کمالوندی

کمالوندی

Senin, 21 September 2020 18:59

Islamophobia di Barat (22)

 

Keputusan Presiden AS Donald Trump mengakui Baitul Maqdis sebagai ibukota rezim Zionis Israel harus dianggap sebagai kasus terbaru Islamophobia yang dilakukannya.

Setelah menang pilpres AS, Trump membuat keputusan atas dasar dua prinsip. Salah satu slogan kampanye Trump selama pilpres adalah America First. Berdasarkan prinsip ini, Trump meninggalkan Kesepakatan Perdagangan Trans-Pasifik demi melindungi industri dan sektor bisnis Amerika.

Trump juga menarik AS keluar dari Perjanjian Iklim Paris, menangguhkan pembicaraan perdagangan bebas dengan Uni Eropa, dan mengancam akan mundur dari Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA). Dia juga mendesak sekutu di Eropa untuk berkontribusi lebih besar dalam pembiayaan NATO.

Prinsip kedua Trump didasarkan pada Islamophobia dan masukan dari lobi-lobi Zionis di AS. Tentu saja ini adalah prinsip yang dipegang oleh semua presiden AS. Namun tidak ada mantan presiden AS yang seperti Trump, di mana benar-benar disetir oleh lobi Zionis dan terang-terangan mengambil posisi anti-Islam.

Pasca peristiwa 11 September, Presiden George W. Bush menggambarkan insiden itu sebagai babak baru Perang Salib. Sikap Bush ini disikapi negatif di tingkat global, terutama di negara-negara Muslim sehingga memaksa Bush mengoreksi ucapannya. Tapi Trump tidak peduli dengan tuduhan anti-Islam.

Trump menunjuk menantunya keturunan Yahudi, Jared Kushner sebagai penasihat tinggi untuk urusan Timur Tengah. Dia mendukung keras kebijakan imperialistik Benjamin Netanyahu di wilayah pendudukan Palestina. Dalam aksi anti-Islam pertamanya, Trump melarang warga dari beberapa negara Muslim memasuki Amerika.

Meski perintah tersebut ditangguhkan oleh beberapa hakim, namun kebijakan imigrasi Trump akhirnya dilaksanakan pada awal Desember 2018 atas perintah tujuh dari sembilan hakim agung AS. Pelaksanaan kebijakan ini mendapat respon negatif di tingkat Amerika dan dunia.

Seorang demonstran mengangkat poster yang mengatakan "Islamophobia bukanlah jawaban" pada kampanye Donald Trump di kota Oklahoma, 2016.
Dewan Kota New York menentang keputusan tersebut dan memandangnya sebagai kebijakan yang didasari kebencian dan Islamophobia. Dewan menyatakan bahwa pihaknya akan terus mendukung dan menyambut siapa saja terlepas dari latar belakang agama atau status mereka sebagai imigran.

Mahkamah Agung AS mengukuhkan kebijakan imigrasi Trump dan keputusan ini merupakan bentuk yang paling nyata dari kampanye Islamophobia. Satu hari setelah keputusan ini, Council on American-Islamic Relations of Florida mengabarkan penangkapan Bernardino Bolatete yang berniat melakukan serangan masif terhadap sebuah masjid di Florida.

Council on American-Islamic Relations of Florida menyatakan, “Kekerasan dan kejahatan rasial terhadap Muslim di Florida adalah nyata. Dua masjid menjadi sasaran pembakaran dalam waktu kurang dari enam bulan. Bolatete adalah seorang ekstremis anti-Muslim yang diduga mempersiapkan pembantaian orang-orang Muslim tak berdosa di pusat Islam Amerika dalam apa yang bisa ditafsirkan sebagai tindakan terorisme."

"Ini seharusnya menjadi perhatian tidak hanya masyarakat Muslim, tetapi semua penduduk Florida terlepas dari agama mereka," tambahnya.

Trump biasanya langsung menunjuk kaum Muslim atas setiap insiden serangan teror di Eropa dan Amerika. Namun, penembakan brutal di Las Vegas telah membuat Trump bungkam. Penembak adalah warga Amerika yang tidak memiliki latar belakang kriminal atau hubungan dengan kelompok teroris takfiri.

Sebelum mengumumkan Baitul Maqdis sebagai ibukota rezim Zionis, Trump memposting ulang tiga tweet anti-Islam. Retweet ini mengundang reaksi negatif di Eropa terutama di Inggris. Perdana Menteri Inggris, Theresa May mengkritik Trump karena me-retweet video anti-Muslim dari seorang pemimpin kelompok sayap kanan Inggris Britain First, Jayda Fransen. May menganggap tindakan Trump sebagai hal yang salah untuk dilakukan.

Dalam pandangan publik Inggris dan para pejabatnya, tindakan Trump me-retweet video anti-Islam Jayda Fransen – terlepas dari sebuah gerakan anti-Muslim – akan merusak stabilitas dan keamanan sosial Inggris serta mendorong perilaku ekstrem di negara Eropa itu. Kementerian Dalam Negeri Inggris menganggap Britain First sebagai kelompok yang menyebarkan kebencian dan kekerasan.

Dalam menanggapi kritikan PM Inggris, Trump memposting cuitan yang menyerang Theresa May dan menulis, "Jangan fokus kepada saya, fokus kepada teroris Islam radikal yang saat ini sudah ada di Inggris. Kami baik-baik saja!"

Gelombang populis yang menentang imigran terutama Muslim, semakin menguat di negara-negara Eropa selama beberapa tahun terakhir. Mereka diyakini ikut membantu kemenangan Trump di Amerika. Kalangan populis telah memproduksi banyak video dan klaim bohong tentang masyarakat Muslim dan imigran, dan mereka mendapat dukungan dari kubu kanan ekstrem di Eropa.

Video-video yang disebarkan ulang oleh Trump merupakan video yang dibuat oleh Jayda Fransen untuk memfitnah masyarakat Muslim. Video pertama British First berjudul "Migran Muslim memukuli bocah Belanda yang mengenakan tongkat penyangga." Klaim ini dibantah oleh para pejabat Belanda dan mereka mengklarifikasi bahwa sosok dalam video tersebut bukan imigran, tetapi warga yang lahir di Belanda.

Video kedua diberi judul "Muslim menghancurkan patung perawan Maria." Tidak jelas dimana video itu direkam, tetapi sebagian media menyebutkan bahwa video tersebut tampaknya direkam di Suriah.

Video ketiga yang diunggah Jayda Fransen berjudul, "Massa Islamis mendorong remaja dari atap dan memukulnya sampai mati." Jelas bahwa video ini terkait dengan pemberontakan di Mesir pada tahun 2013 dan memperlihatkan aksi sekelompok orang yang melempar seorang pria dari atas bangunan. Para pelaku telah dijatuhi hukuman pada 2015 dan salah satu dari mereka divonis mati.

Keputusan Trump mengakui Baitul Maqdis ibukota rezim Zionis, tidak mendapat dukungan dari sekutu-sekutu AS. Mereka menganggap langkah itu akan memicu ketegangan dan menghancurkan pencapaian perundingan kompromi.

Tindakan Trump memicu reaksi negatif dari negara-negara Muslim dan umat Islam. Pemimpin redaksi surat kabar Rai al-Youm, Abdel Bari Atwan mengatakan, "Trump adalah seorang presiden rasis, seorang makelar, dan seorang anti-Arab dan anti-Islam. Sebuah fakta bahwa Trump adalah teman dekat Benjamin Netanyahu dan rezim Zionis. Trump hanya mendengarkan masukan dari Jared Kushner, menantunya. Sejak dulu, persekutuan ini mendukung pembangunan pemukiman ilegal di tanah pendudukan Palestina, Arab dan Islam dan sekarang juga mendukungnya."

Di bagian lain analisanya Abdel Bari Atwan menuturkan, "Saya memberikan kabar gembira kepada kalian bahwa bangsa Palestina akan bangkit melawan Otorita Ramallah, melawan Trump, Netanyahu, dan para pemimpin Arab yang melakukan konspirasi. Orang-orang yang terlibat dalam intifadah pertama, kedua, dan ketiga, akan melakukan perlawanan." 

Senin, 21 September 2020 18:58

Islamophobia di Barat (21)

 

Komisi Hak Asasi Manusia Islam (IHRC) yang berbasis di London, memilih pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi sebagai penerima Islamophobia Awards 2017.

Kejahatan terhadap Muslim Rohingya di Myanmar sudah sangat memilukan sehingga Suu Kyi mengalahkan para nominator lain penerima Islamophobia Awards 2017 termasuk Presiden AS Donald Trump, Ketua Partai Nasional Prancis Marie- Le Pen, dan Ketua Partai Kebebasan Belanda (PVV), Geert Wilders.

Masyarakat internasional mengkritik keras Suu Kyi karena kejahatan tentara Myanmar terhadap Muslim Rohingya dan pengusiran paksa ribuan orang dari negara itu.

Babak baru serangan militer Myanmar terhadap Muslim Rohingya dimulai pada 25 Agustus 2017. Tentara Myanmar membunuh ratusan ribu warga Rohingya, memperkosa ribuan wanita, dan membakar rumah-rumah mereka dengan tujuan pembersihan etnis. Kejahatan rutin militer Myanmar menyebabkan 620 ribu warga Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.

Di Inggris sendiri, Islamophobia Awards 2017 diberikan kepada Tommy Robinson, mantan pemimpin kelompok fasis English Defense League, yang dikenal kerap merilis statemen anti-Islam. Nama-nama lain penerima hadiah tahunan ini adalah Katie Hopkins, presenter televisi, Nigel Farage, mantan pemimpin partai Kemerdekaan Inggris (UKIP), Anne Marie Waters, pendiri partai For Britain, dan Boris Johnson, menteri luar negeri Inggris waktu itu.

Sementara untuk kategori media, stasiun televisi Fox News dinobatkan sebagai peraih Islamophobia Award 2017.

Tentu saja, perilaku pemerintah Eropa dalam mendukung para tokoh anti-Islam bisa disaksikan dari cara mereka menyikapi kampanye Islamophobia di dunia. Salah satu dari perilaku ini adalah sikap mereka di hadapan pemerintah Myanmar.

