کمالوندی

کمالوندی

Senin, 21 September 2020 18:50

Islamophobia di Barat (12)

 

Di kota Munster, Jerman pada 11-12 September 2017 dihelat dialog internasional antaragama bertema "Avenues of Peace. Religions and cultures in a dialogue" atau jalan damai, dialog agama dan budaya. Dialog itu dihadiri oleh sekitar 3000 orang dari berbagai negara.

Dialog antaragama diyakini sebagai salah satu metode efektif untuk mengenalkan agama dan menyelesaikan masalah serta menekankan persamaan di antara masyarakat, di dunia yang penuh dengan turbulensi dan kegaduhan ini. Karena semua ajaran agama mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan.

Baik dan buruk adalah dua kata kunci dalam setiap agama. Hampir seluruh agama Ibrahimik dan non-Ibrahimik memiliki pandangan yang sama tentang hal ini. Akan tetapi masing-masing agama, dengan memperhatikan ajaran-ajarannya, memiliki banyak cara untuk menyampaikan kebaikan dan keburukan, dan mengajak para pengikutnya untuk berbuat baik dan menjauhi keburukan.

Nabi Muhammad Saw adalah nabi terakhir dan utusan Allah Swt di muka bumi, dan kitab suci sebelum Islam juga sudah mengabarkan tentang kedatangan seorang nabi bernama Muhammad. Kenyataannya, Nabi Muhammad Saw mengajak umat manusia ke agama sempurna yaitu Islam, dan Islam adalah penyempurna seluruh agama langit.

Allah Swt mengutus para nabi kepada manusia untuk membimbing dan menyeru mereka untuk berbuat kebaikan, dan menyampaikan bahwa kehidupan manusia tidak hanya terbatas di dunia semata, tapi akan hidup abadi di alam lain. Kedudukan manusia di alam sana tergantung pada perbuatannya di dunia ini.

Para nabi diangkat dengan tujuan yang sama, dan dengan memperhatikan kapasitas yang dimiliki manusia di masanya, mereka menyampaikan pesan Ilahi. Nabi Muhammad Saw adalah penyempurna ajaran nabi-nabi sebelumnya. Dalam kesempatan ini, kami tidak bermaksud berbicara tentang kebenaran satu agama tertentu, tapi mengenalkan secara umum ajaran Islam dan agama lain.

Tidak ada satu agamapun yang mengajak kepada ekstremisme dan kekerasan serta memaksakan keyakinannya kepada orang lain. Jika ada orang yang mengajak kepada ekstremisme dan kekerasan dengan bersandar pada sebagian ajaran agama, maka sebenarnya ia hanya ingin melegitimasi pemikiran dan perbuatannya yang menyimpang di hadapan para pengikut agama tersebut.

Oleh sebab itu, karena pemahaman-pemahaman yang keliru dari sebagian orang ekstrem dari ajaran agama tertentu, maka mereka menyerang agamanya sendiri dan menciptakan ketakutan bagi orang lain.

Namun di sini ada pengecualian dan itu terkait dengan Islam. Kata Islamofobia adalah istilah yang banyak di gunakan dalam terminologi media dan politik Barat. Tidak ada satu agamapun selain Islam yang mendapat predikat menakutkan semacam ini. Jelas ada tendensi-tendensi politik besar di balik munculnya istilah Islamofobia.

Islamofobia adalah sebuah istilah yang merujuk pada ketakutan, prasangka dan diskriminasi tidak rasional terhadap Islam dan Muslim. Istilah Islamofobia mengandung arti bahwa Dunia Islam secara umum dan Muslim yang tinggal di negara-negara Barat secara khusus, dianggap sebagai sumber ancaman dan bahaya bagi masyarakat, budaya dan peradaban Barat.

Pendeknya, Islamofobia berarti bahwa Islam sama sekali tidak punya kesamaan dengan agama dan budaya lain. Ia adalah sebuah agama kekerasan, jumud dan tidak adil, pada saat yang sama, peradaban Islam dibandingkan peradaban Barat dianggap lebih rendah dan lebih pantas disebut sebagai ideologi politik daripada agama.

Oleh karena itu, umat Islam selalu dianggap mengancam nilai-nilai nasionalisme dan budaya Barat. Pemerintah dan media Barat menggunakan konsep-konsep keadilan dan perdamaian sebagai dasar untuk menjustifikasi dan menyebarluaskan keyakinan serta pemikiran kelirunya ini.

Mereka mengumumkan kepada masyarakat dunia bahwa Islam melakukan tindakan kekerasan dan kejahatan sebagaimana yang dilakukan kelompok teroris Takfiri semacam Daesh. Padahal mereka punya agenda besar dengan menciptakan istilah Islamofobia di tengah masyarakat Barat dan dunia.

Namun disesalkan, dialog-dialog antaragama yang diselenggarakan di sejumlah negara Barat ternyata tidak menjadi momen untuk bertukar pikiran dan pendapat, serta menyingkirkan prasangka-prasangka serta pandangan keliru tentang agama, tapi lebih merupakan ajang untuk menyebarluaskan keyakinan keliru para pejabat pemerintah Barat terkait Islam kepada para pengikut agama lain.

Dialog agama di Munster, Jerman termasuk di antaranya. Pembicara pada acara pembukaan dialog ini adalah Kanselir Jerman, Angela Merkel dan Presiden Parlemen Eropa, Antonio Tajani.

Merkel dalam pidatonya mengajak perwakilan agama-agama dan gereja untuk melawan dominasi agama oleh kelompok-kelompok yang memusuhi kemanusiaan. Merkel menuturkan, agama adalah penjamin terwujudnya perdamaian, oleh karena itu tidak ada alasan untuk membenarkan perang dan kekerasan atas nama salah satu agama.

Di saat yang sama, Kanselir Jerman dalam pidatonya sama sekali tidak menyinggung peran Barat dalam menumbuhkan ekstremisme dan terorisme di dunia. Realitasnya, sebagian besar gerakan ekstrem di dunia ini berusaha melegitimasi kejahatannya dengan bersandar pada agama.

Akan tetapi gerakan-gerakan ekstrem ini tidak lahir begitu saja. Ada pihak di balik munculnya gerakan-gerakan ekstrem dan teror yang sama sekali bertentangan dengan klaimnya sebagai perisai kemanusiaan, mereka tidak pernah mematuhi prinsip moral, kemanusiaan dan aturan internasional.

Instabilitas dan ketidakamanan yang melanda banyak negara Muslim adalah buah dari kebijakan negara-negara Barat. Barat memainkan peran asli dalam merusak citra Islam dan menyebarluaskan propaganda Islam sebagai agama yang mendukung ekstremisme dan kekerasan. Saat Muslim menjadi korban ekstremisme dan kekerasan, mereka dengan mudah menutup mata dan mengabaikannya.

Namun ketika menyaksikan kejahatan Daesh dan Al Qaeda yang dilakukan atas nama Islam, maka mereka akan meliput dan memberitakannya besar-besaran di seluruh penjuru dunia. Reaksi negara-negara Barat atas pembunuhan massal Muslim Rohingya di Myanmar adalah bukti nyata standar ganda yang diterapkan pemerintah Barat dan medianya.

Kebisuan pemerintah dan media arus utama Barat menyaksikan kejahatan kemanusiaan terhadap orang-orang lemah, tertindas, tanpa perlindungan dan rumah-rumahnya dibakar di Myanmar, pemerkosaan gadis-gadis Muslim Rohingya dan pembunuhan anak-anak, penyaliban kaum laki-lakinya dan pembakaran hidup-hidup mereka serta pemutusan hak warga negara kaum Rohingya, menggambarkan dengan jelas praktik standar ganda Barat terhadap genosida, apartheid, ekstremisme dan terorisme.

Negara-negara Barat tidak mau bahkan hanya untuk sekadar memprotes dan meminta Aung San Suu Kyi, si pemenang Nobel perdamaian itu untuk menghentikan pembunuhan terhadap Muslim Rohingya.

Apakah jika bukan Muslim Rohingya yang dibunuh tapi Kristen atau Yahudi, Barat akan bersikap seperti ini ? Apakah mereka akan tetap memberikan hadiah Nobel perdamaian kepada Suu Kyi ?.

Senin, 21 September 2020 18:48

Islamophobia di Barat (11)

 

Masyarakat Muslim di semua negara dunia – baik sebagai mayoritas ataupun minoritas – menjalani kehidupan yang damai di samping para pengikut agama lain. Kehidupan damai dan ramah ini masih dipertahankan sampai sekarang di kebanyakan negara dunia.

Namun, gelombang Islamophobia yang muncul di negara-negara Barat dalam dua dekade terakhir, telah menyebar luas ke berbagai belahan dunia. Amerika Serikat dan Inggris serta sebagian negara Barat lainnya melakukan banyak upaya untuk memperkenalkan Islam sebagai ajaran ekstrem dan sponsor kekerasan.

Barat mengkampanyekan Islamophobia dan menjalankan kebijakan anti-Islam untuk menjustifikasi kebijakan ilegal mereka di negara-negara Muslim. Blok Barat – pasca runtuhnya Uni Soviet – merasa perlu menciptakan sebuah musuh baru untuk memajukan kepentingan jangka panjangnya di dunia Islam. Untuk itu mereka menjalankan kebijakan Islamophobia untuk mencapai tujuannya.

Kebijakan ini membawa dampak negatif bagi kehidupan warga Muslim di berbagai negara, terlebih jika mereka tergolong minoritas. Hari ini warga Rohingya di Myanmar terus dibunuh hanya karena status mereka Muslim. Jika minoritas Rohingya beragama lain selain Islam, tentu pemerintah Barat dan lembaga-lembaga HAM dunia akan memperlihatkan reaksi yang berbeda.

Dalam kasus terbaru, sejumlah negara dunia menyampaikan rasa simpati atas genosida dan pengusiran puluhan ribu Muslim Rohingya di Myanmar, tetapi mereka tidak mengambil tindakan praktis selain ungkapan simpati. Negara-negara Barat dan lembaga internasional tidak mengambil langkah nyata terhadap pemerintah Myanmar dan secara khusus pejabat tinggi negara itu, Aung San Suu Kyi.

Bahkan sebagian pejabat Barat dalam pertemuannya dengan Suu Kyi, berusaha mengesankan pembunuhan warga Muslim Rohingya di Myanmar sebagai kesalahan mereka sendiri.

