
کمالوندی
Syeikh Thusi (2)
Abu Jakfar Muhammad bin Hasan bin Ali bin Hasan al-Thusi atau lebih dikenal dengan Syeikh Thusi atau juga sering disebut dengan nama Syeikh al-Thaifah (pembesar kaum/pemuka Syiah) adalah salah satu ulama besar dunia Islam dan Syiah yang hidup pada abad kelima Hijriyah.
Ia adalah murid kebanggaan dari Syeikh Mufid dan Sayid Murtadha, dan pasca gurunya wafat, ia menjadi guru besar ilmu kalam di dunia Islam. Syeikh Thusi adalah penulis dua kitab dari empat kitab induk hadis Syiah (Kutub al-Arba'ah) dan pendiri Hauzah Ilmiah Najaf.
Syeikh Thusi memiliki banyak karya di berbagai bidang ilmu keislaman dan mewariskan sekitar 50 buku. Saat ini karya-karya Syeikh Thusi sudah diterbitkan dalam bentuk ensiklopedia.
Tahdzib al-Ahkam dan al-Istibshar, dua kitab dari Kutub al-Arba’ah ditulis oleh Syeikh Thusi dan setiap faqih atau mujtahid yang ingin mengeluarkan fatwa hukum, tidak punya jalan lain kecuali merujuk kepada kitab tersebut.
Kutub al-Arba’ah merupakan sebuah istilah yang mengacu pada empat kitab induk hadis yang digunakan ulama Syiah sebagai referensi. Tahdzib al-Ahkam merupakan karya pertama Syeikh Thusi dan salah satu kitab kumpulan hadis Syiah yang paling mu’tabar dan buku ketiga dari empat kitab yang diterima oleh seluruh ulama dan fuqaha Syiah.
Tahdzib al-Ahkam terdiri dari 393 bab dan 13.590 hadis dengan tema permasalahan fiqih dan hukum syariat yang bersumber dari riwayat Ahlul Bait Nabi as.
Kitab al-Istibshar juga ditulis oleh Syeikh Thusi. Kitab ini memuat 5.511 buah riwayat dan mengkaji hadis-hadis yang secara lahir bertentangan satu sama lain. Di antara hadis yang sampai dari Rasulullah Saw dan para imam maksum as, sebagian kecil darinya terlihat bertentangan satu sama lain.
Sekelompok ulama dan murid Syeikh Thusi memintanya untuk menulis sebuah buku yang mengumpulkan dan mengkaji berbagai riwayat yang saling bertentangan. Dalam buku ini, Syeikh Thusi mengumpulkan semua hadis sahih untuk berbagai persoalan fiqih, kemudian mengutip riwayat yang berlawanan dan mencari titik temu di antara keduanya.
Ia meneliti riwayat-riwayat yang secara lahir berbeda itu dan dengan penguasaannya atas sumber-sumber agama, ia memperjelas maksud asli dari hadis tersebut. Al-Istibshar terbilang unik dibandingkan kitab kumpulan hadis lain dan merupakan buku pertama yang ditulis untuk mencari titik temu di antara riwayat yang terlihat bertentangan.
Karya lain Syeikh Thusi adalah At-Tibyan fi Tafsir al-Quran yang lebih populer dengan sebutan tafsir at-Tibyan. Buku ini adalah kitab tafsir pertama Syiah yang menafsirkan seluruh ayat al-Quran dan merupakan sumber referensi kuno di bidang tafsir bagi para para mufassir Syiah.
Dalam karyanya ini, Syeikh Thusi menggabungkan dua metode yaitu naqli dengan mengutip riwayat dari Rasulullah dan Ahlul Bait, serta aqli dan dengan memperhatikan berbagai disiplin ilmu dan pendapat para mufassir zaman dulu dan kontemporer.
Kitab-kitab tafsir yang ditulis sebelum Syeikh Thusi – baik milik Ahlu Sunnah maupun Syiah – tidak menafsirkan seluruh ayat al-Quran, tidak terlalu dalam, dan hanya mengkaji serta menafsirkan lafal-lafal yang sulit dipahami.
Namun, at-Tibyan adalah sebuah tafsir yang mengupas semua ayat al-Quran dan ayat-ayatnya dikaji dari perspektif berbagai ilmu al-Quran seperti, qiraah, ma'ani bayan, tata bahasa, dan ilmu nahwu. Juga karena Syeikh Thusi sangat menguasai ilmu kalam, tafsir ini sekaligus menjawab keraguan dan sanggahan dari kelompok ateis dan penganut ajaran batil seperti, kelompok Jabariyyah dan Tashbih.
Metode yang dipakai Syeikh Thusi dalam bukunya ini tergolong baru dibandingkan dengan kitab tafsir ulama Syiah sebelumnya dan merupakan buku tafsir pertama Syiah yang tidak hanya mengumpulkan dan menukil hadis, tetapi juga menganalisis, mengevaluasi, dan ijtihad.
Sebelum ini, kitab-kitab tafsir Syiah hanya menukil hadis untuk menjelaskan maksud dari ayat al-Quran, sementara penulis tidak memberikan analisa dan evaluasi. Kibat at-Tibyan dianggap penting karena kandungannya dan metode baru yang diperkenalkan oleh Syeikh Thusi. Kitab ini menjadi rujukan untuk para ulama tafsir setelahnya.
Hadis dan riwayat memainkan peran yang sangat penting untuk memahami agama. Untuk itu, para penukil hadis dituntut untuk memegang amanah dan bersikap jujur. Banyak dari adab dan hukum bersumber dari ucapan Rasulullah Saw. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah kajian yang teliti untuk menyingkap mana hadis yang benar-benar datang dari Rasulullah dan para imam maksum, dan mana hadis palsu atau hadis yang sudah terdistorsi karena kesalahan para perawinya.
Untuk keperluan itu, dibutuhkan ilmu rijal untuk memperkenalkan para perawi hadis, mengkaji reputasi mereka, dan mengukur tingkat kejujuran perawi. Pada awal abad keempat dan seiring dengan berjalannya waktu, kegiatan pemalsuan hadis mulai marak terjadi.
Syeikh Thusi memahami bahaya ini dan agar lebih mudah bagi generasi mendatang untuk melacak perawi yang jujur, ia kemudian menulis sebuah buku berjudul al-Abwab atau Rijal Thusi. Ulama besar ini juga mengarang buku lain dengan judul al-Fehrest untuk bidang yang sama. Buku-buku ini sekarang menjadi salah satu rujukan utama yang diandalkan oleh para ulama kontemporer.
Sejak awal kehadiran fiqih Syi'ah, kitab-kitab fiqih terdiri dari kumpulan riwayat dan hadis dari Ahlul Bait yang berbicara tentang persoalan halal-haram, hukum jual-beli, dan lainnya seperti tema akhlak, pengetahuan umum, dan akidah.
Setelah tiga abad berlalu, muncul sebuah metode baru di mana para fuqaha selain mengutip hadis, juga memaparkan kesimpulannya dari hadis tersebut di setiap persoalan yang kemudian dikenal dengan fatwa. Selain metode ini, para ulama juga memperkenalkan sebuah metode baru yang dikenal dengan al-Fiqh al-Istidlali.
Untuk mengetahui status hukum tentang sebagian permasalahan kontemporer yang belum pernah dibahas pada masa Rasulullah dan imam maksum, serta tidak disinggung secara langsung oleh ayat dan riwayat, maka dibutuhkan sebuah metode baru dalam fiqih untuk menjawab persoalan ini. Metode ini melibatkan akal untuk mengeluarkan kaidah umum dari teks-teks ayat dan riwayat. Dengan kaidah umum ini, para fuqaha mengeluarkan fatwa terhadap permasalahan kontemporer yang dihadapi umat Islam.
Di masa hidupnya, Syeikh Thusi merasakan perlunya sebuah reformasi di bidang fiqih dan ijtihad, dan perubahan ini tidak akan terwujud jika tanpa sebuah gerakan yang melawan tradisi pada masa itu. Di sini, dibutuhkan keberanian, ilmu yang cukup, dan akhlak yang mulia untuk melawan tradisi tersebut.
Syeikh Thusi dengan keberanian, ilmu, dan akhlak yang dimilikinya, membuat sebuah terobosan dengan menulis buku al-Mabsuth fi Fiqh al-Imamiyah dan mengantarkan fiqih dan ijtihad dalam Syiah ke sebuah fase baru.
Seorang cendekiawan Muslim asal Iran, Ayatullah Syahid Murtadha Muthahhari mengatakan, “Seluruh wujud Syeikh Thusi dipenuhi dengan iman, semangat Islamis, dan haus akan pengabdian kepada Islam. Dia adalah sosok yang sangat bergairah, tetapi semangat, iman, dan gairah ini tidak pernah menyeretnya ke arah jumud (kaku) dan berpandangan dangkal. Ia bangkit melawan kelompok jumud dan orang yang berpikiran dangkal. Dia mengenal Islam sebagaimana mestinya dan karena itu menghormati kebenaran akal.”
Surat Ghafir ayat 82-85.
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْهُمْ وَأَشَدَّ قُوَّةً وَآَثَارًا فِي الْأَرْضِ فَمَا أَغْنَى عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (82)
Maka apakah mereka tiada mengadakan perjalanan di muka bumi lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Adalah orang-orang yang sebelum mereka itu lebih hebat kekuatannya dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi, maka apa yang mereka usahakan itu tidak dapat menolong mereka. (40: 82)
Sejarah manusia dapat dipelajari dalam dua bentuk; satu lewat buku-buku sejarah yang mencatat fragmen-fragmen sejarah. Kedua, lewat warisan sejarah yang masih ada dari peradaban dahulu yang dapat disaksikan di pelbagai daerah.
Al-Quran dalam ayat ini berbicara kepada para pezalim, “Bila kalian ingin menyaksikan akhir dari perbuatan kalian, cukup dengan melakukan perjalanan di muka bumi dan menyaksikan bagaimana akhir dari kehidupan para pezalim dalam sejarah? Kekuatan yang pernah dimiliki telah musnah, istana mereka telah hancur dan pasukan mereka terjatuh di atas tanah bak dedauan. Apakah kekuatan dan pasukan Firaun Mesir mampu menyelamatkan diri dan pasukannya dari tenggelam di sungai Nil? Apakah bangunan-bangunan luar biasa dan kokoh dari kaum terdahulu yang di bangun di dalam gunung dan benteng tinggi dapat melindungi penduduknya dari kehendak ilahi?
Dari ayat tadi terdapat empat poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Mengkaji sejarah baik secara tertulis atau menyaksikan langsung warisan sejarah yang tersisa sangat ditekankan al-Quran.
2. Kesombongan akan kekuasaan dan fasilitas modern di hadapan Allah merupakan bahaya yang selalu mengintai orang-orang zalim.
3. Salah satu faktor kejatuhan peradaban manusia adalah mereka melawan ajaran para nabi.
4. Kekuasaan, populasi dan fasilitas modern yang dimiliki manusia tidak dapat mencegah turunnya siksa ilahi.
فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَرِحُوا بِمَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ (83)
Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa ketarangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu. (40: 83)
Melanjutkan ayat-ayat sebelumnya, ayat ini mengatakan, “Kekuasaan para pezalim dalam sejarah yang sombong dengan kekuatan pasukannya, biasanya memiliki peradaban yang beranggapan dapat mencegah kemurkaan Allah dengan ilmu dan pengalamannya. Karenanya mereka melawan ajaran para nabi dan mengolok-olok ucapan mereka tentang penciptaan dan Hari Kebangkitan. Mereka begitu bangga dengan ilmunya dan menganggap keyakinan agama sebagai khurafat dan tidak berdasar, padahal ilmu manusia tidak dapat dibuktikan.
Di masa kini setelah kemajuan sains, kita masih menyaksikan kesombongan sains di tengah masyarakat maju. Dapat dikatakanb ahwa salah satu faktor pengingkaran akan agama dan memilih aliran pemikiran yang menafikan Tuhan di abad-abad terakhir kembali pada kesombongan sains yang menimpa para ilmuan. Dengan menyingkap rahasia alam, para ilmuan sedemikian sombongnya, sehingga memilih untuk mengingkari prinsip dan nilai-nilai agama.
Radiasi kesombongan sains sedemikian luasnya, sehingga manusia menafikan wahyu yang merupakan informasi dan ajaran yang menyelamatkan hidup manusia, bahkan mengolok-oloknya. Mereka mengklaim bahwa dengan tibanya periode ilmu, maka tidak dibutuhkan lagi ajaran para nabi dan dengan anggapan mereka, agama dan ajaran para nabi harus dikeluarkan dari kehidupan manusia.
Sekalipun demikian, kesombongan manusia ini tidak berusia lama dan adanya faktor-faktor lain yang akhirnya menyeret anggapan mereka ini ternyata tidak benar. Perang Dunia I dan II menunjukkan bahwa kemajuan sains dan industri manusia bukan saja tidak membuat mereka bahagia, tetapi justru menyeret mereka ke tepi jurang kehancuran. Begitu juga dengan munculnya segala bentuk kerusakan moral, sosial, ketimpangan, pembunuhan, penyakit jiwa, penyebaran kekerasan dan pemerkosaan, membuat manusia memahami betapa apa yang diraih lewat sains saja ternyata tidak mampu mencegah ketimpangan hidupnya di era modern, bahkan dari banyak sisi, justru menambah masalahnya.
Dari ayat tadi terdapat empat poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Ucapan para nabi disertai dengan mukjizat dan argumentasi jelas yang dapat diterima oleh orang yang mencari kebenaran.
2. Bila manusia sombong dengan ilmunya yang sedikit, kesombongan ini akan membuatnya tidak menerima kebenaran, padahal sains dan pengalaman manusia tidak dapat menggantikan ajaran ilahi serta membuat manusia tidak membutuhkan ajaran wahyu.
3. Dampak dari kesombongan sains adalah menghina dan mengolok-olok ajaran ilahi. Mereka yang menderita penyakit ini beranggapan dapat melawan ilmu ilahi yang tak terhingga dan kitab-kitab samawi.
4. Peradaban manusia yang melawan ajaran ilahi pasti hancur dan binasa.
فَلَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا قَالُوا آَمَنَّا بِاللَّهِ وَحْدَهُ وَكَفَرْنَا بِمَا كُنَّا بِهِ مُشْرِكِينَ (84) فَلَمْ يَكُ يَنْفَعُهُمْ إِيمَانُهُمْ لَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْكَافِرُونَ (85)
Maka tatkala mereka melihat azab Kami, mereka berkata, “Kami beriman hanya kepada Allah saja, dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah.” (40: 84)
Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami. Itulah sunnah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir. (40: 85)
Ayat-ayat ini merupakan ayat terakhir dari surat Ghafir dan menjelaskan akhir perbuatan manusia akibat sombong dan tidak mau menerima kebenaran serta menentang ajaran para nabi. Disebutkan bahwa orang-orang sombong ini ketika menyaksikan dampak turunnya azab Allah di dunia dan menyaksikan dirinya sebagai makhluk yang lemah, segera menyesali segala perbuatannya dan berserah diri. Mereka melepaskan kekufuran dan kesyirikannya dan menyatakan beriman kepada Allah yang Maha Esa serta mengingkari segala sesembahan yang dijadikan sekutu bagi Allah.
Jelas bahwa iman yang seperti ini dilakukan karena takut dan terpaksa. Iman yang tidak bernilai.
Sebagai contoh, al-Quran menukil kisah Musa dan Firaun yang menyatakan keimanan ketika akan tenggelam. Imannya tidak diterima. Karena disampaikan dalam kondisi terpaksa dan tidak ada pilihan lain di hadapannya. Iman yang memiliki nilai ketika berasal dari kehendak, dimana manusia bisa saja memilih yang lain.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Orang sombong dan keras kepala tidak akan beriman sebelum menyaksikan kemurkaan ilahi, tetapi pada waktu itu imannya sudah tidak bermanfaat.
2. Nilai iman pada kehendak dan kebebasannya. Iman yang muncul karena takut dan terpaksa tidak bernilai. Dengan kata lain, iman yang terpaksa tidak efektif.
3. Kerugian sejati dalam kehidupan adalah mati dalam kondisi kufur dan syirik di jalan yang batil.
Muharram, Sutera Merah Syahadah
Dengan ketibaan Muharram, bermulalah bulan kepahlawanan, keberanian dan pengorbanan; bulan kemenangan darah mengalahkan pedang. Bulan di mana kebenaran menghina kuasa kebatilan di sepanjang zaman, dan kezaliman serta pemerintahan syaitani terbakar oleh pukulan api kepalsuan. Muharram adalah pengajaran untuk generasi sepanjang sejarah bagaimana kemenangan melawan pedang dan panah. Bulan di mana kuasa besar tunduk di hadapan kalimah kebenaran. Bulan di mana pemimpin umat Islam mengajarkan kita jalan perjuangan melawan pemerintah zalim; sebuah jalan yang mesti dilalui oleh pejuang kebebasan, pencari kemerdekaan dan penuntut kebenaran untuk menguasai kereta kebal, peluru dan tentera iblis. Inilah jalan kalimah hak mengalahkan kebatilan. (1)
Muharram adalah bulan di mana keadilan bangkit menentang kezaliman dan kebenaran bangun melawan kebatilan. Sejarah membuktikan kebenaran tidak pernah kalah melawan kebatilan. (2)
Muharram adalah bulan yang dengan wasilah Penghulu Para Mujahid dan Kaum Tertindas (Saidina Husin r.a), Islam dihidupkan kembali dan diselamatkan daripada konspirasi anasir fasad yang ingin ditikam oleh Bani Umayyah. Islam, sejak awal kelahirannya disirami darah syuhada dan mujahid serta membuahkan hasil. (3)
Muharram bagi pengikut Ahlul Bait adalah bulan kemenangan yang diraih dengan korban dan darah.(4)
Betapapun Muharram adalah bulan musibah, penuh kesedaran dan menggerakkan; ia (sebenarnya) sebuah gerakan agung Sayyid as-Syuhada’ (Penghulu Para Syahid) dan Pemimpin Para Wali (Saidina Husin r.a) yang berdiri di hadapan taghut untuk mengajar manusia dengan ajaran yang hidup dan teguh; mengajarkan mereka jalan meruntuhkan kezaliman dan kekerasan dengan pengorbanan dan kematian. Inilah simbol ajaran Islam untuk umat sehingga ke akhir abad. (5)
Bulan Muharram dan Safar adalah bulan yang memelihara kelestarian Islam. (6)
Kita mesti menghidupkan bulan Muharram dan Safar dengan memperingati musibah yang menimpa Ahlul Bait a.s di mana ingatan-ingatan inilah yang menjadikan mazhab ini terus terpelihara hingga hari ini. (7)
Bulan Muharram adalah bulan di mana masyarakat bersedia untuk mendengar tentang hak dan kebenaran. (8)
Kini adalah bulan Muharram yang seakan-akan ‘pedang Ilahi’ sedang berada di tangan tentera Islam yang kuat, khatib yang hebat, para ulama yang mulia, serta para pengikut Sayyid as-Syuhada a.s yang setia. Gunakanlah kesempatan ini dengan sebaiknya. Bersandarlah pada kuasa Ilahi, nescaya akar kezaliman dan pengkhianatan mampu dicincang putus. Bulan Muharram adalah bulan kekalahan adikuasa rejim Yazidiyah dan tipu-daya Syaitaniyah. (9)
Bab 1: Punca dan Faktor kebangkitan Asyura
Di zaman awal Islam selepas kewafatan Rasulullah s.a.w – pengasas keadilan dan kebebasan – Bani Umayyah telah melakukan penyimpangan untuk membenamkan Islam ke tenggorok penzalim dan memusnahkan keadilan di bawah kaki penjahat. Ketika itulah sebuah gerakan besar Asyura ditegakkan oleh Sayyid as-Syuahada Imam Husein a.s. (10)
Pemerintahan kejam Yazid telah melakarkan tinta merah ke atas wajah gemilang Islam dan menghapus segala susah payah Rasulullah s.a.w dan umat Islam di zaman awal serta pengorbanan darah syuhada dilupakan dan menjadi sia-sia. (11)
Telah hancurlah sebuah doktrin murahan yang datang dengan kesesatan jahiliyah dan usaha untuk menghidupkan rejijm nasionalisme dengan seruan “Tidak pernah ada berita yang datang dan tidak pernah ada wahyu yang turun”[1]. Sebuah dinasti monarki telah didirikan dengan mengheret Islam dan wahyu jatuh serta meruntuhkan pemerintahan Islam yang adil. Tiba-tiba seorang tokoh besar yang menghirup inti wahyu Ilahi yang dibesarkan dalam keluarga Rasulullah s.a.w dan Imam Ali al-Murtada a.s serta dari ribaan Siddiqah at-Tahirah Fatimah az-Zahra s.a telah bangun mencipta sejarah agung dengan gerakan Ilahiyah dan pengorbanan yang tiada bandingnya. (12)
Bani Umayyah memang berniat untuk menghancurkan Islam. (13)
Dinasti Bani Umayyah datang untuk menjadikan Islam sebagai rejim taghut. Islam dan pengasasnya diselewengkan. Seperti perlakuan Genghis Khan kepada Iran, Muawiyah dan anaknya yang zalim melakukan kerosakan kepada Islam atas nama khalifah Rasulullah, merubah asas ajaran wahyu kepada sebuah rejim syaitani. (14)
Sayyid as-Syuhada Imam Husein a.s melihat Muawiyah dan anaknya (semoga Allah melaknati mereka) sedang memusnahkan ajaran Islam, memberikan gambaran Islam secara salah. Islam datang untuk membentuk insan, bukan memberi kuasa untuk dirinya. Mereka ini ayah dan anak,[2] memperlihatkan Islam secara songsang. Menjadi imam jamaah tetapi minum arak! Acara mereka adalah acara yang huru-hara. Imam jamaah yang berjudi! Menjadi imam, menaiki mimbar dan berkhutbah atas nama pengganti Rasulullah tetapi bangun menentang Rasulullah s.a.w! Seruan mereka adalah Laa ilaaha illaLlah tetapi menolak Ilahiyah. Tindakan dan perilaku mereka adalah tindakan syaitan walaupun slogan mereka atas nama khalifah Rasulullah! (15)
Yazid adalah seorang yang berkuasa dan seorang sultan. Saya ingin tegaskan bahawa apa sahaja yang dimiliki oleh seorang raja dimiliki oleh Yazid. Dia menggantikan Muawiyah. Namun apakah hujah Imam Husein a.s ketika berhadapan dengan sultan di zaman itu? Apakah hujah beliau berhadapan dengan ‘payung Tuhan’ dan ‘daulat’ seorang raja? Kepada pemerintah yang memberikannya kesyahidan beliau berkata, “Saya adalah khalifah sebenar Rasulullah s.a.w!” Ini kerana pemerintah dan sekutunya adalah penyeludup yang ingin menakluki dan menelan sebuah bangsa serta kepentingannya! (16)
Kesultanan dan putera mahkota adalah pemerintahan yang batil dan jahat di mana Sayyid as-Syuhada bangun untuk menghalangnya dan beliau telah gugur syahid. Imam Husein a.s menolak pelantikan Yazid dan tidak mengakui kesultanannya. Beliau bangkit dan menyerus umat Islam untuk menentangnya. Ini semua bukan daripada ajaran Islam. Islam tidak mempunyai kesultanan dan warisan putera mahkota. (17)
Bahaya yang dibawa oleh Muawiyah dan Yazid untuk Islam bukanlah perampasan terhadap hak khalifah semata-mata. Memang ini suatu bahaya. Namun bahaya yang lebih penting yang dibawa ialah keinginan mereka untuk menjadikan pemerintahan Islam sebagai dinasti. Mereka menginginkan maknawiyah berubah menjadi taghutiyah. Atas nama ‘khalifah Rasulullah’ Islam dipesongkan menjadi rejim taghut. Ini sangat penting. Mereka berdua ingin atau telah merosakkan citra Islam. Dasar Islam diubah menjadi sistem beraja. Arak dan judi berleluasa dalam setiap majlis mereka. Kononnya ‘khalifah’ tetapi dalam acaranya terdapat arak dan judi?! Dalam masa yang sama solat berjamaah?! Budaya ini adalah bahaya besar bagi Islam.
Inilah yang ingin dihalang oleh Sayyid as-Syuhada dan bukan sekadar masalah kekhalifahan. Kebangkitan Imam Husein a.s adalah kebangkitan melawan kesultanan taghut. Kesultanan yang ingin mewarnakan Islam dengan warna lain dan jika berhasil maka Islam akan menjadi sebuah ajaran lain. Islam inilah yang diamalkan oleh rejim kesultanan 2500 tahun ini.
Sedangkan Islam adalah agama yang ingin sistem kesultanan ini dan seumpamanya diruntuhkan demi mewujudkan sebuah pemerintahan Ilahiyah di dunia ini. Agama menginginkan ‘taghut’ diganti dengan kalimah ‘Allah’ sedangkan mereka meletakkan ‘taghut’ di tempat ‘Allah’. Inilah masalah lalu dan sejarah jahiliyah. Pengorbanan Imam Husein a.s bukanlah satu kegagalan kerana kebangkitan itu adalah demi Allah. Kebangkitan Allah tidak pernah gagal. (18)
Mereka ingin memusnahkan dasar Islam dengan mencipta sebuah pemerintahan Arab. Tindakan mereka inilah menyebabkan Arab, bukan Arab dan semua umat Islam menjadi celaru. Ini bukan masalah Arab, ‘Ajam atau Parsi tetapi (bersangkutan) dengan Allah dan Islam. (19)
Sayyid as-Syuhada melihat mereka sedang mencemari Islam, melakukan perbuatan salah dengan nama khalifah dan bersikap zalim. Apakah ini akan menggambarkan bahawa khalifah Rasullulah boleh melakukan perkara-perkara sedemikian? Imam Husein a.s mengetahui tanggungjawabnya lalu berangkat ke Karbala dan gugur syahid. Dengan itu hancurlah tradisi dan penyelewangan Muawiyah dan anaknya. (20)
Sayyid as-Syuhada tidak mempunyai pengikut yang ramai. Beliau bergerak dengan segelintir sahabat dan bangun melawan Yazid yang merupakan pemerintah yang sombong, berkuasa dan berwajah Islam. Begitu juga dengan kaum keluarganya. Kononnya mereka adalah pemerintahan Islam dan khalifah Rasulullah. Itulah yang mereka khayalkan. Namun masalahnya dia adalah orang yang zalim yang memerintah tanpa hak. Inilah yang menyebabkan Aba Abdillah Imam Husein a.s bangkit dengan sebilangan kecil sahabatnya menghadapi musuh dan mengatakan, “Inilah tanggungjawabku untuk menolaknya dan mencegah kemungkaran.” (21)
Sayyid as-Syuhada ketika menghadapi pemerintah yang sedang memerintah rakyatnya dengan zalim telah berkata, “Jika kalian melihat seorang penguasa zalim sedang memerintah sebuah masyarakat dan melakukan kezaliman terhadap rakyatnya, maka kita harus bangun menentangnya dengan segenap kemampuan kita, walaupun dengan hanya beberapa orang dan terpaksa berdepan dengan tentera yang besar.” (22)
Suatu ketika Imam Husein a.s berkata bahawa ketika kami bangun menentang Yazid dan sultan yang kejam ini, dengan bilangan yang kecil berhadapan dengan jumlah yang besar dan berkuasa, yang kekuatan di tangan mereka, kita boleh berdalih dengan berkata bilangan kita kecil dan tenaga kita sedikit. Ungkapan ini disampaikan kepada rakyat di saat beliau bangkit menentang raja yang zalim pada waktu itu. Dalam khutbahnya beliau berkata, “Aku melawan orang ini adalah kerana dia telah memusnahkan janji Allah, menentang sunnah Rasulullah, melanggar kemuliaan Allah s.w.t dan mematahkannya. Rasulullah s.a.w bersabda, “Barangsiapa yang berdiam diri dan tidak menegur perkara ini, tempat mereka adalah sama dengan Yazid di Jahannam. Tempat Yazid adalah tempat orang yang berdiam diri!”[3]
Sekarang kita lihat bahawa Sayyid as-Syuhada menentang penguasa yang zalim sebagaimana yang telah dikatakan dan dianjurkan. Ingatan ini adalah untuk semua dan umum; Man ra’a – sesiapa (sahaja) yang melihat. Barangsiapa yang melihat sultan yang zalim melakukan perkara tersebut lalu berdiam diri dengan tidak berkata apapun atau tidak mengambil apa-apa tindakan, maka orang ini tempatnya sama dengan pemimpin tersebut. Yazid adalah manusia yang zahirnya berpegang kepada Islam, mengaku sebagai khalifah Nabi dan menunaikan solat. Apa sahaja yang kita lakukan, dia juga melakukannya. Tetapi apa yang dilakukannya?! Dia melakukan maksiat dan amalan yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah s.a.w. Tindakannya terhadap rakyat menyalahi sunnah Nabi. Sunnah mengatakan darah umat Islam wajib dipelihara, sebaliknya dia menumpah darah mereka. Harta umat Islam tidak boleh dibazirkan tetapi dia membazirkannya, sama seperti yang dilakukan oleh bapanya Muawiyah. Amirul Mukminin Imam Ali a.s yang menentangnya mempunyai tentera tetapi Sayyid as-Syuhada hanya memiliki sejumlah kecil pengikut dalam berhadapan dengan adikuasa yang besar. (23)
Pada ketika wajah Islam sedang dicalari, pada hari itu jugalah para pembesar Islam memberikan kuasa pemerintahan kepadanya. Zaman di mana Muawiyah dan penggantinya sedang mencemari citra Islam. Atas nama ‘Khalifah Kaum Muslimin’ dan ‘Pengganti Rasulullah’, mereka melakukan jenayah tersebut. Majlis mereka adalah majlis caca-merba!
