
کمالوندی
Hatami: Teror Syahid Soleimani untuk Mencegah AS Lebih Terhina
Menteri Pertahanan Republik Islam Iran mengatakan bahwa tujuan musuh dalam meneror Letjen Qassem Soleimani adalah untuk mencegah penghinaan lebih lanjut terhadap Amerika Serikat di mata sekutu regionalnya.
Menurut laporan IRNA, Brigadir Jenderal Amir Hatami, Menteri Pertahanan Iran dalam sebuah acara konferensi video pada hari Selasa (22/09/2020) mengatakan bahwa memori syahid Qassem Soleimani akan selalu hidup di hati para pejuang kebebasan dunia.
"hak untuk mengejar para pembunuh syahid Soleimani tetap kuat dan gempa ini akan selalu menimpa tubuh para penjahat," ujar Brigjen Hatami.
Syahid Qassem Soleimani dan Syahid Abu Mahdi al-Muhandis
Menteri Pertahanan Iran menyatakan bahwa Perang Pertahanan Suci bangsa Iran, tidak seperti pertempuran Iran lainnya di masa lalu, membawa kehormatan, martabat dan kebanggaan bagi negara.
"Situasi Iran saat ini di berbagai bidang ilmiah, politik dan terutama pertahanan sedemikian rupa sehingga meskipun ada ancaman kejam dari sistem dominasi, Iran dapat mendeteksi dan menetralkan ancaman apa pun di titik awalnya, bahkan di luar perbatasannya," ungkap Menhan Hatami.
Menunjukkan bahwa contoh obyektif dari kekuatan Iran telah diungkapkan kepada semua orang pada waktu yang berbeda, Brigjen Hatami menyatakan, "Ketika musuh menduduki tanah yang luas dengan menciptakan kelompok teroris, Iran, dengan rancangan dan inspirasinya dari Perang Pertahanan Suci, mampu mengatasi musuh dan terorisme fiktif dengan bantuan angkatan bersenjata dan rakyat Suriah dan Irak."
"Perlawanan akan berlanjut sampai musuh diusir dari Asia Barat dan wilayah tersebut dibersihkan dari kotoran setan besar," pungkas Brigjen Hatami.
Rahbar: Pertahanan Suci Bagian dari Identitas Nasional Iran
Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei seraya mengisyaratkan kemenangan gemilang bangsa Iran di perang pertahanan suci menekankan, pertahanan suci bagian dari identitas nasional Iran.
Ayatullah Khamenei Senin (21/9/2020) saat menyampaikan pidato melalui video konferensi di acara peringatan Pekan Pertahanan Suci menambahkan, bangsa Iran di perang pertahanan suci mampu melawan kekuatan timur dan Barat serta negara-negara bonekanya serta menang dengan mulia.
Ayatullah Khamenei menilai Saddam yang haus kekuasaan hanya sekedar alat bagi kekuatan besar dunia khususnya Amerika Serikat dan mengatakan, pihak utama di pertempuran dengan bangsa Iran, yakni Amerika yang ingin menghancurkan Revolusi Islam, kekuatan yang takut munculnya identitas baru Islam-Iran di kawasan, NATO dan negara-negara Eropa Barat dan Timur, memprovokasi Saddam untuk menyerang Iran guna menghancurkan pemerintah serta Revolusi Islam.
"Tujuan utama musuh mengobarkan perang adalah menumbangkan pemerintahan Islam, menguasai kembali Iran dan memecah belah negara ini, namun mereka gagal menduduki wilayah Iran walaupun hanya sejengkal tanah, serta tidak mampu memaksa Republik Islam dan bangsa Iran mundur walaupun hanya selangkah," tegas Rahbar.
Seraya mengisyaratkan perilisan dokumen kesepakatan Amerika dan Saddam sebelum meletusnya perang, Rahbar menyebutkan, selama perang, bantuan militer, intelijen dan finansial Barat dan Timur kepada rezim Baath melalui Uni Emirat Arab (UEA), Kuwait, Arab Saudi dan jalur lain terus berlanjut.
Rahbar juga menekankan pentingnya memperhatikan upaya musuh untuk menyimpangkan realita Pertahanan Suci, menjelaskan poin-poin dimensi menakjubkan dan besar fenomena ini serta menandaskan, salah satu contoh investasi sumber daya manusia di era perang Pertahanan Suci adalah Syahid Qasem Soleimani yang melakukan langkah-langkah memukau di kawasan dan di bidang diplomasi serta sampai saat ini bangsa Iran tidak memiliki informasi yang cukup akan aktivitas syahid ini.
Ayatullah Khamenei terkait masalah Arbain mengingatkan, bangsa Iran mencintai Imam Husein dan ziarah Arbain, namun isu pawai Arbain harus ditentukan oleh Badan Nasional Pencegahan Corona, dan sampai saat ini mereka menentang acara ini. Oleh karena itu, semua pihak harus tunduk dan mengikuti.
Islamophobia di Barat (30)
Masjid adalah rumah ibadah dan tempat suci bagi kaum muslim. Di setiap kota dan daerah yang mereka tinggali, kaum muslim biasanya mendirikan masjid sebagai rumah ibadah dan madrasah pendidikan agama.
Jika tidak mungkin mendirikan masjid, mereka akan membangun mushalla untuk keperluan ibadah dan berkumpul. Ibadah khususnya shalat memiliki tempat khusus dalam Islam. Shalat adalah salah satu dari rukun Islam dan kaum muslim menunaikan kewajiban ini pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Mereka biasanya akan mendirikan shalat secara berjamaah di masjid atau mushalla.
Salah satu sasaran serangan kubu anti-Islam di Barat adalah masjid dan pusat kegiatan masyarakat muslim. Serangan terhadap masjid terjadi hampir setiap pekan di negara-negara Barat. Serangan ini bersifat terencana dan bertujuan untuk memadamkan syiar-syiar Islam, mengucilkan komunitas muslim, dan pada akhirnya mengusir mereka dari Barat.
Organisasi Komunitas Muslim Jerman (IGMG) menyatakan bahwa angka serangan anti-muslim meningkat di negara itu dan ini menjadi sinyal alarm bagi para pemimpin Jerman. Sekretaris Jenderal IGMG, Bekir Altas dalam sebuah pernyataan mengatakan, Islamophobia harus diperangi dengan tegas.
Altas menuturkan jumlah sebenarnya kejahatan anti-muslim cenderung jauh lebih besar, karena ada banyak kasus yang tidak dilaporkan. Menurutnya, orang-orang muslim merasa bahwa polisi Jerman tidak serius menanggapi kekhawatiran mereka.
Dia mengkritik serangan terhadap masjid dan pusat-pusat Islam yang terus meningkat di Eropa. "Serangan terhadap masjid dalam beberapa pekan terakhir meningkat secara dramatis. Warga Muslim khawatir dan salah satu alasan kekhawatiran ini adalah sikap diam komunitas internasional dalam menyikapi peristiwa ini," ungkap Atlas.
"Sebuah masjid baru-baru ini diserang di kota Aachen dan Fiersen. Insiden seperti ini juga terjadi di bagian lain Eropa seperti Prancis. Misalnya, para penyerbu menyerang sebuah masjid di Bordeaux, Prancis, dan menulis kalimat-kalimat bernada ancaman di dinding masjid," jelasnya.
Atlas menekankan bahwa serangan terhadap masjid harus dilawan, dan menurutnya, insiden ini terjadi karena dinas-dinas keamanan dan pemerintah Eropa tidak menindak tegas pelaku kejahatan ini. Oleh karena itu, serangan ini terus terulang dan menyebar ke kota-kota lain.
Jerman menjadi salah satu negara yang banyak menerima pencari suaka dalam beberapa tahun terakhir. Pada saat bersamaan, partai-partai ekstrem kanan dan anti-Islam seperti PEGIDA dan Partai Alternatif untuk Jerman (AfD) menikmati popularitas di masyarakat.
Jerman masuk dalam daftar negara-negara Eropa yang paling anti-Islam, padahal jumlah Muslim hanya 5,5 persen dari total populasi Jerman yang mencapai 82 juta jiwa.
Konstitusi Jerman menjamin kebebasan beragama dan pembangunan lembaga keagamaan dan sekolah agama. Saat ini ada 18 masjid resmi di Jerman yang sejak awal dibangun sebagai masjid. Pusat-pusat keagamaan muslim diperkirakan berkisar antara 1.000 hingga 1.200 unit. Sebagian besar lembaga ini bersifat sementara dan sebagian besar berlokasi di gedung sewaan, pabrik atau gudang.
Masjid-masjid penting di Jerman bisa ditemui di kota Mannheim, Hamburg, Berlin, Marl, Dortmund, Cologne, Welsling, Bonn, Frankfurt, Zingen, dan Pforzheim. Tentu saja, masjid-masjid di kota Aachen dan Munich juga dianggap sebagai masjid penting di Jerman.