Perdana Menteri India, Narendra Modi dalam pertemuannya dengan Suu Kyi di Naypyidaw, mendukung sikap pemerintah Myanmar dalam berurusan dengan warga Muslim Rohingya. Myanmar mengklaim bahwa aksi represif terhadap minoritas Rohingya dipicu oleh serangan gerilyawan Rohingya.

Penyerangan oleh militer Myanmar pada Agustus 2017 merupakan satu dari tiga pembantaian terbesar yang dilakukan pemerintah Naypyidaw terhadap etnis Rohingya sejak 2012 dan 2016.

Menurut data resmi pemerintah yang dirilis pada September 2017, jumlah korban tewas dalam serangan itu hanya 400 jiwa. Namun, data tidak resmi mencatat jumlah korban mencapai lebih dari beberapa ribu orang. Beberapa laporan menyatakan militer Myanmar membakar mayat Muslim Rohingya untuk menghapus jejak kejahatan mereka.

Muslim Rohingya – karena tidak memiliki kartu identitas dan kewarganegaraan – tidak dapat mengajukan tuntutan apapun atas kematian saudaranya. Pemerintah Myanmar tidak mengakui minoritas Muslim ini sebagai warganya, dan dalam praktiknya, minoritas Muslim Rohingya tidak menikmati hak-hak sebagai warga negara.

Umat Budha Myanmar menganggap Muslim sebagai orang asing. Mereka menganggap segala perilaku yang tidak manusiawi dan diskriminatif dengan Muslim sebagai tindakan yang sah.

Tidak ada data akurat tentang populasi Muslim di Myanmar, tapi jumlah mereka diperkirakan mencapai 1,1 juta orang. Hampir semua Muslim Rohingya tinggal di Provinsi Rakhine, barat Myanmar. Rakhine adalah salah satu daerah yang paling miskin di Myanmar, dan sebagian besar Muslim Rohingya tinggal di kamp-kamp. Mereka dilarang meninggalkan Rakhine jika tanpa izin dari pemerintah pusat.

Berdasarkan dokumen sejarah, Muslim Rohingya telah menetap di Myanmar sejak abad ke-12 Masehi. Etnis Muslim Rohingya beremigrasi ke negara yang dikenal sekarang sebagai Myanmar untuk mencari pekerjaan sekitar 100 tahun lalu antara tahun 1824 sampai 1948. Migrasi ini terjadi selama era kolonialisme Inggris di anak bedua India.

Pada masa itu, Myanmar (Burma) adalah salah satu dari provinsi India di bawah yurisdiksi Inggris, dan migrasi Muslim Rohingya dianggap sebagai sebuah eksodus dalam negeri.

Pada 1947, Myanmar memperoleh kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Inggris. Sentimen anti-Muslim sudah berkembang luas di tengah masyarakat Budha di negara tersebut.

Setelah merdeka, sebagian besar Muslim tidak bisa memperoleh kewarganegaraan Myanmar, dan pemerintah Naypyidaw menganggap migrasi mereka dari India dan Bangladesh – selama era kolonialisme Inggris – sebagai praktik ilegal.

Muslim Rohingya pada awalnya diberikan kartu identitas dan bahkan kewarganegaraan, serta beberapa dari mereka menjadi anggota parlemen, namun kudeta militer pada 1962 telah mengubah segalanya. Ketika itu, semua warga negara diharuskan memiliki kartu tanda pengenal nasional, sementara warga Rohingya hanya diberikan kartu identitas dengan status warga asing.

Dalam beberapa tahun terakhir, kampanye Islamophobia dan sentimen anti-Muslim berkembang luas di tengah ekstresmis Budha Myanmar. Mereka telah mengintensifkan serangan rasial dan kekerasan terhadap etnis Muslim Rohingya lebih dari sebelumnya.

Tragisnya, genosida Muslim Rohingya di Myanmar secara resmi melibatkan pemerintah. Sebelum ini, militer Myanmar hanya memantau tindakan kekerasan ekstresmis Budha terhadap Muslim. Sekarang militer terjun langsung memimpin operasi dengan alasan melawan kelompok gerilyawan Muslim di Rakhine.

Warga Rakhine yang tiba di perbatasan atau Bangladesh mengatakan bahwa tentara Myanmar membakar rumah-rumah mereka dan tidak segan-segan untuk membunuh mereka.

Menurut laporan Human Rights Watch (HRW), citra satelit yang diambil dari desa-desa milik minoritas Rohingya menunjukkan volume kerusakan dan pembakaran sekitar 99%.

Surat kabar The Guardian menulis, ribuan warga Rakhine menderita kelaparan dan terjebak di perbatasan Myanmar dan Bangladesh. Mereka bahkan tidak memiliki kebutuhan dasar seperti obat-obatan dan air minum.

Banyak pihak mengira bahwa diskriminasi dan kekerasan rasial terhadap Muslim Rohingya akan berakhir dengan berakhirnya kekuasaan militer di Myanmar dan dengan berkuasanya Suu Kyi, pemegang Hadiah Nobel Perdamaian. Tetapi bukan hanya ini yang tidak terjadi, Muslim Rohingya justru menghadapi pengusiran lebih parah lagi oleh militer Myanmar.

Suu Kyi tidak menanggapi kritik terkait sikap diamnya dalam menyaksikan genosida Muslim Rohingya, tetapi malah menuduh pekerja bantuan internasional bekerja sama dengan teroris di negaranya. Dengan alasan ini, pemerintah Myanmar melarang badan-badan PBB untuk mengirimkan bantuan kepada ribuan Muslim Rohingya.

Sebenarnya, media dan negara-negara Muslim telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah pembantaian dan pengusiran Muslim di Myanmar. Namun, selama tidak ada tekad serius internasional untuk menekan pemerintah Myanmar, maka Naypyidaw mustahil akan menghentikan tindakan kejinya terhadap warga Muslim.

PBB telah memberikan peringatan tentang memburuknya kondisi Muslim Rohingya, tetapi tidak ada indikasi bahwa negara-negara Barat pendukung Suu Kyi, akan akan menekan pemerintah Myanmar. 

Senin, 21 September 2020 17:51

Mengenal Populasi Muslim Dunia (03)

 

Berbagai kalangan memprediksikan bahwa pada sepuluh tahun mendatang, Eropa harus membenahi kembali identitasnya dan menerima agama Islam dengan ajarannya yang mulia dan peradaban yang besar sebagai bagian dari budaya yang tak terpisahkan dari Eropa. Prediksi ini mengemuka sejalan dengan pertumbuhan warga Muslim di benua ini. Memang sejauh ini belum ada data yang pasti mengenai poplasi jumlah warga Muslim mengingat tidak pernah ada upaya lembaga-lembaga resmi untuk mendatanya. Tahun 2010, sebuah koran Jerman menerbitkan laporan mengenai populasi warga Muslim Eropa yang diklaimnya mencapai 15 juta jiwa atau 3,3 persen dari total 455 juta penduduk benua ini.

Dari seluruh negara Eropa Barat, Jerman, Perancis, Austria dan Belanda dal;ah Negara dengan warga muslim terbanyak. Empat persen warga Jerman atau 3,2 juta jiwa beragama Islam. Angka ini sekaligus menempatkan warga Muslim sebagai minoritas terbesar di Jerman. Dari jumlah itu, 2,4 juta jiwa berasal dari etnis Turki sementara sisanya adalah imigran asal bekas Yugoslavia, Arab dan Iran. Di Inggris dengan populasi warga sebesar 60 juta jiwa, dua juta tercatat sebagai warga Muslim atau 3 persen dari total penduduk negara itu. Kebanyakan mereka berasal dari negara bekas jajahan Britania khususnya Pakistan dan Bangladesh. Di Perancis dengan pendudukan 60 juta jiwa, enam juta jiwa beragama Islam yang umumnya pendatang. Populasi warga Muslim Perancis didominasi oleh keturunan Turki.

Belanda, negara dengan penduduk 16 juta jiwa, 900 ribu warganya beragama Islam. di Austria, 340 ribu warga Muslim tercatat sebagai bagian dari masyarakat negara itu dengan total penduduknya yang berjumlah 8,1 juta jiwa. Warga muslim Austria umumnya datang dari Bosnia, diikuti oleh pendatang dari Turki, dan imigran dari negara-negara Muslim lainnya. Di Belgia dengan penduduknya yang berjumlah 10,3 juta jiwa, 380 ribu orang atau 3,7 persen beragama Islam yang kebanyakan datang dari Maroko dan Turki. Sementara itu, 70 persen warga Albania yang berjumlah 3,1 juta jiwa beragama Islam. Di Bosnia Herzegovina, 1,5 juta warga dari total 5,4 juta jiwa adalah warga Muslim. Di Denmark dengan penduduknya sebanyak lima juta jiwa, lima persen warganya beragama Islam. Di Italia, jumlah warga Muslim mencapai 850 ribu jiwa atau setara dengan 1,4 persen penduduk. Di Spanyol yang mengakui Islam sebagai salah satu agama resmi, terdapat sekitar satu juta warga yang beragama Islam. Jumlah ini kurang lebih sama dengan 2,5 persen dari total penduduk di negara itu. Di Swedia jumlah warga Muslim mencapai 300 ribu jiwa dari sembilan juta penduduknya yang mayoritas beragama Kristen.

Beberapa waktu lalu, The Guardian menurunkan laporan dari Pusat Riset Piu di Eropa tentang pertumbuhan populasi warga Muslim yang sangat signifikan. Diprediksikan bahwa dalam 20 tahun ke depan, populasi warga Muslim di Inggris akan mengalami pertumbuhan yang paling tinggi di Eropa. Pusat riset lainnya di eropa bahkan menyebutkan angka yang jauh lebih tinggi. para pakar strategis Barat sebelumnya sudah memperingatkan akan terbentuknya komunitas Eropa Muslim pada tahun 2050. Faktor yang melahirkan fenomena ini adalah peningkatan imigrasi Muslim ke Eropa yang meningkat tajam disertai dengan kelahiran anak Muslim yang tinggi, dan di sisi lain menurunnya populasi warga pribumi di negara-negara Eropa. Apalagi, kepercayaan agama di tengah komunitas warga Eropa terhadap agama mereka juga semakin menurun.

Riset yang dilakukan oleh lembaga penelitian Kristen menunjukkan bahwa penurunan partisipasi warga Kristen dalam acara-acara ritual keagamaan di gereja. Riset ini menyebutkan bahwa di Inggris, hanya 6,3 persen warga Kristen yang setiap minggunya datang ke gereja untuk menghadiri acara keagamaan. Disebutkan pula bahwa dalam 15 tahun terakhir sekitar empat ribu gereja tepaksa ditutup dan dijual atau dialihfungsikan karena sepi pengunjung. Sebagian kalangan memprediksikan bahwa dalam beberapa tahun mendatang jumlah orang Kristen di Eropa yang beralih agama dan memeluk agam Islam akan mengalami peningkatan yang signifikan. Contohnya di Glasco, ada sekitar 200 orang yang asalnya beragama Kristen beralih ke agama Islam. 