Di sinilah tanggungjawab para pembesar Islam untuk bangun berjuang dan melawan. Mungkin sahaja masyarakat jahil menganggap pemerintahan Muawiyah dan Yazid ini adalah wajah sebenar Islam. Inilah bahaya yang menimpa Islam. Bagi Imam Husein a.s perjuangan dan jihad harus dilaksanakan walaupun terpaksa menempuh kematian. (24)
Tujuan Kebangkitan Asyura
Semua Nabi diturunkan untuk memperbaiki masyarakat, khalas. Kesemua mereka mempunyai prinsip yang sama iaitu seseorang mestilah berkorban untuk masyarakatnya. Betapapun kemuliaan seseorang – di mana yang paling mulia adalah ketika harga dirinya lebih mahal daripada segala apa yang ada di dunia – mereka harus berkorban ketika masyarakat memerlukannya. Sayyid as-Syuhada juga mengalaminya. Dia datang, mengorbankan dirinya, keluarga dan sahabatnya. Seseorang harus berkorban untuk masyarakatnya dan mereka memerlukan reformasi; (ôtâÅÝó¡É)ø9$$Î/ ¨$¨Y9$# Pqà)uÏ9)[4] Keadilan perlu dibangunkan di tengah-tengah masyarakat. (25)
Imam Husein a.s gugur syahid demi keadilan Ilahi dan tegaknya rumah (agama) Allah s.w.t. (26)
Kehidupan Sayyid as-Syuhada sama seperti kehidupan Imam Mahdi a.s. Juga seperti kehidupan para nabi sejak dari Nabi Adam sehinggalah sekarang. Kehidupan bagi mereka ialah berdiri menentang kezaliman dan menegakkan pemerintahan yang adil. (27)
Kebangkitan Sayyid as-Syuhada sejak dari awal adalah untuk menegakkan keadilan. Pemerintah (ketika itu) tidak mengamalkan kebaikan dan melakukan kemungkaran. Manakala tujuan Sayyid as-Syuhada adalah al-amr bil ma’ruf wa nahy ‘anil munkar. Selain jalan lurus tauhid, segala penyimpangan adalah kemungkaran. Sebagai pengikut Imam Husein a.s yang memerhati kehidupan, kebangkitan dan tujuannya, setiap kemungkaran harus dihapuskan. Ini termasuklah menegakkan pemerintahan yang adil dan menumbangkan penguasa yang zalim. (28)
Seluruh usia dan kehidupan Sayyid as-Syuhada adalah untuk mencegah kemungkaran, menghalang pemerintahan zalim dan menghentikan kerosakan yang dibawa oleh mereka. Sepanjang hayatnya adalah perjuangan meruntuhkan penguasaan mereka, menyeru kebaikan dan menolak kemungkaran. (29)
Sayyid as-Syuhada dengan seluruh harga dirinya, nyawanya dan anak-anaknya, mengetahui apa yang bakal terjadi. Mereka berangkat dari Madinah ke Kota Mekah dan kemudian keluar dari situ dengan penuh kesedaran tentang nasib mereka. Mereka menyedari keberangkatan Imam adalah untuk mengambil sebuah pemerintahan dan mereka berbangga dengannya. Langkah ini bukanlah tindakan yang salah kerana pemerintahan haruslah berada di tangan orang seperti Sayyid as-Syuhada, seperti pengikutnya Sayyid as-Syuhada. (30)
Sayyid as-Syuhada melihat ajaran Islam akan musnah. Inilah faktor kebangkitan Sayyid as-Syuhada, kebangkitan Amirul Mukminin berhadapan dengan Muawiyah, kebangkitan para nabi di hadapan super power dan kafir, bukan masalah untuk merebut sebuah kerajaan. Seluruh dunia ini tidak bermakna bagi mereka. Ini bukan fahaman mereka. Bukan untuk melebarkan wilayah negara. (31)
Apa yang mendorong Sayyid as-Syuhada (bergerak) ke sana adalah ideologi. Kesatuan ummah dan iman yang menariknya. Segala-galanya diserahkan kepada aqidah dan iman, dan akhirnya mati terbunuh mengalahkan musuh. (32)
Sayyid as-Syuhada bangun melawan Yazid walaupun mungkin beliau yakin tidak akan dapat menggulingkan pemerintahan Yazid. Diberitakan memang beliau menyedari hal ini. Namun dia harus bangkit menentang pemerintahan yang zalim biarpun harus memberikan nyawanya. Lalu dia bangkit dan terkorban.
Sayyid as-Syuhada memandang masa depan Islam dan umat Islam. Dia berjuang, menentang dan berkorban agar suatu hari nanti jihad sucinya itu akan muncul di tengah-tengah masyarakat sebagai suatu sistem sosio-politik yang akan dilaksanakan. (34)
Sayyid as-Syuhada melihat tanggungjawab untuk berdiri tegak di hadapan penguasa ini dan syahid sehingga suasana (masyarakat) ketika itu tergugah dengan pengorbanannya dan sebilangan kecil pengikut setianya. Beliau melihat ada pemerintahan yang zalim sedang berkuasa. Ketika itu beliau bangkit menunaikan tanggungjawab Ilahi yang telah ditentukan ke atasnya untuk bergerak, menentang dan menzahirkan penentangannya - biar apapun akan terjadi. Memang - mengikut kaedahnya - sekelompok kecil mampu berhadapan dengan kekuatan besar tersebut tetapi ini adalah taklif Ilahi. (35)
Tetapi (bagi Imam Husein a.s) ini adalah tanggungjawabnya untuk bangun dan menumpahkan darahnya sehingga umat ini dapat diperbaiki dan bendera pemerintahan Yazid diturunkan. Inilah yang telah berlaku. Darahnya tumpah, darah putera-puteranya memercik, darah keluarganya mengalir dan segala yang dimilikinya diserahkan di jalan Islam. (36)
Sayyid as-Syuhada bangkit walaupun tidak mempunyai kekuatan berhadapan dengan kuasa tersebut, sehingga beliau terbunuh. Jika beliau ingin beralasan (Na’uzubillahi min zalik) beliau boleh saja berkata; “Ini bukan tanggungjawab syarie saya”. Mereka (Bani Umayyah) ingin Sayyid as-Syuhada berdiam diri dan membiarkan mereka meneruskan kehidupan. Mereka takut pada kebangkitannya. Imam Husein a.s menghantar sahabatnya, Muslim ibn Aqil untuk menyeru rakyat memberi bai’ah kepada pemerintahan Islam yang akan dibentuknya; dan meruntuhkan pemerintahan fasik ini. Imam Husein a.s boleh duduk di tempatnya di Madinah dan memberi bai’ah kepada Yazid (Na’uzubillahi min zalik), tentu mereka gembira, menghormatinya dan mencium tangannya! (37)
Sayyid as-Syuhada menggadaikan nyawanya untuk Islam. (38)
Sayyid as-Syuhada menyerahkan para sahabatnya, anak-anak muda dan apa saja yang beliau miliki – sedang beliau tidak mempunyai harta kekayaan – di jalan Allah demi menguatkan Islam dan menentang kezaliman dan empayar ketika itu lebih luas daripada hari ini. (39)
Sayyid as-Syuhada terbunuh bukan sekadar untuk mendapatkan pahala. Baginya pahala bukan perhitungan. Apa yang lebih penting adalah menyelamat agama ini, demi kemajuan dan kelestarian Islam. (40)
Nabi s.a.w kalah dalam beberapa peperangan. Imam Ali a.s juga tewas dalam perangnya melawan Muawiyah dan Sayyid as-Syuhada juga mati terbunuh. Tetapi semuanya demi ketaatan kepada Allah. Segala harga diri hanya untuk Allah, dan dari dimensi ini tidak ada makna kegagalan. Inilah tanda ketaatan. (41)
Syuhada Karbala: Pilihan Sebuah Kesedaran
Semakin Sayyid as-Syuhada menghampiri hari Asyura, semakin dekat dengan hari kesyahidan. Para pemuda berlumba-lumba untuk mati syahid. Mereka semua tahu bahawa mereka akan gugur syahid beberapa jam lagi. Mereka berlumba-lumba kerana mereka tahu ke mana mereka akan pergi dan faham untuk apa mereka datang. Mereka sedar bahawa mereka datang untuk menunaikan tanggungjawab Ilahi dan datang untuk memelihara Islam. (42)
Dalam beberapa riwayat kita melihat ketika waktu tengahari Asyura menghampiri, Husein bin Ali a.s semakin bersemangat dan bergelora jiwanya. Beliau melihat ini adalah jihad di jalan Allah. Beliau sedar orang yang berjihad demi Allah akan kehilangan orang-orang yang dikasihi tetapi mereka menjadi bekal di alam Baqa. (43)
Khabar kesyahidan Imam Husein a.s terlihat dalam mimpi Rasulullah sa.w. Baginda bersabda kepada Imam Husein a.s: “Kamu tidak akan sampai ke satu darjat dalam syurga melainkan dengan kesyahidan.” (44)
Waktu zohor hari Asyura dalam kegawatan perang, salah seorang sahabat Sayyid as-Syuhada berkata, “Sudah masuk waktu zohor.” Imam Husein berkata, “Kamu mengingatkan solat dan Allah memasukkan kamu dalam kelompok orang-orang yang menunaikan solat.” Imam Husein tidak berkata kita ingin berperang, tidak! Justeru kita berperang adalah untuk solat. (45)
Dalam kecamuk perang dan masing-masing menanti saat akan terkorban, Ali Akbar, putera Imam Husein a.s yang masih remaja berkata, “Bukankah kebenaran bersama kita? Lalu mengapa harus kita takut.” Imam a.s menjawab, “Ya! (Kita tidak takut) saat kebenaran bersama kita.” (46)
Renungilah keredhaan Allah dan ketahuilah bahawa kalian adalah hamba Tuhan. Kita harus redha dengan apa yang terjadi dan menerima seperti hamba Allah yang ikhlas dan para auliya-Nya. Begitulah yang terjadi ke atas Sayyid as-Syuhada. Menurut riwayat, ketika tengahari Asyura menjelang dan satu demi satu para pemudanya gugur syahid, wajah beliau semakin bercahaya kerana dia tahu dia sedang menghampiri tujuannya. (47)
Pejuang muda, tentera yang berani dan bersenjata ini mengikuti jalan kesyahidan abadi. Sejarah mencatatkan setiap wajah-wajah pemuda dan sahabat Imam Husein a.s yang gugur syahid bercahaya dan memancar keberanian justeru keputusan jelas mereka untuk berjuang. (48)
Hasil dan Kesan Kebangkitan Imam Husein a.s
Jika tidak ada Asyura dan pengorbanan keluarga Nabi, maka taghut akan menghancurkan segala misi kenabian dan penat lelah Rasulullah. Jika tidak ada Asyura, wahyu dan Kitab Allah akan tercoret tinta penyelewengan dengan helah jahiliyah Abu Sufiyan. Yazid adalah simbol warisan zaman penyembahan berhala yang menyangka akar Islam akan tercabut dengan terbunuh dan syahidnya putera-putera wahyu ini. Dengan bongkak dia mengumumkan, “Tidak ada berita (kenabian) yang datang dan tidak ada wahyu yang turun!” dengan harapan pemerintahan Ilahi akan terhapus. (Jika ini berlaku) kita tidak tahu apakah nasib al-Quran dan Islam yang kita cintai ini. Tetapi kuasa Allah mengatasi segalanya. Dia yang memelihara Islam sebagai agama penyelamat dan al-Quran sebagai kitab pembimbing. Agama ini terjaga dengan darah para syuhada. Husein bin Ali sebagai warisan nubuwah dan titisan wilayah telah mengorbankan nyawanya dan orang-orang yang disayanginya demi umat Nabi Muhammad s.a.w. Darahnya yang suci mengalir di sepanjang sejarah menyirami agama Allah, menumbuhkan wahyu dan menyuburkan hasilnya. (49)
Kesyahidan Penghulu Kaum Mazlum dan pendokong al-Quran pada hari Asyura, merupakan bermulanya kehidupan abadi Islam dan kelestarian al-Quran. Mereka berjaya menghapuskan impian Yazid yang menggunakan Islam untuk kepentingannya sekaligus memadam watak Abu Sufiyan dari pentas sejarah. (50)
Pada ketika itu (hari Asyura) Yazid menggali kuburnya sendiri dan meletakkan namanya kekal dalam senarai pemerintah zalim. Demikian juga pada 15 Khordad (5 Jun 1963), orang-orang Reza Pahlavi, para pendokong dan sekutu jahatnya dengan tangan kejam monarki telah menggali kubur mereka sendiri dan jatuh terhina ke dalamnya. Alhamdulillah, bangsa besar Iran ini telah menang dan mengutuk ke atas kuburan mereka. (51)
Jika tidak ada gerakan ini, gerakan Imam Husein as, Yazid dan orang-orang Yazid akan memperlihatkan Islam secara songsang. Dan sejak dari mula, mereka tidak percaya pada Islam. Mereka dengki dan hasad pada auliya Islam. Sayiddul Syuhada dengan pengorbanan ini, selain mereka telah dikalahkan dan meninggalkan sedikit, rakyat diberikan kesedaran apa yang telah berlaku dan musibat apa yang telah terjadi. Musibat itulah yang menyebabkan berkecainya keadaan Bani Umayah. (52)
Tokoh besar yang menghirup unsur wahyu Ilahi dan dibesarkan dalam keluarga Sayyid Rasullullah mustafa dan Sayid Auliya Ali Murtada, dalam riba Siddiqah Tahirah bangun dan dengan pengorbanan yang tidak ada tandingannya serta gerakan Ilahinya mewujudkan kejadian besar sehingga istana kejam zaman itu tumbang dan agama Islam diselamatkan. (53)
Sayyid as-Syuhada mendirikan gerakan besar Asyura dan dengan pengorbanan dan darahnya serta orang-orang yang dikasihinya menyelamatkan Islam dan keadilan serta mengecam dan menumbangkan fasilitas dan fondasi Bani Umayah. (54)
Jika bukan dikeranakan pengorbanan penjaga Islam dan syahid keberanian tentera besar dan sahabat-sahabat pengorbannya, Islam sudah pasti akan diperkenalkan secara songsang oleh Bani Umayah dan rezim zalim, maka segala susah payah Nabi Muhammad dan para sahabatnya yang penuh pengorbanan akan menjadi sia-sia. (55)
Majoriti para Imam samada terbunuh atau diracuni, tetapi agama Islam tetap terpelihara. Mereka mati terbunuh tetapi ajaran mereka tetap terjaga. Agama mereka tetapi lestari. Dengan kematian mereka agama ini tetap hidup. (56)
Walaupun auliya banyak kehilangan haknya, namun ajaran mereka tetap terjaga. Sayyid as-Syuhada as telah terbunuh bersama dengan sahabat dan keluarganya. Tetapi ajaran/agamanya maju kedepan; agama tidak kalah malah maju ke depan. Bani Umayah telah dapat dikalahkan sepanjang abad dengan terbunuhnya Sayyid as-Syuhada; dengan kata lain Islam yang ingin ditonjolkan oleh Bani Umayah dan dengan mendakwa diri sebagai khalifah melaksanakan bertentangan dengan segala nilai-nilai insani. Sayyid as-Syuhada as mengalahkan rezim ini, rezim fasad ini dengan pengorbanan darahnya walaupun mati terbunuh. (57)
Auliya Tuhan juga merasa kekalahan. Imam Ali as dikalahkan oleh Muawiyah. Tidak dapat diperkatakan. Dia kalah. Imam Husein as juga kalah dalam perang menentang Yazid dan mati terbunuh tetapi pada realitinya beliau menang. Pada zahirnya tampak dia kalah tetapi hakikatnya dia menang. (58)
Islam yang anda dapat lihat hari ini, di sini sedang kita hidup, Sayyid as-Syuhada lah yang memeliharanya. (59)
Islam adalah agama yang amat dicintai sehingga anak-anak Rasulullah saaw mengorbankan nyawa untuk Islam. Sayyid as-Syuhada as bersama anak-anak muda, bersama para sahabat setianya berperang untuk Islam dan mati terbunuh dan Islam tetap hidup selamanya. (60)
Perjuangan Sayyid as-Syuhada as adalah perjuangan menentang pemerintahan masa itu, yang merupakan pemerintahan taghut. Kesyahidan Sayyid as-Syuhada tidak mendatangkan kerosakan pada Islam, malah Islam dapat maju ke hadapan. Jika tidak dikeranakan kesyahidannya, Muawiyah dan putranya akan menampilkan Islam dalam bentuk lain kepada dunia, atas nama Khalifah Rasulullah, dengan pergi ke masjid, mendirikan solat jumaat dan menjadi imam solat Jumaat, mendirikan solat jemaah, menjadi imam solat jemaah. Nama, mengatasnamakan khalifah Rasulullah dan pemerintahan, pemerintahan Islam tetapi pengisiannya bertentangan dengan Islam, bukan pemerintahan, pemerintahan Islam yang berlandaskan pada pengisian, dan bukan pemerintahan, pemerintahan Islam. Sayyid as-Syuhada as, mempunyai peran untuk membatalkan segala usaha mereka untuk mengembalikan Islam kepada jahiliyah dan menunjukkan Islam seperti zaman lalu. (61)
Syahidnya Sayyid as-Syuhada menghidupkan agama. Beliau sendiri gugur syahid, agama Islam tetap hidup dan rezim taghut Muawiyah dan putranya dikapankan. Ini kerana Sayyid as-Syuhada meliaht mereka ini berusaha untuk mencemarkan Islam, melakukan kesalahan atas nama khalifah Islam dan melakukan kezaliman serta ini akan terpancar/terefleksi di dunia bahawa khalifah Rasulullah melakukan kerja-keraja ini. Sayyid as-Syuhada yang mengenal akan tanggung jawabnya iaitu pergi dan mati terbunuh; dan menghancurkan kerja-kerja Muawiyah dan putranya. Selepas terbunuh, kesyahidan Sayyid as-Syuhada tidak merugikan apa-apa pada Islam, sebaliknya menguntungkan Islam, menghidupkan Islam. (62)
Jika tidak ada Sayyid as-Syuhada, rezim taghut ini akan memperkokohkan perkara ini, kembali pada jahiliyah. JIka saat ini saya dan anda adalah muslim, maka kita adalah muslim taghut, bukan muslim seperti Imam Husein. Imam Huseinlah yang menyelamatkan Islam. (63)
Sayyid as-Syuhada juga kalah dan mati terbunuh. Tetapi dia telah mencapai kemenangan puncak. Agamanya tidak terkubur dengan kematiannya. Musuhnya mundur. Muawiyah dan sekutu-sekutu Muawiyah yang ingin mengubah Islam dalam bentuk emparator kembali ke zaman jahiliyah, kembali kepada kondisi jahiliyah telah dikalahkan. Yazid dan orang-orang Yazid dikubur/dikapankan hingga abadi dan rakyat melaknat mereka sehingga abadi. Tuhan juga melaknat mereka dan mereka iaitu Imam Husein juga terpelihara. (64)
Sayyid as-Syuhada adalah Sayyid as-Syuhada. Agama terjamin dengan amalannya. (65)
Ana minal Hussein seperti yang telah diriwayatkan dari Rasulullah saaw, Rasul bersabda, dengan maksudnya, maknanya Husein adalah kepunyaan ku dan aku juga hidup darinya. Telah dinukilkan darinya. Semua barakah ini adalah dari kesyahidannya, walaupun musuh ingin segala hasil kerjanya musnah, mereka ingin akar Bani Hasyim disingkirkan……bahasa arab mereka mengatakan yang mereka ingin membuang dasar Islam dan mendirikan sebuah kerajaan arab. (66)
Ketika Imam Husein bergerak menuju Mekah dan saat beliau keluar dari kota Mekah, ia merupakan sebuah gerakan politik yang besar ketika mana dalam waktu yang sama, orang ramai sedang menuju ke Mekah. Beliau pula keluar dari kota tersebut. Ini adalah sebuah gerakan politik, semua gerakannya adalah gerakan politik. Islam politik dan gerakan Islam politik inilah yang telah menumbangkan Bani Umayah dan jika tidak dikeranakan gerakan ini, sudah tentu Islam hancur lebur. (67)
Imam Husein as-beliau dan seluruh anak-anak dan para sahabatnya berkorban dan selepas kesyahidannya, Islam semakin kokoh. (68)
Sayyid as-Syuhada as mati terbunuh, kalah tetapi Bani Umayah sedemikian menanggung kekalahan sehingga ke akhir mereka tidak mampu untuk berbuat apa-apa; seperti darah yang mengalir ini, pedang itu ditarik, seperti yang kita lihat sekali lagi kemenangan berpihak pada Sayyid as-Syuhada dan kekalahan adalah bersama Yazid dan sekutu-sekutunya. (69)
Sayyid as-Syuhada bersama hak dan bersama sebilangan kecil bangun menentang dan dalam hal ini mencapai kesyahidan dan anak-anak beliau juga gugur syahid, tetapi Islam hidup dan rahsia Yazid dan Bani Umayah terbongkar. (70)
Sayyid as-Syuhada as bersama beberapa sahabatnya, beberapa orang dari keluarganya, bangun menentang dari kemuliaannya. Kerana kebangkitan demi Allah, menumbangkan dasar kesultanan kejam. Walaupun beliau terbunuh tetapi dasar kesultanan, dasar kesultanan yang ingin Islam berubah dalam bentuk kesultanan taghut tumbang. (71)
Orang yang bekerja untuk Tuhan tidak pernah gagal di dalamnya, walaupun terbunuh tidak kalah. Sayyid as-Syuhada juga terbunuh tetapi adakah beliau kalah? Saat ini benderanya terpacak megah dan tidak ada kaitan dengan Yazid. (72)
Jika tidak dikeranakan kebangkitan Sayyid as-Syuhada, maka kita juga tidak mungkin mencapai kemenangan. (73)
Kebangkitan Asyura, contoh kebebasan
Sayyid as-Syuhada as mengajar kepada semua apa yang patut dilakukan ketika menghadapi kezaliman, menghadapi kejahatan, dalam menghadapi pemerintahan kejam. Walaupun sejak awal beliau mengetahui bahawa jalan yang akan ditempuh ini adalah jalan yang akan mengorbankan semua sahabat dan keluarganya dan orang-orang yang dikasihi Islam ini berkorban untuk Islam, tetapi mereka juga tahu akan akibatnya. Jika tidak ada gerakan ini, gerakan Husein as, Yazid dan sekutu-sekutunya akan menonjolkan Islam secara songsang. Dan sejak awal, mereka ini tidak percaya pada Islam dan mereka ini sebenarnya dengki dan hasad pada auliya Islam. Dengan pengorbanan ini Sayyid as-Syuhada, selain mengalahkan merekta dan tidak lama berlalunya waktu, rakyat mula menyedari apakah yang telah terjadi dan apakah mala petaka yang menimpa. Musibat inilah yang menyebabkan hancurnya Bani Umayah, selain itu, di sepanjang sejarah diajari kepada semua bahawa inilah jalannya. Janganlah bimbang dengan angka bilangan, bilangan tidak akan menjadi kerja, kualiti bilangan, kualiti jihad, satu bilangan berhadapan dengan bilangan besar, itulah yang akan menjadi kerja. Mungkin saja sedikit tetapi kualitinya berkemampuan dan mulia. (74)
Imam umat Islam mengajar kepada kita ketika penzalim zaman itu berkuasa di atas umat Islam, memerintah secara zalim, dalam menghadapi dengannya, andaipun kekuatan kalian tidak seberapa bangunlah dan berjuanglah. Jika melihat Islam dalam keadaan bahaya, berkorbanlah dan sumbangkanlah darah kalian. (75)
Dengan pekerjaannya Sayyid as-Syuhada mengajar kita apa yang harus kita lakukan dalam lapangan dan bagaimana pula sikap kita saat berada di luar medan, mereka yang berjuang secara bersenjata, bagaimana mereka mesti melakukan dan mereka yang berada di belakang medan perang bagaimana mereka mesti berdakwah. Kualiti perlawanan adalah bagaimana untuk bangkit dengan bilangan sedikit dalam berhadapan dengan bilangan besar yang kuat. Kualitinya adalah bagaimana dengan sebilangan kecil ini semestinya berhadapan dengan pemerintahan zalim yang menguasai semua tempat, inilah yang diajari oleh Sayyid as-Syuhada kepada bangsa dan demikian juga ahlul bait beliau dan anak-anak mulianya memahami selepas musibah yang menimpa mereka, apa yang mesti mereka lakukan. Mestikah mereka menyerah? Mestikah mereka mengurangkan perjuangan mereka? Atau bangun seperti Sayyidah Zainab sa menelurusi musibah besar tersebut yang disebut .......bahasa arab.. dan bersuara dihadapan kufar dan dihadapan zindiq dan di mana saja beliau menemui kesempatan beliau menyampaikan hal yang berlaku dan Ali bin Husein as dalam keadaan lemah kerana sakit menyampaikan apa yang telah berlaku. (76)
Sayyid as-Syuhada dan sahabat-sahabat dan ahlul baitnya mengajar kita tanggung jawab: berkorban di medan, berdakwah di luar medan. Pengorbanan yang sedemikian itu berharga di hadapan Allah swt dan membantu hasil gerakan Imam Husein as, khutbah-khutbah Imam Sajjad dan Zainab sedemikian itu atau hampir besar itu memberikan kesan.
Mereka memberikan kita kefahaman bahawa di hadapan si zalim, di hadapan pemerintahan batil, perempuan tidak harus takut, lelaki tidak mesti takut. Di hadapan Yazid, Sayyidah Zainab sa berdiri dan menghina Bani Umayah, penghinaan atau celaan yang tidak pernah mereka dengar seumur hidup dan dalam kata-kata nya dalam perjalanannya dan di Kufah, di Syam dan di mimbar-mimbar yang ditempuh oleh Imam Sajad as. Mereka menjelaskan apa yang telah terjadi, bukan persoalannya tidak hak melawan yang hak, mengenal kami sebagai orang jahat; apa yang ingin diperkenalkan oleh Sayyid as-Syuhada ialah kami adalah orang yang berhadapan dengan pemerintahan waktu itu, yang mengaku diri mereka sebagai Khalifah Rasulullah. Imam Sajjad mendedahkan perkara ini di hadapan orang ramai dan begitu juga Zainab sa.
