
کمالوندی
Islamophobia di Barat (9)
Waktu shalat sudah tiba, tetapi Raja Miah, seorang imam di sebuah masjid Raval di kota Barcelona, sadar bahwa jumlah jemaah yang akan datang tidak sebanyak seperti di masa lalu.
Serangan kembar di Barcelona dan Cambrils (Spanyol) yang diklaim dilakukan oleh Daesh, membuat masyarakat Muslim Barcelona khawatir akan serangan balasan anti-Islam.
"Orang-orang sangat ketakutan," kata Miah (23 tahun) sambil duduk di sebuah ruangan kecil di masjid Raval, tak jauh dari sekelompok anak yang sedang mengaji pada 19 Agustus 2017.
"Orang-orang sangat takut sehingga mereka enggan keluar rumah. Sangat sedikit orang yang pergi untuk shalat. Biasanya ada sekitar 40 orang, tadi malam tak sampai 15 orang dan tadi pagi hanya 10 orang," kata Miah, yang hijrah ke Barcelona dari Bangladesh sembilan tahun lalu.
Seperti itulah suasana yang menyelimuti Barcelona pasca serangan teroris pada 17 Agustus 2017. Sama seperti kasus-kasus lain di Eropa, orang-orang Muslim dianggap sebagai terduga serangan teror.
Sayap kanan ekstrim memanfaatkan iklim sentimen anti-Muslim di Eropa dan kemudian menyerang orang Muslim dan pusat-pusat kegiatan umat Islam. Masjid Seville Foundation menjadi sasaran serangan rasis pada 19 Agustus menyusul teror Barcelona. Dinding masjid dicoret-coret dengan kata-kata anti-Muslim dan anti-imigran dari Afrika Utara. Salah satu bunyi kalimat rasis itu adalah "Pembunuh, Anda akan membayarnya."
Pada saat yang sama, sekelompok kanan ekstrim menyerang dan membakar sebuah masjid di kota Granada. Perempuan dan anak-anak berlarian keluar masjid untuk menyelamatkan diri.
Kelompok rasis mendatangi masjid tersebut sambil membentangkan spanduk dengan tulisan, "Siapa pun yang mendanai masjid ini, mendukung terorisme." Juru bicara masjid, Jalid Nieto mengatakan dia telah melaporkan kelompok itu ke polisi, dan menyebutnya sebagai kejahatan kebencian.
"Mereka memanfaatkan serangan teror Barcelona, yang membuat masyarakat Muslim berduka, untuk mengkampanyekan pemikiran rasisnya. Warga harus mengerti bahwa umat Islam, sama seperti orang lain, dapat menjadi korban ketidakadilan kelompok-kelompok teroris," tambahnya.
Situs NBC News Amerika menulis, "Para analis khawatir bahwa banyak warga Muslim yang tinggal di kota tersebut akan menghadapi situasi yang lebih sulit."
Direktur El Mirador dels Immigrants Spanyol, Javid Mughal mengakui peran komunitas dalam mencegah serangan ekstremis, dan juga memperingatkan xenofobia sebagai dampak dari serangan 17 Agustus.
"Hanya karena seseorang di Catalonia melakukan kejahatan, bukan berarti semua orang di wilayah itu bertanggung jawab," katanya.
Akan tetapi, banyak pihak di Barat mencari kesempatan untuk menyebarkan Islamophobia dan memprovokasi sentimen anti-Muslim di tengah warga Eropa. Salah satu pendukung gerakan rasis ini adalah Ketua Rabbi Yahudi Barcelona, Meir Bar-Hen.
"Warga Yahudi Barcelona akan binasa, karena penguasa Spanyol tidak mau melawan Islam radikal," ujarnya. Rabbi ini juga mendorong orang-orang Yahudi untuk bermigrasi ke tanah pendudukan Palestina.
Meir Bar-Hen mendorong komunitas Yahudi untuk melarikan diri dari Spanyol, yang disebutnya sebagai "pusat teror Islam untuk seluruh Eropa." Dia bahkan meminta para pengikutnya untuk membeli properti di Palestina dan tidak mengulangi kesalahan orang-orang Yahudi Aljazair dan Yahudi Venezuela.
"Saya memberi tahu para jemaat saya, jangan mengira kita ada di sini untuk selamanya. Dan saya mendorong mereka untuk membeli properti di "Israel." Tempat ini hilang. Jangan ulangi kesalahan orang Yahudi Aljazair dan orang Yahudi Venezuela. Lebih baik [keluar] lebih awal daripada terlambat," ujarnya.
Bar-Hen mengatakan serangan tersebut telah mengungkap kehadiran "pinggiran radikal" di tengah komunitas Muslim, dan masalah ini berlaku untuk seluruh Eropa. "Eropa telah kalah," katanya.
Sebenarnya, Rabbi Bar-Hen ingin membenturkan masyarakat Eropa dengan orang-orang Muslim. Ia bahkan menuding Islam sebagai agama teror, padahal rezim Zionis adalah salah satu sumber penyebaran terorisme dan kekerasan di Timur Tengah dan dunia.
Secara prinsip, pendudukan tanah Palestina dan pembentukan rezim penjajah Israel dilakukan oleh kelompok kanan ekstrim dan rasis Yahudi. Israel sampai hari ini adalah sebuah rezim rasis. Rezim ini dibangun atas ideologi Apartheid dan rasisme.
Saat ini, hubungan erat terjalin antara kelompok takfiri dan teroris terutama Daesh dengan rezim Zionis Israel. Bagi umat Islam, Israel adalah musuh nomor satu dan penjajah yang merampas dan menduduki kiblat pertama mereka. Namun, bagi kelompok teroris, Israel bukan hanya tidak dianggap musuh, tetapi berdasarkan sejumlah dokumen, ada hubungan erat antara Daesh dan rezim Zionis.
Dua tahun lalu, sejumlah dokumen mengungkap tentang upaya Israel untuk mempersenjatai para teroris di Suriah serta dukungan luas Arab Saudi dan Qatar kepada mereka. Dokumen ini dibocorkan oleh sekelompok hacker yang menyerang situs kantor-kantor penting rezim Israel.
Para hacker Anonymous berhasil membobol komputer sejumlah pegawai keamanan rezim Zionis dan salah satunya milik Mendi Safadi, pegawai kantor PM Israel yang fokus untuk masalah Suriah.
Dari data yang diperoleh, Mendi Safadi membangun hubungan dengan para antek Israel di Suriah, Lebanon, Arab Saudi, Qatar, Yordania, dan tanah pendudukan Palestina untuk menyalurkan bantuan militer, finansial, dan intelijen kepada kelompok teroris, khususnya Daesh dan Front al-Nusra.
Para teroris yang terluka di Suriah juga dibawa ke Israel untuk menerima perawatan medis. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bahkan membesuk salah satu teroris yang dirawat di Israel. Oleh karena itu, teroris yang melakukan kejahatan atas nama Islam, tidak pernah menganggap rezim Zionis sebagai musuhnya.
Tindakan teror yang dilakukan atas nama Islam di Eropa juga mengejar satu tujuan yaitu merusak citra Islam sebagai agama penyeru perdamaian dan keadilan.
Salah satu pihak yang mengambil keuntungan dari kampanye Islamophobia adalah rezim Zionis Israel dengan tujuan menutupi kejahatannya di tanah Palestina. Israel sangat diuntungkan atas pembantaian dan penghancuran Suriah dan Irak oleh kelompok teroris takfiri. Para teroris ingin melemahkan kubu perlawanan yang menentang keberadaan rezim Zionis.
Kelompok teroris takfiri khususnya Daesh belum pernah melepaskan satu butir peluru pun ke arah Israel. Serangan mereka juga tidak pernah menyasar orang-orang Zionis. Semua ini merupakan bukti atas hubungan teroris takfiri dengan rezim Zionis untuk merusak citra Islam.
Setelah serangan teror Barcelona, warga Muslim Spanyol melakukan aksi solidaritas dengan para korban dan mengecam tindakan terorisme. Mereka menyatakan Muslim sendiri telah menjadi korban utama kejahatan teroris dan jangan memandang orang-orang Muslim sebagai terduga.
Islamophobia di Barat (8)
Kampanye Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Jerman mencatat peningkatan tajam dalam beberapa tahun terakhir. Selama masa kampanye pemilu parlemen Jerman pada tahun 2017, Partai Alternatif untuk Jerman (Alternative für Deutschland/AfD) melakukan kampanye anti-Islam secara luas.
AfD merupakan partai yang anti-Islam dan anti-imigran. Program dasar partai ini pada pemilu 2017 mengklaim bahwa Islam bukan milik Jerman. AfD menentang penggunaan pakaian syar’i dan jilbab di Jerman dan berusaha mendorong pelarangan penuh pakaian Islami di negara itu.
Partai Alternatif untuk Jerman menentang kegiatan lembaga-lembaga Islam di Jerman sebagai bagian dari hak-hak warga negara asing di negara tersebut.
Gerakan PEGIDA atau "Warga Eropa Patriotik Melawan Islamisasi Barat" muncul di Jerman dalam beberapa tahun terakhir. Gerakan yang menentang kehadiran Muslim di Jerman ini mencoba memperluas aktivitasnya di seluruh wilayah Eropa. Mereka juga mengadakan demonstrasi anti-Muslim di beberapa negara Eropa.
PEGIDA merencanakan demonstrasi mingguan di kota Dresden untuk menjaga sikap anti-Islam mereka di Jerman. Tetapi rencana itu tidak dilanjutkan karena kurangnya dukungan dari orang-orang Jerman.
Pada 2009 lalu, seorang wanita Muslim Mesir bernama Marwa El-Sherbini meninggal dunia di ruang pengadilan kota Dresden. Ia ditikam hingga tewas dengan 18 tusukan pisau, padahal kondisinya juga sedang hamil tiga bulan. Sherbini menggugat si pembunuh itu ke pengadilan setelah dia menyebutnya "teroris" karena mengenakan jilbab. Menurut jaksa penuntut, penyerang (Axel W) terdorong oleh kebencian akut terhadap Muslim dan warga asing.