Para pemerhati mengatakan bahwa loyalitas warga Muslim di Eropa dan ketaatannya dalam menjalankan ritual keagamaan jauh lebih besar dibanding warga Kristen. Mereka rajin pergi ke masjid dan getol memedalam pengetahuan akan agama mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, generasi muda Muslim di Eropa justeru nampak lebih taat dalam beragama ketimbang orang tua mereka. Fenomena ini ditanggapi dengan sinis oleh sejumlah kalangan sehingga memunculkan isu yang menyebutkan tentang Eropa Islam. Isu inilah yang disinggung oleh Bernard Louis, salah seorang pakar budaya Barat dalam suratnya kepada Pemimpin umat Katolik dunia Paus Benediktus XVI. Dalam surat yang dikirin tahun lalu itu, Louis memperingatkan Paus akan kemungkinan jatuhnya Eropa ke tangan umat Islam di masa mendatang.

Pusat penelitian Piu dalam sebuah laporannya menyinggung soal penurunan polulasi warga Eropa seraya menambahkan bahwa pada tahun 2048, Perancis akan menjadi negara Republik Islam karena pertumbuhan populasi Muslim yang pesat yang di sana. Kondisi yang sama bakal dialamai Jerman pada sekitar tahun 2050. Koran Inggris The Guardian dalam laporannya menyebutkan bahwa bahaya yang lebih besar justeru muncul karena tidak adanya tindakan yang semestinya di Eropa terhadap warga Muslim khususnya di Inggris. Guardian menambahkan, diprediksikan bahwa pertumbuhan populasi warga Muslim bakal terjadi lebih pesat di Eropa barat dan utara.

Kenyataan bahwa Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah manusia sering diabaikan. Padahal faktor itulah yang menjadi pemicu ketertarikan banyak orang kepada agama ini. Alih-alih membuka mata dan menerima kenyataan yang ada, para penguasa rezim-rezim Eropa justeru mem,andang perkembangan Islam dan pertumbuhan jumlah warga Muslim di Eropa sebagai ancaman. Dengan memutarbalikkan fakta dan mengesankan Islam sebagai agama kekerasan dan anti damai, para pemimpin Eropa berusaha menjauhkan warganya dari Islam. Akibatnya propaganda Islamphobia gencar dilakukan oleh rezim-rezim itu. Seiring dengan itu, kubu nasionalis ekstrim di Eropa sengaja membesar-besarkan jumlah populasi umat Islam untuk mengesankannya sebagai ancaman besar bagi masyarakat Eropa. Padahal, jika dilihat dari prinsip demokrasi yang diagung-agungkan oleh Barat, seharusnya warga Muslim berhak hidup damai di kawasan itu.

Alhasil, seperti ditulis oleh The Guardian, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 populasi warga Muslim di sembilan negara Eropa termasuk Perancis, Rusia dan Belgia akan meningkat menjadi lebih dari 10 persen. Hal ini menunjukkan bahwa untuk sepuluh tahun mendatang, Eropa sudah harus mempersiapkan diri mengubah identitasnya dan menerima Islam sebagai bagian dari peradaban Eropa. 

Senin, 21 September 2020 17:42

Mengenal Populasi Muslim Dunia (02)

 

Imigrasi orang Islam ke Amerika terjadi secara bertahap. Pada abad 19, kelompok-kelompok Muslim didatangkan ke Amerika untuk menggarap pekerjaan-pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang keturunan Eropa. Setelah berakhinya perang saudara di Negara itu dan sebelum pecahnya Perang Dunia I, pemerintah Amerika mendatangkan orang-orang Arab dari Suriah, Lebanon, Jordania dan Palestina untuk bekerja di sana. Mereka umumnya beragama Kristen namun ada pula kelompok Muslim di antara mereka, meliputi Muslim Sunni, Syiah, Alawi dan Druz.

Setelah berakhirnya Perang Dunia I yang disusul dengan runtuhnya imperium Utsmani terjadi gelombang kedua imigrasi orang Islam ke Amerika. Mereka umumnya berasal dari negara-negara yang dulunya berada di bawah kendali pemerintahan Utsmani. Pemetaan kependudukan berdasarkan etnik dalam undang-undang keimigrasian Amerika yang di awal abad 20 lebih banyak diperuntukkan bagi warga Eropa, jumlah imigran Muslim di Amerika masih sangat terbatas.

Gelombang ketiga imigrasi dimulai pada trahun 1930. Saat itu, berdasarkan undang-undang keimigrasian Amerika warga Muslim berhak untuk mengundang sanak keluarganya berhijrah ke Amerika. gelombang keempat imigrasi terjadi pasca Perang Dunia II dan berlanjut sampai dekade 1960. Kebanyakan mereka yang berhijrah ke Amerika pada periode ini adalah pedagang,  mahasiswa, dan teknisi di berbagai bidang. Mereka memilih berhijrah ke AS karena faktor ekonomi, budaya, pendidikan, dan sosial. Dengan adanya perubahan mendasar pada undang-undang keimigrasian di Amerika pada tahun 1965, pemerintah setempat menghapuskan pemetaan imigrasi berdasarkan etnis dan kebangsaan untuk digantikan dengan keahlian dan unsur ekonomi. Undang-undang ini kembali membuka peluang bagi sebagian warga Muslim untuk berpindah ke Amerika. 

Gelombang kelima imigrasi berbarengan dengan terjadinya transformasi di tingkat global, kemelut di sejumlah negara Islam dan keterbatasan yang didapat di benua Amerika. Imigrasi gelombang, umumnya terjadi dengan tujuan wilayah Amerika utara dan Amerika Serikat. Imigran Muslim terbanyak pada periode ini berasal dari Pakistan, Bangladesh, Afghanistan, Iran, Indonesia, Malaysia, India, negara Arab, Palestina, Turki dan Afrika utara. Imigran Muslim ke Amerika semakin meningkat karena dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya perang Arab-Israel yang terjadi pada tahun 1967 dan 1973, perang saudara di Lebanon pada dekade 1970-80, dan pendudukan negara-negara Islam seperti Afghanistan yang dijajah oleh Uni Soviet. Transformasi lain yang berpengaruh adalah serangan Israel ke Lebanon, dua perang yang terjadi di Irak, kemerdekaan negara-negara Kaukasus dari Uni Soviet, dan pergolakan politik di wilayah utara Afrika.

Setengah abad yang lalu, para sosiolog dan pakar ilmu politik di Dunia Barat tak pernah menduga bahwa Islam di kemudian hari bakal menjadi satu kekuatan besar dalam tatanan internasional. Sebab, sampai saat itu, pengaruh umat Islam dalam percaturan politik, ekonomi, budaya dan regional sangat kecil. Di Amerika utara dan Amerika Serikat, komunitas Muslim dan aktivitas mereka tak pernah dipertimbangkan. Namun sejak tiga dekade silam, tepatnya setelah kemenangan revolusi Islam di Iran, semua prediksi dan peta kekuatan mendadak berubah. Islam kini menjadi satu kekuatan besar yang diperhitungkan oleh semua pihak dalam percaturan internasional.

Sejauh ini belum ada data akurat tentang populasi Muslim di Amerika. Sebab sensus kependudukan di negara itu yang dilakukan setiap sepuluh tahun sekali tidak menyertakan madzhab dan agama dalam pendataan. Karenanya, jumlah warga Muslim di negara tidak lebih dari perkiraan saja. Dalam datanya, pemerintah AS menyatakan bahwa sejak kemerdekaan Amerika sampai tahun 1965 jumlah imigran Muslim yang datang ke negara ini sangat kecil dibanding imigran dari negara-negara dan masyarakat non-Muslim. Ditambahkan bahwa jumlah imigran Muslim yang datang ke Amerika antara tahun 1820 sampai 1965 tercatat sebanyak 520 ribu orang yang kebanyakannya berasal dari kawasan Balkan di Eropa, Turki, India, Pakistan, dan Bangladesh.

Sementara itu, dari tahun 1966 sampai tahun 1980, imigran yang datang ke Amerika dari negara-negara Muslim meningkat hingga 800 ribu orang. Meski mayoritas mereka beragama Islam namun sebagian menganut agama lain seperti Kristen dan Yahudi. Jumlah imigran dari negara-negara Muslim kembali menunjukkan peningkatan mencapai 920 ribu jiwa pada dekade 1980 dan lebih dari satu juta jiwa antara tahun 1990 sampai 1997. Dengan penjelasan tadi, berarti jumlah imigran dari negara-negara Muslim yang datang ke AS antara tahun 1820 sapai 1997 mencapai total 3,3 juta jiwa atau hanya lima persen dari keseluruhan jumlah imigran yang mencapai 64 juta jiwa.

Saat ini populasi warga Muslim di AS diperkirakan berjumlah minimal enam juta dan maksimal 10 juta jiwa. Dari sekitar 10 juta warga Muslim sebagian besar menganut mazhab Ahlussunnah dan sekitar dua juta jiwa mengaikuti madzhab Syiah. Sebagian besar Muslim Syiah di Amerika berasal dari Iran yang diperkirakan jumlah mereka mencapai satu juta jiwa. Selain dari Iran, warga Muslim Syiah di Amerika berasal dari Irak, Lebanon, Afghanistan, Arab Saudi, Pakistan, India, Azerbaijan, Tajikistan, Turkmenistan, Suriah dan negara-negara lain. Pada dekade 1970 dan 1960, Syiah di Amerika tergolong sebagai komunitas muslim yang aktif di kancah politik. Mereka memiliki andil besar dalam menggalang persatuan di antara umat Islam di Amerika.

Kecenderungan kepada Islam di kalangan Afro Amerika menarik perhatian para pakar kependudukan. Sebagian besar mereka bermadzhab Sunni dan hanya sebagian kecil yang mengikuti madzhab Syiah. Kelompok Muslim Amerika keturunan Afrika ini biasanya menunjukkan identitas keislaman lewat nama dan tradisi mereka.