Para pejabat dan politisi dari negara-negara Eropa telah berkunjung ke Bangladesh dan menyampaikan penyesalan atas situasi kritis yang dihadapi pengungsi Rohingnya. Mereka juga menyerukan agar pengungsi bisa dipulangkan kembali ke Myanmar.

Sebagian pejabat Eropa bahkan telah mengingatkan pemerintah Naypyidaw, tetapi tidak ada tindakan yang diambil oleh Barat untuk menghentikan kebijakan pembersihan di Rakhine. Padahal, negara-negara Barat memiliki semua instrumen yang diperlukan untuk menerapkan tekanan politik, terutama pada pemimpin de facto Myanmar.

Pertemuan Paus Fransisku dan Aung San Suu Kyi di Naypyitaw.
Pada 26 Novemver 2017 lalu, Paus Fransiskus terbang ke Yangon, Myanmar untuk lawatan enam hari. Ribuan minoritas Katolik menyambut kedatangan Paus di Yangon, kota terbesar dan bekas ibukota Myanmar.

Populasi umat Katolik di Myanmar berjumlah sekitar 700 ribu orang. Mereka tidak dikekang untuk bertemu pemimpinnya dan menjalani hidup sesuai dengan ajaran agama Kristen. Jika genosida itu menimpa orang-orang Katolik, apakah Eropa akan tetap bersikap pasif terhadap tragedi kemanusiaan di Myanmar? Apakah mereka akan pergi mengunjungi Aung San Suu Kyi, penerima Hadiah Nobel Perdamaian?

Dalam turnamen olahraga, jika pemenang terbukti berbuat curang atau memakai doping, maka medalinya akan dicabut dan diserahkan kepada peserta di urutan kedua bahkan jika sudah berlangsung lama. Namun, aturan seperti ini tidak berlaku untuk para penerima Hadiah Nobel.

Suu Kyi menerima Hadiah Nobel Perdamaian karena telah melawan junta militer Myanmar selama bertahun-tahun. Namun, ia sekarang justru menutup mata atas pembunuhan ribuan orang Muslim Rohingya dan bahkan menjustifikasinya.

Pemimpin Myanmar ini bahkan tidak menghadiri sidang Majelis Umum PBB di New York karena untuk menghindari kritik dari para pemimpin dunia atas kasus genosida Muslim Rohingya.

Paus Fransiskus dalam pertemuan dengan Suu Kyi di Naypyitaw pada 28 November 2017, hanya menyeru pemerintah Myanmar untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menghormati semua kelompok dan etnisnya. Paus sama sekali tidak menggunakan istilah 'Rohingya' supaya para pemimpin Myanmar tidak tersinggung.

Pemerintah Myanmar tidak mengakui Muslim Rohingya sebagai warga negaranya dan menganggap mereka imigran dari Bangladesh.

Sikap lunak Barat tidak akan mendorong pemerintah Myanmar mengubah kebijakannya terkait minoritas Muslim Rohingya dan menerima kepulangan pengungsi. Pengalaman menunjukkan bahwa tanpa tekanan internasional, pemerintah Myanmar tidak akan mengubah perilakunya. Sikap negara-negara Eropa di hadapan Myanmar dan Suu Kyi juga menunjukkan bahwa mereka tidak akan bertindak lebih jauh selain mengkritik dan mengingatkan.

Sikap standar ganda Eropa juga kembali terlihat dalam kasus sidang Jenderal Ratko Mladic di Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda. ICC menjatuhkan vonis seumur hidup terhadap Mladic, yang memimpin gerakan pembersihan etnis Kroasia dan Muslim di Bosnia.

Jenderal Ratko Mladic telah menjadi buron selama 16 tahun sejak berakhirnya pembersihan etnis atas Muslim Bosnia. Ia pada akhirnya ditangkap di sebuah rumah di kota Beograd dan diserahkan ke ICC.

Kejahatan utama Mladic adalah pembantaian massal delapan ribu pria dan anak-anak Muslim Bosnia di kota Srebrenica.

Namun, ada hal yang tidak disinggung oleh Mahkamah Kejahatan Internasional Den Haag selama persidangan Mladic yaitu peran negara-negara Eropa dalam pembersihan etnis Muslim Bosnia oleh tentara Serbia.

Bagaimana mungkin tragedi kemanusiaan terburuk bisa terjadi di perbatasan negara-negara Barat, yang mengaku sebagai pembela HAM. Mengapa negara-negara Eropa yang memiliki kemampuan intelijen dan militer, tidak mencegah tragedi tersebut.

Gelombang runtuhnya rezim Komunis juga mencapai Yugoslavia pada awal dekade 1990-an. Namun, pemisahan Bosnia-Herzegovina dari Yugoslavia diwarnai tragedi berdarah dan berlangsung lama. Hal ini bisa terjadi hanya karena satu alasan yaitu mayoritas penduduk Bosnia-Herzegovina beragama Islam.

Slovenia mencapai kemerdekaan hanya dalam waktu 10 hari setelah berperang dengan tentara Serbia. Perang Kroasia dengan Serbia untuk memerdekakan diri dari Yogoslavia hanya berlangsung selama tiga bulan. Makedonia terpisah dari Yugoslavia di bawah pimpinan Slobodan Milosevic, tanpa konflik berdarah. Namun, kemerdekaan Bosnia-Herzegovina diwarnai aksi berdarah yang mengerikan.

Tentara Serbia telah melakukan segala bentuk kejahatan terhadap warga Muslim Bosnia. Pembantaian massal, pemerkosaan massal perempuan, dan merobek perut wanita yang sedang hamil, adalah sebagian kecial dari kejahatan yang dilakukan tentara Serbia.

Sebanyak 100.000 orang Muslim tewas dalam perang Bosnia 1992-1995, di mana 8000 dari mereka dibantai di Srebrenica. Semua kejahatan ini terjadi di hadapan negara-negara Eropa.

Perdana Menteri Inggris waktu itu, John Major mengakui sebuah hakikat di tengah terjadinya tragedi pembersihan etnis Muslim. Major mengatakan bahwa ia tidak akan membiarkan sebuah negara Muslim berdiri di Eropa.

Pengakuan ini menunjukkan bahwa para penjahat Serbia tidak mengkhawatirkan sikap pemerintah Eropa dalam melakukan aksi jegalnya di Bosnia. Pada dasarnya, negara-negara Eropa terlibat dalam sebuah kejahatan terhadap Muslim dan mempromosikan kebencian terhadap umat Islam.

Senin, 21 September 2020 18:57

Islamophobia di Barat (20)

 

Kebijakan Presiden AS Donald Trump telah membuat kondisi bagi masyarakat Muslim Amerika bahkan lebih sulit daripada setelah peristiwa 11 September. Kebijakan ini telah mendorong penyebaran Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di tengah publik Amerika.

Hasil riset Biro Investigasi Federal (FBI) menunjukkan bahwa Muslim di Amerika lebih rentan untuk diserang daripada orang Amerika setelah peristiwa serangan 11 September.

Dalam sebuah laporan yang diterbitkan oleh Pew Research Center, jumlah serangan terhadap warga Muslim meningkat tajam selama dua tahun terakhir dan bahkan naik lebih tajam dari serangan anti-Islam pasca 11 September. Pidato-pidato Trump telah meningkatkan kejahatan kebencian terhadap Muslim di Amerika, melebihi daripada serangan teroris.

Juru bicara komunitas Muslim Ahmadiyah di Amerika, Qasim Rashid dalam wawancara dengan majalah Newsweek mengatakan, "Ada hubungan langsung antara kejahatan kebencian dan retorika-retorika Presiden AS dalam tindak kekerasan terhadap warga Muslim."

"Islam selalu menjadi bagian dari masyarakat Amerika, tetapi sekarang ini ada desas-desus bahwa Muslim di Amerika adalah orang asing," tambahnya.

Laporan Pew Research Center pada 2014 mencatat bahwa 62 persen orang Amerika tidak memiliki pengetahuan tentang Muslim, namun jika pengetahuan itu ada, permusuhan terhadap Islam tidak akan mengakar di tengah warga Amerika.

Berdasarkan laporan Southern Poverty Law Center, peningkatan drastis kejahatan rasial selama dua tahun terakhir secara langsung berhubungan dengan kampanye xenofobia dan rasis Donald Trump. Lembaga itu mencatat 307 kasus tindakan kebencian anti-Islam terjadi di Amerika pada 2016 atau naik 19 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Isu Islamophobia dan sentimen anti-Muslim telah menjadi kebijakan strategis Trump dalam kampanye pilpres 2016 dan bahkan setelah bertugas di Gedung Putih. Fokus kebijakannya adalah larangan memasuki AS bagi warga dari beberapa negara Muslim dengan dalih melawan terorisme.

Anehnya, warga negara yang dilarang memasuki Amerika belum pernah terlibat aksi terorisme di negara tersebut dalam beberapa tahun terakhir. Sebaliknya, warga Arab Saudi tidak dikenakan larangan bepergian ke Amerika, padahal 15 dari 19 pelaku serangan 11 September adalah warga Saudi.

Selama kampanye pilpres, Trump mengakui bahwa Daesh adalah kelompok teroris yang dibentuk oleh Barack Obama dan Hillary Clinton dengan bantuan Arab Saudi. Setelah terpilih, Trump menandatangani perjanjian senjata terbesar dengan Saudi dan mengikuti tarian pedang dengan Raja Salman dan para pangeran Saudi di Riyadh.

Perilaku ini menunjukkan bahwa tidak ada bedanya siapa yang mengendalikan Gedung Putih, karena Arab Saudi – sebagai sumber terorisme dan Wahabisme – memiliki tempat khusus dalam kebijakan AS di Timur Tengah. Raja-raja Saudi dengan dukungan AS dan Eropa, juga sama sekali tidak khawatir dalam mempromosikan terorisme dan ekstremisme, seperti pembentukan Daesh.

Tentu saja, Daesh tidak akan menyebar begitu cepat dan menduduki banyak wilayah di Irak dan Suriah jika tanpa dukungan Amerika, Inggris, dan rezim Zionis Israel.

Dengan mendukung kelompok-kelompok Takfiri dan teroris Daesh, AS ingin menghancurkan citra Islam dan berupaya memecah wilayah Suriah dan Irak serta melawan poros perlawanan, yang menentang pendudukan Israel atas tanah Palestina.