Sherbini meminta bantuan polisi setelah Axel W menghina dirinya dengan kata-kata kotor dan menyebut dirinya sebagai teroris. Di pengadilan, Axel W dihukum membayar denda. Namun pelaku tidak terima dan mengajukan banding.
Media-media Jerman tidak begitu menyoroti insiden penikaman Marwa El-Sherbini. Seorang kolumnis surat kabar The Guardian Inggris dalam artikelnya menulis, “Halaman utama media-media Jerman awalnya tidak mengangkat kejadian itu dan setelah ribuan warga Mesir melakukan protes di Kairo, pemerintah federal Jerman – setelah memilih diam selama hampir seminggu – menyatakan penyesalan atas insiden tersebut.”
Angka serangan rasis terhadap empat juta Muslim di Jerman tidak menunjukkan penurunan dalam delapan tahun terakhir. Partai-partai ekstrem kanan anti-Islam seperti AfD tumbuh subur seiring dengan kampanye Islamophobia, yang gencar dilakukan di Jerman.
Slogan-slogan kampanye Partai Alternatif untuk Jerman tampak lebih kontroversial dan agresif daripada partai-partai lain. Seperti kalimat kontroversial, “Islamfreie Schulen” yang berarti sekolah tanpa Islam atau “Burka? Kami Lebih Suka Bikini.” Slogan partai populis dan sayap kanan ini lebih banyak mengangkat masalah kontradiksi budaya dan isu-isu rasis yang menyerang warga Muslim.
Menurut jajak pendapat pada 2017, popularitas partai AfD sekitar sepuluh persen. Namun, jika pemilu diadakan hari ini, AfD diprediksi akan menduduki posisi ketiga Jerman setelah Partai Kristen Demokrat (CDU) dan Partai Sosial Demokrat (SPD).
Pengaruh yang besar ini merupakan sebuah peringatan bagi kebangkitan Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Jerman. Padahal, kebebasan beragama di Jerman adalah masalah yang dijamin oleh konstitusi.
Tentu saja, pemenuhan hak-hak sipil dan kewarganegaraan di negara-negara Eropa seperti Jerman, selalu ada pengecualian untuk warga Muslim. Konstitusi negara-negara Eropa, Piagam Sosial Eropa, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (yang disusun oleh Barat) menekankan kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, dan kehidupan bebas para pengikut setiap agama berdasarkan ajaran agama mereka.
Namun penekanan ini diabaikan ketika menyangkut warga Muslim, dan pemerintah-pemerintah Eropa serta gerakan-gerakan ekstremis tidak mau mematuhi hak-hak sipil dan kewarganegaraan terhadap individu Muslim.
Para politisi dan media-media Barat telah memperkenalkan Islam sebagai agama pendukung kekerasan, ekstremisme, dan terorisme, sehingga membenarkan segala pelanggaran hak-hak sipil dan kewarganegaraan terhadap masyarakat Muslim.
Masalah pakaian wanita Muslim bahkan telah menjadi isu politik dan perdebatan publik di negara-negara Eropa termasuk Jerman. Masing-masing negara bagian di Jerman menetapkan aturan khusus untuk membatasi gerak wanita Muslim di ruang publik.
Beberapa organisasi pembela hak-hak perempuan di Jerman, seperti Terre des Femmes dan beberapa penulis majalah feminis EMMA, menganggap pemakaian jilbab untuk anak sekolah dasar sebagai langkah keliru. Mereka mempertanyakan pemakaian pakaian syar’i dari perspektif feminisme dan klaimnya tentang pembelaan hak-hak perempuan.
Penggunaan pakaian syar’i dipilih atas dasar kesadaran dan wanita Muslim ingin menjaga auratnya berdasarkan perintah agama. Oleh karena itu, pihak lain tidak bisa menerapkan pembatasan atas dasar interpretasi keliru mereka tentang Islam atau karena klaim-klaim tak berdasar.
Salah satu jurnalis wanita yang menentang perlakuan diskriminatif terhadap wanita Muslim di Jerman adalah Meredith Haaf, seorang penulis dan aktivis feminis.
Dalam sebuah artikel di surat kabar Süddeutsche Zeitung (12 Juli 2017), Meredith Haaf mengatakan bahwa melabeli kelompok-kelompok atas dasar etnis atau agama adalah sebuah lipstik di tangan mereka – karena alasan yang benar-benar berbeda – ingin mempertahankan dan menuntut perlakuan agresif dan diskriminatif terhadap umat Islam.
Dalam artikel dengan judul “How Islamophobic is feminism?” Meredith Haaf menulis, “Kaum feminis yang ingin melarang jilbab perempuan telah mengkhianati tujuan perempuan dan bermain di tangan populis sayap kanan.”
Dia menjelaskan bahwa pandangan feminisme kadang bisa merugikan masyarakat sendiri. Para pendukung prostitusi berusaha menanggalkan jilbab dari wanita Muslim dan tentu ini disayangkan. Para aktivis feminisme bahkan tidak mengerti makna feminisme dan tidak menghormati hak-hak perempuan.
Di sini jelas bahwa kelompok anti-Islam bahkan bersedia mengabaikan prinsip-prinsip pemikiran mereka sendiri demi menentang Islam dan kaum Muslim. Ini adalah sebuah kebencian terhadap umat Islam dan bertentangan dengan klaim orang-orang Eropa yang mengaku memiliki pandangan rasional terhadap semua persoalan. Namun sekarang justru menuduh lawan mereka sebagai ekstremis dan irasional.
Islamophobia di Barat (7)
Sekelompok warga Muslim pada Sabtu subuh (5 Agustus 2017) mendatangi Masjid Dar Al Farooq Bloomington di Minnesota, Amerika Serikat untuk menunaikan shalat. Namun, ledakan bom telah mengejutkan seluruh jemaah dan untungnya tidak ada yang terluka dalam insiden itu.
Ketua Dar Al Farooq Islamic Center, Mohamed Omar mengatakan tempat ini sebelumnya juga menerima ancaman lewat telepon dan email. "Dar Al Farooq sebelum ini melakukan aktivitas sebagai pusat keluarga dan pemuda Al Farooq. Semua tetangga masih tidur saat ledakan terjadi dan suara ledakan membuat warga terkejut," jelasnya.
Direktur Eksekutif Dewan Gereja Minnesota, Curtiss DeYoung meletakkan sebuah karangan bunga di luar masjid dengan pesan yang berbunyi, "Saya dan teman-teman saya telah mengunjungi masjid ini pada bulan Ramadhan dan di sini kami berada di samping Muslim."
Dia kemudian mengikuti aksi solidaritas yang diselenggarakan di halaman belakang masjid untuk memberikan dukungan kepada warga Muslim. Dalam pidatonya, DeYoung berkata, "Serangan terhadap masjid adalah serangan terhadap sinagog, serangan terhadap gereja, dan serangan terhadap semua komunitas agama. Kita harus menghadapi kebencian semacam ini. Untuk itu, kita semua berdiri di samping kalian Muslim."
"Kami di sini menunjukkan solidaritas dan dukungan bagi umat Islam tidak hanya di pusat ini, tetapi juga bagi umat Islam di seluruh negara bagian kami dan dunia," tambahnya.
Jika sebuah gereja Kristen di Amerika dibom, ia akan disebut sebagai aksi terorisme dan Presiden Donald Trump akan berteriak bahwa itu adalah perang melawan agama Kristen dan peristiwa ini akan menjadi salah satu liputan utama tidak hanya di Amerika, tetapi di seluruh dunia. Namun, di Amerika hampir setiap pekan terjadi serangan terhadap salah satu masjid atau pusat kegiatan umat Islam.
Dua insiden anti-Muslim dalam kurun waktu kurang dari seminggu terjadi di Amerika, tetapi itu hanyalah puncak gunung es dari gelombang teror yang telah diarahkan terhadap Muslim Amerika pada masa Trump. Selama tiga bulan pertama 2017, empat masjid dibakar dalam insiden yang dianggap sebagai pembakaran.
Gambar dari masjid-masjid yang hancur mulai dari Florida dan Texas hingga Washington mengingatkan kita pada gambar-gambar gereja milik warga kulit hitam yang dibakar oleh supremasi kulit putih dalam beberapa dekade terakhir.
Warga Muslim melakukan pawai di New York. (Dok)
American Civil Liberties Union (ACLU) bahkan telah mempublikasikan peta 50 negara bagian, yang menunjukkan lokasi masjid-masjid yang dibakar di Amerika. Peta ini sungguh sangat mengejutkan, di mana hampir tidak ada negara bagian yang terbebas dari insiden serangan terhadap masjid. Meskipun ini mengkhawatirkan, tetapi tidak mengejutkan setelah Trump berkuasa.
Para pendukung Islamophobia di Amerika mengejar dua tujuan utama dalam menargetkan masjid dan pusat kegiatan umat Islam. Pertama, menciptakan rasa takut di antara warga Muslim sehingga mencegah mereka meramaikan masjid-masjid, dan kedua memprovokasi Muslim untuk melakukan serangan serupa terhadap tempat ibadah agama lain dan mengesankan mereka sebagai anti-Amerika.
Dengan demikian, mereka akan mencapai tujuan utamanya yaitu memperkenalkan warga Muslim sebagai teroris dan mencitrakan Islam sebagai agama pendukung radikalisme dan kekerasan.
Pendiri ACT for America (salah satu kelompok anti-Muslim di AS), Brigitte Gabriel mengatakan seorang Muslim yang taat dan percaya Al Quran, tidak bisa menjadi warga negara Amerika Serikat yang loyal.
Serangan dan perilaku rasis terhadap Muslim di Amerika meningkat beberapa kali lipat sejak Trump berkuasa. Pada dasarnya, kampanye Islamophobia meluas di Amerika dengan alasan memerangi terorisme.
Untungnya, masyarakat Muslim menyikapi serangan anti-Islam itu dengan cerdas. Mereka tidak terseret dalam permainan berbahaya ini dan memilih memberikan pencerahan tentang agama Islam. Salah satu langkah yang diambil masyarakat Muslim adalah membuka pintu-pintu masjid dan pusat kegiatan Islam untuk seluruh warga Amerika dan menjawab pertanyaan mereka seputar ajaran Islam.