Tingkat kecenderungan untuk memeluk Islam di Amerika pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 20 ribu kasus. 63 persen di antaranya berkenaan dengan warga keturunan Afrika, 27 persen wawrga kulit putih dan sembilan persen dari entis Hispanik. Belum lama ini Radio Amerika seksi siaran bahasa Farsi dalam sebuah laporannya membahas tentang perkembangan Islam di Amerika. Laporan ini dimulai dengan suara adzan. Reporter selanjutnya mengatakan bahwa suara adzan ini bukan berasa dari salah satu jalanan di Jakarta atau sebuah desa di Pakistan, tetapi dari menara Pusat Islam Washington yang berada di jalan Massachusset Washington tempat kebanyakan kedutaan besar asing berada. Pertumbuhan Islam di Amerika sedemikian pesat dan hal ini diakui oleh para petinggi Gedung Putih.

Mantan Menteri Luar Negeri AS Madeline Albright dalam sebuah pidatonya di Asosiasi Asia di New York menyebut Islam sebagai agama yang tumbuh pesat lebih cepat dibanding agama yang lain di Amerika. Sebagian besar warga Muslim Amerika tinggal di New York yang jumlah diperkirakan mencapai satu juta jiwa. Setelah New York, Los Angeles menempati urutan kedua disusul oleh Washington dan Detroit tempat kebanyakan imigran Arab Muslim memilih bertempat tinggal. Di New Yrok terdapat 50 masjid dan pusat agama Islam yang sebagiannya dikelola oleh Louis Farrakhan. 

Senin, 21 September 2020 17:35

Mengenal Populasi Muslim Dunia (01)

 

Saat ini jumlah populasi muslimin dunia tercatat mencapai satu setengah miliar jiwa atau sekitar 23 persen dari seluruh penduduk bumi. Umat Islam tersebar di lebih dari 120 negara, sementara di 35 negara, warga Muslim tercatat sebagai mayoritas sementara di sekitar 29 negara, umat Islam adalah warga minoritas yang berpengaruh. Di 28 negara, Islam ditetapkan sebagai agama resmi seperti di Republik Islam Iran, Mesir, Kuwait, Irak, Maroko, Pakistan dan Arab Saudi.

Dari seluruh negara di dunia, Indonesia menempati urutan teratas jumlah populasi Muslim terbanyak dengan lebih dari 200 juta jiwa , menyusul setelahnya Pakistan dengan lebih dari 170 juta jiwa dan India dengan 160 juta jiwa. Tempat keempat hingga keenam diduduki oleh Bangladesh, Mesir dan Nigeria. Sementara Iran, Turki, Aljazair dan Maroko berada di urutan berikut.

Berdasarkan data yang dihimpun tahun 1980, populasi umat Islam tercatat sebanyak 800 juta jiwa. Jumlah itu membengkak menjadi 1,3 miliar jiwa pada tahun 2004. Sejak tahun 1995, India tercatat sebagai negara dengan pertumbuhan warga Muslim paling pesat di dunia disusul kemudian oleh Pakistan, Indonesia, Nigeria dan Bangladesh. Perkembangan dan meningkatnya jumlah populasi Muslim di dunia khususnya di Eropa menjadi fenomena yang menarik perhatian para sosiolog. Fenomena ini ditanggapi oleh para pemimpin negara-negara Barat dengan sinis dan dianggap sebagai bahaya yang mengancam kepentingan mereka.

Peningkatan populasi umat Islam tidak bisa lepas dari kian membaiknya indeks kesehatan di negara-negara Islam yang disertai dengan menurunnya angka kematian bayi. Banyak pakar yang meyakini bahwa negara-negara Barat menutup mata dari membaiknya kondisi kesehatan dan kemajuan kedokteran di negara-negara Muslim sehingga mengaitkan pertumbuhan pesat populasi Muslim dunia dengan peningkatan angka kelahiran semata. Padahal, keberhasilan negara-negara Islam dalam menekan angka kematian bayi merupakan faktor yang sangat signifikan.

Dewasa ini ada dua pandangan dan analisa tentang demografi umat Islam di dunia yang menunjukkan bahwa masalah kependudukan, khususnya menyangkut umat Islam dipengaruhi oleh kondisi politik. Pandangan pertama melihat dari ketaatan dalam melaksanakan ibadah dan kewajiban beragama. Untuk itu, mereka yang digolongkan ke dalam komunitas Muslim hanya mereka yang melaksanakan shalat dan aktif dalam kegiatan agama. Sementara pandangan kedua dengan cakupanyang lebih luas adalah memasukkan kecenderungan budaya dan keagamaan, sehingga menyebut semua orang yang menerima Islam sebagai bagian dari komunitas Muslim. Tentunya jika parameter pertama yang menjadi ukuran, mayoritas umat Yahudi dan Kristen akan dikeluarkan dari kelompok agama mereka, karena sebagian besar tidak mengikuti ritual keagamaan yang mereka anut.

Pertumbuhan populasi umat Islam di dunia dianggap sebagai ancaman oleh sejumlah rezim Barat dengan mengesankannya sebagai revolusi populasi kependudukan dunia oleh umat Islam. Hal itu sengaja dilakukan sebagai upaya dari Islamophobia yang memang sedang digalakkan oleh Barat. Padahal dalam 30 tahun terakhir, keluarga Muslim cenderung menguragi jumlah anak yang tentunya berakibat pada menurunnya jumlah populasi umat. Tahun 1975 tercatat rata-rata keluarga Muslim memiliki 6,5 anak. Angka ini menurun menjadi 4 anak pada tahun 2004, bahkan di sejumlah negara Muslim penurunan terjadi lebih drastic menjadi 2,6 anak dalam setiap keluarga. Kondisi yang lebih parah terjadi di masyarakat Muslim di Indonesia, Aljazair dan negara-negara Asia tengah termasuk Rusia. Sementara kondisi di Turki dan Azerbaijan sama dengan kebanyakan masyarakat Eropa. Memang di sejumlah kawasan, mengingat peningkatan jumlah warga Muslim di wilayah yang berdekatan dengan kawasan non Muslim terjadi peningkatan yang signifikan akibat pertumbuhan internal atau imigrasi umat Islam dalam skala besar.

Timur Tengah, Eropa, Rusia dan India adalah kawasan di mana demograsi kependudukan sangat menentukan pergeseran kondisi sosial, politik dan budaya. Sebelum memasuki penjelasan masalah ini perlu dicermati unsur geopolitik dan hubungannya dengan benturan dan gesekan antar umat beragama di kawasan tersebut. Dengan demikian, besarnya jumlah populasi akan menentukan keunggulan satu kelompok. Misalnya, di Palestina, pertumbuhan polulasi warga Arab dibanding warga Yahudi sangat menentukan perimbangan kekuatan warga Palestina. Tahun 2004, di wilayah yang oleh Barat disebut Israel, jumlah populasi warga Arab mencapai satu juta 70 ribu jiwa atau sekitar 16 persen dari total warga Israel. Dari jumlah itu 450 ribu berusia di bawah 15 tahun. Pertumbuhan warga Arab dilihat dari angka kelahiran anak mencapai 3,4 persen sementara angka ini di kalangan warga Yahudi tidak lebih dari 1,4 pesen.

Masih tentang Palestina. Di wilayah otonomi jumlah populasi warga mencapai 3,5 juta jiwa. Di Gaza warga Palestina tercatat sebanyak 1,25 juta jiwa dengan pertumbuhan 4 persen. Tercatat, pertumbuhan populasi warga Palestina tiga kali lipat lebih besar dari pertumbuhan warga Yahudi. Di sela-sela masalah pengungsi Palestina yang belum juga tuntas, populasi warga Palestina lebih besar dua kali lipat dibanding warga Yahudi. Israel, yang mengklaim diri sebagai negara Yahudi di tengah lautan umat Islam hanya memiliki populasi 7,5 juta jiwa. Sementara, negara-negara yang bertetangga dengan Palestina pendudukan yaitu Negara-negar Arab-Islam yang terdiri dari Lebanon, Suriah, Jordania dan Mesir memiliki populasi penduduk lebih dari 100 juta jiwa. Israel semakin terjepit dengan menurunnya angka imigrasi warga Yahudi ke Palestina.

Yang lebih menarik adalah berkurangnya populasi warga Kristen di sejumlah negara Timur Timur Tengah seperti Mesir, Suriah, Lebanon dan Palestina. Tahun 1914, warga Kristen mencapai 26 persen populasi negara-negara ini. Namun data tahun 1995 angka itu menurun drastis menjadi 9,2 persen. 

Kondisi yang terjadi di Rusia juga menarik perhatian para pemerhati. Pendataan yang dilakukan tahun 1989 menunjukkan bahwa populasi warga Muslim Rusia tercatat sebanyak 12 juta jiwa atau delapan persen dari total kependudukan negara itu. Sementara pada tahun 2002 dicatat peningkatan populasi warga Muslim menjadi lebih dari 14 juta jiwa. Seuumlah sumber tak resmi bahkan menyebutkan angka yang mencapai 20 juta jiwa. Tahun 2005, Ketua Dewan Mufti Rusia Ainuddin mengatakan bahwa jumlah warga Muslim di Rusia mencapai 23 juta jiwa. Diperkirakan bahwa salah satu faktornya adalah imigrasi warga Muslim dari negara-negara Muslim bekas Uni Soviet ke Rusia. Dengan demikian, Islam menempatkan diri sebagai agama mayoritas kedua di Rusia.

Data tahun 1991 menyebutkan adanya 300 masjid di Rusia. Jumlah ini meningkat menjadi delapan ribu masjid pada saat ini. Ketika Uni Soviet runtuh dan Republik Federasi Rusia terbentuk, tidak ada satipun pusat pendidikan agama Islam di sana. Namun kini minimal ada 50 sampai 60 sekolah Islam yang memberikan pendidikan agama kepada lebih dari lima ribu pelajar Muslim. Tahun 1991, hanya 40 warga Muslim Rusia yang menunaikan ibadah haji. Akan tetapi angka itu meningkat menjadi 13500 orang pada tahun 2005. Data tak resmi menyebutkan bahwa di ibukota Moskow terdapat 1,5 juta warga Muslim dengan enam masjid. Dengan demikian, Moskow menjadi ibukota Eropa dengan populasi jumlah warga Muslim terbesar. Sebagian kalangan bahkan memprediksikan bahwa kedepannya Rusia bakal menjadi negara dengan mayoritas penduduknya yang beragama Islam. 

Minggu, 20 September 2020 16:31

Cucu Kesayangan Nabi yang Diabaikan Umat

 

Disetiap bersama Al-Husain, Nabi saw bersabda mengingatkan para sahabatnya, "Husain dariku dan aku dari Husain, Allah mencintai siapa yang mencintai Al-Husain, dan Allah memusuhi siapa yang memusuhi Al-Husain."