AS sebenarnya memanfaatkan isu terorisme Takfiri untuk kepentingan ganda, namun perlawanan dan perjuangan rakyat dan tentara Suriah dan Irak, Hizbullah Lebanon, serta dukungan dan arahan Republik Islam Iran, telah mengalahkan fitnah Arab Saudi dan sekutunya di Barat.

Kekalahan Daesh di Suriah dan kehancuran kelompok-kelompok Takfiri merupakan sebuah langkah besar dalam melawan para perusak citra Islam, yang menyerukan keadilan dan perdamaian, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.

Opini publik di Barat sangat dipengaruhi oleh media-media yang dikendalikan Zionisme internasional. Kebijakan utama mereka adalah merusak citra Islam, melegitimasi pembentukan rezim Israel, dan menjustifikasi kebijakan intervensif pemerintah Barat atas nama memerangi terorisme dan ekstremisme.

Opini publik di Barat tidak memiliki pemahaman yang benar tentang Islam dan pengetahuan umum mereka tentang Islam bersumber dari sajian-sajian Hollywood dan media-media Barat. Oleh karena itu, mereka menyudutkan kaum Muslim atas setiap peristiwa serangan teror dan menjadikan orang Muslim sebagai sasaran serangan rasisnya.

Dengan kekalahan Daesh di tangan rakyat Suriah dan Irak, serta Hizbullah Lebanon, dan para pejuang di Iran, Afghanistan dan Pakistan, maka batas antara penyebar kekerasan atas nama Islam dan para pengikut Islam sejati, menjadi lebih jelas.

AS, Inggris, dan rezim Zionis, bersama dengan Arab Saudi, selalu berupaya menciptakan perselisihan di antara negara-negara Muslim dan mempertahankan konflik di wilayah sensitif dan strategis Timur Tengah. Hanya dengan mempertahankan konflik, mereka dapat mengembalikan dolar impor minyak dengan cara menjual senjata dan kemudian memperkuat posisi rezim penjajah Israel.

Pada dasarnya, tujuan Barat mendukung ideologi ekstrem yang bersumber dari Arab Saudi adalah untuk menciptakan perpecahan dan fitnah di tengah kaum Muslim dan kekacauan di negara-negara Muslim.

Semua negara Barat memandang Arab Saudi sebagai sekutu strategisnya, padahal sama sekali tidak ada keserasian antara klaim Barat terutama AS tentang demokrasi, kebebasan, dan hak asasi manusia dengan model pemerintahan di Saudi.

Hal ini dilakukan karena Arab Saudi membantu kampanye Islamophobia di tengah masyarakat Barat dan negara itu juga menjadi basis yang tepat bagi Barat untuk menciptakan ketidakstabilan di wilayah Timur Tengah. Oleh sebab itu setiap kali kalah, mereka akan menciptakan fitnah baru di kawasan.

Setelah kekalahan Daesh di Irak dan Suriah, rezim Al Saud mulai melirik Lebanon untuk memicu ketegangan politik dan sektarian di negara itu dengan alasan yang tidak berdasar. 

Senin, 21 September 2020 18:56

Islamophobia di Barat (19)

 

Para pemimpin kanan ekstrem Eropa pada 15-16 Desember 2017 bertemu di Praha, Republik Ceko, untuk menyatukan pandangan mereka tentang imigrasi dan isu-isu lainnya.

Pertemuan itu dihadiri oleh para tokoh anti-imigran dan anti-Muslim Eropa seperti Marine Le Pen dari Prancis, Geert Wilders dari Belanda, Matteo Salvini dari Italia, serta para politisi sayap kanan Austria, dan juga sejumlah perwakilan dari Kelompok Bangsa-Bangsa dan Kebebasan Eropa (ENF).

Pertemuan Praha digagas oleh tokoh anti-imigran dan anti-Islam, Tomio Okamura, ketua Partai Kebebasan dan Demokrasi Langsung (SPD) Republik Ceko. Pada pemilu legislatif 2017, partai ini memperoleh hampir 11 persen suara dan masuk ke parlemen Ceko untuk pertama kalinya.

Partai-partai sayap kanan mencatat kesuksesan besar dalam pemilu beberapa tahun terakhir di Eropa, dan mereka telah mengubah peta politik di banyak negara Eropa. Kubu ekstrem kanan meraih sukses di tengah krisis finansial yang dihadapi beberapa pemerintah Eropa, serbuan para imigran, dan ancaman terorisme di benua itu.

Kebijakan pemerintah dan media-media Eropa tentu saja ikut mendorong pertumbuhan kubu sayap kanan di sana. Sebenarnya, partai-partai kanan moderat Eropa sedang berusaha meniru kebijakan dan slogan kubu ekstrem kanan agar tidak kehilangan basis massanya. Sayap ekstrem kanan bahkan menuding kubu kanan moderat telah membajak slogan-slogan mereka.

Sebelum munculnya perkembangan baru di Eropa, masyarakat Eropa telah meninggalkan partai-partai ekstrem kanan dan kelompok nasionalis-ekstrem tidak memiliki basis massa yang kuat. Kemenangan mereka dalam sebuah pemilu, tidak akan terulang di pemilu berikutnya.

Namun saat ini perimbangan itu telah berubah. Kubu kanan dan kiri moderat telah kehilangan basis massanya dan mereka menelan kekalahan besar di setiap pemilu.

Pemilu legislatif Republik Ceko menjadi contoh terbaru dalam kasus ini. Kubu ekstrem kanan dan anti-Islam meraih kemenangan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Ceko, sejak pembagian Cekoslowakia menjadi Republik Ceko dan Slowakia.

Di Austria, kubu ekstrem kanan, Partai Kebebasan mencatat kemenangan besar dengan mengantongi hampir 26 persen suara dan menduduki posisi kedua di parlemen Austria. Partai Rakyat Austria (OVP) sebagai pemenang pemilu, hanya memiliki satu opsi untuk membentuk pemerintah yaitu berkoalisi dengan Partai Kebebasan.

Partai Sosial Demokrat Austria (SPO) mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi berkoalisi dengan OVP, setelah 10 tahun menjadi mitra partai tersebut. dengan demikian, kubu ekstrem kanan sekarang resmi duduk di pemerintahan di Republik Ceko dan Austria.

Transformasi lain di Eropa adalah naiknya popularitas partai-partai ekstrem kanan di Jerman. Partai Alternatif Jerman (AfD) meraih 92 kursi parlemen (Bundestag) pada pemilu legislatif 24 September 2017. Ini pertama kali setelah Perang Dunia II di mana kubu ekstrem kanan berhasil duduk di parlemen Jerman.

Tahun 2017 adalah tahun kemenangan partai-partai ekstrem kanan di Benua Biru. Mereka berhasil mengubah peta politik di Eropa dan mendobrak tradisi politik bipolar yang mendominasi sebagian besar negara Eropa. Krisis politik, ekonomi, sosial, dan identitas di Eropa telah menggeser para pemain lama dari panggung politik di benua itu.

Partai moderat kanan dan kiri Eropa dianggap tidak memiliki program untuk memecahkan krisis di Eropa. Oleh karena itu, banyak dari slogan dan program-program mereka tidak berhasil menyita perhatian publik.

Masyarakat Eropa sedang mencari ide-ide baru untuk perubahan politik dan ekonomi di negara mereka. Mereka berpikir partai-partai ekstrem kanan bisa menciptakan perubahan di negaranya.

Banyak pihak lupa bahwa dukungan kepada kubu ekstrem kanan justru akan menyeret negara-negara Eropa dan Uni Eropa dalam banyak persoalan baru serta membuat mereka rentan terhadap krisis. Masalah utama yang dihadapi Uni Eropa saat ini adalah ancaman terhadap integrasi Eropa.

Selain itu kebijakan kubu ekstrem kanan membahayakan kehidupan damai dan rukun di antara berbagai etnis dan imigran (generasi pertama) terutama komunitas Muslim dengan warga lain Eropa. Sekitar 20 juta Muslim tinggal di berbagai negara anggota Uni Eropa. Jika partai-partai ekstrem kanan ingin menjalankan kebijakan anti-Islam, Eropa akan menghadapi sebuah krisis identitas yang serius.

Salah satu kebanggaan orang-orang Eropa adalah upaya untuk membentuk sebuah masyarakat dengan multikulturalisme. Dalam Piagam Eropa dan konstitusi negara-negara Eropa, menghormati keyakinan beragama diakui sebagai salah satu hak dasar warga negara.


Organisasi dan kubu ekstrem kanan ini mengancam prinsip-prinsip dasar toleransi dan kebebasan yang telah dibangun di Eropa sejak jatuhnya Nazi Jerman.

Saat ini transformasi global bergerak berlawanan dengan proses politik di Eropa. Batas geografi tidak lagi menjadi garis pemisah negara-negara. Kubu ekstrem kanan – dengan kebijakan anti-imigran dan anti-Islam – tidak akan bisa menetapkan bahwa negaranya terpisah dari komunitas dunia dan kemudian membangun tembok di sekelilingnya.

Sebuah bangsa yang mampu berinteraksi dengan dunia dan menerima orang-orang dengan berbagai latar belakang agama dan etnis, akan lebih baik dalam merawat keragaman budaya mereka.

Secara geografis, negara-negara Eropa tidak mungkin bisa mengabaikan perkembangan yang terjadi di sekitar mereka di Timur Tengah dan Afrika. Mereka membutuhkan tenaga kerja murah dan juga keahlian yang dimiliki oleh sebagian imigran.

Tanpa memperhatikan kebutuhan ini dan perkembangan di Timur Tengah dan Afrika, masyarakat Eropa akan menghadapi krisis serius di dalam wilayah mereka sendiri dan dalam hubungannya dengan negara-negara tetangga di kawasan tersebut.

Untuk menenangkan sayap kanan, pemerintah di seluruh Eropa telah menerapkan apa yang hanya dapat dianggap sebagai hukum yang diskriminatif dan anti-Islam. Kebijakan diskriminatif tersebut termasuk larangan jilbab untuk profesi tertentu, larangan niqab di tempat, dan aturan larangan pembangunan menara masjid, yang semuanya membatasi kebebasan Muslim. 

Senin, 21 September 2020 18:55

Islamophobia di Barat (18)

 

Diskriminasi agama khususnya terhadap umat Islam di banyak masyarakat Barat, tidak mengenal batasan apapun dan setiap hari kita menyaksikan model baru Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Barat.