Warga Muslim Illinois meluncurkan program "Open Mosque Day" bagi seluruh warga Amerika guna mengenalkan mereka dengan ajaran Islam. Puluhan warga Illinois mendatangi salah satu masjid di negara bagian itu untuk bertanya seputar Islam dan secara langsung berkomunikasi dengan warga Muslim dan imam masjid.
Program Open Mosque Day ini disambut oleh warga Amerika dari berbagai agama dan kelompok dan bagi banyak orang, ini menjadi pengalaman pertama mereka berkunjung ke sebuah masjid dan pusat kegiatan umat Islam.
Michelle Goodenough, salah satu peserta kegiatan tour di Islamic Center of DeKalb, Illinois menuturkan bahwa Minggu lalu, seorang pastur di gereja berbicara tentang persatuan di masyarakat dan menekankan pentingnya untuk memperluas persekutuan kami di luar pintu gereja dan keikutsertaan saya dalam tour ini juga untuk menjalin persahabatan dengan warga Muslim Amerika.
Peserta lain, Carol Hajic mengatakan bahwa ia telah membaca tentang Islam dan senang mendengar jawaban atas pertanyaan-pertanyaan umum secara langsung. “Aku pikir penjelasan mengapa engkau (Direktur Islamic Center of DeKalb) melepas sepatumu ketika memasuki masjid, bisa dimengerti dan logis, karena kalian bersujud di sini dan tentu saja tempat ini harus bersih,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, Direktur Islamic Center of DeKalb, Mohammed Labadi berbicara tentang pentingnya shalat lima waktu bagi kaum Muslim dan menjawab pertanyaan dari para pengunjung.
Di negara-negara Eropa dan Amerika, satu hari telah dipilih sebagai hari pintu masjid terbuka untuk menyambut semua orang dari berbagai agama dan kelompok di masjid-masjid. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang benar tentang Islam dan Muslim.
Sebuah riset menunjukkan bahwa meskipun kampanye Islamophobia meningkat di Amerika, tetapi tingkat ketertarikan masyarakat untuk mengenal Islam dan tingkat usaha mereka untuk menyampaikan solidaritas dengan Muslim juga mencatat peningkatan.
Masyarakat Muslim melakukan berbagai terobosan untuk memperkenalkan Islam kepada warga Amerika. Ayaz Virji adalah warga India-Amerika yang tinggal di desa Dawson, barat Minnesota, ikut berjuang untuk melawan Islamophobia di Amerika. Ia adalah seorang dokter lulusan Universitas Georgetown dan memutuskan untuk memperkenalkan Islam kepada masyarakat setelah Trump terpilih sebagai Presiden AS.
Sebagai dokter, dia memberikan pelayanan yang tulus kepada pasien dan mulai disenangi oleh banyak orang meskipun ia imigran Muslim asal India. Ayaz Virji kemudian memanfaatkan popularitas ini untuk memberikan pemahaman yang benar tentang Islam kepada penduduk Dawson.
Direktur Dewan Hubungan Islam Amerika (CAIR) cabang Minnesota, Jaylani Hussein mengenai kegiatannya dalam berdakwah menuturkan, "Salah satu langkah (melawan Islamophobia) adalah merekrut warga non-Muslim Texas untuk menjadi anggota tim manajemen krisis sebagai reaksi atas serangan rasial terhadap Muslim."
"Para relawan dari non-Muslim menerima pelatihan sehingga bisa menjawab komentar yang menyerang Islam. Permusuhan terhadap warga Muslim meningkat pasca pemilu presiden dan setelah Trump melarang imigran Muslim memasuki Amerika. Banyak warga Amerika tertarik untuk bergabung dalam tim ini dan melawan kebijakan rasis Trump," tuturnya.
Menurut Jaylani Hussein, para pembela Muslim perlu mengambil beberapa langkah sederhana seperti, membagikan kenangan baiknya bersama Muslim di media sosial atau berpartisipasi dalam pengumpulan bantuan sosial untuk imigran.
Islamophobia di Barat (6)
Islamophobia di Barat berakar dari propaganda anti-Islam yang dilakukan selama bertahun-tahun. Negara-negara Barat – lewat bantuan media dan dengan memanfaatkan interpretasi keliru yang dihadirkan oleh beberapa kelompok dalam Islam seperti Wahabi – menyusun program jangka panjang untuk merusak citra Islam yang menyerukan perdamaian dan keadilan.
Rasulullah Saw diutus dengan membawa ajaran tauhid dan kasih sayang, dan risalahnya menjadi penyempurna atas ajaran para nabi terdahulu. Beliau menghadapi banyak kesulitan dalam menyampaikan risalahnya dan bahkan kehilangan orang-orang terdekatnya.
Rasulullah menyampaikan pesannya melalui dakwah dan bahkan setelah menguasai seluruh Jaziarah Arab dan mendirikan pemerintahan Islam di Madinah, dakwah masih tetap menjadi metode terpenting dalam menyampaikan pesan Ilahi, bukan pedang.
Tidak ada seorang pun yang masuk Islam dengan paksaan dan seseorang bisa tetap mempertahankan keyakinannya dan hidup damai berdampingan dengan masyarakat Muslim di bawah perlindungan pemerintahan Islam. Bahkan orang-orang yang memusuhi Islam dan selama belum menghunuskan pedangnya atas orang Muslim, hak-hak mereka tetap terjaga di tengah masyarakat Islam dan tidak satu pun berhak menyerang mereka.
Selama 10 tahun masa pemerintahan Rasulullah Saw di Madinah, kaum Muslim hanya memerangi kabilah-kabilah yang menghunuskan perang atas mereka. Kaum Muslim bahkan memperlakukan para tawanan perang secara manusiawi di mana banyak dari mereka memilih masuk Islam secara sukarela.
Sejarah Islam mendokumentasikan banyak kisah tentang pembelaan Rasulullah Saw dan Imam Ali as terhadap hak-hak warga non-Muslim dan mencegah terjadinya penindasan, yang mungkin dilakukan oleh individu Muslim terhadap mereka.
Islam dengan ajaran luhurnya serta kebesaran jiwa dan moral para tokohnya, mustahil menjadi penebar kekerasan, radikalisme, dan terorisme. Sebagian individu telah melakukan kejahatan di Suriah dan Irak serta beberapa negara lain atas nama Islam, tetapi mayoritas Muslim khususnya minoritas Muslim di negara-negara Barat, termasuk komunitas agama yang mencintai perdamaian dan taat hukum.
Minoritas agama Yahudi, Kristen, dan pengikut agama lain juga bebas menjalankan keyakinannya di negara-negara Muslim dan menjalani kehidupan yang damai bersama masyarakat Muslim. Di Republik Islam Iran, minoritas agama Kristen, Yahudi, Zoroaster, dan Kristen Assyria bahkan memiliki perwakilan di parlemen.
Kelompok-kelompok takfiri dan teroris adalah minoritas yang sangat kecil di tengah masyarakat Muslim. Namun, Barat melakukan generalisasi dengan mengaitkan perilaku dan kejahatan mereka kepada seluruh Muslim. Propaganda dan konspirasi ini bertujuan untuk memajukan tujuan politik Barat di negara-negara Muslim.
Pemerintah dan media-media Barat secara bias mengaitkan tindakan dan kejahatan kelompok teroris takfiri dengan Islam, dan memperkenalkan Islam sebagai agama sponsor kekerasan dan radikalisme.
Salah satu sosok yang telah meningkatkan kampanye Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Barat adalah Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Menurut penelitian yang dilakukan Pew Research Center, sekitar setengah dari Muslim Amerika mengalami berbagai bentuk perlakuan rasis sejak Trump berkuasa.
Pew Research Center telah melakukan survei melalui telepon terhadap 1.001 orang Muslim dewasa Amerika mulai 23 Januari hingga 2 Mei 2017 lalu. Mereka berbicara tentang kecemasan dan kegelisahan yang luas tentang kondisi di Amerika setelah tampilnya presiden yang tidak ramah terhadap Muslim.
"Secara keseluruhan, Muslim di Amerika Serikat merasakan banyak diskriminasi terhadap kelompok agama mereka, mencurigai Presiden Donald Trump, dan berpikir warga Amerika tidak melihat Islam sebagai bagian dari masyarakat utama AS," tulis Pew Research Center.
Warga Muslim AS yang mengalami perlakuan diskriminatif cenderung meningkat, di mana 48% responden mengatakan mereka mengalami setidaknya satu insiden diskriminatif berdasarkan agama selama setahun terakhir, dibandingkan dengan 40% selama satu dekade lalu.
Bentuk diskriminasi yang paling umum adalah diperlakukan dengan rasa curiga (32%), diperlakukan diskriminatif oleh aparat keamanan bandara (19%), disebut dengan ejekan dan sindiran (18%), disikapi secara rasis oleh penegak hukum (10%), dan terancam atau diserang secara fisik (6%).
Rasa tidak aman di samping perlakuan diskriminatif telah mempengaruhi kehidupan sehari-hari warga Muslim Amerika secara signifikan. Sebanyak 74% Muslim Amerika mengatakan Presiden Trump tidak ramah terhadap mereka.
Dalam 10 hari pertama pasca kemenangan Trump, Southern Poverty Law Center (SPLC) melaporkan 867 insiden pelecehan dan intimidasi terhadap warga Muslim. SPLC juga melaporkan peningkatan jumlah kelompok anti-Muslim di Amerika dari 34 pada 2015 menjadi 101 pada 2016.
Dewan Hubungan Amerika-Islam melaporkan peningkatan 57% dalam insiden anti-Muslim pada tahun yang sama. Salah satu kelompok anti-Muslim di negara itu adalah ACT for America.
Menurut laporan surat kabar The Washington Post pada 21 Juli 2017, lusinan acara diselenggarakan di bawah kampanye "March Against Sharia" di seluruh Amerika pada Juni 2017.
Khizr Khan, anggota dari People For the American Way mengatakan, "Panitia mengaku acara itu bukan anti-Muslim, tetapi tidak ada keraguan bahwa kampanye itu ingin mengesankan syariat sebagai ancaman terhadap Konstitusi, dan mendorong lahirnya undang-undang anti-syariah di tingkat nasional. Mereka ingin menggambarkan Muslim Amerika sebagai bukan orang Amerika."