Tidak ada yang memungkiri besarnya kecintaan dan kasih sayang Nabi Muhammad saw kepada cucunya Al-Husain. Lembar-lembar kitab sejarah dan hadis mengabadikan kedekatan dan luapan ekspresi kecintaan Nabi kepada Al-Husain, sampai pada tingkat Nabiullah Muhammad saw bersabda, "Husain dariku dan aku dari Husain". 

Hanya Husainlah yang membuat Nabi saw pernah menghentikan khutbahnya dan memperlama sujudnya saat mengimami salat berjamaah. Diriwayatkan, disaat Nabi Muhammad saw berkhutbah, Husain kecil sedang bermain kejar-kejaran bersama kakaknya Al-Hasan. Tidak lama, karena mengenakan pakaian yang panjang, Al-Husain terjatuh menginjak pakaiannya sendiri dan akhirnya menangis kesakitan. Sang kakek dengan sigap segera turun dari mimbar, mengambil Al-Husain dan kembali melanjutkan khutbahnya dengan Al-Husain digendongannya. Nabi menghentikan khutbahnya untuk menghentikan tangis Al-Husain. 

Diriwayatkan pula, Nabi saw pernah mengimami salat, dan itu menjadi salat jamaah terlama, karena Nabi Muhammad sujud sedemikian lama. Sampai-sampai para sahabat mengira, wahyu sedang turun ketika Nabi sedang dalam keadaan sujud. Seusai salat, para sahabat bertanya, "Ada apa gerangan ya Rasulullah, mengapa sujud kali ini sedemikian lama?". 

Nabi menjawab singkat, "Tadi Al-Husain sedang bermain di punggungku Kubiarkan ia tetap di punggungku, karena aku tidak ingin ia terjatuh."

Simak, sedemikian besarnya cinta dan kasih sayang Nabi saw pada cucunya tersebut. Nabi jadi gusar hatinya ketika melihat Al-Husain menangis. Nabi lebih memilih memperlama sujudnya, hanya agar Al-Husain tidak terusik kesenangannya bermain. Rumah Fatimah sa, putri Nabi tidak jauh dari kediaman Nabi saw, dan setiap Al-Husain kecil menangis dan terdengar oleh Nabi, Nabi Muhammad saw akan bergegas mengunjungi putrinya dan berkata, "Duhai Fatimah, bukankah engkau tahu bahwa aku terganggu dan sedih apabila aku mendengar Al-Husain menangis?". 

Berkali-kali Nabi Muhammad saw memperlihatkan kecintaannya pada kedua cucunya Al-Hasan dan Al-Husain dihadapan sahabat-sahabatnya. Ia ekspresikan tidak hanya dengan ucapan tapi juga dengan tindakan, merangkul, mengecup, memangku dan tidak segan-segan menjadikan dirinya kuda tunggangan oleh kedua cucunya, sampai sahabat berkata, "Betapa beruntung keduanya, menunggangi kuda tunggangan terbaik di dunia dan akhirat."

Disetiap bersama Al-Husain, Nabi saw bersabda mengingatkan para sahabatnya, "Husain dariku dan aku dari Husain, Allah mencintai siapa yang mencintai Al-Husain, dan Allah memusuhi siapa yang memusuhi Al-Husain."

Mengapa Nabi saw sedemikian ekspresif terkait dengan Al-Husain?. Nabi saw secara demonstratif menunjukkan kasih sayang dan kecintaannya kepada Al-Husain, untuk dijadikannya hujjah kelak di Mahkamah Ilahi, dan mengukur keorisinalan cinta umat padanya dengan melihat bagaimana umat Islam sepeninggalnya mencintai dan bersikap pada Al-Husain. Benarkah umat Islam tulus kecintaannya kepada Nabi saw disaat yang sama abai terhadap apa-apa yang cintai Nabi saw?. Bukankah termasuk abai, ketika sejarah terbantainya Al-Husain di Karbala sengaja ditutup-tutupi dan seolah-olah tidak pernah terjadi bahkan menghalang-halangi peringatannya?. Apakah bisa disebut kecintaan pada Nabi saw namun sama sekali tidak pernah mencari tahu penyebab sampai cucu kesayangan Nabi saw tersebut harus disembelih dan kepalanya dipermainkan oleh juga yang mengaku sebagai umat Muhammad?. 

Pernah suatu hari Imam Ali as mendapati Nabi Muhammad saw sedang menangis, dan matanya tak henti-hentinya menangis (tafiidhaan). Imam Ali as berkata, "Wahai Nabi Allah, apakah seseorang telah membuatmu marah? apa yang membuat matamu terus menerus menangis?"

Nabi saw menjawab, "Tidak. Jibril baru saja pergi. Dia memberitahuku bahwa Husain akan dibunuh di tepi sungai Eufrat." Dan yang membuat Nabi tidak bisa menahan tangisnya, ketika diberitahu oleh Jibril as bahwa cucunya tersebut dibunuh dalam keadaan haus tanpa air. 

Riwayat-riwayat yang menuliskan besarnya kecintaan Nabi saw kepada Al-Husain serta tangisnya yang meledak ketika diberitahu langsung oleh malaikat Jibril as bahwa cucunya tersebut akan dibunuh dengan cara sadis oleh ummatnya sendiri di Karbala termuat tidak hanya dalam kitab-kitab Syiah namun juga kitab-kitab Sunni. Sehingga memperingati tragedi Asyura bukanlah milik kelompok Syiah saja, namun milik umat Islam bahkan umat manusia secara keseluruhan. Kecuali oleh mereka yang menjadi pengikut ideologis Bani Umayyah yang memang sejak awal tidak memandang penting keluarga Nabi saw bahkan dengan segenap upaya sepanjang sejarah mengecilkan nilai dan pentingnya peristiwa Karbala untuk dijadikan pelajaran oleh umat Islam. 

Setiap menjelang Asyura, pengikut ideologi Bani Umayyah akan berupaya menjauhkan umat Islam dari mengingat Tragedi Karbala. Dengan kedok khawatir dengan penyebaran ideologi Syiah, melalui kekuatan media mereka mengerdilkan pentingnya memperingati gugurnya cucu Nabi saw yang telah mengorbankan jiwa dan raganya demi tetap terjaganya Islam. Mereka begitu semangat mengajak umat untuk berpuasa di hari Asyura dengan ganjaran pahala dihapuskannya dosa-dosa selama setahun namun abai bahwa umat sampai hari ini bisa mengenal salat, puasa dan haji karena pengorbanan darah putra-putra terbaiknya, termasuk oleh kesyahidan Al-Husain as. 

Berpuasalah di hari Asyura ini, harapkanlah dengan puasa itu dosa-dosa setahun bisa terhapus sebagaimana diriwayatkan bahwa itu sabda Nabi Muhammad saw, namun jangan abai, di hari Asyura 1380 tahun lalu, Al-Husain, cucu kesayangan Nabi itu mati tersembelih dalam keadaan kehausan. Sempatkanlah untuk merenungkan betapa besarnya kepedihan dan terlukanya hati Nabi disaat tubuh cucu kesayangannya itu diinjak-injak kaki kuda dan dilecehkan. 

Shalawat dan salam teriring untukmu ya Imam Husain 'alaihissalam…

Minggu, 20 September 2020 16:30

Dimensi Irfan Sajak Keterjagaan Imam Khomeini

 

Kalau kita mendengar nama Imam Khomeini (1902-1989), pertama kali yang hadir dalam imajinasi bahwa beliau itu seorang pemimpin kharismatik revolusioner pendiri Republik Islam Iran, sama seperti ketika bangsa Indonesia mendengar nama Ir. Soekarno sebagai proklamator kemerdekaan bangsa. 

Di dalam kepemimpinan Ayatullah Khomeini, secara resmi Iran menjadi Republik Islam pada 1 April 1979,  serta mengakhiri masa pemerintahan monarki  Muhammad Reza Pahlevi.

Ingatan kolektif orang tentang Ayatullah Khomeini sebagai seorang pemimpin politik dengan konsep Wilayat al-Faqih yang terkenal. Padahal Imam Khomeini bukan hanya pemimpin besar pada wilayah politik. Pribadi beliau adalah sebuah kompleksitas, sesuai dengan latar belakangnya yang telah menyauk berbagai sumber hikmah serta ilmu pengetahuan.

Sebagai seorang pemikir besar beliau telah mengarang 40 buku serta, secara kongkret telah menerjemahkan “Hikmah Muta’aliyah” Mulla Sadra, kepada “Siyasah Muta’aliyah” pada tataran yang lebih kongkret sehingga dimensi perjalanan rohaninya sebagai seorang arif, berjalan paralel dengan transformasi serta spirit revolusi yang dibawanya bagi rakyat Iran. Beliau adalah seorang mujtahid, fuqaha, serta sebagaimana Maulana Rumi, Ferdawsi, Sa’di, serta Hafiz Shirazi, juga adalah seorang penyair yang meneguhkan jalan cinta mistik dengan tema sentral fananya segala maujud, di hadapan Allah sebagai Wujud Mutlak.

Sajak-sajak Ayatullah Khomeini, mengandung dimensi ‘irfani secara filosofis. Di Iran yang mayoritas Syi’ah, memang tidak dikenal istilah tasawuf sebagaimana di dunia Sunni yang telah memiliki dasar-dasar ontologis, epistemologis, serta aksiologis yang mapan. Yang lebih dikenal di Iran adalah  ‘irfan sebagaimana pada Mulla Sadra, sebagai filosof yang mencapai puncak kegemilangan dari kekayaan tradisi  ini. Imam Khomeini sendiri tidak hanya memahami tradisi ‘irfan ini secara teoritis, tetapi pada penghayatan serta prilaku praktis seperti pada disiplin pelaksanaan riyadhoh untuk menapaki jenjang maqamat sufi, serta puisi-puisinya, merupakan bagian dari ekspresi seorang pelaku suluk rohani. Dengan demikian Imam Khomeini bisa dikatakan sebagai pelaku ‘irfan amali atau di dunia Sunni disebut tasawuf amali.