Dewan Hubungan Islam-Amerika (CAIR) – organisasi terbesar perlindungan hak-hak Muslim di AS – dalam sebuah laporan, mengungkap tingginya tingkat intimidasi dan diskriminasi terhadap siswa Muslim di sekolah-sekolah California.

Dalam sebuah laporan pada 31 Oktober 2017, CAIR mengungkapkan kasus gangguan terhadap siswa Muslim naik dua kali lipat dari rata-rata nasional. Laporan dengan judul "The Bullying of Muslim Students and the Unwavering Movement to Eradicate It" didasarkan pada temuan dari survei di seluruh negara bagian California terhadap lebih dari 1.000 pelajar Muslim yang berusia antara 11 dan 18 tahun.

Hasil survei menunjukkan bahwa siswa Muslim merasa kurang aman, kurang disambut, dan kurang dihormati di sekolah-sekolah mereka. 53 persen responden melaporkan bahwa siswa di sekolah diolok-olok, dihina atau dilecehkan secara verbal karena ia seorang Muslim. Selain itu, 26 persen siswa mengatakan mereka telah menjadi korban bully di dunia maya, dan 57 persen siswa juga menyaksikan teman sekelas mereka membuat komentar ofensif tentang Islam dan Muslim di dunia maya.

36 persen responden perempuan melaporkan bahwa jilbab mereka ditarik atau disentuh secara ofensif. Angka ini mencatat peningkatan tujuh persen dari laporan CAIR pada 2015.

Survei CAIR juga mencatat adanya peningkatan komentar ofensif yang dibuat oleh guru, pengurus sekolah, dan pejabat lainnya tentang agama siswa. Hasil survei ini mengungkapkan bahwa para siswa Muslim harus memikul beban berat setiap hari di sekolah dengan menghadapi pengganggu dan mereka menghadapi pendekatan Islamophobia, yang sejalan dengan kebijakan Presiden AS Donald Trump.

Pengacara hak-hak sipil CAIR, Marwa Rifahie mengatakan, “Sulit untuk mengabaikan efek negatif dari kampanye presiden 2016 dan pemilihan Trump terhadap kondisi pelajar Muslim di sekolah-sekolah Amerika. Penting untuk terus mengadvokasi lingkungan belajar yang bebas dari permusuhan dan diskriminasi."

"Seperti yang kami khawatirkan, hasil survei kami menunjukkan bahwa kondisi lingkungan sekolah untuk siswa Muslim terus memburuk di semua bidang," kata pengacara hak-hak sipil CAIR, Brittney Rezaei.

Laporan ini memberikan rekomendasi tentang bagaimana Kongres AS, penerbit buku pelajaran, sekolah, dan orang tua dapat bekerja untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan inklusif.

Dewan Hubungan Islam-Amerika (CAIR) juga menemukan kalimat ancaman vandalisme dan cercaan anti-Muslim di dinding sekolah SMA Kent-Meridian di Washington. Salah satu kalimat itu berbunyi "All Muslims dead on 10/30 #MAGA" dan pelaku menggunakan tagar yang dipakai Trump selama kampanye yaitu #MAGA (Make America Great Again). Grafiti ancaman dan hinaan juga ditemukan di sudut-sudut lain dinding sekolah tersebut.

"Ini bukan kasus pertama yang dilaporkan kepada kami tentang tindakan anti-Muslim di sebuah sekolah, perguruan tinggi atau universitas. Ketakutan akan diganggu di sekolah telah meningkat bagi siswa Muslim karena efek negatif dari kampanye dan pemilu presiden," kata Direktur Hak-Hak Sipil CAIR, Jasmin Samy.

Komunitas Muslim berusaha melawan pelecehan dan intimidasi tersebut dengan cara lain yaitu melakukan kegiatan amal serta memberikan pencerahan tentang agama Islam. Mereka bahkan membiarkan pintu-pintu masjid terbuka untuk menampung warga yang menjadi korban bencana alam di Amerika.

Komunitas Muslim Amerika ikut menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada para korban Badai Irma, Maria, dan Harvey selama 2017 lalu. Pejabat pemerintah negara bagian Puerto Rico menyatakan bahwa jumlah korban tewas akibat badai mematikan di wilayah pulau Amerika Serikat mencapai 2.975 orang. Badai Maria melanda Amerika pada September 2017.

Warga Muslim Amerika melakukan penggalangan dana untuk membantu korban Badai Maria di Puerto Rico dan menyediakan kebutuhan air bersih untuk mereka. Sejumlah dokter Muslim juga memberikan pelayanan medis kepada para korban cidera badai tersebut.

Masyarakat Islam Amerika Utara (ISNA) menyatakan bahwa pihaknya merasa bertanggung jawab di hadapan orang-orang yang terkena dampak dan berada dalam situasi kritis.

Selama Badai Harvey menerjang wilayah Texas, masjid-masjid di kota Houston – kota terbesar di negara bagian Texas – membuka pintunya bagi orang Amerika dari semua agama. Masjid-masjid itu menawarkan tempat tidur yang nyaman, tempat istirahat bayi, kopi dan teh hangat tanpa akhir, dan nampan hidangan makanan.

Masjid-masjid dan organisasi amal milik warga Muslim adalah yang pertama membuka pintu mereka untuk menawarkan bantuan dan perlindungan bagi para korban Badai Harvey.

Ketua Islamic Society of Greater Houston (ISGH), MJ Khan mengatakan, "Kami memiliki masjid di seluruh wilayah Houston. Jika Anda tidak punya tempat untuk berlindung, datanglah ke masjid lingkungan Anda. 21 masjid siap untuk memberikan pelayanan kemanusiaan kepada korban banjir."

"Para relawan Muslim akan mengevakuasi warga dari rumah-rumah mereka dan membawanya ke masjid," tambahnya.

Tentu saja bantuan komunitas Muslim Amerika kepada korban bencana alam tidak terbatas pada tindakan tersebut. Sekelompok relawan Muslim kota Denver, Colorado dalam sebuah aksi kemanusiaan, membagi-bagikan 2.000 paket sembako kepada para tunawisama di kota itu.

Lebih dari 100 relawan Muslim di Colorado dari pukul 8 pagi hingga 4 dini hari waktu setempat, membagikan paket makanan yang mencakup sandwich, minuman ringan, air mineral, pisang, dan pakaian bersama kopi hangat.

Para relawan lain membagikan makan siang di Taman Sonny Lawson, Governor’s Park, Denver Rescue Mission, dan di sepanjang 16th Street Mall di kota itu.

Ketua kelompok relawan Muslim, Nadeen Ibrahim mengatakan, "(Kelaparan) adalah masalah yang sangat penting bagi komunitas kami Muslim-Amerika. Islam menekankan memberi makan orang yang lapar. Nabi Muhammad Saw bersabda, 'Bukanlah seorang Muslim yang tidur dengan kenyang sementara tetangganya kelaparan.'"

Jadi, tidak mungkin agama Islam dengan keteladanan sempurna yang diberikan oleh Rasulullah Saw, menjadi penyebar kekerasan dan radikalisme.

Masyarakat Muslim Eropa juga melakukan banyak kegiatan amal untuk memperkenalkan ajaran Islam sebagai agama penyeru perdamaian, kasih sayang, dan anti-kezaliman.

Salah satu aksi Muslim Inggris di musim dingin adalah membiarkan pintu masjid terbuka untuk tunawisma dan memberikan makanan yang hangat kepada mereka. Para pengurus Masjid Margate di distrik Thanet, tenggara Inggris, untuk tahun kedua membantu menyediakan akomodasi penginapan, makanan, dukungan emosional, dan praktis untuk tunawisma di daerah tersebut.

Ashfaq Ahmed, salah seorang pengurus masjid, mengatakan mereka ingin membuka pintu masjid untuk para tunawisma di tengah cuaca dingin. "Kami saat ini sedang mempersiapkan logistik untuk para tamu dan mengkaji langkah-langkah kesehatan dan keselamatan.

"Kami sedang berdiskusi dengan perwakilan tempat penampungan musim dingin Thanet tentang cara terbaik untuk mengakomodasi tamu kami. Kami hanya ingin memberi mereka tempat penginapan yang nyaman," tambahnya.

Nabi Muhammad Saw diutus untuk menyelamatkan umat manusia dari kesesatan dan kegelapan. Dia datang dengan menyeru manusia pada tauhid, keadilan, kasih sayang, dan perlawanan terhadap penindasan.

Jadi, ajaran yang dibawakan oleh Rasulullah Saw telah mendorong kaum Muslim untuk membantu orang lain di setiap tempat. Islam tidak menetapkan garis batas dalam membantu manusia dan setiap orang – dari semua agama – harus dibantu jika ia membutuhkan bantuan. Inilah wajah Islam hakiki.

Namun, kelompok anti-Islam di Barat – atas dasar kekerasan dan kejahatan yang dilakukan kelompok takfiri seperti Daesh – memperkenalkan Islam sebagai agama penyebar kekerasan dan radikalisme.

Senin, 21 September 2020 18:54

Islamophobia di Barat (17)

 

Pada kesempatan ini, kita akan menelisik tentang pengalaman hidup seorang wanita non-Muslim yang menyamar sebagai seorang Muslim di Inggris dan gelombang Islamophobia di Jerman.

Katie Freeman (42 tahun), seorang warga Inggris dari kota Manchester mengatakan, "Menyamar satu pekan sebagai Muslim di Manchester telah membuka mataku tentang Islamophobia."

Freeman memutuskan bekerjasama dengan Channel 4 Inggris untuk membuat sebuah dokumenter dengan judul "My Week as a Muslim." Ia kemudian berdandan seperti seorang Muslimah dan berkata, "Saya seorang yang fanatik yang menyebabkan saya takut kepada orang-orang Muslim, tetapi terlibat dalam program ini telah mengubah pandangan saya dan membuka mata saya tentang Islamophobia."

Selama dokumenter digarap, Katie Freeman tinggal bersama sebuah keluarga Muslim selama satu pekan dan hal ini membuat pengetahuannya tentang Islam bertambah dan mengubah pandangannya.