Tanggung jawab kita telah ditetapkan oleh Sayyid as-Syuhada, janganlah bimbang atau khuatir dengan bilangan kecil saat berada dalam medan perang, janganlah takut pada kesyahidan. Betapa besar tujuan dan ideologi insan, sebesar itulah kita mesti menanggung kesusahannya. (77)
Imam Husein as dengan sebilangan kecilnya berkorban segalanya demi Islam, berdiri di hadapan sebuah empayar besar dan berkata "tidak". (78)
Dalam keadaan syahidnya Sayyid as-Syuhada kita kehilangan lebih tinggi dari semua hal, tetapi beliau melakukan pengorbanan kerana beliau tahu apa yang beliau lakukan dan kemana perginya dan apa tujuannya, beliau gugur syahid dan kita juga mestilah melakukan pengorbanan dengan mengambil kira apa yang dilakukan oleh Sayyid as-Syuhada dan apatah lagi memusnahkan kezaliman dan apa yang telah kita lakukan. (79)
Sayyid as-Syuhada as saat melihat sebuah pemerintahan zalim, kejam sedang memerintah rakyat, menjelaskan bahawa kita kita melihat seorang pemerintah kejam sedang memerintah, kita haruslah bangun menentangnya, mencegahnya semampu mungkin; dengan beberapa orang, hanya dengan beberapa orang, di hadapan tentera yang dilengkapi. Begitulah. Tetapi dia mengetahui bahawa tanggung jawabnya adalah bangun menentang dan dia mengorbankan darahnya untuk mengislah bangsa ini, sehingga bendera Yazid ini jatuh terbaring dan begitulah jadinya, khalas. Dia memberikan darahnya dan darah anak-anaknya serta keluarga dan semua yang dimilikinya demi Islam. Adakah darah kita lebih berwarna dari darah Sayyid as-Syuhada? Kenapa kita mesti takut untuk menyumbangkan darah kita atau mengorbankan nyawa kita? Mereka pula dalam keadaan …….Sultan kejam berkata: Saya muslim, muslimnya Yazid sama dengan muslimnya Syah; Jika tidak lebih, tidak pula kurang kerana bersikap demikian terhadap rakyat dan dia merupakan seorang lelaki yang kejam, zalim dan inginkan rakyat menunjukkan kesetiaan tidak berbelah bagi padanya, itulah makanya Sayyid as-Syuhada melihat perlu beliau bangun menentang walaupun terpaksa menyerahkan nyawanya. (80)
Adalah satu perintah atau arahan. Arahan kerja Imam Husein as adalah arahan untuk semua. ……..bahasa arab….adalah arahan setiap hari di setiap tempat iaitu mesti melanjutkan gerakan tersebut dengan program yang sama.
Imam Husein dengan sebilangan kecil berkorban untuk Islam; berdiri menentang sebuah empayar besar dan berkata ‘tidak’; kita mesti memelihara kata-kata tidak ini di setiap hari dan di setiap tempat. (81)
Kalimat….bahasa arab….. adalah sebuah kalimat besar yang telah disalah ertikan. Mereka membayangkan bahawa kita mesti menangis setiap hari! Tetapi bukan ini pengertiannya. Apakah yang telah dilakukan oleh Karbala, apakah peran yang dimainkan oleh tanah Karbala pada hari Asyura, semua tanah/negara mestilah demikian. Peranan Karbala adalah tempat di mana Sayyid as-Syuhada as dengan beberpa orang dan sebilangan yang terbatas, datang ke Karbala dan berdiri di hadapan si zalim Yazid dan berhadapan dengan empayar zaman tersebut dan berkorban serta mati terbunuh. Tetapi tidak menerima kezaliman dan mengalahkan Yazid. Semua tempat mestilah demikian. Semua hari mestilah demikian. Pada semua hari, bangsa kita mestilah mempunyai makna demikian bahawa hari ini adalah hari Asyura dan kita mesti berdiri di hadapan kezaliman. Dan di tempat ini adalah juga Karbala dan kita mesti bergerak dengan peran Karbala, tidak terbatas pada satu tempat, tidak terbatas pada seseorang. Persoalan Karbala tidak terbatas pada sebuah kelompok dengan 70 beberapa orang di satu tempat bernama Karbala. Semua tanah/tempat mestilah melaksanakan peranan ini dan tidak melalaikan semua hari. Bangsa tidak boleh lalai/lupa bahawa kita mesti senantiasa berdepan dengan kezaliman. (82)
Janganlah bimbang dan khawatir, tidak merasa gentar, takut dan bimbang dibuang jauh-jauh dari dalam diri. Anda adalah pengikut dan pendukung yang berdiri tegas dan sabar berhadapan dengan musibah dan tragedi. Apa yang kita lihat hari ini berbanding dengan apa yang berlaku hari itu tidak ada apa-apanya. Tokoh-tokoh besar kita telah melalui peristiwa-peristiwa seperti hari Asyura dan malam ke 11 Muharam serta menanggung musibah yang agak besar di jalan agama Allah. Apakah yang kalian cakap hari ini? Apa yang kalian takutkan? Untuk apa anda merasa bimbang? Adalah aib/memalukan bila seseorang itu mengatakan dirinya pengikut Imam Ali as dan Imam Husein as, tetapi menyerah di hadapan perbuatan rasuah dan kerja-kerja jahat alat pemerintahan. (83)
Gerakan 12 Muharam (15 Khurdod) dalam berhadapan dengan istana kejam Syah dan orang-orang asing adalah mengikuti gerakan suci Huseini yang begitu kuat dan konstruktif yang telah diteruskan oleh pejuang mujahid, sedar dan penuh pengorbanan dengan gerakan dan pengorbanan menghadapi si zalim dan kejam, sedemikian bangsa besar disedar dan digerakkan untuk bersatu sehingga merampas tidur dari mata pihak asing dan penyembah pihak asing. Hauzeh Ilmiah, universiti-universiti dan pasar-pasar dibentuk menjadi tembok pelindung para penuntut keadilan dan menjadikan Islam sebagai agama mulia. (84)
Hari ini ada satu perkara yang penting. Begitu penting sehingga nyawa mesti dikorbankan. Penting sehingga Sayyid as-Syuhada berkorban nyawa untuknya, begitu penting sehingga Nabi Islam bekerja keras selama 23 tahun, begitu penting sehingga Imam Ali as berjuang menentang Muawiyah dan dikala Muawiyah mengaku Islam sedangkan dia adalah sultan kejam, sedangkan ia adalah alat kekejaman, yang mesti ditumbangkan. Sehingga sahabat-sahabat mulianya terbunuh, sehingga pihak lawan juga banyak yang terbunuh; untuk apa?? Untuk mendirikan hak, untuk menegakkan keadilan. (85)
Kita tidak lebih mulia dari Sayyid as-Syuhada. Kita melaksanakan tanggung jawab kita, walaupun mati terbunuh. (86)
Kenangan pahit 17 Shahriwar 57 dan kenangan getir hari-hari besar yang dilewati dengan buah manis menumbangkan istana despotik, arogan dan digantikan dengan bendera republik keadilan Islam. Bukan kah itu ajaran ......bahasa arab...yang mesti menjadi sumber pada umat Islam. Kebangkitan semua orang pada setiap hari dan di setiap negara/tanah. Asyura adalah kebangkitan para penuntut hak, dengan sebilangan kecil dan iman serta cinta yang besar, berhadapan dengan si zalim penduduk istana dan arogan perampas dan arahannya adalah ini merupakan program contoh kehidupan di setiap hari dan di setiap tanah. Hari-hari yang kita lalui, Asyura berlaku secara berulang-ulang di medan, jalan, rumah, lorong di mana darah anak-anak Islam tumpah, disitulah Karbala berulang. Dan arahan yang mengajar ini merupakan tanggung jawab dan sebuah berita. Tanggung jawab bahawa walaupun bilangan orang yang teraniaya itu sedikit untuk berdepan dengan arogan, jikapun pihak yang dihadapi itu dilengkapi dengan segala alat dan berkuasa, kita ditugaskan untuk bangkit seperti mana yang dilakukan oleh pemimpin para syuhada; diberitakan bahawa kesyahidan adalah rahasia kemenangan. 17 Shahriwar merupakan pengulangan Asyura dan medan syuhada, pengulangan Karbala dan kesyahidan kita, pengulangan/berulangnya tragedi syahid Karbala dan kesyahidan kita, pengulangan syahid Karbala dan penentang bangsa kita, pengulangan Yazid dan sekutu-sekutunya. Karbala menghancurkan istana jahat dengan darah; Karbala kita menumbangkan istana kesultanan setan. Kini masanya kita pewaris darah-darah ini dan pemuda yang tinggal dan syuhada yang disalut darah tidak menyerah(melanjutkan perjuangan) sehingga pengorbanan mereka membuahkan hasil dan dengan pentadbiran yang istiqamah dan genggaman yang kuat, sisa-sisa rezim kejam dan para konspirator perampok timur dan barat dapat dikuburkan di bawah kaki para syuhada. (87)
Bangsa besar ini pada ulang tahun tragedi letupan yang jatuh pada tarikh 15 Khurdod 42 mengambil inspirasinya dari Asyura. Jika Asyura, kehangatan dan semangat bergeloranya tidak ada, belum tahu sama ada kebangkitan ini akan berlaku tanpa masa lalu dan terorganisir. Kejadian besar Asyura berlaku pada 61 Hijriah sehingga Khurdod 61 adalah kebangkitan.......................dalam setiap potongan sejarah merupakan pembuat revolusi. (88)
Saat ini kita melihat dalam medan-medan perang menunjukkan mereka, semuanya sedang berusaha mehangatkan medan-medana perang dengan cinta pada Imam Husein as. (89)
Kini bangsa kita memahami maksud.....bahasa arab..Di acara-acara peringatan dan doa-doa malam Asyura, mereka menghidupkan para sahabat Sayyid as-Syuhada dalam jiwa-jiwa mereka. (90)
Imam Husein as memelihara Islam dengan darah mereka, kalian dengan mengikutinya menjamin kehidupan revolusi dan Islam. (91)
Dalam hal di mana anak-anak muda layak kita, kita kehilangan pemuda-pemuda kita yang bekerja dengan baik, tetapi apa yang kita dapati adalah lebih dari maksud ini. Itulah Sayyid as-Syuhada mengorbankan wanita dan anak-anaknya, apa yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah dalam kehidupannya dan para Imam Maksumin kita menderita dan melalui segala kesulitan dalam menempuh jalan ini. (92)
[1] Sebahagian daripada bait syair Abdullah bin Zab’ari yang berbunyi;
Telah dipersenda Bani Hasyim dengan dinasti yang percaya
Tidak pernah ada berita yang datang dan tidak pernah ada wahyu yang turun
Syair ini dibacakan oleh Yazid bin Muawiyah sambil menjolok tongkatnya ke gigi Imam Husein a.s ketika kepala Imam Husein a.s dibawa ke hadapannya di Syam. Syair ini membuktikan bahawa Yazid tidak pernah beriman dengan al-Quran dan mempersendakan kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. Lihat Allamah Sya’rani, t.t., Dumi’a as-Sujum fi Tarjumah Nasf al-Mahmum, m.s 252.
[2] Sama seperti raja Iran yang terakhir Reza Khan Pahlawi dan anaknya Muhammad Reza yang menggunakan Islam untuk kepentingan diri dan dinasti mereka.
[3] Telah berkata Abu Mihnaf daripada ‘Uqbah bin Abi al-‘Izari: “Sesungguhnya Imam Husein a.s telah berkhutbah di hadapan para sahabatnya dan pengikut al-Hurr di sebuah tempat bernama Baidhah. Setelah memuji Allah, beliau berkata, “ Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah s.a.w telah bersabda, “Barangsiapa yang melihat sultan yang zalim menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, menyalahi Sunnah Rasulullah dan memperlakukan hamba-hamba Allah dengan zalim dan dosa, lalu tidak menegurnya dengan perbuatan atau perkataan, maka berhak ke atas Allah untuk memasukkan dia ke (neraka) tempat sultan yang zalim tersebut.” Lihat Tarikh Tabari, Jilid 4, muka surat 304.
[4] “Demi sesungguhnya! Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti dan mukjizat yang jelas dan Kami telah menurunkan bersama mereka Kitab suci dan keterangan yang menjadi neraca keadilan, supaya manusia dapat menjalankan keadilan dan Kami telah menciptakan besi dengan keadaannya mengandungi kekuatan Yang handal serta berbagai faedah lagi bagi manusia.” Surah al-Hadid, ayat 25.
Seyed Ali Khamenei
“Carilah seorang seperti Khamenei yang komitmen terhadap Islam, pengkhidmat, dan yang hatinya yang berpikir melayani bangsa ini, tentu kalian tidak akan mendapatkannya. Aku telah mengenalnya bertahun-tahun”.
Imam Khomeini r.a
Kelahiran hingga sekolah
Rahbar atau Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, putra almarhum Hujjatul Islam wal Muslimin Haj Sayyid Javad Husaini Khamenei, dilahirkan pada tanggal 24 Tir 1318 Hijriah Syamsiah (16 Juli 1939) atau bertepatan dengan tanggal 28 Shafar 1357 Hijriah di kota suci Mashad. Beliau adalah putra kedua. Kehidupan Sayyid Javad Khamenei sangat sederhana sama seperti kebanyakan ulama dan pengajar agama lainnya. Istri dan anak-anaknya memahami secara mendalam makna zuhud dan kesederhanaan dengan baik berkat bimbingannya. Ketika menjelaskan kondisi kehidupan keluarganya, Rahbar mengatakan, “Ayah saya adalah ulama yang terkemuka, namun sangat zuhud dan pendiam. Kehidupan kami cukup sulit. Saya teringat, sering di malam hari kami tidak memiliki apa-apa untuk dimakan! Ibu saya dengan susah payah menyiapkan makan malam… hidangan makan malam itu adalah roti dan kismis”.
“Rumah ayah di mana saya dilahirkan –hingga saya berusia empat sampai lima tahun- berukuran 60 - 70 meter persegi di kawasan miskin Mashad. Rumah ini hanya memiliki satu kamar dan sebuah ruang bawah tanah yang gelap dan sempit. Ketika ayah saya kedatangan tamu (karena ayah saya adalah seorang ulama dan menjadi rujukan masyarakat, beliau sering kedatangan tamu) kami pergi ke ruang bawah tanah sampai tamu itu pergi. Kemudian beberapa orang yang menyukai ayah saya membeli tanah di samping rumah dan menggabungkannya dengan rumah kami sehingga rumah kami memiliki tiga kamar”.
Seperti inilah beliau dibimbing dan sejak usia empat tahun Rahbar bersama kakak beliau yang bernama Sayyid Mohammad diserahkan ke maktab untuk mengenal alpabet dan belajar membaca AlQuran. Setelah itu, kedua bersaudara ini melalui jenjang pendidikan dasar mereka di sekolah Islam yang saat itu baru dibangun “Daar At-Ta’lim Diyanati”.
Di Hauzah Ilmiah
Setelah mempelajari Jamiul Maqaddimat, ilmu sharf dan nahwu, beliau masuk ke hauzah ilmiah serta belajar ilmu-ilmu dasar dan sastra dari ayah beliau dan para guru lainnya. “Faktor dan alasan utama saya memilih jalan bercahaya keruhanian ini adalah ayah saya dan ibu saya yang selalu mendukung saya.”
Beliau belajar ilmu tata bahasa Arab Jamiul Muqaddimat, Suyuthi dan Mughni dari para guru di madrasah Sulaiman Khan dan Navvab. Sang ayah mengawasi terus dan memantau perkembangan pendidikan anaknya. Pada masa itu Sayyid Ali Khamenei juga mempelajari buku Ma’alim. Kemudian beliau belajar kitab Syarai’ Al Islam dan Syarh Lum’ah dari sang ayah dan sebagiannya dari almarhum Agha Mirza Modarris Yazdi. Untuk kitab Rasail dan Makasib, beliau menimba ilmu dari almarhum Haj Syeikh Hashim Qazveini, dan pelajaran lainnya di jenjang fiqih dan ushul, beliau dibimbing langsung oleh sang ayah. Beliau melalui tingkat dasar itu sangat cepat hanya dalam kurun waktu lima setengah tahun. Ayah beliau pada masa itu berperan sangat besar dalam perkembangan anaknya. Sayid Ali Khamenei berguru pada almarhum Ayatullah Mirza Javad Agha Tehrani di bidang ilmu logika, filsafat, kitab Mandzumah Sabzavari, dan kemudian beliau juga belajar dari almarhum Syeikh Reza Eisi.
Di Hauzah Ilmiah Najaf
Sejak usia 18 tahun Ayatullah Khamenei mulai belajar tingkat darsul kharij (tingkat tinggi) ilmu fiqih dan ushul di kota Mashad dari seorang marji’ almarhum Ayatullah Al Udzma Milani. Pada tahun 1336 hijriah syamsiah (1957) beliau pergi menuju kota Najaf di Irak untuk berziarah. Setelah menyaksikan dan ikut dalam kelas darsul kharij dari para mujtahid di hauzah Najaf termasuk almarhum Sayyid Muhsin Hakim, Sayyid Mahmoud Shahroudi, Mirza Bagher Zanjani, Sayyid Yahya Yazdi, dan Mirza Bojnourdi, Sayid Ali Khamenei sangat menyukai kondisi belajar, mengajar, dan penelaahan di hauzah ilmiah Najaf. Beliau pun lantas memberitahukan niatnya untuk belajar di Najaf kepada sang ayah, namun ayah beliau tidak menyetujui hal ini. Setelah beberapa waktu, beliau kembali ke Mashad.
Di Hauzah Ilmiah Qom
Pada tahun 1337 hingga 1343 Hijriah Syamsiah (1958-1964), Ayatullah Khamenei belajar ilmu tingkat tinggi di bidang fiqih, ushul, dan filsafat, di hauzah ilmiah Qom dari para guru besar termasuk di antaranya almarhum Ayatullah Al-Udzma Boroujerdi, Imam Khomeini, Syeikh Murtadha Hairi Yazdi, dan Allamah Taba’tabai. Pada tahun 1343 Hijriah Syamsiah (1964), Sayid Ali Khamenei sangat sedih karena dalam surat menyurat dengan ayahnya, beliau mengetahui bahwa satu mata ayahnya tidak dapat melihat lagi akibat terserang penyakit katarak. Saat itu beliau bimbang antara tinggal di Qom untuk melanjutkan studi atau pulang ke Mashad. Akhirnya demi keridhoan Allah swt, beliau memutuskan pulang ke Mashad dan merawat sang ayah.
Dalam hal ini Ayatullah Khamenei mengatakan, “Saya pulang ke Mashad dan Allah swt telah melimpahkan petunjuk-Nya kepada kami. Yang terpenting adalah saya telah melaksanakan tugas dan tanggung jawab saya. Jika saya mendapatkan anugerah, itu dikarenakan kepercayaan saya untuk selalu berbuat baik kepada ayah dan ibu saya”.
Dihadapkan pada dua pilihan sulit tersebut, Ayatullah Khamenei memutuskan pilihan yang tepat. Sejumlah guru dan rekan beliau sangat menyayangkan mengapa beliau sedemikian cepat meninggalkan hauzah ilmiah Qom, karena mereka berpendapat jika beliau tinggal sedikit lebih lama lagi maka beliau akan menjadi demikan dan demikian... Namun fakta di masa depan membuktikan bahwa Ayatullah Khamenei memilih pilihan yang tepat dan perjalanan hidup yang ditetapkan oleh Allah swt untuk beliau lebih tinggi dan mulia dari apa yang mereka perkirakan. Adakah orang yang menduga bahwa ulama muda berusia 25 tahun yang cerdas dan berbakat ini, yang pergi meninggalkan Qom untuk merawat kedua orang tuanya, kelak 25 tahun kemudian diangkat menjadi pemimpin umat?
Di Mashad, Ayatullah Khamenei tidak menginggalkan pelajarannya. Selain hari libur, dan pada waktu berjuang, dipenjara, atau bepergian, beliau tetap melanjutkan pelajaran tingkat tinggi fiqih dan ushul hingga tahun 1347 Hijriah Syamsiah (1768) dari para guru besar hauzah Mashad khususnya Ayatullah Milani. Tidak hanya itu, sejak tinggal di Mashad tahun 1343 Hijriah Syamsiah (1964) untuk merawat kedua orang tuanya, Ayatullah Khamenei juga memberikan pelajaran ilmu fiqih, ushul, dan maarif Islami kepada para pelajar agama muda dan mahasiswa.
Perjuangan Politik
Ayatullah Khamenei menurut keterangan beliau sendiri adalah termasuk salah satu murid Imam Khomeini dalam pelajaran fiqih, ushul, politik, dan revolusi. Namun percikan pertama aktivitas politik dan perjuangan beliau terhadap pemerintahan dzalim, dipantik oleh seorang pejuang besar yang gugur syahid di jalan Islam, Sayyid Mujtaba Navvab Safavi. Ketika itu, Navvab Safavi dan sejumlah pejuang Islam lainnya dari kelompok Fedaiyan-e Islam (Pembela Islam) pada tahun 1331 Hijriah Syamsiah (1952) pergi ke kota kota Mashad untuk menyampaikan pidatonya yang berapi-api di madrasah Sulaiman Khan soal kebangkitan Islam dan penerapan hukum Allah, serta membongkar tipu daya Rezim Syah dan Inggris terhadap bangsa Iran. Pada masa itu, Ayatullah Khamenei termasuk pelajar madrasah Sulaiman Khan dan beliau benar-benar terkesan oleh pidato Navvab. Dalam hal ini beliau mengatakan, “Saat itu juga percikan semangat revolusi Islam dibangkitkan pada jiwa saya oleh Navvab dan saya tidak ragu lagi bahwa saat itulah Navvab telah menyalakan api perjuangan dalam hati saya”.
Bersama Gerakan Imam Khomeini r.a
Ayatullah Khamenai pada tahun 1341 Hijriah Syamsiah (1962), tinggal di kota suci Qom dan saat itu beliau masuk di medan perjuangan politik Imam Khomeini melawan politik anti-Islam ala Amerika Serikat (AS) yang digulirkan oleh Rezim Syah Pahlevi. Selama 16 tahun beliau berjuang dan harus melalui berbagai kondisi termasuk penjara dan pengasingan. Selama itu pula beliau tidak gentar menghadapi segala bentuk ancaman bahaya. Untuk pertama kalinya pada tahun 1338 Hijirah Syamsiah (1959), beliau diinstruksikan oleh Imam Khomeini untuk menyampaikan pesannya kepada Ayatullah Milani dan para ulama lainnya di Propinsi Khorasan soal mekanisme program dakwah para ulama dan ruhaniwan di bulan Muharram dan penyingkapan kebobrokan politik Rezim Syah dan AS, serta menyangkut kondisi Iran dan kota suci Qom. Misi itu dijalankannya dengan baik dan beliau melaksanakan tugas dakwah bulan Muharram di kota Birjand. Dalam dakwahnya, seperti yang telah dimandatkan oleh Imam Khomeini, Ayatollah Khamenei mengungkap kebobrokan Rezim Syah dan politik AS. Oleh sebab itu, pada tanggal 9 Muharram bertepatan dengan tanggal 12 Khordad 1342 (2 Juni 1963), beliau ditangkap dan ditahan semalam. Keesokan harinya beliau dibebaskan dengan syarat tidak lagi berpidato di atas mimbar. Gerak gerik beliau pun diawasi oleh aparat. Menyusul terjadinya peristiwa berdarah 15 Khordad (5 Juni 1963), beliau kembali ditangkap dan diserahkan ke penjara militer di kota Mashad. Beliau mendekam selama 10 hari dalam penjara tersebut dan selama itu pula beliau menjadi mangsa aksi penyiksaan sadis.
Penahanan Kedua
Pada bulan Bahman tahun 1342 Hijriah Syamsiah (Februari 1963) atau Ramadhan 1383 Hijriah, Ayatullah Khamenei bersama beberapa rekan beliau pergi menuju Kerman dengan perencanaan yang matang. Setelah dua atau tiga hari berpidato dan bertemu dengan ulama dan para pelajar agama di Kerman, beliau melanjutkan perjalanannya menuju kota Zahedan. Pidato beliau yang penuh semangat khususnya pada tanggal 6 Bahman (26 Januari) hari ulang tahun pemilihan umum dan referendum palsu yang digelar Rezim Syah- mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Pada tanggal 15 Ramadhan yang bertepatan dengan hari kelahiran Imam Hasan as, ketegasan dan keberanian serta semangat revolusi Ayatullah Khamenei dalam mengungkap politik setan dan ala AS Rezim Syah Pahlevi, sampai pada puncaknya. Sebab itu, para agen intelejen Rezim Syah atau SAVAK, menangkap beliau pada malam hari dan mengirim beliau ke Tehran dengan menggunakan pesawat. Beliau dijebloskan ke dalam sel perorangan di penjara Qezel Qal’eh selama kurang lebih dua bulan. Selama itu pula beliau bersabar menahan segala macam penyiksaan.
Penahanan Ketiga dan Keempat
Kelas pelajaran tafsir, hadis, dan pemikiran Islami beliau di kota Mashad dan Tehran, mendapat perhatian yang luar biasa dari para pelajar muda revolusioner. Hal inilah yang kembali membuat para agen SAVAK geram dan selalu mengawasi aktivitas Ayatullah Khamenei. Karena diawasi, pada tahun 1345 Hijriah Syamsiah (1966) Ayatollah Khamenei beraktivitas secara sembunyi-sembunyi. Setahun kemudian, beliau ditangkap dan dipenjara. Pada tahun 1349 Hijriah Syamsiah (1970), untuk keempat kalinya beliau ditangkap oleh SAVAK karena berbagai aktivitas ilmiah dan perjuangan beliau terhadap Rezim Syah.
Penangkapan Kelima
Mengenai penangkapan kelimanya, Ayatullah Khamenei menulis, “Pada tahun 1348 Hijriah Syamsiah (1969), terbuka peluang untuk melakukan perlawanan bersenjata di Iran. Sensitifitas dan kekerasan agen-agen Rezim Syah saat itu terhadap pribadi saya juga semakin meningkat mengingat gerakan perlawanan bersenjata tersebut tidak mungkin terlepas dari orang-orang seperti saya. Pada tahun 1350 Hijriah Syamsiah (1971), saya kembali dipenjara. Tindakan kekerasan yang dilakukan SAVAK di penjara secara jelas menunjukkan kekhawatiran mereka terhadap menyatunya gerakan perlawanan bersenjata dengan pusat-pusat pemikiran Islam. Dan mereka tidak dapat menerima fakta bahwa aktivitas ilmiah dan dakwah saya di Mashad dan Tehran tak ada kaitannya dengan gerakan perlawanan bersenjata itu. Setelah bebas dari penjara, pelajaran tafsir untuk umum dan kelas-kelas ideologi dan lain-lain, semakin meluas.”
Penangkapan Keenam
Antara tahun 1350 hingga 1353 Hijriah Syamsiah (1971-1974), pelajaran tafsir dan ideologi Ayatullah Khamenei digelar di tiga masjid yaitu masjid Karamat, masjid Imam Hasan as, dan masjid Mirza Ja’far, di kota Mashad. Ribuan warga khususnya para pemuda revolusioner memenuhi ketiga masjid tersebut untuk mendengarkan pemikiran dan pelajaran Ayatullah Khamenei. Pelajaran Nahjul Balaghah beliau juga sangat diminati. Penjelasan Nahjul Balaghah beliau yang ditulis dalam bentuk diktat berjudul “Partuee az Nahjul Balaghah” (Seberkas cahaya dari Nahjul Balaghah) diperbanyak dan disebar luas oleh para pemuda revolusioner. Mereka yang menimba pelajaran tentang hakikat dan perjuangan dari Ayatullah Khamenei, lantas menyebar ke seluruh penjuru di Iran dan menjelaskan tentang hakikat serta mempersiapkan mental warga bagi membela gerakan revolusi besar Islam.