Kampanye melawan syariat mencerminkan kesalahpahaman yang mendalam tentang apa itu syariat. Dan yang lebih buruk lagi adalah menyalahkan semua Muslim atas tindakan keji dari segelintir orang yang melakukan kekerasan terhadap orang lain atas nama Islam. Tuduhan salah alamat seperti ini dapat menyebabkan munculnya tragedi demi tragedi.
Pendiri ACT for America, Brigitte Gabriel mengatakan bahwa seorang Muslim yang taat dan percaya Al Quran, tidak bisa menjadi warga negara Amerika Serikat yang loyal.
Orang-orang Kristen konservatif yang mendukung para pejabat Republik, berpendapat bahwa Islam bukanlah agama tetapi sebuah ideologi totaliter, dan oleh karena itu Muslim Amerika tidak dilindungi di bawah Amandemen Pertama UU Kebebasan Beragama. Kampanye anti-Islam ini telah membangkitkan pandangan negatif terhadap Muslim Amerika.
Perilaku rasis terhadap Muslim di Amerika meningkat beberapa kali lipat sejak Trump berkuasa. Beberapa hari setelah berkantor di Gedung Putih, Trump melarang warga dari enam negara Muslim memasuki Amerika dengan alasan menangkal terorisme.
Padahal, warga dari enam negara tersebut sama sekali tidak terlibat dalam serangan teroris di Amerika selama beberapa tahun terakhir. Salah satu negara itu adalah Iran, tetapi dalam beberapa tahun terakhir, tidak ada laporan apapun tentang kekerasan yang melibatkan warga negara Iran di Amerika. Warga Iran yang tinggal di Amerika termasuk salah satu dari komunitas asing yang hidup berbaur dengan masyarakat setempat.
Trump melarang warga dari enam negara Muslim memasuki Amerika dengan alasan memerangi terorisme dan juga menandatangani kontrak senjata ratusan miliar dolar dengan Arab Saudi selama kunjungannya ke Riyadh pada 2017. Padahal, 15 dari 19 pelaku serangan teroris 11 September adalah warga negara Arab Saudi.
Dokumen terpercaya yang disusun komisi khusus di Kongres AS menunjukkan bahwa para pelaku serangan teroris 11 September mendapat dukungan politik dan finansial dari pemerintah Arab Saudi.
Namun, tidak boleh diabaikan bahwa kampanye Islamophobia di Amerika telah mendorong sebagian pihak untuk mempelajari landasan pemikiran Islam. Kajian ini akhirnya melahirkan simpati dengan warga Muslim dan penentangan terhadap kampanye Islamophobia di Amerika.
Islamophobia di Barat (5)
Islam adalah agama keadilan, perdamaian, dan kasih sayang. Salah satu faktor yang mempercepat penyebaran Islam di masyarakat Badui di Jazirah Arab adalah karena kasih sayang dan akhlak mulia Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw dan Ahlul Bait selalu berpesan agar manusia berperilaku baik dan berakhlak mulia antar-sesama. Nasihat ini tidak hanya ditujukan kepada kaum Muslim, tetapi juga kepada mereka yang bahkan tidak menerima Islam. Beliau selalu menekankan masalah kasih sayang dan persaudaraan.
Ada banyak riwayat yang berbicara tentang perilaku mulia Rasulullah dan Ahlul Bait dengan masyarakat non-Muslim, dan banyak orang memilih masuk Islam karena akhlak mulia ini.
Sekarang setelah 1400 tahun dari kemunculan Islam, sebagian pihak di Barat mencoba memperkenalkan Islam sebagai agama sponsor radikalisme dan terorisme. Mereka menyebarkan fenomena Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di berbagai penjuru dunia.
Sayangnya, beberapa paham di negara-negara Muslim khususnya Wahabisme di Arab Saudi – yang menafsirkan Islam secara keliru dan bertindak radikal – telah menyediakan amunisi bagi Barat untuk memperkenalkan Islam sebagai agama sponsor kekerasan.
Mereka dengan membentuk dan mendukung kelompok-kelompok teroris takfiri seperti Daesh, telah mengabdi kepada para pendukung kampanye Islamophobia di Barat untuk merusak citra Islam. Padahal, Islam murni versi Nabi Muhammad Saw tidak ada hubungannya dengan Islam Daesh dan Wahabisme yang berkuasa di Arab Saudi.
Negara-negara Barat terutama Amerika Serikat dan Inggris adalah sekutu strategis Arab Saudi. Dengan mendukung kebijakan Riyadh, negara-negara Barat sebenarnya telah membantu kampanye Islamophobia di dunia. Mereka ingin menutupi wajah Islam murni yang menyerukan keadilan, perdamaian, dan kasih sayang; Islam yang menyerukan pada tauhid, menolak penindasan, dan membangun masyarakat berdasarkan keadilan dan perdamaian.
Dampak dari hubungan strategis Barat dan Arab Saudi ini, perilaku kekerasan dan diskriminasi rasial dan agama terhadap warga Muslim di negara-negara Barat mengalami kenaikan.
Dewan Hubungan Amerika-Islam (Council on American-Islamic Relations/CAIR) dalam sebuah laporan menyatakan jumlah kejahatan yang berlatar kebencian anti-Muslim di Amerika Serikat naik 91 persen pada semester pertama tahun 2017 dibandingkan dengan periode yang sama pada 2016. CAIR mengatakan kejahatan kebencian telah meningkat sejak 2016, yang merupakan tahun terburuk dalam catatan insiden anti-Muslim sejak kelompok ini memulai sistem pendokumentasiannya pada 2013.
Menurut catatan CAIR, jumlah kasus fanatisme pada paruh pertama 2017 juga naik 24 persen dibandingkan dengan enam bulan pertama 2016.
"Kampanye pemilihan presiden dan pemerintahan Trump telah memanfaatkan kefanatikan dan kebencian, yang akhirnya mendorong penargetan Muslim Amerika dan kelompok minoritas lainnya," kata Zainab Arain, koordinator CAIR yang bekerja untuk memantau dan memerangi Islamophobia.
"Jika tindakan bias yang berdampak pada komunitas Muslim Amerika terus berlanjut, 2017 bisa menjadi salah satu tahun terburuk dalam insiden semacam itu," tambahnya.
CAIR menerangkan bahwa pemicu paling umum dari kasus fanatisme anti-Muslim pada tahun 2017 tetap etnis atau asal kebangsaan korban, terhitung 32 persen dari total kasus kekerasan terhadap Muslim. Sebanyak 20 persen kasus kekerasan terjadi karena seorang individu dianggap Muslim. Jilbab wanita menjadi pemicu 15 persen insiden kekerasan anti-Muslim.
Islamophobia di Eropa terutama di Inggris juga sedang meningkat. Kelompok pemantau Islamophobia di Inggris (Tell MAMA) mengatakan antara Mei 2013 dan Juni 2017, 167 masjid di Inggris menjadi target dalam insiden dan serangan anti-Muslim. Secara keseluruhan, ini sama dengan rata-rata satu kasus serangan terhadap masjid setiap minggu.
Masjid telah menjadi sasaran serangan karena ia adalah simbol yang terlihat dari lembaga-lembaga Islam di masyarakat, titik fokus utama di mana umat Islam berkumpul. Para pelaku terkadang juga percaya bahwa dampak dari tindakan mereka bisa lebih luas daripada hanya menargetkan individu Muslim. Serangan terhadap sebuah masjid mengirimkan sinyal kepada para jamaah bahwa mereka juga menjadi sasaran dan komunitas itu sendiri berada di bawah ancaman.
Tell MAMA mencatat berbagai kasus serangan dan teror terhadap masjid dan pusat-pusat kegiatan Islam di Inggris. Teror tersebut kadang berupa pengiriman surat ancaman, pengiriman serbuk putih, pembakaran yang disengaja, dan pelemparan kepala babi.
Teror terhadap masjid-masjid di Inggris dilakukan secara terorganisir dan kasus terbaru adalah pengiriman serangkaian surat yang mengancam masjid dengan alat peledak. Aksi ini bertujuan menciptakan ketakutan di antara warga Muslim.
Tell MAMA mengatakan bahwa pihaknya telah memeriksa kasus-kasus yang telah dilaporkan kepada mereka, dan ada 167 masjid yang ditargetkan selama empat tahun terakhir, jumlah sebenarnya mungkin lebih tinggi. Beberapa masjid tidak melaporkan insiden serangan dan ancaman kepada polisi atau ke agen pemantau kejahatan pihak ketiga seperti Tell MAMA.
Islamophobia tentu saja tidak terbatas pada serangan fisik terhadap Muslim dan institusi-institusi Islam. Salah satu cara lain adalah penulisan artikel dan buku-buku anti-Islam. Beberapa media di Inggris menyediakan kolom khusus untuk orang-orang yang mendukung kampanye Islamophobia. Mereka juga diberi kesempatan untuk tampil di layar kaca.
Sayangnya, kampanye Islamophobia tidak terbatas di negara-negara Barat, tetapi juga telah menjalar ke Asia dan bahkan Afrika. Pada Juli 2017, penangkapan dua pemuda Singapura atas tuduhan radikalisme telah memicu kembali keprihatinan di kalangan pemuda Muslim bahwa sentimen anti-Muslim di Singapura akan meningkat setelah penahanan itu.
Dalam sebuah forum yang digelar di Singapura pada 22 Juli 2017, beberapa peserta menyatakan kekhawatiran tentang Islamophobia dan bertanya bagaimana mereka dapat membantu menghilangkan keraguan atau kesalahpahaman yang mungkin dimiliki oleh komunitas lain tentang Islam.
"Islamophobia di Singapura tidak seburuk di Barat, tetapi hari ini saya khawatir beberapa orang akan memandang saya secara berbeda atau curiga karena agama saya," kata mahasiswa Institute of Technical Education (ITE), Nur Nabilah Isaman, yang memakai jilbab.
Dia juga mengakui perlunya menjangkau orang-orang dari ras dan agama lain, untuk membantu mereka memahami Islam. "Untuk memerangi Islamophobia, saya tidak bisa diam saja dan berharap orang-orang tidak akan berpikir yang terburuk tentang saya," ujar Nur Nabilah.