Mengenai pengalamannya sebagai seorang Muslim, ia menuturkan, "Suatu hari ketika saya berjalan-jalan dengan memakai jilbab, salah seorang tetangga berteriak, 'Apakah engkau akan meledakkan kami semua?' dan yang lain berkata, 'Di sini bukan tempat orang Muslim.'"

Dalam mengomentari cacian dan makian itu, Freeman mengatakan, "Saya belum pernah menerima cacian sebelum ini dan saya merasa takut dan rapuh. Ini adalah kondisi yang dirasakan oleh warga Muslim setiap harinya."

Lebih dari tiga juta warga Muslim tinggal di Inggris. Seperti yang dikatakan Nyonya Freeman tentang pengalamannya satu pekan sebagai seorang Muslim, mereka selalu menjadi sasaran tatapan, ujaran, dan perilaku berbau kebencian. Data Kementerian Dalam Negeri Inggris juga membuktikan fakta ini.

Kementerian Dalam Negeri Inggris mengatakan kejahatan rasial naik 29 persen dalam setahun terakhir. Laporan baru ini dikeluarkan bertepatan dengan peringatan National Hate Crime Awareness Week.

Data dari kepolisian di seluruh Inggris dan Wales mencatat hampir 80.400 kejahatan rasial dalam kurun waktu 2016 sampai 2017. Data ini menunjukkan kenaikan yang belum pernah terjadi sebelumnya setelah referendum Brexit dan serangan teror di Inggris.

Data tersebut bukan hanya soal angka-angka, ini adalah kejahatan yang telah membuat seorang ayah meninggal dunia ketika keluar dari masjid, seorang wanita Muslim keguguran ketika sedang berbelanja di sebuah toko, dan ada banyak Muslimah lain yang menjadi sasaran serangan di jalan-jalan.

Kondisi ini menyebabkan warga Muslim merasa tidak aman bahkan di rumah mereka sendiri. Persepsi negatif terhadap warga Muslim muncul bukan hanya karena tindakan kelompok-kelompok radikal, para politisi, dan kubu ekstrem kanan.

Media – dengan pendekatan politik dan propagandanya – memainkan peran yang menentukan dalam menyebarkan kebencian terhadap umat Islam di depan publik. Media-media Inggris menjadi pelopor dalam hal ini. Banyak riset menunjukkan bahwa peningkatan serangan terhadap Muslim di Inggris berhubungan langsung dengan laporan media yang menyebarkan Islamophobia.

Sentimen anti-Muslim sudah begitu tinggi sehingga kejahatan berlatar agama juga terjadi terhadap warga non-Muslim. Sayangnya, pendekatan Islamophobia sedang menyebar luas di tingkat pemerintah dan masyarakat Eropa.

Laporan Lembaga Penelitian Politik, Ekonomi dan Sosial (SETA) Jerman pada Oktober 2017 lalu, menunjukkan peningkatan sentimen anti-Muslim di Jerman di bidang pendidikan, media, hukum, dan internet.

Menurut laporan yang disusun oleh Alexandra Lewicki, seorang pakar sosiologi politik, sentimen anti-Muslim di Jerman telah meningkat secara bertahap sejak 2015 dan memengaruhi beragam Muslim, karena jumlah serangan terhadap mereka dan tempat penampungan pengungsi naik hingga lima kali lipat sejak 2015.

"Hingga 2014, tercatat 199 serangan terhadap tempat penampungan pengungsi. Namun, pada 2015, jumlah serangan mencapai 1.031 atau naik empat kali lipat," kata laporan tersebut seraya menambahkan jumlah serangan mencapai level maksimum pada 2016.

Polisi Federal Jerman mengumumkan bahwa jumlah serangan terhadap lembaga-lembaga Muslim sekitar satu hingga dua kasus per minggu. Jumlah serangan yang sebenarnya terhadap Muslim lebih tinggi karena banyak dari kasus serangan itu tidak dilaporkan ke polisi.

Pihak berwenang Jerman mencatat 17 serangan terjadi setiap pekan, sementara media-media Jerman mengabarkan sekitar 37 kasus serangan per minggu.

Laporan SETA juga mengungkapkan bahwa opini publik Jerman secara luas menyalahkan orang Islam mengenai kejahatan, meskipun tidak memiliki bukti, dan hal ini mendorong prasangka terhadap kaum Muslim.

Setengah dari warga Jerman mengadopsi pendekatan Islamophobia terhadap orang-orang Muslim. Laporan SETA menggarisbawahi bahwa sentimen anti-Muslim mempengaruhi urusan bisnis dan masyarakat.

Laporan itu menyarankan pemerintah Jerman untuk memperluas ruang lingkup undang-undang tentang langkah melawan diskriminasi agama dan ras, menyusun aturan yang diperlukan tentang perlindungan orang dari diskriminasi, dan mengadopsi sistem perlindungan masyarakat untuk menjaga mereka dari diskriminasi rasial.

Namun, negara-negara Eropa biasanya tidak menganggap penting atau tidak peduli terhadap laporan yang berkaitan dengan lonjakan serangan anti-Muslim dan lembaga-lembaga umat Islam. Dalam banyak kasus, mereka dengan sengaja mengabaikan hal itu dan pendekatan umum pemerintah Eropa sejalan dengan kampanye Islamophobia.

Setelah kubu sayap kanan dan sentimen anti-Islam meraih kemenangan di banyak negara Eropa, dunia harus bersiap menyaksikan lahirnya pendekatan anti-Muslim di tingkat pemerintah-pemerintah Eropa.

Partai sayap-kanan Alternative for Germany (AfD) telah menjadi partai terbesar ketiga di negara itu, setelah memenangkan 12,6 persen suara dalam pemilu parlemen pada 24 September 2017. Partai Kebebasan Austria (FPO) menempati posisi ketiga di parlemen negara itu setelah meraih 26 persen suara pada pemilu 15 September 2017.

Kemenangan partai-partai sayap kanan di Eropa akan memicu peningkatan gelombang sentimen anti-Muslim dan Islamophobia di Benua Biru itu. 

Senin, 21 September 2020 18:53

Islamophobia di Barat (16)

 

Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di negara-negara Eropa telah muncul dalam berbagai bentuk dan sudah semakin sering ditemukan. Masyarakat Muslim Eropa harus selalu bersiap dengan penerapan pembatasan-pembatasan baru.

Serangan rasis menyasar orang-orang dengan nama Muslim, pria berjenggot, dan wanita dengan pakaian Muslimah. Serangan rasis ini bahkan menimpa mereka yang non-Muslim; berjenggot seperti orang Muslim atau warna kulit mereka tidak putih dan mirip seperti individu Muslim.

Surat kabar The Independent Inggris dalam sebuah laporan pada 18 Oktober 2017 menulis, "Hasil sebuah studi menunjukkan bahwa pria non-Muslim yang tinggal di Inggris telah menderita pelecehan verbal, fisik, dan emosional karena mereka terlihat seperti Muslim."

Orang-orang yang diwawancarai menggambarkan bagaimana kotoran binatang dilemparkan ke rumah mereka dan kaca jendela toko mereka dihancurkan. Yang lain mengatakan mereka disebut teroris atau terkait dengan Daesh karena warna kulit atau jenggot mereka.

Para peneliti mewawancarai 20 pria non-Muslim berusia antara 19 dan 59 tahun dari latar belakang kulit hitam, putih dan Asia. Mereka termasuk orang-orang dari kepercayaan Sikh, Kristen dan Hindu, serta ateis.

Studi ini menemukan ada peningkatan permusuhan anti-Muslim setelah serangan teror dan pelaksanaan referendum Brexit.

Dalam studi yang dipresentasikan di parlemen Inggris selama peringatan Pekan Kesadaran tentang Kejahatan Kebencian, Dr. Imran Awan dan Dr. Irene Zempi memaparkan tentang pengalaman pria non-Muslim yang mengalami serangan Islamophobia karena mereka terlihat seperti Muslim.

Dr. Imran Awan, profesor kriminolog dari Birmingham City University, mengatakan kepada The Independent bahwa studi ini menunjukkan bagaimana pelaku kejahatan rasial menargetkan korban mereka "berdasarkan prasangka dan stereotip."

Dr. Awan dan Dr. Zempi merekomendasikan kampanye kesadaran publik tentang cara melaporkan kejahatan rasial, serta pelatihan untuk mengajarkan para pengawas tentang bagaimana merespons jika mereka menyaksikan kejahatan rasial.

Dalam hal ini, surat kabar Standard Inggris dalam sebuah laporan pada 16 Oktober 2017 menulis, "Kampanye melawan kejahatan kebencian anti-Muslim diluncurkan di seluruh jaringan transportasi London. Perusahaan transportasi dan Kepolisian London mengadakan lebih dari 200 acara untuk meyakinkan masyarakat bahwa sistem transportasi umum London aman untuk semua orang."

Warga Muslim sudah sering menjadi sasaran serangan di bus dan metro London, dan video serangan itu telah menyebar luas di media sosial. Aparat polisi London mendorong pelaporan kejahatan rasial selama kunjungan mereka ke Masjid London Timur dan penempatan aparat di stasiun-stasiun bus dan metro.

Antara April dan Juni 2017, laporan kejahatan rasial meningkat 25 persen dengan 822 kasus dibandingkan dengan 655 kasus tahun lalu.

Ketua Partai Buruh Inggris, Jeremy Corbyn dalam sebuah acara dengan tema "Kejahatan Kebencian terhadap Wanita Muslim" di Masjid Finsbury Park London pada 22 Oktober 2017, berbicara tentang perlunya untuk bersatu sebagai sebuah komunitas dan mengeluhkan peran media dalam mempromosikan kebencian.

"Sebuah pertemuan perlu dilaksanakan sebagai kampanye untuk melawan kejahatan dalam sistem penulisan berita-berita yang terkait dengan Islam dan Muslim," kata Corbyn.

Sementara itu, Ketua Dewan Islington, Richard Watts mengatakan, "Saya memberikan sebuah kesempatan kepada media-media lokal untuk melaksanakan tugasnya dalam melawan Islamophobia. Kami berharap semua media bersikap resional."

Pada acara itu, sejumlah wanita Muslim menceritakan pengalaman mereka tentang kejahatan yang berlatar kebencian. Mereka mengaku mendapat penghinaan di jalan-jalan karena mengenakan jilbab.