Pada bulan Dey 1353 Hijriah Syamsiah (Januari 1975), SAVAK menyerbu rumah Ayatullah Khamenei. Selain menangkap beliau, para agen SAVAK juga merampas seluruh artikel maupun catatan beliau. Ini merupakan penangkapan keenam dan masa penahanan yang paling sulit. Ayatollah Khamenei disekap dalam penjara Komite Gabungan Kepolisian hingga musim gugur tahun 1354 Hijriah Syamsiah (mendekati bulan-bulan akhir tahun 1975). Selama masa penahanan, beliau diperlakukan dengan sangat keji. Kepedihan yang dialami Ayatullah Khamenei selama masa penahanan itu menurut beliau hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang pernah merasakan kondisi yang sama. Setelah bebas, Ayatullah Khamenei kembali ke kota Mashad dan tetap melanjutkan aktivitas ilmiah dan revolusionernya. Namun kali ini beliau tidak dapat membuka kelas-kelas terbuka seperti sebelumnya.
Di Pengasingan
Rezim Syah Pahalevi pada akhir tahun 1356 Hijriah Syamsiah (1978), menangkap dan mengasingkan Ayatullah Khamenei ke kota Iranshahr selama tiga tahun. Pada pertengahan tahun 1357 (akhir 1978), menyusul semakin tajamnya perjuangan warga muslim revolusioner Iran, Ayatullah Khamenei dibebaskan dari pengasingan dan kembali ke kota Mashad. Beliau berada di barisan terdepan perjuangan rakyat Iran melawan Rezim Pahlevi dan SAVAK. Setelah 15 tahun berjuang di jalan Allah swt secara ksatria serta ketabahan dalam menghadapi segala kesulitan, akhirnya beliau dapat merasakan hasil dari perjuangan dan perlawanan tersebut yaitu kemenangan Revolusi Islam Iran dan tumbangnya rezim despotik Syah Pahlevi, serta terbentuknya kedaulatan Islam di negeri ini.
Detik Menjelang Kemenangan
Menjelang kemenangan Revolusi Islam, sebelum kepulangan Imam Khomeini r.a dari Paris ke Tehran, sesuai instruksi Imam, dibentuklah Dewan Revolusi Islam yang dianggotai oleh sejumlah tokoh pejuang seperti Ayatullah (Syahid) Mutahhari, Ayatullah (Syahid) Beheshti, Hashemi Rafsanjani, dan lain-lain. Imam Khomeini juga merekomendasikan Ayatullah Khamenei untuk menjadi anggota dewan. Pesan Imam Khomeini r.a itu disampaikan kepada Ayatullah Khamenei oleh Syahid Muthahhari, dan setelah itu Ayatullah Khamenei berangkat dari Mashad menuju Tehran.
Pasca kemenangan Revolusi Islam Iran, Ayatullah Khamenei tetap melanjutkan aktivitas dan kerja keras untuk merealisasikan cita-cita revolusi. Aktivitas dan jabatan yang beliau emban sangat penting khususnya jika dilihat dengan memandang kondisi saat itu. Berikut ini adalah ringkasan aktivitas penting beliau:
● Ikut mendirikan Partai Republik Islam pada bulan Esfand tahun 1357 Hijriah Syamsiah (Maret 1979) dengan kerjasama sejumlah ulama pejuang seperti Syahid Beheshti, Syahid Bahonar, Hashemi Rafsanjani, dan lain-lain.
● Menjabat sebagai Deputi Menteri Pertahanan Iran, tahun 1358 Hijriah Syamsiah (1979).
● Pemimpin Pasukan Garda Revolusi Islam Iran, tahun 1358 Hijriah Syamsiah (1979).
● Imam Jum’at Tehran, tahun 1358 Hijriah Syamsiah (1979).
● Wakil Imam Khomeini r.a di Dewan Tinggi Pertahanan, tahun 1359 Hijriah Syamsiah (1980).
● Wakil warga Tehran di Majles Shura Islami (Parlemen Iran), tahun 1358 Hijriah Syamsiah (1979).
● Partisipasi aktif beliau dengan mengenakan seragam militer di medan perang ‘pertahanan suci’ melawan Irak pada tahun 1359 Hijriah Syamsiah (1980), menyusul invasi pasukan Irak terhadap wilayah Iran. Dalam perang ini Irak diprovokasi dan dipersenjatai oleh kekuatan arogan dunia termasuk AS dan Uni Soviet.
● Gagalnya percobaan teror terhadap beliau oleh kelompok munafiqin di masjid Abu Dzar Tehran, tahun 1360 Hijriah Syamsiah (1981).
● Menjabat sebagai Presiden Republik Islam Iran, menyusul gugur syahidnya Muhammad Ali Rajaee, Presiden kedua Republik Islam Iran. Pada bulan Mehr tahun 1360 Hijriah Syamsiah (1981), Ayatullah Khamenei memperoleh lebih dari 16 juta suara warga, dan dilantik sebagai Presiden Republik Islam Iran setelah mendapat pengukuhan dari Imam Khomeini r.a. Beliau juga terpilih untuk kedua kalinya pada tahun 1364 hingga 1368 Hijriah Syamsiah (1985).
● Ketua Dewan Revolusi Kebudayaan, tahun 1360 Hijriah Syamsiah (1981).
● Ketua Dewan Penentu Kebijakan Negara, tahun 1366 Hijriah Syamsiah (1987).
● Ketua Dewan Revisi Konstitusi, tahun 1368 Hijriah Syamsiah (1989).
● Ditunjuk oleh Dewan Ahli untuk menjadi Rahbar atau Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran, yang dimulai sejak 14 Khordad, sepeninggal Imam Khomeini r.a. Pilihan ini sangat tepat, karena beliau memiliki kelayakan sepenuhnya untuk bukan saja membimbing warga Muslim Iran, melainkan umat Islam di seluruh dunia (1989).
Karya Tulis
1- Tarh-e Kulli-e Andishe-e Eslami dar Qor’an (Program Komprehensif Pemikiran Islami Dalam AlQuran).
2- Az Jarfha-ye Namaz (Dari Kedalaman Shalat)
3- Goftari dar Bab-e Sabr (Pembahasan tentang Kesabaran)
4- Chahar Ketab-e Asli-e Elm-e Rejal (Empat Buku Utama Ilmu Rijal)
5- Wilayat (Kepemimpinan).
6- Gozaresh az Sabeqe-e Tarikhi va Auza-e Konouni-e Hauze-e Elmiye-e Mashhad (Laporan Mengenai Sejarah dan Kondisi Terkini Hauzah Ilmiah Mashad).
7- Zendeginame-e Aimme-e Tashayyo’ (Riwayat Hidup Para Imam Syiah) -belum dicetak.
8- Pishvaye Sadeq (Pemimpin yang Jujur)
9- Vahdat va Tahazzob (Persatuan dan Kepartaian)
10- Honar az Didgah-e Ayatollah Khamenei (Seni Menurut Ayatullah Khamenei)
11- Dorost Fahmidan-e Din (Pemahaman Benar Tentang Agama)
12- (Onsor-e Mobarezeh dar Zendegiy-e Aimmeh (Unsur Perjuangan Dalam Kehidupan Para Imam a.s)
13- Ruh-e Tauhid, Nafy-e Obudiyyate Gheire Khoda (Ruh Ketauhidan, Penafian Penghambaan Selain Allah swt)
14- Zarurat-e Bazgasht be Qor’an (Urgensi Kembali Kepada AlQuran)
15- Sire-ye Emam-e Sajjad (Sejarah Imam Sajjad a.s)
16- Imam Ridha as va Velayatahdi (Imam Ridha a.s dan Posisi Putra Mahkota)
17- Tahajom-e Farhangi (Serangan Budaya), disusun dari kumpulan pidato dan pesan Rahbar.
18- Hadis-e Velayat (Hadis Kepemimpinan), kumpulan pidato dan pesan Rahbar yang hingga kini telah dicetak sebanyak sembilan jilid.
Terjemah
1- Solh-e Emam Hasan (Perdamaian Imam Hasan as), karya Razi Aali Yaasin.
2- Ayandeh dar Qalamrove Islam (Masa Depan Dalam Kekuasaan Islam), karya Sayyid Qutb.
3- Mosalmanan dar Nehzat-e Azadi-e Hindustan (Muslimin Dalam Gerakan Kebebasan India), karya Abdul Mun’im Namri Nasri.
4- Eddea nameh Alahe tamaddon-e Gharb (Gugatan Terhadap Kebudayaan Barat), karya Sayyid Qutb.
Shalat dan Puasa di Agama Islam
Ummat Islam wajib mengerjakan shalat lima kali setiap hari dan berpuasa tiga puluh hari pada Bulan Ramadhan. Mereka harus mengerjakan wudhu sebelum mengerjakan shalat. Mereka harus membasuh tangan dari siku sampai jari jari tangannya. Setelah itu, mereka mengusap bagian atas kepala dan kakinya.
Pada Bulan Ramadhan orang orang Muslim tidak makan dan minum dari waktu sahur yaitu sebelum matahari terbit sampai waktu Maqrib yaitu di saat matahari tenggelam. Setelah maqrib atau Adzan mereka boleh makan dan minum. Dengan berpuasa orang orang muslim dapat merasakan kondisi masyarakat miskin, berlatih mengekong Hawa Nafsu dan memikirkan hari Qyiamah. Selama bulan Ramadhan pintu nereka tertutup. Allah (swt) menurunkan AlQuran suci di malam Qadr. Oleh karena itu, orang orang Muslim membaca banyak AlQuran. Mereka membantu orang orang Miskin. Orang orang kaya mempersiapkan makanan untuk berbuka puasa. Kegiatan ini mempunyai banyak pahala. Di bulan Ramadhan orang muslim harus lebih banyak menjaga mulut (lidah), mata dan telinganya. Semua anggota badan harus berpuasa. Kita bias menyellamatkan diri dari api nereka di bulan penuh barakah ini. Sebagian orang berpuasa beberapa hari sebelum bulan Ramadhan. Pada hari terakhir (Idul Fitri) orang orang muslim merasa bahagia karena mereka dapat mentaati perintah Allah(swt).
Sayidah Fatimah Az- Zahra (sa)
Sayidah Fatimah Az-Zahra (sa) anak prempuan tersayang Nabi Muhammad (sww) . Nabi Muhammad (sww) sangat mencintai putrinya dan bersabda: "siapa pun membahagiakan Fatimah membahagiakanku dan siapa pun yang membahagiakanku membahagiakan Allah (swt)." Sebelum bepergian, Nabi senantiasa bertemu Fatimah dan di saat beliau pulang ke kotanya lebih dahulu mendatangi rumah Fatimah(sa) dan mencium dahi putrinya. Fatimah (sa) menikah dengan sepupu beliau –Imam Ali bin Abitalib(as). Dia memiliki dua anak la;I laki dan dua anak prempuan. Fatimah (sa) berusaha untuk selalu mentaati suaminya. Dia sangat penyayang dan penyabar. Fatimah bersungguh –sungguh bekerja di rumah. Beliau membuat roti, memasak makanan, mencuci bajumenyapu lantaidan menyisir rambut putrinya. Pada suatu hari, Fatimah (sa) mendatangi Nabi dan bersabda:" saya sangat capek dengan pekerjaan rumahku. Adakah seorang yang bias menolongku?" nabi mengajarkan putri tersayangnya agar membaca Tasbih Az-Zahra setelah setiap Shalat yaitu ucapkanlah tiga puluh empat kali Allahu Akbar, tiga puluh kali Al Hamdulillah dan tiga puluh kali Subhanallah.
Pintu hajah Yaitu Musa bin Ja'far (as)
Hari ini kita sangat sedih karena hari ini 25 bulan Rajab yaitu hari Syahadah Imam Kadhim (as). Imam Kadhim (as) Adalah imam ketujuh kaum syiah. Beliau ayah tersayang Imam Rida (as) dan Sayidah Ma'sumah (sa). Beliau terkenal sebagai seorang yang mengenang kemarahan dan murkanya. Di massa Imam Kadhim (as) Harun alrasyidlah yang menjabat sebagai raja. Dia sangat memusuhi imam Kadhim (as). Dia yang sangat jahat meracun imam ketika beliau berada di penjara selama 14 tahun. Dengan izin Allah (swt) Imam memiliki banyak putri dan putra di beberapa tempat sehingga masyarakat mengingat nama beliau. Orang orang Iran merasa bangga dan bersyukur kepada Allah (swt) karena kebanyakan putri- putra Imam Kadhim (as) di berbagai kota di Iran. Saya mengucapkan blasungkawa kepada Imam Zaman (aj) atas tibanya hari syahadah Imam Kadhim (as).
Bagirul Ulum (as)
Imam Bagir (as) imam kelima orang syiah. Beliau putra tersayang Imam Sajad (as) . ibu beliaua bernama Ummul Farwah. Beliau dari kalangan ibunya putra Imam Hasan (as) dan dari kalangan ayahnya putra Imam Husain (as). Keadaan ini hanya terjadi pada Imam Bagir (as) diantara para imam . Beliau imam pertama yang membuat sekolah untuk mendidik ulama.setelah beliau putra beliau Imam Sadig (as) melanjutkan jejak ayahnya. Beliau mengajar berbagai ilmu dan pengetahuan kepada murid murid supaya mereka menjadi cendekiawan besar. Senantiasa Imam Bagir (as) mengingat peristiwa karena beliau telah menghadir di karbala dan berusia lima tahun. Pada akhir hayatnya beliau member wasiat kepada keluarganya supaya menyelengarakan majlis duka untuk Imam Husain (as) dan beliau selama sepuluh tahun. Sejak saat itu kaum syiah dapat menangis untuk Imam Husain (as) dengan bebas. Karena dari syahadah Imam Husain (as) sampai Imam Bagir (as) kaum syiah dilarang keras menceritakan peristiwa karbala dan menangis di tempat umum.
Selamat Hari Wiladah Imam Ridla (as)
Imam Ridla (as) imam ke delapan kaum syiah. Beliau putrid tersayang Imam Kazim (as) dan kakak Sayidah Ma'sumah (sa). Nama ibu beliau Tuktam atau Najmah. Hari lahir beliau 11 dzul Qa'dah tahun 148 HQ. beliau diracun oleh Ma'mun Abbasi pada hari 28 bulan Safar tahun 203 HQ. diantara para Imam hanya Imam Ridlalah (as) berada di Negara Iran. Orang orang Iran selalu pergi ke Masyhad untuk menziarahi beliau. Beliau disebut sebagai dokter semua penyakittanpa obat. Masyhad bagi orang Iran dikenal sebagai ibukota ma'nawi. Imam Ridla (as) memiliki beberapa julukan terkenal seperti : penzamin kijang dan keluarga nabi yang alim. Di Iran sejak hari kelahiran Sayidah Ma'sumah (sa) sampai hari wiladah Imam Ridla (as) disebut 10hari agung/mulia. Pada ke 10 hari ini bermacam- macam pesta diadakan di setiap tempat di Iran.
Imam Ridla (as) disebut asing karena beliau dating dari kota Madinahke Iran. Setiap orang yang pergi ke Madinah dan melihat pemakaman Bagi' berkata kalau Imam Ridla (as) dengan banyak penziarah dikenal sebagai asing bagaimana pula keterasingan keempat imam di Baqi'.
Ya Jawadul Aimmah (as) Adrekni
Hari terakhir bulan Dzul Qa'dah tahun 220 HQ merupakan hari syahadah Imam Jawad (as). Imam Jawad (as) imam ke 10 kaum syiah. Beliau anak tunggal Imam Ridla (as). Imam Ridla (as) sangat mencintai beliau. Pada waktu syahadah beliau berumur 25 tahun oleh karena itu beliau terkenal sebagai imam termuda diantara 12 imam syiah. Nama ibu imam Muhammad Taqi (as) Sabikah atau Kheizaran. Beliau diracun oleh istrinya bernama Ummul Fazl – anak perempuan Ma'mum-. Ia membunuh imam dengan anggur beracun.
Salah satu putra 2 Imam Jawad (as) Musa Mubarqa' yang dikubur di kota Qum. Salah satu putri2 Imam Jawad (as) Hakimah Khatun. Beliau paling mulia wanita diantara putri2 imam karena ilmu ibadah dan sikapnya. Beliau dapat melihat empat imam . beliau mengajar ajaran Islam kepada Narjes Khatun –ibu Imam Zaman (aj)-. Beliau orang pertama yang dapat melihat Imam Zaman (aj) dan mencium beliau pada waktu wiladahnya. Hakimah Khatun dikubur di Samerra di samping Imam Hadi (as) Imam Asqari (as) dan Narjes Khatun.
Setiap orang yang bersumpah Imam Ridla (as) atas
Nama ibu beliau – Sayidah Fatimah(sa)-
Dan putra beliau – Imam Jawad (as)-
Pasti hajatnya akan dikabulkan.
Dahwul Ardl Hari
Hari ke 25 bulan Dzul Qa'dah adalah hari Dahwul Ardl. Hari ini hari kelahiran Nabi Ibrahim (As) dan Nabi Isa (as). Pada hari ini bumi melebar dari bawah Ka'bah. Allah (swt) menurunkan Rahmatnya pada hambanya. Imam Mahdi (aj) akan muncul pada hari ini. Pahala puasa pada hari ini sama dangan 70 tahun puasa. Hari ini salah satu hari di antara empat hari yang sangat dianjurkan untuk berpuasa. Pada hari ini ada shalat khusus yang saya minta kepada teman –temanku untuk mengerjakannya.
Peristiwa di Bulan Dzul Hijah
Bulan Dzul Hijah bulan terakhir dari tahun Qamariah. Beberapa peristiwa penting terjadi di bulan ini.: pada hari pertama Imam Ali (as) menikah dengan Sayidah Fatimah (sa) . hari ke tujuh hari Syahadah Imam Bagir (as). Hari ke Sembilan hari A'rafah. Hari KE SEPULUH Idul Adlha. Hari ke lima belas hari wiladah Imam Hadi (as). Hari ke delepan belas hari raya Ghadir dan hari ke dua puluh empat hari Mubahalah.
Pernikahan Imam Ali (as) dan Sayidah Fatimah (sa)
Sejak awal Sayidah Fatimah (sa) sudah banyak yang melamar dari kalangan bangsawan kaya raya akan tetapi Nabi Muhammad (saww) tidak menerima pemintaan mereka dan bersabda: "saya menunghu ketentuan Allah (swt)." Imam Ali (as) melemar putri tersayang Nabi Muhammad (saww) dan beliau setelah bertanya kepada Sayidah Fatimah (sa) menerima pemintaan Imam Ali (as). Nabi bersabda kepada putri beliau : " Saya memilihkan suami terbaik untuk anda. Ia sangat sopan dan merupakan orang pertama yang masuk Islam. Pesta pernikahan dilakukan sangat sederhana tetapi penuh barkah yaitu dengan kelahiran dua imam besar – Imam Hasan (as) dan Imam Husain (as)-.
Hari A'rafah
Hari A'rafah hari doa dan permohonan ampun kepada Allah (swt). Pada hari ini Allah (swt) mengampuni dosa-dosa Nabi Adam dan istrinya Hawa. Jamaa'h Haji pada hari ini harus pergi ke padang A'rafat. Sebagian orang yang tidak dapat pergi haji berusaha pergi ke karbala. Karena Allah (swt) pertama-tama akan memperhatikan para penziarah Imam Husain (as) sesudah baru Jamaa'h Haji. Pada hari ini orang orang syiah membaca doa A'rafah Imam Husain (as). yang mana doa ini dibaca langsung oleh Imam Husain (as) pada saat haji terakhirnya di atas gunung Arrahmah di Arafah.
Idul Adlha
Salah satu hari raya bagi orang orang muslim adalah Idul Adlha. Pada hari ini kaum muslim mengingat kembali cerita Nabi Ibrahim (as) dan putra tersayang beliau Nabi Ismail (as). Allah (swt) berfirman kepada Nabi Ibrahim (as) bahwa dia harus menyembelih putranya. Tugas ini sangat berat dan sulit untuk dilakukan oleh Nabi Ibrahim (as) akan tetapi beliau menerima ujian tersulit ini. Ketika Nabi Ibrahim (as) mulai menyembelih putranya Allah (swt) mengirimkan seekor kambing untuk disembelih. Sejak itu hingga sekarang orang orang muslim menyembelih seekor kambing dan membagikannya kepada orang orang miskin. Sebenarnya Allah (swt) ingin Nabi Ibrahim (as) memerangi hawa nafsu. Kita harus memperhatikan hal ini dan mengikuti jejak beliau.
Hari raya Ghadir
Salah satu hari raya terbesar untuk kaum syiah hari raya Ghadiryang terjadi pada waktu Nabi Muhammad (saww) melaksanakan haji terakhirnya. Beliau menyuruh Jamaa'h Haji berkumpul di tempat bernama Ghadir Khum di dekat Makah. Para Jamaa'h Haji saling bertanya kenapa kita harus berhenti di sini? Pasti masalahnya sangat penting sehingga menyebabkan perkumpulan ini. Udara angat panas. Nabi meminta beberapa orang di antara sahabat 2nya untuk menyampaikanceramah beliau supaya semua orang dapat mendengarkan ceramah2 Nabi. Beliau di pidato yang cukup panjang bersabda: " saya meninggalkan dua hal berharga di antara kalian: kitab AlQuran dan Ahlul Baitku. Kalau anda berpegang tegah kepada duanya anda tidak akan tersesat." Setelah itu nabi memilih Imam Ali (as) sebagai saudaranya pewaris dan pengganti setelah beliau. Beliau bersabda kepada Jamaah Haji bahwa mereka harus mentaati dan menghormati Imam Ali (as) dan putra –putra beliau. Nabi memohon kepada Allah (swt) agar mencintai orang orang yang mencintai Imam Ali (as) dan mengutuk setiap orang yangtidak mau menerima kepemimpinan beliau. Beliau bersabda: " Imam Ali (as) sebagaimana Harun di sisi Nabi Musa hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku." Serta : " saya kota ilmu dan Ali sebagai pintunya. Setiap orang yang mau masuk ke kota ini pasti harus melewati pintunya." Di akhirnya nabi meminta orang2 yang hadir menyebarkan berita ini kepada masyarakat yang tidak ada di tempat itu. Orang tua harus menceritakan peristiwa Ghadir untuk putra- putrinya hingga hari Qiamat.
A'malan- a'malan pada Hari Raya Ghadir Khum
1-puasa : Imam Sadiq (as) bersabda bahwa puasa pada hari raya Ghadir sama dengan puasa seumur dunia dan 100 kali melaksanakan ibadah haji.
2-memberikan Iftar kepada shaim : Imam Ali (AS) bersabda bahwa memberikan iftar pada hari Ghadir seperti memberikan iftar kepada 10 Fiam. Imam ditanya : " siapa Fiam itu?" beliau menjawab yaitu 100000 nabi dan sidiq dan syahid.
3-shalat khusus: Imam Sadiq (as) bersabda : "barang siapa yang melakukan shalat dua raka't 30 menit menjelang dluhur dan di setiap raka't membaca surah AlFatihah 10 kali dan surah AlQadr 10 kali serta Ayat kursi 10 kali Allah (swt) akan mengabulkan semua permohonannya. Pahala shalat ini sama dengan 100000Haji.
4- berhias dengan pakaian terbaru: Imam Ridla (as) bersabda :" siapa pun yang menghias diri pada hari raya Ghadir Khum Allah (swt) akan mengampuni semua dosanya dan malaikat akan menuliskan kebaikkannya sejak hari itu hingga tahun2 yang akan dating.
5- shalawat dan shadaqah
6- membaca Doa Nudbah
7- Ziarah Imam Ali (as) dari dekat atau jauh
8- membaca banyak doa untuk kehadiran dan keselamatan Imam Zaman (ajf)
Peristiwa Mubahalah
فمن حاجک فیه من بعد ما جائک من العلم فقل تعالوا ندع ابناءنا و ابناءکم و نساءنا و نساءکم و انفسنا و انفسکم ثم نبتهل فنجعل لعنت الله علی الکاذبین. (آل عمران – 61)
Sejak cahaya Islam terang alam semesta, agama Islam mempunyai banyak musuh yang berusaha mencegah penyebaran Islam. Salah satu musuh ini – di samping kaum Yahudi- adalah kaum Kristen. Mereka sering menghalangi dan menghina Nabi Muhammad sww. Mereka mengganggu dan menipu orang Muslim supaya kaum Muslim menjadi lemah. Masalah masalah ini terjadi terus menurus sehingga Nabi memutuskan untuk melakukan Mubahalah, Yaitu : sesuai dengan tradisi pada waktu itu dua kaum yang saling bertengkar berkumpul di satu tempat dengan mengajak orang orang yang mulia dan saling mela'nat. mereka memohon Allah swt supaya menghancurkan kelompok yang bukan haq. Berita ini cepat menyebar ke seluruh masyarakat . kaum Muslimin menduga tentang siapa saja yang akan Nabi pilih untuk Mubahalah. Sebagian orang berkata :"Nabi harus mencari orang terbaik untuk masalah ini karena Mubahalah dilakukan sebagai perang antara kaum Muslimin dan kaum Masihi." Pertanyaan yang besar inilah orang- orang mulia terdari diri siapa? Hal ini diatasi oleh keinginan Allah swt. Allah swt menurunkan Ayat 61 Surah Al Imran kepada Nabi, Allah swt berfirman :
Katakanlah! Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak- anak
kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, kami sendiri dan kamu juga,
kemudian marilah kita ber-mubahalah agar laknat Allah ditimpakan
kepada orang-orang yang dusta.
Keesokan harinya, Nabi pergi bersama Imam Ali as dan Sayidah Fatimah sa , sedangkan beliau menggendong Imam Husain as dan menggandeng tangan Imam Hasan as sampai tiba di tempat tersebut. Ketika kaum Kristen melihat kondisi tersebut ,mereka merasa sangat takut dan saling bercakap-cakap: kalau lima orang ini mela'nat kita, semua bumi dan langkit akan hancur. Oleh karena itu mereka menggagalkan mubahalah dan menyatakan kalahannya . sekarang sebuah masjid dibangun pada tempat itu untuk mengenang peristiwa besar ini.
Hadis Tsaqalain
قال رسول الله (صلی الله و علیه و آله و سلم):
"انی تارک فیکم الثقلین : کتاب الله و عترتی اهل بیتی و ما ان تمسکتم بهما لن تضلوا ابدا و و انهما لن یفترقا حتی یردا علی الحوض."
Rasulullah swa bersabda :
" sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka yang berharga : Kitab Allah dan Itrah; Ahlul Baitku. Selama berpegang pada keduanya kalian tak akan tersesat selama-lamanya. Dan keduanya tidak akan terpisah hingga menjumpaiku di telaga Kautsar ,di Hari Kiamat kelak."
(H.R. Sahih Muslim : jilid 7, hal 122. Sunan Ad-Darimi , jilid 2. Hal 432. Musnad Ahmad, jilid 3, hal 14, 17, 26 dan jilid 4, hal 371 serta jilid 5, hal 182 dan 189.
Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal 109, 147 dan 533, juga di dalam kitab-kitab induk hadis yang lain.)