Sebagian besar masjid ini tidak terawat dengan baik, jauh dari pusat kota, dan umumnya berada di wilayah industri. Dengan semua pembatasan, masyarakat muslim berusaha menahan diri terhadap kelompok anti-Islam dan tidak bertindak dengan cara yang melanggar hukum Jerman. Dengan semangat persahabatan dan damai ini, mereka mampu menarik simpati banyak warga Jerman untuk melawan kelompok anti-Islam dan anti-imigran di negara itu.
Pada 3 Februari 2018, demonstran pro dan anti-imigran berunjuk rasa di kota Cottbus, Jerman. Sekitar 600 demonstran menyerukan penerimaan imigran dan keterbukaan, sementara kerumunan yang lebih besar menentang kehadiran imigran dan meneriakkan slogan-slogan anti-Islam.
Para demonstran anti-imigran juga terlihat memegang spanduk bertuliskan, "Merkel harus pergi" mengacu pada keputusan Kanselir Angela Merkel yang mengizinkan hampir satu juta pengungsi untuk menetap di Jerman selama krisis pengungsi 2015.
Di sisi lain, demonstran pro-imigran menyerukan hidup damai dan tanpa kebencian. Mereka menyuarakan slogan "Live Without Hate" dan menentang sikap anti-imigran sambil mengangkat balon dan bunga.
Kota Cottbus telah menjadi berita utama sejak pergantian tahun 2018 setelah serangkaian serangan kekerasan antara sebagian penduduk setempat dan pengungsi. Pada malam tahun baru, sekelompok penduduk setempat menyerang kamp penampungan imigran di kota tersebut.
Demonstran pro-imigran di kota Cottbus menyerukan hidup damai dan tanpa kebencian, "Live Without Hate."
Gelombang kekerasan ini mendorong Menteri Dalam Negeri Brandenburg, Karl-Heinz Schroter untuk menunda masuknya pengungsi ke Cottbus sampai pemberitahuan lebih lanjut. Dia mengatakan langkah ini diperlukan untuk meredakan ketegangan di kota tersebut. "Kalau tidak, iklim ini hanya akan bertambah buruk," ujarnya.
Juru bicara pemerintah kota Cottbus, Jens Glossmann mengatakan, "Anda bisa mengatakan ada terlalu banyak perubahan, terlalu cepat."
Dalam dua tahun terakhir, jumlah pengungsi di kota berpenduduk 100.000 jiwa ini hampir dua kali lipat, dari 4,5 menjadi 8,5 persen. "Saya akui, lebih banyak yang bisa dilakukan untuk memberi informasi yang lebih baik kepada penduduk setempat," ujar Glossmann.
Menurutnya, penduduk Cottbus kurang berpengalaman dalam menghadapi imigran dibandingkan dengan kota-kota besar di barat Jerman, dan hal ini mengundang sambutan dingin dari mereka. Kebanyakan warga setempat memandang imigran sebagai "orang asing."
Banyak warga Jerman sayangnya tidak mengenal Islam dengan benar. Pemerintah dan media-media Jerman juga memberikan gambaran keliru tentang muslim dan mengesankan Islam sebagai agama yang kasar dan ekstrem.
Rasulullah Saw adalah penyeru rahmat dan kasih sayang. Ia dikenal sebagai rahmatan lil 'alamiin atau Rasul pembawa rahmat bagi seluruh alam. Allah Swt berfirman, "Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (Surat al-Anbiya, ayat 107)
Umat manusia – baik muslim maupun kafir – semua berhutang budi pada Rasulullah Saw sebagai pembawa rahmat, karena ia menyebarkan sebuah ajaran yang akan menyelamatkan mereka. Rahmat ini bersifat umum dan untuk semua orang meskipun ada golongan yang menerimanya dan juga ada golongan yang menolak seruannya.
Kalimat Lil 'Alamiin memiliki pemahaman yang sangat luas yang meliputi seluruh umat manusia di sepanjang masa. Ayat tersebut juga merupakan sebuah isyarat bahwa Rasulullah Saw adalah nabi terakhir dan penutup para nabi (Khatam al-Anbiya').
Keberadaan Nabi Muhammad Saw adalah rahmat bagi seluruh umat manusia sampai hari kiamat. Lalu, apakah agama yang memiliki sosok mulia seperti ini, dapat menjadi penyebar kekerasan dan ekstremisme?
Islamophobia di Barat (29)
Surat kabar The Independent dalam sebuah laporan setelah satu tahun kepemimpinan Presiden Donald Trump di AS, menulis bahwa sejak Trump meluncurkan kampanyenya untuk melangkah ke Gedung Putih, jumlah kelompok anti-Muslim di Amerika meningkat tiga kali lipat.
Dalam laporannya pada 23 Januari 2018, The Independent menyatakan, "Sejak kampanye pemilu Trump yang sering mengecam umat Islam dan bersumpah akan melarang mereka memasuki AS, jumlah kelompok anti-Muslim dan juga jumlah kejahatan rasial yang dilakukan terhadap Muslim telah meningkat."
Madihha Ahussain, seorang pengacara yang fokus pada masalah fanatisme anti-Muslim menuturkan, "Insiden-insiden ini mencakup semuanya mulai dari intimidasi terhadap anak-anak Muslim di sekolah, pelecehan terhadap wanita Muslim yang mengenakan jilbab, dan perusakan masjid."
Aktivis Muslim Palestina-Amerika, Linda Sarsour dalam sebuah artikel di majalah Time menulis, "Sejak serangan tragis 11 September, Muslim Amerika menyaksikan peningkatan upaya untuk mentersangkakan mereka atas dasar ras dan agama di semua tingkat penegakan hukum. Kami menyaksikan program pengawasan, deportasi, dan pencatatan yang tidak beralasan dan ilegal. Kami juga secara keliru dimasukkan pada daftar larangan terbang dan mengalami peningkatan eksponensial dalam kejahatan rasial terhadap komunitas kami."
Sejak Trump berkuasa, warga Muslim Amerika menyaksikan peningkatan perilaku diskriminatif rasial. Dalam hal ini, Linda Sarsour yang pernah menggugat perintah eksekutif Trump tentang larangan Muslim di pengadilan AS, menuturkan, "Tidak peduli berapa banyak larangan Muslim atau kebijakan buruk lainnya yang diperkenalkan oleh Trump dan pemerintahannya, satu hal yang jelas - ketika kita bertarung bersama, kita menang setiap saat."
"Tahun ini adalah pertama kalinya kami melihat partisipasi rekan-rekan kaum Muslim untuk melawan rasisme dan kefanatikan yang diarahkan pada kami. Partisipasi saya yang terlihat dalam Women's March di 2017 dan peringatan yang sangat sukses awal bulan ini telah menjadi pengalaman yang mengharukan bagi Muslim di seluruh dunia. Itu menginspirasi," tambahnya.
Women's March adalah sebuah demonstrasi yang diadakan pada 21 Januari 2017 di Washington dan kota-kota lain di Amerika untuk melindungi hak-hak perempuan, mendorong reformasi undang-undang imigrasi, dan memerangi diskriminasi rasial.
Di Eropa, serangan rasial dan sentimen anti-Muslim juga meningkat setelah partai-partai sayap kanan ekstrem memenangi pemilu di benua itu. Salah satu partai ekstrem kanan di Eropa yang meraih sukses besar dalam pemilu parlemen 24 September 2017 adalah Partai Alternatif untuk Jerman (AfD).
Untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia II, sebuah partai dengan semangat anti-imigran dan anti-Islam berhasil memperoleh sekitar 13 persen suara. Dengan perolehan ini, AfD berhasil menguasai 96 kursi di Bundestag. Salah satu slogan kampanye partai ini adalah "Islam tidak memiliki tempat di Jerman."
Kehadiran partai ini di parlemen Jerman merugikan kaum konservatif Merkel dan partai-partai arus utama lainnya, serta semakin memecah-belah lanskap politik partai dan membuatnya lebih sulit untuk mendapatkan mayoritas parlemen.
AfD adalah partai pertama dan penentang keras kebijakan imigrasi pemerintah Jerman dan kedatangan imigran di negara itu.
AfD telah menikmati dukungan besar setelah Kanselir Angela Merkel memutuskan untuk membuka perbatasan Jerman bagi para pengungsi yang terdampar di Hongaria. Mereka meminta pemerintah untuk menutup perbatasan Uni Eropa dan sepenuhnya mengontrol perbatasan Jerman. Menurut partai ini, Islam bukan bagian dari masyarakat dan budaya Jerman.
Komentar salah satu anggota senior AfD tentang Islam telah membuat partai ini kembali menjadi sorotan media-media dunia. Bjoern Hoecke bersumpah bahwa begitu partainya berkuasa, mereka akan melarang Islam mulai dari Selat Bosporus di kota Istanbul - titik tepat di mana benua Eropa dimulai.
