کمالوندی

کمالوندی

 

Kepedulian Imam Sajjad as terhadap Perubahan Masyarakat Lebih dari Ibadah dan Munajat
Imam 27 August 2021 576 views

Pasca tragedi Asyura tahun 61 H, Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad as melakukan beberapa langkah dan tidak berputus asa untuk berjuang di jalan kebenaran melanjutkan misi Imam Husain as. Kepedulian Imam Sajjad as terhadap perubahan masyarakat melebihi dari ibadah dan munajat yang karenanya beliau dikenal dengan Sayyid As-Sajidin dan Zainal Abidin. Beliau selalu menaruh harapan untuk dapat merubah masyarakat.

Berdasarkan sebuah riwayat, 12 Muharram adalah hari syahadah Imam Ali Zainal Abidin as. Beliau dilahirkan pada 5 Sya’ban 38 H di Madinah. Setelah syahadah Imam Husain pada Muharram 61 H, imamah jatuh ke tangan Imam Zainal Abidin pada usia 23 tahun dalam kondisi tersulit dari sejarah Islam. Setelah kembali ke Madinah, beliau mengemban tugas imamah kaum Syiah selama 34 tahun dari 57 tahun usia beliau.

Masyarakat atau umat Islam setelah peristiwa Asyura dilanda kondisi krisis yang traumatis. Meski mengalami berbagai musibah dan memiliki kekecewaan terhadap penduduk Mekkah dan Madinah serta umat Islam karena ketidakpedulian mereka terhadap peristiwa yang menimpa Imam Husaian as di Karbala, Imam Sajjad as tetap tidak mengabaikan umat.

Mungkin saja sebuah peristiwa dialami oleh seseorang dan tidak ada orang lain yang menolongnya, maka wajar ia tidak mempedulikannya. Namun Imam Ali Zainal Abidin as melangkah dengan seluruh jiwa dan bahkan kepedulian beliau untuk merubah masyarakat lebih besar lagi.

Masyarakat Madinah telah menyaksikan atau mendengar Asyura Husaini, namun mereka tidak menyertai Imam Husain as. Imam Sajjad as menyatakan bahwa pencinta kami di Madinah tidak lebih dari 20 orang. Di kota Madinah yang seperti ini, ketika kerusakan merajalela atau diistilahkan bahwa Islam hanya tinggal kiblatnya saja, Imam Zainal Abidin as mampu merubahnya dengan segala istiqamah, strategi, dan perencanaan yang matang sehingga terjadi perubahan sedemikian besar ketika ribuan orang menghadiri kelas (majlis ilmiah) Imam Baqir dan Imam Ja’far Shadiq as.

Strategi Imam Zainal Abidin pada peristiwa Al-Harrah dan penyerangan Masjidil Haram

Dari sisi lain, pada masa Imam Ali Zainal Abidin as, kota Madinah menyaksikan peristiwa-peristiwa terburuk sepanjang sejarahnya sebagai kota Islam. Salah satunya adalah peristiwa al-harrah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ketika itu, pasukan Yazid memasuki Madinah dan Yazid menghalalkan harta, benda, dan kehormatan penduduk Madinah selama 3 hari bagi tentara-tentaranya. Mereka diberikan kebebasan mutlak untuk melakukan segala bentuk kejahatan dan kekejian.

Penyerangan Masjidil Haram adalah peristiwa lain yang terjadi pada masa Imam Sajjad as. Imam Sajjad as menghadapi rangkaian krisis ini dengan strategi yang matang. Terdapat beberapa gerakan atau kebangkitan, seperti kebangkitan Tawwabin untuk membela (menuntut balas darah) Imam Husain as atau juga terdapat sekelompok dari penduduk Madinah yang mendatangi istana Yazid. Mereka melihat kafasikan Yazid dan memprovokasi penduduk lain yang berakhir kepada peristiwa al-Harrah. Gerakan atau kebangkitan orang-orang yang membela imamah dan wilayah ini merupakan sebuah gerakan tanpa rencana matang. Kebangkitan tersebut tidak disertai strategi dan restu dari Imam Sajjad as.

Problem lain yang dihadapi umat Islam adalah permasalahan Abdullah bin Zubair. Ia memimpin penduduk Mekkah dari tahun 61 hingga 73 H dan merupakan orang yang tidak berwilayah atau memihak kepada Ahlul Bait as, bahkan menjadi musuh Ahlul Bait. Ia melaksanakan shalat Jumat selama 6 bulan dan sekali pun tidak pernah menyebut nama Nabi saw. Saat ditanyakan alasannya, ia menjawab, Nabi saw memiliki keturunan dan aku khawatir keturunannya akan merasa sombong atau congkak. Hal lain yang dilakukan Abdullah bin Zubair adalah menghapus آل محمد (keluarga Muhammad) dari shalawat.

Semua masalah itu menunjukkan bahwa langkah-langkah mundur dan berdiam diri menjadi pilihan Imam Sajjad as, namun beliau menjalankan pilihannya dengan agenda dan strategi. Salah satu metode Imam Sajjad as dengan dakwah face to face (tatap muka). Terkadang beliau duduk di Masjid Nabawi dan terkadang berbincang-bincang dengan satu orang hingga beberapa lama untuk memberikan berbagai penjelasan kepadanya.

Metode lain yang digunakan oleh Imam Sajjad as untuk mendidik adalah permasalahan hamba sahaya (budak). Beliau as membeli budak perempuan dan lelaki, kemudian mendidik dan lalu membebaskan mereka. Hal ini adalah sebagai sebuah jalan memberikan petunjuk ketika seorang hamba sahaya berada di bawah didikan beliau as dan menjadi mukadimah untuk memberikan pendidikan kepada generasi baru.

Imam Sajjad as melalui doa dan munajatnya berusaha selain menjelaskan tauhid dan kenabian, juga mengajarkan cara hidup dan bagaimana merubah masyarakat.

Kondisi mamsyarakat Islam yang paling parah adalah pasca tragedi Asyura, namun berkah Asyura perlahan-lahan tampak dalam perjalanan sejarah hingga kini dan masa yang akan datang.

Bila kota Madinah pada masa Imam Baqir dan Imam Ja’far Shadiq berubah menjadi majlis-majlis ilmiah, hal itu bukan karena kondisi dengan sendirinya membaik, karena kondisi masa kekuasaan Abbasiyah juga kurang mendukung. Hal yang lebih penting diketahui bahwa Imam Ali Zainal Abidin selama 35 tahun aktif berjuang di Madinah tanpa lelah, yaitu dari tahun 61 H hingga 94 H dan hasilnya dapat dirasakan pada masa Imam Baqir dan Imam Shadiq as.

 

Nikah beda agama, yakni muslim/muslimah menikah dengan perempuan/lelaki non-muslim, bukan isu baru juga bukan fenomena terakhir. Hanya saja, belakangan ini kita lebih kerap lagi melihat fenomena ini dan, tak pelak, menuai kontroversi di tingkat nasional. Bukan saja tidak diperbolehkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), pernikahan beda agama juga sebelumnya sudah diatur cukup komprehensif dalam fiqh lima mazhab. Dalam tulisan ini, kita akan meninjau pandangan dan argumentasi lima imam mazhab fiqih dalam merespon pernikahan beda agama.

Tujuan Menikah dan Hukum Agama

Berangkat dari tujuan menikah yang disebutkan dalam surat al-Rum ayat 21 dab surah al-Nahl ayat 72 yaitu:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”‘[1]

وَاللّٰهُ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّجَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَزْوَاجِكُمْ بَنِيْنَ وَحَفَدَةً وَّرَزَقَكُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِۗ اَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُوْنَ وَبِنِعْمَتِ اللّٰهِ هُمْ يَكْفُرُوْنَۙ

“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?”[2]

Dari ayat di atas, tujuan pernikahan agar terwujudnya ketenangan dan membangun satu relasi berdasarkan cinta dan kasih sayang, hingga melimpahlah rezeki yang berkah lagi baik.

Islam memberikan jalan fitrah manusia melalui syariat Islam. Syariat Islam berupa ayat dan riwayat yang dijadikan pijakan dalam membuat hukum (fiqh). Agar fitrah manusia bisa terus berjalan dalam jalan kebenaran, maka Islam memberikan aturan agar manusia dapat mencapai tujuannya.