Sementara itu, Menteri Hukum dan Dalam Negeri Singapura, K. Shanmugam mengatakan kepada para wartawan bahwa kebijakan Singapura dan pendekatan integrasi telah membantu menumbuhkan kohesi sosial. Tetapi pada saat yang sama, lanjutnya, serangan di seluruh dunia telah membuat rusak upaya membangun kepercayaan itu.
"Pemuda Muslim harus memahami bahwa mereka bisa menjadi Muslim yang baik dan mengambil bagian dalam kegiatan yang melibatkan komunitas Singapura yang lebih besar. Membangun ikatan antara komunitas yang berbeda adalah kunci dalam perang melawan terorisme," tegasnya.
Islamophobia di Barat (4)
Islamophobia dan sentiment anti-Muslim di Eropa menemukan dimensi baru setiap harinya. Pola baru serangan terorisme terhadap warga Muslim ditemukan di Eropa, tetapi pemerintah dan media setempat tidak tertarik untuk mengulas kejahatan ini dan mereka tampaknya tidak merasa prihatin atas serangan teror terhadap Muslim.
Serangan terorisme rasialis terhadap warga Muslim sedang menyebar di berbagai negara Eropa. Mereka mengadopsi pola yang dilakukan teroris takfiri Daesh dan juga tindakan yang terbilang baru.
Serangan rasisme terhadap warga Muslim di Inggris lebih parah dari negara lain Eropa. Kasus pertama serangan mobil terhadap warga Muslim di Eropa terjadi di Inggris. Melepas penutup kepala wanita Muslim secara paksa atau menyerang dengan senjata tajam, termasuk serangan rasisme yang melibatkan kelompok rasis di Eropa. Serangan ini meningkat tajam selama beberapa bulan terakhir.
Data pihak kepolisian Inggris menunjukkan insiden yang terkait dengan kebencian naik sebesar 23 persen dalam 11 bulan pasca referendum Brexit. Di beberapa daerah Inggris dan Wales, kejahatan berbasis kebencian meningkat lebih dari 40 persen, dan beberapa daerah termasuk Gwent, Nottinghamshire dan Kent melonjak lebih dari setengahnya dalam setahun.
Pada 16 Juli 2017, jilbab seorang wanita Muslim dicopot paksa oleh seorang pria dalam serangan keji di London, di tengah lonjakan insiden kejahatan rasial di Inggris. "Pria di stasiun Baker Street dengan paksa menarik jilbab saya dan ketika saya secara naluriah mengambil balik jilbab saya, ia memukul saya," tulis Aniso Abdulqadir via akun Twitter-nya sambil memposting gambar pria yang menyerangnya.
Sayap kanan ekstrem di Eropa mengadopsi pola baru dalam melakukan serangan teror terhadap warga Muslim yaitu penyiraman air keras. Kejahatan ini merupakan salah satu tindakan anti-kemanusiaan yang terjadi di berbagai negara, tetapi penggunaan pola ini oleh sayap kanan ekstrem untuk menyerang warga Muslim Eropa adalah sebuah fenomena baru.
Sejumlah kasus penyiraman air keras terhadap warga Muslim terjadi di Inggris selama 2017. Lima warga Muslim terluka akibat serangan penyiraman air keras di London dalam satu malam pada Juli 2017. Pada 21 Juni 2017, serangan air keras menyebabkan dua sepupu Muslim (Jameel Muhktar dan Resham Khan) terluka parah di timur London.
Pelaku dan para korban sama sekali tidak saling mengenal. Padahal, pelaku dan korban biasanya saling mengenal dalam kasus serangan air keras dan motifnya pun karena sakit hati atau balas dendam. Namun, kasus serangan air keras di Inggris didorong oleh pemikiran ekstrem dan rasisme.
Media-media Inggris terutama BBC – sebagai corong propaganda terbesar negara itu – memperlihatkan reaksi yang berbeda dalam kasus kejahatan ini. BBC tidak meyinggung isu terorisme dan rasisme dalam serangan air keras terhadap lima warga Muslim Inggris.
Media milik pemerintah Inggris ini dalam laporannya mengulas tentang sejarah penyiraman air keras di berbagai negara, dan serangan air keras terhadap warga Muslim dianggap sebagai insiden biasa yang melibatkan beberapa geng dan perampok.
Setelah serangan air keras terhadap seorang Muslim, juru bicara Kepolisian Metropolitan London mengatakan para penyerang menargetkan pengemudi delivery dengan tujuan mencuri sepeda motor atau sarana transportasi mereka.
Dalam kasus serangan terhadap Jameel Muhktar dan Resham Khan, polisi Metropolitan London awalnya mengesampingkan motif agama atau ras dalam kejahatan itu. Namun, polisi kemudian mengatakan bahwa bukti baru yang ditemukan mendorong mereka untuk menyelidiki serangan itu sebagai kejahatan rasial.
Jameel Muhktar menuturkan bahwa dia dan sepupunya menjadi sasaran karena agama mereka. "Ini jelas merupakan kejahatan rasial," katanya kepada Channel 4 News. "Saya percaya itu ada hubungannya dengan Islamophobia."
Mukhtar menambahkan bahwa jika itu dibalik dan seorang pria Asia menyerang pasangan Inggris dengan air keras, seluruh negara tahu itu akan digolongkan sebagai serangan teror.
Menurut laporan Dewan Kepala Polisi Nasional Inggris (NPCC), lebih dari 400 serangan asam atau zat korosif dilakukan dalam enam bulan hingga April 2017 di seluruh wilayah kepolisian di Inggris dan Wales. Daerah yang umumnya dihuni oleh komunitas Muslim London, termasuk Newham, Barking and Dagenham, Tower Hamlets, Havering, dan Redbridge, mencatat kasus serangan air keras terbanyak.
Jika serangan ini melibatkan seorang Muslim atau imigran Muslim, maka gelombang propaganda terhadap Muslim dan Islam akan mengguncang negara-negara Barat, dan kondisi korban serangan akan selalu menghiasi media-media Barat.
Puluhan kasus serangan air keras terhadap wanita dan pria Muslim terjadi di Inggris, tetapi para politisi dan media-media Eropa tidak begitu menyoroti aksi teror itu.
Menurut laporan Huffington Post, jumlah media yang meliput kasus serangan air keras sangat terbatas, terutama jika korbannya Muslim. Selain itu, penelitian untuk menyingkap alasan meningkatnya fenomena ini juga sedikit.
Publikasi yang minim ini tentu saja sejalan dengan kebijakan Islamophobia yang diadopsi oleh negara-negara Barat, terutama pemerintah Inggris. Media-media Barat khususnya BCC memainkan peran efektif dalam menyebarkan Islamophobia di Barat. Media pro-sayap kanan di Inggris mengesankan Islam dan masyarakat Muslim sebagai sumber masalah di negara itu.
Dalam perspektif mereka, Islam mensponsori terorisme dan Muslim adalah pelaku utama serangan teror. Sayap kanan ekstrem Inggris seperti, Britain First dan neo-Nazi secara terbuka mengancam aksi balas dendam terhadap warga Muslim.
Kampanye Islamophobia digaungkan oleh kelompok-kelompok tersebut. Orang-orang seperti Brigitte Gabriel, Milo Yiannopoulos, Ayaan Hirsi Ali, Glenn Beck, Pamela Geller, Katie Hopkins, dan banyak lainnya, menguasai kolom artikel di media-media Barat. Mereka kadang terang-terangan menggunakan kata-kata rasis untuk menyerang warga Muslim.
Saat ini, belum bisa diprediksi kapan fenomena Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Barat akan berakhir. Banyak dari pemimpin dan pemikir Barat berbicara tentang perlunya pemisahan antara ajaran Islam dan ideologi kelompok-kelompok teroris seperti Daesh dan Al Qaeda, namun kampanye Islamophobia masih terjadi secara luas di negara-negara Barat.
Pemerintah di Barat sepenuhnya menyadari tentang motif dari tindakan teror yang dilakukan oleh sayap kanan ekstrem dan rasis. Pesan-pesan rasis yang bernada ancaman banyak tersebar di media sosial, dan pesan ini jelas ditujukan kepada imigran dari Asia atau Muslim.
Di media-media Barat, tidak ada seorang pun yang akan menjawab pertanyaan ini, siapa yang telah memicu sentimen anti-Islam di Barat? Karena para politisi Barat mengabaikan hasil penelitian tentang hubungan antara ideologi radikal dengan pemerintah Arab Saudi. Negara-negara Barat tetap memperluas hubungan politik, ekonomi, dan militer dengan rezim Al Saud meski mengetahui bahwa Wahabisme memainkan peran utama dalam menyebarkan pemikiran radikal dan terorisme di Barat.
Wahabisme memiliki interpretasi yang keliru tentang ajaran Islam yang menyerukan keadilan dan perdamaian. Kelompok Wahabi memainkan peran utama dalam merusak citra Islam di Barat dan menciptakan ruang bagi pembenaran Islamophobia di sana.
Dapat dikatakan bahwa pemerintah dan media-media Barat ikut terlibat dalam tindakan teror, yang dilakukan oleh kelompok teroris takfiri dan kubu sayap kanan ekstrem dan rasis di Barat.
Islamophobia di Barat (3)
Islamophobia dan sentimen anti-Muslim telah menjadi sebuah pendekatan yang terstruktur di negara-negara Barat. Jika sebagian pejabat Barat mengakui Islam sebagai agama damai dan kasih sayang serta menepis keterkaitan antara tindakan teroris dengan ajaran Rasulullah Saw. Namun, kebijakan Barat secara praktis mengejar penguatan kelompok takfiri dan teroris.
Pengakuan ini sebenarnya sebuah trik untuk melepas tanggung jawab mereka yang telah memperkuat dan menyebarkan gerakan-gerakan radikal dan teroris. Nyonya Theresa May – baik sewaktu menjabat menteri dalam negeri atau perdana menteri Inggris – berulang kali menyinggung esensi kelompok takfiri dan teroris Daesh.
Pada 30 September 2014, May dalam pidatonya setelah pekerja kemanusiaan Inggris, David Haines dibunuh oleh teroris Daesh di Suriah, mengatakan, "Para ekstremis percaya bahwa tidak mungkin menjadi Muslim yang baik sekaligus warga negara Inggris yang baik. Dan mereka menganggap siapa saja yang tidak setuju dengan mereka, termasuk Muslim lainnya sebagai orang yang tidak beriman."