Istilah  ‘irfan berakar dari bahasa Arab ‘arafa. Maknanya paralel dengan makrifat, yang memiliki arti mengetahui Allah dari dekat. Tapi ‘irfan ini tampaknya berbeda dengan ilmu (`ilm). Dalam sudut pandang filosof Iran mutakhir, Mehdi Hairi Yazdi, “Ilmu Hudhuri, Prinsip-Prinsip Epistemologi di Dalam Filsafat Islam”, pengetahuan ‘irfan ini yang disebutnya sebagai “pengetahuan yang dihadirkan” (‘ilm hudhuri) yang berbeda dengan pengetahuan rasional yang disebut sebagai “pengetahuan yang dicari” (‘ilm muktasab) (1994:47-48) 

Memahami serta menghayati sajak “Keterjagaan” dari buah renungan filosofis serta mistis Ayatullah Khomeini, pembaca pasti dikejutkan dengan cara pandang sangat unik, yang menjadi ‘jahan bini’ (pandangan dunia) yang khas dari kaum sufi seperti Abu Yazid al-Busthami serta al-Hallaj. Sajak “Keterjagaan” diambil dari terjemahan Abdul Hadi WM dari Jurnal Ulumul Qur’an (Edisi 4, 1992:22).

Karya “Keterjagaan” ini merefleksikan pencapaian kedudukan rohani sangat tinggi dari seorang yang telah mencapai Maqam ‘irfan atau Makrifat. Pengalaman spiritual itu kemudian disimbolisasi dengan menggunakan metafora-metafora yang profan sehingga seperti pengalaman hidup sehari-hari, padahal sedang menggambarkan aspek kerinduan azali terhadap Kekasih Sejati, Sang Mutlak.

Pengungkapan Hal atau kondisi spiritual yang dipenuhi dengan  penghayatan mistik, menjadi penuh cita-rasa estetis karena memang dimaksudkan untuk menyampaikan kerinduan terhadap aspek jamaliyah-Nya, dengan simbolitas-simbolitas “bibir molek merah delimamu”, “pandang pilumu, menusukku”. Serta puncak dari kerinduan itu kondisi fana yang telah yang telah membebaskannya dari segala ketersiksaan “namun fana dalam Kau membuat diriku yang tersiksa jadi bebas”.

Bibir molek merah delimamu, titik hitam bundar di dahimu

Menjerat hatiku, kekasihku, dan bagai merpati aku terkurung

Pandang pilumu, menusukku hingga aku pun sakit dan merana

Namun fana dalam Kau membuat diriku yang tersiksa jadi bebas

Kupukul kendang “Ana al-Haqq,” seperti Mansur aku tahu

Apa tanggungannya, biar kurelakan nyawaku melayang

Sebab itulah jiwaku sembuh, terpana sembilan waktu

Dan pintu kedai anggur-Mu terbuka siang malam

Pada madrasah dan masjid aku sudah bosan

Jubah Fuqaha ini pun tak sanggup memberiku hiburan

Maka kukenakan baju fakir bertambal sulam

Yang membuatku sefar di tengah nyala api dan asap

Khutbah ulama menyebabkan mataku tertidur lelap

Nafas sempoyongan berbusa anggur menyampaikan kata emasnya

Tahu kau apa yang menyentak hingga terjaga?

Tangan molek pelayan kedai anggur membangunkan aku

Bagi Ayatullah Khomeini, sufi martir Mansur al-Hallaj yang banyak dipermasalahkan dari sisi syariat tampaknya memiliki kedudukan yang istimewa sebagai model penempuh jalan kearifan dengan ungkapan “Kupukul kendang “Ana al-Haq”. Ungkapan bombastis “Ana al-Haq”, ketika al-Hallaj sendiri berada dalam kondisi puncak pengalaman spiritual serta jubah kemanusiaan hancur serta segalanya larut dalam dimensi Lahutiyah-Nya.

Seperti pada Maulana Rumi yang menggambarkan kondisi fana dengan mempergunakan metafora “kedai anggur”, maka demikian pula Imam Khomeini. Kedai anggur sebagai sebuah tempat jamuan spiritual yang selalu terbuka sepanjang waktu. Kedai anggur yang merupakan tempat rahasia pertemuan manusia-manusia pilihan yang mengalami mabuk Ilahi, tempat di mana berbagai hijab yang membawa pada kelezatan spiritual dibukakan. Terdapat sikap kritis Ayatullah Khomeini terhadap aspek formal seperti pada “madrasah”, “mesjid”, “jubah fuqaha”, serta “khutbah ulama”.

Sebagai seorang ulama, yang dikritisinya adalah syariat tanpa hakikat yang membuat seseorang terjebak pada aspek lahiriah semata. Sedangkan untuk mencapai kondisi “terjaga” yang membuat mata batinnnya selalu terbuka terhadap limpahan berbagai rahasia Ilahi yang disimbolisasi “tangan molek pelayan kedai anggur membangunkan aku”  tentu saja lahir dari kemampuan untuk mengintegrasikan syariat dengan hakikat sehingga puncak pengalaman irfan atau makrifat itu bisa didapat.

Demikianlah aspek ‘irfan yang terdapat pada puisi “Keterjagaan” Ayatullah Khomeini. Sebagai sebuah karya sastra yang merupakan ekspresi estetik dari sebuah pengalaman spiritual, sajak “Keterjagaan” beserta karya-karya puisi Imam Khomeini yang lain, telah turut memperkaya khasanah karya sastra sufi dunia.

*Penulis adalah Penanggung Jawab Iranian Corner UIN Sunan Gunung Djati Bandung serta aktivis LESBUMI-Nahdlatul Ulama.

 

29 hari setelah kesepakatan Uni Emirat Arab (UEA) dengan rezim Zionis Israel menormalisasi hubungan di antara mereka, Bahrain, sebuah negara kecil Arab juga mengumumkan secara resmi hubungan diplomatiknya dengan Tel Aviv. Apa dampak dan dimensi dari kesepakatan dua negara Arab ini dengan Israel?

Meski Bahrain mengumumkan normalisasi hubungan dengan Israel setelah Uni Emirat Arab, namun Al Khalifa dapat disebut sebagai pelopor proses kompromi ini. Berdasarkan berbagai laporan, rezim Al Khalifa tahun 2011 meminta bantuan pasukan Israel untuk menumpas aksi protes di dalam negeri. Bahrain selama satu tahun terakhir terdepan dari setiap negara Arab untuk mengungkapkan normalisasi hubungan dengan Tel Aviv.

Khaled bin Ahmad Al Khalifa, menteri luar negeri Bahrain Mei 2019 membela serangan Israel ke Suriah dan mengklaim,”Israel berhak membela diri.” Ayoob Kara, menteri telekomunikasi Israel waktu itu menyebut statemen menlu Bahrain sebagai dukungan bersejarah Manama terhadap Tel Aviv.

Bahrain 25 dan 26 Juni 2019 menjadi tuan rumah pertemuan ekonomi di bawah koridor rencana Amerika, kesepakatan abad. Menlu Bahrain pada Juni 2019 menilai keliru absennya Palestina di sidang Manama. Khalid bin Ahmad pada Agustus 2019 seraya mendukung serangan Israel ke Suriah, Lebanon dan irak mengklaim bahwa agresi Zionis dilakukan untuk membela diri. Di klaimnya ia bersandar pada butir 51 Piagam PBB terkait pertahanan diri yang sah. Sementara itu, Dubes Bahrain di Washington termasuk tiga menteri Arab yang menghadiri peresmian rencana kesepakatan abad pada 28 Januari lalu.

Pendekatan dan statemen kepala diplomasi Bahrain mengungkapkan adanya hubungan resmi antara Manama dan Tel Aviv, namun hubungan ini terlambat satu tahun diumumkan secara resmi. Poin penting terkait Bahrain dan Israel adalah, keduanya menderita krisis legalitas. Al Khalifa menghadapi krisis legalitas di dalam negeri dan Israel menghadapi krisis legalitas di kawasan Asia Barat, karena setelah 72 tahun sampai saat ini mayoritas negara-negara kawasan tidak mengakui Tel Aviv. Oleh karena itu, tujuan utama Al Khalifa dan Israel dari kesepakatan normalisasi hubungan adalah meraih legalitas di dalam negeri dan kawasan.

Amerika Serikat pemain utama di normalisasi hubungan Bahrain dan Israel. Faktanya, pemerintah Amerika merancang skenario ini untuk kepentingan rezim Zionis dan Al Khalifa sebagai pelaksana skenario ini. Masoud Asaddollahi, pengamat senior isu-isu Asia Barat meyakini, normalisasi hubungan Bahrain dan Israel bagian eksternal dari kesepakatan abad yang diresmikan Presiden AS Donald Trump pada 28 Januari 2020. Sementara bagian internal kesepakatan abad adalah konsesi yang diraih Israel di bidang geografi dan keamanan. Sementara bagian eksternalnya adalah pemberian legalitas kepada Tel Aviv melalui normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab.

Faktanya adalah Bahrain merupakan negara Arab paling lemah dari sisi politik, ekonomi dan keamanan. Bahrain negara kecil di kawasan strategis Asia Barat. Al Khalifa bukan warga pribumi Bahrain dan mereka asli penduduk Arab Saudi. Dari sisi ekonomi, Bahrain sejak tahun 2011 hingga kini terus mengalami penurunan dan kesulitan ekonomi negara ini terus meningkat akibat berlanjutnya aksi protes rakyat menentang Al Khalifa. Lembaga Which April lalu memprediksikan defisit anggaran Bahrain tahun 2020 sebesar 13,5 persen. Selain itu, Bahrain seperti mayoritas negara Arab, tidak memiliki militer yang kuat dan solid serta kemampuan pertahanan untuk melawan ancaman.

Mengingat situasi ini, rezim Al Khalifa telah mengambil alih tuan rumah Pusat Armada Kelima AS untuk menikmati dukungan AS. Dapat dikatakan bahwa Amerika Serikat telah mengambil alih Bahrain dan Al-Khalifa tidak memiliki kemerdekaan dalam memutuskan kebijakan luar negerinya. Oleh karena itu, pesan penting normalisasi hubungan Bahrain dengan rezim Zionis terletak pada masalah perwalian Amerika atas Bahrain yang sama. "Perjanjian ini menunjukkan hak asuh AS atas Bahrain dan Raja Bahrain berada di bawah kendali pemerintah AS," kata Dawood Shahab, kepala kantor informasi Gerakan Jihad Islam Palestina.

Ada tiga poin penting tentang kesepakatan Bahrain dengan rezim Zionis. Poin pertama adalah bahwa Donald Trump, seperti perjanjian UEA dengan rezim Zionis, bermaksud menggunakan perjanjian ini secara elektoral. Pemilihan presiden AS akan diadakan November mendatang, dan Trump berada di bawah tekanan dari protes rasis di Amerika Serikat, memburuknya ekonomi akibat wabah korona, dan ketidakmampuan untuk mengatasi meluasnya wabah korona, dimana seperempat kasus kematian akibat pandemi COVID-19 di dunia dari negara ini.