Nikah Beda Agama, antara Boleh dan tidak Boleh

Fiqh lima mazhab yang kita ketahui adalah fiqh mazhab Ja’fari, Ma:liki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali. Pendapat mereka bisa kita rujuk secara langsung dalam buku Fiqh Perbandingan Lima Mazhab: Syafi’i, Hanbali, Maliki, Hanafi, Ja’fari.[3] Di dalam buku tersebut dibahas isu-isu atau masalah fiqh dengan memaparkan pandangan lima (5) imam.mazhab besar fiqh. Termasuk di antara pembahasannya adalah, mengenai pernikahan beda agama.

Dalam buku Fiqh Perbandingan Lima Mazhab, persoalan perbedaan agama masuk pada sub-sub bab yang membahas mengenai penghalang sababiyah. Di antara sepuliuh (10) penghalang sababiyah, salah satunya adalah perbedaan agama. Ada dua poin berkenaan dengan hal tersebut:

Boleh-tidak bolehnya menikah beda agama
Sah-tidak sahnya menikah beda agama.
Pada poin pertama, para ahli fikih menyepakati terlebih dahulu apakah pernikahan beda agama itu benar secara fiqh? Dengan kata lain, apakah nikah beda agama dibolehkan dalam Islam?

Seluruh ahli fikih sepakat, tidak dibolehkan bagi muslim atau muslimah menikah dengan orang kafir yang tidak memiliki kitab samawi. Pandangan ini didasari dalil naqli yaitu, surah al-Baqarah ayat 221[4].

Mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali dan Syafi’i membolehkan seorang muslim menikah dengan orang kafir yang memiliki kitab samawi seperti Yahudi dan Nasrani, namun sebaliknya mereka tidak membolehkan muslimah menikah dengan laki-laki non muslim, sekalipun ahli kitab.[5] Mazhab Ja’fari juga sependapat dengan empat mazhab lain dalam hal tidak boleh perempuan muslim menikah dengan laki-laki non muslim.

Di kalangan mazhab Ja’fari  terjadi perbedaan pendapat terkait jenis pernikahan beda agama yang dilakukan laki-laki muslim dengan perempuan ahlul kitab. Pertama, sebagian ahli fikih berpendapat bahwa pernikahan beda agama, meskipun perempuannya ahlul kitab dan lelakinya muslim tetap tidak diperbolehkan. Pendapat pertama ini diwakili oleh Syaikh Mufid, Sayyid al-Murtadha dan Ibnu Barraj. Argumentasi kelompok ini didasarkan pada surah al-Mumtahanah ayat 10[6] dan surah al-Baqarah ayat 221[7]. Pelarangan ini didasarkan pada penafsiran terhadap kata syirk dengan kufr.

Pandangan Kedua mengatakan bahwa laki-laki muslim boleh menikahi perempuan ahlul kitab baik da’im maupun munqathi’[8]. Kelompok kedua yang diwakili oleh Ali bin Babawaih dan Syaikh al-Shaduq mendasari argumentasinya pada  surah al-Maidah ayat 5[9]. Terakhir adalah pandangan Ketiga, mengatakan bahwa seorang muslim boleh menikah dengan wanita ahlul kitab hanya secara munqati’, tidak boleh secara da’im. Argunentasi kelompok ketiga ini berdasarkan pada penafsiran dalil yang melarang untuk nikah da’im dan dalil yang membolehkan untuk nikah munqathi.[10]

Pada poin kedua, terkait dengan sah-tidaknya pernikahan beda agama dengan mempelai pria muslim dan perempuan ahlul kitab, seluruh mazhab fikih kecuali mazhab Maliki sepakat bahwa pernikahan non muslim sah selama csranya sesuai dengan keyakinan dan ajaran mereka. Tidak ada perbedaan apakah mereka Ahlul kitab atau bukan. Argumentasinya didasari pada riwayat: “Setiap kaum memiliki tatacara pernikahan mereka sendiri.”, “Orang yang meyakini agama suatu kaum, maka dia terikat oleh hukum-hukum mereka.”, “Hukumilah mereka sebagaimana mereka menghukumi diri mereka sendiri.”.[11]

Dari pandangan lima mazhab fikih di atas, kita bisa menyimpulkan secara gsris besar bahwa di Islam diperbolehkan nikah beda agama dengan catatan yang ahlul kitabnya adalah perempuan, bukan laki-laki. Meskipun di kalangan mazhab Ja’fari ada yang melarang secaea total.

Kebijakan Majelis Ulama Indoneisa (MUI)

Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan kumpulan cendekiawan dan ulama muslim dari berbagai mazhan dan organisasi Islam di Indonesia. Dalam musyawarah nasional, MUI membuat fatwa terkait dengan pernikahan beda agama. Fatwa MUI nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 yang menetapkan (1) Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. (2) Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.[12]

Dengan demikian, untuk konteks perkawinan beda agama di Indonesia tidak diperbolehkan dan tidak sah baik dilakukan oleh laki-laki muslim sekalipun. Namun, meski sudah terdapat fatwa MUI, tetapi tidak ada konsekuensi hukuman yang berlaku bagi pasangan yang melakukan nikah beda agama di Indonesia sejauh ini.

[1] Qs. Al-Rum: 21

[2] Qs. Al-Nahl: 72.

[3] Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqh Perbandingan Lima Mazhab: Syafi’i, Hanbali, Maliki, Hanafi, Ja’fari, tiga jilid, Terj. Ibnu Alwi Bafaqih, dkk. Jakarta: Penerbit Cahaya, 2007).

[4] “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah:221).

[5] Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqh Perbandingan Lima Mazhab: Syafi’i, Hanbali, Maliki, Hanafi, Ja’fari, jilid 3, Terj. Ibnu Alwi Bafaqih, dkk. Jakarta: Penerbit Cahaya, 2007), hal. 354.

[6] وَلَا تُمْسِكُوْا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِartinya: “Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka.” (Q.S. Al-Mumtahanah:10).”

[7] وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ artinya: “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman.” (Q.S. Al-Baqarah:221).

[8] Nikah munqati’ disebut juga dengan nikah mut’ah yaitu, pernikahan seorang wanita berakal dan bwrikhtiyar dengan seorang pria muslum dengan mahar tertentu selama masa tertentu dan pihak pria menerima kesepakatan ini. (lihat. Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqh Perbandingan Lima Mazhab: Syafi’i, Hanbali, Maliki, Hanafi, Ja’fari, jilid 3, Terj. Ibnu Alwi Bafaqih, dkk. Jakarta: Penerbit Cahaya, 2007), hal. 461.

[9] ….مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَartinya “perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu.” (Q.S. Al-Maidah: 5).

[10] Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqh Perbandingan Lima Mazhab: Syafi’i, Hanbali, Maliki, Hanafi, Ja’fari, jilid 3, Terj. Ibnu Alwi Bafaqih, dkk. Jakarta: Penerbit Cahaya, 2007), hal. 355.

[11]  Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqh Perbandingan Lima Mazhab: Syafi’i, Hanbali, Maliki, Hanafi, Ja’fari, jilid 3, Terj. Ibnu Alwi Bafaqih, dkk. Jakarta: Penerbit Cahaya, 2007), hal. 356.

[12] https://mui.or.id › files › fatwa PDF PERKAWINAN BEDA AGAMA – Majelis Ulama Indonesia. Diakses pada 21 Maret 2022, pukul 11.55 WIB.

Sabtu, 11 Juni 2022 22:06

Tarekat itu dinamakan Pernikahan

 

Makrifat, Syari’at, Tarekat, Hakikat.

Ibadah memiliki dimensi lahir juga memiliki dimensi batin atau yang kita sebut dengan sisi spiritual dan moral. Ibadah bukan sekedar gerakan fisik, tapi di balik gerak fisik ada dimensi lainnya dari ibadah itu sendiri.  sehingga kemudian secara otomatis di dalamnya ada pelatihan-pelatihan spiritual disadari atau tidak. Disadari atau tidak, ibadah memiliki tujuan bagi penyempurnaan jiwa manusia itu sendiri.  Penyempurnaan jiwa diawali dengan (1) Makrifat. Makrifat adalah pengetahuan yang menghantarkan manusia pada hakikat atau realitas. Makrifat di sini meski sering disebut sebagai sebuah penyingkapan, pancaran atau penyaksian yang dimaksud para sufi, namun penulis melihatnya lebih pada bagaimana seseorang meletakkan basis rasional dari pengetahuan seperti eksistensi Tuhan, penciptaan manusia, dll. (2) setelah manusia mengenal secara rasional, manusia masuk pada wilayah syari’ah. Syari’ah adalah ketentuan fiqh yang telah diatur di dalam kitab-kitab fiqh para ulama. Setiap seorang pejalan spiritual harus melalui jalan yang telah ditentukan oleh Islam  yang kita sebut sebagai syariat. Syariat ini menjadi basis seseorang utk menjalani tarekat atau perjalanan spiritual. Setelah seorang pejalan spiritual melalui tiga tahapan tadi, maka ia kelak akan menyingkap hakikat.

