisa kebenaran secara keliru.

2. Bimbingan dan petunjuk para nabi bagi mereka yang ingin memahami kebenaran, bukan bagi mereka yang menolak kebenaran dan tetap keras kepala.

3. Para penentang tidak memperhitungkan kehancuran dirinya di perhitungan mereka. Mereka menganggap akan abadi dan mampu melancarkan rencana dan konspirasinya. Padahal jika Tuhan berkehendak, kematian dan kehancuran mereka akan tiba serta rencana mereka akan musnah.

وَإِنَّ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا عَذَابًا دُونَ ذَلِكَ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (47) وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ (48) وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَإِدْبَارَ النُّجُومِ (49)

Dan sesungguhnya untuk orang-orang yang zalim ada azab selain daripada itu. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (52: 47)

Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri, (52: 48)

dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat di malam hari dan di waktu terbenam bintang-bintang (di waktu fajar). (52: 49)

Melanjutkan ayat sebelumnya terkait turunnya murka dan azab ilahi kepada orang kafir dan keras kepala, ayat ini mengatakan,"Azab ilahi tidak terbatas di akhirat, tapi juga akan diturunkan di dunia dan alam Barzah, tapi mereka yang tidak mengetahui wahyu, tidak mengetahui hal ini dan tidak berpikir untuk memperbaiki dan menyelamatkan diri dari azab Tuhan."

Di akhir surat ini, setelah menjelaskan beragam tuduhan dan konspirasi musuh, Allah Swt kepada Rasulullah Saw berkata, "Tetaplah konsisten dan istiqamah menjalankan tanggung jawab menyebarkan risalah yang telah Kami bebankan di pundakmu, dan Kami adalah pembimbing dan pendukungmu serta sedetikpun kamu tidak lepas dari pandangan Kami, sehingga Kami membiarkan kamu sendirian."

Namun begitu perkuat jiwamu dengan senantiasa berhubungan dengan Tuhan dan ucapkan tasbih dan puji-pujian kepada-Nya setiap pagi dan malam. Ini akan membuatmu tidak membutuhkan orang lain dan berhubungan dengan sumber kekuatan dan keagungan.

Dari tiga ayat tadi terdapat empat poin berharga yang dapat dipetik:

1. Orang-orang zalim tidak menyadari nasib buruk akibat perbuatannya di dunia dan akhirat, jika tidak maka mereka tidak akan berbuat demikian dan dengan kata lain ia tidak akan lagi menzalimi dirinya sendiri.

2. Dalam menjaga agama Tuhan, harus melawan para penentang yang keras kapala, dan dengan penuh kesabaran menanggung kesulitan di jalan ini.

3. Jika manusia percaya bahwa Tuhan menyaksikan dan menolong orang-orang yang berjuang di jalan-Nya, maka kesabarannya akan meingkat dan tidak akan meninggalkan perjuangannya tersebut.

4. Doa dan munajat kepada Tuhan, serta melantunkan zikir memiliki dampak besar dalam memperkuat ruh dan mental manusia dalam menunaikan perintah Tuhan.

Minggu, 05 Juni 2022 16:33

Surat At-Tur 32-40

 

Surat At-Tur 32-40

أَمْ تَأْمُرُهُمْ أَحْلَامُهُمْ بِهَذَا أَمْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ (32) أَمْ يَقُولُونَ تَقَوَّلَهُ بَلْ لَا يُؤْمِنُونَ (33) فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ (34)

Apakah mereka diperintah oleh fikiran-fikiran mereka untuk mengucapkan tuduhan-tuduhan ini ataukah mereka kaum yang melampaui batas? (52: 32)

Ataukah mereka mengatakan: "Dia (Muhammad) membuat-buatnya". Sebenarnya mereka tidak beriman. (52: 33)

Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar. (52: 34)

Di pembahasan sebelumnya disinggung tuduhan tak berdasar para penentang Rasulullah terhadap beliau. Ayat ini menyatakan, apakah akal sehat membuat kalian menjadi tidak masuk akal sehingga kalian menuduh Rasulullah, yang berbicara kepada Anda dengan akal dan logika, seorang dukun, penyair, dan orang gila? Kata-kata ini tidak memiliki pembenaran lain selain kesombongan dan melawan kebenaran.

Kalian karena menolak beriman kepada Rasulullah, menuduhnya bahwa ajarannya berasal dari dirinya sendiri dan kemudian menisbatkannya kepada Tuhan. Jika memang benar demikian, maka kalian coba lakukan hal serupa dan keluarkan kata-kata seperti ucapan Rasululullah. Tunjukkan apa yang ia klaim tidak benar, dan orang lain pun dapat mengeluarkan kata-kata seperti ucapan nabi.