Berbicara kepada para pendukung AfD di kota Eisleben, Bjoern Hoecke mengatakan, "Begitu kita berkuasa, kita akan menegakkan apa yang perlu bagi kita untuk menjalani hidup kita secara bebas. Kami akan mengakhiri tiga huruf M besar yaitu Muhammad, Muazzin, dan Menara!"
Dia berjanji akan melarang pembangunan masjid dan menara di Jerman dan negara-negara Eropa. Menurut Hoecke, kaum Muslim tidak boleh lagi membangun masjid di Eropa dengan berpijak pada "kebebasan beragama."
Ini adalah sikap anti-Islam yang paling keras yang disampaikan oleh seorang anggota partai ekstrem kanan. Oleh karena itu, komentar Hoecke mendapat sorotan luas di dalam dan luar Jerman dan bahkan di lingkup internal AfD. Mantan Ketua AfD, Frauke Petry bahkan meminta partai untuk memecat Hoecke.
Agama Islam tentu saja akan membuka jalannya untuk menyampaikan kebenaran kepada orang-orang yang mencari kebenaran meskipun terus dimusuhi. Salah satu politisi senior AfD di wilayah Brandenburg bahkan memilih masuk Islam. Arthur Wagner menjadi pemberitaan utama di seluruh dunia setelah diketahui bahwa ia telah menjadi seorang muallaf.
Pria berusia 48 tahun ini kemudian mengubah namanya menjadi Ahmed. Dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Bild, Wagner menjelaskan alasannya memilih masuk Islam.
"Salah satu alasannya adalah perubahan cara gereja yang membuat saya tidak mengerti lagi," kata Wagner, yang sebelumnya adalah seorang Kristen yang taat dan anggota gereja Protestan.
“Saya pindah agama karena gereja tempat saya beribadah dulu tidak lagi sejalan dengan kepercayaan yang saya anut,” tegas Wagner. Ia tidak bisa menerima sikap toleran terhadap pernikahan sesama jenis, serta terlibatnya para pendeta di Pawai Gay Pride di Berlin. Ia menganggap ini sebagai kemunduran moral.
Warga Jerman keturunan Rusia ini menuturkan bahwa ia memutuskan untuk masuk Islam pada 2015 selama kunjungan ke kota Ufa, Rusia, rumah bagi komunitas Muslim Tatar.
Wagner mengundurkan diri sebagai wakil pemimpin cabang AfD di Brandenburg, tetapi mengatakan dia ingin tetap berada di partai itu untuk membangun jembatan antara Muslim Jerman dan masyarakat arus utama.
Arthur Wagner tentu saja menghadapi banyak penentang di AfD dan ia tidak akan dibiarkan untuk mempertahankan keanggotaannya di partai tersebut atau membiarkannya hidup tenang di Jerman.
Dia mengatakan telah menerima surat ancaman sejak statusnya sebagai Muslim dipublikasikan. "Saya mendapat surat yang memberitahu saya untuk keluar dari Jerman sebelum saya mulai membuat bom," katanya.
"Banyak anggota menginginkan dia keluar dari partai. Sayangnya, AD/ART partai kami tidak mengizinkan kami langsung memecatnya sepihak,” kata Kai Berger, Ketua Dewan Pimpinan Daerah AfD.
Masyarakat Barat meskipun telah lama berjuang untuk memberikan sebuah model dari interaksi, toleransi, dan kebebasan berekspresi, namun sekarang mereka semakin mengambil jarak dari nilai-nilai yang dihormati secara universal.
Pemerintah Eropa bahkan membiarkan dirinya untuk mengomentari isu kebebasan sipil di negara-negara lain. Tetapi di wilayah mereka sendiri, minoritas agama, terutama Muslim adalah minoritas etnis yang menghadapi banyak pembatasan.
Tiada hari tanpa penerapan pembatasan baru terhadap Muslim di Eropa atau serangan terhadap salah satu lembaga Islam. Ini mengindikasikan bahwa negara-negara Eropa telah mengambil jarak dari nilai-nilai liberal yang telah mereka perjuangkan selama beberapa dekade di dunia.
Islamophobia di Barat (28)
Masyarakat Muslim Austria memulai tahun baru 2018 dengan rasa takut dan keprihatinan. Televisi Euronews menyiapkan sebuah laporan mengenai ketakutan warga Muslim terhadap kampanye Islamophobia yang diadopsi oleh pemerintahan koalisi Austria.
Koalisi baru konservatif dan ekstrem kanan Austria mengumumkan programnya untuk pemerintah. Program ini menyebut nama Islam sebanyak 21 kali yang umumnya berkaitan dengan isu keamanan negara. Sebaliknya, tidak ada satu pun penyebutan ekstremisme sayap kanan atau fasisme di dalamnya.
Menurut laporan Euronews, program baru pemerintah secara tidak proporsional berfokus pada Muslim dan Islam politik, tetapi mengabaikan aktivitas sayap kanan. Program pemerintahan koalisi Austria ini berjudul "Together for Our Austria."
Meskipun ada peningkatan dramatis dalam jumlah serangan sayap kanan selama beberapa tahun terakhir di Austria, namun tidak disinggung aktivitas sayap kanan atau fasisme dalam dokumen yang diterbitkan pada Desember 2017 oleh Partai Rakyat (OVP) pimpinan Sebastian Kurz ( OVP) dan Partai Kebebasan sayap kanan (FPO).
Menurut Dinas Intelijen Domestik Austria (BVT), pihak berwenang mengajukan dakwaan sekitar 1.690 kasus terkait dengan kegiatan sayap kanan pada 2015 - jumlah tertinggi dalam satu tahun dan meningkat dari 1.200 kasus pada 2014.
Austria adalah satu-satunya negara di Eropa Barat dengan pemerintahan sayap kanan sejak Sebastian Kurz memenangkan pemilu pada Oktober 2017. OVP memerintah Austria untuk lima tahun ke depan dalam koalisi dengan FPO, sebuah partai yang didirikan oleh para mantan anggota Nazi, yang saat ini dipimpin oleh Heinz-Christian Strache.
Retorika pemerintah koalisi telah membuat khawatir sejumlah Muslim Austria dan mereka takut akan dicap sebagai ancaman bagi masyarakat.
Profesor Farid Hafez, dosen di Universitas Georgetown mengatakan fokus pemerintah pada Islam dalam program mereka belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Republik Austria Kedua.
"Dalam dirinya sendiri, ini adalah sesuatu yang sangat baru," kata Hafez kepada televisi Aljazeera. "Saya pikir apa yang akan kita lihat dalam lima tahun ke depan adalah sesuatu yang belum pernah kita lihat sebelumnya di Austria," tambahnya.
Banyak warga Austria khawatir bahwa penggunaan istilah "Islam politik" ini tidak didefinisikan dengan jelas dan pada kenyataannya, program pemerintahan baru menargetkan warga Muslim Austria.
Dengan slogan "Combating Political Islam," pemerintahan koalisi Austria menyerukan pemantauan lebih dekat terhadap sekolah-sekolah Islam dan menutupnya jika "persyaratan hukum tidak terpenuhi."
Ini menunjukkan bahwa gagasan tentang apa yang menjadi ancaman bagi keamanan nasional telah diperluas dengan cara yang ambigu, di mana akan memungkinkan negara untuk melegitimasi intervensi jangkauan luas di bidang keamanan.
Salah satu tujuan mereka adalah untuk mencegah pengaruh asing, khususnya di bidang pendidikan dan menerapkan larangan pendanaan dari luar negeri. Namun, larangan tersebut hanya berlaku untuk Muslim, dan tidak ada komunitas agama lain yang disebutkan dalam program pemerintah.
Langkah-langkah pencegahan dan deradikalisasi dalam program tersebut juga hanya berfokus pada Muslim, sementara bahaya yang ditimbulkan oleh kelompok lain diabaikan.
"Islam adalah agama yang menyebarkan perdamaian dan sama sekali tidak berbahaya bagi negara atau masyarakat mana pun. Sayangnya, ketika kita melihat program pemerintah, Islam ditempatkan di sudut itu," kata Presiden Komunitas Islam Austria, Ibrahim Olgun.
"Kami benar-benar tidak setuju dengan ini, karena agama Islam bukanlah alat politik dan harus diperlakukan sama dengan agama-agama dominan di Austria," tambahnya.
Manifesto pemerintah juga menyerukan agar terjemahan al-Qur'an yang resmi dari Jerman digunakan dan umat Islam harus menjauhkan diri dari bagian-bagian tertentu dari kitab suci mereka.
"Partai Kruz telah mengubah fokus mereka sepenuhnya dan mereka tidak melihat Muslim lagi sebagai mitra dalam masyarakat Austria, melainkan sebagai ancaman bagi masyarakat Austria," jelas Farid Hafez.