Meskipun media-media di Barat diklaim independen dan pembela kebebasan berekspresi, namun kinerja mereka berada di bawah pengaruh partai dan kebijakan pemerintahan Barat dalam memperlakukan warga Muslim.

Sayangnya dalam beberapa tahun terakhir, setiap partai yang mengeluarkan slogan dan kebijakan yang lebih keras terhadap imigran dan Muslim, mereka akan mendapat sambutan yang lebih besar dari masyarakat dan berpeluang untuk menang pemilu.

Partai Kebebasan (FPO) Austria, partai sayap kanan anti-imigran, mampu meraih 27 persen suara pada pemilu parlemen 15 Oktober 2017 dan menempati posisi kedua di parlemen negara itu. Partai sayap kanan ini kemudian menjadi bagian dari koalisi pemerintah.

Di Republik Ceko, ada Partai Kebebasan dan Demokrasi Langsung (SPD) yang menganut pandangan euro-skeptisisme keras, anti-imigran, anti-Islam, dan pro-demokrasi langsung. Partai ini mendorong pengesahan undang-undang larangan pembangunan masjid, penggunaan cadar, dan larangan shalat di jalan.

Seorang anggota partai SPD, Jaroslav Holik mengatakan, "Orang-orang yang datang ke negara kami, harus menyesuaikan dirinya dengan gaya hidup kami dan bukan kita yang harus hidup dengan cara mereka."

Larangan penggunaan cadar di Austria.
Sejak tahun 2000, beberapa negara Eropa berniat meloloskan UU larangan penggunaan cadar, dan Perancis merupakan negara pertama Uni Eropa yang melarang penggunaan cadar sejak 2011.

Perancis menjadi pelopor dalam mengkampanyekan Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Eropa, dan masih mempertahankan kebijakan itu sampai sekarang. Setiap ada larangan atau pembatasan baru di Eropa, selalu dimulai dari Perancis.

Perancis telah mengadopsi UU anti-teror baru yang memungkinkan aparat keamanan untuk memeriksa tempat ibadah dan melakukan pemeriksaan identitas langsung. UU ini mulai berlaku pada 1 November 2017 dan secara resmi mengakhiri keadaan darurat yang telah berlangsung hampir dua tahun setelah serangan Paris.

Muslim Perancis telah berada di bawah pengawasan pemerintah selama dua tahun terakhir. Di bawah undang-undang yang baru, polisi dapat melakukan penggerebekan rumah dan penggeledahan tanpa surat perintah atau pengawasan pengadilan, termasuk di malam hari.

UU ini memberikan kekuatan ekstra kepada para pejabat untuk melewati proses peradilan yang biasa dan menempatkan orang di bawah tahanan rumah. Ia juga memungkinkan untuk membatasi pertemuan dan menutup tempat ibadah.

Kebanyakan Muslim Perancis dan kelompok-kelompok HAM sudah sering memperingatkan bahwa UU anti-teror baru itu memiliki dampak yang sangat berbahaya. UU ini dapat menangkap seseorang yang dicurigai sebagai teroris, bahkan tanpa perlu adanya bukti dan saksi. Setiap aktivis bisa juga ditangkap dengan alasan memiliki kayakinan yang berbahaya.

UU anti-teror Perancis telah dikritik oleh para ahli Hak Asasi Manusia PBB, karena merampas hak dan kebebasan fundamental seseorang. "Undang-undang ini dapat secara tidak proporsional mempengaruhi, menstigmatisasi, dan semakin memarginalkan warga negara yang beragama Islam," kata Fionnuala Ni Aolain, pelapor khusus PBB tentang perlindungan HAM dan perlawanan terorisme.

"Sangat memprihatinkan bahwa warga minoritas Muslim sedang dianggap sebagai 'komunitas tersangka' melalui penerapan berkelanjutan dan luas dari undang-undang anti-terorisme," tandasnya.

Menyudutkan seluruh Muslim hanya karena perilaku segelintir teroris yang mengaku Muslim, justru akan menguntungkan para teroris dan memarjinalkan komunitas Muslim.

Amnesty International dalam sebuah laporan menyatakan bahwa undang-undang baru anti-teror yang diterapkan di seluruh Eropa mendorong diskriminasi terhadap Muslim dan imigran serta menyebarkan ketakutan dan keterasingan. Organisasi ini memperingatkan bahwa keputusan keamanan yang diambil dalam beberapa tahun terakhir di 14 negara Eropa, terutama masalah penambahan wewenang dan kekuatan spionase, tidak akan memiliki dampak yang baik. 

Senin, 21 September 2020 18:53

Islamophobia di Barat (15)

 

Fenomena Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Barat meningkat seiring dengan aktifnya masyarakat Muslim dalam mengutuk kekerasan, radikalisme, dan terorisme.

Surat kabar The Independent Inggris dalam sebuah laporan pada 9 Oktober 2017 menulis, "Kejahatan kebencian yang menargetkan masjid-masjid di Inggris meningkat lebih dari dua kali lipat antara tahun 2016 dan 2017. Pihak kepolisian mencatat 110 kejahatan rasial yang ditujukan ke tempat-tempat ibadah Muslim antara Maret dan Juli 2017, atau naik dari 47 kasus pada periode yang sama tahun 2016."

Pelecehan rasial, tindakan vandalisme di masjid-masjid, dan ancaman bom banyak ditemukan di antara kasus kejahatan kebencian yang dilaporkan. Di antara kejahatan tersebut adalah pelemparan kaca jendela masjid-masjid, perusakan mobil yang diparkir di luar masjid, dan grafiti pelecehan, serangan fisik terhadap jemaah saat masuk/keluar dari masjid, dua kasus pembakaran, dan dua kasus pelemparan daging babi di pintu masjid.

Menteri Bayangan Dalam Negeri Inggris, Diane Abbott menyebut angka-angka itu "sangat meresahkan." Dia mengatakan, "Serangan terhadap kelompok agama atau minoritas mana pun sangat buruk. Serangan anti-Muslim ini akan dikutuk oleh semua orang baik."

Fiyaz Mughal, Direktur Faith Matters yang bekerja untuk meningkatkan kohesi masyarakat, menuturkan kepada The Independent bahwa sangat penting untuk mengakui bahwa terorisme adalah faktor pemicu di balik meningkatnya serangan terhadap masjid.

Menurutnya, perusahaan media sosial harus meningkatkan dan menerima tanggung jawab atas ujaran kebencian yang dibiarkan menyebar secara online. "Kami telah melihat peningkatan ekstremisme anti-Muslim dan aktivitas sayap kanan secara online di Inggris," ujar Fiyaz Mughal.

Berdasarkan data polisi Inggris, menyusul setiap serangan teroris, jumlah serangan terhadap masjid di Inggris juga meningkat. Dengan kata lain, kelompok takfiri dan teroris seperti Daesh – dengan aksi terornya – telah membuka jalan yang lebih efektif bagi serangan terhadap masjid-masjid dan pusat kegiatan umat Islam.

Tentu saja, dalam beberapa tahun terakhir, kaum Muslim juga berusaha untuk menyampaikan pesan hakiki ajaran Islam, yang menyerukan perdamaian, kemanusiaan, dan keadilan kepada masyarakat Barat. Pada 29 Maret 2017, masyarakat Muslim London menggelar aksi solidaritas untuk korban teror serta mengecam radikalisme dan kekerasan.

Pada 18 Maret 2017, ribuan orang turun ke jalan-jalan di London untuk memprotes meningkatnya sentimen Islamophobia, rasisme, dan gerakan anti-imigran di Inggris. Aksi ini diselenggarakan oleh kelompok kampanye Inggris, Stand Up to Racism, sebagai bagian dari rangkaian aksi unjuk rasa yang berlangsung di seluruh Eropa untuk memperingati Hari Anti-Rasisme Internasional.

Perlu dicatat bahwa kaum Muslim tidak tinggal diam dalam menanggapi meningkatnya sentimen Islamophobia. Mereka menggunakan berbagai kesempatan untuk memperkenalkan ajaran Islam murni.

Akar pemikiran radikal para teroris takfiri seperti Daesh, bersumber dari kesalahan interpretasi tentang ajaran Islam atau memang sebuah aksi sengaja yang bertujuan merusak citra Islam.

Berbeda dengan ideologi radikal kelompok-kelompok teroris, Islam adalah agama jihad melawan pemerintahan despotik dan tirani, Islam adalah agama untuk membela orang-orang yang tertindas.

Pesan Islam adalah monoteisme, kebebasan, dan keadilan. Kebangkitan Imam Husein as melawan pemerintahan Yazid juga berlandaskan pada nilai-nilai tersebut. Dia bangkit dengan tujuan menghidupkan kembali ajaran Rasulullah Saw yang telah diselewengkan.

Saat ini Islam dan masyarakat Muslim juga sedang menghadapi fenomena radikalisme dan kekerasan. Para radikalis dan teroris telah merusak citra Islam dengan cara mendistorsi ajaran Islam sesuai dengan ambisi mereka.

Sayangnya, pemerintah dan media-media Barat memanfaatkan kejahatan yang dilakukan oleh kelompok teroris sebagai peluang untuk memperkenalkan Islam sebagai agama kekerasan.

Untuk melawan propaganda miring dan sentimen anti-Muslim, masyarakat Muslim di Barat memperkuat persatuan mereka dan menggelar berbagai kegiatan keagamaan demi memperkenalkan Islam yang hakiki kepada dunia.

Di Hari Asyura, hampir semua ibu kota dan kota-kota besar Eropa menyaksikan kehadiran masyarakat Muslim untuk memperingati hari duka untuk Imam Husein as. Kebangkitan Imam Husein tidak dibatasi oleh waktu dan tempat, dan pesannya adalah untuk seluruh dunia dan untuk semua periode sejarah.

Kebangkitan Imam Husein as terus dikenang sepanjang masa, karena ia membawa pesan universal bagi semua bangsa-bangsa dunia. Kebangkitan yang dilakukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran ini, telah menjadi sumber inspirasi di sepanjang sejarah.

Seorang pakar Islam dan pemikir Kristen asal Irlandia, Chris Hewer dalam sebuah komentarnya berbicara tentang peristiwa Karbala dan keagungan pengorbanan Imam Husein.