Nabi swa bersabda hadis ini beberapa kali di berbagai tempat seperti: di masjid Al –Khif , pada hari Arafah, pada hari Ghadir dan pada hari wafat beliau. Allameh Bahrani di dalam kitabnya yang bernama (Ghayatul Al-Maram: tujuang yg dihendaki) meriwayatkan hadis ini dari 39 perawi Sunni. Beberapa poin penting yag ada di dalam hadis ini ialah:
1 Sejak Zaman Rasulullah sww hingga hari pembalasan AlQuran dan Ahlul Biat senantiasa bersama-sama.
2 Sesuai dengan hadis tersebut , kita pasti akan tersesat apabila kita hanya mengikuri salah satu dari keduanya. Hadis ini membuktikan kasalahan orang- orang yang berkata : "Kitab Allah cukup untuk kita." Karena nabi bersabda kedua hal inilah yang dapat menyelamatkan umatnya.
3 Ahlul Bait disamakan dengan Al Quran, yaitu Ahlul Bait memiliki cirri-ciri seperti Al Quran. Al Quran tidak punya kesalahan dan selalu menunjukkan jalan yang lurus. Oleh karena itu Ahlul Bait juga terjaga dari kesalahan dan dosa. Mereka Ma'sum seperti Al Quran.
4 karena Al Quran dan Ahlul Bait bersama hingga Akhir masa,bumi tidak akan menjadi kosong dari salah satu Ahlul Bait walaupun untuk sesaat. Salah satu dalil yang dapat membuktikan bahwa Imam Zaman aj masih hidup adalah hadis tersebut ini.
Tragedy Hari Kamis
Pada tanggal 28 bulan Safar, hari kamis, N abi Muhmmad sww meninggal dunia. Pada hari itu, beliau memerintahkan kepada sahabatnya agar mengambilkan untuk beliau sebuah tinta dan selembar kertas sehingga dengan tulisan tersebut Umat tidak akan sesat setelah beliau. Tetapi Umar bin Khattab berkata: " laki-laki itu sedang mengigau. Kitab Allah cukuplah untuk kita. Kami tidak memerlukan wasiat." Begitupun, nabi menjelang hari-hari akhir kehidupan beliau membentuk pasukan perang. Panglima perang itu bernama Usamah yang masih sangat muda. Nabi menyuruh para sahabatnya supaya mengikuti pasukan Usamah dan memohon kepada Allah swt untuk mela'nat siapapun yang tidak mengikuti pasukan Usamah. Sejarah menunjukkan Umar mengkiritik nabi bahwa mengapa beliau memilih seorang pemuda sebagai panglima perang, dan ia pun tidak mengikuti pasukan Usamah.
Setelah wafat nabi, ketika Sayidah Fatimah sa sangat sedih dan Imam Ali as masih sibuk untuk menguburkan nabi, beberapa sahabat dengan kemimpinan Umar bin Khattab dan Abubakar berkumpul di Saqifah dan mimilih Abubakar sebagai pengganti nabi. Mereka yang merampas haq imam Ali as tidak memperhatikan wasiat nabi pada Hajatu Alwida' di tempat Ghadir Khum dan bahkan tidak memberi tahu kepada kerabat nabi untuk menghadiri majilis mereka.Setelah nabi ,penduduk Madinah tidak menghormati keluarga nabi padahal beliau selalu merekomendasikanmereka. Oleh karena itu, penduduk Madinah berkata dengan tega kepada Imam Ali as : " wahai Ali ! katakanlah kepada Fatimah supaya dia hanya menangis di pagi hari atau malam hari saja karena tangisannya menggangu kami." Lambat laun mereka tidak menjawab salam Imam Ali as ketika beliau mengucapkan salam kepada mereka. Pada sebagian malam Sayidah Fatimah sa pergi ke rumah mereka untuk mengajak mereka mengenang Hri Ghadir Khum. Tetapi mereka tidak rela membuka pintu rumah mereka untuk beliau.
Beberapa hari kemudian golongan yang membentuk Saqifah berkumpul di belakang pintu rumah putrid nabi, Fatimah as di mana malaikat minta izin kepada pemilik rumah itu sebelum memasukinya dan membakar pintu rumah tersebut bahkan menampar putrid tersayang nabi sehingga menyebabkan keguguran Muhsin- karena pada waktu itu Sayidah Fatimah sa sedang mengandung. Sungguh mereka tidak mengenal balas budi atas kebaikan nabi.
قال رسول الله صلی الله و علیه و آله و سلم : ان الحسین مصباح الهدی و سفینة النجاة
Ketika Nabi Adam as menyesali atas perbuatan dosa dan memohon Allah swt agar mengampun kesalahannya, Jibril berkata kepada beliau: "Allah swt berfirman bahwa anda harus mengucapkan doa ini karena demi lima orang yang ada di dalam doa ini Allah swt mengabulkan taubatmu. " Nabi Adam tidak tahu nama nama tersebut. Jibril mengajarkan doa itu dan nabi Adam mengulanginya:
اللهی یا حمید و بحق محمد یا عالی و بحق علی یا فاطر و بحق فاطمه یا محسن و بحق الحسن و یا قدیم الاحسان بحق الحسین ع اغفر لی ذنوبی.
Sesampainya nama Husain as nabi Adam as tiba tiba menangis dan bertanya kepada Jibril:" Siapakah Husain? Ketika saya mendengar nama beliau saya merasa sedih sekali." Pada waktu itu Jibril bercerita kepada nabi Adam tentang kisah peristiwa karbala dan memperkenalkan Imam Husain as kepadanya. Oleh karena itu pertama orang yang menangis untuk Imam Husain as adalah nabi Adam as.
Beberapa tahun kemudian, ketika nabi Nuh as maumenghentikan kapal di tengah ombak laut yang besar beliau mengucapkan kembali nama-nama ini dan bertanya tentang Husain as. Pada waktu itu Allah swt pun menceritakan peristiwa karbala. Begitupun ketika Nabi Ibrahim as sesuai dengan perintah Allah harus menyembelih putranya, Allah swt menurunkan ayat:
ففدیناه بذبح عظیم
Ibrahim bertanya tentang penyembelihan yang besar. Allah swt juga menceritakan peristiwa karbala. Begitupula pada waktu nabi Muhammad sww ketika imam Husain as lahir, Jibril bercerita peristiwa karbala kepada nabi Muhammad sww. Nabi menangis tersedu sedu sambil menciumi semua anggota badan beliau. Sayidah Fatimah sa bertanya tentang sebabnya. Nabi bercerita peristiwa karbala dengan singkat. Peristiwa trsebut sangat menyakit hati Sayidah Fatimah sad an beliau bertanya kepada nabi sww:" Apakah Anda ada pada waktu itu?" nabi menjawab: " tidak." Sayidah Fatimah sa bertanya :" Apakah ayahnya ada ?" nabi menjawab:" Tidak." Sayidah Fatimah sa bertanya kembali: " Apakah saya ada?" nabi menjawab: " Tidak." Sayidah Fatimah sa bertanya :"apakah kakaknya ada?" nabi menjawab:" Tidak putriku." Maka semakin bertambahlah duka dan kesedihan Sayidah Fatimah sa. Rasulullah sww bersabda :" wahai putriku! Kelak akan dating satu kaum yang wanitanya menangis untuk putramu seperti ibu yang putranya terbunuh dan perianya memukul dada dan kepalanya seperti ayah yang kehilangan anak mudanya.
Oleh karena itu, apabila kaum Syiah menyelenggarakan majilis duka untuk Imam Husain as karena dua hal: 1- mereka ingin mengikuti bimbingan Allah swt. Sejarah ummat manusia menunjukkan bahwa Imam Husain as hanya akan menyelamatkan manusia pada puncak kesulitannya. 2- mereka mau mengurangi kesedihan Ahlul Bait as dan mau mengucapkan belasungkawa kepada Rasulullah sww atas musibah ini.
قال رسول الله صلی الله و علیه و آله و سلم: احب الله من احب حسینا
Allah swt akan mencintai orang yang mencintai Imam Husain as
Beberapa kali Nabi Muhammad sww bersabda : "Husain as dari saya dan saya dari Husain as." Yaitu kita sama. Tidak ada perbedaan antarasaya dan Husain as. Kalau kalian menyakiti Husain as sebenarnya menyakiti saya. Tetapi cepat sekali mereka lupa sabda nabi. Orang Kufah mengirimkan 7000surat kepada Imam Husain as dan selalu meayu bahwa mereka tidak mau mentaati Yazid. Mereka mengundang imam Husain as dan keluarga beliau ke Kufah. Imam Husain as tidak menyelesaikan hajinya dan menuju ke Kufah. Beliau mengatakan : " saya akan keluar untuk menghidupkan agama kakekku."
Tetapi Orang orang Kufah telah tidak jujur. Mereka menyambut tamu dengan kehausan, peperangan, sembelihan, tawanan dan tamparan. Keluarga dan anak anak imam Husain as menyangka mereka mau bertamu. Mereka tidak bersedia untuk perang. Orang kufah membentuk pasuka terhadap cucu nabi. Mereka melarang air supaya tidak mengalirkan ke kemah kemah imam Husain as. Mereka membunuh semua pria bahkan bayi enam bulan. Hanya imam Sajjad tidak terbunuh karena sakit. Sesudah mereka menyembelih imam Husain as. Mereka mulai membakar kemah kemah dan mencuri barang barang yang terletak di dalam kemah. Setelah itu, mereka menawan para wanita dan anak anak. Mereka membuat sedih para muslim karena imam Husain as adalah cucu tersayang Rasulullah sww.
Pelajaran- pelajaran dari kehidupan Sayidah Fatimah sa
Berdasakan sabda Rasulullah sww Sayidah Fatimah sa adalah wanita termulia atas seluruh wanita alam semesta. Imam Zaman aj juga bersabda: " pada diri Sayidah Fatimah sa terdapat tauladan terbaik bagiku." Kini timbul pertanyaan yang besar di kepalaku bahwa mengapa nabi dan imam memberikan penjelasan tentang kedudukan Sayidah Fatimah sa seperti itu. Apa sajakah cirri-ciri yang dimiliki oleh beliau sehingga beliau layak dan pantas mendapatkan kedudukan yang tinggi ini? Saya mengamati sekilas tentang kehidupan beliau sebagai seorang wanita muslim,dan dengan pandangan seorang perempuan yang mendapat pelajaran sesuai dengan kemampuanku tentang kehidupan beliau. Saya membagi kehidupan singkat beliau ke empat periode:
Periode pertama: masa gadis sebagai anak perempuan
Periode kedua: pernikahan beliau dengan Amir al mumenin Ali as
Periode ketiga: di rumah suaminya sebagai seorang istri dan ibu
Periode keempat: setelah perampasan haq suaminya sebagai seorang muslimah-syiah.
Periode pertama berkaitan dengan gadis beliau ketika beliau belum menikah dan hidup di rumah nabi. Beliau sangat menghormati ayahnya dan merawat serta melayaninya dengan penuh kasih saying oleh sebab itu nabi menjulukinya Umme Abiha yaitu ibu ayahnya karena beliau seperti seorang ibu menjaga, merawat, memperhatikan dan menyayangi ayahnya. Pada waktu nabi masuk ke rumah, beliau segera membawakan ayahandanya semangkok airuntuk mencuci tangan dan kaki nabi lalu menyiapkan tempat yang palingbaikuntuk beliaudan menyajikanmakanan dan minuman yang sederhana. Sayidah Fatimah sa menunggu hingga nabi selesai makan. Sesudah itu beliau duduk di samping nabi dan memandang wajah beliau dengan penuh kasih saying. Sayidah Fatimah mengajar para putrid muslim agar mereka mengabdi, mematuh dan mentaati orang tua mereka.
Periode kedua yang menjadi taudalan untuk waniti-wanita adalah tindakan beliau yang dilakukan pada malam pernikahan beliau. Bagi setiap perempuan hari pernikahan merupakan hari yang utuma dan istimewa. Mereka merencanakan agar dapat merayakan resepi perkawinan dengan lebih semarak dan dapat berpesta leebih meriah. Tetapi Sayidah Fatimah sa member percontohan lain kepada semua perempuan. Beliau merayakan pesta pernikahan dangan sangat sederhana dan pada malam harinya beliau menginfakkan baju pernikahannya kepada orang miskin. Beliau benar benar sebagai tualadan untuk para muslim baik wanita maupun pria. Apakah seorang perempuan rela menginfakkan bajunya pada malam hari pernikahannyas?
Sayidah Fatimah sa sebagai putri Nabi yang berkedudukan tinggi dan mulia di dalam ajaran Islam tidak menginginkan kemewahan dan perhiasan duniawi dalam kehidupannya. Beliau memilih sedikit mahar dan perlengkapan rumah tangga. Rumah dan peralatannyasangat sederhana seperti: sebuah tikar, sebuah kasur, dua buah bantal, sebuah baskom untuk cucian, bejana- bejana dan panci. Apakah pengantin wanita baru kini suka memilih kehidupan sederhana seperti Sayidah Fatimah sa? Akan tetapi sekarang kita melihat kebanyakan keluarga tidak bias memenuhi keinginan anak perempuannya. Sayidah Fatimah sa memberikan pelajaran kepada para pengantin muda supaya jangan merepotkan siapa pun.
Ketiga pelajaran dari kehidupan Sayidah Fatimah sa adalah perilaku beliau sebagai istri dan ibu di rumah Imam Ali as. Beliau selalu mentaati suaminya dan menciptakan lingkungan rumah penuh ketenangan. Beliau tidak pernah memohon sesuatu yang keluar dari kemampuan suaminya. Selama Sembilan tahun beliau hidup di rumah suaminya. Beliau melahirkan empat anak dan mengandung anak kelima menjelang wafatnya. Jangka waktu antara dua kelahirannya sekitar satu tahun. Saya mengambil pelajaran dari beliau bahwa tugas pertama setiap ibu rumah tangga adalah melahirkan generasi baru. Dari sisi lain , pekerjaan rumah tangga memilih kelebihan dan dapat menjaga kehormatan bagi wanita. Saying sekali, kebanyakan wanita berpikir hanya pekerjaan di luar rumahlah yang berguna bagi mereka. Kalau mereka menetap di rumah, mereka meresa hanya membuang-buang waktunya. Tetapi Sayidah Fatimah sa mendahulukan rumah dan pendidikan anaknya. Beliau mengingkat bahwa wanita wanita punya banyak pengaruh di rumah. Wanita yang sadar dapat membuat suasana rumah seperti surge. Apabila kondisi setiap rumah baik dan sehat, pasti kondisi masyarakat juga akan menjadi baik dan sehat pulu.
Sayidah Fatimah sa pada periode terakhir kehidupan beliau memberikan pelajaran kepada kita bahwa apabila sekelompok umat manusia mau menjatuhkan kepemimpinan, anda harus mempertahankan dengan segenap kemampuan. Ketika kelompok Saqifa merampas haq pengganti nabi, Sayidah Fatimah sa tidak tinggal diam di rumah. Beliau bersama Hasanain as mendatangi rumah rumah penduduk Madinah untuk mengingatkan peristiwa Ghadir dan menyadarkan mereka. Beliau menyampaikan dua kali pidato kepada masyarakat, tetapi tidak ada manfaatnya. Ketika para perampas menyerang rumah Sayidah Fatimah sa untuk menyeret imam Ali as ke masjid secara paksa, beliau melihat pemimpinnya dalam keadaan terancam. Beliau berdiri di belakang pintu dan tidak mengizinkan dan menghalangi mereka masuk ke dalam rumah. Tetapi mereka tidak malu dan mengancam beliau ingin membakar rumah dengan semua orang yang ada di dalamnya. Sayidah Fatimah sa rela mengorbankan diri dan janinnya demi menyelamatkan kehidupan pemimpinnya. Beliau dengan darahnya memberikan pelajaran kepadaku bagaimana menghadapi kezaliman yaitu bahwa wanita yang tugas utamanya tinggal di rumah tetapi ketika melihat berhadapan dengan kezalimin ia tidak tinggal diam. Ia harus dating di tengah medan dan seperti singa mencegah kezalimin karena mempertahanan agama merupakan tugas semua orang termasuk kaum wanita. Saya merasa bangga bahwa ajaranku menjadikan Sayidah Fatimah sa sebagai tauladan bagi wanita wanita lain.
Wahai tuhanku, sampaikanlah salam saya kepada Fatimah sa,
Ayahnya, suaminya dan kedua putranya
Sebanyak ilmu pengetahuan-Mu
Yang meliputi
Segala
Sesuatu!
Ibadah Haji, Manifestasi Kesempurnaan Islam (01)
Bulan Dzulhijjah adalah bulan pelaksanaan ritus tauhid yang agung, saat lautan manusia berkumpul di negeri turunnya wahyu. Di awal bulan yang mulia ini, kita bersama-sama membawa hati kita ke pusat tauhid untuk mengikuti langkah jutaan manusia pencinta Allah dalam melaksanakan ritus manasik haji yang agung.
لبیک اللهم لبیک
Ya Allah kupenuhi panggilanMu
Kata-kata singkat yang penuh makna ini melukiskan hakikat indahnya penghambaan dan kecintaan Rabbani yang mengalir dari lisan para peziarah Baitullah. Haji adalah musim ibadah dan penghambaan yang sedemikian agung sehingga kata-kata tak mungkin bisa mengungkap hakikat ritus ini dengan makna yang sebenarnya. Untuk mengenal keagungannya, kita mesti ikut tenggelam dalam manasik yang ruhani dan irfani ini dengan khusyuk bersimpuh dalam ubudiyyah. Lautan manusia yang datang dari berbagai penjuru dunia tumpah ruah bergerak ke rumah Allah. Ritual manakah dan di agama atau ideologi apakah yang sedemikian agung menggerakkan jutaan manusia menuju satu tempat tertentu? Hanya Islamlah yang memiliki kekuatan untuk menggerakkan hati jutaan manusia dalam ibadah ini. Haji sekaligus membuktikan kapasitas agama Allah untuk menyatukan kalbu-kalbu manusia dan menambatkkan pada satu tempat, negeri wahyu.
Perkumpulan akbar umat Islam di sisi Baitullah, Ka’bah, kembali mengingatkan kita akan satu lembar dari sisi kehidupan Nabi Saw, saat beliau di hari perpisahan atau Hajjatul Wada’ menyeru umatnya untuk bersatu dan bersaudara serta melarang mereka melanggar hak-hak dan menzalimi orang lain. Saat itu beliau bersabda, “Wahai umatku! Dengarkanlah kata-kataku! Mungkin kalian tak akan pernah lagi berjumpa denganku di tempat ini. Umatku! Darah dan harta kalian punya kehormatan sampai kelak kalian menemui Allah seperti kehormatan hari dan bulan ini. Segala bentuk pelanggaran terhadapnya haram dilakukan.”
Saat ini, sekelompok Muslimin yang mewakili umat Islam lainnya sedang menapak tilas sejarah sejarah Islam di dua tempat suci, Mekah dan Madinah dalam suasana religius dan irfani. Sabda Nabi tadi terngiang kembali di telinga saat beliau menekankan persatuan di lembah penghambaan Ilahi. Apalagi, tahun ini haji digelar di saat isu kebangkitan Islam di dunia dan perjuangan membela jatidiri keislaman menjadi masalah yang sangat penting dan menentukan. Tak diragukan bahwa kesan dari ibadah haji menjadi salah satu faktor yang menggugah umat Islam untuk bangkit. Karena itu, haji adalah peluang yang sangat berharga untuk memperkuat gerakan kebangkitan Islam dengan memperkokoh persatuan di antara kaum muslimin dengan beragam madzhab dan pemikirannya.
Sebagai agama dan ideologi komprehensif, Islam memiliki perhatian yang menyeluruh atas semua dimensi wujud manusia dan kebutuhan fitrahnya. Islam telah meletakkan sistem yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama. Salah satu aturan dalam sistem ini adalah ibadah haji yang ditujukan untuk menyempurnakan manusia. Haji adalah ibadah yang meliputi sisi keimanan, sosial dan politik. Imam Ali (as) berkata, “Haji adalah panji Islam”. (Nahjul Balaghah, khotbah 1). Sebagaimana yang diketahui, panji atau bendera adalah lambang yang melukiskan kriteria dan seluruh dimensi satu budaya dan peradaban.
Haji adalah ibadah yang diikuti oleh umat Islam dari seluruh penjuru dunia. Di tempat yang sama, semua suku, ras dan etnis berkumpul dan melebur menjadi satu. Perbedaan status sosial, kebangsaan dan budaya tidak lagi dipandang. Semuanya satu dan sederajat dalam penghambaan dan secara beriringan melakukan ritual yang sama. Seluruh amalan dalam manasik haji dilakukan oleh semua tanpa pengecualian. Mengenal rahasia-rahasia dan hikmah-hikmah yang terkandung dalam rangkaian ibadah ini akan mengantarkan umat ini kepada identitas yang satu. Karena itu, dapat dikatakan bahwa salah satu hikmah haji adalah membentuk kembali jatidiri umat. Fakta ini bahkan diakui oleh banyak pemikir non-Muslim seperti orientalis terkenal Lewis Bernard yang mengatakan, “Di dunia Islam, dalam kondisi tertentu, umat Islam menemukan kembali keutuhan mereka sebagai umat yang satu lewat satu bentuk kekompakan agama, jatidiri agama dan keimanan; jatidiri yang tak mengenal kesukuan dan negeri, tapi didasari oleh Islam itu sendiri.”
Manasik haji memberi kesempatan kepada jamaah haji untuk mengenal budaya Islam. Mereka dapat menyaksikan lebih jelas posisi peradaban dan budayanya di antara budaya dan peradaban-peradaban yang lain. Dengan sekilas menyimak konsep Islam yang murni dapat dikatakan bahwa haji adalah contoh ideal yang membuktikan bahwa Islam adalah agama yang komprehensif. Dalam hadis yang menjelaskan hikmah syariat Ilahi, Nabi Saw menyamakan haji dengan seluruh isi agama dan syariat. Setiap amalan dalam haji memiliki hikmah dan kesan irfani, etika dan pendidikan. Hikmah-hikmah inilah yang memberi makna mendalam untuk ibadah haji dan memberikan perubahan mendasar pada diri orang yang melaksanakannya.
Seluruh amalan ibadah haji, dari pakaian ihram yang berwarna serba putih, sai antara safa dan marwa, tawaf di Baitullah, sampai kehadiran di Arafat, Mu’tazilah dan Mina, seluruhnya adalah pelatihan untuk memperbaiki diri, pemikiran dan jiwa manusia menjadi lebih baik. Semua amalan dan pelatihan itu dilakukan tahap demi tahap. Tahap pertama adalah memutuskan diri dari segala bentuk kecenderungan materi dengan kepergian calon haji meninggalkan tanah airnya menuju Baitullah. Dia harus terlebih dahulu menanggalkan segala kecenderungan materi yang membelenggunya untuk memenuhi panggilan Ilahi. Dia juga harus melepaskan segala bentuk status sosial dan kesukuan untuk masuk ke sebuah pertemuan akbar umat Islam. Mungkin salah satu hikmah utama dari aturan memakai pakaian ihram yang tanpa jahitan untuk laki-laki dan berwarna serba putih adalah untuk melatih manusia menanggalkan semua hal yang bisa menjadikannya unggul di mata orang lain.
Filosofi dari ibadah dalam Islam adalah supaya manusia yang melaksanakannya bisa semakin dekat kepada Allah Swt. Keistimewaan haji adalah perjalanan irfani dan upaya menghias diri dengan hiasan taqwa ini dilakukan dalam sebuah perkumpulan besar umat Islam. Hal ini menunjukkan perhatian Islam kepada berbagai dimensi kehidupan individu dan sosial manusia. Karena itu, di ayat 27-28 surat al-Hajj, Allah Swt menjelaskan akan manfaat besar yang ada dalam ibadah haji.
“Dan serukan kepada manusia untuk melaksanakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, mengendarai unta yang kurus, dan datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka.”
Manfaat yang disebutkan dalam ayat tadi umum dan meliputi manfaat materi dan maknawi, individu dan sosial, ekonomi dan politik, duniawi dan ukhrawi. Dalam haji, umat Islam dapat menyaksikan manfaat yang sangat besar yang meliputi budaya, sosial, ekonomi dan politik. Keistimewaan ini hanya khusus dimiliki oleh ibadah haji, yang juga memberikan kesan besar secara maknawi dan irfani serta memperat jalinan hubungan persaudaraan antar umat Islam dari berbagai negara.
Bekal paling penting dan berharga bagi seorang yang berziarah ke Baitullah adalah makrifat dan pengetahuan. Dia mesti sadar, kemanakah dia pergi dan betapa besar anugerah yang Allah berikan kepadanya untuk menjalankan ibadah ini. Orang akan merasakan makrifat ini ketika dia bersungguh-sungguh dalam memanfaatkan momen spiritual yang tak terhingga dalam safari maknawi di sisi Baitullah ini.
Di akhir pertemuan ini, kami ajak Anda menyimak hadis dari Imam Jafar Sadiq (as). Beliau berkata, ”Ketika engkau berniat melaksanakan haji, sebelum berangkat kosongkanlah hatimu dari semua kesibukan dan hal-hal yang menghalangi dan tuluskan semuanya untuk Allah yang Maha Besar. Serahkan segala urusanmu kepada Penciptamu, dan bertawakkallah dalam setiap gerak dan diammu kepadaNya, serta berserah dirilah kepada kehendak Ilahi. Lepaskan dirimu dari dunia, kesenangan dan manusia, dan bersungguh-sungguhlah dalam melaksanakan kewajiban atas manusia. Jangan mengandalkan bekal, penolong, kawan seperjalanan, kekuatan, harta dan masa mudamu, sebab jangan-jangan semua itu akan menjadi musuh yang mencelakakanmu, sampai jelas bahwa tak ada jalan kecuali berlindung kepada Allah dan mengharap taufik dariNya.” (Misbah al-Syari’ah)
Imam Ali dan Hak Asasi Manusia dalam Nahjul Balâghah, Tinjauan Tafsir Al-Qurân
Naskah pengantar pada seminar Internasional “imam ali dan hak asasi manusia Dalam Nahjul Balagah”, Citywalk 5th floor. Jakarta 30 Juni 2009,
IMAM ALI DAN HAK ASASI MANUSIA DALAM NAHJUL BALÂGHAH TINJAUAN TAFSIR AL-QURÂN
DRS. KH MUCHTAR ADAM
Di Uhud, ketika pasukan kafir Quraisy berhasil membuat barisan muslimin kocar-kacir, bahkan banyak yang melarikan diri, Ali tetap menyertai Nabi dan berperang dengan gigih di sisi orang yang ia cintai itu. Di tangan Ali-lah pasukan Quraisy yang mengepung dan berusaha membunuh Nabi, berhasil dipukul mundur. Di medan yang penuh hiruk pikuk itu, luka-luka yang ada di sekujur tubuhnya, tidak membuat kendur semangat ‘Ali bin Abi Thalib untuk berkorban dan membela Rasulullah Saww. Di Uhud inilah terdengar suara Jibril yang memuji ‘Ali dengan mengatakan, “Tidak ada pahlawan seperti ‘Ali dan tidak ada pedang seperti Dzul Fiqar.”
Di sisi lain, di pojok sebuah mesjid sederhana, Imam Ali ‘a.s. biasa menangis tersedu-sedu di hadapan Sang Khalik meneteskan air mata sampai membasahi janggut dan tanahnya sambil bermunajat, “Allahumma, Ya Allah, Engkaulah yang paling dekat menghibur para wali-Mu, yang paling menjamin kecukupan bagi siapa saja yang bertawakkal kepada-Mu. Engkau melihat sampai ke lubuk hati mereka, menembus jauh dalam nurani mereka dan mengetahui kedalaman perasaan mereka. Semua rahasia mereka terbuka di hadapan-Mu, semua bisikan hati mereka mendamba rnengharap dari-Mu. Bila menderita keterasingan, mereka segera terhibur dengan sebutan-Mu. Dan bila tercurah atas mereka aneka ragam musibah, mereka pun berlindung kepada-Mu. Mereka benar-benar menyadari bahwa kendali segalanya berada di tangan-Mu sebagaimana kemunculannya berasal dari ketentuan-Mu.”