Tarekat dalam Tasawuf

Tarekat berasal dari kata thariqah yang berarti jalan. Secara istilah, tarekat dipahami sebagai jalan spiritual yang ditempuh oleh seorang sufi. Kata lain dari tarekat ialah, suluk. Orang yang melakukan perjalanan spiritual disebut sebagai seorang salik. Tarekat memiliki definisi lainnya, namun di sini tarekat yang dimaksud adalah perjalanan spiritual, bukan definisi lainnya yang merujuk pada perkumpulan ahli dzikir.

ketika berbicara spiritualitas di dalam tasawuf, selain tarekat, setidaknya ada beberapa istilah yang muncul yaitu, maqamat dan ahwal. tarekat bisa dimaknai sebagai metode sufistik dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. adapun maqamat merupakan tahapan-tahapan perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi seperti taubat, ridha, zuhud, dll. sementara itu, ahwal adalah sesuatu yang didapatkan secara spontan dan ada juga yang memahaminya sebagai kondisi tetap manusia. saya menyimpulkan ahwal adalah hasil dari tahapan spiritual yang telah dilalui seperti syukur, tawadhu’, ikhlas, gembira, takwa.

Keilmuwan tasawuf mencoba utk mensistematisasi tahapan spiritual para sufi.  Karena perjalanan spiritual adalah pengalaman yang bersifat subjektif, sehingga ketika pengalaman itu diungkapkan dalam ekspresi kebahasaan, seringkali menemui perbedaan istilah yang digunakan.  Inilah yang kita temui perbedaan penamaan maqam-maqam yang harus dilalui oleh seorang salik.

Pernikahan adalah Jalan Spiritual (Tarekat)

Dalam menjalani sebuah pernikahan (syariat), seorang manusia harus lebih dulu mengenal dirinya sendiri, mengenal Tuhannya, secara sadar memahami peran kehadirannya di alam ini. Sehingga pernikahan (syariat) bukan sekedar untuk menyalurkan hasrat seksual belaka, tetapi merupakan jalan spiritual (tarekat) atau kendaraan menuju kesempurnaan jiwa bahkan tujuan tertinggi dalam dunia tasawuf yaitu, bersatu dengan Sang Maha Pecinta.

Allah SWT berfirman:

“Artinya: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. Ar Rum ayat 21)

Pondasi pernikahan adalah kasih sayang (mawaddah dan rahmah).  Pondasi pernikahan yang disyariatkan bukanlah dalam bentuk materil, tetapi dalam bentuk non materil. Kasih sayang adalah sesuatu yang bersifat batiniyah. Inilah yang mendasari sebuah pernikahan. Sehingga memang sejak awal pernikahan bukanlah sekedar ikatan fisik saja, tetapi ia merupakan ikatan batin antara dua sejoli.

Pernikahan adalah ibadah terpanjang sepanjang usia hidup manusia. pernikahan yang diikat dengan ijab-qabul bukan sekedar utk menghalalkan hasrat seksual manusia. meskipun bisa dikatakan pernikahan adalah jalan (syariah) bagi seksualitas. Aktualisasi hasrat seksual menjadi jalan bagi penyempurnaan jiwa di dalam pernikahan.

Seperti yang telah disinggung dalam pembahasan tarekat, ada yang disebut sebagai ahwal dan maqam. Di dalam pernikahan, kita sering dihadapkan dengan peristiwa-peristiwa yang secara otomatis mengolah jiwa kita, membuat kita tak berpegang selain kepada Dia. Misalnya, peristiwa kehilangan pasangan, kehilangan anak, kehilangan orangtua mengajarkan manusia, melatih manusia untuk rela atau ridho atas segala ketetapan Tuhan meskipun itu pahit.

Dengan demikan, pernikahan adalah jalan spiritual yang sering disebut oleh para sufi dengan tarekat. di dalam pernikahan banyak sekali tahapan-tahapan spiritual yang kita lalui seperti bertaubat, Qona’ah, Zuhud, Ridha, dll. Tidak sedikit ujian yang hadir di dalam sebuah pernikahan yang sangat membutuhkan olah spiritualitas yang kuat. hasil dari tahapan spiritual yang dilalui, ia akan menghasilkan ahwal seperti mensyukuri apa yang dimiliki, ikhlas dengan ketetapan yang terjadi, tawakkal atas ikhtiyar dan ketetapan Tuhan.

Nabi dan Para Makshum; Mursyid dalam Pernikahan

kalau di dalam tarekat ada mursyidnya, bagaimana di dalam pernikahan?

Tarekat sebagai jalan spiritual memerlukan mursyid.  Mursyid adalah orang yang telah melalui jalan spiritual terlebih dahulu dan  menjadi pembimbing orang-orang yang ingin menjalani perjalanan spiritual. Mursyid di sini biasanya memiliki otoritas tertinggi dalam perjalanan spiritual, maka otoritas tertinggi atas perjalanan spiritual ini haruslah dipegang oleh orang-orang yang tidak pernah gagal dalam menjalani perjalanan spiritual.

Orang-orang yang tidak pernah gagal dalam menjalani perjalanan spiritual ialah, Nabi Muhammad dan Para Makshum. Oleh karena itu, segala perkataan, perbuatan dan ketetapan mereka merupakan bimbingan bagi seorang pejalan spiritual atau salik.  Dengan demikian, pernikahan sebagai jalan spiritual seperti apa yang harus kita dijalani, kita perlu merujuk pada apa yang telah dijalani oleh mereka.

Sabtu, 11 Juni 2022 22:04

Ruh, Hati dan Akal

 

Manusia adalah makhluk bereksistensi. Ia ada sebagai bagian dari yang hadir di alam realitas. Sebagai bagian tersebut, ia ada secara bersamaan dengan entitas-entitas alam yang lain: langit, bumi, tumbuhan hewan dan sebagainya. Namun cara bereksistensi manusia amatlah khas. Pusat keunikan eksistensi manusia adalah kesadaran bahwa dirinya eksis. Karena kesadaran inilah yang menjadikan manusia tak sekedar menyadari dirinya yang eksis tapi lebih dari itu ia dapat bertanya ‘mengapa ia mesti eksis?’.

Eksistensi manusia dengan kesadarannya tak dibiarkan begitu saja terlewat, terlebih dalam momen-momen tertentu, manusia mesti bertanya akan eksistensinya. Dan di dalam pertanyaan itu ia pun bertanya apa itu eksistensi. Namun sebelum pertanyaan itu muncul, eksistensinya telah mendahuluinya. Eksistensi harus terlebih dahulu ‘eksis’ sehingga ia menjadi bahan pertanyaan, dan itu berarti seragam jawaban akan eksistensi tak akan mengubah eksistensi itu sendiri. ‘Bertanya’ dengan begitu bukan soal eksis atau tidak, melainkan lebih menegaskan kebutuhan manusia akan makna, makna akan eksistensinya.

Lebih mendasar lagi, dengan kemampuannya bertanya, berarti ada suatu dalam diri manusia yang membuatnya sanggup bertanya, yang mau tidak mau ia pun haruslah eksis sebagai suatu yang bertanya. Semua ini terlihat membentuk suatu lingkaran eksistensial dimana yang eksis bertanya tentang eksistensi. Teramat jelas bahwa tubuh manusia bukanlah entitas yang mempertanyakan makna eksistensi. Tubuh dan seluruh entitas material hanya mengalami fenomena-fenomena empiris tanpa bertanya akan apa yang dialaminya. Tubuh material praktis tunduk pada hukum-hukum alam, berjalan sesuai ritme kausalitas yang menggerakkan dirinya. Tubuh tak pernah memiliki cara untuk bereksistensi kecuali ada sebagaimana adanya.