"Jika kita ingin memahami makna Karbala, kita harus melihatnya keluar dari konteks Karbala, keluar dari konteks wilayah Irak, dan dari konteks Syiah atau Muslim, kita harus melihatnya sebagai bagian dari sejarah umat manusia. Sebagai sebuah komunitas, kita memiliki sejarah, kita bukan generasi pertama umat manusia, dan kita bisa melihat ke masa lalu dan bagaimana manusia lain menjalani kehidupannya. Kita bisa belajar dari mereka, dan cara pandang seperti ini dapat menjadi pelajaran dan peringatan bagi kita," jelasnya.

Chris Hewer menambahkan, "Pasukan lawan telah melakukan perbuatan yang mengerikan, namun dalam situasi itu, Imam Husein memberikan respon dengan cara yang indah dan mulia. Hal ini mendorong saya – sebagai seorang Kristen – juga ingin mengambil pelajaran darinya dengan mengingat peristiwa Karbala. Semua orang menerima bahwa Yazid adalah contoh dari seorang Muslim yang sangat buruk dan pemimpin yang sangat buruk. Dia secara terang-terangan melanggar perintah Allah dan secara terbuka melecehkan hukum-hukum Islam. Ini adalah krisis kepemimpinan dan di sini Anda perlu memutuskan bagaimana Anda akan merespons ketidakadilan dan tirani."

Pemikir Kristen ini lebih lanjut menuturkan, "Kita memiliki hadis Nabi (Muhammad Saw) yang memungkinkan kita untuk memahami pentingnya masalah ini. Pada satu kesempatan, beliau berkata bahwa jihad terbesar adalah mengucapkan kebenaran di hadapan seorang tiran. Ini adalah tantangan terberat bagi manusia untuk bangkit melawan seorang tiran dan tidak menyerah."

"Inilah yang terlintas dalam pikiran Husein as di Madinah, dia tahu bahwa dalam waktu singkat dia akan dihadapkan pada permintaan untuk membai'at kepada Yazid. Dia tahu bahwa Yazid sama sekali tidak layak untuk memimpin umat dan di sini sebuah peristiwa dramatis akan terjadi di tengah masyarakat Muslim. Pembunuhan cucu nabi dan sahabatnya terjadi bahkan belum 50 tahun dari wafatnya nabi," ungkapnya.

Chris Hewer mengatakan, "Malam sebelum pertempuran, Imam Husein mengumpulkan para sahabatnya dan berkata kepada mereka, 'Besok kita akan diserang, mereka hanya menginginkanku, silahkan kalian pergi dari tempat ini, tetapi para sahabat Husein menjawab, 'Kami tidak akan pergi, kami akan tetap di sini, kami akan mati bersamamu.' Di sini, kita melihat sebuah dimensi manusiawi yang besar yaitu, 'Apa yang Anda lakukan jika Anda adalah pembela orang yang jujur, mulia, dan adil yang sedang menghadapi ketidakadilan? Apakah Anda akan membelanya bahkan dengan mengorbankan hidup Anda sendiri? Atau apakah Anda lari untuk menyelamatkan diri?'" 

Senin, 21 September 2020 18:52

Islamophobia di Barat (14)

 

Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Eropa tidak mengenal batasan usia dan gender, siapa saja akan menjadi sasaran serangan rasial dan perlakuan diskriminatif jika ia seorang Muslim atau dari keluarga Muslim.

Praktik Islamophobia telah menjalar ke Swedia ketika sebuah sekolah TK Muslim menjadi target serangan rasis. Kepala sekolah TK Sinbad (Forskolan Sinbad) di kota Sodertalje, Osman Adem mengatakan, "Kaca-kaca jendela TK ini sudah sering pecah karena lemparan batu. Namun, ini baru pertama kali kalimat rasis terhadap Islam dan Muslim ditulis di dinding-dinding sekolah."

"Serangan terhadap kegiatan yang terkait dengan pendidikan anak-anak membuat saya sedih. Kaca jendela tempat anak-anak belajar kadang sudah pecah. Kalimat anti-Islam dan Muslim ditulis di dinding sekolah seperti, 'pergilah, tinggalkan tempat ini,'" tambahnya.

Osman Adem menjelaskan bahwa anak-anak, orang tua, dan guru merasa takut dengan serangan seperti itu. "Kami bahkan telah membuat laporan kepada polisi sejak dua tahun lalu, tetapi tidak ada perubahan sampai sekarang dan ada kemungkinan TK Sinbad akan tutup," ungkapnya.

Sejujurnya, ancaman apa yang bisa ditimbulkan bagi Eropa oleh sebuah sekolah TK? Padahal, sudah jelas bagi semua bahwa serangan teroris di Eropa tidak ada kaitannya dengan Islam dan Muslim.

Para teroris melakukan kejahatan dan teror di Eropa dan negara-negara lain di dunia dengan menggunakan nama Islam. Aksi ini sejalan dengan tujuan dan kebijakan pemerintah-pemerintah Barat. Hari ini para ekstremis Budha Myanmar melakukan kejahatan terhadap warga Muslim, dan kadang lebih sadis dari yang dilakukan para teroris takfiri.

Meski mereka melakukan kejahatan keji terhadap Muslim Rohingya, namun tidak ada yang mempertanyakan ajaran Budha, dan komunitas Budha di dunia juga tidak akan menerima serangan rasis atau perlakuan diskriminatif karena kejahatan yang dilakukan komunitas mereka di Myanmar.

Pada dasarnya, Islamophobia dan sentimen anti-Muslim adalah sebuah skenario politik jangka panjang Zionis-Amerika untuk merusak citra Islam, yang cinta damai dan penyeru keadilan. Kubu anti-Islam di Barat bisa melakukan kekerasan apapun terhadap individu Muslim dan kemudian menyalahkan ajaran Islam atas aksinya itu.

Al-Quran, hadis Rasulullah Saw, para ulama, dan kaum Muslim secara tegas menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan Daesh dan kelompok teroris takfiri lainnya, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ajaran Islam.

Barat langsung mengangkat isu terorisme jika sebuah insiden yang terjadi di wilayah mereka melibatkan seorang Muslim. Hal ini terlihat jelas dari sikap Barat dalam mereaksi penembakan mengerikan di Las Vegas. Jika pelakunya seorang Muslim, kita tidak tahu apa dilakukan Donald Trump dan kubu anti-Islam di Barat terhadap Islam dan masyarakat Muslim.

Seorang penulis Barat, Piers Morgan dalam sebuah artikel di Daily Mail Inggris, menulis, "Jika penembak ini adalah seorang Muslim, Presiden Trump akan mencapnya sebagai serangan teroris dan memanfaatkannya untuk menjustifikasi larangan perjalanannya (travel ban), dan hampir pasti memperluas larangan tersebut. Undang-undang baru yang lebih keras juga akan segera diperkenalkan untuk mencegah peristiwa serupa."

"Dia adalah pria kulit putih Amerika dengan 'gangguan mental', di mana di benaknya ingin melakukan pembunuhan dengan alasan yang mungkin kita tidak pernah tahu. Jadi, Trump akan meletakkan jarinya di telinganya dan berpura-pura itu tidak pernah terjadi sehingga dia tidak mengecewakan para tuanya di Asosiasi Senapan Nasional (NRA)," tambahnya.

Sementara itu, kolumnis Thomas Friedman dalam sebuah artikel dengan tema "If Only Stephen Paddock Were a Muslim" di The New York Times menulis, "Jika saja Stephen Paddock adalah seorang Muslim. Jika saja dia meneriakkan "Allahu Akbar" sebelum dia menembaki semua penonton konser di Las Vegas. Jika saja dia anggota Daesh. Jika saja kita memiliki foto dia berpose dengan sebuah al-Quran di satu tangan dan senapan semi otomatis di tangan lain. Jika semua itu yang terjadi, maka tidak ada yang akan memberitahu kepada kita agar tidak mencemarkan para korban dan mempolitisasi pembunuhan massal Paddock dengan membicarakan tentang upaya pencegahan."

"Tidak, tidak, tidak. Ketika itu kita tahu apa yang akan kita lakukan. Pemerintah akan menjadwalkan dengar pendapat langsung di Kongres tentang peristiwa terorisme terburuk di dunia sejak 11 September. Jika pelaku pembantaian di Las Vegas adalah Muslim, Donald Trump akan berkicau di Twitter setiap jam.' Sudah kubilang,' seperti yang dia lakukan beberapa menit setiap kali ada serangan teror di Eropa," tulis Thomas Friedman.

Menurutnya, Trump akan terus mempolitisasi hal itu. Lalu akan ada seruan segera untuk membentuk komisi investigas untuk mempertimbangkan undang-undang baru yang harus disiapkan guna memastikan hal ini tidak terjadi lagi. Kemudian, kita akan mempertimbangkan semua opsi yang akan mempersulit negara asal pelaku teror.

"Namun, apa jadinya bila pelaku teror berasal dari Amerika sendiri? Apa yang terjadi ketika si pembunuh hanyalah orang Amerika yang terganggu yang dipersenjatai dengan senjata militer, di mana ia membelinya secara legal atau memperolehnya dengan mudah karena undang-undang yang gila?" kritik Friedman.

"Kita tahu apa yang akan terjadi: Presiden dan Partai Republik mulai berusaha keras untuk memastikan bahwa tidak ada yang akan terjadi. Mereka kemudian menegaskan bahwa pembantaian akibat kebebasan kepemilikan senjata tidak boleh dipolitisasi dengan meminta seseorang, terutama mereka sendiri, untuk memikirkan kembali penentangan terhadap undang-undang senjata," tutur Friedman.

Penulis terkenal ini kemudian mengkritik sikap cuek pemerintah AS dan Kongres yang tidak memperketat undang-undang kepemilikan senjata, yang telah menyebabkan banyak orang yang tidak bersalah terbunuh. Friedman juga menyoroti Paddock yang memiliki gudang senjata, termasuk 42 senjata api, 23 di kamar hotelnya dan 19 di rumahnya, serta ribuan amunisi dan beberapa perangkat elektronik. Pemerintah AS tidak tertarik untuk mengubah undang-undang kepemilikan senjata.

"Tidak pernah ada waktu untuk membahas langkah-langkah serius untuk mengurangi kekerasan dengan senjata," ungkap Friedman.