Menurut Dokustelle (sebuah organisasi yang mendokumentasikan kasus-kasus Islamophobia dan rasisme anti-Muslim), pelecehan verbal dan fisik terhadap warga Muslim di Austria telah meningkat. Antara 2015 dan 2016, serangan Islamophobia meningkat 62 persen menjadi 253 insiden.
Serangan terhadap wanita Muslim merupakan 83 persen dari jumlah total serangan Islamophobia di Austria.
Dalam kasus terbaru yang menandai awal tahun baru 2018, Asel Tamga, bayi Wina pertama yang lahir pada 1 Januari 2018, menjadi berita utama internasional setelah bayi ini menjadi sasaran gelombang komentar Islamophobia dan rasis.
Bayi itu tampil di halaman sosial media surat kabar Heute. Foto itu menunjukkan sang bayi berada dipelukan ibu berjilbab. Dengan cepat berbagai komentar negatif dan harapan buruk ditulis di kolom komentar foto tersebut.
Komentar tersebut meningkat sedemikian rupa sehingga Presiden Austria, Alexander Van der Bellen turun tangan dengan menulis di Facebook, "Keyakinan dan kohesi lebih besar daripada kebencian dan hasutan. Selamat datang, Asel sayang!"
Sementara itu, Muslimah Austria yang berpendidikan khawatir bahwa larangan hijab atau jilbab, mungkin terjadi setelah Menteri Pendidikan Austria yang baru, Heinz Fassman mengatakan kepada sebuah media lokal bahwa guru tidak boleh mengenakan jilbab.
"Ini juga akan mempengaruhi sektor-sektor lain dan memiliki dampak negatif pada situasi pekerjaan yang sudah berbahaya bagi wanita Muslim." kata Dudu Kucukgol, seorang mahasiswa PhD dan peneliti tentang seksisme, rasisme, dan Islamophobia.
"Kurz disambut oleh komunitas Muslim ketika ia menjabat sebagai menteri luar negeri pada 2011. Dia membuat pernyataan positif dan benar-benar tampaknya membawa perubahan dalam paradigma. Dia menentang debat jilbab, dia sangat bersikeras bahwa Muslim adalah bagian positif dari masyarakat Austria. Namun, setelah beberapa tahun bahasa dan politiknya berubah," ungkap Kucukgol.
Husein Veladzic, seorang imam masjid di kota Linz Austria, percaya bahwa kampanye Islamophobia dapat memiliki efek yang berlawanan di beberapa aspek. Dia mencatat bahwa ketika sayap kanan semakin populer, lebih banyak warga Austria non-Muslim mengunjungi masjidnya untuk belajar tentang Islam.
"Tentu saja serangan (terhadap Islam dan Muslim) memang berat, tetapi itu juga memacu minat terhadap Islam. Orang-orang mulai bertanya pada diri sendiri, 'Apa itu (Islam)? Apakah benar-benar seperti ini?' Orang-orang mulai menggali informasi untuk diri mereka sendiri," kata Veladzic.
Muslim Austria tidak dipandang melalui kacamata hak asasi manusia dan kebebasan beragama sebagai kelompok yang harus dilindungi, tetapi sebaliknya secara eksplisit dianggap sebagai ancaman potensial yang harus diatasi dengan bantuan tindakan diskriminatif dan represif.
Kebijakan anti-Islam di pemerintahan Barat akan membahayakan kehidupan damai jutaan Muslim di Eropa, yang hidup berdampingan dengan warga Eropa lainnya.
Islamophobia di Barat (27)
Dari Inggris – yang dikenal sebagai salah satu pusat demokrasi dan kebebasan beragama di dunia – terdengar laporan tentang diskriminasi agama di negara itu.
Sejarah Islam di Wales kembali ke permulaan abad ke-12 Masehi. Menurut sensus 2011, Muslim membentuk 46.000 orang dari 3 juta penduduk di wilayah itu. Persisnya 45.950 Muslim tinggal di Wales dengan perbandingan satu orang dari 60 warga Wales adalah Muslim.
Di Cardiff, ibukota negara Wales, perbandingannya satu orang dari 14 warga adalah Muslim. Setengah dari Muslim Wales tinggal di daerah yang serba kekurangan, sementara hanya 1,7% dari mereka tinggal di daerah gentrifikasi. Tingkat pengangguran sangat tinggi dan statistik penyakit di kalangan lansia banyak dilaporkan.
Salah satu problema Muslimah Wales adalah ketimpangan antara kebutuhan dan kondisi lingkungan kerja serta kebiasaan tradisional lingkungan keluarga.
Daud Salman (69 tahun), yang telah memimpin Cardiff Islamic Center selama 27 tahun, berbicara tentang perubahan yang mempengaruhi komunitas Muslim di Wales. Menurutnya, rekonstruksi dan pengembangan Butetown di Cardiff memiliki dampak negatif bagi kehidupan umat Islam.
Salman menuturkan seperti Muslim lainnya di Wales, ia merasa bahwa tingkat penganiayaan warga Muslim telah meningkat di negara itu. "Wanita Muslim saat mereka pergi ke jalanan dengan jilbab, menghadapi intimidasi buruk, padahal wanita Muslim sama sekali tidak menimbulkan masalah bagi masyarakat," ujarnya.
Rahimah Zaman, salah seorang ibu Muslim berbicara tentang sejumlah kasus diskriminasi di tempat kerjanya dan terhadap putrinya (12 tahun) di sekolah. Ia mengatakan, "Kata-kata yang didengar oleh pelajar Muslim di sekolah sangat mengerikan, seringkali sesuatu dilempar ke arah mereka dan bunyi suara ledakan dibuat untuk mengejek siswa Muslim. Bagaimana mereka harus menanggapi perilaku ini?"
Sejauh ini ribuan perempuan kulit putih telah memeluk Islam di Inggris Raya, di mana pada tahun 2010 saja, 100 ribu wanita dengan usia rata-rata 28 tahun memeluk Islam.
Rahimah Zaman terkait diskriminasi terhadap para wantia Muslim berkulit putih mengatakan, "Saya kenal wanita Muslim kulit putih, terpaksa bermigrasi ke daerah di luar Cardiff karena diskriminasi dan pelecehan, dan kendati kulitnya mereka sama dengan tetangganya, namun mereka pun diancam dan dibenci dikarenakan mengenakan jilbab."
Amanda Morris, keturunan Kanada yang memeluk Islam di usia 25 tahun, terkait diskriminasi terhadap gadis-gadis Muslim menuturkan, "Ada gadis-gadis yang menyembunyikan keislaman mereka di tengah keluarga, karena jika kedua orang tua mereka mengetahui hal tersebut, mereka akan diusir dari rumahnya."
"Salah satu guru sekolah menyelenggarakan program kunjungan ke masjid dan sinagoga Yahudi, di mana 30% orang tua tidak mengizinkan anaknya untuk mengunjungi masjid,” tambahnya.
Statistik Badan Perumahan Wales menunjukkan bahwa 2.941 kejahatan berlatar kebencian terhadap Muslim dicatat oleh polisi Wales antara tahun 2016 dan 2017.
Sejak tahun 2001, warga Muslim Wales menderita pelecehan dan serangan kebencian.
Ana Miah, Sekretaris Masjid Shah Jalal di Cardiff yang berlokasi di daerah bentrokan etnis, mengatakan salah satu penganiayaan yang saya lihat adalah ketika kami meninggalkan masjid, dan pada saat bersamaan seorang pria Wales menurunkan kaca mobilnya dan menghina kami.
Islamophobia dan sentimen anti-Muslim secara resmi telah memasuki literatur politik sebagian besar negara Eropa. Sekarang para pemimpin Eropa tidak lagi peduli jika mereka dituduh anti-Islam dan anti-imigran.
Perdana Menteri Hungaria, Viktor Orban menyebut pengungsi Muslim sebagai orang yang menginvasi untuk mencari kehidupan lebih baik. Ia menyampaikan hal itu saat ditanya alasan mengapa Hungaria tak mau menerima pengungsi.
"Kami tidak menganggap mereka pengungsi, mereka adalah penyerbu," tegasnya. Para pencari suaka ini dinilai sebagai orang yang akan merusak tatanan yang selama ini dibangun.
"Mereka bukan sedang menyelamatkan diri mereka, mereka pergi untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, pemerintah Hungaria lebih memilih menyebut mereka migran ekonomi daripada pengungsi," ungkap Orban.
Sikap anti-imigran dan anti-Islam telah menjadi satu paket di banyak negara Eropa. Para politisi anti-Islam di Eropa memberlakukan pembatasan yang ketat terhadap Muslim dengan alasan kehadiran imigran berdampak negatif pada ekonomi dan budaya serta komposisi demografis negara-negara mereka.
Salah satu politisi anti-Islam di Eropa adalah Milos Zeman, Presiden Republik Ceko. Dia dikenal karena menentang Islam dan pencari suaka di Eropa Timur. Milos Zeman menggambarkan krisis pengungsi pada 2015 sebagai "pendudukan terorganisir" di Eropa. Dia bersikeras bahwa integrasi Muslim dengan masyarakat Eropa merupakan sesuatu yang mustahil diwujudkan.