"Ideologi kebencian ini tidak ada hubungannya dengan Islam. Dan itu ditolak oleh mayoritas Muslim di Inggris dan di seluruh dunia," tegasnya.
Meski para pejabat Barat mengetahui esensi Islam hakiki, tetapi mereka tidak mengambil langkah apapun untuk meredam kampanye Islamophobia dan serangan media Barat terhadap Islam.
Mengikuti setiap insiden serangan terorisme, kampanye Islamophobia dan serangan terhadap warga Muslim serta tempat-tempat ibadah umat Islam di Barat semakin gencar dilakukan.
Arab Saudi mendukung Daesh dan kelompok-kelompok teroris lainnya.
Surat kabar The Independent Inggris dalam sebuah laporan pada 7 Juli 2017 menulis, "Kejahatan yang melibatkan diskriminasi rasial dan agama melonjak pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak referendum Brexit. Data yang diperoleh oleh polisi Inggris menunjukkan insiden yang terkait dengan kebencian naik sebesar 23 persen dalam 11 bulan pasca referendum Brexit, dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya dan menandai kenaikan yang tak tertandingi. Di beberapa daerah Inggris dan Wales, kejahatan berbasis kebencian meningkat lebih dari 40 persen, dan beberapa daerah termasuk Gwent, Nottinghamshire dan Kent melonjak lebih dari setengahnya dalam setahun."
Kelompok-kelompok agama dan organisasi yang mewakili negara asing mengatakan kepada The Independent bahwa mereka telah melihat peningkatan yang signifikan dalam kejahatan ras dan kebencian berbasis agama di seluruh Inggris.
Berbicara secara khusus tentang kejahatan rasial terhadap Muslim, Direktur Tell MAMA, Iman Atta mengatakan, “Kami telah melihat peningkatan signifikan dalam insiden kebencian dan kejahatan terhadap komunitas Muslim di berbagai daerah seperti Greater Manchester, Kent, Liverpool, dan Wales."
Pendiri Keterlibatan dan Pengembangan Muslim (MEND), Sufyan Ismail menuturkan, “Unit Respon Islamophobia kami telah melihat peningkatan yang cukup besar kasus kejahatan rasial yang dilaporkan kepada kami; banyak Muslim merasa lebih rentan dari sebelumnya."
“Kami sudah menangani 23 kasus sejak serangan April 2016 saja yang mencakup; serangan terhadap Muslim di angkutan umum, pemecatan mereka oleh perusahaan-perusahaan besar, dan penolakan terhadap fasilitas ibadah siswa Muslim di sejumlah sekolah," jelasnya.
Perilaku diskriminatif dan rasis terhadap warga Muslim juga meningkat di negara-negara lain Eropa. Salah satu indikator kenaikan ini adalah pertumbuhan kubu sayap kanan ekstrim, kelompok rasis, dan anti-Muslim. Namun, pemerintah-pemerintah Barat tidak berbuat apapun untuk meredam kampanye Islamophobia.
Meski Barat menganggap terorisme sebagai ancaman terbesar bagi keamanannya, tetapi pada prakteknya mereka justru menjalankan kebijakan yang memperkuat dan menyebarkan terorisme dan radikalisme.
Pemerintah Inggris bersama Amerika Serikat, berada di barisan terdepan dalam memperkuat dan menyebarluaskan gerakan takfiri dan terorisme di dunia. Barat tampaknya akan mempertahankan eksistensi kelompok takfiri dan teroris sehingga ada alasan untuk mengobarkan kampanye Islamophobia di Barat dan merusak citra Islam melalui kelompok tersebut.
Selama KTT G-20 di Hamburg pada 2017, salah satu isu yang dibahas adalah pemblokiran sumber-sumber dana kelompok teroris termasuk Daesh. Semua peserta KTT termasuk Arab Saudi mendukung gagasan ini.
Hampir semua petinggi di Barat mengetahui negara mana yang memberikan dukungan finansial dan ideologis kepada kelompok-kelompok teroris takfiri. Di Inggris, ada dua penelitian yang dilakukan untuk menelusuri sumber dana kelompok teroris.
Lembaga think tank Henry Jackson Society (HJS) dalam laporannya pada Juli 2017 menulis, "Arab Saudi adalah penyandang utama dana untuk terorisme di Inggris. Saudi menghabiskan dana 3,1 miliar poundsterling per tahun di seluruh dunia untuk mempromosikan interpretasi Islam yang cocok untuk ekstremisme."
Direktur Pusat Riset Frankfurt untuk Islam Global (FFGI), Susanne Schroter mengatakan, "Sebuah penelitian di Inggris menunjukkan bahwa Arab Saudi memainkan peran sentral dalam radikalisasi umat Islam. Pengaruh Wahabi juga didorong di Jerman dengan uang minyak. Saudi mengekspor ekstremisme ke banyak negara termasuk Jerman."
"Temuan Henry Jackson Society (HJS) tidak mengejutkan saya sama sekali. Sudah lama diketahui bahwa Arab Saudi mengekspor ideologi Wahabi. Saudi tidak hanya memberikan uang, tetapi juga materi propaganda kepada orang-orang yang tertarik. Mereka ditugaskan untuk membangun masjid, lembaga pendidikan, pusat budaya, dan semacamnya. Pusat-pusat ini kemudian dipakai untuk menyebarkan ideologi Wahabi."
Menurut Schroter, ekspor Wahabisme meningkat terutama setelah Revolusi Islam di Iran. Revolusi ini telah mengguncang Saudi. Riyadh kemudian mulai membangun hubungan dengan para mitranya di Asia, Afrika, dan juga di sebagian Eropa untuk menyebarkan paham Wahabi.
Penelitian kedua tentang sumber pendanaan dan ideologi kelompok teroris dilakukan atas permintaan Perdana Menteri Inggris waktu itu, David Cameron dan riset ini baru selesai pada masa pemerintahan Theresa May.
Namun, pemerintah Inggris melarang penerbitan hasil penelitian tersebut, karena dianggap akan berdampak negatif pada hubungan strategis London dengan Riyadh.
Negara-negara Barat, terutama Inggris dan AS memiliki hubungan erat dengan Al Saud – sebagai pendukung utama gerakan takfiri dan teroris – di bidang politik, militer, dan ekonomi. Oleh karena itu, perang kontra-terorisme yang dikobarkan Barat tidak perlu dianggap serius.
Ideologi radikal dan ekstrem harus dilawan langsung dari sumbernya dan perang ini tidak akan sukses dengan hanya memperketat keamanan dan meningkatkan operasi intelijen.
Namun, bukti-bukti menunjukkan bahwa Barat bukan hanya tidak ingin memblokir sumber dana kelompok-kelompok teroris, tetapi justru bergerak ke arah penguatan kampanye Islamophobia dan gerakan-gerakan takfiri dan teroris.
Islamophobia di Barat (2)
Fenomena terorisme di Eropa sedang mengalami perubahan pola baik dari segi pelaku teror maupun korban, berbeda dengan tindakan terorisme sebelum ini. Dalam rentang waktu dua minggu, berita tentang serangan terhadap warga Muslim di Inggris dan Perancis menghiasi media-media dunia dan kemudian hilang begitu saja.
Berita pertama terkait dengan serangan ke sejumlah jamaah shalat di sebuah masjid di London, yang menewaskan satu orang dan menciderai delapan lainnya. Persis satu pekan setelah itu, sebuah mobil menabrak kerumunan jamaah shalat Idul Fitri di kota Newcastle, London. Enam orang, termasuk tiga anak-anak terluka dalam serangan ini.
Di Perancis, seorang pria ditahan oleh kepolisian Perancis setelah mencoba menabrakkan mobilnya ke arah kerumunan orang yang berada di depan Masjid Creteil di Paris. Serangan ini gagal karena tempat pejalan kaki di depan masjid lebih tinggi dari permukaan jalan raya.
Seorang saksi mata menuturkan, "Kami melihat mobil tersebut mondar-mandir di sekitar masjid hingga tiga kali, dan tiba-tiba melaju sangat cepat. Jelas sekali ini sebuah serangan yang menyasar pejalan kaki." Namun, aksi pria tersebut gagal dan mobilnya terhenti setelah membentur kendaraan lain.
Anehnya, para politisi dan media-media di Eropa mengeluarkan reaksi yang biasa terhadap serangan tersebut, dan tidak ada yang berbicara tentang teroris atau serangan terorisme.
Media-media Barat tidak mengorek latar belakang agama pelaku serangan. Berita tentang serangan itu tidak mendapat sorotan yang proporsional dan terlupakan begitu saja. Para pejabat keamanan Inggris dan Perancis juga meragukan adanya motif teror dalam serangan tersebut.
Padahal, jika para korbannya non-Muslim dan pelakunya menyandang nama Islami atau berasal dari salah satu negara Muslim, maka dinas-dinas intelijen dan keamanan serta media-media Barat akan menyajikan informasi secara bias.
Terorisme muncul dari ideologi dan pemikiran radikal yang disebarkan oleh individu atau kelompok tertentu. Radikalisme tidak terbatas pada agama atau mazhab tertentu, dan agama mana pun khususnya agama Samawi tidak bisa dianggap sebagai penyebar kekerasan dan radikalisme.
Namun, Eropa dan masyarakat Barat berusaha mengesankan adanya hubungan langsung antara Islam dan terorisme. Kebanyakan politisi dan media-media Barat memperkenalkan Islam sebagai agama sponsor terorisme.
Menurut perspektif mereka, semua individu Muslim adalah teroris kecuali terbukti sebaliknya. Bahkan jika pelaku teror penduduk asli Eropa, tidak ada seorang pun yang akan menyampaikan permintaan maaf atau meralat tuduhannya terhadap Islam dan Muslim.
Serangan propaganda anti-Islam dan Muslim secara praktis sudah melakat di benak masyarakat Barat. Serangan ini bertujuan menyebarkan Islamophobia dan sentimen anti-Muslim.