Geliat Ruh Menggerakkan Hati Manusia

Manusia pada akhirnya tak puas dengan eksistensi tubuhnya dan aspek-aspek material yang dijalaninya setiap hari. Lalu manusia bertanya, ‘siapa dirinya, siapa aku’. Filsafat lalu hadir mencari jawaban, dan Rasio adalah basis untuk mencari jawaban tersebut. Rasio-lah yang selama ini dianggap sebagai energi bagi manusia untuk mengkonsepsi segala realitas. Rasio sebagai alat untuk mengkonsepsi memang menghadirkan suatu kenyataan yang khas pada manusia, manusia mengerti mengapa alam ini memunculkan fenomena-fenomena, terjadi itu dan ini. Rasio ini kemudian mengambil bentuk disiplin keilmuan bernama sains.

Rasio sains ini memang memberi warna bagi wawasan manusia akan alam, tapi tetap saja ia terkait dengan sesuatu yang di luar rasio itu sendiri. Rasio ini diandaikan begitu saja, dijadikan alat untuk mengkonsepsi dan bahkan untuk memanfaatkan potensi-potensi di alam guna memenuhi hasrat dan kebutuhan hidup manusia. Namun rasio sebagai dirinya yang eksis, dan bahkan mengapa ia dapat bekerja sedemikian rupa: mengkonsepsi, menganalisa, mengimajinasikan, dan sekian aktivitas rasional. Kekuatan apa yang ada pada rasio sehingga menjadikannya demikian?

Jika rasio menjadi titik tolak untuk menjawab fenomena alam, bagaimana ia sendiri dapat menjawab siapa dirinya? Filsafat lalu menempatkannya sebagai ranah ‘transendental’ yang hanya bisa diandaikan dan diterima adanya tanpa sanggup dikuliti dan dianalisa.

Kaum sufi, lalu melihat ada sesuatu yang belum terjawab, yakni hakikat diri. Hakikat diri ini tak mungkin lagi dijangkau oleh rasio, meskipun fenomena rasional berkontribusi memberi jalan bagi kesadaran akan yang ‘transenden’. Berarti dunia ini baik lahir maupun batin, tak berdiri sendiri sebagai entitas yang mengalami fenomena-fenomena. Ada yang menggerakkannya, mengarahkannya untuk sampai pada potensi-potensi yang dimilikinya.

Tesis al Quran Tentang Ruh, Hati dan Akal

Al Quran mengajukan satu tesis penting, bahwa manusia terlahir di dunia ini dengan bersendikan Ruh, ‘wa alqoyna fihi min ruhii’. Ada ruh yang meliputi diri manusia. Dan ruh itu sendiri tanpa tanpa identitas apapun kecuali ia adalah ‘perintah tuhan’, ‘qulil ruhi min amri robbi’. Karenanya, ruh adalah ‘energi’ Tuhan yang bekerja menurut perintahNya. Secara semantik, al Quran tak pernah menyebut ‘akal’ sebagai subyek/pelaku kegiatan-kegiatan konsepsi. Melainkan akal diletakkan sebagai bentuk kerja (predikat) pada hati,…’lahum qulubun ya’qiluna biha’,.. ‘afala ta’qilun’.

Maka ruh adalah energi pada hati untuk bergerak memaksimalkan potensi akalnya. Jika ruh adalah perintahNya, dan segenap realitas adalah iluminasi dan semburat cahaya wujudNya, maka apa yang menjadi tugas bagi ruh tiada lain agar segala realitas bersedia tunduk padaNya. Sehingga tujuan hakiki dari seluruh bangunan konseptual manusia melalui hati-pikiran/akalnya adalah ketundukan akan Hakikat dzatNya. Maka alam dijadikanNya sebagai ‘ayat’ yakni ‘tanda’, sebagai tanda eksistensi alam hanya gambaran belaka untuk membawa hati-pikiran kembali pada subyek hakiki yang ditandainya, Tuhan. Dan jika, hati tak berupaya melampaui alam dan bahkan terjebak di dalamnya, maka tiada yang dituju kecuali hanya kegelapan belaka. Maka, nafs yang menghendaki keburukan, dalam kerangka ini adalah suatu stagnasi berpikir manusia.

Tingkatan Ruh

Ruh sebagai eksistensi perintahNya adalah suci, sebagaimana ia menggambarkan Kesucian dzat Tuhan. Namun dalam proses emanasinya di alam ruh mengambil bentuk-bentuk yang bertingkat-tingkat, sesuai dengan kadar penciptaan. Pada benda-benda mati, ruh hanya berfungsi sebagai potensi gerak perubahan aksidental. Yang bertujuan untuk mengubah satu bentuk ke bentuk yang lain, hingga mencapai batas akhir eksistensinya yakni kehancuran.

Pada hewan dan binatang, ruh bekerja sebagai semata hasrat untuk memenuhi kehidupan (survivalitas). Ia bekerja memberi energi untuk menghasrati sesuatu, menjadi ‘insting’ kehidupan alami dalam pelbagai rupa, insting mencari makan, insting bertahan hidup, melindungi diri dan menghindari bahaya.

Sementara pada manusia, semua ruh yang dikandung oleh benda dan hewan ada padanya. Manusia memiliki jasad yang terus bergerak menuju kehancurannya. Namun ia juga memiliki ruh ‘instingtif’ sebagai hewan sehingga memiliki hasrat-hasrat bertahan hidup. Namun lebih dari itu ia memiliki ruh akal yang mampu berpikir, menganalisa yang dengannya menjadikan manusia sanggup membangun relasi kebudayaan dan peradaban. Namun ruh tertinggi bagi manusia adalah potensinya untuk mengenal dirinya sebagai hamba yang bersaksi akan Tuhannya. Ruh azali dan primordial yang mengakui dzatNya, dan tunduk akan kuasaNya dengan kesadaran penuh.

 

Alam yang tampak secara inderawi ini adalah jelas. Siapapun akan mengakui wujud alam yang tampak ini. Namun penampakan alam lahir ini tak memberi keluasan makna apa-apa selain dari pada yang tampak belaka. Kemenampakan realitas memunculkan sifat keberagaman yang masing-masing memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Di samping itu, apa yang nampak selalu berubah. Sehingga dengan begitu, ia bukanlah bersifat hakiki secara eksistensial. Karenanya pula ia bukan sandaran ontologis untuk menjadi dasar bagi prinsip-prinsip kehidupan.

Maulana Rumi menyebut apa yang nampak di seantero alam raya ini hanyalah bentuk-bentuk, dan barang siapa terpesona dengannya tak akan menemui hakikat sejati dan tentunya tak akan menemukan kebahagian abadi. Rumi berdendang:

“Lupakanlah yang tampak, masuklah ke dalam yang tak tampak. Di sana kalian akan menemukan perbendaharaan yang tiada tara” (Mastnawi)

Sementara di balik bentuk-bentuk ini ada Makna, yaitu perbendaharaan yang memiliki nilai sejati, dan di hadapan Makna ini sang bentuk tak memiliki nilai apa-apa. Manusia sering terpukau oleh deburan ombak yang saling mengiringi, namun sering abai terhadap luasnya lautan. Dunia yang serba nampak ini ibarat debu, dan angin adalah maknanya. Seiring menguatnya getar-getar cinta seorang hamba maka dunia tampak kerdil baginya. Rumi kembali berdendang:

“Di hadapan makna, apalah arti bentuk? Sangat tak sepadan. Makna langit tetap tersembunyi di tempat persemayamnya”

“Makna angin menjadikannya mengembara bagai roda yang berputar, tawanan bagi air yang mengalir”

” Ketahuilah, bahwa segala yang kasatmata adalah fana, tapi dunia Makna tak akan pernah sirna”

Makna sebagai Dasar Bagi Bentuk

Dalam al Quran, ditegaskan bahwa segala sesuatu adalah milikNya belaka (wa lillahil masyriqu wal maghrib / wa lillahi ma fissamawati wal ard). Untuk itu tiada jalan untuk kembali kecuali kepadaNya (inna lillahi wa inna ilaihi roji’un). Karenanya apapun yang ada di dunia ini berupa kebesaran, kemuliaan, kedigdayaan, kekuasaan, keindahan hanyalah bentuk-bentuk yang relatif, dapat berganti, berubah, mewujud dan sirna. Lalu Rumi bertanya:

“Sampai kapankah engkau akan terpikat oleh bejana? Tinggalkanlah ia; Pergi, airlah yang harus engkau cari!”