"Biarkan mereka hidup dengan budaya mereka sendiri di negara mereka masing-masing dan tak perlu membawanya ke Eropa," tegasnya.
Republik Ceko merupakan salah satu negara Eropa di mana kubu sayap kanan memiliki peran yang dominan di kancah politiknya. Pada Desember 2017, Praha menjadi tuan rumah pertemuan partai-partai ekstrem kanan dan anti-Islam di Eropa. Mereka menggunakan setiap kesempatan untuk mengubah slogan anti-Islamnya ke dalam bentuk undang-undang yang membatasi warga Muslim.
Ketua kampanye Partai untuk Kebebasan (PVV) di Utrecht, Henk van Deun mengatakan dia lebih suka masjid-masjid kota itu dibakar. Dalam sebuah wawancara dengan radio lokal, ketika seorang narasumber mengatakan bahwa ia ingin semua orang bangga dengan keberadaan masjid Utrecht ini seperti halnya mereka bangga dengan Dom Tower, Van Deun menegaskan, "Kami lebih suka semua masjid dibakar."
Ketika ditanya oleh pembawa acara apakah dia ingin mencabut pernyataannya, Van Deun berkata, "Kami menentang semua masjid dan berpikir mereka semua harus ditutup."
Mungkin dapat dikatakan bahwa tidak ada negara di Eropa yang tidak ditemukan perilaku diskriminasi agama dan sentimen anti-Islam di dalamnya.
Luksemburg adalah salah satu negara kecil dan maju di Eropa. Nama negara ini sangat jarang menghiasi media-media dunia kecuali jika ada hajatan pertemuan Uni Eropa, namun siapa sangka warga Muslim menghadapi serangan anti-Islam di negara tersebut.
Untuk melawan rasisme dan Islamophobia, sekelompok warga Muslim kemudian mendirikan Observatorium Islamophobia di Institut Kajian Budaya (Iredi) di kota Dudelange pada awal 2018. Lembaga ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi tentang serangan-serangan berlatar Islamophobia, seperti diskriminasi dan kekerasan terhadap warga Muslim di Luksemburg.
"Setelah mengalami beberapa situasi Islamophobia, di mana korban adalah istri dan teman saya, saya menemukan diri saya berkewajiban untuk melindungi diri saya dengan satu atau lain cara," kata pendiri Observatorium Islamophobia Luksemburg.
Kelompok ini terdiri dari tiga hingga empat orang dengan berbagai spesialisasi, yang semuanya ingin tetap dirahasiakan identitasnya di media karena mereka sering menjadi korban pertama serangan Islamophobia.
Kegiatan Observatorium Islamophobia sepenuhnya dijalankan secara sukarela dan tidak memiliki iuran tetap. Diperkirakan ada antara 10.000 dan 15.000 Muslim yang tinggal di Luksemburg.
Para pemimpin Muslim dan kelompok-kelompok advokasi di seluruh dunia telah menyatakan keprihatinan tentang peningkatan gelombang Islamophobia, yang didefinisikan sebagai ketidaksukaan atau prasangka terhadap Islam atau Muslim.
Islamophobia di Barat (26)
Sebagian Muslim Eropa membuat sebuah terobosan untuk memperkenalkan agama Islam kepada warga Kristen di benua itu seiring datangnya Tahun Baru. Salah satu terobosan ini adalah aksi ratusan pemuda Muslim Inggris dan Wales mengumpulkan sampah dan membersihkan jalan-jalan.
Kampanye ini sudah berjalan tiga tahun dan para pemuda Muslim melakukan aksinya untuk memungut sampah dan membersihkan jalan-jalan di kota London, Cardiff, Battersea, Wandsworth, Guildford, Aldershot, Birmingham, Liverpool, Yorkshire, dan Glasgow.
Ratusan pemuda Muslim turun ke jalan lebih awal pada 1 Januari setelah shalat subuh untuk membuat awal tahun yang bersih.
Ketua kampanye pemuda Muslim di Cardiff, Kaleem Ahmed mengatakan bahwa membersihkan jalan-jalan di Cardiff memberi anak muda kesempatan untuk menjadi Muslim yang lebih baik, karena kebersihan adalah bagian integral dari iman mereka.
"Kami adalah Muslim Inggris yang cinta damai dan akan terus melakukan semua yang kami bisa untuk melayani komunitas lokal kami di mana pun dibutuhkan," tambahnya.
Amir Ahmad, ketua kampanye pemuda Muslim di kota Leicester menuturkan, Islam menyeru semua orang untuk terlibat dalam perbuatan baik dan bahkan memuji sebuah kebaikan kecil kepada orang lain.
Farhad Ahmad, juru bicara kampanye ini mengatakan, "Dari segi agama, kebersihan dan menjaga masyarakat di mana kita tinggal adalah bagian penting dari agama kita."
Pada tahun 2016, komunitas Muslim Inggris mengadakan lebih dari 5.200 kegiatan kebersihan, memberi makan lebih dari 10.000 gelandangan, menanam 10.000 pohon, dan mendonorkan darah yang cukup untuk menyelamatkan lebih dari 12.900 jiwa.
Melalui kegiatan seperti itu, kaum Muslim berusaha untuk memperkenalkan wajah asli agama Islam di Eropa, dan untuk melawan fenomena Islamophobia yang mengesankan Islam sebagai agama yang kotor dan penyebar kekerasan di Barat.
Islam adalah agama perdamaian, kasih sayang, dan mencintai kebersihan. Tidak ada yang namanya paksaan dan kekerasan dalam ajaran Islam. Salah satu kesempurnaan akhlak dalam Islam adalah iman, dan keimanan ini lahir dari hasil stusi dan penalaran tentang Islam.
Orang-orang Muslim dapat mencapai tingkat keimanan dan pemahaman yang tinggi tentang ajaran Islam. Mereka kemudian bisa menerapkan nilai-nilai kasih sayang, perdamaian, dan cinta antar-sesama manusia dalam kehidupan individu dan sosialnya. Agama yang seperti ini tidak bisa menjadi penyebar kekerasan dan ekstremisme.
Berbeda dengan Muslim Inggris dan Wales yang memulai Tahun Baru dengan membersihkan jalanan dan menunjukkan salah satu ajaran penting dari agama ini yaitu menjaga kebersihan, masyarakat Muslim Austria justru mengawali Tahun Baru dengan sebuah kegelisahan dan ketakutan.
Pada Desember 2017, kubu sayap kanan ekstrem, Partai Kebebasan Austria (FPO) melakukan koalisi dengan partai kanan moderat untuk membentuk pemerintah.
Islamophobia di Barat tidak terbatas pada membatasi atau meningkatkan serangan terhadap warga Muslim. Salah satu bentuk Islamophobia di negara-negara Barat adalah menciptakan rasa takut di kalangan warga Muslim. Ketakutan dan kecemasan ini dipicu oleh perilaku para pejabat Barat dan media-media mereka. Situasi seperti ini bisa ditemukan di Austria setelah sayap kanan ekstrem bergabung ke pemerintah koalisi.
Di kota Wina, berdiri Masjid Syura yang dipakai oleh banyak warga Muslim untuk mendirikan shalat berjamaah dan shalat Jumat. Masjid Syura (Masjid Islamic Center Wina) adalah salah satu dari 300 tempat ibadah umat Islam di Austria.
Sejak 1912 ketika Islam diakui di Austria, masyarakat Muslim memiliki hak yang sama dengan warga Kristen dan Yahudi. Beberapa masjid seperti Masjid Islamic Center Wina tidak memiliki kegiatan akhir-akhir ini, dan fenomena ini mengungkapkan tentang kondisi banyak Muslim yang merasa cemas dan berusaha untuk hidup jauh dari hiruk-pikuk.
Omar al-Rawi, seorang warga Muslim anggota Dewan Kota Wina, menuturkan warga Muslim, terutama para imigran Muslim di Wina takut mendatangi masjid akhir-akhir ini.
"Orang-orang Muslim mengatakan bahwa kita tidak pergi ke masjid, karena mungkin mereka akan menganggap kita ekstremis dan radikalis. Oleh karena itu, lebih baik tidak menghadiri shalat berjamaah sampai isu seputar imigran mereda," tambahnya.
Sebagian besar kecemasan warga Muslim di Austria berhubungan dengan pemerintah baru, karena kedua partai koalisi pemerintah, Partai Rakyat Austria (OVP) dan FPO memiliki sikap anti-Muslim dan anti-imigran.
Menteri Pendidikan Austria, Heinz Fassmann mengatakan guru Muslim tidak boleh mengenakan jilbab. Ketika ditanya tentang pendapatnya mengenai larangan jilbab, Fassmann menuturkan, "Ya, saya memiliki simpati untuk negara sekuler dan menemukan bahwa guru tidak boleh mengenakan jilbab, kecuali guru sekolah agama dan swasta."