Negara-negara Barat kemudian menerapkan pembatasan ketat bagi warga Muslim di Eropa dengan alasan membenarkan perang kontra-terorisme di wilayah Timur Tengah. Kebijakan Islamophobia ini mencakup masalah pakaian Islami kaum Muslimah atau pembatasan pengajaran bahasa Arab.
Kebijakan Islamophobia di Barat juga memunculkan sebuah dampak lain yaitu maraknya praktik diskriminasi rasial dan agama serta meningkatnya serangan rasis terhadap warga Muslim.
Negara-negara Eropa menghadapi model baru terorisme yaitu terorisme rasialis. Namun mereka mengabaikan fakta ini dan menganggapnya tidak penting. Para teroris rasialis Eropa berusaha meniru gaya teroris Daesh dan Al Qaeda untuk menyerang Muslim.
Protes anti-rasis di selatan London. (Dok)
Di masa lalu, kelompok-kelompok rasis Eropa hanya melakukan aksi protes anti-Muslim atau menyerang masjid dan pemakaman warga Muslim dengan slogan-slogan rasis. Tetapi, para teroris rasialis kini meniru gaya teroris takfiri dalam menargetkan warga Muslim.
Pemerintah-pemerintah Eropa tidak seharusnya mengabaikan fenomena ini. Persentase warga Muslim di negara-negara Eropa terbilang besar dan Inggris saja, lebih dari tiga juta Muslim tinggal di negara itu. Populasi Muslim terbesar tinggal di Perancis dengan jumlah hampir lima juta orang. Warga Muslim dalam jumlah yang signifikan juga terbesar di negara-negara lain Eropa.
Populasi Muslim Eropa diproyeksikan melebihi 58 juta orang pada 2030. Muslim saat ini mencapai sekitar 6 persen dari total populasi Eropa. Pada 2030, jumlah Muslim diperkirakan mencapai 8 persen dari populasi Eropa.
Benua Eropa – yang berbatasan dengan wilayah berpenduduk Muslim di Timur Tengah – tidak bisa mengabaikan pengaruh Islam dan warga Muslim di wilayah Eropa. Perlu dicatat bahwa meningkatnya serangan teroris rasialis terhadap Muslim akan menciptakan persoalan keamanan baru bagi pemerintah Eropa.
Perilaku rasis dapat memicu penyebaran kebencian di antara para pemeluk agama. Untuk itu, negara-negara Eropa perlu memperjelas definisinya tentang terorisme dan mengakhiri standar ganda.
Pembagian terorisme dalam kategori "baik" dan "buruk" sudah tidak efisien lagi dari segi politik dan propaganda, dan negara-negara Eropa sendiri menghadapi ancaman terorisme yang lahir dari dalam. Eropa sedang menghadapi ancaman terorisme tidak dari luar geografinya, tetapi dari dalam perbatasannya.
Perang kontra-terorisme tidak akan berhasil jika hanya memperketat keamanan dan meningkatkan kegiatan intelijen. Eropa perlu menunjukkan tekad seriusnya untuk menghapus terorisme dalam segala bentuknya.
Salah satu langkah ini bisa dilakukan dengan memperbaiki hubungan Eropa dengan negara-negara, yang mempromosikan paham radikal dan ekstrim di wilayah Timur Tengah dan dunia.
Ketua Partai Buruh Inggris, Jeremy Corbyn menyerukan peninjauan ulang hubungan Inggris dengan Arab Saudi dan menghentikan penjualan senjata ke negara itu. Namun, perlu dilihat apakah ia akan tetap konsisten jika suatu saat memimpin Inggris atau bertindakan seperti Perdana Menteri Theresa May, yang memprioritaskan kepentingan ekonomi dan politik dalam penjualan senjata ke Arab Saudi daripada kepentingan lain.
Islamophobia di Barat (1)
Program berseri ini akan menyoroti peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan fenomena Islamophobia di dunia, khususnya di negara-negara Barat. Seri pertama akan menyelisik tindakan terorisme terhadap warga Muslim di Inggris dan reaksi bias atas insiden itu.
Warga Muslim menjadi korban dalam serangan teroris di London, Inggris pada Juni 2017. Sebuah mobil van pada pada Senin malam (19 Juni 2017) menabrak kerumunan Muslim pejalan kaki setelah usai menunaikan shalat tarawih di Masjid Finsbury Park, London. Serangan ini menewaskan dua orang dan menciderai beberapa lainnya.
Sekretaris Jenderal Dewan Muslim Inggris, Harun Khan mengatakan pelaku secara sengaja mengarahkan mobilnya untuk melindas para jamaah yang baru saja pulang dari masjid.
Dewan Muslim Inggris menyebut insiden itu sebagai kesengajaan dan terkait dengan Islamophobia. Dewan meminta aparat Inggris untuk memperketat pengamanan di sekitar masjid.
Wali Kota London, Sadiq Khan dalam sebuah pernyataan menyebut penabrakan sebagai serangan teroris mengerikan, yang sengaja ditujukan kepada warga tak berdosa.
Insiden ini memiliki tiga perbedaan dengan tiga peristiwa serangan teror yang terjadi sebelumnya di Inggris. Pertama, berbeda dengan kasus serangan teror lainnya, di sini tidak ada seorang pun yang berbicara tentang agama si pelaku teror. Kedua, Daesh dan kelompok teroris lain tidak ada yang mengaku bertanggung jawab atas serangan terhadap Muslim London.
Dalam kasus serangan teroris sebelumnya di Inggris, komunitas Muslim selalu menjadi tertuduh pertama sebagai pelaku. Tidak berapa lama kemudian, Daesh atau Al Qaeda merilis pernyataan yang mengaku bertanggung jawab atas serangan itu.
Tudingan tersebut dan klaim pertanggung jawaban oleh Daesh atau Al Qaeda bertujuan untuk menyebarluaskan Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Eropa.
Dan ketiga, sorotan media dan perhatian politisi Inggris yang sangat terbatas terhadap serangan teror di Masjid Finsbury Park.
Polisi Inggris mengepung lokasi serangan teror di London. (Dok)
Serangan teror terhadap jamaah shalat di London berakar pada rasisme, diskriminasi rasial, Islamophobia, dan sentimen anti-Muslim di negara-negara Eropa. Namun, para politisi, media, dan dinas-dinas intelijen Eropa menganggap radikalisme dalam Islam sebagai penyebab tindakan terorisme di Benua Biru.
Di setiap kasus serangan teror di Eropa, otoritas keamanan menyelidiki latar belakang agama terduga pelaku dan kemudian negara asalnya. Pola penyelidikan seperti ini sejalan dengan kampanye dan penyebaran Islamophobia. Namun, serangan London yang menelan korban dari pihak Muslim sama sekali tidak berbicara tentang agama pelaku atau negara asalnya. Karena serangan teror ini dianggap berbeda dengan kasus-kasus teror lainnya.
Identitas pelaku teror di London adalah seorang pria Kristen Inggris berusia 48 tahun, dan ketika melakukan aksinya dia berteriak, "Aku ingin membunuh semua Muslim."
Lalu, apakah bisa dikatakan agama Kristen sebagai sponsor terorisme hanya karena pelaku serangan itu seorang pemeluk Kristen? Analis mana pun di dunia tidak memberikan analisa seperti ini atas serangan teror terhadap jamaah Muslim di London.
Namun, mengapa negara-negara Eropa dan Barat mengaitkan serangan teroris di Eropa dan dunia dengan ajaran Islam. Dengan propaganda ini mereka menganggap semua Muslim teroris dan bom yang bergerak.
Dinas-dinas intelijen dan keamanan Eropa juga memberikan perlakuan yang berbeda dalam menangani individu Muslim terduga teroris dengan pelaku dari agama lain.
Anehnya lagi, serangan yang dilakukan oleh non-Muslim tidak dianggap sebagai tindakan teroris. Tim psikolog dan kriminolog biasanya langsung dibentuk untuk menyelidiki motif kejahatan, dan akhirnya diumumkan bahwa pelaku serangan mengalami gangguan jiwa. Tetapi, narasinya akan berbeda jika pelaku memiliki identitas Muslim atau berasal dari salah satu negara Islam.
Jadi dalam literatur politik dan media Barat, kata "teroris" dan "terorisme" dikaitkan dengan individu Muslim dan Islam. Kebijakan yang diadopsi oleh pemerintah, politisi, dan media-media Barat ini sepenuhnya bias dan tendensius.
Insiden serangan terhadap jamaah Muslim di London. (Dok)
Negara-negara Muslim menikmati posisi strategis dari segi geografi, ekonomi, politik, dan budaya di dunia. Sementara itu, negara-negara Barat – pasca runtuhnya Uni Soviet – merasa perlu menciptakan musuh di dunia Muslim untuk menikmati posisi strategis yang istimewa ini dan memperluas pengaruhnya.
Dengan demikian, negara-negara Barat yang dikomandoi oleh Amerika Serikat dan Inggris mendukung gerakan radikal dan takfiri di negara-negara Muslim Timur Tengah dan Asia Selatan dalam melawan gerakan penuntut keadilan dan anti-hegemoni.
Barat dengan kebijakan ini mencoba merusak citra Islam dan menjustifikasi kebijakan intervensifnya di kawasan dengan dalih memerangi terorisme dan radikalisme. Kebijakan anti-Islam ini bisa dipahami lebih dalam dari pidato Theresa May ketika menjabat sebagai menteri dalam negeri Inggris.
Pada 30 September 2014, May dalam pidatonya setelah pekerja kemanusiaan Inggris, David Haines dibunuh oleh teroris Daesh di Suriah, mengatakan, "Para teroris yang membunuh David Haines suka menyebut diri mereka sebagai Negara Islam. Tetapi saya akan katakan yang sebenarnya; Mereka tidak Islami dan mereka bukan negara. Tindakan mereka sama sekali tidak memiliki dasar dalam apapun yang ditulis dalam al-Quran."
Pernyataan ini menunjukkan bahwa para pejabat Barat memahami dengan baik ajaran Islam yang berlandaskan pada perdamaian dan keadilan. Meski menyadari fakta ini, Barat tetap mendukung gerakan takfiri dan teroris serta rezim-rezim yang mensponsori terorisme.