“Maka hanya melihat bentuk, makna tak akan engkau temukan. Jika engkau seorang yang bijak, ambillah mutiara dari dalan kerang”

Apa yang memungkinkan hadirnya bentuk-bentuk di jagat semesta alam ini adalah dunia makna yang universal, dimana dunia makna adalah pengetahuanNya. Dan jika pengetahuanNya adalah pula wujudNya, maka segala yang maujud tiada lain adalah WujudNya pula. Para filsuf muslim meyakini bahwa setiap yang ada adalah bermula dari pengetahuanNya yang kemudian mendapat limpahan wujud dariNya sehingga ia mewujud. Karenanya hanya wujud yang nyata, dan wujud tiada lain adalah DiriNya.

Tapi dunia adalah kenyataan hidup manusia, tak mungkin meninggalkannya atau menafikannya. Bukan sekedar bahwa dunia adalah kenyataan yang berdampingan dengan hidup manusia bahkan manusia membutuhkannya guna keberlangsungan kehidupannya. Maka, meninggalkan dunia tak mungkin dimengerti sebagai tak lagi membutuhkannya, melainkan tak memposisikannya dalam ruang terdalam di hati: Cinta. Hati harus membersihkan dirinya dari citra-citra duniawi yang berserakan tanpa nilai. Cinta harus meraih makna sejati dengan melampaui dunia.

“Lampauilah bentuk, lepaskan nama-nama dan segala sebutan, temukan makna” (Matsnawi)

Hubungan manusia dengan dunia realitas memiliki kompatibilitasnya masing-masing. Struktur realitas: Alam Ruhani, Alam Mitsal, Alam Dunia-materi memiliki kesesuaiannya dengan daya tampung jiwa manusia. Jiwa manusia mampu menerima gambaran akan obyek-obyek indrawi di alam kasat mata ini. Lalu dengan kemampuan rasionalnya dapat menghasilkan konsep-konsep baru. Namun tidak semua pemahaman dapat dihasilkan dengan kerja-kerja rasional diskursif. Jiwa membutuhkan kehadiran langsung, bukan tentang apa yang dipikirkan namun apa yang tampak dalam batin. Hanya hakikat-Dunia Makna yang dapat memenuhi dahaga jiwa terdalam manusia. Sejauh jiwa manusia hanya terpaut dengan segi-segi material duniawi saja, maka Sang Jiwa terdalam akan selamanya menderita.

Bagi jiwa, dunia hanya jalan untuk kembali bukan untuk menetap. Alam raya ini meskipun ia wujud namun wujudnya adalah pantulan wujud sang makna. Alam sebagai dirinya tak bermakna, ia menjadi bermakna jika dikaitkan kepada sang makna itu sendiri. Maka Jalaluddin Rumi meyakini hakikat ilmu yang sejati adalah yang berasal dari sang makna yang ketahui oleh Tuhan. Yang itu berarti ilmu sejati adalah ilmu yang dihadirkan oleh Tuhan langsung (hudhuri) sebagaimana ilmunya para Nabi.

Akal memang mampu menangkap ilmu dan mengembangkannya. Tapi ia hanya berupa gambaran-gambaran, sementara sang makna harus disingkap dengan cara yang lain, yakni hati yang penuh cinta. Hati dan cinta menjadi alat epistemologis yang khas bagi kaum sufi. Karena pada mulanya adalah Tuhan yang Maha Cinta. Dan semua terjadi karena Cinta. Karena bagi Tuhan segala sesuatu terjadi di bawah kuasa dan izinNya sehingga tidak mungkin terjadi suatu hal yang dibenciNya sendiri.

Sementara kebaikan dan keburukan sebagaimana berlaku dalam kategori etis yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia sendiri. Karena kebaikan manusia tak menambah apa-apa pada kekuasaan Tuhan yang secara hakikat sempurna, begitu pula keburukan manusia pun tak mengurangi apa-apa dari kekuasaanNya.

Sabtu, 11 Juni 2022 22:02

Tujuan Penciptaan

 

Jika semua berasal dariNya, dan tiada ruang dan waktu kecuali semua adalah dalam genggamanNya, maka tidak ada jalan menuju akhir bagi segala sesuatu kecuali padaNya jua. Al Quran secara gamblang menyatakan bahwa manusia dan seluruh alam ini adalah milikNya dan akan kembali padaNya (Inna Lillahi wa Inna ilaihi rojiun). Keyakinan akan asal kehidupan, merupakan salah satu fondasi penting bagi pandangan seseorang akan tujuan kehidupan. Keyakinan akan yang transenden sebagai asal kehidupan secara logis akan membawa pandangan mengenai alam pasca-akhir kehidupan.

Sebaliknya, bagi mereka yang meyakini bahwa alam semata gerak material dan menafikan aspek-aspek transendental, tentu akan meyakini bahwa alam tak sedang menuju kemana-mana, kecuali suatu gerak mengada (muncul) dan meniada (lenyap). Bahkan mereka meyakini bahwa tiada akhir bagi dunia, yang ada adalah selalu pembaharuan, aktualitas dari potensi-potensi yang terkandung sebelumnya. Dunia dipandang sebagai organisme fisikal-biologis belaka tanpa ada makna batin-spiritual apapun.

Spiritualisme Islam, sebagaimana diungkapkan oleh Rumi, mendasarkan penciptaan pada pengejawantahan Asma-asma Tuhan. Alam adalah citra asma dan sifatNya. Dalam suatu hadist qudsi dikemukakan bahwa “Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, aku ingin dikenal, maka kuciptakan dunia agar aku dikenal”. Dengan mengacu pada pemahaman ini, maka Rumi menafsir ayat suci al Quran “wama kholaqtul jinna wal insa illa liya’buduni” bahwa menyembahnya sebagai alasan penciptaan adalah mengenalNya (ma’rifatullah).

Liya’buduni adalah Makrifatullah

Ma’rifatullah merupakan kesadaran yang juga bagian dari asmaNya sebagai al ‘alim. Maka sesungguhnya fungsi kesadaran tiada lain juga sebagai jalan (shirot) untuk mengenalNya. Apa yang pasti dalam kesadaran manusia adalah pertama-tama fitrahnya untuk selalu bergantung (al faqir). Manusia dalam kesadarannya selalu menghendaki kesempurnaan dan bahkan keabadian. Dengan kesadaran fitrawi yang demikian, manusia selalu mencari cara untuk mewujudkannya. Meski kebahagiaan duniawi bersifat sementara tapi setiap manusia dalam inti kesadarannya tetap menghendaki kebahagiaan yang abadi.

Kesadaran akan keberbutuhannya tersebut sejatinya merupakan jalan untuk kembali kepada dzat yang abadi. Hanya saja, tingkat kesadaran yang berbeda membuat pola berpikir yang berbeda pula dalam memahami apa itu kebahagiaan. Kesadaran yang hanya terpaut oleh dunia akan kehilangan cahaya di dalam dirinya sendiri. Cahaya diri dimana ia merupakan gerbang membuka kasyaf ilahi. Manusia seringkali terpesona oleh alam, namun lupa pesona cahaya dalam dirinya sendiri.

Filsuf Barat kenamaan, Immanuel Kant, pernah berseloroh, “di langit ada keindahan bintang gemintang, di dalam diriku ada keindahan moral”. Bagaimana moral dapat muncul dalam diri? Maka manusia mesti berpikir apa sumber ontologis dari moral. Bagi Kant, moral bersifat imperatif, ia merupakan suatu dorongan jiwa yang tak terikat oleh alam. Dalam Islam, itulah fitrah-batin yang bersifat spiritual, dan alam spiritual adalah perintahNya (Amrullah). Dengan begitu, Tuhan tengah selalu hadir dalam jiwa setiap manusia melalui dorongan-dorongan spiritual yang terejawantahkan melalui prinsip-prinsip moral yang membuat dunia manusia adalah dunia makna, bukan sekedar dunia organis-mekanis.

Bentuk yang Fatamorgana, dan Makna yang Hakiki

Secara mendasar Rumi menegaskan suatu tesis bahwa alam dunia merupakan bentuk-bentuk, sebagai bentuk alam ini tiada lain adalah implikasi dari hakikat makna-makna. Bentuk mengemuka dalam pluralitas yang berserakan di alam, tapi semua adalah gaung dari suatu makna-makna yang tunggal di sisiNya. Tanpa makna, tiada bentuk. Dan pada manusia, sisi maknawi (kesadaran) dan sisi bentuknya (fisik-biologis) menyatu dalam wujudnya. Oleh sebab itu, manusia memiliki potensi yang amat tinggi untuk mengerti keduanya yang itu juga menjadikannya sebagai makhluk tertinggi dalam hierakhi kosmos.