Di bidang kebijakan luar negeri, Trump juga menyaksikan kegagalan tekanan maksimal terhadap Iran, tidak membuahkannya konfrontasi ekonomi dengan Cina, serta sekutu tradisional mulai menjaga jarak dari Washington. Oleh karena itu, normalisasi hubungan negara-negara Arab dengan rezim Zionis yang telah berlangsung puluhan tahun ditujukan untuk pemanfaatannya secara elektoral dan untuk mencapai prestasi politik luar negeri.

Poin kedua adalah Bahrain adalah negara kecil di Asia Barat yang tidak memiliki bobot atau tempat dalam keputusan di kawasan ini. Yang penting bagi kesepakatan Bahrain dengan rezim Zionis adalah ketergantungan penuh Al-Khalifa pada Al-Saud. Al-Saud takut mempublikasikan hubungan dengan rezim Zionis karena posisi agama dan politik Arab Saudi di dunia Islam, dan di sisi lain, berada di bawah tekanan kuat dari pemerintah AS untuk mempublikasikan hubungan. Dengan demikian, kesepakatan Bahrain dengan rezim Zionis secara tidak langsung merupakan kesepakatan Arab Saudi dengan rezim ini.

"Meskipun Bahrain bukan kekuatan Timur Tengah atau bahkan kekuatan di Dewan Kerjasama Teluk Persia (P-GCC), namun penandatanganan perjanjian kompromi dengan negara sangat bermanfaat bagi Tel Aviv bermanfaat karena Manama memiliki hubungan sangat erat dengan Riyadh dan kesepakatan ini sama halnya dengan kompromi tak langsung Arab Saudi dengan Israel," tulis Eli Fouda, seorang profesor studi Islam dan Timur Tengah di Universitas Quds pendudukan.

Poin ketiga adalah Bahrain berbeda dengan negara-negara anggota P-GCC lainnya, gerakan rakyat di negara ini memiliki sejarah dan basis kuat. Gerakan Islam al-Wefaq, Gerakan Amal Islam, Koalisi 14 Februari, Gerakan Kebebasan dan Gerakan Haq (Kebenaran) termasuk faksi politik penting di Bahrain dan memiliki basis rakyat yang kokoh. Selain itu, Bahrain memiliki pemimpin politik dan spiritualitas penting seperti Sheikh Isa Qassim, Sheikh Ali Salman, Nabil Rajab dan Hasan Mushaima yang bukan saja tidak takut menghadapi rezim Al Khalifa, bahkan menerima penjara dan pengasingan. Oleh karena itu, kesepakatan dengan Israel bukan saja tidak aman bagi Al Khalifa, tapi akan meningkatkan ancaman dalam negeri terhadap rezim ini.

Pertanyaannya di sini adalah apakah kesepakatan Bahrain atau UEA dengan Israel akan memiliki konsekuensi keamanan yang nyata bagi Palestina? Sepertinya kesepakatan ini tidak akan memiliki konsekuensi baru bagi Palestina, karena negara-negara ini sebelumnya juga memiliki hubungan dengan rezim penjajah Quds dan kini mereka sekedar mengumumkan secara resmi hubungannya tersebut.

Sebaliknya kesepakatan tersebut dapat dinilai sebuah prestasi bagi Palestina, karena seperti yang dinyatakan Sekjen Hizbullah Lebanon, Sayid Hasan Nasrullah pada November 2018 lalu, “Normalisasi hubungan dengan Israel akan mengakhiri kemunafikan Arab dan topeng-topeng trik para pemain dan munafik akan terbuka.”

Di sisi lain, Otorita Ramallah kini sampai pada kesimpulan bahwa kompromi dan berunding dengan Israel bukan saja tidak membuahkan konsesi bagi Palestina, bahkan menyebabkan meningkatnya serangan dan pendudukan rezim ini. Ketika berbagai faksi Palestina mengedepankan rasionalitas dan kebijaksanaan serta mendefinisikan dirinya dalam koridor identitas nasional Palestina, kesepakatan ini dapat meningkatkan ancaman bagi UEA dan Bahrain, khususnya bagi Israel sendiri.

 

Minggu, 20 September 2020 16:27

Salman, Sang Pencari Kebenaran

 

Salman terukir namanya dalam sejarah sebagai figur pencari kebenaran. Orang yang telah mencapai kebebasan sejati dan mengabaikan kebebasan dirinya hingga bersedia menjadi budak demi bertemu dengan Nabi Muhammad Saw hingga menjadi Muslim. Bahkan, Rasulullah Saw mengatakan, "Salman bagian dari kami, Ahlul Bait".

Di kalangan masyarakat Muslim dewasa ini barangkali tidak ada yang tidak mengenal nama "Salman Farsi", yang menunjukkan status istimewanya sebagai sahabat Nabi Muhammad Saw. Pernyataannya bagaimana orang non-Arab bisa mencapai kedudukan seperti yang dikatakan oleh Nabi Muhammad Saw, "Salman bagian dari kami, Ahlul Bait", menunjukkan sebuah fakta mengenai sosok pencari kebenaran ini meninggalkan tanah kelahirannya untuk memluk agama Islam.

 Salman, terlahir dengan nama Roozbeh di sebuah masyarakat penganut Zoroster yang taat. Ayahnya adalah seorang tokoh agama  kota Ji (salah satu distrik lama kota Isfahan). Dia menginginkan Roozbeh  menggantikan posisinya sebagai tokoh agama. Tetapi hati dan jiwa Roozbeh tidakn menyukai kedudukan penting ayahnya. Salman tidak senang berkeliling taman indah yang dinikmati keluarganya, tapi masyarakat biasa tidak bisa menikmatinya 

Ia mengkritik kesenjangan sosial yang tajam di tengah masyarakatnya. Ketika dia melihat orang-orang beribadah, dia berkata kepada dirinya sendiri, "Bagaimana mereka menyembah api, padahal mereka yang menyalakan api dan keabadiannya  berada di tangan mereka sendiri?" Pertanyaan ini terus menjejali benak pemikiran Roozbeh yang membuatnya enggan untuk menyalakan api sebagai bagian dari ajaran agama  yang dianutnya ketika itu.

Renungan Roozbeh membawanya menuju masalah paling subtansial mengenai sang pencipta alam semesta ini. Pencipta yang menciptakan api untuk digunakan manusia. Dia tidak bisa menerima bahwa Tuhannya senang dengan dominasi orang kaya terhadap orang miskin. Roozbeh memprotes kondisi sosial ketika itu yang menggunakan agama untuk kepentingan sosial. Dalam kondisi gelisah saat itu, dia berdoa memohon kepada Tuhan supaya ditemukan dengan orang yang bisa menuntunnya kepada kebenaran sejati.

Ayah Roozbeh ingin putranya menggantikan posisinya di Pusat Agama kota Ji. Dia berkata tentang ayahnya, "Saking sayangnya ayahku membuatku merasa seperti seorang gadis di rumah sampai aku menjadi pelayan kuil api." Tampaknya, ayah Roozbeh sudah membaca keingintahuan yang tinggi dari anaknya, dan spirit kebebasan yang berada dalam batin sang anak.

Suatu hari, ayahnya yang sibuk meminta Roozbeh pergi ke desa. Ia pun berangkat untuk memenuhi perintah ayahnya. Tetapi dalam perjalanan dia melihat sebuah gereja, berdiri di depannya, mendengarkan suara-suara dari dalam dan kemudian masuk. Di sana dia melihat sekelompok orang berdoa. Kerendahan hati dan perhatian mereka kepada Allah dalam doa-doa mereka mengejutkannya. Dia pergi ke uskup gereja dan berbicara kepadanya dengan santun. Berjam-jam berlalu dan percakapan antara Roozbeh dan uskup itu selesai. Akhirnya, uskup berbicara tentang Sham, tempat kelahiran agama Kristen.

Ketika Roozbeh kembali ke rumah, dia menghadapi ayahnya yang gelisah. Tapi, Rouzbeh berkata dengan tenang, "Saya bertemu sekelompok orang Kristen yang berdoa di gereja mereka, apa yang saya lihat mengejutkan dan saya menemukan bahwa agama mereka lebih baik daripada kita." Ayah yang selalu mempersiapkan putranya untuk bertanggung jawab atas kuil api setelahnya dan memaksanya untuk melakukan semua ritual agama Zoroaster, melihat putranya berkata, "Tentu saja, agama Kristen lebih baik daripada agama kita. ".

Awalnya, sang ayah mencoba membujuk putranya dengan berbagai cara, tetapi Roozbeh menolak alasan sang ayah satu demi satu. Dan pada akhirnya dia berkata kepada ayahnya, "Ayah, Anda meniru leluhur kita dalam menyembah api, tetapi beri tahu saya bagaimana status api ini yang kita bakar dengan tangan dan tongkat kering kita sendiri? Hidup dan matinya benar-benar berada di tangan kita, jadi bagaimana mungkin bisa menjadi Tuhan kita?" Mendengar pernyataan anaknya ini, kemarahan sang ayah meledak, memenjarakannya di rumah.

Dia dikurung selama beberapa hari sampai salah seorang pelayan mereka, yang sesekali mengirimnya ke uskup, berkata, "Uskup telah memberi tahu saya bahwa besok malam dia akan pergi ke Sham." . Kebahagiaan muncul di wajah Roozbeh,  sebelum fajar menyingsing perlahan, ia sudah meninggalkan rumah dalam kegelapan malam. Bergerak bersama angin meninggalkan Iran menuju Sham.

Akhirnya Roozbeh tiba di Damaskus, dan ia bertemu dengan orang paling bijak dari Nasrani. Warga kota membimbingnya ke keuskupan. Roozbeh dengan tekad baja pergi ke rumah Uskup Nasrani Ketika dia sampai di sana, uskup bertanya kepadanya, “Siapa kamu dan apa yang kamu inginkan?” Roozbeh berkata, “Saya seorang pria dari kota Ji Isfahan. saya ingin mencari ilmu. Terimalah saya dan jadikan temanmu. Ajari aku apa yang Tuhan ajarkan padamu! " Pembicaraan yang baik ini mengejutkan uskup, lalu ia menatap wajah pemuda itu. Di matanya dia melihat kecerdasan.