Namun, apa yang menimpa Muslim Rohingya di Myanmar tidak begitu mendapat sorotan media-media Barat. Data menunjukkan bahwa Muslim adalah korban terbesar pembantaian dan genosida di Eropa, Afrika, dan Asia selama tiga dekade terakhir, dan mereka juga menjadi tertuduh pertama dalam setiap insiden teror di negara-negara Barat.

Warga Muslim menjadi korban terbesar kejahatan selama tiga dekade lalu dan sekaligus agama mereka dituduh sebagai penyebar kekerasan dan ekstremisme. Lalu mengapa media-media Barat bungkam terhadap pembantaian warga Muslim?

Sebaliknya, kematian seseorang di Barat oleh pelaku dengan nama Muslim langsung mendapat sorotan luas di dunia. Kasus ini langsung dikaitkan dengan seluruh kaum Muslim dan ajaran Islam.

Dapat dikatakan bahwa Islamophobia dan sentimen anti-Muslim adalah sebuah strategi jangka panjang untuk merusak citrak Islam dan memajukan kepentingan imperialisme Barat di negara-negara Muslim. 

Senin, 21 September 2020 18:51

Islamophobia di Barat (13)

 

Salah satu tokoh anti-Islam yang terkenal di Barat adalah Ketua Partai Kebebasan Belanda, Geert Wilders. Dalam wawancara terbaru dengan surat kabar Inggris, Daily Telegraph ia menyebut Islam bukan agama, tapi ideologi berbahaya yang menganjurkan kekerasan. Tokoh anti-Islam Belanda ini ingin menghapus Islam dari lingkup kebebasan beragama.

Konstitusi Belanda sangat menekankan kebebasan beragama. Sebelumnya Geert Wilders berjanji jika berkuasa ia akan menutup masjid-masjid, melarang pengajaran Al Quran dan mencabut izin tinggal imigran di Belanda.

Partai Kebebasan Belanda pada pemilu parlemen bulan Maret 2017 berhasil merebut 20 kursi dari total 150 kursi parlemen negara itu dan berada di peringkat kedua partai terbesar di parlemen Belanda.

Ini adalah kemenangan signifikan bagi Partai Kebebasan Belanda yang anti-Islam itu. Salah satu protes keras yang ditujukan kepada negara-negara Barat adalah pembatasan-pembatasan terhadap umat Islam, karena ini merupakan pelanggaran aturan kebebasan beragama yang ditegaskan dalam undang-undang negara Eropa.

Kebebasan beragama merupakan salah satu nilai terpenting di Uni Eropa, namun pemerintah negara-negara Eropa dalam praktiknya melanggar undang-undang ini dalam perlakuan mereka terhadap Muslim.

Geert Wilders sebagai ketua partai sayap kanan ekstrem Belanda jelas sedang berusaha menerapkan kebijakan anti-Islam di negaranya. Ia bahkan sempat beberapa kali berurusan dengan pengadilan karena perilaku anti-Islamnya itu dan dijatuhi hukuman. Akan tetapi pemerintah Belanda menjustifikasi beberapa penghinaan Wilders terhadap Islam sebagai bentuk kebebasan berpendapat.

Salah satu aksi anti-Islam paling parah yang dilakukan Geert Wilders adalah pembuatan film pendek berjudul Fitna. Bagian awal film ini menampilkan pembacaan ayat Al Quran disusul dengan cuplikan insiden serangan 11 September di Amerika Serikat. Film berdurasi 15 menit ini dibuat tahun 2008 dan menyebut Islam sebagai musuh kebebasan.

Pemerintah Belanda mereaksi protes negara-negara Muslim terkait pembuatan dan penayangan film menghina Islam ini dengan mengklaim sebagai bentuk komitmennya pada kebebasan berpendapat di Belanda yang sama sekali bertentangan dengan film Wilders tersebut, dan tidak berusaha mencegah penayangan film itu.

Standar ganda yang diterapkan pemerintah dan media Barat dalam membela kebebasan beragama adalah dengan menciptakan berbagai jenis pembatasan untuk umat Islam. Dalam dua dekade terakhir pemerintah negara-negara Eropa dengan berbagai dalih seperti perang melawan ekstremisme atau runtuhnya nilai-nilai sekuler, menerapkan sejumlah banyak pembatasan terhadap umat Islam dalam menjalankan ajaran agamanya.

Perancis adalah salah satu negara yang terdepan dalam masalah ini. Perancis adalah negara Barat pertama yang melarang murid-murid sekolah perempuan Muslim berhijab di sekolah. Perancis yang mengaku sebagai pelopor demokrasi dan kebebasan di dunia adalah negara pertama yang menerapkan pembatasan-pembatasan agama bagi umat Islam.

Di sisi lain umat Yahudi yang kencang berbicara soal pelanggaran hak mereka di media-media Barat, bebas menjalankan ajaran agamannya termasuk mengenakan pakaian khusus. Standar ganda semacam ini ditimbulkan oleh upaya pemerintah negara-negara Barat untuk menampilkan ajaran Islam sebagai ajaran ekstrem.

Diskriminasi terhadap umat Islam bukan bersumber dari ketidaktahuan para politisi dan media Barat. Statemen-statemen para politisi Barat dalam beberapa tahun kebelakang yang membedakan ajaran Islam dengan kesimpulan keliru dan ekstrem kelompok-kelompok Takfiri serta teroris tentang ajaran Islam, adalah bukti bahwa mereka mengetahui dengan baik ajaran Islam hakiki menganjurkan perdamaian dan keadilan.

Sampainya para teroris Takfiri dari negara-negara dilanda perang di Timur Tengah ke kota-kota Eropa, memaksa para politisi Barat, dalam retorika bukan praktik, membedakan Islam hakiki dengan Islam yang disimpangkan oleh kelompok Takfiri dan teroris. Sebagian pemerintah dan media Barat yang secara sadar berusaha menampilkan Islam sebagai agama ekstrem dan penganjur kekerasan, bersikeras mempertahankan kebijakan anti-Islam mereka di Eropa dan di luar benua ini.

Pembatasan-pembatasan yang diterapkan terhadap umat Islam di Eropa didasari oleh sejumlah alasan yang dibuat-buat. Di Swiss pelarangan pembangunan menara masjid yang merupakan salah satu ciri khas arsitektur Islam, bahkan sampai ke tingkat referendum dan akhirnya disahkan.

Di banyak negara Eropa, pembangunan masjid dan tempat aktivitas umat Islam dilarang. Oleh karena itu banyak umat Islam terpaksa menggunakan tempat parkir untuk melaksanakan shalat jamaah.

Di banyak negara Eropa, berbagai pembatasan terhadap perempuan Muslim untuk mengenakan hijab di tempat umum telah diundang-undangkan. Partai-partai politik sayap kanan ekstrem dan anti-Islam di Eropa sedang mengalami pertumbuhan yang cukup pesat sekarang.

Pertumbuhan tersebut diduga sebagai akibat dari kebijakan dan peraturan anti-Islam yang diterapkan di negara-negara Eropa dalam beberapa dekade terakhir. Islamofobia merupakan salah satu ciri khas bersama seluruh partai kanan ekstrem di Eropa. Selama para imigran yang membanjiri Eropa berasal dari negara-negara Muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara, maka selama itu pula anti imigran dan anti Islam akan tetap menyebar luas.

Partai-partai ekstrem kanan Eropa tidak ingin melakukan pembedaan dalam masalah ini, karena dengan begitu mereka akan mendapat protes lebih kecil dari lembaga-lembaga pembela hak asasi manusia dan lebih mudah menyerang umat Islam dengan dalih anti imigran.

Partai sayap kanan ekstrem dan anti imigran Jerman, Alternative for Germany terhitung sebagai partai ekstrem kanan baru di Eropa yang berhasil meraih kemenangan besar di pemilu Jerman. Partai Alternative for Germany pada September 2018 meraih kemenangan dalam pemilu dengan menduduki 89 kursi parlemen.

Ini adalah untuk pertama kalinya sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua sebuah partai berideologi sayap kanan ekstrem berhasil masuk parlemen Jerman. Setelah kemenangan ini, kita mungkin akan menyaksikan fenomena meluasnya sentimen anti imigran dan anti Islam di Jerman. Secara umum di Eropa angka gangguan terhadap perempuan berhijab di Eropa terus mengalami peningkatan.

Lembaga yang mengurusi hak fundamental di Uni Eropa, Fundamental Rights Agency, FRA dalam sebuah jajak pendapat yang dilakukannya terhadap 10.527 Muslim dari 15 negara Eropa mengumumkan, 53 persen umat Islam Eropa berhadapan dengan rasisme dan mengalami kesulitan mencari tempat tinggal dan 39 persen dari mereka kesulitan mendapat pekerjaan karena pakaian yang mereka kenakan.

Dari semua, 39 persennya adalah perempuan. 94 persen perempuan Muslim yang menjadi responden jajak pendapat ini mengaku selalu diganggu dan dilecehkan secara verbal maupun fisik karena mengenakan hijab. 31 persen mendapat serangan verbal, 39 persen dengan tindakan dan 22 persen mendapat kata-kata tidak pantas.

Berdasarkan informasi sebuah pusat analisa media sosial di Inggris, pasca serangan teror terbaru di Eropa, penggunaan kata-kata kasar terhadap Islam dan Muslim di media sosial Twitter mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

Alquran

Keadilan Sosial dalam Al-Qur’an dan Pemerintahan yang Berorientasi Keadilan
Keadilan Sosial dalam Al-Qur’an dan Pemerintahan yang Berorientasi Keadilan
Terwujudnya cita-cita keadilan telah menjadi salah satu keinginan terpenting semua manusia reformis dan orang-orang merdeka dalam sejarah (termasuk para nabi). Revolusi Islam Iran juga dilakukan…

Nahjolbalaghe

Imam Ali dan Hak Asasi Manusia dalam Nahjul Balâghah, Tinjauan Tafsir Al-Qurân
Imam Ali dan Hak Asasi Manusia dalam Nahjul Balâghah, Tinjauan Tafsir Al-Qurân
Naskah pengantar pada seminar Internasional “imam ali dan hak asasi manusia Dalam Nahjul Balagah”, Citywalk 5th floor. Jakarta 30 Juni 2009, IMAM ALI DAN HAK…