Sikap pemerintah baru Austria mengenai jilbab dan keyakinan Muslim telah memberikan gambaran yang jelas tentang masa depan warga Muslim di negara Eropa itu. Muslim Austria sekarang harus mempersiapkan diri untuk melawan keputusan anti-Islam dari pemerintah dan tampil lebih aktif di lembaga-lembaga peradilan dan media.
Menanggapi pernyataan Fassmann, Ketua Otoritas Agama Islam di Austria (IGGO), Ibrahim Olgun mengatakan, "Jilbab adalah garis merah kami."
"Oleh karena itu kami tidak akan pernah mengizinkan upaya semacam itu. Kami akan melakukan semua yang kami bisa untuk mencegah larangan jilbab dimulai, dan kami akan membawa masalah ini ke pengadilan konstitusi jika perlu," tegasnya.
Olgun menambahkan bahwa perwakilan warga Muslim akan bertemu menteri untuk berbicara tentang masalah ini dan dengan jelas menyatakan keberatannya. "Kami berpikir bahwa alasan di balik rencana larangan jilbab terletak pada sikap anti-Islam," ungkapnya.
Pada Mei 2019, parlemen Austria mengesahkan undang-undang yang melarang penggunaan hijab atau penutup kepala bagi pelajar Muslimah di Sekolah Dasar. Sebelum ini, parlemen meloloskan undang-undang yang melarang dana asing mengalir ke masjid dan organisasi Islam, namun aturan ini tidak berlaku untuk lembaga-lembaga Kristen dan Yahudi.
Dosen dan peneliti di Departemen Ilmu Politik Universitas Salzburg, Farid Hafez mengatakan hari ini kehidupan bagi Muslim Austria jauh lebih berat daripada periode sebelumnya (2000-2005). Salah satu perubahan besar yang terjadi di Austria di kubu sayap kanan adalah bahwa mereka telah mengubah kambing hitam mereka dari Yahudi ke Muslim.
Namun, kubu sayap kanan, OVP dan FPO yang memimpin pemerintahan baru menyangkal pengucilan terhadap Muslim. Mereka mengklaim tujuan mereka adalah untuk memastikan Austria aman dari serangan teror serta mengintegrasikan pengungsi dan pendatang baru. Salah satu langkah itu adalah memaksa siswa di sekolah-sekolah untuk menggunakan bahasa Jerman bahkan selama jam istirahat.
Dalam hal ini, Omar al-Rawi mengatakan bahwa mendefinisikan norma-norma Austria seperti itu adalah rasis dan gagal untuk mengakui bahwa masyarakat di sini beragam. Menurutnya, masa lalu Nazi negaranya harus berfungsi sebagai pengingat, ia dan warga Austria lainnya harus bertindak untuk menghentikan situasi saat ini agar tidak bertambah buruk.
Islamophobia di Barat (25)
Anak-anak di setiap negara merupakan kelompok yang paling rentan di tengah masyarakat dan wajib mendapat perlindungan, namun anak-anak Muslim di Eropa tidak luput dari gangguan dan serangan kebencian yang dilakukan oleh kubu anti-Islam.
Hasil riset oleh seorang pakar terapis anak dan urusan keluarga menunjukkan bahwa anak-anak Muslim di Inggris selalu menjadi korban kekerasan rasial dan anti-Islam, dan ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. Meningkatnya kebencian dan rasisme sedemikian rupa sehingga beberapa anak Muslim bahkan takut pergi ke masjid.
Siham Elkassem, pakar terapis anak dan urusan keluarga dari Vanier Children's Services London, telah melakukan riset tentang serangan Islamophobia terhadap anak-anak Muslim di Inggris. Dia mengatakan, "Banyak anak-anak berbicara tentang betapa menakutkannya menjadi Muslim."
Studi ini dilakukan dengan dukungan King's University College dan Pusat Sumber Daya Muslim untuk Dukungan dan Integrasi Sosial. Hasil studi mencatat bahwa anak-anak Muslim merasa tidak aman karena agama mereka. Dia telah mewawancarai 25 murid Muslim di kelas 6, 7 dan 8 di sebuah sekolah dasar setempat.
Dalam penelitian Elkassem, ketakutan akan penargetan adalah salah satu persoalan terpenting dalam kehidupan sehari-hari anak-anak Muslim. Para pelajar Muslim mengatakan dalam penelitian itu bahwa mereka akan diejek jika berpegang teguh pada keyakinan agamanya, mereka selalu diperingatkan bahwa anak-anak Muslim harus angkat kaki dari Inggris.
Banyak siswa Muslim mengalami tekanan mental setelah menyadari bahwa sikap teman sekelas dan tetangga mereka terhadap mereka benar-benar berbeda dari anggapan umat Islam itu sendiri. "Mereka merasa tidak aman karena mereka Muslim," kata Elkassem.
Elkassem memperingatkan bahwa fanatisme dan diskriminasi ini berdampak buruk pada anak-anak Muslim. Dia memandang dukungan dan kerja sama berbagai lapisan masyarakat dengan para korban diskriminasi sebagai cara yang efektif untuk menyelesaikan persoalan ini.
Kelompok ekstrem kanan di Eropa gencar melakukan kampanye anti-Muslim dan anti-imigran di Eropa.
Sejumlah stereotip dikaitkan dengan Islam dan para pengikutnya. "Mereka sering diserang oleh orang-orang yang tidak mengerti agama," kata Mihad Fahmy, seorang pengacara di London. Fahmy mengetuai komite hak asasi manusia untuk Dewan Nasional Muslim Kanada.
"Mereka menganggap (anak-anak Muslim) berasal dari keluarga seksis, padahal anggapan itu keliru dan benar-benar jauh dari fakta. Tapi, prasangka seperti itu berdampak buruk bagi anak-anak dan remaja Muslim. Itu membuat mereka sedikit mempertanyakan siapa mereka, karena mereka tahu asumsi-asumsi ini berputar-putar di kepala orang-orang," jelasnya.
Serangan Islamophobia terhadap anak-anak Muslim di Eropa merupakan sebuah indikasi dari pertumbuhan sentimen anti-Muslim di tengah masyarakat Benua Biru dan munculnya sebuah generasi di Eropa, yang memiliki kebencian besar terhadap komunitas Muslim. Di sisi lain, rasa percaya diri dan kepribadian anak-anak Muslim rusak sejak usia kanak-kanak.
Salah satu nilai kebanggaan masyarakat Barat adalah toleransi dan kebebasan berekspresi. Konstitusi negara-negara Barat dan budaya mereka menyatakan kepribadian manusia dan kepercayaan mereka harus dihormati. Namun, praktek Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Eropa benar-benar tidak seirama dengan klaim masyarakat Barat.
Berdasarkan penelitian Siham Elkassem, gelombang Islamophobia di Eropa telah merambah ke dunia anak-anak Muslim. Ini adalah sebuah sinyal bahaya bagi masyarakat Eropa, karena berlanjutnya situasi ini akan mengarah pada penguatan gerakan ekstrem kanan dan kubu anti-Islam di Eropa. Saat ini saja, kubu ekstrem kanan telah menjadi ancaman terhadap integrasi dan solidaritas budaya di negara-negara Eropa.
Salah satu faktor yang diduga mendorong sebagian pemuda Muslim Eropa bergabung dengan kelompok takfiri dan teroris adalah kekecewaan, diskriminasi, dan pelecehan yang mereka alami di masyarakat Barat. Pemerintah dan media-media Barat tidak akan memperoleh keuntungan dari kampanye Islamophobia dan sentimen anti-Muslim.
Mereka mungkin dapat membenarkan praktek Islamophobia di Eropa dengan menerapkan pembatasan tertentu terhadap minoritas Muslim, seperti melarang jilbab untuk wanita Muslim atau memberlakukan pembatasan pada Muslim di pusat-pusat Islam dan masjid-masjid, tetapi dalam jangka panjang, kebijakan ini akan memiliki dampak negatif yang sangat besar bagi masyarakat Barat.
Kampanye Islamophobia dan sentimen anti-Muslim secara perlahan akan menjauhkan masyarakat Barat dari rasionalitas, toleransi, dan sikap saling menghormati, serta membahayakan keamanan politik dan sosial mereka.
Tentu saja, komunitas Muslim di Barat tidak akan bersikap pasif atau menyerah di hadapan kampanye Islamophobia. Mereka melakukan berbagai kegiatan dan mengambil langkah-langkah untuk memperkenalkan Islam sebagai agama yang mencintai perdamaian, keadilan, dan toleransi kepada masyarakat Barat.
Salah satu keteladanan Rasulullah Saw adalah lemah lembut dan berakhlak mulia. Dalam al-Quran, akhlak mulia dianggap sebagai salah satu kesempurnaan pribadi manusia.