Dari tiga ayat tadi terdapat tiga poin berharga yang dapat dipetik:

1. Akar utama kekufuran dan pengingkaran adalah pemberontakan melawan kebenaran, bukan akal dan pikiran.

2. Para penentang nabi, untuk membenarkan kekufurannya dan menjauhkan masyarakat dari para nabi, tak segan-segan melontarkan tudingan dan tuduhan tak berdasar kepada para nabi.

3. Al-Quran adalah mukjizat nyata Rasulullah Saw untuk membuktikan risalahnya, para penentang beliau jika berkata benar maka datangkan kitab seperti al-Quran.

َمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ (35) أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بَل لَا يُوقِنُونَ (36)

Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? (52: 35)

Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). (52: 36)

Ayat ini mengisyaratkan salah satu dalil untuk mengenal Tuhan, yakni argumentasi kausalitas. Argumentasi ini mengatakan, tidak ada akibat yang muncul tanpa ada sebab, dan tidak ada akibat yang menjadi sebab bagi dirinya, oleh karena itu membutuhkan sebab selain dirinya. Mengingat seluruh fenomena di bumi dan langit seperti ini, maka pada akhirnya kita harus mencapai satu sebab yang bukan akibat, jika tidak maka kita akan terjebak pada tasalsul (rangkaian sebab dan akibat yang tidak terbatas dan tidak berujung kepada satu titik) dan ini tertolak menurut akal.

Tidak ada manusia yang dapat mengklaim dirinya muncul tanpa sebab. Begitu juga tidak ada yang dapat mengklaim bahwa dirinya yang mencitakan dirinya sendiri. Dua asumsi ini mustahil menurut akal. Karena manusia sebuah fenomena dan setiap fenomena membutuhkan sebab. Selain itu, manusia yang sebelumnya tidak ada, bagaimana ia dapat menjadi sebab keberadaannya ? Oleh karena itu kebutuhan akan pencipta adalah hal fitri dan logis yang juga diakui oleh musyrik Mekah dan mereka tidak mengingkari adanya sang pencipta.

Dari dua ayat tadi terdapat empat poin berharga yang dapat dipetik:

1. Al-Quran dengan menggulirkan sejumlah pertanyaan, mengajak manusia untuk berpikir dan merenung, serta membangunkan pemikiran dan perasaan mereka dan juga menyeru mereka untuk meninggalkan penentangan.

2. Jika manusia mencari kebenaran dan menerimanya, maka akal akan membimbingnya.

3. Manusia bukan pencipta dirinya, bukan juga pencipta langit dan bumi.

4. Berpikir mengenai pencipta diri kita dan dunia, akan membawa manusia mengenal Tuhan dan membuatnya yakin.

أَمْ عِنْدَهُمْ خَزَائِنُ رَبِّكَ أَمْ هُمُ الْمُسَيْطِرُونَ (37) أَمْ لَهُمْ سُلَّمٌ يَسْتَمِعُونَ فِيهِ فَلْيَأْتِ مُسْتَمِعُهُمْ بِسُلْطَانٍ مُبِينٍ (38) أَمْ لَهُ الْبَنَاتُ وَلَكُمُ الْبَنُونَ (39) أَمْ تَسْأَلُهُمْ أَجْرًا فَهُمْ مِنْ مَغْرَمٍ مُثْقَلُونَ (40)

Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu atau merekakah yang berkuasa? (52: 37)

Ataukah mereka mempunyai tangga (ke langit) untuk mendengarkan pada tangga itu (hal-hal yang gaib)? Maka hendaklah orang yang mendengarkan di antara mereka mendatangkan suatu keterangan yang nyata. (52: 38)

Ataukah untuk Allah anak-anak perempuan dan untuk kamu anak-anak laki-laki? (52: 39)

Ataukah kamu meminta upah kepada mereka sehingga mereka dibebani dengan hutang? (52: 40)

Melanjutkan ayat sebelumnya, ayat ini juga mempertanyakan para penentang Rasulullah. Ayat ini mengatakan, jika kalian menerima bahwa kalian bukan pencipta diri kalian dan dunia, kemudian apakah pengaturan urusan dunia dan manusia serta pembagian rezeki dan nikmat diserahkan kepada kalian ?  Apakah kalian mengharapkan Tuhan memilih seorang yang kalian inginkan sebagai nabi, atau siapa saja yang kalian inginkan diangkat sebagai penanggung jawab masalah ini atau urusan sosial lainnya ?

Apakah mereka memiliki akses ke langit sehingga mereka mengetahui pengaturan urusan dunia atau wahyu ilahi untuk membimbing masyarakat, dan bertindak sesuai dengannya ?