Berbulan-bulan berlalu. Roozbeh berada bersama uskup mengajar dan meneliti, ada waktu untuk beribadah, dan waktu untuk mendengar penjelasan tentang ayat-ayat Alkitab. Tapi kemudian nasib berkata lain. Uskup meninggal dan mereka,berpihak. Sejak itu, Salman melanjutkan perjalanannya mencari kebenaran dengan menempuh perjalanan panjang melewati gunung-gunung dan padang pasir. Dia menghabiskan sebagian besar hidupnya bepergian dari satu negeri ke negeri lain dan dari kuil ke kuil lain.

Tanpa kelelahan dan kebosanan, ia berusaha mencari oprang yang bisa memenuhi dahaga spiritualitasnya, yang akan menemukannya dengan cinta, kebebasan, persaudaraan, dan kesetaraan sejati. Sampai saat terakhir dalam perjalanannya  yang melelahkan, ia mencapai Medinah. Di mana dia bertemu dengan Nabi Muhammad Saw yang bimbingannya menuju jalan kebenaran. Akhirnya, Roozbeh menerima ajaran Islam dan namanya berganti menjadi Salman.

Suatu hari muncul mengenai rencana Abu Sufyan untuk menyerang Madinah bersama suku-suku Arab lainnya dengan tujuan menghancurkan umat Islam yang dianggap melemahkan agama warisan leluhur mereka.Sejarah mencatat 10.000 petarung siap untuk menyerang Madinah di bawah komando Abu Sufyan.

Berita ini mengguncang hati banyak Muslim. Lalu Nabi Muhammad Saw mengumpulkan para sahabat dan membentuk dewan perang untuk merancang pertahanan menghadapi sepuluh ribu petarung tangguh Arab. dalam pertemuan itu, Salman menyampaikan pendapatnya, "Wahai Rasulullah, mari kita menggali parit di sekitar Madinah sehingga mereka tidak bisa memasuki Madinah."

Nabi Muhammad Saw menyambut usulan ini dan segera memerintahkan penggalian parit dimulai. Saat menggali parit, semua tokoh Muslim baik dari Muhajirin maupun Ansar mengungkapkan penghormatannya kepada Salman. Ketika itu, orang-orang muhajirin berkata, "Salman dari kami,". Ansar juga berkata, "Salman milik kita dan kita lebih pantas mendapatkannya,". Ketika itu, Nabi Muhammad Saw  tangan di bahu Salman dan berkata, "Salman dari kami Ahlul Bait."

Ketika itu para sahabat Nabi mengitari dia, dan berkata kepadanya, "Selamat untukmu, wahai Salman dari Persia, kepada siapa Rasulullah menganugerahkan kepadamu kehormatan besar." Pada saat yang sama, Nab dengan penuh cinta, mengatakan kepada mereka, "Jangan katakan Salman Persia, tetapi katakan, Salman Al-Muhammadi."

Minggu, 20 September 2020 16:24

Islamophobia di Barat (10)

 

Kampanye Islamophobia tidak hanya terjadi di negara-negara Barat, tetapi pemerintah dan media-media Barat telah memprovokasi sentimen anti-Muslim di wilayah lain dalam beberapa tahun terakhir.

Salah satu tragedi yang terjadi saat ini adalah genosida Muslim Myanmar di tengah kebisuan lembaga-lembaga pembela HAM dan pemerintah Barat. Minoritas Muslim Rohingya menderita akibat diskriminasi dan pendekatan rasis. Budha Myanmar bahkan tidak mengakui Muslim Rohingya sebagai warga negara Myanmar dan memperlakukan mereka secara diskriminatif.

Para ekstremis Budha masih terus melakukan kekerasan terhadap warga Muslim Rohingya. Dalam kasus terakhir, ekstremis Budha membunuh ratusan ribu orang Rohingya dan mengusir puluhan ribu lainnya dengan membakar rumah-rumah mereka.

Muslim Rohingya yang berusaha menyelamatkan diri juga menghadapi bahaya lain karena Bangladesh membatasi arus pengungsi. Para pengungsi ini tidak memiliki akses terhadap makanan dan air bersih. Gambar-gambar yang tersebar luas memperlihatkan kondisi tragis yang dihadapi mereka.

Militer Myanmar secara langsung juga melibatkan diri dalam pembunuhan orang-orang Rohingya dengan alasan memerangi milisi. Myanmar tidak memiliki sumber daya alam dan posisi strategis yang bisa diandalkan sehingga dapat menyita perhatian Barat, yang mengaku sebagai “pahlawan HAM.”

Aung San Suu Kyi, politisi dan aktivis terkenal Myanmar menerima Hadiah Nobel Perdamaian karena perlawanannya terhadap junta militer selama bertahun-tahun, tetapi sayangnya, ia tidak menggunakan pengaruh dan popularitasnya untuk melawan kekerasan dan diskriminasi rasial terhadap Muslim Rohingya.

Apa yang sedang terjadi di Myanmar dan perbatasan Bangladesh, tidak ada bedanya dengan apa yang menimpa rakyat Irak dan Suriah dalam beberapa tahun terakhir. Bedanya, Muslim Myanmar sedang menghadapi serangan terorisme, di mana pelakunya tidak dianggap sebagai teroris oleh dunia internasional.

Perbatasan Bangladesh – tempat ribuan Muslim Rohingya terkatung-katung – tidak menarik perhatian media-media dan pemerintah Barat bila dibandingkan dengan perbatasan Eropa. Gambar dan berita tentang kondisi tragis Muslim Rohingya tidak begitu menarik perhatian para pemimpin Eropa, jika dibandingkan dengan arus pengungsi yang menyerbu benua itu selama dua tahun terakhir.

Nyawa pengungsi Suriah dan Irak tentu saja tidak begitu berharga bagi para pemimpin Eropa. Hal yang membuat mereka peduli semata-mata untuk mempertahankan klaimnya tentang pembelaan hak asasi manusia. Di satu sisi, para pemimpin Eropa ingin menutupi perbatasannya terhadap pengungsi dan di sisi lain, kebijakan ini bertentangan dengan klaim dan deklarasi HAM Eropa.

Namun di wilayah yang jaraknya ribuan kilometer dari Eropa, ekstremis Budha tidak dianggap ancaman bagi Eropa, dan begitu juga dengan Muslim yang tertindas, tidak dipandang sebagai kasus yang bisa merusak reputasi pemerintah Barat, yang mengaku pembela HAM dan nilai-nilai kemanusiaan.

Penderitaan Suu Kyi dalam memperjuangkan kebebasan dan melawan junta militer, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kejahatan ekstremis Budha Myanmar terhadap Muslim Rohingya. Penderitaan Suu Kyi membuat terkenal dan dianggap layak menerima Hadiah Nobel Perdamaian.

Saat ini ribuan Muslim Myanmar mengalami penderitaan yang jauh lebih buruk dari Suu Kyi demi memperoleh kebebasan dan kehidupan yang bermartabat, namun tidak ada seorang pun di Barat yang bersedia menatap gambar pria, wanita, dan anak-anak Muslim Rohingya dan memprotes tragedi kemanusiaan di sana. Muslim Rohingya seakan-akan bukan manusia sehingga tidak pantas mendapat perhatian dari “para pahlawan HAM” di Barat.

Sikap standar ganda Barat dalam membela kebebasan dan hak asasi manusia bukan sesuatu yang bisa disembunyikan dari mata dunia. Salah satu contoh dari standar ganda Barat dalam membela kebebasan dan demokrasi adalah sikap bungkam mereka dalam menyaksikan minoritas agama dan etnis yang paling tertindas dunia di Myanmar.

Pertemuan para pemimpin Barat dengan Aung San Suu Kyi hanya menyinggung tentang aktivitas wanita ini dalam memperjuangkan kebebasan dan Hadiah Nobel Perdamaian yang diraihnya, tanpa sedikit pun berbicara mengenai genosida Muslim Rohingya di Myanmar.

Muslim Rohingya hanya memiliki dunia Islam, yang sedang dilanda konflik, perang, dan perpecahan, tetapi masih ada sedikit harapan untuk memberikan perhatian dan menangani krisis yang dihadapi kaum Muslim dunia. Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan lembaga-lembaga HAM internasional diharapkan dapat mengobati penderitaan Muslim Rohingya di Myanmar.

Republik Islam Iran senantiasa menunjukkan kepedulian dan reaksi terhadap penindasan yang terjadi di berbagai belahan dunia, demikian juga dengan tragedi yang menimpa Muslim Rohingya.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Bahram Ghassemi dalam sebuah pernyataan mengatakan, tindakan tidak manusiawi dan kekerasan terhadap Muslim Rohinya terus berlanjut di Myanmar.

“Dalam kerangka menghormati hak-hak dasar dan martabat manusia, pemerintah Republik Islam menyampaikan keprihatinan serius terhadap perampasan hak-hak Muslim di Myanmar, yang telah menyebabkan banyak kematian dan eksodus paksa. Kami mengumumkan kekecewaan kami terhadap berlanjutnya situasi tragis ini, pembunuhan, dan eksodus Muslim Myanmar,” tegasnya.

Dia menambahkan bahwa jika negara-negara Muslim menentang genosida di Myanmar dengan suara bulat, para pelaku kekerasan mengerikan ini pasti akan mundur.

Republik Islam Iran menyerukan persatuan dunia Islam dalam mendukung warga Rohingya sebagai tugas kolektif negara-negara Muslim. Iran bersama Indonesia, Malaysia, dan Turki telah mengambil langkah-langkah di forum internasional untuk memperjuangkan hak-hak Muslim Rohingya. Sejauh ini, Iran juga telah mengirim bantuan kemanusiaan dan tim medis dari Organisasi Bulan Sabit Merah untuk membantu Muslim Rohingya di Bangladesh.

Alquran

Keadilan Sosial dalam Al-Qur’an dan Pemerintahan yang Berorientasi Keadilan
Keadilan Sosial dalam Al-Qur’an dan Pemerintahan yang Berorientasi Keadilan
Terwujudnya cita-cita keadilan telah menjadi salah satu keinginan terpenting semua manusia reformis dan orang-orang merdeka dalam sejarah (termasuk para nabi). Revolusi Islam Iran juga dilakukan…

Nahjolbalaghe

Imam Ali dan Hak Asasi Manusia dalam Nahjul Balâghah, Tinjauan Tafsir Al-Qurân
Imam Ali dan Hak Asasi Manusia dalam Nahjul Balâghah, Tinjauan Tafsir Al-Qurân
Naskah pengantar pada seminar Internasional “imam ali dan hak asasi manusia Dalam Nahjul Balagah”, Citywalk 5th floor. Jakarta 30 Juni 2009, IMAM ALI DAN HAK…