Persoalan bagi manusia adalah bagaimana menempatkan kesadarannya di dalam kerangka eksistensial alam semesta sebagai tanda akan WujudNya yang hakiki. Maka Islam, dalam kesadaran spiritualistasnya, berada dalam struktur realisme, yang mengacu pada hakikat realitas dan menempatkan sisi ruhaniah sebagai inti realitas itu sendiri. Maka, spiritualisme Islam bukanlah imajinasi rekayasa mental belaka tapi justru ia berangkat dari kenyataan yang mendasar dari alam yang nampak ini. Alam bukanlah ketiadaan, sebagaimana anasir kaum idealis, ia adalah kenyataan, justru karena Tuhan adalah Maha Nyata (kontra-materialisme). Bahkan penemuan sains modern (fisika kuantum), materi tak lagi dipahami sebagai suatu wujud yang sepenuhnya fisikal. Fisikawan quantum menemukan bukti bahwa ternyata atom-atom terdiri dari pusaran energi yang memiliki vibrasi. Setiap atom seperti gasing yang bergoyang-goyang memancarkan energi. Pusaran energi yang sangat kecil dan tak kasat mata ini disebut quark dan proton, yang secara kolektif membentuk atom.

Dari jarak kejauhan, atom terlihat bulat seperti bola kelereng. Tetapi jika fokus mikroskopis diperdekat, wujud atom menjadi lebih samar dan buram. Makin dekat penglihatan kia, makin tak terlihat dan bahkan ia tak terlihat sama sekali. Artinya, apakah atom yang dipercaya sebagai inti materi adalah juga suatu materi? Fakta ilmiah membuktikan pada kita bahwa pada keseluruhan struktur atom, terdapat apa yang disebut “kehampaan fisik” (physical void). Ibarat fatamorgana, dari kejauhan terlihat ia nampak mewujud, namun pada hakikatnya ia hanya vibrasi dari suatu gelombang-gelombang belaka.

Persis demikian, bagi kaum sufi, dunia pun pada hakikatnya hanyalah bayangan-bayangan. Meskipun ia suatu kenyataan tapi bukan kenyataan hakiki pada dirinya. Alam ada sejauh ia adalah manifestasi dari hakikat keberadaan Sang Maha Ada. Keseluruhan energi dan potensi yang dimilikinya berasal dari sang Ada Mutlak. Maka, tiada pilihan bagi manusia terkait hubungannya dengan Tuhan Sang Maha Ada, kecuali ketundukan dan ketaatan.(Fardiana Fikria Qurani, M.Ud)

Sabtu, 11 Juni 2022 21:59

Tarekat Fatimah

 

Dalam kamus besar bahasa Indonesia tarekat dimaknai sebagai jalan, jalan menuju kebenaran (dalam tasawuf); cara atau aturan hidup (dalam keagamaan atau ilmu kebatinan); persekutuan para penuntut ilmu tasawuf. Tarekat dalam tasawuf berarti jalan menuju Allah SWT untuk meraih rida-Nya dengan menaati segala ajaran-Nya. Menurut Al Jurjani `Ali bin Muhammad bin `Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah SWT melalui tahapan-tahapan atau maqamat.

Tarekat mulai berkembang sekitar abad ke-6 H. Adalah Tarekat Kadiriyah yag pertama kali berdiri. Tarekat ini diajarkan Abdul Qadir bin Abdullah Al Jili seorang sufi tersohor di Baghdad. Menurut legenda, sufi kelahiran Jilan, Persia 471 H itu adalah orang saleh yang memiliki keajaiban.

Tulisan singkat ini tidak sedang membahas tarekat tertentu tapi sekadar membuka wawasan dan ruang diskusi atas pertanyaan: Apakah mungkin salik (pejalan spiritual yang menginginkan maqam qurb atau kedekatan Ilahiah) mampu berjalan menuju maqam “inda Allah” (di sisi Allah) tanpa jalan dan tarekat Siti Fatimah? Dengan kata lain, apakah salik mampu melalui suluk ilallah (jalan menuju Allah) yang terjal, licin dan berbahaya tanpa mengenal dan mencintai Siti Fatimah? Apa keunggulan salik yang mencintai Fatimah dibandingkan dengan salik yang kurang mengenalnya? Apakah mahabbah dan makrifat kepada Siti Fatimah akan menawarkan kecepatan, keberkahan dan kedudukan istimewa bagi salikin (para penempuh suluk)? Sehebat apa maqam Siti Fatimah hingga salikin perlu bertawasul kepada beliau dalam suluk mereka? Apakah ada salik yang dalam mukasyafah-nya (penyingkapan alam gaib) mampu melihat maqam Siti Fatimah di sisi Allah hingga mengundang ghibtah (kecemburuan) bagi ‘arifin (ahli makrifat)?

Sebagian ‘urafa berpandangan bahwa salik dapat mencapai maqam dalam suluk bila ia bersandar pada Siti Fatimah Az-Zahra. Cinta kepada Fatimah inilah yang akan membimbing salik ke jalan yang mesti dilaluinya. Tanpa tarekat dan cinta Fatimah, tak ada suluk dan perjalanan ini.

Sekarang, kita intip sedikit maqam spiritual Siti Fatimah. Dalam hadis disebutkan bahwa saat Fatimah binti Rasulullah Saw lewat di Padang Mahsyar, ada suara yang memanggil:

 «غُضّوا أبصارکم»

Tutup mata kalian!

Hadis lengkapnya sebagai berikut:

قال رسول اللّه صلى الله علیه وآله: «إذا كانَ یَوْمُ القیامَةِ نادى مُنادٍ: یا أَهْلَ الجَمْعِ غُضُّوا أَبْصارَكُمْ حَتى تَمُرَّ فاطِمَة»

Rasulullah saw bersabda: Pada hari kiamat ada suara yang memanggil: Wahai penduduk Mahsyar, pejamkan mata kalian hingga Fatimah lewat.

Maknanya bukan karena kalian bukan muhrim maka tutuplah mata kalian atau palingkan wajah kalian hingga kalian tidak bisa melihatnya!

Hari itu taklif (hukum fikih) tidak berlaku karena itu hari kiamat dan tidak ada pembicaraan soal muhrim dan non-muhrim. Perintah ini adalah perintah takwini (terkait dengan perintah dan kehendak Allah tanpa memperhatikan ikhtiar dan kemauan manusia), bukan perintah tasyri’i (perintah/hukum yang memperhatikan ikhtiar dan kemampuan manusia). Yakni, kalian tidak akan pernah mampu memandang Nur Siti Fatimah. Maka, tundukkan kepalamu karena kamu tidak akan mampu menatap cahaya wajah Fatimah!

Hadis lain yang menjelaskan maqam Siti Fatimah di surga ialah

قال رسول اللّه صلى الله علیه وآله: سیّدَةُ نِساءِ أَهْلِ الجَنَّةِ فاطِمَة

Rasulullah Saw bersabda: Fatimah pemimpin para wanita ahli surga.

Fatimah bukan hanya sekadar masuk surga bahkan beliau menjadi pemimpin para wanita di surga. Surga adalah tajalli (manisfestasi) rahmat Allah dan Fatimah adalah tajalli tam (perwujudan sempurna) dari rahmat Ilahiah hingga beliau layak termasuk di antara yang pertama masuk surga bersama Rasulullah saw dan menjadi pimpinan penduduk surga.

Jadi, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa parameter dan timbangan iman adalah cinta pada Fatimah Az-Zahra. Dan tarekat yang bertawasul kepada Siti Fatimah tentu tarekat yang sah (mu’tabarah) karena Fatimah sebagaimana Rasulullah saw yang kakinya bengkak karena saking lamanya beribadah kepada Allah SWT adalah sebaik-baik idola dan teladan dalam suluk, zuhud dan warak.

(Syekh Muhammad Ghazali)

 

Referensi:

https://republika.co.id/berita/q6zkbw320/sekilas-soal-tarekat-sufi-definisi-makna-dan-asal-usulnya. Diakses tanggal 27/1/2022.