Salah satu faktor utama penyebaran Islam dari Timur ke Barat adalah kepribadian yang penyayang dan akhlak mulia Rasulullah Saw. Nabi Muhammad adalah bapak dari umat ini, tidak hanya pada masanya, tetapi juga bagi seluruh umat manusia sampai hari kiamat.
Dalam beberapa tahun terakhir, komunitas Muslim di Barat meningkatkan kegiatan sosial untuk melawan kampanye Islamophobia serta memperkenalkan Islam sejati kepada Barat.
Salah satu kegiatan dakwah kaum Muslim adalah memperkenalkan sosok Rasulullah Saw. Pada perayaan Natal, komunitas Muslim di Eropa dan AS mengirim kartu ucapan selamat ke rumah-rumah warga Kristen dengan menulis pesan-pesan dari ajaran Islam dan kedudukan Nabi Isa as dalam al-Quran. Mereka berusaha menyebarluaskan semangat kasih sayang dan persahabatan di masyarakat Barat.
Menjelang Tahun Baru, Perhimpunan Pelajar Iran di London membagikan kartu ucapan Natal kepada masyarakat Kristen dengan mencantumkan pesan dari al-Quran tentang Nabi Isa as.
Salah satu anggota Pusat al-Quran di timur London, Doktor Mohammad Fahim mengirim kartu ucapan selamat Natal kepada Paus, Ratu Inggris, para politisi, gereja-gereja, dan para tetangganya yang Kristen. Kebiasaan ini sudah dilakukannya selama 10 tahun. Biasanya ia membagikan 4.000 kartu ucapan selamat Natal dengan desain gambar Masjid al-Aqsa dan ayat-ayat al-Quran kepada para politisi Inggris dan kenalannya.
"Kartu ucapan ini kami kirim kepada keluarga Kerajaan Inggris, anggota parlemen, gereja-gereja, Paus, para pemimpin Uni Eropa, dan para tetangga, dan menariknya kami juga menerima balasan yang indah," ujarnya.
Mohammad Fahim menuturkan, "Saya bangga bahwa setiap tahun Ratu dan Perdana Menteri Inggris serta Paus membalas kartu ucapan saya. Saya berharap kartu-kartu ini bisa membantu menghapus kesalahpahaman tentang Islam."
Islamophobia di Barat (24)
Salah satu titik kampanye Islamophobia dan penyebaran sentimen anti-Muslim di benua Eropa dan negara-negara Barat adalah Inggris. Negara ini memiliki sejarah panjang propaganda anti-Muslim dan penyebaran Islamophobia.
Salman Rushdie, warga Inggris keturunan India adalah salah satu pelopor gerakan Islamophobia di Eropa. Dengan menulis buku "The Satanic Verse" yang menghina Islam dan Nabi Muhammad Saw, ia telah meluncurkan gelombang baru Islamophobia di dunia.
Penerbitan buku ini memicu kemarahan 1,5 miliar Muslim di dunia dan mengundang protes di seluruh dunia terhadap Salman Rushdie. Dengan dalih kebebasan berekspresi, negara-negara Barat juga mendukung penghinaan terhadap al-Quran dan Nabi Muhammad Saw.
Kampanye Islamophobia terus digemakan oleh pemerintah dan media-media Barat selama tiga dekade terakhir. Sekretaris Jenderal Dewan Muslim Inggris, Harun Khan dalam wawancara dengan televisi Jepang, NHK pada Desember 2017 lalu, menyinggung tentang gelombang Islamophobia di Inggris.
"Banyak konten tentang masyarakat Muslim yang diterbitkan media-media Inggris telah menyebabkan menguatnya Islamophobia," ujarnya.
Dalam wawancara itu, Harun Khan berbicara tentang upaya Muslim Inggris untuk memperkenalkan wajah Islam yang sebenarnya dan ia dengan keras mengutuk tindakan teroris atas nama Islam.
Aktivis Muslim Inggris ini menyerukan diakhirinya diskriminasi terhadap warga Muslim dan mengatakan, "Kami adalah kelompok minoritas kecil di Inggris, dan sangat penting bagi kami untuk menunjukkan bahwa kami sama seperti orang lain sebagai warga negara, seperti orang yang menjalani kehidupan sehari-hari, dan satu-satunya perbedaan adalah keyakinan kami."
Seiring meningkatnya aksi dan ancaman teroris di Inggris dan negara-negara Eropa lainnya, kasus serangan rasis dan kebencian terhadap Muslim juga mencatat kenaikan. Salah satu tempat yang menjadi sasaran serangan kebencian di Eropa adalah masjid.
Dalam menanggapi serangan ini, masyarakat Muslim Eropa melaksanakan kegiatan Hari Pintu Masjid Terbuka untuk memperkenalkan agama Islam kepada non-Muslim dan orang-orang yang ingin mengenal Islam sejati.
Harun Khan menuturkan, "Yang kami inginkan adalah memberikan identitas nasional kepada masjid di Inggris. Kami telah membuat sebuah situs web dalam hal ini. Berdasarkan statistik yang kami terima, 450.000 orang mencari informasi tentang masjid di situs web ini. Mereka ingin berkunjung ke masjid.
Pandangan banyak orang di Inggris tentang masjid sepenuhnya negatif, dan ini disebabkan oleh informasi yang diterbitkan di media-media. Pembuatan situs web khusus masjid memberikan sebuah kesempatan bagi masyarakat untuk melihat realitas. Mereka dapat melihat bahwa tidak ada aksi teroris atau ekstremis di dalam masjid. Kami menyambut semua orang di masjid-masjid."
Mengenai serangan teroris di Inggris, Harun Khan menegaskan, "Dewan Muslim Inggris secara terbuka mengutuk terorisme apakah itu menyerang Muslim atau non-Muslim. Sebenarnya, para teroris tidak membedakan antara siapa yang mereka serang, jadi itu adalah serampangan."
"Mengulangi kalimat-kalimat 'Teroris Muslim' atau 'Teroris Islam' di media akan menciptakan masalah. Peran saya adalah berkata bahwa tindakan ini salah. Mereka (para teroris) tidak mewakili agama saya, jadi sangat penting bagi kami untuk berbicara di waktu yang tepat dan mengatakan hal-hal yang benar," jelasnya.
Harun Khan lebih lanjut menuturkan, "Islamophobia selalu tumbuh dan menyebar di Inggris selama bertahun-tahun. Orang-orang bodoh akan terpengaruh dengan konten yang tersebar di media sosial dan kemudian menyerang masjid-masjid. Kami melihat kaca jendela masjid yang pecah, kami menyaksikan jilbab wanita yang ditarik, kami bahkan menyaksikan pembunuhan orang-orang. Tindakan ini dipicu oleh informasi keliru media tentang Muslim."
Meskipun warga Muslim Inggris dan negara Eropa lainnya telah melakukan upaya untuk memperkenalkan Islam hakiki, namun kampanye Islamophobia juga kian gencar dilakukan.
Salman Rushdie.
Politisi anti-Islam asal Belanda, Geert Wilders meminta negara-negara Eropa untuk mengadopsi larangan perjalanan gaya Donald Trump untuk melawan gelombang Islamisasi yang melanda benua itu.
Dia juga mendesak Eropa untuk meniru taktik Australia dalam mengembalikan kapal yang membawa imigran dan membangun tembok perbatasan baru, sebagaimana Trump telah berjanji akan melakukan hal itu di sepanjang perbatasan AS dengan Meksiko.
"Kita harus mengadopsi strategi yang sama sekali baru. Kita harus memiliki keberanian untuk membatasi imigrasi legal alih-alih melonggarkannya, bahkan jika kita terkadang harus membangun tembok,” tegas Wilders dalam pertemuan dengan partai-partai ekstrem kanan dan anti-Islam Eropa pada Desember 2017 lalu di Praha, Republik Ceko.
Kubu ekstrem kanan di Eropa telah berubah menjadi kekuatan politik yang tangguh. Setelah pamor partai-partai kiri dan kanan-tengah Eropa mulai redup, sayap ekstrem kanan mendapat momentum untuk menunjukkan kekuatan mereka di negara-negara Eropa.
Setelah Perang Dunia II, tongkat kekuasaan di negara-negara Eropa digilir di antara kelompok kanan dan kiri-tengah. Di Jerman misalnya, lebih dari 80 persen suara dibagi antara partai-partai kanan dan kiri-tengah. Fenomena serupa juga terlihat di Prancis dan negara-negara Eropa lainnya.
Namun, pemilu yang digelar di Eropa dalam beberapa tahun terakhir telah mengubah konstelasi politik secara drastis. Dalam pemilu Jerman pada September 2017, dua partai besar kiri dan kanan-tengah, Partai Kristen Demokrat (CDU) dan Partai Kristen Sosialis (CSU) memenangkan total hanya 54 persen suara.