Itulah Imam ‘Ali k.w., hadiah bagi peradaban manusia. Ia bukan hanya anak zaman awal lahirnya Islam dan bukan juga hanya milik satu bangsa atau satu agama. Imam ‘Ali adalah anak setiap zaman, anak masa depan, dan milik semua bangsa dan semua agama, milik semua masa dan tempat, milik semua umat manusia. Pikiran, ide dan petuahnya, seakan-akan hidup di tengah kita semua. Semua karya, pemikiran, dan ucapannya adalah Madrasah bagi seluruh generasi.
Dalam Nahjul Balaghah, kumpulan khutbah, surat dan petuah-petuah Imam ‘Ali memberi perhatian yang besar pada persoalan-persoalan tauhid, ibadah, suluk, kemasyarakatan, hubungan individu dan sosial, hubungan antara penguasa dan rakyat, persoalan keadilan dan hak asasi manusia. Syaikh Muhammad Abduh, salah seorang komentator Kitab Nahjul Balâghah mengatakan : “Di masyarakat Arab, tidak ada seorangpun yang tidak berkeyakinan bahwa ucapan ‘Ali ‘a.s. adalah ucapan paling mulia, paling fasih, paling dalam maknanya dan paling lengkap sesudah al-Qur ân dan al-Hadits Nabi.”[2] Abduh juga berkata, “Dalam kalimat-kalimat Imam Ali terlihat hakikat mukjizat. Tokoh besar ini, dengan kalimat-kalimatnya ada kalanya mengantar manusia ke alam supernatural dan ada kalanya pula ia menggiring perhatian manusia kepada suasana alam dunia. Keberanian dan keteguhan telah beliau kristalkan, dan ketika beliau mensifatinya, seorang yang pemberani pun akan bergetar, dan jika ia menjelaskan mengenai cinta dan kasih sayang, orang yang keras hati pun akan tersentuh.”
Di antara tema pemikiran Imam Ali dan pandangannya dalam Nahjul Balaghah yang sangat relevan hingga saat ini untuk dikaji adalah mengenai hak-hak asasi manusia. Hak-hak asasi yang terkandung didalam al-Qur ân, terpancar dan merasuk dalam jiwanya, mulai dari Hak Hidup - Hak Milik - Hak atas Penghargaan - Hak Kemerdekaan - Hak Memperoleh Ilmu Pengetahuan,yang berujung pada pangkalnya yaitu KEADILAN.
Imam Ali dan Hak Asasi Manusia.
Dalam sejarah peradaban Islam, Imam ‘Ali pernah memangku jabatan tertinggi dalam komunitas Islam yaitu khalifah. Dengan posisi dan jabatan itu, demi keadilan Imam ‘Ali tidak segan duduk bersama satu bangku dengan pencuri baju perangnya. Imam ‘Ali menunggu keputusan hakim yang menangani kasus tersebut. Berikut ini sekilas tentang hak-hak asasi manusia dalam Nahjul Balaghah tinjauan al-Qur ân dengan perspektif tafsir Imam Ali k.w.
- Keadilan
Keadilan adalah salah satu prinsip agama Ilahi. Keadilan dalam pandangan Imam Ali ialah bahwa seluruh manusia memiliki hak yang sama. Allah Swt banyak mengungkapkan masalah ini dalam al-Qurân di antaranya surah al-Nahl [16]: 90 ;
Sesungguhnya Allah memerintahkan keadilan dan kebaikan dan pemberian perhatian kepada kaum kerabat. Dan Dia melarang hal-hal yang keji dan jahat. Dan memberi kamu sekalian petunjuk agar kamu merenungkan.
Dalam memahami makna ayat ini, Imam Ali berkata dalam Nahjul Balaghah, no. 421
Imam ‘Ali ‘a.s. ditanya, manakah yang lebih utama antara keadilan dan al-jữd (kedermawanan)? Jika pertanyaan ini dijawab dengan kriteria moralitas individu maka al-jữd lebih utama daripada keadilan. Namun Imam ‘Ali k.w. menjawab sebaliknya. Beliau lebih mengutamakan keadilan daripada al-jữd dengan dua alasan :
Pertama, keadilan secara terminologi adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya, sementara al-jữd tidak demikian. Maksudnya keadilan adalah memperhatikan hak-hak secara kongkrit dan memberikan orang lain sesuai dengan amal dan kapasitasnya.
Kedua, keadilan adalah sebuah kendali yang bersifat umum, sementara al-jữd atau kedermawanan itu bersifat spesifik. Keadilan bisa dijadikan undang-undang bersifat umum, mengatur seluruh urusan masyarakat dimana seseorang harus komitmen kepadanya, sementara al-jữd adalah kondisi yang bersifat eksklusif dan tidak bisa dijadikan undang-undang umum.
Keadilan yang dimaksud Imam ‘Ali k.w. ialah bahwa seluruh manusia memiliki hak yang sama. Tidak ada perbedaan antara penguasa dan rakyat, antara yang miskin dan kaya, antara yang besar dan kecil. Seseorang dalam pandangan Imam ‘Ali k.w. harus bekerja dalam lingkungan dan masyarakatnya, diberi imbalan sesuai dengan kenerjanya secara proporsional. Seseorang tidak boleh diberi lebih dari apa yang dilakukannya, meskipun orang itu memiliki kedudukan dan posisi tinggi dalam masyarakat.
Imam ‘Ali telah meletakkan dasar hubungan yang adil antara penguasa dengan rakyat dan antara sesama manusia itu sendiri, jauh sebelum Eropa menyerukan konsep hak asasi manusianya. Imam ‘Ali k.w. berkata : “Sungai adalah untuk yang memanfatkannya, bukan untuk yang menguasainya.” Perkataanya yang lain : “Aku tidak pernah melihat adanya kenikmatan yang berlimpah ruah, kecuali di sana ada hak yang terabaikan. Tiap kenikmatan yang dirasakan orang kaya adalah kelaparan yang diderita orang miskin.”
Imam ‘Ali bin Abi Thâlib menganggap keadilan sebagai kewajiban dari Allah Swt, karena itu beliau tidak membenarkan seorang Muslim berpangku tangan menyaksikan norma-norma keadilan ditinggalkan masyarakat, sehingga terbentuk pengkotakan dan kelas-kelas dalam masyarakat. Imam ‘Ali bin Abi Thâlib, sempat menasehati para hakim, bahwa, ” ketika kebenaran tiba, mereka harus menyampaikan penilaiannya tanpa rasa takut, tidak memihak atau berprasangka.” [3] Sama halnya, ketika Imam ‘Ali menekankan suatu lembaga peradilan yang berada di atas setiap jenis tekanan pengaruh atau campur tangan eksekutif, bebas dari rasa takut dan pamrih, intrik dan penyelewengan.[4] Inilah salah satu deklarasi tertua dalam sejarah oleh seorang pemimpin negara mengenai pentingnya lembaga peradilan yang bebas.
Dalam surah al-Nisa [4] : 135 ;
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Dan surah al-Maidah [5] : 8 ;
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,
Adalah konsep Islam yang sangat jelas dalam membumikan nilai-nilai keadilan, kebaikan, dan persamaan, egaliter pada masyarakat sehingga malampaui sekat-sekat mazhab, ras, dan keagamaan. Konsep itu harus tetap ditegakkan sampai dengan orang yang berbeda pendapat atau berlainan keyakinan sekalipun.
Dalam penegasan Imam ‘Ali, pemerintah dan pembela hak-hak maysarakat, haruslah berpegang teguh kepada konsep-konsep keadilan, jika tidak, maka hendaknya tampuk pemerintahan harus diserahkan kepada orang lain. Logika ini dipetik dari ajaran-ajaran al-Qurân yang tersurat dalam beberapa ayat, antara lain dalam surah al-Nisa’ [4] : 58 ;
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Ada beberapa pendapat dalam penafsiran ayat ini.
Dalam memahami intepretasi ayat ini, kita bisa melihat surat-surat Imam ‘Ali yang sebagian dirangkum dalam kitab Nahjul Balaghah. Dalam surat yang ditujukan kepada para pejabat, Imam Ali berkata:
“Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa kekuasaan yang telah diserahkan kepadamu itu adalah hasil buruan yang jatuh ke tanganmu. Itu adalah amanat yang diletakkan ke pundakmu. Pihak yang diatasmu mengharapkan engkau dapat menjaga dan melindungi hak-hak rakyat. Maka janganlah engkau berbuat sewenang-wenang terhadap rakyat.”
Imam ‘Ali k.w. ketika menjabat sebagai khalifah pernah berpesan kepada gubernur Malik al-Asytar: “Pikirlah baik-baik terlebih dahulu untuk memilih seseorang sebagai penanggung jawab. Angkatlah dia setelah dia siap untuk bekerja dan janganlah kau angkat mereka hanya dengan kemauanmu sendiri tanpa bermusyawarah dengannya, karena ini adalah perbuatan khianat.”
Ibnu Abil Hadid, seorang ulama terkenal mengomentari pesan Imam ‘Ali dalam Kitab Nahjul Balaghah sebagai berikut : “Maksud dari kalimat Imam ‘Ali ini ialah memilih seseorang tanpa berdasarkan seleksi yang semestinya adalah perbuatan khianat dan zalim. Kezaliman disini terjadi karena seorang pemimpin tidak menyerahkan tanggung jawab kepada orang yang berhak dan malah menyerahkannya kepada orang yang tidak patut. Kezaliman ini menimpa orang yang layak menerima tanggung jawab. “Adapun khianat disini, terjadi karena amanat menuntut penyerahan tugas kepada orang yang layak dan siapapun yang berbuat sebaliknya, berarti dia telah berkhianat kepada Allah dan umat.”
Imam ‘Ali k.w. yang hidup dan besar dalam tarbiyah al-Rasữl dan wahyu telah menempatkan program-program utamanya untuk penentangan terhadap kezaliman. “Imam ‘Ali bin Abi Thâlib, sebagai murid utama ajaran Islam, sangat sensitif terhadap kezaliman. Di banyak bagian dalam kitab Nahjul Balaghah, masalah ini sangat jelas. Antara lain beliau berkata: “Andaikan aku ditidurkan di atas duri padang pasir tanpa pakaian, atau seandainya aku dibelenggu rantai dan diseret di atas tanah, demi Allah aku bersumpah bahwa itu lebih baik daripada seandainya aku berjumpa Allah dan Rasul di hari kiamat sementara aku pernah menzalimi makhluk Allah atau aku merampas urusan-urusan duniawi.”
Imam ‘Ali k.w. juga pernah berkata kepada anak-anak dan generasinya : “Jadilah kamu musuh orang zalim dan sahabat orang tertindas. “ Menurut Imam Ali, seorang Muslim bukan saja harus menjauhi kezaliman, tapi juga harus menjadi kawan dan merasa senasib dengan seorang yang tertindas. Jadi menurut beliau, Islam tidak membenarkan umatnya diam tak bergeming menyaksikan seseorang menjadi obyek kezaliman dan penindasan.
Kezaliman sangat dicela oleh Islam. Berkenaan berbagai kezaliman, Hujjatul Islam Bahman Pur mengatakan : “Menurut Imam ‘Ali, kezaliman ada tiga bentuk yaitu :
Pertama, perbuatan syirik kepada Allah Swt. Kezaliman ini sama sekali tidak akan mendapat pintu ampunan Allah, sebagaimana yang ditegaskan dalam al-Qurân.
Kedua, kezaliman yang dapat diampuni oleh Allah Swt yaitu berbuat dosa atau ada kekurangan dalam mengerjakan perintah Allah.
Ketiga, kezaliman yang harus dibalas atau diqisas, baik di dunia maupun di akhirat. Kezaliman dalam kategori ini adalah tindakan aniaya yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Imam ‘Ali k.w. pernah menuturkan bahwa balasan Allah sangat keras kepada orang yang berbuat zalim. Manusia yang paling sempurna dan guru Imam ‘Ali, yaitu Nabi besar Muhammad Saww, menegaskan: “Hari dimana seorang yang teraniaya membalas si zalim, jauh lebih pedih ketimbang hari dimana si zalim menganiaya si tertindas.” Imam ‘Ali bertutur kepada putra-putri dan generasinya. “Jadilah kalian sahabat orang yang tertindas dan musuh orang zalim.”
Wasiat Imam ‘Ali ini bukan hanya datang dari seseorang yang berstatus pemimpin ummat, tapi juga dari orang yang berhasil meraih kesempurnaan insani yang tak lupa berusaha menyirami naluri atau fitrah manusia dengan pesan ini. Kita berharap masyarakat penghuni dunia ini benar-benar meresapi dan kembali kepada fitrah mereka demi menjauhi fanatisme agama, golongan, bangsa dan etnis untuk kembali kemudian menyadari apa tugas mereka terhadap orang-orang tertindas yang dilanggar haknya tanpa ada perlawanan.
‘Ali bin Abi Thalib banyak berwasiat dan memberikan wawasan yang luas betapa pentingnya menegakan keadilan, sebagaimana beliau ungkapkan : “Keadilan itu adalah dasar dan landasan untuk membangun dunia ini.”
Tanpa keadilan, keamanan dan kesejahteraan dunia tidak akan terwujud. Terjadinya kekacauan dunia saat ini termasuk di Indonesia disebabkan karena merosotnya keadilan, baik dari segi hukum maupun keadilan dalam sosial ekonomi.
Imam ‘Ali mewasiatkan, keadilan adalah benteng tegaknya negara-negara itu dan iman yang ada dalam diri seseorang itu akan hancur ketika keadilan tersingkir karena keadilan itu inti dari keimanan dan hiasan iman.
Hal ini mengacu kepada ayat al-Qurân surah al-An’am [6] : 82 ;
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman , mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
2.Imam ‘Ali pengusung mazhab cinta .
Landasan kedua dalam menjalankan hak asasi manusia yang dilakukan oleh Imam ‘Ali adalah landasan kecintaan pada nilai-nilai luhur kemanusiaan. Dalam suratnya kepada Malik Asytar,gubernur Mesir Imam mengatakan, “insafkan hatimu agar selalu memperlakukan rakyatmu dengan kasih sayang, cinta dan kelembutan hati. Jangan kau jadikan dirimu laksana binatang buas lalu menjadikan mereka sebagai mangsamu. Mereka itu sesungguhnya hanya satu di antara dua : saudaramu dalam agama atau makhluk Tuhan sepertimu.”
Ibnu Abil Hadid menjelaskan, “Jadikan kasih sayang sebagai syiarmu, yaitu satu karakter yang menonjol pada dirimu, karena rakyatmu adalah saudaramu dalam agama atau manusia sepertimu yang butuh akan kelembutan dan kasih sayang” Hal ini dijiwai oleh al-Qur ân surah al-Mâidah [5] : 32 ;“
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa : barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.
Tentu saja kecintaan bukan hanya berarti kelembutan dan menyerah pada kesalahan. Imam ‘Ali berkata, “Jika kecintaan dan kelembutan hanya mengakibatkan timbulnya kekerasan maka kekerasan adalah suatu bentuk kelembutan hati.”
Ungkapan beliau yang paling populer ialah :
اِجْعَلْ نَفْسَكَ مِيْزَانًا فِيْمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ غَيْرِكَ ،وَأَحِبَّ لِغَيْرِكَ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ، وَاِكْرَهْ لَهُ مَا تَكْرَهُ لَهَا، لاَ تَظْلِمْ كَمَا لاَ تُحِبُّ أَنْ تُظْلَمَ، وَأَحْسِنْ كَمَا تُحِبُّ أَنْ يُحْسَنَ إِلَيْكَ، وَاسْتَقْبِحْ لِنَفْسِكَ مَا تَسْتَقْبِحْهُ مِنْ غَيْرِكَ، وَاِرْض مِنَ النَّاسِ مَا تَرْضٰى لَهُمْ مِنْكَ.
Jadikanlah dirimu sebagai timbangan dalam hubunganmu dengan orang lain, dan cintailah orang lain itu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri, dan bencilah orang lain sebagaimana kamu benci dirimu sendiri, janganlah engkau menganiaya sebagimana engkau tidak senang dianiaya, dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana engkau senang orang lain berbuat baik kepadamu, dan pandang jeleklah terhadap dirimu sebagaimana orang lain memandang jelek, dan tumpahkan relamu kepada manusia sebgaimana engkau rela jika orang lain rela kepadamu.
(Nahjul Balaghah 31)
Imam ‘Ali k.w. adalah diantara sedikit manusia yang bisa memadukan dua sifat yang sangat susah dipadukan yaitu keadilan dan kecintaan. Akhirnya sebagai pencinta Ahlul Bait Nabi, mari kita aktualisasikan dan realisasikan hak-hak asasi manusia yang telah dibangun pondasinya oleh Imam Ali k.w. dari seluruh aspek kehidupan kita. Mudah-mudahan kita diberi berkah untuk dapat menjadi pengikutnya. Wallahu a’alam
Ciburial Indah, 7 Rajab 1430 H
Imam Khomeini; dari Lahir hingga Wafat
Ruhullah Musavi Khomeini lahir pada tanggal 20 Jumadis-Tsani 1320 H (24 September 1902) di kota Khomein, provinsi Markazi, Iran tengah. Ia terlahir di tengah keluarga agamis, ahli ilmu, dan pejuang, keluarga terhormat yang masih menyimpan darah keturunan Sayidah Fatimah Az-Zahra as, putri Rasulullah saw. Ruhullah adalah pribadi agung yang menjadi pewaris kemuliaan para bapak dan datuknya yang selalu mengabdikan diri untuk membimbing umat dan menuntut makrifat ilahi dari suatu generasi ke generasi lainnya.
Ayah Imam Khomeini adalah Al-Marhum Ayatollah Sayid Mostafa Musavi. Beliau hiudp sezaman dengan Al-Marhum Ayatollah Al-Udzma Mirza-e Shirazi. Setelah bertahun-tahun menuntut ilmu agama di kota suci Najaf dan berhasil meraih gelar mujtahid, Ayatollah Sayid Mostafa Musavi kembali ke Iran dan menetap di Khomein. Di kota kecil inilah beliau mendermakan umurnya untuk mengabdi kepada masyarakat dan menjadi pembimbing mereka dalam urusan agama.
Hanya selang 5 bulan setelah kelahiran Ruhullah, Ayatollah Sayid Mostafa Musavi, gugur syahid akibat serangan teror pembunuh bayaran para tuan tanah Khomein di waktu itu. Beliau meneguk manisnya madu syahadah setelah peluruh panas bersarang ke tubuhnya saat menempuh perjalanan dari kota Khomein menuju Arak. Di masa itu, ayah Ruhullah memang dikenal sebagai seorang pejuang yang senantiasa menentang kezaliman para penguasa. Tak lama kemudian, sanak famili Ayatollah Musavi bertandang ke pemerintah pusat Tehran, guna menuntut diterapkannya hukum Qishash terhadap para pelaku teror.
Sejak kecil Ruhullah memang sudah terbiasa dengan derita anak yatim dan mengenal arti syahid. Di masa kecil dan remajanya, Ruhullah berada di bawah asuhan ibunya, bernama Hajar. Ibunya sendiri adalah putri keluarga ulama. Ia adalah cucu Al-Marhum Ayatollah Khounsari, penulis kitab Zubdah Al-Tasanif. Bersama ibunya, Ruhullah juga diasuh oleh bibinya yang dikenal sebagai seorang perempuan pejuang, bernama Sahebah. Namun menginjak usia 15 tahun, Ruhullah pun kehilangan belaian kasih ibu dan bibinya.
Hijrah ke Qom
Tak lama setelah kepindahan Ayatollah Al-Udzma Haj Syeikh Abdul Karim Hairi Yazdi, ke Qom pada Rajab 1340 H (Sekitar bulan Maret 1921), Imam Khomeini pun akhirnya turut hijrah ke Hauzah Ilmiah Qom dan dengan segera ia menyelesaikan pendidikan tingkat akhirnya di sana. Imam Khomeini mempelajari bagian akhir kitab Al-Muthawwal di bidang ilmu ma’ani dan bayan (sastra Arab) di bawah bimbingan Agha Mirza Muhammad Ali Adib Tehrani. Sebagian besar pelajaran tingkat menengah hauzahnya ia tamatkan di bawah asuhan Ayatollah Sayid Ali Yatsribi Kashani, dan juga Ayatollah Sayid Muhammad Taqi Khounsari. Sementara pelajaran Fiqih dan Ushul Fiqih beliau pelajari dari Ayatollah Al-Udzma Haj Syeikh Abdul Karim Hairi Yazdi, pendiri Hauzah Ilmiah Qom.
Setelah wafatnya Ayatollah Hairi Yazdi, berkat upaya Imam Khomeini dan para ulama besar Hauzah Ilmiah Qom lainnya, Ayatollah Al-Udzma Boroujerdi akhirnya dikukuhkan sebagai pengasuh Hauzah Ilmiah Qom. Di masa itu, Imam Khomeini terpilih sebagai salah satu pengajar Hauzah dan dikenal sebagai mujtahid di bidang Fiqih, Ushul Fiqih, Filsafat, Irfan, dan Akhlak. Selama bertahun-tahun menjadi pengajar di Hauzah, Imam Khomeini mengajar di madrasah Faiziyah, masjid A’zam, masjid Muhammadiyah, madrasah Haj Molla Shadiq, masjid Salmasi dan beberapa tempat lainnya.
Sementara itu, selama 14 tahun di Hauzah Ilmiah Najaf, Irak, Imam Khomeini mengajar ilmu-ilmu Ahlul Bait as dan fiqih pada peringkat tertinggi Hauzah, di masjid Syeikh A’zam Ansari. Di kota Najaf inilah, Imam Khomeini untuk pertama kalinya mengungkapkan dasar-dasar teori pemerintahan Islam dalam rangkaian pelajaran wilayatul-faqihnya.
Perjuangan dan Kebangkitan Imam Khomeini
Semangat perjuangan dan jihad Imam Khomeini, berakar pada pandangan akidah, pendidikan, lingkungan keluarga, dan situasi politik dan sosial di sepanjang masa hidupnya. Perjuangan beliau dimulai sejak masa remajanya, lantas berkembang kian matang seiring dengan perkembangan psikologis dan ilmiah Imam Khomeini di satu sisi, dan transformasi politik dan sosial di Iran dan dunia Islam di sisi lain.
Pada tahun 1340 hingga 1341 HS (1961-1962), rezim Pahlevi mengesahkan aturan yang dikenal dengan nama Anjomanha-ye Eyalati va Velayati (Lembaga Lokal dan Federasi). Peristiwa ini merupakan kesempatan bagi Imam Khomeini untuk memimpin kebangkitan para ulama. Sehingga kebangkitan massal para ulama dan rakyat Iran pada tanggal 15 Khordad 1342 HS (5 Juni 1963) meletus. Kebangkitan 15 Khordad memiliki dua ciri utama: kepemimpinan tunggal Imam Khomeini dan keIslaman motif, tujuan, dan slogan kebangkitan. Kebangkitan ini merupakan babak baru perjuangan bangsa Iran yang kemudian dikenal sebagai Revolusi Islam.
Saat Perang Dunia I berlangsung, Imam Khomeini masih berusia 12 tahun. Terkait hal ini, Imam Khomeini menuturkan, “Saya masih ingat terjadinya dua perang dunia. Kala itu saya masih kecil tapi tetap pergi sekolah. Saya melihat para tentara Uni Soviet yang saat itu tengah berada di Khomein. Kami pun menjadi bulan-bulanan kekejaman mereka di era Perang Dunia I”.
Di bagian lain kenangannya, Imam Khomeini pernah menyebut nama-nama sejumlah penjahat bayaran yang berlindung di bawah penguasa wilayah Markazi, Iran. Mereka adalah para pengganas yang kerap merampas harta dan harga diri warga Markazi. Mengenai hal ini, Imam Khomeini mengungkapkan, “Sejak kecil saya sudah terbiasa dengan perang. Kami menjadi sasaran kejahatan kelompok Zalaqi dan Rajab Ali. Namun kami punya senjata sendiri. Pernah di suatu hari, saat saya masih anak-anak atau kira-kira di masa-masa awal baligh, saya mengawasi kantong-kantong perlindungan di kampung kami dan turut menjaga benteng pertahanan. Sementara para penjahat bayaran hendak menyerang dan merampok”.
Pada tanggal 3 Esfand tahun 1299 HS (22 Februari 1921), Reza Khan menggelar aksi kudeta. Berdasarkan data-data dan bukti sejarah yang valid, kudeta tersebut didalangi dan diorganisir oleh Inggris. Meski kudeta Reza Khan berhasil mengakhiri era kekuasaan dinasti Qajar, dan mampu meminimalisir gerak para penguasa lokal yang zalim, namun kudeta tersebut memunculkan diktator baru. Diktator baru ini lantas mendirikan dinasti Pahlevi sebagai penguasa tunggal Iran.
Pasca meletusnya Revolusi Konstitusional dan tekanan bertubi-tubi pemerintah dan konspirasi Inggris di satu sisi, serta perselisihan kaum elite dan intelektual kebarat-baratan di sisi lain, mendorong kalangan ulama yang ditekan untuk bangkit berjuang membela Islam. Atas permintaan para ulama Qom, Ayatollah Al-Udzma Haj Syeikh Abdul Karim Hairi Yazdi dari Arak hijrah ke Qom. Tak lama setelah itu, Imam Khomeini pun dengan segera menyelesaikan pelajaran tingkat dasar dan menengah Hauzahnya di Khomein dan Arak, lantas menyusul ke Qom. Beliau juga turut aktif dalam memperkuat posisi Hauzah Ilmiah Qom yang baru saja berdiri. Dalam waktu yang relatif singkat, Imam Khomeini pun lantas dikenal sebagai ulama terkemuka di bidang irfan, filsafat, fiqih, dan ushul fiqih.
Dengan wafatnya Ayatollah Al-Udzma Hairi Yazdi, pada tanggal 10 Bahman 1315 (30 Januari 1937), Hauzah Ilmiah Qom yang baru saja didirikan terancam bubar. Namun demikian, para ulama Hauzah pun segera mencari solusi. Selama delapan tahun, Hauzah Ilmiah Qom diasuh oleh Ayatollah Al-Udzma Sayid Mohammad Hojjat, Ayatollah Al-Udzma Sadruddin Sadr, dan Ayatollah Al-Udzma Sayid Muhammad Taqi Khounsari. Selang masa itu, khususnya setelah tumbangnya Reza Khan, situasi untuk memunculkan marjaiyat yang besar mulai terbuka.
Ayatollah Al-Udzma Boroujerdi, merupakan figur ulama besar, yang layak untuk menggantikan posisi Al-Marhum Ayatollah Al-Udzma Hairi Yazdi. Karena itu para murid Ayatollah Hairi Yazdi termasuk Imam Khomeini segera mengusulkan untuk memilih Ayatollah Boroujerdi sebagai pengasuh Hauzah Ilmiah Qom. Dengan penuh kesungguhan, Imam Khomeini mengundang Ayatollah Boroujerdi untuk berhijrah ke Qom dan menerima tanggung jawab besar sebagai pengasuh Hauzah Ilmiah di kota ini.
Dengan begitu teliti dan cermat, Imam Khomeini selalu memantau situasi politik Iran dan kondisi Hauzah. Pelbagai informasi dan data beliau peroleh lewat telaah tak kenal lelah buku-buku sejarah kontemporer, beragam majalah, dan koran. Imam Khomeini juga kerap pergi ke Tehran dan berhubungan dengan para tokoh politik Islam, seperti Ayatollah Modarres. Imam Khomeini melihat bahwa satu-satunya harapan untuk melepaskan bangsa Iran dari jeratan penguasa dikatotar dan konspirasi asing, pasca kegagalan Revolusi Konstitusional dan berkuasanya Reza Khan adalah kebangkitan para ulama Hauzah. Tentu saja sebelum kebangkitan itu dilancarkan, upaya menjamin keberadaan Hauzah Ilmiah dan hubungan spritual masyarakat dengan ulama harus terealisasikan terlebih dahulu.