Kala itu statemen Theresa May tidak memperoleh sambutan dari para pejabat Inggris. Mungkin pernyataan ini dianggap tidak sejalan dengan kebijakan dan tindakan pemerintah Inggris serta beberapa negara Eropa di Suriah dan Irak.
Theresa May tentu saja tidak pernah mengulangi pernyataan tersebut meskipun Daesh mengaku bertanggung jawab atas tiga serangan teror di Inggris. Waktu itu, dia mungkin menyampaikan pidato secara emosional karena kematian mengerikan David Haines dan setelah itu, tidak lagi berbicara tentang kebringasan Daesh.
Dalam pidatonya, May juga menyinggung poin lain yang mengindikasikan pengetahuannya tentang kandungan al-Quran dan ajaran Islam.
"Ideologi kebencian ini tidak ada hubungannya dengan Islam. Dan itu ditolak oleh mayoritas Muslim di Inggris dan di seluruh dunia. Al-Quran mengatakan, "Wahai manusia! Kami menciptakan Anda dari satu (pasangan) laki-laki dan perempuan, dan membuat Anda menjadi bangsa dan suku, sehingga kamu dapat saling kenal." Jadi, biarkan pesan ini keluar dari aula ini bahwa para ekstremis tidak akan pernah berhasil memecah-belah kita. Biarkan pesan ini keluar bahwa kita tahu Islam adalah agama damai dan itu tidak ada hubungannya dengan ideologi musuh kita. Mari kita berdiri berdampingan dengan Muslim Inggris yang datang bersama dan mengatakan 'bukan atas nama saya.' Kita harus melakukan apa saja untuk mengalahkan ideologi ini dan mencegah radikalisasi kaum muda Muslim Inggris," tegasnya.
Dengan pengetahuannya yang luas tentang ajaran Islam, Theresa May justru menjual senjata milyaran dolar kepada Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, yang mendukung Daesh dan menyebarkan ideologi terorisme.
Jadi, harus dikatakan bahwa pemerintah Inggris ikut terlibat dalam kejahatan yang dilakukan teroris takfiri mulai di Suriah dan Irak sampai di kota-kota Eropa.
Syeikh Thusi (1)
Abu Jakfar Muhammad bin Hasan bin Ali bin Hasan al-Thusi atau lebih dikenal dengan Syeikh Thusi atau juga sering disebut dengan nama Syeikh al-Thaifah (pembesar kaum/pemuka Syiah), adalah seorang faqih, ahli hadis, dan teolog besar Syiah yang hidup pada abad kelima Hijriyah.
Syeikh Thusi lahir pada bulan Ramadhan tahun 385 H/995 di Tus (Khurasan, Iran). Dia adalah salah satu tokoh besar dunia Islam dan Syiah yang memiliki banyak karya dan memberikan kontribusi luar biasa di berbagai bidang agama seperti fiqih, yurisprudensi, hadis, tafsir, teologi, dan ilmu rijal (pengenalan para perawi dan sifat-sifat mereka).
Syeikh Thusi adalah murid istimewa dari Syeikh Mufid dan Sayid Murtadha. Ia menjadi pemimpin mazhab Syiah dan guru besar teologi di dunia Islam sepeninggal guru-gurunya tersebut. Syeikh Thusi adalah penulis dua kitab dari empat kitab rujukan hadis Syiah yaitu kitab al-Istibshar dan at-Tahdzib, dan pendiri Hauzah Ilmiah Najaf.
Sejarah kehidupan Syeikh Thusi tidak banyak diketahui hingga beranjak usia 23 tahun, tetapi kemungkinan besar ia menghabiskan masa-masa itu untuk mempelajari ilmu agama di kota asalnya, Tus. Di masa itu, Tus adalah salah satu dari empat kota yang terkenal di Khurasan yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Ghaznawiyah selama periode kehidupan Syeikh Mufid. Masyarakat Syiah di sana berada di bawah penindasan dan tidak bisa bernafas lega.
Kota Tus adalah salah satu kota yang paling terkenal dari segi budaya. Penyair dan ilmuwan besar lahir di kota tersebut seperti Ferdowsi, Khajeh Nasir al-Din Tusi dan Muhammad al-Ghazali al-Thusi. Keluarga Syeikh Tusi telah melahirkan para fuqaha dan ulama selama beberapa generasi. Putra Syeikh Tusi merupakan seorang faqih besar dan dikenal sebagai "Mufid Thani" karena kedudukan sosial dan pengaruhnya di bidang agama.
Putri-putri Syeikh Tusi juga tercatat sebagai ahli fiqih dan ilmuwan, dan cucunya bahkan menduduki posisi sebagai marja' (faqih dan ulama rujukan) dan pemimpin hauzah ilmiah. Karena ilmu dan takwa, keluarga Syeikh Tusi tercatat sebagai tokoh, ilmuwan, dan marja' yang berpengaruh di masanya.
Pada usia 23 tahun, Syeikh Tusi berhijrah ke Baghdad pada tahun 408 untuk melanjutkan pendidikannya dan menimba ilmu dari para ulama besar, dan ia menetap di Irak hingga akhir hayatnya. Dia belajar kepada Syeikh Mufid selama lima tahun dan setelah gurunya wafat, ia berguru kepada Sayid Murtadha selama bertahun-tahun.
Syeikh Tusi tetap tinggal di Baghdad selama 12 tahun setelah wafat gurunya, Sayid Murtadha. Ia memimpin komunitas Syiah dan kediamannya di daerah Karkh, Baghdad menjadi tempat rujukan dan tumpuan umat Islam. Banyak ulama dan ilmuwan dari berbagai penjuru negeri Islam melakukan perjalanan ke Baghdad untuk berguru kepada Syeikh Tusi.
Jumlah murid Syeikh Tusi dari para faqih dan mujtahid Syiah mencapai lebih dari 300 orang, dan pada saat yang sama beberapa ratus ulama Sunni juga menimba ilmu darinya.
Syeikh Tusi menetap di Baghdad selama hampir 40 tahun untuk belajar dan mengajar. Di masa kekuasaan Tughril Bey dari Dinasti Seljuk, orang-orang fanatik anti-Syiah menyerang pemukiman Syiah di Baghdad dan membunuh serta menjarah properti mereka. Kediaman Syeikh Tusi tidak luput dari aksi penjarahan ini. Orang-orang jahil ini menyerang rumahnya dengan tujuan membunuh Syeikh Tusi. Ketika ia tidak ditemukan di rumahnya, mereka membakar buku-buku dan isi rumah.
Peristiwa ini menunjukkan kondisi sulit yang dihadapi para ulama Syiah pada masa itu. Pasca insiden tersebut, Syeikh Tusi memutuskan hijrah dari Baghdad ke Najaf. Najaf pada waktu itu hanya sebuah desa kecil di mana sejumlah kecil warga Syiah tinggal di dekat kompleks makam Imam Ali as.
Setelah situasi mulai kondusif, Syeikh Tusi mendirikan Hauzah Ilmiah Najaf yang kemudian berubah menjadi pusat pendidikan terbesar di kalangan Syiah. Tidak lama kota ini berubah menjadi pusat keilmuan dan pemikiran Syiah. Tentunya sebagian orang yakin bahwa sebelum kedatangan Syeikh Tusi di Najaf juga sudah berdiri halaqah-halaqah ilmiah, namun peran ia telah mengokohkan dan mengatur Hauzah Ilmiah Najaf menjadi lebih rapi. Hauzah Ilmiah Najaf sudah berusia lebih dari 10 abad dan melahirkan ribuan faqih dan mujtahid di sepanjang periode itu.
Konsep pemikiran Syeikh Tusi merupakan penyempurna konsep pemikiran Syeikh Mufid dan Sayid Murtadha. Pandangannya bertumpu pada argumentasi rasional dan naratif. Sebelumnya kami katakan bahwa mengabaikan kemampuan nalar dan hanya berpaku pada lahiriyah ayat dan hadis, telah memperlambat gerakan dan perkembangan ilmu fiqih dan yurisprudensi. Kondisi ini menyebabkan munculnya penyimpangan dalam akidah masyarakat.
Syeikh Mufid dan Sayid Murtadha dengan perhatian khususnya pada kemampuan nalar dalam memahami al-Quran dan hadis, membuka jalan yang terang bagi kaum Syiah. Syeikh Tusi juga menekuni bidang ijtihad dan dengan memberikan perhatian khusus pada kemampuan nalar dalam memahami agama, ia berjuang melawan kesalahpahaman beberapa pihak dan kedangkalan pemikiran mereka.
Diskusi ilmiah, seminar, dan penulisan buku-buku teologis berkembang dengan pesat pada abad keempat dan kelima Hijriyah. Syeikh Tusi karena posisi ilmiahnya yang tinggi, ditunjuk oleh khalifah untuk memimpin kemajuan ilmu kalam.
Kota Najaf, Irak.
Kalam adalah ilmu yang membahas prinsip-prinsip akidah dan pandangan dunia religius yang berdasarkan pada argumentasi akal dan teks untuk menjawab kerguan-keraguan di bidang akidah. Syeikh Tusi meninggalkan lebih dari 15 karya teologis dan yang paling penting adalah kitab Talkhis al-Shafi, yang akan kami perkenalkan pada seri berikutnya.
Ayatullah Syahid Murtadha Mutahhari, seorang pemikir dan cendekiawan Muslim dari Iran mengatakan, “Syeikh Tusi adalah contoh sempurna dari manifestasi Islam dalam tubuh orang Iran. Dari kehidupan orang-orang seperti Syeikh Tusi, dapat dipahami bagaimana spiritualitas Islam telah menembus jauh ke dalam jiwa orang-orang di wilayah ini, sehingga orang-orang seperti Syeikh Tusi telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk melayani agama ini tanpa pernah istirahat.”
Syeikh Tusi tinggal di Najaf selama 12 tahun. Ia wafat pada malam Senin, 22 Muharram tahun 460 H/1068. Jenazahnya dimandikan oleh murid-muridnya dan dikuburkan di rumahnya. Sesuai wasiat dari almarhum, rumah yang ditinggalinya dibangun menjadi masjid. Masjid Syeikh Thusi sampai saat ini menjadi masjid yang paling terkenal di kota Najaf.