Apakah mereka memiliki dalil dan argumentasi terkait ucapan tak berdasar yang dinisbatkan kepada Tuhan, misalnya mereka mengatakan, para malaikat adalah putri-putri Tuhan ?

Atau misalnya Rasul meminta imbalan atas penyampaian risalahnya, di mana pembayarannya bagi mereka akan sangat sulit dan dengan demikian mereka menolak menerima ajarannya ?

Jelas bahwa jawaban semua pertanyaan ini adalah tidak, dan para penentang tidak memiliki dalil dan logika yang jelas bagi penentangannya, dan mereka hanya mencari-cari alasan untuk lari dari menerima kebenaran.

Dari empat ayat tadi terdapat tiga poin berharga yang dapat dipetik:

1. Jika oposisi memiliki ucapan yang logis, maka kita juga harus bersedia menerimanya dan jangan terjebak pada fanatisme buta.

2. Mereka yang menisbatkan kata-kata tak berdasar kepada Tuhan seperti Tuhan memiliki putri, maka mereka juga tidak segan-segan melontarkan tudingan tak berdasar kepada para utusan Tuhan.

3. Dalam menyebarkan agama dan hidayah serta mengajak manusia kepada kebenaran, kita harus, seperti para nabi, menahan diri dari mengangkat masalah materi atau tuntutan keuangan dari orang-orang. Karena hal ini akan menetralisir efek dakwah dan juga memberi tekanan pada orang. Tentu saja, jika orang itu sendiri membantu secara sukarela atau memberi hadiah, tidak ada masalah untuk menerimanya.

Minggu, 05 Juni 2022 16:32

Surat At-Tur 22-31

 

Surat At-Tur 22-31

وَأَمْدَدْنَاهُمْ بِفَاكِهَةٍ وَلَحْمٍ مِمَّا يَشْتَهُونَ (22) يَتَنَازَعُونَ فِيهَا كَأْسًا لَا لَغْوٌ فِيهَا وَلَا تَأْثِيمٌ (23) وَيَطُوفُ عَلَيْهِمْ غِلْمَانٌ لَهُمْ كَأَنَّهُمْ لُؤْلُؤٌ مَكْنُونٌ (24)

Dan Kami beri mereka tambahan dengan buah-buahan dan daging dari segala jenis yang mereka ingini. (52: 22)

Di dalam surga mereka saling memperebutkan piala (gelas) yang isinya tidak (menimbulkan) kata-kata yang tidak berfaedah dan tiada pula perbuatan dosa. (52: 23)

Dan berkeliling di sekitar mereka anak-anak muda untuk (melayani) mereka, seakan-akan mereka itu mutiara yang tersimpan. (52: 24)

Di pembahasan sebelumnya dibahas mengenai nikmat yang diperoleh penghuni surga. Ayat ini melanjutkan nikmat tersebut dan menyinggung sejumlah makanan dan minuman yang dinikmati penghuni surga dan menyatakan, "Berbagai buah-buahan disiapkan di surga dan kapan pun ahli surga menginginkan buah-buahan, mereka langsung diberi. Berbeda dengan di dunia, setiap buah-buahan tumbuh di musim tertentu, kondisi dan geografi tertentu.

Selain beragam buah-buahan, ahli surga juga juga menikmati beragam protein dari daging burung, ikan laut dan hewan lainnya. Nikmat ini tidak ada batasnya bagi penghuni surga.

Wajar jika di samping makanan, mereka juga membutuhkan minuman. Di surga penghuni surga menikmati minuman bergandengan tangan dan mereka meminumnya hingga klimaks tanpa ada bahaya seperti minuman anggur di dunia yang membuat orang mabuk dan mendorong manusia berbuat dosa.

Sementara itu, pelayan senantiasa siap melayani penghuni surga dan apa yang mereka minta langsung diberi, sehingga mereka tidak akan merasa kekurangan.

Dari tiga ayat tadi terdapat tiga poin berharga yang dapat dipetik:

1. Makanan dan minuman surgawi sangat beragam dan sesuai dengan selera penghuninya, supaya mereka makan dan minum dengan penuh selera dan tidak bosan.

2. Mereka yang menjaga diri selama di dunia dari perbuatan sia-sia dan buruk, di Hari Kiamat mereka akan dimasukkan ke surga.

3. Minuman keras di surga tidak seperti di dunia yang memiliki bahaya. Minuman keras di surga tidak membuat orang mabuk dan juga tidak mendorong manusia melakukan perbuatan yang tak pantas atau dosa.

وَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَسَاءَلُونَ (25) قَالُوا إِنَّا كُنَّا قَبْلُ فِي أَهْلِنَا مُشْفِقِينَ (26) فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ (27) إِنَّا كُنَّا مِنْ قَبْلُ نَدْعُوهُ إِنَّهُ هُوَ الْبَرُّ الرَّحِيمُ (28)

Dan sebahagian mereka menghadap kepada sebahagian yang lain saling tanya-menanya. (52: 25)

Mereka berkata: "Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab)". (52: 26)

Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka. (52: 27)

Sesungguhnya kami dahulu menyembah-Nya. Sesungguhnya Dialah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang. (52: 28)

Ayat ini menyebutkan dialog antara penghuni surga dan menyatakan, "Sejumlah dialog tentang masa lalu mereka, tentang perbuatan baik yang mereka lakukan selama di dunia yang membuat mereka dimasukkan ke surga ."

Jawaban terpenting dari pertanyaan ini adalah belas kasih dan kepedulian mereka terhadap keluarga mereka. Orang-orang ini melakukan tugas mereka baik terhadap orang tua, istri atau suami dan anak-anak mereka, serta mengerahkan segenap upayanya untuk menjaga mereka supaya tidak menyimpang. Mereka bukan saja menjaga dirinya dari perbuatan dosa, tapi juga berusaha keras mendidik anak-anaknya sehingga mereka menjadi anak yang saleh dan mukmin.

Wajar jika perhatian dan kasih sayang ini membuat mereka mendapat rahmat ilahi. Berkat rahmat tersebut, mereka berkumpul bersama keluarganya di surga dan semuanya diselamatkan dari api neraka.

Dari empat ayat tadi terdapat tiga poin berharga yang dapat dipetik:

1. Surga dan neraka berada di tangan kita. Perbuatan dan perilaku kita selama di dunia yang akan menentukan nasib kita di Hari Kiamat, surga atau neraka.

2. Kepedulian, perhatian dan kasih sayang untuk keluarga, yang mengarah pada pengasuhan anak yang tepat, adalah kunci masuk surga. Sifat ini menjadikan manusia dan anak-anaknya sebagai ahli surga.

3. Ahli surga menganggap surga sebagai anugerah dan berkah ilahi bagi mereka, bukan pahala atas perbuatan kecil mereka yang tidak sebanding dengan nikmat ilahi yang tak terhingga.

فَذَكِّرْ فَمَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلَا مَجْنُونٍ (29) أَمْ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهِ رَيْبَ الْمَنُونِ (30) قُلْ تَرَبَّصُوا فَإِنِّي مَعَكُمْ مِنَ الْمُتَرَبِّصِينَ (31)

Maka tetaplah memberi peringatan, dan kamu disebabkan nikmat Tuhanmu bukanlah seorang tukang tenung dan bukan pula seorang gila. (52: 29)

Bahkan mereka mengatakan: "Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya". (52: 30)

Katakanlah: "Tunggulah, maka sesungguhnya akupun termasuk orang yang menunggu (pula) bersama kamu". (52: 31)

Setelah menyebutkan nikmat para penghuni surga, Allah Swt di ayat ini kepada Rasulullah Saw berfirman, "Sampaikan hal ini kepada manusia dan ingatkan mereka dengan Hari Kiamat, supaya mereka tidak terlena dengan kehidupan dunia dan lalai akan akhirat."

Sementara itu, orang musyrik setelah mendengar peringatan ini malah menyebut Rasulullah Saw serbagai dukun dan penyihir. Mereka mengatakan, ia (Muhammad) adalah dukun yang meramalkan masa depan, berbicara mengenai masa depan dan ingin memberi tahu manusia akan rahasia alam ghaib. Oleh karena itu, ia memiliki komunikasi dengan jin dan mendapat berita tentang masa depan darinya.

Padahal Allah Swt berfirman, pengetahuan Rasulullah akan masa depan karena wahyu ilahi dan tanggung jawab kenabian dan risalahnya, dan ia bukan penyihir. Ia bukan penyair dan kata-katanya adalah firman Tuhan, bukan pemikiran dan hayalan pribadinya di mana akan hilang ketika ia pergi dan digantikan dengan penyair atau penyihir lain.

Dari tiga ayat tadi terdapat dua poin berharga yang dapat dipetik:

1. Para penentang nabi senantiasa berusaha menjauhkan masyarakat darinya dengan melontarkan tudingan tak berdasar seperti penyair atau penyihir.

2. Musuh Islam berharap dengan kematian Rasulullah Saw, Islam akan padam. Tapi kehendak Allah Swt adalah Islam senantiasa bersinar dan abadi. Seperti yang kita saksikan saat ini, meski ada beragam konspirasi, Islam tetap eksis di dunia dan terus berkembang.