Guna mencapai tujuan luhurnya, pada tahun 1328 HS (1949), Imam Khomeini bersama Ayatollah Morteza Hairi merancang program reformasi mendasar struktur Hauzah Ilmiah dan mengusulkannya kepada Ayatollah Al-Udzma Boroujerdi. Usulan tersebut mendapat sambutan positif dan dukungan para ulama dan pelajar Hauzah yang berpikiran reformis.
Di sisi lain, politik rezim Syah mengalami kegagalan. Rancangan Anjomanha-ye Eyalati va Velayati yang mencabut syarat status keislaman, sumpah dengan Al-Quran, dan berjenis kelamin pria bagi para pemilih dan kandidat pemilihan umum, disahkan oleh kabinet PM Amir Asadollah Alam pada tanggal 16 Mehr 1341 HS (8 Oktober 1962). Kebebasan memilih bagi perempuan, sejatinya merupakan kedok untuk menyembunyikan agenda tersembunyi rezim Syah. Penghapusan dan perubahan dua syarat pertama di atas merupakan upaya untuk melegalkan kehadiran oknum-oknum Bahaism di pemerintahan.
Sebelum itu, AS mengumumkan bahwa pihaknya akan membela Syah jika rezim ini mendukung rezim zionis Israel dan meningkatkan hubungan kerjasama Tehran-Tel Aviv. Pengaruh kubu Bahai yang didukung kekuatan penjajah Inggris, baik di kalangan pemerintah, parlemen, maupun yudikatif Iran berhasil merealisasikan syarat yang diinginkan oleh AS.
Segera setelah disahkannya rancangan tersebut, Imam Khomeini bersama para ulama besar Qom dan Tehran mengadakan pertemuan, lantas diteruskan dengan menggelar aksi protes massal. Peran pencerahan Imam Khomeini dalam mengungkap agenda gelap rezim Syah dan mengingatkan tugas berat para ulama dan Hauzah Ilmiah amat berperan penting dalam situasi kritis saat itu. Pelbagai telegram dan surat protes terbuka para ulama kepada Syah dan Perdana Menteri Asadollah Alam memantik dukungan luas rakyat Iran. Nada bicara surat protes Imam Khomeini kepada Syah dan Perdana Menteri begitu pedas dan keras. Dalam salah satu surat protes ini dinyatakan, “Saya kembali menesehati Anda untuk taat kepada Allah swt dan konsititusi. Takutlah kalian pada akibat buruk dari melanggar Al-Quran, hukum para ulama dan pemimpin kaum muslimin, serta undang-undang dasar. Janganlah kalian sengaja dan tanpa sebab menyeret negara ke dalam kondisi bahaya. Karena jika tidak, para ulama Islam tidak akan berdiam diri melontarkan pandangannya mengenai kalian”.
Dengan demikian, peristiwa Anjomanha-ye Eyalati va Velayati merupakan pengalaman kemenangan yang sangat berharga bagi rakyat Iran. Terlebih, kemenangan tersebut merupakan kesempatan bagi rakyat Iran untuk mengenal figur pemimpin umat Islam yang layak dari berbagai dimensi, semacam Imam Khomeini. Namun demikian, meski skenario politik Syah mengalami kegagalan dalam kasus Anjomanha, tekanan AS untuk melakukan reformasi terus berlangsung. Akhirnya pada bulan Dey 1341 (Januari 1963), Syah mengajukan enam prinsip reformasinya yang dikenal sebagai Revolusi Putih, dan menghendaki digelarnya referendum.
Kebijakan reformasi rancangan AS ini mendapat tanggapan serius para ulama. Untuk kesekian kalinya Imam Khomeini mengajak para marji dan ulama Qom untuk mencari solusi dan langkah bersama. Imam Khomeini mengusulkan untuk memboikot pesta perayaan tahun baru tradisional (Nouruz) Iran 1341 HS (Maret 1963) sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Syah. Dalam statemennya, Imam Khomeini menyebut Revolusi Putih rancangan AS sebagai revolusi hitam dan beliau membongkar tujuan AS dan rezim zionis Israel di balik program revolusi tersebut.
Tentu saja gelombang protes para ulama benar-benar memukul posisi Syah. Dalam berbagai pertemuan terbukanya dengan masyarakat, Imam Khomeini mengajak rakyat Iran untuk bangkit dan secara terang-terangan menyebut Syah sebagai pelaku utama kejahatan dan sekutu rezim zionis. Imam Khomeini dalam pidatonya pada tanggal 12 Farvardin 1342 (1 April 1963) mengkritik keras sikap bungkam para ulama Qom dan Najaf serta negara-negara muslim lainnya di hadapan kejahatan rezim zionis Israel terhadap rakyat Palestina. Dalam pidatonya itu, Imam menyatakan, “Hari ini, sikap membisu sama artinya dengan mendukung penguasa zalim”.
Sehari setelah itu, 13 Farvardin 1342 (2 April 1963), Imam Khomeini mengeluarkan statemen tertulisnya yang terkenal dengan tajuk “Bersahabat dengan Syah Berarti Penjarahan”. Sejatinya, rahasia pengaruh besar pesan dan pernyataan Imam Khomeini terhadap jiwa pendengarnya hingga mereka rela berkorban, terletak pada kemurnian pemikiran, kekuatan pandangan, dan kejujuran Imam Khomeini kepada masyarakat.
Tahun 1342 HS (1963) diawali dengan boikot pesta perayaan tahun baru tradisional (Nouruz) Iran dan peristiwa berdarah di madrasah Faiziyah Qom. Satu sisi, Syah begitu berhasrat untuk menerapkan Revolusi Putih sebagaimana yang diinginkan oleh AS, namun di sisi lain Imam Khomeini terus berjuang menyadarkan rakyat dan bangkit menentang campur tangan AS dan pengkhianatan Syah terhadap bangsanya sendiri.
Pada tanggal 14 Farvardin 1342 (3 April 1963), Ayatollah Al-Udzma Hakim di Najaf, Irak, mengirim telegram kepada para ulama dan maraji Iran yang berisi ajakan untuk hijrah ke Najaf secara massal. Usulan ini merupakan upaya untuk menyelamatkan para ulama dan tokoh hauzah. Namun demikian, tanpa mempedulikan ancaman dan tekanan Syah, Imam Khomeini membalas telegram Ayatollah Hakim. Dalam telegramnya itu, Imam Khomeini menilai bukan maslahat jika para ulama hijrah secara massal ke Najaf dan membiarkan Hauzah Ilmiah Qom dalam keadaan kosong. Imam Khomeini dalam pesannya tertanggal 12 Ordibehesht 1342 HS (2 Mei 1963) memperingati 40 hari terjadinya tragedi Faiziyah menegaskan perlunya ulama dan rakyat Iran untuk bersama-sama mendukung para pemimpin negara-negara Islam dan pemerintahan Arab menentang rezim zionis Israel serta mengutuk persekutuan Syah dengan rezim zionis.
Kebangkitan 15 Khordad
Bulan Muharram datang bersamaan dengan bulan Khordad 1342 HS. Imam Khomeini memanfaatkan moment tersebut untuk menggerakkan rakyat Iran bangkit melawan rezim diktator Syah Pahlevi. Pada sore Asyura 13 Khordad 1342 HS (3 Juni 1963) Imam Khomeini menyampaikan pidato bersejarahnya di madrasah Faiziyah Qom. Pidato ini merupakan titik awal kebangkitan 15 Khordad. Dalam pidatonya ini, Imam secara lantang berbicara kepada Syah dan menyatakan, “Tuan, saya menasehati Anda. Wahai Syah! Wahai yang terhormat Syah! Saya menasehati Anda agar meninggalkan seluruh upaya yang membuat Anda menjadi lalai. Saya tak ingin, suatu hari jika Anda hendak pergi justru disyukuri oleh semua pihak...Jika engkau didikte dan diperintah membaca, berpikirlah pada sekelilingmu...Dengarlah nasehat saya. Apa sebenarnya hubungan Syah dengan Israel, sehingga pihak keamanan melarang untuk tidak angkat bicara soal Israel...Apakah Syah adalah orang Israel?”
Syah mengeluarkan perintah untuk menumpas gerakan kebangkitan rakyat. Mulanya, pihak keamanan menangkap banyak sahabat dan pendukung Imam Khomeini pada malam 14 Khordad (4 Juni 1963). Kemudian, pada pukul 3 pagi, 15 Khordad 1342 HS (5 Juni 1963), ratusan tentara Syah mengepung rumah Imam Khomeini. Mereka menangkap Imam saat beliau sedang menjalankan shalat malam dan segera membawanya ke Tehran. Beliau dijebloskan di penjara Bashgah-e Afsaran. Sore harinya, beliau dipindahkan ke penjara Ghasr. Pagi tanggal 15 Khordad berita penangkapan Imam Khomeini pun menyebar ke kota-kota besar Iran, seperti Qom, Tehran, Mashhad, Shiraz, dan kota-kota lainnya.
Jenderal Hossein Fardust, orang kepercayaan Syah, dalam kesaksiannya menuturkan bahwa upaya penumpasan gerak kebangkitan 15 Khordad dilakukan dengan memanfaatkan pelbagai pengalaman dan bekerjasama dengan para politisi dan petugas intelijen paling handal AS. Fardust juga mengungkapkan betapa terguncangnya Syah, kalangan istana, para petinggi militer dan agen mata-mata Iran (SAVAK) saat terjadinya aksi kebangkitan 15 Khordad. Ia juga membeberkan bagaimana Syah dan para jenderal arogan mengeluarkan perintah penumpasan gerakan rakyat.
Setelah 19 hari mendekam di penjara Ghasr, Imam Khomeini dipindahkan ke sebuah penjara di pangkalan militer Eshrat Abad. Dengan ditangkapnya pemimpin revolusi, Imam Khomeini, dan dilancarkannya pembantaian massal pada peristiwa 15 Khordad, tampaknya gerak revolusi sudah berhasil dipadamkan.
Di penjara, Imam Khomeini dengan beraninya menolak seluruh pertanyaan yang diajukan dalam proses intrograsi. Beliau dengan lantang menyatakan bahwa pemerintah dan lembaga yudikatif Iran adalah penguasa yang ilegal dan tidak sah. Tanpa pemberitahuan sebelumnya, pada malam 18 Farvardin 1343 HS (7 April 1964), Imam Khomeini akhirnya dibebaskan dan dipindahkan ke Qom. Kabar pembebasan Imam pun menyebar luas dan disambut gembira oleh rakyat.
Peringatan tahun pertama hari Kebangkitan 15 Khordad pada tahun 1343 HS (5 Juni 1964) diperingati dengan dirilisnya statemen bersama Imam Khomeini dan para marji taqlid lainnya serta pernyataan terpisah Hauzah Ilmiah. Hari itu dinyatakan sebagai hari duka. Pada tanggal 4 Aban 1343 HS (26 Oktober 1964) Imam Khomeini mengeluarkan statemen revolusioner dan menyatakan, “Dunia harus tahu, setiap musibah yang menimpa bangsa Iran dan bangsa-bangsa muslim lainnya bersumber dari pihak asing, dari AS. Secara umum, bangsa-bangsa Islam membenci pihak asing, khususnya AS. Amerikalah yang mendukung rezim zionis Israel dan para sekutunya. Amerikalah yang memberi kekuatan pada Israel hingga membuat warga muslim Arab terlantar”.
Penentangan Imam Khomeini dan terungkapnya agenda AS di balik rencana disahkannya rancangan Kapitulasi, mendorong rakyat Iran untuk bangkit kembali. Dini hari 13 Aban 1343 HS (4 November 1964), pihak keamanan dari Tehran kembali datang ke Qom dan mengepung rumah Imam Khomeini. Anehnya, seperti tahun sebelumnya, Imam ditangkap saat beliau tengah menunaikan shalat malam. Imam pun ditangkap dan langsung di bawa menuju bandara Mehrabad, Tehran. Di bawah kawalan ketat pihak keamanan Imam diboyong ke Ankara, Turki dengan sebuah pesawat militer yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Sore harinya agen intelijen Iran (SAVAK) mengumumkan berita pengasingan Imam Khomeini di koran-koran Iran dengan tuduhan merongrong keamanan negara. Meski situasi Iran berada di bawah tekanan pemerintah, namun gelombang protes dan demo tetap marak. Gelombang protes itu diwujudkan dalam bentuk aksi unjuk rasa warga di pasar besar Tehran, diliburkannya aktifitas Hauzah Ilmiah untuk jangka panjang, pengiriman kumpulan tanda tangan dan surat protes kepada lembaga-lembaga internasional dan para marji taqlid.
Pengasingan Imam khomeini di Turki berlangsung selama 11 bulan. Selang masa itu, rezim syah dengan otoriternya berusaha menumpas total gerakan kebangkitan rakyat Iran yang masih tersisa dan dengan segera menerapkan rencana reformasi sebagaimana yang dirancang oleh AS. Masa pengasingan Imam Khomeini di Turki merupakan juga kesempatan bagi beliau untuk memulai penulisan buku Tahrirul-Wasilah.
Pengasingan Imam Khomeini dari Turki ke Irak
Tanggal 13 Mehr 1343 (5 Oktober 1965) Imam Khomeini bersama putranya, Ayatollah Haj Agha Mostafa dipindahkan dari Turki dan diasingkan ke Irak. Setelah memasuki Baghdad, Imam Khomeini segera memanfaatkan waktu yang ada untuk berziarah ke makam para Imam Ahlul Bait as seperti di Kadzimain, Samarra, dan Karbala. Seminggu setelahnya, Imam pergi ke tempat pengasingannya di Najaf.
Meski selama di Irak, Imam Khomeini relatif lebih bebas ketimbang di Iran atau Turki, namun masa pengasingan di Najaf selama 13 tahun dimulai dengan maraknya penentangan, hasutan, dan fitnah musuh-musuh Imam, bahkan beliau juga mendapat penentangan keras dari kalangan yang berkedok ulama. Imam bahkan menyebut masa pengasingan di Irak sebagai babak perjuangan yang begitu pahit. Namun begitu, beliau tetap sabar menghadapi segala tantangan yang ada dan terus melanjutkan perjuangannya.
Di bawah tekanan para penentangnya, Imam Khomeini mulai mengajar rangkaian pelajaran fiqih tingkat tingginya di masjid Syeikh Anshari, Najaf pada bulan Aban 1344 HS (sekitar November 1965). Kegiatan mengajar tersebut beliau lanjutkan hingga akhirnya beliau pindah ke Paris. Pelajaran fiqih Imam terkenal sebagai salah satu kelas Hauzah Ilmiah Najaf paling berbobot dan diminati.
Hubungan Imam Khomeini dengan kawan-kawan seperjuangannya di Iran masih beliau jalin lewat pengiriman surat dan utusan. Imam Khomeini selalu memandu mereka dan mengajak mereka untuk tetap bertahan memperjuangkan cita-cita Kebangkitan 15 Khordad.
Di masa-masa pasca pengasingan, Imam Khomeini tak pernah menyerah untuk berhenti berjuang meski didera berbagai tekanan dan ancaman. Ceramah-ceramah dan pesan-pesan tertulis Imam Khomeini selalu mengobarkan harapan kemenangan di hati setiap rakyat Iran.
Pada tanggal 19 Mehr 1347 HS (11 Oktober 1968), dalam dialognya dengan utusan gerakan Fatah, Palestina, Imam Khomeini memaparkan pandangannya tentang persoalan dunia Islam dan perjuangan rakyat Palestina. Dalam dialog ini pula, Imam Khomeini mengeluarkan fatwa yang mewajibkan untuk menyisihkan sebagian harta zakat bagi kepentingan para pejuang Palestina.
Pada awal tahun 1348 HS (1969), perselisihan antara rezim Syah dan partai Ba’ath yang berkuasa di Irak soal perbatasan air Iran-Irak makin memuncak. Pemerintah Irak mengusir banyak warga Iran yang bermukim di Irak. Mereka juga berupaya memanfaatkan permusuhan Imam Khomeini dengan rezim Syah. Setelah 4 tahun mengajar di Hauzah Najaf dan berjuang keras mencerahkan masyarakat di sekitarnya, Imam Khomeini relatif berhasil mengubah situasi Hauzah Ilmiah Najaf. Akhirnya pada tahun 1348 HS (1969) Imam Khomeini tidak hanya berhasil menjaring dukungan dari dalam negeri Iran, tapi juga berhasil menarik dukungan masyarakat muslim lainnya seperti dari Irak, Lebanon dan negara-negara Islam yang lain. Paradigma perjuangan Imam Khomeini mereka jadikan sebagai model perjuangan mereka.
Perjuangan Tak Kenal Menyerah Imam Khomeini (1350-1356 HS)
Paruh kedua tahun 1350 (menjelang akhir tahun 1971), perselisihan antara rezim Ba’ast Irak dan Syah Iran makin memanas. Perselisihan itu diikuti dengan diusirnya warga Iran yang bermukim di Irak. Dalam telegramnya kepada Presiden Irak di masa itu, Imam Khomeini mengecam keras aksi pengusiran tersebut. Dalam situasi semacam itu, Imam Khomeini bertekad untuk segera keluar dari Irak. Namun pemerintah Baghad tanggap dengan dampak dari keluarnya Imam Khomeini dari Irak sehingga Imam pun dilarang meninggalkan Irak.
Pada tahun 1354 HS (Juni 1975) bersamaan dengan peringatan hari Kebangkitan 15 Khordad, madrasah Faiziyah kembali menjadi pentas kebangkitan para santri revolusioner Iran. Yel-yel ‘Hidup Khomeini dan matilah dinasti Pahlevi’ terus membahana selama dua hari berturut-turut. Padahal, sebelum peristiwa ini, banyak organisasai-organisasi perjuangan rakyat yang telah dilumpuhkan, para tokoh keagamaan dan politik yang aktif berjuang ramai yang dijebloskan ke penjara.
Di sisi lain, Syah terus melanjutkan politik anti-Islamnya. Kebijakan anti-Islamnya itu ditandai dengan diubahnya dasar kalender nasional Iran pada bulan Esfand 1354 HS (Maret 1976). Selama ini, dasar kalender nasional Iran dihitung sejak dimulainya hijrah Nabi Muhammad saw. Namun dasar tersebut diubah oleh Syah dengan menetapkan masa dimulainya kekuasaan dinasti Achemanid sebagai dasar perhitungan kalender nasional Iran. Mereaksi hal itu, Imam Khomeini mengeluarkan fatwa yang mengharamkan penggunaan kalender nasional Iran versi Syah. Rakyat Iran pun mendukung penuh fatwa Imam Khomeini tersebut, mereka juga turut mendukung diboikotnya Partai Rastakhiz (Kebangkitan). Kedua masalah ini merupakan pukulan berat bagi rezim Syah hingga akhirnya pada tahun 1357 (1978), Syah terpaksa melangkah mundur dan membatalkan penggunaan kalender nasional versi pemerintah.
Geliat Revolusi Islam dan Kebangkitan Rakyat
Dengan begitu teliti dan cermat, Imam Khomeini terus memantau perkembangan terbaru di Iran maupun dunia internasional. Beliau juga amat tanggap dalam memanfaatkan secara maksimal kesempatan yang muncul. Imam Khomeini pada bulan Mordad 1356 HS (Agustus 1977) dalam pesan tertulisnya menyatakan, “Kini, lewat situasi dalam dan luar negeri yang ada, serta dengan terungkapnya kejahatan rezim Syah di mata publik dan media asing merupakan kesempatan bagi kalangan ilmuan, budayawan, tokoh nasionalis, mahasiswa dalam dan luar negeri, dan organisasi-organisasi Islam di mana pun berada untuk tanggap memanfaatkan peluang yang ada dan bangkit secara terbuka”.
Gugur syahidnya, putra Imam Khomeini, Ayatollah Haj Agha Mostafa Khomeini, pada awal bulan Aban 1356 HS (23 Oktober 1977) merupakan titik tolak gerakan kebangkitan kembali komunitas Hauzah dan masyarakat muslim Iran. Imam Khomeini bahkan menyebut peristiwa itu sebagai anugrah tersembunyi ilahi.
Sementara itu rezim Syah membalas aksi Imam Khomeini dengan melansir sebuah artikel di koran Ettela’at . Artikel ini berisi hinaan terhadap Imam Khomeini. Protes luas rakyat Iran terhadap artikel tersebut berujung dengan melutusnya peristiwa Kebangkitan 19 Dey 1356 HS (9 Januari 1978) di Qom. Dalam peristiwa tersebut, sejumlah santri pendukung revolusi gugur syahid akibat tindak represif pihak keamanan. Meski Syah melancarkan aksi pembantaian massal untuk melumpuhkan gejolak kebangkitan rakyat, namun ia tetap gagal memadamkannya.
Dari Najaf ke Paris
Pertemuan para menteri luar negeri Iran dan Irak di New York memutuskan untuk mengeluarkan Imam Khomeini dari Irak. Hari kedua bulan Mehr 1357 HS (24 September 1978) rumah Imam Khomeini di Najaf di epung oleh tentara Ba’ath Irak. Tersebarnya berita ini menyulut kemarahan luas umat Islam di Iran, Irak, dn negara-negara lainnya. Pada tanggal 12 Mehr 1357 HS (4 Oktober 1978), Imam Khomeini berencana meninggalkan Najaf menuju perbatasan Kuwait. Namun pemerintah Kuwait atas desakan rezim Syah menolak Imam Khomeini memasuki negara ini. Rencana hijrah ke Lebanon dan Syria pun sempat dibicarakan, namun setelah bermusyawarah dengan putranya, Hojjatul Islam Haj Sayed Ahmad Khomeini, Imam khomeini akhirnya memutuskan untuk hijrah ke Paris.
Tanggal 14 Mehr 1357 HS (6 Oktober 1978), Imam Khomeini memasuki Paris. Dua hari setelahnya, Imam Khomeini tinggal di kediaman salah seorang warga Iran mukim Perancis di Nofel Loshato, sebuah kota kecil di pinggiran Paris. Para pejabat Perancis menyampaikan pandangan presiden negaranya kepada Imam Khomeini yang berisi desakan untuk menjauhi segala bentuk aktifitas politik selama tinggal di Perancis. Mereaksi desakan tersebut, Imam Khomeini secara lantang menegaskan bahwa pembatasan semacam itu bertentangan nyata dengan slogan demokrasi yang selama ini didengung-dengungkan oleh Perancis. Beliau bahkan menyatakan tidak akan berhenti memperjuangkan cita-citanya meski harus berpindah-pindah dari satu airport ke airport lainnya.
Pada bulan Dey 1357 HS (Januari 1979), Imam Khomeini membentuk Dewan Revolusi Islam. Sementara Syah Iran kabur meninggalkan Iran pada tanggal 26 Dey 1357 HS (16 Januari 1979) setelah terbentuknya Dewan Kerajaan dan pengambilan mosi kepercayaan atas kabinet PM Bakhtiar. Berita kepergian Syah pun menyebar ke Tehran dan akhirnya ke seluruh pelosok negeri. Berita pun ini disambut dengan suka cita oleh seluruh rakyat Iran.
Imam Khomeini Kembali ke Iran
Awal bulan Bahman 1357 HS (akhir Januari 1979), kabar tentang keputusan Imam Khomeini untuk kembali ke tanah airnya tersebar luas. Bagi rakyat Iran, kabar tersebut merupakan berita gembira yang paling dinanti-nantikan. Sekitar 14 tahun rakyat Iran merindukan kembalinya Imam Khomeini ke negerinya. Meski demikian, mereka juga amat mengkhawatirkan keselamatan jiwa pemimpin revolusi itu. Sebab hingga saat itu, pemerintah buatan Syah masih bercokol dan Iran berada di bawah kendali militer.
Kendati situasi di Iran masih begitu kritis dan berbahaya, namun Imam Khomeini bertekad untuk kembali ke tanah airnya. Dalam pesannya kepada rakyat Iran, beliau menyatakan bahwa dirinya ingin bersama rakyat di saat-saat yang paling menentukan dan kritis.
PM Bakhtiar bersama pihak militer menutup seluruh bandar udara negara untuk penerbangan asing. Namun setelah beberapa hari, pemerintah Bakhtiar tak sanggup bertahan dan terpaksa memenuhi desakan rakyat. Akhirnya pagi 12 Bahman 1357 (1 Februari 1979) setelah 14 tahun hidup di pengasingan, Imam Khomeini kembali ke tanah air tercintannya. Rakyat Iran menyambut kedatangan Imam Khomeini secara besar-besaran dan penuh suka cita. Menurut pengakuan media-media Barat, warga yang menyambut kedatangan Imam Khomeini di jalan-jalan kota Tehran mencapai sekitar 4 sampai 6 juta orang.
Selamat Jalan Imam!
Imam Khomeini telah menyampaikan seluruh tujuan dan cita-cita perjuangan yang mesti diungkapkan. Dalam prakteknya pun, beliau mengerahkan seluruh daya dan upaya yang dimilikinya untuk merealisasikan cita-cita tersebut. Kini menjelang paruh kedua bulan Khordad 1368 (Juni 1989), Imam Khomeini seakan tengah mempersiapkan dirinya untuk menemui Sang Kekasih, Dzat Maha Suci yang selama ini seluruh perjuangan Imam senantiasa ditujukan untuk mengabdi kepada-Nya. Seluruh rintihan dan puisi sufistik Imam Khomeini merupakan jelmaan dari derita perpisahannya dengan Sang Kekasih dan kerinduannya untuk bertemu dengan Dia. Dan kini, saat-saat perpisahan Imam Khomeini dengan rakyatnya pun telah tiba. Dalam surat wasiatnya beliau menulis, “Dengan hati yang damai, kalbu yang tenang, jiwa yang bahagia dan diri yang penuh harapan kepada karunia ilahi, saya mohon pamit kepada Saudari dan Saudara sekalian menempuh perjalanan menuju tempat keabadian. Saya sangat memerlukan doa baik kalian. Kepada Tuhan yang maha pengasih dan penyayang saya meminta maaf atas segala kekurangan dan kesalahan saya dalam berkhidmat. Saya juga berharap bangsa Iran bisa menerima maaf saya atas segala kekurangan dan kesalahan yang ada. Saya berharap bangsa Iran bisa terus melangkah maju dengan teguh, tekad, dan kehendak”. Yang menakjubkan beberapa tahun sebelum beliau wafat, Imam Khomeini dalam salah satu puisinya pernah menuturkan:
Aku menanti datangnya anugrah ilahi di paruh Khordad
Tahun demi tahun berlalu
Peristiwa demi peristiwa berganti
Sabtu 13 Khordad 1367 HS, pukul 22.20 adalah saat-saat perpisahan. Sebuah jantung yang menghidupkan jutaan jantung-jantung lainnya dengan sinaran ilahi dan spiritualitas, berhenti berdetak. Lewat kamera tersembunyi yang terpasang di ruang perawatan Imam Khomeini, di sebuah rumah sakit di Tehran, masa-masa operasi jantung dan detik-detik kepergian sang pemimpin revolusi, seluruhnya terekam sebagai dokumen sejarah. Menjelang masa-masa akhir, kondisi ruhani dan jasmani Imam Khomeini ditayangkan lewat televisi. Tangis dan duka rakyat Iran pun tak bisa ditahan.
Bibir Imam Khomeini selalu mengisyaratkan rangkaian dzikir yang tak putus-putusnya. Di malam terakhir hidupnya, setelah menjalani operasi jantung yang sangat berat dan melelahkan di usianya yang ke-87 tahun, beliau masih menyempatkan diri untuk menunaikan ibadah shalat malam meski kedua tangannya masih dipenuhi serum dan infus. Beliau masih meluangkan dirinya untuk membaca kalam suci Al-Quran.