Pada pemilu presiden Prancis, kandidat presiden dari sayap kanan dan kiri-tengah untuk pertama kalinya di Republik Prancis, tidak bisa maju ke putaran kedua karena tingkat dukungan yang rendah. Francois Hollande dari Partai Sosialis (PS) menjadi presiden petahana pertama Republik Kelima Prancis yang tidak maju untuk periode kedua.
Pada pemilu parlemen Austria, kubu ekstrem kanan, Partai Kebebasan Austria memperoleh posisi kedua di parlemen dan membentuk pemerintahan koalisi dengan partai kanan-tengah. Demikian pula di Republik Ceko, partai-partai ekstrem kanan telah mengambil alih kekuasaan.
Partai-partai tersebut mengadopsi sentimen anti-Muslim dan serangan terhadap Islam. Mereka menganggap imigran Muslim sebagai ancaman bagi komunitasnya dan menuntut pengusiran imigran dan larangan masuk bagi mereka ke Eropa.
Berkuasanya kubu ekstrem kanan di negara-negara Eropa telah mengundang kekhawatiran warga Muslim di benua itu, karena kehadiran mereka di lingkaran kekuasaan akan memperkuat sentimen anti-Muslim di Eropa. (
Islamophobia di Barat (23)
Perdana Menteri Irak, Haidar al-Abadi pada 9 Desember 2017 mengumumkan kemenangan atas kelompok teroris Daesh, setelah tiga tahun pertempuran untuk membebaskan daerah-daerah yang dikuasai oleh kelompok teroris itu.
"Pasukan kami sepenuhnya mengendalikan perbatasan Irak-Suriah, dan dengan demikian kami dapat mengumumkan akhir perang melawan Daesh," kata Abadi dalam pidato yang disiarkan televisi nasional Irak.
"Pertempuran kami adalah dengan musuh yang ingin membunuh peradaban kami, tetapi kami telah menang dengan persatuan dan tekad kami," tegasnya.
Abadi kemudian menetapkan tanggal 10 Desember sebagai hari libur nasional untuk dirayakan setiap tahun.
Kekalahan Daesh di Suriah dan Irak bermakna kehancuran salah satu kelompok yang merusak citra Islam di hadapan publik dunia, terutama Barat.
Meski interpretasi menyimpang dan kaku tentang Islam telah lama ditemukan di antara beberapa faham Salafi, namun jika dibandingkan dengan populasi 1,5 miliar Muslim dunia, maka persentase orang-orang yang menafsirkan ajaran Islam secara keliru, sangat sedikit.
Lalu, mengapa segelintir orang dari kaum Muslim di dunia ini tiba-tiba menjadi pusat perhatian dan merusak citra Islam dengan kejahatan yang mereka lalukan.
Kejahatan mereka sebenarnya merupakan sisi lain dari kampanye Islamophobia yang terjadi di Barat. Barat kehilangan musuh utamanya setelah runtuhnya Uni Soviet dan rezim komunis. Selama ini, kebijakan luar negeri, keamanan, dan intervensi negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat menemukan pembenaran dengan adanya musuh yang disebut komunisme.
Pasca runtuhnya Uni Soviet, Barat mulai mencari cara untuk menjustifikasi hegemoninya atas dunia. Bahkan filosofi pembentukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) sudah tidak bermakna lagi. Di sinilah dimulai upaya untuk mengangkat isu bahaya Islam sebagai pengganti bahaya komunisme.
Lembaga-lembaga think tanks (wadah pemikir) di Eropa dan AS mulai menyusun langkah-langkah menyebarkan ekstremisme dan terorisme di dunia atas nama Islam. Kebijakan Barat menggaungkan isu bahaya Islam sebagai pengganti bahaya komunisme telah memperkuat gerakan-gerakan takfiri di Dunia Islam.
Pemikiran takfiri bersumber dari kelompok Wahabi di Arab Saudi. Negara ini berada di bawah pengaruh dan dominasi Barat. Setelah kemenangan Revolusi Islam Iran, Al Saud berambisi menjadi kekuatan regional dengan cara memborong senjata dari AS dan negara-negara besar Eropa.
Dinas-dinas intelijen Barat khususnya AS dan Inggris – dengan dukungan finansial, politik dan ideologi Wahabi Saudi – mulai melakukan aktivitas di madrasah-madrasah Peshawar di Pakistan, madrasah di negara-negara miskin Afrika, dan bahkan sekolah-sekolah agama milik komunitas Muslim di Eropa.
Langkah ini bertujuan untuk mendidik generasi muda dan masyarakat miskin dengan pemikiran Wahabi, sebuah ideologi yang bertentangan dengan ajaran Islam murni yang menyerukan perdamaian dan keadilan.
Semua orang – bahkan mereka yang tidak mengenal Islam – dengan mempelajari al-Quran, sunnah, dan sirah Rasulullah Saw, akan berkesimpulan bahwa tidak hubungan antara ajaran Islam murni dengan pemikiran ekstrem Wahabi.
Kegiatan Wahabi Saudi yang didukung oleh Barat selama bertahun-tahun telah melahirkan Taliban Afghanistan, kelompok teroris Al Qaeda, Daesh, dan Boko Haram di Afrika, dan kelompok-kelompok takfiri di Asia.
Perlu dicatat bahwa perjalanan waktu akan menyingkap semua skala kejahatan yang dilakukan Taliban di Afghanistan dan kemudian Al Qaeda, serta kelompok-kelompok takfiri di Suriah dan Irak.
Tujuan kelompok takfiri khususnya Daesh melakukan kejahatan keji adalah untuk merusak citra Islam secara serius. Daesh dan kelompok takfiri telah melakukan kejahatan keji selama bertahun-tahun di Irak dan Suriah. Mereka kemudian memanfaatkan media dan internet untuk menegaskan dirinya sebagai kelompok yang tidak segan-segan dalam melakukan kejahatan apapun dan membuat videonya.
Menurut mantan Direktur Biro Investigasi Federal AS (FBI) James Comey, Daesh memiliki pola operasi media sosial yang canggih dan propaganda media mereka sekarang dilakukan dalam 23 bahasa.
Daesh melakukan kejahatan dan pembantaian di setiap daerah yang mereka jamah dengan tujuan menciptakan ketakutan dan teror. Kejahatan paling sederhana yang mereka lakukan adalah pemenggalan kepala.
Membakar korban hidup-hidup, menenggelamkan, melempar dari atap bangunan, meledakkan tubuh korban, perbudakan perempuan, dan pemerkosaan massal merupakan sebagian kecil dari kejahatan yang dilakukan Daesh.
Perilaku yang dilakukan oleh sebuah kelompok yang berusaha mendirikan negara ini benar-benar tidak sejalan dengan akal sehat dan logika. Langkah pertama yang harus dilakukan oleh sebuah elemen yang ingin membentuk negara adalah menarik simpati masyarakat dan menciptakan rasa aman. Namun Daesh bertindak bertentangan dengan akal.
Daesh justru menebarkan ketakutan dan teror di wilayah yang didudukinya dengan pertumpahan darah. Jelas bahwa dengan perilaku keji ini, mereka sedang menciptakan musuh dan kelompok seperti ini tidak akan bertahan lama. Daesh dengan semua kejahatan ini mengejar tujuan yang sudah digariskan oleh lembaga-lembaga think tanks di Eropa dan Amerika yaitu merusak citra Islam.
Sebagian besar media-media Barat, terutama media Inggris dan Amerika, terus menggunakan istilah Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) sampai menjelang ajal mereka di Suriah dan Irak, dan sangat jarang memakai istilah Daesh. Media-media Barat memiliki penekanan khusus untuk mengaitkan kejahatan Daesh dengan ajaran Islam.
Pengabdian Daesh dalam merusak citra Islam di hadapan publik dunia, tidak pernah dilakukan oleh gerakan mana pun di sepanjang sejarah Islam. Kejahatan ini merupakan sebuah rekayasa Barat yang bertujuan menghancurkan citra Islam dengan melibatkan beberapa negara Arab, termasuk Arab Saudi.
Daesh berhasil dihancurkan di Suriah dan Irak berkat perlawanan tentara dan rakyat di kedua negara tersebut serta dukungan Republik Islam Iran, Hizbullah Lebanon dan Rusia. Namun semua pihak tidak boleh lalai terhadap munculnya gerakan-gerakan takfiri dalam bentuk lain.
Kampanye Islamophobia di Barat semakin intensif dilakukan dari waktu ke waktu. Mereka merasa masih butuh untuk merusak citra Islam dan kaum Muslim. Kebutuhan ini menuntut Barat mencari subjek baru untuk menjustifikasi perusakan citra Islam.
Pemikiran Daesh masih mengancam masyarakat Muslim dan di sini, para ulama dan cendekiawan Muslim perlu meningkatkan upayanya untuk memperkenalkan esensi kelompok tersebut kepada masyarakat Muslim dan non-Muslim.