 

Sumber hadis tentang Fatimah yang melewati jembatan:

 

منابع: كنز العمّال ج 13 ص 91 و 93/ منتخب كنز العمّال بهامش المسند ج 5 ص 96/ الصواعق المحرقة ص 190/ أسد الغابة ج 5 ص 523/ تذكرة الخواص ص 279/ ذخائر العقبى ص 48/ مناقب الإمام علی لابن المغازلی ص 356/ نور الأبصار ص 51 و 52/ ینابیع المودّة ج 2 باب 56 ص 136

Sumber hadis yang menjelaskan maqam Fatimah di surga

منابع: كنز العمّال ج13 ص94/ صحیح البخاری، كتاب الفضائل، باب مناقب فاطمة/ البدایة والنهایة ج 2 ص61

 

 

Tidak semua isu klasik itu usang. Ada fakta lama tapi tetap baru dan relevan dibahas. Apalagi manusia selalu haus kebenaran. Kecenderungan mencari kebenaran tidak akan berhenti dan akan tetap segar. Sabda Nabi, “Kebijaksanaan adalah barang hilang orang beriman. Dia akan mengambilnya dari manapun itu berasal.”

Satu di antaranya adalah perbincangan seputar kepemimpinan Imam Ali setelah Nabi SAW. Keputusan apa pun tentangnya akan berdampak secara langsung pada pola pikir dan pola hidup. Setidaknya, bagi yang merasa nyaman dengan argumen-argumen atas kepemimpinan dan kekhalifahan Imam Ali langsung setelah Nabi SAW tentu akan menjadikan orang muslim pertama ini sebagai referensi utama dalam menjalani hidupnya.

 

Hadis Wilayah

Argumen atas wilayah atau kepemimpinan Imam Ali bin Abi Thalib as tampaknya sudah sangat jelas dan gamblang dalam hadis-hadis suci Nabi SAW, baik dalam kitab-kitab hadis Syiah maupun Ahlussunnah. Metode argumentasi hadis ini merupakan salah satu metode kredibel dan terkuat mengingat kesahihan hadis-hadis tersebut diakui oleh kedua kedua mazhab besar Islam ini.

Ulama Ahlussunnah telah menukil dengan sanad yang sahih bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 

“Sesungguhnya Ali adalah bagian dariku dan Aku bagian darinya, dan dia adalah pemimpin (wali) setiap oang mukmin setelah aku.”

Segera setelah mencatatkan hadis ini, al-Hakim al-Naishaburi menulis, “Hadis ini sahih berdasarkan syarat kesahihan hadis Muslim” (Al-Mustadrak ala al-Shahihayn, jil. 3, hal. 110).

Begitupula Syamsuddin al-Dzahabi dalam Talkhis Al-Mustadrak menguatkan hadis di atas sebagai hadis sahih. Muhammad Nasiruddin Albani juga mengatakan hal yang sama akan kesahihan hadis ini dan menegaskan bahwa hadis tersebut sahih menurut al-Hakim dan al-Dzahabi (Silsilah al-Ahadits al-Shahihah, jil. 5, hal. 222).

 

Analisis atas Arti dari Kata “Wali” 

Agar dapat memahami secara akurat makna dari kata wali dalam hadis di atas, perlu kiranya merujuk perkataan-perkataan mengenai kata itu yang dinyatakan oleh para khalifah Ahlussunnah di era awal Islam.

Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah menuliskan:

قال ابوبكر: قد وُلِّيتُ أمركم ولست بخيركم. إسناد صحيح

“Abu Bakar berkata, “Saya sudah menjadi wali (pemimpin) kalian, namun saya tidak lebih baik dari kalian.” Sanadnya sahih (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, jil. 6, hal. 333).

Demikian Imam Muslim dalam sahihnya menukil dari Umar bin Khaththab bahwa ia mengatakan:

فلمّا توفّي رسول اللّه قال أبو بكر: أنا وليّ رسول اللّه (ص)… ثُمَّ تُوُفِّيَ أَبُو بَكْر وَأَنَا وَلِيُّ رَسُولِ اللَّهِ (ص) وَوَلِيُّ أَبِي بَكْر

“Tatkala Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar berkata, ‘Saya adalah wali (pengganti) Rasulullah (SAW) …. kemudian Abu Bakar wafat, maka saya adalah wali (pengganti) Rasulullah dan pengganti Abu Bakar.” (Shahih Muslim, jil. 5, hal. 152, hadis no. 4468).

Dari dua dokumen ini, tampak bagaimana kata “wali” yang digunakan dua sahabat: Umar dan Abu Bakar, tidak bisa diartikan sebagai teman, penolong atau makna serupa lainnya, tetapi bermakna pemimpin [umat] dan pengganti [Nabi].

Justru, jika kata “wali” itu diartikan sebagai teman, maka kandungan Hadis Wilayah di atas itu menyatakan bahwa di masa hidup Nabi SAW, Umar dan Abu Bakar belum menjadi teman, dan mereka baru menjadi teman Nabi setelah beliau wafat. Konsekuensi ini tentu bertentangan dengan fakta sejarah dan keyakinan Ahlussunnah sendiri.

 

Hadis Khilafah

Ibnu Abi Ashim dalam Kitab al-Sunnah (hal. 551) menuliskan, “Rasulullah SAW berkata kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.:

 

“Engkau adalah khalifahku bagi seluruh orang beriman setelah aku.”

Albani membubuhkan catatan bahwa hadis ini termasuk hadis dengan sanad hasan.

Sementara itu, al-Hakim al-Naishaburi ((Al-Mustadrak ala al-Shahihayn, jil. 3, hal. 133) membawakan sebuah riwayat bahwa Rasulullah SAW berkata kepada Ali bin Abi Thalib:

إِنَّهُ لا يَنْبَغِي أَنْ أَذْهَبَ إِلا وَأَنْتَ خَلِيفَتِي

 “Sesungguhnya tidak semestinya aku pergi (wafat) kecuali engkau adalah khalifahku.”

Berkenaan dengan sanad hadis ini, Albani mengatakan, “Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim dan al-Dzahabi” (Albani, Silsilah al-Ahadits al-Shahihah, jil. 5, hal. 222).

 

Hadis Imamah

Abu Nuaim Isfahani dengan sanad terpercaya (muktabar) meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

.انْتَهَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي إِلَي السِّدْرَةِ الْمُنْتَهَي، فَأُوحِيَ إِلَيَّ فِي عَلِيٍّ بِثَلاثٍ: أَنَّهُ إِمَامُ الْمُتَّقِينَ، وَسَيِّدُ الْمُسْلِمِينَ، وَقَائِدُ الْغُرِّ الْمُحَجَّلِينَ إِلَي جَنَّاتِ النَّعِيمِ

“Di malam Isra’-Mikraj, ketika aku sampai di Sidratul Muntaha, Allah mewahyukan tiga hal kepadaku mengenai Ali: ‘Sesungguhnya dia adalah imam orang-orang bertakwa, penghulu kaum Muslimin dan panglima orang-orang yang bersinar wajahnya menuju surga-surga kenikmatan.'” (Abu Nuaim Ishfahani, Ma’rifat al-Shahabah, jil. 3, hal. 1587).

Hadis ini termasuk riwayat yang muktabar dan sahih sebagaimana ditegaskan oleh al-Hakim al-Naishaburi dalam Al-Mustadrak ala al-Shahihayn, jil. 3, hal. 138).

*Kuliah Ayatullah Qazvini pada program Wilayah, diterjemahkan oleh Sayyed Chairi Fitriyan.

 

Teologi Islam di era kontemporer memiliki fokus yang berbeda dengan teologi di masa klasik. Perbedaan itu dapat dilihat melalui karya-karya pemikiran tokoh muslim yang menuliskan isu-isu teologis dalam karya-karyanya. Ciri khas dari teologi Islam Kontemporer ialah, mencari keterhubungan tauhid dengan konteks kehidupan sosial.  Dengan kata lain, teologi dituntut untuk memberikan solusi atas problematika umat manusia di atas muka bumi ini. Tauhid harus memiliki dampak pada kehidupan manusia itu sendiri, karena membahas teologi bukan saja diskursus wacana tapi dia berhubungan dengan sisi primordial manusia sendiri, jiwa itu sendiri.

Salah satu isu pemikiran yang berkembang di tengah masyarakat modern hingga kontemporer adalah isu kesetaraan gender. Isu ini hadir dikarenakan di beberapa negara terjadi ketertindasan terhadap perempuan dan gerakan feminisme hadir untuk menjawab kegelisahan perempuan atas nasib ketertindasan itu baik di rumah maupun di ranah publik.