Saat detik-detik akhir mulai menjelang, raut muka Imam Khomeini terlihat seperti diliputi aura ketenangan dan penuh damai. Lidahnya tak pernah putus mengucap syahadat atas keesaan Allah dan risalah Rasulullah. Dalam suasana yang begitu pekat dengan cahaya surgawi inilah, jiwa Imam Khomeini terbang menuju keharibaan ilahi.
Iran seakan terguncang hebat, saat berita wafatnya Imam Khomeini diumumkan. Seantero Iran dan seluruh sudut dunia yang mengenal pesan dan perjuangan Imam Khomeini tenggelam dalam duka. Tak ada ungkapan dan tulisan yang bisa melukiskan betapa sedihnya rakyat dan umat revolusioner saat melepas kepergian sang Imam, pemimpin agung yang berhasil melepaskan negerinya dari jeratan kezaliman penguasa yang diktator dan campur tangan asing, sosok yang berhasil menghidupkan kembali Islam, mengembalikan kemuliaan umat Islam, mendirikan Republik Islam, seorang ulama besar yang tak gentar menghadapi dua kekuatan adidaya dunia, Timur dan Barat.
Selama 10 tahun Imam Khomeini bertahan menghadapi segala bentuk konspirasi penggulingan, kudeta, kerusuhan, dan pelbagai fitnah. Selama delapan tahun, beliau tetap teguh memimpin jihad pertahanan suci menghadapi agresi militer rezim Ba’ath Irak yang didukung oleh dua adidaya dunia, Timur dan Barat. Rakyat benar-benar kehilangan seorang pemimpin tercinta, ulama besar, dan pejuang Islam yang sejati.
Mungkin tak ada siapapun yang kuasa untuk menafsirkan perpisahan ini, ketika mereka mendengar betapa banyak pecinta Imam Khomeini yang meninggal dunia lantaran tak mampu menahan pedihnya perpisahan, ketika mereka melihat betapa banyak rakyat yang kehilangan kesadarannya saat melihat jenazah Imam Khomeini disemayamkan, dan ketika menyaksikan jutaan pengagum sang pemimpin revolusi tenggelam dalam tangis dan duka yang mendalam. Namun bagi mereka yang pernah merasakan manisnya cinta, tentu mudah memahami hakikat semua ini.
Benar, rakyat Iran sungguh jatuh cinta kepada Imam Khomeini. Dalam selarik puisi yang begitu indah, rakyat Iran menuturkan, “Cinta kepada Khomeini adalah cinta kepada seluruh kebaikan”.
Tanggal 14 Khordad 1368 HS (4 Juni 1989), Dewan Ahli Kepemimpinan Revolusi Islam menggelar sidang. Setelah dibacakannya wasiat Imam Khomeini oleh Ayatollah Ali Khamenei yang berlangsung selama dua setengah jam, pembahasan mengenai calon pengganti Imam Khomeini dan pemimpin tertinggi revolusi dimulai. Setelah beberapa jam berlalu, presiden Iran saat itu, Ayatollah Sayid Ali Khamenei terpilih sebagai pemimpin tertinggi revolusi Islam. Beliau adalah salah satu murid dekat Imam Khomeini, tokoh terkemuka pejuang revolusi, dan sahabat seperjuangan yang selalu menyertai Imam di segala keadaaan.
Selama bertahun-tahun, Barat dan anasir bonekanya di dalam negeri Iran merasa putus asa untuk menumbangkan Imam Khomeini dan mereka selalu menantikan wafatnya beliau. Namun rakyat Iran begitu waspada dan tanggap. Dengan segera rakyat mendukung keputusan Dewan Ahli yang memilih Ayatollah Sayid Ali Khamenei sebagai pemimpin revolusi sehingga konspirasi musuh pun gagal kembali.
Selama ini musuh mengira dengan wafatnya Imam Khomeini , Revolusi Islam pun berakhir. Namun nyatanya, kepergian Imam justru menempatkan era Khomeini ke ranah yang lebih luas dari sebelumnya. Sebab, apakah mungkin pemikiran luhur, kebaikan, spritualitas, dan hakikat bisa musnah?
Siang dan malam 15 Khordad 1368 HS (5 Juni 1989), jutaan warga Iran yang datang dari pelbagai kota dan desa datang ke Tehran, memenuhi Mushalla Besar Tehran, untuk melepas kepergian Imam Khomeini yang terakhir kalinya. Dalam upacara pemakamam agung itu, tak terlihat suasana upacara resmi kenegaraan sebagaiman yang biasa dilakukan dalam prosesi pemakaman seorang pemimpin negara. Yang terlihat hanya suasana kerakyatan dan penuh cinta sebuah bangsa revolusioner yang berduka dan menangis melepas pemimpinnya menuju ke haribaan ilahi.
Dari kejauhan terlihat jenazah Imam yang terbaring damai di tengah lautan pecintanya yang berduka. Setiap orang berbicara kepada Imamnya dengan bahasa masing-masing sembari menetaskan air mata. Seluruh jalanan yang menuju Mushalla Besar Tehran penuh dengan lautan manusia berbusana hitam, yang mengisyaratkan betapa pedihnya sebuah perpisahan. Bendera-bendera tanda duka terpasang di sudut-sudut kota, lantunan kalam suci Al-Quran terdengar bersahutan di masjid-masjid, rumah-rumah dan perkantoran. Saat malam tiba, ribuan lilin di sekeliling Mushalla Besar Tehran dinyalakan untuk mengenang kobaran revolusi yang dinyalakan Imam.
Malam itu, mata seluruh rakyat yang berduka menatapi nyala lilin, seakan mengenang seluruh pengorbanan yang diberikan Imam Khomeini kepada bangsanya. Teriakan “Ya...Husein” para pecinta Imam Khomeini yang merasa menjadi yatim, mengubah malam penuh duka itu menjadi seperti malam-malam Asyura, malam yang begitu tragis saat Imam Husein as, cucu Rasulullah saw dibantai di padang Karbala oleh para durjana. Mereka sadar, suara lembut Imam Khomeini tak akan terdengar lagi di Huseiniyeh Jamaran, tempat di mana Imam biasa mengutarakan cermah-ceramahnya kepada rakyat Iran. Rakyat terus mendampingi jenazah Imam hingga pagi tiba.
Awal pagi 16 Khordad 1368 HS (6 Juni 1989), sembari meneteskan air mata jutaan manusia menggelar shalat jenazah yang diimami oleh Ayatollah Al-Udzma Golpaygani. Lautan manusia di saat itu mengingatkan kembali pada peristiwa penyambutan besar-besaran rakyat Iran yang menyambut kedatangan Imam Khomeini dari pengasingan pada tanggal 12 Bahman 1357 HS (1 Februari 1979). Dua peristiwa besar yang akan senantiasa diingat oleh sejarah.
Media-media massa dunia memperkirakan, lautan pelayat Imam Khomeini saat itu sekitar 9 juta orang, sementara pada peristiwa penyambutan 12 Bahman, diperkirakan sekitar 6 juta orang. Padahal selama 11 tahun lebih kepemimpinan Imam Khomeini di Iran, beragam fitnah, konspirasi, tekanan dan ancaman negara-negara adidaya, tak pernah berhenti mendera rakyat Iran. Melihat kondisi yang demikian itu, semestinya rakyat Iran sudah letih dengan pelbagai kesulitan yang ada. Namun ajaibnya, justru di tengah pelbagai cobaan dan ujian berat tersebut, rakyat Iran semakin matang dan tegar. Generasi hasil didikan ideologi ilahi Imam Khomeini benar-benar memegang teguh ajaran beliau yang berbunyi, “Beban menahan kerja keras, kesusahan, pengorbanan, kesyahidan, dan derita di dunia sebanding dengan besarnya tujuan, kebernilaian dan ketinggian peringkat tersebut”.
Setelah melihat bahwa prosesi pemakaman tak mungkin dilanjutkan di tengah emosi penuh duka rakyat Iran, pemerintah mengumumkan untuk menunda pemakaman dan meminta para pelayat kembali ke rumahnya masing-masing sampai pengumuman berikutnya. Namun di sisi lain, mengingat bahwa penundaan prosesi pemakaman bisa menambah jumlah pelayat yang makin banyak berdatangan dari kota-kota lainnya, maka pemerintah pun memutuskan untuk mengebumikan jenazah Imam Khomeini selepas dzuhur hari itu juga.
Prosesi pemakaman pun berlangsung di tengah himpitan lautan manusia yang tenggelam dalam tangis dan duka. Lewat siaran pelbagai media massa, seluruh dunia juga turut menyaksikan prosesi pemakaman seorang pemimpin agung Revolusi Islam ini. Dengan demikian seperti halnya masa-masa hidup Imam Khomeini yang menjadi sumber perjuangan dan kebangkitan, saat-saat kepergian beliau pun seperti itu juga. Semoga abadilah dia. Karena dia adalah hakikat dan hakikat akan senantiasa abadi dan tak kenal fana!
Imam Musa Kadzim, Bintang Kesempurnaan
Perbedaan mendasar antara penyeru ajaran langit dengan yang lainnya terletak pada kesempurnaan eksistensi dan kemanusiaan mereka. Karakteristik ini tercatat dengan tinta emas dalam lembaran sejarah. Kehidupan meraka menjadi teladan bagi para pencari hakikat.
Ahlul Bait Rasulullah adalah cahaya yang menerangi kegelapan dan perahu penyelamat bagi umat manusia di samudera kehidupan. Cahaya petunjuk mereka senantiasa menerangi hati orang-orang yang merindukan kebenaran. Salah seorang dari manusia suci ini adalah Imam Musa Kadzim as. Beliau meneguk cawan syahadah pada 25 Rajab 183 H. Dunia Islam berduka mengiringi kepergian manusia mulia ini.
Kesabaran senantiasa terpancar dari seluruh Ahlul Bait Rasulullah. Namun sifat ini begitu menonjol dan menjadi karakteristik khusus Imam Musa Kadzim as. Beliau menjalani kehidupannya yang dipenuhi penderitaan dengan kesabaran. Ketika orang lain berbuat buruk kepadanya, beliau membalas dengan kebaikan karena Allah. Karena itu beliau dinamai Kadzim yang bermakna orang yang menahan amarah.
Imam Musa Kadzim as diperlakukan sewenang-wenang oleh pemerintah zalim Khalifah Abbasiah, hingga beliau terpaksa meninggalkan Madinah dan menetap di Baghdad, pusat pemerintahan Dinasti Abbasiah. Kezaliman terhadap Imam Musa Kadzim mencapai puncaknya pada masa Khalifah Harun al-Rasyid.
Para pemimpin Dinasti Abbasiah tenggelam dalam kebobrokan moral, kerusakan, korupsi dan penumpukan harta. Meskipun demikian, pemerintahan zalim ini terlihat sebagai pembela agama dari luar. Padahal, sepak terjang khalifah Abbasiah dan antek-anteknya tidak menjaga nilai-nilai Islam, bahkan menginjak-injaknya. Dengan kelicikannya, Harun menyebut diri sebagai penerus Rasulullah. Dengan cara-cara culas dan dibarengi tekanan, sebagian kelompok Islam menerima pemerintahan Harun yang zalim. Dalam situasi dan kondisi demikian, Imam Musa Kadzim berupaya mengungkap wajah asli para pemimpin Dinasti Abbasiah terutama Harun al-Rasyid dengan argumentasi dan bukti yang kuat.
Harun al-Rasyid adalah raja yang zalim dan kebijakannya senantiasa menekan umat Islam. Ia menguasai pemerintahan Islam yang terbentang luas dan menyebut dirinya sebagai pemimpin yang berdaulat. Padahal, dilubuk hati yang terdalam masyarakat hanya mengakui Imam Musa Kadzim sebagai pemimpinnya. Beliau lebih melekat di hati umat Islam, karena kemuliaan akhlaknya, keindahan tutur katanya dan ketinggian statusnya sebagai keturunan Rasulullah.
Pengaruh Imam Kadzim semakin luas, bahkan para pejabat kerajaan Abbasiah sendiri diam-diam mendukung dan menemui Imam Kadzim untuk menunaikan kewajiban syar’inya kepada beliau. Imam Musa pun membagikan dana pemberian tersebut kepada orang-orang yang membutuhkan.
Sebagai pemimpin dan pembimbing sejati umat Islam, Imam Musa Kadzim menjelaskan ajaran Islam kepada masyarakat. Beliau menolak segala bentuk kerjasama dengan pemerintahan zalim, namun memberikan izin kepada pengikutnya untuk bekerja pada pemerintahan Abbasiah. Sebagai contoh, Ali bin Yaqtin atas persetujuan Imam Kadzim menjadi menteri dalam pemerintahan Harun. Dengan cara demikian, kepentingan Ahlul Bait Rasulullah tetap terjaga, serta jiwa dan harta mereka pun selamat. Terkait hal ini, Imam Musa Kadzim mengkritik ulama yang menjual pengetahuannya untuk melayani kepentingan rezim Abbasiah. Karena keberadaan ulama di samping pemimpin zalim bermakna pengakuan terhadap legitimasi pemerintahan lalim tersebut.
Imam Musa Kadzim juga mengungkapkan, ahli agama akan selamat selama ia tidak menjual dirinya ditukar dengan dunia. Kemudian seseorang bertanya, “Bagaimana seorang ahli fikih menjual agamanya?” Imam menjawab: “Ketika mereka mengikuti pemimpin zalim, sejak itu agama telah terlepas dari dirinya.”
Setelah ayahnya Imam Shadiq as, Imam Kadzim adalah orang yang paling mulia dan paling berilmu dari seluruh manusia di zaman itu. Mengenai putranya, Imam Shadiq as mengatakan, “Anakku, Musa Kadzim memiliki kecerdasan hingga apa saja yang ditanyakan mengenai isi Quran, maka ia akan menjawabnya. Ia adalah pusat pengetahuan dan hikmah.”
Imam Musa Kadzim mendidik murid-murid terkemuka di zamannya. Mereka memiliki pengetahuan yang mumpuni di berbagai bidang tertentu. Karena itu tidak mengherankan bila murid-murid Imam Musa mampu menghadapi berbagai gelombang pemikiran yang berkembang ketika itu. Salah seorang murid terkemuka Imam Musa Kadzim adalah Hisyam bin Hakam. Dengan kemampuan ilmu dan logika yang mumpuni, ia hadir di berbagai pertemuan dan debat ilmiah. Tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkannya. Imam Musa kepada Hisyam mengatakan, “Wahai Hisyam, berpikir dan diam merupakan tanda orang yang berilmu dan kendaraan orang yang berilmu adalah tawadhu.”
Meski Imam Musa Kadzim menjalani sebagian hidupnya di dalam penjara, namun beliau senantiasa memperhatikan kehidupan masyarakat. Masyarakat ketika itu, terutama rakyat kecil mendapatkan uluran tangan kebaikan Imam Kadzim. Terkait hal ini, sejarawan mengemukakan, beliau selalu membawa kantong dan memberikan bantuan kepada orang yang memohon bantuan padanya.”
Bantuan ini selain menunjukkan kemulian akhlak Imam Musa juga memperlihatkan bahwa beliau memiliki banyak pengikut yang memberikan hadiah padanya untuk dibagikan pada orang yang membutuhkan. Mereka adalah para pendukung setia beliau yang memiliki keimanan kepada Ahlul Bait Rasulullah yang terhunjam di sanubari mereka. Walaupun demikian, mereka terpaksa menyembunyikan keimanannya karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan.
Pencerahan dan perlawanan terhadap kezaliman membut sebagian kehidupan Imam Musa dijalani di penjara. Poin yang menjadi perhatian pada masa penahanan di penjara adalah, khalifah Harun terpaksa memindah sel penjara Imam Musa, karena sikap mulia beliau juga mempengaruhi para kepala penjara dan mereka terpesona oleh keluhuran akhlaknya. Kepala penjara yang terakhir bertemu dengan Imam Kadzim adalah seorang tahanan kasar dan keras hati bernama Sindi bin Shahik.
Akhirnya, melalui sebuah konspirasi, khalifah Harun al-Rasyid meracun Imam Kadzim hingga akhirnya beliau syahid pada usia 55 tahun.
Imam Musa Kadzim berkata,
”Sesungguhnya kewajibanmu yang terbesar atas saudaramu adalah bahwa jangan sampai engkau menghalangi dan menutupi apa saja yang mengungtungkan kehidupan dunia dan akhirat bagi saudara mu..”
Ditempat lain, beliau berkata:
“Siapa yang menginginkan menjadi orang yang paling kuat, maka ia harus bertawakal kepada Allah Swt.”
Jejak-Jejak Pahlawan Karbala, Hurr bin Yazid Al-Riyahi
Kebebasan berada pada saat manusia menghormati dan memuliakan dirinya serta tidak menyerahkan dirinya kehinaan dan kenistaan jiwanya dalam tawanan dunia. Dalam kerumitan kehidupan terkadang muncul satu peristiwa yang membuat manusia rela menjadi hina dan nista demi meraih tujuan-tujuan dunia. Namun ada manusia bebas yang tidak akan pernah membiarkan dirinya terhina dengan tebusan apapun. Satu dari contoh manusia semacam ini adalah Imam Husein as. Dalam salah satu ucapannya Imam Husein as berkata, “Kematian dengan kemuliaan lebih mulia daripada kehidupan penuh kehinaan.” (Bihar al-Anwar, jilid 44, hal 196)
Kebangkitan Asyura merupakan manifestasi kebebasan Imam Husein as dan para sahabatnya. Dalam Islam kebebasan merupakan nilai. Kebebasan dan berkehendak berkelindan erat dengan wujud manusia. Masalah ini menjadi sarana paling baik bagi pertumbuhan dan kesempurnaan sehingga mencapai derajat spiritual yang tinggi. Imam Ali as dalam wasiatnya kepada anaknya mengatakan, “Wahai anakku, Setiap apa yang engkau berikan dan jual dapat diberi harga, tapi ada satu yang tidak dapati dinilai dengan materi. Bila engkau menjual jiwamu, maka tidak akan dapat dihargai dengan seluruh dunia.”
Dalam al-Quran, kebebasan berarti terbebasnya penghambaan manusia dari selain Allah. Banyak ayat yang menjelaskan masalah ini. Allah Swt dalam surat az-Zumar ayat 2 berfirman, “Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” Dalam budaya Islam penghambaan kepada selain Allah dan melakukan maksiat merupakan perbudakan itu sendiri.
Syarat pertama melalui jalan kebenaran adalah melepaskan dari diri dan melepaskan segala kecenderungan duniawi. Siapa saja yang tertawan keinginan duniawi, maka ia tidak akan dapat mencapai tujuan mulia. Senantiasa ada ketakutan akan kehilangan harta yang dimilikinya. Hal ini membuatnya tidak dapat mengambil keputusan besar. Sementara ciri khas orang yang bebas adalah tidak tertawan oleh kecenderungan hawa nafsunya. Betapa banyak ketamakan dan keinginan yang menggilas manusia. Begitu juga betapa banyak orang yang tidak tertawan kecenderungan hawa nafsu yang membawanya ke puncak kesempurnaan. Hal ini dapat disaksikan pada para pahlawan Karbala.
Imam Husein as menuntut orang-orang yang menyertainya melepaskan dirinya dari simpul-simpul kecenderungan duniawi. Bila itu dapat dilakukan maka mereka mampu menciptakan peristiwa heroik dalam membela nilai-nilai ilahi yang akan terus dikenang oleh sejarah. Satu dari pahlawan Karbala yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan adalah Hurr bin Yazid al-Riyahi. Hurr saat bergabung dengan pasukan Umar bin Saad memiliki posisi yang cukup tinggi. Namun tiba-tiba semua itu ditinggalkannya dan dengan bebas ia bergabung dengan Imam Husein as.
Hurr bin Yazid al-Riyahi melewati gurun pasir dalam rangka melakukan tugas yang dibebankan kepadanya. Pada dasarnya Hurr tidak satu hati untuk melakukan tugas ini. Hurr tahu benar siapa Yazid bin Muawiyah. Ia seorang fasik, namun tidak ada pilihan baginya, selain membaiatnya demi melindungi jiwa ayah dan keluarganya. Ubaidillah bin Ziyad, Gubernur Kufah menyerahkan ribuan pasukan menjadi anak buahnya. Pelimpahan ini sangat mengganggu batin Hurr. Karena ia bersama pasukannya ditugaskan mencegah perjalanan karavan Imam Husein as dan menggiring mereka ke Dar al-Imarah, istana gubernur Kufah.
Pasukan yang bersama Hurr seluruhnya menunggang kuda. Oleh karenanya, dengan cepat mereka mencapai karavan Imam Husein as. Ketika berhadap-hadapan dengan kafilah Imam Husein as, Hurr sejenak tertegun dan kembali keraguan membakar dirinya. Saat itu Imam Husein as melihat bahwa pasukan Hurr kehausan setelah melewati jarak yang jauh tanpa henti, beliau berkata kepada para sahabatnya, “Berikan air kepada mereka dan kuda-kudanya.” Pada waktu Imam melihat satu dari pasukan Hurr tidak dapat minum sendiri, saking lemasnya, beliau sendiri bangkit dan memberinya dan kudanya minum langsung dari tangan penuh berkahnya. Setelah itu beliau memerintahkan sahabatnya untuk mendinginkan tengkuk kuda-kuda itu.
Waktu shalat telah tiba. Hurr bersama pasukannya ikut shalat berjamaah yang dipimpin oleh Imam Husein as. Usai melakukan shalat, Imam Husein as bangkit dan memberikan ceramah singkat dan berkata, “Wahai umat Islam, takutlah kalian kepada Allah. Bila kalian tidak mengetahui kebenaran kami dan pandangan kalian berbeda dengan apa yang kalian tuliskan dalam surat-surat yang dikirimkan kepada kami, maka saya memilih kembali.” Hurr mengatakan, “Surat seperti apa yang engkau bicarakan?” Seorang dari sahabat Imam Husein menunjukkan satu bungkusan penuh surat dari warga Kufah. Hurr berkata, “Saya tidak tahu menahu soal surat-surat ini. Saya ditugaskan untuk membawa kalian menghadap Ubaidillah di Kufah.”
Imam Husein as mulai memahami bahwa pembicaraannya dengan Hurr dan pasukannya tidak menghasilkan apa-apa, beliau lalu memerintahkan anggota karavannya untuk melanjutkan perjalanan. Namun pasukan Hurr menutup ruang gerak Imam. Sikap pasukan Hurr membuat kafilah Imam Husein tidak dapat melanjutkan perjalanannya ke Kufah dan akhirnya mereka terpaksa memilih arah lain dan sampai ke Karbala.
Hari kesepuluh bulan Muharram yang dikenal dengan Asyura, sekitar 30 ribu tentara mengepung Imam Husein as dan 72 sahabatnya. Menyaksikan keadaan itu, Hurr bin Yazid al-Riyahi merasa yakin Bani Umayyah serius membunuh Imam Husein bin Ali as. Seketika ia berbicara pada dirinya, “Ya ilahi, kini aku berdiri menghadap anak Fathimah, sebagian dari tubuh Rasulullah Saw. Ilahi, aku telah menutupi jalan bagi anak Nabi-Mu.” Dialog batinnya ini semakin membuatnya ragu untuk tetap berada di pasukan Umar bin Saad.
Hurr melemparkan pandangannya ke dua arah; kesesatan dan kebahagiaan. Kembali ia berdialog dengan batinnya, “Ya Allah, Jangan sampai pintu-pintu dunia yang Engkau bukakan kepadaku menjadi sebab tertutupnya pintu-pintu surga. Aku telah hidup lebih dari setengah abad. Seberapa lama lagi aku ingin hidup? Seandainya mereka memberikan istana Syam kepadaku, tapi pada akhirnya kematian bakal menghampiriku. Pada waktu itu apa yang harus aku lakukan?”
Hurr terus berdialog dengan dirinya sendiri, “Ketika tanganku berlumuran darah anak Nabi, bukankah hanya laknat yang sampai kepadaku?Alangkah baiknya ketika aku menutupi jalannya, aku katakan kepadanya bahwa aku tidak punya niat berperang dengannya. Ya Allah, ia dengan sikap ksatria memberi minum aku dan pasukanku. Aku telah menutup jalannya dan anak-anaknya. Ya Allah, aku telah membuat takut anak-anak Imam Husein as. Saya yang bersalah telah menyeret mereka ke lembah ini. Sungguh celaka diriku.”
Hurr bin Yazid al-Riyahi mengetahui benar kemazluman Imam Husein as. Ia juga mendengar panggilan Imam Husein as yang meminta siapa saja yang siap menolongnya. Pada waktu itu, Hurr memutuskan untuk memenuhi panggilan Imam Husein as. Kepada pasukan Yazid ia beralasan bahwa kudanya kehausan. Untuk itu perlahan-lahan ia mulai meninggalkan pasukan Yazid dan mulai mendekati Imam Husein as dan rombongan.
Ketika Hurr sampai ke tenda Imam Husein as, ia berkata, “Wahai Husein! Saya adalah orang yang menyakiti hati Zainab as dan membawamu ke lembah ini. Aku telah membuatmu menjadi tamu yang kehausan, terblokade dan ditemani 33 ribu pasukan dengan pedang terhunus.” Imam Husein as berkata kepadanya, “Hurr, mengapa engkau tidak turun dari kudamu? Hurr menjawab, “Aku tidak akan turun sampai anak-anakmu memaafkanku, sehingga Zainab memaafkan dosaku dan tangan cintamu menuntun tanganku. Imam berkata, “Hurr, turunlah, kami akan menjamu engkau.”
Pada saat itu Hurr berkata dengan nada putus asa, “Apakah Allah menerima taubatku?” Imam Husein menjawab, “Ya, Allah menerima taubatmu dan memaafkan dosamu.” Hurr masih terus berkata, “Aku adalah orang pertama yang menutup jalanmu. Aku tidak akan turun dari kudaku sampai engkau memberiku izin menjadi orang pertama yang syahid dalam jalan dan cita-citamu. Dengan perbuatan ini, semoga aku bisa berada satu tempat dengan Nabi Muhammad Saw.”
Dengan sigap dan segera, Hurr menggerakkan kudanya menuju medan pertempuran. Pada awalnya, Hurr menasihati pasukan musuh. Namun anak panah berseliweran di sekitarnya meminta nyawanya. Ia kemudian berteriak, “Aku adalah Hurr. Aku adalah penjaga pria terbaik kota Mekah. Aku berperang, mengayunkan pedang dan tidak kenal takut.”
Keberanian Hurr membuat takut pasukan musuh. Tapi banyaknya anak panah yang menancap di tubuh kudanya, membuat kudanya tidak dapat bangkit lagi. Hurr akhirnya turun dari kudanya dan melesat ke tengah-tengah pasukan Yazid. Hal itu dilakukannya hingga sebuah panah menembus dadanya. Hurr terjatuh ke atas tanah. Ia masih memaksakan dirinya untuk berteriak, “Wahai anak Nabi, lihatlah aku!” Hurr tidak sabar membawa dirinya menghadap Imam Husein as.
Waktu sejenak berlalu. Hurr merasakan panasnya tangan Imam Husein as yang diletakkan di atas dahinya. Kepadanya Imam Husein as berkata, “Tenanglah. Biarkan tanganku membalut dahimu. Bukankah engkau sendiri yang mengatakan agar di akhir hidupmu, aku berada di sampingmu? Bukalah matamu dan saksikan bahwa engkau bebas. Engkau menjadi manusia bebas di dunia dan di akhirat.” Imam kemudian membalut dahi Hurr. Saat itu Hurr berkata, “Apakah engkau memaafkanku? Apakah Allah memaafkan dosaku yang lalu? Wahai tuanku, tersenyumlah untukku agar aku mendapat ketenangan dan menuju Allah dengan tenang. Sambil membersihkan darah dan tanah yang menutupi wajah Hurr, Imam Husein berkata, “Betapa indahnya seorang pria yang bebas mendengar seruan pertolongan Husein dan mengorbankan dirinya. Ya Allah, terimalah ia di surga-Mu.” (IRIB Indonesia/SL/NA)