Islam sebagai agama yang dikenal sifat komprehensifnya harus merespon isu tersebut dengan pendekatan teologis. Dalam artikel ini, kita coba mendudukkan konsepsi teologi feminisme menurut Islam agar kita tahu apakah Islam punya perhatian khusus pada perempuan dan peran-perannya.

Feminisme dan Islam

Feminisme adalah susunan kata yang terdiri dari arti paham (isme) dan feminin (feminitas), kemudian jika disatukan ia menghasilkan satu makna baru bahkan menjadi sesuatu isu di era modern yaitu, paham yang mendasari sebuah gerakan untuk merespon ketertindsan kaum perempuan. Dalam sejarahnya, feminisme memiliki varian yang cukup banyak dengan misi yang sama namun penekanan pada apa yang diperjuangkannya berbeda-beda. Ada paham feminis yang memperjuangkan hak di wilayah domestik dan ada di wilayah publik. Ada paham feminisme yang hanya memperjuangkan kesetaraan hingga memperjuangkan kesamaan.

Feminisme jika diartikan sebagai paham untuk memperjuangkan kaum perempuan, maka Islam sejak awal sudah memiliki paham ini. Nabi Muhammad SAW adalah orang pertama yang menentang tindakan mengubur hidup-hidup anak perempuan. Selain itu, banyak ajaran Islam yang mengoreksi aturan-aturan di masa Arab Jahiliyah seperti mengembalikan kemuliaan perempuan dengan tidak menyamakannya dengan barang dan budak, memberikannya waris bukan diwarisi, memiliki hak sebagai saksi dan dibolehkan untuk menggugat cerai suami.

Jika kita melihat feminisme sebagai semangat memperjuangkan hak-hak perempuan, sebelum gerakan feminisme Barat, Islam sudah lebih dulu melakukan reformasi atas hak-hak perempuan sejak awal diutusnya Muhammad SAW di atas muka bumi. Akan tetapi semangat memperjuangkan hak-hak perempuan di dalam Islam memiliki pijakan dan dasar kepada tauhid. Nilai kemanusiaan tidak dibebaskan begitu saja, tapi memiliki landasan tauhid dan tidak boleh bertentangan dengan keimanan kita sebagai penganut agama Islam.

Oleh karena itu, secara spirit Islam juga memiliki hal yang sama dengan gerakan feminisme di Barat namun memiliki sandaran dan pijakan gerak yang berbeda.

Problem Kesetaraan Gender dalam Islam

Islam dengan visi dan misi yang dimilikinya tidak serta merta menghasilkan satu masyarakat ideal yang selalu mengindahkan kesetaraan gender. Harus dipahami sejak awal yang dimaksud gender adalah peran sosial masyarakat laki-laki maupun perempuan, bukan mengacu kepada jenis kelamin (sex). Faktanya, sampai hari ini masih banyak perempuan yang mendapatkan perilaku diskriminatif dalam peran sosialnya dari orang-orang dengan mengatasnamakan agama (Islam). Kita perlu melacak akar dari masih langgengnya ketertindasan kaum perempuan di kalangan umat Islam.

Pertama, budaya patriarkhis adalah budaya yang menganggap bahwa laki-laki superior dan perempuan inferior. Budaya ini berpijak pada asas kuasa satu jenis kelamin kepada yang lain dan melihat  perempuan adalah makhluk yang lemah. Problem pertama ini adalah problem pemahaman yang dihasilkan dari satu konstruksi budaya tertentu.

Dalam kajian Hermeneutika, pemahaman dan pengalaman seorang subjek sangat memengaruhi interpretasinya. Ketika membaca teks agama baik al-Qur’an maupun hadis, maka interpretasi atas keduanya akan sangat berpengaruh.

Kedua, teks agama yang cenderung global dan multitafsirpun menjadi salah satu faktor penting. Banyak dari teks agama, khususnya ayat al-Quran yan bersifat mutasyabih, sehingga siapapun dengan perspektif apapun dapat menginterpretasikan teks dengan beragam penafsiran. Sifat terbukanya al-Qur’an di satu sisi adalah positif, karena ia bisa dipahami oleh berbagai tingkatan pemahaman, tetapi di sisi lain adalah negatif yaitu, penafsiran apapun dapat menunggangi kepentingannya pada ayat tersebut.

Sebagai contoh, ayat “arrijalu qawwamuna ala nisa” yang bisa diartikan laki-laki (Suami) itu pelindung bagi perempuan (isterinya) bisa memiliki interpretasi yang berbeda-beda.  Ada yang memahami ayat ini menunjukkan bahwa laki-laki adalah superior dan perempuan inferior, tetapi ada juga yang menginterpretasikan ayat ini tidak menegasi posisi perempuan sebagai manusia seutuhnya yang sama tercipta seperti laki-laki. Oleh karena itu, setidaknya ada dua faktor mendasar mengapa sampai hari ini masih ada ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan karena faktor konstruksi budaya yang memengaruhi pemahaman seorang pembaca atau penafsir dan teks agama itu sendiri.

Konstruksi Pemahaman atas Teks

Teks-teks agama, khususnya al-Qur’an yang menjadi dalil naqliyah dalam teologi perlu dipahami dengan cara yang tidak tekstualis. Pemahaman atas teks harus didasari dengan objektivitas berpikir yang matang dan tidak berdasarkan subjektivitas semata. Meskipun kita dapat katakan bahwa akan sulit melepas sisi paradigma dan kacamata yang tidak lepas dari sisi subjektif pembaca atau penafsir.

Terkait dengan teologi Islam, isu-isu yang dibahas bukan hanya sekedar pada tataran praktis melainkan berpijak pada tataran teoretis terlebih dahulu yang membangun konstruk berpikir teologis tentang perempuan itu sendiri.

Konstruksi pemahaman harus dibangun dari dimensi ontologi, epistemologis dan aksiologis. Untuk mengetahui tentang pandangan Islam terkait perempuan, maka kita perlu mengetahui bagaimana perempuan sebagai satu entitas yang sama dengan laki-laki sebagai manusia. Dengan kata lain, kita perlu tahu manusia dalam perspektif al-Qur’an, sehingga kita akan memperoleh pengetahuan apakah secara ontologis, hakikat manusia itu berhubungan dengan jenis kelamin tertentu atau tidak.

Secara teologis, Islam harus menjawab hal ini terlebih dahulu sebelum berbicaea tentang peran-peran sosial lainnya. Karena pemahaman tentang manusia inilah yang akan menjadi pijakan kita dalam menilai perempuan dalam Islam dengan beragam kewajibannya baik secara fiqhiyah (hukum Islam) maupun akhlaqiy (moralitas).

Kesimpulannya, kesetaraan gender adalah hal yang sangat mungkin untuk diperjuangkan dalam Islam melalui cara pandang teologisnya dan teologi sebagai basis ilmu tentang ketuhanan akan mampu mengkonstruk pemahaman awal (teoretis) hingga akhir (praktis) untuk menghasilkan satu makna baru relasi laki-laki dengan perempuan.

 

Gerakan Jihad Islam Palestina mengeluarkan pernyataan yang menekankan bahwa pembunuhan pemimpin perlawanan oleh rezim Zionis tidak akan menghentikan jalan jihad dan perang melawan musuh.

Gerakan Jihad Islam Palestina dalam statemen yang dikeluarkan pada peringatan ulang tahun pertama kesyahidan Jamil Mahmoud al-Ammouri, salah satu komandan Pasukan Quds, hari Sabtu (11/6/2022) mengatakan: "Kesyahidan Al-Ammouri merupakan titik balik dalam perlawanan dan perjuangan menghadapi rezim pendudukan di Tepi Barat, khususnya di Jenin,".

"Kesyahidan Al-Ammouri tidak akan menghentikan perjuangan melawan musuh Zionis dan saudara-saudara Mujahidin tidak akan menghentikannya untuk melanjutkan jalan suci ini," kata pernyataan terbaru Jihad Islam Palestina.

Pasukan keamanan Israel (Shin Bet) berusaha menyusup ke wilayah Palestina pada Juni tahun lalu dan menculik komandan Perlawanan Islam, yang memicu reaksi dari kubu perlawanan Palestina.

Bentrokan itu terjadi di Jalan Al-Nusra di kota Jenin, setelah itu tiga personel intelijen Palestina gugur.

Ketiga orang yang gugur ini adalah Al-Ammouri, bersama Adham Yasir Tawfiq Alivi dari Nablus dan Tisir Mahmoud Osman Isa.

Setelah bentrokan ini, seorang perwira Zionis juga tewas.